17 panduan pelatihan pabrik pengolahan rotan

Page 1

02 SERI BUKU

R O TA N

Pa ndua n Pe lat ih a n

PABRIK PENGOLAHAN ROTAN T R A I N I NG

F OR

T R A I N E R

Penulis: Yuli Irianto | Mokhamad Ikhsan | Muhamad Khais Prayoga | Aang Kusmawan

Social Economic Development Institute



---- PANDUAN PELATIHAN ----

PABRIK PENGOLAHAN ROTAN


PANDUAN PELATIHAN PABRIK PENGOLAHAN ROTAN Koordinator Penyusun: Pius Widiyatmoko Tim Penulis: Yuli Irianto, Mokhamad Ikhsan, Muhamad Khais Prayoga, Aang Kusmawan Reviewer: Juandi, Budiarti Utami Putri Penyunting Bahasa: Nurdini Pamuntjak, Budiarti Utami Putri Desain dan Tata Letak: Pieter P. Setra Perpustakaan Nasional: PANDUAN PELATIHAN PABRIK PENGOLAHAN ROTAN INISIATIF - Bandung, 2017, 25x20cm; 126 hal Hak Cipta dilindungi Undaang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi manual ini tanpa seizin penerbit


KATA PENGANTAR

D

alam rangka mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat, Perkumpulan Inisiatif bersama Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM), Serikat Perempuan Bonehau (SPB) dan Sande’ Institute membentuk sebuah wadah yang bernama Konsorsium Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Mamuju (PSDABM-M).

Melalui Konsorsium PSDABM-M ini, berbagai bentuk kerja sama dilakukan untuk menciptakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, terutama diwujudkan dalam bentuk pengelolaan rotan yang tumbuh di hutan sekitar lingkungan masyarakat Desa Hinua, Bonehau dan Tamalea di Kabupaten Mamuju serta pengolahan rotan Agar masyarakat mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam hal pengelolaan rotan dan hutan yang berkelanjutan serta pengolahan rotan menjadi bahan baku atau barang jadi, maka upaya peningkatan kapasitas merupakan hal penting untuk dilakukan. Pengetahuan dan keterampilan mengelola tanaman rotan dan cara memanen yang baik serta mengolah hasilnya akan menjadi kontribusi yang positif terhadap keberlanjutan rotan dan hutan tersebut. Dalam konteks demikian, paket buku panduan dan modul ini dikembangkan oleh Konsorsium PSDABM-M. Paket buku pelatihan ini diharapkan dapat menjadi navigasi bagi konsorsium sendiri dan masyarakat sekitar dalam upaya mewujudkan pengelolaan dan pengolahan rotan yang berkelanjutan. Buku panduan dan modul ini terbagi ke dalam 3 paket besar yaitu, pembibitan, budidaya dan panen, pabrik pengolahan rotan serta industri rumahan (home industry). Ketiganya merangkum proses penanaman rotan hingga pengolahan panennya menjadi bahan baku sampai barang jadi siap pakai. Penyusunan paket buku panduan dan modul ini telah dilaksanakan dengan proses dan tahapan yang penuh dengan kehati-hatian dan sungguh-sungguh. Di awal proses penyusunan digelar lokakarya mini untuk menyamakan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

5


pemahaman dan persepsi mengenai pengelolaan rotan yang berkelanjutan antara penulis dengan pengelolaan program. Kedua, pasca lokakarya mini yang output-nya adalah kisi-kisi penulisan paket buku modul dan panduan, kegiatan dilanjutkan dengan penulisan draft paket panduan dan modul lalu di-review melalui lokakarya pembahasan draft paket. Ketiga, agar penyusunan paket buku modul dan panduan ini tepat sasaran selanjutnya dilaksanakan pelatihan uji coba dengan peserta utama dari komunitas masyarakat di 3 desa tempat pelaksanaan program, pemerintah Kabupaten Mamuju serta reviewer proses pelatihan. Pasca ujicoba berbagai masukan diolah untuk menyempurnakan materi. Dan akhirnya setelah melalui proses yang bertahap tadi, paket buku panduan dan modul ini berhasil diselesaikan dan siap menjadi bahan peningkatan kapasitas masyarakat di 3 desa dalam hal pengelolaan rotan yang berkelanjutan. Namun demikian, walaupun paket buku panduan dan modul ini telah dibuat dengan semaksimal mungkin, kekeliruan dalam beberapa hal masih mungkin terjadi. Berdasarkan hal itu, berbagai saran, kritikan dan masukan konstruktif untuk penyempurnaan akan selalu terbuka. Terakhir, sebagai sebuah dokumen yang disusun dengan melibatkan banyak pihak tentu saja ucapan terimakasih layak ditujukan kepada mereka yang telah bersedia untuk terlibat. Kepada para penulis, reviewer, penyunting bahasa, dan masyarakat di 3 desa serta perwakilan dari Pemerintahan Kabupaten Mamuju diucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Dan juga pihak MCA-Indonesia yang memberikan dukungan pendanaan konsorsium. Semoga kehadiran paket buku panduan dan modul ini mampu menjadi sumbangsih yang berarti untuk menciptakan pengelolaan dan pengolahan rotan yang berkelanjutan di Indonesia.

Bandung, Maret 2017 Konsorsium Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat - Mamuju (PSDABM-M) Perkumpulan Inisiatif, Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM), Sande’ Institut, Serikat Perempuan Bonehau (SPB)

6

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR _______________________________________________________________5 DAFTAR GAMBAR _______________________________________________________________10 DAFTAR TABEL _________________________________________________________________12 BAB I - PENDAHULUAN _________________________________________________________15 BAB II - PABRIK BAHAN BAKU ROTAN ____________________________________________17 A. Kondisi Lingkungan _________________________________________________________17 B. Konsep Pabrik ______________________________________________________________20 C. Infrastruktur Pabrik __________________________________________________________21 1. Prinsip Pembuatan Tata Letak ______________________________________________22 2. Pola Aliran Material _______________________________________________________25 D. Langkah Umum Pembangunan Pabrik ___________________________________________28 1. Ketersediaan Modal _______________________________________________________28 2. Perancangan Produk ______________________________________________________29 3. Perencanaan Volume Penjualan _____________________________________________29 4. Pemilihan Proses Produksi __________________________________________________29 5. Analisis Buat atau Beli (Make or Buy Analysis) ___________________________________30 6. Ukuran Pabrik (Plant Size) __________________________________________________30 7. Harga Jual Produk ________________________________________________________30 8. Lokasi Pabrik (Plant Location) _______________________________________________30 9. Kemungkinan Diversifikasi Produk ___________________________________________31 10. Pertumbuhan dan Perkembangan Organisasi Pabrik (Organizational Development) ____31

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

7


E. Kebutuhan Permesinan ______________________________________________________31 11. Mesin Utama ____________________________________________________________31 12. Mesin Pengolahan Bahan Baku ______________________________________________34 BAB III - SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PABRIK ______________________38 BAB IV - PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN ___________43 A. Pengolahan Rotan menjadi Bahan Mentah _______________________________________43 1. Persiapan _______________________________________________________________44 2. Penggorengan ___________________________________________________________45 3. Penggosokan dan Pencucian _______________________________________________50 4. Peruntian _______________________________________________________________51 5. Pengeringan ____________________________________________________________52 6. Pengasapan _____________________________________________________________56 7. Pemutihan ______________________________________________________________58 B. Pengolahan Rotan Asalan Kering menjadi Bahan Baku ______________________________60 1. Sortasi __________________________________________________________________61 2. Pemotongan ____________________________________________________________61 3. Scrapping _______________________________________________________________62 4. Poles ___________________________________________________________________62 5. Pembuatan Core dan Fitrit _________________________________________________62 6. Pembuatan Peel _________________________________________________________ 62 7. Pengawetan _____________________________________________________________63 a) Organisme Perusak Rotan ______________________________________________64 b) Bahan Pengawet ______________________________________________________68 c) Teknik Pengawetan ___________________________________________________71

8

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


8. Pengemasan ____________________________________________________________77 9. Pengangkutan ___________________________________________________________78 C. Pengelolaan Bahan Baku ______________________________________________________79 1. Penggolongan Hasil Rotan _________________________________________________79 2. Penyimpanan Bahan Baku _________________________________________________82 D. Pengendalian Mutu __________________________________________________________82 E. Pemilihan Bahan Bakar dan Penanganan Limbah __________________________________87 1. Pemilihan Bahan Bakar ____________________________________________________87 2. Penanganan Limbah ______________________________________________________90 BAB V - MANAJEMEN PEMBIAYAAN ______________________________________________93 1. Biaya Investasi ___________________________________________________________95 2. Biaya Operasional ________________________________________________________97 3. Laba Rugi ______________________________________________________________100 4. Analisis Finansial ________________________________________________________102 BAB VI - LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN ________________________________108 A. Bentuk Usaha Pengolahan Rotan ______________________________________________108 1. Commanditaire Vennootschap (CV) _________________________________________108 2. Perseroan Terbatas (PT) __________________________________________________113 3. Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) __________________________________________113 4. Koperasi _______________________________________________________________115 B. Izin Usaha Pengolahan Rotan _________________________________________________118 DAFTAR PUSTAKA ____________________________________________________________121

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

9


DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh ARC ______________________________________________22 Gambar 2. Contoh ARD ______________________________________________24 Gambar 3. Contoh ATBD _____________________________________________24 Gambar 4. Pola aliran garis ___________________________________________25 Gambar 5. Pola aliran bentuk U _______________________________________25 Gambar 6. Pola aliran zigzag __________________________________________26 Gambar 7. Pola aliran bentuk lingkaran _________________________________26 Gambar 8. Pola aliran tidak tentu ______________________________________26 Gambar 9. Tingkat hubungan antar-aktivitas di pabrik pengolahan rotan ______28 Gambar 10. Contoh gambar tata letak pabrik ____________________________28 Gambar 11. Mesin Fitrit dan Rotan Fitrit Core ____________________________32 Gambar 12. Mesin Sandid Peel dan Rotan Sega ___________________________32 Gambar 13. Mesin Amplas Rotan _______________________________________33 Gambar 14. Mesin Potong Rotan _______________________________________33 Gambar 15. Mesin Split Rotan _________________________________________34 Gambar 16. Mesin Pembelah Rotan Ukuran Besar _________________________35 Gambar 17. Mesin Semi Poles _________________________________________36 Gambar 18. Mesin Gergaji Rotan _______________________________________36 Gambar 19. Mesin Dowel _____________________________________________37 Gambar 20. Mesin Pelurus Rotan ______________________________________37 Gambar 21. Belanga Penggorengan Rotan _______________________________37 Gambar 22. Penumpukan rotan segar di hutan ___________________________45

10

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


Gambar 23. Rotan ditindih dengan pemberat saat digoreng _________________46 Gambar 24. Unit penggorengan rotan __________________________________46 Gambar 25. Pengeringan rotan kecil secara alami _________________________52 Gambar 26. Pengeringan di tempat teduh di bawah atap ___________________53 Gambar 27. Rumah asap _____________________________________________57 Gambar 28. Hasil produk yang sudah diputihkan _________________________60 Gambar 29. (dari kiri atas ke kanan bawah) Pemotongan, scrapping, pemolesan, pembuatan core dan fitrit, pembuatan peel ____________________63 Gambar 30. Tumpukan rotan segar yang diserang jamur pewarna dan pelapuk _66 Gambar 31. Bubuk rotan basah/pinhole borer (Platypus cyindrus) ____________67 Gambar 32. Bubuk rotan kering ________________________________________68 Gambar 33. Serangan bubuk rotan kering pada rotan ______________________68 Gambar 34. Cara mengemas rotan batang _______________________________77 Gambar 35. Cara mengemas rotan fitrit dan peel __________________________77 Gambar 36. (dari kiri ke kanan) Rotan batang, rotan semi poles, rotan kubu grey _81 Gambar 37. Rotan slimit dan rotan fitrit _________________________________81 Gambar 38. Rotan sebelum direndam (kiri) dan rotan setelah rendaman _______85 Gambar 39. (dari kiri ke kanan) Kulit pecah, mengelupas, dan api-api _________85 Gambar 40. Pecah ujung (kiri) dan parut buaya ___________________________85 Gambar 41. Cacat rotan jamur biru (kiri) dan lubang gerek __________________86 Gambar 42. Jenis limbah gream dan chips dari mesin dowell ________________90

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

11


DAFTAR TABEL Tabel 1. Tingkat kepentingan ARC _______________________________23 Tabel 2. Alasan tingkat kepentingan _____________________________23 Tabel 3. Tata letak fasilitas dan lokasi pabrik bahan baku rotan ________27 Tabel 4. Pertimbangan sumber daya manusia _____________________32 Tabel 5. Perlakuan pengeringan rotan dan hasilnya _________________54 Tabel 6. Kecepatan pengeringan rotan kerik _______________________55 Tabel 7. Pengeringan rotan dengan kilang pengering _______________56 Tabel 8. Jenis bahan pengawet untuk rotan _______________________72 Tabel 9. Efikasi bahan pengawet ________________________________74 Tabel 10. Derajat proteksi bahan pengawet ________________________75 Tabel 11. Mutu rotan berdasarkan ukuran panjang __________________86 Tabel 12. Penerapan mutu rotan berdasarkan cacat ringan ___________86 Tabel 13. Penerapan mutu rotan berdasarkan cacat berat ____________86 Tabel 14. Spesifikasi mesin yang dibantu generator ________________88 Tabel 15. Jenis limbah berdasarkan proses ________________________90 Tabel 16. Parameter awal perhitungan biaya ______________________94 Tabel 17. Biaya investasi _______________________________________96 Tabel 18. Biaya gaji karyawan ___________________________________97 Tabel 19. Biaya perawatan ______________________________________98 Tabel 20. Biaya penyusutan ____________________________________99 Tabel 21. Biaya Operasi ________________________________________99 Tabel 22. Biaya produksi ______________________________________100 Tabel 23. Proyeksi laba rugi ____________________________________101 Tabel 24. Analisis finansial laba rugi _____________________________102 Tabel 25. Contoh analisis pembiayaan pabrik pengolahan rotan _____103

12

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

1

PENDAHULUAN

Kurikulum Pelatihan Pengembangan Industri Rotan Rumahan Modul/Topik Bahasan

Subtopik

1.

Pengantar dan Kontrak Pelatihan

• Persiapan menuju materi pelatihan

Tujuan Belajar

• Peserta dapat memahami tujuan dan agenda pelatihan dan mempersiapkan diri • Perkenalan seluruh untuk mengikutinya peserta, fasilitator, narasumber, dan panitia • Peserta mengenal satu sama lain, membangun suasana • Penentuan kontrak cair, akrab, dinamis, pelatihan dan partisipatif, sehingga dapat bekerja sama dengan baik selama dan setelah pelatihan berlangsung

Proses dan metode Belajar

Materi/Media Belajar

• Permainan perkenalan diri • Curah Pendapat • Diskusi

• Kertas plano

Waktu

PIC

60 Menit

Fasilitator

• Spidol

• Mencapai satu kesepakatan bersama terkait tata tertib pelatihan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

13

FOTO: NET

No.



BAB

1

PENDAHULUAN

BAB I . PENDAHULUAN

R

otan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki prospek cukup tinggi untuk dikembangkan. Secara khusus, rotan bahkan dikenal sebagai primadona HHBK asal Indonesia yang mampu memberikan sumbangan cukup berarti terhadap devisa negara (Januminro, 2000). Data Kementerian Perdagangan RI (2013) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negeri penghasil bahan baku komoditas rotan terbesar di dunia. Diperkirakan hampir setiap tahun ada sekitar 85% bahan baku rotan dari Indonesia yang diserap oleh industri rotan di berbagai belahan dunia. Dengan jumlah tersebut, Indonesia telah memberikan sumbangan sebesar 80% kebutuhan rotan dunia. Probowati & Arkeman (2011) menyebutkan bahwa ketersediaan bahan baku rotan di dalam negeri hanya sekitar 126.000 ton rotan kering. Rotan itu sebagian diekspor dalam bentuk asalan dan rotan setengah jadi, seperti rotan poles, core, fitrit, dan kulit. Ekspor bahan baku rotan pada 2010 mencapai 32.845 ton dengan nilai US$32,35 juta atau sekitar 290 miliar rupiah. Ekspor industri pengolahan tinggal US$57 juta dengan kapasitas terpasang industri di bawah 30%. Penurunan kinerja ekspor industri mebel dan kerajinan rotan dimulai pada 2006. Kinerja sektor ini mencapai US$344 juta, kemudian pada 2007 turun menjadi US$319 juta. Tahun 2008 turun lagi menjadi US$239 juta dan pada 2009 serta 2010 masing-masing turun menjadi US$168 juta dan US$138 juta. Pada bulan Juni 2011, ekspor turun menjadi US$57 juta. Menurunnya nilai ekspor rotan salah satunya disebabkan oleh rendahnya pasokan rotan yang berkualitas tinggi. Maka dari itu perlu dilakukan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan nilai tambah rotan. Kegiatan peningkatan nilai tambah rotan difokuskan pada pengelolaan rotan sejak dipanen, lalu pengolahan menjadi

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

15


BAB

1

PENDAHULUAN

bahan baku dan barang jadi yang siap dijual ke pasaran. Untuk kegiatan ini, perlu dibangun fasilitas pengolahan rotan. Rotan mentah/asalan diolah menjadi bahan baku atau rotan yang siap pakai. Buku panduan ini secara khusus akan membahas pengelolaan pascapanen dan pengolahan rotan hingga menjadi bahan baku. Pengelolaan pascapanen yang tepat diharapkan dapat meningkatkan potensi nilai tambah dari produk rotan itu sendiri. Selanjutnya, bahan baku yang dihasilkan dapat dipasarkan, baik secara lokal untuk para pengrajin rotan rumahan (home industry), nasional, maupun internasional (ekspor).

16

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

BAB II. PABRIK BAHAN BAKU ROTAN A. Kondisi Lingkungan

D

alam perencanaan pembangunan pabrik bahan baku rotan, faktor penting yang harus diperhatikan yaitu lokasi pabrik. Pabrik bahan baku rotan harus berada di lokasi yang strategis dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut, di antaranya jarak dari hutan atau kawasan tempat memanen rotan, iklim, jarak dari lingkungan masyarakat, tenaga kerja, sarana transportasi, kebijakan pemerintah, dan dampaknya pada pencemaran lingkungan. Penentuan lokasi pabrik rotan di wilayah Kabupaten Mamuju menitikberatkan pada biaya transportasi yang rendah. Apabila ada beberapa lokasi alternatif, maka yang dipilih adalah lokasi optimum, yaitu lokasi terbaik yang dianggap menguntungkan secara ekonomi. Berikut ini beberapa hal yang menjadi kriteria dalam menetapkan lokasi pabrik. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki topografi, iklim, dan penduduk yang relatif homogen. Sumber daya atau bahan mentah yang dibutuhkan cukup memadai. Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu, seperti Upah Minimum Regional (UMR). Hanya ada satu jenis alat transportasi. Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarak angkut. Terdapat persaingan antarkegiatan industri. Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

17


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

Apabila persyaratan tersebut dipenuhi maka lokasi pabrik bahan baku dapat ditetapkan. Faktor-faktor yang menjadi kriteria penentuan lokasi pabrik saling terkait satu dengan yang lain, dengan penjelasan sebagai berikut. 1. Sarana Transportasi. Tersedianya sarana transportasi yang baik (darat maupun laut) pada suatu daerah dapat mengatasi kekurangan faktor lainnya di daerah tersebut. Ketersediaan sarana transportasi membuat ongkos angkut bahan mentah, bahan pembantu serta hasil produksi yang berupa bahan baku menjadi lebih murah, sehingga dapat menekan biaya produksi. 2. Utilitas. Setiap pabrik memerlukan utilitas yang berupa air, steam, listrik, bahan bakar, dan faktor sejenis lainnya. Manajemen sumber daya air dan energi harus diterapkan oleh industri. Di tataran teknis, biasanya manajemen energi fokus pada pengeolaan listrik dan bahan bakar agar mampu menekan penggunaan energi. Kegiatan audit energi juga tercakup dalam hal ini, yaitu penyelidikan konsumsi energi secara menyeluruh dan mendetail pada suatu kawasan, untuk menemukan peluang-peluang penghematan energi. Konservasi energi dan air merupakan upaya teknis untuk mencegah penggunan energi dan air yang berlebihan. Air yang digunakan harus memiliki standar kualitas dan kuantitas industri, serta sesuai dengan arahan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) setempat agar tidak mengganggu tata guna air lingkungan. Sementara itu penggunaan listrik menggunakan dua sumber, yaitu jaringan listrik PLN (dengan kisaran daya 10.600–50.000 Va dan didukung oleh generator untuk backup sumber energi. Biaya listrik merupakan salah satu biaya operasional paling besar setelah tenaga kerja, yaitu sekitar 7–10% dari total biaya operasional produksi. 3. Pembangkit Tenaga. Tenaga merupakan komponen biaya utama dalam produksi, biaya tenaga ini dapat mencapai lebih dari 50% ongkos produksi (tergantung dari produksinya). Pabrik yang menghasilkan bahan bakar sebagai hasil sampingan, akan lebih menguntungkan membangun pembangkit tenaga sendiri.

18

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

4. Daerah Pemasaran. Produk yang dihasilkan dari pengolahan rotan di pabrik ini dapat digunakan sebagai bahan baku, baik oleh pabrik lain, industri rumahan (home industry) maupun diekspor. Untuk pemasaran lokal, lokasi pabrik dapat dipilih dekat dengan daerah pemasaran agar biaya transportasinya tidak besar dan tidak membebani biaya produksi. Sementara itu, untuk pemasaran ekspor diperlukan sarana transportasi yang memadai. 5. Iklim. Iklim suatu daerah berpengaruh kepada efektivitas dan efesiensi proses pengolahan rotan hasil panen menjadi bahan baku, serta memengaruhi tingkah laku pekerja dalam melaksanakan aktivitas produksi sehari-hari. 6. Potensi Pembangunan Pabrik. Pabrik biasanya dibangun dalam kapasitas tertentu dan akan diperlukan pengembangan untuk masa yang akan datang. Pembangunan pabrik akan menyebabkan pembangunan pemukiman dan harga tanah meningkat sehingga perlu diperhitungkan kemungkinan perluasan sebelum pabrik dibangun. Area perluasan paling sedikit sama luasnya dengan area proses, kurang lebih lima kali lipat area proses. Pengembangan pabrik yang berada di kota biasanya diperluas ke arah vertikal karena keterbatasan lahan yang tersedia. Sedangkan pabrik yang lokasinya jauh dari pusat kota dapat melakukan pengembangan ke arah horizontal karena lahan untuk perluasan cukup tersedia. 7. Pengendalian Pencemaran. Kegiatan pabrik berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan sekitar. Zat pencemar yang dihasilkan berupa padatan, cairan, dan gas. Oleh sebab itu, pabrik harus menyediakan fasilitas pengolahan dan pembuangan akhir limbah yang memadai agar tidak mencemari lingkungan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

19


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

B. Konsep Pabrik Berdasarkan klasifikasi industri rotan, pabrik pengolahan rotan merupakan manufaktur dasar, yakni mengolah bahan baku rotan asalan menjadi barang setengah jadi. Proses ini diharapkan dapat memberi nilai tambah produk rotan mentah asalan menjadi bahan baku rotan. Menurut banyaknya tenaga kerja, industri pabrik pengolahan rotan diklasifikasikan sebagai berikut. • • • •

Industri besar, apabila mempunyai tenaga kerja sejumlah 100 orang atau lebih. Industri sedang, apabila mempunyai tenaga kerja 20-99 orang. Industri kecil, apabila mempunyai tenaga kerja 5-19 orang. Industri rumah tangga, apabila mempunyai tenaga kerja 1-4 orang.

Sesuai dengan ketentuan Departemen Perindustrian (2009), industri pengolahan rotan terdiri atas: 1. Industri pengolahan rotan hilir, yaitu industri pengolahan rotan yang menghasilkan rotan yang sudah dicuci dan di-belerang (washed and sulfurized), anyaman rotan (webbing), rotan yang sudah ditipiskan (split) dan sejenisnya. Pengerjaan produk rotan olahan ini biasanya melalui proses semi mekanis. 2. Industri furnitur rotan, yaitu industri yang menghasilkan perabotan rumah tangga dari rotan, antara lain sofa, meja, kursi, lemari, buffet, dan sejenisnya. Pengerjaan produk pada industri furnitur rotan sebagian besar semi mekanis, sedangkan desainnya biasanya banyak terinspirasi dari muatan lokal atau berdasarkan permintaan konsumen. 3. Industri barang-barang kerajinan dari rotan, yaitu industri yang menghasilkan produk barang kerajinan rotan berdasarkan desain kearifan lokal. Pengerjaan produk pada industri ini umumnya tradisional buatan tangan (hand-made products).

20

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pabrik pengolahan rotan termasuk jenis industri pengolahan hilir. Rotan olahan hasil industri ini diharapkan dapat diserap industri furnitur atau sentra kerajinan rotan yang ada di dalam maupun luar negeri. Ditilik dari segi sistem dan teknologi produksi, pabrik pengolahan rotan termasuk industri manufaktur dasar dengan skala kecil, yakni 5-19 tenaga kerja yang mengoperasikan pabrik dalam durasi kerja 6 jam/hari (1 shift).

C. Infrastruktur Pabrik Proses pengolahan rotan menjadi bahan baku memerlukan beberapa tahapan. Tahapan dimulai dari proses pengolahan pascapanen menjadi bahan mentah, kemudian diolah lagi hingga menjadi bahan baku. Oleh sebab itu, infrastruktur pabrik pun harus disiapkan untuk dapat memfasilitasi seluruh proses tersebut. Tahap awal yang harus dipertimbangkan saat mendirikan sebuah pabrik pengolahan rotan adalah bagaimana merancang gedung yang akan dibangun sehingga proses produksi dapat berjalan secara efisien dan terintegrasi dengan divisi pendukung lainnya. hal ini sejalan dengan pendapat Mayer dalam bukunya Plant Layout and Material Handling (1993: 1) yang mengatakan bahwa tata letak pabrik adalah pengorganisasian fasilitas fisik perusahaan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan peralatan, bahan, orang, dan energi. Muther (1995) menyatakan bahwa dalam merancang tata letak pabrik terdapat 6 hal dasar yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Prinsip integrasi secara total. Tata letak pabrik merupakan integrasi secara total, maka seluruh elemen produksi yang ada menjadi satu unit operasi yang besar. 2. Prinsip jarak perpindahan bahan minimal. Waktu perpindahan dapat dihemat dengan memposisikan ruang proses secara linier atau dan sedekat mungkin. 3. Prinsip aliran proses kerja. Dasar prinsip ini yaitu menghindari gerak balik (backtracking), gerak memotong (cross-movement), kemacetan (congestion), dan sedapat mungkin material bergerak terus tanpa ada gangguan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

21


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

4. Prinsip pemanfaatan ruang. Prinsip ini mempertimbangkan aspek volume (cubic space) dan aspek luas (floor space). Prinsip ini juga mempertimbangkan faktor manusia, bahan baku, dan peralatan penunjang produksi lainnya. 5. Prinsip fleksibilitas. Prinsip ini sangat diperlukan karena pada era modernisasi seperti ini perkembangan terjadi begitu pesat, sehingga tata letak yang fleksibel penting agar penyesuaian atau relayout dapat dilakukan dengan cepat dan murah ketika dibutuhkan. 6. Prinsip kepuasan dan keselamatan kerja. Keselamatan kerja jelas merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan dalam merancang tata letak pabrik. Sementara itu, faktor kepuasan kerja akan mendatangkan keuntungan jika diperhatikan dengan baik, misalnya mendorong loyalitas dan prestasi pekerja.

1. Prinsip Pembuatan Tata Letak •

Activity Relationship Chart (ARC). Activity Relationship Chart (ARC) adalah peta yang menggambarkan tingkat hubungan antar bagian-bagian atau kegiatan yang terdapat dalam suatu perusahaan industri. Teknik ini dikemukakan oleh Richard Muther yang mengatakan bahwa “Hubungan antar-aktivitas ditunjukkan dengan tingkat kepentingan hubungan antar-aktivitas.�

Gambar 1. Contoh ARC

22

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

Tabel 1. Tingkat kepentingan ARC No

Tingkat kepentingan

Kode

Warna

1

Mutlak perlu didekatkan

A

Merah

2

Sangat penting untuk didekatkan

E

Kuning

3

Penting untuk didekatkan

I

Hijau

4

Biasa

O

Biru

5

Tidak penting

U

Putih

6

Tidak dikehendaki berdekatan

X

Coklat

Hubungan ARC digambarkan dengan simbol warna dan huruf. Selain simbol-simbol di atas, perlu juga mencantumkan alasan atau penjelasan mengapa simbol atau warna tersebut yang digunakan. Berikut contoh alasan untuk menyatakan tingkat kepentingan.

Tabel 2. Alasan tingkat kepentingan Kode

Alasan

1

Penggunaan catatan secara besamaan

2

Menggunakan tenaga kerja yang sama

3

Menggunakan space area yang ama

4

Minimalkan material handling

5

Urutan aliran kerja

6

Menggunakan peralatan kerja yang sama

7

Kemungkinan adanya bau yang tidak mengenakkan, ramai, dan lain-lain

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

23


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

Kode

•

Alasan

8

Derajat kontak personel yang sering

9

Derajat kontak kertas kerja yang sering dilakukan

10

Kemudahan akses

11

Suara bising

Activity Relationship Diagram (ARD) Activity Relationship Diagram (ARD) adalah diagram hubungan antar-aktivitas (departemen/mesin) berdasarkan tingkat prioritas kedekatan, dengan harapan ongkos handing minimum. Input ARD adalah ARC, dimana ketentuan penggunaan garis dan jumlah garis pada ARC digunakan pada ARD. Area pada ARD diasumsikan sama, baru pada revisi disesuaikan berdasarkan ARD lini dan areanya sesuai dengan luas dari masing-masing aktivitas yang terpencil dengan skala tertentu. Berikut contohnya.

•

Activity Template Block Diagram (ATBD) Activity Template Block Diagram (ATBD) sebenarnya tidak berbeda jauh dengan ABD, pembedanya yaitu pada ATBD ini data yang telah dikelompokkan ke lembar kerja lalu dimasukkan ke activity template. Template itu sendiri akan menjelaskan tentang departemen yang bersangkutan dan hubungan dengan aktivitas dari departemen tersebut.

24

Gambar 2. Contoh ARD

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

Gambar 3. Contoh ATBD Contoh ATBD


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

•

Space Activity Relationship Diagram (SRD) Space Activity Relationship Diagram adalah langkah selanjutnya yang dilakukan setelah menentukan ATBD. SRD dibuat dengan cara menentukan luasan area yang diperlukan dan keterkaitan aktivitas antar-ruang tersebut. pada diagram hubungan ruangan dapat dilihat sebuah keterkaitan antar-kebutuhan area atau area yang diperlukan untuk penyusunan tata letak.

2. Pola Aliran Material Pola aliran material yang jelas dibutuhkan untuk mempermudah dan meningkatkan tingkat produktivitas produk yang dihasilkan. Berikut ini beberapa pola aliran material yang dapat diterapkan di lantai produksi, yaitu: •

•

Pola Aliran Garis. Pola aliran yang paling mudah diidentifikasi karena sistem material handling yang umumnya menggunakan konveyor lurus. Pola ini biasanya digunakan pada proses produksi yang berlangsung singkat dan relatif sederhana, dimana jarak perpindahan pendek dan hanya terdiri dari beberapa komponen produksi saja. Pola Aliran Bentuk U. Pola yang umumnya digunakan pada lantai kerja yang luasnya terbatas, tujuannya untuk meminimalisasi tempat. Biasanya proses awal memiliki tempat yang sama atau sejajar dengan proses akhir.

Gambar 4. Pola aliran garis

Gambar 5. Pola aliran bentuk U

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

25


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

•

Pola Aliran Zigzag. Pola aliran yang pada umumnya diterapkan pada kondisi lantai pabrik yang sempit tetapi proses yang dibutuhkan sebenarnya cukup panjang. Prinsip penataan dilakukan dengan membelokkan aliran produksi.

•

Pola Aliran Lingkaran. Pola aliran yang dapat diterapkan untuk proses produksi yang bertujuan untuk mengembalikan material atau produk pada titip awal aliran produksi.

•

Gambar 6. Pola aliran zigzag

Pola Aliran Tidak Tentu. Pola aliran abstrak biasa digunakan untuk memperoleh lintasan produksi yang pendek antarkelompok dari wilayah yang berdekatan. Pada umumnya proses pemindahan material dilakukan dengan sistem manual.

Gambar Pola aliranlingkaran bentuk Gambar Pola aliran7. bentuk

Gambar 8. Pola aliran tidak tentu

Gambar Pola aliran tidak tentu

26

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

Selajutnya kegiatan di pabrik pengolahan rotan dapat dipetakan dalam tabel berikut.

Tabel 3. Tata letak fasilitas dan lokasi pabrik bahan baku rotan No.

Nama Stasiun

Kode

B

BR

C

D

E

F

G

H

I

J

2

4

5

6

7

8

9

10

11

1

Gudang bahan baku rotan batangan

A

E

U

A

U

U

U

U

U

U

U

2

Gudang bahan kemasan, pengikat, tali

B

A

U

U

U

U

U

U

U

U

3

Bak Rendaman

Br

U

U

U

U

U

U

U

U

4

Pemotongan

C

A

U

U

U

X

U

U

5

Penipis

D

A

U

U

U

U

U

6

Polishing

E

A

U

U

U

U

7

Core

F

A

U

U

U

8

Fitrit

G

A

U

U

9

Pengeringan

K

A

U

10

Finishing/Pengepakan

L

A

11

Gudang produk jadi

M

Dengan kriteria penilaian sebagai berikut: A = Mutlak perlu aktivitas-aktivitas tersebut didekatkan E = Sangat penting aktivitas-aktivitas tersebut berdekatan I = Penting bahwa aktivitas-aktivitas tersebut berdekatan O = Biasanya (kedekatannya) tidak masalah ditempatkan di mana saja X = Tidak diinginkan aktivitas-aktivitas tersebut untuk berdekatan U = Tidak perlu adanya keterkaitan geografis

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

27


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

Gambar 9. Tingkat hubungan antar-aktivitas di pabrik pengolahan rotan

Gambar 10. Contoh gambar tata letak pabrik

D. Langkah Umum Pembangunan Pabrik 1. Ketersediaan Modal

28

Modal atau kapital yang diperlukan pada awal produksi, misalnya modal pengadaan peralatan/fasilitas produksi.

Modal atau kapital yang diperlukan untuk pelaksanaan operasi produksi (operation costs), misal modal pengadaan bahan baku, labor costs, overhead costs, dll.

Modal atau kapital yang diperlukan untuk menghadapi kemungkinan perluasan atau ekspansi pabrik.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

2. Perancangan Produk •

Aspek fungsi (design for function). Desain produk yang baik harus dapat berfungsi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna/pelanggan. Maka dari itu kekuatan dan daya tahan (strength and wearability) dari produk dan komponen-komponennya harus benar-benar dipertimbangkan.

Aspek kemudahan pembuatan (design for making). Suatu produk tak terlepas dari teknologi tertentu yang dibutuhkan dalam pembuatannya, sehingga pemilihan bahan baku sampai ke peralatan pembantu (jigs and fixtures) harus pula diperhatikan.

3. Perencanaan Volume Penjualan •

Sistem produksi harus dijalankan dengan mengetahui atau mempertimbangkan besarnya volume produksi yang dikehendaki konsumen.

Informasi atau perkiraan mengenai volume produksi ini penting untuk menentukan jumlah dan kapasitas mesin yang harus disediakan.

Untuk menetapkan jumlah produk yang harus dibuat, perlu dilakukan aktivitas survei pasar dengan metode peramalan produksi (forecasting) berdasarkan data penjualan yang telah lampau.

4. Pemilihan Proses Produksi •

Perencanaan proses produksi berkaitan dengan perencanaan tata letak pabrik.

Ada beberapa pertimbangan ekonomis yang harus dibuat, yaitu penentuan macam/tipe teknologi mesin perkakas yang dibutuhkan, penentuan bahan baku terbaik, penentuan rate of return dari kapital yang ditanamkan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

29


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

5. Analisis Buat atau Beli (Make or Buy Analysis) • • •

Mengurangi biaya material dan proses produksi. Mengurangi jumlah modal atau kapital yang diperlukan untuk pembelian material sebagai stok dan pengadaan mesin serta fasilitas penunjang dan proses produksi lainnya. Menyederhanakan macam produk (product mix) yang harus dibuat.

6. Ukuran Pabrik (Plant Size) • •

Penentuan ukuran pabrik berkaitan dengan volume produk yang akan dihasilkan. Poin di atas juga berkaitan dengan besar modal yang diperlukan dan siklus waktu operasi produksi.

7. Harga Jual Produk •

Keputusan awal yang harus diambil oleh manajemen adalah menentukan harga jual, dengan harapan produk yang dihasilkan akan mampu bersaing dengan produk serupa yang dihasilkan oleh pabrik lain.

Keputusan yang diambil terkait harga jual ini terutama sekali akan memengaruhi kualitas produk yang dihasilkan dan juga proses pembuatannya.

8. Lokasi Pabrik (Plant Location)

30

Bangunan pabrik harus mampu melindungi (baik keamanan maupun keselamatan) segala fasilitas produksi (termasuk sumber daya manusia) yang ada di dalam pabrik.

Perencanaan tata letak pabrik yang baik adalah dengan terlebih dahulu mengatur segala fasilitasfasilitas produksi yang akan dipakai, baru kemudian didirikan bangunan pabrik di sekitarnya.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

9. Kemungkinan Diversifikasi Produk •

Besar kemungkinan pada suatu waktu manajemen pabrik dihadapkan pada keharusan mengadakan perubahan produk.

•

Kemungkinan diversifikasi harus diantisipasi dan disikapi dengan tepat demi perkembangan pabrik itu sendiri, serta demi melihat peluang pasar yang lebih besar.

10. Pertumbuhan dan Perkembangan Organisasi Pabrik (Organizational Development) •

Struktur organisasi pabrik akan digunakan juga sebagai alat analisis kelancaran proses produksi.

•

Tujuan umum perusahaan harus didefinisikan dengan jelas sejak awal, selanjutnya dijabarkan tujuan dan target-target yang lebih spesifik.

E. Kebutuhan Permesinan Proses produksi pabrik bahan baku rotan memerlukan mesin untuk mempermudah pekerjaan. Mesin yang digunakan di pabrik ini mencakup mesin/alat tradisional yang digunakan mengolah rotan pascapanen hingga pengolahan rotan menjadi bahan baku. Mesin di dalam pabrik pengolahan bahan baku rotan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu mesin utama dan mesin penunjang. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis mesin tersebut.

Mesin Utama Mesin utama adalah mesin yang wajib ada untuk mempermudah pekerjaan bagian produksi. Kelompok mesin utama terdiri dari:

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

31


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

•

Mesin Fitrit. Mesin ini berfungsi menghasilkan rotan jenis fitrit dari bahan rotan core. Setiap 1 pcs rotan core dapat menghasilkan sekitar 4 pcs rotan fitrit tergantung mata pisau yang digunakan. Harga sebuah mesin ini ditaksir senilai 45 juta rupiah.

Gambar 11. Mesin Fitrit dan Rotan Fitrit Core

•

Mesin Sandid Peel. Mesin ini berfungsi menghasilkan rotan peel dari rotan sega. Sama halnya dengan rotan core, setiap 1 pcs rotan sega dapat menghasilkan 4 pcs rotan peel. Harga sebuah mesin ini berkisar 35 juta rupiah.

Gambar 12. Mesin Sandid Peel dan Rotan Sega

32

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

•

Mesin Amplas Rotan. Mesin ini berfungsi untuk mengamplas jenis rotan batang/asalan menjadi rotan semi poles. Setelah diamplas kulit rotan batang akan menjadi lebih halus namun masih terlihat ruas bukunya. Setelah diamplas, rotan semi poles ini akan diwarnai di bagian finishing.

•

Mesin Potong Rotan. Mesin ini berfungsi untuk memotong rotan batang atau rotan semi poles yang sudah ukurannya sudah sesuai untuk komponen dasar barang.

13. Mesin Amplas Rotan MesinGambar Amplas Rotan

Gambar 14. Mesin Potong Rotan Mesin Potong Rotan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

33


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

12. Mesin Pengolahan Bahan Baku a. Spesifikasi Mesin Split Rotan Ukuran 35 Power Dimensi Kapasitas/hari Fitrit Ukuran rotan

: 4 HP 3 Phase 220v/ 380v : 102 x 66 x 70 cm : Core 1200 kg/ 8 jam : 400 kg/8 jam : Ăž 14 mm down, dipakai untuk rotan batang ukuran 14 mm ke bawah. Gambar 15. Mesin Split Rotan

Mesin Split Rotan Berat Mesin Penggerak Fungsi

34

: 250 Kg : Elektromotor : Memecah/menguliti rotan (core) dengan bentuk hasil pecahan sesuai keinginan. Artinya pisau pada mesin ini bisa diganti sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Hasil dari mesin ini disebut Fitrit. Mesin ini untuk ukuran rotan dengan diameter e 14mm (sama dengan/dibawah 14 mm).

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

b. Spesifikasi Mesin Pembelah Rotan Type BRV-9 Type Jumlah roller Motor Ukuran rotan Kapasitas As roller Gear Box Pengarah rotan

Gambar 16. Mesin Pembelah Rotan Ukuran Besar

Mesin Pembelah Rotan Ukuran Besar

Pengerak pulley Dimensi mesin Berat mesin Pisau Accessories

: BRV-9 : 9 pasang : 220/ 330 V, 3 phase, 7, 5 HP, 1400 rpm : Ă˜ 12–25 mm : Core + / - 2000 kg Fitrit + / - 350400 kg : baja berkualitas tinggi : baja berkualitas tinggi : Sistem press non pegas dan sistem press dengan pegas : Fan Belt Anti Slip : 120 x 120 x 80 cm : 650 kg : Terbuat dari baja dan mempunyai nilai kekerasan = 700 kgf/mm2

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

35


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

c. Mesin Semi Poles Rotan Single Belt Sanding Fungsi : Menghaluskan permukaan batang rotan Sand belt size : 130 mm x 1850 mm Feeding Speed : 8 m/min Kapasitas : 1000 kg/8 jam Size of rattan : +10–60 mm Ukuran Amplas : 5 mm x 72 mm Dimensi : 1200 mm x 640 mm x 1350 mm Motor : 3 HP & 1 HP; (Blower) Berat : + 280 kg

d. Mesin Gergaji Rotan Fungsi Kapasitas Penggerak Diameter Dimensi Berat

Gambar 17. Mesin Semi Poles Mesin Semi Poles

: Memotong rotan sesuai ukuran yang diinginkan. : 200 kg/8 jam : 2 Hp 220/380V 1450rpm : 14 inch : 800 x 600 x 900 mm : 70 kg

Gambar Mesin Semi Poles Mesin18. Gergaji Rotan

36

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

2

PABRIK BAHAN BAKU ROTAN

e. Mesin Dowel Fungsi Dimensi Kapasitas Ukuran Rotan Motor

: : : : :

Memperkecil ukuran rotan sesuai yang diinginkan. 1200 x 1000 x 1300 mm 8–12 m/menit Diameter 10–60 mm 3 Hp dan 1 Hp 380 V

Gambar 19. Mesin Semi Poles Mesin Dowel

f. Mesin Pelurus Rotan Fungsi Sistem Penggerak Dimensi Berat

: Untuk meluruskan batang rotan yang bengkok sebelum di serut, diketam ataupun di poles : Menggunakan tekanan Hidroulic : Elektro motor 3 Hp 380 V : 1090 x 930 x 1250 mm : 350 kg

Gambar Mesin Pelurus Rotan Mesin Pelurus20. Rotan

g. Belanga Penggorengan Rotan Fungsi Bahan Dimensi

: Menggoreng batang rotan agar keluar getahnya. : Mild Steel, tebal dinding : 2mm tebal alas 2mm, rangka siku 5x5mm : 6000 x 1100 x 1100 mm..

Gambar 20. Belangga Penggorengan Rotan

Belanga Penggorengan Rotan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

37


3

BAB

SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PABRIK

BAB III. Sumber Daya Manusia dan Manajemen Pabrik

P

abrik memerlukan tenaga kerja terdidik dan terlatih untuk pengerjaan kontruksi maupun operasi. Jumlah tenaga kerja di perkotaan yang memiliki berbagai keterampilan cukup tersedia, namun perputaran tenaga berlangsung cepat sehingga tersisa tenaga kerja dengan jenis kemampuan terbatas. Mengatasi permasalahan tenaga kerja tersebut, pabrik merekrut dan melatih tenaga kerja setempat. Berikut ini beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan dijadikan acuan dalam menghitung sumber daya manusia.

Tabel 4. Pertimbangan sumber daya manusia

38

No

Faktor Penentu

1.

Jumlah Penduduk Produktif (18–50 tahun)

2.

Tingkat pendidikan

3.

Tenaga terampil

4.

Upah, UMR, harian, dll

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

Laki-laki (%)

SD SMP SMA PT

: ................................. : ................................. : ................................. : .................................

Perempuan (%)

SD SMP SMA PT

: ................................. : ................................. : ................................. : .................................


BAB

3

SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PABRIK

Selain itu, manajemen perusahaan juga harus disiapkan demi menentukan jalannya perusahaan tersebut. Manajemen mengatur kegiatan produksi sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur manajemen dalam perusahaan juga mengatur tugas-tugas, wewenang, serta tanggung jawab tiap bagian/divisi yang ada di perusahaan (Negoro, 2004). Struktur manajemen perusahaan harus memastikan bahwa tiap divisi bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian masalah-masalah yang mungkin timbul yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab karyawan dapat dihindari. Struktur manajemen disusun dan ditetapkan untuk memudahkan koordinasi antar bagian. Penyusunan struktur manajemen harus mengacu pada alur kegiatan produksi yang akan dilakukan oleh perusahaan. Berikut adalah gambaran struktur manajemen perusahaan industri rotan beserta deskripsi pembagian tugas (job description) dan tanggung jawab tiap bagiannya.

Kepala Pabrik

Admin Keuangan & Akuntansi

Manajer Produksi

Purchasing

Bagian Produksi 1-3 & Finishing

Quality Control

Admin Produksi

HRD (Personalia)

Sales Marketing & Export

Bagian R&D

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

39


BAB

3

SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PABRIK

1. Kepala Pabrik

Kepala pabrik adalah orang yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelangsungan perusahaan. Kepala pabrik mempunyai wewenang atas semua urusan dalam perusahaan. Wewenang yang dimaksud berkaitan dengan kebijakan-kebijakan perusahaan dalam memutuskan permasalahan yang terjadi di perusahaan. Hal ini dilaksanakan dengan memberikan petunjuk serta arahan pada seluruh staf dan karyawan.

2. Manajer Produksi

40

Manajer produksi bertugas mengatur, mengawasi, dan mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas produksi yang dimulai dari penyediaan bahan mentah sampai produk jadi yang siap jual. Selain itu manager produksi mempunyai wewenang untuk merencanakan dan menyusun kapasitas produksi barang diperusahaan. Manajer produksi ini membawahi beberapa bagian sebagai berikut. •

Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Bagian ini bertugas membuat sampel-sampel baru yang diperkirakan akan menjadi tren di pasaran. serta membuat MAL sebagai acuan produksi masal barang yang akan di buat.

•

Bagian Produksi 1 sampai 3. Bagian produksi 1 bertugas melakukan proses sortasi, penggorengan, penggosokan, dan pencucian. Sortasi dilakukan untuk memisahkan rotan besar dan kecil sebelum mendapat penanganan berbeda. Bagian produksi 2 bertugas melakukan pengeringan, pengasapan, pemutihan, dan pengawetan. Bagian produksi 3 bertanggung jawab terhadap proses pelurusan, pemolesan, pengamplasan, bundling dan penempatan bahan baku di gudang penyimpanan.

•

Bagian Quality Control (QC). Quality control bertugas melakukan pengawasan, pengecekan dan pengendali kualitas rotan. Kontrol dilakukan terhadap rotan hasil panen, selama proses pengelolaan

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

3

SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PABRIK

pascapanen hingga menjadi bahan baku. QC 1 bertanggung jawab mengontrol rotan asalan dan proses pengelolaan sebelum masuk ke tahap amplas atau pemolesan. QC 2 kemudian memastikan bahan baku yang sudah jadi sesuai standar mutu yang ditetapkan sebelum dipasarkan. •

Bagian Pengadaan Barang/Purchasing. Bagian pengadaan bertugas melakukan pengadaan rotan asalan yang akan diolah (berkoordinasi dengan petani atau pemanen rotan), bahan penunjang pengolahan rotan, bahan pengepakan, dan barang-barang lain yang diperlukan untuk operasional pabrik.

3. Administrasi Produksi Bagian ini bertanggung jawab atas kegiatan administrasi produksi, khususnya mendata semua kebutuhan produksi (bahan mentah dan penunjang, peralatan, dll) dan merekap hasil produksi secara periodik.

4. Administrasi Keuangan dan Pembukuan Bagian ini bertanggung jawab dalam mengatur dan mengawasi penerapan perencanaan dan penggunaan keuangan perusahaan. Pembukuan keuangan dicatatkan secara harian, mingguan, bulanan, dan dalam periode tahun perusahaan.

5. Bagian Kepegawaian (HRD) Bagian ini bertugas menangani ketenagakerjaan, seperti perekrutan karyawan, serta peningkatan keahlian dan mutu karyawan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

41


BAB

3

SUMBER DAYA MANUSIA DAN MANAJEMEN PABRIK

6. Sales Marketing Bagian ini bertugas menangani penjualan dan pemasaran produk ke pembeli. Penjualan dan pemasaran dilakukan secara langsung-berhadapan langsung dengan pembeli-atau melalui daring (penjualan online). Selain di dalam negeri, bagian ini juga menangani penjualan dan pemasaran untuk luar negeri. Apabila terjadi transaksi pembelian, bagian ekspor akan menangani dan menyiapkan administrasi yang berkaitan dengan proses pengiriman.

42

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

BAB IV. PENANGANAN PASCA PANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

P

engolahan rotan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) pengolahan menjadi bahan mentah dan (2) pengolahan rotan menjadi barang setengah jadi/bahan baku dan barang jadi.

A. Rotan menjadi Bahan Mentah Bahan mentah diperoleh dari rotan asalan yang mengalami beberapa proses, yaitu pencucian, penggorengan, penjemuran, pengasapan, pembelahan, pemolesan, dan pemotongan sampai menjadi bahan mentah. Sortimen yang dihasilkan berupa rotan bulat berkulit, rotan kikis buku, rotan polis kasar, dan rotan belah kasar. Pelaksanaan pengolahan rotan berdiameter besar berbeda dengan rotan berdiameter kecil (Dransfield dan Manokaran, 1996 dan Rachman dan Jasni, 2006). Berikut ini tahap pengolahan rotan berdasarkan ukurannya. •

Rotan Besar. Langkah-langkah pengolahan dari rotan asalan menjadi rotan bahan mentah. Pengolahan dilakukan untuk memperoleh bahan mentah yang berkualitas. Pengolahan rotan ini mengadopsi dan mengembangkan dari pengolahan rotan di berbagai daerah di Indonesia. Setiap tahapan proses kegiatan memiliki tujuan yang berbeda. Penggorengan bertujuan mempercepat pengeluaran air dan getahgetah dari dalam batang rotan. Penggosokan bertujuan menghilangkan kotoran dan noda dari batang rotan. Sedangkan pengasapan bertujuan untuk meningkatkan warna dan kilap batang rotan. Diagram pengolahan rotan bahan mentah untuk ukuran diamater besar (Rachman dan Jasni, 2006).

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

43


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

•

Rotan Kecil. Rotan kecil mudah mengering sehingga tidak dilakukan proses penggorengan, karena alasan yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk menjemur relatif singkat. Pengolahan ada rotan kecil dilakukan dengan 2 (dua) cara, masingmasing menghasilkan rotan kering udara. Salah satu jenisnya yaitu natural cane yang merupakan rotan batang alami baik kulit maupun warnanya. Rotan ini dapat dibuat barang jadi dengan harga yang tinggi. Diagram di bawah adalah skema pengolahan rotan asalan menjadi rotan bahan mentah menurut Rachman dan Jasni (2006).

1. Persiapan Tahap persiapan terdiri atas kegiatan penumpukan rotan segar, pembersihan, dan sortasi (Rachman dkk., 2000). Rotan yang diterima di tempat penumpukan adalah rotan yang berkualitas baik dan sudah cukup tua dengan ciri-ciri diameter silindris, cukup keras, tidak ada tanda-tanda keriput, dan mengandung lebih banyak warna hijau tua. Penumpukan rotan dilakukan dengan menggunakan ganjal. Sebelum digoreng, sisa kelopak dan kotoran yang masih menempel pada batang rotan dibersihkan dengan cara digosok dengan kain perca,

44

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Penumpukan rotan segar di segar hutandi hutan Gambar 22. Penumpukan rotan (sumber Rachman & Jasni - 2013) Sumber: Rachman & Jasni (2013)

sabut kelapa atau karung goni. Bersama-sama dengan proses pembersihan, dilakukan pula proses sortasi dengan cara memisahkan rotan yang akan diolah lebih lanjut dari rotan yang telah pecah atau belah.

2. Penggorengan Menurut Rachman dan Hermawan (2005), tujuan penggorengan rotan adalah untuk menurunkan kadar air rotan dan mengeluarkan bahan-bahan larut minyak yang umumnya terdapat di bagian kulit (epidermis) rotan, serta dapat menghalangi proses keluarnya air dari dalam rotan. Dengan melakukan penggorengan, waktu penjemuran rotan di lapangan dapat lebih singkat, yaitu sekitar 1–2 minggu. Hal ini dapat mengurangi

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

45


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

kemungkinan serangan jamur atau serangga perusak rotan. Selain itu, warna rotan yang digoreng pun menjadi lebih cerah. Teknologi penggorengan mengunakan peralatan sederhana yang dibuat seluruhnya dari bahan-bahan lokal. Terdiri dari tungku dan kuali yang berbentuk palung dengan panjang sekitar 4 m, lebar 125 cm dan tinggi 90 cm, besi pengait untuk mengangkat rotan yang telah digoreng, ayakan kawat bertangkai untuk mengambil sisa kotoran setelah penggorengan, jerigen penampung minyak goreng, pemberat untuk menindih rotan saat digoreng, sarung tangan tahan panas, karung goni bekas serta alat pemadam kebakaran (Rachman dkk., 2000). Kuali mula-mula diisi sekitar tigaper lima volumenya dengan minyak penggoreng, lalu dipanaskan sampai mencapai suhu sekitar 80 oC. Rotan dimasukkan ke dalam kuali, lalu digoreng selama lebih kurang 30 menit. Minyak penggoreng biasanya diganti setelah digunakan untuk sekitar 40 kali penggorengan atau bila minyak sudah terlihat kotor. Sisa minyak penggoreng yang ada di dalam kuali dapat digunakan setelah terlebih dahulu disaring. Konsumsi minyak penggoreng untuk tiap batang rotan adalah sekitar 0,17–0,2 liter, tergantung

46

Gambar 23. Rotandengan ditindihpemberat dengan pemberat saat Rotan ditindih saat digoreng digoreng Sumber: World Wide Fund for Nature (WWF)

Sumber: World Wide Fund for Nature (WWF) (2011)

Unit penggorengan Gambar 24. Unitrotan penggorengan rotan

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

efisiensi pemakaian. Jumlah potongan rotan yang dapat dimasukkan untuk setiap kali penggorengan dapat mencapai 200–300 potong. Penggorengan dilakukan selama 10–30 menit. Rotan yang telah digoreng kemudian ditiriskan.

Tujuan penggorengan adalah sebagai berikut: •

Menurunkan kadar air rotan. Penurunan kadar air rotan sebesar 40–60% akan menurunkan berat sekitar 15–20% dan volume antara 6–12% (Maulana, 1997). Selain itu penurunan kadar air yang besar akan menghemat waktu penjemuran atau pengeringan rotan di lapangan. Waktu penjemuran yang relatif pendek setelah penggorengan (1–2 minggu) akan menghindarkan rotan dari serangan jamur dan serangga perusak rotan. Dengan demikian penggorengan bukan bukan ditujukan untuk mengawetkan rotan. Casin (1975) melaporkan, bahwa rotan yang tidak digoreng seperti yang dilakukan di Filipina pada rotan palasan (Calamus maximus Merr. dan Calamus ornatus MAR, sejenis manau atau tohiti di Indonesia) memerlukan waktu penjemuran ± 26 minggu dari basah (kadar air ± 155%) sampai kadar air ± 20% dan masih memerlukan 1 minggu untuk mencapai kadar air keseimbangan (Equilibrium Moisture Content = EMC). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa jamur Ascomycetes (penyebab bercak biru, blue stain) tumbuh subur pada kadar air rotan sekitar 100% dan kelembaban 84%. Dengan penggorengan kondisi tersebut dilewati sewaktu rotan dalam penggorengan.

Melarutkan getah. Bahan getah seperti gum, lilin, gelatin dan sejenisnya pada batang rotan umumnya tertimbun pada kulit bagian epidermis. Fungsinya sewaktu tanaman masih hidup adalah untuk melindungi penguapan air yang tinggi dari rongga-rongga sel di bawahnya. Fungsi ini seperti halnya pohon jati yang menggugurkan daun pada musim kemarau. Komposisi minyak penggoreng yang umum digunakan terdiri dari sebagian besar minyak bumi (minyak tanah, minyak solar). Minyak bumi ini merupakan pelarut yang baik untuk getah seperti gum, lilin dan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

47


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

sejenisnya. Daya melarutkan tersebut semakin cepat pada suhu penggorengan yang cukup tinggi (60– 80ºC). Rotan yang getah-getahnya telah dilarutkan dalam minyak penggoreng akan mempermudah pengeluaran air dan akan memperpendek waktu penjemuran. Dengan demikian, kesempatan rotan untuk diserang jamur akan berkurang. •

Pemanasan tanpa udara. Berdasarkan hasil-hasil percobaan telah dibuktikan bahwa bahan berlignoselulosa (termasuk rotan) apabila dipanaskan pada udara terbuka maka penurunan sifat kekuatannya akan terjadi dengan cepat. Potongan-potongan kayu yang dicelupkan ke dalam metal cair pada suhu 320ºC selama 1 menit, 250ºC selama 1 jam dan 160ºC selama 1 minggu menghasilkan penurunan keteguhan patah (MOR) yang hampir sama yaitu sebesar 17% dari keteguhan sebelum dipanaskan. Apabila kayu yang sama dipanaskan pada udara terbuka (ada oksigen) maka penurunan keteguhan patahnya mencapai 50% (Stam, 1964).

Campuran minyak penggoreng yang identik dengan metal cair dalam percobaan Stam di atas dan umum ditemui adalah sebagai berikut: • • • • • • • • • •

48

Minyak solar + minyak kelapa Minyak solar + minyak sawit Minyak solar + minyak tanah Minyak solar + air Minyak tanah + minyak kelapa Minyak tanah + minyak sawit Minyak tanah + air Minyak tanah + oli motor (motor oil) S.A.E 20–120 Minyak tanah Minyak solar

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Berdasarkan hasil percobaan Rachman (1984) pada rotan manau dan tohiti dapat diketahui pengaruh berbagai komposisi minyak penggoreng dan lama waktu penggorengan terhadap penurunan kadar air, kecerahan warna dan penurunan sifat kekuatan atau keteguhan rotan. Percobaan ini menggunakan 5 macam minyak penggoreng, yaitu: minyak tanah (MT), minyak solar (MS), campuran minyak tanah dan solar (MT.MS), campuran minyak tanah dan oli SAE-40 (MT.MO), serta campuran minyak solar dan minyak kelapa (MS.MK). Pengamatan kecerahan warna dinilai menggunakan skor 5–1, yaitu dari warna kuning terang sampai coklat kekuning-kuningan. Penurunan kadar air semakin besar dengan semakin lamanya waktu penggorengan. Penurunan kadar air tertinggi terjadi pada rotan yang digoreng dengan campuran minyak penggoreng MTMS, yaitu mencapai sekitar 70%. Selain itu, tingkat kecerahan warna juga menurun dengan meningkatnya waktu penggorengan. Sedangkan waktu penggorengan yang semakin lama akan menurunkan sifat kekuatan rotan. Hasil percobaan secara keseluruhan dapat memberikan informasi sebagai berikut: •

Pemakaian minyak tanah saja dalam penggorengan rotan memberikan nilai warna yang lebih cerah dibandingkan dengan minyak penggoreng lainnya. Akan tetapi penggorengan dengan minyak tanah harus hati-hati karena laju penurunan warna dan keteguhan sangat cepat.

•

Penggunaan minyak nabati seperti minyak kelapa atau minyak sawit dalam campuran minyak penggoreng bertujuan untuk mengurangi laju penurunan keteguhan dan kecerahan warna rotan.

Pada awalnya, hampir seluruh hasil proses penggorengan ditujukan untuk mendapatkan kulit rotan yang baik, yaitu berwarna cerah dan mengkilap. Rotan ini disebut juga sebagai natural cane, yang langsung dapat dibuat barang jadi, seperti mebel dengan harga yang tinggi. Produk seperti ini memerlukan penampilan kulit alami dan warna asli rotan. Produk semacam ini sudah sangat jarang diproduksi kecuali pesanan khusus karena harganya yang sangat mahal.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

49


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Rotan oleh pengolah biasanya diklasifikasikan mutunya menjadi kualitas A, B, C dan D. Semakin banyak terdapat cacat pada kulit dan semakin berwarna buram semakin rendah kualitas rotan. Praktek di lapangan menunjukkan, bahwa penggorengan hanya menghasilkan 25–40% rotan kualitas A dan B. Sedangkan rotan berkualitas A atau yang termasuk natural cane tidak lebih dari 20%, sisanya berupa rotan yang kulitnya mengandung cacat. Bahkan, dewasa ini jumlah natural cane yang diperoleh semakin menurun. Rotan yang sudah dipilah menurut kualitasnya, selanjutnya diluruskan dengan mesin pelurus atau secara manual. Pelurusan secara manual dikerjakan dengan cara menjepit salah satu ujung rotan dengan kayu dan mendorong atau menarik ujung yang lain berulang-ulang dangan tangan sampai potongan rotan menjadi lurus. Rotan bermutu A yang sudah lurus dibuang bukunya agar berpenampilan lebih bersih. Untuk meningkatkan mutu rotan ini, biasanya dilakukan lagi pengasapan. Kelompok rotan dengan mutu yang lebih rendah dikupas kulitnya menjadi produk yang disebut sebagai rotan poles. Mengingat sebagian besar rotan dikupas kulitnya untuk dijadikan rotan poles kasar, maka untuk menghemat penggunaan energi, seharusnya rotan yang akan dijadikan natural cane saja yang digoreng. Sisanya tidak harus digoreng, tetapi cukup dilakukan pengupasan kulit pada saat rotan masih basah, lalu rotan dijemur sampai mencapai kering udara.

3. Penggosokan dan Pencucian Penggosokan dilakukan pada rotan yang telah digoreng dan ditiriskan dengan menggunakan kain perca, sabut kelapa atau karung goni yang dicampurkan dengan pasir halus atau serbuk gergaji (Jasni, 2000). Penggosokan dilakukan berulang-ulang agar sis kotoran terutama getah yang masih menempel pada kulit rotan dapat dilepaskan sehingga kulit rotan menjadi bersih dan dapat diperoleh rotan dengan warna yang cerah dan mengkilap. Bersama-sama dengan penggosokan, rotan juga dapat dicuci untuk membersihkan rotan secara sempurna.

50

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

4. Peruntian Peruntian dilakukan untuk membuang lapisan silika yang melekat pada kulit beberapa jenis rotan kecil (Januminro, 2000). Beberapa jenis rotan yang umumnya memiliki lapisan silika pada kulit adalah rotan sega dan taman (Rachman dkk., 2000). Peruntian rotan dapat dilakukan dengan menggunakan alat khusus disebut runti jala atau dengan menarik rotan bolak-balik melalui lubang pada sepotong bambu yang diikat berdiri pada sebatang pohon. Di Indonesia, dimana kaya akan rotan, beberapa metode pengupasan (lunti atau runti) telah dikembangkan. Beberapa metode lebih efisien dan beberapa metode lebih sulit dibandingkan yang lain. Salah satu metode tradisional yang digunakan di Indonesia adalah dengan memukul rotan dan mensilifikasi batang rotan dengan kayu yang dianyam. Metode ini tidak begitu memuaskan karena hasil yang didapatkan tidak bersih. Metode yang paling mudah tapi memakan banyak waktu adalah dengan memelintir batang rotan dengan tangan dan digosok dengan menggunakan pasir halus, wol baja, sabut kelapa, atau kain karung. Metode ini menghasilkan batang rotan yang sangat bersih. Selain memelintir menggunakan tangan, kadang kala rotan dibelitkan pada batang pohon dan digosokan dengan batang pohon dengan cara ditarik bagian ujungujungnya secara bergantian. Di beberapa wilayah India, seperti Assam dan Bengal barat, rotan dengan diameter besar digosok dengan menggunakan pasir dan kain karung untuk pengupasan. Di Papua Nugini, batang rotan digosok menggunakan wol baja halus, karung goni, atau sabut kelapa (Zieck 1976). Setelah pengupasan, batang rotan dicuci menggunakan air. Kemudian batang rotan dikeringkan dan/atau diproses lebih lanjut. Jika proses lebih lanjut tidak dilakukan maka rotan disortir berdasarkan diameter, ruas, dan tingkat kerusakan. Selanjutnya rotan ditimbang dan diikat dalam bundel. Proses lebih lanjut berupa pengasapan, pemutihan atau perlakuan dengan minyak, yang diikuti dengan pengeringan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

51


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

5. Pengeringan Sebagian besar hasil-hasil pertanian dikeringkan lebih dahulu sebelum dimanfaatkan atau diolah lebih lanjut. Tujuan utamanya untuk memudahkan dalam penanganan dan menghindari dari kerusakan biologis di samping kerusakan fisik. Pengeringan adalah pengeluaran air dari dalam bahan dengan bantuan energi panas ke udara terbuka sampai mencapai kadar air tertentu. Biasanya bahan dikeringkan sampai keadaan bahan mencapai kering udara atau mencapai Pengeringan kecil secara alamikecil secara alami (Sumber: Rachman & Jasni Gambar 25. rotan Pengeringan rotan kadar air keseimbangan. Pengeringan rotan 2013) di Indonesia sampai saat ini baik pada rotan besar maupun kecil masih seluruhnya dilakukan dengan cara alami atau penjemuran oleh sinar matahari. Ini terjadi karena sinar matahari jumlahnya sangat berlimpah di daerah tropis seperti di Indonesia. Akan tetapi teknik penjemuran yang dilakukan masih sederhana, yaitu dengan menyusun rotan secara silang-menyilang hampir vertikal bagi rotan besar dan menghamparkan rotan untuk rotan kecil. Namun kebersihan lingkungan, sistem drainase, arah susunan, arah angin, perlindungan dari kebasahan dan lain-lain belum mendapat perhatian memadai. Untuk mendapatkan hasil pengeringan yang merata dan warna yang cerah, sewaktu-waktu rotan harus dibalik. Waktu pengeringan di musim kemarau hanya sekitar satu minggu dan di musim penghujan dapat mencapai 2–3 minggu untuk sampai pada kondisi kering udara dengan kadar air sekitar 15–18%. Penjemuran untuk rotan

52

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

kecil dapat dilakukan dengan menghamparkan rotan di atas para-para setinggi pusar atau sekitar 50 cm dari tanah. Selama penjemuran, rotan dibolak-balik untuk memperoleh hasil yang baik. Apabila turun hujan, maka permukaan rotan ditutup dengan plastik atau terpal. Waktu pengeringan bervariasi untuk setiap jenis rotan, tapi umumnya antara 1–2 minggu pada saat cuaca cerah (Rachman dkk., 2000). Pengeringan rotan juga dapat dilakukan dalam bangunan pengeringan tenaga surya yang dikombinasikan dengan tungku bakar untuk suplai Gambar 26 . Pengeringan di tempat teduh di bawah atap Sumber: Pengeringan di tempat teduh di bawah atap panasnya. Bagan suhu yang dapat digunakan adalah World Wide Fund for Nature (WWF) (2011) o 40–65 C. Dengan bagan tersebut, rotan balukbuk, batang, manau, semambu, dan tohiti dapat dikeringkan sampai kadar air akhir 12% selama lebih dari 3 hari dengan kualitas cukup baik (kecuali untuk rotan tohiti) (Yuniarti & Basri, 2005). Rujehan (2001) melaporkan, bahwa pengeringan alami rotan kecil, yaitu sega (Calamus caesius) mengalami susut berat sekitar 35–40% dari rotan basah. Sedangkan rotan pulut mengalami susut berat sekitar 45–50% dari berat rotan basah. Usaha-usaha untuk mendapatkan cara pengeringan rotan yang lebih baik telah dilakukan baik dengan cara pengeringan alami (penjemuran) maupun dengan pengeringan buatan (kiln dryer). Percobaan pengeringan alami dengan memodifikasi tiga cara penjemuran sebagai berikut: • • •

Pengeringan rotan di dalam bangunan beralas yang diberi atap dan dinding plastik tembus cahaya. Pengeringan di tempat teduh atau di bawah atap. Penjemuran di bawah matahari langsung.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

53


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Tabel 5. Perlakuan pengeringan rotan dan hasilnya (Pengeringan alami dengan tiga perlakuan berbeda terhadap rotan ukuran besar yang sudah digoreng) Kelas mutu

Hasil proses pegeringan (%) Transparan

Naungan

Langsung

A

0

0

10

B

4

0

24

C

28

17

28

D

68

83

38

Jumlah

100

100

100

Sumber : Sudiwinardi (1985)

Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: •

Cara pengeringan yang terbaik adalah pada lapangan terbuka dan terkena langsung oleh sinar matahari. Hal ini dibuktikan oleh jumlah rotan berkualitas A & B yang dihasilkan tertinggi.

•

Cara pengeringan di bawah naungan tanpa terkena sinar matahari langsung tidak dianjurkan karena akan memperoleh hasil pengeringan terburuk.

Usaha untuk mempercepat waktu pengeringan alami dilakukan dengan cara mengerik (scrape) rotan segar kemudian dijemur. Hasilnya disajikan seperti pada Tabel 3.

54

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Tabel 6. Kecepatan pengeringan rotan kerik Kadar air (%)

RH (%)

Suhu (oF)

138,1

78,5

75,3

55,0

50,6

84,2

76,6

3

27,2

21,3

82,1

78,1

4

27,7

15,5

85,0

77,1

5

13,1

12,6

81,4

78,5

Waktu (Minggu)

Palasan

Limoran

1

102,7

2

Sumber: Cortes (1939)

Hasilnya menunjukkan bahwa rotan yang dikerik mengering lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dikerik. Jenis rotan yang sama jika tanpa dikerik memerlukan waktu 26 minggu untuk mencapai kadar air sekitar 20%. Dengan demikian, bagi rotan segar yang mengalami cacat pada kulit seharusnya dikerik, kemudian dikeringkan, sehingga waktu pengeringan relatif cepat. Sisanya, rotan segar dengan kulit yang bersih dapat digoreng untuk mendapatkan natural cane. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Rachman & Santoso (1996). Penelitian ini mempelajari perilaku penurunan kadar air rotan segar (124–220%) sampai kering udara dengan cara penimbangan berat rotan setiap hari. Contoh rotan berukuran panjang 2 meter dan diameter berkisar 18–29 mm; terdiri dari tiga jenis, yaitu: tretes (Daemonorops heteroides), omas (Calamus sp.) dan kesur (C. ornatus). Rotan dikeringkan melalui 4 macam perlakuan, yaitu: • • • •

Konvensional (Konv): rotan segar digoreng kemudian dikeringkan, setelah kering udara lalu dipoles. Alternatif I (Alt1); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, dibiarkan sampai setengah kering, dipoles, diawetkan kembali, akhirnya dikeringkan. Alternatif II (Alt2); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, lalu dipoles, akhirnya dikeringkan. Alternatif III (Alt3); rotan segar dipoles, dicelupkan bahan pengawet, akhirnya dikeringkan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

55


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Cara pengeringan buatan, yaitu dengan menggunakan kilang pengering (kiln dryer) telah dilakukan di Filipina. Hasil percobaannya disajikan seperti Tabel 7.

Tabel 7. Pengeringan rotan dengan kilang pengering Jenis bahan

Kadar air awal (%)

Kadar air akhir (%)

Waktu pengeringan (hari)

Tumalin (berkulit)

145–117

5

10

Tumalin (dikerik)

150–119

4,6

1,5

Sumber: Casin (1975)

Pengeringan rotan dengan kiln lebih unggul jika ditilik dari kepraktisan dan produktivitas. Akan tetapi, hasil percobaan di atas juga menunjukkan bahwa pengeringan kiln menyebabkan warna rotan menjadi kurang cerah dan tidak berkilap. Padahal, kedua faktor tersebut merupakan salah satu ukuran mutu/kualitas rotan. Tingkat kecerahan dan kilap rotan dipengaruhi oleh sinar ultraviolet dalam spektrum sinar matahari, maka dari itu cara pengeringan terbaik adalah dengan penjemuran langsung. Pengeringan dengan kiln masih berpotensi dikembangkan untuk memperoleh hasil maksimal, misalnnya dengan cara melengkapi ruang dengan fraksi sinar-sinar tertentu.

6. Pengasapan Untuk memperoleh rotan bulat berkualitas WS (washed and sulphurized) yang banyak diminati dalam dunia perdagangan, perlu dilakukan pengasapan terhadap rotan yang telah dijemur/dikeringkan. Pengasapan merupakan proses pengelantangan (bleaching) menggunakan asap belerang (gas SO2). Proses ini bertujuan untuk memutihkan warna kulit rotan dan meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit apabila disimpan cukup lama dalam gudang (Januminro, 2000).

56

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Gambar 27. Rumah Asap (Sumber: Rachman & Jasni 2013) Rumah asap Sumber: Rachman & Jasni (2013)

Proses pengasapan biasanya dilakukan khusus untuk rotan berdiameter besar. Ruang pengasapan (biasanya berukuran 6 x 5 x 3 m) dilengkapi dengan tempat pembakaran belerang yang didesain agar uapnya masuk/ terkumpul ke ruang tersebut. Gambar di atas merupakan salah satu contoh desain rumah asap. Konstruksi rumah asap berbentuk kubah yang terbuat dari tembok dan balok kayu dengan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing sekitar 650 x 200 x 270 cm. Tempat pembakaran belerang ada pada dasar rumah asap. Rumah asap seperti ini berkapasitas sekitar 4.000 potong rotan besar atau sekitar 6 ton rotan kecil. Saat pengasapan, rotan disusun di atas bantalan sejajar dengan arah panjang rumah asap. Setelah rumah asap penuh dengan rotan, pintu didorong sampai tertutup rapat. Tempat pembakaran kemudian diisi dengan belerang sebanyak Âą7,5 kg, lalu dibakar. Lamanya pengasapan bervariasi, mulai 12 jam, 24 jam, atau bahkan lebih lama dari itu hingga didapatkan warna yang diinginkan. Namun, proses pengasapan juga berdampak mengurangi keteguhan tarik sejajar serat.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

57


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

7. Pemutihan Berbagai macam cara pemutihan baik untuk rotan kulit maupun rotan hati sudah banyak dilakukan orang. Beberapa teori mengemukakan bahwa rotan kulit sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat asam. Sebelum melakukan pemutihan, rotan kulit direndam dalam larutan Hidrogen Fluorida (HF). Ini dilakukan untuk mencuci sisa silicious yang terdapat pada kulit. Sedangkan untuk rotan hati sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat basa (alkalis). Hasil pemutihan, baik rotan hati dan kulit, dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan sisa–sisa bahan pemutih (Simatupang, 1978). Berbagai cara dan bahan kimia telah dilakukan untuk pemutihan rotan. Pemutihan dengan cara pembakaran belerang dalam ruang tertutup atau disebut juga pengasapan adalah teknik pemutihan yang sudah lama dikenal orang. Pengasapan biasanya dilakukan pada rotan bahan mentah. Sedangkan istilah pemutihan untuk barang setengah jadi biasanya dilakukan dengan cara perendaman atau peleburan dalam bahan kimia. Natrium hipoklorit (NaClO) atau bubuk pemutih digunakan dalam proses pemutihan. Untuk pemutihan yang lebih berkualitas biasanya menggunakan hidrogen peroksida. Jika menggunakan hipoklorit, batang rotan direndam dalam larutan 1% selama satu jam. Waktu perendaman akan berbeda tergantung pada diameter rotan. Perendaman lebih lama akan ngurangi tingkat kekuatan rotan. Pemutihan juga dapat dilakukan dengan larutan Natrium klorida (NaClO2). Natrium klorida pada konsentrasi 2% bila digunakan untuk pemutihan rotan kulit akan menghasilkan rotan dengan warna yang cerah serta tidak mempengaruhi sifat mekaniknya. Natrium klorida dapat juga digunakan untuk pemutihan rotan hati. Penggunaan kaporit untuk bahan pemutih rotan belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa pengusaha rotan di Tegalwangi, Cirebon telah mencoba menggunakan kaporit untuk pemutihan. Rotan yang dihasilkan menjadi bersih dan warna mengkilap. Adapun reaksi yang berlangsung pada pemutihan kaporit adalah sebagai berikut:

58

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

CaOCl2 + 2 NaOH → Ca (OH)2 + 2 NaCl + On On akan mengoksidasi zat warna dan lignin sehingga berwarna putih bersih. Selain itu, kaporit apabila bereaksi dengan air akan membentuk asam hipoklorit yang akan mengoksidasi zat warna dan melarutkan sebagian lignin sehingga sehingga sifat kekuatan rotan dapat menurun. Hasil penelitian pemutihan dengan kaporit dan NaOH pada berbagai tingkat konsentrasi menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi bahan pemutih akan meningkatkan nilai warna. Namun, hal ini akan menurunkan sifat kekuatan (Darma, 1987). Rachman dkk. (2000) telah menggunakan larutan perhidrol (H2O2) pada kisaran konsentrasi sekitar 10–30% untuk pemutihan rotan batang (C. ornatus) dengan cara peleburan. Larutan itu dicampur dengan larutan soda api (NaOH) pada konsentrasi 1,5–4,5% atau air kaca (Na2SiO3) pada konsentrasi 5–15%. Mekanisme reaksi kimia yang bekerja pada proses pemutihan dengan perhidrol adalah sebagai berikut: 1. HOO- + H+ (perhidroksil ion) H2O2 2. H2O + On (oksigen radikal)

Adanya penambahan NaOH (suasana basa) atau air kaca akan membentuk perhidroksil ion dan oksigen radikal yang berfungsi sebagai oksidator untuk memutihkan rotan. Di samping mempunyai efek memutihkan rotan, oksigen radikal dapat menyerang serat selulosa dan kerusakan serat selulosa tersebut ditandai dengan pembentukan oksiselulosa (Trotman, 1968). Akibat dari penggunaan perhidrol adalah penurunan kekuatan mekanis rotan. Berdasarkan teori di atas, maka keberhasilan pemutihan dapat dinilai melalui derajat putih (JIS-Z-8741), kilap (SII 0437-81) dan kekuatan mekanis rotan, yaitu keteguhan lentur maksimum (BS 373:2957). Hasil

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

59


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

penelitian menunjukkan bahwa pemakaian perhidrol 24% dan soda api 3% memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada kondisi itu nilai derajat putih, kilap, dan keteguhan lentur maksimum masing-masing adalah 52,2%, 4,9% dan 442,0 kg/cm2. Namun perlu diingat bahwa peningkatan penggunaan konsentrasi perhidrol dalam pemutihan akan menurunkan kekuatan mekanik rotan tersebut. Pada konsentrasi perhidrol 30%, keteguhan lentur maksimum turun menjadi 337 kg/ cm2. Gambar 28. Hasil produk yang sudah diputihkan (Sumber: Rachman & Jasni 2013)

B. Pengolahan Rotan Asalan Kering menjadi Bahan Baku Pada beberapa industri, pengolahan rotan menjadi barang setengah jadi/bahan baku dan barang jadi biasa menjadi satu sehingga agak sulit dibedakan tahap pengolahannya. Namun buku ini sebisa mungkin akan fokus membahas pengolahan rotan menjadi bahan baku. Pengolahan rotan menjadi bahan baku menghasilkan produk seperti rotan bulat kupasan, kulit rotan, hati rotan dan berupa komponen mebel terpisah. Pengolahan bahan baku, rotan besar, dan rotan kecil berbeda sesuai dengan pemanfaatannya. Pada rotan besar proses yang dilewati meliputi poles kasar, poles halus dan pengampelasan (mesin), kikis kulit/scraping

60

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

(mesin kupas), pemutihan (pengasapan/bahan kimia), pembengkokan/pelengkungan (bakar/steaming/bahan kimia). Selanjutnya barang setengah jadi dapat diikat/bundling untuk dikirim atau diolah menjadi barang jadi. Rotan kecil biasanya melalui proses pembelahan, kecuali sebagai natural cane pada barang jadi. Proses yang dilewati meliputi perendaman, pembelahan, pengupasan kulit/trimming, pembentukan hati, pencucian, pemutihan, conditioning dan selanjutnya dapat di-bundling.

1. Sortasi Sortasi merupakan kegiatan utama dalam usaha penanganan pascapanen hasil pertanian, baik dalam keadaan segar maupun setelah perlakuan pascapanen. Istilah sortasi dalam kamus Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah menyortir yang berarti memilah yang diperlukan dan mengeluarkan yang tidak diperlukan. Proses penanganan pascapanen tidak selalu sesuai dengan harapan. Seringkali terjadi kegagalan yang disebabkan oleh kesalahan proses, buruknya hasil panenan, serangan hama gudang, atau hal tak terduga lainnya. Oleh karena itu, proses sortasi menjadi vital dalam kegiatan pascapanen rotan. Sortasi pada rotan dilakukan setelah proses pascapanen. Kegiatan ini bertujuan untuk memisahkan rotan yang layak jual dengan rotan rusak. Sortasi rotan dilakukan dengan cara manual. Rotan yang berkualitas dipisahkan dengan rotan yang pecah, gembos, atau patah akibat proses pembengkokan atau pelurusan. Selain itu dipisahkan juga rotan yang terkena serangan hama seperti bubuk rotan kering/kumbang bubuk kering/ powder post beetles (Dinoderus minutes) yang mengakibatkan rotan berlubang.

2. Pemotongan Proses ini bertujuan memotong rotan batang atau rotan semi poles yang sudah sesuai ukurannya untuk keperluan komponen dasar barang. Mesin yang digunakan yaitu mesin potong yang berada pada stasiun pemotongan setelah penerimaan dari stasiun pengeringan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

61


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

3. Scrapping Scrapping bertujuan memperkecil diameter rotan dengan cara mengupas kulit luar. Rotan yang di-scrapping biasanya jenis rotan batang/asalan, agar menjadi rotan siap poles atau semi poles.

4. Poles Proses ini berfungsi untuk mengamplas jenis rotan batang/asalan menjadi rotan semi poles. Setelah diamplas, kulit rotan batang akan menjadi lebih halus, tetapi masih terlihat ruas bukunya. Pemolesan merupakan proses terakhir sebelum tahap finishing (pewarnaan) dilakukan.

5. Pembuatan Core dan Fitrit Proses ini bertujuang menghasilkan rotan jenis fitrit dan core. Setiap 1 pcs rotan core dapat menghasilkan sekitar 4 pcs rotan fitrit, tergantung mata pisau yang digunakan.

6. Pembuatan Peel Proses ini bertujuan menghasilkan rotan peel dari rotan sega. Setiap 1 pcs rotan sega dapat menjadi 4 pcs rotan peel.

62

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Gambar 29. Pembuatan Peel. Pemotongan, scrapping, pemolesan, pembuatan core dan fitrit, pembuatan peel (dari kiri atas ke kanan bawah).

7. Pengawetan Pengawetan rotan adalah proses perlakuan kimia atau fisika terhadap rotan yang bertujuan meningkatkan masa pakai rotan. Bahan kimia untuk mengawetkan rotan disebut bahan pengawet. Selain berfugsi untuk mencegah atau memperkecil kerusakan rotan akibat oganisme perusak, pengawetan juga bertujuan memperpanjang umur pakai rotan. Pengawetan mulai dilakukan saat rotan masih berdiri atau sebelum dipungut (Bucheri), pengawetan rotan setelah panen (propilaktik), dan pengawetan rotan setelah kering (permanen). Cara pengawetan seperti ini disesuaikan dengan organisme perusak rotan tersebut.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

63


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Kunci keberhasilan produksi rotan adalah bagaimana mencegah atau menghindari rotan dari serangan organisme perusak rotan yang dapat menurunkan kekuatan, keawetan, maupun kualitasnya. Serangan organisme ini dapat terjadi sejak rotan ditebang, selama pengangkutan ke tempat pengumpulan di tepi hutan atau ke desa, dalam pengangkutan ke pabrik pengolahan, di pabrik sebelum diolah, setelah diolah, setelah menjadi barang jadi, maupun setelah barang di tangan konsumen. Organisme ini dikelompokkan menjadi jamur (fungi) dan serangga (insects) yang menyerang rotan sesuai bahan rotan dan kondisi lingkungan. Bahan pengawet yang sesuai dan teknik pengawetan yang tepat perlu diperhatikan agar pengawetan rotan menjadi efektif. Pengawetan yang efektif akan dapat menghemat penggunaan bahan baku rotan, sehingga meningkatkan kelestarian sumber daya rotan.

a. Organisme Perusak Rotan Pengetahuan tentang organisme perusak rotan diperlukan mengingat banyak sekali jenis organisme yang dapat menyerang rotan. Tiap jenis organisme bekerja pada kondisi lingkungan tertentu dan menimbulkan bentuk kerusakan yang berbeda. Secara sederhana, semua organisme perusak rotan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu jamur (fungi) dan serangga (insects). Dilihat dari dampak kerusakan yang ditimbulkan, jamur dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu jamur pewarna, jamur pelunak dan jamur pelapuk. Sedangkan serangga dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan kondisi lingkungan rotan saat diserang, yaitu bubuk rotan basah (pin hole borer) dan bubuk rotan kering (powder post beetle). Jamur pewarna dan pelapuk berasal dari kelas Ascomycetes dan Basidiomycetes. Sesuai namanya, serangan jamur pewarna menimbulkan warna berupa bintik-bintik atau bercak-bercak kebiruan, cokelat, sindur, merah, ungu, dan sampai biru kehitaman sehingga dapat menurunkan mutu penampilan rotan. Jamur

64

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

pewarna ini tidak hanya menodai permukaan (kulit), tetapi juga masuk ke dalam jaringan rotan. Dalam waktu 24 jam, hifa jamur dapat menjangkau sejauh sekitar 5,1 mm ke dalam jaringan rotan. Jamur pewarna yang sudah dijumpai pada rotan berasal dari genus Ceratocystis dan Diploida (Martono 1990). Jamur pewarna tidak menyerang selulosa dan lignin penyusun dinding sel, tetapi hidup dari zat pengisi sel, terutama sel rotan yang masih hidup (sel-sel parenkim). Oleh karena itu, jamur pewarna menyerang rotan dalam kondisi segar, terutama yang mempunyai kadar air 100% (Toni, 1976). Kadar air dalam rotan sangat erat hubungannya dengan serangan jamur pewarna. Semakin tinggi kadar air dalam rotan segar, semakin aktif serangan jamur pewarna. Cummins (1933) dan Holtam (1966) melaporkan, pertumbuhan jamur biru ini terjadi pada kadar air 23–150% dan tumbuh baik pada kadar air 35–120% dan suhu 22–30oC. Selanjutnya Salita (1985) mengatakan bahwa pertumbuhan jamur biru tersebut terhambat pada kadar air dibawah 20% dan suhu diatas 40oC. Dua jenis jamur yang menjadi penyebab adanya pewarnaan adalah Ceratocystis filiformis dan C. minuta. Jamur C. filiformis menyebabkan pewarnaan lebih berat karena penetrasinya cukup dalam, sedangkan C. minuta menyerang di permukaan rotan (Casin, 1975). Oleh karena jamur pewarna tidak menyerang dinding sel maka serangannya tidak menurunkan kekuatan rotan seperti keteguhan lentur, kekerasan dan sifat mekanis lainnya, tetapi sangat menurunkan standar mutu rotan (Roldan, 1954). Serangan jamur pelapuk menyebabkan rotan yang diserang menjadi regas atau lapuk. Jamur pelapuk lebih sering menyerang rotan yang sudah kering, tetapi sering mengalami kebasahan. Hal ini terjadi biasanya karena penggudangan yang kurang sempurna atau dalam pemakaian sering terkena air. Jamur pelapuk dapat pula menyerang rotan segar yang ditumpuk terlalu lama dalam kondisi lembap di tempat terbuka, misalnya menunggu saat pengangkutan di hutan atau saat pengolahan di pabrik. Jamur pelapuk berasal dari kelas Basidiomycetes ini memiliki kemampuan menghancurkan selulosa dan lignin sehingga kekuatan rotan, seperti keteguhan lentur, kekerasan dan keteguhan tekan akan berkurang.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

65


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Beberapa jenis jamur dari kelas ini hanya mampu merombak selulosa sehingga warna rotan berubah menjadi cokelat sesuai warna lignin yang disisakannya, atau disebut juga brown rot. Beberapa jenis lainnya menyebabkan warna rotan menjadi lebih putih dan pucat sebagai akibat perombakan lignin dan selulosa sehingga disebut white rot. Serangan brown rot biasanya lebih cepat menurunkan kekuatan rotan daripada white rot. Di antara kelompok jamur pelapuk, yang sering dijumpai menyerang rotan Gambar 30. Tumpukan rotan segar yang diserang jamur pewarna dan pelapuk (Sumber: Rachman & Jasni 2013). adalah jamur Schizophyllum commune Fr., Dacryopinax spathularia (Schw) dan Pyenoporus sanguinius (Fr) Karst. (Jasni dan Sumarni, 1999). Serangan jamur pada rotan hasil panen yang ditumpuk terlalu lama menyebabkan rotan tampak berwarna gelap, abu-abu, bahkan sampai hitam. Bubuk rotan basah atau disebut juga pinhole borer adalah kumbang Ambrosia yang berasal dari famili Scolytidae dan Platypdidae. Kumbang ini menyerang rotan segar, bahkan sudah dimulai dalam keadaan rotanrotan masih tumbuh berdiri sampai rotan dipanen. Serangan kumbang ini mengakibatkan rotan berlubang kecil-kecil (diameter 0,5–2,0 mm) dan berwarna kehitaman, sehingga akan menurunkan kualitas penampilan dan kekuatan rotan tersebut. Kumbang ini hanya berkembang sampai kadar air rotan turun di bawah 30%. Jika kadar air di bawah 30%, kumbang ini sulit untuk berkembang biak. Jenis yang umum ditemui adalah Arixyleborus granulifer, Platypus cylindrus dan Xyleborus perforans (Casin, 1975).

66

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Bubuk rotan kering atau disebut juga kumbang bubuk kering (powder post beetles) adalah serangga yang berasal dari famili Lyctidae dan Bostrycidae. Serangan bubuk rotan kering ditandai oleh adanya lubang gerek atau liang kembara yang dipenuhi bubuk halus (powder). Serangan dapat terjadi pada bahan baku rotan kering yang disimpan, bahan setengah jadi maupun penumpukkan komponen mebel selama beberapa bulan di gudang. Gambar 31. Bubuk rotan basah/pinhole borer (Platypus cyindrus) Sumber: Jurc (2005)

Salah satu suku Lyctidae yang sering menimbulkan kerusakan pada rotan adalah Lyctus sp. yang kecepatan penyerangannya sangat tinggi. Rotan dapat hancur hanya dalam beberapa minggu. Jenis bubuk lainnya yang umumnya menyerang adalah dari genus Dinoderus (Dinoderus minutus, Dinoderus brevis dan Dinoderus ocelaris) yang banyak tersebar di Asia Tropik. Dari tiga jenis bubuk tersebut, Dinoderus minutus merupakan jenis yang paling banyak dijumpai (Jasni, 1992; Imm, 1957; Nurjito, 1985 dalam Jasni 1999). Salah satu jenis dari famili Bostrycidae yang sering ditemukan adalah Heterobostrychus aequalis yang membuat lubang pada permukaan rotan dan dari lubang itu dikeluarkan bubuk halus berwarna kekuningan (Ahmad dkk., 1985).

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

67


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

A

B

C

Gambar 32. Bubuk rotan kering

Keterangan: a. Bubuk rotan kering/ kumbang bubuk kering/ powder post beetles (Heterobostrychus aequalis), b. Bubuk rotan kering/ kumbang bubuk kering/ powder post beetles (Heterobostrychus aequalis), c. Bubuk rotan kering/ kumbang bubuk kering/ powder post beetles (Dinoderus minutes). Sumber: Azmi et.al (2011).

Gambar 33. Serangan bubuk rotan kering pada rotan Keterangan: Serangan akibat Lyctus sp dan Dinoderus sp (atas), Heterobostrychus aequalis (bawah). Sumber: Rachman & Jasni (2013)

b. Bahan Pengawet Bahan pengawet adalah senyawa kimia yang mampu mencegah serangan organisme perusak rotan. Dengan demikian, istilah “bahan pengawet� selalu mengacu kepada senyawa kimia yang apabila diaplikasikan kepada rotan akan membuat rotan tidak disenangi atau repellent terhadap organisme perusak. Jumlahnya saat ini sangat banyak dan bervariasi dalam sifat, harga, efektivitas, dan kegunaannya. Namun, berdasarkan kegunaannya, secara umum bahan pengawet dapat dikelompokkan menjadi fungisida dan insektisida. Fungisida berfungsi mencegah jamur, sementara insektisida untuk mencegah serangga. Nama umum untuk kedua bahan pengawet itu adalah pestisida.

68

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Pestisida dapat mengawetkan rotan karena bahan ini mampu memengaruhi fungsi biologis organisme perusak, tepatnya dengan menghambat sistem kerja enzim atau hormon dalam tubuh organisme. Gangguan pada sistem kerja enzim akan menyebabkan perubahan fisiologis sehingga mungkin mematikan organisme perusak. Perubahan terhadap hormon biasanya menghambat telur untuk menetas atau tidak mampu membentuk turunannya atau biasa juga mengubah strain menjadi tidak mampu menyerang rotan (Martono, 1990a). Namun, perlu diingat bahwa sifat racun bahan pengawet tidak hanya terhadap jamur dan serangga, tetapi juga pada binatang dan manusia. Maka dari itu, penggunaan bahan pengawet harus berhati-hati demi menghindari bahaya yang mungkin timbul. Martono (1990) mengemukakan beberapa syarat agar penggunaan bahan pengawet untuk rotan menjadi efektif dan aman, yaitu : • • • • • • • •

Bahan pengawet sudah mendapat izin penggunaan dari Komisi Pestisida. Tidak menyebabkan perubahan warna rotan, tidak menimbulkan bau tidak sedap dan tidak bersifat korosif. Tidak menyulitkan dalam proses finishing produk rotan (cat, pelitur dan lain-lain) Tidak mengubah sifat kekuatan bahan, terutama kelenturan. Sifat fiksasi pada bahan rotan harus kuat, karena rotan selama pemakaian selalu bersinggungan dengan manusia. Masa proteksi cukup panjang. Tidak mengandung bahan yang sangat beracun bagi manusia dan ternak. Tidak bersifat persistent di alam.

Menurut Martawijaya (1988), berdasarkan pada komposisi kimia penyusunnya, bahan pengawet secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu bahan pengawet larut air (water – borne presrvatives),

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

69


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

bahan pengawet larut minyak (oil – borne preservatives) dan minyak pengawet (preservatives oils). Kelompok bahan pengawet tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bahan pengawet larut air Kelompok pengawet ini terbuat dari senyawa kimia dalam bentuk garam anorganik, baik tunggal atau campuran. Bahan pengawet ini selain dapat masuk ke dalam rongga sel dapat juga menembus dinding sel dengan cara difusi. Dengan adanya proses difusi ini maka rotan basah lebih disukai diawetkan menggunakan bahan pengawet ini. Larutan garam dalam pengawet ini akan menembus lebih dalam pada rotan basah ketimbang rotan kering. Pada rotan kering, bahan pengawet akan mengendap lebih cepat. Di pasaran, bahan pengawet ini diperdagangkan dalam bentuk tepung, pasta atau larutan pekat. Dalam pemakaiannya bahan terlebih dahulu dilarutkan dalam air pada konsentrasi tertentu. Karena dilarutkan dalam air, nampaknya bahan pengawet ini mudah luntur jika kena air atau menguap bersama air. Namun tentu tidak seluruhnya luntur, tergantung jumlah yang terfiksasi di dalam rotan. Untuk meningkatkan jumlah yang terfiksasi maka penetrasi harus tinggi yang diatur melalui komposisi bahan, cara aplikasi, dan konsentrasi. Beberapa contoh bahan pengawet larut air yang termasuk garam anorganik tunggal adalah garam sublimat (HgCl2), sulfat tembaga (CuSO4), bifluorida (NH4. HF) dan campuran asam borat (H3BO3) dengan borax (Na2B4O7. 10 H2O). Sedangkan contoh garam anorganik campuran dapat digolongkan menjadi sebagai berikut:

70

•

FCAP (campuran garam flour/chrom/arsen/phenol), dengan jenis-jenis bahan pengawet antara lain tanalth, impralit, sarmix dan lain lain.

•

CCA (campuran garam tembaga/chrom/arsen), contoh jenis bahan pengawet antara lain wolmanit, diffusol, impralit dan lain lain.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

• • •

CCB (campuran garam tembaga/chrom/boron) CCF (campuran garam tembaga/chrom/fluor) dan BFCA (campuran garam boron/fluor/chrom/arsen) dengan jenis bahan pengawet koppers.

2. Bahan pengawet larut minyak dan minyak pengawet Dalam aplikasinya, bahan pengawet ini dapat masuk ke dalam rongga sel tetapi tidak dapat menembus dinding selnya. Namun, apabila bahan pengawet telah masuk ke dalam, rongga sel tidak mudah luntur dan bersifat menolak air (water repellent). Agar bahan pengawet dapat masuk ke dalam rongga sel maka rotan harus dalam keadaan kering. Pada kadar air rotan berada di atas titik jenuh serat maka air yang terdapat dalam rongga sel akan menghambat masuknya bahan pengawet ke dalam rongga. Kelompok bahan pengawet larut minyak, antara lain adalah tributulene acetat, phoxin, pyrimyphos, permetrin, sipemetrin dan lain-lain. Sedangkan minyak pengawet antara lain adalah kreosot yang terbuat dari hasil penyulingan ter batubara (coal tar). Minyak kreosot untuk pengawetan diperoleh dari fraksi-fraksi yang disuling pada suhu antara 200–400°C. Berbagai jenis bahan pengawet dapat dihasilkan dari fraksi tersebut. Kreosot kurang layak dipakai untuk pengawetan rotan karena dapat mengotori bahan yang diawetkan, berbau kurang sedap dan sukar dicat.

c. Teknik Pengawetan •

Pengawetan sementara. Untuk mencegah rotan diserang organisme perusak maka pengawetan seharusnya dilakukan segera setelah panen. Pengawetan pada tahap ini disebut sebagai pengawetan sementara. Pengawetan sementara atau disebut juga pencegahan sementara (prophylactic treatment) dimaksudkan untuk menghindarkan rotan segar dari serangan organisme perusak, terutama jamur pewarna dan bubuk rotan basah atau kumbang ambrosia. Kata “sementara” berarti hasil pengawetan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

71


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

hanya mampu menahan serangan organisme perusak sampai rotan mencapai kadar air kering udara. Artinya, bahan pengawet akan efektif dalam selang beberapa minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai selesainya proses pengolahan tahap awal (pascapanen). Tindakan pengawetan ini sangat tepat bila dilakukan pada rotan yang baru dipanen atau setelah pembersihan duri dan kelopak serta pemotongan batang menjadi potongan-potongan dengan panjang tertentu (3–6 m). Pengawetan bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana dan mudah, seperti perendaman, pelaburan, dan penyemprotan. Pada dasarnya, apabila rotan segar hasil panen dapat segera diangkut ke tempat pengolahan lalu diproses dan dikeringkan maka pemberian bahan pengawet untuk pengawetan sementara tidak perlu dilakukan. Akan tetapi jika waktu pengangkutan rotan dari hutan ke tempat pengumpulan cukup lama, maka pengawetan pencegahan sebaiknya dilakukan di hutan atau di tempat pengumpulan sementara di tepi hutan.

Tabel 8. Jenis bahan pengawet untuk rotan Tujuan/ Nama Dagang

Komposisi Bahan Aktif

Konsentrasi yang Dianjurkan (%)

Untuk pencegahan jamur

72

Enblue 110 EC

Metilen bistiosianat (MBT)108 gram/liter

1,5

Enblue 100/100 EC

• •

1,0

Microcide 100 EC

Metilen bistiosianat 100 gram/liter

1,5

Basiblue 100 EC

Metilen bistiosianat 101 gram/liter

2,0

Metilen bistiosuanat 100 gram/liter 2 – tiosianometil tiobenzotianit 100 gram/liter

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Komposisi Bahan Aktif

Konsentrasi yang Dianjurkan (%)

• • •

Metilen bistiosianat 98 gram/liter Dietil dimetil amonium chlorit 149,9 gram/liter Alkohol dimetilbenzil amonium chlorit 104,9 gram/liter

2,0

Defence 200/130 WSC

• •

Azakonisol 200 gram/liter Karbendazim 131,31 gram/liter

2,0

Borax

• •

Boraks Asam borat

10,0

Tujuan/ Nama Dagang

Celebrite 300 WSC

Untuk pencegahan serangga Brash 25 EC

Sihalotrin 25 gram/liter

1,0

Cislin 25 EC

Deltametrin 25 gram/liter

0,5

Demone 100 EC

Permetrin 100 gram/liter

0,5

Dragnet 100 EC

Cypermetrin 300 gram/liter

0,5

Lantreks 400 EC

Chlorophyrifos 400 gram/liter

1,0

Sumber: Jasni dan Martono (1999) dan Rachman dkk. (1999)

Jenis bahan pengawet yang digunakan untuk pencegahan jamur pewarna biasanya berbeda dengan bahan pengawet untuk pencegahan bubuk rotan basah atau kumbang ambrosia. Namun demikian, secara praktis, bila kedua bahan ini dapat–campur (compatible) maka dalam pelaksanaannya dapat dicampurkan. Beberapa jenis bahan pengawet yang umum digunakan dewasa ini dapat dilihat pada Tabel 5. Penelitian pengawetan sementara telah dilakukan pada rotan segar berdiameter besar jenis balukbuk (Daemonorops sp.) dengan cara perendaman selama 30 menit (Sumarni dkk., 1993). Bahan pengawet yang digunakan adalah campuran MTB (metilen bistiosianat) 108 gram/liter dan chlorphyrifos 400 gram/liter yang dilarutkan dalam air masing-masing pada konsentrasi berkisar antar 1–4%. Contoh rotan hasil pengawetan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

73


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

sementara sebagian disimpan di ruang terbuka di bawah atap dan sisanya digoreng, lalu disimpan di tempat yang sama. Efektivitas fungisida dinilai melalui pengamatan perubahan warna penampang lintang (bontos) contoh uji. Perubahan warna dihitung berdasarkan perbandingan luas bidang yang mengalami pewarnaan dan luas bontos dinyatakan dalam persen. Suatu fungisida dinyatakan efektif bila pewarnaan pada bontos yang diberi bahan pengawet kurang dari 5% dan pada kontrol lebih dari 20%. Untuk mengetahui masa efektif atau masa proteksi fungisida maka pengamatan dilakukan secara periodik tiap dua minggu. Berdasarkan masa proteksi ditetapkan kelas efikasi bahan pengawet seperti pada Tabel 6.

Tabel 9. Efikasi bahan pengawet Masa Proteksi (Minggu)

Kelas Efikasi

0–2

Kurang

2–4

Sedang

4–6

Cukup

6–8

Baik Sumber: Martono (1990)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis bahan pengawet dapat dicampur (compatible) dan efektif menahan serangan jamur biru maupun kumbang ambrosia. Hal ini ditunjukkan oleh persentase pewarnaan pada bontos yang diawetkan (tidak digoreng dan digoreng) adalah 0% selama delapan minggu. Sedangkan, pewarnaan pada rotan yang tidak diawetkan (kontrol) dan tidak digoreng adalah 71–76% sampai dengan minggu kedua. Pewarnaan meningkat menjadi 100% pada minggu ketiga dan seterusnya. Bagi rotan kontrol yang digoreng, pewarnaan dapat dipertahankan pada 48% sampai dengan minggu kedua, tetapi meningkat

74

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

menjadi 95% pada minggu keempat dan menjadi 100% pada minggu seterusnya. Dengan demikian bahan pengawet yang digunakan termasuk kelas efikasi baik. •

Pengawetan permanen. Pengawetan permanen dimaksudkan, terutama untuk mencegah rotan terhadap serangan bubuk rotan kering. Cara pengawetan yang umum dilakukan adalah dengan perendaman, peleburan atau penyemprotan. Bahan rotan yang diawetkan adalah rotan kering, seperti rotan bulat kering atau rotan WS, rotan poles, rotan kulit, rotan hati, komponen barang jadi atau barang jadi yang akan disimpan di gudang. Oleh karena itu, pengawetan biasanya dilakukan di industri pengolahan. Penelitian rotan poles jenis batang (Daemonorops rubusta Warb.), diameter sekitar 3 cm telah dilakukan oleh Sumarni (1994) dengan perendaman selama 20 menit dalam larutan bahan pengawet chloropyrofos 400 gram/liter yang dilarutkan masing–masing dalam air dan minyak pada konsentrasi 1–5%. Setelah perendaman sebagian rotan dikukus (steaming) untuk memudahkan pembengkokan dan sisanya ditiriskan. Selanjutnya, rotan yang diawetkan ditulari dengan bubuk rotan kering Heterobostrychus aqualis Watt. dan dibiarkan dalam ruang pengujian selama 6 minggu. Keberhasilan pengawetan ditentukan oleh derajat proteksi dan mortalitas serangga atau bubuk rotan kering. Derajat proteksi ditetapkan dengan skala seperti pada Tabel 7. Sedangkan mortalitas serangga adalah perbandingan serangga yang mati dan jumlah serangga awal yang ditularkan, dinyatakan dalam persen.

Tabel 10. Derajat proteksi bahan pengawet Kondisi contoh uji

Persentase serangan (%)

Kondisi serangan

Nilai

Hampir utuh

Tipis

≤5

100

Terserang ringan

Nyata

6–15

90

Terserang sedang

Tembus ke dalam

16–50

70

Terserang hebat

Meluas di dalam

51–90

40

Hancur

Menyeluruh

91–100

0

Catatan: Pengawetan berhasil jika derajat proteksi rotan kontrol kurang dari 70.. Sumber: Sumarni (1994)

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

75


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Hasil penelitian di atas menunjukkan, bahwa bagi rotan yang tidak akan dikukus, bahan pengawet chloropyrifos harus dilarutkan dalam air untuk mengawetkan rotan tersebut, karena dengan cara ini mampu mencapai derajat proteksi 97,52% dan mortalitas 100%. Sedangkan bagi rotan yang akan dikukus bahan pengawet perlu dilarutkan dalam minyak untuk mengawetkan rotan tersebut, agar mencapai derajat proteksi 95,48% dan mortalitas 100%. Pada penelitian ini tercatat bahwa derajat proteksi rotan kontrol adalah 66. Penelitian dengan pola yang sama telah dilakukan pula dengan cara perendaman selama 30 menit dalam cairan bahan pengawet permetrin 36,8% yang dilarutkan dalam air pada konsentrasi 0,15–1,50% (Sumarni, 1994a). Setelah perendaman sebagian rotan dikukus dan sisanya ditiriskan. Selanjutnya, rotan ditulari dengan bubuk rotan kering Dinoderus minutus Febr sebanyak 50 ekor pada setiap contoh uji. Keberhasilan pengawetan dinilai melalui retensi, derajat proteksi dan mortalitas. Retensi adalah jumlah bahan pengawet yang diserap oleh rotan dinyatakan dalam kilogram per meter kubik (kg/m3) atau dengan rumus: Dimana, R = retensi (kg/m3) B0 = berat contoh rotan awal (g) B1 = berat rotan setelah diawetkan (g) K = konsentrasi bahan pengawet (%) V = volume bahan rotan (cm3) Hasil penelitian di atas melaporkan, bahwa retensi rata-rata bahan pengawet pada rotan yang tidak dikukus mencapai 0,36 kg/m3 dan pada rotan yang dikukus retensi menjadi 0,31 kg/m3 atau turun sekitar 14%. Rotan yang tidak akan dikukus dapat direndam dalam permetrin pada konsentrasi 0,15% karena mortalitas dan derajat proteksi telah mencapai 100%, sedangkan derajat proteksi kontrol 50. Rotan yang akan dikukus harus direndam dalam permetrin pada konsentrasi 0,30%. Sumarni dan Ismanto (1994) telah mengawetkan rotan untuk mencegah serangan kumbang bubuk kering dengan perendaman selama 20 menit dalam campuran bahan pengawet boraks 35,5%, asam borat 35,3% dan polibor 28,4% pada konsentrasi 1–5%. Hasil penelitiannya

76

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

menunjukkan bahwa rotan yang diawetkan dapat mencegah serangan bubuk rotan kering setelah delapan bulan pengamatan, baik rotan itu dikukus maupun tidak dikukus. Hadikusumo (1990) melaporkan bahwa untuk mencegah serangan kumbang bubuk, rotan dapat diawetkan dengan campuran prusi dan sevin masing-masing pada konsentrasi 6% dan 2–8%. Hasilnya menunjukkan bahwa selama pengamatan empat bulan tidak ditemui serangan kumbang bubuk pada rotan yang diawetkan.

8. Pengemasan •

Kemasan batang poles. Rotan gelondongan batang poles maupun semi poles dengan diameter 5-10 cm dan panjang 6 meter dikemas dengan cara diikat per gelondong sebanyak 20-25 batang, kemudian dibungkus menggunakan karung plastik.

•

Kemasan fitrit dan peel. Rotan fitrit dan peel dengan diameter 1-5 cm dan panjang 10-20 meter per lembar dikemas dengan cara diikat, lalu dibungkus menggunakan karton dan bungkus karung.

Gambar 34. Cara mengemas rotan batang dibungkus

Cara mengemas rotan batang menggunakan karung plastik.

Gambar 35. Cara mengemas rotan fitrit dan peel

Cara mengemas rotan fitrit dan peel

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

77


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

9. Pengangkutan Potensi dan kegunaan rotan yang cukup besar mengundang munculnya industri yang mengolah rotan. Banyaknya industri yang memanfaatkan rotan tentu meningkatkan pengambilan rotan sebagai bahan baku industri. Rotan dieksploitasi secara terus-menerus oleh masyarakat tanpa diikuti proses pembudidayaan yang seimbang. Untuk mengatasi pengambilan rotan yang berlebihan, maka pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pengambilan dan pengangkutan rotan. Pengambilan rotan diatur dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 50 ayat (3) huruf h, bahwa setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. Jika ketentuan ini dilanggar maka diancam dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (Pasal 78 ayat (7) UU No. 41 tahun 1999). Pengangkutan rotan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.8/Menhut-II/2009 memaparkan tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara yaitu Pasal 13 ayat (12) setiap pengangkutan HHBK rotan asalan dan produk olahan HHBK rotan setengah jadi, menggunakan FA-HHBK, (13) setiap pengangkutan produk olahan HHBK rotan dalam bentuk barang jadi (furnitur, kerajinan tangan, aneka keranjang, lampit, saborina, dan barang jadi lainnya berbahan rotan), menggunakan nota milik perusahaan, dan ayat (14) setiap pengangkutan HHBK mentah bukan rotan menggunakan FA-HHBK, dan pengangkutan produk olahan HHBK bukan rotan menggunakan nota milik perusahaan.

78

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

C. Pengelolaan Bahan Baku 1. Penggolongan Hasil Rotan Setelah melalui tahapan pascapanen, rotan dapat digolongkan pada tiga golongan, yaitu bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan bahan jadi. Bahan mentah diperoleh dari rotan asalan yang mengalami beberapa proses, seperti pencucian, penggorengan, penjemuran, pengasapan, pembelahan, pemolesan dan pemotongan. Rotan yang telah melalui proses pengasapan disebut rotan bulat berkulit/WS, sedangkan rotan yang telah melalui proses pemotongan dan pemolesan disebut bahan mentah. Sortasi yang dihasilkan berupa rotan bulat berkulit, rotan kikis buku, rotan poles kasar dan rotan belah kasar. Pada pelaksanaannya, pengolahan rotan berdiameter besar berbeda dengan rotan berdiameter kecil (Dransfield dan Manokaran, 1996 dan Rachman dan Jasni, 2013). Pengolahan dari rotan asalan menjadi rotan bahan mentah banyak mengadopsi dan mengembangkan metode dari berbagai daerah lain di Indonesia. Setiap tahapan proses kegiatan memiliki tujuan yang berbeda. Untuk rotan besar, tahapan yang dilalui sampai diperoleh bahan mentah adalah penggorengan, penggosokan, penjemuran, dan pengasapan. Berbeda dengan rotan besar, pada rotan kecil tidak dilakukan penggorengan karena lebih mudah mengering, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjemur. Pengolahan dilakukan dengan dua cara dimana masing-masing cara menghasilkan rotan kering udara. Natural cane merupakan rotan batang yang kulit maupun warnanya alami. Natural cane dapat dibuat menjadi barang jadi dengan harga yang tinggi. Pengolahan bahan baku menghasilkan produk seperti rotan bulat kupasan, kulit rotan, hati rotan dan berupa komponen mebel terpisah. Sedangkan barang jadi adalah produk siap pakai yang terdiri dari mebel, tikar, lampit, keranjang, krei, lampu dan lain-lain. Pada beberapa industri, pengolahan bahan baku dan barang jadi biasanya menjadi satu, sehingga sulit membedakan tahap pengolahannya.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

79


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Proses pengolahan bahan baku rotan besar dan rotan kecil berbeda sesuai dengan pemanfaatannya. Pada rotan besar proses yang dilewati meliputi: poles kasar, poles halus dan pengampelasan (mesin), kikis kulit/ scraping (mesin kupas), pemutihan (pengasapan atau bahan kimia), pembengkokan/pelengkungan (bakar/ steaming/bahan kimia). Selanjutnya barang setengah jadi dapat dibundel (bundling) untuk dikirim atau diolah agar memperoleh barang jadi. Pada rotan kecil biasanya melalui proses pembelahan, kecuali rotan natural cane pada barang jadi. Proses yang dilewati meliputi: perendaman, pembelahan, trimming kulit, pembentukan hati, pencucian, pemutihan, conditioning dan selanjutnya dapat dibundel (bundling). Secara ringkas, bahan baku rotan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berikut ini:

80

•

Rotan Batang/Asalan. Rotan jenis ini masih memiliki struktur kulit dan ruas-ruas yang jelas dan kasar. Diameter bervariasi antara 28-30 mm, 30-32 mm. Rotan batang dipakai sebagai kerangka utama produk rotan seperti kursi atau meja. Setelah menjadi kursi atau meja, rotan batang tidak akan terlihat karena biasanya tertutup oleh anyaman.

•

Rotan Semi Poles. Rotan batang yang telah dihaluskan dengan amplas disebut rotan semi poles. Rotan semi poles selanjutnya akan diproses oleh bagian finishing. Hasilnya akan terlihat setelah rotan menjadi produk jadi.

•

Rotan Kubu Grey. Rotan kubu grey adalah rotan yang dihasilkan setelah melalui tahap perendaman di dalam kolam berlumpur selama 3 minggu. Perendaman dalam lumpur dilakukan agar rotan mendapatkan warna abu-abu natural. Bahan baku rotan kubu grey adalah rotan sega yang kulitnya berwarna kuning, yang berubah warna menjadi abu setelah direndam.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Rotan Slimit. Rotan slimit adalah jenis rotan yang mempunyai diameter kisaran 2–5 mm, berbentuk bulat dan masih memiliki kulit luar, serta warnanya cenderung cerah.

Rotan Fitrit. Rotan fitrit adalah jenis rotan yang mempunyai diameter kisaran 0,5–5 mm, berbentuk bulat, kotak, segitiga atau oktagon, dan merupakan bagian dari inti rotan.

Gambar 36. Rotan batang, rotan semi poles, rotan kubu grey (dari kiri ke kanan)

(dari kiri ke kanan) Rotan batang, rotan semi poles, rotan kubu grey

Gambar 37. Rotan slimit dan rotan fitrit Rotan slimit dan rotan fitrit

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

81


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

2. Penyimpanan Bahan Baku Beberapa hal yang harus dilakukan di bagian gudang penyimpanan bahan baku yakni sebagai berikut: • • •

Identifikasi. Identifikasi terkait dengan pencatatan dan penandaan bahan baku berdasarkan ukuran, jenis, tanggal diterima di gudang, dan berat. Perawatan. Bahan baku rotan diletakkan di atas palet kayu (tidak menempel langsung pada lantai). Sirkulasi udara dan intensitas cahaya juga harus cukup sehingga bahan baku tidak cepat rusak. Pengemasan. Proses ini dilakukan jika bahan baku rotan siap dijual/dipasarkan. Pengemasan rotan biasanya dilakukan dengan cara mengikat sesuai ukuran. Pengemasan berbeda-beda untuk penjualan skala lokal dan ekspor. Pencatatan. Pegawai bagian penyimpanan harus melakukan pencatatan secara berkala untuk mengetahui jumlah stok bahan baku rotan dan memastikan kondisinya tetap baik.

D. Pengendalian Mutu Pengendalian mutu di sini merujuk pada keseluruhan proses pengelolaan pascapanen hingga rotan menjadi bahan baku. Demi menjaga mutu rotan dan/atau menghasilkan rotan olahan bermutu baik, beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan. 1. Kandungan Kimia Komponen kimia ini memengaruhi keawetan, ketahanan terhadap serangan jamur, dan serangga bubuk. Secara garis besar komponen pokoknya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: •

82

Selulosa, berasal dari fotosintesis. Sel berbentuk panjang ini berjumlah 38-58% dalam rotan. Sifat selulosa yakni mudah teroksidasi.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

•

Lignin, merupakan komponen sel terbanyak kedua setelah selulosa, yakni berkisar 18-27%. Lignin berfungsi sebagai bahan pengikat antarsel dan berperan memengaruhi keawetan rotan. Lignin rotan relatif lebih kecil dibandingkan kayu, baik kayu keras maupu kayu lunak (Chang dkk, dalam Rachman dan Jasni, 2006).

•

Zat ekstraktif, yaitu bahan organik dan anorganik. Zat ini pada mulanya merupakan cairan yang terdapat dalam rongga sel pada waktu-waktu masih hidup. Setelah sel-sel tua atau mati cairan tadi menempel pada dinding sel berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula, mineral dan silika. Jumlah zat ekstraktif berkisar 13%.

2. Sifat Fisis dan Mekanis Sifat fisis dan mekanis merupakan indikator penampakan, kekuatan, dan mutu rotan. Beberapa sifat fisis dan mekanis yang memengaruhi pengolahan rotan meliputi: •

Kadar air. Dalam keadaan segar cairan berada di dalam rngga sel, dinding sel dan ruang antarsel. Selanjutnya kadar air akan berkurang sampai hanya terdapat pada dinding sel. Uap air yang terdapat dalam rongga dan ruang antarsel disebut titik jenuh serat. Pada rotan olahan, keseimbangan antara kelembapan udara yaitu sekitar 14-20% berat rotan kering. Dalam praktik sehari-hari dikenal sebutan rotan segar (Ka 100%), rotan basah (Ka di bawah 100%), dan rotan kering udara (Ka 14-20%).

•

Berat jenis, yaitu perbandingan antara berat dan volume bahan dengan perbandingan berat dan volume air. Berat jenis dipengaruhi oleh kerapatan ikatan pembuluh (KIP). Semakin tinggi sebaran KIP, semakin tinggi berat jenis rotan, dan begitu sebaliknya. Berat jenis dikategorikan menjadi dua, yaitu sedang dan ringan. Berat jenis yang terlalu tinggi atau rendah tidak disukai pemakai, sebab berkaitan dengan kemudahan pengerjaan keawetan, dan mutu produk. Rotan manau dan tohiti, misalnya, sangat disukai karena berat jenisnya berkisar 0,48-0,55 (sedang).

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

83


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Kekuatan lentur statik, yaitu ukuran kemampuan rotan menahan beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk dan kekerasan. Hal ini ditentukan oleh tebal dinding sel.

Kelenturan rotan berbanding lurus dengan kekerasan rotan. Kelenturan rotan dapat diuji secara manual, yaitu dengan cara dilengkungkan dengan tangan dan dilepaskan. Ada tiga kategori: Rotan keras, apabila rotan kembali ke bentuk lurus seperti semula dengan cepat. Rotan sedang, apabila rotan cukup lambat kembali ke bentuk semula dan tidak sepenuhnya lurus. Rotan lunak, apabila rotan kembali ke bentuk awal tetapi retak atau pecah.

Warna dan kilap. Rotan yang berwarna cerah (putih atau krem) lebih baik daripada rotan yang berwarna kecokelatan. Rotan yang mengkilap dan cerah juga lebih baik dari rotan yang kusam. Inilah pentingnya proses pengasapan dan pemutihan untuk meningkatkan kualitas warna dan kilap rotan. Namun, perlu diperhatikan bahwa pengasapan yang terlalu lama dapat menyebabkan berkurangnya kualitas kekuatan rotan dan pemutihan dengan bahan tertentu (misalnya hidrogen peroksida) dapat meningkatkan kadar air rotan sehingga perlu pengeringan lanjutan. Di sisi lain, ada pula ahli yang berpendapat bahwa warna gelap rotan tidak berarti mutunya buruk. Preferensi warna ini sangat relatif, bergantung pada selera konsumen atau tren.

3. Pemeriksaan Proses

84

Perendaman. Durasi perendaman yang tidak tepat, misalnya karena terlalu lama, dapat menyebabkan rotan berubah warna menjadi terlalu gelap. Dalam proses sortir, produk semacam ini tidak akan masuk ke kelompok hasil berkualitas.

Pengeringan. Untuk mendapatkan kadar air rendah hingga tingkat tertentu, rotan dapat dikeringkan melalui proses penjemuran. Penjemuran secara langsung di bawah sinar matahari perlu dilengkapi dengan prosedur perlindungan terhadap hujan. Prosedur ini misalnya penyiapan tutup plastik atau terpal yang tidak terlalu berat dan sudah tersedia di dekat lokasi penjemuran.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

•

Jenis-jenis cacat. Penjemuran dihentikan saat batang rotan telah mencapai kadar air tertentu. Pengolah yang telah berpengalaman biasanya dapat memperkirakan kadar air dengan memukul-mukul (atau mengangkat-melepas) rotan untuk menakar pengurangan berat, serta memperhatikan bunyi rotan saat dipukul atau diangkat-dilepaskan. Selain untuk mengukur kadar air, proses ini juga berpotensi menyebabkan kerusakan lain. Beberapa kasus cacat, rusak, atau penyimpangan sifat bahan yang dapat terlihat setelah proses ini yaitu rotan kulit pecah, mengelupas, api-api, parut buaya, lubang gerek, pecah ujung, dan jamur biru.

Gambar 38. Rotan sebelum direndam (kiri) dan rotan setelah rendaman

Rotan sebelum direndam (kiri) dan rotan setelah rendaman

(dari kiri ke39. kanan) pecah, mengelupas, danapi-api api-api(dari kiri ke kanan). Gambar KulitKulit pecah, mengelupas, dan

Gambar 40. Pecah ujung (kiri) dan parut buaya Pecah ujung (kiri) dan parut buaya

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

85


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Tabel 12. Penerapan mutu rotan berdasarkan cacat ringan Cacat ringan ≤ 10% p >10- 25% p > 25- 50% p > 50 % p

Mutu P D T M

Gambar 41. Cacat rotan jamur biru (kiri) dan lubang gerek

Cacat rotan jamur biru (kiri) dan lubang gerek

Tabel 13. Penerapan mutu rotan berdasarkan cacat berat

4. Baku Mutu Rotan Baku mutu rotan ditetapkan melalui Standar Mutu Bahan Baku dengan menggunakan kriteria SNI 01-3575-1994, yaitu sebagai berikut.

Tabel 11. Mutu rotan berdasarkan ukuran panjang Panjang

86

Mutu

Rotan berdiameter besar

Rotan berdiameter kecil

≥ 2,70 m

≥ 4,00 m

P/D/T

<2,70 m – 1,00

<4,00 m – 3,00m

M

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

Cacat ringan X X X <10 % p

Mutu P D T M


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

E. Pemilihan Bahan Bakar dan Penanganan Limbah 1. Pemilihan Bahan Bakar Pabrik pengolahan rotan skala menengah menggunakan bahan bakar minyak untuk operasional produksinya, seperti bahan bakar mobil atau truk dinas, mesin produksi, generator, dsb. Beberapa alternatif penggunaan bahan bakar di antaranya yaitu: •

Kayu bakar, sumber bahan bakar yang cukup murah dan banyak tersedia, akan tetapi dalam jangka panjang akan berdampak pada kelestarian hutan.

•

Gas alam, sumber bahan bakar yang banyak tersedia di pasaran. Merupakan sumber panas yang baik dan sifatnya lebih efisien, akan tetapi dalam pemakaian skala industri, gas alam akan menjadi mahal.

•

Wood pellet, merupakan produk olahan limbah kayu yang diproses dengan sistem briket, dipadatkan, lalu dibakar. Sifat kalornya lebih tinggi dari kayu bakar. Wood pellet juga lebih ramah lingkungan dilihat dari pembuatannya yang memanfaatkan limbah kayu.

Meskipun begitu, pabrik pengolahan rotan harus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar tersebut. Misalnya dengan mengganti dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (pertamax atau biosolar) atau menggunakan listrik sebagai sumber energi. •

Bahan bakar penggorengan. Penggorengan merupakan proses pengolahan yang cukup banyak membutuhkan bahan bakar. Medium pembakaran yang disarankan untuk digunakan dalam proses ini yaitu pellet kayu (wood pellet) sebagai pengganti bahan bakar minyak. Pellet kayu sebanyak 1 kg dapat memanaskan tungku selama 5-7 menit. Maka untuk untuk sebuah belanga penggorengan berkapasitas 500 kg rotan dengan masa penggorengan 2 jam (120 menit), dibutuhkan 24 kg pellet kayu (120/5 menit = 24).

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

87


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

•

Kebutuhan genset. Kebutuhan energi pabrik dipenuhi oleh pasokan listrik yang berasal dari jaringan PLN dan sisanya dari generator sebagai cadangan daya. Kinerja generator membutuhkan BBM dalam bentuk biosolar rata-rata 50 liter per hari per 3 fase, dengan waktu operasi 6 jam.

Tabel 14. Spesifikasi mesin yang dibantu generator No.

Nama Mesin

a.

Mesin Pembelah Rotan Dinamo motor 3,5

b.

4

PK

1450

rpm

4

hole

400

kg/h

2.984

kW

2

PK

1450

rpm

220/280

V

1.492

kW

1

Ton

Pelurus

3

hp

1090x930x1250 mm

380

v

2.238

kW

Gergaji rotan 800x600x900 mm

c.

Kapasitas

Belanga Goreng 2mm tebal, siku 5x5mm 6000x1100x1100

d.

88

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

No.

Nama Mesin

e.

Penipis 400x600x1000 mm

f.

g.

Kapasitas 1

hp

220/380

V

0.746

kW

Dowel memperkecil

3

hp

1200x1000x1300 mm

12 sd 12

mnt

380

V

2.238

kW

Poles

3

hp

sand belt 130 x 1850 mm

blower 1

hp

1200x640x1350 mm

2.238

kW

Core/belah

7.5

hp

1500x1200x1000

380

V

400 kg/hari

3

phas

5.595

kW

Split core fitrit < 12 mm

4

hp

8 roll karet

380

V

85x65x115 cm

3

phas

400 kg/hari

2.984

kW

amplas 5 x 72 mm Feed speed 8 m/min h.

i

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

89


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

2. Penanganan Limbah Penanganan limbah ditinjau dari setiap tahap proses atau dihitung berdasarkan jenis dan limbah di setiap stasiun kerja. Dalam pabrik pengolahan bahan baku rotan, porsi limbah lebih banyak berupa debu, tetaln, gream, dan kulit bisa digunakan untuk bahan komposit atau diolah kembali menjadi pulp.

Tabel 15. Jenis limbah berdasarkan proses Potong

Scrap

Polish

Core

Limbah Padat

Goreng x

Tetelan, kulit

Kulit, debu

debu

kulit

x

Cair

x

x

x

x

Minyak, air

Gas

x

x

x

x

Uap

Gambargream 42. Jenisdan limbah gream danmesin chips Jenis limbah chips dari dari mesin dowell dowell Terdapat dua jenis limbah industri, yaitu limbah B3 dan limbah biasa. Limbah B3 harus ditampung terlebih dahulu sebelum dikelola oleh perusahaan yang kompeten, sementara limbah biasa (rotan, debu pekat, atau sampah sisa kemasan) dapat dimanfaatkan kembali menjadi bahan bakar biomassa, misalnnya dengan diolah menjadi briket untuk bahan bakar pengeringan (oven).

Proses pembelahan dan pemolesan menghasilkan debu tipis yang sangat banyak. Maka dari itu, sirkulasi udara di lokasi pembelahan dan pemolesan harus diperhatikan dengan baik. Proses pemotongan melibatkan mesin besar. Limbah jenis ini dapat diantisipasi atau ditangani dengan beberapa cara, di antaranya sebagai berikut:

90

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

• • •

Pengoperasian alat pengumpul debu (dust collector) Pengelolaan sirkulasi udara lokasi pembelahan dan pemolesan Pengelolaan sampah pembelahan, jika memungkinkan dimanfaatkan sebagai sumber energi biomassa.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, total dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang sudah dan sedang dimplementasikan untuk pengadaan rotan untuk sekolah mencapai Rp 4,3 miliar. Revitalisasi industri pengolahan di sentra industri rotan sudah ada, di antaranya pembangunan Pusat Desain Furnitur Rotan di Cirebon dan penyelenggaraan Lomba Desain Furnitur, pelaksanaan Diktat Peningkatan Kompetensi SDM Bidang Desain di daerah sentra industri, serta perluasan pasar (dalam dan luar negeri). Kemenperin juga meminta kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menggunakan mebel rotan di kantor-kantor pemerintah dan BUMN, serta penggunaan bangku rotan di sekolah-sekolah, khususnya di daerah sumber bahan baku (Direktorat Jendral Industri Agro, 2016). Terkait penanganan limbah industri, sampai saat ini limbah rotan sangat melimpah dan hanya dimanfaatkan sebagai bahan kayu bakar untuk rumahan/media pembakaran dalam proses penggorengan rotan. Karena itu, perlu inovasi untuk diversifikasi produk rotan dan pemanfaatan biomassa rotan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, harus ada suatu optimasi pemanfaatan rotan dengan suatu inovasi yang disertai dengan teknologi. Salah satunya, mengubah bentuk rotan menjadi serat berukuran short fiber, mikrofiber atau nanopartikel yang berfungsi sebagai filler komposit menggantikan filler sintetis. Serat rotan dapat dibuat dengan alat milling-shaker menghasilkan ukuran mili, mikro dan nanometer sesuai dengan kebutuhan produk hilir, kemudian dibuat granular komposit dengan matrik polimer, lalu dicetak sesuai dengan kebutuhan pasar. Cahyana (2014) menyebutkan bahwa limbah rotan dapat diolah menjadi papan partikel dengan campuran penyulingan kulit kayu gemor (Alseodaphne sp.). Nikmatin dkk. (2012) menyebutkan bahwa ketersediaan limbah kulit rotan yang berlimpah dapat direkayasa menjadi produk teknologi andalan nasional, yaitu nanokomposit.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

91


BAB

4

PENANGANAN PASCAPANEN DAN PRODUKSI BAHAN BAKU ROTAN

Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Bina Produksi Kehutanan, dari 143 juta hektar luas hutan di Indonesia diperkirakan hutan yang ditumbuhi rotan seluas 13,20 juta hektar. Nilai ekspor rotan Indonesia setiap tahun terus meningkat dan sampai saat ini belum ada pemanfaatan pengolahan limbahnya, selain dibuang dan dibakar. Kulit rotan limbah pemanenan dapat diekstrak menjadi selulosa—yang merupakan bahan penghasil serat. Serat rotan dapat diperkecil ukurannya menjadi nanopartikel melalui proses penggilingan mekanik, pemanasan berstirer, dan ultrasonikasi. Metode ultrasonikasi merupakan salah satu metode sintesis nanopartikel yang sudah banyak digunakan oleh peneliti dan industri untuk sintesis nanomaterial. Namun proses tersebut memiliki kekurangan, dimana untuk menghasilkan ukuran < 100 nm sekaligus memecah ikatan nonselulosa dalam biomassa pada material berserat membutuhkan frekuensi tinggi dan waktu yang cukup lama. Untuk itu diperlukan proses perlakuan awal, yaitu penggilingan mekanik yang disertai dengan proses pemanasan berstirer.

92

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

BAB V. MANAJEMEN PEMBIAYAAN

U

ntuk mendukung keberhasilan pengolahan rotan, perlu diperhatikan ketersediaan sarana/faktor produksi. Ada empat unsur pokok faktor produksi dalam usaha tani, antara lain tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan (Hernanto, 1995).

Biaya dalam pengertian ekonomi adalah semua beban yang harus dibayar produsen untuk menghasilkan suatu barang sampai barang tersebut siap dikonsumsi/diedarkan, sehingga besar kecilnya biaya yang dikeluarkan tergantung pada besar kecilnya barang yang diproduksi (Mubyarto, 1998). Biaya dalam klasifikasinya dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu biaya variabel, biaya tetap, biaya marjinal, biaya rata-rata, biaya total, biaya eksplisit dan biaya implisit (Hernanto, 1995). Besar kecilnya biaya produksi akan memengaruhi pendapatan yang diterima pengusaha. Industri pengolahan dikatakan berhasil bila pendapatan yang diterima pengusaha memenuhi syarat-syarat antara lain: cukup untuk membayar pembelian faktor produksi, cukup untuk membayar bunga modal dan cukup untuk membayar upah tenaga kerja dalam dan luar keluarga serta upah dalam bentuk lainnya. Di bawah ini disajikan simulasi manajemen pembiayaan atau modal pembiayaan untuk pembangunan dan operasional pabrik pengolahan rotan, dengan asumsi dan parameter yang digunakan sebagai berikut.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

93


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

Tabel 16. Parameter awal perhitungan biaya URAIAN 1. Kapasitas olahan/jumlah produksi

SATUAN

- Core

kg/bulan

15,000

- Fitrit

kg/bulan

10,000

- Poles

kg/bulan

15,000

4. Kapasitas produksi

- Tahun I

50%

- Tahun II

75%

- Tahun III dst

3. Harga bahan baku

100%

- Bahan Asalan Fitrit

Rp/kg

2,000

- Bahan Asalan Core, Polish

Rp/kg

2,000

4. Kebutuhan bahan baku rotan

- Core

kg/unit

1.45

- Fitrit

kg/unit

1.60

- Poles

kg/unit

1.45

6. Harga Bahan pengikat

Rp/unit

1,500

7. Harga Bahan kemasan

Rp/unit

2,000

8. Harga Bahan bakar, listrik

Rp/unit

50,000

9. Upah

94

JUMLAH

- Core

Rp/unit

70,000

- Fitrit

Rp/unit

75,000

- Poles

Rp/unit

75,000

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

URAIAN 10. Harga jual

SATUAN

JUMLAH

- Core

Rp/unit

9,000

- Fitrit

Rp/unit

9,500

- Poles

Rp/unit

10,000

11. Bulan kerja per tahun

Bulan

12

- Modal pinjaman

Porsi

0%

- Jangka waktu pinjaman

Tahun

10

- Bunga Pinjaman

%/tahun

- Mesin dan Peralatan

per tahun

12. Kebutuhan modal kerja

2.50%

- Modal sendiri

Porsi

100%

- Modal pinjaman

Porsi

0%

- Jangka waktu pinjaman

Tahun

10

- Bunga Pinjaman 13 Nilai Tukar

%/tahun

20%

Rp/US$

13,500

1. Biaya Investasi Pembangunan pabrik rotan membutuhkan modal investasi meliputi biaya penyiapan tanah dan studi AMDAL, pengerjaan bangunan sipil, pengadaan alat dan mesin, peralatan kantor, dan biaya pra-operasi.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

95


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

Tabel 17. Biaya investasi URAIAN A. Penyiapan Tanah

500

m2

B. Bangunan dan Pekerjaan Sipil (300m2)

300

2. Pemasangan Listrik 5000 watt 3. Pra Investasi (Perizinan, Bisnis Plan, SOP, Kelembagaan, dll)

m2

1

paket

1

paket

TOTAL HARGA (Rp) -

1. Bangunan Produksi, gudang dan kantor

600,000,000

1,500,000

450,000,000

100000000

100,000,000

50000000

C. Mesin dan Peralatan

50,000,000 396,000,000

- Mesin Core

2

Unit

55,000,000

110,000,000

- Mesin Scrap

2

Unit

25,000,000

50,000,000

- Mesin Poles

2

Unit

65,000,000

130,000,000

- Hand Forklift

2

unit

5,500,000

11,000,000

- Mesin Potong

1

unit

25,000,000

25,000,000

- Bak/Belanga penggorengan

2

unit

10,000,000

20,000,000

- Genset 30 kw

1

paket

50,000,000

50,000,000

TOTAL INVESTASI

96

HARGA SATUAN (Rp)

JUMLAH

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

996,000,000


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

2. Biaya Operasional Biaya operasional terdiri atas biaya produksi dan modal kerja. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang berhubungan dengan fungsi produksi atau kegiatan pengolahan menjadi bahan baku. Biaya operasional dikelompokkan dalam dua komponen, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya selalu konstan tidak tergantung pada tingkat produksi pabrik. Biaya variabel adalah semua biaya yang akan mengalami perubahan dengan berubahnya tingkat produksi. Yang termasuk dalam biaya variabel dalam pabrik pengolahan rotan meliputi biaya bahan bakar, biaya bahan mentah, biaya kemasan, biaya bahan pembantu dan gaji tenaga kerja langsung.

Tabel 18. Biaya gaji karyawan JUMLAH (ORANG)

JABATAN A. Tenaga Kerja Tak Langsung (Staff)

GAJI /ORANG (Rp)

BIAYA GAJI / BULAN (Rp)

BIAYA GAJI / TAHUN (Rp)

1. Kepala Pabrik

1

5,000,000

5,000,000

60,000,000

2. Manajer Produksi

1

2,500,000

2,500,000

30,000,000

3. Quality Control

1

2,500,000

2,500,000

30,000,000

4. Operator Mesin Core

2

1,200,000

1,800,000

21,600,000

5. Operator Mesin Poles

2

1,200,000

1,800,000

21,600,000

6. Operator Mesin Scrap

2

1,200,000

1,800,000

21,600,000

7. Operator Mesin Pemotong

2

1,200,000

1,800,000

21,600,000

8. Operator Penggorengan/Drying

2

1,200,000

1,800,000

21,600,000

9. Sales Marketing & Export

2

1,200,000

1,800,000

21,600,000

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

97


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

JUMLAH (ORANG)

JABATAN

GAJI /ORANG (Rp)

BIAYA GAJI / BULAN (Rp)

BIAYA GAJI / TAHUN (Rp)

10. HRD/ Personalia

1

1,200,000

1,800,000

21,600,000

11. Admin Keuangan dan Akuntansi

1

1,200,000

1,200,000

14,400,000

12. Security

2

1,100,000

2,200,000

26,400,000

1

1,000,000

13. Office Boy Sub Total B. Tenaga Kerja Langsung

20

1,000,000

12,000,000

27,000,000

324,000,000

1. Core

2

1,595,000

3,190,000

38,280,000

2. Fitrit

2

1,035,000

2,070,000

24,840,000

3. Poles

2

666,000

1,332,000

15,984,000

Sub Total

6

6,592,000

79,104,000

TOTAL

26

33,592,000

403,104,000

Tabel 19. Biaya Perawatan ASET

PORSI BIAYA PERAWATAN/THN (%)

BIAYA PERAWATAN/THN (Rp)

1. Bangunan dan Pekerjaan Sipil

600,000,000

2.50%

15,000,000

2. Mesin dan Peralatan

396,000,000

2.50%

9,900,000

98

NILAI INVESTASI

TOTAL

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

24,900,000


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

Tabel 20. Biaya Penyusutan UMUR ASET (Tahun)

ASET

NILAI AWAL (Rp)

PENYUSUTAN PER TAHUN (Rp)

NILAI SISA (Rp)

1. Bangunan dan Pekerjaan Sipil

20

600,000,000

30,000,000

28,500,000

2. Mesin dan Peralatan

10

396,000,000

39,600,000

35,640,000

TOTAL

64,140,000

Tabel 21. Biaya Operasi URAIAN A. Bahan Baku

1. Bahan rotan

TOTAL BIAYA TAHUNAN (Rp)

59,500

kg/bulan

2,000

1,428,000,000

2. Bahan kemasan

595

kg/bulan

1,500

10,710,000

3. Bahan penolong

496

kg/bulan

2,000

11,900,000

Total Bahan Baku

B. Biaya Utilitas 1. Biaya Listrik

1,450,610,000

1

Rp/bulan

5,000,000

60,000,000

1

Rp/tahun

24,900,000

24,900,000

3. Tenaga Kerja Langsung

1

Rp/tahun

324,000,000

324,000,000

4. Tenaga Kerja Tidak Langsung

1

Rp/tahun

79,104,000

79,104,000

2. Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan Aset

HARGA SATUAN (Rp)

JUMLAH

Total Utilitas

488,004,000

Total Biaya Operasi

1,938,614,000

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

99


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

Tabel 22. Biaya produksi URAIAN 1. Produksi

SATUAN

NILAI

- Core

unit /tahun

180,000

- Fitrit

unit /tahun

120,000

- Poles

unit /tahun

180,000

2. Harga Penjualan

- Core

Rp/unit

- Fitrit

Rp/unit

9,500

- Poles

Rp/unit

10,000

3. Total Penjualan

Rp/tahun

9,000

- Core

Rp/tahun

1,620,000,000

- Fitrit

Rp/tahun

1,140,000,000

- Poles

Rp/tahun

1,800,000,000

Rp/tahun

4,560,000,000

Total Nilai Penjualan

3. Laba Rugi Proyeksi laba rugi merupakan ringkasan penerimaan dan pembiayaan perusahaan setiap periode akuntansi. Proyeksi ini memberikan pencatatan kemajuan perusahaan dari waktu ke waktu. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) merupakan perbandingan antara nilai sekarang (present value) dari net benefit yang positif dengan net benefit yang negatif.

100

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

Laba bersih merupakan nilai yang diperoleh dari pengurangan total penerimaan dengan biaya operasi, bunga pinjaman dan pajak penghasilan. Pada tahun kedua, pabrik pengolahan rotan sudah menghasilkan laba bersih positif. Hal ini menunjukan bahwa pabrik pengolahan rotan cukup menguntungkan.

Tabel 23. Proyeksi laba rugi URAIAN

TAHUN 0

A. Pendapatan

TAHUN 1

TAHUN 2

1. Core

-

810,000,000

1,215,000,000

2. Fitrit

-

570,000,000

855,000,000

3. Poles

-

900,000,000

1,350,000,000

-

2,280,000,000

3,420,000,000

Total Pendapatan B. Biaya Operasi/Produksi

1. Biaya bahan baku

-

725,305,000

1,087,957,500

2. Biaya Listrik

-

30,000,000

45,000,000

3. Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan Mesin dan Alat

-

12,450,000

18,675,000

4. Tenaga Kerja Langsung

-

162,000,000

243,000,000

5. Tenaga Kerja Tidak Langsung

-

39,552,000

59,328,000

Total Biaya Operasi

C. Laba (Rugi) Operasi D. Pendapatan (Biaya) Lain-Lain

-

969,307,000

1,453,960,500

-

1,310,693,000

1,966,039,500

1. Pendapatan Lain-Lain

-

-

-

2. Biaya Lain-Lain

-

-

-

Total Pendapatan (Biaya) Lain-Lain

-

-

-

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

101


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

URAIAN

TAHUN 0

TAHUN 1

TAHUN 2

E. Laba (Rugi) Sebelum Pajak

-

1,310,693,000

1,966,039,500

F. Pajak Usaha

-

384,457,900

581,061,850

G. Laba (Rugi) Setelah Pajak

-

926,235,100

1,384,977,650

4. Analisis Finansial Analisis finansial harus mempertimbangkan harga komponen produksi yang sering berubah (misal harga rotan asalan basah banyak dipengaruhi oleh depreseiasi rupiah terhadap dolar AS) dan juga jual produk bahan baku rotan yang cenderung fluktuatif. Analisis finansial memperhitungkan sejauh mana penurunan harga jual produk dan kenaikan biaya variabel produksi dari asumsi yang dikemukan berpengaruh terhapap kelayakan proyek yang diukur dengan perubahan NPV dan Internal rate of Return (IRR).

Tabel 24. Analisis finansial laba rugi Interest Rate =

102

0%

NPV =

Rp16,188,423,183

IRR =

120.79%

B/C Ratio =

1.6167

Payback Period =

1.1688

Rata-rata

Arus Kas Usaha Bersih

(996,000,000)

828,823,933

1,449,117,650

PV Proceeds

-

2,344,140,000

3,484,140,000

Akumulasi PV Proceeds

-

2,344,140,000

5,828,280,000

PV Outlays

996,000,000

1,353,764,900

2,035,022,350

Akumulasi PV Outlays

996,000,000

2,349,764,900

4,384,787,250

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

Tabel 25. Contoh analisis pembiayaan pabrik pengolahan rotan JENIS BIAYA

HARGA

UNIT

KEBUTUHAN

UNIT

WAKTU

UNIT

TOTAL

BIAYA TETAP Bangunan pabrik Lahan penumpukan rotan asalan

Rp./m2

m2

Bangunan penggorengan

Rp./m2

m2

Lahan penjemuran

Rp./m2

m2

Tempat penggosokan dan pencucian

Rp./m2

m2

Bangunan tempat pengasapan

Rp./m2

m2

Bangunan tempat pemutihan

Rp./m2

m2

Bangunan gudang dan penyimpanan bahan baku

Rp./m2

m2

Bangunan kantor administrasi

Rp./m2

m2

Bangunan ruang rapat

Rp./m2

m2

Bangunan kantor urusan ekspor

Rp./m2

m2

Bangunan showroom dan kantor pemasaran

Rp./m2

m2

Halaman (loading and unloading dock)

Rp./m2

m2

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

103


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

JENIS BIAYA

HARGA

UNIT

KEBUTUHAN

UNIT

Mesin dan peralatan lainnya Tungku dan alat penggorengan

Rp./unit

set

Mesin core-fitrit-pengupas

Rp./unit

unit

Mesin sandid peel

Rp./unit

unit

Mesin amplas

Rp./unit

unit

Mesin pemotong

Rp./unit

unit

Mesin genset

Rp./unit

unit

Mesin pelurus

Rp./unit

unit

Mesin split

Rp./unit

unit

Mesin dowel

Rp./unit

unit

Mesin pemoles

Rp./unit

unit

Mesin lainnya .................

Rp./unit

unit

Mesin lainnya .................

Rp./unit

unit

Mesin lainnya .................

Rp./unit

unit

Mesin lainnya .................

Rp./unit

unit

Alat packing

Rp./unit

unit

Gaji direksi Gaji pimpinan Gaji manajer produksi Gaji admin keuangan dan akuntansi Gaji sales marketing dan ekspor Gaji staf R&D

104

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

WAKTU

UNIT

TOTAL


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

JENIS BIAYA

HARGA

UNIT

KEBUTUHAN

UNIT

WAKTU

UNIT

TOTAL

Gaji QC Gaji admin produksi Gaji purchasing TOTAL BIAYA TETAP

BIAYA TIDAK TETAP Persiapan Tenaga kerja

Rp./org/hari

orang

hari

Pembelian rotan asalan dari pemanen rotan

Rp./kg

kg

hari

Biaya angkut rotan dari lahan penumpukan sementara ke pabrik

Rp./m3

m3

hari

Rp./org/hari

Oorang

hari

Minyak goreng

Rp./m3

m3

hari

Bahan bakar untuk menggoreng

Rp./m3

m3

hari

Rp./org/hari

orang

hari

Rp./m3

m3

hari

Penggorengan Tenaga kerja

Penggosokan dan pencucian Tenaga kerja Bahan penggosok Peruntian

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

105


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

JENIS BIAYA

Tenaga kerja

HARGA

UNIT

KEBUTUHAN

UNIT

WAKTU

UNIT

Rp./org/hari

orang

hari

Rp./m3

m3

hari

Rp./org/hari

orang

hari

Rp./org/hari

orang

hari

Belerang

Rp./m3

m3

hari

Bahan bakar

Rp./m3

m3

hari

Rp./org/hari

orang

hari

Bahan kimia pemutih

Rp./m3

m3

hari

Larutan pembersih

Rp./m3

m3

hari

Rp./org/hari

orang

hari

Rp./m3

m3

hari

Rp./org/hari

orang

hari

Bahan penghilang lapisan kulit silica pada rotan Pengeringan Tenaga kerja Pengasapan Tenaga kerja

Pemutihan Tenaga kerja

Pengawetan Tenaga kerja Bahan kimia pengawet Pemprosesan/penggolongan Tenaga kerja

106

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N

TOTAL


BAB

5

MANAJEMEN PEMBIAYAAN

JENIS BIAYA

HARGA

Biaya energi

UNIT

KEBUTUHAN

UNIT

WAKTU

UNIT

Rp./kwh

kwh

hari

Tenaga kerja

Rp./org/hari

orang

hari

Plastik lembaran/kanvas pengemas

Rp./gulung

gulung

hari

Pengikat kemasan

Rp./gulung

gulung

hari

Rp./m3

m3

hari

TOTAL ROTAN ASALAN

kg

hari

TOTAL PRODUKSI BAHAN BAKU/SETENGAH JADI

m3

hari

TOTAL

Sortasi, pengemasan, pengangkutan

Ongkos kirim TOTAL BIAYA TIDAK TETAP

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

107


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

BAB VI. LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN A. Bentuk Usaha Pengolahan Rotan Pabrik pengolahan bahan baku rotan dapat dikelola oleh perorangan dalam Commanditer Vetnoscop (CV) dan Perseroan Terbatas (PT) atau dalam bentuk usaha bersama di bawah pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) atau koperasi. Pemaparan tentang bentuk-bentuk badan usaha tersebut adalah sebagai berikut.

1. Commanditaire Vennootschap (CV) Badan usaha ini dikenal dengan istilah Commanditaire Vennootschap (CV), yaitu perusahaan persekutuan dimana pendirinya terdiri dari dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan untuk melakukan kegiatan usaha guna meraih keuntungan atau laba. Anggota CV terbagi menjadi sekutu aktif (persero pengurus) dan sekutu pasif (komanditer). Sekutu aktif berkewajiban mengelola perusahaaan. Sekutu aktif ini disebut direktur atau pimpinan perusahaan, dan komisaris yang bertindak sebagai pengawas. Sedangkan sekutu pasif berperan sebagai pemodal. Modal serta pembagian keuntungan dalam CV tidak ditulis dalam akta pendirian. Poin-poin tersebut terdapat dalam kesepakatan tertulis diantara pendirinya.

108

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

Tahapan Pembuatan CV 1. Pembuatan Akta Pendirian CV. Akta pendirian dibuat dan ditandatangani oleh notaris yang berwenang. Akta dibuat menggunakan Bahasa Indonesia. Syarat pembuatan akta, harus melampirkan fotokopi Kartu Tanda Pengenal (KTP) para pendiri. Waktu yang diperlukan dalam pembuatan akta sekitar 2-5 hari kerja. 2. Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP). Permohonan Surat Keterangan Domisili Perusahaan diajukan kepada kepala kantor kelurahan setempat sesuai dengan alamat kantor perusahaan berada, sebagai bukti keterangan/keberadaan alamat perusahaan. Persyaratan lainnya adalah fotokopi kontrak/ sewa tempat usaha untuk bukti kepemilikan tempat usaha. Surat keterangan dari pemilik gedung, apabila berdomisili di gedung perkantoran/pertokoan. Bagi perusahaan yang berdomisili di ruko atau rukan, harus melampirkan fotokopi bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir sesuai tempat tersebut. Waktu penyelesaian SKDP kurang lebih dua hari kerja terhitung setelah permohonan diajukan. 3. Nomor Pokok Wajib Pajak. Permohonan pendaftaran wajib pajak badan usaha diajukan kepada kepala kantor pelayanan pajak sesuai dengan keberadaan domisili perusahaan. Persyaratan yang harus dilengkapi untuk membuat NPWP adalah sebagai berikut. • Melampirkan bukti PPN atas sewa gedung • Melampirkan bukti pelunasan PBB- Pajak Bumi dan Bangunan • Melampirkan bukti kepemilikan atau bukti sewa/kontrak tempat usaha. Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian NPWP sekitar 2-3 hari kerja terhitung setelah permohonan diajukan. 4. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SP-PKP). Permohonan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak diajukan kepada kepala kantor pelayanan pajak sesuai dengan NPWP yang telah diterbitkan. Persayarat untuk mendapat surat tersebut adalah; i) melampirkan bukti PPN atas sewa gedung, ii) melampirkan bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), iii) melampirkan bukti kepemilikan atau bukti sewa/kontrak tempat usaha. Proses penyelesaian berlangsung sekitar 3-5 hari kerja sejak surat diajukan. PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

109


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

5. Pendaftaran ke Pengadilan Negeri. Permohonan ini diajukan kepada Kantor Pengadilan Negeri setempat sesuai tempat dan kedudukan perusahaan berada. Persyaratan yang diperlukan yaitu melampirkan NPWP dan salinan akta pendirian CV. Lama proses sekitar satu hari kerja setelah permohonan diajukan. 6. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Golongan usaha menengah dan kecil mengajukan SIUP ke dinas perdagangan kota/kabupaten. Golongan usaha besar mengajukan SIUP ke dinas perdagangan provinsi setempat. Persyarata yang harus dilengkapi dalam membuat SIUP yaitu SITU/HO, untuk jenis kegiatan usaha perdagangan. Syarat SITU berdasarkan pada undang-undang gangguan. Foto direktur utama/ pimpinan perusahaan ukuran 3x4 sebanyak 2 lembar. Lama proses, 14 hari kerja untuk SIUP menengah/ kecil dan 30 hari kerja untuk SIU besar. 7. Tanda Daftar Perusahaan. Permohonan pendaftaran diajukan kepada pendaftaran perusahaan yang berada di kota/ kabupatenp, tembusan ke dinas Perdagangan. Bagi perusahaan yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat tanda daftar perusahaan sebagai bukti bahwa perusahaan telah melakukan wajib daftar perusahaan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/PER/9/2007. Lama proses pembuatan sekitar 14 hari kerja setelah permohonan diajukan.

110

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

Alur tahapan pembuatan CV

Akta Pendirian CV NPWP CV

NOTARIS KANTOR PELAYANAN PAJAK

SKPD

KANTOR KELURAHAN SETEMPAT

NPWP + SKDP CV sudah bisa dijalankan

PENGADILAN NEGERI SETEMPAT

Syarat CV bisa ikut tender harus ada tambahan sebagai berikut:

SP-PKP

KANTOR PELAYANAN PAJAK SESUAI NPWP

SIUP & TDP

KANTOR DISPERINDAG SETEMPAT

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

111


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan (HO) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin gangguan (HO) wajib dilengkapi sebelum mendirikan sebuah pabrik. IMB merupakan surat bukti dari pemerintah daerah bahwa pemilik bangunan dapat mendirikan gedung/ pabrik sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dan berdasarkan rencana teknis bangunan pabrik yang telah disetujui pemerintah daerah. Syarat membuat IMB adalah sebagai berikut. • • • • • •

Foto copy akta pendirian CV Fotocopy sertifkat tanah Gambar kontruksi bangunan Perhitungan konstruksi yang dibuat oleh konsultan dan ditanda tangani oleh perencana. Foto copy pelunasan PBB terakhir Fotocopy KTP pendiri CV

HO atau Izin gangguan adalah izin kegiatan usaha kepada orang pribadi/badan usaha dilokasi tertentu yang berpotensi menimbulkan gangguan ketentraman dan ketertiban umum. Izin ini tidak termasuk kegiatan atau tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh pemerintah pusat atau daerah. Syarat untuk membuat HO adalah sebagai berikut. • • • • • • • •

Fotokopi KTP pemohon Fotokopi IMB Fotokopi kepemilikan tanah Fotokopi akta pendirian usaha Fotokopi NPWP Fotokopi SPPT dan STTS PBB tahun terakhir Dokumen amdal/UKL/UPL/SPPL (usaha tertentu) Fotokopi surat persetujuan dari BKPM

*Surat persetujuan warga minimal 200 meter dari lokasi, dilampiri KTP penandatangan dan diketahui RT, RW dan Kepala Desa setempat.

112

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

2. Perseroan Terbatas (PT) Badan usaha ini adalah suatu badan usaha yang merupakan persekutuan modal yang didirikan oleh 2 orang atau lebih. Perseroan terbatas memiliki beberapa persyaratan dalam pendiriannya (Firman&Adi R, 2010). Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut. • • • •

Pembuatan Akta Pendirian PT ke notaries serta melakukan pengecekan nama perusahaan agar tidak terjadi kesamaan nama perusahaan. Pembuatan SKDP (Surat Keteragan Domisili Perusahaan) diajukan ke kantor kelurahan setempat dimana alamat perusahaan berada. Pembuatan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) atas nama perusahaan ke kantor pelayanan pajak. Pendaftaran PT ke pengadilan negeri setempat.

Empat syarat tersebut diatas merupakan syarat pokok untuk menjalankan usaha, apabila diperlukan perizinan yang lebih lengkap misalnya untuk keperluan tender, dokumen dilengkapi dengan surat-surat berikut. •

Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP). Surat ini diajukan ke kantor pelayanan pajak yang menerbitkan NPWP.

Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) didaftarkan ke dinas perindustrian dan perdagangan (Disperindag) kota/kabupaten untuk golongan menengah dan kecil.

Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) didaftarkan ke Pendaftaran Perusahaan di kota/kabupaten dengan tembusan ke dinas perdagangan.

3. Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna pengelolaan

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

113


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar besaranya kesejahteraan masyarakat desa. Pendirian Bumdesa dilatarbelakangi oleh adanya kegiatan dan pelayanan umum di bidang ekonomi yang dikelola oleh desa atau adanya kerjasama ekonomi antardesa. a. Tujuan Pendirian Bumdes 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Meningkatkan perekonomian desa. Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa. Mengembangkan rencana kerjasama usaha antar desa dan pihak ketiga. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga. Membuka lapangan kerja. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa. 8. Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli daerah. b. Latar Belakang Pendirian Bumdes • • • • •

114

Inisiatif pemerintah desa dan / atau masyarakat desa. Potensi usaha ekonomi desa. Sumber daya alam di desa. Sumber daya manusia yang mampu mengelola Bumdes. Penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha Bumdes.

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

c. Tata Cara Pendirian Bumdes • • • • • • • •

Musyawarah desa/rembug desa untuk menghasilkan kesepakatan. Hasil musyawarah berupa poin-poin berikut. Pendirian Bumdes disesuaikan dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya daerah setempat. Pembentukan organisasi pengelola Bumdes. Modal usaha Bumdes. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Bumdes. Menetapkan peraturan desa tentang pendirian Bumdes Bumdes bisa dijalankan.

4. Koperasi a. Pengertian Koperasi Pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 menyatakan “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar asas kekeluargaan. Mengacu pada UU tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa koperasi mempunyai ciri ciri sebagai berikut. •

Koperasi adalah Badan Usaha. Koperasi sebagai badan usaha perlu dikelola secara profesional dan berdasar pada prinsip-prinsip usaha yang rasional, efektif, efisien dan produktif sehingga mencapai tujuannya. Koperasi beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi. Poin di atas menunjukan bahwa koperasi Indonesia bukanlah kumpulan modal, melainkan kumpulan orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

115


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

•

•

Bekerja berdasarkan prinsip koperasi yang tercantum dalam pasal 5 UU No. 25 Tahun 1992. Koperasi berperan sebagai badan usaha juga sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berwatak sosial. Dua hal tersebut diimplementasikan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip koperasi yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dari jalannya kegiatan koperasi. Tujuan koperasi di Indonesia harus merefleksikan kepentingan bersama dari anggotanya. Tujuan koperasi sebagaimana disebutkan di atas bermakna bahwa yang koperasi harus mendahulukan kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi. Hal ini sekaligus mencerminkan kepentingan perorangan anggota.

b. Fungsi dan Peran Koperasi Fungsi dan peran koperasi sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi, adalah sebagai berikut. 1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. 2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. 3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya. 4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

116

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

c. Sumber Modal Koperasi 1. Simpanan Pokok, yaitu sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi, dibayarkan pada saat masuk menjadi anggota. 2. Simpanan Wajib, yaitu jumlah simpanan tertentu yang harus dibayarkan dalam waktu dan kesempatan tertentu, misalnya tiap bulan dengan jumlah simpanan yang sama untuk setiap bulannya. 3. Simpanan Khusus/Simpanan Sukarela, yaitu simpanan sukarela yang bisa diambil kapan saja, misalnya simpanan qurban atau deposit berjangka. 4. Dana Cadangan, yaitu sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan Sisa Hasil Usaha (SHU). 5. Hibah, yaitu sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang, yang diterima dari pihak lain bersifat hibah/pemberian dan tidak mengikat.

d. Perangkat Organisasi Koperasi 1. Rapat Anggota. Wadah aspirasi anggota dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Rapat anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi 2. Pengurus. Badan yang dibentuk oleh rapat anggota disertai dan diserahi mandat untuk melaksanakan kepemimpinan koperasi, baik dibidang organisasi maupun usaha. 3. Pengawas. Suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pengurus. Anggota pengawas dipilih oleh anggota koperasi di rapat anggota.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

117


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

e. Prosedur Pendirian Koperasi 1. Para anggota yang merupakan pendiri koperasi menyelenggarakan rapat pembentukan koperasi. Agenda rapat berupa pembentukan pengurus dan pengesahan yang dituangkan dalam akta pendirian. Akta mencantumkan sejumlah anggaran dasar koperasi. Rapat juga dihadiri oleh dewan koperasi. 2. Para pendiri mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian dengan melampirkan 2 rangkap akta pendirian koperasi, berita acara rapat pembentukan, surat bukti penyetoran modal dan rencana awal kegiatan usaha. 3. Pengesahan akta pendirian berlangsung dalam jangka waktu 3 bulan setelah permintaan diserahkan. 4. Pengumuman dalam berita Negara Republik Indonesia.

B. Izin Usaha Pengolahan Rotan Izin usaha pengolahan rotan dikenal dengan istilah Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK). IUIPHHBK adalah izin mendirikan industri untuk mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi barang setengah jadi/bahan baku atau barang jadi. Sama halnya dengan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK), setiap perorangan yang akan melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu—dalam hal ini adalah rotan—perlu memiliki surat izin yang sah. Dasar hukum yang mengatur Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK) adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

118

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

3. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.36/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) Atau Dalam Hutan Tanaman (IUHHBK-HT) Pada Hutan Produksi. 5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.13/Menlhk-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Terdapat beberapa syarat untuk mendapatkan IUIPHHBK. Untuk skala kecil, nilai investasi seluruhnya sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan hanya untuk perorangan dan koperasi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Untuk perorangan. • Surat dan daftar isian permohonan yang dibubuhi materai (sesuai format lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.13/Menlhk-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan). • Foto copy KTP. • Surat Keterangan Tanah (milik/sewa). • Foto copy NPWP. • Izin/keterangan yang berkaitan dengan bangunan yang digunakan. • Daftar tenaga kerja. • Pertimbangan teknis dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi yang membidangi Kehutanan.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

119


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

2. Untuk Koperasi • Surat dan daftar isian permohonan yang dibubuhi materai (sesuai format lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.13/Menlhk-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan). • Akta pendirian koperasi dan perubahannya yang telah disahkan oleh Notaris. • Surat Keterangan Tanah (milik/sewa). • Foto copy NPWP. • Izin/keterangan yang berkaitan dengan bangunan yang digunakan. • Daftar tenaga kerja. • Pertimbangan teknis dari SKPD Provinsi yang membidangi Kehutanan. Untuk usaha skala menengah dan skala besar persyaratan yang perlu dilengkapi dalam mengajukan IUIPHHBK adalah sebagai berikut: •

• • • •

Surat dan daftar isian permohonan yang dibubuhi materai (sesuai format lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.13/Menlhk-II/2015 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan). Akta pendirian perusahaan atau koperasi atau copy KTP untuk perorangan. Izin Lingkungan atau SPPL. NPWP. Pertimbangan teknis dari SKPD Provinsi yang membidangi Kehutanan.

Jangka waktu penyelesaian maksimal 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar, serta telah diterima rekomendasi/pertimbangan teknis dari SKPD terkait. Jangka waktu penerbitan pertimbangan teknis/rekomendasi masimal 30 (tiga puluh) hari kerja.

120

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

DAFTAR PUSTAKA 1. Abd. Latif, M. 1992. Procuring of rattans. In Wan Razali, WM.; Dransfield, J.; Manokaran, N. ed., A guide to the cultivation of rattans. Kuala Lumpur, Malaysia: Malayan Forest Record No. 35, Forest Research Institute Malaysia, pp. 239-260. 2. Ahmad, N.Y., P.Tho and L.T.Hong. 1985. Pest and Diseases of Rattan Products in Pinumsular Malaysia. Proceeding of Rattan Seminar. Kuala Lumpur, Malaysia: Forest Research Institute ,. 3. Alrasjid, H. 1989. Teknik Penanaman Rotan.Informasi Teknis No. 1. Bogor: Pusat Litbang Hutan. 4. Azmi, M. S. M., F. Abood, N. A. Razi. 2011. World distribution of Heterobostrychus aequalis waterhouse (Coleoptera: Bostrychidae). Journal of Entomology, 8: 497-511. 5. Cahyana, B. T. 2014. Papan partikel dari campuran limbah rotan dan penyulingan kulit kayu gemor (Alseodaphne spp.). Jurnal Riset Industri Hasil Hutan 6 (1). 6. Casin, R. F. 1975. Study on the proper utilization of rattan poles. Los Banos: Progress report, project No. 13. PCAR. 7. Ching-Feaw, T., M. Zakaria, A. Mahvudin, L. G. Kirton. 1994. Nursery Techniques for Rattan. Malaysia: Inbar and Frim. 8. Cortes, R.T. 1939. Air seasoning of commercial rattan. Laguna: The Philipines Journal of Forestry 8(4). 9. Cummins, J.E. 1933. Blue stain in Pinus radiate (insiquis) timber. Some premilinary exsperiments with case stock. Division of forest Products Reprint 14. p. 244 – 251.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

121


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

10. Darma,S. 1987. Pengaruh konsentrasi bahan pemutih kaporit dan kostik soda terhadap warna dan sifat mekanis beberapa jenis rotan. Bogor: Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan, IPB. Tidak diterbitkan. 11. Direktorat Jendral Industri Agro. 2016. Industri Pengolahan Rotan – Provinsi Jawa Barat. Tersedia online http://agro.kemenperin.go.id/esiagro/komoditas/rotan-/analisis-investasi-rotan/pengolah-rotan/. Diakses pada [6/10/16]. 12. Dransfied,J dan N. Manokaran. 1996. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara 6: Rotan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Bogor: PROSEA. . 13. Hadikusumo, S. A. 1988. Properties and potensial uses of unexploited rattan in Indonesian. Final Report Rattan Indonesian Project. 1984 – 1988. Jakarta: IRDC – and Departemen. of Forestry. p. 186 – 190. 14. Handayani, D. V. 1993. Pengaruh pengukusan, perendaman urea dan perendaman amoniak terhadap pelengkungan, dan sifat fisis mekanis rotan manau dan rotan batang. Skripsi. Bogor. Fakultas Kehutanan. IPB. 15. Hernanto, F. 1995. Ilmu Usaha tani. Jakarta: Penebar Swadaya. 16. Holtam, B.W. 1966. Blue stain. Its effect on the wood of home grown conifer and suggested methos of control. Forestry Commision. Leafleat No. 53: 1-3. 17. Januminro, CFM. 2000. Rotan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 18. Jasni, D. & G. Sumarni. 1999. Pengetahuan Sifat Keawetan dan Penyebaran Jenis Rotan. Diktat Diklat Disainer Mebel Kayu dengan Bahan rotan non Paforit. Kerjasama Pusat Penelitian Hasil Hutan dengan Pengelola Dana Hasil Hutan. Bogor: Direktorat Jenderal Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan, 19. Jasni, D. & D Martono. 1999. Pengawetan rotan asalan. Petunjuk Teknis. Bogor: Pusat Litbang Hutbun. 20. Jasni, D., Martono & N. Supriana. 2000. Sari Hasil Penelitian Rotan. Dalam Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan.

122

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

21. Jasni, Krisdianto, T. Kalima, & Abdurachman. 2012. Atlas Rotan Indonesia Jilid 3. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 22. Jurc, M. 2005. Pinhole borer (Platypus cylindrus). Slovenia: University of Ljubljana 23. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Warta Ekspor. Tersedia online http://djpen.kemendag. go.id/app_frontend/webroot/admin/docs/publication/7351384233529.pdf. Diakses pada [1/10/16]. 24. Krisdianto dan Jasni. 2006. Pelengkungan dalam Industri Pengolahan Rotan. Info Hasil Hutan 12 (1). Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. 25. Krisdianto, Jasni & O. Rachman. 2007. Pelengkungan rotan dengan gelombang mikro. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25 (2): 166-181. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 26. Martawijaya, A. 1988. Bahan pengawet kayu. Himpunan diktat kursus Sawmill Technician, Angkatan VIII. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. 27. Martono, D. 1990. Percobaan penggunaan pestisida untuk mencegah serangan jamur pewarna pad rotan. Jurnal Pen. HH. 7 ( 2 ) : 54-60. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. 28. Martono, D. 1990a. Proses pengawetan rotan. Diktat kursus penguji rotan. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. 29. Maulana, H. 1997. Penetuan faktor konversi dalam proses pengolahan rotan untuk bahan baku furnitur. Skripsi. Bandung: Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Unwim. 30. Mubyarto. 1998. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. 31. Nikmatin, S., S. Purwanto, A. Maddu, T. Mandang, & A. Purwanto. 2012. Analisis struktur selulosa kulit rotan sebagai filler bionanokomposit dengan difraksi sinar-x. Jurnal Sains Materi Indonesia 13 (2): 97 – 102.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

123


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

32. Probowati, B.D., Y. Arkeman. 2011. Analisis Rantai Pasokan Komoditas Rotan. Embryo 8 (2): 100 – 107. 33. Rachman, O. 1984. Pengaruh kondisi penggorengan terhadap kualitas rotan manau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1 (4) : 14-19. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. 34. Rachman, O. dan A. Santoso. 1996. Pengupasan dan Pengeringan Bahan Baku Rotan Segar. Bogor: Laporan Proyek Peneltian Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi. 35. Rachman, O., S. Suhardjo & M. Suwirman. 1997. Perbaikan teknik pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan Dimetil Sulfoksida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (4) : 299 – 311. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. 36. Rachman, O., E. Basri dan D. Martono. 2000. Pedoman Pengolahan Rotan Lepas Panen. Jakarta: Perum Perhutani. 37. Rachman, O. dan H. Hermawan. 2005. Pedoman Penggorengan Rotan: Suatu Cara Menghasilkan Rotan Mutu Prima. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. 38. Rachman, O. dan Jasni. 2013. Rotan: Sumber Daya, Sifat dan Pengolahannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 39. Roldan, L.P. 1954. Stain discoloration in ratan. The Phil. Lumberman 4(32) : 12-13. 40. Rujehan. 2001. Pendapatan petani rotan berdasarkan produk akhir di desa Muara Asa Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Rimba Kalimantan 6 (2): 32 – 44. Samarinda: Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. 41. Salita, A. A. 1985. Rattan industry of the Philippines. In : proc. Rattan Seminar, Kuala lumpur: The RIC (1985) : 95 – 116.

124

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

42. Setiaji, H. 1997. Studi tentang kerusakan rotan akibat pembengkokan pada industri mebel rotan di Mojokerto, Jawa Timur. Skripsi Jur. THH, Fahutan Universitas Winayamukti. Bandung. 43. Simatupang, M. H. 1978. The processing of rotan, minor forest products from tropical rain forest. Voluntary paper in WFC – VIII. Jakarta: Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. 44. Stam, A. J. 1964. Wood an Cellulose Science. New York: The Ronald Press Company. 45. Sumarni. 1994. Penggunaan bahan pengawet chloropyrifos sebagai pencegahan serangan kumbang bubuk pada rotan. Makalah Seminar Rotan Jakarta: FMIPA, UI. 46. Sumarni. 1994a. Pengaruh pengukusan pada rotan yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Febr. Makalah Seminar Rotan. Jakarta: FMIPA UI. 47. Sumarni, & A. Ismanto. 1994. Penggunaan boraks untuk mencegah serangan pada kumbang bubuk pada rotan batang (Daemonorops robustus Warb. ). Makalah Seminar Rotan Jakarta: FMIPA UI. 48. Toni C Lo.1976. Production and Marketing of Rattan Furniture in Indonesia. Assistance to The National Agency for Export Development (NAFED). Indonesia: Ministry of Trade, im the field of Export Product Adaptation. IS/INS74/030. 49. Trotman, E. R. 1968. Textile scouring and bleaching. London: Charles Griffin & Company, Ltd. 50. World Wide Fund for Nature (WWF). 2011. Sustainable Rattan Harvesting Mini Guide. Tersedia online http:// www.panda.org/rattan. Diakses pada [5/10/16] 51. Yuniarti, K. & E. Basri. 2005. Rekayasa Alat Kontrol Suhu dan Kelembaban untuk Bangunan Pengeringan Kombinasi Tenaga Surya dan Panas Tungku. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. 52. Zieck, J.F.U. 1976. Rattan cane: preparation for furniture making and export. Boroko, Papua New Guinea: Forest Products Research Centre.

PA ND UA N PE L AT IH A N PA B RI K P ENGOLA HA N ROTA N

125


BAB

6

LEGALITAS PABRIK PENGOLAHAN ROTAN

126

PANDUAN P E LAT I HAN PABR I K P E NG O LAHAN ROTA N


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.