2 minute read

Chat GPT: Pemanfaatan Teknologi Digital dalam Dunia Pendidikan

Kecanggihan teknologi digital selalu berkembang setiap saat, begitu pula dengan kecanggihan aplikasi buatan OpenAI, ChatGPT. Aplikasi buatan OpenAI ini memudahkan penggunanya karena mampu memberikan jawaban yang relevan dalam waktu yang singkat. Kecanggihan ini juga mampu digunakan di berbagai media dan secara langsung terintegrasi dengan teknologi analisis data sehingga dapat memberikan solusi maupun rekomendasi yang akurat. Meskipun banyak kelebihan yang diberikan, teknologi ini juga memiliki beberapa kekurangan yang penting untuk diperhatikan. Salah satu kekurangan ChatGPT ini yaitu artikel yang dihasilkannya memiliki tingkat plagiarisme sebesar 40%. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi ini tidak dapat mendukung kompetensi problem solving dan critical thinking yang menjadi peran penting pendidikan. Selain itu, ChatGPT juga tidak memiliki pengetahuan berupa experience learning yang dirasakan oleh manusia sehingga aplikasi ini tidak mampu menafsirkan emosi yang ada dalam sebuah percakapan.

Pemanfaatan ChatGPT perlu dilakukan secara bijak dan bertanggungjawab karena algoritma Large Learning Model di dalamnya sangat memungkinkan terjadinya kesalahan informasi yang diberikan. “Pengguna ChatGPT, termasuk dari sivitas akademika UM sebaiknya memperhatikan beberapa hal dalam pemanfaatannya. Pertama, sebaiknya pengguna mengecek dan memvalidasi kesesuaian dan kebenaran tulisan. Kedua, perlu dilakukan pengecekan sumber referensi, melakukan parafrase, dan mengembangkan hasil penulisan dari ChatGPT agar terhindar dari tingginya tingkat plagiasi. Kemudian, yang ketiga adalah memanfaatkan aplikasi ini untuk keperluan yang tepat dengan mengikuti etika digital yang berlaku,” jelas Dr. Herlin Pujiarti, M.Si., Kepala Pusat Etik Ilmiah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UM.

Advertisement

Melihat adanya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki aplikasi ChatGPT, sudah sepatutnya sivitas akademika UM mengembangkan kompetensinya dalam memanfaatkan teknologi digital. Kompetensi ini didasari oleh Empat Pilar Literasi Digital yang telah diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Pilar tersebut terdiri dari kecakapan digital (digital skills), budaya digital (digital culture), etika digital (digital ethics), dan keamanan digital (digital safety). Keempat pilar literasi digital tersebut menjadi kompetensi yang harus dimiliki bagi setiap pengguna yang memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Kompetensi tersebut digunakan sebagai kontrol pemanfaatan teknologi digital. Hal ini dilakukan supaya pengguna yang memanfaatkan teknologi digital dalam dunia pendidikan dapat memperoleh manfaat secara maksimal dan meminimalisasi adanya kerugian yang ditimbulkan.

Pemanfaatan teknologi ChatGPT dapat disesuaikan dengan keperluan proses pembelajaran dan dikembalikan pada masingmasing pelaksana. Akan tetapi, secara khusus UM belum mengeluarkan kebijakan mengenai pemanfaatan ChatGPT karena teknologi ini masih terbilang baru. Penggunaannya dalam pembelajaran pun perlu diatur dengan kebijakan yang jelas dan merujuk pada kebijakan tertinggi yang ada di UM. Hal ini dilakukan agar pemanfaatan teknologi digital dalam dunia pendidikan dapat menyokong kompetensi sivitas akademika UM pula. “Menurut saya, ke depannya sangat mungkin untuk mengolaborasikan teknologi AI dengan sistem pembelajaran. Pemanfaatan ini justru memperkuat peran dosen dalam proses pembelajaran, contohnya digunakan sebagai referensi pemilihan tema bahan diskusi maupun sebagai sumber informasi dan inspirasi dalam menghasilkan suatu karya. Dari sekian banyaknya pro kontra pemanfaatan ChatGPT, hal terpenting yang harus digarisbawahi adalah bagaimana memanfaatkan teknologi digital ini untuk hal-hal positif dengan bersikap bijak dan bertanggungjawab,” pungkas Kepala Pusat Etik

Ilmiah LP2M UM itu. Natasha