21 minute read

Pendidikan di Era Society 5.0 Membangun Ekosistem Kreatif, Inovatif, dan Mampu Bersaing

Era Society 5.0 merupakan fase perkembangan masyarakat yang mengintegrasikan dunia fisik dan digital secara lebih dalam. Era Society ini keberlanjutan dari era Revolusi Industri 4.0 yang mengacu pada penggunaan teknologi digital dan otomatisasi. ini diinisiasi oleh Jepang sebagai langkah lanjut dari Revolusi Industri 4.0, yang menekankan pada teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Things (IoT), dan Big Data untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Singkatnya era Society 5.0 bertujuan untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan dengan cara yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Dalam konteks pendidikan, era ini membawa tantangan sekaligus peluang besar untuk menciptakan kreativitas yang lebih tinggi dalam proses belajar mengajar. Penggunaan teknologi merupakan inti dari 5.0. Integrasi teknologi dalam pembelajaran dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan menarik. Misalnya, penggunaan Virtual Reality Augmented Reality (AR) dapat membantu siswa konsep yang sulit dengan cara visual dan praktis. Selain itu, media pembelajaran daring atau online memungkinkan akses ke sumber daya pendidikan dari berbagai dunia, memungkinkan siswa belajar dari berbagai perspektif dan metode yang berbeda. Bagi tenaga pendidik aspek ini juga memiliki andil yang besar, pendidik tidak hanya terpaku pada satu sumber belajar saja akan mereka juga akan mengkolaborasikan bahan pelajaran dari berbagai sumber melalui media daring sehingga yang diberikan kepada siswa lebih bervariatif dan lebih update.

Pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning/PBL) adalah pendekatan yang efektif untuk mengembangkan kreativitas siswa. Dalam PBL, siswa bekerja dalam tim untuk menyelesaikan proyek nyata yang relevan dengan kehidupan mereka. Proses ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan manajemen waktu. Era Society 5.0 dengan segala teknologinya memungkinkan proyek-proyek ini menjadi lebih kompleks dan menantang, memicu kreativitas siswa untuk menemukan solusi inovatif.

Advertisement

Teknologi AI dan Big Data memungkinkan personalisasi pendidikan yang lebih baik. Melalui data, pendidik dapat memahami kebutuhan, minat, dan gaya belajar masing-masing siswa secara lebih mendalam. Maka dengan itu, tenaga pendidik dapat merancang kurikulum dan metode pengajaran yang disesuaikan dengan individu, melalui metode ini capaian pembelajaran pengajar capai akan lebih tinggi presentase ketercapaiannya. Personalisasi ini tidak hanya meningkatkan pembelajaran, tetapi juga mendorong siswa mengeksplorasi minat mereka lebih dalam, sehingga kreativitas mereka dapat berkembang dengan optimal. Society 5.0 memfasilitasi kolaborasi global melalui teknologi komunikasi yang canggih. Siswa dapat bekerja sama dengan teman sebayanya dari berbagai negara dalam proyek-proyek bersama, bertukar ide, dan mempelajari budaya yang berbeda. Kolaborasi semacam ini mampu memperluas wawasan siswa dan mendorong mereka untuk berpikir di luar batas-batas tradisional. Hal ini sangat penting dalam mengembangkan kreativitas yang berbasis pada keberagaman ide dan perspektif.

Selain keterampilan teknis, Society 5.0 menekankan pentingnya keterampilan abad 21, seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Pendidikan harus dirancang untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan ini. Misalnya, melalui diskusi terbuka, debat, dan kegiatan kreatif lainnya, siswa dapat dilatih untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Penggunaan teknologi juga bisa dioptimalkan untuk mengasah keterampilan komunikasi dan kolaborasi melalui platform-platform digital. Lingkungan belajar yang mendukung adalah faktor kunci dalam mendorong kreativitas. Ruang kelas harus dirancang agar fleksibel dan dapat disesuaikan dengan berbagai kegiatan pembelajaran serta minat dan potensi peserta didik. Penggunaan teknologi harus dipadukan dengan metode pembelajaran yang inovatif. Selain itu, penting juga untuk menciptakan budaya sekolah yang menghargai dan mendukung kreativitas. Pendidik harus didorong mencoba pendekatan baru dan siswa harus diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi ide-ide mereka.

Menciptakan kreativitas pendidikan di era Society 5.0 memerlukan integrasi teknologi yang cerdas, pendekatan pembelajaran yang inovatif, dan lingkungan yang mendukung. Dengan memanfaatkan potensi teknologi dan pendekatan baru, kita dapat membentuk generasi masa depan yang tidak hanya berpengetahuan luas tetapi juga kreatif dan Society 5.0 memberikan peluang besar bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi dan menghadirkan pengalaman belajar yang lebih kaya dan bermakna.

Endah Permatasari. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas C angkatan 2022.

Identitas Buku

Judul Buku : Novel Pangeran Diponegoro:

Menggagas Ratu Adil

Penulis Buku : Remy Sylado

Penerbit : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Tahun Terbit : Cetakan pertama 2007

Jumlah Halaman : 340 Halaman

Sinopsis Novel

Cerita dimulai dari Ratnaningsih sebagai wartawan surat kabar Republik. Ia berkeinginan untuk menuntaskan rasa penasarannya memperoleh informasi langsung dari orang-orang sebagai bahan liputannya yang dimuat dalam rangkaian repotase di surat kabarnya tentang masyarakat Jaton di hemparan

Plateau tanah Minahasa yang konon disebut-sebut sebagai ma-syarakat keturunan Pangeran Diponegoro. Selanjutnya, Ratnaningsih bertemu dengan seorang lelaki tua berumur 90 tahunan yang membawa tongkat dan tasbih. Teryata lelaki tua tersebut merupakan turunan asli Menadurahman. Lelaki tua itu menceritakan tentang rahasia tiga serangkai yaitu Kyai Mojo, Sentot Prawirodirjo, dan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang bagi warga masyarakat sebagai Sultan Abdul Hamid Herucukro Amirul Mukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi. Semua-nya wafat pada tahun 1855 yaitu Kyai Mojo wafat pada 21 Desember 1855 di Tondano, Sentot Prawirodirjo wafat pada 17 April 1855 di Bengkulu, dan Kanjeng Pangeran Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855 di Makassar.

Ontowiryo: onto berarti ‘yang terakhir’, ‘yang pengunjung’, ‘yang pamungkas’: dan wiryo berarti ‘keberanian’, ‘keberkuasaan’, ‘kesaktian’, ‘keluhuran jiwa’ merupakan nama kecil Pangeran Diponegoro.

Sejak kecil Ontowiryo diasuh oleh neneknya yaitu Ratu Ageng istri Sultan Hamengku Buwono I. Ayah Pangeran Diponegoro bernama Gusti Raden Mas Suroyo sebagai Sultan Hamengku Buwono III, ibunya bernama Raden Ajeng Mangkarawati, pamannya bernama Pangeran Bei atau Pangeran Ngabehi Joyokusumo, sedangkan kakeknya Sultan Hamengku Buwono II. Di usia sepuluh tahun Ontowiryo dituntun untuk memahami Qur’an, menguasai bacaan-bacaan kebudayaan Jawa, primbon, dan suluk, serta kitab-kitab kawruh sekaligus dilatih untuk mahir melempar lembing, menggagar keris, dan berpacu kuda. Buku kesukaan Ontowiryo: At Tuhfah karya Syekh Ibn Hajar, dan Nasihatul Muluk karya Iman Gazali. Saat usia 17 tahun Ontowiryo gemar menunggangi kuda. Ontowiryo menganggap Belanda sebagai setan karena Ontowiryo saat duduk memegang kail di pinggir sungai ia kaget melihat Belanda tiba-tiba nongol di hadapannya, melotot kepadanya de-ngan mata birunya, maka Ontowiryo mencolot dan berlari terbirit-birit.

Pada usia enam tahun Ontowiryo belajar di lembaga pendidikan di Perdikan Mlangi yang didirikan oleh kakak Sultan Hamengku Buwono I karena kesedarahan dengan pendirinya Kyai Nuriman. Pada pekan pertama Ontowiryo belajar di Perdikan Mlangi belajar tentang huruf Jawa dan Arab. Ontowiryo sangat menonjol kecerdasannya pada pengetahuan. Namun, ada juga anak yang bernama Wironegoro keturunan Untung Surapati. Persaingan Wironegoro dengan Ontowiryo sebetulnya dipanas-panasi dengan sa-ling mengejek oleh teman-temannya masing-masing. Ketika dewasa keduanya menjadi musuh, karena Wironegoro menjadi mayor dalam kesultanan yang berada di kubu Belanda dan Ontowiryo menjadi Pangeran Diponegoro yang memimpin pemberontakan terhadap Belanda.

Patih Danurejo II merupakan menantu Sultah Hamengku Buwono II, ia menemui Jan Willem van Rijnst yang merupakan seorang oportunis bedegong yang berasal dari Belanda tenggara, lahir di Heerlen daerah Limburg penduduk. Namun, demi mencari muka pada kekuasaan Hindia Belanda ia bermuka topeng kepada Letnan Gubernur Jendral Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles. Patih Danurejo mengatakan kepada Jan Willem van Rijsnt bahwa Sri Sultan sedang membangun kekuatan dalam pikiran rakyat bukan hanya bedil namun dengan kebudayaan yaitu kesenian khususnya wayang dan tembang macapat. Patih Danurejo II ingin menggerogot kekuasaan Sri Sultan. Padahal Danurejo II selama ini melakukan penyebaran gunjingan, desas-desus, dan hal buruk tentang Sri Sultan sehingga keadaan pemerintah menurut anggapannya menjadi timpang.

Sri Sultan Hamengku Buwono II memerintah Raden Mas Suroyo untuk melakukan eksekusi hukuman mati terhadap Patih Danurejo II pelaksanaan akan dilakukan di tempat terbuka di alun-alun sehingga dapat disaksikan oleh masyarakat. Namun, bukan tangan Gusti Raden Mas Suroyo yang awalnya ditugasi sang ayah untuk membunuh Danurejo II melainkan seorang algojo. Algojo yang dimaksud adalah lelaki kekar berbusana hitam dengan wajah tertutup kain hitam. Kraton mengadakan pertemuan untuk membahas kesiapan Raden Mas Suroyo untuk menjadi Sultan Raja. Sultan Hamengku Buwono I, akrabnya Sultan Swargi. Sultan Hamengku Buwono II, akrabnya Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono III, akrabnya Sultan Raja. Pertemuan dilakukan di dalam kraton bangunan Kedung Jene. Pertemuannya dihadiri oleh semua pembantu Raden Mas Suroyo, Raden Ayu Ngabdani, Pangeran Notopuro, Raden Ayu Jayadiningrat. Namun ada yang tidak hadir dalam pertemuan itu yaitu Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Bei mereka lebih memilih untuk mejadi pengikut Pangeran Diponegoro.

Notokusumo sudah lama tidak cocok dengan sultan, kini ia meninggalkan kesultanan dan membuat bangunan sendiri dengan nama Puri Paku Alam, ia juga mengangkat dirinya sebagai adipati bergelar K.G.P.A Paku Alam I. Dalam perpecahan Sultan Hamengku Buwono II dengan Paku Alam terjadi karena Belanda memanasi kedua belah pihak. Van Rijnst bergunjing tentang kejelekan Sultan Hamengku Buwono II kepada Notokusumo dan begitu pula sebaliknya.

Pertemuan Van Rijnst dengan Adipati Anom berlangsung diam-diam pada malam hari di Plengkung Gading atau Nirbaya. Van Rijnst sangat yakin bahwa ia dapat mengahasut, mengadu domba Raden Mas Suroyo. Sasarannya jatuh ke nama Adipati Anom sebab dalam pikiran Raden Mas Suroyo memiliki ambisi yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai putra mahkota. Daendles datang ke kraton dengan membawa 2300 orang anggota serdadu dengan senjatannya yang berada di luar kraton. Saat memasuki kraton Daendles bercakap-cakap dengan Sultan Hamengku Buwono II, Sultan memperkenalkan barang-barang pusaka kraton yang terdiri dari wayang, tombak, keris. Namun Daendles sangat ketus lalu ia memberi isyarat kepada Don Lopez untuk mendentumkan 5 peluru meriam. Panas hati Ontowiryo melihat kesombongan dan kesemenaan Daendles. Sultan Hamengku Buwono III ragu-ragu dalam membela rakyatnya yang sudah terhimpit miskin dan sengsara. Sebab naik tahtanya direka oleh penjajah. Sehingga peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial yang menyiksa rakyat dan tidak dilawan oleh sultan. Sehingga rakyat mengeluh soal keadaan sekarang. Hal tersebut bebarengan dengan Daendles dipanggil pulang ke Eropa untuk ditempatkan oleh Napoleon Bonaparte ke Polandia. Kini penggantinya adalah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens. Dari peristiwa tersebut dapat dibaca kesan bahwa kekuatan Belanda-Prancis di Nusantara sudah rawan. Saat Daendles menggusur Sultan Hamengku Buwono II dan digantikan oleh Sultan Hamengku Buwono III itu adalah bukti tidak sukannya Belanda, namun sekarang tiba-tiba Sultan Hamengku Buwono II menggeser kembali Sultan Hamengku Buwono III. Ditariknya Daendles dari Hindia bekaitan dengan dipecatnya raja Belanda Louis Napoleon oleh Napoleon Bonaparte di Prancis karena alasan tidak becus.

Tentara Inggris menangkap Van Rijnst, ditangkap dan menyekapnya di Kwitang yang tidak jauh dari gedung All Saints Anglican Church. Van Rijnst mengaku bahwa dirinya ilmuan bukan penjabat atau bagian dari Belanda. Ia mempelajari tentang tabiat-tabiat pangeran, pandangan politik, perilaku seks, sosialnya. Raffles masuk ke Yogyakarta pada 1811 dengan tentaranya yang berhenti di Semarang. Raffles mewakili kerajaan Inggris yang menduduki Jawa, mencopot dengan tidak hormat kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II yang telah melakukan kecurangan terhadap Sultan Hamengku Buwono III, dan mengembalikan kekuasaan kepada Sultan Hamengku Buwono III. Raflles juga memutuskan Sultan Hamengku Buwono II diasingkan ke Pulau Pinang yang akan ditemani oleh putranya Pangeran Mangkudiningrat yang berdasarkan catatan Belanda, merupakan orang-orang yang tidak bisa dipercaya. Raffles juga sudah berjanji kepada Sultan Hamengku Buwono III memberi hadiah kereta yang ia pesan langsung dari Inggris. Kini Sultan Hamengku Buwono III memiliki dua kereta yang indah, mewah, dan mejadi pusaka kraton. Kereta pertama diberi nama Nyi Jimat, kereta kedua diberi nama Kanjeng Kyai Garudayaksa. Dua tahun setelah menjadi Sultan Hamengku Buwono III, pada tahun 1814 ia wafat di usia 43 tahun.

Kelebihan Novel

Pengarang Remy Sylado pada novelnya yang berjudul Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil ia memberikan penjelasan kalimat pada setiap ceritanya. Ia juga mengajak pembaca merasakan ketegangan, sadis, liciknya pada sistem pemerintahan masa dahulu. Kalimat dalam bacaan diselipkan puisi-puisi atau tembang macapat itu. Novel ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat baik dewasa maupun orang tua karena bahasa yang terdapat dalam novel mudah dipahami dan terdapat kata kunci penjelasan di bahwah teks. Selain itu, mengajarkan pembaca untuk melestarikan budaya dan menjadi penerus bangsa Indonesia. Melestarikan budaya merupakan tugas setiap orang, terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Dalam hal ini, novel tersebut dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca untuk menjaga warisan budaya leluhur kita.

Kekurangan Novel

Pada kekurangan di cerita novel yaitu cerita kerap berpindah-pindah waktu dan tempat, terkadang menyisipkan cerita dan pemikiran yang tidak selalu relevan dengan plot utama. Selanjutnya pada struktur ini meskipun memungkinkan eksplorasi yang lebih luas dan mendalam. Namun, dapat membingungkan pembaca dan mengganggu fokus pada kisah utama.

Kesimpulan

Sebagai penerus bangsa kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dengan tidak melakukan peri-laku seperti pengkhianatan, korupsi, dan lain-lainnya. Hal tersebut akan merugikan negara dan dapat membahayakan masa depan bangsa Indonesia. Sebagai pemuda yang cerdas dan kreatif, kita harus memberikan kontribusi pada negara dengan cara berbuat kebaikan dan menghindari perilaku yang merugikan. Maka dari itu kita harus mencintai tanah air Indonesia.

• Tarissa Noviyanti Az Zahra. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A angkatan 2022.

Aku ingin menghentikan dan mengulang waktu. Rasanya dunia ini terlalu terburu-buru berubah. Mulai dari rumah tempat tinggal keluargaku hingga penghuni di dalamnya, semuanya telah berubah. Satu dekade yang lalu ketika usiaku baru tujuh tahun, rumah belum sesepi ini. Aku ingat kala itu cat dinding rumahku masih berwarna putih, taman di halaman rumah masih ditumbuhi rumput hijau yang subur dan pohon rambutan masih berdiri tegak di sana. Tak lupa, terlihat pot-pot bunga milik ibu berjejeran di sekeliling taman. Semua kenangan indah akan masa kecilku terjadi di rumah ini.

Rasanya baru kemarin aku dan kakakku bermain ayunan di pohon rambutan itu. Ayunan yang dibuat oleh bapak dari seutas tali dan ban bekas yang telah dimodifikasi. Selepas puas bermain, kemudian aku dan kakak akan membantu ibu menyirami tanamantanamannya di sore hari. Tentu saja aku dan kakak tidak hanya menyiram tanaman, tapi juga saling menyiram satu sama lain. Baju kami jadi basah, kemudian ibu akan me-ngomel. Semua itu kini hanya tinggal kenangan.

Pasalnya, ketika usiaku menginjak lima belas tahun, keluargaku meninggalkanku sendirian untuk selamanya. Malaikat mengajak bapak, ibu, dan kakakku pulang ke pangkuan-Nya sesaat setelah terjadi kecelakaan pada mobil yang mereka naiki. Kecelakaan itu terjadi karena hujan lebat yang membuat mobil tergelincir di tikungan tajam menurun. Mobil yang mereka naiki berakhir masuk ke jurang. Kejadian naas itu berlangsung saat perjalanan pulang setelah mereka mengunjungi rumah Tante.

Sebetulnya, pagi hari itu kami sekeluarga berangkat bersama ke rumah Tante. Setelah senja menghilang, aku memilih menginap di rumah Tante, sementara mereka memilih pulang. Tidak ada yang tahu hujan lebat akan turun di tengah perjalanan mereka pada malam itu.

Kalau aku bisa mengulang waktu, aku akan membuat mereka ikut bermalam di rumah Tante bagaimanapun caranya. Akan tetapi, waktu dengan teganya tidak memberikan manusia kesempatan untuk mengulang. Mustahil untuk mengulang kembali kenangan indah masa kecilku. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah mengenang.

Itulah sebabnya aku kembali menginjakkan kaki di halaman rumah ini. Di depan rumah yang cat dindingnya sudah mengelupas, berlumut, dan ditumbuhi tanaman rambat. Rumput-rumput di area halaman rumah yang tidak dipasangi paving blocks semakin tinggi, bahkan ber-bagai tanaman liar pun ikut tumbuh subur. Pohon rambutan tempatku bermain ayunan kala itu sudah rata dengan tanah. Saksi bisu kenangan bersama keluargaku sudah berubah. Dengan begitu kejamnya, waktu terus berjalan. Waktu enggan mengerti perasaan hati seseorang. Waktu tidak mau berhenti atau berputar ke belakang. Aku geram. Bagaimanapun caranya aku akan berusaha menghentikan dan mengulang waktu.

Aku berbalik badan, melangkah keluar dari halaman rumah melewati gerbang. Kulihat tanteku sedang berjalan mendekat ke arahku, aku pun menunggu di depan gerbang rumah.

Aku menyapanya terlebih dulu. “Tante dari mana aja?”

“Rumah tetangga sebelah. Itu yang nanti ikut bantu jual rumahmu. Nanti tante sama om urus semuanya.”

Sejenak aku melirik pada spanduk bertuliskan ‘Rumah Ini Dijual’ yang terpasang di gerbang rumah. Aku menghela napas panjang. Masih ada rasa tidak rela yang memberatkanku untuk melepas rumah ini pada pemilik baru. Akan tetapi, aku lebih berat hati membebani Om dan Tante yang kini merawatku dibandingkan dengan merelakan rumah itu. Hasil penjualan rumah itu akan digunakan untuk membayar pendidikanku selama menempuh perguruan tinggi.

“Pulang yuk. Udah mau sore, takut Om kamu nyariin.” Aku mengangguk setuju pada ajakan Tante. Aku pun mengekorinya masuk ke dalam mobil yang terparkir di area paving blocks halaman rumahku. Tante menghidupkan mesin mobilnya, lalu mobil mulai bergerak meninggalkan halaman rumahku menuju ke rumah Tante. Aku lagi-lagi menghela napas panjang.

Aku berusaha memulai obrolan. “Tante, waktu jalannya cepet banget, ya. Rasanya baru kemarin Om Adi sama Tante Anna main ke rumahku waktu lebaran, terus kita bakar-bakaran di teras.”

Tante tersenyum, melirikku sekilas sebelum kembali fokus mengemudi. “Iya, rasanya baru kemarin. Padahal terakhir ke sana udah tiga tahun lalu. Kamu cepet banget gedenya, udah mau kuliah aja.”

“Kalau mungkin, aku pengen bisa berhentiin waktu atau ngulang waktu ke masa lalu.”

“Berhentiin waktu?” Mendengar Tante mengulang kalimatku, aku merasa déjà vu. Aku merasakan hawa familier yang aneh, tak dapat kujelaskan dengan kata-kata. Rasanya aku pernah mendengar seseorang menanyakan hal yang sama padaku. Sekilas aku mengingat, bapak pernah melontarkan pertanyaan itu setelah aku berkata bahwa aku ingin punya kekuatan super yang mampu menghentikan waktu. Kudapatkan inspirasi itu seusai menonton seorang tokoh superhero dalam tayangan kartun. Mengetahui keinginanku, bapak tersenyum penuh makna. Ia langsung memintaku ikut pergi ke ruang kerjanya. Aku diberi buku gambar dan peralatan menggambar olehnya. Aku senang sekaligus bingung.

“Bapaaak, tapi ‘kan aku gak mau gambar. Aku ‘kan maunya bisa berhentiin waktu kaya superhero itu … tuuhh …” Aku berkata sambil menunjuk seorang tokoh kartun layar televisi. Seketika kulanjutkan ucapanku, “tapi malah suruh gambar. Kenapa suruh gambar?”

“Kalau kamu ingin bisa menghentikan waktu, coba gambar momen ketika kamu merasa ingin menghentikan waktu.”

Ucapan bapak yang itu masih kuingat hingga sekarang, meski sejujurnya kala itu aku tidak mengerti secara mendalam maksud ucapan bapak. Otakku menangkap maksud kalimat itu sebagai perintah dari bapak agar aku belajar menggambar. Akan tetapi, aku masih ragu dengan benda-benda di kedua tanganku. “Tapi aku ‘kan gak pinter gambar?”

Alis bapak naik satu, “bukan berarti ga bisa kan?”

“Bisa. Tapi nanti diajarin bapak kan?”

Bapak mengangguk, lalu berpesan, “nanti tiap selesai menggambar, perlihatkan ke Bapak. Bapak mau lihat.”

Seusai perbincangan itu, aku mulai mencoba menggambar. Mulai dari gambar diriku bermain bersama boneka kesayanganku, kakak menendang bolanya, bapak naik sepeda, hingga ibu yang sedang menyiram pot bunganya. Seharusnya aku menunjukkan gambar-gambar itu pada bapak sesuai permintaannya, namun aku enggan melakukannya. Menurutku, gambarku jelek. Ada beberapa kertas gambar yang sobek karena aku tak puas dengan hasil gambarku yang jelek. Aku menggambarnya lagi, lalu menghapusnya, mengulang kegiatan itu berkali-kali.

Kertas gambarnya menjadi tipis hingga akhirnya sobek. Aku kesal. Aku pun menemui bapak di ruang kerjanya. Aku berdiri di depan mejanya, tanganku menyembunyikan hasil gambar-gambarku di belakang. Kepalaku menunduk, tubuhku kugoyangkan sedikit ke kanan dan kiri sambil melirih, “Bapak … aku gak bisa ….”

Ia yang tadinya fokus dengan pekerjaannya pun berhenti sejenak. Menatapku dengan tanda tanya, “Kenapa?”

“Gambarku jelek.” Aku mengembuskan napas dengan kesal.

Bapak mengulurkan tangannya, “mana lihat?”

Aku menyerahkan buku gambarku padanya. Ia segera menilik karya-karyaku di dalamnya. Aku memastikan, “jelek kan?”

Senyumnya mengembang. Diletakkannya buku itu di atas meja. “Bapak punya solusi biar gambarmu bagus.”

“Apa?”

Tak ada balasan darinya. Perhatiannya beralih ke laci meja. Tangannya menarik laci, mengambil suatu benda dari dalam sana. Benda itu lalu diberikan kepadaku.

“Pensil?” Aku tahu nama benda itu, tetapi alasan ia memberikan pensil itu masih menjadi tanda tanya bagiku.

Ia berkata, “itu pensil ajaib.” Senyumnya merekah saat tatapannya dilayangkan pada pensil ditanganku. Kulihat bentuk pensil itu sama seperti pensil yang digunakan oleh kebanyakan orang. Aku belum menemukan sisi keistimewaannya. “Kalau kamu pakai pensil itu, nanti gambarmu hasilnya bakal bagus. Tapi ada syaratnya,” sambungnya diakhiri jeda.

“Apa? Kalo ga boleh beli es krim, aku gak mau gambar lagi loh.” Mengingat waktu itu bapak kerap kali melarangku makan terlalu banyak es krim. Sebab, ia tak mau putrinya sakit tenggorokan.

“Pensilnya harus dipakai setiap hari.”

Aku penasaran pensil ajaib itu betulan ajaib atau sebaliknya, namun aku enggan menggambar setiap hari. “Kalo ga tiap hari?”

“Kalau bisa setiap hari.”

Percakapaan itu terjadi ketika umurku baru delapan tahun. Karena pada saat itu tontonanku kartun-kartun fantasi, aku pun mempercayai bahwa keajaiban-keajaiban dalam kartun juga bisa terjadi dalam kehidupan nyata. Aku juga percaya Bapak dan ucapannya mengenai pensil ajaib itu. Kuanggap pensil itu betulan ajaib.

Walau aku tidak menggambar setiap hari dengan menggunkan pensil itu seperti permintaan bapak, tetapi aku menjadi lebih sering menggambar berkat hal itu. Aku menggambar apapun yang kusukai, kuinginkan, dan sedang kupikirkan. Tiap selesai menggambar sesuatu, aku

DIMENSI 2024 | 34 selalu menunjukkan karyaku kepada bapak.

Bila menurut bapak gambarku bagus, aku akan diapresiasi. Bila sebaliknya, ia akan mengajariku. Hal itu meningkatkan semangatku dalam menggambar. Lama-kelamaan, menggambar pun menjadi hobiku. Mengenang sekilas tentang kenangan manis itu membuat diriku tak sadar menampilkan kedua lesung pipiku.

Tante Anna pun segera menegurku, “anak ini lagi ditanya kok malah bengong sambil senyum-senyum. Anak gadis ini mikirin apa sih?”

Seketika aku kembali pada kenyataan. “Hah? Gimana, Tante?”

“Gak jadi deh, lupain aja. Biasanya kalau udah gini nih, tandanya kamu ngantuk. Kamu kalau ngantuk tidur aja, nanti kalau udah sampe Tante bangunin.”

Aku terkekeh, “Makasih, Tante.”

Waktu berlalu begitu cepat karena aku tertidur selama perjalanan pulang. Rumah Tante yang menjadi tujuan kami berada di kota yang berbeda dari kota tempat rumah keluargaku berdiri. Meski kedua kota bertetangga, butuh dua jam perjalanan untuk menempuh jarak antara kedua-nya. Rumah Tante menjadi tempat tinggal baruku sejak seminggu setelah keluargaku dimakamkan.

Setibanya di dalam rumah tante, kami berpisah di ruang keluarga dan aku langsung melangkahkan kaki ke kamarku. Langkahku berhenti di depan rak buku. Kuambil buku gambar yang kugunakan sewaktu kecil dulu. Buku itu kugenggam hingga aku terduduk di kursi belajarku. Kubuka halaman demi halaman sambil mengingat kenangan-kenangan masa kecilku.

Di halaman ke empat, tergambarkan seorang wanita yang sedang menyiram pot bunga. Kaki dan tangan wanita itu tidak sama panjang. Tubuhnya sama sekali tidak proporsional. Orang lain dapat mengetahui bahwa itu adalah gambar seorang wanita dari rambutnya yang panjang dan bawahannya yang mengenakan rok. Sejujurnya gambar itu memang jelek seperti anggapanku dulu.

Akan tetapi, bagiku gambar itu tidak sekadar dinilai dari bagus atau tidak tampilannya. Aku menganggap gambar itu bermakna dan bernilai tak terhingga. Melalui gambar itu, aku mengabadikan Ibu yang sedang menyiram tanaman. Kupaksa waktu berhenti di halaman kertas itu. Gambar itu bagai gerbang waktu ke masa lalu yang dapat membawaku mengulang waktu dalam ingatan masa kecilku. Dahulu aku tidak mengerti jawaban bapak atas permintaanku yang ingin menghentikan dan mengulang waktu. Kini, aku mulai mengerti. Bagiku kini, menggambar lebih dari sekadar mengisi waktu luang. Menggambar menjadi pelarian diriku dari kesedihan, ketakutan, dan penyesalan dalam diriku. Terutama kesedihan akibat kehilangan keluargaku. Tak hanya hasilnya, aku juga bisa menikmati proses saat menggambar. Waktu menjadi lebih bermakna saat menggambar. Waktu luang yang sering kugunakan untuk meratapi kesedihan dan menyesali keadaan, kini diisi dengan proses menciptakan karya-karya indahku. Tiga bulan berlalu. Aku terduduk lagi di kursi belajarku dengan buku gambar masa kecilku yang terbuka di atas meja. Kupandang lukisan yang terpasang di dinding dekat meja belajarku. Itu lukisan aku dengan keluargaku. Kulukis kami berempat di depan rumah yang dindingnya masih berwarna putih, dengan taman berhiaskan pot-pot bunga milik ibu dan pohon rambutan masih kokoh me-njulang di halamannya. Kamera terluput untuk mengabadikan momen itu, tetapi aku tidak. Untungnya aku bisa menuangkan memoriku dalam kanvas itu.

Berkat bapak dan pensil ajaib semasa kecil dulu, kini aku mampu melahirkan lukisan itu. Kala itu ternyata bapak tidak memintaku membuktikan kebenaran mengenai pensil ajaib yang membuatku penasaran. Sebenarnya Bapak memintaku berlatih menggambar. Ia memintaku menekuni bakat yang kumiliki, sehingga di masa kini aku punya sesuatu yang dapat mengantarkanku lebih dekat pada cita-citaku. Menjadi ilustrator seperti bapak.

Lukisan itu telah kugunakan sebagai portofolio untuk syarat masuk tes perguruan tinggi. Hasilnya aku di terima di perguruan tinggi impianku, di tempat bapak menempuh gelar sarjananya. Aku siap menyambut harihari yang diisi dengan menggambar. Sudah kuputuskan untuk menggambar sepanjang hidupku. Akan aku buktikan bahwa aku bisa memberhentikan dan mengulang waktu melalui lebih banyak karya-karyaku di masa depan. Melalui karyaku pula, akan kuabadikan semua orang yang kusayang. Bapak, terima kasih telah mengajari aku menggambar.

• Awalya Citra Rini. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A angkatan 2023.

“Nomor urut 21, silahkan menuju ruang pemeriksaan.”

Suara panggilan menggema di setiap sudut ruang tunggu rumah sakit. Beberapa orang masih menunggu nomornya antreannya dipanggil. Ada seorang lansia berdiri dengan tongkatnya, ada seorang anak kecil yang menunggu sembari digendong ibunya, ada suami yang mengantarkan istrinya, dan ada juga beberapa anak muda mengantarkan orang tua mereka yang sudah lanjut usia. Diantara sekumpulan antrean tadi, ada seorang gadis remaja dengan rambut panjang hitam legam dan setelan baju rapi berwarna merah muda duduk di pojok ruangan. Dia disana untuk mengantar ibunya yang sudah paruh baya melakukan pemeriksaan rutin.

“Nomor urut 22, silahkan menuju ruang pemeriksaan.”

“Ibu masuk dulu ya nak, kamu tunggu di sini aja.”

“Loh aku ngga nemenin Ibu aja di dalam?”

“Ngga usah. Ibu di dalam bakalan lama, nanti kamu bosen nunggunya. Udah kamu duduk di sini aja biar ibu masuk ke dalam sendiri, biasanya juga ibu masuk sendiri.” Wanita paruh baya tersebut lantas beranjak dari kursi tunggunya dan masuk ke ruang pemeriksaan tanpa ditemani anak gadisnya.

Gadis itu hanya mengangguk mendengar perkataan ibunya, setelah itu dia bergegas kembali ke tempat duduk di ruang tunggu.

Sepuluh menit berlalu ibunya tak kunjung keluar dari ruang pemeriksaan. Gadis itu hanya melamun sembari membuka tutup ponselnya, menunggu ibunya keluar dari ruang pemeriksaan.

“Mbak kursinya kosong, saya boleh duduk di sini?” Wanita dengan setelan kantoran serta rambutnya yang diikat rapih mendatangi gadis muda itu. Kedatangan wanita ini membuat gadis tersebut menghentikan lamunannya.

“Oh iya mbak ini kosong, Ibu saya sudah masuk ke ruang periksa barusan. Silahkan dipakai duduk aja.”

Gadis itu mempersilahkan wanita tadi duduk persis di sebelahnya, di tempat duduk yang digunakan ibunya sebelumnya.

“Owalah sama kalau begitu mbak, saya juga nganterin Ibu saya cek kesehatan rutin hari ini.” Wanita itu menimpali pernyataan gadis tadi.

Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis ke arah si wanita tanpa membalas jawabannya lagi.

Dua puluh menit menunggu, ibu dari gadis tersebut juga tak kunjung keluar dari ruang pemeriksaan. Dirinya sudah mulai suntuk karena sedari tadi hanya duduk dan diam saja tanpa melakukan kegiatan apapun.

Tidak lama kemudian ada seorang remaja dengan seragam putih abunya duduk tepat di sebelah kiri gadis tersebut. Jadi saat ini si gadis dengan setelan merah muda, si wanita dengan setelan baju kantor serta rambutnya yang diikat rapi, dan si remaja dengan seragam putih abunya duduk saling bersebelahan tanpa ada obrolan di antara mereka.

Setelah cukup lama senyap, remaja tersebut memulai obrolan dengan gadis di sebelah kirinya.

“Kakak, lagi nganterin siapa?”

Dirasa mulai suntuk sedari tadi hanya diam saja, gadis tersebut menjawab pertanyaan dari si remaja dan memulai obrolan mereka berdua.

“Aku lagi nganterin Ibu aku buat periksa kesehatan rutin, kamu sendiri pulang sekolah gini nganterin siapa?”

“Sama, aku juga nganterin mama buat periksa kesehatan rutin,” jawab remaja tersebut dengan wajah yang senantiasa ceria, meskipun terlihat dari seragamnya yang sudah sedikit kotor dan berantakan, terlihat bahwa dia pasti baru saja pulang dari sekolah.

“Sepertinya hari ini memang ada jadwal pemeriksaan rutin ya, tadi mbak-mbak di sebelah juga bilang lagi nunggu ibunya periksa rutin.”

“Mungkin juga sih kak, oh iya kalo boleh tau nama kakak siapa? aku Mentari,” remaja tersebut memperkenalkan dirinya kepada gadis tadi. Mentari namanya, sesuai dengan wajahnya yang sedari tadi memancarkan senyuman yang bercahaya.

“Aku Bintang, salam kenal ya Mentari.”

Gadis tersebut juga memperkenalkan dirinya, mereka berdua mulai membicarakan lebih banyak hal sembari menunggu Ibu mereka keluar dari ruang pemeriksaan.

“Aku udah nungguin dari sekitar dua puluh menit yang lalu, tapi ibuku belum keluar dari ruang pemeriksaan, makannya sekarang udah mulai suntuk nih Mentari.” Bintang mengeluhkan rasa suntuknya kepada Mentari.

“Lama juga ya kak Bintang berarti pemeriksaannya, aku juga udah mulai bosen dari tadi gaada temen ngobrol. Untung aja ketemu kak Bintang yang mau di ajak ngobrol, hehehehe.”

“Eh iya, kakak yang di sebelah itu namanya siapa ya? kak Bintang udah ajak kenalan?”

“Belum, hahaha dari SMA dulu aku emang ngga berani ngajak kenalan orang duluan karena terlalu malu. Coba Mentari yang ajak kenalan, mbaknya juga dari tadi kelihatannya sendirian ngga ada temen.”

Mentari mengangguk dengan sangat semangat mendengar perintah Bintang tadi. Mentari lantas beranjak dari tempat duduknya dan berpindah ke sebelah wanita tadi.

“Halo, kakak lagi nungguin mama kakak juga buat periksa kesehatan rutin?”

Wanita tadi sempat terkaget dengan sapaan Mentari, namun dia tetap menjawab pertanyaan Mentari dengan senyuman di wajahnya.

“Iya, kok kamu tau?”

“Kita bertiga sama tau kak. Aku, kakak, dan kakak yang di sebelah situ sama-sama nungguin mama kita. Kebetulan banget ya.”

“Oh iya namaku Mentari, nama kakak siapa?”

“Hai Mentari, namaku Bulan. Kebetulan ya bisa samaan gini.”

“Kak Bulan ga bosen dari tadi di sini diem aja sendirian? Yuk, ngobrol bareng aja sekalian kakak kenalan sama kakak yang di sebelah situ.”

Dengan senyumannya yang tetap memancar, Mentari mengajak Bulan berbicara bersama sekaligus berkenalan dengan Bintang untuk menghilangkan rasa suntuk mereka.

“Oh boleh-boleh. Kebetulan juga nih aku lagi bosen nungguin bundaku dari tadi lama banget, hahahaha.” Bulan akhirnya menerima ajakan Mentari.

“Saya Bulan.”

“Saya Bintang, Mbak.”

Bulan dan Bintang akhirnya saling berkenalan. Lama kelamaan obrolan mereka terasa semakin menyenangkan. Mereka membahas tentang banyak hal bersama di ruang tunggu rumah sakit itu.

Setelah tiga puluh menit lebih mereka berbincang bersama, akhirnya pintu ruang pemeriksaan terbuka.

“Ibu.”

“Bunda.”

“Mama.”

Mereka menyapa wanita paruh baya yang keluar dari ruang pemeriksaan tersebut secara bersamaan.

“Loh itu Ibu aku mbak Bulan, Mentari.”

“Mungkin kalian yang salah orang. Ini Bundaku, Bintang, Mentari.”

“Kak Bulan, Kak Bintang, ini mamaku yang aku ceritain tadi.”

Mereka bertiga saling memandang bingung, karena ternyata orang yang mereka tunggu sedari tadi adalah orang yang sama.

Wanita paruh baya yang mereka anggap sebagai Ibu mereka hanya berdiri dan bingung melihat situasi ini.

“Kok bisa sama? Ini beneran Ibuku, loh.”

“Ini Bundaku, aku udah bilang dari tadi.”

“Ini juga beneran mamanya Mentari, kak.”

Mereka masih kebingungan dengan situasi yang mereka hadapi. Bintang, Bulan, dan Mentari, masingmasing dari mereka menggengam erat tangan wanita paruh baya yang sedari tadi hanya bisa terdiam setelah keluar dari ruang pemeriksaan.

Tak lama kemudian wanita paruh baya tadi meneteskan air matanya.

“Kondisinya masih belum membaik, Bu.”

Seorang dokter yang juga baru saja keluar dari ruang pemeriksaan datang menghampiri mereka berdua. Wanita paruh baya tadi semakin deras meneteskan air mata mendengar pernyataan yang diberikan oleh dokter tersebut.

“Putri ibu masih harus dirawat di sini sampai dia benar-benar bisa mengendalikan dirinya sendiri.”

“Bintang sayang, Bintang anak ibu satu-satunya. Kamu itu seorang Bintang nak, putri kecintaan Ibu. Ini ibu, cuma ibunya Bintang,” ucap wanita paruh baya tadi sembari memeluk seorang gadis yang berdiri tepat di depannya.

Bintang hanya diam saja dan masih kebingungan mendengar ucapan ibunya.

Sudah lima tahun berlalu sejak mendapat trauma dari ayah tirinya, Bintang mengalami gangguan pada mentalnya yang menyebabkan Bintang memiliki banyak kepribadian dalam dirinya. Hal ini menyebabkan Bintang tidak bisa menjalani hidupnya sebagai dirinya sendiri. Dua kepribadian lainnya senantiasa muncul akibat trauma masa lalu yang pernah dia alami.

Kepribadian utamanya adalah dirinya sendiri yaitu seorang Bintang, seorang yang sangat penyanyang, terutama pada ibunya. Sebelumnya Bintang sudah masuk semester empat di jurusan seni rupa, namun penyakit yang dia alami ternyata semakin parah dan menganggu proses perkuliahannya. Akhirnya ia harus berhenti melanjutkan pendidikan tersebut. Kepribadian lain yang ia miliki adalah seorang Bulan, wanita karier yang sukses, berpenampilan rapi dengan rambut yang selalu tertata. Kepribadian ini adalah permunculan dari pengharapan Bintang setelah ia lulus dari perkuliahan, yaitu menjadi wanita dewasa yang sukses dalam berkarier.

Kepribadian lainnya adalah seorang Mentari, remaja SMA yang selalu ceria memancarkan senyumnya dan senang bergaul dengan banyak orang. Kepribadian ini merupakan perwujudan dari harapan yang Bintang miliki di kehidupan sekolahnya, yaitu menjadi anak yang ceria dan memiliki banyak teman. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah bisa Bintang lakukan di kehidupan sekolahnya dulu, karena perbuatan jahat ayah tirinya yang membuat Bintang menjadi seorang remaja SMA yang pemurung dan tertutup. Kepribadian-kepribadian yang muncul dari diri Bintang adalah perwujudan dari hal-hal yang tidak bisa ia lakukan dalam kehidupannya sebagai seorang Bintang.

“Waktu jenguk sudah selesai Ibu.” Seorang suster datang menghampiri Bintang dan wanita paruh baya yang memeluknya sedari tadi.

Wanita paruh baya tersebut hanya mengangguk mendengar ucapan itu.

“Ibu pulang dulu ya nak, Bintang harus cepat sembuh supaya kita bisa sama-sama lagi di rumah.”

Wanita paruh baya tadi masih memeluk erat tubuh Bintang kemudian melepaskan pelukan itu sembari berpamitan. Ia bergegas keluar meninggalkan ruangan rawat inap anaknya.

Ruangan tersebut bertuliskan bangsal kejiwaan.

• Sheyra Putri Khoirunnisa. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A angkatan 2023.

This article is from: