i PortfolioWriting — Hanifah Sausan N. — Portofolio ini memuat artikel pilihan karya Hanifah Sausan N. (2017-2020) Disusun untuk Mojok (2020)
Mulai serius menulis setelah digembleng tugas-tugas esei soshum selama mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang. Pascakepulangan mulai bekerja sebagai asisten publikasi arsitektur di kampus sembari terus menulis sebagai sarana berekspresi. Beberapa bulan terakhir mulai pindah media bercerita ke akun Instagram pribadi. Kesenangan pada desain dimanfaatkan untuk mengemas konten agar menjadi lebih menarik untuk dibaca.
Di masa kanak-kanak suka sok-sokan menulis cerita & novel yang tidak pernah selesai. Sebagai remaja yang pendiam, lebih suka untuk berekspresi lewat blog pribadi. Jatuh cinta dengan arsitektur sejak SMP dan berhasil masuk kampus arsitektur di Yogyakarta, tetapi justru merasa kurang cocok dan mencari penghiburan dari membuat ulasan film, drama, dan buku.
Hanifah Sausan N. Magelang, 2 Mei 1996

1 Daftar Isi Hiburan & Gaya Hidup Sosial HumanioraArsitektur 58442
2
Hiburan & Gaya Hidup
3 (2018)(2018)(2020)(2020)(2020)(2018)(2020)Pengakuan Kalah Kader Polisi Bahasa kepada Tukang Parkir Bahasa Ulasan Buku - Krisis & Paradoks Film Indonesia (2010) Ulasan Film - Aruna & Lidahnya (2018) Round-Up - 5 Karakter dengan Autisme dalam Film/Drama Korea (2010-an) 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste Mengicip Rasa Online Shaming: Socialphobia (2015) & Listen to Love (2016) Ulasan Drama - Prison Playbook (2017) 383024181284
Sebagai seorang kader polisi bahasa, saya selalu punya dorongan untuk mengoreksi kesalahankesalahan dalam berbahasa agar sesuai dengan KBBI dan PUEBI. Persoalan tata bahasa, penggunaan kata baku, huruf kapital, titik-koma, hingga yang paling klasik seperti penggunaan “di” yang disambung dan dipisah sering membuat diri ini gatel pengen ngelekke Namun, beberapa tahun terakhir ini saya tersadar bahwa diri ini tidak lebih dari sekadar rakyat jelata (T^T) alias masih kurang ilmu dan banyak salah. Akhirnya, saya lebih banyak diam. Parahnya, saya sendiri malah jadi ikutan takut menulis, bahkan untuk diri sendiri. Waduh.
di awal saya tidak tahu bahwa keputusan untuk menjawab masalah saya dengan buku ini merupakan sebuah kesalahan sejak dalam niatan.
4
Pengakuan Kalah Kader (BahasaTukangBahasaPolisikepadaParkir unreleased) Refleksi dan Ulasan Buku “Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira” (2019) & Gaya Hidup
Hiburan
Dengan niat mengembalikan kepercayaan diri dan menaikkan kasta, saya pun berikhtiar untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan teoritis terkait ejaan dan tata bahasa. Salah satunya lewat buku yang akan kita ulas ini, “Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira” karangan Iqbal Aji Sayangnya,Daryono.
5 Judul: Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira Penulis: Iqbal Aji Darsono Tahun terbit: 2019 Penerbit: Diva Press Jumlah halaman: 296 halaman Mas Iqbal (yang belakang baru saya ketahui adalah esais jenaka yang cukup kondang) dalam sebuah artikel di Mojok menjelaskan mengenai keberadaan polisi bahasa dan dua tukang rese bahasa lainnya: hansip bahasa dan tukang parkir bahasa. Jika polisi bahasa menegakkan bahasa agar sesuai rezim Badan Bahasa, hansip bahasa menjadi penengah antara standar bahasa aparat dengan bahasa masyarakat, sedangkan tukang parkir bahasa berada di ujung lain dari keberpihakan ini. Mas Iqbal sendiri menggolongkan dirinya di kategori terakhir. Waduh. Kader polisi bahasa kok ketemu sama tukang parkir bahasa? Yo berantem to yo, Say Eh, tapi bukan berantem jambak-jambakan sama Mas Iqbal atau malah tweet war, lho ya. Pikiran sayalah yang berantem dengan buku beliau ini. Niat hati belajar teori tata bahasa dan ejaan dengan santai, dapatnya malah yang terlalu santai. Buku ini berisi artikel-artikel pendek yang membahas permasalahan berbahasa sehari-hari yang sudah banyak saya ketahui. Topiknya pun disusun secara acak tanpa kategorisasi. Padahal, struktur yang lebih rapi bisa membantu saya memahami poin-poin gagasan Mas Iqbal yang amat beragam. Buku ini juga masih mengandung kesalahan-kesalahan ketik dan ejaan, yang mana sangat menyebalkan untuk sebuah buku yang membahas kebahasaan.
Pokoknya ia jelas bukan buku yang saya cari, lah

Sebagai contoh, dalam model kalimat yang sering kita dengar, “Guru mengajarkan kita sopan santun,” kita bisa dengan yakin menjawab ‘guru’ ketika ditanya siapa yang mengajar. Namun, ketika ditanya ‘siapa yang diajari?’ dan ‘apa yang diajarkan?’, kita mulai melihat kerancuan dalam kalimat tersebut.
6 Saya pun jengkel dan bingung dengan ketidakseriusan buku ini. Saking kesalnya, saya sampai berkata dalam hati, “Ya ampun, apa coba signifikansi keberadaan buku ini?” (sok-sokan banget, padahal baca buku kebahasaan yang lain saja belum pernah).
Haduuuh, begini ini, sok-sokan ingin jadi polisi bahasa?
Namun, ketika saya mencoba meneliti kembali buku ini dari sinopsis dan kata pengantarnya, saya malah jadi malu sendiri. Ternyata, sebagian besar hal yang saya permasalahkan sudah dipaparkan sendiri oleh penulis: bagaimana buku ini memang tidak berangkat dari kaidah kebahasaan dan naskah tidak disunting oleh editor untuk menjaga gaya penulisan asli Mas Iqbal. Saya lihat lagi buku ini dan ia seakan tersenyum jahil sambil berkata, “Siapa suruh bacanya gak teliti? Tuh, kan, mangkele digawe-gawe dhewe.” Wahh, emosiku mendidih, tetapi saya cuma bisa diam. Iya iyaaa, aku yang salahhh. Dalam sebuah talk show, Mas Iqbal sendiri menyampaikan harapan agar bukunya tidak disusun berdampingan dengan buku-buku bahasa serius lainnya di toko buku. Bahkan, Pak Edi, pemilik Diva Press yang menerbitkan buku ini berkata dengan mulutnya sendiri, “Buku ini tu gak penting!” Asem Di titik ini, saya cuma bisa cengengesan gak jelas. Mencari keseriusan dalam buku yang sejak awal dibuat untuk tidak diseriusin ini seperti mencoba membeli semen di toko roti, yo ra mungkin ketemu! Nah, ketika saya mulai bisa menerima “kekalahan” tersebut, saya pun juga mulai melihat dengan lebih jernih hal-hal penting dalam buku ini yang tadinya terbayangi oleh kekesalan saya. Hakikat bahasa adalah kesepakatan komunikasi dalam sebuah komunitas yang terbatas oleh wilayah dan waktu tertentu. Menurut Mas Iqbal, selama suatu kata atau ungkapan dipahami maknanya oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi, maka ia dianggap benar. Hal ini berbeda dengan persoalan baku dan tidak baku. Oleh karena itu, slogan Badan Bahasa yang berbunyi “Berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” menjadi kurang tepat ketika ia hanya difokuskan pada ejaan dan kebakuan bahasa.
Namun, sebelum beranjak ke persoalan kaidah, Mas Iqbal menyarakan pembaca untuk lebih memperhatikan logika dalam berbahasa. Saran ini didasarkan pada banyaknya kegagalan nalar berbahasa yang beliau temukan di sekililingnya.
Contoh di atas dan banyak contoh logika berbahasa lain yang dipaparkan Mas Iqbal dalam buku ini diamdiam berhasil membuat saya lebih melek terhadap persoalan logika ini, terbukti dari banyaknya kerancuan makna yang saya temukan ketika menyunting naskah-naskah yang saya tulis sebelum membaca buku ini.
Poin terakhir yang tidak kalah penting dari buku ini adalah berbahasa Indonesia dengan gembira. Maksudnya, dalam perannya sebagai media komunikasi, bahasa juga merupakan media untuk mengekspresikan rasa. Mas Iqbal ingin mengajak pembacanya untuk menikmati keindahan berbahasa dengan majas, gurauan, dan ekspresi-ekspresi lain yang membuatnya lebih menyenangkan. Hal tersebut beliau contohkan langsung lewat tulisan-tulisannya di buku ini yang sukses membuat saya cengengesan sendiri. Saya lupa bahwa lewat tulisan, saya tidak hanya bisa memberikan informasi yang bermanfaat, tetapi juga bisa membuat orang lain bahagia. Saya tidak menyangka sih, bakal butuh waktu lima bulan sejak selesai membaca buku ini untuk akhirnya mampu mengakui kekurangan diri, berdamai dengan hal itu, dan menerima pelajaran baru.
7 Namun, menurut Mas Iqbal, kekurangan seperti ini memang biasa ditemukan pada kalangan polisi bahasa lantaran mereka lebih fokus pada kebakuan kata dan ketepatan ejaan, sementara keterampilan menempatkan kata dalam konteks kalimat tidak cukup terasah.
Tiap orang memang memiliki perspektifnya masingmasing. Ada hal-hal yang hanya diketahui seorang polisi bahasa, tetapi ada juga hal-hal yang hanya diketahui seorang tukang parkir bahasa, juga hansip bahasa. Namun, perbedaan perspektif dan peran ada bukan untuk saling adu atau merendahkan, melainkan untuk saling melengkapi. uWuuuu, berpelukaaaaan~
Buku ini juga menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam berbahasa. Kembali kepada hakikat bahasa yang merupakan kesepakatan komunikasi, berbahasa sesuai konteks menjadi sangat penting. Seseorang perlu memperhatikan di mana ia berada dan siapa yang berada di sekelilingnya sehingga mampu menjalin komunikasi pada level yang setara. Pemilihan topik/kata/ungkapan yang tidak dipahami audiens justru akan menimbulkan kegagalan komunikasi di antara keduanya.
Poin ini menjadi penginat bagi saya yang sejak pulang dari program pertukaran pelajar jadi lebih sering menggunakan bahasa Inggris atau mencampurnya dengan bahasa Indonesia. Dalam perspektif saya, ada hal-hal yang lebih mudah dijelaskan menggunakan Bahasa Inggris. Terlebih, lidah ini sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut selama hampir setahun lamanya. Fenomena komunikasi ala anak Jaksel pun muncul secara natural tanpa ada niatan menyombongkan diri atau yang lainnya. Ketika saya mulai sering berkomunikasi secara tekstual lewat Instagramstory, saya baru tersadar bahwa meskipun saya mendapat banyak teman asing baru, saya mengesampingkan fakta bahwa viewers saya lebih banyak yang berbahasa Indonesia daripada yang berbahasa Inggris. Konten yang sebenarnya bisa dinikmati banyak orang akhirnya hanya jadi angin lalu lantaran audiens sudah lebih dulu merasa berjarak dengannya.
Membaca buku ini seperti merasa kesal kepada tukang parkir yang baru nongol ketika kita mau cabut, tetapi ternyata beliau telah menyelamatkan kunci motor kita yang masih menggantung di stop kontak. Kalau saya tidak ketemu buku ini sebelum saya belajar lebih lanjut mengenai kaidah berbahasa, mungkin saya akan kehilangan esensi-esensi penting dalam berkomunikasi dan akhirnya menjadi polisi bahasa yang sombong dan egois.
8 Judul: “Krisis dan Paradoks Film Indonesia” Penulis: Garin Nugroho & Dyna Herlina S. Genre: Nonfiksi, film Editor: Zaki Habibi Desain sampul: Wiko Haripahargio Jumlah halaman: 352 halaman Tahun terbit: 2015 Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta Krisis & Paradoks Film a(Blog(2010)IndonesiaPribadi)Blue-Think:journeytodiscoveries UlasanMarethttps://blue-think.blogspot.com/2018Buku Hiburan & Gaya Hidup Dari semua ulasan buku yang pernah saya tulis, artikel ini menjadi salah satu yang bisa saya banggakan. Ulasan ini secara ringkas mampu memaparkan garis besar isi buku, kelebihan dan kekurangannya, sekaligus refleksi pembaca dalam satu jalinan narasi.

Pertemuan saya dengan buku ini terjadi di sebuah event cuci gudang Kompas Yogyakarta bulan Februari lalu. Meski sempat ragu karena buku ini diobral dengan harga yang sangat murah (Rp10.000,00), nama Garin Nugroho yang terkenal sebagai kritikus dan pelaku film nasional serta rasa penasaran terhadap perjalanan film Indonesia mendorong saya membawa buku ini pulang
Sampai di titik ini, saya merasa hidup di zaman penjajahan nampaknya tidak buruk-buruk amat. Di tengah-tengah kegiatan sebagai aktivis kemerdekaan misalnya, sepertinya saya masih bisa nonton film dan “fangirling” satu atau dua aktor kenamaan kala itu.
Dijelaskan oleh Garin dan Dyna, kini industri film Indonesia bergerak mandiri tanpa peran pemerintah. Lebih karena pemerintah sudah tidak mampu mengatur lagi sepertinya. Berbagai macam paham, kultur, dan informasi dapat diakses dengan sangat mudah dan arusnya hampir tidak bisa dibendung. Produksi film menjadi sangat bebas dan sangat progresif. Namun, mengingat kekuatan pengaruh film yang begitu kuat terhadap penontonnya, kini setiap pekerja filmlah yang harus mengontrol dirinya sendiri.
Kelestarian budaya dan perkembangan wawasan nasional masyarakat Indonesia di masa mendatang sedikit banyak ada di tangan produsen film.
9
Membaca buku ini tak ubahnya membaca ringkasan sejarah Indonesia. Garin dan Dyna mencoba menunjukkan bagaimana kekuasaan politik, pertukaran budaya, dan kemajuan teknologi mempengaruhi produk sinema di Indonesia. Saya yang selama ini mengandalalkan pengetahuan sejarah bangsa dari penuturan guru dan buku paket selama SD hingga SMA menjadi lebih paham soal konteks sejarah setelah membaca buku ini. Dengan menggunakan pendekatan film dan budaya, rangkaian peristiwa sejarah di otak saya yang tadinya hanya berupa nama dan tanggal, perlahan mulai terajut membentuk rangkaian cerita yang lebih utuh. Mengetahui bagaimana film berkembang selama masa penjajahan dan pascakemerdekaan, saya jadi punya perspektif baru dalam memandang kehidupan di masa itu. Penjajahan tak melulu persoalan eksploitasi sebagaimana pemerintah Hindia Belanda jugalah yang membangun sarana prasarana dan menghadirkan film ke Indonesia sebagai hiburan bagi masyarakat pribumi (meski kontennya dikontrol dan disensor sedemikian rupa untuk membentuk persepsi penonton terhadap pemerintah). Fenomena inilah yang kemudian disematkan Garin dan Dyna dalam judul buku ini, “paradoks”.
Fenomena kontrol film melalui sensor terus berlangsung dan terasa sangat signifikan pengaruhnya hingga masa orde baru. Tujuannya sama-sama untuk membentuk persepsi penonton terhadap pemerintah. Di sini terlihat begitu kuatnya pengaruh film terhadap masyarakat hingga pemerintah bertindak sangat ketat terhadap setiap film yang dibuat kala itu, bahkan hingga membatasi asosiasi-asosiasi pekerja film yang boleh berdiri. Selain menjadi cerminan budaya, film juga menjadi media propaganda yang memenangkan mereka yang punya kuasa. Setidaknya begitulah sebelum arus globalisasi semakin lancar masuk ke Indonesia.
Menganalisis film dengan cara seperti ini membuat film terasa sangat dekat dengan diri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan Garin saat menulis buku ini.
10 Apa yang saya sampaikan sejauh ini hanya garis besar buku ini. Di luar itu, banyak sekali detail-detail di buku ini yang merubah persepsi, atau mungkin menjelaskan beberapa hal dalam hidup saya. Misalnya, saya ingat betul poster-poster film bertema seks yang saya lihat setiap hari saat berangkat sekolah semasa SD (2002-2008) yang dipasang di fasad bioskop Magelang Tidar, bioskop yang kursi penontonnya bolong-bolong, apek, dan bau clurut. Setelah membaca bab “Krisis di Tengah Globalisasi (1985-1998)”, saya baru paham bahwa apa yang saya lihat beberapa belas tahun lalu adalah sisasisa efek masuknya filmnya barat dalam jumlah sangat besar yang menggeser film nasional dan merugikan bioskop-bioskop lokal yang tidak mampu membayar sewa rol film barat tersebut. Akhirnya, bioskop-bioskop lokal macam Magelang Tidar ini mengandalkan film bertema seks yang diproduksi secara serampangan dengan harga murah untuk menyambung hidupnya. Alhamdulillah, di tengah situsi pahit itu, saya masih punya kenangan indah menonton “Laskar Pelangi” di bioskop ini, sebelum akhirnya Magelang Tidar tutup juga di tahun 2011.
Ia mulai lebih subjektif ketika pembahasan mulai masuk era orde baru, era di mana Garin tumbuh.
Ia menuturkan beberapa fenomena industri film yang ia alami semasa kecil, tampaknya sangat membekas hingga samar-samar ia tuangkan pengalaman tersebut dalam film “Aach… Aku Jatuh Cinta” (2016). Semakin ke belakang, objektifitas kepenulisan semakin mengabur seiring Garin masuk lebih dalam di industri film dan menjadi pelaku film itu sendiri. Paradoks yang begitu kuat di awal juga turut mengabur. Dyna yang juga dalam posisi serupa tampaknya belum bisa menyelematkan tiga bab terakhir buku ini. Selain kaburnya objektivitas, buku ini juga memiliki kekurangan dalam hal sistematika penulisan. Kedua penulis belum konsisten dengan pembagian bahasan kronologis yang mereka buat sendiri. Beberapa penjelasan melompat dari batasan era dan beberapa topik dijelaskan berulang-ulang dengan informasi yang tidak jauh berbeda. Membaca buku ini, kalau tidak benar-benar ingin tahu, mungkin tidak akan pernah selesai karena terganggu dengan dua hal tersebut. Alhamdulillah, saya menyempatkan membaca kata pengantar dari Garin dan Dyna sebelum saya menulis ulasan ini. Di situ mereka mengakui kekurangan-kekurangan tersebut dan karena itu, mereka bahkan sempat mengurungkan diri untuk menerbitkan buku ini. Namun, di tengah minimnya akses informasi tentang sinema dalam negeri, usaha mereka ini sangat patut diapresiasi. Seperti niatan Garin dan Dyna saat menulis buku ini: “Sekecil apa pun andil dari penulisan ini akan memperkaya khazanah dan perspektif dalam melihat perjalanan film Indonesia serta menjadi ruang dialog baru terkait film Indonesia.”
11
12Aruna & Lidahnya (2018) Viewfinder Instastory @hanifahsausann Juni HarusUlasan2020Filmdiakui,platform blog sebagai media ekspresi personal kalah laku dibanding media sosial kekinian yang info-info singkatnya lebih mudah dicerna. Merespons hal itu, saya mencoba membagikan tulisan melalui fitur Instagram Story di akun pribadi saya sembari melatih diri menulis ringkas. Viewfinder merupakan rubrik pertama saya yang membahas tentang film, drama, buku, dan produk hiburan lainnya. Rubrik ini memulai debutnya lewat ulasan film Aruna & Lidahnya Hiburan & Gaya Hidup

13


14


15


16


17


Gaya
Agustus 2020 Sangat disayangkan, kecepatan menulis saya tidak selalu bisa menyamai kecepatan menonton film atau drama. Pertentangan antara banyaknya karya untuk dibahas dan terbatasnya kapasitas menulis memotivasi saya untuk mencoba jenis artikel round-up. Bertepatan dengan rampungnya drama It’s Okay to Not Be Okay yang salah satu karakternya memiliki autisme, muncul ide untuk membahas film/drama Korea lainnya dengan karakter serupa. Melalui artikel ini saya banyak belajar mengenai autisme dan pola komunikasi mereka yang unik. Wawancara dengan teman yang memiliki saudara autis membantu saya menilai bagaimana media menggambarkannya.
(2010-an)Film/DramadalamKorea
185
Instastory @hanifahsausann
Round-Up Hiburan & Hidup Viewfinder
Karakter dengan Autisme

19


20


21


22


Fakta Perubahan Karakter
Referensi Viu: viu.com Netflix: netflix.com Asianwiki: Choi,MyDramaList:asianwiki.comhttps://mydramalist.com/S.-H.(Director).(2018).Keystothe Heart [MotionDjabarov,Picture].A.(2019, September 2). KOFFIA 2019 Review: Innocent Witness. Diambil dari Filmed in Ether: innocent-witness-review-koffia-2019/https://www.filmedinether.com/reviews/
23
Tae di ‘It’s Okay to Not
Fadhilah, H. N. (2020, Agustus 3). 10 Sang Be Okay’. Diambil dari IDN Times: https://kdramakisses.com/2017/02/25/good-Dramac1c2/10fadhilah/karakter-sangtae-its-okay-to-not-be-okay-idntimes.com/hype/entertainment/hanny-nur-https://www.Kay.(2017,Februari25).GoodDoctorKoreanReview.DiambildariKdramaKisses: the%20pediatric%20department.Doctor%20is%20about%20a,workers%20in%20doctor-korean-drama-review/#:~:text=Good%20
Ki, M.-S., & Kim, J.-W. (Directors). (2013). Good Doctor [Motion Picture]. Lee, E. (2020, Agustus 11). K-drama review: It’s Okay to Not Be Okay – Kim Soo-hyun, Seo Ye-ji find love despite traumas in Netflix’s fairy tale romance. Diambil dari South China Morning Winnower.inattitudes[MotionsyndromeWikipedia:https://researchautism.org/ten-things-autism-isnt/DiambilOkay[Motionokay-kim-soo-hyun-seo-ye-jiarticle/3096950/k-drama-review-its-okay-not-be-https://www.scmp.com/lifestyle/entertainment/Post:Lee,H.(Director).(2019).InnocentWitnessPicture].Park,S.-W.(Director).(2020).It’sOkaytoNotBe[MotionPicture].Rhi.(2019,April24).TenThingsAutismIsn’t.dariOrganizationforAutismResearch:Wikipedia.(n.d.).Savantsyndrome.Diambildarihttps://en.wikipedia.org/wiki/Savant_Yook,S.-H.(Director).(2019).InseparableBrosPicture].Yoon,J.Y.(2015).SocioculturalbeliefsandinAutismandtheeffectsonfamiliesSouthKorea.TheWinnower.DiambildariThe
243 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero TheWasteEarthJournal Instastory September@hanifahsausann2020 Refleksi Hiburan & Gaya Hidup The Earth Journal adalah rubrik kedua di akun Instagram saya setelah Viewfinder yang fokus membahas tema lingkungan. Tulisan pertama di rubrik ini dibuat untuk memperingati tiga tahun perjalanan mencoba gaya hidup zero waste dan mendapat sambutan yang sangat baik. Nampaknya, gaya penulisannya yang personal meningkatkan engagement pembaca.

25


26


27


28


29


Novemberhttps://blue-think.blogspot.com/2018
30 Internet, sistem komputer yang pertama kali dibuat tahun 1969 ini kini berkembang sangat pesat. Berbagai macam inovasi di dalamnya terus diciptakan untuk mempermudah komunikasi dan seakan mempersempit jarak antarindividu di seluruh penjuru dunia. Berkat internet, “dunia” manusia mengalami ekstensi mewujudkan ruang lain yang kita sebut “dunia maya” dan di dalamnya banyak fenomena baru terjadi. Salah satunya online Onlineshamingshaming adalah bentuk “pengadilan” internet di mana targetnya dipermalukan secara publik menggunakan sarana seperti media sosial. Peserta shaming melihat ini sebagai kesempatan untuk “meluruskan” para pengguna internet yang dianggap bertentangan dengan nilai yang ada dalam komunitas terkait. Dilihat dari definisinya, fenomena ini sesungguhnya merupakan salah satu bentuk kontrol sosial yang ada baiknya pula bila dijalankan dengan penuh pertimbangan. But, what happen when it goes too far? Beberapa kasus penting terkait online shaming tercatat ada sejak tahun 2000-an, masa di mana media sosial mulai booming. Mengutip pernyataan Jon Ronson, “it was the time when the voiceless was finally given a voice”. Setiap orang dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan punya kesempatan yang sama untuk menyampaikan Dampakpendapatnya.online shaming terhadap korbannya sangatlah signifikan karena pengaruhnya tidak berhenti di dunia maya saja, tetapi juga di dunia nyata, misal dikucilkan oleh lingkungan sekitar atau diberhentikan dari pekerjaan.
Hiburan Gaya Hidup Artikel ini dirilis sebagai respons terhadap fenomena online shaming yang muncul pascapemberitaan kasus pelecehan seksual KKN UGM. Pendekatan film dan drama diharap bisa memberikan gambaran yang lebih humanis mengenai dampak dan isu-isu di sekitar fenomena ini. Setelah sekian tahun berada dalam lingkungan arsitektur yang minim kultur penelitian, tulisan ini menjadi artikel non-akademik pertama saya yang mencantumkan banyak referensi. Ia banyak dipengaruhi gaya penulisan esai akademik yang menjadi santapan sehari-hari saya selama program pertukaran pelajar. Selain itu, topiknya sendiri memang sangat sensitif sehingga membutuhkan banyak riset. Sayangnya, niatan ingin menghadirkan informasi yang menyeluruh belum diimbangi dengan keterampilan menulis ringkas sehingga artikel ini menjadi sangat panjang.
&
Mengicip Rasa Online Shaming: Socialphobia (2015) & Listen to Love a(Personal(2016)Blog)Blue-Think:journeytodiscoveries
[SOCIALPHOBIA]
Sutradara: Hong Seok-Jae Penulis: Hong Seok-Jae Pemeran: Byun Yo-Han, Lee Joo-Seung Rilis: 12 Maret 2015 Genre: Drama-thriller
31
Walau sudah beberapa kali mendengar dan mendapat gambaran tentangnya, fenomena online shaming belum pernah terasa sangat nyata hingga akhirnya saya menyaksikannya terjadi di komunitas saya sendiri. Semua berkat mencuatnya sebuah kasus pelecehan seksual yang membawa nama almamater saya di awal bulan November ini. Somehow I knew when it was coming, dan saya terus-terus merasa khawatir karenanya. Niatan baik netizen untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap kasus ini perlahan berubah menjadi amarah yang tidak terkontrol, dan saya tidak tahan melihat lingkungan saya tanpa sadar secara berjamaah sedang menghancurkan kelangsungan hidup seseorang.
WHAT’S THE TASTE OF ONLINE SHAMING?
Judul asli: 소셜포비아 (Socialphobia)
Tokoh protagonis dalam film Socialphobia adalah Ji-Woong dan Young-Min, dua orang pemuda yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi sekolah polisi. Bersama tujuh warga biasa yang baru mereka kenal, keduanya turut serta dalam aksi penyergapan apartemen seorang netizen ber-ID Re-Na yang membuat gempar jagad maya negeri gingseng setelah merilis tweet kontroversial tentang meninggalnya seorang tentara. Berlagak seperti “delegasi” dari seluruh masyarakat Korea, mereka merekam dan menyiarkan secara langsung
Mengamini pendapat Garin Nugroho, film dan produk sinematografi lainnya adalah salah satu bentuk cerminan dari budaya. Korea Selatan merupakan salah satu negara yang produk sinematografinya cukup berani mengupas dan mengkritik fenomena masyarakatnya. Online shaming adalah salah satu isu yang tidak ketinggalan untuk mereka angkat. Terdapat dua judul (sejauh yang pernah saya tonton) yang menurut saya sangat relevan dengan isu ini, yakni film Socialphobia (2015) dan drama Listen to Love (jTBC, 2016).

32 aksi mereka, berharap pada akhirnya mendapat permintaan maaf dari Re-Na. Siapa sangka, alihalih mendapat permintaan maaf, mereka justru menemukan jasad Re-Na menggantung di balkon apartemennya. Walau telah dinyatakan sebagai kasus bunuh diri oleh pihak kepolisian, mereka mencurigai adanya permainan di balik ini semua. Mereka kemudian mencoba menguak misteri tentang siapa yang sesungguhnya telah membunuh Re-Na. Film ini mengeksplorasi fenomena kecanduan internet, cyberbullying, fobia sosial, serta rendahnya nilai moral dan penghargaan diri di kalangan anak muda Korea masa kini. [LISTEN TO LOVE]
Sutradara: Kim Suk-Yoon Penulis: Lee Nam-Kyu, Kim Hyo-Shin, Lee Ye-Rim Pemeran: Lee Sun-Kyun, Song Ji-Hyo, Kim HeeWon, Ye Ji-Won, Lee Sang-Yeob, BoA Rilis: 28 Oktober - 3 Desember 2016 Network: jTBC Genre: Drama-thriller Episode: Diadaptasi12dari serial drama Jepang produksi Fuji TV tahun 2007 (era mulai munculnya fenomena online shaming!), Listen to Love bercerita tentang Do Hyun-Woo, seorang pria paruh baya yang tanpa sengaja mengetahui bahwa istrinya, Jung SooYeon, telah berselingkuh dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Mencoba untuk mempertahankan pernikahannya, Do Hyun-Woo meminta saran dari para anonim di sebuah jaringan sosial online Namun, seiring berjalannya waktu, para anonim yang ia mintai saran mulai bertindak kelewat batas dan justru berbalik menyerang dirinya dan keluarganya.
Judul asli: 이번 주, 아내가 바람을 핍니다 (My Wife’s Having an Affair this Week)

2. Justifikasi berdasarkan informasi dari media yang terbatas dan rawan distorsi Menurut Lucy Doyle dalam tulisannya di situs parentinfo.org, menjadi bagian dalam kelompok yang besar dan anonimitas yang lazim di dunia maya dapat mendorong munculnya mentalitas massa, di mana seseorang mampu mengatakan hal-hal yang tidak mungkin mereka katakan di hadapan seseorang di dunia nyata. Internet juga memberikan tingkatan jarak: ketika kamu tidak bisa melihat orang yang kamu serang, atau efek yang ditimbulkan dari kata-katamu terhadapnya, lebih mudah bagimu untuk kehilangan rasa empati.
33 Pengalaman menonton kedua produksi ini memberikan alaram ketika saya akhirnya menyaksikan fenomena online shaming terjadi di lingkungan saya sendiri, dan saya tercengang dengan keakuratan dan detail yang ditampilkan dalam film dan drama tersebut. Keduanya meliputi banyak hal mengenai perilaku manusia di dunia maya, antara lain: 1. The need for acceptance and approval Manusia secara naluriah senantiasa mencari penerimaan dari orang lain, sehingga kita cenderung untuk berkumpul dengan orang-orang yang satu pikiran dengan kita. Mengutip Jon Ronson, penulis buku So You’ve Been Publicly Shamed, “We surround ourselves with people who feel the same way we do, and we approve each other.” Twitter dalam Socialphobia menjadi contoh dari apa yang disebut Jon Ronson sebagai mutual approval machine. Ji-Woong, Young-Min, dan sekumpulan pemuda random di film tersebut kemudian membawa hubungan mutual approval mereka dari dunia maya ke dunia nyata dengaan secara berjamaah bertindak sebagai pahlawan menyergap apartemen Re-Na. Dalam Listen to Love, netizen anonim yang bergabung dalam jejaring online tempat Do HyunWoo mencurahkan keluh kesahnya digambarkan sebagai orang-orang dengan posisi yang kurang signifikan dalam masyarakat seperti kuli bangunan, pengangguran, remaja yang kecanduan game, dan juga seorang antisosial yang selalu bergumul di bawah selimut di dalam kamarnya yang gelap. Gagal mendapat penerimaan di dunia nyata, mereka pun mencari penerimaan di dunia maya. Meminjam istilah Remotivi, menjadi “pahlawan keyboard”, “is a relatively low cost way to feel like you are doing something noble,” (Dr. Aitchison, Irish Research Council Fellow di University College Dublin).
Segala informasi yang kita terima sangatlah terbatas, seterbatas Instagram Story yang hanya mewakili sekian detik dari keseluruhan hidup seseorang. Namun, seringkali kita mereduksi individu menjadi sebuah status, sebuah tweet, atau sebuah komentar yang barangkali ia tulis sambil lalu.
34 Dalam Listen to Love, netizen anonim yang menuntut Do Hyun-Woo untuk menceraikan istrinya mereduksi sosok Jung Soo-Yeon menjadi seorang peselingkuh saja. Tidak ada yang tahu bagaimana perannya sebagai istri, ibu, sekaligus manajer di perusahaannya; tidak ada yang tahu apa yang dialami dan yang dirasakannya sehingga ia terdorong untuk berselingkuh; dan tidak ada yang tahu bagaimana sikap Do Hyun-Woo sesungguhnya turut berkontribusi dalam munculnya perselingkuhan Ji-Woongini. dan Young-Min dalam Socialphobia, yang awalnya turut geram dengan sikap Re-Na di media sosial perlahan justru menjadi iba seiring terkuaknya sosok Min Ha-Young, wanita di balik akun kontroversial tersebut.
Then, what might happen to the victim of online shaming? Jon Ronson dalam sebuah presentasi TED menceritakan kisah Justine Sacco, seorang pegawai PR asal New York yang mengalami online shaming setelah tweet leluconnya disalahartikan sebagai pernyataan rasis. Hati saya mencelos mendengar pilihan kata Ronson yang ironis tetapi sangat jujur dalam menjelaskan situasi ini: “Thousands of people around the world decided that it was their duty to get her fired… Justin was fired of course, because social media demanded it.”
Dalam Socialphobia, setelah salah seorang korban online shaming dibongkar identitasnya (nama asli, foto, alamat rumah, pendidikan, name it all), ia harus putus sekolah dan bahkan memutuskan untuk mengganti namanya. Well, how could you have a normal life when your name has been known as the identity of a public enemy?
3. Vigilantisme: yang punya masalah siapa, yang marah siapa
Jung Soo-Yeon dalam Listen to Love merasa keamaanan dan privasinya terganggu ketika ia mulai mendapat teror di tempat kerjanya. Namun, lebih dari itu, ia mengkhawatirkan Joon-Soo, anak mereka yang baru berusia enam tahun. Bagaimana nasibnya bila identitas Jung Soo-Yeon terbongkar? Tumbuh dewasa dengan label anak tukang selingkuh?
Vigilantisme secara sederhana dapat diartikan sebagai “main hakim sendiri”. Ini adalah situasi di mana orang-orang mengambil peran penegak hukum tanpa diberikan kewenangan legal, tanpa mempertimbangkan apakah aksinya benar-benar berbasis keadilan atau tidak (Tirto.id, 2017). Saya turut merasakan frustrasi yang dialami Do Hyun-Woo ketika akhirnya ia memutuskan untuk berdamai dan memaafkan Jung Soo-Yeon, tetapi netizen anonim malah bersikeras sebaliknya. Beberapa dari mereka bahkan meneror dan mengancam untuk membongkar identitas istrinya. Saya juga sempat berjengit ketika pemuda-pemuda random dalam Socialphobia akhirnya memutuskan menyergap apartemen seorang netizen anonim. “Apa-apaan, sih, manusia-manusia ini?” pikir saya.
Kita memaki, mengata-ngatai, dan berpikir bahwa orang ini pasti sangat bebal hingga kata-kata halus tak mungkin mempan terhadapnya. Namun, sesungguhnya mereka sama-sama manusia seperti kita yang juga mencari penerimaan. But we left them with fear and often their apologies become unheard. Lantas ketika tidak ada lagi yang mempercayaimu, tidak ada lagi yang membutuhkan keberadaanmu,
Sudah banyak sekali bahasan tentang bagaimana internet dan media sosial sedikit banyak memberikan pengaruh negatif pada kesehatan mental dan produktivitas manusia. Maka, untuk menghindari dampak tersebut dan fenomena problematik seperti
Setelah terus menerus diajak untuk percaya bahwa kematian Re-Na disebabkan oleh pembunuhan, Socialphobia membungkam penonton di penghujung film dengan mengungkap bahwa ReNalah yang memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Seperti Ji-Woong dan Young-Min, I didn’t find it easy to understand that “nice” people like us are capable to push someone to take his or her own life. Yet we do. Malam itu, 9 November 2018, empat hari setelah kabar pelecehan seksual di kampus kami mencuat, saya dan beberapa sahabat memantau perkembangan respons publik di internet yang semakin ganas menyerang si pelaku pelecehan. Dalam grup WhatsApp kami yang kecil itu terlontar satu doa yang saling kami amini, “Semoga ia tidak bunuh diri.”
HOW TO NOT KILL A PERSON ONLINE Menalar pendapat dari Remotivi tentang online shaming: “iya, melecehkan orang lain secara seksual itu salah, tapi mempermalukan orang sampai depresi juga salah”. Before things are going even more too far, mari kita mencoba untuk tidak menjadi seorang 1.pembunuh.Kitaperlu memahami bahwa internet adalah perpanjangan dari dunia nyata. Oleh karena itu, menurut Webroot.com, standar norma yang dipakai saat online juga sama dengan yang dipakai di dunia nyata. Bagi muslim, menurut ulama, tulisan hukumnya sama seperti lisan, sama-sama dicatat juga oleh malaikat. If you have nothing good to say, better just shut up. The internet is as public as our school and our mosques. You won’t yell at random people in mosques, will you?
Nah, kalau memang yang bersangkutan itu bermasalah dan secara pribadi cukup dekat dengan kita, lebih baik ditegur baik-baik secara pribadi dengan tatap muka atau direct massage dan beri kesempatan pada orang tersebut untuk menjelaskan situasinya serta meminta maaf. Tidak ada yang suka dipermalukan di depan umum. Orang yang mengalaminya mungkin akan mengelak dan mencari pembenaran atas pernyataannya, and we know the rest of the story
3. Best advice ever: limit our use of social media
35 committing suicide sounds like a great option, isn’t it? Well, bagaimana tidak ketika kamu akhirnya gagal untuk mempercayai dirimu sendiri, thanks to thousands of people around the world who told you get out (Jon Ronson, 2015).
2. Everyone has their own condition. Kata seorang mentor, bangsa kita ini kultur mendengarkannya sangat minim, lebih dominan keinginannya untuk didengar. Padahal, kultur mendengarkan itu penting supaya kita tidak salah memahami situasi. Sebelum membuat komentar terhadap sebuah pernyataan atau sebelum kita membagikan berita, coba kita cari tahu terlebih dahulu kebenarannya, bagamaina motif dan latar belakang si pembuat pernyataan, chek and recheck agar tidak berujung sebagai hoax dan merugikan orang-orang yang tidak bersalah. Marilah kita coba untuk saling mengerti sehingga tidak semudah itu merendahkan orang lain.
situs berita ABC mengatakan, “In fact, sometimes the people who start an online shaming ‘wave’ later regret their actions. Regret, in this case, seems to be a recognition of the fact that their own actions didn’t match up with their values.”
To all shamees who become aware of their wrongdoing and regret it, you may won’t be forgotten, but you deserve to be heard and to be forgiven. Semoga jiwa dan ragamu dalam keadaan sehat dan semoga Allah memberikan jalan keluar yang baik untuk masalahmu.
So, are we ready to forgive?Fukuoka, 25 November 2018 Listen to Love Episode 11 - Sepasang suami istri yang pernikahannya di ambang perceraian akhirnya berhenti berkontribusi dalam online shaming terhadap Do Hyun-Woo dan mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan pernikahan mereka sendiri.
EPILOG Socialphobia dan Listen to Love telah memberi banyak pelajaran dalam memahami fenomena online shaming baik dari sisi korban maupun sisi pelaku. Mereka sukses menyimulasi sensasi dan kecemasan yang dirasakan ketika fenomena ini terjadi di hadapan kita. Socialphobia jelas menampar saya dengan lebih keras lewat ironinya. Namun, saya berharap kita punya ending yang lebih baik seperti Listen to Love. Do Hyun-Woo dan Jung Soo-Yeon akhirnya belajar bahwa kesalahan tetaplah kesalahan dan tentunya tidak mudah dilupakan, tetapi manusia selalu punya pilihan untuk memaafkan. Baiknya lagi, tak hanya tokoh-tokoh utama saja yang bisa mengambil pelajaran, netizen-netizen yang terlibat juga perlahan mulai berkaca dan melihat ke dalam diri mereka sendiri. Irina Raicu dalam tulisannya di
36 online shaming, alangkah baiknya kita membatasi saja penggunaan media sosial. Alihkan perhatian pada kegiatan lain yang memberikan stimulus positif pada diri kita. 4. Namun, kalau kamu menemukan seseorang sedang dipermalukan secara tidak adil, seperti saran Jon Ronson, the very best thing that we can do, “is to speak up, because I think the worst thing that happened to Justine was that nobody supported her -- like everyone was against her, and that is profoundly traumatizing,” meskipun tidak akan mudah. Last advice: master these things and you will also develop the skill to not get killed instead :) Good luck!

Online Ethics
37
Diakses pada November 2018, dari https:// asianwiki.com/Listen_To_LoveAsianwiki.(n.d.).Socialphobia. (Asianwiki)
(Remotivi)Tidakreligion/on-the-ethics-of-online-shaming/10097280padaOnlineonline-shamingwhy-digital-forgiveness-is-important-in-a-society-of-https://www.beyondtheinterview.com/article/2018/Interview)Inmob/online-shaming-dangerous-rise-internet-pitchfork-https://www.telegraph.co.uk/news/2018/06/25/Telegraph)internetvigilantisme-saat-penegak-hukum-diabaikan-cuY9https://tirto.id/Onlineshaming:Thedangerousriseofthepitchforkmob.(2018,Juni25).(TheDiaksespadaNovember2018,dariPineda,S.(2018,Maret9).LearningToForgiveACultureOfOnlineShaming.(BeyondtheDiaksespadaNovember2018,dariRaicu,I.(2016,Februari25).OntheEthicsofShaming.(ABCReligion&Ethics)DiaksesNovember2018,darihttps://www.abc.net.au/Remotivi.(2018,November9).Youtube:AdayangMenangdalamOnlineShaming.DiaksespadaNovember2018,dari https://www.youtube.com/watch?v=2Y4pjo7LTDg Webroot. (n.d.). What is Netiquette? A Guide to and Etiquette. (Webroot) Diakses pada November 2018, dari media-social-dalam-timbangan.htmlNovemberdalamen.wikipedia.org/wiki/SocialphobiaDiaksesen.wikipedia.org/wiki/Listen_to_LoveDiaksesonline-ethics-what-are-theycom/us/en/resources/tips-articles/netiquette-and-https://www.webroot.Wikipedia.(n.d.).ListentoLove.(Wikipedia)padaNovember2018,darihttps://Wikipedia.(n.d.).Socialphobia.(Wikipedia)padaNovember2018,darihttps://Yanuar,Y.(2018,Oktober11).MediaSocialTimbangan.(Muslim.or.id)Diaksespada2018,darihttps://muslim.or.id/42898-
Diakses pada November 2018, dari
Referensi Asianwiki. (n.d.). Listen To Love. (Asianwiki)
Diakses pada November 2018, dari https:// asianwiki.com/SocialphobiaKirnandita,P.(2017,Agustus 21). Vigilantisme: Saat Penegak Hukum Diabaikan. (Tirto.id)
Blue-Think: a journey to discoveries
Prison Playbook
UlasanMarethttps://blue-think.blogspot.com/2018Drama
Hiburan & Gaya Hidup
“Tempat ini bukan akhir dari hidup... kan?”Artikel ini merupakan karya debut saya untuk ulasan drama. Pengalaman menonton yang sangat menyenangkan membuat saya ingin memberitahu dunia tentang drama ini. Terlebih, saat itu drama ini terbilang kurang populer secara internasional, padahal sangat dicintai di negeri Sebagaiasalnya.karyadebut, dapat dilihat bagaimana tulisan ini belum cukup sistematis dan berteletele. Pada naskah asli (di blog), saya belum menggunakan istilah-istilah produksi drama yang tepat sehingga terkesan amat canggung. Walau demikian, saya sangat menyukai ulasan ini karena upayanya untuk menunjukkan keterkaitan cerita dengan isu-isu di sekitar kita.
(Blog(2017)Pribadi)
38 Kim Je-Hyeok, seorang atlet baseball ternama di Korea Selatan, tiba-tiba harus membatalkan kontrak dengan tim liga utama di Amerika. Ia divonis satu tahun penjara atas kekerasan berlebih terhadap seseorang yang hendak memperkosa adik perempuannya. Mau tak mau, Je-Hyeok harus hidup terisolasi dari dunia luar bersama dengan berbagai macam narapidana dan sipir di Lapas Seobu. Di sana, Kim Je-Hyeok dipertemukan kembali dengan Lee Joon-Ho, teman baseballnya sewaktu muda yang harus mengubur impiannya sebagai atlet karena sebuah kecelakaan, dan kini berprofesi sebagai seorang sipir.

Dalam kasus Prison Playbook, gaya storytelling ini memberikan efek plot twist yang lebih kuat karena tokoh-tokohnya merupakan narapidana atau oknum sipir, dua kalangan yang sama-sama kaya akan stigma. Skenario plot twist menghujani drama ini dari awal hingga akhir dan selalu berhasil mengundang kekaguman, tawa, hingga tangis dari penontonnya.
39 Judul asli: 슬기로운 감빵생활 (Seulgirowoon Gambbangsaenghwal)/Wise Prison Life
Seperti Reply Series, storytelling Prison Playbook mengadaptasi cara manusia membangun persepsi terhadap orang lain yang terbatas pada informasi yang diterima oleh inderanya, seperti saat kita pertama kali bertemu seseorang. Seiring dengan jalannya cerita, perlahan kita diajak untuk lebih mengenal karakter-karakter yang ada, benar-benar pelan hingga persepsi kita terhadapnya nyaris matang untuk kemudian dibantai dengan munculnya informasi baru yang bertolak belakang. A plot twist
Jangan mudah percaya dengan poster publikasi drama ini. Mereka sudah mencoba “menipumu” bahkan sebelum kamu mulai menonton dramanya!
Genre: Dark comedyJika suatu hari kamu bertemu seorang mantan narapidana, apakah kamu yakin bisa bersikap baik padanya?
Sutradara: Shin Won-Ho Penulis: Jung Bo-Hoon Pemeran: Park Hae-Soo, Jung Kyung-Ho, Krystal. Network: tvN Rilis : 22 November 2017 – 18 Januari 2018
PENUTURAN- CERITA Sempat vakum menonton drama Korea selama satu semester, saya kembali nyemplung ke dunia ini dengan dirilisnya drama Prison Playbook. Alasan utama yang membuat saya tertarik dengan drama ini adalah latarnya, yaitu penjara, kontras dengan drama-drama romansa yang ditayangkan beriringan dengannya. Lebih-lebih dengan genre dark comedy, drama ini menjadi sajian segar ketika produksi lain dengan latar serupa menampilkan penjara sebagai tempat yang menyeramkan dan penuh kekerasan. Disutradarai oleh Shin Won-Ho, Prison Playbook menjadi drama yang cukup menjanjikan. Sebelumnya, ia telah menyutradai serial drama ber-genre coming-of-age comedy, Reply Series (Reply 1997 (tvN, 2012), Reply 1994 (tvN, 2013), Reply 1988 (tvN, 2015)) yang epik dan berhasil memenangkan berbagai macam penghargaan di tingkat nasional dan Asia. Kembalinya beberapa aktor pemeran Reply Series dalam Prison Playbook membuat drama ini semakin menarik untuk disaksikan.

Perpaduan karakter dan gaya storytelling yang saya sampaikan sebelumnya dengan tajam mengajak kita menghayati pepatah “Don’t judge a book by its cover.” Tim produksi dengan telaten mengurai motif setiap tokohnya, merajut hubungan antartokoh, dan mendorong kita membangun keterikatan dengan Setiapmereka.tokoh mampu tampil humanis, menembus paradigma dan setereotip kita terhadap kehidupan di dalam penjara. Tim produksi juga berhasil menunjukkan nilai penting setiap tokoh, bahkan tokoh dengan screen time paling sedikit sekalipun. Hal ini terbilang luar biasa, mengingat jumlah karakter di drama ini yang melebihi rata-rata.
REALITA KEHIDUPAN DI PENJARA
40 Terlepas dari adanya plot twist, karakter-karakter di drama ini sendiri sudah cukup menarik untuk dikupas. Kim Je-Hyeok (Park Hae-Soo), tokoh utama drama ini, adalah seorang jenius di lapangan baseball, tetapi sangat ceroboh dan terkesan dungu di kesehariannya. Di sisi lain, ia sampai hati menyakiti orang lain hingga membuat dirinya bermuara di penjara. Setiap karakter digambarkan memiliki kombinasi sifat dan fakta yang saling kontradiktif, seperti halnya Doctor Go/Go Baksa (Jung Min-Sung) yang rajin membuat petisi untuk memperjuangkan hak-hak narapidana, ternyata dijebloskan ke penjara atas tuduhan menggelapkan dana perusahaan; Kim Min-Cheol (Choi MoonSung) seorang mantan gangster yang divonis penjara seumur hidup atas tindakan pembunuhan, di dekade ketiganya sebagai narapidana, ia menjadi role model dan “ayah” bagi narapidana lainnya; KAIST/Kang Chool-Do (Park Ho-San), seorang teknisi yang dihukum atas tindakan penipuan, berlagak paling jantan dan paling menyeramkan, tetapi tidak bisa mengucapkan huruf “s” dan “j” dengan benar, alias cadel; Yoo Han-Yang/Looney (Lee Kyu-Hyung), pecandu narkoba yang hampir tidak pernah dalam kondisi sadar, meyakini bahwa pacarnyalah yang telah melaporkannya ke polisi; dan masih banyak karakter lain yang menambah dinamika drama ini.
Seorang penulis ulasan drama yang pernah bekerja di bidang ini1 menuliskan bahwa penggambaran penjara dalam Prison Playbook cukup sesuai dengan realita yang ada di lapangan. Drama ini menampilkan beberapa oknum sipir yang korupsi, atau memeras narapidananya, atau membangun hubungan mutualisme dengan napi preman. Napi preman seperti halnya oknum sipir, tak jauh beda tingkahnya. Ia digambarkan pula sering melakukan kekerasan atau bullying terhadap narapidana lain. Ia juga yang biasanya memimpin transaksi-transaksi ilegal di dalam penjara. Menariknya, drama ini mampu menjalin realitarealita negatif tersebut dalam balutan komedi dan menempatkannya pada sudut pandang baru. Saya tidak menyangka akan tertawa melihat ulah KAIST(kiri ke kanan) Kim Je-Hyeok, Go Baksa, Kim Min-Cheol, KAIST, Yoo Han-Yang

41 dan istrinya mencoba menyelundupkan rokok ke dalam penjara; atau Hanyang yang terus-terusan meminta obat demam ke klinik sebagai pengganti narkoba yang biasa dikonsumsinya; atau setiap kali mereka mencoba untuk menyembunyikan bendabenda ilegal di dalam sel mereka. Hidup di Lapas Seobu memang banyak batasannya. Boro-boro smartphone, menelpon saja dijatah. Kunjungan tatap muka juga hanya diberi waktu sepuluh menit. Hiburan? Ada televisi di setiap sel, tetapi salurannya tidak bisa diubah sesuka hati. Meski begitu, saya rasa batasan-batasan tersebut malah membuat kehidupan narapidana-narapidana ini lebih produktif. Mereka diikutsertakan dalam kelas-kelas keterampilan seperti pertukangan, berkebun, bahkan bahasa inggris. Beberapa narapidana di drama ini juga digambarkan menggunakan waktu luang mereka untuk membaca.
Lucu, saya justru merasa iri atas kesederhanaan hidup yang mereka jalani. Kesederhanaan ini menjadikan kegiatan sesepele sarapan menjadi menarik untuk diikuti.
KRITIK TERHADAP ISU UNIVERSAL
Dalam aspek lain, ketika banyak drama berharap dapat menciptakan tren fashion lewat pakaian yang dikenakan para aktornya, Prison Playbook bergerak jauh dari intensi itu dengan kostum seragam napinya yang kusam dan seragam sipirnya yang sangat formal. Tokoh-tokoh wanitanya juga tampil sederhana tanpa riasan yang berlebihan. Tidak ada gaya berpenampilan yang sangat menonjol di drama ini, tentu karena ada hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan, yakni soal bagaimana kita menghargai orang lain, senantiasa berbuat baik, dan berusaha untuk memaafkan diri sendiri.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya mengenai kesederhanaan hidup di dalam penjara, drama ini mencoba memberikan kritik terhadap kehidupan manusia masa kini yang penuh dengan keinginan dan tuntutan. Merujuk pada buku yang belum lama saya ulas, The Book of Forbidden Feelings, seringkali kita membiarkan diri kita tenggelam dalam ekspektasi orang lain yang sesungguhnya kita ciptakan sendiri. Karena terpengaruh dengan pemberitaan media, Kim Je-Hyeok yang memiliki peluang untuk kembali ke lapangan setelah masa tahanannya habis dikisahkan sempat merasa sangat khawatir dengan apa yang akan dikatakan oleh seantero negeri apabila performanya sebagai atlet tidak bisa sebaik sebelumnya. Sahabatnya dengan brutal memangkas kekhawatiran tersebut dengan berkata, “Sungguh, tidak ada yang benar-benar peduli. Semua orang sibuk dengan hidupnya masing-masing.”

Pada Prison Playbook, rasio 16:9 justru digunakan untuk menggambarkan adegan di masa lampau. Uniknya lagi, untuk adegan berlatar tahun 1990an, tim produksi memutuskan untuk menggunakan rasio 4:3, lengkap dengan gambar yang secara vertikal sedikit gepeng ala TV jadul.
42 Ada beberapa hal yang dijadikan media refleksi tokoh-tokoh dalam drama ini, misalnya pengalaman pahit di masa lalu, keluarga, dan juga agama. Saya cukup kaget ketika Alquran sempat disebut dan ditampilkan dalam drama ini. Bahkan Kim Je-Hyeok sempat mengucapkan sepotong ayat tentang pentingnya menjaga hawa nafsu. Hal ini sangat menarik mengingat sebagian masyarakat Korea masih memiliki Islamicphobia. Di sisi lain, drama ini juga menampilkan fenomena LGBT dan isu yang mengitarinya. Sebelumnya, sutradara Shin Won-Ho pernah menampilkan fenomena serupa di Reply Series pertama, Reply 1997. Nampak jelas misi beliau untuk menebarkan perdamaian lewat dramanya, meskipun dalam perspektif saya kedua hal tersebut tidak sebaiknya disandingkan.
“Allah protects them, so don’t go astray, and do not pursue the greed of the heart.” Kombinasi warna, komposisi, dan rasio aspek 21:9 yang epik.
ASPEK PRODUKSI Prison Playbook punya gaya sinematik yang kuat dengan warna dan colour grading-nya yang lembut, selaras, dan konsisten, serta komposisi dan sudut pengambilan gambar yang menggelitik. Drama ini juga menggunakan rasio aspek 21:9 yang memperkuat nuansa sinematik, membuatnya lebih berkelas dibanding drama pada umumnya yang menggunakan rasio standar penyiaran 16:9.




Kredit seluruh gambar: tvN
43 Notable Rising Star: Kang Seung-Yoon (Jang Bal-jang), Kang Ki-Doong (sipir Song Ki-Doong), Kim Seung-Cheol (Beobja), Ahn Sang-Woo (kepala lapas Seobu), Ahan Chang-Hwa (Ddolmani). [Flashback] Go Baksa saat sedang minum dengan atasannya. [Flashback] Kim Min-Cheol ditangkap polisi pada tahun 1995. Terkait peran, beberapa aktor memerankan karakter yang sangat berbeda dibanding karakter yang pernah mereka perankan sebelumnya, membuat penonton terpukau dengan sisi baru mereka. Seperti biasa, sutradara Shin Won-Ho juga memberikan spotlight bagi banyak aktor baru, aktor yang kurang populer, dan aktor-aktor teater melalui drama ini.
EPILOG Jujur, sebenarnya sangat banyak hal yang ingin saya ceritakan soal drama ini. Namun, saya juga sangat berhati-hati agar ulasan ini tidak berubah menjadi sebuah spoiler. Banyak hal menarik di drama ini yang pastinya harus kalian tonton dan alami sendiri. Satu hal lagi yang dapat saya bagi dengan kalian; dengan menonton drama ini saya terpantik untuk melakukan refleksi terhadap diri saya sendiri, terutama mengenai bagaimana saya memandang segala hal di luar diri saya. Di lingkungan sekitar saja, sangat sulit untuk menjaga persepsi dan sikap baik terhadap orang lain, apalagi dengan seorang narapidana. Drama ini memang berhasil memberikan pandangan baru tetang mereka, tetapi bagaimana aktualisasi sikap kita terhadap pandangan baru tersebut sepertinya masih akan menjadi PR pribadi Akhirnya,masing-masing.sayamengucapkan
selamat menonton Prison Playbook untuk kamu yang belum menontonnya. Setelah kamu menamatkannya, coba tanyakan pada dirimu sendiri, “Jika suatu hari kamu bertemu seorang mantan narapidana, apakah kamu yakin bisa bersikap baik padanya?”1 https://aworldofoptionsareviewblog.wordpress.com/ 2018/02/09/prison-playbook-final-review/



44 HumanioraSosial
45 An Attempt on Critical Thinking to Write a Paper About Critical Thinking When a Muslim’s Life Ends in Japan 5246(2018)(2018)
Sosial
The concept of critical thinking has been developed for a very long time, agreed by many experts and adapted by leading educational institutions into their curriculum and learning methods. The practice of this method gifts the thinker the ability to formulate questions and problems clearly; gather, assess, and complexly interpret relevant information; compose and test well-reasoned conclusion and solution; be open to alternative systems of thought; review one’s own thought; and also the ability to effectively communicate with others in figuring out solutions (Paul & Elder, 2008). In other words, it is a very powerful tool of self-directing that helps to effectively solve one’s problem from mundane everyday life cases to professional matters.
It is said that critical thinking becomes more and more essential for everyone to practice in order to have a clear view of life nowadays, as people are becoming even more diverse and there is so much information with various assessment degree going around within society. Those who try to incorporate this concept in their education and teaching are hoping for their young generation to be able to figure out things by themselves and survive the unpredictable future.
Critical Thinking Among Japanese Japan is said to be one of the best country for carrying out education. Since the mid-1970’s, Japanese compulsory education has been considered a model for many other countries around the world (Higo, 2018). Everything looks very promising, especially with all trending articles and images of Japanese elementary school students taking the train by themselves and serving lunch for the whole class going around the internet. Japan’s elementary school education is indeed doing a very
My Pedagogy Proposal Student Assignment Education in Japanese Society adalah salah satu mata kuliah dalam program Japan in Today’s World yang membahas karakteristik pendidikan di Jepang dari segi kebijakan, pelaksanaan, dan isu-isu di sekitarnya.
Critical Thinking Education in Japanese Society Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University Januari 2019
An Attempt on Critical Thinking to Write a Paper about
Critical Thinking and Its Urgency
46
Dengan topik utama Proposal Pedagogi, melalui tulisan ini saya mencoba mengeksplorasi pentingnya membentuk pemikiran kritis dalam pendidikan dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Tulisan ini juga mencoba mencari keterkaitan sejarah negara Jepang dan pengaruhnya terhadap pola berpikir masyarakat. Selanjutnya dibahas pula secara singkat bagaimana posisi pemikiran kritis dalam pendidikan di Indonesia serta perbandingannya dengan pendidikan di Jepang. Tulisan ini diakhiri dengan harapan untuk diri saya sendiri sebagai generasi muda Indonesia dan juga harapan untuk generasi muda Jepang di masa depan. Humaniora
47 good job in equipping the Japanese children with basic knowledge like literacy, mathematic skill, also collaborative problem-solving ability (Rear, 2008). But the world is still missing out on the other side of Japanese education where it is said that their university students generally speaking are ‘prone to unquestioningly accept the opinions of others; unskilled at using a logical and objective method to independently form their own opinion’. In other words, Japanese university students haven’t had sufficient training in “critical thinking” (Kawato, 2013). Looking at the surface of its education system, the way Japanese do their university enrolment is said to be the case. Japan turns out to be highly driven by economic necessity. With companies directly recruiting workers from fresh graduates of the country’s top universities, a traditional employment system developed since the post-war period, students become extremely competitive in in their way to enter college. The only way to be enrolled in universities is by taking the national entrance exam, a system that has been long implemented to give equal opportunity and judgment to students with diverse educational backgrounds. Unfortunately this positive intention in most cases are not followed by good Peopleimplementation.aredesperate to get into college that Japan’s secondary education is then shaped to prep the students to answer the exam questions of multiplechoice or short-answer form. As interpretive skill are not tested, teachers are focusing on making the students memorize materials, often taken from the previous exams. This memorization method results in low comprehensive understanding and lack of student’s personal connection to the topic. Moreover with Japanese culture, teacher is assumed to be always right and students were not allowed to doubt what is written in textbooks (Ohmae, 2003).
The information is then interpreted merely as it is instead of being used to reflect on their own cases.
To add to the problem is the excessive cram school industry that keep most Japanese students from going home until late evening, limiting more time for self-exploration. In the end, the development of this system gives more privilege to those who have the ability to access these supplementary educations, violating the national entrance exam’s initial intention. However, digging deeper to the characteristic and backgrounds of this country, suppress on critical thinking does not only occur in the field of education. It ties a lot with the country’s culture and political beliefs. The converts of many Japanese to Catholic and Christian in the early 1600’s which was brought by Spain and Portugal through trade threaten the legitimation of Japanese government at the time since the governance itself was based upon religious belief. The early Tokugawa government executed several missionaries and Japanese converts, then closing the country from the outside world for over 220 years, an action known as Sakoku. This policy doctrine and shaped the then called Sakoku mentality which perceive the outside world as a fundamentally hostile and threatening place, against which the people of Japan must depend upon the state to defend them (Itoh, 1996). It brought the whole Japan into one and easier to be ruled. Conformity was emphasized and here comes the saying, “the nail that sticks out gets hammered down”. This mentality remains until today even when the government’s involvement had become more subtle, making Japanese ruling system even more rigid and giving little room for individual freedom.
Japan’s isolation more or less continues as the country’s geographical condition is completely detached from other civilization. Its language and writing system, and the very low use of English limits the accessible knowledge within the country. For the homogenous Japan, both situations are resulting in the lack of information and exposure to different kinds of people also different ways to think and live.
Japan’s Efforts to Overcome This Problem
The lack of critical thinking or the passiveness among Japanese might be not really the case within Japan. I remember a Japanese friend of mine is quite aware with the problem in Japanese education, but he personally likes this situation because it suits his passive character. Whether this passiveness is natural or a result of the country’s educational and political policy, many Japanese today feel very comfortable with this situation where everything has been determined and everyone just have to follow. However, it is becoming a serious problem when they are faced with globalization. Japanese society these days are dealing with issues such as mistreatment towards foreigners, hafu stereotyping and charisma man. There is a high chance that they more or less are part of the impact of underdeveloped thoughts, accumulation of plenty information received as is without further investigation. Surprisingly, that same friend of mine who turns 20 this year innocently said that sometimes he wants English to be the official language of the nation, criticizing the underdeveloped globalization within the country.
48
One of the strongest opinion for Japan to implement critical thinking in its education is from business leaders. They criticize the low ability of employees to think creatively and come up with innovation in order to maintain the company’s competitiveness in the market (Rear, 2008). The government then followed by saying that they need to teach students to think, express themselves, and judge by themselves to be able to succeed in the globalized community (Okada, 2017). Some concern that rises between parents are the importance for kids to think creatively as many job will be taken over by robots in the future. In 1998, the Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT) finally released new Course of Study (guidelines for all elementary and secondary schools), which emphasized the importance of activities with “thinking.” Yet, according to a survey conducted in 2014, sixteen years later, the policy couldn’t give impact on the teaching nature in Japan’s high schools (Okada, Thinking in the Japanese Classroom, 2015) because the lack of support on resources or medium for teacher to teach in new manner. In 2012, new educational guidelines was implemented in secondary school after a good result was seen in elementary school. It was a development of the ideals of yutori kyouiku or “education that gives children room to grow” which was implemented in the previous decades. Besides reducing the burden on children by their studies, it tried to incorporate concrete measures to solve problems that arose from them. The new guideline attempted to ensure both the necessary number of class hours to provide children with basic skill and knowledge, and the nurturing of critical thinking, wisdom, and selfexpression that allow them to use their knowledge (Akihisa, 2012).
Wada Junior High School in Suginami-ku, Tokyo had tried to develop this ideals in its own way. Since the first recruitment of its school principal from the private sector in 2003, they implemented broad reforms including creating special classes inviting instructor of professional from various sector, asking students to make essays based on the recent issue, opening peer discussion about no-right-or-wrong topics, and involving the surrounding community in organizing the school. Everything was done to broaden students’ horizons and practice their thinking also communication skills, with great outlook of students able to develop their dream, aim of life, and their role in society. The innovations had
I realized that in most of the time when I arrive at very unique and very unusual conclusion that leads to also unusual acts, I am afraid of telling others about the reason behind my attitude when they ask.
What I realized from writing this paper is that Japan has a very important asset in its efforts to think critically about this situation, namely data. Many research has been done to addresses this issue from many perspectives, approaches, and includes development data from the earliest year of the country. It is a very great start in admitting its flaws and making the most of spawning effective solutions. With that being said, then one of Indonesia’s next steps will be collecting our own data, analyzing our own characteristic so that later we can come up with the most effective solution. Looking at some critical friends of mine and brilliant figures or experts I met during my college days, I am highly optimistic about the future of my country. Regarding my role as future educator, I am not targeting grandiose plan. Imagining my role as a mom, I will have an obligation as the first person to teach my religion to my children. This is clearly not an easy thing, considering learning about rational knowledge also proved to require a lot of effort. I also wonder what other knowledge is important for my children’s life. In respond to that, my best strategy right now would be developing my own critical thinking, analyzing what works and what don’t work for me. I also need further research on how to communicate the idea.
49 improved the quality of learning in the school, rising its position from the nearly-the-bottom among 23 junior high schools in Suginami-ku to one of the most successful schools in Tokyo, meanwhile breaking the perception of teaching critical thinking will reduce the success rate of student in doing test. But apparently, not all institution are able to run this innovations well. Until this day, criticisms related to the lack of critical thinking are still being carried out. Asking the Right Questions Reviewing this topic reminds me a lot of the situation of my own country, Indonesia, or generally speaking, the situation of Asian countries. I remember how we rushed in the end the last semester to review all material from the previous grades and practiced as many question models as possible. And I clearly remember how my higher education in general also failed to encourage critical thinking, creating unsupportive competition among its students. In my opinion, our country is still young, and with the vastness of the region and the diversity of our ethnics and cultures, this immature condition feels quite However,natural. our immature ruling system in the era of globalization actually provides space for alternative education to develop. In Indonesia, many schools have been established with a curriculum that is based on integration between subjects, combining learning in class and direct interaction with the surrounding nature and local culture. The students are mostly from educated parents who feel that the formal education is too rigid. Many of these schools are also open to local residents who may not even be able to get an education in public schools due to economic limitation. Together they create a system that enable everyone to have equal opportunity and learning from each other.
I’m afraid to be perceived as a weird person, also afraid if my sloppy delivery will make others feel like they are being judged and blamed, doubting my own credibility and ignoring the data that I had carefully chosen and analyze. Once I overcome it and understand how to simplify the idea according to
References
Akihisa, S. (2012, February 7). Education in Japan: The View from the Classroom. Retrieved from nippon.com: japan-the-view-from-the-classroom.htmlnippon.com/en/currents/d00012/education-in-https://www.Fiske,E.B.(1983,July12).Japan’s Schools: Exam Ordeal Rules Each Student’s Destiny. The New York Times, p. 1. Glaser, E. M. (1941). An Experiment in the Development of Critical Thinking. New York: Teacher’s College, Columbia University. Higo, M. (2018, November 16). Pre-Study Trip Lecture - Susenji Elementary School Visit of JTW Program. Fukuoka, Fukuoka Prefecture, Japan: Kyushu University. Itoh, M. (1996). Japan’s Abiding Sakoku Mentality. Economic Myths Explained. Kawato, M. (2013, January 2017). Recommendation for Critical Thinking. Retrieved from ChuoOnline: education/20130117.htmlwww.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/https://Ohmae,K.(2003).Shitsumonsuru chikara [Ability to ask questions].
Tokyo: Bungei Shunju.Okada, R. (2015). Thinking in the Japanese Classroom. Journal of Modern Education review, 1054-1060. Okada, R. (2017). Conflict between Critical Thinking and Cultural Values: Difficulty Asking Questions and Expressing Opinions in Japan. Asian Education Studies; Vol. 2, No.1, 1. Paul, R., & Elder, L. (2008). The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. Foundation for Critical Thinking Press. Rear, D. (2008, March 4). Critical Thinking and Modern Japan: Conflict in Discourse of Government and Business. Retrieved from Electronic Journay of Contemporary Japanese Studies: edu/watts/w03_Japancl.htmlRetrievedarticles/2008/Rear.htmlhttp://www.japanesestudies.org.uk/Watts,S.L.(n.d.).TheSeclutionofJapan.fromSarahWatts:http://users.wfu.
50 my target’s cognitive level, it would be very useful in spreading the idea to my surrounding and my future children, also in asking the right question to open one’s mind, something that by a respected mentor of mine said to be harder to do rather than giving the right answer. Epilog After all, the purpose of critical thinking is to lead a good and conscious life. It is not as easy as teaching the students to answer questions. It’s a long life endeavor! Japanese failure in addressing this problem should be seen as a part of progress towards positivity. Yet anyway, I am not Japanese. This research and paper themselves are made in the counts of day. There are still many things that I don’t know about this country and I’m definitely not the most appropriate person to determine what Japan should do next. However, if I can wish something as a fellow human, in the case of critical thinking, I beg for Japan to redefine again their meaning of success. Is it necessary has to be studying hard and sacrificing self-freedom? Is it necessarily has to be working hard to the point where you don’t have the time to enjoy the result? Even though later it’d seems like there is not much change, I wish that at least Japan’s future generation will go through it all wide awake, and full of consideration.
“Critical Thinking & It’s Urgency”, I think this is something I regrettably failed to cover as a topic during the semester. I’ll definitely include this for the next time I offer the Education course.
51
“Yet anyway, I am not Japanese,” This doesn’t really matter in my opinion. It is and should be a collaborative project involving people of all backgrounds if Japan sincerely hopes to advance in the use of critical thinking.
Today, there is an increasing number of opportunities for people to express their otherwise suppressed opinions and emotions (i.e. the Internet). I think it’s a Pandora’s box for Japan in that people who traditionally didn’t have the means and opportunities to express themselves (= lay people, often in a lower socioeconomic status) suddenly have access to the overwhelming amount of “information” (fake or otherwise) and multiple channels to share their opinions as they go. It’s time for us to rethink the meaning of democracy…
From Prof. (Associate) Chisato Nonaka:
Anyways, it’s such a stimulating piece of writing, once again thank you for sharing :)
Interestingly, when I saw the title of your essay, I instantly prepared myself to read something about the current curriculum which may or may not help foster children’s critical thinking skills, so it was rather refreshing that you’ve taken a slightly different approach to discuss the topic.
Sosial
Mini Research Paper Student Assignment Self & Identity in Contemporary Japan adalah salah satu mata kuliah dalam program Japan in Today’s World mengenai diri dan identitas secara umum dan dalam konteks sosial masyarakat Jepang. Pada tulisan ini saya mencoba meneliti identitas dan posisi Muslim di tengah masyarakat Jepang sebagai sebuah agama yang memiliki kebutuhannya tersendiri, terutama terkait kesiapan sarana prasarana pemakanan jenazah Muslim. Agak disayangkan, karena waktu yang terbatas, saya tidak sempat meneliti lebih jauh sebelum menulis. Menurut salah seorang penduduk Muslim Jepang yang saya wawancarai belakangan, masalah tersebut benar adanya, tetapi tidak segawat yang saya gambarkan dalam tulisan ini. Humaniora
When a Muslim’s Life Ends in Japan Self and Identity in Contemporary Japan Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University February 2019
52
Death is something that will eventually come to every living creature in this universe. Some may accept this inevitability, some might not, but it is more than possible for someone to have both attitudes at the same time to some degree (Ray & Najman, 1975). Idealisms, cultures, beliefs, and religions in some ways are affecting this acceptance. Research shows that the strength of belief in God and afterlife statistically reduced death anxiety. It also gives influence on how someone lives his life (Harding, Flannelly, Weaver, & Costa, 2005). However, the journey of a man in the world is not yet finished when his heartbeat stops. The deceased needs to be given a treatment before it is truly detached from those who live. Differences in belief lead to different perceptions of death, thus leading to different methods of caring for bodies. Sometimes, in the situation where distinctly different established methods meet, it can be a quite serious problem for one or another, as in the case of Muslim’s and Japan’s. Death In Japan When it comes to religion, Japan is quite unique. According to data, only 13 percent of Japan’s population actually feel religious in their life (Gallup International, 2015). The rest of the population engage in some religious activities as a part of their traditions and customs. This low attachment to religion perhaps explains why Japan has 154.6 percent of religious affiliation, indicating the practice of more than one religion or religious belief at once (Statista, 2017). In a life of Japanese people, they may have several important occasions like child birth celebration and wedding being run in different religious method or style, like in Shinto or Christian style. But for the case of funeral, most Japanese people do it in Buddhism way.
Then,dead. what happen to those Japanese residents who have different beliefs and traditions? Can Muslim Live In Japan? Muslim existence in Japan is very little compared to its total population. It’s actually difficult to mention the exact number since Japanese government never ask their citizens to declare their religious affinity, but the number is estimated to reach 100,000 or nearly just 0.1 percent from 126.4 billion of all of its residents (Statistic Bureau of Japan, 2015), with 10 percent are Japanese converts and the rest are foreigner from Middle East and Muslim majority country in Asia.
Now the trend has started to shift. Many people tend to wish for more practical and humble funeral. They also have other options to keep the ashes. Instead of keeping it in the cemetery, many want to turn it into beads of jewelry, or have it scattered at the sea (Nakata, 2009). Even so, one thing for sure, cremation is still the main procedure of treating the
Looking at the isolation history and the homogeneousness of Japan, how did Muslims end up in Japan? According to historical theories, Muslims first came to the country in the 8th century by merchants from Middle East through the Silk Route. But the main theories said that it was in 1860s during Meiji era where the country started to open trade with foreign countries. Another important contact was made since the end of 19th century between Japan and Ottoman Caliphate influenced by the same condition of under increasing Western pressure (Fathil & Fathil, 2011). Following that was the translation of Prophet Muhammad Biography in the late 1870s, asylum awarding to Tatar Muslim refugee in early 1900s, Japan attention to Arab World during the oil crisis years in 1970s, and nowadays
53 Buddhism in Japan arrived during the first two millennia AD from China. The belief teaches that everything—including a soul and the body—is transient, and that the cleansing fire of cremation is transformative. Cremation helps to get rid of “pollution” created after a person dies and to move the spirit into the ancestral realm—from a “polluting spirit” to a “purified ancestral spirit” (Fujii, 1983).
In its development, around the 17th century, Confucians accused cremation as disrespectful to the dead and “unnatural”. While Meiji Restoration in the late 19th century viewed anything “Buddhist” was incompatible with “civilization” (Bernstein, 2000). Thus, the government was trying to ban cremation for its air pollution and disrespectfulness to the dead. But full bodies from the burial system surely took up space faster than ashes, and disease epidemics was harder to control without cremation to kill contagions. With western scientist spreading the sanitary benefits of cremation, and the limited space that Japan have, government started to promote cremation instead. From 1950 to 1980, the cremation rate increased from 54 percent to 91.1 percent. Now Japan is in the top of the list of the countries that practice cremation, with 99.97 percent of its dead were cremated in 2014 (Pharos International, 2015). Buddhism as the origin of the method remains along but rather as a tradition, and the practice is now more relaxed. Yet, death and funeral in Japan is still a huge thing. Even though Japanese people don’t feel so religious, in addition to 50,000 yen for the cremation and around one million yen to secure a family plot in regular cemetery, many people are willing and in fact preparing to spent even more money for holding a grand Buddhism funeral ceremony with average total cost reaching 2.31 million yen according to 2008 study by Japan Consumers’ Association.
54 are tourism and the migration of labor forces and international students. Some Japanese converted to Islam through contacts with these foreign Muslims. While some of the immigrants came back to their homeland, some build families with locals and resided in Japan. Generally speaking, living in Japan as a Muslim is definitely not an easy deal. In terms of physical needs, Japanese meals, drinks, and food ingredients are mostly contains those of what in Islam is called haram, or not permissible (to consume). Whereas Islam’s monotheism is the exact opposite of most Japanese tendency on multiple religious affiliates. Their worship methods are totally different and little facility is exists for Muslims. With how small their number is, Muslims in Japan know too well that learning and practicing their religion in this country will be far from the ideal situation.
Good thing is that even though Islamophobia is spread around the world, it is not the case in Japan. They have relatively little knowledge about outside of the country and because of that, consider foreign Muslims just as the same as other foreigners in Japan. They respect you or darely speaking, actually don’t care about you. Their ignorance come in handy at times when you have no option but to do your prayer in the middle of a parking lot (something very weird to do actually in Indonesia, for instance, when you always have a proper place to pray). Yet, at the same time as their nature, Japanese are still trying to be accommodative. Many shops and restaurants are open throughout Japan, especially in urban centers, providing with halal certified food, but with no exception that some Japanese may see this merely as a form of business opportunities. Yet thanks to it all, despite the very different beliefs and cultures, Muslims’ small number in Japan is increasing. A 2008 paper from the Asian National Research Bureau based in Seattle counted the total number of immigrant Muslims at 70,000 to 80,000 which had not counted the number of Japanese Muslims. Now with Japan’s policy on tourism, foreign labor forces, its super global university scheme, and Japan economic relation with Muslim state (which is said to have bigger trade value compared to Japan’s trade with the US), the Muslim population in Japan is prospected to keep growing. That adds another conclusion that is living as a Muslim in Japan is still manageable. But Can Muslim Die In Japan?
Over a few hundred years of Muslim existence in Japan, many of them had died since then. Starting from the time of Prophet Adam, Islam take care of the dead by burying the body. It is stated in the Holy Quran, “Have We not made the earth a container, of the living and the dead?” (Quran Surah Al Mursalat: 25-24, 609–632). It is important for a Muslim to be buried together in a public cemetery with other dead Muslims, separately from non-Muslims’, following the teachings of the Prophet Muhammad and his people as well as to get the prayers from all the Muslims who visit the cemetery. Now, even though the number of Muslim in Japan is small and the death number is definitely much smaller, finding a land for eternal rest of a full dead body of a Muslim in a country who don’t really spare a space for their own dead is a not an easy Althoughcase.indaily life, Japan is generally quite accommodative to Muslim’s living necessity, for the case of the death, it’s a whole different story since local regulations in many areas throughout the nation do not allow burial without cremation, though there is no such prohibition in national level. Many of them are concerned about the sanitary of the soil in the area if they allow burial without cremation and one said, “The image of burial without cremation isn’t good,” (The Yomiuri Shimbun, 2010). Some local residents had said that burial without cremation scares them, maybe because it’s a full body that
Subsequently, some death Muslim were bound to be buried in Christian or Buddhist, though they are not always available. This whole condition often cause the postponement of the burial, while in Islam supposedly, after several procedure, the body is buried in the same day of the day he or she die. Leaving the body too long before being buried is another way to make the dead suffer and increase the pain of their loved ones for seeing Init. the worst cases, some bodies of dead Muslims were cremated by non-Muslim relatives, due to the shortage of available grave for burial and lack of knowledge, as well as the lack of connection to Islamic community. Reflection
The whole situation is understandable as the practice of cremation had been deeply rooted in Japanese tradition. Their lack of knowledge about Muslim is also acceptable since the existence is very small and thus their contact with Muslim is still limited. However, new space for Muslim burial is constantly needed, at least for the native Japanese.
Since Islam is rahmatan lil ‘alamin (blessing for all the universe), living your life according to Islamic law properly must not bring harm to others, this include keeping the good relation with non-Muslim in Japan and being a good Japanese citizen. Therefore hopefully, open new perspective to Japanese people about Muslim and the Islamic way of burial. They also need to strengthen their community, keeping the good internal relation, keep tracks of Muslim individual in their area, so that the number of mistreated dead Muslim will decrease.
The Muslim association in Japan has been doing a lot of effort in advocating their need to Japanese. The best way to do in the next future for Japanese community is practicing Islam as much as they can.
55 being buried instead of ashes. Others are worried if animals would dig the grave and create a mess. While some ended up turning down the agreement of the land purchase once they knew that it would be used for Muslim cemetery. With this situation, it is hard to get a land for Muslim even though they have the Surprisingly,money.
Monjuin, a Buddhist temple in Koshu, Yamanashi Prefecture offered a 4,800 sqm land to Japan Muslim Association, now a home to 120 dead Muslims. With the help from The King of Saudi Arabia, the Saudi Arabia Embassy, and many other parties, Muslim community in Japan today have several places available for burial: a cemetery in Yoichi-cho, Hokkaido; a cemetery in Kobe; and the newly purchased Yawara Cemetery in Ibaraki Prefecture. These cemeteries are taken care by the local Muslim community and they usually don’t charge any fee to purchase the land except around 120.000 yen for the digging and burial fee as well as the maintaining. But still the number is very limited. The cemetery manager in Yamanashi said that the slots are soon to be full in few next years.
Another problem for Muslim in Japan is that the local regulation of some cemeteries cannot accept bodies of nonresidents. The high cost to transport the body is also becoming a concern since the cemeteries’ locations are not evenly spread and sometimes it’s just too far for some region. When a fellow Muslim died in Fukuoka years ago, the family of the dead had to pay 400,000 yen to the cemetery in Kobe. This number is relatively small compared to what Japanese have normally, but we need to note that most Muslim in Japan are not native and they are not prepared to the high cost needed to treat the dead in Japan, while sending the dead body to their homeland would cost even much higher than this.
Bernstein, A. (2000). Fire and Earth: The Forging of Modern Cremation in Meiji Japan. Japanese Journal of Religious Studies, Vol. 27, No. 3/4, pp. 297-334.
As for Muslim outside Japan, I believe that Muslim solidarity is not limited to ethnicity or nationality. Muslim states’ who play a big role in trade with Japan need to help seek for agreement with Japanese government to provide decent amount of burial location that are evenly distributed according to the number and the spread of Muslim population in
DyingJapan.as
Ray, J. J., & Najman, J. (1975). Death Anxiety and Death Acceptance: A Preliminary Approach. Omega. Rehmat. (2017, September 8). Japan: No place for Islamophobia. Retrieved from Rehmat’s World: dawahislamia.com/problems-of-muslim-graveyard.phpinmuslims-suddenly-visiting-japanscmp.com/week-asia/society/article/2092664/why-are-so-many-visitingcom/2017/09/08/japan-no-place-for-islamophobia/https://rehmat1.Ryall,J.(2017,May7).WhyaresomanyMuslimssuddenlyJapan?RetrievedfromThisWeekinAsia:https://www.Siddiqui,A.(2014,May31).ProblemsofMuslimGraveyardJapan.RetrievedfromJapanIslamicFoundation:http://www.
References
Fathil, F., & Fathil, F. (2011). Islam in Minority Muslim Countries: A Case Study on Japan and Korea. World Journal of Islamic History and Civilization, 130-141.
56
Fujii, M. (1983). Maintenance and Change in Japanese Traditional Funerals and Death-Related Behavior. Japanese Journal of Religious Studies , Vol. 10, No. 1 , pp. 39-64. Gallup International. (2015). Losing Our Religion? Two Thirds of People Still Claim to be Religious. Sofia: Gallup International. Halal in Japan. (2018, September 28). Islam in Japan: Past, Present, and Future. Retrieved from Halal in Japan: halalinjapan.com/blog/islam-in-japan-past-present-and-futurehttps://www.Harding,S.R.,Flannelly,K.J.,Weaver,A.J.,&Costa,K.G.
Pharos International. (2015). International Cremation Statistics 2014.Qdeyeri, A. (2014, March). Why Muslims hasten to bury the dead? Retrieved from Vanguad News Nigeria: Kareem.vanguardngr.com/2014/03/muslims-hasten-bury-dead/amp/https://www.QuranSurahAlMursalat:25-24.(609–632).InAlQuranAlMecca,Medina.
a Muslim in Indonesia never becomes a problem to me since Islam is widely practiced by the majority of the country and the method of burial is very common that it has become a part of the culture and tradition at some point. But now that I came to Japan, since death will come to everyone regardless of time, place, and age, there exist the possibility of me to die here, as big as the possibility that I have to die in my own country. My best effort to prepare for my death or rather, my afterlife, is probably to learn and practice my religion as much as I can, do all my responsibilities as well as I can, and personally being involved in the Muslim community so that it is possible for me later to be treated properly according to Islamic way when I die in this country.
(2005). The Influence of Religion on Death Anxiety and Death Acceptance. Routledge. Hiatt, A. (2015, September 9). The History of Cremation in Japan. Retrieved from JSTOR Daily: https://daily.jstor.org/historyjapan-cremation/JapanIslamic Trust. (2012, May 24). Burial Assistance. Retrieved from Japan Islamic Trust: https://www.islam.or.jp/ en/?s=funeral Japan Islamic Trust. (2014, July 24). Muslim GraveyardYawara, Ibaragi Ken. Retrieved from Japan Islamic Trust: https:// www.islam.or.jp/en/2014/07/24/graveyard-yawara/ Nakata, H. (2009, July 28). Japan’s funerals deep-rooted mix of ritual, form. Retrieved from The Japan Times: japantimes.co.jp/news/2009/07/28/reference/japans-funerals-https://www.
deep-rooted-mix-of-ritual-form/#.XFjy61wzbIX
Statista. (2017). Japan: Religious affiliations in 2017. Statista. Statistic Bureau of Japan. (2015). 2018 Population Estimation. Statistic Bureau of Japan. The Yomiuri Shimbun. (2010, August 16). Japanese Muslims worried by graveyard shortage in Japan. Retrieved from IGN Boards: increasesN.,worried-by-graveyard-shortage-in-japan.194921975/https://www.ign.com/boards/threads/japanese-muslims-Utami,H.(2019,January20).MuslimDeathinJapan.(H.S.Interviewer)Yildirim,C.(2015,May31).MuslimpopulationinJapanwithIslamicdemands.RetrievedfromDailySabah
A Muslim teenage died last night in Kyudai Hospital and I can’t help but imagine the hardship that the family and the community have to go through to place this young human in a decent eternal rest. I hope that writing this will also help the situation. Wallahu a’lam bishawab, and Allah knows the best.
From Prof. (Associate) Chisato Nonaka:
It’s great that you tackled the oft-contentious topic of “death x religion” from multiple angles including history, politics, social changes, and funeral industry. It shows that you made attempts to unpack the issues around death by leveraging your specific religious upbringing which I’m sure took a lot of courage on your part. I learned a lot from your writing and I think it’s important to raise awareness among the public as you also noted that the demographics of Japan are at a critical crossroads (due to the immigration, tourism, and other social changes in the next few years). I encourage you to submit this to be published in a newsletter, newspaper, or online journal!
57
58 Arsitektur
59 Eko Prawoto: Tentang Hidup & OmahPencarianUGM How classroom design impacts for student learning comfort: Architect perspective on designing classrooms Buku Ajar Estetika Dasar untuk Arsitektur 72706260(2020)(2020)(2017)(2020)
TentangPrawoto:Hidup & ArtikelPencarianSingkat
Eko60
Instastory @hanifahsausann Juli 2020 Refleksi Kuliah-Kuliah Eko Prawoto Eko Prawoto adalah salah satu arsitek Indonesia yang terkenal dengan karya-karya tropis dengan sentuhan arsitektur Jawa. Samasama berdomisili di Yogyakarta, saya punya cukup banyak kesempatan semasa kuliah untuk bertemu langsung dan terpukau dengan kepribadian beliau yang kritis dan rendah hati. Setiap kuliah beliau selalu memukau dan penuh makna. Pak Eko dengan pemikiran dan analogianaloginya selalu mampu menyinggung isu-isu eksistensial manusia secara tepat sasaran, membuat saya merasa seperti dikembalikan lagi pada titik mula sehingga mampu untuk berpikir jernih lagi. Alangkah baiknya bila energi positif itu dapat dirasakan orang lain. Maka, saya buatlah tulisan ini. Alhamdulillah, ia mendapat sambutan baik dari kawan-kawan di Instagram, terutama yang bergerak di bidang arsitektur.
Arsitetur

Dalam sharing session ARCHINESIA “Design Approach + Method”, Pak Eko memaparkan pendekatan dan metode perancangannya yang sangat erat berkaitan dengan cara beliau memandang kehidupan. “Life is bigger than architecture,” begitu tuturnya dalam sebuah diskusi di WA+U Desember lalu. “Keilmuan kita hanya pintu masuk menuju kehidupan.” Bila kehidupan adalah sebuah ruangan, arsitektur hanyalah satu dari sekian banyak pintu untuk memasukinya. Masingmasing pintu tentunya memberikan sudut pandang yang berbeda. Pak Eko menekankan pentingnya mempelajari ilmu di luar bidang arsitektur agar perancang mampu melihat konteks yang lebih luas. Kita perlu masuk lewat pintu lain untuk melihat kehidupan yang lebih utuh. Sehari sebelumnya, dalam “Cakap-Cakap” bersama Imelda Akmal (IG @imelda_akmal), saya sangat terkesan ketika Pak Eko mengatakan, “Kita tidak boleh bohong pada klien terkait batas kemampuan kita.” Beliau secara terbuka dan legowo mengakui keterbatasan tipologi arsitektur yang mampu beliau tangani. “Ibarat orang tidak suka duren, ia tidak mungkin bisa jualan duren.” Karena mendesain perlu komitmen jiwa raga, maka baginya, arsitektur harus yang bisa dijalani serta dekat dengan diri dan hati kita. Bagi yang lebih muda, mungkin ini adalah perang melawan harga diri sebagai arsitek. Maka, ketika mengeksplorasi, mungkin kita tidak hanya harus jujur pada klien, tetapi juga pada diri sendiri.
61
Ya, termasuk pada Pak Eko yang mengaku hingga kini juga masih terus mencari. Jadi, kawan, kamu juga, selamat mencari!
Pak Eko Prawoto dan praktik berarsitekturnya mengingatkan saya tentang adanya bentuk-bentuk arsitektur yang lain, yang mungkin lebih lama prosesnya dan lebih sepi jalannya. Mereka terus hidup dan berkembang, sekalipun tidak mendapatkan sorotan. Karenanya, beliau menyarakan untuk berjalan pelan-pelan dan melihat dengan lebih cermat; menangkap yang mungkin terlewat bila kita bergerak cepat-cepat; tidak buru-buru terpikat dengan yang mengilat dan justru hanyut dalam arus bila kita tidak cukup kuat sehingga terlalu fokus mau membuat “apa” hingga lupa bertanya “mengapa”. Sebelumnya, Pak Eko pernah mengingatkan pentingnya peran institusi pendidikan untuk mengenalkan pilihan-pilihan arsitektur yang beragam kepada calon-calon arsitek—semacam kritik terhadap sistem pendidikan kita yang lebih banyak berorientasi pada industri. Namun, terlepas dari keberhasilan atau kegagalan kampus dalam menjalankan peran tersebut, kebutuhan untuk mencari akan terus ada dan pada akhirnya ia dikembalikan lagi kepada diri kita masing-masing.
Omah62
Kritik Arsitektur
Arsitetur
Esai Akademik Saya mempercayai bahwa untuk menulis sebuah kritik arsitektur deskriptif, kita perlu mengenal karya yang kritik dengan baik. Maka tak hanya pengetahuan mengenai rancangan, latar belakang, dan konteks bangunan saja yang perlu dimiliki, pengalaman ruang langsung juga menjadi penting. Omah UGM saya pilih selain karena sering disebut dan dibahas dalam berbagai perkuliahan, juga karena saya telah beberapa kali mengungjungi tempat ini secara langsung. Nilai sejarah dan keberlanjutannya yang lestari amat mengagumkan dan menarik untuk Selaindibahas.menulis, pada karya ini saya juga berkesempatan untuk menyusun tata letaknya.
UGM Deskriptif Mata Kuliah Kritik Arsitektur Program Studi S1 Arsitektur, FT, UGM Desember 2017
63

64 a Latar Belakang Bangunan Akibat gempa sebesar 5,9 SR yang melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006, Kotagede menjadi salah satu kawasan dengan kerusakan cukup parah, baik dari segi infrastruktur maupun jumlah korban manusia yang ditimbulkannya. Kerusakan fisik di Kotagede amat disayangkan lantaran kawasan ini merupakan kota tua warisan Kerajaan Mataram Islam yang menandai asal usul Kraton Kasultanan Yogyakarta. Namun, jelas bahwa kala itu, bantuan dan upaya mitigasi belum bisa menyentuh artefak budaya ketika pemulihan masyarakat korban gempa menjadi lebih penting. Ekonomi yang melemah mendorong masyarakat Kotagede untuk menjual pendopo dan rumah yang tersisa agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari pascagempa. Pada tahun 2007, di tengah kekhawatiran akan keberlangsungan pusaka dan budaya Kotagede, keluarga Pasti Darsono menawarkan rumahnya untuk dibeli oleh UGM agar dirawat daan dipertahankan nilai-nilai budayanya sehingga tidak berakhir seperti rumah-rumah lainnya. UGM yang telah lama mengamati fenomena ini menyambut baik tawaran itu dan membeli rumah tersebut.
Berkolaborasi dengan Jogja Heritage Society, Indonesia Heritage Trust, dan ICOMOS Indonesia; ditambah bantuan dari JICA, Total Indonesiaa, dan Exxon Mobile, rumah yang dibantun tahun 1860 ini akhirnya direkonstruksi ulang dan diberi tambahan pada bagian tersentu. Banguanna yang awalnya ditujukan sebagai pusat pelatihan ini kini telah berkembang fungsinya menjadi lebih luas.






65
Desain bangunan Seperti rumah adat Jawa pada umumnya, Omah UGM terdiri dari ndalem (rumah utama), pendopo, pringgitan (ruangan antara pendapa dan bagian rumah utama), gandok (bangunan yang menempel di samping kiri atau kanan ndalem), dan pawon (dapur). Pendopo yang sudah lama tidak ada diganti dengan pendopo joglo baru yang didatangkan dari daerah sekitar Kotagede dan diletakkan pada entrance di sisi selatan. Pendopo baru ini sangat polos dan sederhana, tetapi justru menarik karena karakter kayu dan tektonikanya jadi lebih menonjol. Bagian ndalem yang rubuh sebagian akhirnya dibongkar dan dikonstruksi ulang, mempertahankan denah khas rumah Jawa dan desain interiornya yang mendapat pengaruh dari Eropa. Kini, senthong (kamar) pada ndalem berfungsi layaknya senthong rumah Jawa pada umumnya: sebagai kamar tidur, ruang penyimpanan, dan khusus senthong tengah untuk ruang pemujaan Dewi Sri (dewi padi).


bcd
66
Gandhok di sisi timur ndalem difungsikan sebagai ruang makan, sementara ruangruang di sebelahnya digunakan sebagai ruang pamer artefak budaya dan poster pelestarian pusaka Kotagede. Pawon di bagian belakang yang rusak total dibangun lagi secara sederhana, sekadar untuk menggambarkan budaya masak masyarakat Jawa yang menggunakan luweng (tungku) dan alat-alat masak lainnya yang khas.





Gandhok yang berada di sisi tenggara tapak rubuh hampir sepenuhnya, menyisakan lantai dan sebagian dinding yang menempel pada kolom. Tim olah desain yang bekerja saat itu tetap mempertahankan reruntuhan tersebut dan memberikan sentuhan modern dengan desain tropis.
67

68 kritik penulis Omah UGM rasanya bisa merangkum berbagai karakter hunian yang ada di Kotagede. Dari pola tata ruang yang khas Jawa, pendopo polosan yang lugu, hingga langgam khas Kotagede seperti bahu danyang (konsol tritisan dengan ukiran tradisional) juga ada di sini. Omah UGM juga mampu merepresentasikan karakter Eropa yang turut mempengaruhi arsitektur rumah kalang (rumah kaum pedagang) di Kotagede. Hal ini terlihat dari finishing dinding bata, langgam pada daun pintu, jendela, dan model furnitur yang digunakan di rumah ini. Keberagaman fungsi Omah UGM juga menambah pesona tempat ini. Kegiatan seperti kumpul warga, lokakarya, hingga pemilu biasa dilakukan di sini. Omah UGM juga sering digunakan sebagai lokasi pemotretan pre-wedding. Bahkan, film sepopuler “Sang Pencerah” juga turut menggunakan tempat ini sebagai salah satu latarnya. Pesona Omah UGM yang mampu meleburkan banyak pihak ini tentunya menambah kebanggaan masyarakat Kotagede. Hal yang menurut penulis sangat patut untuk diapresiasi adalah kejujuran tim olah desain dan pengelola dalam menghadirkan informasi mengenai apa yang asli dan apa yang tidak, baik secara tekstual maupun arsitektural. Di Omah UGM, tanpa melihat info tertulis, kita sudah bisa mengetahui bagian mana yang merupakan konstruksi eksisting dan bagian mana yang merupakan tambahan. Memilih untuk menciptakan kekontrasan ini menurut saya merupakan sebuah etika yang gampanggampang susah untuk diterapkan ketika ada ego untuk mengembalikan segala sesuatu seperti sedia kala. Dengan melihat Omah UGM, masyarakat setempat maupun pengunjung mampu mendapat gambaran kondisi sebelum gempa, seberapa parah gempa yang melanda dan kerusakan yang ditimbulkannya, serta bagaimana masyarakat bersemangat untuk membangun kembali kehidupannya. Mungkin bukan kehidupan yang sama, melainkan yang penuh pengharapan untuk menjadi lebih baik.
69 Referensi Adishakti, Laretna T. (2008, 25-28 Oktober). Building Consiousness on Heritage Cities in Indonesia [Paper presentation]. International Conference of World Heritage Cities of Euro-Asia, Solo, Indonesia. sites/397/2018/07/BUILDINGCONSIOUSNESSONHERITAGECITIESININDONESIA.pdfhttps://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/uploads/PelestarianalaOmahUGM.(2009,13Juli). Kompas.com. kompas.com/read/2009/07/13/1511098/pelestarian.ala.omah.ugmhttps://nasional.Sartono,A.(2013,3September).
indeks gambar A. Adishakti, Laretna T. (2008, 25-28 Oktober). Building Consiousness on Heritage Cities in Indonesia [Paper presentation]. International Conference of World Heritage Cities of Euro-Asia, Solo, Indonesia. ONESIA.pdfuploads/sites/397/2018/07/BUILDINGCONSIOUSNESSONHERITAGECITIESININDhttps://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/ B. https://www.instagram.com/p/BRoQjbDFbJY/ C. https://www.instagram.com/p/BRoQEhKFBd2/ D. https://www.instagram.com/p/BRoQPVelavs/
Tembi News. (Tautan tak lagi tersedia). Gusti. (2017, 2 Maret). Pendopo Kuno di Kotagede Potensial Menjadi Warisan Cagar Budaya. UGM. Warisanpotensial-menjadi-warisan-cagar-budayahttps://ugm.ac.id/id/berita/13403-pendopo-kuno-di-kotagede-RedaksiNgangsukawruh.(2017,27November).OmahUGMKotagede,BudayauntukAnakBangsa. Ngangsu Kawruh. com/2017/11/27/omah-ugm-kotagede-warisan-budaya-untuk-anak-bangsa/https://ngangsukawruh.Punto.(2011,12Oktober).TentangOmahUGM.
Mengelola Kota Pusaka. http:// taleofcities.blogspot.com/2011/10/tentang-omah-ugm.html
International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE)
classroomsdesigningperspectivecomfort:learningArchitecton
(Co-Author) Arsitetur
70 How designclassroomimpacts for student
Asisten Publikasi Departemen Arsitektur & Perancanaan, FT, UGM September 2020 Artikel ini merupakan salah satu produk yang saya hasilkan sebagai asisten publikasi. Healthy & Compact School merupakan tema besar dari keseluruhan penelitian yang dilakukan oleh penulis pertama. Selama penyusunan artikel ini, saya mengambil peran dalam pengolahan data dan penyusunan artikel dalam bahasa Indonesia.
Kurnia Widiastuti1 , Mohamad Joko Susilo2, Hanifah Sausan Nurfinaputri3 1,3Department of Architecture and Planning, Universitas Gajah Mada, Indonesia
Email: k.widiastuti@ugm.ac.id 1. INTRODUCTION
2Master of Islamic Studies Department, Universitas Islam Indonesia, Indonesia
Because of students spend more time in school, so they do not get bored easily the class should have a fun design, comfortable to learn, and not monotonous [6]. This is because the classroom is the element that most influences student progress and learning success [7, 8]. As happened in public elementary school of 002 Bangkinang Kota, in the classroom carpet was provided with the aim of giving freedom to students to choose where to study, sit on a bench or on a carpet. Even when feeling tired, students are allowed to study while
Article history: Received Mar 8, 2020 Revised Jun 16, 2020 Accepted Jul 21, 2020 This study aimed to determine the factors that influence student learning comfort in the classroom and its distribution. This explorative study employed 772 students who were elementary school, junior high school, and senior high school students in several Muhammadiyah Yogyakarta schools. Data collection techniques using open questionnaires. The data analysis technique uses qualitative analysis which consists of three stages: open coding, axial coding, and selective coding. The results showed that the factors that influence learning comfort of students in the classroom include: air circulation, quietness, cleanliness, adequate & supportive facilities, and peer attendance. These five factors are among other factors that are grouped into two: 1) factors originating from the physical environment (of building & site themes and of indoor space themes); and 2) factors from within its occupants (of human themes). The theme that shows the highest influence comes from the physical conditions in the classroom, that is indoor space themes.
Keywords: Classroom design StudentLearningFormalComfortschool
71 International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE) Vol. 9, No. 3, September 2020, pp. 469~477 ISSN: 2252-8822, DOI: 10.11591/ijere.v9i3.20566 469 Journal homepage : http://ijere.iaescore.com
Article Info ABSTRACT
This is an open access article under the CC BY-SA license.
How classroom design impacts for student learning comfort: Architect perspective on designing classrooms
Corresponding Author: Kurnia DepartmentWidiastuti,ofArchitecture and Planning, Engineering Faculty, Universitas Gajah Mada, 02 Grafika Road, Senolowo, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55281, Indonesia.
Nowadays, the policy of schools in Indonesia, both public and private schools, on average implements a full-day school system. This policy was initiated by Minister of Education and Culture in 2016 [1, 2]. Previously, this system was only applied to schools in boarding schools. In the full day school system students are at school for approximately 8 hours every day which takes place around 07.00 to 16.00 or at 6.45 to 15.00 according to local time. Compared to the half day system (regular), full day school system means an increase in the duration of learning time from 6-8 to 10-12 hours of learning, where 1 hour of learning is about 35 minutes for the elementary school level. This time includes additional time to rest, pray, and eat. Full day school learning is carried out for 4 days in 1 week. Friday learning takes place in a half day system. Likewise Saturday is generally for extracurricular activities or self-development [3-5].

Asisten72 Publikasi Departemen Arsitektur & Perancanaan, Fakultas Teknik, UGM September 2020 (Co-Author) Estetika Dasar adalah mata kuliah wajib di Program Studi S1 Arsitektur UGM bagi mahasiswa tahun pertama yang mengajarkan prinsip-prinsip estetika yang esensial pada komposisi dwimatra (2D) dan trimatra (3D) sembari membangun relevansi terhadap bidang arsitektur. Dalam penyusunan buku ini, saya berkontribusi mengonversi modul-modul presentasi menjadi penjelasan tertulis juga mengerjakan keseluruhan desain buku ini. Buku ArsitekturDasarEstetikaAjaruntukArsitetur

73

74 “Siapa yang menulis buku, berarti telah meletakkan akalnya di atas nampan, lalu menyuguhkannya ke semua orang.” upak.upik@gmail.com@hanifahsausann0813-8798-3302E-mailInstagramPhone Kritik dan saran: - Al Khathib -