Jurnal Tasimak Edisi_5 Universitas Abulyatama Aceh

Page 1

Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

Vol. III No. 1, APRIL 2012

1. Karakteristik Wacana Kelas Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. 2. The Implementation of Contextual Teaching and Learning (Learning Community) to Improve Studens’ Writing Skill (A Classroom Action Research at Abulyatama Senior High School) Oleh Ferlya Elyza, S.Pd. M.Pd. 3. Variation in Language Oleh Putri Dini Meutia, S.Pd.I 4. Pengaruh Metode Konstruksi Terhadap Perencanaan Jembatan Gelagar Komposit Oleh Ir. Syafridal Is. M.T. 5. Pembangunan Industri Kapal Perikanan Modern di Kota Banda Aceh Oleh Rizwan, M.T. 6. Kajian Kawasan Konservasi Induk Udang di Perairan Pantai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si. 7. Analisis Kelayakan Usaha Rumah Tangga Penggemukan Sapi Aceh dengan Itik Pedaging, Sebuah Perbandingan Oleh Masrianto dan Zahrul Fuadi 8. Domba Sebagai Pengendali Gulma di Lahan Perkebunan Oleh Ir. Mulyadi, M.Si. 9. Kedudukan dan Fungsi Tuha Peut dalam Sistem Pemerintahan Gampong Oleh Muhammad Nur, S.H., M.Hum. 10. Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Utara Propinsi Aceh Dr. Raihanah, M.Si.

1


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 JURNAL

ISSN 2086 - 8421 ISSN 2086-8421

TASIMAK Media Sain dan Teknologi Abulyatama ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Volume III, No. 1 – April 2012 Pelindung/Pembina Penanggung Jawab

: Rektor Universitas Abulyatama : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama

Pemimpin Redaksi

: Drs. Yusri, M.Pd.

Redaktur Ahli

: Prof. Dr. H. Warul Walidin, A.K. M.A. (IAIN) Prof.H. Burhanuddin Salim, M.Sc. Ph.D. (Unsyiah) R. Agung Efriyo Hadi, M.Sc. Ph.D (Unaya) Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. (Unaya) Drs. Azwar Thaib, M.Si. (Unaya)

Redaktur Pelaksana

: Drs. Zamzami A.R., M.Si. Yuliana, S.E. Yulinar, S.Pd.

Dewan Redaksi

: Muhammad Nur, S.H., M.Hum Ir. Mulyadi Ir. H. Firdaus, M.Si. Dewi Astini, S.H., M.Hum. Maryati B, S.H., M.Hum. Drs. Tamarli, M.Si. Yulfrita Adamy, S.E. M.Si. Drs. H.M. Hasan Yakob, M.M. Drs. Bukhari, M.Si. Fakhrurazi Abbas, S.E., M.Si.

Distributor/Komunikasi

: Drs. Akhyar, M.Si. Drs. Muhammad, M.Si.

Bendahara

: Drs. Nasruddin A.R., M.Si.

Desain Cover

: aSOKA Communications (www.asoka.web.id)

Website

: www.abulyatama.ac.id.

Alamat Redaksi

: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama, Jl. Blang Bintang Lama km 8,5 Lampoh Keude – Aceh Besar, Telepon 0651 21255 2


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

DAFTAR ISI Halaman 1. Karakteristik Wacana Kelas Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. ...........................................................

1–4

2. The Implementation of Constextual Teaching and Learning (Learning Community ) to Improve Students’ Writing Skill (A Classroom Action Research at Abulyatama Senior High School). Oleh Ferlya Elyza, S.Pd. M.Pd. .......................................................................

5 – 15

3. Variation in Language Oleh Putri Dini Meutia, S.Pd, I .........................................................................

16 – 22

4. Pengaruh Metode Konstruksi Terhadap Perencanaan Jembatan Gelagar Komposit Oleh Ir. Syafridal Is. M.T. .................................................................................

23 – 34

5. Pembangunan Indusrti Kapal Perikanan Modern di Kota Banda Aceh Oleh Rizwan, M.T . ..........................................................................................

35 – 43

6. Kajian Kawasan Konservasi Induk Udang di Perairan Pantai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si. ..............................................................................

44 – 56

3


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

7. Analisis Kelayakan Usaha Rumah Tangga Penggemukan Sapi Aceh dengan Itik Pedaging, Sebuah Perbandingan Oleh Masrianto dan Zahrul Fuadi .....................................................................

57 – 63

8. Domba Sebagai Pengendali Gulma di Lahan Perkebunan Oleh Ir. Mulyadi, M.Si. ....................................................................................

64 – 67

9. Kedudukan dan Fungsi Tuha Peut dalam Sistem Pemerintahan Gampong Oleh Muhammad Nur, S.H., M.Hum. ..............................................................

68 – 78

10. Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Utara Propinsi Aceh Oleh Dr. Raihanah, M.Si. ..................................................................................

79 – 95

KARAKTERISTIK WACANA KELAS Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pedidikan Universitas Abulyatama Abstract Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berupa transkip interaksi verbal dosen dan mahasiswa dalam dalam dua situasi belajar yang berbeda untuk mencari pola interaksi an keterulangannya dalam data tersebut. Desain yang digunakan adalah eksperimental, dipilih dua kelompok setara yang akan diberikan perlakuan yang berbeda. Perbedaan landasan teori yang mendasari kegiatan belajar dapat tercermin dalam karakteristik wacana kegiaan belajar-mengajar di dalam kelas. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan peran yang diambil oleh guru dan yang diberikan oleh guru kepada para siswa. Pada mazhab lintas cara dalam pendekatan komunikatif yang nota bene menekankan dominasi

4


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

bimbingan guru dalam mengarahkan kegiatan belajar-mengajar, pola-pola peran guru sebagai informasi primer menjadi dominan. Kata kunci: karakteristik, wacana kelas Latar Belakang Upaya pemahaman proses pendidikan telah lama menjadi pusat perhatian para ahli dan para praktisi pendidikan. Sejumlah kajian penting dalam berbagai aspek pendidikan telah lahir dan menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Meskipun demikian, kajian yang menguak tabir ‘the black box’ proses pendidikan belum mendapat perhatian yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan oleh sulitnya mendapatkan instrumen pengukur variabel-variabel yang terlibat dalam ‘the black box’ tersebut. Dalam kaitan ini analisis wacana kelas memberikan harapan bagi pengkajian apa yang terjadi dalam proses pendidikan secara cermat. Kerincian analisis wacana kelas telah memungkinkan peneliti memantau secara dekat dan rinci langkah-langkah yang terjadi dalam black box tersebut. `

memberikan respons terhadap rangsangan dan pajanan tersebut jelas merupakan informasi penting bagi guru untuk memantau keberhasilan, kesalahpahaman, dan kegagalan serta berbagai gejala interaksi verbal kelas lainnya. Informasi semacam ini berguna bagi guru untuk mengidentifikasi “langkah-langkah mana yang bersifat kebiasaan, yang spontan, yang tak terencana, dan bahkan kontraproduktif” dalam kaitannya dengan tujuantujuan instruksional yang telah ditetapkan. Melihat potensinya dalam mengkaji proses belajar-mengajar, penggunaan analisis wacana kelas dalam mengkaji efektivitas metode-metode pengajaran yang diterapkan dalam pengajaran bahasa Inggris dapat diharapkan memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai berbagai faktor proses belajarmengajar yang selama ini dianggap sebagai

Melalui analisis penggunaan wacana kelas tersebut dapat dikaji karakteristik interaksi dan kualitas interaksi belajarmengajar guru dan siswa dalam berbagai situasi kelas. Upaya pengenalan dan pemahaman karakteristik dan kualitas interaksi belajar-mengajar merupakan langkah penting dalam peningkatan mutu proses belajarmengajar dan dalam meningkatkan mutu pendidikan secara menyeluruh. Hal ini dapat dipahami mengingat “pada akhirnya, dialog dalam kelas antara guru dan murid merupakan proses pendidikan itu sendiri, atau paling tidak merupakan bagian utama proses pendidikan (Stubbs, 1976: 68). “Faktor-faktor lain seperti IQ, latar belakang sosial, dan motivasi belajar siswa hanya merupakan pengaruh latar belakang eksternal. Dalam pendidikan bahasa, signifikansi kajian wacana kelas lebih besar lagi. Gambaran mengenai bagaimana guru memberikan rangsangan-rangsangan verbal dan pajananpajanan kebahasaan dan bagaimana siswa

the black box yang misterius. Karena itu, dalam penelitian, analisis wacana akan digunakan untuk menganalisis belajar-mengajar yang menggunakan pendekatan atau metode yang berbeda-beda dalam pengajaran berbicara dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Perumusan Masalah Penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Bagaimana karakteristik pola interaksi verbal kelas yang menggunakan mazhab lintas cara (interface) dan mazhab nonlintas cara dalam pendekatan komunikatif? 2. Adakah perbedaan yang berarti antara kedua pola tersebut? 3. Adakah perbedaan karakteristik produksi bahasa lisan siswa dalam kedua pola interaksi tersebut? Tujuan Penelitian 5


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 Penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut: 1. Untuk mendapatkan gambaran rinci mengenai pola interaksi verbal guru dan siswa yang terlibat dalam proses-proses belajar-mengajar yang dikaji; 2. Untuk mendapatkan gambaran rinci mengenai perbedaan pola bakututur kedua kegiatan belajar-mengajar yang dikaji; dan 3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai perbedaan tingkat kerumitan struktur bakututur dalam masing-masing pola di atas. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang akan bergelut dengan setumpuk data kualitatif berupa transkrip interaksi verbal dosen dan mahasiswa dalam dua situasi belajar yang berbeda untuk mencari pola interaksi dan keterulangannya dalam data tersebut (Miles dan Huberman, 1984). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Dalam hal ini akan dipilih dua kelompok setara yang akan diberikan perlakuan yang berbeda (Hatch dan Farhady,1982). Sampel penelitian ini akan dipilih secara purposif, yakni yang memiliki karakteristik yang diperlukan, terutama dalam hal mereka harus sedang mengikuti kursus bahasa Inggris, teruratama dalam pelajaran berbicara, dalam sebuah kelas, dan diajar oleh seorang guru yang sama melalui dua mazhab yang berbeda dalam pendekatan komunikatif. Data penelitian ini akan dikumpulkan melalui rekaman interaksi verbal mereka untuk mendapatkan data primer dan pengamatan kelas untuk mendapatkan data penunjang. Hasil rekaman tersebut kemudian akan ditranskripsikan dan dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kelas. Analisis data akan digunakan dengan menerapkann kerangka analisis yang diusulkan Suherdi (1994) dan Love dan Suherdi (1994). Hal ini dilakukan untuk menjamin diperolehnya gambaran rinci mengenai berbagai aspek dan gejala dalam interaksi

ISSN 2086 - 8421 verbal kelas-kelas yang dikaji. Selain itu, secara kuantitatif, untuk melihat signifikansi statistika perbedaan di atas, akan digunakan chi-kuadrat. Pembahasan Signifikansi satatistika perbedaan karakteristik wacana kedua kegiatan belajarmengajar yang tengah diteliti sejalan dengan signifikansi logisnya. Perbedaan-perbedaan tersebut secara mendasar menampilkan perbedaan pola-pola interaksi dan keyakinan yang mendasari pola-pola interaksi tersebut. kegiatan belajar-mengajar pada pertemuan pertama, misalnya, bakututur yang berawal dengan langkah DK1 mencapai 53% dari keseluruhan bakututur yang ada pada pertemuan tesebut, hanya sekitar 22% saja bakututur yang diawali dengan langkah K2, itu pun dilakukan oleh guru dalam rangka mengembangkan materi pokok. Ini menunjukkan bahwa pada pertemuan pertama, guru menempatkan diri sebagai sumber informasi primer yang sebelum memberikan informasinya, dia mengecek terlebih dahulu apakah siswa mengetahui juga apa yang ingin ia sampaikan. Dengan demikian, siswa ditempatkan guru pada posisi merespons yang kesesuaian responsresponsnya dipertimbangkan dan dinilai oleh guru. Ini menyebabkan siswa tidak mengambil banyak inisiatif menyediakan informasi. Kenyataan ini antara lain dapat dilihat dari sedikitnya jumlah bakututur yang diawali K1 yang diprakarsai oleh siswa (untuk gambaran yang lebih lengkap lihat Lampiran 1). Sebaliknya, pada pertemuan kedua, bakututur yang diawali dengan K1 hanya terdapat 5% saja dari keseluruhan jumlah bakututur yang terdapat pada kegiatan belajarmengajar pada pertemuan ini. Bakututur yang diawali dengan K2 malah sangat dominan, yakni 47% dari jumlah keseluruhan bakututur pada pertemuan tersebut. Ini menunjukkan bahwa guru menempatkan dirinya pada pada posisi sumber informasi sekunder. Dalam hal ini, guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat secara bebas 6


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 dalam arti guru tidak memberikan keputusan tingkat kesesuaian pendapat dengan kriteria yang ditetapkan oleh guru (untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, lihat Lampiran 2). Penemuan yang lebih menarik adalah bahwa signifikansi perbedaan statistika antar kedua kegiatan belajar-mengajar dalam penelitian ini diikuti oleh perbedaan sebaran bakututur berdasarkan tingkat kerumitannya. Pada pertemuan pertama, hanya terdapat satu bakututur K1 yang berstruktur kompleks. Ini dapat dimengerti mengingat pada bakututur K1 pada pertemuan pertama, gurulah yang menjadi sumber informasi primer, sehingga nilai kebenaran informasinya jarang ditantang atau dikomentari oleh para siswanya. Berbeda dengan jumlah bakututur serupa pada pada pertemuan kedua yang mencapai 22% (di atas jumlah bakututur K1) yang berstruktur sederhana). Kenyataan yang terakhir ini sangat mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa pada pertemuan kedua jusru para siswa yang ditempatkan oleh guru pada posisi sumber informasi primer. Prakarsa siswa untuk memberikan informasi seringkali tidak dapat tertunaikan dengan baik: sebagian kurang lengkap, sebagian kurang benar, dan sebagian tidak begitu jelas bagi guru apa yang dimaksudkan oleh para siswa, sehingga langkah-langkah dinamis (seperti mengecek, meminta penjelasan, meminta konfirmasi, dan seterusnya) sering terjadi. Kecenderungan perbedaan persentase kategori struktur bakututur yang lebih besar pada pertemuan kedua ini terjadi pada bakututur-bakututur lain.

ISSN 2086 - 8421 Kesimpulan Perbedaan landasan teori yang mendasari kegiatan belajar-mengajar dapat tercermin dalam karakteristik wacana kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan peran yang diambil oleh guru dan yang diberikan oleh guru kepada para siswa. Pada mazhab lintas cara dalam pendekatan komunikatif yang nota bene menekankan dominasi bimbingan guru dalam mengarahkan kegiatan belajar-mengajar, polapola peran guru sebagai sumber informasi primer menjadi dominan. Dalam analisis wacana, hal ini tercermin pada dominasi bakututur yang diawali langkah DK1. Di lain pihak, mazhab non-lintas cara pendekatan komunikatif yang lebih menekankan kreatifitas dan prakarsa siswa, guru menyerahkan peran sebagai sumber informasi primer pada siswa, dan guru menempatkan dirinya pada posisi sumber informasi sekunder. Dalam analisis wacana, hal ini tercermin pada dominasi bakututur yang diawali langkah K2. Penelitian ini telah meng-ungkapkan masala-masalah penting yang patut untuk dikaji lebih jauh, antara lain: - adakah perbedaan peroleh yang signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan lintas cara dengan yang menggunakan pendekatan dengan menggunsksn pendekatan lintas cara dengan yang menggunakan pendekatan non-lintas cara. - Pola interaksi manakah di antara dua pola interaksi di atas yang lebih diminati dan disukai oleh para siswa?

REFERENSI Allen, J.P.B. (1983). The Communicative Orientation of Language Teaching. New York: Macmillan Book Company. Allwright LearninR.L. (1980). Turns, Topics, and Tasks: Patterns of Participation in Language g and Teaching. Massachussett: Newbury House. Bellack, A. (1966). The Language of the Classroom. New York: Teacher College Press. 7


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

Cazden, Courtney (1988). Classroom Discourse the Language of Teaching and Learning. Portsmouth: Heineman Educational Books, Inc. Stubbs, Michael. (1976). Language School and Classroom. London: Methuen.

THE IMPLEMENTATION OF CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING APPROACH (LEARNING COMMUNITY) TO IMPROVE STUDENTS’ WRITING SKILL (A Classroom Action Research at Abulyatama Senior High School) Ferlya Elyza Staf Pengajar FKIP Universitas Abulyatama Abstract This study was aimed to improve students’ writing skill by implementing learning community strategy. The research was conducted beyond the consideration of findings that the 8


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

researcher found during the preliminary study. The researcher found that the students’ ability in writing a simple paragraph particularly in descriptive writing was still unsatisfactory; it was difficult for the students in finding and organizing ideas to write and even they did not know how to start writing. In addition, the researcher thought that her techniques in teaching writing still unsuccessfully run. It was difficult to encourage the students to be active in the teaching learning process, the students tended to be passive. The population of the study was the first grade students of SMA Abulyatama and the number of the students were sixteen students.This research was elaborated in form of Classroom Action Research (CAR) and it was executed in two cycles, three meetings in each cycle. Some steps were adapted in conducting the research, namely; planning, implementing, observing, and reflecting. The instruments used in collecting the data were the students’ writing, observation sheets; teacher observation sheet and students’ observation sheet as well as questionnaire for the students. The result of the research proves that the implementation of Contextual Teaching and Learning through learning community element is effective in improving students’ writing skill particularly in writing descriptive text. It can be seen by the result of students’ writing score on the two cycles. The main score of the first cycle is 65, 6, increasing significantly to 77, 6 on the second cyle. Furthermore, the students’ participation in the teaching learning process also increased gradually. It can be seen on the result of the observation checklist where the percentage of the students’ involvement was 63, 1% (Fair category) on the first cycle and increased to 88 % (Very Good Category) on the second cycle. Meanwhile, the result of the questionnaire reached the level of Agree which means that they responded positively to the model of learning implemented. Key Words: Contextual Teaching and Learning (CTL): Learning Community, Descriptive Text, Teaching Writing. I. INTRODUCTION Writing is one of the required skills which have to be developed by English learners. Writing is purposed to train students in expressing their meaningful ideas on a piece of writing paper. Writing skill is an important competency in daily life, not only in educational life, but also in society life. It is important skill which must the students have. For senior high school students, the students are required to have a skill in expressing ideas in written form in their daily life in order to access the knowledge. They have to be able to write some genres, such as recount, narrative, and descriptive. It is difficult for the students to find ideas, organize them and build them up into sentences and paragraph. Those problems were continually faced by the students of Abulyatama Senior High School. The students have limited practicing in writing a simple descriptive paragrah.

The researcher finds it hard to make the students write an idea and develop it to be a writing topic. The researcher as a center of the classroom should be aware toward these problems. Based on this problems, this study is purposed to know the process of the implementation of CTL (learning community) in improving students’ writing skill, especially in descriptive paragraph writing. II. BACKGROUND Teaching learning process of English supported by variety of skills that the students needed in acquiring of successful learning. Furthermore, all of us know that English has four skills, namely: reading, speaking, listening, and writing. Writing is one of the required skills which have to be developed by English learners. Writing is purposed to train students in expressing their meaningful ideas on a piece of writing paper. Writing skill is an important competency in daily life, not only in 9


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 educational life, but also in society life. It is important skill which must the students have. Through writing the students can express ideas and opinion, thought, and feeling which they own. And it can also develop the students’ creativity of thinking process. For senior high school students, writing is considered as one of integrated skill which the students should have. In the latest curriculum, it has been mentioned that the first level students of senior high school was required to be able to understand and express meaning in short functional text and simple written monologue in forms of descriptive in their daily life context. Writing is the most difficult skill to be developed as claimed by some teachers who teach writing. Based on the researcher’s experience, the students at senior high school faced a lot of difficulties in writing English. It even writes a simple paragraph. Grammatical error and lack of vocabulary have been the greatest problem faced by them. Mastering grammar and having vocabulary are some requirements needed by students in order to produce a good writing. These aspects play an important role in learning to write. Both of these skills are needed by the students to pour ideas into composition, indeed the students who have ideas and master a lot of vocabularies cannot write well unless they have good grammar. Then, the researcher also finds another problem that the students have in expanding their writing. The students find it difficult in pouring ideas into a written form and they cannot write well in English. Clearly, some factors which affect students’ failure in writing can be observed, as follow: • Most of the students are lack of grammar knowledge and vocabulary • It is hard for the students to pour ideas into written form. • Most of the students find it difficult to organize ideas into a good writing.

ISSN 2086 - 8421 •

Most of the students are lack of motivation in learning English especially in writing. The problems do not also appear in students’ side, but those also appear on teacher’s side. We realize that some of the teachers find it difficult to develope their skill in writing. It is caused by limited training and practicing in writing. The teachers do not know how to process a good teaching technique in writing which includes of what to teach, how to teach, and how to evaluate students’ work. It is also faced by the researcher herself. The researcher finds it hard to encourage the students to write well. It is influenced by limited knowledge in how to implement a good technique in writing. Based on the problems above, some teachers with high awareness have actually tried some efforts to facilitate their students to be able to write, for example by applying the latest method they get. Contrary to the fact, the latest method does not guarantee that the students will have better quality or be better in motivation to learn. So it can be concluded that in applying good teaching methods it must be also followed by applying a good technique. Dealing with these facts, for long time writing has been claimed as the difficult skill to be developed by students even by teacher herself. This phenomenon is also viewed when the teachers are very common to try to avoid teaching writing in their English teaching and learning process. It is caused by the reality that teaching writing acquires a quite good teacher which has high competence and capability in writing. Furthermore, teachers still apply a traditional technique in teaching writing. It is situated by providing students a lot of speeches where the teacher as the only source of knowledge transfers her knowledge constantly from the teacher to students. Students have no chance to consolidate their views and ideas by participating actively in the classroom. Students only sit and listen to the teacher’s explanation without participating actively in the classroom. It affects to students’ creativity, thus, they become passive learner in the class. 10


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 In fact, government policy in curriculum always changes, however, the teacher always be constant in defending old technique. Writing is only taught by guiding the students into limited information without giving clear framework or draft which can be used as a guidance to write well. Based on what the researcher faced as long as her teaching experience, she also found a lot of difficulties in finding what the efficient techniques and approaches could be applied to overcome these problems. She had practiced some techniques, such as by implementing guided writing in guiding the students to get ideas for writing or re- arrange scrambled words or jumbled sentences to be a paragraph. In fact, some students were bored and had limited chance to write. The teacher also helped them by providing vocabulary deals with the topic. Last, by providing them writing guidelines. The guidelines consisted of providing framework or pictures to the students The result showed that some students still face difficulties in building up ideas into sentences and arranging the ideas to be paragraph writing. Thus, the teacher should always have a question to himself or herself about what appropriate method, technique, or approach should be properly implemented on the teaching learning process. In this case, the researcher tried to create and design some tasks which could stimulate the students to pour their ideas into composition. Based on this consideration, the researcher realized that she had to improve the quality of her teaching by chosing appropriate technique to apply in her teaching learning process as well as evaluating herself in style of teaching. The researcher was also required to fulfil and achieve the requirement of the latest curriculum, KTSP (School Based Curriculum). This curriculum also mentions about the basic competences and the learning outcomes that the learners should achieve in learning English. The curriculum also elaborates the achievement indicators of each basic competence and the learning outcomes. Furthermore, the basic competences and the learning outcomes are

ISSN 2086 - 8421 elaborated in achievement indicators such as being able to express meaning in short functional written text and simple essay in form of narrative, descriptive, and news item in daily life contexts. In achieving this competency, the researcher as the source of learning holds a crucial role in teaching learning process. The researcher as a centre in the classroom has always to train their students in order to make the lesson presented by her can be well mastered by the students. The teacher as the moderator helps the students to formulate ideas and view points through writing. So, the teacher spends a lot of time and energy to teach the students from this complaints and difficulties. Dealing with the phenomenon, the writer tries to implement one of contextual teaching and learning approach (CTL) components, learning community as an approach in improving the students’ skill in writing, especially in writing descriptive text as one of genre of the text that is introduced in KTSP curriculum. Learning community is one of CTL’s element where it offers a dynamic process of learning where the students could share and help each other in a group of learning community. It is hoped that the weak students can be maintained by strong students. The outcomes of the learning, is absolutely hoped that the students can colaborate in teaching learning process. Learning community concept gives a wide opportunity to students to have the result of learning by collaborating with another student. It also creates a condusive situation, self- discipline and the unity of act. By group activity, the students can collaborate each other and it can open wide opportunity for the students to act in confidence. As stated by Hakim (2000: 43) “ Group learning enables students to compete positively and it also improves students’ motivation in team”. Learning community can be formed by grouping the students in heteregonous group. The group can be formed vary, either in the group members or the number of each group. According to Slavin (1995:4- 5) “ The effective 11


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 group is contained of four until six members in each, the group structured heterogenously”. III. AREA OF THE STUDY According to the background of study, the researcher conducted the research at SMA Abulyatama. The research was aimed to know the process of the implementation of learning community in improving students’ writing skill, especially in writing descriptive paragraph. The population of the study was the first grade students of SMA Abulyatama, class Xb.The number of the students are 109 students. Sixteen students of class Xb were taken as the sample of the study. IV. REVIEW OF RELATED LITERATURE A. Writing and Its Purpose Writing is a method of representing language in visual form. Writing systems use sets of symbols to represent the sounds of speech, and also have symbols for such things as punctuation and numerals. Writing is the representation of language in a textual medium through the use of a set of signs or symbols (known as a writing system). It is distinguished from illustration, such as cave drawing and painting, and the recording of language via a non-textual medium such as magnetic tape audio. People communicate directly through writing. As the language skill, writing is significantly important in written communication. Writing is one of required skill in English. When a definite idea rises up in our teacher and to amuse his or her classmates. Unfortunately, what might amuse classmates the teacher could find unacceptable. In general, people write either because they are required to or because they choose to write for their own reasons. Required writing happens on the job and in school. Self-chosen writing happens in many circumstances. Both required and self-chosen writing can be of many kinds. In either case, reflection on different purposes for

ISSN 2086 - 8421 mind and we pour it into written form, writing skill is needed. Developing ideas into written form is viewed as important thing. Many people expect to write for different needs. Such as in an office, writing report is needed. In college, our lectures will ask us to write essay, personal report or paper. The writing ability will help us in every field of our life. Furthermore, Reinking, (1996: 3) in his book discusses that writing has many advantages to both writers and readers, namely: 1. It gives writers times to reflect on and research what they want to communicate and than lets them shape and reshape the material to their satisfaction. 2. It makes communication more precise and effective 3. It provides a permanent records of thoughts, actions, and decisions 4. It saves the reader’s time; we absorb the information more swiftly when we read it than when we hear it. When a person writes something, he or she has purposes for writing. When the first time we start writing, we should ask to ourselves why we are writing. Whenever we write, a clear purpose should direct our efforts. Based on this varied writing purposes, Jakobson, states that: “The writer may have motivations of which he or she is unaware. The writer may also have mixed, and even contradictory, motivations for writing. For instance, a student writing an essay for a class may wish to please the writing can help one produce the most effective piece of writing.” A lot of people have a different process of writing. They perform their writing in varied styles based on their personalities. Some of them write about their own experience, some write from their dreams, and others just imagine it from start to finish. It is called “free writing”. On the other hand, Reinking (1996: 4) states that there are four common general writing purposes; 12


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 1. To inform; The primary goal of writing is to have someone received certain information. When someone writes a piece of writing, they will present such information to the reader. In another case, when someone wants to know about how far their audiences’ understanding about what she/ he has been presented, they will ask the audience to write exams or paper. Thus, they can know how well you have mastered the course material. 2. To persuade; The different ideas of every writer lead them to write in different kind of view. To make it be strong and possible views they will pose some relevant reasons. So, the readers will pay great attention on their writing. For example, in a letter to editor, you might attack a proposal to establish a nearby chemical dump. 3. To express yourself; Expressing feeling and art is one of writing goals. Essays, fiction, plays, and poetry, as well as journals and diaries are mainly involved of creative writing. In other hand, self- expression is included in other kinds of writing too. 4. To entertain; Another purpose of writing is to entertain the reader upon the topic presented. Some writing simply entertains, but some writing takes entertainment along with a more serious purpose. As stated by Reinking (1996: 5)”a lighthearted approach can help your reader absorb dull or difficult material”. It is clearly mentioned that a taste of entertainment in writing will attract a more reader attention. Thus, they will not give up to filter the given information. B. Contextual Teaching and Learning, Learning Community. Creating a meaningful situation in learning is strongly recommended in order to achieve the goal of teaching. Some experts have proposed that in achieving the goal of teaching, teacher plays an important role in the classroom for making learning purposeful and meaningful. As stated in the principle of meaningful leaning: “meaningful learning will

ISSN 2086 - 8421 According to the statement above, it can be concluded that writing is the most necessary skill in every field of human’s life and it helps someone to express himself/ herself in written form. Through a piece of writing, the expression of someone can be represented along his/ her works. Moreover, writing is how much of the world communicates. When someone intends to communicate with other people in form of written, he/ she needs to explore his/ her writing ability. Writing can be a great tool to help someone to know more about the way of someone thoughts. Writing can solidify ideas and thoughts, and allow somebody to reflect what on his/ her thoughts into written form. Writing is one of the ways that someone translates his/ her thoughts for other people. Some people are better at expressing themselves in writing than any other way, and thus they can get a better translation when they read what they have to say rather than hearing them speak. Writing also assists someone with other language tasks as well. Writing helps someone learn how to form language, how to spell, how to put together a plot. How can someone make a logical argument, or how to persuade, is expressed through writing. Speaking can help someone learn those things as well, but it is easier to self-examine and evaluate how to improve when someone has something concrete in front of him/ her, and can revise it.

lead toward better long- term retention than rote learning” (Brown, 2001: 57) Putting the students into a real context of learning will enable them to learn the subject meaningfully. The students will be more enjoyable in learning, without thinking too much on the demand of teaching goals. Creating the natural environment where the students are involved is viewed as the effective way to learn. Here, the students take a part directly and joint with real process of 13


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 constructing the knowledge, rather than memorizing the concept. Taking a part in real context of learning engages the students directly to the requiring knowledge. It is believed as an appropriate way in teaching learning process. The students learn by participating actively in all class learning activities, constructing their own knowledge in their mind, and trying to understand the concepts by relating it to their own environment or society where they live and work. These points of view lead us to one of approach which is suitable applied in the teaching learning approach, Contextual Teaching Learning (CTL). CTL is a learning concept where the teacher presents the real word into the classroom and pushes the students to relate between their knowledge with the implementation of knowledge in their daily life, meanwhile the students receive the knowledge and competence from the limited contexts step by step, and the students construct and build the knowledge by themselves. From self- constructing, the students can solve the problem in their society life as the member of society. In CTL (contextual teaching learning) framework, the learner is formed to be a wellprepared society member. Thus, teacher must build connection to what have been learned by the students can be implemented in field of work. As stated by Johnson in her book that” CTL is best known as, perhaps, as the instructional system that connects school work with the world of work” (2002: 61). This statement is clearly stated that the fundamental system of CTL is to have a skilled student. Community psychologists such as McMillan and Chavis (1986) state that there are four key factors that defined a sense of community: “(1) membership, (2) influence, (3) fulfillment of individuals needs and (4) shared events and emotional connections”. So, the participants of learning community must feel some sense of loyalty and beyond to the group (membership) that drive their desire to keep working and helping others, also the

ISSN 2086 - 8421 things that the participant do in must affect what happened in the community, that means, an active and not just a reactive performance (influence). Besides a learning community must give the chance to the participants to meet particular needs (fulfillment) by expressing personal opinions, asking for help or specific information and share stories of events with particular issue included (emotional connections) emotional experience. In achieving the target of learning, students need to work together. Sharing ideas and taking a part into learning community directly is an effective way for the students to acquire knowledge. In order to organize a good interaction among the students, the teacher can help them to closely engage in learning by creating group work activity. Thus, learning community as the one essential component in contextual teaching and learning will help the students in achieving their learning goal. The learning community concept recommends that the result of learning is gotten from learning together with other students. When they face any troublesome in acquiring knowledge, they will need friends to discuss and share it in order to solve the problem. V. DATA ANALYSIS AND MODEL In getting the data, the researcher used three instruments of collecting data, there are: observation sheet (teacher’s and students’ observation sheet), students’ writing sheet, and questionnaire. The students’ individual writing result would be analyzed by the researcher based on the indicators prepared. The students’ average score of the writing obtained by the students should be 75 (more than 70) or met good category. It was based on analytical scoring rubric adopted from Heaton (1998) with some modification. The result of students’ writing in cycle 1 could be seen in the table presented below:

14


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

TABLE I The Students’ Individual Writing Score in Cycle 1 No.

Name

1.

EY

C 13 30 13

2.

FJ

22

14

14

16

3

69

AV

3.

MU

21

12

14

20

3

70

AV

4.

MR

16

11

12

14

1

54

F

5.

NK

16

12

16

16

1

61

AV

6.

NF

22

15

15

17

2

71

G

7.

NJ

16

10

14

16

1

58

F

8.

RR

14

10

12

12

1

49

P

9.

RJ

24

18

18

22

3

85

VG

10.

RD

26

18

18

22

4

88

VG

11.

RS

18

10

14

12

2

56

F

12.

SY

16

12

16

14

1

60

F

13.

SH

22

18

18

22

3

83

VG

14.

SM

18

10

16

18

2

64

AV

15.

WF

18

14

16

18

3

69

AV

YL

16

14

16

16

2

64

AV

16.

O 720

V 7-

G 5-

M 2-

Total 100

Qualification

10

20 12

25 4

5 1

50

F

Mean: 65, 6

The table shows that the mean score gained by students of cyle 1 is 65, 6. It means the result did not meet successful indicator stated. From 16 students, there were no students got excellent, there were three students got very good, one student in good category, six students in average stage, five students categorized fair and one students was still in

poor category. Based on the result gained by the students, the researcher found that the students result was still unsatisfied and it did not meet the success indicator that is 75. Thus, it needed to revise the plans for the next cycle. Menwhile the result of students writing sheet on the cycle 2 could be seen on the following table:

TABLE II The Students’ Individual Writing Score in Cycle 2 No

Name

C

O

V

G

M

Total

Qualification

15


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

1330

7-20

7-20

525

2-5

100

1.

EY

20

14

16

14

3

67

Av

2.

FJ

23

17

18

20

3

81

Vg

3.

MU

22

14

16

22

3

77

G

4.

MR

17

16

15

16

2

66

Av

5.

NK

26

19

18

20

4

87

Vg

6.

NF

24

18

18

20

3

83

Vg

7.

NJ

20

16

16

16

2

70

Av

8.

RR

16

18

15

18

2

69

Av

9.

RJ

27

18

19

22

4

90

Vg

10

RD

26

18

18

24

3

89

Vg

11

RS

20

18

20

18

3

79

G

12

SY

18

10

16

14

2

60

F

13

SH

24

19

18

22

4

87

Vg

14

SM

19

16

17

21

3

76

G

15

WF

24

18

18

20

3

83

Vg

16

YL

20

15

17

22

3

77

G

Mean: 77,6

The researcher found that mean score had reached 77, 6. It indicated that the mean score had increased compared with the first cycle. Moreover, the result showed that it had achieved the success indicator that is 75.

Automatically, the researcher did not need to continue to the next cycle. Furthermore, the students’ response toward the implementation of the action could be seen on the following table:

TABLE III The Mean Score of the Students’ Responses to the Implementation of Learning Community

16


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 No 1. 2.

3.

Variable Measured Academic Achievement Positive Relationship

Psychological Health

No of Question

ISSN 2086 - 8421

Total Score

Mean Score

2, 3, 4, 5, 7, 8

302

3, 14

6, 12, 13

164

3, 42

1, 9, 10, 11, 14, 15

299

3, 11

Related to the students’ participation during the teaching learning process, the result of observation checklist shows that the students’ participation increased gradually from 63 % at the beginning of cycle 1 to 77, 6 % or it can be categorized to Good category at the end of the first cycle. Meanwhile, at the end of cycle 2, the result of students’ participation achieved 88 % or it was categorized to the level of Very Good. Thus, it means that the strategy applied had successfully improved the students participation during the teaching learning process. Automatically, it can be concluded that the learning comunity strategy can motivate the students in teaching learning process. It is strongly supported by Sergiovanni’s statement which stated that forming learning community in teaching learning process was recommended in creating a dynamic teaching learning process. The member of the group can help and share each other in creating an active teaching process. Moreover, as stated by Brown (2001: 177) forming a group work has some advantages. First, group work can generate interactive language. Then, it can offer an embaracing affective climate and promote learner responsibility and autonomy. Last, group work is a step toward individualizing instruction. It means that the students’ enthusiastic , motivation, and confidence in teaching learning process were highly improved. VI. RESULTS

The conclusions could be clearly stated as follow: In the implementation of learning community, the researcher had followed the rules and procedures that should be followed in order that the implementation runs effectively. In conducting the research, the researcher divided three stages of activities, there were: pre- writing activities, whilst- writing activities and post writing activities.The implementation of the action is effective to improve students’ writing, especially in writing descriptive paragraph since by working in group they can help each other to find ideas to pour it in writing form. This can be proved based on the result of the tests given to the students where there was improvemet in their score in each cycle. Through the implementation of learning community, the students could strengthen their ability in their writing. When the students worked together to construct ideas into a piece of writing, they could share and help each other and had opportunity to share their knowledge and solve their writing problem. Automatically, the students’ activeness in group work would help them in writing individually. It means that the intensity of students’ involvement in group work would made them ready in individual writing. The students’ participation in teaching learning process also increased gradually. There were any improvement of the students activeness from cycle one to cycle two. It was indicated from the result of observation checklist collected where at the beginning of cycle one, the students’ participation was only 17


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 63% and increased to77, 6% at the end of cycle one or at the criteria of Good. However, at the end of cycle two, the students’ involvement achieved 88 % or at the criteria of Very Good. The implementation of learning community (group work) in writing descriptive paragraph was also helpful in overcoming the researcher’s problem in teaching writing particularly in descriptive writing since one of those CTL elements derived the researcher find a solution of how to improve the students’ ability in writing. By implementing this element, the researcher could guide the students to be more active and be focused on their learning. The students also had a positive response toward the implementation of learning community. It was indicated from the questionnaire given to the students which consisting of 15 items and three general points; academic achievement, positive relationship, and psychological health. Two of this points achieved the level of Agree and one of this point achieved Strongly Agree. It clearly means

ISSN 2086 - 8421 that the students had a positive response toward the implementation of learning community. The implementation of learning community leads the students to work cooperatively to achieve the goal of their group. The students could help each other when one got trouble, others could help. Sharing ideas and taking a part into learning community directly is considered as an effective way for students to acquire knowledge. The weakness of this learning model is that it consumes much time where the time provided is not enough to cover all the activities. The researcher needs more time to arrange students and inform the students’ rule in group work. In addition, the researcher also faces another problem, that is students’ vocabulary. The researcher just help the students by providing them with the list of vocabulary related to the topics and also the researcher needed to enrich herself with the vocabulary related to topic discuss.

REFERENCES Brown, H. Douglas.2001. Teaching by Principles and Interactive Approach Pedagogy- 2nd ed. San Francisco State University. Addison Wesley Longman. Inc. Hakim, T. 2000. Belajar Secara Efektif. Jakarta. Penerbit Puspa Swara. . Heaton, J. B. 1998. Writing English Tests. New York: Mac Millan Publishing Company. Jakobson, Roman in http://writing.colostate.edu/guides/process/audmod/com2c1.cfm, accessed on January, 15th 2010 Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. What It Is and Why It’s Here to Say. California. Corwin Press, Inc. Mc Millan and Chavis.1986: Learning Community. In (http://en. wikipedia. org/wiki/learning community). Accessed on December, 22, 2011. Newman, F. M., & Wehlage, G. G. (1993). Five Standards of Authentic Instruction. Educational leadership (April), 8- 12. In Johnson, Elaine B.2002. Contextual Teaching and Learning. What It Is and Why It’s Here to Say. California. Corwin Press, Inc. Reinking, James. A, et, al. Strategies for Successful Writing: A Rhetoric, Research Guide, and Reader. 4th edition. All of Ferris State University. New Jersey, United States of America. 18


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

Sergiovanni. 1994. Building Learning Community. http://www.cew.wise.edu/ teachnet/ctl/. Downloaded on January 2nd, 2010.. Slavin. 1994. The Cycle of Learning. Cambridge University Press

VARIATION IN LANGUAGE Oleh Putri Dini Meutia Abstrak Bahasa adalah suatu alat penting dalam berkomunikasi satu sama lain. Bahasa pertama yang diajarkan kepada kita disebut dengan bahasa ibu. Di samping bahasa ibu, kita juga memiliki bahasa asing atau bahasa kedua, dan bahasa international. Walaupun demikian variasi dalam sebuah bahasa akan muncul karena interaksi social dari kelompok-kelompok atau masyarakat yang beraneka ragam dan berbeda-beda. Menurut ahli sosiolingustik, variasi dalam bahasa berhubungan dengan daerah, kelas sosial, latar belakang pendidikan, dll. Lebih lanjut, variasi dalam bahasa dapat dikelompokkan ke tempat, waktu, penggunaanya, situasi, dan status. Tempat adalah berhubungan dengan dialek, waktu adalah berhubungan dengan dialek sementara, sedangkan penggunaanya adalah berhubungan dengan orang yang menggunakan bahasa tersebut dan pengguna juga harus diperhatikan tentang idiolek, kelamin, kelas sosial, dan umur. Akan tetapi, situasi adalah berhubungan dengan situasi di mana bahasa tersebut digunakan, apakah untuk situasi yang formal atau informal. Status adalah berhubungan dengan posisi bahasa tersebut di dalam masyarakat. Walaupun demikian, ada beberapa aspek yang juga membuat variasi dalam bahasa Inggris, yaitu bahasa yang standard, jargon, style dan register, colloquial, Black English, dan slang. Keyword: language, variation, using INTRODUCTION

Langauage is a system of human communication by means of structured arrangement of sounds (or their written 19


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 representation) to from larger unit (Longman Dictionary;1987). Therefore, we need a language to communicate each other and to perform our daily life. Moreover, language not only refers to human language but also animals. Animals use their own language to communicate each other, but they cannot produce the sound like human. Thus, the focus of this paper is to human language. In the world, there are so many languages that use by different countries or nations. For example, Indonesia has bahasa Indonesia as national language, but Indonesia also has too many regional languages, such as Acehness, Javaness, Batakness, etc. Moreover, language is not only spoken by people in a particular country or nation, e.g. German in Germany, but also spoken by only part of population of a country, such as French in Canada. Furthermore, we always use language from morning until night. The word that was produced sometimes or always used repeatedly, such as, I, eat, drink, etc. The language activities include speaking, writing, listening, and reading. Moreover, speaking and writing are called active language activities, while listening and reading are called passive. In fact, in the language skill term, there are called productive skill to speaking and writing, and receptive skill to listening and reading (Longman Dictionary;1987). Therefore, there are many human’s behavior with related to language. The interactions between these activities of human, however, are the focus of the sociology of language. Moreover, the sociology of language emphasizes on these aspects and language social. Organizations which are reflected on the language behavior and attitude (Pateda;1967). Nevertheless, in the 1960’s, it appeared a new term and more popular about it. The term is sociolinguistics. In sociolinguistics, the focus is on the position of language in the correlation with the user in the societies. It means that sociolinguistics consider the language as social communication system, and as particular part of society and culture. Indeed, language use is the social interaction that is

ISSN 2086 - 8421 happen in concrete situation (Suwito;1983). In the social interaction, language is not only as individual symptoms but also social symptoms. As social symptoms, language and language use are not only demined by linguistic factors, but also non-linguistic factors. These factors influence the language use, for instance, social status, education level, economic level, etc. Besides that, the language use is only influence by situational factors that is, who speak, what language, to whom and when (Fishman;1978). Because of these factors, the variation in language appears. DISCUSION VARIATION IN LANGAUGE A. Language variation According to Longman Dictionary, language varieties are differences in pronunciation, grammar, or word choice within a language. It means that even in a language, there are many differences in the pronunciation, grammar, etc. between the societies. While according to Ferguson which is quoted by Penesola (1981), a variety is anybody of human speech pattern which is sufficiently homogenous to be analyzing by available techniques of synchronic description and which has a sufficiency large repertory of element of their arrangement or process with board enough semantic scope to function in all normal context of communication. It can be concluded that, there are some language pattern, and these patterns, could be analyzed by descriptive perspective, in these patterns which are limited by the meaning are use by speakers to communication. According to the explanation above, the language variation could be occurred because of these following factors: place, time, the user of language, situation, and status of language. 1. Place The language variety which caused by the place or geographic located usually is known as dialect. Dialect could be divided into two, which are regional and social dialects. Regional dialect is a variety of language which is spoken in one part of 20


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 country, while social dialect or socialect is spoken by people belonging to a particular social class which is different in some word, grammar, and/or pronunciation from other forms of language (Longman Dictionary;1987). While Ferguson (1971) defines dialect as : dialect is any set of one or more varieties of a language which share at least one feature or combination of feature setting them apart from other varieties of the language and which may appropriately be related as a unit on linguistic or non-linguistic grounds (Penasola;1981). He describes the extent and property of dialect differentiation in terms of two major variables, density of communication and inter-speaker attitudes. The more frequently people speak to each other, the more their speech tend to become identical. Furthermore, there are five differences in dialect; (Pateda;1987) a. Phonology b. Semantics c. Anomasiology; refers to the different terms or names according to a concept which is given in some different places d. Semasiology; refers to the same terms or names for some different concepts, and e. Morphology In the writer perspective, all these differences always occur in every dialect. For example, the differences between dialect of Great Aceh and North Aceh, there are some terms or names which are different between them. For instance, the word “conversation” has different concept between them, ‘meututo’ for North Aceh and ‘pegah haba’ for Great Aceh. Not only have those, the differences in phonology, semantics and morphology, too. In addition, dialectology is the study of dialects and their geographic or social distribution. Traditionally, dialectologists study the variety of language used within a particular speech community, a group of people who share a set of norms of

ISSN 2086 - 8421 convention for language use (Meecham;2001). Moreover, in Indonesia, for example, we know Bahasa Indonesian which is Jakarta dialect, Menado dialect, Ambon dialect, etc. whereas Acehness language has dialect of North Aceh, Pidie, Great Aceh, etc. The other sample we can see American and Australian. They have the same language, English, but different country and continent. Nevertheless, it can be separated that those who live in the same state, country or even the same districts the language variety would be found there. For example, the people who live in the mountain or in the coastal have differences in produced the language. 2. Time In addition, the language variation which is caused by the differences of timing used is called temporal dialect. Therefore, the dialect has been changing over time. We can see that in Indonesia, Malay language at the Sriwijaya dynasty was different with the Malay language before 1982. Moreover, the differences of time caused to the different meaning for certain words (Pateda;1981). It is not surprised because language follows the speaker society development. It, however, is not only in the different meanings, but also in the sounds and word formations. We can find those in the Old English and Modern English. The following are example of them:

Old English Modern English Bryd Bride Fisc Fish Tep Teeth Gat Goat Henn Hen Sona Soon, etc. It can be concluded that, language is dynamic and static. Because of the time, it can be change according to the speakers. 3. The user of language 21


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 This term refers to the person who used the language. In this case, if we see language variety from this aspect, thus we must consider about dialect, sex, social class, and age. a. Idiolect An idiolect is defined as the language use typical of an individual person (Freeborn;1993). Moreover, Gregory (1987) stated that an individual’s idiolect may be affected by contact with various regional or social dialects, professional registers and in the case of multilingual, various language. It means that an idiolect is something whose has by someone which has differences in their style, word choice, sentence structure, etc. when he/she spoke. Moreover, in Longman Dictionary, this perspective could be divided into two, i.e. in its widest and narrower senses. Thus, someone’s idiolect includes his/her way of communication, e.g. his/her choice of utterance, and the way he/she interpret the utterances made by other, it is called widest sense. While the narrower sense is an idiolect may include these features, either in speech or writing, which distinguish one individual from other, such as voice, quality, pitch, and speech rhythm. b. Sex The second point is sex. Sex can be divided to men and women. The differences between men’s and women’s speech may range from differences in pronunciation and grammar, which are scarcely notice expect by linguistic, to obvious differences systema-tically thought to children (Penasola;1981). It means that there are some differences between men’s and women’s language when they spoke. It is clearly seen when they are gathering together (women between women and men between men). It could be seen in the word selection, pitch, stress, etc. Moreover, the

ISSN 2086 - 8421 language does not differ the variety base on sex but it just be happen by the creation of the society and it reflects on daily used. In English we found many words that related to the sex, some of them are: male-female, prince-princess, count-countess, actor-actress, widowerwidow, etc. c. Social class The next aspect is social class. Social class means that the position which is related to the education level and occupation. Moreover, an aspect that affects a person to practice his/her language is social dialect. According to Longman Dictionary, social dialect is a variety of language used by people to a particular social class. Most of the people divided the classes in term of the kind of work, financial, education, work, and house location as the determiner to make the upper, the middle, and the lower class. Actually, this factor cannot be found be easily in society, because the educated person almost the same in variant area. d. Age In fact, the language used by children is different as adults and it is always different as adults and it is always different from one generation. It occurs because the language is a need and each of human has to reach certain levels to master the language. Moreover, there are some differences languages between the person who age 3, 6, 9, and 12 years old. And we can compare with the person who age 18 years old above. Eventually, the users are not educated person and their occupation’s circumstance is low, moreover, their languages show that they are mature. 4. Situation Unconsciously, situation influence one language, which change the language into formal and informal situation. There are three situations affected the language varieties: 22


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 a. b.

The speaker : related to social class To whom the speaker speak : related to the social class and the age c. When and where : the language use in meeting in front of company is unlike the language used in women social gathering or in a reunion or even in a market. 5. Status of language If we look at the status of language, we can divide it as mother tongue, regional language, lingua franca, and national language. In terminology, mother tongue is a first language which is acquired at home (Longman Dictionary;1987). Everybody has own mother tongue. Sometimes mother tongue is also called regional language, because it is used at home and also in the regional where she/he from. Moreover, according to Pateda (1981) regional language is a language that is used by people who lived in certain regional to communicate each other. In Indonesia, there are many regional languages, e.g. Acehness, Javaness, Sundaness, etc. As mentioned above, mother tongue is like regional language, but sometimes it could not be. For instance, if someone from one regional and leave there, for example Aceh, of course his mother tongue and regional language is Acehness. But is he is from Aceh and leave in Bandung, of course his mother tongue is Acehness but he does not have regional language because he is not from that area or regional. Thus, I will use national language to communicate with the society there. Moreover, national language, according to Longman Dictionary, is a language which is usually considered to be main language of a nation. It means that every nation has its own language. Moreover, it is only known as the national language but also the official language (Longman Dictionary:1987). It means the language which is used in government, court of law, teachinglearning process, etc. Finally, the variety of language is considered as lingua franca. Lingua franca is a language which is used for communication between different groups of people. It could be

ISSN 2086 - 8421 an internationally used language of communication (English), and it could be a native language of one of the group, or it could be a language which is spoken natively by any of groups mixture of two or more language (Longman Dictionary;1987). It means that a language that could be from international or native language is a lingua franca of one country. For example, in Indonesia, Bahasa Indonesia is commonly used as lingua franca, because Indonesia has many regional languages. Thus, Bahasa Indonesia is lingua franca beside as national language. Moreover, UNESCO has defined lingua franca as a language which is used habitually by people whose mother tongue are different in order to facilitate communication between them (Penasola;1981). In that case, it can be concluded that even our mother tongue are different, but when we communicate which other people who are different mother tongue with us, so we use Bahasa Indonesia. In addition, Samarin stated that there four types of lingua franca, namely; trade, contact, international, and auxiliary language (Penalossa; 1981). Trade language is a language that is used by some people as a second language in commercial situation over a larger territory outside its native area (e.g. Hausa in West Africa). Next, contact language is a lingua franca which use is not necessarily habitual (e.g. Latin or Greek in the ancient Near East). International language is a language which is used actually or virtually internationally (e.g. English). And then auxiliary language is generally refers to artificially constructed as lingua franca, such as Esperanto. But this language is not popular in the international communities; however, they more refer to English as lingua franca between them. B. The style of language variation. Beside the factors above, there are some factors which also influence the variation in language. The factors are standar of language, jargon, style and register, colloquial, black English, and slang. 1. Standard of language 23


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

2.

3.

A standard language is the only kind of variety which would count as a proper language (Hudson;1985). A proper language here means that a language which is acceptable and has standardization. Moreover, the concept of standard language was firstly developed by linguists of the Prague School, who characterized it as a codified from of language, accepted by and serving as a model for a larger speech community (Penalosa; 1981). Therefore, the conceived of a standard language must be flexible enough in its codification to allow for modification in response to culture change. Moreover, another property of a standard language is “intellectualizetion”. It involves a systema-tization of the grammar and explicitness of statement in the lexicon. It tends to definite and accurate expression. The standard language has a literate and cultural superiority rather than the other dialect and it has been agreed by people to be perfect one. Indeed, the standard language is used by media, scholar, and non-native speaker who learn that language. Moreover, it is necessary and obligatory to make grammar books and dictionaries. Jargon According to Longman Dictionary, jargon is usually speech or writing containing specialized words or constructions. It means that there are terms which are known by them who involve in that group and the other people did not know the meaning of those terms. For example, the terms RAM, bit, byte, and CPU are jargon terms related to computing, etc. Furthermore, Condillac said that every science needs a special language because every science has its own terms (www.wikipidia/ .htm) Style and register Everyone in this world has his/her own style which is unique and different with another. How to choose a precise style? It depends on situation, such as: who is speaker, to whom, what topic,

ISSN 2086 - 8421

4.

5.

when and how the situation. Moreover, Martin Joos, which is quoted by Penalosa (1981), divided style into five groups: frozen style; for those who involved in the literature area, such as media, novelist, etc., formal style; it used for formal speaking or writing, consultative style; use in semi-formal situation, such as between strangers, teacher and students, etc., casual style; use in casual time, and intimate style; use with family or close friends and to express a private speech. Furthermore, some scholars defined register as style, but some of them did not do that. According to Longman Dictionary, register is variety used by a specific group of people, and those groups usually sharing the same occupation or the same interests. Moreover, there are so many activities that are done by people and one of these activities is occupation. Every kind of occupations forces someone to use a language which is related to his/her occupation. Colloquial Colloquial is a type of speech used in every day or informal situation. It is appropriate for casual, ordinary, familiar, or informal conversation rather than formal speech or writing. Moreover, colloquial is not necessarily non-prestige speech and should not be considered as sub-standard (Longman Dictionary, 1987). Instead of an educated person will use colloquial utterance, if he/she faces informal situation, for instance, with friends or family members, she/he prefers to use gonna rather than go to, or wanna rather than want to, or you’ll rather than you all. Black English Black English is also known as African Vernacular English or African American English. It has especially phonological, morpho-logical, and syntactic features (Wardhaugh;1988). However, Black English is one of varieties of American English which is different with commonly standard 24


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

language. Furthermore, there are two popular features of Black English that related to syntactic features. These features are not commonly shared with other dialects of American English. These are copula deletion and habitual be (Penalosa;1981). Copula deletion means that Black English deleted or not always used be when they spoke, for instance, “you are lazy” become “you lazy”, etc. In addition, habitual be is particular kind of verbal form which indicates aspect rather than tense and has no parallel in Standard English (Penalosa;1981). For example: He be sick all the time. In phonology features, there are some aspects that make Black English different with Standard English. It could be seen in the final consonant which is sometimes deleted, for example the words; test, desk, end, and find. Furthermore, the final stops are devoiced, for example final stop of /b/ cub sounds like cup, /d/ kid sounds like kit, and /g/ big sounds like bik, etc. Furthermore, the last feature is in morphology. It could be seen in the marker or participle verbs. Because of the final consonant like /t/ and /d/ are deleted, so the sentence like “I walked” sounds like “I walk”. Moreover, Black English

6.

does not always mark the verbs which indicates third person singular, for example “she buys an apple” become “she buy an apple”. Slang Slang is a term which is describing the using of informal words and expressions that are not considered as a standard in the speaker’s dialect language. In addition, slang very often involves the creation of new meaning for existing words, for example, the word “cool” can mean very good, good looking, or awesome. Nowadays, we know slang which is used in chatting in internet or writing message in mobile phone (SMS), e.g. LOL stands for laugh out loud, or ROFL stands for rolling on the floor laughing.

Conclusion Language is a main vehicle to communicate. Every nation has its own language. Without language, we cannot communicate each other. Finally, as the user of language, we must be aware and proud to the language which is use, whether it is first or national language. Furthermore, we must consider the situation or to whom we spoke, so that other people can respect to us.

References Fishman, J.A. (1978) The Sociology of Language. USA: NewBury House Publisher Freeborn, Dennis. Peter French and et al (1993) Varieties of English. Houndsmill and London: MacMillan Press Gregory, Michael and Susanne Carroll (1978) Language and Situation; Langauge Varieties and Their Social Context. London http:/www.wikipidia/jargon…, accessed March 2010 Hudson, R.A. (1985) Sociolinguistics. Great Britain: Cambridge University Press Meecham, Marjorie and Janie Rees-Miller (2001) Language in Social Context Pateda, Mansoer (1987) Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa 25


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

Penalosa, Fernando (1981) Introduction to the Sociology of Language. USA: NewBurry House Publishers Richard, Jack. et al (1987) Longman Dictionary of Applied Lingustics. England: Longman Suwito (1983) Sociolinguistik, Teori dan Problem. Surakarta: Henary Offset Wardhaugh, Ronald (1988) An Introduction to Sociolinguistics. Graet Britain: Basil Blackwell Ltd.

PENGARUH METODE KONSTRUKSI TERHADAP PERENCANAAN JEMBATAN GELAGAR KOMPOSIT Syafridal Is Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Abulyatama ABSTRAK Sistem gelagar komposit yang memanfaatkan kelebihan dari bahan baja dan beton dan menggabungkannya dengan memasang shear connector, merupakan struktur yang lebih ekonomis jika dibandingkan dengan tidak menggunakan shear connector yang dikenal sebagai gelagar non komposit. Lebih jauh lagi karena lantai beton tidak dapat langsung menahan beban luar seperti dalam perhitungan sturkturnya, maka selama pelaksanaan profil balok baja harus menahan beban basah berikut beban hidup. Dengan sifat seperti ini maka metode konsturksi akan menentukan ukuran profil baja yang dipakai. Dalam tulisan ini, penulis mencoba membahas tiga metode konstruksi dan membandingkan antara ketiganya untuk mengetahui metode konstruksi mana yang paling menguntungkan dari segi penggunaan bahan. Metode pertama adalah metode propped construction yang menggunakan tupuan sementara selama pengecoran beton. Setelah beton mengeras dan struktur menjadi komposit, tumpuan sementara dapat dilepaskan. Pada metode kedua, metode pengecoran bertahap, pengecoran lantai beton dilakukan pada bagian tengah lebih dahulu untuk mendapatkan aksi komposit di daerah momen maksimum, baru kemudian pengecoran dilanjutkan pada bagian yang lain, sehingga balok baja hanya menahan sebagian berat beton basah dan beban selama pelaksanaan. Sementara metode preflex dengan menggunakan jack up atau prestressing by cable adalah metode dengan memberikan pra pembebanan (sebelum beban luar bekerja) dengan cara melengkungkan balok dengan arah yang berlawanan dengan lengkungan yang akan disebabkan oleh beban-beban luar. Dari perbandingan penggunaan profil baja yang diperlukan sesuai dengan metode konstruksi yang dipakai akan diketahui metode mana yang menghasilkan penggunaan profil yang paling ringan dan biaya paling murah. KATA KUNCI: efisiensi penggunaan bahan, metode konstruksi PENDAHULUAN 26


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012 Ada beberapa jenis jembatan baja yang dikenal masyarakat, misalnya jembatan gelagan (girder bridge), jembatan rangka (truss bridge), jembatan lengkung (arch bridge), cable stayed bridge, jembatan gantung (suspension bridge), jembatan baskul (bascule bridge) atau jembatan angkat (lift bridge). Sementara jika dilihat dari cara penggunaan bahan untuk gelagar baja dan lantai betonnya, setidaknya ada dua macam yaitu jembatan komposit dan non-komposit. Konstruksi komposit adalah konstruksi yang memanfaatkan kerjasama antara dua jenis material dengan memanfaatkan masing-masing kelebihannya untuk menahan beban yang direncanakan. Konstruksi komposit ini menjadi populer pada masa kini karena berbagai keuntungan yang bisa diperoleh. Material dasar yang digunakan selain baja dan beton antara lain juga kayu, dan lain sebagainya. Pada tulisan ini, penulis mencoba membahas aksi komposit antara material beton dan baja pada jembatan gelagar (girder bridge) pada bentang pendek (10 meter dan 15 meter) dengan lebar lantai kendaraan cukup untuk 2 jalur (6 meter). Keuntungan yang diberikan oleh desain komposit secara umum adalah: 1. Terdapat pengurangan tinggi dari balok yang digunakan sehingga dapat menghemat “embankment cost” pada pembuatan jembatan atau “storey height” pada bangunan gedung. 2. Meningkatkan kekuatan pada lantai beton. 3. Meningkatkan panjang bentang yang dapat menahan beban yang sama. 4. Kapasitas pemikulan beban meningkat. 5. Konstruksi komposit lebih kaku dan kuat dibanding konstruksi non-komposit. Walaupun banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari konstruksi komposit, ada juga beberapa kerugian yang ditimbulkannya. Dalam relevansinya dengan penggunaan baja prategang dan sistem lantai komposit baja-

ISSN 2086 - 8421 beton, maka diperlukan beton yang bermutu lebih tinggi (dibandingkan dengan sistem konvensional). Selain itu pekerjaan memberikan gaya prategang adalah mahal untuk kuantitas pekerjaan yang sedikit, di samping agar aksi komposit dapat terjadi, maka diperlukan pengeluaran ekstra untuk pemasangan dan pengadaan penghubung gesr (shear connector). Untuk konstruksi jembatan dengan umur jembatan 50 – 60 tahun, maka efek dari usut (shrinkage) dan rangkak (creep) pada beton juga perlu diperhatikan. TEORI DASAR KOMPOSIT Latar Belakang Sejarah Dahulu, konstruksi gelagar baja sebagai rangka utama mendukung (support) pelat beton bertulang didesain dengan asumsi bahwa pelat beton dan profil baja beraksi sendiri secara independen dalam menahan beban. Tidak ada pertimbangan yang diberikan bahwa ada efek komposit antara baja dan beton. Pengabaian ini dilakukan atas dasar bahwa ikatan antara beton dengan bagian atas baja tidak dapat diandalkan. Namun dengan kemajuan dalam dunia pengelasan, maka barulah dipikirkan bagaimana mengandalkan ikatan antara pelat beton dan profil baja dan menggunakan apa yang dinamakan penghubung geser (shear connector) terhadap gaya horisontal yang terjadi antara beton dan baja ketika struktur jembatan mengalami pembebanan lalu lintas. Adapun yang disebut sebagai salah satu perintis desain komposit ini adalah J. Kahn dalam tahun 1926 dan berkembang pada awal tahun 1930-an. Pada awal 1930-an konstruksi jembatan mulai didesain secara komposit. Tidak sampai awal tahun 1960-an desain komposit ini diterapkan dalam perencanaan, baik itu jembatan maupun gedung, sementara penggunaan secara luas desain komposit dalam perencanaan baik itu gedung ataupun jembatan di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1980-an. Teori Dasar Komposit Aksi komposit terjadi jika dua anggota structural yang bertugas sebagai penahan 27


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

beban seperti sistem lantai dan balok penyangga yang merupakan bagian dari rangka baja, secara integral dihubungkan dan melendut sebagai satu kesatuan unit. Dengan kata lain,

aksi komposit ini terjadi jika diagram tegangan dari serat bagian teratas beton sampai dengan serat bagian terbawah dari baja berbetuk garis lurus (Gambar 1).

cu

c

Pelat Beton

N. A

e Balok Baja

T SI

Gambar 1. Diagram tegangan pada balok komposit Untuk lebih memudahkan pengertian dari konsep aksi komposit ini, maka ada baiknya melihat lebih dahulu bagaimana kelakuan dari balok non-komposit (Gambar 2). Pada balok non-komposit, slip antara pelat beton dan balok baja dibiarkan terjadi, sehingga pelat beton dan balok baja dalam memikul beban tidak berlaku sebagai satu kesatuan, tetapi secara terpisah. Oleh karena itu, ketika struktur non-komposit menahan beban, maka yang terjadi adalah: permukaan bagian bawah pelat beton berada dalam P keadaan tertarik (in tension) dan terjadi pemanjangan (elongation), dan permukaan bagian atas dari balok baja berada dalam keadaan tertekan (in compression) dan terjadi pemendekan (shortening). Diskontinuitas ini terjadi di bidang kontak antara profil gelegar baja dan lantai beton, karena gaya geser longitudinal yang terjadi tidak dapat ditahan oleh gesek (friction) antara permukaan baja dan beton tersebut, dan hanya gaya dalam vertikal saja yang terjadi antara pelat beton dan balok

baja. Akibat diskontinuitas tegangan antara pelat beton dan balok baja ini, maka momen yang terjadipun diserap oleh masing-masing bagian balok baja dan pelat beton sesuai dengan kekakuan masing-masing pelat beton dan balok baja tersebut.

28


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

P

Gambar 2. Perilaku untuk non-komposit akibat beban P P Pada sistem komposit (Gambar 3), karena pelat dan balok dihubungkan sedemikian rupa sehingga kedua material yang berbeda itu menjadi satu kesatuan, maka ketika sistem mengalami pembebanan, gaya geser longitudinal yang bekerja pada permukaan bagian bawah pelat beton menyebabkan pelat tertekan dan terjadi pemendekan, dan pada saat yang sama gaya tersebut menyebabkan permukaan bagian atas balok baja mengalami pemanjangan.

Gambar 3. Perilaku balok komposit akibat beban P METODE PELAKSANAAN Penghematan yang dilakukan konstruksi komposit salah satunya tergantung dari metode 29


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

pelaksanaan yang diaplikasikan. Ada beberapa metode konstruksi yang sering digunakan dalam pelaksanaan pembangunan jembatan. Ada yang disebut metode propped construction yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan pemasangan tumpuan-tumpuan sementara balok yang akan dicor, sehingga pada waktu beton masih basah, yang menanggung bebannya adalah baja itu sendiri, baru setelah beton kering dan terjadi aksi komposit, maka beban dipikul oleh balok komposit atau balok gabungan tersebut. Metode yang kedua adalah metode pengecoran bertahap dan yang ketiga adalah metode pelengkung atau “prestressing by cable” atau “prflex”.

Bagian pertama yang dilakukan pengecoran tentunya pada bagian tengah bentang karena di situ terjadi momen lentur yang maksimal sebesar 0.125ql2, dimana q adalah beban yang dipikul dan l adalah panjang bentang. Sedangkan seberapa panjang bentang yang dicor, tidak ada aturan yang baku mengenai hal tersebut. Berdasarkan pengalaman, pengecoran sering dilakukan adalah sebesar 1/3 panjang bentang. Namun demikian akan dianalisa juga apakah pengecoran sepanjang 1/5 panjang bentang akan lebih menguntungkan. Berikut ini adalah analisa jika pengecoran dilakukan pertama kali sebesar 1/3 dan 1/5 panjang bentang. Jika bagian yang dicor pertama kali adalah 1/3 panjang bentang maka: Tahap I, terjadi momen maksimal sebesar Mmaks = 0.0695ql2 dan lendutan δmaks = 0.00342(ql4/El). Pada tahap ini semua beban mati akibat berat sendiri profil baja, beton basah dan beban hidup selama pelaksanaan ditahan hanya oleh balok baja (Gambar 4).

Metode Pelaksanaan Pengecoran Bertahap Pada metode ini, pengecoran pelat lantai pada balok baja dilakukan secara bertahap. Hal ini untuk menghindari terjadinya akumulasi beban besar yang membebani balok baja selama pengecoran dilakukan secara serentak di sepanjang bentang. Selain itu, pengecoran secara bertahap juga menghindari volume pekerjaan yang terlalu besar. q B

A L/3 A

C

L/3

C

D D

L/3 B

q L²

5 72

Momen

Lendutan

q Lendutan Gambar 4. Bidang momen dan lendutan yang terjadi pada pengecoran 30


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

tahap pertama Sepanjang 1/3 bentang di tengah balok Tahap II, di mana bagian tepi bentang juga dicor setelah bagian tengah menjadi komposit, terjadi momen maksimal sebesar Mmaks =

0.0555ql2 dan lendutan δmaks=0.01929(ql4/El). Momen maksimal tersebut ditahan oleh balok komposit (Gambar 5).

q

q EL komposit

A A

C

D D

C 1 18

B B

q L² M

d Maks 4

L q EL

25 1296

komposit

Gambar 5. Momen dan lendutan yang terjadi pada pengecoran tahap kedua masing-masing sepanjang 1/3 bentang pada kedua sisi balok baja yang belum dicor

Dengan cara yang sama didapatkan hasil : Momen Maksimal Tahap 1 (ditahan oleh balok baja) Tahap 2 (ditahan oleh balok komposit) Kesimpulan: Karena momen yang dipikul oleh balok baja pada pengecoran sepanjang 1/5L

1/3 L 0.0695 ql2 0.0555 ql2

1/5 L 0.0445 ql2 0.08 ql2

lebih besar (sebesar 0.8ql2) dibanding dengan pengecoran 1/3L (sebesar 0.0555ql2), maka 31


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

pengecoran awal pada sepanjang 1/3 panjang bentang lebih menguntungkan. Propped Construction Method Metode propped construcion adalah metode konstruksi dengan memberikan tumpuan sementara pada balok baja. Setelah beton mengeras dan terjadi aksi komposit tumpuan sementara dilepaskan. Pemberian tumpuan sementara ini dimaksudkan agar momen yang terjadi lebih kecil karena pada tahap awal ini semua beban (berat sendiri baja, berat beton basah dan beban pelaksanaan) dipikul oleh balok baja, serta dapat mengurangi lendutan akibat beban mati karena pemendekan bentang. Dengan istilah tumpuan sementara ini, dapat berarti bahwa balok baja dapat juga diletakkan di atas tanah, lalu lantai beton dicor, kemudian baru diangkat atau didorong ke tengah bentang sungai untuk dipasang pada tempatnya. Cara ini lebih disukai pada pembangunan jembatan

di mana tumpuan sementara di tengah sungai sukar dilaksanakan. Cara ini tentu memerlukan alat yang mampu mengangkat balok ketika dipasangkan pada tempatnya atau menariknya lewat bentangan sungai. Pada umumnya pemakaian tumpuan sementara ini tidak perlu ditempatkan menerus sepanjang bentang balok, tetapi cukup di tengah-tengah bentang, pada seperempat bentang atau pada sepertiga bentang. Pertimbangan pemakaian beberapa banyaknya tumpuan sementara juga didasarkan atas mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan tumpuan sementara, dan derajat kesukaran dalam pelaksanaan pemasangan tumpuan sementara. Berikut ini diperlihatkan besarnya momen yang timbul baik dengan menggunakan satu tumpuan pada tengah batang maupun menggunakan dua tumpuan pada sepertiga batang (Gambar 6 dan 7).

q

A

B

C

L/2

L/2 0.03125q L²

A

C

q

0.0175 q L²

0.0175 q L²

A

B

0.0111 q L²

0.0088 q L²

C

D

0.0111 q L²

0.00277 q L²

0.0088 q L²

Gambar 6. Momen yang terjadi pada balok yang di-propped dengan satu tumpuan

32


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

P

ISSN 2086 - 8421

P

q

str

str

e

Kabel Tegangan Tinggi

L

Diagram momen akibat

Pstr

Gambar 7. Momen yang terjadi pada balok yang di-propped dengan dua tumpuan

MP = P str str . e

Diagram momen akibat

q BM

q BM L²

1 8

Metode Preflex atau Prestressing Cable Method Prinsip metode ini adalah menciptakan momen lentur yang berlawanan tanda dengan momen lentur yang terjadi akibat beban lalu lintas. Momen yang terjadi ini sedapat mungkin memiliki bentuk dan besar yang sama atau setidaknya mendekati bentuk dan besar momen akibat beban luar yang terjadi, sehingga semakin menguntungkan konsturksi tersebut, karena momen negatif ini akan mengurangi atau bahkan meniadakan momen positif, =

MP

str

MP

str

Momen akibat kabel prestress mengurangi momen akibat beban luar

sehingga momen yang terjadi cukup kecil. Tetapi perlu diperhatikan bahwa jika momen negatif yang terjadi terlampau besar melebihi momen positif (akibat beban luar) dapat mengakibatkan keretakan pada plat beton karena adanya batasan tegangan ijin akibat tarik pada beton yang relatif kecil. Untuk menciptakan momen yang berlawanan ini, maka digunakan kabel baja tegangan tinggi. Momen yang disebabkan oleh penarikan gaya pada kabel akan mengurangi momen yang disebabkan oleh beban luar (Gambar 8-10).

33


Jurnal Tasimak Vol. III, No. 1, April 2012

ISSN 2086 - 8421

Gambar 8. Bidang momen yang terjadi pada balok yang di-prestress dengan kabel 1400

A

WF 150 x 75

Strand grade 270

A

WF 200 x 200

ELEVASI SKALA 1 : 70

Gambar 9. Tampak samping dari jembatan dengan metode konstruksi prefle TROTOIR

ASPAL

W F 596 x 199 x 10 x 15

150 cm

WF 200 x 200 WF 125 x 125

25

30

90

30

90

30

90

30

90

30

90

30

POTONGAN A - A SKALA 1 : 40

Gmbar 10. Potongan A - A Karena pada metode ini digunakan kabel baja tegangan tinggi, maka bentuk konstruksi kabel yang paling kecil ideal adalah bentuk parabola yang sesuai dengan bentuk momen yang terjadi akibat beban luar. Tetapi karena bentuk parabola ini sulit dalam pelaksanaan di lapangannya, maka umumnya cukup dibuat bentuk poligon.

dilakukan prestressing pada balok baja dengan gaya prategang, c) kemudian pelat beton baru dicor.

Adapun tahap-tahap pelaksanaan metode prestressing by cable adalah sebagai berikut: a) balok baja dipasang pada tumpuan, b) 34


HASIL PERHITUNGAN Kekuatan dan Kekakuan Tabel 1. Hasil perhitungan dengan panjang bentang 10m Berat Metode

WF

fc-maks

fs-maks

δmaks

(kg/cm2)

(kg/cm2)

(cm)

43.00

1370.85

1.130

profil

Pengecoran

596×300×13×24

(kg/m) 94.60

bertahap Propped 1

500×200×10×16

61.03

61.03

1443.70

1.085

tumpuan Propped 2

450×200×9×14

61.10

61.10

1461.50

1.285

tumpuan Preflex

446×199×8×12

58

58.65

1572.30

1.293

43

1370- 8 5

61.10

61.03

1443. 70

1461.70

58.65

1572.30

Gambar 11. Diagram tegangan maksimum yang terjadi pada tepi atas pelat beton dan tepi bawah balok baja Tabel 2. Hasil perhitungan dengan panjang bentang 15m Berat Metode

fc-maks

fs-maks

δmaks

(kg/cm2)

(kg/cm2)

(cm)

700×300×13×24

(kg/m) 185.0

51.11

1232.55

2.400

WF

Pengecoran

profil

bertahap Propped

1

588×300×12×20

151.0

80.06

1557.67

2.533

tumpuan Propped

2

582×300×12×17

137.0

70.21

1382.60

2.508

596×199×10×15

94.6

6.86

1548.57

2.588

tumpuan Preflex Keterangan:


fc-maks (kg/cm2) = tegangan maksimal yang terjadi pada pelat beton fs-maks (kg/cm2) = tegangan maksimal yang terjadi pada profil baja δmaks (cm) = lendutan maksimal yang terjadi σc-ijin = tegangan yang diijinkan boleh terjadi pada pelat beton (85 kg/cm2) σs-ijin = tegangan yang diijinkan boleh terjadi pada profil baja (1600 kg/cm2) Analisa Biaya Dengan mengambil studi kasus untuk jembatan gelagar komposit dengan bentang 10m dan 15m, dan meninjau biaya yang terjadi pada setiap metode konstruksi di atas didapat bahwa untuk bentang 10m, metode konstruksi yang paling ekonomis adalah metode propped 2 tumpuan, metode propped 1 tumpuan, metode pengecoran bertahap dan metode preflex (masing-masing lebih mahal 11.2 %, 12.7 % dan 13.6% terhadap propped 2 tumpuan). Dengan cara yang sama maka untuk bentang 15m didapat yang paling ekonomis adalah metode preflex, baru kemudian metode propped 2 tumpuan, metode propped 1 tumpuan dan terakhir metode pengecoran bertahap (masing-masing 9.8%, 19.2% dan 39.4% terhadap metode preflex). Kesimpulan Metode pelaksanaan atau metode di lapangan sangat berpengaruh dalam perencanaan jembatan gelagar komposit. Metode konstruksi berpengaruh dari segi kekuatan (tegangan dan lendutan), penggunaan bahan (berat profil), dan biaya. 1. Keempat metode konstruksi masingmasing dapat memenuhi syarat kekuatan, tetapi dalam penggunaan profil ternyata metode preflex bisa lebih ekonomis (lebih ringan) dibanding dengan metode konstruksi lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam perancanaan dengan cara preflex, beban yang dipikul sebagian besar diambil alih oleh momen yang dihasilkan oleh gaya prestress. 2. Pada bentang yang berbeda ternyata kecenderungan perbandingan keempat

metode ada yang berkorelasi ada yang tidak, yaitu: a. Pada perbandingan tegangan yang terjadi, untuk kedua bentang (10 dan 15 meter), metode pengecoran bertahap memberikan tegangan minimum. Sedangkan untuk metode yang lain tidak ada kolerasi untuk kedua bentang, karena tegangan yang terjadi adalah akibat akumulasi tegangan tiap tahap pelaksa-naan yang tergantung dari beban yang dipikul tiap pelaksanaan untuk keempat metode pelaksanaan adalah berbeda. b. Pada perbandingan lendutan yang terjadi, untuk kedua bentang yang berbeda ternya-ta masing-masing bentang memberikan dua metode konstruksi berbeda yang menghasilkan lendutan mak-simal yang paling minimum (δmaks = 1.085 cm untuk propped 1 tumpuan pada bentang 10 meter, δmaks = 2.4 cm untuk pengecoran bertahap pada bentang 15 meter). Seperti diketahui lendutan adalah fungsi dari beban yang dipikul (q), panjang bentang (L), modulus elastisitas (E), dan momen inersia (I). Dan karena unsur beban (q) dan momen inersia (I) merupakan variabel yang tidak tetap maka perbandingan lendutan untuk kedua bentang tidak berkorelasi. c. Pada perbandingan berat profil yang digunakan, metode preflex memberikan berat profil paling ringan untuk kedua bentang (66.2 kg/m untuk bentang 10 m dan 94.6 kg/m untuk bentang 15 m). Terlihat pada perbandingan berat profil yang digunakan, masing-masing metode berkorelasi antara satu dengan yang lainnya untuk kedua bentang. d. Pada perbandingan biaya ternyata pada bentang pendek selisih biayanya tidak terlalu besar, sementara semakin besar bentang cara preflex menunjukkan


3.

keunggulannya, apalagi ter-hadap cara pengecoran bertahap (39.4 %). Jembatan dengan bentang yang relatif panjang adalah ekonomis jika menggunakan metode konstruksi preflex. Sebaliknya, bentang yang relatif pendek

tidaklah ekonomis menggunakan metode konstruksi preflex, karena ada tambahan biaya dalam pengadaan angkur, kabel, biaya pemasangan, dan penarikannya. Tentunya hasil yang dipaparkan di atas bersifat umum.

REFERENSI Burhan, H. Balok Gabungan – Composite Beam, Lab. Konstruksi Baja, ITB. Direktorat Bina Program Jalan, Dirjen Bina Marga. (1978). Design-Specification for Steel Bridges, Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Bina Marga. (1968). Standard Spesifikasi untuk Jembatan Jalan Raya Tipe Balok Gabungan – Standar Spesification Composite Beam of Highway Bridges, Edisi Kedua, Jakarta, Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Bina Marga. (1987). Pedoman Perencanaan Jembatan Jalan Raya, Departemen Pekerjaan Umum. Haryadi, I. K. (1996). Struktur Jembatan Jalan Raya, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Karawaci. Japan International Cooperation Agency. (1997). Bridge Design-Highway Engineering. Textbook Series No. 56, JICA. Leong, T. W. Prestressed Steel and Concrete Composite Floor Beam, Departement of Building Science National University of Singapore. Salmon C. G. dan Johnson, J. E. (1999). Struktur Baja-Desain dan Perilaku (terjemahan oleh Wira), Edisi kedua, Erlangga. Standar Nasional Indonesia SNI 03-2833-1992. (1992). “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya”, Dewan Standarisasi Nasional – DSN. Tjokrodihardjo, S. dan Supriyadi, B. (1996). “A Smaal Bridge With Prestressed Steel Girder”, Edisi No. 112, Berita HAKI. Vis, W. C. dan Kusuma, G. (1996). “Pedoman Pengerjaan Beton”, Seri Beton 1, Erlangga.


PEMBANGUNAN INDUSTRI GALANGAN KAPAL PERIKANAN MODERN DI KOTA BANDA ACEH Rizwan, MT Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Abstrak Setelah mendapatkan jumlah kapal melalui hasil peramalan, kemudian akan dilakukan perencaanaan fasilitas galangan kapal yang di dalamnya termasuk; ketersedian fasilitas produksi seperti permesinan dan peralatan pertukangan lainnya harus dapat mendukung kemampuan produksi dari galangan tersebut dan penantaan layout galangan direncanakan berdasarkan besarnya kebutuhan areal dari fasilitas produksi serta pergerakan material serta sumber daya manusia dalam galangan tersebut. Hasil perencanaan tersebut secara umum adalah : Areal Produksi ; 2177,5 M 2, Bengkel Mekanik ; 80 M2, Bengkel Listrik 40 M2, Bengkel Cat; 40 M2, Bengkel Pipa ; 60 M2, Bengkel design dan Mould Loft ; 60 M2, Fasilitas Slipway ; 2700 M2, Fasilitas Umum Lainnya ; 424 M2 Kata Kunci : Perencanaan, Industri Galangan, kapal Perikanan, Luas Areal Bab I Pendahuluan Provinsi Aceh adalah provinsi paling barat Republik Indonesia yang memiliki pantai yang cukup panjang ± 1.660 km dengan luas laut teritorial 32.071 km2 dan wilayah laut ZEE seluas 534.520 Km2. Potensi perikanan yang dikandung di Zona Teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif diperkirakan mencapai 325.000 ton/tahun, sedangkan total produksi perikanan tangkap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 134.076 ton (DKP Aceh, 2009). Secara geografis Kota Banda Aceh 05°30’ – 05°35’ Lintang Selatan dan 95°30’ – 99°16’ Bujur Timur, bahwa batas Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut :

Sebelah utara

:

Laut Andaman 

Sebelah selatan : Kabupaten Aceh Besar  Sebelah Barat : Samudera Hindia  Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Besar Letak geografis Kota Banda Aceh sangat strategis baik ditinjau dari segi teknis maupun ekonomis untuk industri perikanan dan hasil laut, karena berada di pertemuan Selat Malaka dan Samudera Hindia yang kaya dengan sumber daya lautnya, di samping itu juga sebagai pintu gerbang lalu lintas pelayaran internasional yang menghubungkan bagian barat dan timur.


Gambar 1. Kota Banda Aceh Kondisi armada kapal penangkapan ikan di Aceh lebih didominasi oleh kapal-kapal kecil yang berukuran < 6 GT (Gross Tonnage) yang biasanya hanya beroperasi di daerah sekitar pantai. Berdasar data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh (2009), jumlah kapal perikanan di Provinsi Aceh 16.656 unit kapal yang terdiri dari 0 sampai dengan 60 GT (Gross Tonase), sedangkan kapal dengan bobot 5 sampai dengan 60 GT sebanyak 8.905 unit.

Kapal perikanan yang ada di Provinsi Aceh pada umumnya dan khususnya Kota Banda Aceh pembangunannya masih menggunakan galangan tradisional, pembangunan kapal tersebut dilakukan di daerah aliran sungai (DAS) maupun di daerah pinggir pantai. Pembangunan kapal perikanan tersebut dilakukan dengan teknik tradisional, sehingga umur kapal tersebut lebih rendah. Oleh karena itulah perlu adanya sebuah galangan kapal perikanan modern, ini dikarenakan pembangunan kapal perikanan


bukan hanya berkonstruksi kayu, tetapi juga dengan konstruksi fiber, laminasi maupun baja. Melihat kondisi geografis, oseanografis dan geologis yang ada tersebut maka salah satu sektor unggulan yang dapat dikembangkan di Kota Banda Aceh adalah usaha industri perikanan tangkap yang dapat dipacu pertumbuhannya dengan pengembangan industri galangan kapal perikanan modern. Hal ini dikarenakan sumber daya laut yang berlimpah baik di perairan Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh pada umumnya segera dapat di optimalkan kembali. Dalam mengoptimalisasi pemanfaatan sumber daya laut yang ada dijelaskan di atas harus didukung kembali oleh jumlah armada kapal ikan, dengan memperhatikan perkembangan beragam jenis ukuran dan kebutuhan kapalnya. Dalam memenuhi kebutuhan akan kembali kapal ikan yang memadai, dan mendorong pihak industri galangan kapal untuk kembali berperan dalam mengantisipasi akan kebutuhan kapal ikan, dengan sendirinya peran industri galangan kapal akan mendukung perekonomi daerah khususnya di sektor kelautan. Metodelogi Globalisasi menciptakan diversivikasi pasar, persaingan yang banyak, serta pilihan pasar yang semakin variatif. Perkembangan teknologi yang begitu cepat akan menjadi salah satu pendorong tekanan persaingan bagi suatu wilayah. Dalam hal ini hanya wilayah-wilayah yang berdaya saing tinggi yang mampu membangun strateginya melalui harmonisasi pengembangan sumber daya manusia, pemanfaatan teknologi yang tepat serta eksplorasi dan pemamfaatan sumber daya alam yang optimal. Sebelum mengambil keputusan, dunia usaha perlu mengkaji secara cermat bagaimana kompetesi inti dan peluang ekonomi dapat di sesuaikan dengan keaadaan. Strategi ini membutuhkan dukungan yang mencakup pandangan jauh ke depan mengenai pasar, termasuk dalam mengantisipasi kebutuhan kosumsi dan impor. keunggulan

daya saing suatu wilayah ditentukan oleh empat faktor pokok, yaitu kondisi faktor produksi (factor conditions), kondisi permintaan pasar (demand conditions), industri tekait dan pendukung (related and supprting industries) serta strategi perusahaan, struktur dan persaingan (firm stategy, structur, and rivalry). Industi galangan kapal di Aceh masih berbasis pekerjaan skala konvensional, tanpa mempertimbangkan kesesuaian desain dengan kondisi geografis, perkiraan ketersediaan bahan baku di masa mendatang, tingkat efesiensi waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan perhitungan cash flow yang belum baik. Sehingga kemudian masalah-masalah kerap terjadi terkait hal-hal tersebut di atas. Selain diharapkan mampu menangani permasalahan yang ada, galangan kapal perikanan modern diharapkan mampu menjembatani berbagai kebijakan pemerintah terkait kegiatan penangkapan ikan khususnya di Aceh. Penelitian ini diajukan dalam rangka melakukan analisis investasi galangan kapal perikanan modern, salah satu faktor yang berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk sebuah investasi adalah sumberdaya. Selain itu dalam pengambilan keputusan investasi yang realistis umumnya melibatkan banyak kriteria, dan perumusannya dapat dijadikan pertimbangan. Analisis investasi galangan kapal perikanan modern yang direncanakan dilakukan dengan mengunakan pendekatan yang layak sesuai potensi kawasan, dengan kondisi lokasi, pangsa pasar, teknologi dan kapasitas produksi dari galangan. Tinjauan Pustaka Industri Galangan kapal Galangan merupakan suatu industri yang didalamnya terjadi proses pruduksi, yaitu proses transformasi masukan berupa material (besi baja, kayu atau fiber glass) manjadi suatu keluaran (Output) yang dapat berupa kapal atau bangunan lepas pantai dan bangunan apung lainnya. Industri galangan produk akhirnya termasuk dalam klasifikasi Product Orientied atau Job Shops Production (Stroch, 1995). Suatu Product Orientied atau Job Shops


Production sering kali dapat juga disebut sebagai industri yang bekerja berdasarkan pesanan (Job order). Jumlah atau volume produksi yang dihasilkan sering kali rendah dan umumnya digunakan untuk memenuhi pesanan yang spesifik dan oleh karenanya banyak variasi pekerjaan yang harus dilaksanakan. Galangan adalah suatu tempat untuk membangun atau mereparasi kapal-kapal, jadi galangan harus memiliki ; tanah atau lahan dan water from atau garis pantai. Berdasarkan aktifitasnya galangan, maka dapat dibagi menjadi sebagai berikut (Andreasson, ER , 1980) - Galangan khusus yang baru - Galangan khusus reparasi - Galangan bangunan baru dan reparasi Orientasi bangunan baru merupakan jenis galangannya melakukan pembuatan kapal-kapal baru sesuai dengan pesanan dari owner. Orientasi reparasi adalah merupakan jenis galangan yang melakukan pekerjaan perawatan perbaikan kapal. Orientasi bangunan baru dan reparasi adalah merupakan galangan berfungsi multi yaitu melakukan pembuatan kapal baru dan perawatan/perbaikan serta modifikasi kapal (Ahyari, A, 1996). Areal Produksi dan Layout Layout adalah pengaturan serta penempatan alat-alat, manusia maupun fungsifungsi lainnya dalam kegiatan produksi dengan tujuan untuk memperoleh penggunaan ruangan yang efisien dan aliran proses yang optimal (Ahyari, A, 1996). Sedangkan menurut (Ansori, 1996) layout adalah pengaturan semua fasilitas produksi guna memperlancar proses produksi yang efektif dan efisien. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam perencanaan tata letak industri galangan pada adasarnya adalah meminimumkan biaya atau meningkatkan efisiensi dalam pengaturan segala fasilitas produksi dan areal kerja. secara spesifik tata letak galangan yang baik akan dapat memberikan manfat-manfaat dalam sistem produksi, yaitu sebagai berikut :  Meningkatkan jumlah produksi  Mengurangi waktu tunggu

      

Mengurangi proses pemindahan bahan Penghematan pengunaan ruangan Efisiensi penggunaan fasilitas Mempersingkat waktu proses Kepuasan dan keselamatan Fleksibilitas Pemeliharaan dan perawatan

Hasil dan Pembahasan Galangan yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan produksi, juga akan melayani perawatan, maka galangan kapal kayu tersebut harus dapat melayani perawatan kapal rutin tahunan. Dari jumlah kapal hasil rata-rata berjumlah 16 unit kapal ikan pertahun kapal motor 30 GT. Perencanaan Area Produksi Galangan Kapal Kayu Perencanaan pembuatan kapal kayu di galangan ini, dimulai dari kayu berbentuk balok, kemudian sesuai dengan pekerjaan di tiap-tiap area produksi atau sesuai dengan urutan dari proses produksi, sampai kemudian seluruh bagian konstruksi kapal kayu yang dihasilkan selama proses produksi tersebut dirakit menjadi satu kesatuan yang utuh yaitu sebuah kapal. Area produksi merupakan tempat mengerjakan proses produksi, dimana di setiap area produksi mempunyai pekerjaan yang berbeda-beda satu sama lain, tetapi merupakan satu kesatuan urutan proses produksi kapal kayu. Kebutuhan Luas Area Produksi a. Band saw ukuran mesin (p x l x t) : 1670 x 1020 x 2750 mm jumlah mesin : 1 buah = 1,703 m2 ruang gerak untuk pengerjaan kayu (mukabelakang) : 4 m Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40 m2) b. Rip saw Ukuran mesin (p x l x t) : 2000 x 1150 x 1600 m2 Jumlah mesin : 1 buah = 2,3 m2 ruang gerak untuk pengerjaan kayu (mukabelakang) : 4 m Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40 m2)


c. Planer Ukuran mesin (p x l x t) : 1075 x 850 x 1100 mm Jumlah mesin : 1 buah = 0.914 m2 ruang gerak untuk pengerjaan kayu (mukabelakang) : 4 m Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40 m2) d. Klin drying Ukuran mesin (p x l x t) : 6500 x 2300 x 2500 mm Jumlah mesin : 1 buah = 16.25 m2 ruang gerak untuk pengerjaan kayu (mukabelakang) : 4 m Luas lahan direncanakan 10 x 5 (50 m2) e. Frame and Profil Ukuran mesin jig saw (p x l) : 1000 x 1000 mm Ukuran mesin table drilling (p x l) : 1000 x 1000 mm Jumlah mesin jig saw : 2 buah = 2 m2 Jumlah mesin table drilling : 1 buah = 1 m2 Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40m2) f. Assembly Yard Ukuran mesin Table Drilling (p x l) : 100 x 1000 mm Jumlah mesin table drilling : 2 buah = 2 m2 Luas lahan direncanakan 13 x 5 (65 m2) g. Intermediate Store sebagai tem-pat untuk menyimpan sementara bagian-bagain konstruksi kapal yang dihasilkan oleh area produksi sebelumnya, berupa bangunan beratap tanpa dinding. Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40 m2) h. Erection Yard sebagai tempat untuk perakitan bagian konstruksi kapal menjadi bangunan baru yang utuh dan juga sebagai tempat reapir dari kapal yang melakukan docking. Pada area erection yard ini dipakai peralatan material handling satu buah over head crane dengan kapasitas 5 ton Luas lahan direncanakan 50 x 35 (1750 m2) i. Bengkel cat/pakal Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40m2) Peralatan kerja disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan

j. Bengkel permesinan Luas lahan direncanakan 16 x 5 (80 m2) Peralatan kerja disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan k. Bengkel Listrik Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40 m2) Peralatan kerja disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan l. Bengkel umum (service yard) Luas lahan direncanakan 8 x 5 (40 m2) Peralatan kerja disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan m. Mould Loft Lebar kapal maksimum yang akan dibangun 4.5 m, tinggi kapal 2 m, sehingga luasnya 9 m2. Ukuran kayu maksimum dengan panjang 8 m2, panjang lantai mould loft direncanakan 10 m, sehingga tidak menggangu pembuatan mal yang diperlukan. Luas lahan direncanakan 12 x 5 (60 m2) Peralatan kerja disesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan n. Gudang penampungan Kayu direncanakan sudah dalam bentuk potongan balok, gudang penampungan sementara terbagi dua bagian, yaitu sebagai area terbuka dan sebagai tertutup. jadi luas lahan direncanakan 22,5 x 5 (100 m2) Perencanaan Slip Way Galangan Kapal Kayu Galangan kapal dengan metode peluncuran tipe slip way merupakan galangan kapal yang sederhana, dimana konstruksi slip way terdiri dari rel-rel yang dipasang pada landasan beton dengan sudut kemiringan tertentu, yang operasional peluncuran kapal dengan menggunakan lori (kereta/cradlle). Utuk bergerak naik turunnya lori digerakkan dengan mesin peluncuran tipe mesin derek atau winch dengan bantuan kawat baja atau kabel baja. Landasan peluncuran tipe slip way di bagi menjadi 2 bagian yaitu : 1. bagian terculup air 2. bagian landasan di atas air (untuk kerja), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :


Landasan slip way

Permukaan Air

Gambar 2. Landasan Peluncuran Slip way Keuntungan galangan kapal dengan metode peluncuran tipe slip way antara lain : 1. dapat dibangun pada perairan yang sempit 2. biaya pembuatan untuk kapasitas kecil lebih murah dari galangan dengan metode peluncuran yang lain 3. biaya operasoinalnya relatif murah 4. dapat digunakan untuk reparasi dan bangunan baru 5. pemeliharaan slip way mudah, sederhana dan murah Penentuan Ukuran Landasan Peluncuran Penentuan lebar rel maksimum adalah selebar kapal dan penentuan panjang rel yang tercelup air minimal adalah sepanjang Lpp Kapal. Untuk menentukan ukuran slipway dan kapasitas winch harus memperhatikan parameter-parameter sebagai berikut : - Ukuran utama kapal yang akan dibangun - Kapasitas maksisimum kapal yang akan dibangun - Kemiringan landasan - Kedalaman perairan - Berat kereta peluncur - Berat rel Perhitungan ukuran landasan peluncur-an berdasarkan pada : a. Kapasitas beban dari slip way dan building berth disesuaikan dengan ukuran kapal, dimana kapal dibangun satu per satu yaitu kapal 30 GT – 50 GT yang umumnya ada di Provinsi

b.

c.

d.

e.

Nanggroe Aceh Darussalam dan khusunya di Kota Banda Aceh Kemiringan landasan peluncur-an ( α ) ditentukan adalah adalah sebesar tg 1/16. penentuan kemiringan ini didasarkan karena tg 1/16 merupakan sudut yang lebih besar dari tg 1/20, sehingga laju peluncuran yang di kehendaki dapat terpenuhi pada sudut ( α ) sama dengan tg 1/16. kemiringan ( α ) ini sesuai dengan persyaratan galangan kapal type slip way yaitu terletak antara tg 1/16 sampai tg 1/20 (Oza, 1976). Untuk menarik dan menahan kapal dibantu dengan sebuah winch yang diletakkan sedemikian rupa, sehingga dapat mengendalikan kapal yang ada di depan dan di belakang yang ada di erection yard. Peluncuran dan penarikan kapal dilakukan dengan menggunakan kereta peluncur (dibuat dari kayu dengan kerangka baja). Pada peluncuran dan penarikannya, kapal diletakkan di atas kereta peluncur (cradlle). Pada akhir dari peluncuran, kapal akan terlepas dengan sendirinya setelah menerima gaya tekan ke atas yang cukup untuk mengapung. Perhitungan landasan peluncur-an untuk mennetukan ukuran panjang landasan peluncuran memerlukan data sebagai berikut : - Sarat kapal pada saat naik dock


- Sudut kemiringan landasan - Tinggi kereta peluncur - Balok penumpu lunas kapal Sedangkan perhitungan pan-jang landasan peluncuran di atas air, berdasarkan jumlah kapal yang dibangun di atas landasan (building berth), jarak untuk kenyamanan dan untuk keselamatan kerja Sehingga perhitungan panjang landasan peluncuran sebagai berikut : 1. Tinggi cradlle di tambahkan balok penumpu lunas kapal direncanakan yaitu 0,8 m 2. sarat kapal pada saat naik dock: T Lwt = 0,2 x T disp + 0,4 (trim by stern) = 0,2 x 1,68 m + 0,4 = 0,74 m 3. Sehingga tinggi minimum ujung landasan bagian belakang sampai ke permukaan air (H) adalah : = 0,74 m + 0,8 m + 0,3 m = 1,84 m 4. Panjang landasan peluncuran di bawah garis air (OA) minimum adalah : 1/16 = 1,84 m /OA OA = 16 x 1,84 OA = 29,44 m OA = 30 m 5. Panjang landasan peluncuran di atas air (AB) minimum adalah AB = Panjang 2 kapal + k Di mana K adalah pekerjaan di air tenang =3 AB = (2x 21) + 3 = 45 m 6. Sehingga panjang landasan seluruhnya adalah : Panjang landasan = OA + AB = 30 + 45 = 75 m perhitungan lebar slip way : lebar slip way = lebar kapal + lebar area kerja = 4,5 m + 4,5 m = 9 m Sehingga lebar slip way untuk galangan kapal kayu ini direncanakan 36 m , jumlah rel untuk masing-masing kapal dengan lebar landasan slip way di atas 7 meter (Ref : Dock and Habour Engineering) harus menggunakan 2 lajur rel dengan jarak antara rel 4 meter untuk 4

kapal bangunan baru. Kereta peluncur (cradle) dengan ukuran : ♦ Panjang = 6 meter ♦ Lebar = 4 meter ♦ Tinggi = 0,8 meter ♦ Berat cradle = 5 ton ♦ Tinggi roda = 0,6 meter Daya Motor Winch Untuk mendapatkan daya motor winch yang dapat digunakan, untuk menarik dan menurunkan kapal (kereta peluncur) dipakai persamaan sebagai berikut :

P = (W 1 + W 2 ) × ( sin θ × µ )

di mana : P = Gaya yang diperlukan untuk menarik kapal di atas cradlle W1 = Berat kapal yang ditarik, diambil rumus pendekatan : LWT = 2/3 DWT, jadi berat kapal ± 20 ton W2 = berat cradlle, setiap kapal membutuhkan 2 cradlle : 10 ton θ = sudut kemiringan dari slipway : 1/16 = 3,5760 µ = faktor gesekan : 0,05 Dengan demikian, daya motor yang dibutuhkan adalah : P = (20 + 10) x ( sin 3,576 + 0,05) = 30 x (0,0624 + 0,05) = 3,3720 ton daya motor listrik yang dibutuhkan adalah : D=PxV di mana : P = 3,3720 ton = 3372.0 Kg V = kecepatan tarik, direncanakan 0,1 m/det Maka daya motor listrik yang dibutuhkan adalah : D = 3372.0 Kg x 0,1 m/det = 337,2 Kg m/det karena 1 PK = 75 Kg m/det, maka :

D=

337,2 PK = 3.3547 KW 75

Lay Out Galangan


10 m

11 m

5m 4m

13 m

5m

5

8m

3m

18

8

9

10

8m

6

13 m

8m

4,5 m

7

2

1

4m

30 m

45

5m

Keterangan

7m

10 m

15

18 m

14

8m

13

21

12 m

12

4m

5m

19

5m

3m

20

16

10 m

24

11

23

17

36 m

8m

14 m

60 m

9m

10 m

8m

4

8m

22

4m

22,5 m

galangan kapal kayu yang direncanakan dimulai dari suplai material kayu yang masih dalam bentuk gelondongan, dimana kayu gelondongan tersebut disupali melalui dua jalur, yaitu lewat sungai dan lewat transportasi darat. Perencanaan galangan kapal tradisional yang akan direncanakan di kawasan Lampulo Kota Banda Aceh, kawasan ini sangatlah strategis bagi pembangunan galangan kapal baru, ini disebabkan oleh kondisi kawasan ini cukup memenuhi syarat seperti kedalaman perairan, bersebalahan dengan PPI Peunayong, kawasan ini adalah tempat PPI dahulu yang telah hancur yang dakibatkan oleh gelombang tsunami, dengan adanya perencanaan pembangunan galangan kapal tradisonal akan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan pusat industri perikanan, kawasan ini termasuk kedalam Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Adapun rancangan model galangan yang direncanakan berbentuk type U, seperti yang terdapat pada gambar 3.

3

Setelah luas area produksi di ketahui, maka dari bagian area produksi ditata dalam sebuah lay out. Lay out galangan adalah susunan dari setiap mesin dan peralatan produksi sehingga merupakan sederetan letak fasilitas produksi, mulai dari gudang material, hingga bengkel perakitan akhir di bulding berth. Dalam pengaturannya didasarkan atas proses produksi dengan mempertimbangkan kondisi lokasi yang ada dan rencana pengembangan dimasa mendatang. Penyusunan layout galangan didasari tujuan untuk mendapatkan tempat kerja yang nyaman, system kerja yang teratur dan kemudahan dalam perawatan keseluruhan sistem. (Soeharto, 1996). Pertimbangan utama dalam penyusunan lay out galangan kapal ini adalah ; aliran material, produk yang dihasilkan, kapasitas produksi, uruan proses, saranan dan prasarana serta tuntutan efesiensi yang tinggi. Lay out yang baik dapat diartikan sebagai penyusunan yang teratur dan efesien semua fasilitas pabrik dan pekerja (personel) yang ada dalam area produksi. Lajur proses produksi pemuat-an kapal kayu yang mengacu pada lay out


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Gudang Penampungan Bahan Baku Bansaw Saw Area Rip saw Area Klin Drying Area Penampungan sisa Bahan Baku Yard Service Planer service Frame & Profil Area Assembly Yard Intermadiate Strore Erection Yard Bengkel Pipa Bengkel Listrik

14. 15.

Bengkel Mekanik Bengkel Cat 16. Bengkel Desagn and Mould Loft 17. Kantor 18. Area Parkir 19. Musalla 20. Kantin 21. Ruang Ganti 22. Pos Keamanan 23. Winch 24. Ruang Direktur 25. Ruang Master Dock 26. Ruang Kepala Teknik 27. Landasan Peluncuran

DAFTAR PUSTAKA Ahyari, A, (1996), Manajemen Produksi Perencanaan Sistem Produksi, Balai Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE), Yokyakarta, edisi IV Ansori, M, (1996), Manajemen Produksi dan Operasi Konsep dan Kerangka Dasar, Bina Ilmu Andreasson, ER (1980), Managing Shi Production, Coures Notes, University of Strathclyde, Glasgow. DKP Prov NAD, (2009), Statistik Perikanan Tangkap. EL marghraby, (1966), Design of Production system Departemen of Industrial Administration, Yole University. Husnan, (1999), Studi Kelayakan Proyek, UPP AMP YKPN, Jokyakarta, Edisi IV. Hasmuki P. Oza, (1976), Dock and harbour Engineering, Charotaro Book Stall, New Delhi Stroch, R.L., (1995), Ship Production, Cornell Maritime Press, 2nd edition, Contreville, Maryland.


Thomas,EV, William,L.B, Whybark, D.C, (1992), Manufacturing Planning and Control System, Irwin Professional Publishing, Newyork-USA,3rd

KAJIAN KAWASAN KONSERVASI INDUK UDANG DI PERAIRAN PANTAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Oleh : Syarifuddin Dosen Fakultas Pertanian Universitas Abulyatama Aceh ABSTRACT This study aims to assess a conservation area broodstock should be protected and controlled, patterns and utilization system for potential resources remain stable and sustainable in the province of Nanggroe Aceh Darussalam. Assessment method is a method of field survey and interviews with respondents (mother catcher shrimp fishermen and officials associated with this research). Data were analyzed with descriptive qualitative and quantitative methods. The results showed that there are potential areas that need to be protected for the development of the mather shrimp in the province of Nanggroe Aceh Darussalam, such as the districts of Aceh Besar, Bireuen, East Aceh, Langsa town and Aceh Tamiang. It takes a good way of handling and proper for the mother shrimp to sustainable development and sustainable and environmentally friendly. Key words: Conservation, mother shrimp, beach I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komoditi utama program

revitalisasi perikanan di Nanggroe Aceh Darussalam adalah udang, khususnya udang windu (Penaeus monodon) karena Aceh


memiliki potensi udang windu yang cukup besar dan induk udang windu di Aceh merupakan induk udang windu kwalitas terbaik di dunia. Luas tambak di Aceh 36.575 ha (2004), seluas 15.000 ha di programkan dalam revitalisasi perikanan untuk budi daya udang windu dengan kebutuhan benih sebanyak 1.350.300.000 ekor belum termasuk kebutuhan benih untuk budi daya udang windu non program revitalisasi yang diperkirakan mencapai ± 15.000 ha baik monokultur maupun polikultur. Untuk mendukung program tersebut dibutuhkan induk udang windu ± 4.500 ekor/tahun. Perubahan ekositem perairan pasca tsunami diduga ikut mempengaruhi habitat/ jumlah induk udang windu. Lebih lebih di pantai timur Nanggroe Aceh Darussalam dengan adanya operasi pukat harimau secara illegal telah memperburuk kerusakan jumlah induk udang windu. Jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan terjadi kepunahan populasi induk udang windu tersebut. Wilayah perairan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki potensi induk udang windu antara lain Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang. Pendangkalan muara sungai dan kerusakan hutan bakau juga ikut mempe-

ngaruhi kelangsungan kehidupan dan potensi sumber induk udang windu. Hasil penangkapan dan pemasaran serta distribusi induk udang windu untuk kebutuhan hatchery baik didaerah asal maupun keluar daerah belum terdata dengan baik terutama selama terjadinya konflik berkepanjangan. Untuk menjaga dan memulihkan kembali potensi dan sumber induk udang windu di Nanggroe Aceh Darussalam

diperlukan upaya-upaya untuk melakukan kegiatan terhadap kawasan perairan yang memiliki potensi sumber induk udang windu, terutama di perairan kabupaten/kota tersebut di atas. 1.2 Tujuan Secara umum Kajian Kawasan Konservasi Induk Udang di Perairan Pantai Nanggroe Aceh Darussalam dapat diartikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program revitalisasi perikanan budidaya, khususnya budidaya tambak dengan komoditi utamanya adalah udang dimana untuk Aceh diperioritaskan udang windu yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai daya saing pasar sangat kuat baik domestik maupun luar negeri. Sedangkan kajian yang lebih khusus adalah : 1. Untuk mengkaji potensi induk udang khususnya udang windu di kawasan perairan pantai Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan kabupaten Aceh Tamiang. 2. Untuk menganalisa terhadap ukuran dan kualitas induk udang hasil tangkapan nelayan setempat. 3. Untuk menentukan daerah penangkapan (fishing ground) induk udang windu. 4. Untuk mencegah kerusakan ekosistem perairan yang menjadi sumber induk udang windu akibat pola penangkapan yang merusak lingkungan perairan. 5. Untuk bahan dasar pertimbangan bagi Pemda dalam menentukan dan mengambil keputusan terhadap suatu kawasan induk udang windu yang harus dilindungi akan menjadi suatu kawasan konservasi. 1.3 Sasaran Sasaran yang diharapkan dapat dicapai dalam Kegiatan Kajian Kawasan Konservasi Induk Udang di Aceh Besar dan pantai Timur NAD adalah : 1. Teridentifikasinya suatu kawasan perairan pantai yang merupakan lokasi habitat


induk udang, khususnya udang windu (Panaeus monodon). 2. Terinventarisir pusat-pusat daerah penangkapan (fishing ground) induk udang yang dilakukan oleh nelayan lokal dan tempat pendaratan serta jalur distribusinya. 3. Terumuskannya sistem penangkapan dan ukuran serta kualitas induk udang yang memenuhi persyaratan untuk kebutuhan hatchery yang ada di daerah maupun untuk dipasarkan keluar daerah di Indonesia. Terpilihnya suatu kawasan perairan pantai yang menjadi pusat konsentrasi sumber induk udang windu untuk direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi menjadi suatu kawasan konservasi yang dilindungi dan dikendalikan pola dan sistem pemanfaatannya agar potensi sumbernya tetap lestari dan berkelanjutan. 1.4 Ruang Lingkup Kegiatan 1. Ruang lingkup wilayah kegiatan. Wilayah yang akan dikaji dalam kegiatan Kajian kawasan konservasi induk udang di perairan pantai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah : a. Kabupaten Aceh Besar. b. Pantai Timur Nanggroe Aceh Darussalam meliputi: Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang. 2. Ruang lingkup materi kegiatan. Ruang lingkup dan materi kegiatan Kajian kawasan konservasi induk udang adalah : a. Melakukan identifikasi dan inventarisasi

kawasan perairan pantai yang terdapat populasi induk udang windu dan menjadi daerah kegiatan penangkapan induk udang oleh nelayan setempat. b.

c.

Melakukan identifikasi dan inventarisasi sistem penangkapan dan alat tangkap yang digunakan apakah memenuhi syarat dan tidak merusak lingkungan. Melakukan identifikasi dan inventarisasi pusat-pusat pendaratan induk udang dan meneliti apakah induk udang hasil

d.

e. f. g. h.

penangkapan nelayan memenuhi standar mutu. Menginventarisir permasalahan pemanfaatan induk udang meliputi daerah penangkapan, cara penangkapan, hasil tangkapan, penanganan pasca tangkapan dan distribusi serta pemasarannya. Pengumpulan data primer dan skunder. Pengelolaan data dan analisis.

Rekomendasi pemecahan masal-ah. Pembuatan laporan.

II. METODE KAJIAN 2.1.Metode Metode kajian dalam kegiatan ini adalah metode survey lapangan, yaitu enumerator langsung turun kelapangan dan menjumpai responden sampel dalam hal ini nelayan penangkap induk udang di lokasi kajian atau areal penangkapan induk udang di Kabupaten Aceh Besar, Bireuen, Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang. 2.2 Ruang Lingkup Kajian Kajian ini hanya dibatasi pada masalah produksi (jumlah) induk udang yang di tangkap, pendapatan nelayan, biaya produksi dalam proses penangkap-an, areal/koordinat penangkapan dan pendistribusian induk udang yang di tangkap. 2.3 Pelaksanaan Kegiatan Kajian potensi kawasan konservasi induk udang windu memiliki sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat karakterisitik sosial budaya masyarakat pesisir sehingga dalam mengkaji tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir tersebut. 2.4 Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan kajian ini menggunakan metode "multistage cluster random sampling"


dengan beberapa tahapan diantaranya sebagai berikut: 1. Penetapan lokasi daerah penelitian (daerah pendaratan induk udang) yaitu Aceh Besar, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa dan Aceh Tamiang. 2. Penetapan Kecamatan sample di 5 Kab/Kota tersebut. 3. Penetapan Desa Sampel di kecamatan pada masing kab/kota. 4. Penentuan Responden sample pada masing-masing desa terpilih (nelayan penangkap induk udang)

III. HASIL PENELITIAN 3.1 Karakteristik Nelayan Sampel Karakteristik nelayan perlu diketahui, karena dengan mengetahui karakteristik, maka kita dapat mengukur kemampuan nelayan dalam usaha penangkapan induk udang dan berpengaruh dalam mengadopsi teknologi penangkapan induk. Karakteristik yang dimaksud di sini adalah: umur, pendidikan, pengalaman nelayan, pekerjaan utama dan sampingan serta jumlah tanggungan rata-rata. Keadaan karakteristik nelayan sample di daerah

pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Karakreristik Nelayan Sampel di Daerah Kajian No 1. 2. 3. 4. 1. 2.

Uraian Umur (Tahun) Pendidikan (Tahun) Pengalaman sebagai Nelayan (Tahun) Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan Jumlah Tanggungan (orang)

Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata umur nelayan penangkapan induk udang adalah 42,5 tahun. Umur ini termasuk dalam golongan umur produktif untuk

bekerja. Rata-rata pendidikan yang ditempuh oleh nelayan adalah 7,2 tahun atau setara dengan tamat pendidikan dasar (tamat SD). Ini berarti nelayan dapat dengan mudah menerima teknologi baru dan teknologi penangkapan induk udang serta dapat menilai untungrugi berbagai cara penangkapan induk udang. Rata-rata pengalaman sebagai nelayan adalah 10 tahun dan ini

Rata-Rata 42,5 7,2 10 Nelayan Dagang 5

berarti nelayan cukup berpengalaman dalam penangkapan induk udang, kita dapat menentukan batas/areal penangkapan induk udang dengan berbagai kondisi perairan penangkapan. Pekerjaan utama responden adalah nelayan, walaupun ada beberapa nelayan

yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pedagang dan tukang. Adanya pekerjaan sampingan ini merupakan tambahan pendapatan bagi nelayan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Rata-rata jumlah tang-gungan adalah 5 orang dan jumlah ini sebahagian kecil yang membantu orang tuanya dalam usaha


penangkapan induk udang. Sebahagian besar anggota keluarga bekerja di luar sektor perikanan. 3.2 Pengeluaran Nelayan Pengeluaran nelayan merupa-kan komponen penting dalam meng-hitung untungrugi suatu usaha penangkapan induk udang. Penge-luaran yang besar yang tidak diimbangi dengan penerimaan yang memadai, maka suatu usaha akan rugi begitu pula sebaliknya.

Pengeluaran yang dimaksud disini adalah pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi seharihari dapat berupa kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder kebutuhan primer dapat berupa makanan, sandang, kesehatan, pendidikan, sedangkan kebutuhan sekunder dapat berupa, rekreasi, transport dan lainlain. Keadaan pengeluaran nelayan per bulan nelayan penangkap induk udang didaerah pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2 Pengeluaran Nelayan Per Bulan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Jenis Pengeluaran Bahan Makan Makanan Jadi (minum/Rokok) Sandang (Pangan) Kesehatan (berobat) Pendidikan Rekreasi Transport Tabungan

Tabel di atas menunjukkan bahwa pengeluaran nelayan terbesar dijumpai pada bahan makanan, transport dan kesehatan. Hal ini wajar saja karena sebahagian pendapatan nelayan digunakan untuk membeli bahan makanan keperluan anggota keluarga dan kesehatan serta transportasi. Pengeluaran transport digunakan, karena jarak antara daerah penangkapan induk udang yang merupakan daerah persisir dengan perkotaan relatif jauh, sehingga memerlukan biaya transpotasi yang relatif besar. 3.3 Kondisi Tangkapan Induk Udang Kondisi tangkapan induk udang merupakan penjelasan mengenai nelayan

Jumlah 50 -

Nilai (Rp) 300.000 150.000

50.000 200.000 150.000 100.000 300.000 100.000

ketika menangkap induk udang. Penjelasan yang dimaksud antara lain jarak kawasan tangkapan dari bibir pantai, pengalaman tangkapan induk udang kendala/ jenis hambatan yang sering dijumpai pada saat melaut, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap induk udang, harga beli alat tangkap serta ukuran kapal/boat yang digunakan untuk melaut. Kondisi tangkapan induk udang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kondisi Tangakapan Induk Udang No

Uraian

Nilai


1. 2. 3.

Jarak kawasan tangkapan dari bibir pantai (Km) Pengalaman tangkapan Induk Udang (Tahun) Kendala/jenis hambatan yang sering dijumpai pada saat melaut

4.

Alat tangkap yang digunakan menangkap Induk Udang

5. 6.

Harga beli alat tangkap (Rp) Ukuran kapal/boat yang digunakan untuk melaut (jenis)

atas menunjukkan bahwa jarak kawasan tangkapan dari bibir pantai berkisar 2-3 km. Jarak ini pada umumnya induk udangnya tidak dihambat oleh ombak yang terlalu besar. Pengalaman rata- rata nelayan dalam menangkap induk udang berkisar 10 tahun. Ini berarti nelayan cukup berpengalaman dalam menangkap induk udang. Kendala/jenis hambatan yang relatif sering dijumpai pada saat membuat adalah badai yang datang secara tiba- tiba dan angin kencang. Tabel

di

Alat tangkap yang biasa nelayan dalam memancing induk udang adalah jaring

insang, dengan harga beli berkisar 2-3 juta rupiah per jaring yang

2 10 Badai, Angin Kencang

untuk

Jaring Udang 2 juta — 3 juta Motor Tempel

panjangnya berkisar 40 s/d. 50 meter. Jenis ukuran buat yang digunakan untuk menangkap induk udang adalah motor tempel. Untuk menangkap induk udang adalah motor temple dengan kapal motor ini dapat mengatasi ombak kecil dan boat dapat melaju dengan relatif agak cepat. 3.4 Biaya Operasional Melaut Biaya operasional melaut sangat perlu diketahui, karena berhubungan dengan besar kecilnya keuntungan yang diterima oleh nelayan penangkapan induk udang. Bila biaya operasional melebihi besarnya penerimaan, maka usaha penangkapan induk udang akan rugi, begitu pula sebaliknya, akan memperoleh keuntungan. Jenis-jenis biaya operasional yang dikeluarkan dalam penangkapan induk udang adalah, biaya BBM, makan awak boat, upah tenaga kerja, cuci kapal, retribusi, biaya perbaikan boat dan alat tangkap. Keadaan biaya perasional melaut untuk sekali melaut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Biaya Operasional Melaut


No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jumlah

Jenis Pengeluaran

Nilai (Rp)

BBM Makan awak Boat Upah tenaga kerja Cuci kapal

500.000 300.000 200.000 100.000 150.000 50.000 200.000 200.000 1.700.000

Beli es Restribusi Biaya perbaikan Boat Biaya perbaikan alat tangkap

Tabel diatas menunjukkan bahwa dalam penangkapan induk udang biaya operasional yang paling besar adalah biaya BBM dan biaya makan awak boat. Besarnya biaya ini karena dalam penangkapan induk udang pengeluaran untuk BBM dan biaya makan merupakan komponen biaya utama dan jumlahnya banyak, disamping biaya upah tenaga kerja dan biaya perbaikan boat dan alat tangkap. Alat tangkap merupakan peralatan penting dan harus diperbaiki secara rutin dalam periode tertentu.

3.5 Biaya Pembelian Alat Penangkapan Biaya pembelian peralatan penangkapan merupakan komponen biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan alat tangkap seperti: pembelian boat, lampu badai, airator, pelampung dan lain-lain. Jumlah dan jenis pembelian alat tangkap dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Biaya Pembelian Peralatan Tangkap Jenis Pengeluaran

No

1. 2. 3. 4.

Pem Lam Aira

1. 2. 7. Tali

Jumlah

Pembelian Boat Lampu Badai Airator Pelampung Jaring Coold box Tali

20.000.000

30.000 200.000 200.000 3.000.000 2.000.000 1.500.000 26.930.000

Jumlah Tabel di atas menunjukkan bahwa biaya yang paling besar adalah untuk pengadaan Boat dan jaring, karena merupakan kebutuhan utama dalam penangkapan induk udang. Kemudian diikuti biaya pembelian kotak pendingin dari fiber glass.

Nilai (Rp)

3.6 Pembagian

Hasil Tangkapan Induk Udang

Pembagian hasil Tangkapan merupakan presentase pembagian terhadap hasil jual tangkapan induk udang. Hasil tangkapan biasanya dibagi kepada toke


bangku, pemilik kapal, awak kapal dan pembersih boat. Pembagian hasil tangkapan

induk udang secara dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Pembagian Hasil Tangkapan Induk Udang No.

Uraian

1. Tok 2.

1. 2.

Toke Bangku Pemilik Kapal Awak Kapal Pencuci Boat

atas menunjukkan bahwa pembagian paling besar adalah toke bangku karena hampir semua biaya operasional melaut dalam kegiatan penangkapan induk udang dibiayai oleh toke bangku, seperti biaya BBM, biaya makan awak boat, dll. Tabel

di

3.7 Pemasaran Hasil Tangkapan Pemasaran hasil tangkapan induk udang, merupakan kegiatan penting da la m

proses rangkaia n pe nerimaa n pen-dapata n nelayan. Tanpa

Persen (%) 50 30 10 10

memper-hatikan faktor pemasaran, produksi hasil tangkapan Induk udang yang diperoleh akan sia-sia dan nilai jual induk udang akan rendah dan nelayan mengalami kerugian. Tujuan atau daerah pemasaran induk udang hasil tangkapan dapat berupa pasar lokal, pasar dalam daerah, pasar luar Aceh dan pasar ekspor. Keadaan pemasaran hasil tangkapan induk udang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Pemasaran Hasil Tangkapan Induk Udang No. 1. 2. 1. 2.

Uraian

Pasar Lokal Pasar dalam Daerah Pasar luar Aceh Pasar Ekspor

atas menunjukkan bahwa pemasaran hasil tangkapan induk udang untuk pasar lokal, pasar dalam daerah dan pasar luar Aceh mempunyai nilai proporsi yang sama yaitu 30% dan pasar Tabel di

(%) 30 30 30 10

ekspor hanya 10% saja. Hal ini karena banyaknya kebutuhan induk udang yang diperlukan untuk hitchery/pemasaran yang ada di daerah lokal yang ada di daerah Aceh. Sedangkan untuk tujuan


ekspor biasanya dikirim terlebih dahulu ke kota Medan dan hal ini mempunyai resiko kematian bagi induk udang. 3.8 Produksi Induk Udang

Produk induk udang merupakan hasil tangkapan induk udang oleh masyarakat, baik tiap kali melaut maupun dalam satu bulan. Sedangkan nilai jual merupakan hasil perkalian antara produksi induk udang dengan harga jual per ekor. Keadaan produksi, harga dan nilai jual induk udang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8. Produksi Induk Udang Hasil Tangkapan No Uraian 1. Hasil tangkapan rata-rata Induk tiap kali melaut (Kg/ekor) 2. 3. 4.

Jumlah hari melaut per Bulan (Hari) Harga Induk (Rp/ekor)

15 — 20 hari 100.000 — 200.000 4.500.000

Nilai jual per Bulan (Rp/Bulan)

Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil tangkapan rata- rata induk udang tiap kali melaut berkisar 5-10 ekor, dengan harga ratarata Rp 100.000 s/d Rp 200.000 per ekor. Dengan produksi dan harga tersebut maka nilai jual per bulan berkisar Rp 4. 500.000. Bila produksi induk udang tidak terjual, maka induk tersebut dimatikan oleh nelayan dan dijual dalam bentuk udang mati dengan harga Rp 80.000 per kilogram dan hal ini akan merugikan nelayan sehingga sangat diperlukan adanya hitcherry di tempat pendaratan induk udang, atau tempat

Nilai 5 - 10 Ekor

penampungan khusus yang disediakan oleh pedagang pengumpul. 3.9 Pendapatan / Keuntungan Nelayan Pendapatan atau keuntungan merupakan selisih antara nilai jual induk udang dengan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan penangkapan induk udang. Perhitungan pendapatan/keuntungan nelayan penangkap induk udang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9. Pendapatan/Keuntungan Nelayan perbulan No 1. 2. 3. 4.

Uraian Produksi (ekor) Nilai Produksi (Rp) Biaya Produksi (Rp) Pendapatan/Keuntungan Per Bulan (Rp)

Tabel di atas menunjuk-kan bahwa besarnya keuntungan nelayan penangkap induk udang per bulan adalah Rp 2.800.000. sehingga dapat mencukupi kebutuhan biaya hidup nelayan per bulan.

Nilai 20-30 ekor 4.500.000 1.700.000 2.800.000

Keuntungan ini akan semakin besar bila jumlah tangkapan atau naiknya harga jual induk udang di pasaran.


3.10 Jarak Tangkapan Induk Udang Jarak tangkapan induk udang merupakan hal penting untuk diketahui karena merupakan faktor untuk menentukan kawasan konservasi bagi kelestarian induk udang di

masa yang akan datang, di mana kawasan konservasi dapat melindungi kehidupan induk udang dan merupakan daerah larangan bagi alat tangkap yang merusak lingkungan. Jarak tangkapan induk udang di masing-masing wilayah kajian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Jarak Tangkapan Induk Udang Masing-masing Daerah dari Bibir Pantai No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Daerah/Kabupaten Aceh Besar Bireun Aceh Utara Aceh Timur Kota Langsa Aceh Tamiang

Km/Mil 1-2 1-2 1-2 2-3 1-2 2-3

3.11. Kondisi Teknis Lapangan 3.11.1. Oceanografi Dari hasil survey kajian kawasan konservasi induk udang diperairan pantai NAD Kabupaten Aceh Besar, Bireun, Aceh Timur, Kota Langsa dan Kab. Tamiang dapat digambarkan kondisi oceonogfrafi sebagai berikut: Mulai Kab Aceh Besar sampai Aceh Tamiang yang berada di perairan Selat Malaka. Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan lautnya adalah perairan yang landai. Kedalaman laut sampai batas 4 mil berkisar antara 2 - 40 meter dan sangat cocok sebagai kawasan fishing ground induk udang, khususnya udang windu. 3.11.2.

Pasang Surut

Berdasarkan Hidrografi Angkatan

data Laut,

dari Dinas menunjukkan

bahwa pasang surut permukaan air laut di perairan Aceh Besar sampai Tamiang bersifat semi jurnal, kedudukan air tertinggi adalah 1.5-5 meter diatas duduk tengah dan terendah adalah 0.8 meter di bawah

Luas Wilayah (Km) 1-2 2-3 1-2 2-3 2-3 2-3

Diagonal 4 6 5 6 5 6

duduk tengah. Pasang surut tidak berpengaruh besar pada induk udang karena kawasan mijah induk udang pada kedalaman 20 — 40 meter.

3.11.3.

Arus Laut

Hidrografi

Berdasarkan Angkatan

data Laut

dari Dinas menunjukkan

bahwa kecepatan maksimum ants permukaan diperairan Aceh Besar sampai Tamiang pada musim Barat adalah 0.8 m/detik menuju ke Timur sampai ke Tenggara begitu juga pada musim Timur, kecepatan maksimum adalah 0.5 m/detik. Jumlah induk udang yang tertangkap oleh nelayan juga dipengaruhi oleh arus

perairan di masing masing lokasi atau fishing ground induk udang. Pada bulan Oktober dan November


hasil tangkapan meningkat dimasing-masing kabupaten/Kota diduga karena pergerakan arus merata sehingga nutrient akan terkumpul pada daerah tertentu (fishing ground jarak 1-2 mil dari bibir pantai).

3.11.4. Persyaratan Teknis Areal Tangkap Induk Udang Induk udang untuk dapat hidup lebih baik di alam perairan, memerlukan persyaratan tertentu. Sehingga induk udang dapat bertelur dan melakukan perkawinan dengan layak. Persyaratan tersebut antara lain, keadaan vegetasi, kedalaman air laut. Untuk lebih jelasnya keadaan persyaratan hidup induk udang di masing — masing areal penangkapan dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel 11. Kondisi Eksisting Daerah Lokasi Penangkapan Induk Udang di Pantai Nanggroe Aceh Darussalam No Kab/Kota

1

Ke dalam Air (m)

Aceh besar - Kec. Lhoknga Brugaria - Kec. Baitussalam Rhizospora -Kec. Pekan Bada

2

Vegetasi Mangrove Yang dominan

Bireuen

Kec. Pudada Kec. Gandapura 3 Aceh Utara Kec. Seneudon Kec. Baktia 4 Langsa Kec. Kuala langsa 5 Aceh Timur Kec. Julok Kec. Pereulak 6. Aceh Tamiang - Kec. Seruway

Kadar Lumpur (%)

Avicenia

4—5 4—6 3—4

Liat berpasir Bepasir 70% Liat berpasir

Avicenia Rhizospora

5—6 6—7

Berpasir 100% Berkarang

Rizospora Rizospora

5—6 6—7

Liat berpasir Berpasir 90%

Avicenia Rizhospora

6—7

Berpasir 100%

Avicenia Brugaira Avicenia, Brugaira, Api api

6—7 8—9

Liat berpasir Berpasir 90%

7—8

Liat

Tabel di atas menunjukan bahwa keadaan persyaratan teknis untuk hidup udang di masing-masing daerah penangkapan sesuai dengan keadaan yang diperlukan oleh kelayakan hidup induk udang semestinya, sehingga daerah-daerah tersebut diatas perlu dijaga kelestariannya dan perlu upaya dijadikan kawasan konservasi induk udang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

11.5.

Berkarang 90%

berpasir

Fishing Ground

Dari hasil survey di Kabupaten Aceh Besar, Bireun, Aceh Timar, Kota Langsa dan Kab Tamiang dapat disimpulkan kawasan fishing ground (daerah penangkapan) dapat perkirakan mencapai 1-2 mil laut dengan kedalaman mencapai 30 — 40 meter. Untuk lebih jelasnya lokasi dan jarak penangkapan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Tabel 12. Jarak Daerah Penangkapan Induk Udang Oleh Nelayan

daerah tangkapaan / fishing ground dari garis

Jangka waktu penangkapan (Wib)

1—2

06.00 —12.00

Jarak No

Lokasi

1 Aceh besar - Kec. Lhoknga -

Kec. Baitussalam

1—2

06.00 — 12.00

-

Kec. Pekan Bada

1—2

06.00 — 12.00

-Kec. Pudada

1 —1,5

05.00 — 11.00

-

1—2

05.00 — 11.00

Kec. Seneudon

1—2

05.30 —12.00

Kec. Baktia

1—2

05.30 —12.00

0,5 — 2

06.00 — 01.00

Kec. Julok

2—3

06.00 — 11.00

Kec. Pereulak

2—3

06.00 — 11.00

2 —3

06.00 — 11.00

2 Bireuen

Kec. Gandapura

3 Aceh Utara -

4 Langsa -

Kec. Kuala langsa

5 Aceh Timur -

6 Aceh Tamiang -Kec.Seruway

SeruwayTamiang

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan Berdasarkan Hasil Kajian Potensi kawasan konservasi induk udang di perairan pantai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masing — masing di : Aceh Besar, Kota Langsa, Aceh Timur, Bireun dan Aceh Tamiang, dapat disimpulkan bahwa : 4.1.1 Jumlah induk udang hasil tangkapan nelayan di daerah kajian sebanyak 6.912 ekor terdiri dari : Aceh Besar 271 ekor, Bireuen 374 ekor, Aceh Timur 3.862 ekor, Kota Langsa 345

4.1.2

4.1.3

ekor dan Aceh Tamiang 2.060 ekor. Daerah terbanyak menghasilkan induk udang adalah Aceh Timur dan Aceh Tamiang, sebanyak 5.922 ekor (85,68%). Selebihnya adalah Aceh Besar, Kab. Bireuen dan Kota Langsa sebanyak 990 ekor atau 14, 32 persen. Nelayan penangkap induk udang masih menggunakan alat tangkap sederhana dan membutuhkan bantuan alat tangkap yang lebih maju dan ramah lingkungan.


4.1.4

4.1.5

4.1.6 4.1.7

Hanya nelayan penangkap induk yang berdomisili di Kabupaten Aceh

Besar yang langsung terkena imbas tsunami sedangkan untuk lokasi lain hanya terkena dampak secara tidak langsung. Diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang potensi induk uda ng windu di pantai Timur NAD untuk mendukung program revitalisasi perikanan budi daya. Distribusi induk udang windu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan hatchery lokal di Aceh dan sebagian dipasarkan ke luar daerah pengusaha interseluar induk udang.

4.2 Rekomendasi Berdasarkan Data dan hasil survey Kajian Potensi kawasan konservasi induk udang di perairan pantai timur (Aceh Besar, Kota Langsa, Aceh Timur, Bireun dan Aceh Tamiang) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat direkomendasikan sebagai berikut: 4.2.1 Dinas kelautan dan perikanan kabupaten/Kota yang memiliki potensi

4.2.2 4.2.3

4.2.4

4.2.5

4.2.6

induk udang pasca tsunami perlu dilakukan penelitian kawasan penangkapan (fihing ground) lebih lanjut secara menyeluruh. Diperlukan adanya data base induk udang dan jaringan pemasaran. Diperlukan pengaturan jumlah armada dan jenis alat tangkap induk udang yang ramah lingkungan. Perlu disusun/dibuat zonasi wilayah penangkapan yang berpotensi sehingga kelestarian sumber induk udang

dapat dipertahankan. Untuk kawasan tertentu yang memenuhi syarat sebagai kawasan konservasi agar dapat dibuat kawasan konservasi dalam bentuk Qanun atau Peraturan Gubernur. Agar diupayakan pengadaan / penyediaan induk udang dari hasil pemeliharaan / pembesaran di tambak untuk ini dapat diprakarsai oleh Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.

DAFTAR PUSTAKA Agus Abdurrahman, Saru Arifin, D. Agus Harjito. (2008). “Model Kebijakan Pemberdayaan Nelayan Bantul Ditinjau dari Perspektif Ekonomi dan Hukum”, Jurnal Fenomena: Volume 6 Nomor 1, Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Budiman, Supriharyono, Arisyanto (2006), “Analisis Sebaran Ikan Demersal Sebagai Basis Pengelolaan Sumber Daya Pesisir di Kabupaten Kendal”, Jurnal Pasir Laut, Vol 2, No.1. Dahuri, Rohmin (2000), Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat, LIPSI (Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia), Jakarta.


Deputi SDA dan LH Dir. Kelautan dan Perikanan (2004) “Perencanaan Sistem Pengendalian Sumber Daya Kelautan”, Info Kajian Bappenas, Vol. I, No.2, Oktober 2004. Dinas Kelautan dan Perikanan (2004), Perikanan dalam Angka 2003, Pemerintah Provinsi NAD. Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2003), Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir 2003, Departemen Perikanan dan Kelautan, Jakarta. Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2006), “Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan”, Volume 1, Departemen Kelautan Perikanan. Fauzi, Ahmad (2003), “Turning The Tide Kebijakan Ekonomi Perikanan”, Harian Kompas 30 Juli 2003. -------------------, (2006), Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Genisa, Abdul Samad, (1999), “Pengenalan Jenis-jenis Ikan Laut Ekonomi Penting di Indonesia”, Oseana, Volume XXIV, Nomor 1. Mallawa, Achmar (2006), “Pengelolaan Sumber Daya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat”, Makalah, Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II, Kabupaten Selayar Murdiyanto, Bambang, (2007) “Persepsi Terhadap Perubahan Perikanan Global dan Arah Penelitian”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional Perikanan Tangkap, Dept. PSP, FPIK-IPB, 5 Desember 2007.


ANALISIS KELAYAKAN USAHA RUMAH TANGGA PENGGEMUKAN SAPI ACEH DENGAN ITIK AIR PEDAGING, SEBUAH PERBANDINGAN (Masrianto, Zahrul Fuadi) ABSTRACT Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa dengan menggunakan metode survey dalam hal ini dibatasi pada pengertian survey sampel. Dalam suatu usaha agribisnis peternakan komersial diperlukan peningkatan mainset dari pola usaha peternakan sebagai tabungan sehingga bisnis peternakan dijadikan sebagai bisnis sampingan saja menjadi usaha peternakan komersil untuk memperoleh keuntungan atau laba maksimal yang kemudian menjadi bisnis utama keluarga. Dengan demikian, arah pemikirannya sudah jelas, yaitu akan menerapkan prinsip ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh hasil dengan laba yang besar. Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan informasi perbandingan bisnis dan menghindarkan keterlanjutan investasi yang cukup besar pada usaha yang ternyata tidak menguntungkan; dilakukan pada usaha penggemukan sapi Aceh dan Itik air pedaging di Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pemeliharaan 250 ekor itik pedaging jauh lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan mengusahakan 3 ekor sapi, ini dapat dilihat dari singkatnya periode usaha itik dan modal yang mesti disiapkan jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan sapi potong penggemukan jenis Sapi Aceh. Kata Kunci: kelayakan, sapi Aceh, itik pedaging PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan keuntungan dan kelayakan usaha penggemukan sapi Aceh dan usaha itik pedaging. Kelayakan suatu usaha peternakan umumnya diukur dari berapa besar keuntungan dan kerugian yang diperoleh, selain juga melihat factor resiko yang akan didapat dalam periode usaha berjalan. Jadi, Keuntungan merupakan salah satu tujuan utama dari setiap usaha peternakan. Peternakan sangat cocok dikembangkan di Kota Langsa diantaranya sapi dan itik (dalam penelitian ini akan diteliti itik air pedaging). Peternakan sapi terutama sapi Aceh layak dikembangkan di Langsa dengan dukungan luasan lahan yang memadai diantaranya: perkebunan PTPN, lahan kering, lahan kebun rakyat, lahan persawahan, lahan bantaran sungai, rawa, dan

pekarangan penduduk. Sapi Aceh memiliki berbagai keunggulan, ketahanan terhadap penyakit, mampu beradaptasi dengan iklim ekstrem dan wilayah marjinal, dapat mengonsumsi sampah organik, kemampuan berproduksi yang baik, dan rasa daging yang khas dan enak, dengan kenyataan ini pemerintah telah menetapkan sapi Aceh menjadi produk unggulan nasional (Kompas, 10/06/2011). Untuk konteks Aceh sapi juga sangat dibutuhkan terkait dengan upacara adat dan perayaan hari besar keagamaan seperti meugang, tulak bala, dan kurban. Sementara itik mempunyai potensi yang tidak kalah cukup besar sebagai penghasil daging dan telur. Jika dibandingkan dengan ternak unggas yang lain, ternak itik mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki daya tahan terhadap penyakit, daging lebih sehat


dikonsumsi dibandingkan dengan ayam broiler. Oleh karena itu usaha ternak itik memiliki resiko yang relatif lebih kecil, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Dengan harga yang terjangkau, itik menjadi pilihan selain ayam pada saat perayaan adat dan perayaan hari besar agama di Aceh seperti: Meugang, tolak bala, dan Maulid Nabi. Terkait dengan tingginya prospek pengembangan sapi Aceh dan itik pedaging di Langsa, maka menjadi penting peternak mengetahui skala usaha yang berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi bagi peternakan sapi aceh dan itik pedaging untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Sigit mengungkapkan bahwa skala usaha minimum mempunyai arti penting bagi peternak untuk mengetahui keuntungan dan kerugian jika mereka menginvestasikan modalnya pada skala usaha tertentu. Artinya jika peternak mengusahakan diatas skala usaha minimum maka akan memperoleh keuntungan, namun jika sebaliknya peternak akan mendapatkan kerugian. Analisis keuangan kedua usaha ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan usaha ternak sapi potong dan itik petelur dalam kaitan kelayakan usaha ternak, untuk mengetahui berapa minimal seorang peternak mengusahakannya, dan untuk menghindarkan keterlanjutan investasi pada usaha yang tidak menguntungkan. Analisis finansial dapat digunakan sebagai petunjuk di bidang sarana keuangan, yang dilengkapi dengan informasi yang sangat dibutuhkan oleh pihak-pihak lain, seperti lembaga pemberi dana (perbankan) maupun rekanan usaha.

penelitian pada tingkat kecamatan dilakukan dengan memilih 3 kampung secara random di Kecamatan Langsa Barat. Selanjutnya pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus, yaitu dengan mengambil seluruh peternak itik yang ada di 3 kampung terpilih. Penelitian dilakukan dengan metode survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun,1989). Data primer yang meliputi identitas responden, zooteknis pengelolaan sapi dan ternak itik, penerimaan dari usaha ternak sapi dan itik, pengeluaran usaha ternak dan investasi yang ditanamkan dari kedua usaha tersebut. Diperoleh dari hasil observasi dan wawancara terhadap responden dengan bantuan kuesioner. Data sekunder berkaitan dengan usaha ternak itik diperoleh dari observasi dan catatan pada instansi terkait.

METODOLOGI PENELITIAN

Dimana :

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, dalam hal ini dibatasi pada pengertian survey sample, dengan jalan mengumpulkan informasi dari sebagian populasi untuk mewakili populasi. Pengumpulan informasi dari responden yang terpilih, mempergunakan daftar pertanyaan terstruktur. Sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian. Lokasi

BEP = Break Event Point (titik kembali pokok) FC = Fixed Cost (Biaya Tetap) VC = Variable Cost (Biaya Variable) TC = Total Revenue (Penerimaan)

Metode Analisis Untuk mengetahui berapa skala usaha agribisnis penggemukan sapi aceh dan itik pedaging skala agribisnis keluarga yang menguntungkan petani digunakan metode analisis break event point (BEP) dengan formula sebagai berikut: “Break Even Point” (BEP) adalah suatu keadaan yang menunjukkan usaha tidak rugi dan tidak untung (Abdurrachman, 1963; Johannes et al., 1980).

BEP =

FC VC 1− TR

Nilai BEP yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan skala usaha


minimum penggemukan sapi dan itik dengan formula:

SUM =

BEP RatauP

Dimana : SUM = Skala Usaha Minimum BEP = Break Event Point (titik kembali pokok) R = Return (Penerimaan) P = Price (Harga Jual) Untuk mengetahui tingkat keuntungan dari kegiatan agribisnis penggemukan sapi aceh dan itik air pedaging digunakan benefit cost ratio dengan formula:

BCR =

Benefit Cost

Dimana : BCR>1 : Kegiatan agribisnis menguntungkan BCR<1 : Kegiatan agribisnis mengalami kerugian BCR=1 : Kegiatan agribisnis kembali pokok HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Peternakan di Kecamatan Langsa Barat Penggunaan lahan di Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa mengindikasikan wilayah ini cukup berpotensi untuk pengembangan usaha ternak. Keadaan ini ditandai oleh cukup besarnya penggunaan lahan untuk pertanian, perkebunan dan budidaya perikanan khususnya darat, sehingga ketersediaan pakan ternak diharapkan akan tercukupi. Sesuai dengan pendapat Murtidjo (2002) bahwa potensi peternakan di suatu wilayah dapat dilihat dari keadaan geografis, topografi, serta ketersediaan pakan dan air. Jenis ternak yang ada meliputi ternak ruminansia besar seperti sapi potong, sapi perah dan kerbau. Ternak ruminansia kecil meliputi domba dan kambing. Ternak jenis unggas meliputi ayam ras petelur, ayam buras, itik, dan ayam broiler.

Keadaan Responden Sebagian besar responden berada pada usia produktif. Usia berpengaruh terhadap kemampuan fisik dalam bekerja. Usia 20-56 tahun termasuk dalam usia produktif, pada usia ini kemampuan fisiknya lebih baik dari pada usia non produktif (>56 tahun) sehingga akan lebih mendukung keberhasilan dalam usaha peternakan. Hernanto (1989) berpendapat bahwa kemampuan kerja seseorang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, kesehatan dan faktor alam. Usia produktif sangat penting bagi pelaksanaan usaha karena pada usia ini peternak mampu mengkoordinasi dan mengambil langkah yang efektif. Pendidikan responden sebagian besar masih rendah, yaitu hanya tamatan SD (60%). Tingkat pendidikan yang dimiliki peternak mempunyai kecenderungan menentukan dalam penerapan teknologi pertanian (Adiwilaga, 1982). Sapi yang dipelihara oleh petani ternak Langsa Barat adalah sapi Aceh, sementara bibit itik yang dipelihara oleh peternak adalah jenis itik air lokal, entok/serati, dan angsa. Bibit sapi dan itik tersebut diperoleh dengan cara membeli dari peternak lain dan sebagian dibibitkan sendiri. Pada umumnya para peternak membeli bibit sapi bakalan kepada peternak lain atau dipasaran yang berumur 2 – 3 tahun dengan harga beli berkisar antara Rp. 4.500.000 – 5.000.000, sementara bibit itik adalah anak itik yang berumur satu hari/ DOD dengan harga Rp. 2.500 s/d Rp. 3.000 per ekor, lamanya masa penggemukan sapi antara 6 – 8 bulan sementara masa budidaya itik pedaging berkisar antara 2,5 – 3 bulan. Sistem perkandangan dalam pemeliharaan sapi dan itik yang dilakukan oleh peternak sebagian besar menggunakan sistem kandang terbuka dengan lantai tanah. Kandang system ini bertujuan agar memudahkan sirkulasi atau pertukaran udara. Posisi kandang itik di lokasi penelitian pada umumnya tidak memperhatikan arah kandang, karena biasanya kandang tersebut berada dibelakang rumah atau diantara rumah. Menurut Marhijanto (1993),


kandang sistem lantai mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat biaya. Terdapat dua sistem pemeliharaan ternak itik terkait dengan pola pemberian pakan, yaitu sistem semi intensif dan sistem intensif. Pemberian pakan itik pada sistem pemeliharaan semi intensif dilakukan dengan cara itik digembalakan pada daerah sekitar kebun, tambak, dan sungai-sungai kecil dari pukul 08.00 sampai pukul 17.30 WIB, selanjutnya pada malam hari itik dikandangkan. Pemeliharaan dengan sistem ini dilakukan selain untuk menekan biaya pakan, ternak juga dapat memperoleh cahaya matahari yang cukup. Menurut Srigandono (1997), keuntungan berternak itik dengan penggembalaan adalah dapat memanfaatkan alam sekitar dimana terdapat sumber-sumber karbohidrat dan protein yang terbuang sia-sia. Pada sistem pemeliharaan intensif, itik dikandangkan sepanjang waktu dan pakan selalu disediakan oleh peternak. Pakan yang diberikan oleh peternak itik di Kecamatan Langsa Barat pada sistem pemeliharaan intensif umumnya berupa limbah rumah makan dan limbah sayuran yang tersedia di pasar, untuk ternak itik yang dipelihara diatas 50 ekor umumnya dipelihara insentif. Untuk pemeliharaan sapi intensif, 80% peternak memiliki kebun rumput untuk kebutuhan hijauan, sedangkan 20 % nya tidak memiliki kebun rumput namun kebutuhan hijauan dapat dipenuhi dengan mengambil rumput di pekarangan, lapangan terbuka, bantaran sungai, dan tambak-tambak masyarakat. Pakan kepada sapid an itik diberikan dua kali sehari. Penyakit yang sering dijumpai menyerang itik adalah penyakit dengan tanda-tanda feses berwarna hijau yang seringkali menyebabkan ternak itik mengalami kelumpuhan. Pada umumnya pengobatan oleh peternak dilakukan dengan memberikan nasi panas dan secara tradisional, yaitu dengan memberikan daun pepaya yang dicampur dengan pakan yang bertujuan untuk menambah stamina ternak itik. Produktivitas Ternak dan Pemasaran Produk

Jumlah ternak sapi yang dipelihara peternak dari 1 hingga 5 ekor, rata-rata peternak memiliki 2 ekor sapi dengan lama masa penggemukan rata-rata 8 bulan, sementara itik yang dipelihara peternak di Kecamatan Langsa Barat berkisar antara 20 hingga 550 ekor, dengan rata-rata lama pemeliharaan 2,5 – 3 bulan. Pemilikan sebesar 100 ekor. Peternak sapi dan itik di Kecamatan Langsa Barat tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil usahanya. Pada umumnya peternak itik menjual produksinya kepada pedagang pengumpul yang secara rutin mendatangi peternak, sehingga peternak tidak perlu repot mencari konsumen. Pola pemasaran semacam ini menguntungkan bagi peternak, karena mereka bisa berkonsentrasi penuh dalam pengelolaan kegiatan produksi. Harga jual itik Rp. 30.000 – Rp. 35.000 per ekor, sementara sapi umur yang digemukkan 1,5 – 2 tahun selama minimal 10 bulan. Sementara harga jual Sapi Aceh rata-rata Rp. 10.000.000 Status Kepemilikan Ternak Ternak sapi yang diusahakan oleh petani tidak keseluruhannya milik peternak yang bersangkutan, 35 % dari sapi yang dipelihara merupakan sapi kepercayaan orang kepada peternak untuk dipelihara dengan mekanisme bagi hasil dengan persentase 50 : 50. Skala Usaha Tabel diatas memperlihatkan skala usaha penggemukan sapi aceh dengan jumlah ternak yang diusahakan 3 ekor dan lama pemeliharaan 10 bulan secara hitungan ekonomis tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh masa penggemukan sapi yang relatif lama, sangat berbeda dengan jenis sapi lain yang bisa digemukkan dengan periode waktu yang lebih singkat seperti sapi bali dan sapi impor, dengan memelihara sapi bali peternak bisa menggemukkan ternaknya dalam waktu 4 bulan. Sementara usaha itik pedaging yang diusahakan di Langsa Barat menunjukkan prospek yang menggembirakan, mengingat masa usaha yang relatif singkat yaitu 3 bulan


(lihat tabel 2). Sehingga peternakan itik pedaging di Langsa Barat jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha penggemukan sapi aceh. Untuk mendapatkan keuntungan memelihara sapi 3 ekor selama 10 bulan, petani itik hanya membutuhkan itik 250 ekor dengan waktu 3 bulan untuk mendapatkan keuntungan yang sama dengan biaya investasi yang jauh berbeda. Terkait pemasaran, peternak itik tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya. Pada umumnya peternak itik menjual produksinya kepada pedagang pengumpul yang secara rutin mendatangi peternak, sehingga peternak tidak perlu repot mencari konsumen. Pola pemasaran semacam ini menguntungkan bagi peternak, karena mereka bisa berkonsentrasi penuh dalam pengelolaan kegiatan produksi. Biaya Produksi Biaya produksi dalam usaha ternak sapi Aceh dan itik pedaging terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya produksi ratarata tiap peternak sapi sebesar Rp. 26.150.000 per masa pemeliharaan yaitu 10 bulan. Biaya

tetap yang dikeluarkan sebesar Rp. 800.000 per/10 bulan dan biaya variabel yang dikeluarkan sebesar Rp. 25.350.000 per masa pemeliharaan. Komponen biaya terbesar terlihat pada biaya ternak bakalan sebanyak 3 ekor dan tenaga kerja seperti terlihat pada Tabel 1. Sementara biaya produksi rata-rata tiap peternak itik pedaging untuk 250 ekor sebesar Rp. 3.462.500/ masa pemeliharaan yaitu 2,5 – 3 bulan. Biaya tetap dikeluarkan sebesar Rp. 850.000 dan biaya variabel yang dikeluarkan sebesar Rp. 2.612.500/ sekali masa usaha. Komponen biaya terbesar terlihat pada biaya ternak bibit itik dan tenaga kerja seperti terlihat pada tabel 2. Sementara hijaun untuk pakan sapi dan pakan untuk itik tidak dimasukkan dalam variabel biaya karena hijauan dan pakan itik tidak dibeli hanya mengeluarkan tenaga untuk sapi hanya mengambil dilahan, di lapangan terbuka, dan tempat lain yang tersedia rumput hijauan. Pakan untuk itik dimamfaatkan limbah rumah makan, rumah tangga ditambah limbah sayur-sayuran yang tersedia dipasar.

Tabel 1. Biaya Produksi dan Keuntungan Usaha Sapi Potong dengan Skala Usaha 3 ekor di Langsa Barat No 1

2

3 4 5 6

Jenis Pengeluaran Biaya Variabel a. Ternak Bakalan b. Kosentrat c. Obat – obatan d. Tenaga Kerja Sub Total (1) Biaya Tetap a. Biaya Penyusutan dan Biaya Pemeliharaan (Kandang dan Peralatan) b. Sewa Lahan Sub Total (2) Total Biaya Produksi ( 1 + 2 ) Penerimaan Keuntungan B/C

Jumlah (Rp) 18.000.000 500.000 100.000 6.750.500 23.662.500 300.000 500.000 800.000 26.150.500 31.000.000 4.850.000 1,18


Tabel 2. Biaya Produksi dan Keuntungan Usaha Itik Pedaging dengan Skala Usaha 250 ekor di Langsa Barat No 1

2

3 4 5 6

Jenis Pengeluaran Biaya Variabel a. Bibit Itik b. Kosentrat c. Desinfektan d. Tenaga Kerja Sub Total (1) Biaya Tetap e. Biaya Penyusutan dan Biaya Pemeliharaan (Kandang dan Peralatan) f. Sewa Lahan Sub Total (2) Total Biaya Produksi ( 1 + 2 ) Penerimaan Keuntungan B/C

Penerimaan dan Pendapatan Usaha Penerimaan usaha ternak sapi di Kecamatan Langsa Barat berasal dari penjualan sapi yang diusahakan. Harga jual sapi setelah digemukkan rata-rata 10 bulan sekitar Rp 10.000.000 per ekor. Penerimaan rata-rata yang diperoleh peternak sapi sebesar Rp.485.000 / bulan. Pendapatan merupakan selisih antara nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi. Untuk usaha ternak itik pedaging harga jual setelah dipelihara selama 2,5 – 3 bulan sekitar Rp. 32.500/ ekor. Penerimaan rata-rata yang diperoleh peternak sapi sebesar Rp. 1.337.500/ bulan, maka angka yang ditunjukkan diatas menunjukkan bahwa usaha ternak itik di Kecamatan Langsa Barat mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan laba atau dengan kata lain profitabel. Oleh karenanya layak untuk dikembangkan sebagai alternative usaha untuk menopang pendapatan keluarga. Dengan demikian Usaha ternak itik di Kecamatan Langsa Barat sangat prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut dibandingkan dengan sapi Aceh.

Jumlah (Rp) 750.000 800.000 50.000 1.012.500 2.612.500 100.000 750.000 850.000 3.462.500 7.475.000 4.012.500 2,1

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Usaha ternak itik di Kecamatan Langsa Barat mampu menghasilkan laba sebesar Rp 1.337.500 / bulan/ 250 ekor itik dengan biaya produksi Rp. 3.462.500. 2. Usaha ternak sapi potong menghasilkan laba sebesar Rp. 485.000/bulan/ 3 ekor sapi dengan biaya produksi Rp. 26.150.500. 3. Itik lebih menguntungkan dipelihara dibandingkan dengan sapi mengingat masa waktu pemeliharaan lebih singkat dan biaya yang jauh lebih kecil. 4. Dibutuhkan strategi dan energy yang lebih maksimal dari berbagai pihak untuk mempertahankan Sapi Aceh agar lebih layak diusahakan oleh peternak agar terhindar dari kepunahan, mengingat Sapi Aceh merupakan salah satu identitas Aceh saat ini sudah masuk menjadi sapi unggulan nasional. 5. Usaha ternak itik di Kecamatan Langsa Barat sangat prospektif, oleh karena itu layak untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai alternatif untuk menopang pendapatan keluarga.


DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, A. A. 1963. Esiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Inggris – Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta. Hernanto, F. 1996. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta Johannes, H., Budiono, dan S. Handoko. 1980. Pengantar Matematika untuk Ekonomi. LP3ES, PT. Internusa, Jakarta. Windhyarti, sakti. Ir. 1994. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya, Jakarta. Singarimbun, M. dan S.Effendi (Ed). 1989. “Metode dan Proses Penelitian”. Dalam Bunga Rampai Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta. Hal. 3 – 15. Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


DOMBA SEBAGAI PENGENDALI GULMA DI LAHAN PERKEMBUNAN Oleh Ir. Mulyadi, M.Si. Dosen Fakultas Pertanian Unversitas Abulyatama Abstrak Perkebunan besar baik swasta maupun negara secara rutin menggunakan herbida untuk mengontrol perkembangan gulma. Perkembangan gulma dengan kimiawi sangat efektif, namun membutuhkan biaya yang relatif besar yang sering tidak terjangkau oleh perkebunan kecil dan hanya terbatas pada penggunaan tenaga manusia saja. Metode pengendalian gulma yang mempunyai prospek baik adalah pengendalian secara biologis dengan memanfaatkan ternak sebagai “alat” penyiang yang efektif. Metode ini selain dapat menekan biaya juga dapat memberikan penghasilan tambahan berupa produksi ternak. Domba merupakan jenis ternak yang paling sesuai untuk pengendalian pertumbuhan gulma dengan sistim pengendalian rotasi. Keterlibatan domba dalam usaha perkebunan dapat meningkatkan pendapatan per unit lahan yang berasal dari penghematan biaya penyiangan dan produksi ternak. Di samping itu, dapat menekan kemungkinan terjadinya polusi lingkungan akibat penggunaan zat kimia Kata Kunci: perkebunan, gulma, dan domba 1. Pendahuluan Yang disebut dengan gulma adalah tumbuhan liar yang menggangu tanaman utama yang dibudidayakan. Pentingnya pengendalian gulma untuk mencegah turunnya produksi akibat persaingan dalam penyerapan unsur hara tanah antara tanaman perkebunan dengan vegetasi yang tumbuh di bawahnya telah diketahui secara luas. Perkebunan besar baik swasta maupun negara secara rutin menggunakan herbida untuk mengontrol perkembangan gulma. Perkembangan gulma dengan kimiawi sangat efektif, namun membutuhkan biaya yang relatif besar yang sering tidak terjangkau oleh perkebunan kecil dan hanya terbatas pada penggunaan tenaga manusia saja. Metode pengendalian gulma yang mempunyai prospek baik adalah pengendalian

secara biologis dengan memanfaatkan ternak sebagai “alat” penyiang yang efektif. Metode ini selain dapat menekan biaya juga dapat memberikan penghasilan tambahan berupa produksi ternak. Dalam sistim ini tanaman pokok merupakan komponen utama, sedangkan ternak sebagai komponen tambahan. Interaksi yang dinamis antara komponen utama, komponen tambahan, dan faktor pendukung seperti lahan, hijauan dan mikrolimat diharuskan manajemen komponen tambahan disesuaikan dengan manajemen komponen utama yang relatif sudah baku. Tujuan penulisan makalah ini adalah bahwa banyak perkebunan pemerintah maupun perkebunan swasta belum memanfaatkan domba sebagai penyiang di areal perkebunan. Padahal penggunaan domba sebagai pengendali gulma dapat mengurangi biaya produksi dan


meningkatkan pendapatan melalui produksi ternak. Oleh karena itu, tulisan ini dapat memberikan bahan pemikiran bagi pengelola perkebunan.

2. Pembahasan 2.1 Domba Sebagai Penyiang Biologis Di antara jenis-jenis ternak ruminansia, domba merupakan jenis ternak yang paling sesuai untuk pengendalian gulma di kawasan perkebunan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ternak domba memiliki sifat dasar sebagai perenggut rumput, (Hofmann, 1988), sehingga tidak memiliki kecenderungan untuk mengganggu tanaman pokok. Di samping itu, ternak domba sangat mudah dikendalikan karena sifatnya yang membentuk kelompok, sehingga memudahkan pengaturan dan sistem pengawasan pengembalaan yang efektif menurut kondisi perkebunan. Diperkirakan bahwa seseorang dapat mengembala dan mengelola sekitar 150 ekor domba di areal perkebunan (Gatenby dan Ginting, 1991). Dari segi potensi reproduksi, ternak domba dapat berkembang baik dengan cepat bila dipelihara di areal perkebunan. Dengan

manajemen pemeliharaan yang semi-intensif, jarak melahirkan seekor induk domba dapat dicapai kisaran 192 sampai 227 hari (Higues dkk, 1991) atau dapat melahirkan sebanyak tiga kali dalam kurun waktu dua tahun. Populasi ternak yang dipelihara akan meningkat dengan pesat sehingga pendapatan tambahan yang berasal dari produksi ternak dengan sendirinya akan meningkat pula.

2.2 Gulma Perkebunan Sebagai Hijauan Pakan Tidak semua tanaman hijau yang tumbuh di bawah tanaman pokok perkebunan dapat dimanfaatkan oleh domba. Namun, sekitar 70 persen dari jenis gulma yang umum tumbuh di perkebunan merupakan pakan hijauan yang baik (Wan Mohammed, 1977). Komposisi botanis yang tumbuh di areal perkebunan berflutuasi mengikuti perkebunan tajuk tanaman pokok. Bila perkembangan tajuk tanaman pokok menciptakan kondisi lingkungan dengan presentase naungan tinggi, intensitas radiasi sinar matahari pada areal ini sudah berkurang atau kurang dari sinar matahari pada areal terbuka. Kondisi ini akan membatasi keragaman jenis hijauan yang mampu tumbuh

Tabel 1. Species hijauan yang umum tumbuh di areal perkebunan. ___________________________________________________________ Rumput Paspalum conjugatun* Axooaprus compresus* Ottochloa nodusa* Imperata cylindrical Dgitaria spp* Leguminosa


Colopogonium caerulium Centrocema pubescens* Pueraria phaseloides* Colopogonium moconoides Mimosa pudica* Hijauan berdaun lebar (broadleaves) Micania micrantha* Borreri latifol* Pakis Lygodium fluexuosum Nicranoteris linearis Nhepolopis bisserata _____________________________________________________________ Sumber: Chen dkk, 1998; Ginting dkk, 1998; Wong, 1990. * palatabel bagi ternak Selain berpengaruh terhadap komposisi botanis, intensitas radiasi sinar matahari sangat berpengaruh terhadap produksi hijauan yang tumbuh di areal perkebunan (Chen dkk, 1988). Sehubungan dengan itu jumlah domba yang dipelihara per satuan luas lahan untuk pengendalian gulma secara efektif bervariasi menurut tanaman pokok. Pada areal tanaman muda daya tampung berkisar antara 10 sampai 15 ekor domba dewasa per hektar, sedangkan pada areal tanaman tua daya tampung menurun 3 sampai 5 ekor per hektar. Oleh karena itu, interaksi yang sangat dinamais antara tanaman pokok, gulma sebagai hijauan pakan dan ternak, maka dalam prakteknya pengamatan terhadap kondisi gulma perlu dimonitor secara teratur untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan misalnya terhadap jumlah ternak yang dipelihara atau terhadap pengembalaan yang diterapkan.

2.3 Sistem Pengembalaan untuk Pengendalian Gulma Prinsip pengendalian gulma dengan mengintregasikan domba ke dalam sistim produksi tanaman perkebunan adalah mempertahankan keberadaan vegetasi sehingga mencapai keseimbangan antar kepentingan tanaman pokok dengan kelangsungan usaha produksi domba. Hal ini berarti bahwa perkembangan gulma perlu dikontrol untuk menciptakan kondisi yang mampu mendukung kebutuhan pakan ternak secara berkesinambungan, namun tidak memberi nampak negatif kepada produksi tanaman pokok. Untuk memenuhi prinsip ini sistem pengembalaan yang paling sesuai adalah sistim rotasi (bergilir). Untuk kondisi perkebunan rakyat tradisional atau dengan pola PIR dengan luas lahan yang relatif kecil (2 sampai 3 hektar) (Direndra dkk, 1990), pengembalaan sistem rotasi dapat dilakukan menjadi 2 sampai 3 plot


pengembalaan yang kemudian digunakan secara bergiliran. 2.4 Manfaat Penyiangan Secara Biologis 1.

Tergantung pada umur tanaman pokok, biaya penyiangan secara kimiawi dapat ditekan 15 sampai 30 persen, apabila dikombinasi-kan dengan penyiangan secara biologis.

2.

Berkurangnya pemakaian zat kimia akan menekan intensitas pencemaran lingkungan.

3.

Perkembangan gulma dapat dikendalikan agar mampu berperan sebagai pencegah erosi, terutama pada kondisi dengan topografi yang riskan terhadap erosi.

4.

Meningkatkan pendapatan per unit lahan karena adanya hasil penjualan produksi ternak.

5.

Sebagai tabungan dan sumber pendapatan selama tanaman pokok belum menghasilkan yang sewaktuwaktu dapat digunakan.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan Ketersediaan vegetasi di areal perkebunan yang merupakan gulma bagi tanaman pokok merupakan sumber hijauan pakan potensial bagi ternak ruminansia. Domba merupakan jenis ternak yang paling sesuai untuk pengendalian pertumbuhan gulma dengan sistim pengendalian rotasi. Keterlibatan domba dalam usaha perkebunan dapat meningkatkan pendapatan per unit lahan yang berasal dari penghematan biaya penyiangan dan produksi ternak. Di samping itu, dapat menekan kemungkinan terjadinya polusi lingkungan akibat penggunaan zat kimia.

3.2 Saran 1. Keberadaan leguminosa sebagai tanaman penutup tanah harus dipertahankan untuk mencegah pertumbuhan alang-alang. 2. Pada areal perkebunan yang luas dimana pengaturan plot-plot lebih fleksibel, pengaturan rotasi pengembalaan perlu mempertimbangkan pola perkembangan parasit, guna menekan biaya pengendalian parasit.

DAFTAR PUSTAKA

Chen, C., P., A., Tajuddin, W. E. Wan Mohamed, I. Tajuddin, C. E. Ibrahim, and R. M. Saleh. 1988. “Research and Development of Intregatet System in Livestok, Forage and Tree Crop Produktion in Malaysia”. Proceeding of International Livestock Tree Croping Workshop. Serdang Malaysia. P. 55-72.

Derendra, R., L Batubara, S. Karo-karo., Z. Zen and A. Arsjad. “Prospect for Sheep Husbandry and Socio Economic Contrains in the Nucleues Estate and Smollholder Project in Indonesia.” Proceeding of Intragatete Tree Crooping and Small Ruminant Produktion System Workshop. Indonesia, Medan., P. 265-275.


Gatenby,, R. M,. And S.P. and Ginting. 1991.”Sheep Productionin Rubber Plantation.” Indonesia Small Ruminant Newsletter 2: 10-11.

Hofmann, R. R. 1988. “Anatomi of the Gastro Intenstinal Tract.” The Ruminant Animal. Degestif Fhisiology and Nutition (Ed. D. C. Church). Prentice Hall. New Jersey, USA. P. 14-43.

Higuez, L.M. Sanchez, S,P Ginting. 1991. “Produktiviti of Sumatran Sheep in A System Intregatet with Rubber Plantation.” Small Ruminant Research. 5. 303-317.

Wan Mohamed, W.E 1997. “Utilization of Ground Vegetation for Animal Rearing.” Prooceding of the Rubber Research Institut of Malaysia. Planters Conferensi, Kuala Lumpur. P. 163-170.

KEDUDUKAN DAN FUNGSI TUHA PEUET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN GAMPONG (Suatu Penelitan di Gampong Pango Raya Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh) Oleh Muhammad Nur, S.H. M.Hum Abstrak


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberi kewenangan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara luas dan leluasa untuk menata sistem pemerintahan daerah sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat Aceh yang hidup dan berkembang sehingga diperlukan penataan-penataan dan penyesuaian-penyesuaian mengenai kelembagaan dan strata dari tingkat provinsi sampai ke tingkat Gampong. Oleh karena itu, keberadaan lembaga-lembaga adat seperti Tuha Peuet mendapat pengakuan secara yuridis. Pengaturan lebih lanjut mengenai Pemerintahan Gampong ditetapkan dalam Qanun Provinsi NAD nomor 5 Tahun 2003 dan pengaturan khusus mengenai Tuha Peuet Gampong di kota Banda Aceh diatur dengan Qanun kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005. Tuha Peuet sebagai Badan Perwakilan Gampong berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintahan Gampong yang mempunya tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong, tugas dan fungsinya adalah memberi persetujuan terhadap rancangan APBG dan juga menyangkut reusam gampong, sehingga kedudukannya telah diakui secara sah dan resmi, namun kedudukan Tuha Peuet Gampong belum berfungsi sebagaimana mestinya. Kata kunci: Tuha Peuet dan Pemerintahan Gampong I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang dan Permasalahan Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyeleggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, maka dipandang perlu untuk memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Aceh, untuk dapat menata strata pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat Aceh yang hidup dan berkembang dari waktu ke waktu, yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang selanjutnya disebut UUPA. Dilihat dari segi Hukum Tata Negara, khususnya tentang bentuk negara, maka otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan tersebut maka kepada daerah perlu diberikan kewenangan kewenangan untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya. 1

Di lain pihak otonomi merupakan wujud dari pelaksanaan azas desentralisasi, mengingat pengertian dari otonomi yang dipakai selama ini adalah pengertian otonomi yang bermakna penyelenggaraan pemerintahan sendiri, yang di dalamnya juga mencakup aspek mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.2 Pemberian otonomi seluas-luasnya dibidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, professional, efisien dan efektif dimaksud untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh yang memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan Pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga memberi kewenagan kepada Provinsi Aceh secara luas dan leluasa untuk menata sistem pemerintahan daerah sesuai dengan nilai-nilai luhur Daerah dan Otonomi Desa di Daerah Istimewa Aceh (Thesis), Universitas Padjajaran, Bandung, 1998. Hal. 65

1

Iskandar, A. Gani, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi

2

Ibid, Hal. 65


masyarakat Aceh yang hidup dan berkembang, serta diperlukan penataan dan penyesuaianpenyesuaian mengenai kelembagaan dan strata dari tingkt provinsi sampai ketingkat gampong (desa). Keberadaan lembaga-lembaga adat yang sudah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad yang telah mendarah daging dalam masyarakat Aceh secara turun temurun dalam sistem sosial budayanya mendapat eksistensi yuridisnya kembali. Oleh karena itu di Provinsi Aceh istilah lain dari desa adalah gampong. Pengaturan lebih lanjut mengenai Pemerintahan Gampong ditetapkan dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Pasal 9 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 disebutkan bahwa di gampong dibentuk Pemerintahan Gampong dan Tuha Peuet Gampong, yang secara bersama-sama menyelenggarakan Pemerintahan Gampong. Kedudukan Tuha Peuet dalam struktur Pemerintahan Gampong adalah sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintahan Gampong, dengan demikian Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong menempatkan Tuha Peuet sebagai bagian dari sistem Pemerintahan Gampong. Dan juga sebagai perwujudan demokrasi bagi warga masyarakat dengan memperhatikan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di gampong. Dalam rangka pelaksanaan pasal 41 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, maka Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tuha Peuet Gampong untuk mengatur lebih lanjut segala ketentuan mengenai Tuha Peuet Gampong. Dalam Pasal 14 huruf f dan g qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tuha Peuet Gampong menyebutkan bahwa Tuha Peuet memberi persetujuan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong (RAPBG) dan memberikan persetujuan terhadap Reusam Gampong. Qanun Nomor 5 Tahun 2003 menggariskan bahwa Peraturan Gampong (reusam) adalah semua ketentuan-

ketentuan yang bersifat mengatur yang ditetapkan oleh Keuchiek setelah mendapat persetujuan dari Tuha Peuet. Dengan kedudukannya yang sejajar dapat dipahami bhwa usulan rancangan Reusam Gampong dilakukan oleh Keuchiek atas persetujuan Tuha Peuet dengan ketentuan kedua belah pihak mengadakan musyawarah dan mufakat guna memperoleh persetujuan atau pengesahan dari masing-masing pihak dalam penetapan Reusam Gampong tersebut. Dengan demikian Tuha Peuet Gampong sebagai lembaga yang dikenal dalam kehidupan masyarakat Aceh sudah diakui secara formal menjadi lembaga yang mempunyai peran dalam Pemerintahan Gampong. Pengakuan lembaga Tuha Peuet Gampong ini menjadi lembaga resmi Pemerintahan Gampong tidak menghilangkan sifatnya sebagai lembaga adat. Namun demikian, kedudukan Tuha Peuet Gamping belum berfungsi sebagaimana mestinya. 3 Berdasarkan uraian di atas. Maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah kedudukan dan fungsi Tuha Peuet telah berjalan sebagaimana ditentukan dalam Peraturan perundang-undangan? 2. Apakah hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Peuet? 3. Apakah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut? I.2 Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan kedudukan dan fungsi Tuha Peuet dalam ketentuan Peraturan perundang-undangan. 3

Penjelasan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tuha Peuet Gampong.


2. 3.

Untuk menjelaskan hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Peuet. Untuk menjelaskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ada.

II. Metode Penelitian II.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian Yang menjadi variabel penelitiannya adalah Tuha Peuet dan Pemerintahan Gampong, maka definisinya adalah: II.1.1 Tuha Peuet adalah suatu badan kelengkapan gampong yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur agama, dan unsur pimpinan adat yang berada di gampong. II.1.2 Pemerintahan Gampong adalah penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh pemerintahan Gampong dan Tuha Peuet Gampong. II.2 Lokasi dan Populasi Penelitian II.2.1 Lokasi Penelitian adalah dalam wilayah hukum Kota Banda Aceh. II.2.2 Populasi penelitian meliputi, Tuha Peuet Gampong, Keuchik, Imeum Meunasah, Imeum Mukim, dan Tokoh Masyarakat serta anggota masyarakat di Desa Pango Raya Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh. II.3 Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel ditentukan secara “purposive sampling”. Dari keseluruhan populasi, dipilih beberapa sample yang terdiri dari responden, informan dan diperkirakan dapat memberikan data relevan dan mewakili keseluruhan populasi. Adapun sample dalam penelitian ini adalah: Responden

a. Tuha Peuet Gampong Pango Raya 1 orang. b. Keuchiek Gampong Pango Raya 1 orang Informan a. Imeum Mukim Gampong Pango Raya 1 orang b. Imeum Meunasah Gampong Pango Raya 1 orang c. Tokoh masyarakat Gampong Pango Raya 1 orang d. Anggota masyarakat Gampong Pango Raya 2 orang.

2.4. Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, literaturliteratur, teori-teori, artikel-artikel, tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannnya dengan kedudukan dan fungsi Tuha Peuet dalam sistem Pemerintahan Gampong Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan yang berhubungan dengan kedudukan dan fungsi Tuha Peuet dalam sistem Pemerintahan Gampong. II.4 Teknik Penganalisisan Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik dari penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan dianalisis dengan menggunakan diskriptif kualitatif, yang kemudian dituangkan dalam bentuk sebuah karya tulis berbentuk skripsi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN


III.1 Kedudukan dan Fungsi Tuha Peuet dalam Praktek pada Sistem Pemerintahan Gampong di Gampong Pango Raya Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh Sebelum membahas mengenai kedudukan Tuha Peuet Gampong di Gampong Pango Raya kecamatan Ulee Kareng, maka terlebih dahulu penulis uraikan sekilas gambaran umum keadaan wilayah Gampong Pango Raya. Gampong Pango Raya adalah sebuah gampong di kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia. Disini terletak kampus Politeknik Aceh dan jembatan penyeberangan di atas Krueng Aceh (terusan dari Jl. Panglima Nyak Makam tembus ke Jl. Tgk. Chik Ditiro), dengan luas wilayah ± 160 Ha. Secara administrasi demografi (Kependudukan) memiliki jumlah penduduk lebih kurang 1. 725 jiwa. Adanya keadaan wilayah dan penduduk yang sedemikian rupa selain memungkinkan Gampong Pango Raya lebih cepat mengalami pertumbuhan dan perkembangan juga menjadikan keberadaan Pemerintahan Gampong semakin menduduki posisi yang paling dominan di kecamatan tersebut. Pemberlakuan Otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur susunan, kedudukan, penjenjangan dan penyebutan pemerintahan terendah sebagai Pemerintahan Gampong yang diatur dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Dengan dikeluarkannya Qanun tersebut, semakin jelas mengenai susunan Pemerintahan Gampong yang mana kekuasaan eksekutif dipegang oleh

seorang Keuchik dan kekuasaan legislatif dipegang oleh Tuha Peuet Gampong. Pengaturan tentang Tuha Peuet Gampong lebih khusus diatur dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 tahun 2005. Didalam Qanun tersebut dijelaskan bahwa tujuan pembentukan Tuha Peuet Gampong adalah untuk mewadahi perwujudan pelaksanaan demokrasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintahan Gampong. Oleh karena itu, anggota TPG yang dipilih dan diangkat haruslah dapat memahami seluruh ketentuan-ketentuan yang berlaku dan haruslah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Qanun tersebut di atas. Pemilihan anggota TPG di kecamatan Ulee Kareng dilakukan sesuai dengan amanat yang disebutkan dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 yaitu didasarkan pada hasil musyawarah gampong yang dilakukan oleh pihak Kecamatan Ulee Kareng yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, ulama gampong, tokoh adat dan cendikiawan yang ada di masing-masing gampong. TPG di Kecamatan Ulee Kareng telah terbentuk dan telah ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Banda Aceh pada tanggal 14 maret 2006. Dengan dibentuknya Lembaga Tuha Peuet Gampong, Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 sudah mulai dijalankan walaupun belum semua amanat yang terdapat didalam Qanun tersebut dijalankan dengan baik. Dari hasil penelitian pada Gampong Pango Raya, TPG belum berfungsi sebagaimana yang diamanatkan dalam Qanun, hal ini disebabkan karena banyak diantara


anggota TPG di gampong ini juga belum mengetahui bagaimana kedudukan dan fungsi TPG seperti yang disebutkan dalam Qanun Kota Banda Aceh No. 6 Tahun 2005 yang merupakan Qanun yang mengatur mengenai pembentukan TPG di Kota Banda Aceh. Di Gampong Pango Raya, Menurut ketua TPG, Bapak Bakhtiar TPG di gampong ini masih difungsikan seperti lembaga LMD, menurut beliau hanya sebutan dari lembaga tersebut yang berbeda, sedangkan fungsinya masih sama seperti fungsi LMD. Hal ini dikarenakan pengaruh LMD dan aturan lama yang masih sangat melekat dalam diri masyarakat gampong ini, hal ini juga disebabkan karena belum adanya sosialisasi terhadap Qanun yang mengatur Tentang Tuha Peuet Gampong, akibatnya anggota TPG belum mengetahui dengan jelas apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka.4 Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa. TPG masih difungsikan sebagaimana fungsi dari LMD atau LKMD, mereka yang menjadi anggota TPG sangat jarang mengadakan rapat Tuha Peuet untuk mengambil suatu kebijakan atau membahas suatu masalah secara khusus yang hanya diikuti oleh angota TPG saaja, akan tetapi mereka hanya dimintai pendapat saja selaku orang tua gampong yang disegani di gampong tersebut. Dengan kata lain, keberadaan lembaga Tuha Peuet masih sering dianggap sebagai lembaga adat bukan sebagai lembaga formal pemerintahan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Faizal Daud wakil ketua Tuha Peuet Gampong Pango Raya, bahwa setelah TPG dibentuk, sampai saat ini beliau selaku wakil ketua TPG belum mengetahui dan memahami bagaimana fungsi dari TPG yangdimaksud 4

Bakhtiar, Ketua TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011.

dalam Qanun Kota Nomor 6 Tahun 2005 karena beliau belum mengetahui isi dari Qanun tersebut. Selama ini, beliau hanya dianggap sebagai orang yang dituakan di Gampong.5 Apabila ada masalah atau sengketa yang terjadi antar warga gampong, beliau selaku orang yang dituakan di gampong diundang dalam rapat penyelesaian sengketa tersebut dan dimintai pendapat untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Masalahmasalah yang sering terjadi misalnya seperti masalah perkawinan, kematian, perebutan hak milik atas tanah, dan masalah-masalah lainnya. Hal serupa juga dikatakan oleh anggota TPG Pango Raya Said Ubaidillah, beliau mengatakan ada atau tidak dibentuknya TPG tidak mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan di Gampong ini, karena meskipun TPG sudah terbentuk namun fungsinya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, beliau hanya dianggap orang yang dituakan di Gampong sama seperti sebelum beliau menjabat sebagai anggota TPG. 6 Hak-hak TPG seperti yang disebutkan dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2005 juga belum dipenuhi, salah satunya hak memperoleh tunjangan dan uang sidang sesuai dengan kemampuan keuangan Gampong yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Gampong. Hal ini disebabkan oleh minimnya pendapatan Gampong dan karena tidak sempatnya pemerintah mengurusi hal ini yang dianggap hal sepele, karena banyaknya 5

Faizal Daud, Wakil Ketua TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011. 6

Said Ubaidillah, Anggota TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011.


urusan pemerintahan lain yang dianggap lebih penting. Mengenai tunjangan tersebut Faizal Daud menambahkan bahwa hanya TPG yang belum memperoleh tunjangan tiap bulannya, sedangkan perangkat Gampong lainnya seperti Keuchik, Imuem Menasah, kaur serta sekretaris Gampong sudah mendapatkan tunjangan tiap bulannya. 7 TPG telah banyak dilibatkan dalam pelaksanaan pemerintahan di gampong ini antara lain dalam penyelesaian sengketa yang ada di gampong dan dalam pengambilan keputusan gampong. Akan tetapi masih ada juga beberapa tugas dan fungsi TPG sebagaimana yang disebutkan dalam Qanun tentang TPG yang belum dijalankan seperti dalam pembuatan Reusam Gampong yang dikarenakan belum adanya perubahan dan pembuatan Reusam Gampong yang baru selama TPG terbentuk. Melalui uraian di atas dapat diketahui bahwa TPG di Gampong ini sudah idifungsikan walaupun belum berfungsi secara sempurna seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya mengenai kedudukan Tuha Peuet Gampong Pango Raya, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang kedudukan Tuha Peuet Gampong itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 6 Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 yaitu: "Tuha Peuet Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintahan Gampong".

7

Faizal Daud, Wakil Ketua TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011.

Qanun ini mengharapkan adanya kerja sama yang baik antara Kechik sebagai pelaksana Pemerintah Gampong dengan Tuha Peuet sebagai Lembaga Perwakilan Gampong dalam menjalankan sistem Pemerintahan Gampong sehingga terlaksana dengan baik dan sempuma. Apabila Keuchik melakukan kesalahan, maka Tuha Peuet mempunyai kewenangan untuk menegur Keuchik karena kesalahannya dan Tuha Peuet juga mempunyai kewenangan untuk memberi nasehat atau pertimbangan kepada Keuchik baik diminta atau tidak. Dalam mengambil suatu Keputusan Gampong atau Reusam Gampong Keuchik harus mendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong, apabila tidak mendapat persetujuan dari Tuha Peuet maka Keputusan tersebut dianggap tidak sempurna dan tidak dapat ditetapkan. Tuha Peuet Gampong juga mempunyai kewenangan mengawasi Pelaksanaan Pemerintahan Gampong oleh Keuchik dan perangkatnya dan Tuha Peuet Gampong berhak meminta pertanggung jawaban Keuchik dan perangkatnya apabila Keuchik maupun perangkatnya melakukan penyalahgunaan kekuasaannya. Tuha Peuet Gampong juga mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban Keuchik dan perangkatnya setiap akhir tahun anggaran dan pada akhir masa jabatan Kechik dan Tuha Peuet Gampong dapat menolak pertanggung jawaban tersebut apabila tidak sesuai dengan amanat dalam keputusan Gampong. Namun dalam pelaksanaannya tidak demikian, Tuha Peuet Gampong selaku Badan Perwakilan Gampong yang mempunyai kewenangan seperti tersebut diatas tidak


melaksanakan kewenangannya tersebut secara sempurna. Dalam pelaksanaannya di Gampong pango Raya, kedudukan TPG tidak seperti yang disebutkan dalam Qanun tersebut. Akan tetapi kedudukan Keuchik dianggap lebih tinggi, TPG hanya dianggap sebagai orang yang dituakan dan disegani oleh masyarakat Gampong. Dari hasil penelitian, TPG di Gampong Pango Raya sangat jarang mengadakan Rapat Tuha Peuet Gampong. Padahal dalam Pasal 18 Qanun Nomor 6 Tahun 2005 menyebutkan bahwa rapat TPG diadakan paling kurang satu tahun sekali dalam satu tahun di akhir tahun anggaran.8 Dalam kehidupan sehari-hari di Gampong, begitu. banyak masalah-masalah yang perlu ditangani oleh TPG, salah satunya mengenai pelaksanaan syari'at Islam, masih ada sebagian warga masyarakat di gampong yang belum menjalankan norma-norma agama meskipun di Nanggroe Aceh Darussalam telah disahkan Qanun tentang pelaksanaan syari'at Islam. Walaupun sebagian orang berpendapat bahwa pelaksanaan syari'at Islam tidak dapat dipaksakan, namun TPG sebagai Badan Perwakilan Gampong yang di dalamnya terdapat unsur ulama beserta orang-orang yang disegani di Gampong sudah sepatutnya meningkatkan upaya-upaya pelaksanaaan syari'at Islam seperti yang disebutkan dalam Pasal 35 Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Dalam melakukan upaya-upaya pelaksanaan syari'at Islam tersebut, TPG sudah seharusnya mengadakan rapat TPG untuk 8 Bakhtiar, Ketua TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011.

membahas masalah tersebut, walaupun upaya yang dilakukan tidak sepenuhnya dijalankan oleh mayarakat gampong, namun setidaknya ada usaha yang dilakukan TPG terhadap terlaksananya pemberlakuan syari'at Islam. III.2 Hambatan-hambatan dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Tuha Peuet di Gampong Pango Raya Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh belum menjelaskan secara rinci mengenai kedudukan dan fungsi Tuha Peuet dan sistem pemerintahan gampong, sehingga Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam hal ini mengeluarkan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam beserta petunjuk teknis pelaksanaannya. Lebih khusus mengenai Tuha Peuet Pemerintahan Kota Banda Aceh juga mengeluarkan Qanun Kota Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Tuha Peuet Gampong. Meskipun Qanun tersebut telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh sebagai acuan dalam pelaksanaan fungsi Tuha Peuet dalam sistem pemerintahan gampong namun tetap saja dalam prakteknya di Gampong Pango Raya Tuha Peuet belum begitu difungsikan sebagaimana amanat qanun tersebut, bahkan sebagian anggota TPG itu belum membaca dan mengetahui isi dari Qanun tersebut. Hasil penelitian di Gampong Pango Raya beberapa hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Peuet, diantaranya: 1. Pengaruh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sebelum diberlakukan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, istilah Gampong disebut Desa dan


sebutan untuk Badan Perwakilan Desa adalah LMD/LKMD yang diseragamkan dengan desadesa yang ada diseluruh lndonesia. Pengaturan mengenai Pemerintahan Desa diatur dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 sehingga keberadaan lembaga-lembaga adat tidak mendapat pengakuan secara yuridis. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, bahwa tujuan penyergaman adalah untuk mempermudah pembinaan, akan tetapi akibat penyeragaman itu justru menimbulkan dampak negatif karena dengan sistem pemerintahan desa yang seragam dan diperkenalkannya suatu sistem baru dan sebutan lembaga-lembaga baru yang belum dikenal sebelumnya oleh masyarakat Aceh membuat Masyarakat termasuk masyarakat Aceh merasa terasing di lingkungannya sendiri. Secara yuridis formal lembaga adat seperti Tuha Peuet yang sebelumnya merupakan lembaga yang sangat diakui oleh masyarakat di gampong tidak mempunyai tempat lagi dalam sistem Pemerintahan Desa yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Tradisi lama yang semula hidup di tengah-tengah masyarakat mulai di tinggalkan secara berangsur-angsur dan diganti dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang kadang-kadang di perkenalkan pada masyarakat dengan cara paksa, akibatnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa sangat kurang hal ini disebabkan para pemangku adat, para ulama dan tokoh masyarakat yang semula menjadi orang yang dituakan di gampong yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat sudah tidak berfungsi lagi dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatpun mulai bergeser. Kenyataan ini menyebabkan penyelenggaraan Pemerintahan Gampong setelah diberlakukan otonomi tidak terlaksana secara maksimal, demikian juga dengan pelaksanaan fungsi Tuha Peuet Gampong yang karena pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa berlangsung sangat lama sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan LMD/LKMD sehingga menganggap fungsi dari LMD/LKMD dan

Tuha Peuet Gampong itu sama saja, hanya sebutannya saja yang beda. Oleh karena itu pelaksanaan fungsi Tuha Peuet tidak berialan seperti yang diharapkan. 2.

Kurangnya sosialisasi terhadap Qanun Kota Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tuha Peuet Gampong. Dalam rangka pelaksanaan pasal 41 Qanun Nomor 5 Tahun 2003, maka Pemerintahan Kota Banda Aceh mengeluarkan Qanun No. 6 Tahun 2005 tentang Tuha Peuet Gampong untuk mengatur lebih lanjut segala ketentuan mengenai Tuha peuet Gampong. Namun Pemerintah Daerah belum melakukan sosialisasi terhadap Qanun tersebut kepada anggota Tuha Peuet Gampong. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa kurangnya sosialisasi terhadap Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 oleh Pemerinlah Daerah terhadap para anggota TPG yang ada di Gampong Pango Raya Kecamatan UIee Kareng Kota Banda Aceh, menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap tidak berfungsinya TPG sesuai dengan amanat dalam Qanun tersebut. Bahkan sebagian besar anggota TPG belum mengetahui isi dari Qanun tersebut sehingga mereka tidak mengetahui bagaimana kedudukan dan fungsi dari Tuha Peuet Gampong itu sendiri. 3. Anggota Tuha Peuet Gampong tidak diberikan tunjangan tiap bulan yang menjadi haknya seperti yang disebutkan dalam Pasal 15c Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005. Pemerintah Daerah/Pemerintah Gampong jarang memberikan tunjangan tiap bulan yang menjadi hak TPG sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 15c Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Tuha Peuet Gampong. Padahal Keuchik beserta perangkat Gampong lain tiap bulannya diberikan tunjangan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh.9 9 Bakhtiar, Ketua TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011.


3.3 Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang ada

Gampong, khususnya di Gampong Pango Raya. 3.

Dengan melihat hambatan-hambatan tersebut diatas maka dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Peuet Gampong dalam sistem Pemerintahan Gampong Pango Raya terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang ada, yaitu: 1. Di Gampong, Keuchik dan Tuha Peuet sedang berupaya menghidupkan kembali adat dan budaya serta lembaga Tuha Peuet Gampong Dalam sistem Pemerintahan Gampong, Keuchik selaku kepala pemerintahan sudah seharusnya menghidupkan kembali adat dan budaya serta lembaga-lembaga adat seperti Tuha Peuet, Tuha Lapan, Imuem Meunasah serta lembaga-lembaga adat lainnya yang ada di Gampong yang sudah mendapat pengakuan sebagai lembaga formal Pemerintahan Gampong. Dalam menjalankan sistem pemerintahan gampong, Keuchik beserta perangkat Gampong lainnya diharapkan dapat menghapus kebiasaan-kebiasaan lama yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan mengacu kepada peraturan perundangundangan baru seperti Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong dan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Tuha Peuet Gampong. Sehingga Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Gampong berjalan dengan sempurna. Memberikan penyuluhan atau sosialisasi kepada lembaga Tuha Peuet Gampong beserta kepala gampong. Pemerintahan Kota Banda Aceh diharapkan lebih meningkatkan lagi sosialisasi terhadap Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 tahun 2005, dengan cara memberikan penyuluhan-penyuluhan seperti memberikan buku petunjuk teknis bagi pelaksanaan Qanun tersebut serta memberikan pembinaan dan pelatihan khusus mengenai tugas dan fungsi dari TPG dalam sistem Pemerintahan

Sedang berupaya untuk memberikan tunjangan atau upah jerih atau biaya kehormatan kepada lembaga Tuha Peuet Gampong. Pemerintah Kota Banda Aceh diharapkan dapat memberikan tunjangan kepada Tuha Peuet Gampong setiap bulan yang menjadi haknya seperti yang diterima oleh Perangkat Gampong lainnya karena Tuha Peuet juga merupakan salah satu lembaga resmi Pemerintahan Gampong. Walaupun di dalam Qanun Kota Banda Aceh disebutkan bahwa tunjangan Tuha Peuet diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Gampong, namun mengingat minimnya penghasilan Gampong maka sudah seharusnya tunjangan tersebut diberikan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. 10 IV. SIMPULAN DAN SARAN IV.1 1.

2.

2.

3.

Kesimpulan Kedudukan Tuha Peuet Gampong adalah sebagai Badan Perwakilan Gampong yang mempunyai kedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintahan Gampong, namun tugas dan fungsinya belum berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Peuet Gampong adalah: a. Masih terpengaruh dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sehingga sulit untuk melakukan perubahan-perubahan baru. b. Kurangnya sosialisasi terhadap Qanun yang berlaku. c. Tuha Peuet Gampong tidak diberikan tunjangan setiap bulan. Upaya yang telah dilakukan adalah: a. Keuchik dan Tuha peuet sedang berupaya menghidupkan kembali

10 Bakhtiar, Ketua TPG Pango Raya, Wawancara, Ulee Kareng, 28 Desember 2011.


b. c.

IV.2 1.

2.

adat dan budaya serta lembaga Tuha Peuet Gampong. Telah diberikan penyuluhan atau sosialisasi kepada lembaga Tuha Peuet dan kepala Gampong. Sedang berupaya untuk memberikan tunjangan kepada Tuha Peuet Gampong.

Saran Tuha Peuet Gampong sebagai badan perwakilan gampong yang mewadahi perwujudan pelaksanaan demokrasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong, diharapkan dapat memahami ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga fungsinya sebagai TPG dapat terlaksana dengan baik. Dalam melaksanakan fungsinya TPG diharapkan mampu menjalin kerja sama antara sesama anggota TPG yang terdiri dari empat unsur tersebut

3.

4.

5.

serta menjalin kerja sama yang baik pula dengan Keuchik dan perangkat Gampong lainnya. Keuchik dalam mengambil suatu kebijakan atau keputusan gampong diharapkan agar meminta persetujuan dari TPG dan TPG diharapkan mengadakan rapat Tuha Peuet Gampong terlebih dahulu sebelum kebijakan atau keputusan itu ditetapkan. Pemerintah Kota Banda Aceh beserta pihak Kecamatan Ulee Kareng diharapkan agar melakukan pengawasan dan sosialisasi serta penyuluhan terhadap pelaksanaan fungsi TPG sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah Kota Banda Aceh diharapkan dapat memberikan tunjangan kepada anggota Tuha Peuet Gampong setiap bulan seperti yang diberikan kepada perangkat gampong lainnya.

DAFTAR PUSTAKA A.

Buku

Anonimos. 2011. Petunjuk Tekhnis Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. Ali Hasjimi. 2000. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Beuna Iskandar A Gani. 1998. “Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh,” Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung. Jimly Asshiddiqie. 2006 Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. ------------------------- 2006. Sengketa Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, Marzuki Ibrahim, Husni Jalil, Peranan Kepala Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Laporan Hasil Penelitian, Sigli, 1997, Hal. 5


Sanusi M. Syarif. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor. Soeparmo. 2000. Mengenal Desa, Gerak dan Pengelolaannya, Intermas, Jakarta. Soerjono Soekanto. 2001. Kedudukan Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian, Bumi Aksara, Jakarta. Taliziduhu Ndraha. 2002. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bina Aksara, Jakarta. Taqwaddin. 2009. UUPA dan Perkara Adat, Kabar UUPA, ALGAP II, 2009. Teuku Djuned. 2001. Desa dan Tanggung Jawabnya Terhadap Lingkungan di Aceh, Banda Aceh. Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa, Rajawali Pers, Jakarta. Zainal Abidin. 2004. Dampak Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pemerintahan Adat Gampong dan Implikasinya bagi Ketahanan Wilayah, kanun, Jurnal Ilmu Hukum No. 40 Fakultas Hukum Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh. B.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Qanun Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2005 tentang Tuha Peuet Gampong.


STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN UTARA PROPINSI ACEH (Development Strategy of Small Pelagic Fisheries Effort in North Territorial Water of Provinsi Aceh) Dr. Raihanah, M.Si. ABSTRACT PPN Lampulo is a main location of small pelagic fishery activities in Banda Aceh City of Provinsi Aceh.. This research aim to analyze maximum sustainable yield (MSY) of small pelagic resources, to analyze financial feasibility of small pelagic fisheries effort, to determine small pelagic fishing units according technical aspect, serfaireble aspect, and the continueing, and to formulate development strategy of small pelagic fisheries effort. The method of research are standard analysis of fishing unit, biological aspect analysis, financial analysis (NPV, IRR, and B/C Ratio), scoring analysis, and hierarchy analysis. Maximum sustainable yield (MSY) of small pelagic resources in north territorial water of Aceh are estimated 15479 tons per year and Foptimum are 4896 trips. If compared by a annual production (7069,35 ton), Hence the utilization of small pelagic resources about 45,67 %. From nine type of fishing unit to catch small pelagic fish , there are four chosen as sustainable fishing units according techncal aspect, biological aspect, and the sutainable aspect. They are drift gillnet, purse seine, payang, and beach seine. Purse seine, boat seine, beach seine are feasible to develop in the location. Strategy priority to develop small pelagic fisheries effort in north territorial water of Aceh, re-management of small pelagic fishing bussness are: empawerment of human resources), development of fishing technology precisely, development of skim credit to fisheries effort, and development of exploitation and restocking zone, and repair of management system of re-management of fisheries


infrastructure system. As first priority, construction strategy of human resources being of stable to intervention of fishermen and government. Key words: development, financial, small pelagic fisheries, and strategy 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan utara provinsi Aceh merupakan perairan yang berhubungan langsung dengan Samudra Hindia yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang melimpah sehingga usaha penangkapan ikan sangat prospektif untuk dikembangkan. Potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di pantai utara provinsi Aceh terdiri atas ikan selar (Selaroides leptolepis), sunglir (Elagastis bipinnulatus), teri (Stolephorus indicus), japuh (Dussumieria spp), tembang (Sadinella fimbriata), lemuru (Sardinella Longiceps), siro (Amblygastersirm), dan kembung (Rastrellinger spp). Adapun jenis alat tangkap yang dominan digunakan di pantai utara Aceh, mencakup jaring insang (gill net), pukat cincin (purse seine), pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap .pengembangan usaha perikanan pelagis kecil sehingga potensi ikan pelagis kecil dapat dimanfaatkan secara baik dan berkelanjutan. Kondisi keuangan suatu usaha biasanya dilihat dari kriteria Net Present value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit-cost Ratio (B/C ratio). 1.2

Perumusan Masalah Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipecahkan guna mengoptimalkan usaha perikanan pelagis kecil, yaitu: 1) Informasi mengenai dinamika ketersediaan sumber daya ikan pelagis kecil di perairan utara provinsi Aceh belum optimal termasuk komoditas unggulannya. 2) Teknologi penangkapan ikan pelagis kecil yang digunakan nelayan cukup beragam .

3)

Usaha perikanan pelagis kecil masih belum dapat mengangkat kesejahteraan nelayan. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah usaha perikanan tersebut layak dikembangkan secara finansial. 4) Pengembangan pengelolaan perikanan pelagis kecil dirasakan belum berjalan efektif dan optimal, karena kurangnya keterampilan nelayan dalam mengoperasikan unit penangkapan. 1.3 Tujuan Penelitian 1) Mengestimasi peluang pengembangan sumber daya ikan pelagis kecil dan jenis komoditas unggulannya di perairan utara provinsi Aceh 2) Menentukan unit penangkapan ikan pelagis kecil yang tepat berdasarkan aspek teknik, teknologi, dan keberlanjutan. 3) Menganalisis kelayakan finansial usaha perikanan pelagis kecil di perairan utara provinsi Aceh . 4) o Merumuskan strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil di perairan utara provinsi Aceh. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Tersedianya informasi peluang pengembangan perikanan pelagis kecil dan jenis komoditas unggulannya di perairan utara provinsi Aceh . 2) Menentukan alat tangkap ikan pelagis kecil yang tepat di perairan utara provinsi Aceh . 3) Tersedianya informasi data finansial, kelayakan pengembangan usaha perikanan pelagis kecil, komoditas unggulan dan jenis unit penangkapan yang layak. 4) Menentukan strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil yang tepat di perairan utara provinsi Aceh yang dapat diterima secara luas dan dapat


mengakomodir pengelolaan.

1.5

faktor

pembatas

Kerangka Pemikiran Penelitian KERANGKA PEMIKIRAN PENELIT IAN

Kondisi Pengelolaan Perikanan Pelagis Kecil

Kinerja Perikanan Pelagis Kecil di Pov insi NAD

ASPEK PENGELOLAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN

MEKANISME PENGEMBANGAN

SDI

TEKN OLOGI

EKONOMI

MSY

Unit Penangkapan

Pendapatan nelayan

PEMASARAN

Komoditas unggulan

SARA NA PENANGKAPAN IKAN

Teknologi penangkapan yang layak dikembangkan

USAHA PENANGKAPAN IKAN

Prioritas Strategi dan Upaya yang efektif untuk mengembangkan Usaha Perikanan Pelagis di Perairan Utara NAD

Usaha penangkapan yang layak dikembangkan

Permasalahan • Potensi ikan pelagis kecil & komoditas unggulannya belum diketahui • Unit penangkapan yang belum tepat sasaran • Kelayakan usaha perikanan belum terukur •pengelolaan belum belum berjalan efektif

Analisis :

Analisis :  Standarisasi  Catch per Unit Effort (CPUE) dan Surplus Production  Metode Deskriptif

 Analisis nilai produksi  Metode skoring  Analisis finansial

AHP

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 2. METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perairan utara provinsi Aceh yang berbasis di pelabuhan Lampulo. Penelitian ini dilaksanakan selama


10 (sepuluh) bulan dimulai dari dari bulan

Agustus 2009 sampai dengan Mei 2010. Peta lokasi penelitian disajikan pada (Gambar 2)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian 2.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner, kamera, dan perangkat lunak sebagai alat bantu analisis. Perangkat lunak yang digunakan adalah program MS Excell, moving average, SPSS, dan Expert Choice. 2.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini secara umum terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung dikumpulkan di lapang berkaitan dengan pengembangan perikanan pelagis kecil. Data sekunder merupakan data-data yang didapat dari buku, jurnal, laporan kegiatan, informasi internet, dan lainnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. 2.4 Metode Penelitian 2.4.1 Metode penetapan kelompok sampling dan responden Kegiatan ini dilakukan supaya data yang diperoleh akurat dan berasal dari sasaran yang tepat. ditetapkan sampel/responden sebanyak 10% dari populasi kelompok sampling (Irianti dalam Bungin, 2004). Pengumpulan data

strategi pengembangan ditetapkan sampel / responden sebanyak 25 orang dari kelompok sampel yang berbeda signifikan di lokasi. 2.4.2 Metode pengumpulan data Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung dan wawancara mendalam pada lokasi dengan intensitas kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil yang dominan, dengan mengisi kuisioner yang telah disiapkan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui Studi literatur, internet, jurnal dengan permasalahan yang relevan dengan topik penelitian. 2.4.3 Metode pengolahan dan analisis data Pengolahan dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) analisis potensi sumberdaya perikanan pelagis kecil (standarisasi unit penangkapan ikan, analisis Sumberdaya ikan, dan komoditas unggulan) dengan maksud dapat diketahui kondisi sumberdaya ikan pelagis kecil yang ada, tingkat pemanfaatannya, dan musim penangkapannya sebagai syarat utama pengembangannya, (2) analisis unit penangkapan ikan pelagis kecil dengan maksud


untuk mengetahui kondisi unit penangkapan yang ada baik secara teknis, teknologi maupun peluang keberlanjutan, (3) analisis kelayakan finansial usaha perikanan pelagis kecil dengan maksud dapat diketahui kelayakan investasi yang dilakukan nelayan/pelaku usaha perikanan pelagis kecil dan prosepek pengembangannya, dan (4) analisis strategi pengembangan perikanan pelagis kecil dengan maksud menetapkan suatu mekanisme terbaik untuk mengembangkan usaha perikanan pelagis kecil ke depan yang mengakomodir kepentingan semua pihak yang terkait dan berbagai hambatan/keterbatasan yang ada. 2.4.3.1

Standarisasi unit penangkapan ikan Standarisasi ini diperlukan untuk keseragaman upaya penangkapan yang ada sehingga tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dihitung dengan mudah dan potensi pengembangannya diketahui. Unit penangkapan ikan yang dijadikan standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan utama di lokasi yang ditandai oleh CPUE atau laju tangkapan rata-ratanya bernilai paling besar. Unit penangkapan ikan yang dijadikan standar ini diberi nilai indeks daya tangkap (fishing power index) sama dengan satu. Indeks daya tangkap dari masing-masing unit penangkapan lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju tangkapan rata-rata masing-masing unit penangkapan dengan laju tangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar (Tampubolon dan Sutejo, 1983 dalam Citrasari, 2004). FPI menjadi variabel koreksi paling penting dalam standarisasi unit penangkapan ikan yang digunakan di pesisir utara provinsi Aceh. Adapan persamaan yang terkait dengan perhitungan FPI ini adalah : ….....……(1) ….....……(2) …...……(3)

…………(4) Sedangkan upaya penangkapan (effort) hasil standardisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan (Gulland, 1983) : SE = FPi x FEi ………….............(5) 2.4.3.2 Analisis sumberdaya ikan (SDI) Analisis sumberdaya ikan digunakan untuk menduga potensi perikanan pelagis kecil yang dilakukan dengan cara mengolah data hasil tangkapan utama dari setiap unit tangkapan ikan yang dioperasikan dan upaya penangkapan.Model surplus produksi digunakan untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimal, yaitu upaya penangkapan yang menghasilkan suatu hasil tangkapanan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Pada kondisi ini, hasil tangkapan tersebut sama dengan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). Pendugaan potensi lestari dengan model produksi lebih ini menggunakan pendekatan awal berupa metode Schaefer yang mengembangkan analisis regresi dari CPUE terhadap jumlah effort (f) yang distandarisasi. Secara matematis, CPUE dinyatakan dengan persamaan : CPUE = a – b.f ………………………...(6) Sedangkan persamaan matematis untuk menduga MSY dan upaya penangkapan optimum f(opt) adalah : ….. ……………………………....(7) .…………… …………..……....….(8) 2.4.3.3 Analisis aspek teknik Analisis ini dilakukan secara deskriptis untuk mengetahui kondisi dari alat tangkap dengan pertimbangan-pertimbangan teknik yang berpengaruh, seperti jumlah produksi, kapasitas mesin, jumlah ABK, ukuran armada,


dan lainnya, sehingga dapat diketahui kelayakan fisik alat tangkap untuk dioperasikan dalam kegiatan penangkapan ikan. Analisis teknik ini sangat berkaitan dengan kelayakan pengoperasian alat tangkap ikan apakah termasuk efektif atau tidak bila dioperasikan. 2.4.3.4 Analisis aspek teknologi Analisis ini dilakukan secara deskriptif untuk menyeleksi sifat kehandalan teknologi dari unit penangkapan ikan pelgis kecil dalam meminimalisir sifat destruktif terhadap sumberdaya ikan, ekosistem, lingkungan sekitar, dan masyarakat. 2.4.3.5 Analisis aspek keberlanjutan Analisis aspek keberlanjutan ini dilakukan secara deskriptif untuk menyeleksi unit penangkapan ikan yang digunakan menangkap ikan pelagis kecil yang dalam operasinya dapat menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya ikan di perairan utara provinsi Aceh dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Kriteria yang digunakan untuk seleksi sifat keberlanjutan unit penangkapan ikan ini mengacu kepada kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), sedangkan skor yang diberikan untuk menilai setiap kriteria terkait aspek keberlanjutan ini juga menggunakan metode rating dengan kisaran 1– 4 (Rangkuti, 1996 ) 2.4.3.6 Analisis skoring Analisis skoring dilakukan untuk mengetahui unit penangkapan ikan pelagis kecil yang yang tepat berdasarkan teknologi dan keberlanjutannya untuk dikembangkan di perairan utara provinsi Aceh. Analisis skoring ini dilakukan mengacu kepada Kuntoro dan Listiarini (1983), dengan rumus perhitungan :

V (X ) =

Xi − X 0 ….........………..… (9) X1 − X 0

V ( A) = ∑Vi ( Xi ) …………..........…

(10)

2.4.3.7 Analisis kelayakan finansial

Kriteria/parameter tersebut adalah Net Preset Value (NPV), Net Benefit–Cost Ratio (B/C ratio), Internal Rate of Return (IRR). 1) Analisis net present value (NPV) Net Preset Value (NPV) digunakan untuk menilai manfaat investasi usaha perikanan pelagis kecil yang merupakan jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Perhitungan Net Preset Value (NPV) menggunakan rumus : n

NPV =

(Bt - Ct)

∑ (1 + i) t =1

t

……….

(11) Bila NPV>0 berarti investasi usaha perikanan pelagis kecil tersebut layak, sehingga menjadi pertimbangan positif untuk pengembangannya. Sedangkan bila NPV<0 berarti investasi usaha perikanan pelagis kecil tersebut tidak layak dilaksanakan, sehingga menjadi pertimbangan negatif dalam pengembangannya. Pada keadaan nilai NPV=0 maka berarti investasi usaha perikanan pelagis kecil tersebut hanya mengembalikan manfaat yang persis sama dengan tingkat social opportunity cost of capital. 2) Analisis internal rate of return (IRR) . Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) menggunakan rumus :

 NPV1  ( i 2 - i 1 ) ....  NPV1 - NPV2 

IRR = i1 +  (12)

Usaha perikanan pelagis kecil dinyatakan layak bila IRR > dari interest rate (suku bunga) yang berlaku. Bila IRR sama dengan interest rate yang berlaku maka NPV usaha perikanan pelagis kecil tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari interest rate yang berlaku maka nilai NPV lebih kecil dari 0, berarti usaha perikanan pelagis kecil tersebut tidak layak dilaksanakan dan ini menjadi pertimbangan negatif untuk pengembangannya. Secara umum, usaha perikanan pelagis kecil yang dilakukan oleh nelayan atau lainnya


di perairan utara provinsi Aceh dapat dikatakan layak sehingga dapat dikembangkan lanjut bila usaha perikanan pelagis kecil tersebut mempunyai NPV>0, B/C ratio>1, IRR lebih besar dari interest rate (suku bunga) yang berlaku,. Interest rate (i) bank yang digunakan dalam analisis ini mengacu kepada Bank Indonesia (2009) yaitu 6,25%. 3) Analisis benefit-cost ratio (B/C ratio) Perhitungan Benefit-Cost Ratio (B/C ratio) menggunakan rumus :

Komparasi berpasangan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap komponen terhadap masingmasing kriteria yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu komponen dibandingkan dengan komponen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala banding berpasangan menurut proses Saaty (1993) .

n

(Bt - Ct) (Bt - Ct) > 0 t t =0 (1 = i) n (Ct - Bt) (Bt - Ct) < 0 ∑ t t =1 (1 + i)

∑ B/C ratio =

..…………………..………… (13) Pada rumus tersebut terlihat bahwa nilai B/C ratio akan terhitung bila terdapat paling sedikit satu nilai Bt–Ct yang bernilai positif. Bila B/C rasio>1, maka kondisi ini menunjukkan investasi usaha perikanan pelagis kecil menguntungkan (NPV>0). Terkait dengan ini, maka bila B/C ratio>1 berarti investasi usaha perikanan pelagis kecil tersebut layak sehingga menjadi pertimbangan positif untuk pengembangannya. Sedangkan bila B/C ratio<1 berarti investasi usaha perikanan pelagis kecil tersebut tidak layak dilaksanakan, sehingga menjadi pertimbangan negatif bagi dukungan lembaga keuangan. 2.4.3.8 Analisis strategi pengembangan Analisis ini dimaksud untuk menetapkan strategi yang dapat dilakukan bila usaha perikanan pelagis kecil benar-benar akan dikembangkan secara luas di perairan utara provinsi Aceh.Strategi prioritas dilakukan dengan mengakomodir kepentingan semua stakeholders dan tetap mempertimbangkan semua keterbatasan/hambatan yang ada melalui suatu analisis berhierarki yang dikenal dengan Analitical Hierachy Process (AHP). 1) Penyusunan matriks perbandingan berpasangan

2) Formulasi data Formulasi data merupakan kegiatan menginput data hasil analisis skala banding perpasangan ke dalam struktur hierarki. Pembuatan hierarki dan input data ini dilakukan menggunakan Program Expert Choice 9.5. Sedangkan data yang diinput disiapkan menggunakan program MS Excell. 3) Perhitungan perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan dilakukan untuk memperoleh judgment seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya komponen yang dibandingkan. Bila vektor pembobotan komponen-komponen operasi A1, A2, A3 dinyatakan sebagai vektor W, dengan W=(w1,w2,w3) maka nilai intensitas kepentingan komponen operasi A1 dibandingkan dengan A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot komponen A1 terhadap A2, yakni W1/W2 = A12. Nilai wi/wj dengan i, j = 1,2,3 … n didapat dari responden, yaitu para stakeholders yang berkompeten di kawasan. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (w1, w2, w3 .. wn) maka diperoleh hubungan; AW = nW ...................... (14) Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut : [ A – n I ] W = 0 .................. (15) dimana I = matriks identitas Selanjutnya dilakukan uji konsistensi, jika tidak konsisten maka dilakukan pengambilan data diulangi atau dikoreksi.


Perhitungan akar ciri: untuk mendapatkan akar ciri (n) maka harus ada kondisi; Contohnya; dengan menggunakan matriks A, maka:

1 a12 a13 a21 1 a23 a31 a32 1 1 a12 a13 a21 1 a23 a31 a32 1

1 0 0 − n

0 1 0 = 0 0 0 1 n 0 0 0 n 0 = 0 0 0 n

Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri; n1, n2, n3. Perhitungan vektor ciri : nilai vektor ciri merupakan bobot setiap komponen. Langkah ini untuk mensitesis judgement dalam penetuan perioritas. Untuk menghitung vektor ciri (W), maka akar ciri (n) maksimum hasil

1 a12 a13 1 0 0 w1 a21 1 a23 − 2 0 1 0 w2 = 0 a31 a32 1 0 0 1 w3 Sehingga :

1− 2 a12 a13 w1 0 a21 1− 2 a23 − w2 = 0 a31 a32 1− 2 w3 0

[A–nI]=0

penghitungan di atas disubsitusikan dengan persamaan: [ A – n I ] = 0; dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, sehingga bila didapatkan maksimum = 2, maka perkaliannya menjadi sebagai berikut: [ A -nI ] W = 0


Di mana pada akhir perhitungan akan diperoleh vektor ciri w1, w2, w3. Vektor tersebut memberikan informasi, pilihan alternatif strategi yang paling optimal.


3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Standar Upaya Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Tabel 1 Total tangkapan, upaya gabungan hasil standarisasi dan CPUE standar Tahun

HTs-total (ton)

CPUE Standar

SE-Gab (unit)

1999 9.517,1 2000 16.143,5 2001 11.379,7 2002 6.223,8 2003 6.292,5 2004 5.707,7 2005 3.735,7 2006 4.093 2007 4.999,3 2008 4.672,2 2009 4.998,4 Sumber : Hasil analisis data (2010)

(ton/unit) 1.947 5.302 2.471 618 653 1.103 10.793 4.375 1.241 1.614 2.172

4.889.320 3.044.848 4.604.928 10.064.343 9.632.219 5.175.898 346.138 935.543 4.028.183 2.894.829 2.301.065

3.2 Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil 18000

Produksi (ton)

MSY =15479 ton

2000

16000 14000 12000

2001

10000

1999

8000 6000

2003 2005

4000

2006

2009 2008

2007

2004

2002

F-opt=4896

2000 0 0

2000

4000

trip

6000

8000

Gambar 3 Hubungan upaya penangkapan denganproduksi,MSYdanF Upaya Penangkapan (trip) Optimum untuk ikan pelagis kecil di perairan utara Ac 3.3 Hasil tangkapan ikan tahunan

10000


Gambar 4 Perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan utara Aceh tahun 1999 – 2009. 3.4 Pemilihan Alat Tangkap Ikan Pelagis Kecil Pemilihan alat tangkap ini dilakukan untuk menentukan keandalan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil di perairan utara Aceh, sehingga dapat menjamin kelestarian potensi ikan pelagis kecil dan kelangsungan pemanfaatan di masa yang akan datang. Pemilihan alat tangkap ikan pelagis kecil ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek pengelolaan yang terkait dengan aspek teknologi, aspek biologi, dan aspek keberlanjutan. Alat tangkap yang dinilai merupakan alat tangkap yang selama ini 3.4.1 Penilaian Gabungan Aspek Pengelolaan

digunakan oleh nelayan dalam operasi penangkapan ikan pelagis kecil di perairan utara Aceh, yaitu jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), jaring lingkar (JL), payang, pukat cincin, jaring klitik (JK), pukat udang, pukat pantai.

Tabel 2 Gabungan penilaian aspek teknik, toknologi dan keberlanjutan alat tangkap ikan pelagis kecil Alat Tangkap

X1

UP1

X2

UP2

X3

UP3

Pukat Ikan

0,675

5

2,000

4

1,506

8

Payang

0,648

6

3,333

2

4,334

3

Pukat Pantai

3,433

3

1,333

5

3,714

4

Pukat Cincin Jaring Insang

4,027

2

2,833

3

5,833

2

Hanyut

4,138

1

4,333

1

6,987

1

Jaring Lingkar

0,500

8

2,000

4

2,189

6

Jaring klitik

0,562

7

0,333

7

1,614

7

Jaring insang tetap

0,126

9

1,167

6

1,063

9

Trammel net 1,436 4 Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010

2,833

3

3,621

5


3.5 Kelayakan Finansial Usaha Perikanan Pelagis Kecil Tabel 3 Biaya investasi usaha perikanan payang (Py) dan pukat pantai (PP) Investasi (Rp)

Uraian

Py 285.000.000 80.000.000 50.000.000 3.500.000 800.000 1.500.000 5.000.000 200.000 426.000.000

Kapal ( 10-15 Gt ) Alat Tangkap Mesin Induk Mesin Lampu Kompas Radio HT Palka Jerigen air Jumlah

PP 150.000.000 185.000.000 40.000.000 1.500.000 2.500.000 100.000 379.100.000

Sumber : Hasil analisis data lapangan (2010) Analisis finansial perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan pengusahaan keempat usaha perikanan pelagis kecil yang dinyatakan unggul dari aspek teknik,teknologi dan

keberlanjutan terutama dalam memberi manfaat finansial yang layak bagi nelayan dan pelaku perikanan lainnya di lokasi.

3.5.1 Biaya investasi usaha pukat cincin Tabel 4 Biaya investasi usaha perikanan pukat cincin Uraian

Investasi (Rp)

Kapal Pukat Cincin

700.000.000

Alat Tangkap Jaring

200.000.000

Mesin Induk

95.000.000

Mesin Lampu 950 Watt

20.000.000

Echosounder

4.000.000

Roller

4.500.000

Kompas

800.000

Palka (2 buah)

5.000.000

Jerigen air (20 buah)

1.000.000

Pelampung Permanen

1.500.000

Jumlah Sumber : Hasil analisis data lapang (2010) Tabel 5 Biaya operasional jaring insang hanyut (JIH)

1.031.800.000


Biaya Operasional (Rp/tahun) JIH

Uraian Minyak Tanah Bensin Solar Oli Es Balok Air Tawar Ransum Jumlah

38.400.000 36.000.000 5.000.000 224.000.000 4.800.000 134.400.000 802.600.000

Sumber : Hasil analisis data lapang (2010) Tabel 6 Kebutuhan biaya operasional payang (Py) dan pukat pantai (PP) Uraian Minyak Tanah Bensin Solar Oli Es Balok Air Tawar Ransum Jumlah Sumber : Hasil analisis data lapang (2010)

Biaya Operasional (Rp/tahun) Py PP 2.280.000 4.800.000 1.710.000 7.200.000 94.050.000 72.000.000 1.187.500 1.000.000 53.200.000 11.200.000 1.140.000 2.400.000 29.260.000 112.000.000 182.827.500 210.600.000

3.5.2 Biaya operasional usaha pukat cincin Tabel 7 Kebutuhan biaya operasional pukat cincin Uraian Minyak Tanah Bensin Solar Oli Es Balok Air Tawar Ransum Jumlah Sumber : Hasil analisis data lapang (2010)

Biaya Operasional (Rp/tahun) 7.920.000 14.850.000 445.500.000 4.125.000 231.000.000 6.600.000 110.880.000 820.875.000


3.6 Penerimaan Usaha Perikanan Pelagis Kecil Tabel 8 Jumlah hasil tangkapan per trip usaha perikanan pelagis kecil di perairan utara Aceh Hasil Tangkapan (kg/trip) Usaha Perikanan Paceklik Sedang Puncak Payang 102 201 315,84 Pukat Pantai 435 768 1.346,34 Pukat Cincin 1.670 2.672 4.463,90 Jaring Insang Hanyut 1.899 2.043 4.559,70 Sumber : Hasil analisis data lapang (2010) Tabel 9 Penerimaan usaha perikanan pelagis kecil di perairan Utara Aceh Penerimaan (Rp/tahun) Usaha Perikanan Paceklik Sedang Puncak Payang 48.960.000 325.620.000 426.384.000 Pukat Pantai 73.080.000 552.960.000 908.779.500 Pukat Cincin 280.560.000 1.523.040.000 2.008.755.000 Jaring Insang Hanyut 227.880.000 735.480.000 1.573.096.500 Sumber : Hasil analisis data lapang (2010) 3.7

Total 800.964.000 1.534.819.500 3.812.355.000 2.536.456.500

Kelayakan Usaha Perikanan Pelagis Kecil

Tabel 10 Nilai Net Present Value (NPV) usaha perikanan pelagis kecil Usaha Perikanan Standar Payang >0 Pukat Pantai Purse Seine Jaring Insang Hanyut Sumber : Hasil analisis data lapang (2010)

NPV 1.308.099.629,74 3.550.028.935,23 7.893.583.888,00 4.616.941.019,38

Keterangan Layak Layak Layak Layak


Tabel 11 Nilai Internal Rate Return (IRR) usaha perikanan pelagis kecil Usaha Perikanan Standar Payang > 6.25 % Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Hanyut Sumber : Hasil analisis data lapang (2010)

IRR 56,04% 157,21% 127,38% 144,28%

Keterangan Layak Layak Layak Layak

Tabel 12 Nilai Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) usaha perikanan pelagis kecil Usaha Perikanan Standar Payang >1 Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Hanyut Sumber : Hasil analisis data lapang (2010

R/C 1,36 1,60 1,51 1,42

Keterangan Layak Layak Layak Layak

Pengembangan zona pemanfaatan & restocking Pemerintah

Ekologi Pembinaan sumberdaya manusia perikanan

Pengusaha

Ilmuan/Pakar

Ekonomi

Teknologi

Perbaikan sistem pengelolaan sarana dan prasarana perikanan

Strategi Pengembangan usaha perikanan pelagis kecil Yang Berkelanjutan

Pengembangan kredit pembiayaan usaha perikanan Nelayan

Lingkungan Sosial

3.8 Strategi Pengembangan Usaha Perikanan pelagis kecil 3.8.1 Rancangan Hierarki Pengembangan Tujuan

Pengembangan teknologi tepat guna dalam penangkapan ikan

Aktor

Kriteria

Perbaikan manajemen usaha perikanan

Alternatif Pengembangan


Gamba

Gambar 5 Struktur hierarki strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil Di Perairan Utara Aceh


Gambar 6 Hasil analisis prioritas strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil. 4. KESIMPULAN DAN SARAN

strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecilnya adalah

4.1 Kesimpulan 1.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dari penelitian ini dapat disimpulkan : Perkiraan MSY adalah 15.479 ton setiap tahunnya dan F optimum sekitar 4,896 trip. Dengan komoditas unggulan adalah ikan teri, kembung, dan layang.

2.

Jenis unit penangkapan adalah jaring insang hanyut, purse seine, payang, dan pukat pantai. Semua jenis unit penangkapan ikan pelagis kecil seperti disebutkan pada kesimpulan no 2, secara finansial layak dikembangkan di perairan utara Aceh Untuk mengoptimalkan pengembangan usaha perikanan pelagis kecil di perairan utara Aceh maka prioritas

3.

4.

a)

Pembinaan sumberdaya manusia perikanan (SDM) b) Perbaikan manajemen usaha c) Pengembangan teknologi tepat guna dalam penangkapan ikan d) Pengembangan kredit pembiayaan usaha perikanan e) Pengembangan zona pemanfaatan dan zona restocking f) Perbaikan sistim pengelolaan sarana dan prasarana perikanan 4.2 Saran Strategi pengembangan usaha perikanan pelagis kecil di Perairan Utara Acehkiranya dapat dijadikan referensi didalam membuat kebijakan pengembangan usaha perikanan pelagis kecil di perairan utara Aceh oleh Pemerintah Provinsi Aceh.

DAFTAR PUSTAKA Aziz, K.A., Priyono, B.E., Tampubolon, G.H., Naamin, N., dan Djamali, A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan.


Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Data Statistik Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jakarta. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). 2010. BRR Dinilai Belum Layak Tinggalkan Aceh. http://news.okezone.com/read/2008/03/27/1/95302/1/ brr-dinilai-belumlayaktinggalkan-aceh Bank Indonesia. 2010. Kurs Suku Bunga (Interest rate) Deposito Yang Berlaku pada periode tahun 2010. Bank Indonesia. Jakarta Berkes, D.F. 1994. “Property Rights and Coastal Fisheries”, p. 51-62. In Pomeroy, R.S. (ed.) Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pasific: concepts,methods and exeriences. ICLARM Conf. Proc. 45, 189 p. BBPPI. 2008. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. Bintoro, G. 1995. Tuna Resources In Indonesia’s Waters : Status, Possible Management Plan, and Recommendations for The Regulation of Fishing Effort. Hull University. Hull England. M.Sc Dissertation. Unpublished. Brown, D., Staples D., and Smith F., (2005). Mainstreaming Fisheries Co-management in the Asia Pacific. FAO Regional Office for Asia and The Pacific. Bangkok. Dari website www.fao.org Bungin, B. 2004. Metode Penelitian Kuantitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cahyono, B. T. 1995, Manajemen Strategi Pemasaran. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPWI Program Magister Manajemen. Badan Penerbit IPWI Jakarta. Dahuri, R. 2003. “ Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.” Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 233 hal. Dahuri, R. 2001. “Kebijakan Penertiban Izin Kapal Asing Di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).” Makalah, Seminar Nasional 20 Oktober 2001, Diselenggarakan Oleh HIMASEPA IPB. Jakarta. 9 hal. Dahuri R. 2001. “Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa Indonesia yang Maju, Makmur dan Berkeadilan”. Makalah Pada Acara Temu Akrab CIVA-FPIK, tanggal 25 Agustus 2001. Bogor. Dajan, A. 1983. Pengantar Metode Statistik. Jilid 1. LP3ES. Jakarta. Hal 313-332. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2010. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2009. DKP, Jakarta. 101 hal. Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). 2007. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP), http://www.depkominfo.go.id/

Ekonomi


Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2004. Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2001-2004. DKP, Jakarta. 96 hal. Dinas Kelautan dan Perikanan NAD. 2010a. Statistik Perikanan Aceh Tahun 2009. DKP NAD. Banda Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan NAD. 2010b. Prospek Pengembangan Potensi Perikanan Nanggroe Aceh Darussalam. DKP NAD. Banda Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan NAD. 2010c. Bahan Konsultasi Pengembangan Usaha Perikanan NAD. DKP NAD. Banda Aceh. Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2007. DKP, Jakarta. Dutton, I.M. 1998. “Personal Communication About Co-Management in Fisheries Sector.” Jurnal Depdagri Vol. 12. Jakarta. Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-klien. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Andalas University Press. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Food Agriculture Organization [FAO]. 2005. The State of World Fisheries and Agriculture (SOFIA). FAO. Griffin, and Ronald, C. 1991. “The Welfare Analytics of Transaction Costs, Externalities and Institutional Choice.” American Journal of Agricultural Economics, 73(3): 601-614. Gulland, J.A., 1983. Fish Stock Assessment: Amanual of Basic Methods. Chichester-New YorkBrishbane-Toronto-Singapor: John Wiley Sons. 223 p.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.