TABLOID INSTITUT EDISI 44

Page 1

Edisi XLIV / September 2016 | Terbit 16 Halaman

Email: redaksi.institut@gmail.com

Laporan utama

wawancara

Laporan khusus

Menimbang Nomenklatur Gelar Hal. 2

lpminstitut

Telepon Redaksi: 085892180540 / 085722423074

Imbas APBN Dipangkas

Rombak Gelar Sarjana

Hal. 4

LPM INSTITUT - UIN JAKARTA

Hal. 11

www.lpminstitut.com

@lpminstitut

Dilema Organisasi Ekstra Eli Murtiana Pihak kampus mensosialisasikan larangan organisasi ekstra masuk kampus untuk kedua kalinya. Penerapan sanksi pun masih dianggap lemah dan kurang menimbulkan efek jera. Ketegangan soal larangan kegiatan organisasi ekstra kampus di dalam kampus kembali menyeruak di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Surat pemberitahuan yang ditandatangani Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Yusron Razak pada Selasa (6/9) mengingatkan kembali mengenai beberapa larangan terkait organisasi ekstra kampus. Surat pemberitahuan tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga Organisasi Kemahasiswaan UIN Jakarta itu telah disampaikan pada semua dekan fakultas. Surat tersebut berisi larangan pemasangan bendera, lambang, atribut, dan simbol/identitas yang mencirikan organisasi ekstra kampus. Serta mencakup bentuk kata, nyanyian dan gambar, bendera yang dikibarkan, dipajang dan disebarkan di dalam kampus. Namun faktanya, di dalam kampus masih terdapat aktivitas organisasi ekstra. Aktivitas ini seperti pemasangan

bendera, lambang bahkan adanya standing banner berlogo organisasi ekstra. Dengan berbagai atribut yang terpasang menjadi tempat pendaftaran bagi anggota baru. Menurut Yusron Razak, sanksi untuk pelanggaran tersebut berkaitan dengan larangan mengganggu ketertiban kampus yang tertera di Kode Etik Mahasiswa. Jika terbukti melanggar, sanksi pertama yang akan diberlakukan adalah teguran. “Dibubarkan oleh satpam,� tegasnya, Jumat (16/9).

Sanksi selanjutnya berupa pelarangan mengikuti semua kegiatan di UIN Jakarta atau skorsing selama satu semester. Yusron juga menambahkan, sanksi yang ada baru bersifat persuasif atau imbauan secara halus. Selain itu, jika beberapa fakultas masih ada yang melegalkan aktivitas organisasi ekstra, maka dosen yang terlibat bisa diadili di mahkamah etik dosen. Sebenarnya peraturan tentang larangan organisasi ekstra telah berlaku sejak lama. Sehingga surat

pemberitahuan dikeluarkan kembali sebagai penegasan karena terlihat ada intensitas perpecahan antar organisasi ekstra di kampus saat penyelenggaraan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) akhir Agustus lalu. “Kemarin, ketika OPAK, ada gesekan antar organisasi itu di dalam kampus,� ujarnya. Larangan organisasi ekstra pun

Bersambung ke halaman 15 kolom 2


Salam Redaksi

Laporan Utama Salam Redaksi

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

|2

Menimbang Nomenklatur Gelar

Apa kabar? Semoga tetap baik dan selalu semangat update kabar kampus dengan membaca produk-produk LPM Institut. Tabloid Institut edisi bulan ini hadir dengan mengusung tema berbeda tiap rubriknya. Tak seperti edisi-edisi sebelumnya, Tabloid Institut kali ini tak mengambil satu tema besar untuk dibagi beberapa sudut pandang. Pada headline, kami menghadirkan berita tentang efektivitas aturan dan sanksi organisasi ekstra (oreks) di UIN Jakarta. Pasalnya, meski sudah ada aturan terkait pelarangan oreks masuk kampus, tetap saja masih banyak yang melanggar aturan tersebut. Jika demikian, sebagai mahasiswa/i UIN Jakarta kita perlu jeli apa yang sebenarnya terjadi dibalik adanya pelarangan ini. Setelah headline, laporan utama pertama diisi dengan pergantian gelar sarjana UIN Jakarta. Jadi, ke depan, semua gelar sarjana yang ada embelembel ‘I’ sebagai singkatan dari ‘Islam’ akan diganti menjadi gelar sarjana umum. Laporan utama kedua Tabloid Institut edisi September berkisah tentang cita-cita UIN Jakarta menjadi Perguruan Tinggi Negei Badan Hukum (PTN BH). Dalam hal ini, UIN Jakarta yang masih tahap PTN Badan Layanan Umum (BLU) tengah mengupayakan diri menaiki tangga tahapan PTN menjadi BH. Laporan khusus pertama membahas pemangkasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun 2016 yang berdampak pada pengurangan dana pendidikan. Di UIN Jakarta, pemangkasan APBN berimbas pada terhambatnya pembangunan infrastruktur dan pengurangan dana penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Rubrik hardnews terakhir, yaitu laporan khusus kedua mempertanyakan kinerja dosen penasihat akademik (PA).Selain diberi upah, dosen PA pun mendapat beban sistem kredit semester untuk memenuhi beban kerja dosen. Tabloid Institut menjadi salah satu bentuk bakti kami memberikan informasi seputar kampus. Karena, media yang baik bukanlah media yang hanya memberikan wajah positif pada khalayak umum. Selamat membaca!

Sumber: Dok.Jurnal Wisuda

Salam Mahasiswa!

Eko Ramdani Awal Agustus 2016 lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) mengubah gelar akademiknya. Demi bersaing dengan lulusan perguruan tinggi umum dan pengintegrasian ilmu menjadi alasan utama. Pupus sudah harapan Muhammad Reza Baihaki mendapatkan dua gelar berbeda saat lulus sarjana nanti. Mahasiswa yang mengambil double degree di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mendapat kabar bahwa FSH akan menerapkan gelar Sarjana Hukum (S.H.) untuk semua jurusan. Reza yang mengambil studi di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) kelas internasional dan Ilmu Hukum ini berpendapat peraturan yang baru keluar tersebut terlalu terburu-buru. Mahasiswa semester tujuh ini merasa keputusan tersebut tak tepat. Pergantian gelar yang terjadi di FSH merupakan imbas dari Peraturan Menteri Agama (PMA) yang baru-baru ini diedarkan Kemenag. Di dalam PMA menjelaskan pergantian gelar strata 1 dan 2 yang ada di lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan Kemenag. Selasa, 9 Agustus 2016 lalu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menandatangani PMA No. 33 tahun 2016 tentang Gelar Akademik Pendidikan Tinggi Keagamaan yang menggantikan PMA No. 36 tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama. Pada PMA No. 33 tahun 2016, Kemenag melampirkan 54 jurusan yang mengalami perubahan gelar. Di antara perubahan tersebut ialah SH untuk jurusan di FSH, Sarjana Pendidikan (S.Pd.) untuk jurusan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Sarjana Sosial (S.Sos.) untuk jurusan di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom), Sarjana Agama (S.Ag.) untuk jurusan di Fakultas Ushuluddin, dan Sarjana Ekonomi (S.E.) untuk jurusan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Menanggapi PMA No. 33 tahun 2016, Wakil Dekan

I Bidang Akademik FSH Euis Amalia menerangkan, bergantinya gelar merupakan usul dari pihak fakultas ke Kemenag. Mahasiswa juga mendukung untuk mendapatkan gelar SH. “Kami akan terapkan mulai wisuda 102 nanti,” ungkapnya, Rabu (21/9). Terkait perbedaan beban mata kuliah dan Sistem Kredit Semester (SKS) yang ada di setiap jurusan di FSH, lanjut Euis, akan ada peninjauan kembali untuk kurikulum. Peninjauan bertujuan agar lulusan yang berasal dari selain Ilmu Hukum mempunyai kompetensi dalam hukum positif. Selain kurikulum, FSH akan memberikan berbagai pelatihan untuk mahasiswanya. FSH akan memberikan pelatihan litigasi, legal drafting, dan kontrak bisnis kepada mahasiswa saat mendekati kelulusan. “Pelatihan akan dicantumkan dalam Surat Keterangan Pendamping Ijazah,” tambah Euis. Terhitung 9 Agustus 2016, seluruh lembaga pendidikan tinggi di bawah Kemenag harus menaati PMA, namun hingga kini UIN Jakarta belum secara resmi mengikutinya. Belum diterapkannya PMA di UIN Jakarta lantaran ada beberapa hal yang masih dalam peninjauan kembali. Senin 5 September 2016 lalu, wakil rektor (warek) dan dekan fakultas tertentu dari semua lembaga pendidikan tinggi di bawah Kemenag mengadakan pertemuan dengan Direktur Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Amsal Bakhtiar untuk membahas nomenklatur jurusan dan gelar. Di antara poin yang ditinjau kembali adalah nomenklatur gelar dan jurusan. Sebagai contoh Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) yang ada di Fidikom seharusnya ada di FITK namun masih dalam pertimbangan kembali. “Karena bimbingan yang ditujukan untuk masyarakat, maka dari itu dipertimbangkan untuk tetap ada juga di Fidikom,” ungkap Warek I Bidang Akademik UIN Jakarta

Fadhilah Suralaga, Selasa (20/9). Tak hanya itu, secara pribadi Fadhilah tidak setuju jika FSH menerapkan gelar SH untuk semua jurusannya. Pasalnya, Fadhilah menilai tak semua jurusan memberikan materi bermuatan hukum. “Mungkin selain jurusan Ilmu Hukum bisa mendapatkan Sarjana Hukum Islam (S.H.I.),” tambah Fadhilah. Namun, jika FSH tetap menggunakan gelar SH, Fadhilah menyarankan adanya penambahan mata kuliah yang berkaitan dengan masalah hukum. Kompetensi lulusan dan pancapaian pembelajarannya pun harus diubah. “Mahasiswa juga menginginkan pergantian gelar,” tambahnya. Menanggappi PMA yang baru terbit itu, Amsal Bakhtiar beralasan agar lulusan perguruan tinggi agama dapat bersaing dengan lulusan sekolah tinggi umum. Tak hanya itu, pengintegrasian ilmu pun jadi faktor utama. Akan tetapi bobot mata kuliah dan SKS yang berbeda menjadi masalah baru. Amsal memberikan alasan materi kuliah yang tidak sesuai akan memberikan surat edaran untuk menambah beban SKS dan revisi mata kuliah. Perubahan gelar akademik yang disahkan Menteri Agama merupakan hasil diskusi semua pihak dari lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Kemenag. Amsal menjelaskan sudah dua tahun belakangan diskusi terkait gelar dan jurusan ini dilakukan. Amsal pun menegaskan lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan Kemenag harus mematuhi PMA No. 33 tahun 2016 karena tidak memiliki otoritas untuk menentukan gelar dan menolak peraturan dari pusat. “Kecuali jika perguruan tinggi keluar dari Kemenag,” tutupnya.

Pemimpin Umum: Erika Hidayanti | Sekretaris Umum: Syah Rizal | Bendahara Umum: Triana Sugesti | Pemimpin Redaksi: Arini Nurfadilah | Redaktur Online & Web Master: M. Rizky Rakhmansyah | Pemimpin Litbang: Yasir Arafat | Riset dan Dokumentasi: Ika Puspitasari | Pemimpin Perusahaan: Jeannita Kirana Anggota: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis Koordinator Liputan: Lia Esdwi Yani Syam Arif | Reporter: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis Editor: Arini Nurfadilah, Erika Hidayanti, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Syah Rizal, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Dicky Prastya, Eko Ramdani, Syah Rizal | Ilustrator: Eko Ramdani | Karikaturis: Aisyah Nursyamsi | Editor Bahasa: Eli Murtiana Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 085722423074 | Email: lpm.institut@yahoo.com/redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~


Laporan Utama

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

Foto: Yayang/Ins

Jalan Terjal Menuju PTN BH

Beberapa mahasiswa terlihat berlalu lalang di halaman FTIK, UIN Jakarta, Sabtu (24/9). Kini UIN Jakarta berupaya menjadi PTN BH.

Zainuddin Lubis

Langkah UIN Jakarta bertranformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) terus dilakukan. Upaya perubahan status ini agar lekas mencapai World Class University. Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada saat ini tengah mengupayakan UIN Jakarta menjadi PTN BH. Strategi itu demi memudahkan UIN Jakarta menuju universitas bertaraf internasional. Lebih dari itu, Agustus lalu Dede pun menyusun tim pembentuk PTN BH yang terdiri dari beberapa petinggi lembaga di UIN Jakarta. Dengan diketuai Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Murodi, tim ini bertugas mempersiapkan hal-hal yang diperlukan UIN Jakarta menuju PTN BH. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan, PTN BH merupakan PTN yang didirikan oleh pemerintah serta memiliki hukum otonom. Nantinya, PTN yang sudah berbasis

Sumber: www.uinjkt.ac.id

BH memiliki wewenang mengelola keuangan, organisasi, serta bidang akademik seperti mengangkat dosen dan membuka jurusan. PTN BH juga bertujuan agar PTN Indonesia dapat bersaing di kancah internasional. Nasir menambahkan, untuk menjadi PTN BH ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh PTN. Salah satunya, akreditasi institusi A dan 80 persen Program Studi (Prodi) terakreditasi A. “Jika PTN tak akreditasi A, maka tidak bisa menjadi PTN BH,” ungkapnya saat ditemui di Lantai dua Gedung D, Kemenristek Dikti, Jakarta, Kamis (15/9). Sementara itu, Koordinator Akreditasi Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Jakarta Jejen Jaenuddin mengatakan, dari 65 Prodi di UIN

Jakarta, hanya 26 Prodi terakreditasi A, 34 Prodi terakreditasi B, dan 6 Prodi terakreditasi C. Selain itu, lebih dari 20 Prodi masa berlaku akreditasinya kedaluwarsa. “UIN Jakarta masih kurang 80 persen untuk akreditasi Prodi A,” tegasnya, Selasa (20/9). Langkah kedua untuk menjadi PTN BH, lanjut Nasir, PTN harus memiliki publikasi internasional yang terindeks Scopus —pusat data terbesar di dunia— minimal 300 hasil penelitian. Pria yang pernah menjabat Rektor Universitas Dipenegoro ini mengatakan kebijakan itu dibuat pemerintah agar PTN Indonesia mampu bersaing dengan perguruan tinggi terkemuka dunia. Menurutnya, selama ini Indonesia

memiliki kendala dalam hal publikasi riset. Pasalnya, banyak dosen peneliti lebih memilih memublikasi hasil riset di dalam negeri. Namun, berdasarkan data rekapitulasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Jakarta, sepanjang 2015 UIN Jakarta hanya berhasil memublikasi sebanyak 47 penelitian terindeks Scopus. Sedangkan tahun 2016 tercatat 24 penelitian yang terindeks Scopus dari berbagai disiplin ilmu. Ketua LP2M sekaligus Wakil Ketua tim pembentuk UIN Jakarta menuju PTN BH Arskal Salim mengakui kekurangan publikasi UIN Jakarta. Laporan yang ia terima dari LPM sejak 2004 silam hingga 2016 publikasi

|3

penelitian yang terindeks Scopus UIN Jakarta hanya 217 penelitian. Ia menjelaskan kurangnya jumlah publikasi Scopus dikarenakan seleksi yang ketat dan membutuhkan proses lama. Persyaratan untuk menjadi PTN BH, selanjutnya PTN harus memiliki pendapatan sendiri minimal Rp1 triliun per tahun. Pendapatan tersebut agar PTN BH dapat membiayai keperluan sendiri. Sayangnya, berdasarkan data total pendapatan UIN Jakarta 2016 hanya sekitar Rp431 miliar. Dede Rosyada mengakui kecilnya penghasilan UIN Jakarta sebagai persyaratan menjadi PTN BH. “Walaupun begitu UIN Jakarta tetap akan mengajukan ke Kemenristek Dikti nanti,” ungkapnya, Rabu (21/9). Di samping itu, Wakil Rektor Bidang Akademik Fadhilah Suralaga membenarkan keinginan UIN Jakarta untuk menjadi PTN BH telah masuk rancangan strategis 20172021. Sosialisasi PTN BH pun telah disampaikan ke Senat Universitas. Dalam bidang akademik, Fadhilah juga melakukan peningkatan pembelajaran dan kualitas kepada mahasiswa dengan menggunakan kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia untuk semua Prodi di UIN Jakarta. Ia juga membuat Rencana Program Semester (RPS) sebagai pengganti Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Fadhilah menambahkan, salah satu usaha untuk menjadi PTN BH, UIN Jakarta telah menetapkan home base dosen. Berdasarkan ketentuannya setiap Prodi harus memiliki enam dosen tetap yang terdiri dari guru besar dan lektor kepala. Jika Prodi kekurangan dosen tetap, maka jurusan tersebut mengangkat nonpegawai negeri sipil. Menanggapi cita-cita UIN Jakarta ingin menjadi PTN BH, Menristek Dikti, Muhammad Nasir mengaku belum pernah menerima laporan pengajuan berkas untuk mejadi PTN BH. Ia pun mempersilahkan PTN di bawah Kementerian Agama untuk mengajukan diri jika telah memenuhi persyaratan. “Kalau sudah sampai diangka yang tadi, silahkan mendaftar,” tutup Nasir.

Info Grafis

Desain Visual: Yayang Zulkarnaen


Laporan Khusus

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

|4

Imbas APBN Dipangkas

Menjelang akhir 2016, Pemangkasan APBN kembali terjadi di Indonesia. Jatah dana pendidikan nyaris amblas.

Belum setahun adanya kebijakan pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Mei 2016, Indonesia harus kembali mengalami pemangkasan APBN. Sebulan lalu, tepatnya 3 Agustus 2016, sejum-lah Rp133,8 triliun dipangkas kembali oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bahkan, pada Agustus lalu— pemangkasan kedua pada 2016— lebih besar ketimbang pemangkasan sebelumnya yang berjumlah Rp50,016 triliun. Akhirnya, pemangkasan APBN 2016 berimbas pada perubahan jumlah alokasi anggaran, tak terkecuali dana pendidikan. Sebagai wadah yang menaungi pendidikan, alokasi anggaran untuk Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dipotong sebesar Rp6,523 Pada Mei lalu. Tak lama berselang, anggaran yang diterima Kemendikbud Agustus lalu kembali dipangkas sekitar Rp3,9 triliun. Kala Kemendikbud tengah disibukkan dengan anggaran yang semakin menipis, Kementrian Agama (Kemenag) pun mengalami hal serupa. Anggaran Kemenag dipangkas hingga Rp2,5 triliun. Tentu berimbas pada lembaga pendidikan, terlebih lembaga pendidikan yang berada di bawah

naungan Kemenag, sebut saja Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kampus yang berada di Tangerang Selatan ini harus rela mengurangi jumlah penelitian dosen lantaran adanya pemangkasan dana. Ini diamini Kepala Pusat Penelitian (Puslitpen) Wahdi Sayuti. Sekitar 87 proposal penelitian dosen terpaksa harus dibatalkan. ”Anggaran yang disediakan sebenarnya Rp2,78 miliar, cuma karena adanya pemangkasan APBN, puslitpen dipangkas sampai nol rupiah,” tuturnya, Kamis (22/9). Padahal, sambung Wahdi, pada gelombang pertama, dosen yang mengajukan judul penelitian mencapai 448. Sedangkan yang diterima hanya 328 judul. Ia mengatakan diadakannya gelombang kedua merupakan akibat dari kuota yang tidak terpenuhi di gelombang pertama. “Ada judul yang gak sesuai, makanya dialihkan ke gelombang kedua,” tambahnya. Pemangkasan APBN pun menimbulkan persoalan baru bagi UIN Jakarta, yaitu kesulitan membayar uang listrik. Kepala Bagian Perencanaan UIN Jakarta Edi Suwandi mengatakan, bahkan pada November mendatang, UIN Jakarta hampir tak bisa membayar

listrik yang besarnya Rp600 bulan. “Makanya harus juta per berhemat,” cuitnya, Kamis (15/9). Edi mengisahkan, pemangkasan dana dilakukan dalam dua gelombang. Pertama, dipangkas Rp33 miliar, lalu pada gelombang kedua dipangkas kembali Rp9 miliar. Bak api menyambar, imbas pemangkasan dana pun melalap dana kegiatan sivitas akademika UIN Jakarta: penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Juga, terhambatnya pembangunan infrastruktur. Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada membenarkan dampak pemangkasan anggaran terhadap kegiatan dan pembangunan. Selama ini, dana pembangunan sarana prasarana dan perbaikan gedung berasal dari pemerintah. Karena itu, lebih jauh Dede menjalaskan, pembangunan kampus tiga di Parung, Bogor tertunda lantaran ketiadaan anggaran. “Kira-kira akan rampung dalam jangka waktu empat tahun,” ucapnya, Rabu (21/9). Senasib, imbas buruk pemangkasan anggaran pun turut dirasakan UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung. Beruntung, kampus ini hanya menghentikan pembangunanya

Foto: Eli/Ins

Dosen PA Antara Ada dan Tiada

Beberapa mahasiswa sedang berdiskusi dengan dosen membahas mata kuliah pembangunan politik di ruang kelas FISIP, Selasa (21/4). Dosen PA memiliki kewajiban dalam membimbing mahasiswa selama di bangku perkuliahan.

Lia Esdwi Yani Syam Arif Kewajiban dosen penasihat akademik masih belum optimal. Mahasiswa terkena imbasnya. Hampir satu minggu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) telah dimulai, namun Kartu Rencana Studi (KRS) Dera Anjani masih belum disetujui. Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) ini sudah mencoba menghubungi Dosen Penasihat Akademik (PA).Akan tetapi, usai melapor kepada Dosen PA, KRS Dera belum juga disetujui. Walhasil, ia harus menulis absen secara manual saat mengikuti beberapa mata kuliah. Mahasiswi semester lima ini menceritakan, ia jarang bertemu dengan Dosen PA. Biasanya saat ingin

menabung beberapa mata kuliah, Dera mendatangi ruang Dosen PA.Nahas, usahanya hanya berbalas pesan singkat karena sang dosen tak kunjung datang. “Apalagi sekarang dosen saya sedang sekolah di luar negeri. Jadi ya memang tidak bisa bertatap muka langsung,” keluh Dera, Kamis (22/9). Senada dengan Dera, Nadia Hawarul Aini juga mengalami kesulitan dalam menghubungi Dosen PA. Mahasiswi Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) menuturkan, Dosen PA kurang peduli lantaran jarang sekali menanyakan kegiatan seputar perkuliahan kepada

mahasiswanya. Sudah berulang kali Nadia menghubungi Dosen PA untuk persetujuan KRS namuntak kunjung mendapat respons. Tak sabar, ia pun segera mendatangi ruang Dosen untuk meminta persetujuan KRS agar namanya masuk ke dalam daftar absen mata kuliah yang ia ambil. Nadia yang saat ini duduk di semester tiga juga menyayangkan fungsi Dosen PA tak lagi seutuhnya mahasiswa rasakan. Menurutnya, apabila merujuk pada Buku Pedoman Akademik Dosen PA wajib membimbing mahasiswa secara keseluruhan bukan persetujuan KRS saja. “Saya kira Dosen PA bisa membimbing ternyata hanya sebatas

tanpa menghambat kegiatan tridharma perguruan tinggi. “Meski ada pemangkasan anggaran,

dicairkan,” katanya. Terkait hak menentukan anggaran apa saja yang hendak dikurangi, lanjut Wardija, tiap perguruan tinggi memiliki otoritas masing-masing. Nantinya jumlah potongan itu dilihat dari total anggaran, jumlah dosen, dan jumlah mahasiswa. “Makanya tiap universitas dipotongnya bedabeda, di UIN Bandung sendiri itu kena 15,5 miliar” jelasnya. Imbas pemangkasan anggaran pun menuai respons Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Amsal Bakhtiar. Ia mengatakan, adanya pemangkasan A P B N

bersyukur kegiatan untuk pengembangan SDM tetap berjalan,” ujar Kepala Bagian Keuangan UIN SGD Bandung Wardija, Kamis (22/9). Menurut Wardija, pemangkasan anggaran hanya diambil dari uang makan pegawai. Jika dosen tidak melakukan sidik jari mulai dari pukul 07.00-16.00 WIB tidak diberikan uang makannya. “Dosen itu kalau tidak sidik jari tidak dianggap hadir, otomatis uang makannya pun tidak

dikarenakan t u r u n n y a pendapatan pajak negara. “Ya, sekarang pendapatan pajak kan memang turun, sementara semua anggaran negara itu asalnya dari pajak,” kata Amsal saat ditemui di kantornya, Senin (19/9). Atau, kata Amsal bisa saja disebabkan keadaan ekonomi dunia sedang lemah, tak stabil. Karenanya, pendapatan negara ikut turun.

menyetujui KRS,” Kamis (22/9). Padahal, dalam Buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terdapat beberapa kewajiban yang harus dilakukan Dosen PA. Seperti, melakukan pertemuan minimal 4 kali tiap semester, membantu persetujuan KRS mahasiswa bimbingannya, mengadakan komunikasi dengan orangtua mahasiswa yang memerlukan penanganan khusus, dan kewajiban lainnya. Menanggapi hal tersebut, Wakil Dekan I Bidang Akademik FSH Euis Amalia mengatakan, selama menjadi Dosen PA, ia memang jarang bertemu langsung dengan mahasiswa bimbingannya. “Kan sudah ada email dan whatsapp jadi mahasiswa bisa berkomunikasi tanpa harus bertemu langsung,” kata Euis, Rabu (21/9). Ia menambahkan, mahasiswa harus lebih aktif agar bisa berinteraksi dengan dosen. Senada dengan Euis, Didin Sirojudin menuturkan, ia hanya mendapatkan sedikit mahasiswa yang datang untuk meminta persetujuan KRS. Dosen yang juga pendiri Lembaga Kaligrafi AlQuran ini berharap mahasiswa datang ke ruangannya untuk meminta nasihat atau sekadar konsultasi. “Setiap tahun anak didik saya bertambah akan tetapi tidak ada (mahasiswa) yang datang,” ucapnya Rabu (21/9). Lain hal dengan Didin, Dosen Fakultas Ushuludin (FU) Syamsuri justru berharap anak bimbingannya datang ke ruang dosen untuk menanyakan kegiatan perkuliahan. Ia menyayangkan, tak ada satu pun mahasiswa yang mengunjungi ruangannya untuk bertanya seputar kegiatan perkuliahan. “Seharusnya mahasiswa bisa menggunakan haknya,” tegas Syamsuri, Kamis (22/9). Sementara itu, Wakil Rektor I Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Fadhilah Suralaga mengiyakan kinerja dosen PA masih kurang efektif. Oleh sebab itu, penghargaan untuk dosen PA dalam bentuk nilai yang semula diberikan empat Satuan Kredit Semester (SKS) dikurangi menjadi satu SKS saja. “Kalau tidak efektif ya jangan terlalu banyak SKS nanti keenakan dosennya,” ucapnya, Selasa (20/9). Fadhilah yang juga membimbing mahasiswa di Fakultas Psikologi ini menambahkan ia tetap mengontrol kinerja dosen PA lewat laporan tiap fakultas dan saat menghadiri rapat bersama rektorat dan dekanat. Saat ditanya sanksi, ia mengakui tak ada sanksi yang diberikan kepada Dosen PA yang tak aktif. “Palingan teguran diberikan kepada dosen PA yang tak aktif,” tandas Fadhilah. Tak hanya penghargaan berupa SKS, Dosen PA juga diberikan hak berupauang honor. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Bagian (Kabag) Keuangan UIN Jakarta Siti Sugiarti. Menurutnya, terdapat honor untuk dosen PA, namun honor tersebut tidak diberikan pada semua Dosen PA. Sebelum mendapat honor, Dosen PA terlebih dahulu harus membuat dokumen yang berfungsi sebagai laporan hasil kerjanya selama membimbing mahasiswa. “Dokumen bisa berupa buku konsultasi mahasiswa atau pun foto hasil kegiatan,” sambung Siti, Selasa (20/9). Hanya dosen yang memenuhi syarat dan melaporkan ke Kabag Keuangan yang mendapat honor. Dokumen itu diserahkan ke Kabag Keuangan tiap satu semester. Ia pun menambahkan, hingga sekarang belum ada dosen yang mengajukan honor Dosen PA yang sebulannya bernilai sebesar Rp20 ribu per mahasiswa.“Kami hanya membayar honor dosen yang bekerja dan melaporkan kepada Kabag Umum,”tutupnya.

Ilustrasi: Yayang

Yayang Zulkarnaen


Kampusiana

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

Gaya Mahasiswa Memburu Wi-Fi selain karena hari libur, pada hari itu akses internet berjalan dengan sangat cepat. Sehingga, dapat ia nikmati untuk download film atau mengakses situs lainnya. Tak hanya untuk mengunduh film, ia juga menggunakan wifi kampus untuk mengakses jurnal-jurnal internasional. “Karena, ada beberapa jurnal internasional yang hanya dapat diakses menggunakan wi-fi kampus,” ujar Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan ini, Rabu (14/9). Menanggapi banyaknya mahasiswa yang memburu layanan hotspot gratis, Koordinator Pendukung Pusat Teknologi, Informasi, dan Pangkalan Data (Pustipanda) Abdullah berharap, agar semua mahasiswa dapat menggunakan fasilitas wi-fi kampus dengan bijaksana. Ia mengakui, saat ini tidak ada kebijakan dari pustipanda mengenai batasan waktu penggunaan wi-fi, meskipun sebelumnya pernah ada kebijakan tersebut. “Namun, kebijakan tersebut mendapat tentangan dari berbagai pihak,” ujarnya, Jumat (16/9). Demi meningkatkan layanan kepada seluruh sivitas akademika, lanjut Abdullah, Pustipanda akan memperbanyak jaringan wi-fi di seluruh kampus. Sehingga layanan hotspot semakin mudah didapatkan.

Patung Hindu dengan kain kuning menutupi seperempat bagian tubuhnya dapat pelancong temukan di depan setiap rumah desa Argosari. Tidak ketinggalan sajen dan dupa menghiasi sisi atas patung yang biasa masyarakat gunakan untuk sembahyang. Ya, sebagian besar warga di sana berasal dari Suku Tengger yang beragama Hindu. Masyarakat Suku Tengger pun banyak memanfaatkan hasil olahan alam untuk menyambung kehidupan. Dengan berprofesi sebagai petani, bidang tanah miring dan sejuknya udara digunakan untuk menanam kentang, wortel dan daun bawang. Sebagian dari lahan tersebut ada yang tengah dipanen dan banyak pula yang baru mulai digarap kembali. Sesampainya di loket masuk, pelancong cukup merogoh kocek

Rp5ribu/orang untuk bisa menikmati pesona alam di Puncak B29. Di sekitar loket masuk terdapat pula penjaja jasa ojek motor. Dengan menyisikan Rp10ribu-Rp15ribu, pelancong akan diantar hingga puncak. Namun, bagi pelancong yang ingin berlama-lama menikmati udara sejuk pegunungan bisa dengan berjalan kaki dan memarkirkan kendaraannya di loket masuk. Terlebih, Paving block yang tersusun rapi akan memudahkan langkah pengujung hingga mencapai puncak B29. Dengan menempuh jarak 1,5 kilo meter dari loket masuk, pelancong telah tiba di Puncak B29. Lautan pasir dan gagahnya Bromo didampingi bukit-bukit tinggi menjulang akan membuat siapapun berdecak kagum bila memandangnya. Bukan hanya

itu, kala matahari sedikit demi sedikit memunculkan wujudnya, lautan pasir yang terlihat sebelumnya akan berganti menjadi taman awan putih laiknya kumpulan kapas. Oleh karena itu, banyak yang menjuluki Puncak B29 sebagai Negeri di Atas Awan. Bagi pelancong yang hendak menikmati pemandangan tersebut dapat mendirikan tenda untuk bermalam. Namun, sangat disarankan untuk membawa persediaan air minum yang cukup karena tidak tersedianya sumber air. Di sisi lain, terdapat pula warung tenda yang menjual minuman hangat dan beberapa camilan bagi pelancong. Harga yang ditawarkan pun begitu terjangkau, dengan Rp3ribu pelancong dapat meneguk segelas kopi hangat dan Rp5ribu untuk satu porsi mie instan.

Foto: Jannah/Ins

yang akrab disapa Kanzul ini memilih malam hari untuk menggunakan jaringan wi-fi kampus. Pojokan Fidikom menjadi tempat pilihannya karena terdapat kontak listrik untuk mengisi baterai laptop ketika hampir habis. Terhitung terdapat 140 buah layanan hotspot yang ada di kampus UIN Jakarta. Banyaknya layanan hotspot, membuat mahasiswa mudah mengakses internet. Hal ini memicu banyak mahasiswa memburu wi-fi. Tak hanya Kanzul, berburu wi-fi juga

dilakukan Fairuz Nisrina, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Dia biasanya menggunakan layanan hotspot yang dapat terakses cepat, seperti di basement FEB dan Fidikom. Fairus mengungkapkan, layanan internet kampus sangat bermanfaat bagi mahasiswa lantaran akses internet sangat dibutuhkan untuk mengerjakan tugas. Tak hanya itu, mahasiswi yang akrab disapa Iyus ini pun pernah ke kampus pada hari libur, hanya untuk mengakses internet gratis saat mengerjakan tugas kuliahnya. Iyus merasa puas terhadap jaringan wi-fi kampus. Pasalnya, selain aksesnya cepat, kuota yang tersedia pun tak dibatasi pihak kampus. Namun, ia masih menyayangkan wi-fi kampus yang masih menggunakan akses privasi. “Sayang masih menggunakan password,” ujarnya, Rabu (14/9). Lain Kanzul dan Iyus, lain pula Muhammad Yusuf yang biasa memanfaatkan akses wi-fi di Masjid Student Center (SC). Selain aksesnya cepat, tempat yang nyaman menjadi alasannya memilih Masjid SC. “Ada karpetnya sih,” ucap Yusuf, Rabu (14/9). Yusuf mengakui, ia biasa menggunakan wi-fi kampus setiap hari sabtu dan minggu. Menurutnya,

Beberapa mahasiswa sedang menikmati fasilitas wi-fi di basement Fidikom, Sabtu (24/9). Mereka memilih sore hingga malam hari dengan alasan koneksi yang lebih cepat.

Jannah Arijah Adanya layanan hotspot gratis membuat beberapa mahasiswa rela bermalam dan mendatangi kampus saat libur. Sabtu malam (10/9), seorang mahasiswa sedang duduk di basement Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (Fidikom) dan Fakultas Ushuluddin (FU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan menggunakan sebuah laptop, mahasiswa semester lima ini sedang asyik menikmati jaringan Wireless Fidelity (wi-fi) yang ada di fakultas tersebut.

|5

Hal itu dilakukan Kanzul Fikrisyah setiap malam ketika keesokan harinya tidak ada kegiatan belajar mengajar di kampus. Mahasiswa FU ini selalu menggunakan jaringan wifi yang disediakan UIN Jakarta untuk mengakses internet secara gratis. Akses gratis internet itu ia manfaatkan untuk mengunduh film, jurnal, lagu, dan mengerjakan tugas. Akses cepat menjadi alasan pria

Perjalanan

Susuri Negeri Atas Awan Eko Ramdani

Jarum jam menunjukkan pukul 5.30 pagi, terlihat para petani ditemani traktornya berjalan menuju sawah. Mereka hendak membajak sawah seusai panen dan akan ditanami kembali dengan benih padi dan jagung. Memang sejak akhir bulan Ramadan lalu petani sibuk dengan hasil sawahnya. Mengawali perjalanan dari sisi selatan Jawa tepatnya di Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur, perjalanan ini akan menghabiskan waktu empat jam lamanya menuju Puncak B29. Terletak di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Puncak B29 menawarkan pemandangan alam berupa ladang hasil bumi yang tertata rapi dan masyarakat Suku Tengger dengan patung Hindu di depan rumahnya. Lebih lagi, pelancong juga dapat menikmati pemandangan Gunung Bromo. Untuk menuju Puncak B29, pelancong bisa melalui pusat kota Lumajang dan masuk ke Jalan Semeru. Hanya saja, tidak ada angkutan umum yang dapat mengantarkan pelancong sampai

ke tempat yang dijuluki Negeri di Atas Awan ini. Maka dari itu, sangat disarankan bagi pelancong untuk membawa kendaraan pribadi, khususnya motor. Tak seperti Bromo dan Semeru yang harus ditempuh dengan berjalan kaki hingga ke puncaknya, Puncak B29 dapat dicapai menggunakan kendaraan roda dua. Sayangnya, rute yang berkelok dan naik-turun membuat kendaraan harus menepi sejenak untuk mendinginkan mesin. Tapi, tak jarang ada kendaraan yang mesti mendapat perbaikan di bengkel yang berada di sepanjang jalan desa Argosari –desa Puncak B29–. Jika cuaca cerah, dalam perjalanan pelancong akan disuguhkan pemandangan puncak Gunung Semeru yang dikelilingi awan. Bukan hanya itu, sungai berair jernih dengan endapan pasir hasil erupsi gunung tertinggi Jawa ini akan memanjakan pelancong. Sebelum memasuki jalur khusus puncak B29, terdapat sebuah pura besar, Pura Semeru Agung namanya, yang akan ramai jika ada perayaan hari besar umat Hindu.

Foto: Eko/Ins

Meski tak sepopuler Bromo dan Semeru, Puncak B29 menawarkan pemandangan alam yang menawan. Suku Tengger menjadi pemikat budaya setempat


Survei

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

Pertanyakan Keberadaan Dosen PA Keberadaan Dosen Penasihat Akademik (PA) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi sebuah pertanyaan. Beberapa mahasiswa menilai kurangnya peran Dosen PA dalam memberikan bimbingan. Salah satu alasan adalah kurangnya pertemuan antara Dosen PA dengan mahasiswa secara intensif.

Padahal dalam buku Pedoman Akademik tertulis Dosen PA wajib menyelenggarakan forum perkenalan dengan seluruh mahasiswa bimbingan. Forum pertemuan ini diutamakan untuk mahasiswa semester awal. Munculnya pelayanan akademik secara online menjadi salah satu faktor kurangnya inisiatif dari dosen dan mahasiswa untuk melakukan

pertemuan. Wakil Rektor I Bidang Akademik Fadhilah Suralaga mengung-kapkan, Dosen PA dan mahasiswa mempunyai keharusan melakukan pertemuan minimal dua kali dalam satu semester. “Dosen Pembimbing Akademik mengumpulkan seluruh mahasiswa akademiknya dalam kelompok besar sekitar 40 atau 15 mahasiwa di

awal semester,� ungkapnya, Selasa (20/9). Menurutnya pembahasan semester awal biasanya membahas program studi atau fakultas terkait akademik seperti mata kuliah, peraturan, dan sistim akademik. Fadhilah menambahkan, untuk meminimalkan kurangnya peran Dosen PA adalah dengan menunjuk mahasiswa sebagai koordinator. Nantinya mahasiswa yang ditunjuk sebagai koordinator akan menjadi mediasi membahas pertemuan antara mahasiwa dengan Dosen PA. Khusus untuk mahasiswa dengan kelompok kecil seperti tiga atau lima mahasiswa,

|6

tidak perlu melakukan koordinasi. Cukup melakukan janji temu dengan Dosen PA atau menggunakan sarana komunikasi. Dari survei yang dilakukan Penelitian dan Pengembangan Lembaga Pers Mahasiswa Institut, mahasiswa UIN Jakarta merasa Dosen PA masih kurang dalam melakukan pertemuan dengan mahasiswa bimbingannya. (Aisyah Nursyamsi)

*Survei ini dilakukan oleh Litbang Institut pada 19-22 September 2016 kepada 200 responden dari mahasiswa di seluruh fakultas yang ada di UIN Jakarta. Metode pengambilan dalam survei ini adalah propotionated stratified random sampling. Hasil ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi Dosen PA yang ada di UIN Jakarta.

penasihat akad

emik

Ya

Tidak

Desain Visual: Zain/Ins

Desain Visual: Eko & Yayang

Redaksi LPM Institut

Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085693706311 Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.


Berita foto

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

|7

Foto: Yasir/Ins

Sumber: Dokumen Pribadi

Sumber: Dokumen Pribadi

Beberapa orang sedang menyaksikan tarian Salsa dalam acara ICFEST di lapangan parkir SC, Sabtu (16/9). Acara tersebut diselengarakan oleh UKM Bahasa FLAT UIN Jakarta.

Beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Forum UKM sedang melakukan pawai akbar keliling di FEB, Selasa (20/9). Pawai tersebut merupakan salah satu dari rangkaian acara Kampoeng UKM yang diselenggarakan 20-22 September 2016.

KILAS

KILAS

KILAS

Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada tengah memotong pita sebagai tanda peresmian gedung Pusat Perpustakaan, Kamis (8/9). Peresmian tersebut dihadiri oleh jajaran rektorat, dekanat, dan staf perpustakaan.

KILAS

KILAS

KILAS

FU Tambah Jurusan

Empat Prodi Raih Sertifikasi AUN-QA

Fakultas Ushuluddin (FU) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang semula memiliki tiga jurusan pada tahun ini membuka dua jurusan baru yaitu Ilmu Tasawuf dan Ilmu Hadis. Ilmu Tasawuf merupakan jurusan yang baru dikembangkan FU, sedangkan Ilmu Hadis merupakan pengembangan dari jurusan Tafsir Hadis yang juga menjadi jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir. Tiga jurusan yang dimiki FU sebelumnya adalah Tafsir Hadis, Perbandingan Agama, dan Aqidah Filsafat. Kini, FU memiliki lima jurusan yaitu, Ilmu Alquran dan Tafsir, Ilmu Hadis, Aqidah dan Filsafat Islam, Studi Agama-Agama yang sebelumnya Perbandingan Agama, dan Ilmu Tasawuf. Dekan FU Masri Mansoer mengungkapkan, pembukaan jurusan baru di FU sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 36 Tahun 2009 tentang Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Agama yang mengharuskan setiap perguruan tinggi pada Ilmu Ushuluddin minimal memiliki kelima program studi itu. “Jurusan baru memang sudah harus ada sejak PMA ditetapkan, tapi kita baru menyesuaikannya sekarang,” ujarnya, Kamis, (15/9). (Jannah Arijah)

Empat program studi (prodi) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta resmi mendapat pengakuan di Association of South East Asia Nations (ASEAN) melalui serifikasi ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA) pada Mei 2016 lalu. Empat prodi tersebut diantaranya Pendidikan Agama Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Bimbingan Penyuluhan Islam, dan Dirasat Islamiyah. Rektor Dede Rosyada mengklaim UIN Jakarta akan memiliki keuntungan jika memiliki sertifikat AUN-QA. Dalam hal ini, alumni prodi yang bersertifikasi AUN-QA lebih mudah saat melamar pekerjaan di negara kawasan ASEAN. “Apalagi sekarang Indonesia sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN ,” jelasnya, Rabu (21/9). Untuk ke depannya, Dede berencana akan mendaftarkan prodi lain untuk sertifikasi AUN-QA. “Dengan ini, kualitas akademik UIN Jakarta akan meningkatkan hingga sejajar dengan perguruan tinggi yang bersertifikasi AUN-QA lain,” tandasnya. (Dicky Prastya)

visit www.lpminstitut.com UPDATE TERUS BERITA KAMPUS


Opini

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

|8

Agus dan Antisipasi Anti-Intelektualisme Oleh Haris Prabowo* Diskursus politik Ibu Kota akhir-akhir ini cukup menarik, khususnya menjelang pemilihan gubernur (pilgub) 2017 DKI Jakarta mendatang. Pasalnya memang terjadi beberapa gerakan aktor-aktor politik yang cukup membuat peta pilgub DKI Jakarta berubah secara signifikan. Mulai dari Ahok yang akhirnya ‘melacur’ kepada partai politik dengan menggandeng Djarot kembali, Sandiaga yang akhirnya menggandeng mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, hingga yang paling cukup mengejutkan publik adalah muncul wajah baru dengan wajah lama dibelakangnya, Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni. Ditambah lagi, beberapa portal berita menaikkan isu bahwa ketiga pasangan tersebut adalah representasi dari tiga aktor lama kelas kakap, Mega, Prabowo, dan SBY. Mereka ibarat ‘turun gunung’ dalam Pilgub DKI Jakarta mendatang. Mereka mengerti bahwa Jakarta adalah pasar potensial untuk menaikkan namanya sendiri, hingga nama partai pengusung. Penulis tidak akan membahas Ahok-Djarot maupun Sandiaga-Anies, tetapi Agus Harimurti Yudhoyono terlihat patut diperbincangkan, bahkan diwaspadai. Ia adalah anak dari Presiden Republik Indonesia ke-6. Selain itu, ia dengan berani meninggalkan karier militernya, dengan pangkat mayor, untuk terjun ke kotornya arus perpolitikan Indonesia. Agus adalah orang yang unik dan

patut untuk diteladani. Menurut berbagai sumber ia termasuk kutu buku, yang pastinya bermacam literatur merupakan kudapannya. Baginya, membaca bukanlah sebuah hobi, namun sebuah keharusan bagi seorang prajurit. Ia sadar betul dengan membaca seorang prajurit dapat membuka wawasannya dan mengetahui segala hal. Hal tersebut bukanlah sebuah citra belaka. Itu bisa dibuktikan dengan tiga gelar master yang ia raih selama menempuh pendidikan. Ia juga pernah mengunggah foto di media sosialnya dengan tumpukan buku dan mengaku telah membaca lebih dari 100 buku selama setahun. Menurutnya, itu bukan hal yang biasa bagi seseorang yang bergelut di bidang militer. Bahkan ia pernah mengutip kalimat dari Leon Trotsky, seorang politisi Uni Soviet dan pemikir Komunis, saat mengunggah fotonya. Dirinya yang hadir dari kalangan TNI, jika dibandingkan dengan calon lainnya dari ranah sipil, seperti oase di Gurun Sahara. Karena jika kita melihat ke belakang, hubungan antara militer dengan dunia perbukuan di Indonesia tak pernah berjalan harmonis. Terdapat semacam alergi

bagi aparat militer jika berdekatan dengan dunia literatur. Mulai dari penggusuran perpustakaan jalanan oleh Kodam Siliwangi di Bandung, pembubaran paksa kegiatan-kegiatan bedah buku oleh aparat, hingga yang terakhir pembubaran perpustakaan jalanan di Universitas Muhammadyah Yogyakarta (UMY) beberapa waktu lalu menjadi ciri anti-intelektualisme. Penggusuran dan pembubaran

akan kegiatan literasi yang terjadi begitu saja membuktikan Pemerintah setempat gagal hadir dalam melindungi konstituennya. Walaupun belum pernah terjadi kasus serupa di wilayah DKI Jakarta, penulis kira Agus bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi kebebasan mencari ilmu bagi masyakaratnya. Tentu sosok seperti Agus bisa menjadi pencerah bagi berbagai kegiatan literasi di DKI

Jakarta untuk ke depannya. Memiliki wawasan luas dan berintelektual seharusnya menjadi nilai lebih. Paling tidak, ia memiliki otak yang bernas, daripada calon-calon yang lain. Namun, sepertinya kita juga harus berantisipasi jika segala sesuatu tidak sesuai dengan kemauan. Penulis berharap jika Agus, sebagai individu yang gemar membaca, tidak lupa juga membaca sejarah. Dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Fernando Baez menjelaskan bahwa dalam s e j a ra h nya sering terjadi pemberangusan atau pemusnahan buku-buku secara lini masa. Praktik tersebut, yang biasa disebut bibliosida, lazimnya dilakukan oleh penguasa. Ini merupakan sebuah cara homogenisasi masyarakat, membuat seluruh masyarakat menjadi seragam sesuai dengan kemauan penguasa. Bibliosida juga merupakan kegiatan anti-intelektualisme. Tetapi, apakah dengan kegiatan anti-intelektualisme itu berarti sang penguasa adalah seorang kurang terdidik? Justru sebaliknya. Rene Descartes pernah meminta agar pembacanya membakar bukubuku lawas, filsuf David Hume juga

meminta agar buku metafisika dibumihanguskan, belum lagi Adolf Hilter yang membakar seluruh bukubuku Yahudi dan komunisme. Jika dilihat dari nama-nama tersebut mereka adalah para cendikiawan, orang pintar, berwawasan luas, dan juga berintelektual. Maka bisa dikatakan bahwa para pelaku bibliosida di masa lalu sebenarnya merupakan penikmat buku itu sendiri. Mereka paham betul bagaimana kekuatan buku. Mereka mengerti apa yang akan terjadi di masyarakat jika mereka hidup dengan buku. Namun orang-orang pintar ini hanya ingin ilmu-ilmu tertentu yang menjadi bahan rujukan pada masanya, karena itu bibliosida terjadi. Kegiatan anti-intelektualisme berakar sejak zaman dahulu. Jadi, bisa kita membayangkan dua kemungkinan yang akan terjadi jika Agus berhasil menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Ia suka membaca buku, ia tahu kekuatan buku, ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan keinginannya. Ditambah, ia adalah seorang lulusan militer. Hal seperti ini yang sepertinya patut diwaspadai. Kita sebagai masyarakat harus bisa berantisipasi bahwa dengan terpilihnya Agus, kegiatan anti-intelektualisme seperti di Bandung dan Yogyakarta tidak akan terulang di Ibu Kota.

di luar Jakarta. Dengan tensi politik Jakarta yang tengah memanas belakangan, sudah barang tentu perhatian masyarakat kita hari ini sedang terambil alih. Kembali ke bahasan awal. Sialnya, kondisi gumunan itu tak hanya menimpa terhadap isu politik, bahkan terhadap semua isu yang menjadi tren di internet dan lini media sosial. Ingat bagaimana perhatian kita teralih di berita bom Sarinah? Kabar kematian Suyono, warga Yogyakarta tertuduh teroris oleh militer dan diamini media kita? Atau isu-isu terorisme lain yang termonopoli oleh instansi militer kita. Berita-berita yang bahkan kita tak tahu validasinya itu, kita percayai dan kemudian kita sebarkan begitu saja hingga membentuk opini publik. Soal terorisme, imaji kita pun dibentuk dengan orang-orang bercelana cingkrang, berjanggut, atau berjidat hitam. Setiap bertemu dengan orang-orang seperti itu di jalan atau bahkan mereka adalah kerluarga dekat kita sendiri, kita walhasil mengambil jarak, mewaspadai, lebih-lebih membentuk sekat dengan mereka. Kita bahkan tak berpikir lebih jauh. Seolah-olah media atau semua informasi yang kita peroleh di internet dan media sosial sama kastanya dengan kitab suci. Betapa sesungguhnya imaji-imaji perpektif kita telah dibentuk dengan simbol-simbol: politik, agama,

maupun sosial. Bahkan kita hanya bisa menertawai orang-orang dengan berbeda pandangan dan keyakinan yang berbeda dengan kita. Mengambil jarak, kemudian memusuhinya. Yang paling sederhana, di dunia akademis atau di luar, sebagian masyarakat kita juga masih teraimaji, bahwa laki-laki bertato, bercelana sobek, atau berambut gondrong adalah kelompok manusia dengan status sosial yang rendah. Bahkan mungkin, tak selayaknya berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang beradab. Mereka membentuk standarstandar berdasarkan ukuran yang mereka buat sendiri. Seolah-olah mereka yang mayoritas sudah pasti kebenarannya. Dan mereka yang minoritas sudah pasti salah. Dan berhak untuk ditindas. Simbol memang melenakkan. Melupakan. Namun juga menghancurkan. “Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman (Jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut, jangan mudah manja),” begitu pesan Kanjeng Sunan Kalijaga.

*Redaktur Pelaksana LPM Aspirasi UPN Veteran Jakarta

Benarkah Kita Sudah Berpikir Adil? Oleh Thohirin*

Masyarakat kita selalu dihadapkan dengan pilihan sulit dalam setiap momentum elektoral di negeri ini: pilpres, pilgub, maupun pileg. Bukan, saya tidak sedang membahasa pilgub DKI yang sedang riuh sedan belakangan ini. Saya tak punya kepentingan dengan itu, lagipula saya juga bukan warga Jakarta. Namun justru di saat seperti inilah kadang akal sehat kita kerap kali ‘kedororan’ tanpa sadar, sehingga melihat semuanya tak jernih. Situasi itu berkebalikan dengan jargon berpikir adil (yang kerap mengutip dari Pram) yang nyatanya sudah seperti manunggal dengan urat nadi kalangan intelektual kita, tak terkecuali bagi mahasiswa. Ingatkah bagaimana isu yang berhembus menjelang pilpres 2014 silam? Perbincangan SARA yang ditujukan untuk kedua calon presiden kala itu, mungkin sudah melebihi kadar makan kita dalam sehari atau durasi jam belajar kita sebagai mahasiswa di dalam dan di luar kelas. Momentum elektoral pilgub DKI sedang berada pada tensi tinggi. Sebagai pengguna aktif media sosial, keadaan belakangan ini tak jauh beda dengan dua tahun lalu saat pilpres 2014. Melihat kasta DKI, kondisi yang terjadi barangkali tak aneh. Level DKI mungkin hanya berada satu tingkat di bawah momentum pilpres. Wajar saja, momentum ini bukan

hanya menarik warga Jakarta, bahkan mungkin menjadi magnet bagi seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Kadarnya mungkin telah mengalihkan perhatian kita pada sidang Sisca di isu kopi Mirna yang sama menyebalkannya itu. Namun, itulah masyarakat kita. Gumunan. Ikut-ikutan. Mudah terbawa isu. Perbedaan politik itu sudah menjadi kepastian. Namun, membawa perbincangan SARA dalam politik, tentu di luar hal lumrah, meski nyatanya itu kerap dianggap wajar. Berapa jam kah kita berselancar di internet atau media sosial dalam sehari? Sepanjang itu pulalah kita dicekoki tanpa sadar oleh berbagai kabar politik yang kita lihat, baca, dan dengar. Sialnya, tak banyak masyarakat kita yang dapat memfilter deras arus informasi itu. Menimbangnya dengan bijak. Walhasil, itulah yang kita yakini dan juga perbincangkan dengan teman, sanak saudara, maupun keluarga di dunia nyata. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada 2014 mencatat Indonesia berada di posisi delapan sebagai pengguna internet terbanyak di dunia dengan angka 82 juta pengguna. Pada 2015, We Are Social, sebuah lembaga agensi marketing sosial, angka itu naik menjadi 88,1 juta. Dari jumlah itu, Jawa menempat posisi terbanyak sebagai pengguna internet terbanyak

di Indonesia dengan angka 52 juta. Disusul Sumatera (18,6 juta), Sulawesi (7,3 juta), Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku (5,9 juta), dan Kalimantan (4,2 juta). Dari total angka itu, sebanyak 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media sosial. Dan Indonesia

berada di posisi empat sebagai pengguna media sosial Facebook terbanyak di dunia dengan angka 65 juta pengguna aktif. Posisi itu berada di bawah USA, Brazil, dan India. Itu baru internet dan media sosial. Belum lagi, dengan sebagian mayarakat yang belum lepas dari televisi atau radio. Persoalannya, sebagian besar televisi swasta kita hari ini adalah televisi jakartasentris. Saya pernah mendengar keluhan salah seorang pemateri dalam sebuah diskusi. Betapa tidak pentingnya informasi yang disajikan televisi swasta kita terhadap masyarakat

* Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir, FU, UIN Jakarta

“ada orang yang mengkritik tapi tidak memberi jalan keluar. ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengkritik.” -emha ainun nadjib-


Kolom Editorial

Ubah Gelar Sarjana, Efektifkah? Aturan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementrian Agama (Kemenag) mengubah gelar sarjana bagi seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) merupakan pilihan tepat. Alasannya, agar para sarjana PTAI nantinya dapat mudah bersaing di dunia kerja bersama para sarjana dari Perguruan Tinggi Swasta/ Negeri (PTS/PTN). Lantas, di mana letak memudahkan para sarjana dari PTAI untuk bersaing di dunia kerja jika para sarjana di kemudian hari tak paham dengan kerja yang ia geluti. Semua ini tentu lantaran terjadinya pergantian gelar yang jelas-jelas mengeneralisir seluruh bidang ilmu. Sebut saja Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang berganti gelar sarjana dari SE.Sy jadi SH. Harusnya, sebelum pergantian gelar sarjana, para mahasiswa dibekali mata kuliah yang sesuai dengan gelar yang mereka sandang nantinya. Tak bermaksud sama sekali menyalahi Peraturan Menteri Agama (PMA) RI nomor 33 Tahun 2016 tentang Gelar Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan yang mengganti gelar sarjana di PTAI. Hanya, di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, perubahan gelar masih menjadi perbincangan hangat para pejabat kampus, masih ada 14 poin pertimbangan katanya. Yang menarik, perubahan gelar sarjana bukan kali pertama terjadi di UIN Jakarta. Sekitar dua tahun lalu pun terjadi hal serupa. Bedanya, saat itu kampus kita masih betah dengan embel-embel ‘I’ yang berarti ‘Islam’. Mengapa? Mengapa masih ada ‘I’ di akhir gelar sarjana UIN Jakarta dua tahun sebelum sakarang? Jelas, karena UIN Jakarta yang mengubah gelar sarjananya, bebas tak ada aturan dari Kemenag. Sebenarnya, tak menjadi persoalan akan diganti jadi apa gelar sarjana UIN Jakarta kelak. Toh, tiap perguruan tinggi memiliki otoritas mengubah gelar sarjananya masingmasing. Entah mau diapakan PMA RI nomor 33 Tahun 2016 tentang Gelar Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan yang mengganti gelar sarjana di PTAI ini jika tiap perguruan tinggi berhak mengatur gelar sarjananya masing-masing. Keliru rasanya Kemenag menurunkan atau mengedarkan peraturan tersebut.

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

|9

Memahami Problem Lembaga Kemahasiswaan Oleh Andikey Kristianto* Setiap perguruan tinggi umumnya memiliki Organissi/ Lembaga Kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Mahasiswa (DEMA), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) atau Senat Mahasiswa (SEMA), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berada di bawah naungan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan (untuk HMJ). Organisasi tersebut didirikan untuk mewadahi aspirasi, minat, bakat, dan hobi bagi mahasiswanya. Lembaga Kemahasiswaan (LK) seperti DEMA atau SEMA merupakan lembaga yang mengorganisir kebutuhan dan kegiatan mahasiswa secara umum. Sedangkan UKM lebih fokus pada bidang keterampilan khusus yang diikhtiarkan untuk menambah kapasitas diri dan keterampilan hidup anggota yang menunjang dirinya paska merampungkan studi S-1. Seiring perjalanannya, setiap LK berusaha melakukan kaderisasi dan reorganisasi minimal setahun sekali. Namun, persoalan klasik seringkali menghantui LK, antara lain kepemimpinan yang tidak muncul/tidak membumi dari Pimpinan Lembaga, sehingga pengurus maupun anggotanya menjadi kurang percaya diri, bahkan cenderung mengabaikan fungsi pimpinan, dana kegiatan yang kurang memadai, kaderisasi macet, kepengurusan yang kurang maksimal, konflik kepentingan antar pengurus yang mungkin dipicu masalah pribadi, konstalasi politik kampus dan sebagainya. Bila dipahami seksama, LK memiliki manfaat yang luar biasa. Hal tersebut biasanya baru dapat dirasakan manakala kita sudah menjadi sarjana atau berstatus mahasiswa non aktif. Bila kita jujur, maka kita akan mengakui efek positif sebagai anggota atau pengurus LK di Kampus. Sejak dilahirkan, manusia sudah diperkenalkan dengan organisasi, bahkan sampai seseorang meninggal dunia dan dimakamkan, organisasi masih berperan atas diri seseorang. Sehingga dapat dikatakan, bahwa manusia sulit untuk –dan sepertinya tidak mungkin- hidup sendiri tanpa keterlibatan orang lain dan tanpa adanya peranan organisasi. Mengapa Berorganisasi?Pertanyaan ini, sepertinya lebih tepat jika diajukan kepada Kita yang pernah atau masih menjadi anggota sebuah organisasi formal tertentu. Karena Kita lebih mengerti dan memahami alasan yang mendasari Kita masuk menjadi anggota sebuah organisasi (baik dengan alasan yang positif maupun negatif ), dan apapun alasan Kita, pastilah dilandasi oleh suatu kepentingan atau kebutuhan tertentu yang menyangkut/ berpengaruh terhadap diri Kita sendiri. Sejahat atau semulia apapun tujuan seseorang menjadi anggota sebuah organisasi tertentu, kita tidak akan panjang lebar membahas mengapa seseorang memiliki tujuan jahat atau mulia dalam berorganisasi. Akan tetapi kita akan membahas bagaimana kita membangun sebuah organisasi yang ideal. Apakah sebuah organisasi itu ideal atau tidak, ukurannya sangat relatif, biasanya tergantung pada sesuai atau tidaknya realitas di lapangan atas pelaksanaan kegiatan dan pengejawantahan visi-misi serta tujuan utama organisasi tersebut didirikan. Mungkin saja organisasi yang ideal bagi seseorang adalah organisasi yang memiliki sistem kerja dan koordinasi yang baik antar pengurus

dan anggotanya dalam mewujudkan tujuan organisasi, memiliki struktur dan tim kerja yang jelas, kuat dan solid. Ditambah, kreatif dan sukses ketika mengadakan dan melaksanakan suatu program kegiatan organisasi, diisi oleh para anggota maupun pengurus yang baik budi pekertinya, yang loyal-bertanggung jawab serta memiliki komitmen kerja yang kuat terhadap organisasi, dan senantiasa beritikad untuk terus mengembangkan serta memajukan organisasinya, dan adanya sistem pengawasan dan pertahanan organisasi yang menutup kemungkinan masuknya inflitrasi (penyusupan) maupun spionase (tindakan memata-matai) dari pihak (di dalam dan luar organisasi) yang memiliki kepentingan yang dapat merugikan organisasi tersebut. Setiap orang memiliki pandangan maupun kesan terhadap suatu organisasi tertentu, sehingga hal tersebut dapat memengaruhi dirinya untuk menentukan organisasi apa

“Agar dapat

bergerak keluar, Lembaga Kemahasiswaan harus selesai dulu menangani problem internalnya.

yang akan ia masuki atau ia geluti. Zaman Berkembang Pembaharuan Teknologi Semakin Cepat. Kesadaran mengembangkan diri sebagai pegiat LK perlu diimbangi dengan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang up to date. Bila kita ingin transformasi nilai-nilai dan berbagi pengalaman organisasi tercurahkan secara komunikatif, maka kita harus membuka serta mengembangkan saluran informasi teknologi yang ada. Hal dimaksud dapat melalui website maupun blog yang tersedia gratisan. LK yang notabene digawangi dan dikembangkan oleh mahasiswa harus menjadi pusat transformasi sosial yang efektif. Karena bila kita kembali mengurai fungsi sosial sebagai mahasiswa, maka tugas sebagai agent of change adalah status utama yang ditanamkan saat kita menjalani orientasi mahasiswa baru dan sejenisnya. Bedanya mahasiswa yang aktif di Lembaga Kemahasiswaan dan yang hanya kuliah belaka adalah hubungan jangka panjangnya. Hampir setiap LK (khususnya UKM) di manapun memiliki status keanggotaan seumur hidup, sehingga meski sudah tua dan bertahun-tahun

meninggalkan kampus, dirinya punya keluarga di UKM. Hubungan abadi biasa terjadi di UKM. Mungkin, hal penting yang harus dikembangkan oleh pegiat LK dimanapun berada adalah membangun kultur pembelajaran yang lebih aktif serta interaktif dengan dukungan pola komunikasi yang pro aktif dari seluruh pengurus dan anggotanya. Sebagai contekan, setiap kali saya terlibat obrolan panjang tentang kondisi LK di kampus saya, ujung-ujungnya masalah KOMUNIKASI yang jadi problem mendasar atas mandegnya aktifitas kelembagaan. Keadaaan yang mandeg karena hambatan komunikasi menjadi pemicu macetnya kreatifitas dan antusiasme anggota/pengurus Lembaga, hal ini patut diwaspadai oleh Pimpinan Lembaga juga senioren-senioren yang memang masih turun ke lapangan. Agar dapat bergerak keluar, maka LK harus selesai dulu menangani problem internalnya, jika tidak, alamat semakin terpuruklah organisasi tercinta kita. Umur organisasi kemahasiswaa yang ada mungkin berbeda-beda, boleh jadi para pendirinya pun sudah jauh berada nun jauh dimana. Tinggal kita yang sekarang menjadi pengurus dan anggota aktif harus terus menghidupi nyala api aktivitas LK. Beberapa yang harus diperhatikan para Pegiat LK, di antaranya meninjau kembali visi-misi organisasi sehingga setiap anggota khususnya dan civitas akademika lainnya dapat memahami dan benar-benar mendapatkan kejelasan tentang gambaran besar alasan mendasar berdirinya organisasi. Minimal setiap anggota paham kenapa dan bagaimana mereka seharusnya sebagai anggota organisasi. Meninjau kembali Pedoman Organisasi: Visi, Misi, Sistem Rekrutmen Anggota, Sistem Keanggotaan, Sistem Kepengurusan, Kekuasaan Tertinggi organisasi, Hak dan Kewajiban Anggota, Hak dan Kewajiban Pengurus, Sistem Pengelolaan Keuangan organisasi, Pelanggaran dan sanksinya, dan Sebagainya. Hal tersebut tadi jadi media utama dan rujukan awal bilamana organisasi mendapatkan kendala kelembagaan, selebihnya bila belum ada maka konsensus menjadi cara lain mengatasi problem. Meninjau ulang atau membuat ketetapanketetapan organisasi yang mencakup: detil proses rekrutmen anggota, kode etik anggota, ikrar pelantikan buat anggota baru/ pengurus, Dewan Kehormatan (Pengawas) Organisasi, sistem administrasi kesekretariatan, sistem laporan keuangan-kegiatan organisasi, dan sebagainya. Membuat database anggota dari angkatan pertama hingga terkini, dan meng-update infonya setiap saat. Kalau perlu setiap anggota punya nomor anggota yang harus dihapal oleh masing-masing anggota. Masih banyak hal yang lainnya, dan menurut penulis, hal-hal yang tercantum tersebut di atas mungkin bagian yang paling butuh perhatian. Mungkin saja tidak semua organisasi membutuhkan peninjuan ulang. Semuanya kembali kepada realitas sesungguhnya pada diri organisasi yang saat ini kita hidupi dan kita kembangkan. *Tim Pembina Lembaga Kemahasiswaan UIN Jakarta

Ralat

TABLOID INSTITUT EDISI XLIII halaman empat, kolom tiga tertulis ”Kabiro AKK Zainal Arfin” seharusnya tertulis “Kabiro AKK Zainal Arifin”. TABLOID INSTITUT EDISI XLIII halaman tujuh, kolom Kilas tertulis “Tim acara milad Andi Kristanto” seharusnya tertulis “Tim acara milad Andi Kristianto”. TABLOID INSTITUT EDISI XLIII halaman 15 tertulis “Direktur Bisnis GB Parking Nindya Nezara” seharusnya tertulis “Direktur Bisnis GB Parking Nindya Nazara”.


Tustel

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

Memanusiakan Manusia Foto dan Teks oleh Nurul Ramadhan (KMF Kalacitra) Gila adalah gangguan mental yang ditandai pemikiran dan emosi yang sangat terganggu. Dari permasalahan tersebut, jiwa Dadang Heriadi terpanggil untuk memanusiakan manusia. Ia dan beberapa temannya membentuk Yayasan Mentari Pagi. Yayasan ini mengumpulkan dan menampung orang-orang dengan gangguan mental di jalan-jalan Tasikmalaya. Di yayasan yang berdiri tahun 2007 ini para pasien pun jauh lebih terurus dari pada tinggal di jalan. Mereka mulai beraktivitas sejak pukul enam pagi. Setelah mandi dan sarapan, pengidap gangguan mental ini berjemur di bawah sinar mentari pagi. Awalnya, Dadang hanya menampung lima orang gila. Jumlah itu meningkat jadi 25 orang. Pada 12 Januari 2016, total pasien di markas orang gila itu berjumlah 267 jiwa. Sedangkan yang sudah sembuh, sebanyak 198 orang. Sementara itu, Dadang berharap agar warga Indonesia turut peduli pada orang-orang gila di sekitarnya, tidak hanya di Tasikmalaya saja. Pasalnya, orang gila seburuk atau sehina apapun rupanya adalah bagian dari negara Indonesia. Pemerintah juga harus lebih memerhatikan orang gila di yayasan dan yang berkeliaran di jalan.

Meratapi Nasib

Terpasung

Simbol Jati Diri

Dikurung di Kamar

Mandi

Pakaian Pengidap

Asupan Gizi

Pengurus Yayasan

| 10


Wawancara

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

| 11

Rombak Gelar Sarjana

Foto: Eko/Ins

Dan juga ada penambahan prodi seperti Psikoterapi dan Tasawuf sebagai prodi di PTAI dan PTAIN.

Kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) terkait perubahan gelar wisudawan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) kembali dikeluarkan. Titel sarjana Islam mulai dihilangkan. Sejak enam tahun terakhir, Kemenag kembali mengeluarkan kebijakan baru terkait perubahan gelar untuk beberapa program studi (prodi) di PTAI dan PTAIN. Namun semenjak dikeluarkannya kebijakan tersebut, tak semua mahasiswa setuju karena merasa gelar yang disematkan tidak sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Penghilangan gelar Islam untuk sarjana PTAIN mulai dipertanyakan karena terkesan menghilangkan eksistensinya sebagai universitas berbasis Keislaman. Lantas apa alasan khusus dikeluarkan kembali kebijakan pergantian gelar pada 2016 PTAI dan PTAIN yang dilakukan 2009 lalu. Berikut hasil wawancara reporter Institut Aisyah Nursyamsi dengan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Amsal Bakhtiar di ruang kerjanya lantai tujuh Gedung Kemenag, Senin (19/9).

Apa alasan gelar sarjana PTAI diubah kembali, padahal sebelumnya pernah dilaksanakan 2009 lalu? Ada beberapa alasan yaitu pertama, perubahan ini dikarenakan untuk mengikuti perubahan dinamika akademik dan masyarakat. Hal ini terkait tuntutan perkembangan zaman, begitupun dengan persaingan dunia kerja yang semakin ketat. Alasan itulah yang memengaruhi perubahan gelar seperti sarjana pendidikan bergelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) menjadi Sarjana Pendidikan (S.Pd.) saja. Begitu pula dengan Sarjana Syariah (S.Sy.) dan sebagainya. Kedua, kita berusaha mengintegrasikan dan tidak memisah-misahkan keilmuan. Semua ilmu itu satu kesatuan, bersifat umum dan tidak

terkotak-kotakkan oleh ras, agama dan lainnya. Ketiga adalah aturan yang diberikan oleh tiap Pemerintah Daerah (Pemda) menggunakan gelar sarjana tanpa penambahan Islam.

Kenapa bisa demikian? Saya tidak mengetahui alasannya dengan pasti, yang jelas sudah ada kebijakan seperti itu dari Pemda.

Ada berapa prodi yang masuk dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait perubahan gelar ini? Perlu ditegaskan jika tidak hanya perubahan gelar yang dilaksanakan. Tapi dalam PMA ada pula terkait pengembangan prodi dari jumlah 30 menjadi 54. Semisal dahulu hanya ada prodi Tafsir Hadis tapi tahun ini terjadi pemisahan menjadi Ilmu AlQuran dan Tafsir serta Ilmu Hadis.

Lantas solusi apa yang diberikan kepada keluhan mahasiswa perihal gelar sarjana yang dianggap tidak sesuai dengan jurusan? Terkait hal ini telah dibuat aturan untuk menyesuaikan beberapa bobot sistem kredit semester (sks) dengan gelar yang diberikan. Salah satu contoh adalah Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang semua wisudawannya digelari Sarjana Hukum (S.H.). Memang, tidak semua prodi FSH berbasis hukum semisal Muamalat. Maka dari pihak universitas atas izin Kemenag harus memberikan 80 persen mata kuliah bermuatan hukum. Kapan waktu tenggat penerapan perubahan gelar sarjana ini? Penerapannya sudah dimulai semenjak peraturan ini dikeluarkan. Perubahan gelar memang tidak langsung serentak dilaksanakan. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa perbaikan penempatan prodi Bimbingan Konseling Islam yang seharusnya hanya ada di Fakultas Dakwah. Tapi di sebagian PTAI didapati prodi yang sama di Fakultas Tarbiyah. Salah satu strateginya adalah menambahkan titel pendidikan menjadi Bimbingan Pendidikan Konseling Islam (BPKI).

Apakah ada universitas yang tidak setuju dengan peraturan baru? Tidak ada karena semua pihak PTAI dan PTAIN ikut terlibat dalam perumusan PMA ini. Kalau ada yang ingin memprotes berarti sama saja dengan tidak menghargai apa yang

telah disepakati bersama.

Apakah kampus punya otoritas untuk menentukan gelar? Tidak, karena semua ketentuan bersifat nasional, kecuali perguruan tinggi tersebut bersedia untuk tidak lagi di bawah Kemenag. Semua kebijakan yang dikeluarkan menteri wajib untuk dipatuhi.

Apakah dari pihak Kemenag ada konsultasi ke Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) terkait pergantian gelar? Tentu saja tidak, karena Kemenag adalah lembaga otonom dan berdiri sendiri. Pihak Kemenristekdikti tidak melakukan konsultasi atau koordinasi dengan Kemenag.Kemenristekdikti yang mengatur Perguruan Tinggi Negeri tidak memiliki keharusan melakukan konsultasi terkait pemberian gelar terhadap prodi keagamaan. Bagaimana mekanisme pergantian gelar? Pengesahan terakhir tentu dilakukan oleh menteri. Hasil pengesahan dikenal dengan PMA. Proses mekanisme pengesahan pergantian gelar tersebut tidak sebentar dan membutuhkan waktu dua tahun untuk merumuskannya.

Menurut anda apakah penghapusan titel Islam pada gelar tidak menghilangkan nilai dari Universitas Islam itu sendiri? Tergantung bagaimana sudut pandang orang yang melihat dan memberikan penilaian. Jika dilihat dari sudut pandang kelimuan,meskipun titel islam dihapus tetaptidak akan mengurangi nilai-nilai Keislaman dari PTAI dan PTAIN.

Pasang Iklan

B a n g P e k a

Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid Institut, Majalah Institut, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM Institut. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid Institut Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid Institut ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud) Institut Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah Institut Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester. CP: Jeannita Kirana No HP: 0857 1528 9106


Resensi

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

| 12

Ambiguitas Bahasa Indonesia Kerancuan bahasa masih menjadi perdebatan panjang di Indonesia. Ambiguitas menjadi faktor utama. Sebagian kalangan masyarakat Indonesia percaya bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa yang sulit dipelajari. Tak dapat dipungkiri, bahasa Indonesia banyak memunculkan polemik dalam memahami suatu kata. Bahkan, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga menimbulkan sebuah perdebatan. Pembahasan ketaksaan Pancasila berawal dari sebuah diskusi antar dosen dan mahasiswa dalam kelas bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman. Berthold Damshäuser selaku dosen bahasa Indonesia membuka sebuah diskusi terbuka di dalam kelasnya. Saat membahas Pancasila, banyak mahasiswanya yang bingung karena ambiguitas kata. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi awal mula perdebatan. Mahasiswa menganggap imbuhan kata “kean” dalam “ketuhanan” adalah sebuah kekeliruan. Berpegang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ketuhanan berarti sifat yang berhubungan dengan Tuhan. Timbulah pertanyaan, “Mengapa harus ketuhanan?” Alangkah baiknya “ketuhanan” diganti “Tuhan”. Masalah kedua muncul saat “ketuhanan” dikaitkan dengan “maha esa”. Lagi-lagi, mahasiswa

kembali mempertanyakan semantika kalimat tersebut. Esa berarti satu, tak bisa dibandingkan. Penambahan kata “maha” membuat diskusi semakin pelik karena di situ terdapat makna yang hiperbolis. Tak hanya sila pertama yang dijadikan bahan pelajaran, sila keempat dalam Pancasila juga mendapat respons kritis dari kalangan mahasiswa. Sila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, menimbulkan rancu semantika dalam kata “kerakyatan”. Dalam hal ini, para mahasiswa menganggap penggunaan “kean” menyimpang dari makna sebenarnya. Menurut KBBI, “kerakyatan” berarti segala sesuatu yang mengenai rakyat; demokrasi; kewarganegaraan. Imbuhan ”kean” kembali menjadi persoalan di kalangan mahasiswa. Namun, Berthold berdalih, Pancasila memiliki makna tersirat dan multitafsir. Dalam diskusi selanjutnya, mereka juga mengupas terkait potensi bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia. Sebagai dosen, Berthold mengajak mahasiswanya agar optimis terhadap adidaya bahasa Indonesia. Tetapi, usaha Berthold tak mendapat respons positif. Sebaliknya, mahasiswa

malah kembali menantang sang dosen dengan argumen-argumen kritis-rasionalis. Mahasiswa berdalih, bahasa dunia sebagai bahasa global digunakan untuk berdiplomasi, berdagang, dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Dalam penggunaan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih miskin kosakata. Banyak kata serapan Indonesia dari bahasa asing yang menjadi percakapan seharihari. Sebab, pengaruh imperalisme sangat kuat dalam penyerapan bahasa Indonesia. Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga lebih menyukai kata serapan dari bahasa asing ketimbang bahasa lokal. Kasus seperti ini kebanyakan terjadi di kalangan politisi dan akademisi. Kedua golongan tersebut memakai istilah asing sewaktu percakapannya sehari-hari. Akibatnya, gagasan yang seharusnya dipahami masyarakat malah berubah menjadi jurang terjal dalam penggunaan bahasa. Lagipula, masyarakat Indonesia juga belum peka terhadap budaya tulisan. Mereka menjabarkan, kebanyakan budaya-budaya Indonesia yang dikenal dunia adalah budaya lisan. Contohnya adalah tarian, wayang, batik. Budaya tulismenulis di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat minim. Di lain pihak, perkembangan sastra Indonesia juga masih terbilang sedikit. Kebanyakan pegiat sastra Indonesia belum memperkenalkan

ciptaannya kepada masyarakat global. Karya sastra berupa puisi, prosa, cerpen, dan novel masih ditulis dengan bahasa lokal. Apabila karya tersebut diterjemahkan ke bahasa global, Jerman misalnya, kebudayaan tulisan berupa sastra kemungkinan besar dilirik masyarakat dunia. Buku karangan Berthold Damshäuser yang berjudul Ini dan Itu Indonesia berusaha mengkaji ketaksaan dalam bahasa Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk melek terhadap ambiguitas bahasa Indonesia yang ada di dalam penggunaan lisan maupun tulisan. Selain itu, Berthold juga menjabarkan tentang perkembangan sastra Indonesia di mata dunia. Menurutnya, peranan penerjemah sangat penting dalam pengenalan budaya literasi Indonesia. Ia pun berani berpendapat bahwa penerjemah sastra hampir sama dengan penyair yang menciptakan sebuah karya, walaupun mereka hanya menerjemahkan sebuah karya dari sang penyair itu sendiri. Penulisannya yang bersifat kritisironis bisa mengecoh pembaca. Mereka tak akan tahu bahwa diskusi antara dosen dan mahasiswanya adalah diskusi fiktif. Ia berani memosisikan dirinya sebagai dosen yang mati-matian membela argumen kritis dari mahasiswa. Bagi orang yang membaca buku ini,

Sumber: Internet

Dicky Prastya

mereka hanya bisa tersenyum manis sekaligus miris dalam meratapi ketaksaan bahasa Indonesia. Meski sastra Indonesia mesti dipahami secara tersirat, Berthold tetap memuji perkembangan sastra Indonesia di depan masyarakat dunia. Ia mengaku, itu sebuah kekayaan intelektual yang sekaligus memerlukan kekayaan imajinasi pada siapapun yang membaca karya sastra Indonesia. Karenanya, karya penyair Indonesia tak bisa dilihat sebelah mata.

Judul: Ini da n Itu Indonesia: Pa nd anga n Seorang Jer Penu lis: Berthold ma n Da mshäuser Penerbit: Komo do Book s Ta hun: 2015 Teba l: 223 ha lam an

Potret Nelayan Melawan Reklamasi

Aisyah Nursyamsi

Sumber: Internet

Semangat perjuangan nelayan melawan reklamasi tak pernah surut. Sayangnya perjuangan yang dilakukan oleh nelayan tak kunjung berbuah manis.

su n Pulau Pal Judul: Rayua ER MENT Genre: DOKU i purwo s. Rud Sutradara: enit Durasi: 59 m Tahun: 2016

Di atas perahu Pinisi Hati Buana Setia yang berada di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jokowi berikrar dalam pidato kemenangannya sebagai presiden pada Juli 2014. Di hadapan awak media, Jokowi mengajak rakyat Indonesia untuk tetap bersatu dan berjanji lebih memerhatikan laut Indonesia. Sayangnya, janji yang terucapkan bertolak belakang dengan kenyataan saat ini. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta kembali menggadangkan rencana reklamasi meski tahu bahwa hal tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi nelayan. Selain itu, limbah dari reklamasi telah mencemari dan merusak biota laut seperti ikan, sehingga pendapatan nelayan menurun. Salah satu nelayan yang merasakan dampak buruk reklamasi adalah Ilyas, 40 tahun sudah ia menetap dan menjadi nelayan di Muara Angke. Jika sebelum terlaksananya reklamasi, lelaki berusia 60 ini dapat menangkap 20 kilogram ikan dalam semalam, namun setelah reklamasi mereka hanya menbawa hasil tangkapan kurang dari satu kilogram. Sama halnya Ilyas, Saepudin juga merasakan dampak negatif dari reklamasi meskipun ia bukan seorang nelayan. Selain menjadi pengolah ikan asin, sekarang ia juga

sesekali turun ke jalanan menjadi seorang aktivis. Ia tak mau berhenti begitu saja membiarkan hak-haknya terampas. Menurutnya, pasrah serta membiarkan pemerintah tetap menjalankan reklamasi bukanlah sebuah pilihan. Bersama dengan nelayan lainnya, laki-laki berusia 35 tahun ini kerap kali melakukan aksi melawan reklamasi. Tak hanya para nelayan saja, tokoh masyarakat pun turun ke jalan dengan tuntutan agar reklamasi dibatalkan. Selain itu beberapa ibu rumah tangga turut menyuarakan tuntutan pembatalan reklamasi. Alasannya sederhana saja, mereka tak ingin anak-anak mereka bernasib sama seperti mereka, menjadi nelayan tanpa pendidikan. ”Kami nelayan pak, tidak ingin anak-anak bodoh seperti kami Pak!” tutur salah satu ibu rumah tangga yang ikut melakukan aksi penolakan reklamasi. Aksi yang dilakukan guna membatalkan reklamasi tak berjalan dengan mulus. Banyak strategi yang dilakukan untuk meneruskan reklamasi. Pemerintah juga memberikan sejumlah uang kepada masyarakat agar mau menyetujui reklamasi. Beberapa warga diajak berunding namun ternyata rundingan hanyalah kedok belaka, warga dikumpulkan untuk melakukan

Sumber: Internet

aksi mendukung proyek reklamasi. Para nelayan juga membawa kasus reklamasi tersebut sampai ke meja hijau untuk medapatkan keadilan dengan mempertimbangkan kembali tuntutan nelayan. Puncaknya, seluruh nelayan di Muara Angke turun ke pulau G tempat reklamasi dijalankan guna melakukan penyegelan. Puluhan perahu nelayan menepi di pesisir pantai buatan dan bergemalah lagu Indonesia Raya. Banyak strategi yang dilakukan pemerintah untuk tetap menjalankan reklamasi, namun semua usaha tersebut tidak langsung mematahkan semangat warga untuk terus menolak reklamasi. Sayangnya proyek ini tetap dijalankan dan tak hanya sepantaran pulau Jawa dan Bali saja tapi juga Mamuju, Manado, Lombok, dan Teluk Makassar. Film yang dirilis pada 27 April 2016 merupakan film dokumenter

berdurasi 59 menit dua detik ini diproduksi oleh Wacthdoc dan disutradarai oleh Randi Hernando. Film ini juga pernah diputar di luar Indonesia seperti Melbourne, Inggris dan terakhir di Belanda. Rayuan Pulau Palsu menggambarkan pergejolakan reklamasi yang menimbulkan banyak dampak buruk bagi nelayan. Film Rayuan Pulau Palsu juga salah satu bentuk sentilan pada Jokowi yang pernah berjanji untuk memberikan perhatian lebih terhadap laut Indonesia. Kenyataannya kebijakan reklamasi tetap diberlakukan dan memberikan dampak buruk tidak hanya pada nelayan tapi juga lautan. Dalam film ini juga menampilkan cuplikan Sanusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Mohamad Sanusi dan bos Agung Podomoro Land sebagai tersangka dugaan suap peraturan reklamasi.


Sosok

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

Seni Dakwah Ala Didin

| 13

Lia Esdwi Yani Syam Arif

Kesukaan pada seni lukis telah mendarah daging dalam diri Didin Sirojudin, terbukti sederet penghargaan miliknya telah diakui tingkat nasional hingga internasional. Beberapa buku karangannya pun seperti Seni Kaligrafi Islam dan Pelajaran Kaligrafi dipakai sebagai rujukan mata kuliah khot . Tak banyak yang tahu jatuh bangun ia dalam meniti karir di dalam seni lukis arab. Awalnya, kegagalan dalam berkompetisi pernah ia rasakan sewaktu duduk di bangku kuliah. Ketika itu Didin mengikuti lomba kaligrafi di Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional 1981 di Aceh, namun tak satu pun nominasi yang ia juarai. Walaupun mengalami kekalahan Didin tak menyerah, ia malah lebih bersemangat mengasah hobi kesukaannya itu. Hingga pada MTQ tahun 1983 di Padang, Didin berhasil tembus, bukan lagi sebagai pemenang akan tetapi sebagai dewan hakim perlombaan kaligrafi yang berlanjut hingga sekarang. Pria kelahiran 15 Juli 1957 ini bercerita, bahwa kesukaannya di bidang seni lukis bukan tanpa latihan yang tekun. Sedari kecil ia sering menggambar dengan cara mencoreti dinding rumah dengan pewarna alami yang ia buat dari bunga dan buahan dihaluskan. ”Dulu saya belum kenal cat air dan kanvas jadi saya menggunakan alat yang seadanya

saja” ungkapnya, Kamis (15/9). Setelah lulus Sekolah Dasar, Didin yang melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren Darussalam Gontor merasa bakat seninya dapat tersalurkan karena ia mendapatkan ilmu seni baru yaitu ilmu kaligrafi. Sejak itu, Didin mulai mendalami teknik kaligrafi hingga menghasilkan banyak karya. Kemudian, pada tahun 1974 ia berhasil mendirikan sanggar yang diberi nama Sanggar Pelukis Darusalam. K a r e n a telah berhasil mendirikan sanggar pelukis di lingkungan Pesantren, Didin yang pada saat itu masih menjadi santri mulai bermimpi untuk mendirikan sebuah lembaga kaligrafi di Indonesia. “Saya mau kaligrafi itu dikenal seluruh masyarakat bukan hanya di kalangan pesantren saja.” tutur pria asli Kuningan ini. Sayangnya, niat Didin untuk mendalami ilmu seni lukis selepas tamat pesantren tak mendapat respons baik dari keluarga. Terbukti, ayahnya tak mengizinkan Didin

masuk Akedemi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, sekolah yang ia impikan sejak dulu.” Walau tak

Berkat ketekunannya dalam kaligrafi sudah banyak penghargaan ia terima semenjak 1987 mendapat Juara I Peraduan Menulis Khat ASEAN di Brunei Darussalam 2001, ia mewakili Indonesia dalam The 9th International Exhibition of The Holy Qur’an di Teheran, Iran. Tahun 2009, ia mengisi pameran dan diskusi seni kaligrafi Arab di Islamabad dan Lahore Pakistan, dan masih banyak lagi. Selain mempunyai faktor keindahan, menurut Didin kaligrafi juga mempunyai unsur dakwah di dalamnya dan di setiap tulisan kaligrafi itu biasanya mengandung makna tertentu seperti tulisan Allah, Nabi ataupun ayat-ayat suci Alquran. “Berdakwah kan tak selamanya harus di mimbar, dengan goresan tinta pun bisa berdakwah,” tutupnya.

kuliah di akademi seni saya yakin bakat saya masih bisa tersalurkan,” ungkapnya. Ketika melanjutkan kuliah di Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1976, Didin mengisi waktu senggangnya dengan ikut bergabung di Sanggar Garajas yang terletak di Bulungan, Jakarta Selatan. Selain itu, ia pun rutin menghadiri pentas kesenian di sekitar Jakarta. Bagai memancing di air keruh, tak lama setelah mendapatkan gelar strata satu maka Didin mewujudkan cita-citanya. Ia berhasil mendirikan sebuah lembaga k a l i g r a f i pada1985, l e m b a g a tersebut diberi nama Lembaga K a l i g r a f i A l q u r a n ( L e m k a ) . Kemudian, selang tiga belas tahun Didin juga mendirikan sebuah pesantren Lemka di Sukabumi. Karena kepedulian Didin yang tinggi terhadap perkembangan kaligrafi di Indonesia, maka ia bersedia bolak balik Jakarta-Sukabumi hingga tiga kali dalam satu minggu. Hal tersebut dilakukan agar ia bisa memantau dua lembaga kaligrafi milikinya secara langsung.

Ketua HAAJ Indra Firdaus menjelaskan, sebelumnya ketertarikan masyarakat terhadap astronomi tergolong minim. Oleh karena itu, komunitas yang menjalani aktivitas sehari-hari di Planetarium dan Observatorium Jakarta ini mencoba merangkul seluruh elemen masyarakat, seperti pegawai, masyarakat umum, siswa, dan mahasiswa. Lebih lanjut, Indra saapaan akrabnya menambahkan, seharusnya pemerintah juga ikut andil dalam mengenalkan astronomi kepada khalayak umum. “Untuk dapat mencapai visi tersebut dibutuhkan kerjasama dengan semua elemen masyarakat” ungkapnya, Selasa (13/9). Ragam kegiatan tentang astronomi dilakukan HAAJ demi mempromosikan

astronomi di Indonesia. Tiap tahun HAAJ mempunyai dua program kerja utama yaitu kegiatan rutin dan nonrutin. Kegiatan ini biasanya dimulai dari Januari hingga Desember. Kegiatan rutin HAAJ terbagi menjadi tiga macam. Pertama, pertemuan dwi mingguan yang dilaksanakan setiap Sabtu. Kegiatan yang dilaksanakan dua minggu sekali ini berupa diskusi mengenai tata surya dengan segala kemisteriusannya. Tema diskusi pun berbeda-beda di tiap pertemuan, seperti tata surya: apa kabar pluto?, alien: fakta atau ilusi, dan kandungan kimia dalam alam semesta. Saat diskusi, HAAJ turut menghadirkan pembicara dari kalangan dosen dan akademisi. Terkadang pemateri diisi oleh salah satu pengurus HAAJ. Selain berdiskusi, kegiatan rutin HAAJ lainnya ialah star party. Para peserta yang ikut dalam kegiatan ini dapat melihat galaksi mengunakan teleskop. Star party sebagai praktik langsung dari berbagai materi tentang astronomi yang telah didiskusikan sebelumnya. Selama 2016, star party dilakukan sebanyak lima kali di daerah Bogor dan Jakarta. Kegiatan ini diharapkan mampu membuka wawasan peserta tentang ilmu antariksa. “Agar anggota HAAJ lebih serius menggeluti ilmu astronomi,” kata Indra. Selanjutnya, kegiatan rutin HAAJ yang ketiga adalah astro party. Kegiatan ini berbentuk talk show, pameran, dan pemutaran film bertemakan astronomi yang dilaksanakan sekali dalam setahun. Astro party dilaksanakan di pusat kebudayaan negara asing yang berada di Jakarta. Tahun ini Astro Party diselengarakan pada 30 Juli 2016 bertempat di Pusat Kebudayaan

Amerika, Jakarta dan terbuka untuk masyarakat umum. Di samping kegiatan rutin, Indra mengatakan HAAJ juga memiliki kegiatan non-rutin yang dilakukan dalam bentuk berbagai acara khusus, misalnya Global Astronomy Month, World Space Week, International Observe the Moon Night dan Observasi Gerhana Matahari Total. “Kegiatan ini untuk astronomi” jelasnya. Untuk melancarkan kegiatannya, HAAJ mencari dana dengan berjualan pernak-pernik khas astronomi seperti baju, jaket, dan majalah astronomi. HAAJ juga mendapat bayaran karena diundang sekolah, kampus, dan instansi untuk melaksanakan star party. Selain itu, HAAJ pun menerima donasi dari para relawan. Hingga kini, HAAJ telah memiliki ribuan anggota yang tersebar di daerah Jabodetabek. Namun, saat ini hanya 50 orang yang aktif. Lebih lanjut Indra menjelaskan, untuk menjadi anggota HAAJ peserta harus ikut enam kali diskusi dwi mingguan dan satu kali star party untuk umum. Selain itu, HAAJ juga menyediakan website www. penjelajahangkasa.com yang berisi seputar kegiatan HAAJ. Salah satu anggota HAAJ Muhammad Rayhan mengaku bahagia bisa bergabung. Ia menjelaskan kesenangan itu karena bisa berkumpul dengan orang yang memiliki kesamaan hobi. Lebih lanjut, sarjana lulusan Aqidah Filsafat menambahkan dengan bergabung di HAAJ ia menjadi mengerti tentang dunia antariksa. “Kami diajari tentang Ilmu Astronomi dan membuat orang lain agar mencintai astronomi,” ungkap Rayhan, Jumat (16/9).

Dokumen Pribadi

Belajar Astronomi Tak Harus Mahal

Komunitas HAAJ tengah mengadakan star party di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (10/4). Acara ini merupakan agenda rutin HAAJ setiap tahun.

Zainuddin Lubis Tak sedikit masyarakat yang menganggap belajar IImu Astronomi membutuhkan biaya mahal. Kehadiran Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) diharapkan mampu menghapus stigma tersebut. Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum mengenal Ilmu Astronomi. Permasalahan itu disebabkan adanya anggapan mempelajari ilmu astronomi membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sehingga membuat masyarakat enggan untuk mempelajarinya. Sedangkan bagi masyarakat yang telah mengetahui ilmu astronomi, mereka masih terkendala fasilitas yang tak tersedia. Beranjak dari keadaan tersebut,

pada 21 April 1984 Darsa Sukartadiredja mendirikan klub astronomi bernama HAAJ. Saat itu, ia menjabat sebagai Kepala Planetarium dan Observatorium Jakarta. Selain itu, HAAJ juga didirikan sebagai sarana untuk masyarakat yang berminat dalam bidang astronomi. Komunitas yang terbentuk karena keresahan seorang pencinta astronomi ini bertujuan untuk memopulerkan astronomi kepada masyarakat umum.

Nama: Didin Sirojuddin Abdul Razaq

Pendidikan: 1. Pondok Modern Gontor (1969-1975)

Tempat Tanggal Lahir: Kuningan, 15 2. Fakultas Adab Juli 1957 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, Pekerjaan: Pengajar S-1 (1976-1982) dan di Fakultas Adab S-2 (1997-1999) dan Humaniora Universitas Islam 3. Ilmu Tafsir, Negeri (UIN) Syarif Perguruan Tinggi Hidayatullah Jakarta Ilmu Alquran (PTIQ) (1983-sekarang) Jakarta, S-3, (20122015)

Komunitas

Sumber Foto: Internet

Didin siarkan pesan agama lewat lukisan. Karena berdakwah tak selamanya di atas mimbar.


Sastra

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

| 14

Cerpen

Tokoh Cerita yang Ingin Membunuh Si Tuan Oleh Imam Budiman*

A, lelaki yang terbit dari lelaku hujan di tengah terik dengan bara cecah yang mendadak saja, tanpa aba-aba, dirudung jejarum air yang kian lebat memadat. Dua-tiga orang, di suatu warung makan, bersumpah serapah. Hujan yang membasahi genting, juga membasahi seseorang yang mendiami kamar sederhana itu – sebab atapnya bocor- di pinggiran kota dengan gang-gang kecil dan rumah-rumah kumuh. Kamar yang hampir penuh –selain kasur lusuhnya, diisi setumpukan buku yang saling bersitindih. A tinggal di sebuah negeri besar. Negeri di mana pantai-pantainya menebarkan aroma purba serta tempat leluhur pasir berbiak halus sepanjang pesisir. Gunung-gunungnya tempat terbaik semayam matahari yang terantuk-antuk seharian mencerahi bumi. Elok, hasil alam meruah, negeri itu bernama: Sia. Sia merupakan negeri yang subur, tak berbilang sumber daya alamnya. Bukan menjadi rahasia lagi bila Sia senantiasa diperbincangkan di tanah eropa sana. Orang-orang kulit putih itu tergiur untuk memiliki Sia lebih dari sekadar memiliki, melainkan menjarah, menguras, mengeksploitasi habis-habisan. Sia adalah negeri di mana segala yang fiksi hidup dan memiliki peradabannya sendiri. Ia hanya bisa diperdapati di dalam kepala si tuan pengarang. *** A adalah mahasiswa Universitas Muktazilah. Kampus berlabel islam terbesar di negeri ini. A yang berasal dari kampung Lokbaka, kampung yang tak pernah ditemui oleh orang-orang waras, menemui banyak karib baru di kampus ini, yang juga sama-sama berasal dari kampung yang terbuai dengan dana anggaran yang serba “disunat” aparatur pusat. Tapi ia tidak ingin mencampuri apalagi memusingkan urusan itu. Ada banyak hal yang lebih penting baginya, bagi hidupnya. Termasuk salah satu diantanya: Buku. Buku, bagi A seorang mahasiswa

Puisi

yang bergelar kutu buku di kampusnya, adalah aset paling berharga yang dimilikinya. Ia tak pernah memusingkan soal kehilangan sepeda yang dahulunya kerap digunakan untuk mencuri wi-fi di cafe-cafe elite, tentu tidak untuk masuk apalagi membeli makanan dengan harga yang tak wajar itu. Ia mengambil jarak yang agak jauh –dan biasanya, tempat parkir adalah pilihannya, untuk sekadar download atau searching hal-hal penting untuk kebutuhannya sebagai penulis lepas di negeri ini. Ia tidak juga menyesali soal kehilangan sepatu butut satu-satunya miliknyayang dipakai sehari-hari untuk kuliah yang tak sengaja terambil (jika tak ingin dikatakan dicuri) oleh pemulung –karena saking tak layaknya disebut sepasang sepatu itu disebut sepatu. Mungkin. Ia juga tak pernah mengutuki soal honor menulis yang sering terlambat dikirim atau bahkan terlupakan oleh bagian keuangan surat kabar (meski tentu saja, ia juga banyak berharap dari uang itu). Yang terpenting, ia dapat memperbaharui judul bukunya setiap minggu dengan membeli buku-buku layak baca di toko buku loakan, dan menjaga bukubuku yang sudah dimilikinya. Meski lagi-lagi, ia bergantung pada seberapa sering cerpen atau puisinya dimuat di koran, dan tentu saja untuk mendapatkan honorarium. Tentang harapannya pada honorarium menulis itu, sejujurnya, ia merasa harga dirinya begitu rendah. Ia sadar, bahwa idealismenya tengah dipertaruhkan. Menulis untuk menghasilkan uang,begitu kira-kira satire baginya. Dan buruknya, idealisme itu mesti ditukar untuk nominal yang tak seberapa banyak. Tapi ia masa bodoh dengan hal itu. Saat ini, apa-apa serba sulit terjangkau, juga buku. Penerus bangsa ini menjadi tolol karena gadget, dan lupa membaca –atau memperbaharui bacaan, merasa cukup dengan pengetahuan yang sudah ada.

Aswatama

Kalaupun ada yang suka membaca, menurut kabar terbaru di media beberapa waktu lalu, pajak buku justru semakin naik. Kau bisa lihat, katanya suatu kali, harga-harga buku yang dipajang di toko Gremotia kini tak lagi masuk akal. Sehingga bagi yang kesulitan secara finansial, termasuk A, mencari alternatif lain dengan membeli buku-buku bekas. Betapa berdosa pemerintah negeri Sia ini. A yang suka nyinyir, A yang suka sekali menyendiri di kala senggang dan lebih memilih membaca buku itu, kini sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan, anak rektor universitas islam ini, ia memanggilnya, B. *** A mencintai B. Sesederhana itu. Dan A terlalu malas untuk menjawab sebuah pertanyaan, “untuk alasan apa kau berani-berani mencintai B?” Jawaban paling klasik kembali diulangnya, “cinta tak butuh alasan muluk-muluk, yang justru pada akhirnya berujung omong kosong.” “Cinta ya cinta, tak perlulah kita mesti disibukkan untuk menelusuri asal mula apalagi berlelah-lelah mencari alasannya, ” tambahnya lagi. Meski ia sadar, sesadar-sadarnya, bahwa ia yang dekil dan mengarah pada kehidupan bohemi, tak layak mencintai perempuan yang kehidupannya serba teratur dan tentu saja, memiliki masa depanterang; penuh cahaya kepurnaan. Apalah daya seorang mahasiwa yang memilih bekerja sambilan (kata “sambilan” sedikit lebih agak mendingan daripada serabutan) sebagai penulis lepas di koran lokal, yang membeli kretek saja masih lebih sering ketengan.Ia harus betul-betul mengatur keuangannya untuk tidak berpuasa setiap hari. Begitu pun untuk menempuh jarak antar kos kecilnya ke kampus, pulang-pergi, sudah tak terhitung berapa ratus kilo jumlahnya selama ini bila dikalkulasikan selama tiga tahun terakhir. Tepatnya setelah sepedanya, harta termahal miliknya, dicuri.

“Aku mencintainya, tanpa terkecuali. Titik.” Hatinya berupaya mengukuhkan. Ini sebuah pilihan. Soal diterima atau tidak. Atau soal apakah nanti ia akan ditendang keluar rumah oleh calon ayah mertuanya yang rektor itu karena kesemrawutan tampilannya, sungguh tak jadi masalah. Ini lebih dari sekadar pertaruhan, ini menyangkut soal nyali; soal keberanian seorang lelaki. *** Suatu sore, di deretan kursi penonton hall student center Universitas Muktazilah. Dua orang saling bersitatap; beradu pandang. Setelah seorang lelaki menyatakan sesuatu yang danggap amat paling sakral di muka bumi ini antar sepasang anak manusia, kepada perempuan yang telah lama dicintainya. Keduanya terdiam beberapa saat. “Aku juga sejak lama menyimpan perasaan padamu, A,” ujar B, si perempuan pemilik gemintang di dasar matanya. Memecah keheningan. A limbung, beberapa detik kehilangan kata. Dadanya berdegup kencang. Jantungnya hampir meloncat dari kerangkeng rusuk-rusuk. Sungguh. “Tapi..” B melanjutkan ucapannya. Sedikit tertahan. Ada sesuatu yang nampak menggantung dan sulit untuk diutarakan. “Aku tidak dapat memilihmu, A. Sebab aku lebih mencintai kembang gandasuli yang ditanam oleh pegawai-pegawai Tuhan, yakni Malaikat, di ladang para kaum peri di lembah kahyangan. Kembang gandasuli itu, di waktu-waktu tertentu, mengaku akan berubah diri menjadi seorang lelaki yang begitu amat mencintaiku.” Ternyata anggapan A keliru. Ada orang lain yang dicintai oleh kekasihnya. “Kita ini nyata. Kau dan aku nyata. Mengapa kau memercayai sebuah alur cerita seorang cerpenis ingusan yang mengada-ngada ini?”A berusaha membantah. Wajah A memerah, suaranya meninggi, ia nampak naik pitam. “Kita ini tak nyata. Kita ini sama-sama tiada. Kau harus sadar dan mengakui itu.

Pengarang cerpen ini menakdirkan aku demikian. Dan tanpa sepengetahuanku, ayahku yang seorang Rektor pun disihir pula untuk menuruti kemauannya dan memaksaku mau menerima pinangan si lelaki kembang gandasuli.” Tanpa terasa ada yang terasa hangat di pipinya. Bulir-bulir airmatanya menganak sungai. Ada gemuruh yang terasa menyesaki seisi dadanya. “Saat pintu gerbang kampus ini ditutup dan dalam suasana yang kian hening. Tepat pukul 3 dinihari esok kami akan melangsungkan akad nikah. Kalau kau mau serta lapangnya dadamu seluas jagat, kau boleh saja datang,” ucap B sembari menatap ke luar, kosong. Rasa bersalah meliputi benaknya. A berdiri. Tanpa pamit dan berkata apa pun. Meninggalkan B seorang diri di antara sederetan bangku yang sekarang tak ada seorang pun di sana selain B. Kau tahu, hatinya tengah porak poranda. *** Belakangan, A baru menyadari bahwa selama ini dirinya tak nyata. B tak ada. Universitas Muktazilah tak ada. Negeri Sia tak ada. Semua dalam cerita ini tak pernah ada. Keber-ada-an selalu disandarkan pada apa yang nampak dan mampu teraba. Dan semua orang mengangap bahwa selebihnya yang tak nyata di dunia ini hanyalah sebuah ilusi. Kosong. Tak bermakna. Ia mengutuki dirinya. Mengutuki kebodohannya. Ia ingin sesegera mungkin bertemu dan membuat perhitungan kepada pengarang cerita pendek ini yang sudah semena-mena terhadapnya. A ingin membunuh pengarang cerita ini, menguliti tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan memecahkan batok kepalanya menjadi dua bagian. Terdengar lucu dan tak masuk akal. Namun itu mungkin saja akan terjadi kelak. *Penulis adalah pegiat Komunitas Rusa Besi, UIN Jakarta,

Oleh Ahmad Hilman*

Oleh Ikhya Ulumuddin*

Mimpi

Kesunyian Penutur Kisah

Dengan mengucap mantra aji adityarhedaya Kau kan hadir Menetak sanubari: Dalam pagi paling manis Dalam malam ajek menangis

Tepat pukul satu malam Berjuta embun berduyun mendekap segala di halaman yang tidak begitu luas Tak begitu terasa dingin Hanya kesejukan dan ketenangan yang ada

Hanuman hilang larut dalam pertapaan Rama mati ditikam pusaka azimat dua buah hatinya Rahwana meraung terkungkung terkurung gunung; Menyebarkan dendam kesumat atas nama cinta

Melihatmu adalah sebuah rahasia Tercipta oleh mata, ku toreh percuma Dalam sebuah angan nestapa Semesta kadung membisu, aku pun seperti itu Menyaksi sebuah elegi rindu Dalam fragmen romansa: perihalmu

Di jauh pandang tak begitu jelas Sosok wanita di selimuti malam nan lemah Dan di langit aku lihat rembulan tak begitu ceria Bak malam biasa para wanita tertawa Bergurau bersukaria merasakan cinta

Kau tak ubah membelenggu Menjelma belati syahdu Yang karam menderu Dalam darah paling hulu

Di sudut taman beralas rumput basah Tak begitu terang sinar lampu menemani Dan aku lihat dia, aku pandang dia Dia yang tersenyum ganda penuhi syarat Menatap tajam pandanganku

Namun darma masih pekat Mengikat erat tanpa syarat Mengeja waktu: tersayat Melintasi semesta Yang tak kunjung bicara: Mengekal bilik waktu Mengekal rahasia tabu

Aku terbangun Terbangun dari lelapku Ternyata dia masih setia menunggu kedatanganku Begitu anggun paras itu, aura cahaya dengan bumbu gelap Itu wanita yang ku temui dua tahun lalu Aku tak tahu siapa dia? Karena ia pernah hadir, tapi hanya dalam mimpi.

*Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Jakarta

*Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam FU UIN Jakarta

Oleh Faris Maulana Akbar*

Penonton duduk manis terkesima sembari mata berkaca-kaca; Cerita belum usai, mereka menunggu penutur membaca kisah lalu para lakon bersandiwara Mata-mata melumat pentas Ooo...penutur mulai merapal mantra Oo...hm...lantas sunyi tersisa; Tak ada lagi kata-kata Penutur hilang diculik Hanuman Khusuk semedi meratapi kesendirian *Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir FU UIN Jakarta


Seni Budaya

Tabloid INSTITUT Edisi XLIV / SEPTEMBER 2016

Raden Panji Inu Kertopati merayu cintanya Dewi Anggraeni untuk menerima pinangannya. Itulah salah satu adegan pagelaran wayang topeng dalam Mozaik Budaya Jawa Timur berjudul “Panji Reni” persembahan Diklat Anjungan Jawa Timur di Panggung Candi Bentar TMII, Sabtu (17/9).

Eli Murtiana Demi bersatunya dua kerajaan Jenggala-Kediri, perjodohan menjadi jalan tengahnya. Kandasnya cinta Panji Inu Kertopati dan Dewi Anggraeni berujung pada cinta Dewi Sekartaji. Pagelaran seni wayang topeng yang terangkum dalam acara Mozaik Budaya Jawa Timur menemani Sabtu malam pengunjung Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Penonton menduduki kursi yang telah tersedia dan sebagian lainnya duduk berlesehan. Semua penonton menghadap panggung yang dihiasi lampu warna merah, kuning, dan biru. Riuh iring-iringan musik gamelan menandakan pagelaran wayang topeng akan segera dimulai. Menyambut antusias penonton, dua pasang penari mengenakan setelan baju adat warna hijau dan biru, serta delapan penari mengenakan setelan baju adat warna merah muda memasuki panggung. Mereka menarikan tari tradisional khas Jawa Timur, Beskalan, menjadi pertanda lakon cerita perwayangan siap menghibur penonton. Tak lama, para penari keluar ke sebelah kanan kiri panggung. Meninggalkan satu penari

laki-laki memulai lakonnya sebagai Raden Panji Inu Kertopati. Sang dalang menuturkan betapa cakap, gagah dan sakti mandraguna seorang Pangeran dari Kerajaan Jenggala ini. Dengan berjalan memutar sambil bertutur “Katrisnan kulo, kaliyan Dewi Anggraeni mboten enten tandingipun.” Mengartikan bahwa ia cinta akan Dewi Anggraeni tanpa tandingan. Kemudian, ayah Kertopati keluar dengan suara keras berkata bahwa ia telah menjodohkan Raden Panji Inu Kertopati dengan Putri Mahkota Dewi Sekartaji dari Kerajaan Kediri. Kejadian ini sontak membuat Raden Panji menolak kesepakatan tersebut lantaran cintanya pada Dewi Anggraeni. Selanjutnya, kedua pewayang keluar meninggalkan panggung dengan suara dentuman musik tanda selesainya adegan tersebut. Tak lama, muncul pewayang wanita dengan lakon Dewi Anggraeni yang menunggu kekasih

sebenarnya telah diatur oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Islam (Diktis). Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Diktis Amsal Bakhtiar, organisasi ekstra kampus harusnya berada di luar kampus. “Namanya ekstra, ya harus di luar kampus kan,” tegas Amsal saat ditemui di ruangannya, Senin (19/9). Menanggapi hal itu, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat Zainuddin Asri menuturkan alasan masih dibukanya stand pendaftaran di dalam kampus ialah agar ada sosialisasi bagi mahasiswa baru. Selain itu, menurut Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat Muhammad Rafsanjani, ilmu itu tidak hanya didapat dari kuliah di dalam kelas, sehingga tak ada masalah jika organisasi ekstra mengadakan diskusi dalam kampus. Terkait sanksi yang diberikan selama ini, menurut Rafsan masih kurang efektif. Terbukti sampai saat ini masih terdapat sejumlah pelanggaran di beberapa fakultas. Ia pun menawarkan solusi agar ada pengecualian berupa dibolehkan pemasangan atribut organisasi ekstra saat membuka pendaftaran. “Sekitar seminggu lah,” terangnya, Senin (19/9). Sama halnya Rafsan, Zainuddin Asri mengatakan, sanksi berupa teguran belum efektif dan masih bisa dimungkinkan adanya pelanggaran. “Wajar saja kalau ada yang curi kesempatan,” sahutnya, Jumat (23/9). Ia pun menyayangkan adanya

pelarangan organisasi ekstra di dalam kampus. Pasalnya, ia menilai organisasi ekstra telah memberikan sumbangsih besar terhadap kemajuan UIN Jakarta. Yusron pun membenarkan, peran dari organisasi ekstra sangatlah besar dalam membangun UIN Jakarta, bahkan sejak era Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dulu sampai menjadi universitas sekarang. Terbukti tiga organisasi ekstra besar yaitu HMI, PMII, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mendapatkan fasilitas sekretariat di sekitar wilayah UIN Jakarta. “Kalau itu memang sudah ada dari dulu,” terangnya. Sependapat dengan Yusron, Amsal pun tak menampik bahwa organisasi ekstra memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan tradisi intelektual di Ciputat. Soal sanksi pelanggaran atas peraturan ini, Amsal menegaskan sanksi diserahkan kepada rektor sebagai pimpinan kampus yang mempunyai otonom untuk itu. Dalam hal ini, Yusron berharap nanti ada Satuan Petugas (Satgas) yang terdiri dari mahasiswa semester tujuh. Mereka bertugas melaporkan jika ada pelanggaran terkait organisasi ekstra di dalam kampus. “Maunya saya, ada juga yang menjadi satgas,” tambahnya. Sebelumnya, tugas pengawasan dibebankan kepada satpam, dosen, dan pimpinan fakultas. Kembali Yusron menugaskan pada intinya, tujuan diberlakukannya peraturan tersebut bahwa pihak kampus menginginkan ketertiban di

Sambungan dari Dilema Organisasi Ekstra ...

tercintanya Raden Panji Inu Kertopati. Lalu, Raden Panji mengajak Dewi Anggraeni untuk menikah mengingat akan cinta keduanya. Walaupun Raden Panji ingat akan titah ayahnya tentang perjodohannya dengan Putri Kerajaan Kediri tak membuat dirinya gusar akan cinta sejatinya. Namun, ayah Kertopati gusar bahwa anaknya telah menolak perjodohan tersebut. Dengan suara lantang, ia memanggil Patih Udopati Metolo, saudara dekatnya. Ia memerintahkan Patih untuk membunuh Dewi Anggraeni, “Yowes, patenono Dewi Anggraeni,” mengingat bahwa ialah satu-satunya penghalang. Keberadaan Dewi Anggraeni dianggap dapat merusak hubungan dua kerajaan di Jawa Timur ini. Patih Udopati Metolo pun bingung mencari cara untuk membunuh Dewi Anggraeni. Iringan musik kembali bersahutan, Raden Patih Inu Kertopati dan Dewi Anggraeni beriringan masuk pentas dan menari bersama. Tak lama, Patih Udopati Metolo muncul ke pentas dengan membawa sebuah berita. Patih menceritakan bahwa ayah Kertopati sakit keras menuntut kepulangan Raden

Foto: Eli/Ins

Takdir Cinta Panji Inu Kertopati

Panji Inu Kertopati. Mendengar berita tersebut, Raden Panji pun berjalan segera pulang menemui sang ayah. Tinggalah dua wayang, Dewi Anggraeni dan Patih Udopati Metolo yang saling bertatapan. Patih pun menceritakan bahwa dirinya diutus membunuh Dewi Anggraeni untuk memisahkannya dengan Raden Panji Inu Kertopati. Adegan pun berlanjut, Dewi Anggraeni kentara sedih, lantaran dirinya menjadi penghalang Raden Inu Kertopati. Sambil mengangkat sebelah tangan ke kepala, ia berputar dan berkata “Nggeh sampun mekoten panci sanes jodohipun kulo.” Kenyataan bahwa ia tidak berjodoh dengan Raden Panji, ia pun menghunuskan keris ke tubuhnya. Dewi Anggraeni pun mati bunuh diri. Mengetahui cintanya mati, Raden Panji Inu Kertopati naik pitam. Ia pun mencari siapa pembunuh istrinya dengan cara menjajah ke kerajaankerajaan lain. Entah bagaimana, Raden Panji Inu Kertopati, tiba di dunia roh. Saat itu, ia bertemu dengan roh Dewi Anggraeni yang terlihat sedih menatap roh Raden Panji Inu Kertopati. Dewi Anggraeni menyampaikan

| 15

bahwa dirinya memang tidak berjodoh dengan Raden Panji, “Nggeh sampun kakang, panjenengan kaleh dalem, sanes jodohipun, jenengan kesahke mawon, mugi-mugi laen wedal saget kepanggeh maleh” Dewi Anggraeni pun meminta Raden Panji untuk pergi dengan ikhlas dan berjanji akan bertemu lagi dengannya. Selanjutnya, Raden Panji telah sampai di Pulau Bali. Raden Panji Inu Kertopati bertemu dengan Raden Panji Jayang Tilam, perubahan wujud dari Dewi Sekartaji. Keduanya terlibat perselisihan. Raden Panji Inu Kertopati yang terkenal sakti mandraguna akhirnya mampu mengalahkan Raden Panji Jayang Tilam. Setelah kalah, Raden Panji Jayang Tilam mengubah wujud aslinya menjadi Dewi Sekartaji. Melihat kejadian tersebut, Raden Panji Inu Kertopati sadar bahwa selama ini perjalanan cintanya adalah sebuah kesalahan. Jodoh sebenarnya ialah Dewi Sekartaji, ia pun meminta maaf kepada Dewi Sekartaji karena sempat menolaknya. Mengetahui hal tersebut, Dewi Sekartaji enggan memaafkan Raden Panji Inu Kertopati. Tak berhenti sampai di situ, ia pun merayu Dewi Sekartaji agar bersedia menerima dirinya. Pada akhirnya, Dewi Sekartaji pun mau menikah dengan Raden Panji Inu Kertopati. Kisah petualangan cinta Raden Panji Inu Kertopati berakhir pada Putri Kerajaan Kediri. Itulah lakon cerita dari Pendidikan dan Pelatihan Anjungan Jawa Timur dalam pagelaran wayang topeng dari kisah asli Kediri, Jawa Timur berjudul “Panji Reni”. Dengan sutradara Ki Soleh Adi Pramono dari Padepokan Mangun Darmo di panggung Candi Bentar TMII, Sabtu (17/9). Pelatih tari, Heri Suprayitno mengungkapkan betapa kecintaannya dengan kisah dari Jawa Timur ini. Berharap penonton juga ikut menikmati kisah Raden Patih dan Dewi Sekartaji. “Lakon wayang topeng ini unik dan jarang, aku kepingin memperkenalkan kepada warga Jakarta, ini loh kebudayaan Jawa Timur yang hampir punah tergerus zaman,” tutupnya, Sabtu (17/9).

dalam kampus agar tidak menimbulkan keributan yang tidak perlu. Sehingga suasana perkuliahan dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.

Macam Organisasi Ekstra Kebenaran tentang larangan organisasi ekstra beraktivitas di dalam kampus menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, pengertian organisasi ekstra sendiri menjadi bias mengingat banyaknya organisasi baru menjamur dan mendirikan standpendaftaran di dalam kampus. Amsal pun mengatakan, organisasi ekstra itu tidak terbatas. Dalam hal ini siapapun dapat membuat organisasi ekstra. “Bayangkan, betapa ribetnya kalo nanti itu masuk semua,” tegasnya. Menurut Yusron Razak, organisasi ekstra itu di luar organisasi intra yaitu Dewan Eksekutif Mahasiswa baik universitas dan fakultas, Senat Mahasiswa baik universitas dan fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Artinya organisasi berbasis kedaerahan, bahkan minat dan bakat mahasiswa juga merupakan organisasi ekstra. Selain itu, Yusron Razak pun menambahkan perlunya semacam pemikiran ulang dari organisasiorganisasi yang terus bermunculan di UIN Jakarta. Jika nantinya mahasiswa ingin membuat organisasi baru disarankan bisa berafiliasi dengan pihak jurusan ataupun bergabung dengan UKM. “Kalo mau buat UKM baru ya tinggal dibicarakan lagi,” sahutnya.

Surat Pembaca Saya mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora jurusan Tarjamah, mengeluhkan fasilitas toilet yang dikunci lebih awal. Padahal saat itu masih ada jam kuliah. 085891164xxx

Saya mahasiswa Fidikom, semoga aspirasi saya didengar oleh para pemangku jabatan bahwa fasilitas, semisal proyektor, diperbarui. Ini sangat mengganggu saat proses perkuliahan. 0899967530XXX

Saya mahasiswa FST mengeluhkan kondisi parkiran yang sangat tidak nyaman untuk menaruh kendaraan. Ini sangat disayangkan mengingat cita-cita UIN yang menuju WCU. 085725634xxx



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.