16 Mewujudkan Perencanaan Penganggaran Desa yang Inklusif, Cerita dari 11 Daerah di Indonesia

Page 1

Pendahuluan

bagian

1

PROGRAM

MEWUJUDKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA YANG INKLUSIF Cerita dari Sebelas Daerah di Indonesia Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

1



PROGRAM

MEWUJUDKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA YANG INKLUSIF Cerita dari Sebelas Daerah di Indonesia


bagian

1

Pendahuluan

MEWUJUDKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DESA YANG INKLUSIF Cerita dari Sebelas Daerah di Indonesia _____________________________________________________________ Penulis: • Aang Kusmawan • Dadan Ramdan • Abdul Waidl • Agus Susilo • Misbah Hasan • Rosniaty Azis • Isnawati Pujakesuma • Tenty Kurniawaty • Yusuf Murtiono Penyunting: • Donny Setiawan • Novi Anggriani Cover dan Penata Letak: Pieter P. Setra Hak Cipta: Perkumpulan INISIATIF ©2016 ISBN: 978-602-17870-4-5 104 hal ; 16,5 x 25 cm Cetakan Pertama, Desember 2016 Penerbit: Perkumpulan INISIATIF Jl. Suryalaya XVIII, Cijagra, Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat

4

Didukung oleh: The Asia Foundation Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Daftar Isi Kata Pengantar ~ 6 Bagian 1. Pendahuluan ~ 11 Bagian 2. Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Terekslusi 1. Menghadirkan Peran Negara bagi Anak Korban Ekploitasi Seks Komersial (ESKA) di Kabupaten Garut ~ 17 2. Membuka Ruang Publik Desa untuk Kebijakan Inklusif Anak Buruh Perkebunan di Kabupaten Jember ~ 28 3. Menuju Kesetaraan untuk Orang dengan Disabilitas di Kabupaten Bone ~ 38 4. Mewujudkan Hak Dasar Bagi Orang Dengan Disabilitas di Kabupaten Gowa ~ 48 5. Menghadirkan Pelayanan Negara Bagi Masyarakat di Desa yang Hilang di Kabupaten Labuan Batu Utara ~ 55 6. Membuka Isolasi untuk Meningkatkan Inklusi Sosial di Kabupaten Lombok Timur ~ 61 7. Mengentaskan Pekerja Anak di Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Sambas ~ 69 8. Mendorong Pemenuhan Hak dasar bagi Anak Buruh Migran (ABM) Kabupaten Sumba Barat Daya ~ 74 9. Korban Pelanggaran HAM Memecah Kebekuan Partisipasi: Upaya Strategis Warga Ian Tena Kabupaten Sikka ~ 79 10. Partisipasi Kelompok Penghayat Dalam Perencanaan dan Penganggaran Desa: Upaya Masyarakat Salam Rejo dan Srikayangan Kabupaten Kulonprogo Menagih Tanggung Jawab Desa ~ 84 11. Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu Menuntut Perbaikan Pelayanan Dasar: Upaya Warga Desa Ngrejo Kabupaten Blitar Menuntut Tanggung Jawab Desa ~ 89 Bagian 3. Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif: Beberapa Pelajaran Penting ~ 96

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

5


Kata Pengantar

T

erbitnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa menjadi penanda penting seluruh masyarakat desa dan pemerintah desa. Dengan terbitnya undang-undang ini peluang pemerintah desa untuk lebih mensejahterakan masyarakatnya menjadi semakin terbuka karena undang-undang desa membawa semangat kemandirian bagi desa dalam mengatur dirinya sendiri dan masyarakatnya. Dengan semangat kemandirian tersebut desa lebih leluasa untuk mengatur dirinya sendiri tanpa banyak intervensi dari pihak lain. Selain semangat kemandirian, besaran dana yang akan di peroleh desa merupakan peluang besar bagi pemerintah desa. Setelah undang-undang desa diterbitkan, nominal anggaran yang dikelola oleh desa jauh lebih besar dibanding sebelum diterbitkannya undang-undang desa. Dengan nominal anggaran dana yang besar tersebut desa menjadi lebih leluasa untuk melaksanakan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun di luar hingar bingar mengenai kemandirian desa dalam mengatur dirinya sendiri dan keleluasan dalam membelanjakan uang yang besar, masih banyak masyarakat yang belum tersentuh oleh program-program pemerintah dari luar desa dan bahkan dari program yang ada di desa nya sendiri. Dalam Bahasa yang lain kelompok masyarakat ini disebut sebagai kelompok yang termajinalkan atau juga disebut dengan kelompok masyarakat yang terekslusi. Dalam kenyataan di lapangan, kelompok masyarakat yang terekslusi tersebut teridentifikasi ke dalam beberapa kelompok yaitu: anak dan remaja rentan, masyarakat adat terpencil, kelompok agama minoritas dan kepercayaan lokal, korban pelanggaran HAM, orang dengan disabilitas dan kaum waria. Di tengah gencarnya usaha untuk meningkatkan harkat dan derajat masyarakat desa, keberadaan kelompok tereksklusi ini merupakan sebuah ironi yang mengkhawatirkan. Seharusnya program-program pembangunan tersebut menyasar semua kelompok masyarakat tanpa kecuali. Diperlukan sebuah

6

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


inisiatif untuk mendorong kelompok terekslusi agar mampu mendapatkan manfaat dari program pembangunan desa menjadi hal penting untuk dilakukan. Dalam konteks demikian buku ini lahir. Buku ini berusaha memotret praktekpraktek inisiatif kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam sebuah wadah bernama Konsorsium Peduli Desa (KPD) dalam mendorong kelompok terekslusi mendapatkan manfaat pembangunan di tingkatan desa dan kabupaten. Selain memotret praktik-praktik, buku ini juga mencoba mengambil pembelajaran penting atas inisiatif tersebut. Buku ini terbagi ke dalam tiga bagian besar. Pertama, berisi pendahuluan. Kedua, berisi pengalaman organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam KPD dalam mendorong desa dan kelompok terekslusi untuk mendapatkan manfaat dari program pembangunan desa. Ketiga, berisi catatan pembelajaran penting atas pengalaman yang dilaksanakan oleh kelompok masyarakat sipil. Buku ini tidak ditulis sendiri, namun ditulis secara kolaboratif dengan penulis dari masing-masing organisasi yang tergabung dalam KPD. Oleh karena itu selayaknya ucapan terimakasih di ucapkan kepada mereka yaitu, Dadan Ramdan dan Aang Kusmawan dari Perkumpulan Inisiatif, Mas Agus Susilo dan Abdul Waidl dari P3M Jakarta, Tenty Kurniawati dan Isnawati Pujakesuma dari Perkumpulan Idea Jogjakarta, Misbah Hasan dari Seknas FITRA, Rosniaty Azis dari Yasmib Sulselbar, Yusuf Murtiono dari Formasi Kebumen. Selain kepada para kontributor, ucapan terimakasih sebanyak-banyak diucapkan kepada Erman A. Rahman dari The Asia Foundation (TAF) yang telah dengan telaten memberikan kritikkan dan saran tajam selama proses penulisan. Sebagai sebuah upaya memotret praktek dan mendapatkan pembelajaran atas praktek tersebut, tentu saja para kontributor sudah berupaya maksimal memindahkan semua pengalaman dan pembelajaran ke dalam tulisan dalam buku ini. Semoga kehadiran buku ini dapat menjadi inspirasi bagi pihak lain yang akan turut mendorong kelompok masyarakat terekslusi agar mendapatkan manfaat atas pelaksanaan undang-undang desa. Bandung, Desember 2016 Perkumpulan Inisiatif-Formasi-Perkumpulan Idea-Yasmib- P3M-Seknas FITRA

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

7



Pendahuluan

BAGIAN

bagian

1

1

pendahuluan

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

9



Pendahuluan

bagian

1

Pendahuluan Di hampir sebagian besar desa di Indonesia, masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat desa yang termarjinalisasi dalam proses pembangunan desa. Marjinalisasi tersebut mulai dari ketiadaan akses untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembiayaan pembangunan hingga akses untuk menikmati manfaat dari hasil pembangunan yang sudah dilaksanakan.

T

erbitnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) didasari oleh kebutuhan untuk melindungi dan memberdayakan hak asal usul dan hak tradisional desa untuk mengurus kepentingan masyarakat desa. Banyak pihak meyakini bahwa dengan dilindungi dan diberdayakannya hak-hak desa tersebut dapat menjadi landasan yang kuat dalam mewujudkan kemandirian desa. Dalam UU Desa, salah satu tujuan pengaturan desa adalah untuk memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan. Sementara itu, definisi pembangunan desa dalam undang-undang tersebut adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Di tengah gencarnya upaya pembangunan desa melalui penerapan undangundang desa, peluang untuk meningkatkan harkat dan derajat kelompok marjinal sangat terbuka karena desa merupakan lokasi dimana kelompok marjinal berinteraksi antara satu sama lain. Dalam konteks demikian Program Peduli dikembangkan. Program Peduli merupakan program yang mempunyai tujuan utama mempromosikan inklusi sosial sebagai cara untuk keluar dari kemiskinan melalui perbaikan penerimaan masyarakat, layanan dan kebijakan publik. Program Peduli bekerja di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (selanjutnya disebut Kemenko PMK) yang menggunakan

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

11


bagian

1

Pendahuluan

pendekatan inklusi sosial sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat marjinal, meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan. Sejak Maret 2014, The Asia Foundation (TAF) ditunjuk sebagai Managing Partner dalam Program Peduli Fase II dengan dukungan pendanaan dari Department of Foreign Affair and Trade (DFAT)-Australian Aid. Pada Fase II ini Program Peduli difokuskan untuk meningkatkan pelayanan hak dasar dan penerimaan sosial bagi masyarakat yang termarjinalkan dengan kelompok sasaran meliputi: anak dan remaja rentan, masyarakat adat terpencil, kelompok agama minoritas dan kepercayaan lokal, korban pelanggaran HAM, orang dengan disabilitas dan kaum waria. Pada pelaksanaannya, TAF bekerjasama dengan 7 (tujuh) organisasi pelaksana (Executing Organization/ EO): Yayasan Samin, LPKP, PKBI, IKA, Kemitraan, Lakpesdam NU, dan Satunama dengan melibatkan 72 (tujuh puluh dua) mitra CSO (Civil Society Organization/ Organisasi Masyarakat Sipil) pelaksana di 84 (delapan puluh empat) kabupaten/ kota di 26 (dua puluh enam) provinsi. Seiring dengan implementasi UU Desa, lahir inisiatif Peduli Desa yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan Program Peduli dalam meningkatkan kesempatan kelompok marjinal dan tereksklusi untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di desa serta mengakses manfaat dari pelaksana APBDesa. Peduli Desa dijalankan secara kolaboratif oleh The Asia Foundation (TAF) bersama Konsorsium Peduli Desa (KPD), sebuah konsorsium yang dinisiasi oleh Perkumpulan Inisiatif, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Perkumpulan Idea Yogyakarta, Forum Masyarakat Sipil (Formasi) Kebumen dan Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi. Peduli Desa telah dilaksanakan sejak Februari 2015 hingga November 2016. Pada pelaksanannya, Konsorsium Peduli Desa telah melakukan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas, bantuan teknis serta pendampingan kepada EO, mitra CSO (Civil Society Organization) pelaksana, CO (Community Organizer) dan komunitas di 31 (tiga puluh satu) desa di 17 (tujuh belas) kabupaten yang menjadi lokasi sasaran Program Peduli. Selain itu, Konsorsium Peduli Desa bersama-sama dengan EO dan mitra CSO pelaksana melakukan advokasi kebijakan di tingkat kabupaten.

12

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Pendahuluan

bagian

1

Selama kurang kurang lebih 20 (dua puluh dua) bulan pelaksanaan Peduli Desa, telah banyak pengalaman yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran dalam mempromosikan pembangunan desa yang inklusif. Atas dasar itulah tulisan tentang pembelajaran pelaksanaan Peduli Desa ini dibuat. “Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif: Catatan dari Dua Belas Daerah di Indonesia� merupakan tulisan reflektif yang berisi berbagai pembelajaran dari pengalaman pelaksanaan Peduli Desa. Catatan pembelajaran yang dimuat dalam tulisan ini berisi capaian, tantangan, dan hambatan selama proses pelaksanaan kegiatan di berbagai daerah. Tulisan pembelajaran ini dihasilkan melalui proses penggalian data dan informasi dari para pelaksana kegiatan dan komunitas-komunitas warga di lokasi dampingan Program Peduli. Proses penggalian data dan informasi dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan diskusi terfokus, pengamatan lapangan, serta pengkajian dari beberapa dokumen laporan kegiatan para mitra pelaksana Peduli Desa. Tulisan ini mencoba menampilkan kisah pengalaman yang berbeda-beda yang dilatarbelakangi oleh keragaman kondisi kelompok tereksklusi serta perbedaan situasi sosial-ekonomi-politik di setiap daerah. Meskipun demikian, tidak semua lokasi sasaran Peduli Desa yang dituliskan. Catatan pembelajaran yang disajikan dalam tulisan ini hanya memuat pengalaman-pengalaman yang dilakukan di 20 (dua puluh) desa di 11 (sebelas) kabupaten.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

13



Pendahuluan

bagian

BAGIAN

2

1

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok tereksklusi Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

15



Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

1

Menghadirkan Peran Negara Bagi Anak Korban Ekploitasi Seks Komersial (ESKA) di Kabupaten Garut Potret Eksklusi Korban Ekploitasi Seks Komersial Anak (ESKA)

P

ada bulan Maret 2015, Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (Semak) sebagai mitra pelaksana Program Peduli pada pilar anak di Kabupaten Garut di bawah koordinasi Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin), melakukan assessment terkait isu ESKA di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan assessment ini terutama dilakukan di 3 (tiga) desa di 2 (dua) kecamatan, yakni: Desa Limbangan Timur dan Galih Pakuwon di Kecamatan Balubur Limbangan dan Desa Cigawir di Kecamatan Selaawi. Kecamatan Balubur Limbangan dan Selaawi merupakan dua kecamatan yang secara geografis terletak di sepanjang jalur jalan provinsi yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Tasikmalaya. Di kedua kecamatan ini, banyak sekali warung-warung yang menjadi tempat istirahat sementara para pengguna jalan, baik pada siang maupun malam hari. Penduduk Desa Limbangan Timur, Galih Pakuwon, dan Cigawir mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh. Menurut data PPLS 2011 yang dirilis oleh BPS, penduduk miskin di ketiga desa tersebut tergolong cukup tinggi. Penduduk miskin di Desa Limbangan Timur berjumlah 3.089 orang. Penduduk miskin di Desa Galih Pakuwon sebanyak 2.621 orang. Sedangkan di Cigawir sebanyak 3.462 orang. Posisi georgrafis dan kondisi kemiskinan seperti yang diuraikan di atas, diduga menjadi penyebab adanya aktivitas prostitusi di ketiga desa tersebut. Perbedaan posisi geografis dan kondisi kemiskinan ketiga desa memungkinan

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

17


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

terjadinya perbedaan peran masing-masing desa pada kaitannya dengan aktivitas prostitusi yang terjadi di wilayah tersebut. Hasil asesmen Yayasan Semak menunjukan bahwa ketiga desa tersebut dapat dikategorikan sebagai desa pengirim, transisi dan penerima ESKA1. Desa Cigawir yang berada di wilayah pegunungan termasuk salah satu desa pengirim ESKA. Desa Limbangan Timur yang wilayah desanya berada di sepanjang Jalan Bandung-Tasikmalaya merupakan desa penerima ESKA. Sementara itu, Desa Galih Pakuwon dianggap sebagai desa transisi yang secara geografis terletak di antara desa pengirim dan penerima. Kegiatan assessment yang dilakukan oleh Yayasan Semak berhasil mengidentifikasi keberadaan 15 (lima belas) “warung remang-remang”2 sebagai tempat “mangkal” ESKA yang terletak di sepanjang jalan BandungTasikmalaya. Selain itu, anak korban ESKA yang berhasil diidentifikasi sementara berjumlah sekitar 30 (tiga puluh) orang perempuan dengan usia antara 15-18 tahun. Hasil assesement Yayasan Semak memperlihatkan bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, selama ini menunjukan upaya yang maksimal dan tersistematis dalam mengurangi dampak dampak eksploitasi seksual, misalnya kampanye penggunaan kondom di wilayah tersebut. Meskipun demikian, Dinas Sosial Kabupaten Garut pernah melakukan pendataan anak korban ESKA, merazia, kemudian memulangkan mereka kepada keluarganya masingmasing. Tidak ditemukan adanya program tindak lanjut dari upaya tersebut, misalnya dengan menarik korban keluar dari situasi eksploitasi seksual dan mendorongnya kembali melanjutkan pendidikannya, baik di sekolah formal atau pendidikan keterampilan (vokasional) sebagai bekal bagi mereka untuk “alih profesi”.

1

Desa pengirim, mengacu pada desa yang berada di dataran tinggi Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut salah satunya adalah Desa Cigawir. Desa ini disebut sebagai desa pengirim karena banyak anak korban ESKA yang berasal dari desa ini. Desa transisi mengacu pada desa yang secara letak geogerafis berada diantara desa pengirim dan penerima. Karena interaksi komunikasi yang cepat, desa transisi seringkali menjadi desa pengirim juga. Desa penerima merupakan desa tempat dimana anak korban ESKA berada setiap hari. Desa penerima ini berada di sepanjang jalur lintas provinsi yang berada di Kecamatan Balubur Limbangan Kabupaten Garut. 2 Warung remang-remang adala istilah untuk warung/kios yang menjajajkan minuman dan makanan ringan dengan penerangan alakadarnya di malam hari. Warung ini terdapat di sepanjang jalan lintas provinsi di Kecamatan Balubur Limbangan Kabupaten Garut.

18

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Pada sisi lain, pihak pemerintah desa tidak memandang ESKA sebagai masalah yang harus ditangani secara serius. ESKA dipandang sebagai aib desa dan keluarga yang harus diselesaikan keluarga dan bukan merupakan masalah desa. Sementara keluarga sendiri memandang bahwa anak adalah aset yang dapat mendatangkan pendapatan bagi mereka. Hasil assessment mengindikasikan terdapat beberapa orang tua yang teridentifikasi menjual keperawanan anak gadisnya kepada pihak-pihak lain. Di sektor pendidikan, anak-anak korban ESKA tidak mendapatkan layanan yang maksimal dalam proses pembelajaran di sekolah. Ketika anak ESKA mengalami kesulitan belajar, guru tidak memberikan perhatian yang maksimal. Demikian juga saat anak ESKA menghadapi masalah psikologis, tidak ada konseling yang diberikan kepada anak tersebut. Atas dasar kondisi di atas, Yayasan Semak kemudian melakukan pendampingan kepada anak ESKA dan “kelompok warga peduli� di ketiga desa tersebut. Yayasan Semak mendampingi warga dalam melakukan advokasi ke pemerimtah desa dan kabupaten sebagai upaya untuk mengurangi dan menghapus eksklusi sosial anak-anak korban ESKA di ketiga desa yang didampinginya.

Alokasi Dana Desa dan Dana Desa Pada tahun 2014, Alokasi Dana Desa (ADD) untuk seluruh desa di Kabupaten Garut berjumlah sekitar Rp 28 milyar. Desa Limbangan Timur, Galih Pakuwon dan Cigawir, masing-masing memperoleh ADD sebesar Rp 60 juta. Pada tahun 2015, Setelah diberlakukannya UU Desa, besaran alokasi dana yang diterima oleh desa-desa di Kabupaten Garut bertambah cukup signifikan. Penambahan tersebut berasal dari Dana Desa (DD) yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah DD yang diperoleh oleh Kabupaten Garut pada tahun 2015 mencapai Rp.125 milyar. Dari jumlah tersebut, Desa Limbangan Timur, Galih Pakuwon dan Cigawir, masing-masing mendapatkan alokasi DD berkisar antara Rp 280 juta hingga Rp 300 juta. Sedangkan jumlah ADD yang diterima tiga desa tersebut pada tahun 2015 sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 60 juta. Sementara itu, Pada tahun 2016, jumlah DD yang diperoleh Kabupaten Garut mencapai Rp 280 milyar, dengan masing-masing desa mendapatkan alokasi berkisar antara Rp 700 juta hingga Rp 1 milyar.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

19


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Dengan adanya penambahan jumlah dana tersebut, pihak desa seharusnya bisa lebih leluasa untuk menjalankan program-programnya. Hal ini termasuk untuk mendanai program-program yang ditujukan untuk menangani kelompok anak korban ESKA di Desa Limbangan Timur, Galih Pakuwon dan Cigawir. Namun demikian, hal ini tidak terjadi dengan sendirinya.

Penyadaran dan Pengorganisasian Masyarakat melalui Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) Dimulai April 2014, upaya Yayasan Semak untuk menangani masalah anak korban ESKA di Limbangan Timur, Galih Pakuwon, dan Cigawir diawali dengan membentuk kelompok masyarakat peduli di ketiga desa tersebut. Kelompok masyarakat peduli ini berperan untuk menjembatani anak ESKA agar dapat saling berinteraksi dengan sesamanya serta dengan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Selain itu, kelompok masyarakat peduli juga berperan menjadi ujung tombak dalam melakukan penyadaran kepada anak-anak korban ESKA. Kelompok masyarakat peduli ini dihimpun dalam sebuah wadah yang dinamakan KPMD. Anggota KPMD di ketiga desa tersebut masing-masing kurang lebih berjumlah 30 orang. Anggota KPMD berasal dari berbagai kalangan masyarakat dengan latar belakang profesi yang beragam. Sebagian anggota KPMD merupakan orang tua anak korban ESKA. Sebagian lainnya merupakan staf pemerintah desa serta para kader perempuan yang selama ini aktif dalam kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Oleh KPMD, kelompok anak korban ESKA diajak untuk memahami dan merumuskan apa yang menjadi masalah serta solusi atas masalah yang dihadapi mereka. Upaya untuk memahami masalah dan solusi bagi anak korban ESKA ini dilakukan melalui serangkaian diskusi yang melibatkan anak-anak dan orang tua korban ESKA serta kelompok masyarakat peduli lainnya. Himpunan masalah dan solusi tersebut terkumpul dalam satu dokumen yang dinamakan Rencana Aksi Masyarakat (RAM). Kegiatan-kegiatan yang termuat dalam RAM sebagian diantaranya dapat dilaksanakan sendiri secara swadaya oleh KPMD. Sebagian lainnya diusulkan kepada SKPD terkait dan pemerintah desa untuk mendapatkan dukungan

20

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

pendanaan. Kegiatan-kegiatan dalam RAM yang dilaksanakan sendiri oleh KPMD diantaranya berupa sanggar belajar dan pendidikan keterampilan bagi anak korban ESKA.

Mendorong Pelaksanaan RAM oleh Desa Dalam perjalanannya, para pelaku Program Peduli menyadari bahwa tidak mungkin semua kegiatan yang dimuat dalam RAM dapat dilaksanakan sendiri oleh mereka. Disadari pula bahwa para pelaku Program Peduli dan masyarakat --khususnya KPMD -- yang didampingi belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk dapat terlibat dan mempengaruhi kebijakan perencanaan penganggaran pemerintah. Oleh karenanya diperlukan upaya yang sistematis untuk dapat mengintegrasikan RAM dalam dokumen formal perencanaan penganggaran yang dimiliki oleh pemerintah, baik di tingkat desa maupun kabupaten. Peningkatan kapasitas KPMD mengenai perencanaan dan penganggaran menjadi penting karena dengan meningkatnya kapasitas KPMD berarti peluang untuk memperjuangkan kelompok marjinal yang salah satunya anak korban ESKA menjadi lebih terbuka. Di sisi lain, pemerintah desa belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik untuk mengakomodasikan RAM ke dalam dokumen perencanaan penganggaran desa. Lebih dari itu, pemerintah desa pun masih “tertatih-tatih� dalam menyelenggarakan proses perencanaan penganggaran sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa dan aturan turunannya. Untuk itu upaya peningkatan kapasitas tidak cukup hanya dilakukan kepada KPMD, tetapi perlu juga dilakukan kepada pemerintah desa agar proses dan hasil perencanaan penganggaran dapat lebih partisipatif dan transparan serta mengakomodir kepentingan kelompok marjinal dan tereksklusi di desa, terutama anak korban ESKA. Berdasarkan hal di atas, pada Mei 2015, Perkumpulan Inisiatif dan Yayasan Semak berinisiatif menyelenggarakan serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas terkait penyusunan dokumen perencanaan penganggaran desa. Peningkatan kapasitas tersebut diwujudkan dalam bentuk pelatihan serta pendampingan teknis kepada KPMD dan pemerintah desa. Pendampingan teknis yang dimaksud dilakukan dengan cara mendorong pelibatan KPMD dalam setiap tahapan perencanaan penganggaran di tingkat desa. Hal ini

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

21


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

dilakukan untuk memastikan kegiatan-kegiatan yang dimuat dalam RAM dapat diakomodir dalam berbagai dokumen perencanaan penganggaran di ketiga desa tersebut, baik itu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).Bagi pemerintah desa di ketiga desa tersebut, pendampingan penyusunan dokumen RPJMDesa bukan merupakan hal baru karena sebelumnya pernah mendapatkan pendampingan dari PNPM Mandiri. Namun pendampingan penyusunan dokumen RPJMDesa yang di dalamnya mengakomodasikan kepentingan anak korban ESKA belum pernah dilakukan selama ini. Pemerintah desa di ketiga desa tersebut pernah mendapatkan bimbingan teknis dan sosialisasi mengenai UU Desa dan penyusunan dokumen perencanaan dan pembangunan desa oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Garut. Namun pelatihan penyusunan dokumen perencanaan dan pembangunan desa oleh LSM merupakan hal baru. Sebelumnya belum pernah ada LSM yang memberikan pelatihan sekaligus pendampingan penyusunan dokumen perencanaan dan pembangunan desa, apalagi pelatihan perencanaan dan penganggaran desa yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan kelompok marjinal seperti anak korban ESKA. Pada praktiknya, proses pendampingan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa terbagi ke dalam beberapa tahap sebagai berikut: Pertama, diskusi penyusunan rumusan usulan anak korban ESKA; Kedua, lokakarya penyampaian usulan antara KPMD, kepala desa, BPD dan camat di dua kecamatan; Ketiga, pendalaman usulan dengan masing-masing kepala desa; dan Keempat, lokakarya dengan Pemerintah Kabupaten Garut. Penyusunan dokumen RPJMDesa dimulai dengan menampung usulan dari kelompok masyarakat yang salah satunya usulan dari anak korban ESKA yang berhasil dihimpun oleh KPMD dan dituangkan dalam RAM. Setelah usulan dari kelompok masyarakat tersebut diterima oleh pemerintah desa, panitia penyusun dokumen RPJMDesa kemudian menyusun rancangan RPJMDesa. Rancangan RPJMDesa ini kemudian disempurnakan melalui serangkaian musyawarah antara pemerintah desa dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan perwakilan kelompok masyarakat untuk kemudian disahkan menjadi peraturan desa tentang RPJMDesa.

22

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Kepala Desa Limbangan Timur baru memulai masa jabatannya pada tahun 2015. Kehadiran Perkumpulan Inisiatif, Yayasan Semak dan KPMD Limbangan Timur disambut dengan sangat baik. Di awal pertemuan, kepala desa meminta Perkumpulan Inisiatif, Yayasan Semak dan KPMD bisa membantu menyusun dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa agar menjadi lebih berkualitas dari sebelumnya. Kepala desa memandang bahwa dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa sebelumnya tidak cukup baik karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dan tidak menjawab semua kebutuhan warga Desa Limbangan Timur. Setelah melalui komunikasi yang intensif antara KPMD dengan kepala desa, Kepala Desa Limbangan Timur meminta salah satu anggota KPMD untuk dapat menjadi anggota tim penyusun dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Kemauan kepala desa ini kemudia ditanggapi oleh KPMD dengan melaksanakan musyawarah untuk menunjuk perwakilan KPMD yang akan terlibat di dalam tim tersebut. Dalam musyawarah terpilih salah anggota KPMD yang bekerja sebagai aparatur desa namun selama ini tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Keberadaan anggota KPMD dalam tim penyusun dokumen tersebut merupakan strategi untuk memastikan semua kebutuhan kelompok tereksklusi dapat terakomodasikan dalam dokumen perencanaan desa serta mendapatkan kepastian alokasi anggaran dari APBDesa. Lebih jauh dari itu, hal ini juga merupakan bentuk pengakuan kepala desa atas kapasitas yang dimiliki KPMD dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Sinergi antara KPMD dan unsur pemerintah desa dianggap dapat melahirkan dokumen perencanaan penganggaran desa yang berkualitas dan menjawab kebutuhan masyarakat yang ada di Desa Limbangan Timur. Selain terlibat menjadi tim penyusun dokumen perencanan dan penganggaran, KPMD juga mendorong dibuatnya forum anak di tingkat desa. Forum ini beranggotakan berbagai kalangan masyarakat yang bertugas untuk mendorong proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat desa berjalan dengan baik dan lebih sensitif pada persoalan yang dihadapi anak khususnya anak korban ESKA. Bagi KPMD, forum ini menjadi salah satu strategi untuk menjadikan isu anak dan remaja rentan menjadi isu bersama milik semua warga desa.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

23


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Berbeda dengan di Desa Limbangan Timur, di Desa Cigawir dan Galih Pakuwon tidak ada satupun anggota KPMD yang terlibat menjadi tim penyusun dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Selain itu, di dua desa tersebut forum anak tidak berhasil dibentuk seperti halnya yang terjadi di Limbangan Timur. Di kedua desa tersebut, KPMD langsung berdialog dan menyampaikan RAM kepada kepala desa. Salah satu yang mendasari hal ini adalah ketertutupan kepala desa untuk berkomunikasi dengan KPMD, Yayasan Semak dan Perkumpulan Inisiatif di awal pelaksanaan kegiatan. Namun seiring berjalannya waktu, intensitas komunikasi dengan kepala desa mulai membaik. Kedua kepala desa kemudian menjadi lebih terbuka terhadap kehadiran dan masukan yang disampaikan. Dari pengalaman di atas dapat disimpulkan bahwa lancarnya komunikasi dengan kepala desa menjadi kunci dalam proses pendampingan di tingkat desa. Semakin terbuka kepala desa maka proses penyusunan dokumen perencanaan penganggaran desa menjadi lebih partisipatif dan transparan. Selain itu, akomodasi program anak korban ESKA dalam program pembangunan di desa dapat dilaksanakan lebih cepat. Namun di balik keterbukaan tersebut, latar belakang kepala desa menjadi faktor kunci lainnya yang mempengaruhi proses interaksi pemerintah desa dengan pihak lain. Kepala Desa Limbangan Timur merupakan pensiunan PNS, sebelumnya pernah menjadi Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) di Kecamatan Balubur Limbangan. Saat menjadi Kasi PMD, beliau sudah sering berinterksi dengan LSM. kepala desa menjadi lebih terbuka dengan kehadiran LSM, terutama yang akan memberikan peningkatan kapasitas dan pendampingan tanpa biaya kepada desa. Kehadiran KPMD, Yayasan Semak, dan Perkumpulan Inisiatif disambut baik olehnya karena diketahui akan memberikan bantuan peningkatan kapasitas bagi pemerintah desa tanpa pemerintah desa harus mengeluarkan biaya. Hanya saja kepala desa mewanti-wanti agar peningkatan kapasitas diberikan kepada aparat desa saja. Peningkatan kapasitas jangan diberikan kepada masyarakat karena masyarakat dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Lain halnya dengan Kepala Desa Galih Pakuwon dan Cigawir. Kepala Desa Galih Pakuwon sebelumnya berprofesi sebagai guru. KPMD, Yayasan Semak, dan Perkumpulan Inisiatif dianggap memiliki keinginan untuk mengontrol dan mengawasi keuangan di desa tersebut. Sementara itu, Kepala Desa Cigawir

24

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

berasal dari kalangan masyarakat biasa dan belum terbiasa dengan kehadiran LSM. Sehingga, pada awalnya kepala desa sangat tertutup untuk berkomunikasi dengan KPMD, Yayasan Semak, dan Perkumpulan Inisiatif.

Relasi Baru Beberapa capaian penting telah dicapai pada kurun waktu kurang lebih 20 (dua puluh) bulan proses pendampingan Program Peduli dan Peduli Desa yang dilaksanakan di Kabupaten Garut. KPMD serta kelompok anak dan remaja rentan yang diorganisir sudah sangat memahami bahwa kelompok anak – khususnya anak korban ESKA -- mempunyai hak untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, mendapatkan layanan dari pemerintah, serta memperoleh alokasi anggaran dari desa untuk membiayai kegiatan-kegiatan terkait penanganan anak korban ESKA di wilayah tersebut. Selain itu, KPMD mulai mengetahui dan memahami bahwa proses perencanaan penganggaran di tingkat desa dapat dijadikan sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penanganan kelompok anak dan remaja rentan di desanya. Pada praktiknya, hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan pada sumber pembiayaan untuk melaksanakan program yang terdapat dalam dokumen RAM. Sebelumnya, desa tidak tercantum sebagai pihak yang mendanai pelaksanaan program-program RAM. Setelah terlibat dalam proses perencanaan penganggaran di desa, terjadi penyempurnaan dokumen RAM dengan mencantumkan pemerintah desa (APBDesa) sebagai salah satu sumber pendanaan beberapa kegiatan dalam dokumen RAM. Di lain pihak, pemerintah desa mulai memahami akan pentingnya pelibatan kelompok tereksklusi dan CSO lokal dalam proses perencanaan dan penganggaran di desa. Keterlibatan ini diantaranya dapat dilakukan dalam kegiatan musyawarah dusun dan musyawarah desa. Pengetahuan dan kesadaran pemerintah desa ini terjadi bukan hanya karena mereka terlibat dalam kegiatan pelatihan dan serangkaian kegiatan pendampingan teknis semata. Namun juga dipengaruhi oleh intensitas komunikasi yang intensif antara pihak KPMD, Yayasan Semak, dan Perkumpulan Inisiatif dengan pemerintah desa.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

25


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Kebijakan untuk ESKA Perubahan Kebijakan Desa Meningkatnya keterbukaan dan pemahaman pemerintah desa berdampak pada perubahan kebijakan perencanaan dan penganggaran di tingkat desa. Masyarakat dan pemerintah desa menjadi lebih paham isu sosial yang perlu menjadi prioritas untuk ditangani di desa. Beberapa perubahan tersebut bisa dilihat dari beberapa dokumen yang dihasilkan oleh desa. RPJMDesa Limbangan Timur periode 2015-2021 telah memasukan isu anak korban ESKA sebagai salah satu isu penting yang harus ditangani di desa. Namun dalam dokumen tersebut, istilah anak korban ESKA diperhalus menjadi anak remaja rentan. Selain itu, dokumen APBDesa Limbangan Timur tahun 2016 sudah memasukan program-program untuk pencegahan dan penanganan ESKA sebagai salah satu kegiatan yang akan dibiayai. Hal ini termasuk kegiatan pelatihan pola asuh bagi orang tua dengan remaja rentan dan pelatihan konselor bagi remaja rentan masing-masing dengan alokasi anggaran sebesar Rp 6,5 juta. Diakomodirnya isu anak korban ESKA dalam berbagai dokumen perencanaan penganggaran desa tersebut disebabkan oleh beberapa alasan: Pertama, Desa Limbangan Timur baru menyelesaikan proses pemilihan kepala desa pada April 2015 sehingga kepala desa perlu menyusun RPJMDesa dalam waktu tiga bulan setelah dilantik sesuai dengan amanat UU Desa. Kehadiran Peduli Desa bertepatan dengan momentum tersebut sehingga dapat selaras dengan tahapan perencanaan dan penganggaran desa. Kedua, sosok kepala desa yang baru terpilih mempunyai banyak pengalaman berinteraksi dengan banyak pihak, termasuk LSM, sehingga ia dapat menerima kehadiran Perkumpulan Inisiatif, Yayasan Semak dan KPMD. Di Desa Cigawir dan Galih Pakuwon, demerintah desa belum mempunyai dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa yang mengakomodir isu dan kegiatan anak korban ESKA. Ketika Peduli Desa mulai dilaksanakan pada April 2015, Desa Cigawir sudah mempunyai dokumen RPJMDesa periode 2014-2019, sementara Desa Galih Pakuwon untuk periode 2016-2021. Namun demikian, Peduli Desa berhasil memfasilitasi KPMD dan pemerintah desa untuk sepakat memasukkan isu anak korban ESKA dalam proses revisi RPJMDesa Cigawir yang akan dilaksanakan pada tahun 2017.

26

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Di kedua desa ini RPKDesa dan APBDesa tahun 2016 telah disusun pada bulan Januari 2015, sehingga Peduli Desa fokus pada upaya untuk mendorong komitmen pemerintah desa untuk memasukan program penanganan dan pencegahan anak ESKA yang tercantum dalam RAM ke dalam RKPDesa dan APBDesa tahun 2017. Hal ini tercapai dengan dimasukkannya program bantuan permodalan untuk usaha remaja senilai Rp 10 juta dan pelatihan pola asuh bagi remaja dengan anggaran Rp 6 juta dalam kedua dokumen tersebut di Desa Cigawir. Di Desa Galih Pakuwon, Pemerintah Desa berkomitmen untuk memasukkan program penanganan dan pencegahan anak ESKA yang tercantum dalam RAM Desa Galih Pakuwon ke dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa Pakuwon tahun 2017. Hal ini tercermin dalam kedua dokumen melalui program pelatihan pola asuh bagi orang tua dengan anggaran Rp 6,5 juta

Perubahan Kebijakan Kabupaten Di tingkat kabupaten, KPMD, Yayasan Semak, dan Perkumpulan Inisiatif telah melaksanakan serangkaian diskusi dengan Dinas Sosial Kabupaten Garut dan kelompok pemerhati anak lainnya dalam rangka penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Perlindungan Anak di Kabupaten Garut. Tujuan utama penyusunan RAD perlindungan anak tersebut agar setiap masalah yang berhubungan dengan anak – termasuk permasalahan anak korban ESKA – mendapatkan kepastian perlindungan dari pemerintah kabupaten sekaligus pendanaan bagi pelaksanaan pencegahan dan penyelesaian semua masalah terkait anak. Dalam lokakarya dan diskusi penyusunan RAD dengan pemda, KPMD selalu mempresentasikan program mereka yang terdapat dalam RAM yang telah disusun oleh masing-masing KPMD di tiga desa. Sampai dengan November 2016 proses penyusunan RAD tersebut masih dilaksanakan. Pihak pemerintah kabupaten melalui Dinas Sosial memandang bahwa masih perlu upaya pendalaman dan mengajak kalangan yang lebih luas untuk menyusun dan mematangkan konsep RAD tersebut. Selain itu, Yayasan Semak dan Perkumpulan Inisiatif bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Garut telah menyelenggarakan serangkaian diskusi dengan berbagai pihak untuk merumuskan substansi peraturan bupati tentang kewenangan lokal berskala desa. Tujuan utama penyusunan peraturan bupati ini adalah untuk memberikan panduan bagi desa-desa di Kabupaten Garut dalam menyusun

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

27


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

peraturan desa tentang kewenangan lokal berskala desa. Hal ini sangat penting bagi pemerintah desa untuk memperjelas jenis kewenangan apa saja yang dapat dikuasainya sehingga untuk melaksanakan kewenangan tersebut desa dapat mengalokasikan pembiayaan dari APBDesa. Selain itu, Yayasan Semak dan Perkumpulan Inisiatif juga ingin memastikan bahwa substansi peraturan bupati tersebut memuat urusan perlindungan anak dan remaja rentan sebagai salah satu urusan yang menjadi kewenangan desa. Kegiatan penyusunan rancangan peraturan bupati tersebut dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan lokakarya dengan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemda Garut dan semua pemangku kepentingan yang diselenggarakan atas kerja sama Perkumpulan Inisiatif, Yayasan Semak dan BPMPD Kabupaten Garut. Selain itu, dilakukan pula diskusi terfokus dengan BPMPD dan beberapa dinas terkait dan penyusunan rancangan akhir serta teknis pengiriman draft tersebut kepada bagian hukum sekretariat daerah. Hingga November 2016, rancangan peraturan bupati tentang kewenangan lokal berskala desa di Kabupaten Garut sedang dalam proses evaluasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.***

28

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

2

bagian

2

Membuka Ruang Publik Desa untuk Kebijakan Inklusif Anak Buruh Perkebunan di Kabupaten Jember

Potrek Eksklusi Anak Buruh Perkebunan

D

usun Sumber Candik terletak di kaki Gunung Argopuro Desa Panduman Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember Jawa Timur. Dibandingkan dusun-dusun lainnya, Dusun Sumber Candik berada di wilayah perbukitan dengan dikelilingi oleh perkebunan kopi dan tembakau yang dikuasai oleh PTPN X. Dusun Sumber Candik memiliki jarak kurang lebih 8 km dari Balai Desa Panduman. Jalan menuju dusun tersebut sangat terjal dan hanya dilapisi batu dan tanah. Jika masyarakat dusun akan bepergian menuju Balai Desa, maka dibutuhkan biaya Rp. 50.000,- pulang pergi dengan menggunakan ojek. Dusun Sumbercandi hanya memiliki satu unit layanan pendidikan formal yaitu SD Panduman 2. Kondisi fisik bangunan sekolah ini sudah sangat memprihatinkan. Jumlah ruang kelas yang tersedia hanya ada 3 ruang belajar.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

29


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Padahal seharusnya terdapat 6 ruang belajar untuk kelas 1-6. Seluruh siswa berjalan kaki untuk mencapai sekolah ini karena tidak tersedia angkutan transportasi. Kondisi jalannya sendiri sangat terjal dan berbatu. Akibatnya, partisipasi sekolah anak usia SD atau anak yang sekolah SD sampai tamat hanya berkisar 10%. Sisanya, anak-anak hanya belajar di pesantren-pesantren dan atau musholla yang ada di wilayah dusun. Itupun kebanyakan dari mereka banyak yang bermalam di tempat tersebut. Fasilitas kesehatan yang ada di Dusun Sumber Candik sangatlah terbatas. Di Sumber Candik hanya terdapat satu buah posyandu. Masyarakat banyak yang tidak aktif karena persoalan kecemburuan penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa para penerima PKH adalah orang-orang yang tidak pernah aktif di posyandu. Sementara itu, akses menuju puskesmas juga sangat sulit. Jarak menuju puskesmas pembantu jaraknya mencapai 5 km dengan kondisi jalan yang terjal, berlumpur dan berbatu. Sebagian besar anak laki-laki dan perempuan usia sekolah bekerja menjadi buruh perkebunan tembakau dan kopi. Sebagian besar orang tua memiliki doktrin bahwa anak usia 12 – 15 tahun diwajibkan untuk membantu orang tua bekerja. Dengan demikian, pada musim-musim tertentu, seperti musim panen tembakau maka secara otomatis anak-anak tersebut ikut bekerja memanen dan merajang tembakau. Upah yang didapat oleh anak-anak yang bekerja sebesar Rp. 9.000,- per hari (6 jam efektif) atau berbeda dengan yang dibayarkan kepada para orang tua, yakni sebesar Rp. 12.000,- per hari (6 jam efektif). Peristiwa ini berlangsung sejak dulu dan mengubah paradigma orang tua bahwa anak bekerja di perkebunan merupakan sebagai kewajiban dan kepatuhan anak terhadap orang tua karena dapat membantu meringankan beban orang tua. Kondisi ini mengakibatkan anak-anak kehilangan hak mereka untuk bermain atau mengekpresikan diri sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Kondisi eksklusi sosial yang dialami oleh pekerja anak dengan jenis kelamin perempuan jauh lebih parah dibandingkan dengan laki-laki. Bagi orang tua, anak perempuan ketika sudah berusia 12-15 tahun, dianggap sudah siap untuk menikah. Jika sudah ada yang meminang, maka orang tua anak tersebut akan segera menerima pinangan dan melaksanakan pernikahan. Jika pada usia

30

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

tersebut anak perempuan belum ada yang meminang, maka anak perempuan tersebut akan diminta untuk membantu orang tuanya bekerja di kebun atau mengasuh adik-adiknya. Bagi anak perempuan, eksklusi sosial yang dialami menjadi berlapis. Apalagi sesudah pernikahan tidak ada layanan yang maksimal mengenai kesehatan reproduksi yang tersedia di sekitar Dusun Sumber Candik khususnya dan di Desa Panduman secara umum. Selain dinikahkan ‘resmi’3 pada usia yang masih sangat muda, di Dusun Sumber Candik ini terdapat pula kasus anak perempuan yang dinikahkan secara tidak resmi dan tidak mengikuti aturan administratif yang ada. Label sebagai ‘istri simpanan’ pun melekat pada mereka. Menurut para petani, hal ini didorong oleh sistem “ijon” yang masih berlaku sampai dengan sekarang. Dalam sistem “ijon” tersebut petani akan diberikan modal oleh para bandar untuk bertani. Ketika musim panen tiba, para petani akan membayar hutang tersebut dengan menjual komoditas pertanian kepada para Bandar tersebut dan hal ini masih terjadi sampai sekarang. Relasi antara warga Dusun di Dusun Sumber Candik ini dengan Pemerintahan Desa Panduman, khususnya kepala desa yang saat ini menjabat, sejak awal sudah kurang harmonis. Bahkan saat awal Konsorsium Peduli Desa melakukan audensi, kepala desa mengatakan bahwa sebagian besar warga di dusun tersebut bukan sebagai” pendukungnya”. Kondisi ini mengakibatkan warga Dusun Sumber Candik menjadi semakin tereksklusi karena tidak banyak kegiatan pembangunan dan pelayanan publik pemerintah yang dapat dinikmati oleh warga di dusun tersebut. Masyarakat di dusun tersebut seolah belum menikmati pembangunan dan pelayanan publik. Sebagai contoh, warga masih kesulitan untuk mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), maupun akta kelahiran. Selain itu, akses penerangan bagi rumah-rumah warga pun sangat terbatas. Sebagian warga masih memanfaatkan penerangan melalui “cantolan” (pusat meteran jadi satu dengan yang warga lain yang sudah punya meteran, jaraknya bisa mencapai 2 km). Setiap ada bantuan, warga pun merasa selalu “dianaktirikan”. Tidak pernah ada utusan warga masyarakat dari Dusun di Dusun Sumber Candik yang diundang atau dilibatkan dalam proses rapat-rapat pengambilan 3 Pernikahan secara “resmi” di sini berarti pernikahan tersebut di catat oleh petugas KUA namun dengan identitas mempelai laki-laki yang dimanipulasi

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

31


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

keputusan publik di desa. Apalagi yang berkaitan dengan musyawarah perencanaan pembangunan desa. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada ruang partisipasi warga Dusun Sumber Candik dalam proses pengambilan kebijakan di desa. Bahkan pejabat sementara kepala dusun diambilkan dari wilayah dusun lain. Kehadiran kepala desa di wilayah dusun tersebut selama menjabat baru satu kali. Itupun atas undangan warga yang dianggap “pendukungnya�. Atas dasar kondisi di atas, Program Peduli yang digawangi oleh Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat (YPSM) dan didukung pula oleh Peduli Desa yang digawangi Formasi hadir ke Desa Panduman diantaranya untuk membangun dan mempererat relasi antara warga Dusun Sumber Candik dengan pemerintah desa dan Pemerintah Kabupaten Jember. Selain itu, Peduli Desa hadir berkegiatan di dusun tersebut dengan maksud untuk memperkuat peran partisipasi warga agar dapat terlibat dalam proses-proses musyawarah dan atau pengambilan kebijakan perencanaan dan penganggaran di desa. Selain itu, Peduli Desa juga hadir untuk membantu meningkatkan kapasitas teknokratis para aparatur pemerintahan desa untuk lebih terbuka dan akomodatif terhadap aspirasi dan kebutuhan warga marjinal. Secara umum, kehadiran Peduli Desa adalah untuk mendorong percepatan terpenuhi hak-hak dasar warga khususnya warga di Dusun Sumber Candik terkait dengan proses dan manfaat pembangunan dan pelayanan publik di wilayahnya.

Membangun Kepercayaan Diri dan Memperkuat Kapasitas Warga Mendorong warga Dusun Sumber Candik untuk dapat berbicara di depan publik dan mengusulkan apa yang menjadi kebutuhannya terhadap pemerintah desanya sendiri dan pemerintah kabupaten bukanlah merupakan hal mudah. Apalagi ketika perempuan dan laki-laki disatukan dalam suatu pertemuan, perempuan praktis tidak memiliki keberanian menyampaikan aspirasinya. Bagi warga dusun Sumber Candik, sangat tabu apabila perempuan lebih banyak berkegiatan diluar rumah dibandingkan laki-laki. Dalam urusan pembangunan, sudah terbangun pandangan bahwa urusan pembangunan desa adalah urusan tunggal dari kepala desa. Banyak faktor yang menjadi penyebab kondisi di atas, antara lain karena selama ini warga benar-benar menyendiri dan tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan

32

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

apapun di desa. Tidak pernah terbangunnya interaksi warga dengan pihak luar dan jarangnya program pembangunan yang masuk ke desa menyebabkan warga cenderung pasif dan diam. Strategi penguatan kapasitas warga/komunitas di Dusun Sumber Candik diawali dengan pertemuan-pertemuan dengan komunitas perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Intensitas pertemuan sudah dirasa cukup besar, karena antara kegiatan pertemuan yang difasilitasi YPSM dengan FORMASI dapat disinergikan dan dikomunikasikan dengan sangat baik. Artinya, bahwa agenda setiap pertemuan komunitas dapat dirumuskan menjadi agenda bersama. Kegiatan pertemuan warga yang awalnya hanya berkisar tentang hak-hak komunitas, kemudian difasilitasi menjadi forum diskusi warga yang memberikan penguatan kapasitas pengetahuan tentang tentang mekanisme dan alur proses perencanaan dan pembangunan desa partisipatif. Tahap selanjutnya adalah pertemuan pembekalan bagi warga untuk dapat mengutarakan kebutuhan mereka di hadapan pemerintah desa. Tahap ini menjadi krusial karena sebelumnya warga belum pernah sama sekali mendapatkan pengetahuan tentang perencanaan dan penganggaran desa, merumuskan kebutuhan bersama dan menyampaikan kebutuhan tersebut kepada pihak desa. Apalagi ketika warga diminta untuk menyampaikan aspirasi menyangkut kebutuhan yang didasarkan permasalahan yang dihadapinya. Bagi warga, kantor desa dan rapat bersama kepala desa merupakan hal langka yang sebelumnya belum pernah mereka alami. Melalui pendampingan yang intensif, kualitas partisipasi warga Dusun Sumber Candik meningkat cukup signifikan. Semula masyarakat sangat pasif, diam dan menerima kondisi yang ada. Setelelah didampingi, warga menjadi lebih aktif untuk berdiskusi serta menyampaikan aspirasi sesuai kebutuhannya kepada pihak pemerintah desa dan kabupaten. Kepercayaan diri warga juga tumbuh untuk menyampaikan bahwa kebijakan pembangunan desa belum merata dan adil bagi warga Sumber Candik. Disamping itu, masyarakat mulai memahami alur dan mekanisme perencanaan pembangunan desa partisipatif. Proses penggalian aspirasi dan kebutuhan warga menghasilkan beberapa kegiatan yang akan diusulkan dalam perencanaan dan penganggaran desa. ada beberapa kegiatan yang teridentifikasi yang disepakati menjadi prioritas,

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

33


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

meliputi: infrastruktur jalan, kebutuhan air bersih, pemasangan tiang PLN, pembangunan ruang kelas SD, pembangunan Puskesmas Pembantu, pelatihan untuk peningkatan ekonomi keluarga, pelayanan administrasi kependudukan yang cepat, dan bantuan kepada siswa yang tidak mampu, terutama bagi anak-anak yang berpotensi putus sekolah karena harus bekerja diperkebunan. Di sektor pelayanan kesehatan, selain mengusulkan perbaikan gedung Pustu, diskusi warga juga mengusulkan adanya bidan yang dapat menetap di Pustu serta peningkatan kualitas posyandu. Keberadaan bidan desa ini menjadi semakin penting karena di Dusun Sumber Candik masih ditemukan adanya kasus kematian balita karena keterlambatan penanganan ketika melahirkan. Perubahan lainnya yang cukup signifikan adalah meningkatnya kehadiran dan keaktifan warga Dusun Sumber Candik --baik dari unsur laki-laki ataupun perempuan—dalam pertemuan-pertemuan di desa. Sebelumnya, mereka tidak pernah hadir dan tidak pernah diundang, kalaupun hadir juga diam dan pasif.

Mendorong Pemerintah Desa yang Terbuka, Responsif dan Partisipatif Ketidakberdayaan masyarakat Dusun Sumber Candik, diperkuat dengan respon “diskriminatif” dari pemerintah desa. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran sebelumnya yang menutup ruang partisipasi masyarakat. Bahkan sebelum Peduli Desa bekerja di desa tersebut, dokumen perencanaan dan penganggaran desa hanya disusun oleh satu-dua orang perangkat desa. Di internal perangkat desa sendiri banyak yang tidak mengetahui kedua dokumen tersebut, apalagi proses pembahasannya. Saat pertama kali Formasi melakukan audensi dengan Kepala Desa Panduman, cukup terasa bagaimana kekuasaan kepala desa sangat dominan. Bahkan ketika ditanya soal proses partisipasi perencanaan dan penganggaran, ada satu kesan jawaban yang cukup mengagetkan. Pada saat ditanya soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), kepala desa menjawab “jangan sekalikali pernah memberitahukan atau mengajak masyarakat untuk membahas anggaran. Kalau hanya usulan silahkan, tapi kan saya juga punya prioritas”.

34

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Bahkan kepala desa belum sepenuhnya percaya dengan kehadiran YPSM yang membawa Program Peduli. Akibatnya, setiap kegiatan di desa selalu dihadiri dan dimonitor oleh Babinsa, dan Babinkamtibmas. Pada perjalanannya, YPSM dan Formasi mencoba membantu menjembatani warga dalam menyuarakan kebutuhannya ke pada pemerintah desa. Melalui interaksi yang cukup panjang, pada akhirnya pihak desa menjadi lebih terbuka, termasuk mengenai informasi jumlah anggaran yang masuk ke desa. Padahal sebelumnya, membuka informasi masalah anggaran desa kepada warga merupakan hal di luar kebiasaan dan dirasa sangat tabu. Sikap “ketertutupan� kepala desa dan ketidakberanian perangkat desa lainnya untuk membuka informasi anggaran disebabkan karena ketidaktahuan mereka atas kepastian nominal besaran dana desa dan alokasi dana desa yang akan diperoleh oleh desa. Sehingga jika informasi ini dibuka ke warga dalam kondisi yang tidak pasti, mereka khawatir akan menimbulkan gejolak. Keterlambatan informasi pagu anggaran untuk desa terus terjadi hingga mendekati tahap pelaksanaan pencairan. Sampai dengan bulan Oktober ketika tulisan ini dibuat, pihak pemerintah Desa Panduman belum mendapatkan informasi yang valid mengenai dana desa dan alokasi dana desa yang akan diterima. Lebih memprihatinkan lagi, pemerintah desa masih menunggu instruksi dari pemerintah kabupaten untuk menjalankan mekanisme perencanaan dan penganggaran untuk tahun anggaran 2017. Pada praktiknya, hal ini merupakan kondisi yang sulit bagi pemerintah desa. Di satu sisi menolak aspirasi dari warga merupakan hal yang tidak boleh karena aturan mengatur hal itu, sementara di lain sisi pihak desa tidak bisa memberikan kepastian bahwa kebutuhan tersebut akan bisa didanai oleh desa. Strategi yang dilakukan oleh Formasi dan YPSM untuk mendorong penguatan kapasitas aparatur pemerintahan desa sekaligus mengubah ketertutupan desa dimulai dengan melakukan diskusi dan koordinasi informal secara intensif dengan kepala desa. Upaya ini dilakukan untuk meyakinkan pemerintah desa bahwa Program Peduli dan Peduli Desa mempunyai tujuan untuk membantu desa dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Bahkan pada awalnya, tim hanya melakukan koordinasi dan sosialisasi terkait dengan pengembangan sistem informasi desa (SID) yang dapat digunakan untuk membantu percepatan pelayanan administrasi di desa.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

35


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Selanjutnya untuk membangun kepercayaan kepala desa, tim berupaya untuk senantiasa melibatkan kepala desa dalam setiap kegiatan dalam Program Peduli dan Peduli Desa, baik di level desa, kecamatan, kabupaten atau luar kabupaten. Selain itu, tim secara aktif melibatkan kepala desa, perangkat desa dan delegasi warga Sumber Candik dalam satu kegiatan yang dilaksanakan di tingkat kabupaten. Dengan menjadikan Desa Panduman sebagai subyek percontohan program, maka diharapkan lebih banyak pihak mengenal Dusun Sumber Candik. Dampaknya, kepercayaan Pemerintah Desa Panduman semakin meningkat seiring dengan seringkalinya Desa Panduman dijadikan sebagai salah satu contoh desa yang berhasil melibatkan warga dalam pembangunan dalam setiap kegiatan Program Peduli dan Peduli Desa. Memposisikan kepala desa dan atau perangkat desa sebagai “tokoh kunci perubahan� dimaksudkan agar perilaku dan sikap “berkuasa� dapat berubah menjadi lebih peduli terhadap warga tereksklusi dan marjinal, khususnya di Dukuh Sumber Candik. Dan hal ini terbukti dengan berubahnya sikap pemerintah desa dengan menjadi lebih peduli meskipun dilakukan secara bertahap dan baru berupa jaminan akan program pembangunan yang akan dibiayai ABPDesa, seperti: jalan, posyandu, dan rencana program untuk perlindungan anak. Penguatan kapasitas berbagai unsur pemerintahan dan lembaga di desa dilaksanakan dengan cara menghadirkan seluruh unsur, terutama delegasi dari Dusun Sumber Candik. Kegiatan pelatihan perencanaan, penganggaran desa, penyusunan peraturan desa, pembentukan AD/ART BUMDesa, dan SID diharapkan lebih membuka kesadaran kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. Mulai tahun anggaran 2016, Pemerintah Desa Panduman sudah mengalokasikan sejumlah kegiatan yang akan didanai dari APB Desa untuk pembangunan di Sumber Candik. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah: pembangunan jalan yang menuju ke wilayah Sumber Candik sepanjang lebih 2 km, memfasilitasi pengurusan administrasi kependudukan termasuk isbat nikah, serta bantuan untuk posyandu. Sedangkan untuk APBDesa tahun anggaran 2017, pemerintah desa berkomitmen menambah alokasi anggaran untuk penambahan pembangunan jalan di, bantuan siswa miskin, posyandu, serta pembentukan forum perlindungan anak yang telah dimandatkan oleh

36

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak yang sudah dibuat. Meskipun secara besaran nominal belum dipastikan karena berapa anggaran yang akan diterima desa belum diketahui, tetapi prioritas usulan warga Sumber Candik sudah ditetapkan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa tahun 2016 untuk Rencana Kerja Pemerintahan (RKP) Desa tahun 2017. Keberhasilan ditetapkannya Peraturan Desa Panduman tentang Perlindungan Anak diawali dengan pembentukan tim penyusun yang melibatkan berbagai unsur, mulai dari BPD, LPMD, tokoh masyarakat, dan perwakilan warga Sumber Candik serta unsur perempuan. Bahkan rapat-rapat tim penyusun sudah diberikan anggaran rapat-rapat oleh pemerintah desa melalui APB Desa. Selain kegiatan-kegiatan yang diusulkan warga Dusun Sumber Candik, pemerintah desa juga menetapkan Dusun Sumber Candik sebagai lokasi penerima bantuan program air bersih (seperti Pamsimas) yang pelaksanaannya akan dimulai pada tahun anggaran 2017. Banyak pihak yang tidak menduga jika program tersebut berlokasi di Dusun Sumbercandi, bukan dusun lain yang selama ini selalu menjadi prioritas pembangunan di Panduman.

Kolaborasi Masyarakat Sipil untuk Memperkuat Advokasi Kebijakan Daerah Sikap tertutup juga ditemui oleh tim saat berinteraksi dengan aparatur Pemerintah Kabupaten Jember, khususnya di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Jember. Pada masa awal program, Formasi dan YPSM beberapa kali meminta dokumen regulasi daerah tentang desa namun tidak diberikan. Apalagi ketika meminta beberapa dokumen anggaran, baik APBD maupun APB Desa. Kesan “ego sektor� dan saling lempar tanggung jawab juga terjadi pada beberapa dinas/badan di Pemerintah Kabupaten Jember terutama terkait dengan persoalan kelambanan dalam merespon pelaksanaan UU Desa. Bahkan dalam satu forum kegiatan yang dilaksanakan YPSM atau Formasi tidak jarang ditemukan terjadi perdebatan yang ujung-ujungnya dibaca oleh peserta forum lainnya saling “lempar batu sembunyi tangan� diantara dinas/badan tersebut. Proses pencairan Dana Desa di Kabupaten Jember masuk kategori sangat terlambat, termasuk untuk tahun anggaran 2016. Ketika hal ini dikonfirmasi ke

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

37


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

beberapa desa sasaran Program Peduli, para kepala desa menjawab,“menunggu saja belum ada informasi atau perintah dari kabupaten�. Jawaban tersebut mencerminkan kepasrahan dan ketidakberdayaan serta ketidaktahuan desa terhadap perkembangan kebijakan desa. Rendahnya keterbukaan informasi publik berkenaan dengan kebijakan desa serta tertutupnya ruang-ruang partisipasi publik dalam setiap tahapan proses kebijakan publik yang dipraktekkan oleh sejumlah SKPD (termasuk dalam pembahasan RPJMD Kabupaten Jember 2016-2021), menjadikan proses advokasi menghadapi banyak tantangan. Sebelum Program Peduli dan Peduli Desa masuk di Kabupaten Jember, praktis tidak ada gerakan advokasi yang masih dan terkonsolidasi antar elemen masyarakat. Bahkan tidak jarang ditemukan ketidaktahuan unsur masyarakat sipil tentang perkembangan kebijakan desa paska ditetapkannya UU Desa. Berbagai upaya strategis telah dilakukan Formasi dan YPSM untuk mengkonsolidasikan organisasi masyarakat sipil di Jember terkait dengan isuisu pembangunan inklusi di desa. Upaya tersebut dimulai dengan membangun jaringan koalisi masyarakat sipil yang bernama “Koalisi Desa Berdaulat� serta menginisiasi berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai unsur baik masyarakat, perguruan tinggi, ormas dan SKPD untuk mendiskusikan kebijakan-kebijakan strategis, seperti RPJMD, regulasi tentang perlindungan anak, dan strategi advokasi kebijakan publik. Untuk mempercepat gerakan desa membangun, keanggotaan Koalisi Desa Berdaulat diperluas dengan melibatkan beberapa pendamping profesional desa, mulai dari tenaga ahli hingga pendamping desa. Keberhasilan-keberhasilan kecil di Desa Panduman dijadikan dasar untuk melakukan advokasi kebijakan di tingkat kabupaten. Terpilihnya kepala daerah baru dijadikan momentum oleh Koalisi Desa Berdaulat. Koalisi Desa Berdaulat secara aktif mengawal proses penyusunan RPJMD Kabupaten Jember periode 2016-2021 agar lebih berpihak pada penyelesaian permasalahan anak. Namun demikian, berbagai pihak di Koalisi Desa Berdaulat menyadari bahwa pengetahuan dan kapasitas mereka masih lemah dalam mengawal proses penyusunan RPJMD tersebut. Karenanya, Formasi melakukan berbagai inisiatif untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas mereka akan hal ini. Formasi

38

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

memfasilitasi workshop bedah rancangan RPJMD dengan maksud agar Koalisi Desa Berdaulat dapat langsung mengawal tahapan penyusunan RPJMD dengan sisa waktu yang ada. Sebelumnya, tidak satupun unsur masyarakat sipil mengetahui bahwa proses penyusunan RPJMD sedang dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Dengan strategi workshop tersebut, Kepala Bappeda dan beberapa Kepala SKPD langsung hadir dan memberikan paparan/kontribusi terhadap rancangan RPJMD kepada para pihak yang hadir di acara tersebut. Badan Perencanaan Pembangunan DAerah (Bappeda) yang pada awalnya terkesan tertutup, paska workshop menjadi lebih terbuka. Bahkan, Bappeda meminta perwakilan koalisi untuk terlibat aktif dalam tim penyusun RPJMD meskipun bersifat informal. Koalisi Desa Berdaulat juga berhasi membuat kertas kerja kebijakan (policy paper), yaitu Kertas Kebijakan tentang RPJMD yang Inklusi terhadap Anak dan Kertas Kebijakan Perlindungan Anak. Kedua kertas kerja ini kemudian dijadikan masukan oleh Bappeda untuk finalisasi dokumen RPJMD 2016-2021 dan dijanjikan akan dibuatkan rancangan perda tentang perlindungan anak. Diakomodasinya usulan koalisi dalam dokumen RPJMD dapat dilihat dengan dengan tercantumnya Program Perlindungan Anak dan Wanita Serta Korban Tindak Kekerasan dan Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan pada Bab VIII RPJMD Kabupaten Jember 2016-2021. Selain dalam dokumen RPJMD, bentuk komitmen tersebut terwujud dalam butir 21 janji kerja Bupati dan Wakil Bupati terpilih yang berbunyi “Membangun Jember sebagai kota bersholawat dan ramah perempuan dan anak, kelompok minoritas dan difabel�. Capaian juga terjadi setelah Koalisi Desa Berdaulat dan unsur Pemerintah Desa Panduman serta delegasi warga Sumber Candik beraudensi dengan Wakil Bupati Jember. Dalam kurun waktu yang tidak lama setelah audensi tersebut dilakukan, gedung SD di Dusun Sumber Candik direhab atas anggaran yang bersumber dari APBD Perubahan Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2016. Banyak pihak yang tidak menduga kalau prosesnya sangat cepat. Padahal kepala desa dan warga dusun sendiri tidak mengetahui persis kapan SD tersebut ditinjau oleh wakil bupati. ***

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

39


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

3

Menuju Kesetaraan untuk Orang dengan Disabilitas di Kabupaten Bone

D

alam berbagai sisi kehidupan masyarakat difabel masih dipandang sebelah mata. Keberadaan kelompok difabel diantara ada dan tidak ada. Kelompok ini dianggap ada oleh keluarganya tapi tidak pernah diakui di muka umum. Warga difabel diakui ada oleh pemerintah namun tidak pernah diperhatikan secara khusus. Masih banyak warga difabel yang belum mendapatkan haknya sebagai warga negara seperti masyarakat lainnya. Kebutuhan tersebut seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dari pendataan yang dilakukan oleh Yayasan Swadaya Membangun Bangsa (YASMIB) Sulawesi bersama Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, pada bulan Juli 2016 teridentifikasi jumlah warga difabel di Desa Mallari tersebar di enam dusun dengan jumlah 42 orang, terdiri dari 25 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Dari jumlah tersebut delapan orang adalah anakanak, 12 orang dewasa dan 25 orang lansia. Perekonomian masyarakat difabel di Desa Mallari ini sebagian besar berada dalam kondisi miskin. Di Desa Carigading kelompok difabel berjumlah 36 orang, terdiri dari 14 orang laki-laki dan 22 orang perempuan, yang tersebar di tiga dusun. Dari jumlah tersebut, anak-anak berjumlah dua orang, dewasa sembilan orang dan lansia 27 orang. Perekonomian masyarakat difabel di Desa Carigading ini mayoritas berada dalam kondisi miskin. Melihat pada jenis difabilitas, di Desa Mallari terdapat tujuh orang rungu, 11 orang daksa, 16 orang netra dan enam orang dengan disabilitas grahita. Sementara itu di Desa Carigading ada 15 orang rungu, 13 orang daksa, delapan orang netra dan satu orang dengan disabilitas grahita. Di keluarga, mereka dipandang sebagai aib keluarga atau “kutukkan� yang tidak boleh diketahui oleh masyarakat banyak. Dari hasil assessment yang dilakukan di Desa Mallari dan Carigading Kecamatan Awang Pone Kabupaten Bone, dalam beberapa momen penting keluarga seperti pernikahan, anggota keluarga difabel dilarang untuk menampilkan dirinya ke muka umum. Keberadaan

40

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

anggota keluarga difabel di pesta pernikahan dan acara lainnya dianggap hanya akan membuat malu keluarga. Bentuk ekslusi sosial oleh keluarga bukan hanya itu, dalam pelaksanaan peribadatan anggota keluarga difabel dilarang untuk melaksanakan ibadah di mesjid atau mushola. Anggota keluarga difabel hanya diperbolehkan untuk melaksanakan peribadatan di rumah saja. Di sektor pendidikan mereka seringkali tidak bisa menikmati pendidikan dengan maksimal. Kehadiran mereka di lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan non formal seperti pengajian sering kali tidak lepas dari stigma negatif. Mereka diejek (bullying) sedemikian rupa. Untuk mendapatkan pendidikan yang maksimal, masyarakat difabel membutuhkan tenaga yang lebih besar dibanding kelompok bukan difabel. Selain perlakuan yang sebelah mata dari keluarga, orang dengan disabilitas di dua desa tersebut teridentifikasi mendapatkan perlakuan sebelah mata dari pemerintah, baik dari pemerintah desa, kecamatan hingga kabupaten. Dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran, warga difabel dianggap sebagai kelompok yang “kasat mata�. Kehadiran mereka tidak diakui oleh pemerintahan desa. Mereka “kurang dianggap� sebagai warga desa, kecamatan dan kabupaten. Kalaupun masyarakat difabel mendapatkan perhatian berupa program dan bantuan dari pemerintah, sering kali bantuan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Program dan bantuan untuk warga difabel dibuat dengan cara teknokratis menurut cara pandang pemerintah kabupaten. Pada prosesnya hal ini menyebabkan warga difabel harus menerima program apapun yang diberikan oleh pemerintah tanpa ada ruang bagi mereka untuk mengemukakan pendapat atas program tersebut. Ditingkat Kabupaten, dari dialog awal tahun 2015 yang dilaksanakan oleh YASMIB Sulawesi bersama dengan LPP Bone dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bone sebagai dinas yang berkaitan dengan urusan kesehatan, SKPD tersebut belum menyadari betul jika warga difabel merupakan kelompok yang membutuhkan penanganan dan pelayanan khusus. Mereka belum menyadari jika penanganan dan pelayanan warga difabel memerlukan fasilitas dan sumber daya tersendiri agar warga difabel mendapatkan pelayanan berkualitas dan maksimal.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

41


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Pandangan negatif dari lingkungan keluarga, pendidikan dan semua tingkat pemerintah dalam jangka waktu sedemikian lama telah menyebabkan masyarakat difabel berada dalam kondisi tereksklusi secara sosial. Pada praktiknya kondisi ekslusi sosial tersebut memposisikan difabel sebagai warga negara “kelas dua�. Dalam kondisi ini, difabel berada dalam posisi yang tidak setara dengan kelompok masyarakat lain. Berdasarkan hal tersebut maka kegiatan Peduli Desa di Desa Mallari dan Carigading Kecamatan Awangpone di Kabupaten Bone difokuskan pada akses kesehatan bagi kelompok difabel dalam perencanaan pembangunan desa, kecamatan dan kabupaten. Pemilihan fokus isu tersebut juga didorong oleh kebijakan Kabupaten Bone yang gencar mempromosikan kesehatan untuk seluruh masyarakat Kabupaten Bone. Di waktu yang bersamaan, pada tahun 2015 Kabupaten Bone merupakan kabupaten yang menjadi penerima Dana Desa (DD) yang paling besar di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu sekitar 14%. Jumlah DD yang diterima oleh Kabupaten Bone adalah Rp. 89 milyar, sedangkan jumlah DD yang diterima oleh Provinsi Sulawesi Selatan untuk 21 kabupaten adalah Rp. 635 milyar. Dari jumlah DD yang diterima oleh Kabupaten Bone, Kecamatan Awangpone mendapatkan DD Rp. 4 milyar untuk 17 desa. DD desa tersebut merupakan dana diluar ADD yang berasal dari APBD Kabupaten Bone tahun 2015. Pada tahun 2015 total besaran ADD untuk 17 desa di Kecamatan Awangpone senilai Rp. 5. milyar. Hal ini berarti total dana yang diterima oleh desa-desa di Kecamatan Awangpone dari DD dan ADD senilai RP. 9 milyar. Dari total jumlah tersebut, Desa Mallari mendapatkan DD sebesar Rp.284 juta dan ADD Rp. 323 juta. Sedangkan Desa Carigading mendapatkan DD Rp.264 juta dan ADD Rp.279 juta. Jika dibandingkan dengan jumlah dana yang diterima oleh desa di Kabupaten Bone pada tahun 2014 jumlah ADD dan DD tahun 2015 jauh lebih besar. Pada tahun 2014 ADD Desa Mallari hanya mencapai RP.99 juta. Bagi warga difabel meningkatnya jumlah dana yang diterima oleh desa merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan maksimal. Dengan adanya penambahan jumlah dana tersebut peluang pendanaan program bagi warga difabel oleh desa semakin besar. Begitu juga dengan pihak desa bisa lebih leluasa untuk memenuhi program-program desa masing-masing

42

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

termasuk untuk pendanaan program yang diajukan untuk masyarakat difabel di Desa Mallari, Carigading Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone.

Proses Bertahap untuk Memberdayakan Masyarakat Difabel Upaya untuk meningkatkan kapasitas difabel juga dilakukan secara langsung oleh YASMIB Sulawesi dan LPP Bone kepada masyarakat dengan disabilitas. Upaya peningatan kapasitas ini ditujukan agar warga dengan disabilitas sendiri mempunyai kesadaran sebagai warga negara yang harus mendapatkan hak, agar kelompok difabel mau untuk terbuka dan membangun relasi dengan masyarakat luas seperti lingkungan masyarakat di luar keluarga, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten serta Disabled Peoples Organization (DPO) yang tentu saja baru bagi mereka. Upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kemauan untuk bermitra warga disabilitas di Desa Mallari dan Carigading dilaksanakan dalam bentuk diskusi kampung, dalam tiga tahap. Pertama adalah diskusi kampung bagi kelompok difabel itu sendiri. Kedua, diskusi kampung antara kelompok difabel dengan keluarga sendiri. Ketiga, diskusi kelompok gabungan antara kelompok

Disabilitas, Keluarga, dan Masyarakat di Mallari... berkumpul bersama mengikuti diskusi kampung, melebur menjadi satu tanpa sekat dan stigma

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

43


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

difabel, keluarga, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten dan pendamping. Penyelenggaraan diskusi kampong, pertama pertama kali pada bulan Agustus tahun 2015, dan hingga tahun 2016, proses ini masih tetap berjalan. Diskusi kampung bagi masyarakat difabel merupakan hal penting dalam meningkatkan kapasitas dan kemauan kelompok difabel untuk bermitra. Diskusi tersebut bertujuan agar kelompok difabel dapat menerima kondisi dirinya sendiri dan mau berbagi dengan kelompok difabel lainnya. Pelaksanaan diskusi kampung ini merupakan hal penting dan tahap yang memerlukan kesabaran ekstra untuk pendamping. Selain kesabaran diperlukan empati yang dalam dan teknik kreatif dalam fasilitasi diskusi yang dapat diterima oleh kelompok difabel tersebut. Dari praktik yang dilakukan, keberhasilan dalam membangun empati dan kreativitas dalam memfasilitasi diskusi menjadi modal penting Community Organizer/Penggerak Komunitas dalam upaya meningkatkan keberterimaan difabel atas kondisi yang dialami oleh kelompok difabel itu sendiri. Selain itu, meningkatnya keberterimaan kelompok difabel ini menjadi pendorong kuat mereka untuk mau maju pada tahap diskusi selanjutnya, diskusi kampung kedua, yaitu antara kelompok difabel dengan keluarganya. Pelaksanaan diskusi kampung antara kelompok difabel dengan keluarganya ditujukan agar pihak keluarga mau untuk menerima kondisi anggota keluarganya yang difabel. Dalam diskusi kampung yang kedua ini kerumitan fasilitasi menjadi bertambah karena melibatkan pihak kedua yang mempunyai pemahaman awal menolak kehadiran anggota keluarga yang difabel. Peran penting Community Organizer/Penggerak Komunitas adalah membangun dialog dengan pihak keluarga untuk mau berdiskusi, mendengar dan mengakomodir apa yang menjadi keinginan dan pendapat dari orang dengan disabilitas. Kunci dalam diskusi kampung yang kedua ini adalah intensitas komunikasi antara pendamping dengan pihak keluarga. Intensitas ini ditujukan agar keluarga mau terlebih dahulu membangun dialog dengan anggota keluarganya yang difabel. Tahapan terakhir dari diskusi kampung adalah antara kelompok difabel dengan masyarakat luas. YASMIB menyadari walaupun warga difabel merupakan kelompok yang harus mandiri dalam memperjuangkan apa yang menjadi haknya, mereka tetap membutuhkan banyak pihak untuk mendukung segala pencapaian tersebut. Oleh karena itu, YASMIB Sulawesi membangun

44

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

kesepahaman dan mendukung peningkatan kapasitas seluruh pihak yang berkepentingan dan berpotensi mendukung perjuangan kelompok difabel di Desa Carigading dan Mallari. Salah satunya dengan membentuk Gerakan Masyarakat Peduli Disabilitas (GEMARLIDI) dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) di masing-masing desa tersebut. Dari hasil assessment yang dilakukan teridentifikasi beberapa mitra kunci yang dapat mendukung kelompok difabel mendapatkan pelayanan dasar dari pemerintah desa dan kecamatan di Kabupaten Bone. Mitra tersebut berasal dari pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, organisasi penyandang difabel atau Difable People Organization (DPO). Dari hasil assessment tersebut teridentifikasi beberapa DPO yang mau diajak bermitra yaitu Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Bone. Upaya membangun kesepahaman dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, diantaranya melalui pelatihan perencanaan dan penganggaran desa untuk pemerintah desa, kecamatan dan DPO. Pertemuan antara organisasi dalam bentuk pelatihan tersebut merupakan hal baru. Sebelumnya masingmasing organisasi tidak pernah berkumpul untuk membahas hal yang sama yaitu membahas soal perencanaan dan penganggaran secara umum dan secara khusus mengenai perencanaan dan penganggaran desa dikaitkan dengan kelompok difabel. Bagi DPO, pelatihan perencanaan dan penganggaran tersebut telah menjadikan mereka mempunyai pandangan baru mengenai difabilitas. DPO mulai menyadari pentingnya peran pemerintah terutama pemerintah desa dalam memenuhi hak-hak kelompok difabel di desa. Selain itu, DPO semakin paham dengan strategi dan taktik advokasi yang harus mereka terapkan ketika mengadvokasi kelompok difabel. Pada prakteknya, pelatihan ini mendorong DPO untuk membangun interaksi yang lebih intensif dengan kelompok difabel di Desa Carigading dan Mallari hingga akhirnya membangun DPO tingat desa di Desa Carigading dan Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone. Namun tidak semua DPO membangun organisasi di tingkat desa. DPO yang membangun organisasi di tingkat Desa Mallari dan Carigading adalah DPO PPDI. DPO PPDI memungkinkan untuk membangun organisasi di tingkat desa karena mereka sudah berinteraksi cukup lama dengan kelompok difabel di desa

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

45


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Diana (diasabilitas daksa)...semakin percaya diri terlibat dalam kegiatan desa‌telah mendapatkan manfaat dari APBDes Mallari

tersebut. Sebelum Program Peduli dan Inisiatif Peduli Desa dilaksanakan, PPDI sudah terlebih dahulu melakukan pendampingan terhadap kelompok difabel di Desa Mallari dan Carigading. Selain pelatihan, kegiatan yang dilaksakan adalah lokakarya penyusunan data kependudukan yang inklusif, diskusi multipihak antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinasi Sosial (Dinsos), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kecamatan Awang Pone, Pemerintahan Desa (Pemdes) Cari Gading dan Mallari. Setelah melalui berbagai kegiatan pembangunan kesepahaman tersebut, kelompok difabel di dua desa diajak untuk mau berdialog dengan pihak RW, RT, DPO, desa, kecamatan dan kabupaten. Dalam tahap ketiga ini kemauan dan keberanian kelompok difabel dipengaruhi oleh diskusi kampung pertama dan kedua. Diskusi kampung pertama berpengaruh terhadap kepercayaan diri kelompok difabel sementara diskusi kampung kedua menyebabkan kelompok difabel merasa mempunyai dukungan kuat yang berasal dari keluarga. Pada praktiknya perasaan percaya diri dan dukungan keluarga menjadi faktor penting dalam keberhasilan diskusi kampung tahap ketiga. Selain itu, keberhasilan

46

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

diskusi kampung tahap ketiga ini dipengaruhi oleh kemauan pihak pemerintah untuk berdialog dan mau mendengar apa yang menjadi kebutuhan kelompok difabel dan memberikan empati kepada kelompok difabel sekaligus keluarga yang mempunyai anggota keluarga difabel. Setelah kepercayaan diri warga disabilitas terbangun, dan penerimaan social dari keluarga, masyarakat serta pemerintah, maka dibuatlah forum tersendiri bagi disabilitas, keluarga, dan masyarakat untuk merumuskan usulan kebutuhan bagi disabilitas melalui suatu lokakarya di tingkat desa. Hasil dari forum inilah yang kemudian mereka bawa dalam forum Musyawarah Dusun dan Musyawarah Desa tahun 2015, dan Musrenbang Desa di tahun 2016. Dalam proses perencanaan di tingkat desa tersebut, perwakilan disabilitas mulai dilibatkan. Mereka sendiri membawa usulan tersebut dengan didampingi oleh relawan desa, yang ada di Desa Mallari dan Carigading. Sebagai proses pembelajaran, mereka juga diikutsertakan dalam proses Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD, dan Musrenbang Kabupaten. Ketika mereka mengikuti Musrenbang Kabupaten, usulan disabilitas tentang penguatan ekonomi disablitas mulai didengar oleh SKPD Peternakan Kab.Bone, dengan memasukkan usulan tersebut sebagai prioritas untuk perencanaan tahun 2017. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan diskusi kampung ini bukan merupakan diskusi yang diselenggarakan secara regular oleh pemerintahan desa sebagai tahapan dalam penyusunan dokumen perencanaan dan pembangunan desa. Penyelenggaraan diskusi kampung ini sebagai bagian dari strategi LPP Bone Peduli Desa agar kelompok difabel dapat berpartisipasi maksimal dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa.

Mendorong Kebijakan Sebagai Bukti Pelatihan perencanaan dan penganggaran untuk pemerintah desa pada praktiknya telah menutupi kekurangan pengetahuan peme-rintah desa Mallari dan Carigading dan membuka pemahaman pemerintah Kabupaten Bone mengenai seluk beluk perencanaan desa dan kelompok difabel. Pemerintah desa mulai menyadari dan mau untuk membuka pandangan bahwa kelompok difabel merupakan kelompok yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok difabel mulai dipandang sebagai warga desa Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

47


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

sama seperti masyarakat lain. Selain itu, kelompok difabel merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kebutuhan khusus yang mana desa perlu untuk memahami dan mengakomodir kekhususan tersebut. Ketika Peduli Desa dijalankan di Desa Carigading dan Mallari proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran berupa dokumen RPJMDesa 2015-2021 dan RKPDesa dan APBDesa tahun 2015 telah selesai dilaksanakan. Namun demikian hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi pihak pemerintah Desa Carigading dan Mallari untuk menolak aspirasi dan kebutuhan kelompok difabel. Melalui mekanisme review RPJMDesa, RKPDesa tahun 2015 dan APBDesa 2015 perubahan ke dua desa telah mengakomodir program kebutuhan untuk kelompok difabel. Pemerintah Desa Mallari dan Carigading memberikan bantuan program kepada kelompok difabel berupa program penguatan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk bantuan bibit ternak bagi kelompok difabel dan bantuan beasiswa berupa uang untuk membeli peralatan sekolah bagi kelompok difabel yang masih dalam usia sekolah. Kebijakan bantuan ini tercantum dalam dokumen RPKDesa dan APBDesa Mallari dan Carigading tahun 2015. Selanjutnya pada tahun 2016, Pemerintah Desa Mallari mengalokasikan anggaran bagi siswa disabilitas yang kurang mampu berupa biaya transportasi. Selain itu, pembangunan gedung Posyandu PAUD sebanyak 2 (dua) unit, yaitu di Dusun Nipa dan Awangpone juga sudah mulai aksesibel bagi disabilitas. Pembangunan Posyandu-PAUD ini masing-masing dianggarkan di APBDesa tahun 2016, yaitu Rp. 100 juta dan Rp. 70 juta. Menyadari bahwa tidak semua kebutuhan kelompok difabel bisa semua dipenuhi oleh desa, kelompok difabel dan mitra DPO mengalamatkan sebagian

48

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

pemenuhan kebutuhan kepada pihak kabupaten. Kebutuhan tersebut berupa pemenuhan pelayanan kesehatan bagi kelompok difabel yang tidak mampu untuk pergi ke tempat layanan kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kelompok difabel yang tidak mampu untuk pergi ke pusat layanan, Pemerintah Kabupaten Bone melalui dinas kesehatan memerintahkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kecamatan Awangpone untuk memberikan pelayanan perawatan di rumah (home care) untuk kelompok difabel di Desa Carigading dan Mallari. Pelayanan perawatan di rumah tersebut diwujudkan dalam bentuk kunjungan perawat dari UPTD Kesehatan Awangpone ke rumahrumah kelompok difabel. Program home care oleh UPTD kesehatan tersebut berawal dari dialog dan diskusi informal antara pendamping, kelompok difabel dan Ketua UPTD Kesehatan Kecamatan Awang Pone ketika pelatihan ToC (Theory of Changes) di Kabupaten Bone. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa ada kelompok difabel yang tidak sanggup untuk pergi ke layanan kesehatan terdekat. Menindaklanjuti hal tersebut kepala UPTD Kesehatan Kecamatan Awang Pone menawarkan untuk memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan ke rumah kelompok difabel yang tidak sanggup mengakses kesehatan tersebut. Hal tersebut disambut baik oleh keluarga dan kelompok difabel di Desa Carigading dan Mallari. Selain kebijakan perawatan rumah tersebut, Pemerintah Kabupaten Bone berkomitmen akan membangun fasilitas khusus untuk kelompok difabel di kedua desa tersebut. Fasilitas tersebut yaitu pembangunan gedung/sanggar khusus untuk kelompok difabel. Sanggar tersebut ditujukan khusus untuk kelompok difabel yang bisa dipergunakan untuk diskusi khusus antar kelompok difabel dan kelompok difabel dengan masyarakat lainnya. Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

49


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Terakhir, Pemerintah Kabupaten Bone melalui BAPPEDA mengeluarkan surat edaran pedoman pelaksanaan musrenbang dengan himbauan untuk melibatkan klompok marginal yang salah satu diantaranya adalah kelompok difabel. Pada prosesnya lahirnya surat edaran ini didorong oleh rangkaian diskusi terfokus antara CSO lokal, kelompok difabel dengan pihak Bappeda. Bappeda Kabupaten Bonne tidak terlalu sulit untuk diminta membuat surat edaran tersebut karena sebelumnya Bappeda sudah terlebih dahulu terlibat dalam program Building Better Budgets for Women and The Poor (B3WP) yang di gagas oleh The Asia Foundation, YASMIB Sulawesi dan LPP Bone di Kabupaten Bone dari tahun 2011-2014. Dalam program tersebut Bappeda diajak untuk menyusun anggaran dan menerbitkan kebijakan anggaran yang pro terhadap kelompok miskin dan perempuan. Ketika diminta untuk membuat kebijakan terkait dengan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran yang memihak kelompok difabel hal tersebut dapat cepat dipahami oleh pihak Bappeda.***

50

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

Mewujudkan Hak Dasar Bagi Orang dengan Disabilitas di Kabupaten Gowa

2

4

Y

asmib (Yayasan Swadaya Mitra Bangsa) dan KPI (Koalisi Perempuan Indonsia) wilayah Sulawesi Selatan, mendorong desa inklusif melalui proses dan substansi dokumen perencanaan dan penganggaran desakabupaten. Salah satu wilayah advokasi adalah Desa Barembeng dan Desa Pakatto di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Waktu pendampingan dilakukan pada Febuari 2015 sampai November 2016. Isu krusialnya adalah advokasi hak atas anggaran untuk masyarakat penyandang disabilitas dan mengubah stigma negatif disabilitas, baik pada diri penyandang disabilitas, keluarga, atau masyarakat.

Dari Tidak di Ketahui dan Diacuhkan, Menjadi Diketahui dan Diperhatikan oleh Pemerintah Desa Nurhadi Haris selaku Kepala Desa Barembeng tidak pernah menyangka bahwa warga desanya banyak yang menyandang disabilitas. Hal ini diakui Nurhadi

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

51


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

saat diskusi dengan Tim Monev (monitoring dan evaluasi) dari Konsorsium Peduli Desa. “Kalau dulu awal mula program ini masuk, banyak warga merasa minder mengakui kalau ada keluarga mereka yang penyandang disabilitas. Ada orang tua yang tidak peduli ketika ditannya apakah ada anaknya yang disabilitas. Begitu juga anak, ketika ada orang tuanya yang disabilitas, mereka malah sembunyikan,� ungkap Nurhadi selaku Kepala Desa Barembeng, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data desa yang dihimpun per Oktober 2016 oleh Tim Monev, jumlah penyandang disabilitas di Desa Barembeng mencapai 61 orang, diantaranya 33 laki-laki (54%) dan 28 perempuan (56%). Jumlah ini melonjak cukup signifikan dari data awal yang dimiliki desa, yaitu hannya 16 orang, itupun tidak memiliki keterangan jenis disabilitasnya. Saat ini data penyandang disabilitas yang dikembangkan sudah sangat rinci, karena mencantumkan alamat, usia, jenis disabilitas, hingga penyebab disabilitasnya. Berdasarkan data terbaru, jumlah penyandang disabilitas berdasarkan jenisnya adalah: Tuna daksa berjumlah

52

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

30 orang, Tuna netra berjumlah 17 orang, Tuna rungu berjumlah 11 orang, Tuna wicara berjumlah 11 orang, Tuna laras mental berjumlah 3 orang, dan Tuna ganda berjumlah 1 orang. Selain perbaikan database penyandang disabilitas, Desa Barembeng dengan dukungan Program Peduli Desa berupaya meningkatkan kepercayaan diri penyandang disabilitas dan keluarganya. Strategi yang digunakan adalah dengan menciptakan wahana komunikasi dan diskusi yang dikemas dalam bentuk Di Desa Pakatto, Kepala Desa nya mengakui bahwa awalnya dia acuh dan abai terhadap isu yang dibawa Program Peduli oleh Yasmib dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi. Namun setelah adanya komunikasi intensif dengan Yasmib dan KPI kepala desa mulai terbuka untuk berdialog dan diajak untuk bekerja sama menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran yang memihak kepala kelompok disabilitas. Di Desa Pakatto, jumlah penyandang disabilitas saat ini teridentifikasi sebanyak 62 orang, terdiri dari 34 laki-laki (55%) dan 28 perempuan (45%), dari sejumlah tersebut sebagian besar anak-anak. “Di Pakatto, kami fokus pada anak dengan disabilitas agar mereka mau sekolah dan diterima oleh sekolahan� kata Itha selaku pendamping program yang aktif di KPI Sulawesi Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah strategis yang telah dilakukan adalah menyelenggarakan Audit Sosial tentang Pendidikan Inklusif. Salah satu temuan menarik dari Audit Sosial adalah sebagian besar (70%) jumlah pendidik SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Kab. Gowa belum mempunyai pengetahuan tentang pendidikan inklusif. Hal inilah yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Pelatihan bagi Guru Pendidik Khusus (GPK). Langkah strategis tersebut cukup dirasakan oleh para guru peserta pelatihan dan kemudian mulai diterapkan di beberapa sekolah. Hj. Hafiah, salah satu peserta pelatihan dan guru SD Inpres Pakatto Caddi menceritakan pengalamannya melakukan advokasi bagi anak penyandang disabilitas

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

53


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

agar orang tua mereka mau menyekolahkan anaknya, anaknya sendiri mau bersekolah, dan sekolahnya mau menerima anak tersebut bercampur dengan anak non-disabilitas. “Tantangan terberat justru berasal dari orang tua anak penyandang disabilitas, karena mereka menganggap anaknya mengganggu anak-anak yang lain,� kata Hj. Hafiah selaku guru SD Inpres Pakatto Caddi. Saat ini, ada tujuh anak penyandang disabilitas (3 perempuan dan 4 laki-laki) yang sekolah di SD tersebut dan tersebar di kelas 1 (satu), kelas 2 (dua), kelas 3 (tiga), dan kelas 6 (enam). “Kurikulumnya sama, cuma cara pembelajarannya agak berbeda, materi pelajarannya kita sederhanakan.� Kembalinya murid-murid penyandang disabilitas ke sekolah tidak lepas dari upaya Kepala Desa Pakatto meyakinkan pihak sekolah, meski SD Inpres Pakatto Caddi bukan sekolah yang ditunjuk sebagai proyek percontohan (pilot project) sekolah inklusi di Kab. Gowa. Upaya lain yang dilakukan desa adalah mulai melibatkan para orang tua murid penyandang disabilitas saat Musrenbang Desa. Usulan mereka untuk mendapat penguatan ekonomi juga telah diakomodir dalam APBDesa 2016. Terbilang ada sekitar Rp. 57 juta yang dianggarkan untuk penguatan ekonomi, termasuk bagi kelompok disabilitas. Diakhir obrolan, Pak Desa mengatakan bahwa Pabrik Teh Pucuk milik Perusahaan Mayora yang

54

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

berlokasi di Desa Pakatto juga mulai mempekerjakan satu orang penyandang disabilitas (laki-laki).

Diskusi Kampung Sebagai Instrumen Kunci Melibatkan kelompok disabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran desa bukan merupakan hal mudah. Selain tahap-tahapan perencanaan penganggaran desa yang dimulai dari musyawarah dusun sampai musyawarah desa, ada satu tahap penting yang terlebih dahulu harus dijalankan sebelum pelaksanaan musyawarah dusun. Tahapan tersebut disebut dengan diskusi kampung. Melalui Diskusi Kampung inilah warga penyandang disabilitas dan nondisabilitas berinteraksi secara setara. Diskusi kampung ini merupakan diskusi yang dilaksanakan antara kelompok disabilitas dalam sebuah dusun. Diskusi kampung mempunyai peran penting dalam merumuskan apa yang menjadi kebutuhan kelompok disabilitas serta meningkatkan kepercayaan diri dan keberanian kelompok disabilitas untuk berdiskusi dalam forum musyawarah dusun yang dihadiri oleh semua kelompok masyarakat. Mengenai diskusi kampung ini, Sekertaris Desa Barembeng mengakui bahwa Diskusi Kampung yang dilaksanakan oleh Program Peduli mampu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan hak-hak penyandang disabilitas, meningkatkan rasa percaya diri dalam mengusulkan kebutuhankebutuhannya melalui mekanisme perencanaan, dan penganggaran desa.

Meningkatnya Partisipasi dan Kebijakan Desa untuk Orang dengan Disabilitas Di Desa Barembeng, Kamaruddin, Ketua PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia) Kabupaten Gowa yang juga warga Desa Barembeng, menilai Pemerintahan Desa sudah mulai melibatkan penyandang disabilitas dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat desa. “Sudah ada sekitar 3 orang wakil penyandang disabilitas yang dilibatkan dalam Musyawarah Dusun dan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan) Desa.� Ketua PPDI yang pernah mengikuti program Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Desa/Kabupaten Responsif Penyandang Disabilitas yang

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

55


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

diselenggarakan oleh Program Peduli Yasmib dan KPI Sulawesi, menyampaikan bahwa organisasi PPDI mulai dilibatkan dalam Musrenbang Kabupaten Gowa. Dengan keterlibatan perwakilan penyandang disabilitas dalam Musyawarah Desa. Isu disabilitas yang selama ini tidak pernah menjadi perbincangan di rapatrapat desa, mulai menjadi pembahasan serius saat pengambilan kebijakan desa. Hasilnya, dalam RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa), RKPDesa (Rencana Kerja Pemerintah Desa), dan APBDesa (Anggaran Pendapatan Belanja Desa) mulai mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas. Contohnya dalam APBDesa 2016, telah dianggarkan Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat sebesar Rp. 10 juta dan Pengadaan Alat Bantu bagi Penyandang Disabilitas sebesar Rp. 8 juta. Dalam dokumen APBDesa tahun 2016 Pengadaan Alat Bantu Disabilitas masuk dalam RAB (Rencana Anggaran Biaya) Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan kegiatan ‘Pemberdayaan Posyandu, UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga), dan BKB (Bina Keluarga Balita).’ Sedangkan, pada APBDesa 2017, selain pengadaan alat bantu bagi penyandang disabilitas sebesar Rp. 8 juta, dianggarkan pula Pembangunan Sanitasi Desa yang inklusif sebesar Rp. 60 juta. “Kami terinspirasi dari model sanitasi yang dibangun oleh desa-desa di Jogja yang sangat responsif terhadap penyandang disabilitas,” kata Pak Saharuddin selaku Sekertaris Desa Barembeng yang turut menjadi peserta Temu Inklusi di Yogyakarta. Pada akhir perbincangan, Pak Saharuddin menyampaikan bahwa beliau sedang mengupayakan pembangunan Sanggar Inklusi, “Kedepan, kami telah mencanangkan Pembangunan Sanggar Inklusi.” Sanggar Inklusi merupakan wahana atau pusat belajar bagi warga, pusat pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia),

56

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

dan ekonomi warga, khususnya penyandang disabilitas. “Saya sudah siapkan tempatnya dibekas pasar desa yang menjadi aset desa.� Di Desa Pakatto, Dalam rangka memastikan program penyandang disabilitas berkelanjutan, maka desa telah memasukkan perencanaan yang inklusif dalam dokumen revisi RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) tahun 2016-2021. Mengacu pada tujuan pembangunan Kab. Gowa yang tertuang dalam RPJMD 2016-2021 yaitu “Meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang inklusif,� maka langkah Pemerintahan Desa memasukan program masyarakat inklusif sudah tepat karena selaras dengan misi pembangunan Kabupaten Gowa. Dalam RPJM Desa Baremeng dan Desa Pakatto, tertuang rencana penggaran bagi penyandang disabilitas baik dalam bentuk penguatan ekonomi atau pengadaan alat bantu. Hal tersebut bisa menjadi bukti bahwa kedua desa tersebut komitmen membangun desa yang inklusif. Komitmen Pemerintah Desa tersebut, tentu harus dibarengi dengan dukungan dari Kabupaten, hal ini bertujuan agar menciptakan keselarasan dan keberlanjutan program. Desa Baremeng dan Desa Pakatto bisa menjadi contoh bagi desa-desa di Kabupaten Gowa dalam upaya pembangunan inklusif, khususnya penyandang disabilitas. Selanjutnya tinggal mengawal Pemerintahan Desa dalam upaya membangun desa atau masyarakat yang inklusif. ***

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

57


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

5

Menghadirkan Pelayanan Negara Bagi Masyarakat di Desa yang Hilang di Kabupaten Labuan Batu Utara

P

ada tanggal 3-6 Maret 2015, Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Tranparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Sumatera Utara melaksanakan kegiatan assessment di Padang Halaban, sebuah lokasi seluas sekitar 82 hektar yang ditempati oleh warga yang terdiri dari 32 KK dengan penduduk sekitar 1200 jiwa. Secara administratif lokasi yang disebut Padang Halaban tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Panigoran Kecamatan Aek Kuo Kabupaten Labuhan Batu Utara Provinsi Sumatera Utara. Ketika assessment berlangsung sedang terjadi konflik antara kelompok warga di Padang Halaban yang mengelompokkan dirinya ke dalam sebuah wadah dengan nama Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) dengan pihak perkebunan kelapa sawit PT SMART.

58

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Waktu dan Peristiwa Penting di Padang Halaban Tahun

Peristiwa Penting

1928

Enam desa pemasok sayur ke daerah Kota Rantau Parapat

1965

Warga enam desa di cap sebagai anggota PKI

1969

Penggusuran Besar-besaran Sebagian besar warga pindah dan sebagian warga menetap sampai sekarang

1999

PT SMART mempunyai HGU atas Padang Halaban dan warga membentuk KTPHS

2009

KTPHS menggugat PT SMART Tbk sampai ke tingkat Mahkamah Agung tapi kalah

2015

312 Warga masih tinggal di Padang Halaban dan tidak diakui sebagai warga Desa Panigoran

Dari penuturan warga diketahui bahwa awal mulanya Padang Halaban merupakan sebuah hamparan yang didiami sejak tahun 1928 yang terdiri dari enam desa. Enam desa di Padang Halaban tersebut menjadi daerah tempat pemasok utama sayuran ke wilayah Kota Rantau Prapat Provinsi Sumatera Utara. Namun pada tahun 1965, tahun dimana dikenal dengan sebutan tragedi 1965 hampir semua kelompok masyarakat yang mendiami Padang Halaban dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) serta mendapatkan intimidasi berupa kekerasan sampai pembunuhan. Sampai dengan sekarang warga dan keturunan warga korban kekerasan belum memahami betul kenapa mereka dituduh sebagai anggota PKI karena mereka sama sekali bukan anggota PKI. Intimidasi itu berlanjut di tahun 1969. Terjadi penggusuran besar-besaran di Padang Halaban. Semua warga harus meninggalkan Padang Halaban. Jika masih ada warga yang menolak untuk pindah maka mereka akan dituduh sebagai anggota PKI. Semua akses ke lahan desa ditutup. Namun sebagian warga yang mengelompokkan diri ke dalam KTPHS tetap bertahan sampai dengan sekarang. Akibat dari hal ini warga Padang Halaban tidak mendapatkan pengakuan sebagai warga dari desa manapun. Walaupun secara letak geografis mereka masuk dalam wilayah Desa Panigoran Kecamatan Aek Kuo secara administratif mereka bukan warga Desa Panigoran. Karena terdesak kebutuhan sebagian warga ada yang mengurus kelengkapan administrasi penduduknya

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

59


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

dengan mendaftar jadi warga penduduk desa tetangga tapi tetap menetap di Padang Halaban dan sebagian besar tetap tidak mendaftarkan diri mereka secara administratif ke desa lain. Pendirian ini didasari pandangan kuat bahwa Padang Halaban sudah layak untuk dijadikan sebuah desa tersendiri. Belum jelas permasalahan penggusuran dan intimidasi tersebut, kelompok warga Padang Halaban kembali menghadapi masalah. Pada tahun 1999 Lahan tempat tinggal mereka dan bertani diambil oleh perusahaan sawit PT SMART. Dengan dalil sudah mengantongi ijin Hak Guna Usaha (HGU) PT SMART mengusir warga dari lingkungan Padang Halaban. Mereka tidak diperbolehkan tinggal di Padang Halaban karena lahan tersebut akan dijadikan sebagai ladang kelapa sawit. Tapi mereka tidak menerima perlakuan perusahaan kelapa sawit tersebut. Mereka melawan dengan konfrontatif. Berkali-kali demonstrasi kepada pihak pemerintah daerah perkebunan dilakukan namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Lalu KTPHS menempuh jalur hukum. KTPHS menggugat PT SMART ke Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara hingga tingkat Mahkamah Agung. Namun semua usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan. Dengan kondisi demikian maka PT SMART mempunyai kekuatan hukum untuk mengusir warga dari Padang Halaban. Sampai sekarang KTPHS masih bertahan di wilayah tersebut. Jika ada PT SMART yang akan mengusir mereka semua sudah bersiap untuk menghadang. Seringnya berkonfrontasi dengan pihak perkebunan menjadikan warga yang tergabung dalam KTPHS terbiasa untuk menyelesaikan masalah dengan cara konfrontatif. Cara-cara non konfrontatif seperti dialog, rapat, tidak dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengubah kehidupan mereka. Berbarengan dengan konflik tersebut, warga tidak pernah sama sekali mendapatkan pelayanan dasar atau diajak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting di tingkat desa dari Desa Panigoran atau desa di sekitar Padang Halaban. Pernah ada yang mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa bantuan beras miskin (kini: beras sejahtera-rasta) namun itu hanya diberikan kepada anggota KTPHS yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang jumlahnya tidak seberapa. Untuk layanan kesehatan dan pendidikan dasar, anggota KTPHS dan anak-anaknya harus pergi ke desa tetangga dengan kondisi jalan yang buruk dan jarak yang jauh.

60

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Dari pengakuan kepala Desa Panigoran diketahui bahwa mereka mengalami hal dilematis ketika akan memberikan pelayanan kepada masyarakat di Padang Halaban karena secara administratif mereka tidak terdaftar sebagai warga Desa Panigoran. Begitu juga dengan pihak kabupaten mereka berada dalam posisi yang dilematis. Walaupun mereka adalah warga Kabupaten Labuhan Batu Utara tapi mereka berada di tanah wilayah PT SMART. Bantuan-bantuan program pembangunan infrastruktur dasar tidak diperbolehkan masuk ke wilayah Padang Halaban karena mereka tidak mempunyai bukti status kepemilikan lahan. Intimidasi kekerasan di masa lalu yang belum terselesaikan dan pengusiran dari lahan tempat mereka tinggal selama puluhan tahun lebih telah menyebabkan KTPHS berada dalam kondisi yang tereksklusi dalam jangka waktu lama. Kondisi ekslusi tersebut diperkuat dengan ketiadaan pelayanan dasar bagi KTPHS dari pihak Desa Panigoran dan desa-desa di sekitarnya.

Meningkatkan Pengakuan dan Perlindungan Warga Sekitar Menyadari adanya isolasi geografis dan sosial, KTPHS dan IKOHI sejak 2010 mulai mengembangkan strategi untuk meningkatkan pengakuan dan perlindungan warga sekitar. Untuk melaksanakan hal tersebut, IKOHI dan KTPHS mulai mengembangkan strategi dengan mengubah strategi konfrontatif (misalnya: pemasangan papan nama dan demonstrasi) dengan fokus kepada pengembangan kepercayaan diri untuk menunjukkan eksistensi untuk mendapatkan pengakuan dari warga sekitar. Dalam penerapan di lapangan, strategi tersebut diwujudkan dalam bentuk pengembangan kesenian tradisional dan pentas-pentas seni tradisional dan mengadakan pasar setiap satu minggu sekali yang menjual berbagai hasil bumi kepada masyarakat Padang Halaban dan sekitarnya. Pada prosesnya, intensitas komunikasi antara warga Padang Halaban dan warga sekitar di pasar menumbuhkan interaksi yang harmonis antara keduanya dan terpenuhinya sebagian kebutuhan dasar warga sekitar. Dengan demikian keberadaan KTPHS perlahan mulai diakui dan dibutuhkan oleh warga.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

61


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Menghadirkan Layanan Publik bagi KTPHS Walaupun tidak diakui secara administratif sebagai warga salah satu desa, kelompok warga yang tergabung dalam KTPHS menyatakan bahwa mereka adala warga Negara Indonesia, warga Negara Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Kecamatan Aek Kuo. Selain itu, di luar perjuangan atas akses lahan untuk perumahan dan pertanian, anggota KTPHS membutuhkan pelayanan dasar seperti kesehatan, listrik, pendidikan serta usaha-usaha peningkatan kegiatan ekonomi mereka. Cara pandang ini menjadi titik masuk bagi FITRA dan IKOHI untuk mendampingi KTPHS memasuki ruang-ruang perencanaan desa dan mendiskusikan peluang yang bisa digunakan KTPHS untuk memenuhi kebutuhan mereka tersebut. Peluang-peluang tersebut diawali dari upaya untuk merumuskan kebutuhan kelompok marjinal, menyampaikan dan lobby kepada kepala desa agar kebutuhan tersebut diakomodir dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa tahun 2015. Serangkaian diskusi terfokus dan lokakarya dilakukan oleh anggota KTPHS dengan difasilitasi oleh IKOHI. Selain diskusi terfokus dan lokakarya juga dibangun komunikasi yang intensif dengan pihak kecamatan dan diskusi intensif dengan pihak pemda dalam rangka mendorong percepatan penerapan undang-undang desa ke tingkat desa. Di sini, implementasi undang-undang desa dijadikan suatu peluang untuk dapat mewujudkan kebutuhan masyarakat marjinal. Serangkaian diskusi fokus tersebut ditujukan agar anggota KTPHS mampu mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan mereka dan program apa yang akan bisa dibuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Setelah serangkaian diskusi tersebut tahap selanjutnya adalah melaksanakan lokakarya untuk menyepakati usulan apa saja yang akan didorong kepada pihak pemerintah yang mungkin bisa memenuhi kebutuhan tersebut sesuai dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran yang telah tertera dalam aturan. Karena anggota KTPHS tidak tercatat secara administratif menjadi warga di desa manapun maka anggota KTPHS mengusulkan hasil lokakarya tersebut kepada pihak Kecamatan Aek Kuo dan Kabupaten Labuhan Batu Utara.

62

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Dari serial diskusi dan lokakarya disepakati beberapa usulan yang akan diajukan ke tingkat pemerintahan kecamatan melalui forum Musrenbang kecamatan yaitu sebagai berikut: 1) Bantuan modal peningkatan usaha; 2) Bantuan layanan kesehatan untuk manula dan balita; 3) Pengadaan saluran listrik; 4) Pengadaan saluran air bersih; dan 5) Pengadaan jamban umum. Selain disampaikan ke forum musrenbang, usulan tersebut juga disampaikan kepada pihak pemerintah kabupaten melalui Asisten Daerah Tiga Kabupaten Labuhan Batu Utara melalui kegiatan audiensi. Sambutan pihak kecamatan dan kabupaten cukup baik walau tidak sesuai dengan harapan warga KTPHS. Dari pertemuan lobi yang dilakukan oleh anggota KTPHS dengan pihak kecamatan dan kabupaten hanya beberapa usulan yang direspon rangkaian kegiatan langsung setelah pertemuan lobi tersebut. Sementara itu, asisten daerah tiga mengkomunikasikan kebutuhan tersebut secara langsung kepada dinas kesehatan dan dinas petanian agars segera menindaklanjuti usulan masyarakat tersebut. Melalui Puskesmas Kecamatan Aek Kuo Dinas Kesehatan terjun langsung melakukan pendataan dan pelayanan pemeriksaan kesehatan kepada warga kampung. Sampai dengan sekarang pelayanan tersebut telah dilaksanakan beberapa kali dan salah satu output pelayanan tersebut adalah pembentukan posyandu untuk manula di Padang Halaban. Selain itu, pihak pemerintah Kabupaten Labuhan Batu Utara melalui dinas pertanian memberikan penyuluhan pertanian kepada warga anggota KTPHS. Pemberian pelayanan pemeriksaan oleh puskesmas dan penyuluhan pertanian dari dinas pertanian kabupaten merupakan hal baru bagi anggota KTPHS. Sebelumnya mereka sama sekali belum pernah merasakan peran negara bagi mereka. Kehadiran pelayanan kesehatan dan pembuatan posyandu untuk manula, serta penyuluhan pertanian dianggap sebagai hal berharga. Komunikasi dengan puskesmas, tenaga kesehatan dan dinas kesehatan serta dinas pertanian tetap dijaga oleh anggota KTPHS agar hal tersebut bisa rutin dilakukan dan dijadikan modal bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan dasar lain dari negara di periode berikutnya.***

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

63


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

6

Membuka Isolasi untuk Meningkatkan Inklusi Sosial di Kabupaten Lombok Timur

S

ecara geografis, Desa Mekar Sari merupakan daerah pegunungan yang langsung berbatasan dengan wilayah hutan negara yang masuk dalam kawasan Gunung Rinjani dan terdiri dari persawahan, perkebunan, dengan potensi ketersediaan air yang melimpah. Jarak Dusun Tumpang Sari ke kantor desa sekitar 2 km, dan jarak desa dengan ibu kota kecamatan sekitar 5 Km. Sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten sekitar 30 kilometer. Dari penuturan warga setempat diketahui bahwa kelompok masyarakat yang menetap di Dusun Tumpang Sari berasal dari suku yang sama dengan masyarakat yang menetap di dusun lainnya, yakni suku Sasak-Lombok. Asalusul warga dusun berasal dari tiga kecamatan, selain Kecamatan Suela yaitu Kecamatan Pringgabaya, Wanasaba dan Masbagik, serta beberapa kelompok masyarakat dari Kabupaten Lombok Tengah. Kelompok masyarakat ini mengaku telah mulai menempati Dusun Tumpangsari sejak 164 tahun lalu. Salah satu pendorong mereka untuk menetap di wilayah itu ialah karena di desa awal mereka tidak dapat mengakses lahan untuk pertanian, dan lahan di Dusun Tumpang Sari bagus untuk bertani karena terdapat banyak sumber air. Selain itu, lokasinya tidak jauh dari lahan tempat mereka berkebun. Pada saat assessment dilakukan, teridentifikasi ada tiga mata air yang berdekatan yaitu Mata Air Sepolong, Kedatu dan Tempes Paku.

Terbatasnya Lapangan Pekerjaan Dusun Tumpang Sari disebut sebagai dusun pinggiran hutan. Penduduknya berjumlah 468 jiwa yang terdiri dari 167 Kepala Keluarga (KK). Total lahan sawah sekitar 57 Ha. Pemilik sawah dari dusun sendiri diperkirakan sekitar 10 KK dengan kepemilikan sekitar setengah dari total lahan sawah, sementara sisanya dimiliki oleh orang luar (luar desa). Lahan sawah tersebut awalnya adalah lahan hutan yang dibuka melalui proses pencetakan sawah baru. Di sisi lain, diketahui ada sekitar 60 KK dari dusun ini menjadi TKI dan bekerja ke daerah lain. Biasanya suaminya yang menjadi TKI, sementara ibu dan anaknya

64

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

menetap di kampung. Umumnya pria-pria ini bekerja ke Malaysia, selain ke Kalimantan dan pulau lainnya. Anak TKI tercatat ada 70 orang. Di tengah situasi tersebut, ada peluang lain mengelola hutan kemitraan dengan perusahaan dengan cara menyewa lahan. Sejauh ini, di lokasi tersebut warga penggarap hutan berasal dari 3 dusun, selain dari Dusun Tumpang Sari, juga dari dua dusun lainnya, yakni Lekong Pulut dan Blumbang. Warga asal Tumpang Sari yang terlibat menggarap hutan kemitraan tercatat 47 KK. Yang ditanam antara lain alpukat, duren, pisang, kayu manis, kakao, coklat. Sementara itu sebagian warga lainnya menggantungkan hidupnya dari menjadi buruh tani dan buruh kebun (Hutan Kemitraan). Pekerjaan sebagai buruh informal ini umumnya didominasi oleh kaum perempuan. Sebagian besar penduduk punya pekerjaan diluar bertani yaitu beternak sapi dan menjadi buruh ternak sapi.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Infrastruktur Dasar Mengkhawatirkan Kelompok masyarakat di Dusun Tumpang Sari mayoritas tinggal di rumah tidak layak huni. Sekitar 30 hingga 40 persen tinggal secara berkelompok dalam sebuah rumah yang rata-rata dihuni oleh dua sampai empat kepala keluarga. Ukuran rumah yang digunakan rata-rata 8x6 meter. Sisanya kelompok masyarakat hidup berkelompok dalam rumah yang ukuran dan jumlah penghuninya lebih dari itu. Sanitasi atau jamban hanya dimiliki oleh 7 hingga 10 KK dari total 167 KK yang menetap di Dusun Tumpang Sari. Sisanya belum menggunakan jamban. Dapat dikatakan, untuk keperluan BAB (buang air besar) warga biasanya melakukannya di sungai. Idealnya dibuat WC sendiri di masing-masing rumah, namun air tersedia sangat terbatas. Selain itu, jika dibangun WC Umum, perlu mempertimbangkan sebaran lokasi pemukiman dusun, yang setelah dihitung ada 7 blok pemukiman dengan jarak yang berjauhan lebih dari dua kilometer. Selama ini air diambil dari mata air Sepolong, namun air di mata air sudah menurun debitnya sehingga air yang mengalir ke pemukiman warga debitnya sangat kecil. Air dari mata air ini dialirkan melalui pipa 2 in dengan jarak sekitar 5-8 km ke pemukiman Dusun.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

65


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Ada sumber mata air baru yang diharapkan bisa menjadi alternatif berjarak sekitar 9 km dari dusun. Jarak dari mata air baru ini ke mata air Sepolong sendiri sekitar 2 km. Memungkinkan mengalirkan air dari sumber mata air baru ini karena topografi menurun (jika menggunakan pipa paralon). Juga mungkin mengalirkan air dari mata air baru ke mata air Sepolong. Ada harapan pipa yang digunakan diameternya lebih besar agar debit yang diangkut lebih besar. Hasil observasi, air tersebut dialirkan ke masjid Dusun, kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk menggunakan selang ½ atau 2/3 inci. Namun tak bisa mencukupi kebutuhan seluruh warga. Umumnya warga juga menampung air hujan untuk keperluan rumah tangga yang ditampung menggunakan bak dari terpal. Akses listrik baru dinikmati warga pada tahun 2011 melalui swadaya warga. Perlu diketahui sambungan listrik warga bukan saluran listrik standar PLN. Saluran listrik didapatkan dari tiang listrik dusun tetangga. Dengan kondisi demikian saluran listrik hanya digunakan untuk mengaliri lampu bohlam saja. Jalan Desa yang menuju ke Dusun Tumpang Sari sepanjang 2 km dalam keadaan rusak berat. Kerusakan ini nampak sejak masuk ke kawasan dusun itu, tepat pada persimpangan menuju dusun dan ke Kantor Desa. Jalan menuju ke Kantor Desa, dimana Puskesmas Pembantu (Pustu) juga berada, kondisinya sama rusak berat. Hal ini berpengaruh baik terhadap akses pelayanan kesehatan, maupun kelancaran penjualan hasil kebun/hutan di sekitar kawasan dusun. Dari sisi pendidikan mayoritas warga tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Tidak lebih dari sepuluh persen yang mengenyam bangku pendidikan SMP dan SMA. Bahkan beberapa ketua RT tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Sarana pendidikan yang tersedia yang terdekat dari Dusun Tumpang Sari hanya ada satu SD yang bangunannya juga digunakan untuk SMP satu atap yang digunakan bergantian. Rata-rata tingkat pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada tingkat pendidikan perempuan. Kebanyakan tingkat pendidikan laki-laki sampai SMP sedangkan perempuan sampai SD. Warga dusun membutuhkan fasilitas pendidikan untuk anak-anak Balita berupa PAUD atau TK. Jumlah anak Balita ini cukup banyak lebih dari 50 orang. JIka mau membangun PAUD tidak ada lahan umum (perlu pembebasan lahan). PAUD sebenarnya ada di dusun lain (dusun sebelah), namun jaraknya dipandang terlalu jauh dari Dusun Tumpangsari.

66

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Puskesmas berlokasi sekitar pusat kecamatan dekat kantor Camat Suela berjarak sekitar 5 km dari dusun. Polindes dan Pustu berlokasi dekat kantor desa sekitar 1,5 km dari dusun. Untuk mencapai Pustu, Polindes dan Puskesmas menyimpan masalah tersendiri karena jalan yang rusak parah. Jika ada yang hamil, biasanya ke Polindes menggunakan Pick-up yang disewa Pulang-Pergi sebesar Rp. 200300 Ribu. Sebagian warga biasa menggunakan jasa dukun melahirkan. Gedung tempat Pustu beroperasi disebutkan masih menyewa. Sejauh ini sudah ada upaya pembebasan lahan bakal lokasi pembangunan Pustu melalui swadaya masyarakat, setiap KK mengumpulkan Rp. 20.000. Di Pustu ada satu orang mantri kesehatan. Bidan jarang turun ke dusun. Posyandu butuh bantuan fasilitas seperti: 1) Timbangan bayi, karena sudah rusak dan tak bisa diperbaiki lagi. 2) Mik/pengeras suara. Perlu PMT (Program makanan tambahan) di Posyandu. Dulu pernah ada bantuan dari program Gerakan Sehat dan Cerdas (GSC) namun sekarang tidak ada lagi PMT. Sementara untuk Dana kader Posyandu, selama lebih dari setahun ini dijelaskan macet. Program-program pemerintah mulai masuk di Dusun Tumpang Sari sejak tahun 1997. Dari tahun 1997-2013 ada sekitar tujuh program pemerintah yang masuk ke Dusun Tumpang Sari. Program tersebut mulai dari program pembangunan bak penampung air, pembukaan jalan dan irigasi, perbaikan jembatan, perbaikan rumah kumuh dan pemberantasan buta aksara. Dari tujuh program yang masuk tersebut hanya dua yang merupakan usulan warga. Sumber dana pembangunan tersebut semuanya tidak ada yang berasal dari dana desa. Lima program dari APBD, satu dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan satu lainnya dari pihak swasta. Program yang didanai oleh PNPM adalah program pembuatan saluran irigasi yang dilaksanakan pada tahun 2011 yang merupakan usulan warga Dusun Tumpang Sari sendiri. Letak geografis yang terpencil menyebabkan masyarakat di Dusun Tumpang Sari menjadi kelompok warga yang tereksklusi. Warga sulit untuk mendapatkan akses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan yang maksimal dari pemerintah terutama dari pemerintah desa. Selain karena letak geografis yang terpencil eksklusi sosial lainnya yang dialami oleh kelompok masyarakat di Dusun Tumpang Sari adalah disebut sebagai kelompok pendatang di Desa Mekarsari. Pada praktiknya sebutan

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

67


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

sebagai pendatang ini berkonsekuensi terhadap layanan yang diberikan oleh pemerintah desa kepada warga Dusun Tumpang Sari dan keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa seperti partisipasi dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran. Sementara itu, pada tahun 2015 Kabupaten Lombok Timur tercatat sebagai kabupaten yang mendapatkan alokasi Dana Desa (DD) paling besar diantara kabupaten lainnya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari simulasi yang dilakukan oleh FITRA NTB tercatat desa-desa di Kabupaten Lombok timur termasuk didalamnya Desa Mekarsari akan mendapat DD senilai Rp 395 juta dan ADD senilai Rp 453 juta. Jika dibandingkan dengan besaran Alokasi Dana Desa (ADD) di tahun 2013 dimana rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi anggaran rata-rata Rp 90 juta hingga Rp 120 juta, tentu saja jumlah tersebut jauh lebih besar. Dalam konteks pemenuhan layanan dasar bagi warga Dusun Tumpang Sari Desa Mekar Sari hal ini merupakan sebuah peluang besar.

Mendampingi Warga, Membangun Kerjasama dengan Pemerintah Desa Eksklusi sosial yang dialami warga Dusun Tumpang Sari dalam jangka waktu lama menyebabkan warga dusun memandang bahwa kehadiran negara melalui pemerintahan desa tidak terlalu penting bagi keberlangsungan hidup mereka sehari-hari. Perlu serangkaian diskusi dan dialog yang intensif untuk mengubah pandangan mereka mengenai relasi antara mereka sebagai warga negara yang wajib mendapatkan hak dan negara melalui pemerintah desa yang harus menunaikan kewajiban kepada masyarakatnya. Selain mengubah pandangan kelompok warga, mengubah pandangan kepala desa dan aparaturnya merupakan hal yang cukup sulit. Pandangan turuntemurun dari pemerintah desa sebelumnya yang memposisikan mereka sebagai kelompok pendatang menjadi warisan tidak tertulis yang terpatri di dalam kepala kepala desa dan perangkat desa. Pada tahap awal pelaksanaan Inisiatif Peduli desa di bulan Agustus-Oktober tahun 2015, serangkaian kegiatan dilakukan di Dusun Tumpang Sari, antara lain serial diskusi terfokus, lokakarya dan pelatihan khusus untuk kelompok warga tanpa terlebih dahulu menghadirkan pihak desa. Kegiatan tersebut difasilitasi

68

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

oleh community organizer (CO) dari Yayasan Samanta dan FITRA NTB. Pada praktiknya, serangkaian diskusi tersebut mendorong kesadaran komunitas untuk mengikat dirinya dalam sebuah wadah dengan nama Gerakan Inklusi Sosial (GIS) Desa Tumpang Sari. GIS sendiri merupakan wadah bagi kelompok marjinal untuk bertukar pikiran dan bersama-sama mendorong pihak desa agar mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap kepentingan kelompok marjinal. Diskusi terfokus yang terjadwal seminggu sekali dilaksanakan selama bulan September tahun 2015. Di luar diskusi formal tersebut diskusi informal juga diselenggarakan oleh warga dengan pendamping. Serangkaian diskusi terfokus dilakukan untuk mengubah cara pandang mengenai posisi mereka sebagai warga desa dan pemerintah desa sebagai pihak yang wajib memenuhi apa yang menjadi prioritas kebutuhan mereka. Setelah itu, rangkaian diskusi dilakukan untuk menggali apa yang menjadi kebutuhan warga. Dalam proses penggalian tersebut, diskusi seringkali alot dan sulit menemukan titik kesepakatan antara warga yang satu dengan warga yang lain mengenai sejarah dusun terutama mengenai sejarah penggunaan lahan dan usaha-usaha mereka dalam menggunakan lahan untuk perumahan dan lahan bertani. Salah satu hal yang mendorong hal tersebut adalah karena tidak adanya dokumen tertulis mengenai sejarah-sejarah serta data yang dimiliki oleh kelompok warga. Setiap kejadian dan data cukup disimpan di kepala masing-masing warga. Dari diskusi terfokus warga yang difasilitasi FITRA NTB dan Yayasan SAMANTA, secara garis besar ada beberapa prioritas program yang disepakati warga Dusun Tumpangsari meliputi Perbaikan Jalan Desa. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan dan kelancaran kegiatan ekonomi. Perbaikan jalan diharapkan mempermudah pemasaran hasil hutan, baik dengan membuka pasar setempat atau diangkut ke bawah. Perbaikan jalan juga akan memperbaiki akses ke pusat kesehatan baik di Kantor Desa dan Kecamatan. Hal lainnya adalah perlu adanya peyediaan fasilitas ambulans untuk warga dusun, karena praktis sarana transportasi untuk ke lokasi pelayanan kesehatan adalah dengan ojek. Ambulans dibutuhkan untuk ibu yang melahirkan atau warga yang sakit berat. Mengupayakan bagaimana air bersih dari mata air Sepolong dan alternatif mata air baru (dengan debit yang lebih besar dari mata air Sepolong) bisa dialirkan ke pemukiman warga. Untuk mengalirkan air ini sementara diduga solusinya

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

69


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

adalah dengan menggunakan pipa paralon yang lebih besar. Sementara ini sudah menggunakan pipa paralon diameter 2 inci. Jarak mata air Sepolong ke pemukiman warga sekitar 5-7 km. Jarak dari mata air baru ke dusun sekitar 9 km. Disebutkan bahwa mungkin untuk mengalirkan air dari mata air baru ke mata air Sepolong dulu (jarak sekitar 2 km), baru dialirkan ke pemukiman. Jika air bersih sudah mengalir baru mungkin untuk memikirkan program pembangunan WC umum, atau warga bisa membangun WC di rumah masingmasing. Pengembangan Kelompok Usaha bagi Kelompok Perempuan. Pengembangan kelompok usaha kecil yang disertai dengan pelatihan mengelola hasil hutan menjadi produksi jenis makanan dsb yang mampu meningkatkan nilai tambah hasil kebun/hutan penting dilaksanakan, guna membuka lapangan kerja sesuai potensi dusun. Demikian pula, perlu bantuan alat pengolahan dan membuka akses pasar. Permintaan untuk bibit dan pupuk tanaman empon-emponan juga dipandang penting menjadi prioritas. Setelah rangkaian diskusi penggalian kebutuhan warga selesai, selanjutnya adalah kegiatan untuk merumuskan apa yang menjadi kebutuhan kelompok warga. Kegiatan ini dilakukan melalui lokakarya warga dusun pada bulan Oktober 2015. Melihat kondisi yang ada di dusun maka kegiatan selanjutnya lebih difokuskan pada perumusan kebutuhan kelompok warga pada pemenuhan kebutuhan dasar. Untuk dapat merumuskan apa yang menjadi kebutuhan dasar ini warga mendapatan pelatihan dan lokakarya penyusunan pelayanan dasar. Hasil dari pelatihan dan lokakarya ini adalah daftar usulan kebutuhan pelayanan dasar warga Dusun Mekarsari yang akan diusulkan kepada kepala desa dan akan dijadikan sebagai usulan dusun dalam musdus dan musyawarah desa untuk penyusunan RKPDesa tahun 2016. Untuk memastikan bahwa usulan warga akan diakomodir dalam dokumen RKPDesa Desa Mekar Sari tahun 2016, Kader Desa didampingi FITRA NTB dan Samanta melaksanakan loby kepada kepala desa, pada bulan November 2015. Dalam loby tersebut kepala desa memberikan komitmen akan mengakomodir usulan-usulan warga Dusun Mekar Sari dalam forum musyawarah desa untuk menyusun dokumen RKPDesa tahun 2016. Tahap selanjutnya setelah lobi tersebut adalah mengawal usulan program dalam musyawarah desa untuk penyusunan RKPDesa pada bulan Januari 2016.

70

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Dalam musyawarah desa tersebut lima warga perwakilan Dusun Mekar Sari hadir sebagai peserta. Sementara dua orang CO dari FITRA NTB dan Samanta bertindak sebagai peninjau. Kegiatan tersebut ikut dihadiri oleh Camat Suela, BPMPD Kabupaten Lombok Timur, penyuluh dan polisi kehutanan. Dalam forum tersebut perwakilan warga diberikan waktu untuk mempresentasikan apa yang menjadi program dan kebutuhan mereka. Dalam forum tersebut tidak terjadi perdebatan panjang karena apa yang menjadi kebutuhan warga Dusun Mekar Sari merupakan kebutuhan semua warga juga.

Kebijakan Desa dan Sejumlah Tantangan Dari serangkaian kegiatan diskusi terfokus, pelatihan dan lokakarya akhirnya warga berhasil merumuskan program dan kegiatan yang akan diusulkan dalam musyawarah desa penyusunan RKPDesa Desa Mekar Sari tahun 2016. Beberapa program dan kegiatan yang diusulkan adalah: 1) Peningkatan jalan desa dan jalan dusun; 2) Perpipaan air bersih; 3) Peningkatan pelatihan kelompok masyarakat bidang ekonomi, pertanian dan kehutanan serta bantuan modal untuk usaha kecil; 4) Pembangunan jamban umum di setiap RT; 5) Perlengkapan Posyandu seperti Penimbang Bayi; dan 6) Pembentukan PAUD/TK di Dusun Tumpang Sari. Namun setelah disampaikan di musyawarah desa penyusunan RKPDesa tahun 2016 tidak semua usulan tersebut diakomodasi dan ada beberapa usulan yang disepakati untuk diubah. Beberapa usulan yang diakomodir dalam RKPDesa Desa Mekar Sari tahun 2016 adalah peningkatan jalan desa/dusun dan penyediaan air bersih agar lebih merata pada setiap dusun. Sedangkan usulan yang diakomodir namun diubah adalah usulan untuk perlengkapan posyandu. Usulan di bidang pelayanan kesehatan ini disepakati diubah menjadi lebih luas yaitu pembangunan puskesmas pembantu di Dusun Tumpang Sari. Usulan perubahan ini disambut baik oleh warga Dusun Tumpang Sari. Sedangkan usulan yang tidak bisa diakomodir dalam dokumen RKPDesa tahun 2016 adalah pelatihan kelompok masyarakat di bidang ekonomi, pertanian,

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

71


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

kehutanan dan bantuan modal serta pembentukan PAUD/TK. Namun bukan berarti usulan tersebut tidak diakomodir sama sekali tapi akan diakomodir tahun berikutnya dalam RKPDesa tahun 2017. Pada Akhir Tahun 2016, warga Dusun Tumpang Sari memetik kemenangan kecil dari upaya bersama mereka untuk mendorong usulan dalam proses perencanaan desa. Sejumlah kegiatan usulan warga telah terealisasi dengan dana bersumber dari APBDesa TA 2016, antara lain:1) Rabat jalan dari Kuang Paok ke Tanak Resak dengan panjang 750 m; 2) Rabat Jalan dari Kuang Paok ke Napak Sari dengan panjang 750 m; 3) Rabat jalan dari Lekong Pulut – Tumpang Sari dengan panjang 400 m; dan 4) Perpipaan air bersih – di 8 dusun dengan panjang 16 Km. Sementara itu, untuk pembangunan Puskesmas Pembantu yang berlokasi di Dusun Tumpang Sari sejauh ini telah ada kemajuan, yakni telah tersedianya lahan pembangunan gedung Pustu, dan pembangunan akan dilaksanakan pada tahun 2017.***

72

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

7

Mengentaskan Pekerja Anak di Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Sambas

D

esa Sepantai, Sungai Deden dan Sempurna merupakan tiga desa yang berada di Kecamatan Subah Kabupaten Sambas Provinsi Jawa Barat. Hampir 85 persen lahan di Kecamatan Subah dijadikan sebagai kebun kelapa sawit yang dimiliki oleh delapan perusahaan sawit besar. Penduduk yang bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit mencapai tujuh puluh peren, menjadi petani sawit dengan lahan kurang dari tiga hektar sekitar sepuluh persen. Sisanya bekerja sebagai pedagang, buruh serabutan dan pengangguran. Kesejahteraan buruh perkebunan kelapa sawit di ketiga desa tersebut masih menjadi permasalahan yang besar karena hampir semua buruh perkebunan kelapa sawit berada dalam kondisi miskin. Kondisi infrastruktur jalan antar desa di Kecamatan Subah semua belum dilapisi aspal. Semua jalan antara desa di Kecamatan Subah baru di lapisi oleh batu batu kerikil di sebagian besar ruas jalan dan sebagian lagi berlapis tanah. Untuk

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

73


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

sektor pendidikan, di Desa Sepantai tidak ada bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan hanya ada dua bangunan SD yang jarak dari lokasi pemukiman sekitar tiga kilometer. Tidak ada SMP di Desa Sepantai, mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP harus pergi ke Sungai Deden yaitu ke SMP satu atap Sungai Deden Kecamatan Subah. Kesejahteraan guru di Sungai Deden menjadi permasalahan desa yang cukup serius karena mereka honor yang mereka dapatkan jauh dari layak sedangkan kebanyakan guru SD di Sepantai berasal dari luar desa Di Sungai Deden hanya ada dua SD yang jaraknya dekat dengan perumahan dan satu SMP satu atap. Di sempurna ada tiga SD namun tidak ada SLTP. Sementara itu, untuk mengenyam bangku SLTA warga di tiga desa tersebut harus pergi ke kecamatan terdekat yaitu Kecamatan Sejangkung. Salah satu dampak dari tidak adanya PAUD di ketiga desa tersebut menyebabkan mayoritas orang tua menitipkan anak anak mereka yang masih balita kepada kakaknya untuk diasuh atau membawanya ke ladang. Hal ini menjadi masalah karena kebanyakan anak yang dititipi adiknya tersebut berada dalam usia sekolah. Pada banyak kasus hal ini mendorong anak usia sekolah untuk putus sekolah dan berkurang motivasinya untuk melanjutkan pendidikan dan akhirnya lebih banyak diajak orang tuanya untuk sama-sama bekerja membantu orang tuanya di perkebunan kelapa sawit. Sedangkan untuk anak usia SLTP karena jarak SLTP yang jauh dan kondisi jalan yang terlalu baik ditambah dengan kondisi perekonomian yang lemah menyebabkan mereka lebih banyak memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan kemudian menjadi buruh perkebunan illegal atau bekerja di kebun dengan posisi membantu orang tua nya. Karena modus seperti itu terjadi di ketiga desa tersebut menyebabkan banyak terdapat anak putus sekolah di tingkat SD dan SLTP serta banyak anak menjadi pekerja di perkebunan kelapa sawit. Di sisi yang lain pemerintah desa di ketiga desa tersebut masing-masing sudah mempunyai dokumen perencanaan dan penganggaran seperti dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Namun selama ini pemerintah desa di ketiga desa tersebut belum menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran tersebut secara partisipatif dengan melibatkan banyak orang dan belum melaksanakan semua tahap penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran dari mulai musyawarah dusun dan musyawarah desa dengan maksimal. Seringkali musyawarah desa yang dilakukan hanya formalitas dan

74

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

bersifat seremonial belaka. Selain itu, selama ini dokumen perencanaan dan penganggaran yang di susun belum menjadikan permasalahan pekerja anak di perkebunan sebagai salah satu masalah penting di desa. Selama ini masalah prioritas yang harus segera diselesaikan adalah permasalahan pembangun fisik seperti pembangunan infrastruktur jalan. Berdasarkan program tersebut, maka salah satu tujuan penting pelaksanaan kegiatan di ketiga desa tersebut adalah mendorong partisipasi masyrakat agar pemerintah desa mau mengakomodir kebutuhan kelompok tereksklusi ke dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa di ketiga desa tersebut.

Membantu Pemerintah Desa Menyusun Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Program Peduli yang terlebih dahulu dijalankan, inisiatif Peduli Desa mendorong kelembagaan masyarakat yang berada dalam satu wadah bernama Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) untuk dapat menjadi kelompok masyarakat yang mampu mendorong desa untuk dapat mengakomodir kebutuhan kelompok tereksklusi . KPMD ini menjadi wadah yang strategis dalam rangka mendorong pemerintah desa untuk mengakomodir kebutuhan kelompok tereksklusi karena cukup banyak anggota KPMD tersebut berasal dari staff pemerintahan desa, BPD, serta tokoh masyarakat. Jumlah anggota KPMD berjenis kelamin perempuan di desa Sempurna dan Sungai Deden sama dengan jumlah anggota KPMD dengan jenis kelamin laki-laki. Selain itu, ketua KPMD di Desa Sepantai merupakan sekretaris desa, ketua KPMD Desa Sempurna merupakan tokoh pemuda, sedangkan ketua wakil ketua KPMD di Desa Sungai Deden merupakan tokoh masyarakat yang disegani oleh pihak perkebunan. Namun demikian KPMD di ketiga desa tersebut sejak mulai di bentuk pada bulan mei 2014 sama sekali belum bersentuhan dengan isyu perencanaan dan penganggaran desa, berdasar hal tersebut salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah meningkatkan kapasitas KPMD mengenai proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Pelatihan perencanaan dan penganggaran desa yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Inisiatif dan Perkumpulan Gapemasda berpengaruh cukup besar

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

75


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

terhadap kemauan dan kepercayaan diri anggota KPMD untuk terlibat lebih jauh dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggara desa di ke tiga desa tersebut. Setelah pelatihan usai anggota KPMD di ketiga desa tersebut bersedia dan antusias untuk terlibat langsung dalam proses penyusunan dokumen RKPDesa dan APBDesa tahun 2016 di ketiga desa tersebut. Bentuk keterlibatan mereka adalah dengan menjadi fasilitator bersama pemerintah desa untuk melaksanakan musyawara dusun di setiap desa serta musyawarah desa untuk penyusunan RKPDesa dan APBDesa tahun 2016. Menindaklanjuti keinginan tersebut, pendamping dan direktur Perkumpulan Gapemasda melakukan loby melalui diskusi non formal kepada tiga kepala desa agar mau mempersilahkan anggota KPMD bekerja sama dengan pihak desa dalam menyelenggarakan musyawarah dusun serta musyawarah desa untuk penyusunan dokumen RKPDesa dan APBDesa tahun 2016. Bagi kepala desa kemauan anggota KPMD ini disambut dengan baik karena selama ini desa kurang mempunyai kapasitas dalam fasilitasi musyawarah dusun dan desa serta kemampuan teknis dalam menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Kemauan anggota KPMD untuk memfasilitasi proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa dianggap sebagai hal yang membantu. Proses fasilitasi musyawarah dusun (musdus) oleh KPMD merupakan hal baru karena selama ini proses musdus dan musyawarah desa (musdes) sering kali hanya dilaksanakan oleh beberapa gelintir orang di lingkaran pemerintah desa dan bersifat formalitas, sehingga ketika KPMD memfasilitasi proses musdus masyarakat umum dan kelompok terekslusi antusias untuk berpartisipasi dalam proses musdus tersebut. Banyaknya jumlah peserta musdus ini dipengaruhi oleh sosialisasi dan ajakan secara terbuka dan luas kepada semua masyarakat yang berada di setiap dusun. Pada praktenya sosialisasi yang dilaksanakan oleh KPMD ini berhasil menjangkau banyak orang karena komposisi anggota KPMD yang beragam dari berbagai latar belakang. Selain itu, karena anggota KPMD di Desa Sepantai dan Sempurna banyak anggota perempuan, penggalian dan penyampaian kebutuhan bukan mewakili suara-suara kelompok laki-laki saja. Adanya fasilitasi dari kelompok perempuan menyebabkan usulan yang muncul lebih beragam dari biasanya. Usulan pelatihan pola asuh bagi orang tua, beasiswa bagi anak usia sekolah SD,

76

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

serta pembangunan posyandu dan PAUD dalam musdus menjadi usulan dari kelompok perempuan yang diamini oleh kelompok laki-laki. Usulan kebutuhan ini menjadi pengimbang dari usulan kebutuhan kelompok laki-laki yang kebanyakan lebih bersifat pembangunan infrastruktur. Bagi anggota KPMD proses penting penyusunan dokumen perencanaan dan penganggara desa tidak berhenti di pelaksanaan musdus, namun melaju sampai pada proses musdes RKPDesa dan APBDesa. Dalam proses musdes RKPDesa dan APBDesa peran KPMD menjadi penting untuk memastikan usulan di setiap dusun secara umum dan usulan kelompok tereksklusi secara khusus dapat diakomodir dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa tahun 2016 di ketiga desa tersebut. Selain memastikan usulan program kelompok terekslusi diakomodasi, memastikan nominal anggaran untuk kebutuhan kelompok tereksklusi merupakan hal penting. Fase penentuan jumlah nominal untuk usulan program kelompok tereksklusi menjadi krusial karena program pemenuhan kebutuhan kelompok tereksklusi belum dianggap sepenting pembangunan infrastruktur. Jika tidak dikawal dengan kuat, nominal anggaran untuk kebutuhan kelompok terekslusi hanya akan mendapatkan anggaran sisa dari pembangunan infrastruktur. Dari proses panjang mulai dari proses musdus dan musdes RKPDesa dan APBDesa tersebut, beberapa program prioritas kelompok tereksklusi di ketiga ada yang diakomodasi dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa di desa masingmasing. Di Desa Sepantai jumlah program yang diakomodasi lebih banyak jumlahnya dari pada di Desa lain. Di Desa Sepantai program yang diakomodir dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa adalah pemberian beasiswa berupa uang tunai kepada siswa yang masih bersekolah di SD sebanyak 20 orang dengan masingmasing nominal Rp.150.000. Selain beasiswa untuk anak sekolah selanjutnya adalah pembangunan PAUD di Dusun Sidodadi. Untuk Pembangunan PAUD ini nilai nominal belum bisa diputuskan karena terlebih dahulu menghitung secara detail nominal yang dibutuhkan. Jumlah dan nominal program yang diakomodasi dalam RKPDesa dan APBDesa di Desa Sepantai dipengaruhi oleh loby dan posisi ketua KPMD Sepantai

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

77


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

yang mempunyai posisi sebagai sekretaris desa. Dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran, peran loby terhadap kepala desa karena kepala desa dianggap sebagai aktor utama dalam proses pengambilan kebijakan mengenai anggaran program dalam APBDesa. Sementara itu, di Desa Sungai Deden dan Sempurna program untuk kelompok tereksklusi adalah memberikan pendanaan kepada KPMD untuk operasional KPMD serta peningkatan kapasitas untuk KPMD. Untuk peningkatan kapasitas alokasi yang diterima KPMD kedua desa tersebut sejumlah Rp.6.000.000 sedangkan untuk operasional kegiatan senilai Rp.6.000.000. Sedikitnya jumlah yang diakomodasi sedikit banyaknya dipengaruhi oleh loby terhadap kepala desa di ke dua desa tersebut. Dari penuturan anggota KPMD diketahui bahwa loby terhadap kepala desa di Desa Sungai Deden dan Sempurna tidak secara intens dilakukan. Di Desa Sempurna karena kepala desa nya baru terpilih, kepala desa nya lebih berhati-hati terhadap aspirasi dari setiap kelompok masyarakat. Sedangkan untuk di Desa Sungai Deden, loby intens tidak berhasil dilakukan karena kepala desa lebih sering berada di luar sehingga sulit untuk ditemui dan di loby secara intensif.***

78

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

8

Mendorong Pemenuhan Hak Dasar bagi Anak Buruh Migran (ABM) Kabupaten Sumba Barat Daya

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

79


2

bagian

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Y

ayasan Sosial Donders bersama IDEA Jogyakarta melaksanakan kegiatan insiatif Peduli Desa di dua desa dampingan Peduli Desa yaitu Desa Atedalo dan Maredakalada Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).

Kurang lebih tiga puluh persen penduduk di Desa Atedalo dan Maredakalada bekerja di sektor pertanian dengan komoditas utama adalah kacang mete. Selain menjadi petani, kurang lebih dua puluh persen penduduk bekerja sebagai peternak babi dan kambing dan bekerja ke luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dilihat dari segi pendidikan hampir lima puluh persen penduduk di kedua desa tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan dasar dan tidak tamat sekolah dasar, dua puluh persen tamatan pendidikan dasar dan hanya tiga puluh persen persen penduduk mengenyam pendidikan SMP dan SMA. Banyaknya anak yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan dasar dan putus sekolah didorong oleh kondisi perekonomian keluarga yang tidak mendukung serta tingkat motivasi dan minat anak sekolah kurang. Jika di telisik lebih dalam, kurangnya minat dan motivasi ini disebabkan mereka tidak mendapatkan motivasi dan arahan dari keluarganya sendiri karena. Di Desa Maredakalada dan Atedalo, anak putus sekolah rata-rata berasal dari keluarga yang ayah atau ibunya menjadi TKI atau disebut dengan istilah Anak Buruh Migran (ABM). Dari keterangan warga, diketahui bahwa motif kepergian kebanyakan orang tua ABM pergi ke luar negeri bukan hanya untuk menafkahi keluarga namun juga untuk membayar hutang adat kepada masyarakat lain yang melaksanakan pesta adat yang sebelumnya pernah memberikan ternak ketika orang tua ABM tersebut melaksanakan pesta adat sebelumnya. Di SBD jika seorang mendapatkan sumbangan ternak ketika melaksanakan pesta adat maka ketika orang yang memberikan ternak tadi akan menyelenggarakan pesta adat maka orang yang diberi ternak tadi harus memberikan sumbangan yang sama berupa ternak atau uang senilai ternak tersebut. Karena kebanyakan orang tua anak yang putus sekolah dan tidak pernah sekolah tersebut pergi ke luar negeri pengasuhan anak-anak menjadi kuran maksimal. Kebanyakan ABM dititipkan kepada nenek dan kakeknya yang bekerja sebagai

80

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

petani, buruh tani yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal sehingga pengasuhan dan pembentukan watak dan karakter anak dan pendidikan formal dianggap bukan permasalaan yang serius. Kelompok masyarakat terekslusi di ke empat desa tersebut terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu Anak Buruh Migran (ABM), Lansia dan Difable. Kelompok tereksklusi di Desa Atedalo berjumlah 69 orang dan Desa Maredakalada berjumlah 74 orang. Mengenai perencanaan dan penganggaran desa, Kepala desa dan sekretaris desa Desa Atedalo merupakan aktivis PNPM yang memahami arti pentingnya dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Namun sebagai kepala desa baru mereka mempunyai tugas untuk segera menyusun dokumen RPJMDesa yang masa periodenya sudah habis dan penyusunan dokumen RKPDesa dan APBDesa tahun 2016. Kondisi ini sama dengan kondisi Desa Maredakalada Desa Maredakalada dipimpin oleh kepala desa muda yang terbuka dan mau menerima dan diskusi mengenai perencanaan dan penganggaran dengan tim pelaksana Program Peduli Desa. Pada prakteknya, latar belakang kepala desa ini berpengaruh terhadap tahapan pelaksanaan kegiatan di kedua desa tersebut. Pelaksanaan tahapan kegiatan di kedua desa tersebut berjalan tanpa hambatan yang berarti dari pihak desa. Berdasar hal tersebut kegiatan inisiatif Peduli Desa di SBD mendorong pihak desa untuk mengalokasikan bantuan pendidikan dalam dokumen RPJMDesa periode 2015-2021 dan RKPDesa serta APBDesa tahun 2016. Di Desa Maredakalada karena kepala desa nya baru terpilih dan adanya kebijakan untuk menyusun dokumen RPJMDesa sekurang-kurangnya dalam jangka waktu tiga bulan setelah dilantik, maka proses kegiatan dilaksanakan sesuai dengan tahapan penyusunan dari mulai yang paling bawah yaitu penggalian usulan ditingkatan dusun atau disebut dengan musyawarah dusun. Sementara itu, kepala Desa Atedalo menyambut baik maksud dan tujuan Yayasan Donders yang akan membantu desa dalam penyusunan dokumen RKPDesa dan APBDesa tahun 2016. Dalam pelaksanaan musyawarah dusun tersebut kepala Desa Maredakalada dan Atedalo mempersilahkan fasilitator dari Yayasan Donders untuk memfasilitasi musyawarah dusun untuk semua dusun.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

81


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Pada prakteknya hal ini menjadi peluang besar bagi kelompok tereksklusi untuk dapat mengusulkan program prioritas kebutuhan kelompok tereksklusi setiap dusun untuk diakomodir dalam dokumen RPJMDesa periode 2015-2021, dan RKPDesa dan APBDesa tahun 2015 Desa Maredakalada dan dokumen RKPDesa dan APBDesa Desa Atedalo tahun 2016. Penggalian kebutuhan ini dilaksanakan bergantian di setiap desa dusun di desa tersebut. Dalam setiap sesi Penggalian kebutuhan dilaksanakan selalu dihadiri oleh pendamping, komunitas, perwakilan desa, kelompok difabel serta orang tua asuh dari ABM. Penggalian kebutuhan dilaksanakan satu kali untuk setiap dusun di sesuaikan dengan jumlah dusun di Desa Atedalo dan Maredakalada. Dalam pertemuan tersebut, penggalian dan usulan kebutuhan selalu dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok anak, perempuan, lansia dan difabel. Pelaksanaan diskusi penggalian kebutuhan dengan pendekatan seperti ini disambut antusias oleh masyarakat, kelompok tereksklusi dan pihak desa karena ini merupakan hal baru. Sebelumnya pelaksanaan musyawarah dusun bagi kelompok tereksklusi hanya sebuah pertemuan biasa tanpa ada pendiskusian yang lebih dalam mengenai kebutuhan kelompok tereksklusi Dari serangkaian diskusi ditingkat dusun tersebut diketahui bahwa di Desa Attedalo,kelompok perempuan mengusulkan pelatihan pengelolaan pangan lokal sebesar Rp. 7.500.000. Selain itu kebutuhan lainnya adala pengadaan mesin jahit dan alat-alat tenun. Untuk kelompok difabel yang diminta adalah penambahan modal usaha senilai Rp.10.000.000 untuk enam orang yang dianggap paling penting mendapatkan bantuan dari pemerintah. Untuk ABM yaitu beasiswa untuk lima belas anak yang dianggap paling membutuhkan diantara ABM yang lainnya senilai Rp. 150.000 perorang per satu tahun sekali. Untuk ABM yang berprestasi selain mendapatkan bantuan uang tunai juga mendapatkan bantuan berupa buku-buku dan peralatan sekolah. Di Maredakalada, untuk difabel adalah pengadaan kursi roda senilai Rp.25.000.000 dan bantuan modal senilai Rp. 10.000.000 dan adanya Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk para lansia di Posyandu. Untuk ABM adalah beasiswa senilair Rp.250.000 satu kali satu tahun untuk empat belas anak, sedangkan bagi ABM yang berprestasi ada tambahan senilai Rp.100.000

82

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Agar kelompok tereksklusi memahami bahwa program dan usulan tersebut merupakan bagian dari program pembangunan desa, kelompok tereksklusi diajak untuk melakukan kegiatan bedah dokumen RPJMDesa periode 20092015 dan RKPDesa serta APBDesa tahun 2015 di masing-masing desa. Dalam kegiatan tersebut masyarakat membaca dan mengamati program apa saja yang belum terealisasi dan program apa saja yang sudah terealisasi, mana yang sudah selesai dan belum selesai. Dalam forum bedah dokumen ini, kelompok tereksklusi menjadi paham bahwa desa membutuhkan waktu agar usulan kelompok tereksklusi tersebut dapat dipenuhi. Sementara itu, agar pemerintah desa mampu mengakomodasi kebutuhan kelompok tereksklusi dalam dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa dan memahami pentingnya kelompok tereksklusi diakomodir dalam dokumen perencanaan dan penganggaran desa dilaksanakan bimbingan teknis melalui diskusi terfokus untuk kepala desan perangkat di kedua desa. Dalam bimbingan teknis tersebut dibahas mengenai teknik-teknik penyusunan dokumen perencanaan penganggaran desa, menyusun usulan prioritas dan konsistensi antara dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Setelah bimbingan teknis selanjutnya desa dipandu secara teknis oleh pendamping dari Yaysan Donders untuk membuat draft RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Dalam pendampingan teknis ini, desa tidak hanya didampingi dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran namun juga didampingi dalam penyusunan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) pencairan dana periode sebelumnya. Setelah penyusunan SPJ selanjutnya masuk dalam penyusunan RKPDesa dan APBDesa tahun 2016. Penyusunan SPJ ini penting supaya ke depan pihak pemerintah desa mampu menyusun SPJ sesuai dengan aturan yang ada. Pada awal oktober 2016, Desa Atedalo telah berhasil menyusun dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa tahun 2016 yang mengakomodir kebutuhan kelompok tereksklusi di Desa Attedalo.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

83


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Dalam dokumen RPJMDesa diketahui bahwa desa akan menyusun Perdes tentang Perlindungan Anak dan Perempuan yang akan dilaksanakan pada tahun 2017, pelayanan posyandu bagi lansia yang akan dilaksanakan setiap tahun, penyuluhan tentang penghentian kekerasan terhadap anak dan perempuan, bantuan bagi siswa berprestasi. Untuk RKPDesa tahun 2016 kebutuhan yang diakomodir oleh pihak desa adalah pemberian beasiswa bagi ABM dan bagi ABM berprestasi senilai Rp. 9.000.000, penerbitan perdes tentang perlindungan anak dan perempuan senilai Rp.2.500.000, penyuluhan tentang kekerasan teradap perempuan dan anak senilai Rp.6.000.000 dan pelayanan poyandu untuk lansia senilai Rp.3.500.000. Sedangkan untuk Desa Maredakalada, diskusi penyusunan RKPDesa dan APBDesa ketika tulisan ini di susun belum bisa membuat draft RKPDesa dan APBDesa tahun 2016 karena masih disibukan dengan penyusunan SPJ dan mengurusi hal lain yang dianggap lebih penting dan mendesak.***

84

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

9

Korban Pelanggaran HAM Memecah Kebekuan Partisipasi: Upaya Strategis Warga Ian Tena Kabupaten Sikka

I

an Tena Kecamatan Kewapante adalah potret salah satu desa di Kabupaten Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengalami dampak konflik masa lalu. Di desa ini, pelanggaran HAM berat terjadi. Konflik tersebut menimbulkan trauma berat masyarakat berhadapan dengan negara. Mereka mendapatkan stigma sebagai “orang bodoh� dan “orang sisa�. Mereka menjadi desa dengan keadaan masyarakat yang dikucilkan. Sampai cerita ini ditulis, sebagian besar penduduk juga masih menerima perlakuan pengucilan, kadang menerima ancaman kekerasan, dan mendapatkan intimidasi dari aparat keamanan. Ian Tena adalah juga potret desa dengan keadaan data desa yang masih lemah. Data yang tersedia di desa sampai kabupaten berbeda jauh dari keadaan di lapangan. Hal tersebut menjadi hambatan administratif sehingga desa mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dasar dari negara. Ada banyak warga desa yang tidak bisa memperoleh akses pelayanan pendidikan, kesehatan, dan berbagai bantuan langsung dari negara.

Administrasi kependudukan yang lemah menyebabkan mereka tidak mendapatkan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, layanan air bersih yang buruh, dan kesulitan mendapatkan bantuan modal untuk pergerakan ekonomi rakyat. Dalam siklus perencanaan dan pembangunan desa, mereka juga tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan desa.

Menguatkan Pengetahuan dan Jaringan Salah satu organ gerakan masyarakai sipil di Nusa Tenggara Timur adalah PBH Nusra (Perhimpunan Bantuan Hukum Nusa Tenggara). PBH Nusra bersama dengan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

85


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

melihat salah satu akar masalahnya adalah rendahnya keterlibatan masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa. Lemahnya keikutsertaan menyebabkan masyarakat tidak punya daya kontrol dan memastikan bahwa pembangunan desa dapat mereka akses manfaatnya. Ketidaksertaan juga menjadi penyebab masalah penting seperti pendataan tidak terlaksana. Ini berlanjut menjadi persoalan administratif sehingga masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan publik. Adanya data yang valid tentang masyarakat desa Ian Tena, diharapkan menjadi awal bagi akses pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan penguatan ekonomi desa. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerja-kerja mendorong keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Keterlibatan masyarakat dalam musyawarah desa diharapkan bisa mendekatkan hasil perencanaan desa menguntungkan masyarakat. Hal demikian mengandaikan keterlibatan tidak sebatas kehadiran, tetapi juga keterlibatan aktif dalam berdiskusi tentang program atau kegiatan yang akan menjadi keputusan desa. Berpartisipasi secara aktif mensyaratkan bukan hanya keberanian, tetapi juga pengetahuan yang harus kuat. Oleh karena itu, dalam kurun 6 bulan efektif PBH Nusra dan P3M melaksanakan kegiatan untuk menguatkan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan pelaksanaan Undang-undang Desa, seperti bagaimana menyusun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJM Desa) dan bagaimana terlibat secara aktif dalam musyawarah desa. Di dalam pelatihan tentang Undang-undang Desa, hal penting yang terus dikuatkan adalah paradigma perencanaan penganggaran dan pembangunan yang inklusif. Inklusif maknanya adalah keterlibatan berbagai unsur dalam masyarakat dan manfaat pembangunan adalah untuk sebanyak-banyaknya warga desa. Termasuk perempuan, orang miskin, dan berbagai pihak yang selama ini marjinal. Perencanaan tidak boleh dilaksanakan secara eksklusif, yang melibatkan hanya sebagian pihak atau kepentingan tertentu. Paradigma inklusi selanjutnya dicerminkan dalam substansi perencanaan penganggaran dan pembangunan di tingkat desa. Semangat inklusi harus terus ditekankan karena dengan cara tersebut diharapkan keputusan musyawarah

86

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

desa benar-benar menguntungkan masyarakat desa dari berbagai sektor dan pihak. Selain basis pengetahuan dan ketrampilan, hal lain yang dilaksanakan adalah menguatkan jaringan di tingkat masyarakat sipil, aparatur desa, pemerintah daerah dan DPRD. Berbagai elemen masyarakat diajak turut serta dalam musyawarah desa. Aparatur desa diikutsertakan dalam kegiatan penguatan kapasitas. Dan kepada pemerintah dan DPRD, kedua elemen strategis tersebut diajak lebih pro aktif dalam melaksanakan UU Desa yang memudahkan dan menguntungkan masyarakat desa.

Mengawal Sebuah Proses Faktor apa yang akan dikawal sudah diketahui. Yakni, menguatkan basis pengetahuan dan ketrampilan masyarakat sipil, ditambah kerjasama dengan aparatur desa, pemerintah daerah, dan DPRD. Proses mengawal hal-hal penting dan strategis tersebut tidak semudah membalik tangan. Ada beberapa hal yang dirasakan masih menjadi tantangan. Pertama, keyakinan untuk turut berpartisipasi masih dikalahkan oleh trauma. Masyarakat terutama generasi yang mengalami pelangaran berat HAM dan mengalami diskriminasi orde baru, sebagian besar mereka masih tidak bersedia turut pertemuan. Sebagian yang ikut dalam pertemuan, diskusi, atau pelatihan, mereka juga masih takut berpendapat, terlebih karena forum-forum tersebut dipantau dan ditungguin oleh Babinsa (aparat keamanan di tingkat desa). Dalam keadaan tersebut, masyarakat terus diyakinkan bahwa partisipasi mereka dalam musyawarah dan berbagai pertemuan penting di desa sangat penting dan strategis. Bahwa partisipasi mereka akan memberi harapan lebih baik untuk masa depan mereka. Motivasi untuk berpartisipasi dan melawan takut adalah salah satu hal terus dilakukan. Pertemuan dan komunikasi yang intensif memberi dampak yang signifikan bagi mereka. Kegiatan menguatkan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan pelaksanaan Undang-undang Desa ini terus mendapat sambutan positif dari sebagian besar masyarakat desa. Bukan hanya di Desa Ian Tena, tetapi setidaknya juga dari 2 desa lain dengan kondisi yang serupa, yakni Desa Tuabao dan Desa Natarmage (Kecamatan Waiblama). Kedua desa tersebut menganggap bahwa

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

87


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

mereka harus pula menerima manfaat dari pelatihan atau kegiatan lain yang dilaksanakan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Pusat Bantuan Hukum (PBH) Nusa Tenggara. Kedua, pengetahuan tentang Undang-undang Desa aparatur kepala desa masih lemah. Pemahaman yang baik tentang UU Desa oleh Kepala Desa sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan musyawarah desa dan hasil-hasil yang dirumuskan, yang diharapkan memberi manfaat kepada sebanyak-banyaknya anggota masyarakat. Posisi pemahaman yang kurang bagus sekaligus menjadi tantangan dan mandat program agar kepala desa juga harus mendapat porsi perhatian. Yang menguntungkan adalah kepala desa menyambut positif. Pemerintah daerah juga memberikan perhatian yang lebih. Bahkan Bappeda Pemerintah Kabupaten Sikka minta agar semua desa mendapat penjelasan detil tentang Undang-undang Desa. Sebuah sambutan yang hangat. Program ini pernah melaksanakan pelatihan untuk 62 kepala desa dari 165 desa yang baru saja melaksanakan pemilihan kepala desa. Dan ketiga, Pemerintah Kabupaten Sikka memerlukan koordinasi untuk pelaksanaan UU Desa. Bappeda memberikan perhatian yang baik terhadap penguatan kapasitas masyarakat dan aparatur desa. Kapasitas desa diharapkan memudahkan proses penyusunan perencanaan penganggaran dan pembangunan lebih partisipatif dan inklusif. Hasilnya juga diharapkan memberi akses dan manfaat bagi sebagian besar masyarakat desa, termasuk di Ian Tena. Namun demikian, pemerintah daerah masih perlu koordinasi dan konsolidasi untuk memastikan perhatian tersebut bisa diwujudkan dengan baik. Diharapkan pula tidak ada oknum yang memanfaatkan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dan aparat desa sebagai peluang untuk mengambil keuntungan. Untuk mengawal tantangan tersebut, P3M dan PBH Nusra melakukan komunikasi yang intensif dengan Bappeda dan DPRD Kabupaten Sikka.

88

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Mencatat Perubahan Waktu enam bulan efektif bukan waktu yang panjang untuk sebuah gerakan. Tetapi, waktu tersebut adalah masa yang dapat digunakan agar sebuah perubahan dapat terjadi. Catatan berikut ini menuliskan beberapa hal yang dianggap sebagai perubahan. Perubahan diberi makna sesuatu telah terjadi dan berbeda antara sebelum dan sesudah kerja-kerja dilaksanakan. Pertama, warga desa Ian Tena dan dua desa penerima dampak program memiliki kesadaran, pengetahuan dan bersedia terlibat dalam proses perumusan kebijakan di tingkat desa. Tingkat kehadiran masyarakat dalam musyawarah di tingkat desa pada bulan Juli 2016 yang lalu 2 kali lipat dari tahun sebelumnya. Ada banyak perempuan yang juga terlibat, setidaknya lebih dari 35 persen peserta adalah perempuan. Mereka juga bersedia bermusyawarah untuk merumuskan beberapa hal penting yang akan diusulkan dalam musyawarah desa. Perubahan kesadaran yang menarik dicatat adalah komitmen dan paradigma pembangunan desa yang harus dilakukan dengan proses yang partisipatif dan inklusif. Sebelumnya, pembangunan dipahami sebagai untuk sebagian kalangan tertentu. Program ini memberikan pemahaman yang baik, bahwa inklusi harus ditekankan dalam perencanaan penganggaran dan pembangunan di desa. Kedua, RKP Desa tahun 2017 di Ian Tena dan 2 desa (Tuabao dan Natarmage) telah mengakomodir kebutuhan warga dengan mengalokasikan dana desa untuk kelompok disabilitas dan Posyandu. Menurut masyarakat di ketiga desa tersebut, banyak warga penyandang disabilitas yang harus mendapat perhatian. Posyandu juga diusulkan mendapatkan perhatian dalam hal jumlah dana dan apa saja yang dilayani oleh Posyandu, bukan hanya menimbang anak melainkan juga melayani beberapa ragam kesehatan dasar seperti batuk, flu dan lain sebagainya. Ketiga, yang dianggap penting sebagai perubahan adalah perhatian RKP Desa 2017 untuk penguatan ekonomi masyarakat. Tahun-tahun sebelumnya belum ada jenis kegiatan dan alokasi dana untuk penguatan ekonomi masyarakat. Usulan sebagian masyarakat untuk memberi aloksi khusus terhadap pelatihan

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

89


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

tenun mendapat sambutan positif. Pemerintah Desa Ian Tena mengalokasikan dana desa untuk pelatihan tenun ikat sebesar Rp 100.000.000 untuk 12 pengrajin dan penyediaan listrik untuk 20 Kepala Keluarga. Alokasi 100 juta tersebut bukan sebuah proses tiba-tiba. Dalam musyawarah terjadi diskusi yang agak alot, karena sebagian masyarakat menganggap yang lebih penting adalah infrastruktur. Namun, persiapan usulan sebagian masyarakat yang lain, yang difasilitasi P3M dan PBH Nusra sebelumnya, berhasil menjelaskan bahwa pengrajin tenun harus dikuatkan untuk menjaga tradisi. Demikian pula 20 keluarga yang belum memiliki listrik harus difasilitasi untuk mengurangi kesenjangan di desa. Sebagai catatan, banyak penerima manfaat dari usulan tersebut adalah keluarga yang pernah mengalami pelanggaran berat HAM. Keempat, pemerintah daerah dan DPRD memberi perhatian yang baik terhadap pelaksanaan UU Desa. Mereka mendapat tambahan semangat disebabkan dukungan dari sektor pemerintah. Sebelumnya bukan mereka tidak perhatian, persisnya mereka tidak tahu kemana akan berkomunikasi untuk memastikan pelaksanaan UU Desa. Dukungan dari program ini memompa semangat dan pemerintah daerah menemukan kawan untuk mendorong pelaksanaan UU Desa yang lebih baik.***

90

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

10

Partisipasi Kelompok Penghayat Dalam Perencanaan dan Penganggaran Desa: Upaya Masyarakat Salam Rejo dan Srikayangan Kabupaten Kulonprogo Menagih Tanggung Jawab Desa

D

esa Salam rejo dan Desa Srikayangan adalah desa yang terletak di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulonprogo DIY yang menjadi dampingan dalam Peduli Desa. Inisiatif ini dimulai pada bulan Maret 2016 dijalankan oleh Konsorsium Peduli Desa bekerjasama dengan Civil Society Organization (CSO) lokal yaitu IDEA bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Dari hasil assesmen LKIS di Desa Salamrejo, diidentifikasi bahwa kelompok marginal yang luput dari perhatian pemerintah desa yaitu kelompok penghayat.

Kelompok penghayat sebagai minoritas Penghayat itu pada dasarnya adalah keyakinan paling dalam, paling pribadi. Mereka masih mengikuti kultur religi sosial di masyarakat, seperti shalat dan tahlil. Dalam satu keluarga, belum tentu semuanya penghayat. Sebutan bagi tokoh di kelompok penghayat ini adalah “Sesepuh”. Mereka tergabung dalam paguyuban yang disebut “Majelis Luhur”. Tidak ada rumah ibadah khusus bagi kelompok penghayat, mereka biasanya berkumpul di salah satu rumah anggota dan melakukan ritual sesuai dengan cara mereka. Aliran penghayat ini banyak, ada sapto darmo, tulis tanpo papan, imbal wacono, dll. Jumlah kelompok penghayat di Kabupaten Kulonprogo ± 180 orang dan diantaranya banyak yang berdomisili di Desa Salamrejo.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

91


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Paguyuban Eklasing Budhi Murko (PEBM) merupakan salah satu kelompok penghayat atau dalam bahasa pemerintah disebut sebagai “aliran kepercayaan�. Aliran kepercayaan ini didirikan pada tahun 1926 di Yogyakarta. Pada zaman kejayaannya, sekitar tahun 1960, jumlah penganutnya pernah mencapai ratusan ribu di Indonesia, terutama di Jawa. Namun sejak 1965, karena tekanan politik penganut kepercayaan ini merosot cepat dan hanya dipraktekkan secara diam-diam. Sejak Reformasi, para penganut aliran kepercayaan ini mulai menampakkan dirinya kembali, termasuk PEBM di Kabupaten Kulon Progo. Menurut ketua Paguyuban Eklasing Budhi Murko Kulonprogo, pada saat ini ada sekitar 300 orang anggota yang pernah dicatat, namun hanya 140 orang anggota yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan PEBM. Mayoritas anggota PEBM bertempat tinggal di Kecamatan Sentolo dan kecamatan Wates. Kebanyakan mereka adalah buruh tani, tukang bangunan, pedagang mainan kecil. Perkembangan dan keberlangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas hanya bertahan pada jaringan keluarga, yang juga terus kian melemah akibat berbagai tekanan politik dan sosial. Jumlah mereka sangat kecil dan kerap mendapat tekanan, sebagian kalangan penduduk menganggap mereka sebagai ‘sesat’. Berapa tahun yang lalu, kelompok PEBM selalu mendapat gangguan dalam setiap kali melakukan pertemuan. Gangguan yang bersifat intimidatif yang mengarah pada penyerangan ini mengakibatkan banyaknya anggota tidak lagi aktif mengikuti pertemuan yang dilaksanakan. Dari pengakuan anggota PEBM, keinginan anggota PEBM untuk mencantumkan identitas kepercayaan sebetulnya sudah lama, namun rasa takut dan trauma menjadikan mereka memilih untuk tidak mencatatkan identitas kepercayaannya di kolom KTP. Selain soal pencantuman identitas kepercayaan di KTP, Paguyuban Eklasing Budhi Murka juga belum mendapatkan layanan pendidikan kepercayaan di lembaga-lembaga pendidikan. Selain itu, dalam hal pernikahan, anggota PEBM juga belum mendapatkan fasilitas pencatatan pernikahan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut. Dalam hal perencanaan dan penganggaran desa, kelompok penghayat tidak terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran desa, namun dalam musrenbang kabupaten ada perwakilan PEBM yang diundang.

92

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Melibatkan PEBM dalam Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif Membangun kesadaran kelompok penghayat, di mulai dari pola pikir dan tindakan bahwa mereka memiliki hak untuk aktif berperan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa bukan hal yang mudah. Kelompok penghayat memiliki ketakutan jika eksistensi mereka ditonjolkan karena kekhawatiran akan ada penolakan dari kelompok agama garis keras. Keragu-raguan adalah respon awal dari kelompok penghayat ketika pendamping menjelaskan Peduli Desa yang ingin mewujudkan desa inklusif bagi semua kelompok dan bisa mengakses manfaat dari program dan anggaran yang dikelola oleh pemerintah desa. Dari upaya tersebut, teridentifikasi persoalan yang dihadapi kelompok penghayat yaitu di Kabupaten Kulon Progo ada Surat Edaran Bupati yang memberikan kewenangan kepada kelompok penghayat untuk mengosongkan kolom agama di KTP. Dari sekitar180 kelompok penghayat, baru dua orang yang berani mengosongkan kolom agama. Selebihnya mereka masih mencantumkan salah satu agama di KTP. Hal ini bukan tanpa alasan, karena mereka harus menanggung konsekuensi yang berat, misalnya ketika anaknya akan menikah, belum ada payung hukum yang mengatur pernikahan kelompok penghayat. Kemudian pelajaran agama di sekolah, Dinas Pendidikan belum memiliki aturan bagi siswa dari kelompok penghayat. Jadi memang kebijakan pemerintah seharusnya utuh, tidak setengah-setengah untuk mengatur seluruh kehidupan mereka. Berbagai upaya dilakukan oleh pendamping lokal untuk meyakinkan mereka, mengenali mereka lebih dalam, mulai dari kunjungan dari rumah ke rumah, diskusi, serta mengikutsertakan mereka dalam workshop, pelatihan, dan deklarasi kerukunan umat beragama. Ketika pendamping LKIS dan IDEA membawa isu ini ke tataran pemerintahan desa, awalnya agak resisten bahkan sempat jadi polemik, mempertanyakan kenapa yang didampingi LKIS adalah kelompok penghayat. Kemudian ada respon kecemburuan dari kelompok lain yang belum familiar dan belum bisa menerima kultur kelompok penghayat. Tapi pada akhirnya, hambatan ini bisa dilalui dengan terus berkomunikasi dengan pemerintahan desa dan seluruh elemen yang ada di desa.

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

93


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

Serangkaian proses dilakukan, mulai dari pemetaan masalah, potensi dan kebutuhan. Salah satu kebutuhannya adalah perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang kelompok penghayat agar bisa diterima dengan baik dalam proses perencanaan dan penganggaran desa. Kelompok penghayat, pertama kalinya ikut musyawarah desa atau musrenbang desa Tahun 2016 membahas Rencana Kerja Pembangunan Desa tahun 2017. Secara singkat proses mendorong perubahan yang terjadi di kelompok penghayat dapat dilihat dapat dilaksanakan dalam dua tahap. Pertama adalah memunculkan kesadaran kelompok penghayat untuk berpartisipasi dalam setiap tahap penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Upaya memunculkan kesadaran ini dilakukan dengan membangun kesadaran individu lalu kesadaran kelompok bahwa partisipasi merupakan hak semua warga Negara tanpa kecuali. Kedua, membangun kesadaran kelompok lain bahwa partisipasi merupakan hak semua warga Negara tanpa kecuali. Kelompok lain yang dimaksud adalah pemerintah desa serta kelompok masyarakat di luar kelompok penghayat. Untuk mendorong kesadara kelompok lain ini bisa dilakukan dengan pendekatan informal dan nonformal. Setelah kesadaran kelompok penghayat dan kelompok lain terbangun selanjutnya adalah melaksanakan advokasi perencanaan dan penganggaran desa. Upaya advokasi itu pertama kali dijalankan dengan pengorganisasian kelompok penghayat, setelah itu mereka dilatih mengenai perencanaan dan penganggaran desa, lalu diajak untuk memetakan masalah yang berkembang dan dikaitkan dengan kondisi dan kebutuhan komunitas. Setelah itu tahap selanjutnya adalah membangun relasi yang positif antara kelompok penghayat dengan pemerintah desa secara formal dan non formal dan terakhir adalah pengawalan usulan kelompok minoritas melalui musyawarah dusun dan musyawarah desa mengenai perencanaan dan penganggaran. Melalui pendampingan Peduli Desa para kelompok penghayat menyampaikan aspirasinya di forum-forum pembahasan perencanaan desa. Menurut Kades Srikayangan kegiatan ini banyak manfaatnya, yang awalnya belum sempat terpikirkan oleh Pemerintah Desa, melalui keterlibatan kelompok marginal ini ruang akses bagi mereka dibuka oleh Pemerintah Desa. Namun, masih ada tantangan yang dihadapi karena keterlibatan kelompok penghayat di desa Sri kayangan belum banyak, karena mereka belum berani menunjukkan

94

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

keberadaan kelompoknya. Keterlibatan penghayat dalam proses perencanaan belum mengatasnamakan atau menyampaikan kepentingan khusus kelompok penghayat. Oleh karena itu perlu penguatan terhadap kelompok marjinal.

Program Pembangunan Desa Bagi Kelompok Penghayat Secara program tidak ada program khusus bagi kelompok penghayat, akan tetapi masyarakat penghayat menerima manfaat dari program-program lainnya. Berdasarkan Dokumen Rancangan Peraturan Desa Salamrejo Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan APBDesa Tahun Anggaran 2016 Tertanggal 27 September 2016, diidentifikasi bahwa program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang penerima manfaatnya masyarakat penghayat yaitu, pertama, program pembinaan umat beragama. Kedua, pembinaan kelompok kesenian. Ketiga, pengerasan lantai Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan keempat, pembangunan jamban komunal dengan nilai total kurang lebih Rp.61.000.000 Sedangkan di Desa Sri Kayangan, beberapa progam pembangunan desa yang penerima manfaatnya adalah kelompok penghayat yaitu. Pertama, Bantuan RTLH.Kedua, pembangunan Jamban umum. Ketiga, pembelian peralatan pelayanan Kesehatan Desa. Berdasar atas kebutuhan kelompok penghayat dan melihat program yang diusulkan sebelumnya, usulan yang penerima manfaatnya kelompok marginal berdasarkan hasil Musrenbang RKPDesa 2017 di Desa Srikayangan yaitu: Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa, terdiri dari: RTLH Pedukuhan 1-15, Lantainisasi Pedukuhan 1-15, Jambanisasi Pedukuhan 1-15, Pembinaan Rois dan Prodiakon, Pembinaan Seni dan Budaya, Penguatan modal koperasi Kelompok, Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, terdiri dari: Pelatihan Menjahit PKK Pedukuhan, Pelatihan Memasak Ibu-Ibu PKK, Pelatihan pembuatan aneka kue kering, Pelatihan Posyandu, Pelatihan Pembuatan Pupuk Kandang, Pembuatan Pupuk Organik, Pelatihan Pembuatan Alat Pengendali Hama, Pelatihan Pembuatan Biogas, Pelatihan Budidaya tanaman secara organik, Pelatihan pembuatan pelet apung, Pelatihan pembuatan pakan ternak fermentasi, Pelatihan budidaya ikan.***

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

95


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

11

Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu Menuntut Perbaikan Pelayanan Dasar: Upaya Warga Desa Ngrejo Kabupaten Blitar Menuntut Tanggung Jawab Desa

P

ada bulan Maret 2016, The Post Institute (TPI) Blitar dan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta melaksanakan serangkaian assessment terhadap pemerintah desa di Desa Ngrejo dan Lorejo, Kecamatan Bakung serta Desa Pasiraman dan Tambak Rejo di Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur dan komunitas terekslusi yang merupakan korban pelanggaran HAM tahun 1965 di empat desa tersebut. Assessment di laksanakan dalam bentuk diskusi dengan pemerintah desa dan kelompok masyarakat korban pelanggaran HAM tahun 1965. Hampir semua pemerintah desa merasa kapasitas mereka dalam pengurusan pelaksanaan pemerintahan desa masih lemah dan sangat membutuhkan peningkatan kapasitas terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran desa. Salah satu faktor yang mendorong hal ini karena minimnya sosialisasi serta bimbingan teknis mengenai perencanaan dan penganggaran dari pihak Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BAPEMAS) Kabupaten Blitar. Dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa, kelompok terekslusi dan kelompok masyarakat lainnya tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan dan penganggaran desa dan juga tidak pernah tahu apa manfaat undang-undang desa bagi mereka. Dalam kegiatan assessment, kelompok terekslusi dan masyarakat ingin mengetahui dan memahami bagaimana proses penyusunan kebijakan di desa terutama yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran desa. Bagi kelompok terekslusi dan masyarakat hal ini perlu karena selama ini mereka penasaran hampir setiap usulan dari mereka jarang yang diakomodir oleh pihak desa.

96

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Dari kegiatan assement ini di ketahui bahwa korban pelanggaran HAM tahun 1965 yang tersisa di Desa Ngrejo berjumlah 18 orang, Lorejo 12 orang, Pasiraman 23 orang dan Tambak Rejo 27. Tujuh puluh persen kelompok tereksklusi berjenis kelamin laki-laki dan merupakan lansia dan hampir semuanya suda tidak bekerja.

Meningkatkan Kapasitas Pemerintah Desa, Mendorong Partisipasi Kelompok Tereksklusi Untuk menjawab hal tersebut, dilaksanakan beberapa tahap kegiatan yaitu; Pertama, lokakarya mengenai teknis penyusunan dokumen perencananaan dan penganggaran bagi empat pemerintah desa dan kelompok tereksklusi di empat desa. Kedua, pelatihan penyusunan dan penyampaian usulan kebutuhan warga masyarakat secara umum dan kelompok tereksklusi di empat desa. Ketiga, asistensi teknis kepada pemerintah desa. Semua rangkaian kegiatan tersebut dilaksanakan dalam kurun waktu april-september 2016 Pada pelaksanaanya ke empat desa sasaran program tidak bisa mengikuti setiap rangkaian kegiatan dengan maksimal. Alasan dari desa-desa tersebut karena mereka sedang disibukan oleh pembuatan laporan pertanggungjawaban penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) tahap pertama. Kebanyakan desa akan segera menyusun dokumen RKPDesa dan APBDesa tahunn 2016 setelah mereka selesai membuat laporan pertanggungjawaban tersebut. Berbeda dengan desa lain, pemerintah desa Ngrejo Kecamatan Bakung bersedia untuk untuk mengikuti setiap tahap demi tahap kegiatan dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Namun pihak pemerintah desa mewanti-wanti sejak awal bahwa mereka tidak mau diajak berdiskusi masalah pendanaan usulan setiap program yang masuk. Hal ini disebabkan karena pihak desa sampai dengan bulan September 2016 belum mengetahui berapa pagu anggaran pasti ADD dan DD yang akan diterima. Sementara itu, kelompok masyarakat tereksklusi di ke empat desa bersedia untuk berpartisipasi dalam setiap tahap kegiatan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa. Hal ini dilatar belakangi oleh keinginan mereka agar kebutuhan mereka dapat dipenuhi sekaligus untuk mencari

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

97


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

jawaban kenapa selama ini usulan mereka jarang yang diakomodasi oleh pihak desa. Berdasarkan kondisi tersebut, hampir seluruh tahapan kegiatan dari mulai lokakarya sampai dengan penyusunan daftar kebutuhan di laksanakan di Balai Desa Ngerejo Kecamatan Bakung. Dalam setiap tahapan kegiatan, kelompok tereksklusi dari Desa Ngerejo selalu hadir dan berpartisipasi secara aktif. Namun kelompok tereksklusi dari desa lain tidak selalu hadir karena kendala jarak dan kesehatan karena semua kelompok terekslusi adalah lansia. Dari semua tahapan kegiatan, pada kegiatan pelatihan penyusunan usulan program prioritas untuk dokumen RKPDesa dan APBDesa merupakan tahapan yang paling antusias diikuti oleh kelompok tereksklusi . Kegiatan ini menjadi kegiatan yang paling antusias karena pada kegiatan ini dilaksanakan diskusi dan simulasi kelompok dalam menyusun usulan program prioritas. Sesi simulasi kelompok merupakan sesi yang paling antusias di ikuti oleh kelompok terekslusi karena hasil dari simulasi ini disepakati akan dijadikan sebagai usulan program prioritas dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa Desa Ngerejo tahun 2016. Dalam tahapan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran ini, usulan dalam simulasi tersebut dianggap sebagai usulan dari dusun yang biasa dihasilkan dari proses musyawarah dusun. Selain itu, dalam kegiatan ini juga pemerintah desa diundang sebagai panitia penyelenggara peserta pelatihan sehingga kelompok tereksklusi semangat karena usulan mereka langsung di dengar dan direspon oleh pemerintah desa. Bagi kelompok tereksklusi, kerjasama penyelenggaraan kegiatan antara pemerintah desa dengan TPI merupakan hal penting karena dengan adanya kehadiran organisasi pendamping menjadikan kelompok teresklusi menjadi lebih percaya diri dan berani untuk mengemukakan pendapat karena kehadiran organisasi pendamping lebih pro terhadap kelompok yang terekslusi. Tahapan kegiatan setelah kegiatan penyusunan usulan program prioritas tersebut tidak terlalu antusias diikuti oleh kelompok tereksklusi karena kegiatan selanjutnya lebih kepada mengarahkan pemerintah desa untuk dapat menyusun dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa yang sesuai aturan dan pro terhadap kelompok marjinal.

98

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

bagian

2

Agar asistensi teknis ini berkualitas dan pro terhadap kelompok tereksklusi , asistensi teknis ini dilakukan melalui diskusi terfokus dengan fasilitator dari TPI dan narasumber dari TPI dan BAPEMAS Kabupaten Blitar yang dilaksanakan bulan agustus tahun 2016. Dalam sesi diskusi asistensi teknis tersebut, narasumber dari TPI memaparkan pentingnya meningkatkan partisipasi dan mengakomodir kebutuhan kelompok tereksklusi yang di usulkan melalui pelatihan penyusunan program prioritas di waktu sebelumnya. Sedangkan narasumber dari BAPEMAS menitik beratkan pada langkah-langkah dan aturan teknis serta konsistensi antara dokumen RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa. Karena Desa Ngerejo sudah mempunyai dokumen RPJMDesa periode 20132018 maka pada salah satu sesi asistensi teknis, dilakukan simulasi bagaimana menyusun konsistensi RPJMDesa dengan RKPDesa dan APBDesa. Setelah sesi asistensi teknis ini selesai pihak pemerintah desa akan segera menyusun dokumen RKPDesa dan APBDesa yang konsisten dengan RPJMDesa dan lebih pro terhadap kelompok tereksklusi di Desa Ngerejo. Pada proses berikutnya ketika fasilitator dari TPI mengajak pihak Pemerintah Desa Ngerejo untuk diskusi penyusunan RKPDesa dan APBDesa tahun 2016. Namun ketika akan diajak langsung pada teknis penyusunan dokumen RKPDesa dan APBDesa tersebut pihak pemerintah desa Ngerejo menolak karena mereka harus terlebih dahulu menyelesaikan pembuatan laporan pertanggung jawaban penggunaan ADD dan DD dan juga belum mengetahui mengenai pagu anggaran yang akan diterima. Namun demikian, pihak desa Ngerejo mengeluarkan komitmen secara lisan bahwa akan mengakomodir kebutuhan masyarakat secara umum dan kelompok tereksklusi secara khusus. Namun sejauh ini baru komitmen lisan yang bisa diberikan karena komitmen secara tertulis melalui penyusunan dokumen RKPDesa dan APBDesa akan dibuat setelah pihak desa mengetahui pagu anggaran yang akan diterima.

Menuntut Pembangunan Fisik Hingga Pelayanan Kesehatan Dasar Dari usulan program prioritas yang dibuat dalam sesi pelatihan penyusunan program usulan prioritas, mayoritas usulan masyarakat dan kelompok terekslusi

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

99


bagian

2

Praktek-Praktek Pendampingan Kelompok Tereklusi

masih memprioritaskan program pembangunan fisik sebagai yang utama. Program pembangunan fisik tersebut berupa pembangunan jalan gang antar rukun warga. Di luar usulan pembangunan fisik tersebut, kelompok masyarakat umum mengusulkan beberapa program prioritas yaitu, pelatihan wirausaha bagi pemuda dan menjahit bagi kelompok perempuan di desa. Pelatihan wirausaha usaha bagi para pemuda ini ditujukan agar para pemuda mempunyai usaha sendiri di kampung sehingga tidak pergi merantau ke luar kota. Sedangkan bagi kelompok perempuan, pelatihan menjahit menjadi penting agar mereka punya aktiivitas yang menghasilkan uang tambahan bagi kelompok perempuan terutama bagi yang sudah berumah tangga. Usulan dana untuk pelatihan wirausaha muda dan pelatihan menjahit ini kurang lebih sebesar Rp.3.000.000. Untuk kelompok yang terekslusi secara khusus mereka meminta diadakannya penambahan anggaran posyandu khusus lansia yang memberikan pelayanan cek kesehatan dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) serta pengadaan peralatan dan perlengkapan olah raga senam. Di Desa Ngerejo pemberian makanan tambahan ini tidak wujudkan dalam pemberian makanan tambahan seperti dilakukan di posyandu lainnya. PMT di Desa Ngerejo dilaksanakan dengan bentuk pemberian beras sebanyak lima kilogram kepada para lansia ketika mereka di cek kesehatannya di posyandu satu bulan sekali. Untuk kegiatan PMT ini mereka mengusulkan penambahan anggaran sebanyak satu juta rupiah menjadi sepuluh juta rupiah yang asalnya Sembilan juta rupiah selama satu tahun. Sedangkan fasilitas perlengkapan senam diminta kepada pihak desa karena semua kelompok tereksklusi merupakan lansia yang membutuhkan olahraga senam sebagai salah satu upaya menjaga kesehatan mereka. Perlengkapan senam yang dimaksud adalah seperangkat pengeras suara***

100

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Pendahuluan

BAGIAN

bagian

1

3

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif: Beberapa Pelajaran Penting Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

101



Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif: Beberapa Pelajaran Penting

bagian

3

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif: Beberapa Pelajaran Penting

D

ari tulisan sebelas daerah di atas, ada beberapa poin pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai bahan belajar dan refleksi pelaksanaan pendampingan desa menuju desa yang inklusif. Beberapa poin pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, cukup banyak kasus ekslusi yang terjadi karena pengabaian dan ketidakpedulian warga dan pemerintah bukan karena stigma negatif yang terlalu kuat, namun disebabkan oleh hal lain. Misalnya, ketiadaan data akurat yang dimiliki pemerintah mengenai kondisi kelompok disabel. Pada prakteknya hal ini berdampak pada kurangnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah mengenai kondisi terkini kelompok disabel tersebut. Selain itu, tidak pernah dilibatkannya kelompok difabel dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran menjadikan kelompok difabel lebih tereksklusi. Kedua, kelompok tereksklusi tidak dapat langsung berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan, dalam beberapa kasus, perlu didampingi dalam prosesnya. Untuk mendorong kelompok difabel dapat berpartisipasi mereka terlebih dahulu harus di fasilitasi diskusi intensif antara mereka sendiri, lalu berdialog dengan anggota keluarga, warga masyarkat lain dan pemerintah. Untuk kelompok anak, untuk dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran mereka perlu diwakili oleh kelompok masyarakat lainnya. Khusus untuk kelompok difabel rungu dan netra perlu diampingi dalam mengikuti tahapan kegiatan partisipatif. Ketiga, Proses perencanaan dan penganggaran desa dan daerah yang panjang dan rumit membuat proses partisipatif sulit dilakukan. Beberapa hal kesulitan tersebut dapat digambarkan dalam berapa hal. Misalnya dalam peraturan. Dalam kerangka peraturan telah tersedia kerangka peraturan yang menjamin kelompok terekslusi namun peraturan tersebut tidak sepenuhnya ekplisit

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif

103


bagian

1

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif: Beberapa Pelajaran Penting

menyebutkan kelompok tereksklusi yang dimaksud. Padahal dalam kenyataan kelompok tereksklusi tersebut mempunyai karakteristiknya sendiri-sendiri yang spesifik. Selain itu, walaupun kelompok tereksklusi berhasil memasukan usulan kegiatan, namun perlu waktu dan alur yang berbelit untuk merealisasikan program dan kegiatan tersebut. Keempat, Peningkatan APB Desa yang melonjak pada tahun 2015 dan 2016 telah membuka kesempatan yang lebih luas untuk mengakomodasikan kebutuhan kelompok tereksklusi . Namun, pada masa transisi 2015, pemerintah desa merasa bahwa tingkat kepastian pencairan Dana Desa serta Alokasi Dana Desa dan Bagi Hasil Pajak/Retribusi dari APBD kabupaten rendah, sehingga cenderung tertutup untuk memberikan informasi APB Desa. Selain itu, adanya regulasi yang tidak sepenuhnya selaras dan tersampaikan dengan baik kepada aparat desa menambah “keraguan� pemerintah desa untuk mengalokasikan dan membelanjakan anggaran desa. Kelima, proses non formal, seperti pertemuan langsung antara kelompok yang tereksklusi dengan kepala dan aparat desa dan kabupaten-penting untuk menguatkan dan menyiapkan proses formal seperti musyawarah desa dan musyawarah untuk pembangunan desa. Keenam, kolaborasi antara pemerintah kabupaten dan desa, antara masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, sangat penting untuk mengakselerasi pelaksanaan undang-undang desa yang inklusif. Ketujuh, strategi pendampingan untuk perubahan sosial di setiap daerah tidak bisa sama. Hal ini dipengaruhi ole konteks sosial politik, pengabaian, pengetahuan, kesadaran dan keberpihakan pimpinan desa dan daerah, status pengesahan dokumen perencanaan yang berbeda-beda, dan kondisi geogerafis daerah yang jauh dan terpencil sulit diakselerasi. Dalam konteks mewujudkan perencanaan dan penganggaran desa yang inklusif, ketujuh pembelajaran diatas merupakan catatan penting yang harus diperhatikan dengan seksama. Ke tujuh poin pembelajaran tersebut secara sederhana menjadi bahan refleksi bersama bagi semua bahwa untuk mewujudkan perencanaan dan penganggaran desa yang inklusif bukan merupakan pekerjaan mudah semudah membalikan telapak tangan. Perlu upaya yang serius dan konsisten dalam mewujudkan perencanaan dan penganggaran desa yang inklusif. ***

104

Mewujudkan Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Inklusif


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.