Tabloid institut edisi 46

Page 1

Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Terbit 16 Halaman

Email: redaksi.institut@gmail.com

LAPORAN UTAMA

LAPORAN KHUSUS

Hal. 2

Hal. 4

Tersendat Anggaran

www.lpminstitut.com

Ruang Kerja Tak Penuhi SNPT

LPM INSTITUT - UIN JAKARTA

@lpminstitut

Telepon Redaksi: 0858 9218 0540

WAWANCARA

Polemik Pemangkasan Anggaran Hal. 11

@lpminstitut

Di Balik Pemangkasan Anggaran Aisyah Nursyamsi Dua kali sudah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengalami pemangkasan anggaran. Kali ini kembali terjadi, bahkan dilakukan secara sepihak oleh Kementerian Agama (Kemenag). Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan (BPK) UIN Jakarta Edy Suandi tertunduk lemas melihat kertas yang baru saja ia terima. Kertas itu tak lain berisi pemberitahuan pemangkasan anggaran dari Kementerian Agama (Kemenag) pada 9 September sebesar Rp9.540.000.000. Pemangkasan ini adalah kali kedua dari pagu anggaran dasar 2016 sejumlah Rp431.811.829.000. Adanya pemangkasan anggaran merupakan tanggapan atas dikeluarkannya surat imbauan Direktur Jendral Pendidikan Islam nomor 3540/DJ/K.U.00.2/2016. Dalam surat itu jelas tertera batas pemangkasan anggaran sebesar Rp9,5 miliar pada 16 September 2016. Maka mau tak mau, UIN Jakarta harus sesegera mungkin memangkas anggaran yang dinilai tak produktif. Dana di semua fakultas terpaksa dipangkas sebesar Rp3,8 miliar. Belum cukup mencapai Rp9,5 miliar, Edy pun ikut memangkas dana rektorat sebesar Rp2,8 miliar. Namun, saat itu dana baru terkumpul sekitar Rp6,6 miliar. Sisanya, kata Edi, didapat dari Rencana Kerja Prioritas (RKP) sebesar Rp454.872.000 dan Rupiah Murni (RM) Operasional Rp2.398.270.000. Usai menggenapkan pemangkasan anggaran sebesar Rp9,5 miliar, UIN Jakarta harus rela merasakan adanya pemangkasan anggaran kembali atau disebut pemblokiran sementara sebesar Rp30.899.674.000. Namun, kali ini tanpa basa-basi, pihak Kemenag memangkas anggaran tanpa sepengetahuan pihak UIN Jakarta. Bingung dengan keputusan Kemenag, Edy sebagai perwakilan UIN Jakarta segera menanyakan dasar hukum pemblokiran anggaran sementara kepada Pendidikan Islam (Pendis). Sesampainya di lantai tujuh Kemenag, Edy sempat terkejut karena ramainya orang dari berbagai

satuan kerja (satker) telah berkumpul sebagai bentuk protes. ”Ternyata bukan hanya UIN Jakarta yang protes dan dirugikan,” ungkapnya. Edy juga mendapat keterangan dari Pendis bahwa pemblokiran sepihak terjadi disebabkan beberapa satker belum melunasi pemangkasan anggaran sebanyak Rp1,4 triliun. Akhinya, seluruh satker harus menanggung akibatnya, yaitu diblokir sementara waktu. ”Masih ada tujuh satker yang bermasalah,” ujar Edy. Hingga menjelang 15 November 2016 masih didapati kekurangan sebanyak Rp167 miliar. Sementara, dari seberang telepon, Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Islam (Diktis) Amsal Bakhtiar berdalih, semua terjadi karena satker yang berjumlah 4436 di bawah Kemenag telat memberikan laporan, termasuk UIN Jakarta. ”Sudah melewati batas waktu yang diberikan,” ungkapnya. Kamis (17/11). Saat dikonfirmasi terkait penahanan anggaran, Amsal Bakhtiar menjelaskan penyebab pemangkasan anggaran dikarenakan turunnya pendapatan pajak negara. Akhirnya, presiden mengambil tindakan dengan mengeluarkan aturan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2016 tentang LangkahLangkah Penghematan dalam Bentuk Pemotongan Belanja Negara Terhadap Kementerian/

Lembaga. Sesuai Inpres nomor 4 tahun 2016, pemangkasan anggaran hanya berlaku untuk dana tidak produktif berupa belanja perjalanan dinas, langganan daya dan jasa, honorarium dalam tim/kegiatan, biaya rapat iklan, dan operasional perkantoran. Tapi pada kenyataanya pihak Kemenag tetap melakukan pemblokiran anggaran sementara seperti dana kemahasiswaan dan uang makan

Bersambung ke hal 15 kolom dua...

@Xbr4277p


Laporan Utama

|2

Tersendat Anggaran

Sumber Foto: Instagram KMM Riak

Salam Redaksi Salam Mahasiswa! Salam sejahtera bagi pembaca yang budiman.. Roda keorganisasian Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta kembali bergelora. Meski tetap dalam kesibukkan perkuliahan, tak sedikit pun mengendurkan semangat kami untuk selalu menelurkan karyakarya baru bagi pencinta kebenaran sekalian. Edisi November ini kami kembali menghadirkan Tabloid Institut edisi 46 dengan tema besar pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Negara (APBN) sesuai Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2016. Kementrian Agama (Kemenag) pun melakukan pemotongan anggaran dan berimbas pada pengurangan anggaran untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), salah satunya UIN Jakarta. Tak tanggung-tanggung, UIN Jakarta mengalami tiga kali pemotongan. Jika diakumulasikan, hampir Ro40 miliar anggaran kampus ini dipangkas Kemenag. Imbasnya kini dirasakan oleh mahasiswa dan para pegawai termasuk dosen. Untuk mahasiswa, kegiatan seperti pelatihan dan penelitian sudah ditiadakan pada tahun ini. Dengan anggaran yang tersisa, Pihak Kemahasiswaan hanya memprioritaskan kegiatan yang melibatkan keselurahan mahasiswa seperti Pemilihan Umum Raya (Pemira) dan Student Archievment Awards (SAA). Laporan Utama kami selanjutnya membahas penetapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UIN Jakarta. Pertengahan tahun ini, Kemenag telah menetapkan bahwa PT dalam naungannya harus menerapkan kebijakan UKT. Namun, penerapan UKT di UIN belum begitu jelas. Sebagian besar mahasiswa tak tahu menahu dampak dari penerapan UKT ini. Pada rubrik laporan khusus, kami membahas janji manis yang diberikan Gerbang Berkah (GB) Parking pada UIN. Pada awal kerjasama, GB Parking berjanji akan memperbaiki menajemen, kemanan, dan kenyamaan perparkiran. Kenyataannya, belum genap sebulan belakangan dua kendaraan mahasiswa hilang di parkiran UIN. Demi memuat laporan itu, kami harus bertarung dengan kondisi di lapangan. Narasumber yang sulit ditemui, dihubungi, bahkan tak mau diwawancara menjadi cobaan kami. Namun, kondisi seperti itu tetap tak menghalangi kerja keras kami demi kebenaran yang harus diungkap pada pembaca sekalian. Kepuasan dan kritik pembaca menjadi penambah semangat dalam melaksanakan peliputan. Kami bukanlah Tuhan yang maha sempurna. Laporan kami masih jauh dari kepuasan pembaca. Oleh karenanya, kami tunggu kritikan dan masukan dari para pembaca sekalian. Akhir kata, selamat membaca.

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Beberapa anggota UKM KKM-RIAK sedang menggalang dana usaha di Ruang Terbuka Hijau (RTH), Selasa (18/10). Penggalangan dana usaha banyak dilakukan mahasiswa untuk menambah dana acara.

Lia Esdwi Yani Syam Arif Dua kali dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dipangkas. Mahasiswa dan pegawai pun terkena imbasnya. UIN Jakarta mendapat pemangkasan BOPTN. Total pemotongan anggaran yang harus diterima UIN Jakarta sepanjang tahun 2016 ini mencapai Rp42 miliar. Imbasnya, beberapa kegiatan mahasiswa dan pegawai terhambat. Salah satu kegiatan mahasiswa yang terkendala adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Komunitas Musik Mahasiswa Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (KMM-RIAK). Ketua KMM-RIAK Achmad Daud Darmawan mengeluhkan sulitnya mencairkan dana kegiatan mahasiswa. Berbagai cara pun dilakukan untuk memenuhi kekurangan dana, salah satunya adalah mencari dana usaha. Untuk mencairkan dana di Bagian Kemahasiswaan, Daud menuturkan sudah lima kali bolak-balik mendatangi Bagian Kemahasiswaan UIN Jakarta untuk mengambil uang kegiatan. Namun, dana yang dibutuhkan tak kunjung turun. “Padahal kita butuh Rp9 juta untuk acara LEDAK RIAK yang akan digelar Desember mendatang,” paparnya, Selasa (15/11). Tak hanya kegiatan mahasiswa yang terhambat, mulanya Pemilihan Umum Raya (Pemira) pun terancam. Namun, menurut Ketua Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U) Wahid Hasyim, acara pemilihan pemimpin mahasiswa di jurusan, fakultas dan universitas ini mendapatkan talangan dari Badan Layanan Umum (BLU). “Untuk Pemira dapat pinjaman

uang,” paparnya saat dihubungi lewat telepon Sabtu (19/11). Merespons hal tersebut, Staf Bendahara Pengeluaran Pembantu Kemahasiswaan Joko Mulyono memaparkan, sebenarnya sudah banyak berkas pengajuan pencairan dana kemahasiswaan. Dari semua proposal tersebut dapat dijumlah sekitar Rp130 Juta uang kegiatan mahasiswa yang sebenarnya dijanjikan akan cair pada 16 November 2016. Namun, hingga ditulisnya berita ini dana tersebut belum juga turun. “Setiap hari saya dikejar mahasiswa yang ingin mencairkan uang,” ujarnya, Selasa (15/11). Di tempat yang berbeda, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Yusron Razak mengungkapkan, pemblokiran dana adalah penyebab utama macetnya dana. Terpaksa beberapa alokasi dana mahasiswa terhambat, di antaranya adalah untuk Pemilihan Umum Raya (Pemira), Student Achievment Awards (SAA) dan dana kegiatan mahasiswa. Tak hanya itu, penelitian dan seminar mahasiswa pun ditiadakan. Sambil menunggu dana BOPTN yang masih terblokir, lanjut Yusron, pihak kemahasiswaan mengajukan peminjaman dana Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp200 juta. Namun, dana yang dipinjamkan tersebut hanya cukup untuk membiayai Pemira saja. ”Karena Pemira paling mendesak dan yang lain akan menyusul sambil menunggu cair,” tuturnya Rabu (9/11). Terkait hal itu, Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada membenarkan bahwa dirinya yang telah menerima pengajuan peminjaman dana BLU sebesar Rp200 juta untuk kegiatan mahasiswa. “Saya yang kelak akan menangung semua risiko dari peminjaman dana tersebut,” ucapnya Rabu (16/11).

Tak hanya mahasiswa, pegawai pun turut terkena imbas pemangkasan anggaran. Kepala Sub Bagian Bina Bakat dan Minat Mahasiswa kemahasiwaan UIN Jakarta Yusuf menuturkan, hingga sekarang uang makan pegawai bulan Oktober yang biasa diterimanya bersamaan dengan gaji belum juga dibayarkan. ”Katanya pembayaran akan digabung dengan uang makan bulan depan,” paparnya saat ditemui di ruangannya, Kamis (18/11). Pemblokiran uang makan tersebut dibenarkan oleh Kepala Bagian Organisasi Kepegawaian dan Peraturan Perundangundangan Kuswara. Menurutnya, memang terdapat pemblokiran uang makan untuk seluruh pegawai. Namun, uang tersebut akan diganti pada bulan berikutnya. ”Sebenarnya imbas pemangkasan APBN tak boleh menyentuh hak pegawai,” tuturnya Selasa (16/11). Kepala Bagian Perencanaan Edi Suandi menuturkan, walaupun ada pemangkasan anggaran harusnya tak akan mengurangi gaji pegawai dan dana kegiatan mahasiswa. Makanya, untuk saat ini status dana tersebut masih diblokir. “Jadi beberapa uang kegiatan mahasiswa dan uang makan pegawai masih belum bisa dibayar karena menunggu pemblokiran dibuka,” ungkapnya Senin (14/11). Edi menambahkan, sejak awal pemotongan BOPTN ia telah merencanakan dan membatalkan beberapa anggaran yang dianggap kurang penting. “Contohnya adalah penelitian, pelatihan untuk pegawai serta dana pengabdian masyarakat,” jelasnya.

Pemimpin Umum: Erika Hidayanti | Sekretaris Umum: Syah Rizal | Bendahara Umum: Triana Sugesti | Pemimpin Redaksi: Arini Nurfadilah | Redaktur Online & Web Master: M. Rizky Rakhmansyah | Pemimpin Litbang: Yasir Arafat | Riset dan Dokumentasi: Ika Puspitasari | Pemimpin Perusahaan: Jeannita Kirana Anggota: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis Koordinator Liputan: Aisyah Nursyamsi | Reporter: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis Editor: Arini Nurfadilah, Erika Hidayanti, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Syah Rizal, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Eko Ramdani, Dicky Prastya, Syah Rizal | Ilustrator: Eko Ramdani | Karikaturis: Aisyah Nursyamsi | Editor Bahasa: Eli Murtiana Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 085722423074 | Email: redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~


Laporan Utama

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

|3

Waktu Tak Tepat, UKT Terhambat Jannah Arijah

Kementerian Agama (Kemenag) telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 289 Tahun 2016 mengenai Penerapan Sistem UKT pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri untuk Tahun Akademik 2016/2017. Namun, UIN Jakarta belum melaksanakan penetapan tersebut. Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan Yusron Razak berdalih, UIN Jakarta belum melaksanakan KMA karena Kemenag mengeluarkan penetapan sistem UKT di waktu yang tidak tepat. Bukan tanpa alasan warek berkata demikian, sistem UKT baru disahkan pada 9 Juni 2016, padahal saat itu UIN Jakarta telah merancang struktur pembayaran untuk program akademik semester baru. Saat ini, lanjut Yusron, sistem pembayaran di UIN Jakarta menerapkan sistem paket. Yusron menjelaskan pembayaran sistem paket ditetapkan sesuai dengan jurusan atau program studi (prodi) yang dipilih oleh mahasiswa. “Setiap mahasiswa pada prodi yang sama mendapatkan besaran biaya yang sama tanpa melihat status sosial-ekonomi dari mahasiswa tersebut,” tegas Yusron, Rabu (9/11). Berbeda dengan paket, sistem pembayaran UKT diterapkan sesuai dengan kondisi sosialekonomi dari masing-masing

Sumber: Bagian Perencanaan UIN Jakarta

mahasiswa. Seperti yang termaktub dalam KMA, besaran biaya yang dibayarkan mahasiswa ditetapkan berdasarkan golongan kemampuan finansial dari masingmasing mahasiswa. Sebagian mahasiswa membayar lebih mahal dan sebagian lagi membayar lebih murah, tergantung keadaan ekonomi dari mahasiswa tersebut. Pada KMA tertulis, pembayaran menggunakan sistem UKT dibagi menjadi enam golongan. Golongan pertama merupakan golongan yang membayar uang kuliah terendah, kisaran pembayaran mereka di antara Rp0-400 ribu. Golongan kedua merupakan golongan yang membayar uang kuliah lebih tinggi dari golongan pertama. Namun jumlah uang kuliahnya tergantung dari jurusan atau prodi masingmasing mahasiswa. Tak hanya golongan kedua, golongan ketiga hingga kelima jumlahnya pun tergantung dari jurusan atau prodi yang mahasiswa minati. Semakin tinggi golongan, maka semakin mahal bayaran uang kuliahnya. Akan tetapi, itu tak berlaku bagi golongan keenam yg merupakan golongan penerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin dan Berprestasi (Bidikmisi) dengan pembayaran uang kuliah sama rata sebesar Rp2,4 juta. Meski belum menerapkan sistem UKT tahun ini, Yusron mengakui UIN Jakarta telah melakukan rapat

mengenai pelaksanaan sistem tersebut. Rencananya, UIN Jakarta akan menerapkan sistem UKT di tahun ajaran 2017/2018, lantaran perlu adanya pemantapan dalam merancang sistem pembayaran baru. “Mulai dari infrastruktur dan sosialisasinya harus benar-benar siap,” cetusnya. Sosialisai sistem UKT, kata Yuson, akan dilakukan akhir semester ini. Yusron memaparkan, UIN Jakarta akan menerapkan sistem UKT dengan rancangan berbeda dari yang tertulis di KMA. Jika pada KMA tertulis hanya mencapai enam golongan, UIN Jakarta akan menerapkan dengan tujuh golongan. Tak hanya itu, UIN Jakarta pun akan menghapus golongan pertama dari yang tertulis di KMA. “Jadi semua mahasiswa harus bayar uang kuliah,” tegasnya. Berbeda dengan Yusron, Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada mengklaim sistem UKT telah dilakukan sejak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan No.55 Tahun 2013 tentang Penerapan Sistem UKT pada Perguruan Tinggi Negeri. “Sistem UKT sudah diterapkan sejak zaman Komaruddin Hidayat,” ujarnya, Rabu (16/11). Selain itu Dede menjelaskan, penerapan sistem UKT yang dilakukan UIN Jakarta baru

Sumber Foto: pendis.kemenag.go.id

Waktu penetapan yang tidak tepat menjadi alasan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta belum menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Belum mantapnya infrastruktur pun jadi kendala.

KMA Nomor 289 Tahun 2016 Tentang Penetapan Sistem UKT di Perguruan Tinggi Negeri Keagamaan. KMA tersebut pun berisi pedoman sistem UKT di seluruh PTAIN.

sebatas pada tingkat pertama hingga ketiga. Adapun untuk golongan keempat hingga keenam baru direncanakan pada tahun ini. “Sekarang masih dalam tahap pembahasan,” katanya. Namun, penerapan sistem UKT di UIN Jakarta belum dirasakan mahasiswa, salah satunya bagi mahasiswa Muamalah, Alim. Mahasiswa bidikmisi ini bahkan belum mendapatkan sosialisasi mengenai penerapan sistem UKT dari UIN Jakarta. “Saya tahu adanya KMA tentang UKT dari grup WhatsApp penerima bidikmisi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri se-Indonesia,” tutur

mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum tersebut, Kamis (10/11) Lebih lanjut Alim mengungkapkan, sistem UKT sejatinya dapat membantu mahasiswa yang secara ekonomi sulit untuk menempuh pendidikan tinggi. Jika sistem UKT diterapkan, akan memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang mampu untuk merasakan bangku kuliah. Namun, Alim berharap sistem UKT yang akan diterapkan UIN Jakarta dilaksanakan dengan benar. Sehingga tidak ada ketimpangan saat penentuan golongan pada mahasiswanya.

Infografis

Desain Visual: Eko Ramdani


Laporan Khusus

Ruang Kerja Tak Penuhi SNPT

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

|4

Zainuddin Lubis

Seusai jam perkuliahan pukul 16.30 WIB pada Rabu (16/11) lalu, Eny Supriyati Rosyidatun berjalan menuju ruang dosen jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Saban hari di ruangan ini ia biasa beristirahat, menyiapkan materi perkuliahan, dan berdiskusi dengan para dosen lain. Namun, dalam ruangan yang terletak di lantai enam FITK ini hanya tersedia dua buah meja, lima buah lemari, dan loker untuk menyimpan berkas dosen. Setiap hari ruangan itu biasa digunakan 25 sampai 30 orang dosen. Dosen Biologi FITK ini merupakan salah satu dosen tetap di UIN Jakarta. Di ruangan itu juga ia biasanya dan dosen lainnya membimbing skripsi mahasiswa. Menurut Eny biasa ia dipanggil terkadang, tatkala ingin membimbing skripsi kursi dan meja telah penuh oleh dosen lain yang sedang membimbing. Terpaksa ia pindah ke ruangan Center for Science Education untuk mencari tempat membimbing lain. “Seperti rebutan ruangan dengan dosen lain,” ujarnya, Rabu (16/11). Tak hanya itu, Eny juga menyayangkan setiap hari di atas meja penuh dengan lima tumpukan berkas dosen. Isinya berupa laporan dan berkas kerja para dosen yang tak muat di dalam loker karena penuh. Tak mengherankan jika berkas itu

berserakan di atas meja. “Dosen itu membutuhkan ruang kerja yang layak,” katanya. Kurangnya fasilitas di ruang kerja dosen juga dikeluhkan oleh Yani Radi Astuti dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Pasalnya di ruang kerja dosen yang terletak di lantai tiga FST itu tak tersedia layanan wifi untuk mengakses internet. Guna mengatasi ketiadaan wifi ia dan dosen lain terpaksa membeli modem sendiri. “Paketnya kita beli Rp100 ribu perbulan secara bergiliran,” ketusnya saat ditemui ruang kerjanya Rabu (16/11). Di dalam ruang kerja itu juga tergeletak beberapa tumpuk skripsi berwarna kuning milik mahasiswa FST. Menurut Yani, skripsi itu tergeletak karena mereka tak memiliki lemari buat menyimpan berkas. Bahkan, ia terpaksa membawa lemari olympic dari rumah. “Kita tak punya lemari,” tambahnya. Padahal mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 tentang SNPT pada pasal 41 Ruang kerja dosen dan Tata Usaha (TU) menyebutkan dosen tetap dan pegawai harus disediakan dengan luas paling sedikit 4 m2 per dosen. Tak hanya itu, ruangan kerja juga dilengkapi dengan perabot kerja, perabot penyimpanan, serta akses informasi dan komunikasi.

Menapaki Janji GB Parking

Foto: Dicky/Ins

Ruang kerja dosen dan pegawai di beberapa fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tak memenuhi Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT). Alih fungsi Gedung Perpustakaan lama digadang jadi solusi.

Beberapa mahasiswa tengah melakukan aktivitas di depan Gedung PU lama, Senin (21/3). Kabarnya, gedung ini akan dialih fungsikan menjadi ruang dosen.

Saat ditemui di ruang kerjanya, Kepala Bagian Umum Suhendro Trio Anggono mengakui kurangnya ruang dosen di UIN Jakarta. Ia beralasan tak ada lahan, dana, dan gedung kosong menjadi penyebab tak memadainya ruang kerja dosen. Saat ini, ia sedang merencanakan Gedung Perpustakaan lama lantai dua untuk dijadikan ruang kerja dosen. Tak hanya ruang kerja dosen yang tak sesuai dengan SNPT, ruang TU pun mengalami kondisi serupa. Kepala Sub Bagian Administrasi Umum Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Amusdalti mengatakan, luas ruang tata usaha FAH hanya seukuran satu meja. Kondisi semakin parah dengan digabungnya dalam satu ruangan tanpa dinding pembatas antara ruang

kerja administrasi umum dan ruang akademik. Menurut Amusdalti lemari buat arsip pun tak mencukupi. Hal itu terkadang membuat arsip administrasi umum terpaksa tergeletak di meja kerja begitu saja. Bahkan, tak jarang dokumen pekerjaan yang ia pegang raib entah ke mana karena lemari telah penuh. “Ruangan kita kecil dan banyak arsip,” katanya, Selasa (15/6). Tak ada ruangan khusus untuk arsip keuangan turut dialami TU Bagian Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Kepala Sub Bagian Umum FEB Ikhwan menyebutkan bagian pegawai terpaksa mencari ruang kecil di pojok fakultas setiap lantai untuk menyimpan asip keuangan. Padahal kebijakan arsip keuangan

masa berlakunya mencapai 10 tahun. “Bisa saja lima tahun lalu diminta buat diperiksa,” ujarnya, Selasa (15/11). Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada mengakui ruang kerja dosen dan TU yang tak sesuai SNPT. Ia pun telah memerintahkan kepala biro dan kepala seksi yang ada di UIN Jakarta untuk membahas permasalahan tersebut. Sebagian langkah yang akan ditempuh Dede, di antaranya memindahkan salah satu fakultas ke gedung yang tengah dibangun di Pisangan, Tangerang Selatan. Nantinya, bekas fakultas itu akan digunakan sebagai ruang dosen dan TU. “Rencana baru ada sekarang. Pembangunan ruang kerja dosen dulu sempat tidak dipikirkan,” tandasnya, Rabu (16/10).

Eli Murtiana

Tak kurang dari delapan bulan lamanya, sistem parkir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dikelola oleh swasta yaitu Gerbang Berkah (GB) Parking. Alasan UIN Jakarta menerima kontrak perusahaan swasta tersebut dikarenakan mampu memenuhi sejumlah permintaan kampus. Namun, nyatanya beberapa kesepakatan antara GB Parking dan UIN Jakarta tak kunjung terealisasi. Kesepakatan yang dibuat antara GB parking dan UIN Jakarta yakni mengenai pemenuhan kelengkapan fasilitas parkir seperti adanya asuransi kehilangan motor, fasilitas kanopi dan kamera Clossed Circuit Television (CCTV) di loket masuk dan keluar. Selain itu, pengelolaan manajemen keuangan yang lebih baik dan pemberian asuransi bagi karyawan GB Parking juga menjadi alasan lain terpilihnya pengelola parkir swasta ini. Beberapa dari kesepakatan tersebut belum dipenuhi oleh pihak GB Parking. Sampai saat ini belum ada fasilitas kanopi dan kamera CCTV di area loket masuk maupun keluar. Manajer GB Parking, Ahmad Alvi mengungkapkan bahwa pengajuan proposal terkait fasilitas tersebut sedang dalam proses. “Pengadaan kedua fasilitas itu bertahap. Kalau

kanopi hanya terdapat di loket parkir rektorat saja. Sementara itu, kamera CCTV memang tidak ada,” ujarnya Jumat (18/11). Beberapa kasus kehilangan motor pun terjadi di area kampus UIN Jakarta. Para mahasiswa yang menjadi korban mengaku bahwa kasus kehilangan motor mereka telah diproses oleh pihak GB Parking dan sedang dalam tahap pengajuan asuransi. Salah satu mahasiswi yang terkena kasus kehilangan motor ialah Diadjeng Famelia. Mahasiswi semester satu Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum ini menceritakan, pada Senin, 10 Oktober sehabis ia memarkirkan motor Mio putihnya di gedung parkir lantai tiga, ternyata kunci motornya masih tertinggal di jok. Lalu, saat hendak pulang kuliah, Diadjeng baru sadar kunci motornya tidak ada dan setelah dicek, nahas motornya telah hilang. Dua hari kemudian, Diadjeng bertemu dengan Kepala Bagian Umum, Suhendro Tri Anggono dan Ahmad Alvi untuk membahas asuransi kehilangan motor miliknya itu. Hendro dan Alvi menerangkan bahwa Diadjeng harus melengkapi berkas seperti surat kehilangan dari kepolisian, Berita Acara Pemeriksaan (BAP), karcis masuk, dan Surat Tanda

Foto: Eli/Ins

Pemenuhan fasilitas lahan parkir masih belum terlaksana. Evaluasi pengelola parkir tak bisa terelakkan.

Sebuah mobil masuk ke loket masuk rektorat yang telah dipasang fasilitas kanopi, Senin (21/10). Fasilitas kanopi menjadi salah satu poin perjanjian kerja sama antara UIN Jakarta dengan GB Parking.

Nomor Kendaraan (STNK). “Saya memilih untuk tidak melanjutkan proses klaim asuransi. Sebab, percuma juga karena prosesnya berbelit-belit,” terangnya, Kamis (17/11). Senada dengan Diadjeng, mahasiswi semester lima Pendidikan Bahasa Inggris, Emma Fauziah juga kehilangan motor di gedung parkir lantai empat. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu, 26 Oktober sekitar pukul 08.33 pagi. Saat perkuliahan telah dimulai, ia menyadari kunci motornya masih tersangkut di motor. Kemudian pukul 10.30 pagi, Emma kembali ke gedung dan mendapati motornya telah raib. Berbeda dengan Diadjeng, Emma segera mengurus pengajuan klaim asuransi. Ia menyertakan surat kehilangan dari kepolisian, BAP, karcis masuk, dan STNK. Akan tetapi, pengajuan asuransi dinilai kurang

lengkap tanpa adanya kunci motor. Emma juga sempat mengeluhkan tidak terdapatnya fasilitas kamera CCTV di area parkir, “Seharusnya di gedung parkir terdapat CCTV karena areanya sepi dan jarang ada satpam yang berjaga,” terangnya via WhatsApp, Rabu (16/11). Sementara itu, tak adanya kunci motor menyebabkan korban kasus kehilangan motor belum tentu bisa mendapatkan asuransi. Kehilangan motor ini, papar Alvi, bukan sepenuhnya kesalahan GB Parking. Akan tetapi, pihaknya tetap berusaha memproses pengajuan klaim ke perusahaan asuransi walaupun tidak menjamin akan disetujui. Terkait kasus kehilangan motor, Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada menyampaikan untuk segera melapor ke pihak GB Parking. Sebab yang bertanggungjawab atas kehilangan

kendaraan adalah pihak pengelola parkir, “GB Parking yang bertanggung jawab asalkan ada karcis tanda masuk,” ujarnya Rabu (16/11). Perihal kinerja GB Parking, Dede mengakui ada beberapa evaluasi. Terlepas dari itu, sambung Dede, manajemen parkir terlihat lebih baik ketimbang sebelum dikelola oleh GB Parking. “Tetapi karena pertumbuhan kendaraan akhir-akhir ini semakin tinggi, tempat parkir jadi crowded lagi,” tambahnya. Selaras dengan Dede, Hendro menjelaskan, tata parkir UIN Jakarta belum sesuai harapan dari segi kerapihan. Jumlah kendaraan dengan jumlah sarana parkir yang tersedia di UIN Jakarta tidak berbanding lurus. “Karena lahan parkir UIN Jakarta yang terbatas, siapapun pengelola parkirnya, akan tetap semrawut,” ujar Hendro, Selasa (8/11).


Kampusiana

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Sumber: Tempo.co

Alternatif Baru Hilangkan Kebiasaan Merokok Sejumlah remaja mengisi ulang “vape” rokok elektriknya dengan cairan perasa di Bandung, Jawa Barat, 12 September 2014. Di UIN Jakarta sendiri belum ada peraturan jelas tentang penggunaan rokok elektrik ini.

Eko Ramdani

Bagai candu yang sulit dihilangkan, rokok saat ini dapat pula dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat. Vape hadirkan rasa baru dalam merokok. Konon, saat ini rokok telah menjadi gaya hidup yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat. Setidaknya dalam tiap waktu senggang saja, mereka akan menyempatkan diri untuk menghisap sebatang gulungan kertas dengan racikan tembakau dan cengkeh di dalamnya. Merokok dapat pula dilakukan di mana saja tidak mengenal waktu dan tempat. Dikala santai, seusai makan, bahkan saat berkumpul dengan kerabat pun sebatang rokok tak hilang dalam himpitan dua jari tangan. Salah satu penikmat rokok

tembakau ialah Lukman Muhammad Syarif. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mulai mengenal dan mencoba rokok tembakau sejak ia duduk di kelas 1 SMA. Namun, dua bulan belakangan ini ia sudah mulai mengurangi kebiasaannya merokok tembakau. Alasanya tidak lain, karena ia menyadari efek jangka panjang yang ditimbulkan dari rokok tembakau sangatlah buruk bagi tubuh. Untuk itu, demi mengurangi pemakaian rokok tembakau, Lukman

kini hijrah dengan mengkonsumsi rokok elektrik. Sebab menurutnya rokok elektrik itu hanya menghasilkan uap, bukan asap. “Ada pilihan aromanya juga, jadi lebih enak,” cetusnya, Rabu (9/11). Mahasiswa semester tujuh ini bercerita, lewat ajakan temannyalah ia mulai mencoba rokok elektrik. Baginya rokok yang familiar dikenal dengan sebutan vape ini tak sebahaya rokok tembakau. Anggapan tersebut dapatkannya lantaran ia mengetahui liquid atau cairan yang digunakan sebagai bahan vape tidak mengandung

nikotin dan tidak menghasilkan tar. Di satu sisi, vape memiliki uap yang dapat memikat penggunanya. Bukan cuma itu pembakaran liquidnya pun tidak menimbulkan bau menyengat seperti asap rokok tembakau pada umumnya. “Kepincut pertama kali sama aroma uapnya,” katanya. Sama halnya dengan Lukman, Reza Dwi Surya juga berasalan menggunakan vape untuk menghentikannya menghisap rokok tembakau. Hampir sudah tiga bulan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi ini aktif mengkonsumsi vape. Selain untuk berhenti dari rokok tembakau, lanjut Reza, biaya vape sangat ekonomis. Cukup merogoh kocek Rp150 ribu saja ia sudah dapat memiliki liquid. Liquid tersebut pun bisa digunakannya selama satu bulan. Sedangkan, bila dibandingkan dengan rokok tembakau, dalam sehari saja Reza bisa menghabiskan Rp20 ribu untuk satu bungkus rokok tembakau. “Kalau harga alatnya sih enam ratus ribu,” ujarnya, Jumat (11/11). Meskipun kini Reza belum sepenuhnya berhenti mengkonsumsi rokok tembakau. Namun peralihannya dari rokok tembakau ke dalam vape bisa dengan signifikan menurunkan kebiasaannya merokok tembakau. Sekarang ini dalam sehari hanya menghabiskan setengah bungkus rokok saja. Reza merasakan vape sendiri menawarkan berbagai macam aroma liquid. Aroma liquid yang ditawarkan pun beragam, mulai dari susu hingga berbagai buah. Hasil pembakarannya pun diklaim bukanlah asap seperti pada rokok tembakau, melainkan uap dengan memanfaatkan sumber daya baterai yang membakar cairan liquid. Menurut laporan dari World Health Organization (WHO) yang dikutip

|5

dari alodokter.com menganjurkan masyarakat agar tidak menggunakan vape. Hal itu dikarenakan walau tidak menghasilkan asap, uap vape berasal dari pembakaran bahan kimia. Begitupun menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan, bila cairan vape dipanaskan akan menghasilkan senyawa nitrosamine yang dapat menyebabkan kanker. Lebih lagi, dalam Undang-undang Dasar pasal 115 ayat 1 mengatakan di Indonesia ada beberapa kawasan larangan merokok, di antaranya adalah area pendidikan dan kesehatan. Bukan tanpa alasan pemerintah larangan merokok di area pendidikan. Alasan paling mendasar karena dampak negatif yang timbul untuk kesehatan lebih banyak dari pada dampak positifnya. Selain itu, asap yang dihasilkan pun dapat mengganggu orang lain. Di UIN sendiri sudah sejak lama menggencarkan larangan merokok di area kampus. Spanduk larangan pun disebar di semua fakultas. Bahkan kini di dalam spanduk, dosen dan karyawan juga termasuk bagian yang dilarang untuk merokok. Menanggapi adanya mahasiswa pengguna vape di UIN Jakarta, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Yusron Razak mengatakan, hingga saat ini belum ditentukan melarang atau membiarkan saja penggunanya. “Kami belum membahas hal ini,” ungkapnya, Rabu (9/11). Ia menambahkan, jika rokok elektrik ini memiliki dampak yang tak jauh berbeda dengan rokok tembakau, maka akan dilarang. Kriteria rokok yang dilarang yaitu yang mengganggu orang lain, baik dari segi kesehatan maupun udara. “Jelas dilarang jika menimbulkan dampak negatif bagi diri pemakai dan orang lain,” tegasnya.

Segenap Keluarga Besar LPM Institut mengucapkan

Selamat Wisuda

Abdurrohim Al Ayyubi, S.......

Maulia Nurul Hakim, S.E

Web Master LPM INSTITUT Periode 2014

Pemimpin Perusahaan LPM INSTITUT Periode 2015


Survei

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

|6

Penerapan Sistem UKT di UIN Jakarta Dengan tujuan memberikan keadilan terhadap biaya perkuliahan sesuai dengan keadaan ekonomi dan wilayah, maka dibentuklah peraturan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada tiap-tiap perguruan tinggi. Tidak terkecuali dengan Perguruan Tinggi Islam yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Aturan terkait UKT tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 289 Tahun 2016. Berdasarkan pada peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) yaitu Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 289 Tahun

2016 mengenai Penerapan Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri untuk tahun akademik 2016/2017. Sistem pembayaran UKT diterapkan sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dari masing-masing mahasiswa. Seperti yang termaktub dalam KMA, besaran yang akan dibayarkan oleh mahasiswa ditetapkan berdasarkan golongan kemampuan finansial dari tiap mahasiswa. Meski peraturan telah dikeluarkan pada 9 Juni 2016 lalu, sistem pembayaran UKT masih belum diterapkan di UIN Jakarta. Menyikapi kebijakan UKT yang belum

1. Apakah Anda tahu apa itu sistem UKT?

diterapkan, Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan Yusron Razak mengakui jika UIN Jakarta masih menerapkan sistem paket dalam pembayaran perkuliahan. Berbeda dengan UKT, pembayaran sistem paket ditetapkan sesuai dengan jurusan atau program studi (prodi) yang dipilih oleh mahasiswa. “Setiap mahasiswa dengan prodi tertentu mendapatkan besaran biaya tanpa melihat sosial-ekonomi dari mahasiswa,” katanya, Rabu (9/11). Menanggapi hal ini Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada mengatakan sistem UKT telah dilakukan sejak Kementerian Pendidikan

Tidak 25,5%

dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan nomor 55 tahun 2013 tentang Penerapan Sistem UKT pada Perguruan Tinggi Negeri,” system UKT sudah diterapkan sejak zaman Komaruddin Hidayat,” katanya Rabu (16/11). UIN Jakarta sendiri telah melakukan rapat mengenai pelaksanaan sistem tersebut. Rencananya, sistem UKT akan diterapkan di tahun ajaran 2017/2018. Diperlukan persiapan dan adanya pemantapan dalam merancang sistem pembayaran baru. “Mulai dari infrastruktur dan sosialisasinya harus benar-benar siap,” ungkap Yusron. Untuk itu

Tidak 27,5%

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut melalui Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) melakukan survei agar kinerja pelayanan kampus ini dapat dirasakan baik oleh seluruh sivitas akademika di UIN Jakarta.

*Survei dilakukan oleh Litbang Institut pada 11-19 November 2016 kepada 200 responden dari mahasiswa di seluruh fakultas yang ada di UIN Jakarta. Metode pengambilan dalam survei ini adalah propotionated stratified random sampling. Hasil ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi lembaga dan fakultas di UIN Jakarta.

3. Menurut Anda apakah sistem UKT berdampak negatif jika diterapkan di UIN Jakarta

Iya 72,5% Iya 74,5%

Iya 10%

Iya 16%

Tidak 90%

Tidak 84%

2. Apakah Anda tahu jika UIN Jakarta akan menerapkan sistem pembayaran UKT?

Desain Visual: Eko/Ins

4. Setujukah Anda jika sistem pembayaran UKT diterapkan di UIN Jakarta?

Redaksi LPM Institut Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, resensi buku, resensi film, dan cerpen. Opini, resensi, dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Cantumkan identitas anda, misal: fakultas atau pegiat organisasi tertentu. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 087885472591/085892180540 Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT edisi berikutnya.


Perjalanan

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

|7

Warna-Warni Jodipan Lia Esdwi Yani Syam Arif

kampung ini dikunjungi wisatawan tak hanya dari Kota Malang saja. Beberapa kali ada bersiliweran para tamu dari luar negeri. “Kemarin malah ada turis dari Autralia yang mampir di warung saya,” paparnya. Wisata yang terletak di Kecamatan Blimbing, Kota Malang ini tidak pernah sepi pengunjung. Akan tetapi jangan takut karena ukuran kampung yang cukup luas tidak menjadikan kampung ini padat meski banyak pengunjung. Untuk pengunjung yang membawa mobil atau motor bisa memarkirkan kendaraan di sebelah kanan Kampung Jodipan.

Salah seorang pengunjung kampung warna-warni Jodipan, Masayu Mirna Sari mengungkapkan akan ketakjuban kampung Jodipan yang dulu kumuh bisa berubah indah. Dia juga menceritakan, dirinya mengetahui pertama kali tentang Jodipan karena melihat kiriman temannya di media sosial “Walau orang Malang dulu saya tidak langsung tau kalau Jodipan sudah bagus seperti ini”, paparnya.

Berwisata ke kampung warnawarni Jodipan tidak harus mengeluarkan biaya mahal. Untuk sekali masuk, tiap pengunjung dikenakan tarif sebesar Rp2 ribu. Bayaran masuk ke Kampung Jodipan ini akan digunakan untuk perawatan dan pembangunan kampung. Tempat ini sangat disarankan bagi para wisatawan yang mencari destinasi wisata murah dengan banyak spot foto indah dan unik.

Coming Soon!!! open recruitmen lpm institut

Foto: Lia/Ins

Mumtaza, Senin (31/9). Sambil menyusuri jalan setapak, Dahlia bercerita, sebelum menjadi objek wisata, kampung Jodipan adalah salah satu kampung kumuh di Malang. Perubahan awal kampung ini diciptakan oleh delapan mahasiswa semester enam Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. Mereka mencoba mengubah kampung kumuh menjadi tempat wisata saat melakukan tugas kampus pratikum event management. Dahlia pun menambahkan, saat Kampung Jodipan masih kumuh tak semua rumah memiliki kamar mandi dan melakukan Mandi Cuci Kakus (MCK) di sekitar Sungai Brantas. Sekarang sudah ada kamar mandi umum yang bisa dipergunakan oleh semua warga secara bergantian. ”Dengan banyak wisatawan, masyarakat lebih sadar akan lingkungan dan kebersihan,” paparnya. Usai menyusuri Kampung Jodipan, pengunjung bisa beristirahat di beberapa warung milik warga. Warung- warung ini menyediakan berbagai makanan dan minuman dengan harga yang terjangkau. Salah seorang pemilik warung, Suminta mengatakan, dengan dibukanya kampung warna–warni Jodipan sebagai objek wisata ini memberikan lapangan pekerjaan kepada warga. “Apa lagi kalau hari libur, bisa sampai tidak terlayani pengunjung yang datang,” tuturnya, Senin (31/9). Selain memberikan lapangan pekerjaan baru, sambung Suminta, perubahan pada Jodipan menjadikan

Foto: Lia/Ins

Kampung warna-warni Jodipan, begitulah sebutan salah satu destinasi wisata di Kota Malang yang baru dibuka pada Juli 2016. Pemukiman warga yang terletak di pinggiran sungai Brantas ini tak pernah sepi dari pengunjung. Hal tersebut dikarenakan Jodipan menyuguhkan pemandangan kampung yang bisa dijadikan spot indah untuk berfoto. Meski tergolong tempat wisata baru, untuk sampai ke kampung warna-warni Jodipan terbilang mudah. Hanya dengan menumpangi angkutan umum Arjosari Mergosono Gadang (AMG) dan membayar ongkos Rp4 ribu pengunjung dari Terminal Arjosari atau Stasiun Malang bisa langsung turun di depan pintu masuk kampung warna-warni Jodipan. Saat pertama memasuki kawasan Jodipan, para pengunjung akan melewati gapura yang dicat warnawarni. Beberapa saat setelah melewati gapura, pengunjung bisa menikmati suasana perkampungan yang dipenuhi gang-gang sempit. Saat menjelajah kampung yang dihuni 107 kepala keluarga ini pengunjung bisa mengambil foto di rumah-rumah yang telah dicat warna-warni. Semakin lama berjalan-jalan di Kampung Jodipan, maka pengunjung tak hanya disuguhkan oleh tembok yang dicat warna-warni. Akan tetapi, juga terdapat banyak lukisan yang dibuat komunitas mural dan seniman di dinding rumah warga. “Sebanyak 30 tukang cat datang untuk mengubah wajah kampung kumuh Jodipan menjadi indah seperti sekarang,” papar salah seorang warga, Dahlia

Foto: Lia/Ins

Sukses disulap menjadi kampung warna-warni, Jodipan dipenuhi wisatawan. Tak hanya dari Indonesia, turis asing pun berdatangan.


Opini

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

|8

Kita adalah Para Penindas Oleh Rizqi Jong*

Sehari sebelum membuat tulisan ini saya membaca kembali salah satu cerpen dari salah satu sastrawan kondang negeri ini; AA Navis, judulnya “Robohnya Surau Kami”. Berkisah tentang kakek penjaga surau yang hidupnya disibukkan untuk fokus mengejar akhirat saja hingga lalai akan kewajibannya di dunia. Ia bicara tentang sebuah sindiran. Kisah tentang bagaimana sebuah hidup semestinya dijalani. Pada beberapa derajat kita menyebut sindiran sebagai perbuatan tidak menyenangkan itu sebagai peringatan. Tapi kita tahu bagaimana akhirnya. Si penjaga surau itu memutuskan bunuh diri karena tak tahan dengan sindiran. Kata-kata seringkali bisa lebih keji dari kematian itu sendiri. Ia merusak mental, menghancurkan kebanggaan dan ia membuat manusia merasa kalah tak berharga. Usaha AA Navis untuk mengkritik dengan perumpamaan kisah seorang kyai yang masuk neraka sangatlah masuk akal. Saya kira untuk Anda yang belum membaca cerpennya, segera mungkin untuk membacanya. Apa yang baru saja saya tulis di atas hanya potongannya saja. Kalau Anda tidak membacanya dengan utuh, saya khawatir Anda menuduh saya yang tidak-tidak. Pernahkah Anda dikritik? Disindir? Ya, kritik, sindiran dan sejenisnya, seringkali dimaknai sebagai bentuk hinaan atau mengandung unsur kebencian. Padahal, jika bisa sedikit saja berpikir jernih, kritik bisa diartikan sebagai usaha untuk mencintai.

Dulu atau mungkin sekarang orang menulis cerpen untuk melakukan kritik. Menyamarkan rupa cerita untuk memberikan peringatan. Dulu Ada koran Harian Rakjat sebagai koran yang kerap menghajar para tokoh melalui rubrik kebudayaan. Ada yang frontal menyebut nama ada pula yang sembunyi dengan metafora. Koran kala itu menjadi hantu yang mengerikan karena mampu membeberkan kebobrokan orang, aib diumbar, dan tentu saja koran mampu mengadili seseorang. Itu dulu, bagaimana sekarang? Bukankah media cetak banyak yang mengalami senjakala? Jawabannya ada. Namanya media sosial. Ia adalah hantu baru yang kita sebut sebagai akses langsung untuk berpendapat tanpa harus bertatap muka. Nafsu dominasi dan usaha membuat manusia lain lebih rendah melalui kata-kata nyinyir dan umpatan. Kita menemukan terma baru bullying atau penggencetan sebagai bentuk relasi agresif untuk membuat satu pihak lebih terhina dari yang lain. Seringkali bullying diawali dari guyonan, namun tak sedikit yang

memang dilahirkan dengan keinginan menyakiti. Momentum pilkada/pilpres seringkali menjadi puncak massifnya para pengguna media sosial untuk bullying, saling menghujat, nyinyir dan tak jarang berujung ke meja

hijau. Sudahlah jujur saja kadang kita menikmati perilaku ini. Ada rasa puas ketika kita melakukan penindasan pada orang yang dianggap lebih inferior dari kita. Bahwa orang yang kita tekan, tindas, dan nistakan itu memang pantas diperlakukan demikian. Masih ingat beredarnya video salah seorang kepala daerah terkait surat Al Maidah yang menjadi viral di media Sosial? Bahkan karena video itu ribuan orang rela datang ke ibu kota. Tentu saja, para predator seperti saya ini

yang aktif menggunakan media sosial seolah mendapatkan angin segar untuk melegitimasi dan panggung untuk melakukan hujatan maupun menyalurkan kebencian. Penindasan atau populer disebut cyber bullying adalah hal yang jamak ditemui. Sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita. Model seperti itu disukai banyak orang sebagai cara untuk menjatuhkan seorang karena si pelaku tidak perlu berhadapan muka dengan orang lain yang menjadi targetnya, hanya berhadapan dengan layar komputer atau layar telepon seluler dan dapat dilakukan selama 24 jam di mana saja. Kadang yang menjadi entry pointnya adalah membangun diskusi atau perdebatan yang sebenarnya tidak esensial atau melakukan penyanggahan tanpa dasar yang kuat dan menggunakan bahasa kasar dan menghina. Pada akhirnya sebuah penindasan tak akan pernah bisa diakhiri. Diredam mungkin bisa untuk beberapa hari ke depan. Media sosial sudah terlanjur menjadi panggung di mana bullying atau penindasan itu sebagai salah satu hiburannya. Mereka yang berpikir

untuk berhenti sebentar melakukan bullying karena berpikir ‘ah, itu tidak etis bagi saya’ sama saja munafik. Kita pun pada akhirnya mengakui tak ada yang bisa dilakukan kecuali menakar diri bahwa ada ruang-ruang di mana sebuah umpatan bisa dilakukan, sebuah kata tajam bisa diutarakan dan kritik pedas bisa disampaikan. Sejatinya tak pernah ada yang tahu batas etika dan moralitas di internet. UU ITE yang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meredam seringkali tak berarti apa-apa. Bagi saya, hal yang mampu membuat hidup lebih ringan dengan berhenti melakukan itu atau mengakui bahwa saya adalah satu dari sekian banyak biang kerok di media sosial. Tidak perlu menjadi seorang yang belagak sok bijak atau rendah hati. Tidak mau kalah adalah jati diri yang tidak takut saya akui. Atau meminjam bahasanya Awkarin; “Aku Penuh Dosa”. Menjadi bijak adalah usaha untuk menjadi santun dan jujur pada setiap saat. Bukan hanya satu momen tertentu atau hanya karena masyarakat menekan kita berbuat demikian. Seseorang yang sering berkata lacur tiba-tiba menjadi suci hanya karena dikritik dan takut dicap sebagai amoral. Bukan hal ini sangat menjijikan. Mari kita mengakui kalau kita adalah para penindas.

mengetahui. Lantaran kita pun belum benar-benar paham dengan hal yang telah dipelajari. Saat berlangsungnya ujian, kita segera berpacu dengan waktu untuk menghafal cepat. Namun, saat ujian telah selesai semua hal itu menjadi tidak berarti dan terlupakan. Semudah itu arti pengetahuan yang selama ini dijalankan. Kerap kali kita terjebak pada hasil yang menjadi patokan utama keberhasilan pendidikan. Tak hanya itu, Ujian Nasional (UN) hanya menjadi hal yang menakutkan, menegangkan dan membuat stress para murid, mereka merasa seperti narapidana dengan dihadiri oleh polisi, guru luar sekolah, dan bahkan sampai anggota DPRD. Sungguh miris sekali, bagaimana murid dapat mengerjakan dengan santai? Bahkan sesekali mereka berani mengeluarkan rupiah hanya demi kunci jawaban semata. Mungkin ini tuntutan zaman pula yang menganggap semua hal yang cepat menjadi baik merasuk sampai ke ruang kelas. Sehingga, kita tidak menikmati setiap proses yang dilalui. Kita lebih memerhatikan hasil yang telah dicapai. Tanpa sadar kita menjadi buta dalam mengukur pengetahuan yang telah didapatkan. Seakan dengan nilai yang bagus menjadikan kita berpuas diri dalam mereguk ilmu pengetahuan. Segala hal yang mudah dan praktis ini membuat kita tidak mendalami

makna pendidikan. Padahal makna yang diharapkan dapat membuat kesejahteraan. Akan tetapi, makna pendidikan yang selama ini dijalani masih jauh dari harapan. Tercermin dari setiap masalah, pemerintah hanya menyelesaikan masalah secara cepat. Ini imbas dari pendidikan yang membuat mental masyarakat menyelesaikan permasalahan secara praktis. Kita dapat melihat fenomena seseorang yang hanya ingin kaya, kemudian ia melakukan korupsi. Ketika masyarakat kelaparan, pemerintah memberikan sembako gratis. Fenomena itu adalah akibat dari solusi yang diajarkan di kelas, dalam memperoleh solusi yang praktis. Ini adalah petaka bagi pendidikan di Indonesia. Bila pendidikan yang telah dijalani hanya bersifat penyelesaian yang kurang memiliki solusi yang baik. Pendidikan dalam ruang kelas membuat kita makin menghayati kebermaknaan kelas sebagai ruang belajar. Menciptakan diri untuk berproses menikmati pengetahuan. Untuk itu, selayaknya kita dapat mengubah orientasi (arah) dalam memaknai pendidikan. Kelas bukan satu-satunya tempat kita memperoleh ilmu pengetahuan. Kita tidak dapat mengartikan kelas sebagai ruang peraih nilai semata.

*Peminum kopi dan penyulut kretek

Nasib Pendidikan Kini Oleh A. Humaeni Rizqi*

”Pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan kecenderungan serta potensi yang dimilikinya” (Ibnu Sina). Sekolah atau ruang kelas, mendengarkannya saja membuat kita mengingat kembali ke ruangan yang memiliki buku tebal, bangku, papan tulis dan lembar tugas serta tidak lupa tuturan dari guru. Terkadang ingatan dalam ruang kelas diwarnai dengan hal yang menakutkan dan membuat gemetar. Sebab, sepahaman kita ruang kelas seakan wujud nyata dari pendidikan. Pendidikan hanya sebatas dimaknai dengan sebuah ruangan tempat anak-anak diberi pengetahuan agar menjadi insan yang bermanfaat dalam kehidupan. Sayangnya, ada beberapa hal membuat ruangan kelas menjadi cacat fungsinya. Dikarenakan, proses yang dijalani sebatas penyampaian ilmu saja, seolah murid hanya tempat untuk menerima tanpa mengembangkan pelajaran yang telah disampaikan. Ini mengakibatkan ruangan kelas seakan menjadi pembatas seseorang dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Miris memang melihat kenyataan dalam pendidikan yang selama ini kita jalani. Tidak bisa dipungkiri, sampai hari ini kita masih merasakan adanya

pemasungan dalam pembelajaran di ruang kelas. Kita tidak akan puas dengan ilmu yang didapatkan secara luas. Bahkan, kerap kali kita menelan kekecewaan dengan proses pembelajaran yang terjadi. Untuk melepaskan segala kekesalan, kekecewaan dan membunuh rasa bosan berbagi aktivitas pun dilakukan seperti, mencoret-coret buku, mengobrol di kelas, atau bahkan sampai ke kantin. Terkadang kita pun hanya diam dalam mengikuti proses pembelajaran, seakan sudah mengerti. Padahal, kita hanya malas dan bebal ketika otak ini dihinggapi dengan pengetahuan yang disampaikan. Belajar dengan model pembelajaran active learning seakan semua, pendidik hanya sebatas menyampaikan pelajaran melalui metode ceramah, bahkan sampai ada yang meninggalkan kelas dengan memberi tugas-tugas yang membuat murid gaduh. Seakan mengiyakan, Russel Crowe dalam film Beautiful Mind menggugat mengenai pemikiran yang terjadi dalam kelas. Ia menyatakan bahwa kelas bukanlah tempat yang penting. Karena ruang kelas tidak membuatnya memiliki pemikiran yang otentik. Kita hanya dapat mengikuti setiap tuturan dari pemberi ilmu. Pemasungan ruang kelas berhubungan pula dengan kurikulum. Kurikulum hanya ajeg yang dijadikan acuan. Tanpa memperdulikan

setiap karakteristik, budaya dan keanekaragaman yang ada di Indonesia, ruang kelas tidak memiliki tempat untuk menampungnya. Pada akhirnya ruang kelas hanya dijadikan alat untuk memperoleh nilai. Ruang kelas menginginkan kita untuk terus berburu nilai, bukan berburu pengetahuan untuk diaplikasikan pada kehidupan. Pada akhirnya kita mengabaikan cara-cara

untuk meraih nilai tersebut. Tak ayal untuk mendapatkan hasil yang tinggi, mencontek menjadi cara jitu dan tradisi dalam meraih hasil. Ruang kelas yang selayaknya tempat berproses meraih pengetahuan, hanya menjadi tempat mendapatkan nilai. Hafalan menjadi kunci dasar supaya kita dapat memperoleh nilai yang tinggi. Tidak mengherankan, kalau kita menjadi generasi yang hanya

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta

“Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah.” (Abdurrahman Wahid)


Kolom Editorial

Penetapan Sistem UKT Pending Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau dikenal dengan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah sistem pembayaran kuliah yang menghapuskan uang pangkal yang semula harus dibayar di awal, kini digabung dan dibagi dalam Sumbangan Pembinaan Pendidikan per semester dengan bantuan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) memang belum diterapkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tapi, kabarnya sudah ramai diperbincangkan. Baik kabar akan diterapkan di kemudian hari, maupun kabar tak akan diterapkan sama sekali. Dalam prosesnya, pembayaran UKT disesuaikan dengan keadaan ekonomi mahasiswa seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi nomor 12 tahun 2012 pasal 1 ayat 3 bahwa BKT merupakan biaya kuliah yang ditanggung tiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. UKT menggolongkannya ke beberapa golongan. Makin tinggi golongan maka makin besar biaya kuliah yang harus dibayarkan per semesternya. Sebagai indikator utama yang menjadikan perbedaan nilai pembayaran UKT mahasiswa berdasarkan atas jurusan yang dipilih, penghasilan orangtua mahasiswa dan juga jumlah keluarga berdasarkan kartu keluarga. Sehingga dari ketiga indikator inilah mahasiswa akan ditentukan termasuk ke dalam kelompok mana dalam pembayaran UKT per semeternya. Jika melihat tujuan UKT, tentu keberadaan UKT akan menjadi kabar yang ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa karena dapat membantu perekonomian mahasiswa. Meski, di beberapa perguruan tinggi sempat terdengar kabar kurang baik tentang penerapan sistem UKT. Namun, tak perlu terlalu khawatir, itu bukan terjadi di UIN Jakarta. Jadi, alangkah lebih baiknya kita mencoba sendiri sistem UKT. Barangkali sistem UKT di UIN Jakarta dapat menjadi solusi biaya kuliah ke depan. Lagipula, dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) nomor 97/E/KU/2013 sudah jelas tertera imbauan bagi seluruh perguruan tinggi untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan UKT. Tapi, apa yang terjadi di UIN Jakarta? Setelah dua tahun surat edaran Dirjen Dikti dikeluarkan, kampus kita malah belum menetapkan sistem UKT hingga kini. Apa salahnya mencoba? Meski UIN Jakarta telah menjelaskan beberapa alasan dibalik tertundanya penetapan UKT seperti belum tepatnya waktu penetapan UKT serta masih ada beberapa infrastruktur yang harus dibenahi menjelang penetapannya, tetap saja sistem UKT perlu segera ditetapkan terlebih demi menghormati Keputusan Menteri Agama nomor 289 tahun 2016 tentang Penetapan UKT bagi Perguruan Tinggi Keagamaan tahun Akademik 2016/2017.

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

|9

Sumpah Pemuda dalam Spektrum Bahasa dan Sastra Oleh Arief D. Hasibuan* Jauh sebelum 28 Oktober 1928, Mohammad Yamin telah lebih dulu bergelut di dunia sastra. Puisinya yang berjudul Tanah Air pada tahun 1922 membuat dirinya dinobatkan sebagai perintis puisi modern Indonesia. Bahkan, karena itu pula, beberapa ahli sastra menjadikan puisi Tanah Air sebagai acuan awal mula lahirnya sastra Indonesia. Begitu pun dengan teks Sumpah Pemuda yang ditulisnya, hingga kemudian menjadi acuan lahirnya Indonesia. Mohammad Yamin dengan sadar telah memanifestasikan imajinasinya lewat teks sumpah pemuda. Sehingga lahirlah Indonesia dari spektrum sastra dan rahim puisi. Maka muncul istilah, Indonesia adalah ibu kandung puisi. Sejatinya, Sumpah Pemuda adalah puisi, yang bait demi baitnya berirama dan penuh dengan makna. Lebih dari itu, Sumpah Pemuda bukan sekedar mahakarya seorang penyair, melainkan sebuah gagasan agung yang dihasilkan pemuda dalam memimpikan masa depan keberagaman dan persatuan bangsanya. Begitulah Indonesia dilahirkan. Penuh semangat dan rasa optimisme terhadap kemerdekaan. Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu menjadi ikrar yang mesti diimplementasikan anak bangsa dalam bernegara. Ini lah yang dikatakan karakter bangsa yang sesungguhnya. Berkat nasionalisme yang tinggi, dan rasa percaya diri yang kuat, pemuda saat itu telah berhasil memainkan peran sebagai agent of change dan pemberi solusi. Lalu bagaimana dengan pemuda saat ini? Mampukah mewarisi spirit pemuda terdahulu? Mengingat saat ini yang dihadapi pemuda adalah penjajahan gaya baru, bisakah pemuda menjadi solusi? Atau jangan-jangan pemuda sudah menjadi tua saat mudanya? Pemuda adalah sumber kekuatan dan jalan keluar dari suatu permasalahan. Pemuda memiliki potensi yang dapat menciptakan keadaan menjadi lebih baik. Tidak bisa dipungkiri jika masa depan bangsa ada pada pemuda. Generasi muda merupakan rahasia kekuatan suatu umat, tiangnya kebangkitan, kebanggaan dan kemuliaan. Maka entah bagaimana jadinya Indonesia kedepan, kalau pemuda hari ini kalah dalam kompetisi zaman. Fadli Zon dalam catatan kebudayaan di Horison menuliskan, di tengah arus globalisasi neoliberal ini, Indonesia menjadi mata rantai terlemah. Bukan tak mungkin dalam jangka panjang, manusia Indonesia bisa menjadi sampah globalisasi, tersingkir dari percaturan dunia yang

Bang Peka

kini bergerak maju cepat sekali. Sementara, kita masih menjadi bangsa yang dilingkupi wacana dan penuh kebingungan menentukan arah melangkah. Jika kita cermati, tantangan pemuda saat ini tidak lain adalah daya saing. Jika pemuda tidak memiliki kompetensi yang unggul dibandingkan pemuda lainnya, maka siap-siap digilas dalam kompetisi keterbukaan ini. Maka, meningkatan kompetensi daya saing di era globalisasi ini penting sekali. Namun tidak kalah pentingnya juga menjaga identitas dan jati diri bangsa Indonesia dari ancaman penjajahan gaya baru. Setidaknya cerminan karakteristik genetika budaya pemuda, selain pada keberagaman atau toleransi, juga ada pada identitas dan jati diri bangsa, yakni berbahasa Indonesia. Inilah yang disebut dengan watak keindonesiaan pemuda yang sesungguhnya.

Kondisi Bahasa Menariknya, peringatan hari Sumpah Pemuda menjadi keistimewaan sendiri bagi bahasa dan sastra Indonesia. Betapa tidak, bulan Oktober, di mana sumpah pemuda dicetuskan, menjadi peringatan esensial yang kemudian disebut Bulan Bahasa. Tentu hal ini tidak tanpa alasan, eksistensi bahasa dan sastra Indonesia sebagai identitas suatu bangsa harus diresapi dan diperjuangkan sebagai bahasa pemersatu dan bahasa nasional. Bukan kemudian disalahgunakan bahkan diintervensi oleh pihak asing. Penulis merangkum peran bahasa Indonesia yang tertuang di dalam UU no 24 tahun 2009 menjadi dua bagian. Bagian pertama, kewajiban berbahasa Indonesia secara universal, dan bagian kedua, kewajiban pemerintah terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Memang, aturan-aturan yang tertuang dalam undang-undang cukup jelas dan komprehensif. Sangat baik dalam rangka menjaga eksistensi dan marwah bahasa Indonesia. Namun, pelaksanaan aturan tersebut bak panggang jauh dari api. Terlebih sikap pemerintah yang ambivalen. Ambivalensi pemerintah terhadap bahasa Indonesia secara sistematik menguatkan dugaan bahwa pemerintah telah mendiskreditkan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Dengan kata lain, pemerintah telah mencederai identitas nasional. Terbukti. Pemerintah memutuskan undangundang yang merugikan jati diri bangsa, bahasa Indonesia. Begitu sadarnya, pemerintah melakukan penghapusan wajib berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dalam Permenaker no 16 tahun 2015

tentang Persyaratan Tenaga Kerja Asing yang menggantikan Permenakertrans no 12 tahun 2013. Ironis sekali, padahal kewajiban ini menyangkut kedaulatan berbahasa Indonesia. Bukankah, bahasa adalah media politik, siapa yang menguasainya akan mampu menguasai dunia. Sayangnya pemerintah tidak memahami ini. Selain itu, tidak adanya larangan dan ancaman pidana dalam UU No 24 tahun 2009 yang menyoroti kewajiban penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini hemat penulis, yang mengakibatkan bahasa Indonesia di pandang sebelah mata, bahkan hina. Bukan tidak mungkin, kedepan bahasa Indonesia tidak lagi diajarkan di negeri sendiri karena pemerintah dan masyarakatnya terlalu menyembah kepada bahasa asing. Padahal, bahasa Indonesia sangat berpotensi menjadi bahasa internasional. Kemudian yang terakhir, ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan bahasa dan aturan penggunaan bahasa, seperti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang tertuang dalam Permendiknas no 46 tahun 2009 tidak berlaku lagi, dan digantikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) sebagaimana tertuang pada Permendikbud no 50 tahun 2015, hal ini hemat penulis belum tersosialisasikan dengan baik. Akhirnya, Indonesia membutuhkan generasi muda yang mewarisi semangat dan optimisme pemuda yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Indonesia butuh generasi yang menjunjung marwah identitas bangsanya dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kita menyadari, roda sejarah Indonesia, tidak lepas dari peran pemuda, maka pemuda harus menjadi kontrol sosial bangsa. Pemuda tidak boleh jauh dari realitas sosial dan kondisi masyarakat. Pemuda harus bersama masyarakat untuk terus mengupdate nalar kemanusiaan. Tentu, kita semua berharap momentum Sumpah Pemuda menjadi alarm pengingat pemerintah bahwa masih ada yang bisa diharapkan untuk masa depan bangsa ini, siapa lagi kalau bukan pemuda. Sebagai agent of change dan solusi permasalahan bangsa, pemuda sudah saatnya hadir sebagai pemecah kebuntuan. Bahkan lebih dari itu, pemuda hadir, bukan sebagai pengkeruh melainkan penjernih. Bukan sebagai penyulut melainkan peredam segala kegelisahan dan permasalahan bangsa. *Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN Jakarta


Tustel

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

| 10

Di Balik Aksi 4 November Foto: Ibnu Muhammad (KMF Kalacitra) Teks: Yayang Zulkarnaen (LPM Institut) 27 September lalu Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Ketika bertemu masyarakat setempat, Ahok tidak memaksa untuk memilihnya pada Pilkada 2017. Pada saat yang bersamaan, Ahok ini menyebut surat Al Maidah ayat 51 sebagai surat yang membohongi umat Islam. Potongan video pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama akhirnya tersebar di facebook melalui akun Buni Yani. Pernyataan tersebut mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Mereka melabeli Ahok sebagai penista agama. Kemudian sebagian organisasi masyarakat (ormas) Islam berdemonstrasi di depan Balai Kota Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada 14 Oktober. Ormas Islam menuntut supaya Ahok segera diproses secara hukum. Merasa tak mendapat respons, sebagian besar umat Islam berencana melakukan unjuk rasa dengan jumlah masa yang lebih besar.Berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah pun ikut terjun untuk mengikuti unjuk rasa bela Alquran ini. Pada waktunya, 4 November aksi damai yang diikuti lebih dari 200.000 orang terjadi secara tertib dimulai dengan salat Jumat bersama di Masjid Istiqlal. Setelah itu demonstran melanjutkan perjalanan ke Istana menemui presiden untuk menyapaikan keluh-kesah mereka. Sayangnya, yang menemui perwakilan demonstran adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam pertemuan tersebut Jusuf Kalla berjanji untuk segera memproses kasus yang menjerat Ahok.

Doa Bersama

Berwudu

Sujud

Menginstruksi Tenang

Bawa Anak

Orasi di Mobil

Salat di Jalan Raya


Wawancara

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

| 11

Polemik Pemangkasan Anggaran

Sumber foto: netralnews.com

Kebijakan pemotongan anggaran menuai berbagai polemik dalam pelaksanaannya. UIN Jakarta menjadi salah satu lembaga yang terkena imbas dari kebijakan tersebut. 12 Mei lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penghematan dan Pemotongan Belanja di lembaga/kementrian negara. Inpres itu bertujuan untuk mengendalikan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dan diserahkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dalam pelaksanaannya, Inpres itu menuai berbagai polemik. Beberapa kementerian terpaksa harus memotong anggaran. Kementerian Agama (Kemenag) adalah salah satu instansi yang melaksanakan instruksi tersebut. Dalam pemotongan anggaran, khususnya di bidang pendidikan, Kemenag sendiri mendapat jatah pemotongan sebanyak Rp1,3 triliun. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri berstatus sebagai Perguruan Tinggi di bawah Kemenag. Kebijakan Inpres turut berimbas pada kondisi keuangan di UIN Jakarta. Amsal Bakhtiar selaku Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kemenag angkat bicara terkait pemotongan anggaran di beberapa lembaga negara. Berikut hasil wawancara reporter Institut Dicky Prastya dengan Amsal, Kamis (17/11).

Apa alasan pemotongan APBN? Kebijakan ini bermula dari Inpres Nomor 4 Tahun 2016. Menurut saya, Presiden mengeluarkan kebijakan ini karena kondisi ekonomi negara saat ini sedang lemah. Di

KILAS

Inpres itu tertulis kalau Presiden menginstruksikan Kemenkeu untuk melaksanakan Inpres ini. Sebagai pelaksana, mau tak mau Kemenag wajib melakukan kebijakan tersebut. Dalam kebijakan ini, berapa dana yang diserahkan oleh Kemenag pada Kemenkeu? Di Inpres sendiri sudah tertulis rincian dana Kemenag yang harus dipotong. Kalau tidak salah, kami mendapat pemotongan anggaran kurang lebih s e b e s a r Rp1,3 triliun. Pemotongan i t u kebanya k an berasal dari anggaran pendidikan Kemenag.

K a p a n tenggat waktu p e n y e r a h a n anggaran Kemenag yang diberikan ke Kemenkeu? Kalau tidak salah, penyerahan kembali anggaran Kemenag pada Kemenkeu dilakukan sekitar satu setengah bulan. Lebih tepatnya, antara bulan September atau Oktober.

Dana apa saja yang dipangkas oleh Kemenag untuk Perguruan

KILAS

Tinggi Agama Islam (PTAI)? Kalau di Inpres sendiri tertulis bahwa pemotongan anggaran dilakukan terhadap belanja dinas, rapat/pertemuan internal,

honorarium kegiatan, operasional perkantoran, langganan daya dan jasa, pembangunan gedung, pengadaan kendaraan dinas operasional, dan beberapa kegiatan tidak mendesak. Sebab, program

KILAS

Empat Fakultas Tak Memilki Cadangan Listrik

Pemadaman listrik pada 2 November 2016 lalu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyebabkan genset yang digunakan sebagai cadangan listrik di Gedung Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) meledak. Menurut pengakuan Kepala Bagian (Kabag) Umum Suhendro Tri Anggono, kejadian itu disebabkan genset tak kuat menampung daya listrik, Selasa (8/11). Sebab, genset yang ditempatkan di gedung FAH menampung empat fakultas, yakni FAH, Fakultas Syariah dan Hukum, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Sementara itu, Koordinator Teknis Asep Sodikin menjelaskan, genset itu sebelumnya sudah diperiksa dan kondisinya dalam keadaan aman. Pihaknya, lanjut Asep, selalu menjadwalkan perbaikan fasilitas di UIN Jakarta, termasuk genset yang diperiksa tiap dua minggu sekali. “Karena genset rusak, otomatis empat fakultas tadi tak memiliki cadangan listrik untuk sementara waktu,” katanya, Selasa (8/11). Sampai saat ini, genset masih belum diperbaiki dikarenakan UIN Jakarta tak memiliki anggaran. Suhendro mengaku, dana perawatan gedung sudah habis disebabkan adanya pemotongan anggaran. Saat ini, ia berupaya untuk mengajukan proposal ke rektorat untuk menggunakan dana cadangan dari Badan Layanan Umum (BLU). Suhendro juga tengah bernegoisasi ke pihak vendor agar genset kembali berfungsi. “Bisa dibilang kita mau utang dulu, yang penting gensetnya cepat diperbaiki,” ungkap Suhendro. (Dicky Prastya)

seperti itu masih bisa dilanjutkan ke tahun berikutnya.

Akibat kebijakan ini, UIN Jakarta sendiri mau tak mau memotong dana-dana produktif, semacam workshop, penelitian, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya. Tak hanya itu, dana pegawai tidak tetap dan uang makan pegawai juga kena imbas dari pemotongan anggaran tersebut. B a g a i m a n a tanggapan anda? Te r g a n t u n g seberapa besar dana yang dianggarkan untuk kegiatan di UIN Jakarta. Berkaca pada tahun lalu, gaji pegawai serta dana kegiatan mahasiswa di UIN Jakarta kan banyak sisanya. Terlebih, dua bulan ke depan masing-masing lembaga akan melaksanakan tutup buku. Jadi, dana-dana seperti itu bisa diprediksi berapa besar jumlah yang belum terpakai. Kalau jatah gaji pegawai ataupun dana kegiatan masih banyak, ya tidak masalah dipotong. Jika dana masih belum cukup, UIN Jakarta kan bisa menggunakan dana dari Badan Layanan Umum (BLU). Sehingga tak masalah sebenarnya, terlebih UIN memiliki dana besar.

KILAS

KILAS

Pakai saja dana dari BLU. Kebijakan pemotongan anggaran sebenarnya kami serahkan kepada satuan kerja (satker) masing-masing. Kemenag sendiri membawahi sekitar 4000 satker. Kita tak hanya mengurus PTAI, tapi masih ada juga lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtidaiah, Madrasah Diniyah, dan Madrasah Aliyah. Oleh karena itu, UIN Jakarta berhak memilih dana apa saja yang boleh dipotong. Kemenag sendiri tidak menetapkan dana apa saja yang boleh dipangkas. Kondisi Kemenag juga hampir sama dengan UIN Jakarta, kegiatan semacam seminar dan workshop juga kena imbas karena pemotongan anggaran. Itukan kebijakan negara, jadi mau tak mau kita harus mengikuti. Hormati sajalah.

Apakah ada sanksi apabila kebijakan ini tak dilakukan tepat waktu ataupun tak sesuai dengan besaran potongan anggaran yang sudah ditentukan? Ada. Inpres ini kan menuliskan Kemenkeu sebagai posisi sentral. Seluruh mekanisme pemotongan anggaran dilakukan oleh Kemenkeu. Jika ada yang melanggar, Kemenkeu bisa memblokir dana dari lembaga tersebut. Misalnya, Kemenag mendapat jatah pemotongan dana sebesar Rp1,3 triliun, Kemenkeu tetap menarik kembali dana tersebut. Entah itu dana produktif ataupun tidak, Kemenkeu tak mau tahu. Yang jelas, Kemenkeu mendapat dana Rp1,3 triliun dari Kemenag.

KILAS

UIN Jakarta Tiadakan Program Matrikulasi

Program matrikulasi yang merupakan program rutin per semester Pusat Pengembangan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada semester ini ditiadakan. Matrikulasi biasanya diadakan untuk mahasiswa semester satu dan tiga yang nilai Test of English Foreign Language (TOEFL) dan Test of Arabic Foreign Language (TOAFL)-nya kurang. Staf Administrasi Pusat Pengembangan Bahasa Taufan mengungkapkan, peniadaan program matrikulasi karena proposal pengadaan matrikulasi tidak disetujui oleh Wakil Rektor I Bidang Akademik Fadillah Suralaga. Taufan beranggapan tidak disetujuinya proposal pengadaan matrikulasi karena tidak ada dana untuk penyelenggaraan program tersebut. Terlebih selama ini program matrikulasi belum mendapat tanggapan yang antusias dari mahasiswa. “Mungkin karena matrikulasi bukan program yang wajib diikuti, jadi mahasiswa merasa tidak menganggap penting program itu,” ujarnya, Jumat (11/11). (Jannah Arijah)

Tambahkan akun resmi line kami @xbr4277p

WWW.LPMINSTITUT.COM UPDATE TERUS BERITA KAMPUS


Resensi

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Menguak Dalil Pelaku Pembantaian ‘65

| 12

Dicky Prastya Pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S), pembantaian massal simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) muncul dalam sejarah Indonesia. Pengakuan para algojo memperkuat adanya tragedi tersebut.

Sumber: dimassuryo.wordpress.com

Salah satu pemusnahan massal simpatisan PKI terjadi di Kediri, Jawa Timur. Awal Oktober 1965, penghuni Pondok Pesantren Lirboyo mendadak gaduh karena basis PKI akan

menyerang Kediri. Menurut kesaksian Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kiai Idris Marzuki, laporan ini didapat dari seorang Komando Daerah Militer (Kodam) Kediri kepada Kiai Makhrus Aly, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo saat itu. Ini diperkuat dengan penemuan lubanglubang yang diduga berfungsi sebagai tempat pembuangan mayat para santri dan kiai. K i a i Makhrus lantas menginstruksikan para santri untuk bersiaga. Ia memberi pelatihan silat dan penerapan ilmu kebal untuk menghadapi PKI. Bersama tentara, mereka sudah siap untuk melakukan o p e r a s i penumpasan PKI. Militer sendiri memosisikan santri sebagai algojo di garis depan. Pembunuhan

massal di Kediri juga melibatkan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser), organisasi yang berada di bawah naungan Nahdatul Ulama (NU). Keduanya mendapat instruksi setelah para petinggi NU melaksanakan apel siaga yang membahas diskriminasi PKI terhadap umat muslim. Atas dasar itu, mereka bergerak untuk mengeksekusi simpatisan PKI. Pembantaian itu dilakukan saat malam hari dan mayatnya langsung dibuang ke Sungai Brantas. Paginya, sungai itu menjadi kuburan terapung yang berisi mayat manusia. Peristiwa G30S juga terdengar hingga masyarakat Bali. Namun saat itu situasi di Bali masih cenderung stabil. Gubernur Bali saat itu, Anak Agung Bagus Sutedja menjadi faktor utama. Kalangan militer di Bali juga tak menggubris desakan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Muhammadiyah untuk mengganyang PKI. Pembantaian massal di Bali baru terjadi saat 30 November 1965. Awal mulanya, seorang tentara dan dua anggota Banser mengintai rapat gelap pengurus PKI di Tegalbadeng. Santun, seorang polisi yang bertugas menjaga rapat, memergoki ketiganya. Para pengintai itu kemudian tewas setelah ia tembak di tempat. Insiden itu menyebar ke seluruh Bali. Komando Distrik Militer (Kodim) Bali memerintahkan Ketua PNI untuk membentuk pasukan inti yang dinamai Tameng. Menurut Mantan Sekretaris PNI yang juga bergabung

Selewengkan Jabatan Demi Tutupi Kesalahan

dalam Tameng, I Ketut Gusti Mantram, mereka ditugaskan membersihkan basis PKI berdasarkan daftar nama dari Kodim. Selama tiga bulan, pasukan itu membantai dengan cara menebas leher dan menusuk dada orang-orang PKI dan dikubur di pesisir pantai. Lain halnya di Jawa Barat (Jabar), pembunuhan massal terhadap PKI tak terjadi di sana. Perintah itu datang dari Mayor Jendral Ibrahim Adjie. Kepada Peneliti Sejarah Indonesia Benedict Anderson, ia mengaku untuk menyerukan kepada bawahannya agar tak membunuh dan memilih mengamankan mereka yang berkecimpung di PKI. Laporan di atas merupakan hasil liputan Tempo dalam majalahnya bertema Pengakuan Algojo 1965 edisi 1-7 Oktober 2012. Dalam tulisannya, Tempo berhasil memuat pembunuhan massa PKI berdasarkan sudut pandang dari pelaku pembantaian. Majalah itu kemudian dibukukan dengan judul Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965. Tulisan Tempo terinspirasi dari Film The Act of Killing (Jagal) karya Joshua Oppenheimer. Pengakuan Algojo PKI di Medan Anwar Congo membuat Tempo terperangah untuk menerbitkan edisi ini. Dalam kesaksiannya, Anwar melakukan penangkapan, penculikan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan, serta pembuangan mayat anggota PKI. Anwar yang saat itu bekerja sebagai preman bioskop ini merasa terusik dengan gerak-gerik PKI. Ini terjadi lantaran film yang diputar Anwar

adalah film-film Amerika. Massa PKI berusaha memboikot film-film yang menjadi mata pencaharian Anwar. Merasa terusik, ia bersama preman bioskop lain menghabisi orang-orang tersebut. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat peristiwa kelam yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Dari sini, pembaca bisa melihat bagaimana emosional pelaku pembunuhan dengan dukungan dari penguasa. Tempo menyajikan awal-mula kebencian para algojo terhadap simpatisan PKI, mulai dari perintah atasan sampai dendam pribadi. Tak hanya pengakuan dari pelaku, buku ini juga menjelaskan bagaimana pengakuan dari korban pelaku kejahatan 1965. Mereka yang disiksa, dipukul, bahkan dilecehkan di dalam tahanan merasa tak tahu alasan mengapa mereka ditangkap. Secara tidak langsung, pelaku merasa tidak diperlakukan adil di mata hukum. Bagaimanapun juga, sejarah harus tetap diungkap. Lebih baik mengingat ketimbang melupakan. Meminjam kata Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri. Generasi saat ini harus melek terhadap sejarah, walau kejadian kelam sekalipun. Judul: Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965 Penulis: Kurniawan et al. Halaman: VIII+178 halaman Penerbit: Tempo Publishing Tahun: 2013

Yayang Zulkarnaen

Pembangunan Geukdong oleh perusahaan kontraktor dianggap merusak lingkungan serta menimbulkan keresahan masyarakat sekitar hingga berujung pada unjuk rasa. Aksi yang awalnya berjalan tertib tiba-tiba menjadi anarkis ketika preman bayaran mulai memukuli polisi. Preman yang dibayar Woo Jong Gil (Sung Min) tersebut bertugas membuat pandangan publik negatif terhadap aksi unjuk rasa. Para preman sebagian besar berhasil melarikan diri namun salah satu preman bernama Lee Jin Seok (Jong Hwan) berhasil tertangkap polisi. Saat polisi mengintrogasi, Jin Seok tidak memberikan keterangan sama sekali hingga polisi menyerah. Akhirnya seorang jaksa bernama Jae Wook (Hwang Jung Min) turun tangan. Ia mengintrogasi Jin Seok dengan cara kekerasan seperti ditampar. Dari introgasi, Jae Wook akhirnya menemukan bukti jika Jin Seok adalah preman bayaran yang menyamar jadi demonstran. Jae Wook ikut menyerah karena Jin Seok bersi keras tidak memberitahukan siapa bosnya. Selang beberapa lama, secara diam-diam Jong Gil masuk ke ruang introgasi lalu mengambil inhaler—alat bantu napas untuk pengidap penyakit asma—Jin Seok dan menyebabkan penyakit asmanya

kambuh hingga berujung pada kematian. Jong Gil kemudian menjadikan Jae Wook sebagai kambing hitam atas pembunuhan yang ia lakukan. Jae Wook dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab atas kematian Jin Seok karena mengintrogasi dengan kekerasan. Jae Wook merasa heran dengan kematian Jin Seok karena tindakannya saat introgasi tidak mungkin mengakibatkan kematian. Rencana Jong Gil akhirnya berhasil menjebloskan Jae Wook ke sel tahanan. Kala itu, Jong Gil mendatangi dan menawarkan Jae Wook agar bisa lepas dari jerat hukuman dengan menyarankan Jae Wook mengakui melakukan kekerasan ketika mengintrogasi. Sayangnya, bukannya bebas, pengakuan Jae Wook membuatnya dipecat sebagai jaksa dan divonis hukuman 15 tahun penjara. Lagi-lagi Jae Wook ditipu untuk menutupi kesalahan yang dilakukan Jong Gil. Selang lima tahun di tahanan, preman bayaran dalam aksi di Geukdong, Chi Won Lee (Gang Dong Woon) masuk ke sel yang sama dengan Jae Wook karena kasus tuduhan penipuan. Tanpa pikir panjang Jae Wook pun menawarkan Chi Won untuk bebas dengan syarat mau mencari bukti kematian Jin Seok

setelah bebas. Chi Won pun setuju. Dengan bantuan Jae Wook akhirnya Chi Won pun dapat terbebas dari penjara. Untuk balas budi, Chi Won mulai mencari bukti untuk melepaskan Jae Sook dari hukuman. Setelah melakukan penelusuran, Chi Won tahu keadaan fisik Jin Soek meninggal karena alat bantu napasnya diambil Jong Gil. Terlebih lagi Jong Gil punya hubungan dengan perusahaan pengembang di Geukdong. Jong Gil menyewa preman-preman bayaran bertujuan membuat rusuh dalam aksi penolakan pembangunan di Geukdong yang juga diminta perusahaan pengembang. Sebagai imbalannya perusahaan akan membiayai kampanyenya di Pohang, Gyeongsang Utara. Sementara itu, Chi Won mendapatkan saksi mata dan barang bukti untuk diajukan dalam banding Jae Wook. Bukti yang digunakan Chi Won merupakan rekaman percakapan di mana Jong Gil menyuruh anak buahnya untuk membuang inhaler Jin Seok di Sungai Han. Di saat semua bukti terkumpul, sidang banding pun berjalan lancar. Rekaman percakapan Jong Gil dan anak buahnya. Akhirnya film berdurasi 126 menit ini ditutup

dengan putusan hakim yang menyatakan Jong Gil bersalah karena telah m e l a k u k a n pembunuhan berencana. Film yang bergenre kriminal dan komedi ini menggambarkan s e o r a n g pejabat yang memanipulasi dan memanfaatkan jabatan demi kepentingannya. Untuk mencapai tujuannya, Jong Gil menggunakan segala cara meski harus mengorbankan orang lain untuk menutupi keburukannya. Padahal layaknya jaksa, harusnya Jong Gil bisa bersikap adil dalam menjalankan hukum.

Sumber: hancinema.net

Demi mencapai tujuan, Jong Gil selewengkan jabatan. Menyewa preman untuk membuat kerusuhan hingga membunuh ia lakukan.

Dalam film ini, Lee II-Hyeong selaku penulis naskah sekaligus sutradara mampu menunjukkan kesan hukum begitu mudah dimanipulasi. Orang yang menjadi praktisi hukum dan memiliki uang akan kebal hukum. Bagai mata pisau, hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

rosecutor Judul: A Violent P medy Genre: Crime, Co it Durasi: 126 men Tahun: 2016


Sosok

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Ukir Prestasi Lewat Fisika Zainuddin Lubis Kecintaan Dwi Nanto terhadap Fisika membuatnya aktif mengikuti pelbagai lomba karya ilmiah. Kini, ia termasuk dosen peneliti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta paling produktif di Scopus.

Sumber Foto: Dwi Nanto

Fisika telah menjadi bagian dari hidupnya. Ketertarikan pada Fisika telah mendarah daging sejak di Sekolah Dasar. Ibunya seorang guru Pegawai Negeri Sipil sangat berperan memotivasinya menjadi dosen dan ilmuwan. Untuk mewujudkan keinginan itu, orang tuanya pun menanamkan hobi membaca dan melatih kepekaan terhadap sekitar. Bermula dari kegemaran pada Fisika, Dwi Nanto kemudian mengikuti berbagai perlombaan ilmiah dalam bidang sains. Dwi

mulai mengikuti perlombaan ilmiah sejak kelas dua di Sekolah Menengah Pertama 79 Jakarta. Kompetisi perdana, ia ikuti di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Saat itu dua kelompok diutus mewakili SMP 79 untuk mengikuti perlombaan. Dwi—sapaan akrabnya— merupakan salah satu dari siswa yang diutus. Ia dan teman-temannya mempunyai konsep tentang energi listrik yang diperoleh dari energi gerak melalui

hembusan angin. Kaleng Londo yang

dipasang kaleng bambu disekelilingnya menjadi bahannya. Menurut Dwi tenaga anginlah yang akan menghantarkan energi listrik. “Ide saya waktu itu masih cupu. “ kenangnya sembari tertawa pada Kamis (10/11). Minatnya terhadap Fisika semakin menggebu-gebu tatkala ia duduk di Sekolah Menengah Atas 5 Jakarta. Perkenalan dengan Badrin seorang guru muda dan inspiratif makin memotivasinya untuk mempelajari Fisika. Demi mengasah pemahamannya terhadap Fisika juga ia pun mengikuti bimbingan belajar Nurul Fikri, Jakarta. Ia rela menyisihkan separuh uang jajannya demi membiayai keperluannya saat les. ”Keluarga tak ada yang tahu saya ikut bimbingan,” ucapnya. Pengorbanannya selama satu tahun mengikuti bimbingan belajar membuahkan hasil. Kala itu, ia memilih Jurusan Teknik Elektro di Institut Teknologi Bandung dan Jurusan Fisika di Universitas Indonesia saat mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dwi menilai lingkungan kedua kampus itu mampu mendukungnya untuk menjadi dosen dan peneliti di Bidang Fisika. Pada tahun 1998 ia diterima menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia (UI), Depok. Setelah masuk dunia kampus, ia lebih aktif menulis dan meneliti. Terbukti sebanyak tiga kali ia bersama temantemannya berhasil masuk nominasi pada Lomba Karya Ilmiah Pusat (LKIP) yang diadakan oleh Pendidikan Tinggi

Foto: Angga Widya Putra

Sisi Lain Bus

Anggota Bismania Community Korda Sumatera melakukan kunjungan ke pul bus PO Jatra pada pertengahan tahun 2015. Komunitas Bismania Community menyerukan kampanye “Ayo Naik Bus” kepada masyarakat Indonesia agar mengurangi kepadatan jalan raya.

Eli Murtiana Berangkat dari hobi bepergian dengan bus membuat beberapa orang membentuk Bismania Community. Menurut mereka, penggunaan bus dapat mengurangi kepadatan jalan raya yang disebabkan banyaknya

Bus bukan hanya sekadar alat transportasi. Bismania Community mengulas hal menarik akan bus. kendaraan pribadi. Nyatanya, bus memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian orang. “Intinya, menjadi wadah untuk bertukar informasi tentang dunia bus di Indonesia,” ujar Ketua Badan Koordinasi Daerah

(bakorda) Jawa Barat, Andry Zaenal, Kamis (10/11). Dalam perjalanannya, Bismania Community mengkampanyekan “Ayo Naik Bus” kepada masyarakat Indonesia untuk beralih ke bus

| 13

(Dikti)—sekarang Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek Dikti). Pada tahun 1999, Dwi bersama keempat temannya berhasil memenangkan LKIP yang pertama kali. Dwi bercerita pada awalnya mereka berkeinginan untuk menolong masyarakat Kepulauan Seribu yang kesulitan mendapatkan air tawar. Namun, keinginan itu tak terealisasi lantaran tak ada dana. “Kita mentok di dana” tandasnya. Suatu hari Dwi melihat pengumuman di majalah dinding fakultas bahwa Kemenristek Dikti mengadakan LKIP. Proposal penelitian mereka yang berjudul Reflektor Sinar Matahari Terkontrol Untuk Proses Desalinisasi Air Laut ditujukan ke Kemenristek Dikti demi membantu Kepulauan Seribu. Tak disangka proposal itu diterima dan ia berhak ikut pekan ilmiah mahasiswa di Makasar. “Itu pertama kali saya ke Indonesia Timur. Saya naik kapal laut,”ujarnya. Tak puas diri, pada tahun 2000 dan 2001 ia kembali mengikuti perlombaan LKIP. Penelitian berjudul Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut dan Penghapus Mekanik Papan Tulis Kapur Anti Debu ia kembali tujukan ke Kemenristek Dikti. Kesuksesan pertama kembali terulang, proposal yang ia dan teman-temannya kirimkan kembali dipilih Kemenristek Dikti. Kemudian, penelitian itu membuat mereka mewakili UI untuk bertanding di kancah nasional berkompetisi dengan perguruan Tinggi lain. Puncak prestasi Dwi Nanto terjadi pada tahun 2003 silam. Saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) ia mendengar kabar, Kemenristek Dikti mengadakan Lomba Karya Tulis Ilmiah

tingkat nasional. Ia dan teman-teman kelompok KKN-nya yang tergabung dalam lintas fakultas sepakat untuk mengikuti perlombaan itu. Karya tulis mereka berjudul Komik Sebagai Media Pembelajaran mampu menembus lima besar. “Setelah itu saya didaulat sebagai mahasiswa berprestasi tahun 2003,” ujarnya. Pria lulusan Doktor Chonbuk National University (CNU), Korea Selatan itu, saat ini menjabat sebagai Kepala Program Studi Ilmu Fisika dan Peneliti di UIN Jakarta. Berbagai artikel dan paper penelitian tentang sains telah dimuat di jurnal nasional dan internasional. Hingga 2016 ini, penelitiannya yang terindeks Scopus berjumlah 17 penelitian. Itu menobatkannya sebagai dosen UIN Jakarta yang memiliki hasil penelitian paling banyak di Scopus.” Saat ini ada lima (penelitian saya) lagi yang on going. Mohon doanya,” ujarnya sembari senyum. Sadar akan perlunya peneletian, Dwi Nanto pun ingin mahasiswanya mengikuti jejaknya sebagai peneliti. Pengalamannya dibimbing oleh Profesor Yu, seorang profesor peneliti melatar belakangi niatnya untuk membimbing mahasiswa. “Penelitian itu penting bagi perguruan tinggi,” tutupnya.

dan mensosialisasikan “Jalan Raya Milik Bersama” bagi para awak bus. Di mana jalanan bukan hanya milik pengendara bus melainkan milik semua pengguna dan diharapkan harus berhati-hati dalam berkendara. Komunitas Bismania juga aktif mengikuti event otomotif yang identik dengan bus. Selain beranggotakan penggemar bus, Bismania Community juga berisi para pengguna bus dan pengamat transportasi. Berdiri sejak 8 Maret 2008, para penggemar bus mendirikan komunitas ini di Kutoarjo, Jawa Tengah. Hingga sekarang, komunitas ini telah merambah sejumlah pulau di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sumatera. Kini, komunitas yang telah tercatat sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini telah memiliki anggota resmi lebih kurang 1500 orang yang tersebar di berbagai wilayah. Ditambah dengan struktur organisasi yang lengkap di tujuh bakorda antara lain Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, serta Bali dan Nusa Tenggara dalam satu bakorda. Komunitas Bismania memiliki kegiatan rutin seperti kopi darat (kopdar) setiap bulannya dan safety hunting. Kegiatan ini yaitu cara pengambilan gambar dengan objek bus yang sedang berhenti, perval atau menginap, dan berjalan. Agar aktivitas tersebut tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan pengguna jalan lain. Kegiatan lainnya, kunjungan ke Perusahaan Otobus (PO) bus untuk menanyakan

seputar informasi seperti otomotif bus chassis, karoseri. Akan tetapi, kegiatan komunitas ini tidak melulu serba bus, melainkan kegiatan sosial. Belum lama, komunitas Bismania melakukan acara bakti sosial untuk korban banjir di Garut dan korban erupsi Gunung Sinabung. Lalu tiap tahunnya, semua anggota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia berkumpul dalam acara Jambore Nasional. Komunitas ini bukan hanya menambah kecintaan akan bus, tapi juga mengetahui info lain tentang bus-bus yang ada di Indonesia. Bagi masyarakat yang tertarik dengan bus dan ingin bergabung dengan komunitas Bismania, cukup datang kopdar bulanan di berbagai daerah sesuai domisili calon anggota. Selanjutnya akan dijelaskan tentang peraturan dan tata tertib komunitas ini, selain itu tidak dipungut biaya sepeser pun. Selanjutnya bagi masyarakat yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut bisa mengunjungi media sosial komunitas Bismania. Mulai dari web www.bismania.org, Facebook, Twitter dan Line, Bismania Community. Salah satu anggota Bismania Community Koordinator Wilayah Jambi, Angga Widya Putra menerangkan kesan tersendiri tergabung dalam Bismania Community. Selain senang akan bertemu dengan teman dari berbagai korda sekaligus menjadi keluarga. “Bukan sekadar teman tapi sudah seperti keluarga,” terangnya via WhatsApp, Jumat (11/11).

Nama: Dwi Nanto TTL: Jakarta, 19 Maret 1979 Pekerjaan: Dosen Pendidikan: S1: Fisika UI S2: Fisika UI S3: Chonbuk National University, Korea Selatan

Komunitas


Sastra Cerpen

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Mile

Puisi

Oleh Aliffaiz Achmad Iman* Pukul setengah sepuluh malam, jalanan kota Bandung terdengar begitu sepi dari kamar kos ku yang tidak jauh dari jalanan utama kota. Dengan kondisi kebugaranku yang tidak begitu baik dan butuh perawatan sekadarnya, aku memaksakan pulang ke rumah ibuku di Jakarta dan motif rindu rumah tentunya. Biasanya dengan urgensi seperti ini aku meminta kiriman uang dari ibuku tapi tidak bisa gara-gara hari paling tragis yang menimpaku kemarin lusa.Berawal dari dompetku menghilang dari saku belakang celanaku, entah itu tertinggal di kelas pagi atau mungkin kecopetan ketika berjalan menuju kantin, yang pasti aku sudah mencoba mencari dompetku di kelas pagi itu. Kisah tragis di hari itu bertambah dengan perangkat telepon genggamku yang tercebur ke dalam kloset kamar kos pada sore hari ketika sibuk scrolling timeline akun propagandis. Betapa bodoh dan teledornya aku hari itu, seketika malam itu jadi sosok yang berbeda ketika meratapi hari yang serasa begitu panjang. Dengan mengandalkan uang simpananku di lemari bukuku yang berjumlah Rp8 ribu aku nekat berangkat malam itu juga. Dengan persiapan yang sepertinya cukup memadai seperti sebotol penuh air mineral dan dua bungkus mi instan tak lupa juga kubawa empat buah kaset pita lengkap dengan earphone dan pemutar kaset pita itu sendiri untuk menemani suntuknya perjalanan malam. Selepas melaksanakan ibadah salat Isya dan berdoa agar dilancarkan, aku berangkat dengan sepeda motor dengan transmisi otomatis pemberian ibuku. Tujuan terdekat saat itu adalah pom bensin yang kulewati pertama kali yang harus ada di sisi kiri jalan. Di pom bensin aku mengisi penuh kapasitas bensinku dan sesudahnya aku membeli rokok kretek secara eceran di warung yang cukup berdekatan dengan pom bensin tersebut. Usai membakar batang pertama aku kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan aku merasa doaku dijabah, dari Bandung hingga Ciputat yang kurang lebih berjarak sekitar lima puluh kilometer. Langit tampak selalu cerah, aku bisa melihat lebih banyak bintang-bintang di langit tanpa terganggu polusi cahaya dan tentu pembandingnya adalah Bandung dan Jakarta. Aspal jalanan begitu lembut hampir tidak ada lubang, penerangan jalan juga tidak begitu seburuk empat tahun lalu ketika aku baru pertama kali berangkat kuliah dari rumah menuju kampus sebagai maba tulen. Atas berkah cuaca dan kondisi jalan aku merasa banyak berterima kasih dan sedikit merasa malu kepada birokrat setempat yang memperhatikan akses

transportasi, karena sebelumnya aku agak jijik kepada mereka. Ditemani dengan musik yang mengalir secara analog dari walkman ke telingaku, suasana perjalananku menjadi semakin nyaman.Setiba di daerah yang menurut papan penunjuk jalan, sudah di Cianjur atau setidaknya dekat-dekat Cianjur, udara mulai dingin dan angin juga mulai berhembus kencang.Setelah melewati pertigaan akses BandungSukabumi-Jakarta, gerimis mulai turun meski awan tampak tidak begitu tebal. Mendekati Cipanas, suhu begitu terasa sangat dingin dan gerimisnya juga menjadi semakin deras. Aku memutuskan untuk meminggirkan sepeda motorku terlebih dahulu dan mengenakan jas hujan yang sepanjang lutut, tapi karena aku juga menutupi tas ransel yang kukenakan dengan jas hujan yang juga kukenakan, jas hujan tersebut hanya menutupi hingga pangkal paha. Di Puncak sekitaran kebun teh, udara dingin kini hingga mencapai puncaknya, curah hujan juga menyerap ke dalam sepatu, sarung tangan dan juga celana jeansku. Tidak hanya menerima air, aku juga mengeluarkannya dari tubuhku, air keluar dari mata karena aku mulai mengantuk, keringat dingin juga keluar dari pori-pori tengkuk hingga leher serta bersin-bersin yang mengeluarkan lendir-lendir dari hidung dan mulut. Aku menyesal untuk tidak berhenti ketika hujan mulai deras yang tidak kuketahui kira-kira persisnya kapan aku harus berhenti.Karena sudah terlanjur basah, jadi kulanjutkan saja perjalanan pulang. Sudah memasuki kabupaten Bogor, kira-kira masih di daerah Puncak juga, hujan mulai mereda tapi aku masih merasa kedinginan karena pakaianku yang dibasahi air yang begitu dingin. Karena sebagian besar jalanan kedepan adalah turunan, aku memilih untuk mematikan mesin sepeda motorku karena uang bekalku sudah kurang dari setengah. Baterai pemutar kasetku sudah habis ketika hujan mulai mereda dan aku mulai suntuk dan benar-benar mengantuk karena kelelahan. Kontur jalanan daerah ini begitu bergerunjal, hampir tidak ada yang rata. Pengguna jalanan daerah ini juga begitu brengsek menurutku, bagaimana bisa orangorang mengendarai kendaraannya dengan begitu kebut dan ugal-ugalan, baik itu menggunakan sepeda motor, mobil, truk dan bis yang pembuangan emisinya luar biasa mengebul, serta kendaraan mewah yang ber arakarakan dengan menggunakan sirine serta bunyi-bunyi aneh yang jalannya dibukakan oleh perangkat-perangkat keras. Karena sudah sangat gusar, mengantuk serta demam yang semakin menjadi, aku memilih untuk beristirahat sejenak di dalam masjid terdekat yang secara kebetulan tampak agak mewah, kebetulan karena aku memilih dengan tidak sengaja. Di parkiran masjid aku membereskan jas hujan yang kukenakan, serta melucuti sarung tangan dan kaus kaki yang begitu lepek. Usai membereskan semuanya yang dirasa penting, seseorang yang sepertinya pengurus masjid menghampiriku dan mengusirku. Aku bingung dan bertanya-tanya kenapa orang dengan penampilan yang tampaknya begitu suci itu berlaku seperti itu dan kurasa aku tidak sanggup untuk berdebat.Memang aku mengenakan jaket hitam lusuh, celana robek-robek yang sebenarnya robeknya juga tidak kusengaja dan melebar sendiri robekanya, serta sepatuku yang memang sudah lumayan

hancur meski masih bisa kukenakan. Aku lebih merasa tampak sebagai gembel ketimbang preman. Dengan kecewa aku mohon pamit dan meminta maaf karena mengganggu, tak lupa juga aku bersalim dengan mengambil bapak itu terlebih dahulu dan dia tidak menolaknya. Kunyalakan kembali motorku dan kuucapkan salam dengan manggut ke bapak tersebut, aku tidak mendengar balasannya. Dalam melanjutkan perjalanan aku semakin merasa konyol setelah secara fisik aku lumayan tersiksa, kini aku menggerutu dan memaki-maki bapak tadi dalam hati, ya kini aku semakin kacau dengan merasa dendam dan benci. Ditambah ketika berada di depan masjid agung di kota Bogor gerbang utamanya ditutup, aku malas mencari jalan lain untuk masuk karena dari luar pun masjidnya tampak begitu gelap, aku justru semakin kesal dan kebencianku malam itu justru membuatku lupa aku merasa sakit meski hampir lima menit sekali aku bersin-bersin di atas sepeda motorku. Sudah lebih dari setengah perjalanan menuju rumah, jalanan juga sudah tidak semenyebalkan sebelumnya, bekalku kini tinggal uang lima ribu rupiah karena sisa kembalian uang rokok dan bensin ketika ku isi di Bandung sudah kugunakan untuk mengisi bensin tidak jauh dari masjid yang batal kusinggahi. Sebungkus mi rebus mentah juga sudah kulahap ketika aku memutuskan berhenti untuk mengenakan jas hujan. Persediaan rokok juga sudah habis.Aku semakin bersemangat ketika merasa sudah cukup dekat dengan rumah, tapi apadayaku karena tubuh yang lemah, kuputuskan untuk berhenti di pelataran ruko untuk tidur sejenak. Sekitar setengah jam tidur di lantai, aku merasa lebih buruk ketimbang sebelumnya meski sedikit mengobati rasa kantuk. Kulanjutkan perjalanan hingga kujumpai sebuah kubah kecil di sisi kiri jalan yang berjarak sekitar 50 meter di depanku, dengan semangat kupacu sepeda motorku menuju kubah yang ternyata adalah bagian dari sebuah musala. Setibanya di sana aku melihat beberapa buah sepeda motor serta beberapa buah gerobak yang bentuknya berbeda-beda. Di dalam musholla tersebut banyak laki-laki yang terbaring di atas karpet-karpet bergambar masjid, hanya sebagian kecil dari isi musholla yang melakukan sholat malam dan berdzikir.Seketika aku langsung menuju tempat wudhu untuk membasuh tangan, wajah serta kaki dan langsung masuk ke dalam musholla untuk merebahkan badan dan langsung tertidur setelah kupastikan semua perlengkapan dalam jangkauan aman meski aku sudah tertidur. Sebangun tidur aku merasa menjadi lebih baik, aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, jam terakhir yang kulihat adalah jam yang digantung di kamar kos ku. Kulihat jam di musholla menunjukkan kurang dari pukul empat dini hari, dan kulihat lima jam mati yang salah satunya menunjukkan waktu adzan subuh jatuh pada pukul 04.35 WIB. Kupastikan semua bawaanku tetap pada tempatnya dan semuanya lengkap.Penghuni musholla tampaknya sudah lebih sedikit ketimbang yang kulihat ketika aku baru tiba, meski ada beberapa yang tadinya tidak kulihat ketika aku mulai merebahkan badan.Usai memperhatikan, aku beranjak keluar menuju parkiran masjid untuk beranjak pulang.Tidak jauh dari motorku kulihat ada bapak-bapak yang memegangi gerobak yang menjajakan

| 14

Lumpuh

Oleh Moh. Alim* kue putu.Karena menyadari keberadaanku dia menegurku dan bertanya, “Dek, ada korek, dek?””Oh di dalam kata kita tidak ada matinya iya, pak, ini ada” kusodorkan korek malam kita suda diserahkan kepada gas milikku.Bapak itu menyalakan duka sebuah lilin di gerobaknya dan Sepi dan hampa sudahi sementara mengembalikkannya padaku.”Ini, lampisan cerita hambar teh tawar tiada terima kasih”.”Sama-sama, pak”. rasa Kemudian bapak itu mengangkat Sentulah aku sampai aku lumpuh lilinnya dan menyambung apinya Walaupun beribu subuh aku lewatkan kedalam yang sepertinya sumbu di duka yang patuh dalam gerobaknya dan peluit khas Terlalu jauh aku rengkuh doa yang kue putu berbunyi. Bapak tersebut sungguh membakar rokok kreteknya dari apalah arti meminta ternyata aku api yang menyala di lilin lampunya dibunuh dan melanjutkan menyalakan lampu petromak kecil di sisi depan *Mahasiswa Aqidah Filsafat, FU, UIN gerobaknya sebelum meniup api Jakarta dari lilin tersebut. Sembari duduk mengumpulkan nyawa, aku memandangi bapak penjual kue putu tersebut, inginku basa-basi tapi bingung.Beruntung, Banjir Raya bapak penjual kue tersebut Oleh Siska Irma Diana* menawarkan dagangannya terlebih dahulu sebelum aku memberanikan diri untuk menegurnya. ”Berapaan, Hujan turun, Bang pak?” “Terserah, seadanya si adek Dengar aja”.”Lima ribu dapet, bang? Saya Langit kita menggelegar tambahin deh pake mi rebus belum masak” sambil kusodorkan Hujan lagi, Bang mi rebus yang sudah kugapai dari Seperti sungai dilantai orang dalam tas berikut uang terakhirku. Basah sepatu basah pipiku “Wah, dapet dek, alhamdulillah, saya juga laper”.”Loh, pak, bapak Hujan terus bang kan dagang makanan, masa laper, Kendaraan direndam seperti pakaian pak?””Lha, inikan dagangan, dek, ya kudu jadi duit buat urip anak, Siapa peduli, Bang? cucu, dek”. Jawabnya sambil Angkot kolotmu tenggelam menertawakan pertanyaanku.”Eh, Sudah biasa kau bilang saya angetin dulu ya, dek, ini kretek Saya ingin sekolah, Bang buat nungguin nganget”. Entah Tapi bahnya merendam harapan kenapa aku menerima tawarannya Saya harus pulang dan langsung menghisap rokok yang baru saja kuterima. Aku *Mahasiswi Jurnalistik, Fidikom, UIN terdiam dan bingung dengan Jakarta logika yang dianut oleh bapak tua pedagang kue putu tersebut.”Dari mana, dek, nyubuh begini masih, keluyuran?””Dari kampus, pak, ini mau pulang”. “Masak baru pulang kampus jam segini? Abis diskusi mahasiswa gitu ya, dek?”. “Oh, nggak, pak, saya dari Bandung Kota ini Belum Mati emang mau pulang aja pak, kangen Oleh Mentari Salsabila* ibu, hahaha”. “Walah jauh bener, dek ya ampun, hati-hati, dek, bahaya itu jauh, capek lho itu, dek, Kutinggalkan sejak lama saya kira abis diskusi, soalnya anak Bersama kenangan yang ada saya yang paling bontot pulang Saat waktu menunjuk senja malem mulu, alesannya ya diskusi Yang tak pernah kujumpa sebelumnya melulu, jadi ya saya ngiranya si adek ini abis diskusi, gitu”. “Ya saya kadang-kadang aja sih, pak ikutSampai lelah ku kejar dia ikut diskusi, hehe”.Bapak tersebut Meski fakta tak pernah ada beranjak dan menyajikan kue Meski lentera masih menyala putunya. Sekitar 20 menit berlalu, Aku tak akan menyerah! aku beranjak dan mengucapkan salam serta terima kasih kepada Aku tak akan pasrah! bapak penjual kue putu tersebut. Sesudah si bapak menawarkanku Sudah jauh jalan ku tempuh menetap setidaknya hingga adzan Sampai kaki harus melepuh subuh untuk salat subuh meski Aku kembali bukan berarti mundur aku berdalih aku memilih untuk salat di rumah dan rumahku dapat Hanya ingin melihat lebih jauh ditempuh dalam waktu sekitar Segala kenangan di kota ini setengah jam. Karena begitu bersemangat Kota ini belum mati dalam memacu sepeda motorku, Tak ada yang berubah sama sekali aku tiba di rumah dalam waktu kurang dari setengah jam, di Kota ini masih ada depan pagar rumah, aku masih Masih lengkap dengan cahayanya bisa mendengarkan suara imam Ku harap kota ini tetap hidup yang memimpin solat berjamaah Tak peduli meski cahaya berjalan redup dari pengeras suara masjid dekat rumah. Aku semakin merasa lega karena bisa datang lebih awal, *Mahasiswi Ilmu Hadis, FU, UIN Jakarta meski tidak kujumpai ibuku di rumah. Karena sangat kecewa aku memilih untuk langsung tidur.

*Pegiat Komunitas Rusa Besi


Seni Budaya

Tabloid INSTITUT Edisi XLVI / NOVEMBER 2016

Foto: Aisyah/Ins

Tentang Teknologi Negeri yang Tak Pernah Padam

Aisyah Nursyamsi

Tiga orang wanita tengah memerhatikan lukisan bertajuk Rumah Mendung karya seniman asal Malaysia, Nadiah Bamadhaj. Lukisan ini adalah salah satu karya yang dipamerkan di Southeast Asia Plus (SEA+) Triannale bertemakan Ecounter (pertemuan) di Galeri Nasional, Kamis (10/11).

Bukan hanya sekadar adu keindahan. Karya seni pun bisa menjadi salah satu wujud penjelasan dari pandangan, sikap, dan penilaian yang dimiliki oleh tiap negara. Setelah menjejakkan kaki ke dalam ruang pameran, pengunjung langsung disuguhkan dengan sebuah karya seni menyerupai stalagmit. Dengan ukuran hampir dua setengah meter menjulang melebihi tinggi manusia. Secara keseluruhan stalagmit ini dihiasi dengan garis berwarna hijau, putih, dan hitam. Terlihat seorang lelaki berkemeja putih tengah asyik mengabadikan karya seni tersebut dengan jepretan lensa kamera.

Sekitar dua langkah ke depan dari stalagmit, terpajang pula dua lukisan karya seniman asli Negeri Jiran Malaysia, Nadiah Bamadhaj namanya. Nadiah hanya menggoreskan warna hitam dalam karya lukisnya yang bertajuk Rumah Mendung ini. Lukisan ini menggambarkan setengah tubuh manusia mulai dari pinggang hingga kaki, sedang berjongkok menghadap ke kanan. Dan tepat di atasnya terdapat atap rumah yang saling

menyatu. Tak jauh dari lukisan Nadiah, dapat juga menemukan karya seni dari seniman asal Yogyakarta, Fendry Ekel “Six Degrees of Separation.” Uniknya karya ini berbentuk 12 potong kayu dengan ukuran yang sama berwarna hitam dan disusun sebanyak tiga baris. Di baris pertama kotak kayu bertuliskan tahun 2010, 1928, 1965 dan 2011. Baris kedua kotak bertuliskan tahun 1992, 1998, 1997, dan 2012. Baris terakhir 1968, 1971, 2001, dan 1945. Saat pengunjung masuk lebih dalam galeri, maka akan menjumpai sebuah patung wanita di sudut ruangan. Patung wanita

ini digambarkan tengah duduk dan bersiap mandi. Dengan mengenakan handuk, tangan kirinya memegang sebuah telepon seluler merah. Di sisi lain, terdapat pula ruangan terpisah tanpa pencahayaan, hanya sinar layar proyektor tampak tengah menayangkan dua buah video. Lebih lanjut pada bagian kiri ruangan tersebut menampilkan video dengan seorang lakilaki berjas rapi tengah tertawa terbahak-bahak. Sebelah kanan ruangan terlihat video yang menayangkan seorang wanita memegang buku di depan sembilan orang dalam keadaan tertidur lelap

Menurut Askolani, pemangkasan anggaran di UIN Jakarta yang dilakukan Pendis merupakan tanggung jawab Kemenag. Kemenkeu pun tak mengetahui dasar hukumnya. Ia pun mengusulkan untuk meminta keterangan Kemenag. “Alasan detailnya ada di Kemenag,” tambahnya. Sebagai Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mengaku merasa terganggu dengan adanya pemangkasan anggaran. Pasalnya sebagian besar kegiatan yang telah direncanakan

harus terhenti. “Tapi secara eksternal tidak ada masalah apaapa. Situasi kampus masih bisa dikatakan stabil,” ucapnya ketika ditemui di Gedung Rektorat UIN Jakarta, Rabu (14/11). Selain itu, Dede juga tengah memiliki beberapa alternatif untuk menutupi pemangkasan anggaran. Pertama, beberapa kegiatan yang sebelumnya direncanakan seperti pelatihan, seminar, dan perjalanan dihilangkan atau ditunda untuk sementara waktu hingga kondisi

| 15

ditutupi selimut. Begitulah sekelumit gambaran dari karya seni pameran Southeast Asia Plus (SEA+) Triennale bertemakan ‘Ecounter’ (pertemuan). Pameran yang diadakan di Galnas ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bukan cuma karya seni asli Indonesia saja yang dipamerkan, beberapa negara tetangga juga turut serta berpartisipasi dalam pameran kali ini. Setidaknya ada 44 karya yang berasal dari 12 negara. Di antaranya Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, Myanmar, Laos, Australia, Denmark, Norwegia dan United Kingdom. Indonesia sendiri memamerkan karya seni dari berbagai daerah yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Balikpapan. Menurut kurator Rizki A.Zaelani mengatakan, pameran ini bukan sakadar pertemuan karya seni dari pelbagai negara. Namun juga salah satu wujud penjelasan dari keindahan, pandangan, sikap, dan penilaian yang dimiliki oleh setiap seniman. Meski berasal dari daratan yang berbeda (art from different lands), bukan berarti karya seni ini hanya menjelaskan situasi dari asal negara masing-masing seniman. Tapi juga sikap mereka dalam menghadapi perkembangan situasi masyarakat kontemporer. Kepala Galnas Indonesia, Tubagus Andre Sukmana mengapresiasi betul karya seni dari para seniman Indonesia. Menurutnya kegiatan ini menjadi kesempatan berharga bagi para seniman Indonesia untuk menampilkan prestasi pencapaian karya yang telah dihasilkan seniman Internasional. “Art from Different Lands menampilkan beragam karya seni semacam lukisan, gambar, patung, obyek, fotografi, seni video, serta karya seni instalasi. Salah satu pengunjung, Rara Astuti Hayati tertarik dengan materi pameran. “Bukan hanya bagus tapi juga unik. Enggak nyangka kalau seni rupa ternyata ada yang menggambarkan sejarah dan perkembangan teknologi di tiap era,” ujarnya, Kamis (10/11).

Sambungan dari Di Balik Pemangkasan..... pegawai secara keseluruhan yang termasuk kategori dana produktif. Jika mengacu data Direktur Jendral Anggaran (DJA) yang diberikan BPK UIN Jakarta disebutkan, pemangkasan belanja pegawai berjumlah Rp5.834.839.000, belanja barang sebesar Rp24.102.098.000, dan Rp962.736.000 untuk belanja modal. Jadi, totalnya Rp30.899.674.000. Tapi, dalam rincian tersebut malah dana belanja pegawai yang merupakan dana produktif juga ikut terpangkas. Berbeda dengan data DJA, data Pendis

tidak memangkas belanja pegawai. Di sana hanya disebutkan belanja barang sebesar Rp9.496.350.00 dan belanja modal Rp43.650.000. Terkait data DJA, Direktur Jendral Anggaran Askolani pun menanggapi terkait pemangkasan dana produktif secara sepihak yang dituduhkan kepadanya. Dari pesan singkat yang dikirim pada Kamis (17/11), ia membantah seluruh sangkaan yang dituduhkan kepada DJA. “Kita tak tahu menahu, itu kebijakan Kemenag,” begitu tulisnya.

Ralat

Pada Tabloid INSTITUT edisi XLV hal. 1 kolom dua tertulis, “Rp33.636.824 ribu,” “Rp27.436.669.657 ribu,” “Rp38.531.940 ribu,” “Rp433.747.033 ribu,” “Rp532.630.940 ribu,” “Rp36.370.271.746 ribu,” “Rp2.161.668.254 ribu,” dan “Rp431.811.829 ribu.” Seharusnya ditulis, “Rp33.636.824.000,” “Rp27.436.669.657,” “Rp38.531.940.000,” “Rp433.747.033.000,” “Rp532.630.940.000,” “Rp36.370.271.746,” “Rp2.161.668.254,” dan “Rp431.811.829.” Pada Tabloid INSTITUT edisi XLV hal. 2 kolom tiga tertulis, “Ketua Senat-U Athof Mudzar.” Seharusnya ditulis, “Ketua Senat-U Atho Mudzar.” Pada Tabloid INSTITUT edisi XLV hal. 6 rubrik Survei poin lima tertulis, “Ya 53,70%” dan “Tidak 45,30%”. Seharusnya ditulis, “Ya 17,90%” dan “Tidak 82,10%”.

perekonomian negara kembali stabil. Selanjutnya kegiatan penelitian mau tidak mau harus dikurangi. Tapi, Dede menegaskan, pengurangan kegiatan penelitian yang dilakukan bukan membuat terhentinya penelitian secara keseluruhan di UIN Jakarta, karena hanya bersifat sementara. Terakhir, jika semua cara tadi telah digunakan tapi belum bisa menutupi imbas dari pemangkasan maka bisa saja menggunakan dana dari Badan Layanan Umum UIN Jakarta.

Surat Pembaca Saya mahasiswa FSH. Tolong kamar mandinya dan tempat wudhu airnya jangan mati terus. Terutama di hari Kamis sore. 08387347XXXX Saya mahasiswa PAI, FITK, mengeluhkan atas penggunaan halte UIN yang saat ini menjadi pangkalan ojek online. Semoga keluhan ini mendapat tindak lanjut. 08961217XXXX Saya mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, FSH, memohon adanya tindakan atau setidaknya tanggapan atas pencurian helm yang seringkali terjadi di parkiran UIN Jakarta. Bila perlu, jangan hanya motor yang mendapat asuransi, untuk helm saya rasa juga perlu. Sebab, lebih banyak helm yang hilang ketimbang motor. 08968981XXXX



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.