Restidita Kristsada Layouter Alfira Aulia Naja H, Amellya Dyah Novita Ilustrator Levina Agnes, Titik Lestari, Rifqy Ahmad, Fotografer Athorix Khrisna, Maheraja Erlanda, Mohd Bagus, Axmal Vidi Hanafi, Farel Aditya, Muhammad Rofiq
DAFTAR ISI
“Sunyi
yang Membunuh, Suara yang Membebaskan”
Oleh: Hidahlia Adhitya | Editor: Helga Lalita S.
Duka
yang tak bersuara merupakan luka yang menggerogoti, bayangan kelam yang mencuri rasa aman, dan rantai sunyi yang menjalar dalam tubuh dan jiwa. Ia hadir tak diundang, bersembunyi dalam ruang-ruang yang seharusnya aman: rumah, sekolah, tempat kerja, bahkan ruang kepercayaan. Ia tidak selalu datang dalam bentuk bentakan atau ancaman; kadang ia menyamar dalam sentuhan yang diselewengkan, dalam kata-kata yang memojokkan, dalam diam yang memaksa.
Penindasan terhadap tubuh bukan sekadar tindakan kasar—ia adalah perampasan atas kendali, penaklukan yang membisukan, serta kekuasaan yang memaksa merasa bersalah atas luka yang tidak mereka minta. Dan saat suara ingin keluar, dunia sering kali lebih memilih menutup telinga. Terlalu banyak yang dipaksa diam, bukan karena mereka tak ingin bicara, tetapi karena mereka tahu: ketika suara mereka naik ke permukaan, dunia belum tentu berpihak.
Inilah sunyi yang membunuh—ia takselalu terlihat, tak selalu terdengar, akan tetapi menghancurkan dari dalam. Ia mengikat dalam rasa malu yang dipaksakan, dalam keraguan yang terus-menerus ditanamkan oleh sekitar: “Apa kamu yakin?”, “Kenapa baru bicara sekarang?”, “Bukankah itu hanya bercanda?” Dalam sistem yang tak ramah dan sekitar yang gemar menyalahkan, mereka harus bertarung dua kali: sekali untuk selamat dari pengalaman traumatisnya dan sekali lagi untuk memperjuangkan keadilan yang sering kali tak sampai.
Dari dalam keheningan terdalam, suara mulai tumbuh. Suara yang patah-patah, tetapi berani. Suara yang menuntut keadilan, bukan ampun. Suara yang menantang kebisuan dan mengoyak tabir ketakutan. Ketika suara itu keluar, ia membebaskan membebaskan tubuh yang terpenjara, jiwa yang terbelenggu, yang selama ini terperangkap dalam ketidakadilan. Membebaskan suara berarti membangun jembatan keadilan yang bisa dilewati siapa saja, terutama mereka yang selama ini terjebak dalam pulau-pulau sunyi.
Ia mungkin bergetar, terluka, patah-patah—tetapi ia nyata. Suara penyintas dan suara sahabat serta suara komunitas. Suara yang menolak untuk terus diam. Suara yang menuntut agar luka ini tidak lagi dianggap aib, melainkan kekerasan. Bahwa tubuh bukanlah ladang untuk dipaksa, dan diam bukan bentuk setuju. Suara yang dibebaskan bukan hanya menyelamatkan satu jiwa—ia meretakan tabir bungkam dan menyalakan lentera harapan di lorong gelap yang terlalu lama didiamkan.
Ketika satu suara berani bicara, ia menyalakan api kecil. Dan ketika suara lain menyusul, api itu menjelma nyala yang tak bisa dipadamkan. Bukan sekadar menceritakan luka, tetapi menyalakan api perubahan. Api yang menghanguskan stigma, memberantas ketakutan, dan menuntun kita pada dunia yang lebih adil dan aman. Dunia di mana tubuh setiap manusia dihormati, setiap suara didengar, dan keadilan ditegakkan.
Source : pinterest.com
ruang untuk bicara, gunakanlah. Jika kita punya pengaruh untuk membuka telinga orang lain, lakukanlah. Jika kita punya kekuatan untuk menciptakan perlindungan, tegakkanlah. Inilah suara yang membebaskan. Ia tidak hanya menyingkap yang selama ini tersembunyi, tetapi juga membangun dunia baru—dunia yang bisa lebih jujur, lebih adil, dan lebih berani.
Dunia yang memahami bahwa keadilan bukan hanya soal vonis di pengadilan, tapi juga pemulihan bagi jiwa yang luka, dan jaminan bahwa tak akan ada lagi tubuh yang dirampas dalam diam. Memutus sunyi bukan tugas satu orang. Ia tugas bersama. Tugas kita. Tugas siapa pun yang percaya bahwa setiap manusia berhak merasa aman di tubuhnya sendiri. Dan bahwa suara—betapapun kecil dan rapuhnya—adalah bentuk perlawanan yang tak bisa diremehkan. Dan di saat yang sama, kita harus menjadi ruang yang aman—bagi siapa pun yang suatu hari nanti, dengan berani, memutuskan untuk tak lagi diam.
Kita semua memegang peran—bukan hanya sebagai saksi, namun sebagai pelaku perubahan. Dalam setiap kata yang diucapkan, dalam setiap tindakan yang diambil, kita memecah rantai sunyi dan membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini terpendam. Karena setiap suara yang terangkat adalah batu pertama dalam membangun dunia yang lebih layak. Dan mungkin, satu seruan dapat menyelamatkan hidup seseorang. Kini, saatnya kita memilih: membiarkan sunyi membunuh atau bersama-sama menjadikan suara sebagai kekuatan pembebasan.
Laporan Utama
Mengurai Jalan Terjal Antara Bukti dan Keberanian:
Dilema Penyintas
Oleh: Hidahlia Adhitya | Editor: Helga Lalita S.
Di Balik Setiap Kasus, Ada Luka yang Tak
Terlihat
Di balik setiap kasus pelecehan seksual, tersimpan trauma yang tak selalu terlihat, suara yang tak selalu terdengar, dan perjuangan yang kerap tak tercatat. Isu kekerasan seksual bukan hanya soal pelanggaran atas tubuh, tetapi juga tentang bagaimana sistem sosial dan hukum merespons atau gagal merespons jeritan korban.
Hingga hari ini, banyak korban pelecehan seksual masih menghadapi hambatan besar saat ingin melaporkan apa yang mereka alami. Rasa takut, intimidasi, dan stigma sosial menjadi tembok pertama yang menghadang. Lebih dari itu, minimnya sistem pendukung serta kurangnya pemahaman masyarakat turut memperparah luka yang sudah ada. Laporan pelecehan tidak hanya membutuhkan keberanian pribadi, tetapi juga kepercayaan pada proses hukum dan dukungan yang memadai
Ketika Rasa Aman Tak Terjamin
Bagi banyak korban, melaporkan pelecehan seksual terasa seperti pertarungan kedua setelah pertarungan pertama melawan rasa takut dan trauma. Mereka tidak hanya harus mengisahkan kembali pengalaman pahit, tetapi juga sering menghadapi respons yang meragukan, menyudutkan, bahkan menghakimi.
Situasi ini menegaskan pentingnya pendekatan yang berpihak pada korban dalam proses pelaporan. Upaya untuk menghadirkan tenaga pendamping yang terlatih terus berkembang, meski pemerataan layanan hingga ke wilayah terpencil masih menjadi pekerjaan rumah. Dengan peningkatan kapasitas dan distribusi layanan, harapannya setiap korban bisa mendapatkan dukungan yang layak, di manapun mereka berada
Bukti yang Tak Selalu Ada
Salah satu tantangan besar dalam pelaporan pelecehan seksual adalah soal pembuktian. Tidak semua pelecehan meninggalkan jejak fisik. Tidak semua korban sempat atau mampu mendokumentasikan kejadian yang begitu cepat dan tak terduga. Di sinilah pentingnya pemahaman aparat penegak hukum bahwa kekerasan seksual tidak selalu membutuhkan bukti materiil untuk bisa dipercaya.
Meski begitu, keberadaan bukti tetap menjadi aspek penting dalam proses hukum. Dalam beberapa kasus, tangkapan layar atau video menjadi penopang cerita korban. Namun, tidak semua korban memiliki keberanian atau kesempatan untuk mengumpulkan bukti— terlebih jika pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar, baik secara sosial, ekonomi, maupun institusional
Ruang Digital: Peluang dan Ancaman
Di era media sosial, banyak korban mulai menyuarakan pengalaman mereka secara terbuka. Tagar solidaritas seperti #AkuBeraniBersuara menjadi ruang alternatif ketika jalur formal dirasa belum aman. Namun, ruang digital pun bukan tanpa risiko. Media sosial memang dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran kolektif. Namun, tanpa sistem perlindungan yang memadai, penyintas bisa mengalami reviktimisasi. Maka penting bagi masyarakat untuk tidak hanya mendengarkan, tetapi juga mendukung dengan empati dan tidak menggiring opini yang menyudutkan.
Sistem Pendukung yang Belum Menyeluruh
Dalam menghadapi kompleksitas kasus kekerasan seksual, sistem pendukung berperan sangat krusial. Pendamping hukum, psikolog, komunitas solidaritas, hingga lingkungan terdekat menjadi kunci dalam menciptakan ruang aman bagi penyintas. Sejumlah lembaga pemerintah dan organisasi sosial kini mulai menginisiasi program edukasi dan perlindungan korban.
Namun, tantangan masih ada: keterjangkauan layanan, ketimpangan akses, dan keterbatasan sumber daya. Salah satu fokus penting ke depan adalah memperluas cakupan layanan serta memperkuat keberlanjutannya. Selain penanganan kuratif, edukasi preventif perlu terus didorong, menyasar berbagai lapisan masyarakat, termasuk remaja, pekerja, dan aparat penegak hukum.
Membangun Ruang Aman Bersama Kekerasan seksual bukan sekadar kejahatan terhadap individu, tetapi juga cermin kegagalan kolektif bila kita, sebagai masyarakat, gagal menciptakan sistem pendukung yang efektif. Saat korban memilih untuk melapor, mereka memikul beban besar. Tugas kita adalah memastikan beban itu tidak bertambah, melainkan terbagi, didengar, dan diadvokasi.
Mewujudkan lingkungan yang aman bukan hanya soal kebijakan, tapi juga soal keberpihakan. Respons pertama yang diterima korban bisa menentukan: apakah mereka akan merasa didengar, atau memilih bungkam. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu dan lembaga untuk membangun sistem yang merangkul dan melindungi, bukan menghakimi.
Langkah-langkah perbaikan memang telah dimulai. Layanan konseling, pendampingan hukum, dan edukasi publik mulai dihadirkan oleh berbagai pihak. Namun, pekerjaan ini belum selesai. Kita masih menghadapi ketimpangan, stigma, dan keterbatasan sumber daya.
Pada akhirnya, keberanian untuk melapor harus disertai dengan keberanian kita semua untuk mendengar, memahami, dan bertindak. Setiap suara yang terangkat membawa pesan penting: korban tidak boleh berjalan sendirian. Dengan solidaritas, dukungan nyata, dan kesadaran kolektif, ruang aman bukan lagi sekadar harapan—melainkan kenyataan yang bisa kita wujudkan bersama.