Press Release Economics Summit 2016

PRESS RELEASE M OZ A I K P E R E KO N O M I A N I N D O N E S I A

Hasil Diskusi Economics Summit 2016

PARA PELOPOR

ECONOMICS SUMMIT 2016

Yermianto Dwi Puspito

Iqbal M. Taher

Alexander Michael

Raditya Aviantara

Dimas Bagas Herlambang

ECONOMICS SUMMIT 2016 Try Luthfi Nugroho

Ketua Panitia Economics Summit 2016

RM ANDRY SATRIA PUTRA

Supervisor Acara Economics Summit 2016

Lutfiyah Sungkar

Putri Oktiyawati

Atyucca Sofia

Joshua Priasdika

Penanggung Jawab Buku Mozaik Perekonomian Indonesia

Kata Pengantar

Satu bulan telah berlalu semenjak Economics Summit (ES) diadakan pada 17 September lalu. ES yang digagas bersama-sama dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, dan Universitas Dipenogoro telah menghasilkan nota kerjasama (MOU) antar himpunan. Tujuan dari ES yang diselenggarakan oleh lima pendiri tersebut adalah agar himpunan mahasiswa ekonomi dapat berdiskusi permasalahan ekonomi Indonesia dan juga bersama-sama merefleksikan pengalaman organisasi di masing-masing himpunan.

Buku “Mozaik Perekonomian Indonesia� edisi pertama ini membahas tentang potensi, arah, dan tantangan dari ekonomi digital. Selain itu, buku ini memiliki empat bagian utama. Bagian pertama merupakan hasil kajian dari masing-masing universitas mengenai ekonomi digital. Hal ini dilanjutkan dengan bagian kedua yang merupakan hasil diskusi ekonomi bersama antar universitas. Bagian ketiga merupakan rilis berita bersama mengenai ES, serta bagian keempat yaitu lampiran nota kesepahaman (MOU) kerjasama ES ini.

Seperti yang kita sadari bersama, perkembangan ekonomi digital mempunyai sisi positif dan negatif. Akselerasi pertumbuhan ekonomi bisa merupakan argumen pendukung mengenai ekonomi digital. Namun, perkembangan ekonomi digital bisa merubah peran manusia sebagai tenaga kerja di sektor riil. Pembaca dapat juga menelusuri argumen maupun pandangan tentang perekonomian digital dari masing-masing universitas.

Selain itu, terdapat rilis berita bersama tentang kegiatan yang ada di ES tersebut. Acara tahunan ini diharapkan dapat diadakan terus menerus sehingga terbangun konektivitas dalam jangka panjang antar himpunan Ilmu Ekonomi dan atau Studi Pembangunan. Di lain sisi, terdapat lampiran nota kerjasama dan interpretasi terhadap tiap pasal tersebut.

Sehingga, terbuka kemungkinan bagi universitas lain untuk ikut dalam ES 2017 berikutnya.

Kami mohon maaf apabila dalam penyampaian hasil diskusi ekonomi dan organisasi terdapat kekurangan maupun salah pengertian. Seluruh hasil penelitian dalam diskusi ekonomi merupakan tanggungjawab dari masing-masing himpunan yang tergabung dalam ES. Akhir kata, kami atas nama Himpunan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIMIESPA) Universitas Gadjah Mada bangga bisa menjadi tuan rumah Economics Summit pertama kali. Kami mengucapkan selamat kepada Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (HIMA EP) Universitas Airlangga yang menjadi tuan rumah ES 2017. Selamat berdialektika dengan buku ini, dan kami harapkan pembaca dapat memberikan kritik maupun saran demi perbaikan diskusi Economics Summit ini. Kritik dan saran dapat dikirimkan melalui email maupun narahubung HIMIESPA (ph.himiespa@gmail.com). Terima kasih atas seluruh usaha masing-masing himpunan dalam menggarap pertemuan tahunan ini. “Mengakar Kuat, Menjulang Tinggi�

A. Michael Tjahjadi (Ketua Umum Himiespa FEB UGM)

Teknologi Finansial: Urgensi dan Pengembangannya Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (Himiespa) Universitas Gadjah Mada Dunia Finansial telah berinovasi dalam penggunaan teknologi. Di satu sisi, penggunaan teknologi dapat memberikan kemudahan akses kepada masyarakat dan mengurangi informasi yang asimetris. Namun, inovasi tersebut memiliki permasalahan terutama dalam hal pendanaan (funding) terutama riset dan pengembangan terhadap dunia finansial.

Thorsten (2016) melihat data dari 32 negara OECD dari tahun 1996 sampai 2010, dan menemukan fakta bahwa terdapat hubungan ambigu antara inovasi finansial dan juga kinerja bank. Selain itu, inovasi dalam finansial juga memberikan kesempatan bagi pertumbuhan PDB. Hasil tabulasi regresi tabel 1 (lampiran) menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB riil berkorlasi positif dan signifikan dengan inovasi finansial. Nilai tambah dari riset dan pengembangan finansial positif dan signifikan terutama dalam kasus berbagai negara.

Dalam beberapa kasus, perbankan menggunakan berbagai cara untuk menghindar dari peraturan dan menggunakan integrasi dalam dunia finansial untuk memperkenalkan produk-produk baru.

asimetris dan biaya transaksi. Lembaga keuangan telah berupaya untuk mereduksi biaya transaksi dengan cara menyediakan instrumen perbankan dan juga memberikan produk inovasi yang terhubung dengan internet.

Pengembangan teknologi informasi memainkan peran penting terutama mempermudah akses dan transaksi finansial. Di lain sisi, problem adverse selection juga direduksi dengan ketersediaan informasi yang memadai.

Terdapat beberapa perubahan dalam dunia finansial akibat teknologi.

Pertama yaitu kredit yang memiliki proporsi semakin membesar. Rasio utang swasta terhadap PDB terus meningkat. Kredit juga tersedia terutama untuk perusahaan besar dan memiliki modal yang mencukupi (Grafik 3). Kedua yaitu pasar derivative bermunculan. Ketika tahun 1999, pertumbuhan pasar ini cepat dikarenakan permintaan dan penawaran yang terus berkembang, namun menyisakan struktur pasar yang riskan seperti dot.com bubble pada awal 2000an. Terakhir yaitu teknologi pembayaran. Pengembangan teknologi ATM dan pengenalan metode pembayaran dengan internet

Selain pertumbuhan ekonomi, inovasi dalam dunia finansial juga saling mempengaruhi hubungan antar pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi yang terlibat adalah institusi negara, perusahaan, dan teknologi itu sendiri (Hirsch-Kreinsen, 2011). Dari grafik 2 dapat terlihat bahwa adanya sinergi antara tata kelola pemerintahan (regulasi), adanya sumber daya dari perusahaan, kapabilitas perusahaan, dan inovasi dalam perusahaan juga harus terjadi. Namun, karena kompleksitas finansial maka peran antar aktor ekonomi tidak beraturan pada awalnya, dan diperlukan mekanisme yang multidimensi. Melemahnya regulasi pemerintah dalam “mengawal” inovasi finansial harus dilihat sebagai titik kritis. Permasalahan yang dikemukakan oleh Cerny (1994), adalah jika negara berkembang tidak memiliki daya saing kompetitif, dan tidak efisien, alhasil terdapat multiple disadvantages dalam dunia finansial yang terintegrasi

Pengembangan teknologi finansial di Indonesia sedang masif dilakukan. Menurut Kompas (30/8), investasi teknologi finansial telah mencapai 5,3 miliar dollar amerika pada triwulan pertama tahun 2016.

Lembaga riset Accenture juga melihat bahwa investasi tersebut naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Bahkan, asosiasi teknologi finansial Indonesia melihat bahwa kolaborasi harus menjadi prioritas. Lima prioritas yang harus dilihat yaitu PG (Payment Gateway), e-money, peer to peer lending, digital signature, dan know your client.

Akhirnya, inovasi finansial membuat teknologi berkembang. Dilihat dari latar belakangnya, teknologi ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDB. Akan tetapi, harus dilihat pengembangan kerjasama antar aktor ekonomi. Tujuan akhirnya yaitu untuk menyelesaikan permasalahan informasi yang asimetris dan biaya transaksi.

Menurut Mishkin (1999), teknologi finansial memberikan kemudahan terutama untuk menyelesaikan dua masalah utama yaitu informasi yang

Referensi Cerny, Philip G. 1994. “The Dynamics of Financial Globalization: Technology, Market Structure, and Policy Response”. Policy Sciences. Vol 27 No 5, pp.319-342 Beck, Thorsten, dll. 2016. “Financial innovation: The bright and the dark sides”. Journal of Banking and Finance. Vol 72, pp 28-51 Hirsch-Kreinsen, Hartmut. 2011. “Financial Market and Technological Innovation”. Industry and Innovation. Vol 18 No. 4, pp.351-368 Mishkin, Frederic S, Philip E. Strahan. 1999. “What will Technology do to Financial Structure?” NBER Working Paper Series

Tabel 1 Regresi Pertumbuhan Ekonomi Tahunan dengan Inovasi Finansial

Grafik 2 Hubungan Aktor Ekonomi dalam Perubahan Finansial

Grafik 3 Rasio Utang Swasta terhadap PDB yang membesar

Sisi Gelap Ekonomi Digital Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (KANOPI) Universitas Indonesia Pemanfaatan teknologi digital dalam ekonomi selama beberapa tahun terakhir terus menunjukkan perkembangan yang signifikan. Munculnya E-commerce, moda transportasi berbasis aplikasi online, hingga penggunaan Artificial Intelligence (AI) dan Big Data untuk analisis data menjadi bukti bahwa teknologi digital semakin krusial dalam perekonomian. Karena semakin maraknya penggunaan teknologi digital, beberapa ahli menggunakan istilah digital cconomy untuk kondisi tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa digital economy memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia.

Sebagai contoh, E-commerce berhasil menurunkan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan usaha. Akibatnya, banyak usaha-usaha baru yang bermunculan yang pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan. Akan tetapi, dibalik semua manfaatnya, banyak fakta yang menunjukkan potensi masalah dari digital economy dan tidak kita sadari.

Pertama adalah tidak meratanya aksesk ke teknologi digital. Contoh sederhana dari kasus ini adalah akses ke internet. Menurut data World Bank dalam Digital Dividend, pada tahun 2015 tercatat bahwa 40% pengguna internet telah mengakses internet, naik 3 kali lipat dari tahun 2005. Sekilas, kemajuan ini merupakan hal yang positif. Padahal, di sisi lain, fakta tersebut menunjukkan bahwa 60% penduduk dunia belum memiliki akses internet (diluar beberapa persen orang yang memiliki akses internet, namun sangat terbatas) Jika kita berbicara pada tahun 1990an, tiadanya akses internet mungkin bukan sebuah masalah. Namun, di era dimana kegiatan ekonomi banyak dilakukan melalui internet, tidak adanya akses internet tentu merupakan hal yang mengkhawatirkan. Jika pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan peningkatan akses ke internet, artinya pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Belum lagi ketiadaan internet akan menyulitkan manusia untuk memperoleh informasi secara cepat.

Masalah kedua adalah semakin tergantikannya manusia dalam proses

produksi. Industri manufaktur saat ini semakin menggunakan teknologi digital untuk menjalankan proses produksinya. Alasannya sederhana dan sangat masuk akal, yakni memeroleh efisiensi sekaligus meningkatkan presisi dalam proses produksi. Akan tetapi, bagi tenaga kerja hal ini sangat merugikan. Implikasi yang biasanya muncul adalah pemutusan hubungan kerja. Dalam jangka pendek, hal ini tidak terlalu bermasalah karena hanya akan memengaruhi daya beli. Namun, dalam jangka panjang permasalahnnya menjadi lebih kompleks karena produktivitas tenaga kerja akan menurun.

Akibatnya, daya saing tenaga kerja semakin rendah dan semakin terpinggirkan oleh teknologi yang lebih modern.

Ketiga adalah potensi munculnya economic bubble. Economic Bubble adalah kondisi dimana nilai sebuah barang/komoditas jauh lebih tinggi dibandingkan nilainya. Ditengah-tengah maraknya teknologi digital, saham-saham perusahaan teknologi menjadi primadona bagi investor. Akan tetapi, tingginya permintaan untuk saham tersebut tidak sesuai dengan nilai pasar yang ada. Sebagai gambaran, dengan aset yang sangat kecil, valuasi Uber mencapai lebih dari USD60 miliar.

Hal ini menunjukkan bahwa valuasi lebih berasal karena ekspektasi akan kinerja perusahaan di masa depan, bukan nilai aset yang dimiliki.

Padahal, jika ekspektasi tersebut tidak tercapai, valuasi Uber dapat mengalami penurunan secara drastis. Sebagian dari kita mungkin berpikir, “bukankah tidak masalah? Toh, yang punya saham uber ya miliarder juga�. Jawabannya dapat kita lihat dari krisis di tahun 2008. Pada tahun tersebut, terjadinya bubble burst di sektor perumahan, hanya di Amerika Serikat, memengaruhi perekonomian global sampai saat ini. Jika hal serupa pada produk yang telah tersebar di seluruh dunia, dampaknya tentu tidak akan “sekecil� dampak di tahun 2008. Belum lagi jika kita membicarakan masalah-masalah lainnya, seperti disruptive innovation atau kejahatan di dunia maya.

Oleh karena itu, pemerintah sebagai regulator perlu mengawasi fase digital economy di Indonesia. Dengan manfaat dan potensi yang dimilikinya, tentu tidak arif bagi pemerintah untuk menutup pintu bagi perkembangan teknologi digital. Namun, mengingat potensi masalah yang ditimbulkan,

Sharing Economy: Potensi dan Tantangan Himpunan Mahasiswa Ekonomi Studi Pembangunan (HIMA ESP) Universitas Padjadjaran Sharing economy atau disebut juga collaborative consumption adalah sebuah konsep bisnis yang memberikan akses terhadap sumber daya yang dimiliki perorangan atau perusahaan untuk dimanfaatkan ataupun dikonsumsi bersama dengan orang lain. Menurut Rachel Botsman, seorang ahli collaborative economy, ada tiga tipe sharing economy: 1. Product Service System Product Service System yaitu sharing economy yang memungkinkan sebuah bisnis atau perusahaan menawarkan barang sebagai sebuah layanan jasa kepada konsumen. Contoh : Go-jek, Grab Bike, Uber, dan lain sebagainya.

2. Redistribution Market Redistribution Market yaitu sharing economy yang menjelaskan bahwa barang yang telah dimiliki sebelumnya akan dipindahkan dari pihak yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya. Conto: olx.com, tokopedia.com, dan lain sebagainya.

3. Collaborative Lifestyle Collaborative Lifestyle yaitu sharing economy yang muncul dari kebutuhan atau kegemaran masing-masing individu yang sama untuk bergabung dan saling berbagi atau bertukar asset. Contoh: AirBnB, dan lain sebagainya Potensi Seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin banyaknya pengguna internet di tanah air menjadi potensi atau prospek yang bagus dalam kedepannya bagi perusahaan atau perorangan yang tergabung dalam sharing economy. Potensi sharing economy sendiri dilatarbelakangi dari berbagai manfaat yang didapatkan seperti melakukan efisiensi sumber daya dengan melakukan konsumsi secara bersama-sama, menurunkan dampak lingkungan karena konsumsi yang berlebihan, menghemat biaya dengan cara menyewa atau mengonsumsi barang bekas layak pakai, memberikan akses kepada orang-orang membutuhkan suatu barang namun belum mempunyai kemampuan untuk membeli barang tersebut, memberikan akses pelayanan barang atau jasa yang mudah dan cepat, mengurangi kemungkinan terjadinya

perbuatan monopoli dari perusahaan karena masyarakat bisa juga bisa meraup keuntungan, mengurangi kemiskinan karena masyarakat diberikan wadah yang lebih luas untuk berwirausaha, mengembangkan UMKM, serta menambah lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran.

Tantangan Sebuah contoh dampak yang muncul dari perubahan bidang bisnis ke sharing economy adalah penurunan jumlah penjualan bisnis konvensional.

Seperti kita tahu bahwa ada beberapa perusahaan asing yang telah hengkang dan angkat koper dari Indonesia. Seperti perusahaan otomotif Ford atau KIA yang sudah tak ada lagi di Indonesia. Ini tentu bukan perkara biasa. Pasalnya hengkangnya dua perusahaan ini bukan tidak ada sebab. Dan mengapa perusahaan ini kemudian tutup. Ternyata diketahui bahwa hal ini dikarenakan oleh adanya penurunan jumlah penjualan yang sangat berarti.

Penurunan daya beli masyarakat yang terjadi selama ini menurut banyak ahli diakibatkan karena adanya pelemahan ekonomi global. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata penurunan daya beli masyarakat ini lebih diakibatkan karena munculnya sebuah fenomena sharing economy.

Selain itu banyak kontroversi seputar para startup yang tergabung dalam sharing economy. Seperti yang terjadi di Perancis supir-supir taksi konvensional pada ngebakar Uber karena penghasilan mereka terancam akibat adanya Uber, hotel-hotel juga bilang pendapatan mereka menurun gara-gara ada AirBnB, bahkan di Indonesia terjadi demo kerusuhan taksi konvensional, dan gap antara ojek pangkalan dengan go-jek. Kasus tersebut dapat dijelaskan fenomena sharing economy menjadi tantangan bagi perusahaan konvensional yang belum beradaptasi dengan tren ekonomi digital yang telah merambah ke pekerjaan mereka.

Kerusuhan terjadi karena tidak adanya regulasi yang jelas dari pemerintah sebelumnya untuk bisnis yang tergabung dalam sharing economy. Pemerintah dinilai lamban dalam merumuskan regulasi ekonomi digital. Peraturan dibuat sebelum ada pelanggaran, bukan ada pelanggaran dan terjadi pertumpahan darah dulu baru kemudian dibuat peraturan.

Referensi Abidin, Zainal. “Transportasi Online Dan Tantangan Ekonomi Digital. http://www.dyazpa.com/p/transportasi-online-dan-tantangan.html. Diakses pada tanggal 14 September 2016 Adila, Raisa. 2015. “Nilai Transaksi E-Commerce Diproyeksi Tembus Rp258,56 Triliun”. http://economy.okezone.com/read/2015/02/27/320/1111539/nilai-transaksi-e-commercediproyeksi-tembus-rp258-56-triliun. Diakses pada tanggal 14 September 2016 Annisawati, Rakhmi. 2015. “Sharing Economy, Konsep Bisnis Berbagi Sebagai Jawaban Dari Kebutuhan Konsumen”. http://www.markplusinstitute.com/who_we_are/detail_article/8. Diakses pada tanggal 14 September 2016 http://www.alexa.com/topsites/countries;0/ID. Diakses pada tanggal 14 September 2016 http://www.datamaya.com/membaca-arah-internet-marketing-indonesia-di-2016/. Diakses pada tanggal 14 September 2016 https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4540/Pemerintah+Akan+Tingkat+Transaksi+ECommerce/0/berita_satker. Diakses pada tanggal 14 September 2016 https://www.maxmanroe.com/menilik-fenomena-sharing-economy-dalam-dunia-bisnis-sepertiapa-itu.html. Diakses pada tanggal 14 September 2016 Nabilah, Raisa . 2015. “Udah Waktunya Lo Ngerti Tentang Sharing Economy”. http://www.ziliun.com/articlesudah-waktunya-lo-ngerti-tentang-sharing-economy/. Diakses pada tanggal 14 September 2016

Resiko dan Potensi E-Commerce dalam Kaitannya dengan Penerimaan Pajak Negara Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (HIMA EP) Universitas Airlangga Penerapan Pajak dalam E-Commerce Hasil riset dari lembaga penelitian Perkumpulan Prakarsa menunjukkan potensi pajak yang bisa digali dari sektor e-commerce mencapai 10 Trilliun Rupiah di tahun 2015. Namun ketentuan, blueprint, dan roadmap mengenai perpajakan bagi e-commerce belum sepenuhnya rampung hingga awal tahun 2016 karena membutuhkan koordinasi yang intensif antara berbagai lembaga seperti BI, OJK, Kemenkeu, Menkominfo, Kementrian Perindustrian dan Perdagangan.

Berdasarkan surat edaran Dirjen Pajak No. SE-62/PJ/2013, klasifikasi transaksi dalam e-commerce mencakup 4 model yaitu: (1) online marketplace, kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa toko internet di mal internet sebagai tempat online marketplace merchant menjual barang dan/atau jasa; (2) online retail, kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh penyelenggara online retail kepada pembeli di situs online retail; (3) classified ads, kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara; dan (4) daily deals, kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs daily deals sebagai tempat daily deals merchant menjual barang dan/atau jasa kepada pembeli dengan menggunakan voucher sebagai sarana pembayaran. Surat ini memberikan penegasan tentang tax neutrality dalam e-commerce dengan transaksi barang dan/atau jasa lainnya. Beberapa poin yang penting untuk diketahui antara lain: (a) dari segi kehadiran fisik, telah tercantum jelas adanya penjelasan bahwa mencakup Barang Kena Pajak yang Berwujud maupun Tidak Berwujud; dan (b) dari segi tempat dan waktu terutangnya pajak, telah jelas disebutkan bahwa mencakup Barang Kena Pajak yang Berwujud maupun Tidak Berwujud, serta baik barang yang dapat dipungut melalui Dirjen Bea dan Cukai maupun yang dimanfaatkan dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean juga telah disebutkan akan terkena pajak.

Pada dasarnya, prinsip perpajakan yang digunakan untuk e-commerce masih sama dengan prinsip yang digunakan dalam bisnis perdagangan pada umumnya. Prinsip pengenaan pajak pada e-commerce banyak yang mengikuti prinsip tax neutrality di mana pajak yang dikenakan di e-commerce tidak berbeda dengan pajak yang dikenakan di perdagangan biasa, tetapi tidak menuutup kemungkinan ada beberapa negara yang menganut prinsip non-neutral (Cockfield, 2006).

Resiko E-Commerce Terhadap Penerimaan Pajak Goolsbee & Zittrain (1999) menemukan ketika pajak penjualan naik 1 persen, maka akan terjadi kenaikan 0.5 persen dalam probabilitas seseorang untuk membeli sesuatu melalui internet. Mengingat sistem pengenaan pajak belum begitu mengikat dalam kegiatan ekonomi online, maka terdapat kecenderungan pelaku ekonomi untuk beralih transaksi dari konvensional ke e-commerce. Selain praktis, barang dan jasa yang diperjualbelikan juga lebih murah, karena

sistem pengenaan pajak yang belum sempurna dalam dunia e-commerce. Hal ini berisiko mengurangi penerimaan pajak negara, terutama pada pos PPN dan PPh. Selain sistem pemungutan pajak e-commerce yang belum sempurna, ada pengurangan nilai objek kena pajak dalam sistem transaksi online. Terutama dalam kegiatan online marketplace. Bagi hasil yang terjadi antara online merchant dan online marketplace merchant, apabila transaksi terjadi lintas batas negara yang berbeda-beda, tentunya mengurangi pendapatan tax base bagi negara yang bersangkutan.

(Grafik 1) Berdasarkan data WDI di Indonesia untuk tahun 1994-2012, terdapat hubungan negatif antara jumlah pengguna internet, yang dalam hal ini sebagai proxy dari aktivitas e-commerce, dengan penerimaan pajak untuk barang dan jasa dalam persentase dari value added-nya. Meski koefisien korelasinya rendah, hubungan negatif ini setidaknya memberikan gambaran adanya gejala peningkatan e-commerce yang berdampak pada penurunan penerimaan pajak untuk barang dan jasa. Namun, perlu diadakan penelitian lebih lanjut apakah penurunan ini benar-benar disebabkan oleh peningkatan e-commerce atau faktor lain.

Pelaksanaan peraturan perpajakan e-commerce masih menuai hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada sisi penerapan pengenaan pajak, ketidakefektifan muncul dari kurang sempurnanya informasi tentang pengenaan pajak di e-commerce. Baik pihak pembeli maupun penjual yang kurang sepenuhnya memahami bahwa dalam aktivitas e-commerce menimbulkan pajak, berakibat pertumbuhan di e-commerce tidak berdampak positif terhadap pertumbuhan pajak secara keseluruhan, melainkan justru mengurangi penerimaan pajak (Bruce & Fox, 2000).

Dari Resiko ke Potensi Potensi penerimaan pajak dari e-commerce dapat dimaksimalkan dengan sistem pencatatan online pula. Seperti API Online yang disahkan sebagai Apllication Service Provider oleh Direktorat Jendral Pajak yang dapat diintegrasikan dengan bisnis e-commerce. Aplikasi ini menyediakan jasa pembuatan e-faktur, penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPN maupun PPh dalam satu aplikasi terpadu. Namun pemerintah perlu membarengi inovasinya dengan sosialisasi yang gencar, sanksi yang tegas, dan eksekusi yang profesional. Dalam praktiknya masih banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaporan dan pemungutan pajak. Selain sanksi pidana dan administratif (denda), pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan dengan pendekatan berbasis insentif. Misalnya mengurangi bahkan menggratiskan biaya pajak kepada pelaku usaha yang melaporkan SPT PPN dan PPh selama 5 tahun berturut-urut di tahun berikutnya. Mengingat populasi yang tinggi adalah salah satu potensi Indonesia, pemerintah dapat memberikan perhatian ekstra kepada pungutan pajak individu, serta bisnis UMKM yang merupakan 99,9% tenaga kerja dan 60,3% kontributor dari total GDP Indonesia.

Referensi Bruce, D., & Fox, W. F. (2000). E-Commerce in the Context of Declining State Sales Tax Bases. National Tax Journal, 1373-1388.

Cockfield, A. J. (2006). The Rise of OECD as Informal 'World Tax Organization' Through National Responses to E-Commerce Tax Challenge. Yale Journal of Law and Technology, 8(1). Retrieved from http://digitalcommons.law.yale.edu/yjolt/vol8/iss1/5 Goolsbee, A., & Zittrain, J. (1999). Evaluating the Costs and Benefits of Taxing Internet Commerce. National Tax Journal, 413-428.

Grafik 1. Plot Penerimaan Barang dan Jasa (Persentase dari Value Added) terhadap Jumlah Pengguna Internet per 100 Orang sebagai Proxy dari E-Commerce.

Tantangan Disparitas Pengguna Internet antara Kawasan Indonesia Bagian Barat dan Timur Guna Memaksimalkan Nilai Transaksi E-Commerce

Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HMJ IESP) Universitas Diponegoro Dengan jumlah penduduk Indonesia tahun ini yang berkisar antara 250-260

hubungan positif dengan nilai transaksi E-Commerce.

juta jiwa. Indonesia seharusnya memiliki jumlah pengguna internet yang sangat banyak. Menurut Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII),

Dengan potensi besar yang dimiliki E-Commerce. Terdapat tantangan

pada tahun 2014 dari 252,4 juta penduduk Indonesia, sebanyak 88,1 juta

besar yang harus kita hadapi bersama yakni, bagaimana mengembangkan

penduduk adalah pengguna Internet. Sedangkan menurut eMarketer.com,

E-Commerce di luar pulau Jawa. sebagai komponen utama E-Commers,

seperti yang dikutip di dalam Buku Putih Kementerian Kominfo, pada tahun

internet saja belum dapat dinikmati secara merata oleh penduduk di setiap

2014 jumlah pengguna Internet di Indonesia adalah sebanyak 83,7 juta orang.

pulau di Indonesia. Jumlah pengguna internet di indonesia bagian barat

Indonesia berada di peringkat 6 dari 25 negara pengguna Internet terbesar di

berbeda jauh dengan jumlah pengguna internet di bagian timur. Pengguna

dunia. Peringkat lima besar ditempati oleh negara China, USA, India, Brazil

Internet di Indonesia bagian barat mencapai 70,6 juta jiwa. Hampir 80% dari

dan Jepang.

pengguna internet di Indonesia. Rendahnya penggunaan internet di daerah indonesia bagian timur diakibatkan oleh karena kurangnya pembangunan

Dari sekitar 80 juta orang pengguna internet di indonesia menurut data

infrastruktur komunikasi dan jaringan penunjang konektivitas internet.

publikasi Kominfo pada tahun 2014 persentase penggunaan internet di

Akibatnya, biaya internet di wilayah bagian timur Indonesia menjadi mahal.

indonesia digunakan untuk membuka situs jejaring sosial, yaitu sebesar

Nilai transaksi E-commerce kita dapat menjadi lebih besar lagi jika kita dapat

29.9% dan aktivitas terbesar kedua adalah E-commerce sebesar 20.7%.

meningkatkan konektivitas jaringan internet kita di Indonesia bagian timur.

Tidak heran jumlah nilai transaksi E-Commerce di Indonesia mencapai $12

Meskipun Pemerintah telah mengeluarkan RPJMN tahun 2015-2019

milliar atau setara Rp156 trilliun dan pemerintah menargetkan pada tahun

dimana salah satu nya berkaitan dengan pembangunan konektivitas jaringan

2016 sebesar $20 milliar. Tidak heran pemerintah membuat roadmap

internet antar pulau dengan menggunakan sistem Palapa Ring. Palapa Ring

E-Commerce dan menargetkan pada 2020 nilai transaksi dari E-commerce

akan membangun serat optik diseluruh Indonesia dengan panjang 13.000

mencapai $ 130 milliar. Salah satu faktor pendukung dari nilai transaksi

kilometer, proyek ini harapanya dapat membantu menghubungkan Indonesia

E-Commerce adalah jumlah penggunaan smartphone di masyarakat, dengan

dari sabang sampai merauke dengan konesi internet yang stabil dan murah.

smartphone konsumen dapat dengan mudah memilih produk yang mereka

Proyek ini dibagi menjadi 3 jalur yakni jalur indonesia barat, tengah dan timur.

inginkan dimana saja dan kapan saja, meskipun belum ada studi yang

Akan tetapi, pembangunan jalur tersebut dimulai dari indonesia bagian barat,

menunjukan korelasi antara meningkatnya pemakaian smartphone dengan

padahal notabene koneksi internet di indonesia bagian barat sudah cukup

tingginya nilai transaksi E-Commerce, tetapi sekitar 62% masyarakat

baik untuk contoh koneksi internet di jakarta 7Mbps, sedangkan di Papua

menggunakan smartphones untuk mengakses internet. Dari nilai tersebut

hanya 300Kbps angka yang sangat timpang.

dapat kita ambil hipotesis bahwa pertumbuhan smartphone memiliki

Banyak jalan terbuka menuju tema seluas ekonomi digital; banyak dimensi, banyak perspektif, banyak perkembangan. Di diskusi pertama Economics Summit, delegasi dari lima universitas mengangkat tema tersebut untuk kajian bersama, dan muncul berbagai poin bahasan menarik dari ekonomi digital.

Pertama-tama, kita perlu ingat bahwa aturan tradeoff antara kapital dan tenaga kerja senantiasa berlaku. Perkembangan teknologi memang membawa kemudahan, baik untuk produsen dan konsumen. Tetapi kemudahan tersebut membuat tenaga kerja jadi usang, dan kita jadi perlu lebih sedikit manusia untuk menciptakan suatu barang ataupun jasa. Tak terelakkan, ia akan menghilangkan lapangan pekerjaan dan menciptakan pengangguran.

Tentu saja, teknologi juga membuka ruang baru untuk pekerja yang sebelumnya menganggur. Teknologi bukanlah anugerah surga yang turun dan berjalan dengan sendirinya: ia memerlukan manusia yang bisa menguasainya, mengembangkannya, dan merawatnya. Mereka yang punya keterampilan untuk melakukan itu akan lebih sejahtera di zaman baru, dan mereka yang tidak akan terlantar. Penciptaan dan penghancuran nafkah terjadi bersamaan dan berdampingan.

Demikianlah wujud nyata dari creative destruction yang menyakitkan tapi perlu, yang selalu menjadi dilema bagi setiap generasi di setiap pergantian zaman.

Sebuah dilema, karena dari sisi intelektual, kita mengerti kalau pengangguran adalah fakta yang tidak bisa dihapuskan; tetapi dari sisi nyata, kita juga mengerti kalau kehilangan pekerjaan adalah hal yang mengerikan. Seringkali kita mengingat yang pertama sambil melupakan yang terakhir, lalu dengan dingin membubarkan perkara ini sebagai penderitaan sementara.

Sesungguhnya, jika kita menerima bahwa pekerjaan harus hilang untuk perkemban-

KATA JOSHUA TENTANG DISKUSI gan ekonomi, kita juga layak bersimpati dengan keresahan dan kerusuhan yang mengikuti. Idealnya, kita tidak hanya menerima, tapi juga mengantisipasi.

Antisipasi inilah PR yang menuntut kreativitas kita, karena solusi yang paling gampang keluar dari mulut – misalnya, pelatihan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan – juga merupakan solusi yang paling susah diterapkan dalam kenyataan.

Untungnya, penggusuran ini belum tersebar luas di Indonesia, di mana bagian besar dari ekonomi digital berwujud bukan sebagai teknologi produksi, melainkan sebagai jasa elektronik yang mencocokkan pembeli dan penjual. Memang, persentase pengguna e-commerce masih sedikit; tetapi para pengguna itu sudah menikmati infrastruktur dan teknologi yang baik untuk standar negara berkembang. Lebih menariknya, banyak dari mereka telah memasuki ranah sharing economy tanpa menyadarinya.

Sharing economy, secara harafiah ekonomi berbagi, bekerja seperti namanya. Ini adalah ekonomi di mana seorang individu dapat mendapat untung dari berbagi dalam penggunaan aset. Contoh yang sederhana sekaligus familiar adalah GO-JEK, alias sumur abadi studi kasus bagi jutaan pelajar.

Memang, dia bisa dijelaskan dengan pendek kata sebagai “Ojek pakai app,�; tetapi di balik itu adalah proses di mana seorang pemilik aset (supir GO-JEK) mengizinkan individu lain (penumpang) untuk menggunakan asetnya (motor) sebagai ganti remunerasi (sekitar Rp 15.000 untuk tarif standar di Jogja).

Yang sekilas kita bubarkan sebagai tukang ojek semata, dilihat dari sudut pandang lain, kini menjadi pemilik aset yang bisa disewakan layaknya bumi dan bangunan. Yang dulunya orang kecil kini bisa disebut sebagai pemilik kapital: sesuatu yang secara tradisional hanya dimiliki oleh orang kaya dan ningrat. Ini adalah perubahan paradigma besar yang bisa merombak paham kapitalisme di Indonesia, bahkan membawa Indonesia lebih dekat menuju ekonomi kerakyatan -- demikianlah terbersit gagasan di diskusi kita.

Gagasan itu harus dicerna dengan hati-hati. Memang benar, desentralisasi kekuatan ekonomi akan membuat kita bergerak menuju sistem ekonomi yang merakyat. Tapi jika kita melakukan semua itu di satu landasan besar, berarti masih terjadi konsentrasi market power di satu pihak, dan itu membuka ruang untuk eksploitasi. Sebelum setiap individu bisa menawarkan asetnya sendiri secara independen, kita tidak akan mencapai bentuk sharing economy yang ideal.

Sharing economy sendiri bukanlah sebuah solusi sempurna, karena dia tidak memiliki satu fitur yang krusial untuk fungsi negara: perpajakan. Ini sudah jelas, karena ladang sharing economy adalah hasil garapan pengusaha; dan dari manapun dia dan di platform apapun dia berada, tidak ada pengusaha yang menyukai pajak. Secara alamiah, pajak tidak akan ada di sharing economy ataupun di ekonomi digital. Bahkan bisa dibilang, ekonomi digital berhasil menarik banyak pengusaha karena mereka bisa bebas dari pajak di sana.

Suram nasib pemerintahan jika bisnis hengkang ke dunia maya untuk menghindari pajak. Tak ayal, pajaklah yang harus mengejar dunia e-commerce, dan di sinilah muncul satu lagi tradeoff. Kita harus memilih antara menarik pajak dari transaksi e-commerce dan menjegal perkembangannya yang amat pesat, atau membiarkan e-commerce tumbuh subur sementara pemerintah tertinggal di belakang. Solusi yang ideal mudah digagas: implementasikan pajak secara bertahap supaya tidak membunuh pertumbuhan. Tetapi kesediaan para aktor ekonomi tidak semurah itu, jika melihat bagaimana mereka sungkan untuk membahas pajak di seminar-seminar tentang ekonomi digital.

Joshua Priasdika

Wakil Departemen Penelitian HIMIESPA FEB UGM

Sebelum kita memihak swasta dengan semangat kebebasan, perlu diingat bahwa ekonomi digital memerlukan andil pemerintah untuk bisa bekerja dengan baik. Saat ini, e-commerce dan segala bentuk transaksi online lainnya adalah lahan baru, di mana aturan hanya sedikit dan celah untuk penipuan ada di mana-mana. Seiring waktu, pencegahan memang akan dikembangkan oleh pihak swasta, entah dalam bentuk teknologi transaksi yang lebih canggih atau keamanan yang lebih sulit diretas. Tapi akhirnya, sanksi serius untuk penipuan -- dan untuk kejahatan apapun, sesungguhnya -hanya bisa diberikan oleh badan judikatif pemerintah. Walhasil, pihak swasta tidak bisa mengklaim bahwa mereka tidak memerlukan pemerintah, karena mereka memerlukan keamanan hukum dalam transaksi digital. Tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang mendasari proses jual-beli, baik pembeli dan penjual akan selalu dilanda keraguan di setiap transaksi, dan semuanya akan menjadi lebih mahal dan tidak efisien karena keraguan itu.

Ini pun dengan asumsi bahwa masyarakat Indonesia akan bisa melek teknologi dengan sendirinya, dan juga bahwa infrastruktur sudah cukup untuk memungkinkan ekonomi digital tumbuh dengan sendirinya. Kenyataannya, masih banyak hambatan menuju persebaran financial technology di Indonesia, mulai dari daya beli yang rendah untuk sebagian besar penduduk hingga faktor budaya yang membuat mereka enggan menggunakan teknologi modern. Malah ada yang menolak untuk berpartisipasi dalam penggunaan fintech sama sekali karena menganggap ada riba di dalamnya.Waktu akan menunjukkan apakah tuntutan swasta kepada para pekerja untuk menguasai teknologi dapat mendorong mereka untuk membawa perubahan ke kampung halaman masing-masing, atau apakah ia akan membagi masyarakat menjadi dua golongan yang dibedakan oleh keterampilan digital.

Masalah melek teknologi tidak cuma sampai di sana, dan hanya mengetahui operasi teknologi tidak cukup. Di arena yang penuh dengan tipuan dan jebakan seperti internet, semua yang ingin berbisnis harus punya sikap kritis untuk memisahkan informasi yang sampah dari yang berguna. Sekali lagi, ini tidak akan muncul dengan sendirinya. Diperlukan pendidikan yang bisa meraih rakyat di segala penjuru, dan di sinilah pemerintah bisa masuk dengan menyesuaikan kurikulum nasional.

Persyaratan satu lagi untuk kesuksesan ekonomi digital yang merata adalah infrastruktur yang merata, dan di sini juga pemerintah harus turun tangan. Mustahil jika kita sepenuhnya mengharapkan pihak swasta untuk menyediakan menara pemancar di daerah pelosok dan kabel optik yang membentang lautan. Terlebih lagi, jika kita menunggu pihak swasta, Indonesia bagian timur tidak akan mendapat perhatian. Entah karena kekurangan penawaran, atau permintaan, atau keduanya, infrastruktur komunikasi di Indonesia timur jauh ketinggalan dibandingkan Indonesia barat. Akan janggal jika kita berjalan memasuki era baru hanya dengan setengah badan, dan akan lebih masuk akal jika kita memberdayakan semua sumber daya manusia di yang kita miliki, entah itu di Jawa ataupun di Papua.

Secara keseluruhan, Indonesia sebenarnya belum siap betul untuk membuat transisi ke ekonomi digital. Masih banyak yang harus dibenahi, masih banyak waktu yang diperlukan untuk membenahi semuanya. Tapi siap atau tidak siap, ombak ekonomi digital akan menghantam Indonesia dengan segala baik dan buruknya.

Rilis Berita Bersama Economics Summit 2016 Try Luthfi Nugroho Ketua Panitia Economics Summit 2016

Sabtu, 17 September 2016 telah dilaksanakan penandatanganan nota kesepahaman oleh lima ketua umum himpunan mahasiswa ilmu ekonomi/ekonomi studi pembangunan di Auditorium MSI, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal ini merupakan salah satu hasil dari acara Economics Summit 2016. Economics Summit 2016 merupakan salah satu program kerja Departemen Eksternal Himiespa 2016/2017 yang bertujuan untuk menjalin kerjasama antar lima himpunan mahasiswa jurusan ilmu ekonomi/ekonomi studi pembangunan.

Kelima himpunan itu adalah Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (HIMIESPA), Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Universitas Indonesia (KANOPI UI), Himpunan Mahasiswa Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Padjadjaran (HIMA ESP UNPAD), Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga (HIMA EP UNAIR), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro (HMJ IESP UNDIP).

Acara ini berlangsung dari 16 - 17 September 2016 yang diawali dengan welcoming dinner pada hari Jumat, 16 September 2016 di Woodstock Cafe, Yogyakarta. Tujuan dari welcoming dinner ini adalah untuk mengenalkan dan mengakrabkan delegasi.

Alunan lagu akustik turut menemani makan malam dan membuat suasana menjadi lebih hangat. Berakhirnya welcoming dinner ini dilanjutkan dengan forum ketua umum himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) yang membahas outline nota kesepahaman.

Hari kedua dilanjutkan dengan dibukanya konferensi Economics Summit 2016 oleh Kepala Departemen Ilmu Ekonomi UGM, Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D. Dalam konferensi ini terdapat 3 sesi yang mana sesi tersebut dibagi menjadi sesi diskusi kajian

ekonomi, sesi diskusi keorganisasian, dan sesi penandatanganan nota kesepahaman atau MOU. Pada sesi diksusi kajian ekonomi, setiap perwakilan HMJ mempresentasikan kajian ekonomi dengan tema besar “Ekonomi Digital : Potensi, Tantangan, dan Risiko”.

Diskusi kajian ekonomi ini dipimpin oleh Densy Septiana Putri (Mahasiswa Ilmu Ekonomi 2013) sebagai moderator. Presentasi kajian ekonomi diawali oleh HIMA EP UNAIR yang membahas perpajakan pada e-commerce. Kemudian dibahas juga disparitas internet di Indonesia oleh HMJ IESP UNDIP, sharing economy : potensi dan tantangan oleh HIMA ESP UNPAD, teknologi finansial : urgensi dan tantangannya oleh HIMIESPA. Ingin terlihat berbeda dengan yang lain, KANOPI UI membahas dari sudut pandang yang berbeda yaitu dengan membahas the dark side of digital economy. Di waktu yang bersamaan juga berlangsung forum ketua umum HMJ yang dilaksanakan di Ruang Sekretariat HIMIESPA. Sesi berikutnya yaitu sesi diskusi keorganisasian yang dipimpin oleh masing-masing ketua HMJ. Tingginya antusiasme para delegasi membuat diskusi kondusif dan mengalir. Pada diskusi ini, setiap ketua HMJ akan mempresentasikan mengenai HMJ mulai dari struktur organisasi, visi misi, hingga program kerja. Berakhirnya diskusi keorganisasian ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman atau MoU sekaligus menutup konferensi Economics Summit 2016. . Di dalam nota kesepahaman tertulis output, keanggotaan, dan kegiatan tahunan Economics Summit.

Kegiatan tahunan dari Economics Summit berupa penulisan kajian ekonomi dengan tema topik-topik ekonomi terkini. Penulisan kajian ekonomi ini wajib dilakukan tiap tahunnya oleh kelima HMJ tersebut. Kemudian kajian dari masing-masing HMJ akan digabungkan dan dipublikasikan ke masyarakat umum dalam bentuk PDF. “Economics Summit ini bukan untuk menandingi IMEPI kok, kami hanya ingin output yang dihasilkan nanti lebih jelas dari tujuan hingga manfaatnya.” ujar Ketua Umum HIMIESPA, Alexander Michael. Pernyataan ini juga didukung oleh seluruh peserta dan delegasi pada saat konferensi Economics Summit 2016. Selain itu, Economics Summit masih merupakan forum tertutup selama 3 tahun yang hanya dihadiri oleh 5 HMJ pendiri. Nantinya forum ini akan terbuka untuk HMJ lain namun masih bersifat pasif atau masih sebatas observer saja. Untuk menjadi anggota aktif, HMJ diwajibkan untuk mengikuti forum ini selama 3 tahun atau 3 kali berturut-turut.

Tidak berhenti disitu, agenda selanjutnya yaitu side event yang diisi dengan tour Museum Ullen Sentalu dan makan malam di Rumah Makan Pondok Laras. Museum Ullen Sentalu terletak di kaki Gunung Merapi dan para delegasi diajak untuk menikmati keindahan alam. Di museum ini diceritakan mengenai sejarah dinasti Mataram dan para delegasi juga diberi kesempatan untuk melihat koleksi batik Yogyakarta dan Surakarta.

Setelah selesai menikmati suasana Museum Ullen Sentalu, para delegasi menikmati makan malam di Rumah Makan Pondok Laras. Sebelum menikmati makan malam, para delegasi dibagi menjadi beberapa kelompok. Pembagian kelompok ini untuk games dengan tujuan mempererat hubungan para delegasi. Setelah itu dilanjutkan dengan acara makan malam bersama.

Berakhirnya Economics Summit 2016 ditutup dengan acara ramah tamah, pemberian plakat, dan undian siapa tuan rumah Economics Summit 2017. Tuan rumah selanjutnya ialah HIMA EP UNAIR yang artinya Economics Summit 2017 akan dilaksanakan di Surabaya.

GALERI

Economics Summit 2016

LAMPIRAN NOTA KESEPAHAMAN

Penjelasan Khusus Mengenai Nota Kesepahaman (MOU) Economics Summit

Pasal 1 Economics Summit (ES) diharapkan bisa menjadi wadah pertemuan formal tahunan terutama himpunan Ilmu Ekonomi. Berbeda dengan susunan organisasi yang kaku, ES lebih ditujukkan untuk bersifat fleksibel. Sehingga, tidak bisa mencampuri urusan internal masing-masing himpunan.

Pasal 2 Setiap tahunnya, akan diagendakan rapat tahunan di salah satu universitas. Di dalam acara tersebut, akan diadakan dua pembicaraan yaitu diskusi ekonomi dan diskusi organisasi.

Pasal 3 Sudah jelas sesuai dengan yang tertera di nota kesepahaman.

Pasal 4 Diskusi ekonomi akan diawali dengan pengumpulan kajian terbaik setiap universitas.

Kajian tersebut dikumpulkan ke tuan rumah penyelenggara. Tiap universitas bebas menulis kajiannya sesuai tema besar ekonomi (ekonomi industri, atau ekonomi moneter, atau lain-lain).

Pasal 5 Sudah jelas sesuai dengan yang tertera di nota kesepahaman.

Pasal 6 Acara tahunan wajib diadakan setiap tahun, dengan dihadiri Ketua Himpunan atau orang yang diberikan wewenang lebih tinggi.

Pasal 7 Lima universitas inisiator memiliki hak berdiskusi ekonomi dan organisasi, hak suara sebanyak satu ketika memvoting keputusan, maupun hak menolak hasil kesepakatan forum. Forum memiliki model kepemimpinan kolektif, sehingga tidak ada yang lebih tinggi.

Tuan Rumah forum akan diganti setiap tahunnya, sehingga himpunan yang tergabung bisa merasakan kesempatan yang sama untuk menjadi tuan rumah. Tuan rumah ditentukan dengan cara pengundian.

Pasal 8 Sudah jelas sesuai dengan yang tertera di nota kesepahaman.

Pasal 9 Setiap pertemuan formal tahunan, bisa digunakan untuk membuat nota kerjasama maupun nota kesepahaman baru, tentunya dengan tema-tema yang lebih spesifik.

Selain itu, nota kesepahaman dengan tema spesifik bisa ditolak sekurang-kurangnya 15 hari setelah hari terakhir Economics Summit.

Pasal 10 Sudah jelas sesuai dengan yang tertera di nota kesepahaman.

Pasal 11 Terdapat tiga jenis keanggotaan dalam Economics Summit: Inisiator terdiri dari lima universitas, dan berkekuatan selamanya. Terdapat hak untuk berdiskusi, voting, menolak hasil kesepakatan, dan tuan rumah pelaksanaan.

Anggota aktif didapatkan setelah mengikuti Economics Summit tiga kali berturut-turut tanpa jeda. Jika terdapat jeda, maka akan menjadi anggota pasif. Terdapat hak untuk berdiskusi, dan tuan rumah pelaksanaan.

Anggota pasif merupakan tahap awal dalam keanggotaan economics summit. Anggota pasif memiliki hak untuk berdiskusi. Anggota pasif dapat mendaftarkan diri pada tuan rumah berikutnya maupun inisiator Economics Summit.

Pasal 12 Sudah jelas sesuai dengan yang tertera di nota kesepahaman.

Penjelasan khusus ini dibuat oleh inisiator FEB UGM sesuai dengan rapat maupun diskusi sebelum dan saat Economics Summit.

EC ONOMIC S

SUMMIT

2016