PLANO NEWS 1.0: Right to the City

Page 1

[Tanggal]

PLANO NEWS 1.0: Right to the City

Ariesta Chavia Zagita [NAMA PERUSAHAAN]



Plano News x Warga 1

Right to the City Kontributor: Naretta Veronica bersama warga HMP PL ITB Komisariat

“The right to the city is far more than a right of individual access to the resources that the city embodies: it is a right to change ourselves by changing the city more after our heart’s desire. The right to the city is the right of all inhabitants, present and future, to use, occupy and produce just, inclusive and sustainable cities, defined as a common good essential to a full and decent life.” Hak atas kota pertama kali dimunculkan oleh seorang sosiolog Perancis, Henri Levebre, pada tahun 1968. Pada mulanya, konsep ini muncul atas fenomena marginalisasi akibat adanya perkembangan kapitalisme. Kala itu, hak atas kota didasarkan pada hak untuk merebut the commons dalam kehidupan kota sehingga hak atas kota menjadi collective dan difuse right. Sampai hari ini, salah satu hal yang masih relevan dengan pemikiran Levebre ialah bahwa decision-making processes dalam pembangunan kota harus dikelola sedemikian rupa agar masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dan diikutserakan dalam proses pengambilan keputusan sebagai upaya membentuk lingkungannya sendiri. Di Indonesia, hak atas kota nampaknya masih jarang diperbincangkan. Padahal, hak atas kota mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak atas kota mengharuskan adanya pengilhaman untuk memandang cities as common, bahwa seluruh masyarakat harus memiliki kapasitas yang sama untuk menikmati sumber daya serta kesempatan yang sama dalam menempati lingkungan hidupnya. Maka dari itu, hak atas kota juga menjunjung tinggi kesetaraan gender dan perlindungan terhadap kaum marginal. Adapun hak atas kota dibangun atas tiga pilar: spatially just resource distribution; political agency; socio-cultural diversity Diskusi Bersama Warga: Apa yang dimaksud ‘mereka bisa menggunakan equal access, mereka juga bisa kontribusi membentuk kotanya’, kontribusi seperti apa? Equally access dalam diskursus ha katas kota mencakup tentang bagaimana

1


seluruh masyarakat bisa mengakses resources atau services, misalnya perumahan yang layak, air bersih, infrastruktur, dsb. Tidak hanya itu, titik beratnya ialah bahwa marginalized group sekalipun seperti MBR, perempuan, anak, orang dengan disabilitas itu berhak juga untuk mengakses resources dan services sebagaimana masyarakat kota lainnya. Bentuk partisipasi dalam membentuk kota ini tentu akan bermacam-macam, bergantung ke sistem negaranya. Namun, salah satu komponen yang dipastikan harus ada dalam right to the city ini adalah “enhanced political participation: yang jika di break-down lagi terdiri atas: - mendorong partisipasi masyarakat dalam urban policies and spatial planning,

-

memperkuat representatif politik,

memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, dll. Jika dilihat regulation environmentnya di Indonesia, sebenarnya negara kita sudah menjamin itu misalnya adanya musrenbang yang dijamin dalam SPPN atau dengan adanya UU tentang keterbukaan informasi publik. Apa parameter ketercapaian right to the city? Saat ini, belum menemukan parameter ketercapaiannya. Namun, yang pasti, right to the city secara umum mencakup komponen-komponen berikut:

-

City fulfilling its social function City with quality public spaces Sustainable city City with inclusive economies City of inclusive citizenship City with enhanced political participation City free of discrimination City of gender equality City with cultural diversity

Jika meninjau komponen-komponen di atas, sebetulnya menarik untuk membahas kelangsungan right to the city di Indonesia secara lebih jauh. Misalnya, salah satu komponen yang ada dalam right to the city ialah mendorong adanya kota yang free of discrimination. Akan tetapi di Yogyakarta misalnya, warga non-pribumi tidak berhak memiliki tanah karena regulasi yang melarang.

2


Contoh lain misalnya bisa dilihat di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). NAD memiliki aturan sendiri yang menjadi hak istimewa dengan penerapan syariat islamnya. Aturan yang diterapkan Aceh memiliki perbedaan yang tidak diterapkan di daerah lain di Indonesia, melalui persetujuan yang telah dibuat dengan Pemerintah Pusat. Kedua kota tersebut memiliki kesamaan karena memiliki hak istimewa dibandingkan kota lain di Indonesia. Hak tersebut bersumber dari adat istiadat yang ada di sana. Contoh lain juga bisa dilihat di Provinsi Bali dan sekitarnya, yang tidak mengizinkan bangunan dibangun lebih dari ketinggian yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan guna menghargai adat istiadat suku di sana. Hal ini justru menjadi daya tarik wisatawan karena Bali menjaga kelestarian alam sesuai hukum adat yang berlaku di sana. Right to city Indonesia terkadang masih membahas hak atas tanah saja, sedangkan hak asasi manusia malah kadang terlupakan. Implementasi dari produk perencanaan kota terbukti kadangkala mengedepankan sisi ekonomis lahan ketimbang memikirkan perlindungan terhadap hak individu. Hal ini kemudian dapat membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM. Hal ini tentu seringkali kita dengar, dalam berbagai kasus di mana masyarakat harus mempertahankan tanahnya dan melawan stakeholder proyek perencanaan. Namun yang terjadi di lapangan, masyarakat dibodohi secara birokrasi (misal: diminta tanda tangan dengan iming-iming bujukan yang mereka tidak tahu). Tujuan yang berkaitan dengan right to the city seperti PTSL yang populer dengan istilah sertifikasi tanah ini merupakan wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah masyarakat. Namun pada nyatanya, masih sering terjadi perebutan hak atas tanah adat, entah memang dibodohi dengan birokrasi yang tidak dipahami masyarakat setempat, atau bahkan direbut secara paksa untuk kepentingan usaha sektor privat. Right to the city berorientasi pada "the commons", yang berarti menjadikan semua orang berhak membentuk kotanya dan memperoleh penghidupan yang layak. Selain isu pertanahan adat, beberapa daerah sepertinya perlu memperhatikan isu sosial yang ada di kaum marjinal demi memberikan livelihood yang lebih baik tanpa memojokkan. Namun benar atau tidak, terkait perubahan fungsi Kampung Dolly di Surabaya juga secara struktur dari pusat bisnis prostitusi akhirnya direkonstruksi, tapi tetap menjaga keadaan ekonomi warganya. Demikianlah,

3


yang saat ini terkait dengan hak atas kota, mulai dari mempertahankan hak milik tanahnya, maupun tetap memperoleh hak untuk menjalankan perekonomiannya dari segala perubahan yang terkadang dibuat-buat untuk kepentingan ataupun demi kebaikan. Kesimpulan Right to the city, sebetulnya menjadi topik yang sangat relevan untuk dibahas dalam konsep membangun kota. Hak atas kota tidak hanya berbicara tentang perlindungan terhadap hak individu dalam diskursus HAM, melainkan juga tentang bagaimana hak secara kolektif dapat dipenuhi. Di Indonesia, komponenkomponen hak atas kota sebetulnya telah dijamin di dalam peraturan perundangundangan bahkan di UUD 1945. Sayangnya, seringkali kita masih menemui berbagai pelaksanaan pembangunan yang justru masih menciderai HAM maupun memarjinalisasikan sejumlah golongan.

Nampaknya, hak atas kota perlu lebih jauh dibahas dalam membangun berbagai wilayah di Indonesia. Akses terhadap air bersih bukan hanya hak mereka yang tinggal di gedung-gedung mewah melainkan juga hak para MBR yang tinggal di permukiman kumuh. Hak untuk mengakses trotoar yang nyaman bukan hanya hak mereka yang memiliki fisik normal melainkan juga hak para penyandang disabilitas. Demikian juga hak atas lingkungan yang aman juga semestinya dimiliki oleh perempuan maupun anak. -Planonews x Warga 30 Agustus 2020

4


5


6


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.