
6 minute read
Perpustakaan Kota
from ARTIKEL HOROR
by Nath Zalina

Malam yang dingin untuk musim kemarau seperti sekarang. Aku melirik jam yang menghiasi pergelangan tanganku. Ya, jam delapan malam tapi aku masih setia berdiam diri di perpustakaan kota
“sudah waktunya makan malam” gumamku sembari beranjak menuju kafetaria.
Langkahku terdengar nyaring diheningnya koridor gedung perpustakaan. Angin malam berhembus disela sela jendela membuatku semakin merapatkan jaket. Jarak ruang baca dengan kafetaria memang tidak terlalu jauh, namun jika ditambah suasana seperti ini, membuatku ingin sengera merasakan kehangatan disana.
Dengan langkah yang terus kupercepat, akhirnya diri ini tiba di kafetaria. Tanpa pikir panjang, aku langsung memesan makan malam dan berjalan mencari meja kosong diatara ramainya ruangan. Atensiku kini terfokus pada satu kursi kosong di sebelah seorang wanita. Ah, kupikir tidak ada salahnya jika ikut duduk denganya karena sepertinya kami sebaya.
Setelah mengucap izin untuk ikut bergabung, aku segera duduk dan menyantap makan malamku. Disela sela-sela kegiatan makan malam, aku beberapa kali mengajak wanita di sampingku ini untuk berbincang. Namun sepertinya, ajakanku mengganggu makan malamnya, karena sepanjang aku bertanya nama atau asalnya, ia hanya diam dan menatapku dengan dingin.
“hmm, kaka di ruang baca yang mana?” yap, untuk kesekian kalinya aku bertanya pada wanita di sebelahku dan untuk kesekian kalinya pula, ia tak menggubris pertanyaanku. Bahkan untuk pertanyaanku yang ini, ia malah beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkanku dengan rasa kesal karena diacuhkan berkali kali.
Setelah menghabiskan makan malamku, aku pun bergegas untuk kembali melakukan pekerjaanku di ruang baca perpustakaan kota. Udara dingin kembali menyerang tubuhku. Tapi bodohnya, aku malah mengambil jalan memutar untuk kembali yang artinya semakin lama juga aku merasakan sunyi di sepanjang koridor.
Langkahku terhenti di depan toilet. Lagi-lagi, entah apa yang ada dipikirkanku, aku memutuskan untuk memasuki toilet tersebut, padahal ingin buang air pun tidak.
Baru saja aku membuka pintu toilet, mataku langsung disambut oleh sosok wanita yang tadi duduk di sebelahku. Dengan sedikit ragu, aku menyapa wanita yang kini sedang berdiri menghadap cermin.
“eh kak, ketemu lagi” ucapku dengan senyum manis namun masih tetap diacuhkan. Karena merasa suasana mulai canggung. Aku memilih untuk memasuki bilik kamar mandi. Tidak, bukan karena ingin buang air atau secamacamnya, aku hanya takut dikira penguntit oleh wanita itu jika hanya masuk toilet, menyapanya, lalu keluar lagi.
Aku menurunkan penutup lubang kloset dan duduk diatasnya. Membuat diriku seakan benar-benar sedang membuang hajat. Tapi belum lama aku di dalam, terdengar suara aliran air dari bilik sebelah.
Ah mungkin pengunjung toilet lainnya atau bisa saja si wanita dingin juga sedang membuang air, pikirku untuk menutupi detak jantung yang berpacu sangat cepat.
Aku terus mendengarkan segala suara dari bilik sebelah. Tak lama, kran air tertutup, diganti oleh suara capitan gunting. Kalian tahu ‘kan? Suara seperti menggunting tapi sedang tidak menggunting apa apa, nah itu lah yang aku dengar. Jantungku yang sempat berdetak sebagaimana mestinya, kini kembali berpacu tak kalah cepat dari sebelumnya.
Suara gunting semakin jelas di telingaku. Semakin dekat juga dengan keberadaanku. Hingga suara itu tepat berada di atas dinding pembatas bilik, suara itu hilang. Aku memberanikan diri untuk mengintip ke atas, melihat apa yang menimbulkan suara tersebut. Aku mendengak, memperhatikan dengan baik bagian pembatas dinding sampai langit langit toilet. Namun nihil, tidak ada satupun yang aku dapatkan. Kembali kutundukan kepalaku dan mengatur detak jantung agar bisa kembali ke ruang baca.
BUGG
Belum juga detak jantungku kembali normal, suara bantingan pintu yang keras membuat jantungku kembali berpacu. Kali ini, tidak pikir panjang aku langsunng keluar dari bilik dan segera meninggalkan toilet. Tanpa aku perhatikan dengan baik pun, aku sudah tahu kalau toilet itu kini kosong. Hanya ada aku disana.
Aku bergegas dengan langkah cepat dan pikiran yang tak karuan. seseekali aku melirik kebelakang karena sesekali pula aku mendengar ada langkah kaki mengikutiku. Langkahku berubah menjadi larian kecil, hingga tanpa sadar, aku menabrak seseorang di depanku. Aku terduduk karena benturan antara tubuhku dan tubuhnya cukup keras.
Saat ia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri, semuanya masih terasa normal. Sampai ketika aku mulai memperhatikan wajahnya. Mimiknya berubah drastis. Matanya sayu dengan pupil mata yang kabur, lingkaran hitam dibawah matanya sangat jelas kulihat, dan masker yang ia kenakan menarik atensiku untuk terfokus cukup lama.
Ya, ada bercak merah di maskernya.
Otakku terus berusaha meyakinkan bahwa bercak itu bukan darah, tapi bercak yang terus merambat di maskernya membuatku tak bisa mengelak bahwa itu adalah darah segar.
Lidahku kelu. Tak ada satupun kata yang mampu aku ucapkan. Kaki ini ikut menjadi kaku, tak bisa kugerakkan walau hanya secenti.
“Miguel, aku ingin bertanya” aku takjub. Bagaimana bisa wanita dihadapanku ini tahu namaku padahal dari tadi ia mengacuhkan segala ucapan yang aku lontarkan padanya.
Belum aku mengiyakan permintaannya. Ia melepaskan masker yang sudah penuh dengan bercak merah serta bau khas darah segar.
DEG.
Jantungtu terasa berhenti saat itu juga. Mataku berhasil membulat sempurna. Atensiku tak bisa lepas dari apa yang aku lihat sekarang.
Mulutnya.
Mulut wanita itu, yang entah sejak kapan mengenakan masker ternyata sobek.
Ya, mulutnya sobek sampai telinga membuatnya penuh dengan darah yang mengalir dan belatung yang terus menerus keluar dari celah robekannya.
“apakan aku cantik, Miguel?” tanyanya dengan mulut yang terbuka lebar. Bahkan jika diminta untuk melahap kepalaku, kurasa ia bisa melakukannya sekarang saking lebarnya mulut itu terbuka.
Aku terdiam. Otakku pun serasa ikut berhenti mencerna apa yang kulihat. Tubuhku lemas, mulutku ingin menjawabnya namun entah apa yang harus kujawab karena yang ada dipikiranku kini hanyalah berlari sejauh mungkin dan mencari bantuan.
“Jawab Miguel, apakah aku cantik?” ia bertanya untuk kedua kalinya namun aku masih membisu dengan air mataku yang mulai menetes.
“Jangan mengangis Miguel, aku hanya bertanya.” Ia kembali membuka mulutnya yang lebar itu dan aku semakin keras menangis dihadapannya.
“Aku bilang Jawab!!” ia berteriak sembari menyodorkan gunting yang ia genggam ke wajahku.
Tak hanya sekali ia berteriak, namun berkali kali hingga korodor ini sudah penuh dengan gema teriakannya. Wanita itu semakin mendekatkan gunting yang ia mainkan ke wajahku diiringi teriakan dan pertanyaan yang sama.
Aku terdesak. Aku takut, dan aku refleks menggeleng sembari berucap. “tidak, aku tidak tahu. Tolong lepaskan aku”. Suaraku bergetar menahan rasa takut yang memenuhi ragaku.
Wanita itu melepaskan cengkramannya di bahuku dan menurunkan gunting yang ia genggam dengan tangannya yang lain setelah mendengar jawaban dariku.
“Kau tidak tahu? Kenapa kau tidak tahu?” ia bertanya lagi kepadaku. Namun kali ini, matanya terlihat sendu dan mulai menundukan kepalanya. Ekspresinya pun seperti kebingungan dengan jawabanku.
Melihatnya seperti itu, aku memanfaatkannya untuk menjauh darinya.
Setelah cukup berjalan mundur hingga jauh dari jangkauan wanita itu, aku berlari dengan sekuat tenaga ditemani air mata yang tak henti membasahi pipiku.
Tak cukup sampai situ, aku kembali mendengar teriakannya memanggil namaku yang menggema sepanjang koridor tempat aku berlari unruk menyelamatkan diri. Jantungku semakin berpacu tatkala suara langkah kaki berusaha menyamai lankahku tepat belakangku.
Saat langkah itu semakin dekat denganku, tiba tiba tanpa kuminta tenagaku habis, pandanganku kabur, penglihatanku menjadi gelap, dan aku kehilangan kesadaranku. Dan tepat saat itu pula, aku merasa tangan wanita itu mampu menggapai rambutku.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, karena setelah aku tersadar, aku sudah berada di rumah sakit dengan tubuh yang penuh luka.
Selesai