Hanifah Sausan N. - Writing Portfolio (2015-2020) | Architecture

Page 1

2015-2020

i

PortfolioWritingHanifahSausanN.

Di masa kanak-kanak sering menulis cerita & novel yang seringkali tidak selesai. Sebagai remaja yang pendiam, lebih suka untuk berekspresi lewat blog pribadi. Jatuh cinta dengan arsitektur sejak SMP dan bertekad untuk menjadi arsitek. Ketika akhirnya bersekolah arsitektur, dalam prosesnya sering merasa kurang cocok dengan cara berarsitektur yang dijalani dan lama-lama kembali lagi ke dunia menulis. Selama mengikuti exchange program ke Jepang menjadi lebih banyak berpikir karena dihadapkan dengan berbagai budaya yang berbeda. Tugas-tugas esai bertema sosial humaniora mengenalkannya pada sudut pandang baru dalam melihat manusia sekaligus melatihnya untuk menulis dengan lebih baik lagi. Sepulang dari Jepang mulai menyentuh dunia kerja lewat jalur akademik sebagai asisten dosen. Ketertarikannya dengan manusia masih senantiasa disalurkan lewat analisis film/buku/produk entertainment lainnya yang kemudian dibagikan lewat akun Instagram pribadinya. Kesenangan pada desain dimanfaatkannya untuk mengemas tulisannya menjadi lebih menarik untuk dibaca.

iiHanifah Sausan N. Magelang, 2 Mei 1996

1 Table ofArchitectureContent StudentPost-GraduationAssignment Social Humanities Lifestyle & Entertainment 48322531

2 Architecture

3 Student Assignment Teladan yang Terasingkan dalam Kemajuan Zaman Archilogy Vol. 3 (Contributor) Glassfiber Reinforced Concrete sebagai Material Finishing Interior & Eksterior Bangunan MasjidOmahSuciatiUGM Perancangan Sekolah Alam dengan Teori Ekologi Islam di Magelang: Dissolved Border 221412104

dan Budaya Vernakular Tradisional Papua Student Assignment Sebagai bentuk pembinaan, lembaga pemberi beasiswa yang mendukung studi pendidikan tinggi saya memberikan tugas menulis secara berkala. Tugas yang saya terima untuk pertama kali adalah menulis tentang Papua. Topik arsitektur & budaya vernakular tradisional Papua saya angkat berlandaskan materi kuliah yang saya terima di kampus. Karena ditulis pada tahun pertama sekolah arsitektur, tulisan ini baru menyentuh bagian permukaan (bentuk, corak). Sementara, esensi utama dari arsitektur itu sendiri, berupa pola hidup dan kebudayaan masyarakatnya belum digali cukup dalam. Walau demikian, tulisan ini mendapat apresiasi dari pembina beasiswa atas pemilihan topik arsitektur yang segar untuk pembaca awam (di antara esai lain yang membahas Papua dari sudut pandang mainstream).

Teladan

Architecture

Papua memiliki arsitektur yang terwujud dalam banyak macam, dan Honai yang selama ini diberi label sebagai rumah adat Papua nyatanya hanya milik satu dari lebih dari 250 suku yang ada di penjuru Papua. Suku-suku tersebut tidak bisa disamakan begitu saja. Setiap suku ada dan diakui eksistensinya karena masing-masing memiliki budaya dan cara hidup unik dan khas. Mereka tidak sama meski tidak jauh berbeda.

AkabriEsaiKemajuanTerasingkanyangdalamZamanBeasiswaPaguyubanPertama1970 Mei Arsitektur2015

4

Honai sendiri, mengapa akhirnya dijadikan ikon rumah adat Papua juga berdasar pada prinsip di atas. Awalnya, pelabelan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai banyaknya suku yang ada di Indonesia. Namun, tidak semua suku di Papua memiliki budaya yang matang pada seluruh aspek kehidupan mereka. Tidak semua suku memiliki rumah yang unik. Kebanyakan mereka memiliki rumah dengan bentuk yang sangat sederhana. Tanpa ciri khas tertentu, akan sulit untuk membedakannya dengan rumah adat lain di seluruh Indonesia. Maka, Honai dengan bentuk melingkar dan atapnya yang seperti batok

Persegi: bentuk ini adalah bentuk yang paling banyak digunakan, terutama pada suku-suku dengan gaya hidup yang masih primitif (vernakular).

1. (atas) Ibeiya, 2. (bawah) Yame Owaa

Tiga “Wajah” Arsitektur Papua Bila digolongkan berdasarkan raut dasarnya, terdapat tiga bentuk utama dalam arsitektur papua. Bentuk-bentuk tersebut merupakan adaptasi masingmasing suku terhadap kondisi geografis daerah tempat mereka berhuni. Pemilihannya juga didasari kuatnya pengaruh animisme dan dinamisme dalam kepercayaan mereka.

Tradisional adalah tahap lanjut dari lahirnya suatu budaya, di mana aplikasi bentuk berdasar pada nilainilai filosofi tertentu yang dianut oleh masing-masing kelompok etnis. Maka, bentuk akhir dari arsitektur tradisional menjadi sangat khas, sehingga dapat dibedakan jenisnya satu sama lain.

Persegi dipilih antara lain karena sederhana, mudah didirikan, dan sangat fungsional dari segi penggunaan ruang. Contoh rumah adat: Yame Owa (rumah laki-laki) Suku Mee , Ibeiya (rumah kaki seribu) Suku Moile, Rumah Tinggi Suku Korowai.

5 kelapa terlihat paling menonjol dan berbeda, sehingga dilabeli sebagai rumah adat Papua, sekaligus memberi efek generalisasi pada seluruh suku yang ada di Papua. Vernakular, Tradisional, Vernakular Tradisional Sebelum menelaah rumah-rumah adat papua lebih jauh, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa klasifikasi arsitekur dan budaya bila didasarkan pada proses perkembangan budaya.

Sedangkan Vernakular Tradisional adalah tipe yang paling umum disandang hampir seluruh arsitektur lokal di Indonesia. Meski telah memiliki ciri khas yang unik, arsitektur tersebut masih memiliki aspek-aspek vernakular seperti penggunaan material lokal, pembangunan dengan sistem gotong royong, dan adanya sistem perlindungan tertentu yang melindungi pengguna dari ancaman luar.

Vernakular, adalah sesuatu yang anonim, pribumi, polos, primitif, sederhana, dan berdasar pada potensi lokal. Dapat dikatakan vernacular adalah sebuah tahap awal dari proses lahirnya sebuah budaya (masih berdasar pada insting, spontan, menyikapi kondisi alam), ditandai dengan bentuk yang sederhana, sehingga sulit membedakan mana yang merupakan hasil kebudayaan mana karena bentuk yang mirip satu sama lain (tidak memiliki ciri khas tertentu). Hal inilah yang terjadi pada rumah adat suku-suku di Papua yang akhirnya mengalami generalisasi karena belum sepenuhnya mencirikan budaya masing-masing (primitif).

Nilai-Nilai dan Kearifan Lokal Arsitektur Papua Aspek Tradisional Suku-suku di Papua memiliki tingkat solidaritas yang tinggi. Mereka hidup secara berkelompok dan mendiami wilayah teritorial terntentu. Mereka saling melindungi satu sama lain dan gerakan bergotong royong telah mengakar pada darah mereka. Karakter ini mengalami simbolisasi, seperti pada rumah Honai Suku Dani di mana bentuk lingkaran memiliki makna kesatuan dan persatuan yang paling tinggi untuk mempertahankan dan mewariskan budaya, suku, harkat, martabat yang telah di pertahankan oleh nenek moyang dari dulu hingga saat ini. Lingkaran 3. Replika rumah Kariwari, TMII.

Pemisahan berlanjut pada aspek pendidikan dan pembakalan kepada anak-anak dan remaja agar siap untuk menjalankan tugasnya masing-masing sesuai gendernya. Edukasi dilakukan dalam hunian masing-masing dan mereka tidak boleh memasuki teritorial lawan jenis. Laki-laki dan perempuan dapat berbaur di dapur ketika makan, ketika memuja dewa maupun leluhur di rumah adat, atau saat perayaan. Sedangkan hubungan suami istri biasanya dilakukan di ladang atau gubuk kecil di luar area pemukiman.

4. Honai

dipisahkan sejak usia empat hingga tujuh tahun. Mereka percaya bahwa dengan tinggal (tidur) bersama, laki-laki tidak akan berpikir baik, logis, dan benar. Laki-laki juga dilarang untuk mendekati perempuan pada saat perempuan mengalami menstruasi. Permisahan ini juga wujud penegasan dalam pembagian tugas. Laki-laki bertugas untuk memimpin arah gerak suku, melindungi suku, dan berburu makanan. Sedangkan perempuan bertugas mengurus rumah, memasak, mengurus ternak babi, dan berladang.

juga bermakna sehati, sepikir dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Berlanjut pada fungsi, ketika hunian modern membagi fungsinya dalam ruang-ruang yang terintegrasi dalam satu massa bangunan, suku-suku di Papua membangun beberapa bangunan kecil dengan fungsi-fungsi yang berbeda, di antaranya: rumah adat, rumah laki-laki, rumah perempuan, dapur, dan kandang ternak. Mereka memiliki bentuk yang hampir sama terutama pada rumah adat, rumah laki-laki, dan rumah perempuan. Perbedaan hirarki duwujudkan dalam perbedaan dimensi. Bangunan lain yang memiliki fungsi servis dibuat lebih Laki-lakisederhana.danperempuan

6

Segi enam tingkat tiga: salah satunya digunakan dalam Kariwari (rumah laki-laki) milik Suku TobatiEnggros yang mendiami tepian Danau Sentani di Kabupaten Jayapura. Atapnya yang mengerucut ke atas lebih mengarah kepada kepercayaan masyarakat dalam mendekatkan diri dengan roh para leluhur. Lingkaran: seperti yang digunakan oleh Suku Dani pada Honai (rumah laki-laki).

Aspek Vernakular Kembali kepada fungsi utama hunian sebagai tempat manusia berlindung dan bertahan hidup, maka sebuah desain hunian harus aman. Ancaman yang secara umum ada pada masyarakat Papua adalah iklim, bencana alam, binatang buas, dan musuh (suku lain). Seperti Suku Dani, dalam menentukan lokasi perkampungannya (uma), mereka mengutamakan tempat yang tinggi tetapi tidak jauh dari sungai. Pemilihan lokasi yang tinggi ini merupakan salah satu cara masyarakat Dani untuk menghindari bahaya banjir, air tergenang, serbuan binatang buas, serta sergapan suku-suku lain. Selain itu mereka menggunakan pintu dengan pangkal yang tinggi untuk menghalau hewan buas masuk. Suku lain mengatasi banjir atau air pasang, sekaligus hewan buas dengan cara meninggikan rumah mereka (lantai panggung). Lantai ditopang dengan kolom-kolom (tiang) hingga ketinggian tertentu, seperti yang dilakukan suku Moile pada Ibeiya dan Suku Tobati-Enggros pada Kariwari, dan juga sukusuku lain yang umumnya mendiami area pantai, danau, dan hutan. Salah satu yang paling unik adalah rumah adat Suku Korowai yang disebut Rumah Tinggi. Disebut demikian karena posisi rumahnya yang sangat tinggi, dibangun di atas pohon untuk menghindari hewan buas. Selain itu, teknik ini merupakan strategi 6. Rumah Tinggi 5. Uma untuk melakukan perburuan terhadap binatang yang akan dijadikan makanan. Rumah ini juga dilengkapi kamuflase berupa penggunaan material kayu yang sama dengan pohon tempat rumah didirikan. Ketinggian rumah umumnya mencapai 40 meter di atas tanah. Namun, beberapa waktu yang lalu, pernah dibangun Rumah Suku Korowai dengan ketinggian 140 meter yang membutuhkan waktu dua Dalamminggu.menghadapi

gempa, masyarakat Papua memiliki cara yang bermacam-macam. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan penggunaan kayu sebagai material utama serta sambungan yang fleksibel terhadap goncangan. Pada Honai, Suku Dani mengunakan bahan penutup atap yang terbuat dari jerami/rumbia (rumput alang-alang), dengan pertimbangan bahwa material tersebut ringan, lentur, menyerap goncangan gempa. Suku Moile mengaplikasikan perkuatan pada struktur pondasi dan kolom penopang lantai, yaitu substruktur berupa balok yang dipasang diagonal bernama hauwa.

7

Lain halnya dengan masalah iklim. Udara yang bersuhu rendah mengharuskan rumah-rumah memiliki perapian di dalamnya. Perapian ini berfungsi sekaligus sebagai penerang pada malam hari dan pusat berkumpulnya orang-orang. Ketika tidur, kaki mereka dihadapkan pada perapian agar selalu hangat. Sedangkan asap dipercaya dapat mengawetkan rumput alang-alang sehingga tidak harus sering diganti. Perapian juga merupakan solusi pada rumah adat Ibeiya untuk mendapatkan sirkulasi udara yang baik, dengan cara memanfaatkan prinsip udara panas akan bergerak ke atas. Perapian akan memanaskan udara, lalu udara yang naik dibebaskan melalui ventilasi atas. Kemudian, udara dingin akan mengisi ruang yang ditinggalkan udara panas melalui bukaan yang minim berupa pintu di bagian depan dan belakang rumah. Lain halnya dengan Ibeiya, Honai mengaplikasikan sistem dinding ganda yang memiliki celah di antaranya untuk adaptasi udara, sehingga ketika udara di luar dingin, udara di dalam rumah hangat. Salah satu ciri utama arsitektur vernacular adalah penggunaan material lokal. Salah satu sebabnya adalah karena hunian vernacular didirikan dengan cepat, sehingga bahan yang digunakan yang dekatdekat saja. Sebab lain adalah untuk memudahkan proses renovasi komponen hunian yang rusak. Berkaitan dengan hal ini, umumnya setiap kelompok etnis memiliki “hutan adat”nya sendiri-sendiri. Hutan adat ini terletak tidak jauh dari pemukiman suku dan selalu dijaga kelestariannya sebagai wujud terima kasih mereka atas apa yang telah alam berikan pada Merekamereka.tidak

sembarangan bila berniat mengambil kayu. Kayu yang akan digunakan tidak serta merta kemudian langsung ditebang tetapi akan dilucuti dahulu daun-daunnya. Kemudian, pohon ditinggal selama sekitar sebulan atau dua bulan agar perlahanlahan mati layu hingga cengkeraman akar pohon menjadi melemas pada tanah, lalu ditebang. Alasan proses ini dilakukan adalah untuk menjaga tanah dari proses erosi atau tanah longsor. 7. Siteplan Rancangan Kantor Bupati Jayawijaya

8

Geliat Konservasi dan Preservasi Arsitektur Papua di Era Modern Papua dengan kekayaan alamnya yang luar biasa kini sedang giat membangun. Modernitas perlahan merengkuh suku-suku pedalaman Papua. Tak dapat dipungkiri, teknologi mempermudah segalanya. Maka tidak heran bila gaya hidup tradisional mulai Sayangnya,ditinggalkan.perubahan ini kurang berorientasi pada kelestarian arsitektur papua. Gedung pemerintahan dan fasilitas publik dibangun dengan gaya yang kejawa-jawaan, berkiblat pada penguasa negeri. Padahal tidak semua konstruksi itu cocok dengan iklim maupun cuaca di Papua. Belum lagi identitas asli Papua mulai terkikis karena dianggap kuno atau Bersyukurlah,terbelakang. terdapat pihak-pihak yang sadar akan hal ini dan menjalankan pembangunan dengan berorientasi pada kultur Papua. Semisal wacana pembangunan Kantor Bupati Jayawijaya yang terinspirasi oleh sistem klustering Suku Dani, atau sayembara Landmark Jayapura berupa menara penjaga (kayou) (tetapi dibatalkan hasilnya karena kayou adalah milik Suku Dani yang bukan berasal dari Jayapura). Mungkin bukti konkretnya bisa kita lihat dari aksi Yayasan Rumah Asuh yang merekonstruksi lagi kayou milik Suku Dani di Suroba, Lembah Baliem serta memperbaiki Honai-Honai yang rusak.

1.15)Arsitektut Tradisional dalam Perkembangan Pembangunan. pembangunan/436704313105613ajamaru/arsitektur-tradisional-dalam-perkembangan-https://www.facebook.com/notes/plato-(diaksespada5/16/2015

pukul

Arsitektur Tradisional (Yame Owa) dan Kearifan Membangun Suku Mee Papua (1) menakjubkan/mobgenic.com/2012/11/30/rumah-pohon-suku-korowai-yang-padacom/2012/02/arsitektur-tradisional-yame-owa-dan.htmlhttp://radiosuaradogiyaifm.blogspot.(diakses5/19/2015pukul2.30)RumahPohonSukuKorowaiyangMenakjubkanhttp://www.(diaksespada5/19/2015pukul2.46) Indeks Gambar 1. AAAAAAAAAkc/N_0_yWEiIwQ/s640/1.jpghttps://4.bp.blogspot.com/-uoibsY8qLy4/VHLfN-v7WcI/ 2. AAAAAAAABW8/eC8PqRaL4sc/s1600/DSC00217.JPGhttp://2.bp.blogspot.com/-eW4jtPngV3I/U14aNxDkjII/ 3. jpg?w=300&h=450https://arsitektour.files.wordpress.com/2014/12/arsitektur-a1. 4. 3acb6263572f.jpgAAAAAAAAGlA/YCoJCTpHbvc/s320/734be57fd9461b0ee399http://4.bp.blogspot.com/-jlN77Q1sbSM/UgaiA0sHM1I/ 5. https://www.pedomanwisata.com/md.110.110.1425708235. jpg 6. btYHtFI/AAAAAAAAj6k/HKOGOQmkAgA/s800/korowai-https://lh5.googleusercontent.com/-1Dj843v-Ocg/UQPtribe-1.jpg 7. perancangan.jpg?w=194&h=300https://tombakdirgantara.files.wordpress.com/2011/10/16_ 8. sebagai-landmark-jayapura/https://www.itchcreature.com/2010/08/09/menara-penjaga-

padadetail-artikel/763-rumah-pohon-suku-korawai-papua.phppapua-melalui-3-wajah-nya/arsitektour.wordpress.com/2014/12/03/mengenal-arsitektur-itchcreature.com/?p=5195/16/2015Tuntas.padatombakdirgantara.wordpress.com/tag/arsitektur-papua/danruang-kota-di-papua/deateytomawin.wordpress.com/2009/03/18/politik-arsitektur-https://(diaksespada5/16/2015pukul2.19)PermukimanHonaiSukuDaniSiInspiratorRancanganhttps://(diakses5/16/2015pukul2.30)SurobaFile2015:BelajarMembangunPeradabanyanghttp://itcarchitecture.com/?p=3903(diaksespadapukul2.44)MenaraPenjaga,SebagaiLandmarkJayapura.http://www.(diaksespada5/16/2015pukul2.45)MengenalArsitekturPapuaMelalui3“Wajahnya”.https://(diaksespada5/16/2015pukul2.47)RumahPohonSukuKorowaiPapuahttp://www.imagebali.net/(diakses5/16/2015pukul2.55)

Politik Arsitektur dan Ruang Kota di Papua

1.22)

Penutup Terlepas dari arsitektur, ada jauh lebih banyak teladan yang bisa kita petik dari kehidupan sukusuku di Papua. Salah satunya lewat gaya hidupnya yang berorientasi pada kelestarian alam. Dari mulai pakaian hingga makanan yang mereka gunakan dan konsumsi, semuanya berasal dari alam di sekitar mereka lalu menjadi sampah yang larut dicerna oleh bumi, bahan yang “tuntas”, selesai secara ekologi, lestari, kembali ke alam. Mengutip P. Khrisno A., “Kita yang tinggal di Kota, selalu disediakan makanan nasi dan berpakaian yang telah kita anggap layak tetapi tidak menutaskan masalah secara holistik. Kita dituntut secara sosial untuk beradab tetapi tidak bisa bahkan cenderung tak acuh menyelesaikan masalah sampah seperti misalnya plastik dan detergen.” Kita perlu mencoba belajar kembali pada mereka, mencoba mengambil kebijakan yang baik yang diajarkan masyarakat tradisi untuk hidup dan berdampingan dengan alam dan lingkungan.

8. Desain Sayembara Landmark Jayapura Referensi -----------. 1999. Indonesian Heritage Vol.6 “Architecture”. Singapore: Archipelago Press Hematang, Yashinta I. P., dkk. 2014. Kearifan Lokal Ibeiya dan Konservasi Arsitektur Vernakular Papua Barat. Semarang: Indonesian Journal of Conservation -----------. 2013/2014. Tipologi Arsitektur Tradisional Rumah Honai Suku Dani Papua. Papua: PRODI S1 TEKNIK ARSITEKTUR, UNIVERSITAS TADULAKO (ppt) Arsitektur Tradisional Papua. com/arsitektur-tradisional-papua/https://othisarch07.wordpress.diaksespada5/16/2015pukul

9

10 Student Assignment KuliahArchitectureKerjaArsitektur 2016 Wiswakharman Expo 2017 Program Studi S1 Arsitektur, FT, UGM April Redefining2017 Local Value & Identity through Architecture (Contributor) Kuliah Kerja Arsitektur (KKA) merupakan mata kuliah pilihan di Arsitektur UGM yang menjadi momentum bagi setiap angkatan untuk bersama-sama mengolah desain berdasarkan topik tertentu yang ditetapkan secara mandiri. Hasil olah desain kemudian akan dipamerkan di Wiswakharman Expo (WEX). Archilogy merupakan buku yang mencatat proses penentuan topik, perumusan masalah, studi preseden, analisis, hingga penjabaran desain akhir dari KKA. Pada Archilogy Vol. 3, sedikit banyak saya berperan dalam penyuntingan dan berkontribusi langsung dalam penulisan Prolog & Epilog buku ini. Archilogy Vol.3

11

Architecture

sebagai Material Finishing Interior & LaporanSuciatiBangunanEksteriorMasjidKerjaPraktek

12 Abstrak Berbagai bentuk pengembangan material bahan bangunan terus berjalan secara global demi mencapai tingkat efisiensi konstruksi dan daya tahan bangunan yang tinggi. Material komposit menjadi bagian dari inovasi yang paling populer. Salah satu produknya adalah glassfibre reinforced concrete (GRC). Dengan membawa sifat beton yang memiliki daya tahan tinggi, GRC dapat dibuat jauh lebih ringan dari beton biasa, sekaligus mampu mencapai detail rancangan yang tinggi. Sifat tahan air membuatnya cocok untuk berbagai jenis komponen bangunan. Salah satu contoh penggunaan GRC dapat ditemukan di Masjid Suciati Yogyakarta yang terinspirasi dari arsitektur Masjid Nabawi di mana GRC digunakan sebagai plafon dan tembok minaret. Untuk membuktikan keunggulan dari material GRC, dilakukan studi literatur mengenai metode konstruksi dan ornamentasi plafon dan minaret Masjid Nabawi, kriteria material plafon dan tembok eksterior, serta karakter material GRC. Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengetahui teknik pembuatan dan pemasangan GRC di lapangan. Kemudian, dilakukan analisis perbandingan efisiensi penggunaan GRC dengan metode konvensional pada preseden Masjid HasilNabawi.menunjukkan bahwa penggunaan material GRC pada Masjid Suciati dapat meningkatkan efisiensi biaya & waktu konstruksi karena lebih mudah diproduksi, berbobot lebih ringan, dan lebih fleksibel untuk dibentuk daripada batuan cetak pada Masjid Nabawi. Prinsip modular dan konstruksinya yang terpisah dari struktur utama mempermudah pembongkaran saat renovasi kelak.

Program Studi S1 Arsitektur, FT, UGM Juni 2017 Student Assignment Setelah melaksanakan KP selama dua bulan pada Desember 2016 s.d. Februari 2017 di lembaga pengawasan pembangunan Masjid Suciati, Sleman, Yogyakarta, saya memutuskan untuk membahas GRC pada laporan KP saya karena ia merupakan material yang jarang dibahas dalam perkuliahan di kampus dan pengamatan selama KP terhadap material ini memberi saya banyak pelajaran baru. Selain itu, sanggar/rumah produksi GRC yang digunakan pada proyek kebetulan tidak jauh dari tempat tinggal, sehingga saya berkesempatan untuk menyaksikan langsung proses pembuatannya.

ConcreteReinforcedGlassfibre

13

Omah14 UGM Kritik Arsitektur Deskriptif Mata Kuliah Kritik Arsitektur Program Studi S1 Arsitektur, FT, UGM Desember 2017 Student Assignment Saya mempercayai bahwa untuk menulis sebuah kritik arsitektur deskriptif, kita perlu mengenal karya yang kritik dengan baik. Maka tak hanya pengetahuan mengenai rancangan, latar belakang, dan konteks bangunan saja yang perlu dimiliki, pengalaman ruang langsung juga menjadi penting. Omah UGM saya pilih selain karena sering disebut dan dibahas dalam berbagai perkuliahan, juga karena saya telah beberapa kali mengungjungi tempat ini langsung. Nilai sejarah dan keberlanjutannya yang lestari amat mengagumkan dan menarik untuk dibahas. Selain menulis, pada karya ini saya juga berkesempatan untuk menyusun tata letaknya. Architecture

15

16 a

17

18 bcd

19

20

Mengelola Kota Pusaka. http://taleofcities. blogspot.com/2011/10/tentang-omah-ugm.html

indeks gambar A. Adishakti, Laretna T. (2008, 25-28 Oktober). Building Consiousness on Heritage Cities in Indonesia [Paper presentation]. International Conference of World Heritage Cities of EuroAsia, Solo, Indonesia. ILDINGCONSIOUSNESSONHERITAGECITIESININDONESIA.pdfhttps://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/397/2018/07/BU B. https://www.instagram.com/p/BRoQjbDFbJY/ C. https://www.instagram.com/p/BRoQEhKFBd2/ D. https://www.instagram.com/p/BRoQPVelavs/

21 Referensi Adishakti, Laretna T. (2008, 25-28 Oktober). Building Consiousness on Heritage Cities in Indonesia [Paper presentation]. International Conference of World Heritage Cities of Euro-Asia, Solo, Indonesia. NSIOUSNESSONHERITAGECITIESININDONESIA.pdfhttps://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/397/2018/07/BUILDINGCOPelestarianalaOmahUGM.(2009,13Juli). Kompas.com. https://nasional.kompas.com/ read/2009/07/13/1511098/pelestarian.ala.omah.ugmSartono,A.(2013,3September).

Tembi News. (Tautan tak lagi tersedia). Gusti. (2017, 2 Maret). Pendopo Kuno di Kotagede Potensial Menjadi Warisan Cagar Budaya. UGM. untukwarisan-cagar-budayahttps://ugm.ac.id/id/berita/13403-pendopo-kuno-di-kotagede-potensial-menjadi-RedaksiNgangsukawruh.(2017,27November).OmahUGMKotagede,WarisanBudayaAnakBangsa. Ngangsu Kawruh. kotagede-warisan-budaya-untuk-anak-bangsa/https://ngangsukawruh.com/2017/11/27/omah-ugm-Punto.(2011,12Oktober).TentangOmahUGM.

diEkologidenganSekolahPerancanganAlamTeoriIslamMagelang:

22

Student

Architecture

Pra-Tugas Akhir

Abstrak Hadirnya revolusi hijau benar-benar mengubah bagaimana manusia memproduksi sandang dan pangannya. Semakin mudahnya produksi dilakukan, semakin mudah dan murah barang didapat. Kosumerisme menjadi persoalan berarti di masa kini, di mana ia menuntun pada sifat ketergantungnya dan melemahnya kemandirian diri, terutama pada masyarakat desa dengan latar belakang pendidikan dan pemahaman yang lebih rendah dibanding masyarakat urban. Dampak konsumerisme dan revolusi hijau menggeser orientasi karir pemuda desa sekaligus menggeser kepedulian masyarakat terhadap alam. Agama yang idealnya berperan sebagai pedoman hidup nyatanya ditafsirkan secara dangkal dan belum mampu memberikan pengaruh positifnya terhadap upaya pelestarian lingkungan. Terkait permasalahan tersebut, penulis mengusulkan sebuah sistem pendidikan sebagai upaya preventif terhadap sikap-sikap konsumerisme dan eksploitasi alam yang menerapkan prinsip ekologi dalam sudut pandang Islam.

Dissolved Border Program Studi S1 Arsitektur, FT, UGM Februari 2018 Assignment Sebelum memasuki Tugas Akhir (Transformasi Desain & Pengembangan Desain), mahasiswa Arsitektur UGM terlebih dahulu menempuh Pra-Tugas Akhir di mana mereka diminta untuk menentukan topik, menyusun latar belakang, melakukan studi fungsi, teori/pendekatan, analisis tapak, studi kasus, analisis, hingga menghasilkan konsep dan transformasinya. Di momen yang sama dengan dimulainya proses Pra-Tugas Akhir, saya mulai tertarik dengan gaya hidup zero waste dan isu-isu lingkungan terkait. Kenangan masa kecil di daerah pedesaan dan perhatian kepada isu pendidikan mendorong penentuan tipologi sekolah alam. Pendalaman agama yang juga saya lakukan saat itu turut mempengaruhi pemilihan teori ekologi Islam.

Teori Ekologi Islam digali dengan melihat hakikat unsur atau komponen yang membentuknya, kemudian dilihat juga bagaimana seharusnya hubungan antara komponen tersebut. Prinsip-prinsip yang didapat kemudian diterapkan dalam perancangan dan dalam kurikulum sekolah alam. Masalah utama yang ditemukan dalam perancangan sekolah alam berbasis ekologi islam, antara lain: yang pertama adalah (1) bagaimana pelestarian lingkungan sekolah sebagai media pembelajaran dalam menunjukkan tanda dan sifat-sifat Tuhan, yang kedua (2) bagaimana cairnya akses dalam tapak menjadi media pembelajaran moral dan akhlak dengan mengaktifkan pemikiran akal dan spiritual, terakhir (3) bagaimana simbiosis antara fasilitas dengan lingkungannya menunjang fleksibilitas terhadap perkembangan kurikulum dan pengenalan terhadap alam nonfisik.

Dari permasalahan tersebut, dipilihlah konsep dissolved border sebagai solusi desain dengan transformasi konsep sebagai berikut: pertama (1) mempertahankan akses (pathway) non-user di dalam site untuk memicu interaksi antara siswa dengan realita lingkungan, kedua (2) pathway dengan tema-tema tertentu terkait tanda dan sifat Tuhan, dikaitkan dengan jenis ruang yang dihubungkannya, ketiga (3) simbiosis sekolah dengan lingkungan memudahkan penggunaan lingkungan sebagai media Katapembelajaran.kunci:sekolah alam, ekologi Islam, karakter masyarakat desa, dissolved border

23

24 Architecture

25 Post-Graduation How classroom design impacts for student learning comfort: Architect perspective on designing classrooms (Co-Author) Eko Prawoto: Tentang Hidup & Pencarian Buku Ajar Estetika Dasar untuk Arsitektur (Co-Author) 302826

Indonesia. (Co-Author)Architecture

salah satu produk yang saya hasilkan sebagai asisten dosen. Healthy & Compact School merupakan tema besar dari keseluruhan penelitian yang dilakukan oleh penulis pertama. Saya mengambil peran dalam pengolahan data dan penyusunan artikel dalam bahasa

26 How designclassroomimpacts for student classroomsdesigningperspectivecomfort:learningArchitecton International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE) Asisten Dosen Departemen Arsitektur & Perancanaan, FT, UGM September ArtikelPost-Graduation2020inimerupakan

Kurnia Widiastuti1 , Mohamad Joko Susilo2, Hanifah Sausan Nurfinaputri3 1,3Department of Architecture and Planning, Universitas Gajah Mada, Indonesia

Corresponding Author: Kurnia DepartmentWidiastuti,ofArchitecture and Planning, Engineering Faculty, Universitas Gajah Mada, 02 Grafika Road, Senolowo, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55281, Indonesia.

Email: k.widiastuti@ugm.ac.id 1. INTRODUCTION

27 International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE) Vol. 9, No. 3, September 2020, pp. 469~477 ISSN: 2252-8822, DOI: 10.11591/ijere.v9i3.20566  469 Journal homepage : http://ijere.iaescore.com

Keywords: Classroom design StudentLearningFormalComfortschool

How classroom design impacts for student learning comfort: Architect perspective on designing classrooms

2Master of Islamic Studies Department, Universitas Islam Indonesia, Indonesia

Article Info ABSTRACT

Article history: Received Mar 8, 2020 Revised Jun 16, 2020 Accepted Jul 21, 2020 This study aimed to determine the factors that influence student learning comfort in the classroom and its distribution. This explorative study employed 772 students who were elementary school, junior high school, and senior high school students in several Muhammadiyah Yogyakarta schools. Data collection techniques using open questionnaires. The data analysis technique uses qualitative analysis which consists of three stages: open coding, axial coding, and selective coding. The results showed that the factors that influence learning comfort of students in the classroom include: air circulation, quietness, cleanliness, adequate & supportive facilities, and peer attendance. These five factors are among other factors that are grouped into two: 1) factors originating from the physical environment (of building & site themes and of indoor space themes); and 2) factors from within its occupants (of human themes). The theme that shows the highest influence comes from the physical conditions in the classroom, that is indoor space themes.

This is an open access article under the CC BY-SA license.

Nowadays, the policy of schools in Indonesia, both public and private schools, on average implements a full-day school system. This policy was initiated by Minister of Education and Culture in 2016 [1, 2]. Previously, this system was only applied to schools in boarding schools. In the full day school system students are at school for approximately 8 hours every day which takes place around 07.00 to 16.00 or at 6.45 to 15.00 according to local time. Compared to the half day system (regular), full day school system means an increase in the duration of learning time from 6-8 to 10-12 hours of learning, where 1 hour of learning is about 35 minutes for the elementary school level. This time includes additional time to rest, pray, and eat. Full day school learning is carried out for 4 days in 1 week. Friday learning takes place in a half day system. Likewise Saturday is generally for extracurricular activities or self-development [3-5].

Because of students spend more time in school, so they do not get bored easily the class should have a fun design, comfortable to learn, and not monotonous [6]. This is because the classroom is the element that most influences student progress and learning success [7, 8]. As happened in public elementary school of 002 Bangkinang Kota, in the classroom carpet was provided with the aim of giving freedom to students to choose where to study, sit on a bench or on a carpet. Even when feeling tired, students are allowed to study while

Eko28

Instastory @hanifahsausann Mei 2015 Refleksi Kuliah-Kuliah Eko

BerkuliahPost-GraduationPrawotodiYogyakarta

memberi saya kesempatan untuk berjumpa dengan Pak Eko Prawoto dan karya-karyanya. Terlebih, karakter diri dan arah gerak arsitektur yang beliau jalani juga sejalan dengan selera saya. Setiap kuliah beliau memukau dan penuh makna. Pak Eko dengan pemikiran dan analogianaloginya selalu mampu menyinggung isu-isu eksistensial manusia secara tepat sasaran, membuat saya merasa seperti dikembalikan lagi pada titik mula dan akhirnya mampu untuk berpikir jernih lagi. Alangkah baiknya bila energi positif itu dapat dirasakan orang lain juga, sehingga saya buatlah tulian ini. Architecture

TentangPrawoto:Hidup & ArtikelPencarianSingkat

Pak Eko Prawoto dan praktik berarsitekturnya mengingatkan saya tentang adanya bentuk-bentuk arsitektur yang lain, yang mungkin lebih lama prosesnya dan lebih sepi jalannya. Mereka terus hidup dan berkembang, sekalipun tidak mendapatkan sorotan. Karenanya beliau menyarakan untuk berjalan pelan-pelan dan melihat dengan lebih cermat. Menangkap yang mungkin terlewat bila kita bergerak cepat-cepat. Tidak buru-buru terpikat dengan yang mengilat dan justru hanyut dalam arus bila kita tidak cukup kuat, sehingga terlalu fokus mau membuat “apa” hingga lupa bertanya “mengapa”. Sebelumnya, Pak Eko pernah mengingatkan pentingnya peran institusi pendidikan untuk mengenalkan pilihan-pilihan arsitektur yang beragam kepada calon-calon arsitek --- semacam kritik terhadap sistem pendidikan kita yang lebih banyak berorientasi pada industri. Namun, terlepas dari keberhasilan atau kegagalan kampus dalam menjalankan peran tersebut, kebutuhan untuk mencari akan terus ada dan pada akhirnya ia dikembalikan lagi kepada diri kita masing-masing. Ya, termasuk pada Pak Eko yang mengaku hingga kini juga masih terus mencari. Jadi, kawan, kamu juga, selamat mencari!

29 Dalam sharing session ARCHINESIA “Design Approach + Method”, Pak Eko memaparkan pendekatan dan metode perancangannya yang sangat erat berkaitan dengan cara beliau memandang kehidupan. “Life is bigger than architecture,” begitulah menurutnya. “Keilmuan kita hanya pintu masuk menuju kehidupan,” kata beliau dalam sebuah diskusi di WA+U Desember lalu. Bila kehidupan adalah sebuah ruangan, arsitektur hanyalah satu dari sekian banyak pintu untuk memasukinya. Masing-masing pintu tentunya memberikan sudut pandang yang berbeda. Pak Eko menekankan pentingnya mempelajari ilmu di luar bidang arsitektur agar perancang kemudian mampu melihat konteks yang lebih luas. Kita juga perlu masuk lewat pintu lain untuk melihat kehidupan yang lebih Sehariutuh.sebelumnya, dalam Cakap-Cakap bersama Imelda Akmal (IG @imelda_akmal), saya sangat terkesan ketika Pak Eko mengatakan, “Kita tidak boleh bohong pada klien terkait batas kemampuan kita.” Beliau secara terbuka dan legowo mengakui keterbatasan tipologi arsitektur yang mampu beliau tangani. “Ibarat orang tidak suka duren, ia tidak mungkin bisa jualan duren.” Karena mendesain perlu komitmen jiwa raga, maka baginya, arsitektur harus yang bisa dijalani serta dekat dengan diri dan hati kita. Bagi yang lebih muda, mungkin ini adalah perang melawan harga diri sebagai arsitek. Maka, ketika mengeksplorasi, mungkin kita tidak hanya harus jujur pada klien, tetapi juga pada diri sendiri.

Estetika Dasar adalah mata kuliah wajib di Program Studi S1 Arsitektur UGM bagi mahasiswa tahun pertama yang mengajarkan prinsip-prinsip estetika yang esensial pada komposisi dwimatra (2D) dan trimatra (3D) sembari membangun relevansi terhadap bidang arsitektur. Dalam penyusunan buku ini, saya berkontribusi mengonversi modul-modul presentasi menjadi penjelasan tertulis juga desain akhir buku ini (ukuran buku, sampul, dan tata letak isi).

AsistenArchitectureDosen

Departemen Arsitektur & Perancanaan, Fakultas Teknik, UGM September 2020 (Co-Author)

Buku ArsitekturDasarEstetikaAjaruntuk

30 Post-Graduation

31

32 HumanitiesSocial

33 An Attempt on Critical Thinking to Write a Paper About Critical Thinking When a Muslim’s Life Ends in Japan Raising Muslim Children in Japanese Society: Challenges and Efforts 464034

Critical Thinking Among Japanese Japan is said to be one of the best country for carrying out education. Since the mid-1970’s, Japanese compulsory education has been considered a model for many other countries around the world (Higo, 2018). Everything looks very promising, especially with all trending articles and images of Japanese elementary school students taking the train by themselves and serving lunch for the whole class going around the internet. Japan’s elementary school education is indeed doing a very Society Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University 2019 My Pedagogy Proposal adalah salah satu mata kuliah dalam program Japan in Today’s World yang membahas karakteristik pendidikan di Jepang dari segi kebijakan, pelaksanaan, dan isu-isu di sekitarnya. Dengan topik utama Proposal Pedagogi, melalui tulisan ini saya mencoba mengeksplorasi pentingnya pembentukan pemikiran kritis dalam pendidikan dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Tulisan ini juga mencoba mencari keterkaitan sejarah perkembangan Jepang dan pengaruhnya terhadap pola berpikir masyarakat. Selanjutnya dibahas secara singkat bagaimana pendidikan di Indonesia kaitannya dengan pemikiran kritis serta perbandingannya dengan pendidikan di Jepang. Tulisan ini diakhiri dengan harapan saya terhadap diri saya sendiri sebagai generasi muda Indonesia dan generasi muda Jepang di masa depan. Humanities

It is said that critical thinking becomes more and more essential for everyone to practice in order to have a clear view of life nowadays, as people are becoming even more diverse and there is so much information with various assessment degree going around within society. Those who try to incorporate this concept in their education and teaching are hoping for their young generation to be able to figure out things by themselves and survive the unpredictable future.

Critical Thingking and Its Urgency

Student EducationAssignmentinJapaneseSociety

The concept of critical thinking has been developed for a very long time, agreed by many experts and adapted by leading educational institutions into their curriculum and learning methods. The practice of this method gifts the thinker the ability to formulate questions and problems clearly; gather, assess, and complexly interpret relevant information; compose and test well-reasoned conclusion and solution; be open to alternative systems of thought; review one’s own thought; and also the ability to effectively communicate with others in figuring out solutions (Paul & Elder, 2008). In other words, it is a very powerful tool of self-directing that helps to effectively solve one’s problem from mundane everyday life cases to professional matters.

Januari

34

An Attempt on Critical Thinking to Write a Paper about EducationThinkingCriticalinJapanese

Social

The information is then interpreted merely as it is instead of being used to reflect on their own cases.

To add to the problem is the excessive cram school industry that keep most Japanese students from going home until late evening, limiting more time for self-exploration. In the end, the development of this system gives more privilege to those who have the ability to access these supplementary educations, violating the national entrance exam’s initial intention. However, digging deeper to the characteristic and backgrounds of this country, suppress on critical thinking does not only occur in the field of education. It ties a lot with the country’s culture and political beliefs. The converts of many Japanese to Catholic and Christian in the early 1600’s which was brought by Spain and Portugal through trade threaten the legitimation of Japanese government at the time since the governance itself was based upon religious belief. The early Tokugawa government executed several missionaries and Japanese converts, then closing the country from the outside world for over 220 years, an action known as Sakoku. This policy doctrine and shaped the then called Sakoku mentality which perceive the outside world as a fundamentally hostile and threatening place, against which the people of Japan must depend upon the state to defend them (Itoh, 1996). It brought the whole Japan into one and easier to be ruled. Conformity was emphasized and here comes the saying, “the nail that sticks out gets hammered down”. This mentality remains until today even when the government’s involvement had become more subtle, making Japanese ruling system even more rigid and giving little room for individual freedom.

Japan’s isolation more or less continues as the country’s geographical condition is completely detached from other civilization. Its language and writing system, and the very low use of English limits the accessible knowledge within the country. For the homogenous Japan, both situations are resulting in the lack of information and exposure to different kinds of people also different ways to think and live.

35 good job in equipping the Japanese children with basic knowledge like literacy, mathematic skill, also collaborative problem-solving ability (Rear, 2008). But the world is still missing out on the other side of Japanese education where it is said that their university students generally speaking are ‘prone to unquestioningly accept the opinions of others; unskilled at using a logical and objective method to independently form their own opinion’. In other words, Japanese university students haven’t had sufficient training in “critical thinking” (Kawato, 2013). Looking at the surface of its education system, the way Japanese do their university enrolment is said to be the case. Japan turns out to be highly driven by economic necessity. With companies directly recruiting workers from fresh graduates of the country’s top universities, a traditional employment system developed since the post-war period, students become extremely competitive in in their way to enter college. The only way to be enrolled in universities is by taking the national entrance exam, a system that has been long implemented to give equal opportunity and judgment to students with diverse educational backgrounds. Unfortunately this positive intention in most cases are not followed by good Peopleimplementation.aredesperate to get into college that Japan’s secondary education is then shaped to prep the students to answer the exam questions of multiplechoice or short-answer form. As interpretive skill are not tested, teachers are focusing on making the students memorize materials, often taken from the previous exams. This memorization method results in low comprehensive understanding and lack of student’s personal connection to the topic. Moreover with Japanese culture, teacher is assumed to be always right and students were not allowed to doubt what is written in textbooks (Ohmae, 2003).

The lack of critical thinking or the passiveness among Japanese might be not really the case within Japan. I remember a Japanese friend of mine is quite aware with the problem in Japanese education, but he personally likes this situation because it suits his passive character. Whether this passiveness is natural or a result of the country’s educational and political policy, many Japanese today feel very comfortable with this situation where everything has been determined and everyone just have to follow. However, it is becoming a serious problem when they are faced with globalization. Japanese society these days are dealing with issues such as mistreatment towards foreigners, hafu stereotyping and charisma man. There is a high chance that they more or less are part of the impact of underdeveloped thoughts, accumulation of plenty information received as is without further investigation. Surprisingly, that same friend of mine who turns 20 this year innocently said that sometimes he wants English to be the official language of the nation, criticizing the underdeveloped globalization within the country.

Japan’s Efforts to Overcome This Problem

Wada Junior High School in Suginami-ku, Tokyo had tried to develop this ideals in its own way. Since the first recruitment of its school principal from the private sector in 2003, they implemented broad reforms including creating special classes inviting instructor of professional from various sector, asking students to make essays based on the recent issue, opening peer discussion about no-right-or-wrong topics, and involving the surrounding community in organizing the school. Everything was done to broaden students’ horizons and practice their thinking also communication skills, with great outlook of students able to develop their dream, aim of life, and their role in society. The innovations had

One of the strongest opinion for Japan to implement critical thinking in its education is from business leaders. They criticize the low ability of employees to think creatively and come up with innovation in order to maintain the company’s competitiveness in the market (Rear, 2008). The government then followed by saying that they need to teach students to think, express themselves, and judge by themselves to be able to succeed in the globalized community (Okada, 2017). Some concern that rises between parents are the importance for kids to think creatively as many job will be taken over by robots in the future. In 1998, the Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT) finally released new Course of Study (guidelines for all elementary and secondary schools), which emphasized the importance of activities with “thinking.” Yet, according to a survey conducted in 2014, sixteen years later, the policy couldn’t give impact on the teaching nature in Japan’s high schools (Okada, Thinking in the Japanese Classroom, 2015) because the lack of support on resources or medium for teacher to teach in new manner. In 2012, new educational guidelines was implemented in secondary school after a good result was seen in elementary school. It was a development of the ideals of yutori kyouiku or “education that gives children room to grow” which was implemented in the previous decades. Besides reducing the burden on children by their studies, it tried to incorporate concrete measures to solve problems that arose from them. The new guideline attempted to ensure both the necessary number of class hours to provide children with basic skill and knowledge, and the nurturing of critical thinking, wisdom, and selfexpression that allow them to use their knowledge (Akihisa, 2012).

36

I’m afraid to be perceived as a weird person, also afraid if my sloppy delivery will make others feel like they are being judged and blamed, doubting my own credibility and ignoring the data that I had carefully chosen and analyze. Once I overcome it and understand how to simplify the idea according to

37 improved the quality of learning in the school, rising its position from the nearly-the-bottom among 23 junior high schools in Suginami-ku to one of the most successful schools in Tokyo, meanwhile breaking the perception of teaching critical thinking will reduce the success rate of student in doing test. But apparently, not all institution are able to run this innovations well. Until this day, criticisms related to the lack of critical thinking are still being carried out. Asking the Right Questions Reviewing this topic reminds me a lot of the situation of my own country, Indonesia, or generally speaking, the situation of Asian countries. I remember how we rushed in the end the last semester to review all material from the previous grades and practiced as many question models as possible. And I clearly remember how my higher education in general also failed to encourage critical thinking, creating unsupportive competition among its students. In my opinion, our country is still young, and with the vastness of the region and the diversity of our ethnics and cultures, this immature condition feels quite However,natural. our immature ruling system in the era of globalization actually provides space for alternative education to develop. In Indonesia, many schools have been established with a curriculum that is based on integration between subjects, combining learning in class and direct interaction with the surrounding nature and local culture. The students are mostly from educated parents who feel that the formal education is too rigid. Many of these schools are also open to local residents who may not even be able to get an education in public schools due to economic limitation. Together they create a system that enable everyone to have equal opportunity and learning from each other.

I realized that in most of the time when I arrive at very unique and very unusual conclusion that leads to also unusual acts, I am afraid of telling others about the reason behind my attitude when they ask.

What I realized from writing this paper is that Japan has a very important asset in its efforts to think critically about this situation, namely data. Many research has been done to addresses this issue from many perspectives, approaches, and includes development data from the earliest year of the country. It is a very great start in admitting its flaws and making the most of spawning effective solutions. With that being said, then one of Indonesia’s next steps will be collecting our own data, analyzing our own characteristic so that later we can come up with the most effective solution. Looking at some critical friends of mine and brilliant figures or experts I met during my college days, I am highly optimistic about the future of my country. Regarding my role as future educator, I am not targeting grandiose plan. Imagining my role as a mom, I will have an obligation as the first person to teach my religion to my children. This is clearly not an easy thing, considering learning about rational knowledge also proved to require a lot of effort. I also wonder what other knowledge is important for my children’s life. In respond to that, my best strategy right now would be developing my own critical thinking, analyzing what works and what don’t work for me. I also need further research on how to communicate the idea.

References

Ohmae, K. (2003). Shitsumon suru chikara [Ability to ask questions]. Tokyo: Bungei Shunju. Okada, R. (2015). Thinking in the Japanese Classroom. Journal of Modern Education review, 1054-1060. Okada, R. (2017). Conflict between Critical Thinking and Cultural Values: Difficulty Asking Questions and Expressing Opinions in Japan. Asian Education Studies; Vol. 2, No.1, 1. Paul, R., & Elder, L. (2008). The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. Foundation for Critical Thinking Press. Rear, D. (2008, March 4). Critical Thinking and Modern Japan: Conflict in Discourse of Government and Business. Retrieved from Electronic Journay of Contemporary Japanese Studies: articles/2008/Rear.htmlhttp://www.japanesestudies.org.uk/

Watts, S. L. (n.d.). The Seclution of Japan. Retrieved from Sarah Watts: http://users.wfu. edu/watts/w03_Japancl.html

38 my target’s cognitive level, it would be very useful in spreading the idea to my surrounding and my future children, also in asking the right question to open one’s mind, something that by a respected mentor of mine said to be harder to do rather than giving the right answer. Epilog After all, the purpose of critical thinking is to lead a good and conscious life. It is not as easy as teaching the students to answer questions. It’s a long life endeavor! Japanese failure in addressing this problem should be seen as a part of progress towards positivity. Yet anyway, I am not Japanese. This research and paper themselves are made in the counts of day. There are still many things that I don’t know about this country and I’m definitely not the most appropriate person to determine what Japan should do next. However, if I can wish something as a fellow human, in the case of critical thinking, I beg for Japan to redefine again their meaning of success. Is it necessary has to be studying hard and sacrificing self-freedom? Is it necessarily has to be working hard to the point where you don’t have the time to enjoy the result? Even though later it’d seems like there is not much change, I wish that at least Japan’s future generation will go through it all wide awake, and full of consideration.

Fiske, E. B. (1983, July 12). Japan’s Schools: Exam Ordeal Rules Each Student’s Destiny. The New York Times, p. 1. Glaser, E. M. (1941). An Experiment in the Development of Critical Thinking. New York: Teacher’s College, Columbia University. Higo, M. (2018, November 16). Pre-Study Trip Lecture - Susenji Elementary School Visit of JTW Program. Fukuoka, Fukuoka Prefecture, Japan: Kyushu University. Itoh, M. (1996). Japan’s Abiding Sakoku Mentality. Economic Myths Explained. Kawato, M. (2013, January 2017). Recommendation for Critical Thinking. Retrieved from ChuoOnline: education/20130117.htmlwww.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/https://

Akihisa, S. (2012, February 7). Education in Japan: The View from the Classroom. Retrieved from nippon.com: nippon.com/en/currents/d00012/education-in-https://www. japan-the-view-from-the-classroom.html

39

Note from Chisato Nonaka-sensei

“Critical Thinking & It’s Urgency”, I think this is something I regrettably failed to cover as a topic during the semester. I’ll definitely include this for the next time I offer the Education course.

“Yet anyway, I am not Japanese,” This doesn’t really matter in my opinion. It is and should be a collaborative project involving people of all backgrounds if Japan sincerely hopes to advance in the use of critical thinking.

Interestingly, when I saw the title of your essay, I instantly prepared myself to read something about the current curriculum which may or may not help foster children’s critical thinking skills, so it was rather refreshing that you’ve taken a slightly different approach to discuss the topic.

Today, there is an increasing number of opportunities for people to express their otherwise suppressed opinions and emotions (i.e. the Internet). I think it’s a Pandora’s box for Japan in that people who traditionally didn’t have the means and opportunities to express themselves (= lay people, often in a lower socioeconomic status) suddenly have access to the overwhelming amount of “information” (fake or otherwise) and multiple channels to share their opinions as they go. It’s time for us to rethink the meaning of democracy…

Anyways, it’s such a stimulating piece of writing, once again thank you for sharing :)

Death is something that will eventually come to every living creature in this universe. Some may accept this inevitability, some might not, but it is more than possible for someone to have both attitudes at the same time to some degree (Ray & Najman, 1975). Idealisms, cultures, beliefs, and religions in some ways are affecting this acceptance. Research shows that the strength of belief in God and afterlife statistically reduced death anxiety. It also gives influence on how someone lives his life (Harding, Flannelly, Weaver, & Costa, 2005). However, the journey of a man in the world is not yet finished when his heartbeat stops. The deceased needs to be given a treatment before it is truly detached from those who live. Differences in belief lead to different perceptions of death, thus leading to different methods of caring for bodies. Sometimes, in the situation where distinctly different established methods meet, it can be a quite serious problem for one or another, as in the case of Muslim’s and Japan’s. Death In Japan When it comes to religion, Japan is quite unique. According to data, only 13 percent of Japan’s population actually feel religious in their life (Gallup International, 2015). The rest of the population engage in some religious activities as a part of their traditions and customs. This low attachment to religion perhaps explains why Japan has 154.6 percent of religious affiliation, indicating the practice of more than one religion or religious belief at once (Statista, 2017). In a life of Japanese people, they may have several important occasions like child birth celebration and wedding being run in different religious method or style, like in Shinto or Christian style. But for the case of funeral, most Japanese people do it in Buddhism way.

40

Self and Identity in Contemporary Japan Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University February 2019 Mini Research Paper Student Assignment Self & Identity in Contemporary Japan adalah salah satu mata kuliah dalam program Japan in Today’s World mengenai diri dan identitas secara umum dan dalam konteks sosial masyarakat Jepang. Pada tulisan ini saya mencoba meneliti identitas dan posisi Muslim di tengah masyarakat Jepang sebagai sebuah agama yang memiliki kebutuhannya tersendiri, terutama terkait kesiapan sarana prasarana pemakanan jenazah Muslim. Agak disayangkan, karena waktu yang terbatas, saya tidak sempat meneliti lebih jauh sebelum menulis. Menurut salah seorang penduduk Muslim Jepang yang saya wawancarai belakangan, masalah tersebut benar adanya, tetapi tidak sebesar yang saya gambarkan dalam tulisan ini. Humanities

Social

When a Muslim’s Life Ends in Japan

Now the trend has started to shift. Many people tend to wish for more practical and humble funeral. They also have other options to keep the ashes. Instead of keeping it in the cemetery, many want to turn it into beads of jewelry, or have it scattered at the sea (Nakata, 2009). Even so, one thing for sure, cremation is still the main procedure of treating the

41 Buddhism in Japan arrived during the first two millennia AD from China. The belief teaches that everything—including a soul and the body—is transient, and that the cleansing fire of cremation is transformative. Cremation helps to get rid of “pollution” created after a person dies and to move the spirit into the ancestral realm—from a “polluting spirit” to a “purified ancestral spirit” (Fujii, 1983).

Then,dead. what happen to those Japanese residents who have different beliefs and traditions? Can Muslim Live In Japan? Muslim existence in Japan is very little compared to its total population. It’s actually difficult to mention the exact number since Japanese government never ask their citizens to declare their religious affinity, but the number is estimated to reach 100,000 or nearly just 0.1 percent from 126.4 billion of all of its residents (Statistic Bureau of Japan, 2015), with 10 percent are Japanese converts and the rest are foreigner from Middle East and Muslim majority country in Asia.

Looking at the isolation history and the homogeneousness of Japan, how did Muslims end up in Japan? According to historical theories, Muslims first came to the country in the 8th century by merchants from Middle East through the Silk Route. But the main theories said that it was in 1860s during Meiji era where the country started to open trade with foreign countries. Another important contact was made since the end of 19th century between Japan and Ottoman Caliphate influenced by the same condition of under increasing Western pressure (Fathil & Fathil, 2011). Following that was the translation of Prophet Muhammad Biography in the late 1870s, asylum awarding to Tatar Muslim refugee in early 1900s, Japan attention to Arab World during the oil crisis years in 1970s, and nowadays

In its development, around the 17th century, Confucians accused cremation as disrespectful to the dead and “unnatural”. While Meiji Restoration in the late 19th century viewed anything “Buddhist” was incompatible with “civilization” (Bernstein, 2000). Thus, the government was trying to ban cremation for its air pollution and disrespectfulness to the dead. But full bodies from the burial system surely took up space faster than ashes, and disease epidemics was harder to control without cremation to kill contagions. With western scientist spreading the sanitary benefits of cremation, and the limited space that Japan have, government started to promote cremation instead. From 1950 to 1980, the cremation rate increased from 54 percent to 91.1 percent. Now Japan is in the top of the list of the countries that practice cremation, with 99.97 percent of its dead were cremated in 2014 (Pharos International, 2015). Buddhism as the origin of the method remains along but rather as a tradition, and the practice is now more relaxed. Yet, death and funeral in Japan is still a huge thing. Even though Japanese people don’t feel so religious, in addition to 50,000 yen for the cremation and around one million yen to secure a family plot in regular cemetery, many people are willing and in fact preparing to spent even more money for holding a grand Buddhism funeral ceremony with average total cost reaching 2.31 million yen according to 2008 study by Japan Consumers’ Association.

Good thing is that even though Islamophobia is spread around the world, it is not the case in Japan. They have relatively little knowledge about outside of the country and because of that, consider foreign Muslims just as the same as other foreigners in Japan. They respect you or darely speaking, actually don’t care about you. Their ignorance come in handy at times when you have no option but to do your prayer in the middle of a parking lot (something very weird to do actually in Indonesia, for instance, when you always have a proper place to pray). Yet, at the same time as their nature, Japanese are still trying to be accommodative. Many shops and restaurants are open throughout Japan, especially in urban centers, providing with halal certified food, but with no exception that some Japanese may see this merely as a form of business opportunities. Yet thanks to it all, despite the very different beliefs and cultures, Muslims’ small number in Japan is increasing. A 2008 paper from the Asian National Research Bureau based in Seattle counted the total number of immigrant Muslims at 70,000 to 80,000 which had not counted the number of Japanese Muslims. Now with Japan’s policy on tourism, foreign labor forces, its super global university scheme, and Japan economic relation with Muslim state (which is said to have bigger trade value compared to Japan’s trade with the US), the Muslim population in Japan is prospected to keep growing. That adds another conclusion that is living as a Muslim in Japan is still manageable. But Can Muslim Die In Japan?

Over a few hundred years of Muslim existence in Japan, many of them had died since then. Starting from the time of Prophet Adam, Islam take care of the dead by burying the body. It is stated in the Holy Quran, “Have We not made the earth a container, of the living and the dead?” (Quran Surah Al Mursalat: 25-24, 609–632). It is important for a Muslim to be buried together in a public cemetery with other dead Muslims, separately from non-Muslims’, following the teachings of the Prophet Muhammad and his people as well as to get the prayers from all the Muslims who visit the cemetery. Now, even though the number of Muslim in Japan is small and the death number is definitely much smaller, finding a land for eternal rest of a full dead body of a Muslim in a country who don’t really spare a space for their own dead is a not an easy case. Although in daily life, Japan is generally quite accommodative to Muslim’s living necessity, for the case of the death, it’s a whole different story since local regulations in many areas throughout the nation do not allow burial without cremation, though there is no such prohibition in national level. Many of them are concerned about the sanitary of the soil in the area if they allow burial without cremation and one said, “The image of burial without cremation isn’t good,” (The Yomiuri Shimbun, 2010). Some local residents had said that burial without cremation scares them, maybe because it’s a full body that

42 are tourism and the migration of labor forces and international students. Some Japanese converted to Islam through contacts with these foreign Muslims. While some of the immigrants came back to their homeland, some build families with locals and resided in Japan. Generally speaking, living in Japan as a Muslim is definitely not an easy deal. In terms of physical needs, Japanese meals, drinks, and food ingredients are mostly contains those of what in Islam is called haram, or not permissible (to consume). Whereas Islam’s monotheism is the exact opposite of most Japanese tendency on multiple religious affiliates. Their worship methods are totally different and little facility is exists for Muslims. With how small their number is, Muslims in Japan know too well that learning and practicing their religion in this country will be far from the ideal situation.

Another problem for Muslim in Japan is that the local regulation of some cemeteries cannot accept bodies of nonresidents. The high cost to transport the body is also becoming a concern since the cemeteries’ locations are not evenly spread and sometimes it’s just too far for some region. When a fellow Muslim died in Fukuoka years ago, the family of the dead had to pay 400,000 yen to the cemetery in Kobe. This number is relatively small compared to what Japanese have normally, but we need to note that most Muslim in Japan are not native and they are not prepared to the high cost needed to treat the dead in Japan, while sending the dead body to their homeland would cost even much higher than this.

Subsequently, some death Muslim were bound to be buried in Christian or Buddhist, though they are not always available. This whole condition often cause the postponement of the burial, while in Islam supposedly, after several procedure, the body is buried in the same day of the day he or she die. Leaving the body too long before being buried is another way to make the dead suffer and increase the pain of their loved ones for seeing Init. the worst cases, some bodies of dead Muslims were cremated by non-Muslim relatives, due to the shortage of available grave for burial and lack of knowledge, as well as the lack of connection to Islamic community. Reflection

The whole situation is understandable as the practice of cremation had been deeply rooted in Japanese tradition. Their lack of knowledge about Muslim is also acceptable since the existence is very small and thus their contact with Muslim is still limited. However, new space for Muslim burial is constantly needed, at least for the native Japanese.

Since Islam is rahmatan lil ‘alamin (blessing for all the universe), living your life according to Islamic law properly must not bring harm to others, this include keeping the good relation with non-Muslim in Japan and being a good Japanese citizen. Therefore hopefully, open new perspective to Japanese people about Muslim and the Islamic way of burial. They also need to strengthen their community, keeping the good internal relation, keep tracks of Muslim individual in their area, so that the number of mistreated dead Muslim will decrease.

Monjuin, a Buddhist temple in Koshu, Yamanashi Prefecture offered a 4,800 sqm land to Japan Muslim Association, now a home to 120 dead Muslims. With the help from The King of Saudi Arabia, the Saudi Arabia Embassy, and many other parties, Muslim community in Japan today have several places available for burial: a cemetery in Yoichi-cho, Hokkaido; a cemetery in Kobe; and the newly purchased Yawara Cemetery in Ibaraki Prefecture. These cemeteries are taken care by the local Muslim community and they usually don’t charge any fee to purchase the land except around 120.000 yen for the digging and burial fee as well as the maintaining. But still the number is very limited. The cemetery manager in Yamanashi said that the slots are soon to be full in few next years.

The Muslim association in Japan has been doing a lot of effort in advocating their need to Japanese. The best way to do in the next future for Japanese community is practicing Islam as much as they can.

43 being buried instead of ashes. Others are worried if animals would dig the grave and create a mess. While some ended up turning down the agreement of the land purchase once they knew that it would be used for Muslim cemetery. With this situation, it is hard to get a land for Muslim even though they have the Surprisingly,money.

References

Fujii, M. (1983). Maintenance and Change in Japanese Traditional Funerals and Death-Related Behavior. Japanese Journal of Religious Studies , Vol. 10, No. 1 , pp. 39-64. Gallup International. (2015). Losing Our Religion? Two Thirds of People Still Claim to be Religious. Sofia: Gallup International. Halal in Japan. (2018, September 28). Islam in Japan: Past, Present, and Future. Retrieved from Halal in Japan: Acceptance.(2005).halalinjapan.com/blog/islam-in-japan-past-present-and-futurehttps://www.Harding,S.R.,Flannelly,K.J.,Weaver,A.J.,&Costa,K.G.TheInfluenceofReligiononDeathAnxietyandDeathRoutledge.

a Muslim in Indonesia never becomes a problem to me since Islam is widely practiced by the majority of the country and the method of burial is very common that it has become a part of the culture and tradition at some point. But now that I came to Japan, since death will come to everyone regardless of time, place, and age, there exist the possibility of me to die here, as big as the possibility that I have to die in my own country. My best effort to prepare for my death or rather, my afterlife, is probably to learn and practice my religion as much as I can, do all my responsibilities as well as I can, and personally being involved in the Muslim community so that it is possible for me later to be treated properly according to Islamic way when I die in this country.

A Muslim teenage died last night in Kyudai Hospital and I can’t help but imagine the hardship that the family and the community have to go through to place this young human in a decent eternal rest. I hope that writing this will also help the situation. Wallahu a’lam bishawab, and Allah knows the best.

Bernstein, A. (2000). Fire and Earth: The Forging of Modern Cremation in Meiji Japan. Japanese Journal of Religious Studies, Vol. 27, No. 3/4, pp. 297-334.

Pharos International. (2015). International Cremation Statistics 2014. Qdeyeri, A. (2014, March). Why Muslims hasten to bury the dead? Retrieved from Vanguad News Nigeria: vanguardngr.com/2014/03/muslims-hasten-bury-dead/amp/https://www.QuranSurahAlMursalat:25-24.(609–632).InAlQuranAl Kareem. Mecca, Medina. Ray, J. J., & Najman, J. (1975). Death Anxiety and Death Acceptance: A Preliminary Approach. Omega. Rehmat. (2017, September 8). Japan: No place for Islamophobia. Retrieved from Rehmat’s World: scmp.com/week-asia/society/article/2092664/why-are-so-many-visitingcom/2017/09/08/japan-no-place-for-islamophobia/https://rehmat1.Ryall,J.(2017,May7).WhyaresomanyMuslimssuddenlyJapan?RetrievedfromThisWeekinAsia:https://www.

muslims-suddenly-visiting-japan Siddiqui, A. (2014, May 31). Problems of Muslim Graveyard in Japan. Retrieved from Japan Islamic Foundation: dawahislamia.com/problems-of-muslim-graveyard.phphttp://www.Statista.(2017).Japan:Religiousaffiliationsin2017.Statista.StatisticBureauofJapan.(2015).2018Population Estimation. Statistic Bureau of Japan. The Yomiuri Shimbun. (2010, August 16). Japanese Muslims worried by graveyard shortage in Japan. Retrieved from IGN Boards: worried-by-graveyard-shortage-in-japan.194921975/https://www.ign.com/boards/threads/japanese-muslimsUtami, H. (2019, January 20). Muslim Death in Japan. (H. S. N., Interviewer)Yildirim,C.(2015, May 31). Muslim population in Japan increases with Islamic demands. Retrieved from Daily Sabah

As for Muslim outside Japan, I believe that Muslim solidarity is not limited to ethnicity or nationality. Muslim states’ who play a big role in trade with Japan need to help seek for agreement with Japanese government to provide decent amount of burial location that are evenly distributed according to the number and the spread of Muslim population in

Hiatt, A. (2015, September 9). The History of Cremation in Japan. Retrieved from JSTOR Daily: https://daily.jstor.org/historyjapan-cremation/ Japan Islamic Trust. (2012, May 24). Burial Assistance. Retrieved from Japan Islamic Trust: https://www.islam.or.jp/ en/?s=funeral Japan Islamic Trust. (2014, July 24). Muslim GraveyardYawara, Ibaragi Ken. Retrieved from Japan Islamic Trust: https:// www.islam.or.jp/en/2014/07/24/graveyard-yawara/Nakata,H.(2009,July28).Japan’sfuneralsdeep-rooted mix of ritual, form. Retrieved from The Japan Times: deep-rooted-mix-of-ritual-form/#.XFjy61wzbIXjapantimes.co.jp/news/2009/07/28/reference/japans-funerals-https://www.

44

DyingJapan.as

Fathil, F., & Fathil, F. (2011). Islam in Minority Muslim Countries: A Case Study on Japan and Korea. World Journal of Islamic History and Civilization, 130-141.

45

It’s great that you tackled the oft-contentious topic of “death x religion” from multiple angles including history, politics, social changes, and funeral industry. It shows that you made attempts to unpack the issues around death by leveraging your specific religious upbringing which I’m sure took a lot of courage on your part. I learned a lot from your writing and I think it’s important to raise awareness among the public as you also noted that the demographics of Japan are at a critical crossroads (due to the immigration, tourism, and other social changes in the next few years). I encourage you to submit this to be published in a newsletter, newspaper, or online journal!

Note from Chisato Nonaka-sensei

Raising46 IndependentEffortsChallengesJapaneseChildrenMusliminSociety:andStudyProject

merupakan salah satu mata kuliah pilihan di program Japan in Today’s World di mana mahasiswa dapat memilih sendiri topik terkait Jepang yang akan diteliti sepanjang 1-2 semester, didampingi oleh dosen sesuai bidangnya. Topik ini sangat tidak berkaitan dengan latar belakang pendidikan saya di Arsitektur, tetapi minimnya informasi terkait hal ini dan banyak tantangan yang saya sadari mendorong saya untuk menulisnya di bawah bimbingan Prof. (Associate) Chisato Nonaka. Artikel ini telah dipresentasikan di hadapan dosen dan peserta JTW pada 24 Juli 2019.

Social Humanities

Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University Juli

IndepenetStudent2019AssignmentStudyProject

47

Abstract This study will explore the challenges faced by Muslim parents in raising their children by the Islamic way in Japan, as well as the efforts that they have made to overcome the situation. Muslims in Japan live as a minority and generally face difficulties in fulfilling their religious needs due to the very different beliefs and lifestyles of the people. This can also be a difficulty for Muslim parents’ very important religious mission to raise and teach them about Islam. Four Indonesian Muslim mothers who have been residing and raising their children in Japan for more than a decade were interviewed about how they implement the principles of Islamic parenting in Japan. Common issues unique to Japan were drawn from there. The findings show that challenges faced by the parents in raising their children were more than the very different beliefs and lifestyles of the Japanese people. The study also found out the ways the women overcome those challenges. The conclusion is that most of these parents managed to get a good result by referring back to the Islamic parenting principles and putting strong faith towards their God and religion.

Keywords: Islam, Japan, parenting, raising children

48 Lifestyle Entertainment&

49 Ulasan Buku - Krisis & Paradoks Film Indonesia Ulasan Film - Aruna & Lidahnya 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste 605450

50 Judul: “Krisis dan Paradoks Film Indonesia” Penulis: Garin Nugroho & Dyna Herlina S. Genre: Nonfiksi Desain sampul: Wiko Haripahargio Editor: Zaki Habibi Jumlah halaman: 352 halaman Tahun terbit: 2015 Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta Krisis & Paradoks Film aBlue-Think:(2010)Indonesiajourneytodiscoveries Marethttps://blue-think.blogspot.com/2018 Ulasan Buku Lifestyle & Entertainment

Dijelaskan oleh Garin dan Dyna, kini industri film Indonesia bergerak mandiri tanpa peran pemerintah. Lebih karena pemerintah sudah tidak mampu mengatur lagi sepertinya. Berbagai macam paham, kultur, dan informasi dapat diakses dengan sangat mudah dan arusnya hampir tidak bisa dibendung.

51 Pertemuan saya dengan buku terjadi di sebuah event cuci gudang Kompas Yogyakarta bulan Februari lalu. Saya memang punya ketertarikan terhadap film, terutama film-film dalam negeri. Meski sempat ragu karena buku ini diobral dengan harga yang sangat murah (Rp10.000,00), nama Garin Nugroho yang terkenal sebagai kritikus dan pelaku film nasional serta rasa penasaran saya terhadap perjalanan film Indonesia mendorong saya membawa pulang buku ini ke Membacakosan.buku ini tak ubahnya membaca ringkasan sejarah Indonesia. Garin dan Dyna mencoba menunjukkan bagaimana kekuasaan politik, pertukaran budaya, dan kemajuan teknologi mempengaruhi produk sinema di Indonesia. Saya yang selama ini mengandalalkan pengetahuan sejarah bangsa dari penuturan guru dan buku paket selama SD hingga SMA menjadi lebih paham setelah membaca buku ini. Dengan menggunakan pendekatan film dan budaya, rangkaian peristiwa sejarah di otak saya yang tadinya hanya berupa angka-angka tanggal mulai terajut membentuk rangkaian cerita yang utuh. Mengetahui bagaimana film berkembang selama masa penjajahan dan pascakemerdekaan, saya jadi punya perspektif baru dalam memandang kehidupan di masa itu. Penjajahan tak melulu persoalan eksploitasi sebagaimana pemerintah Hindia Belanda jugalah yang membangun sarana prasarana dan menghadirkan film ke Indonesia sebagai hiburan bagi masyarakat pribumi (meski kontennya dikontrol dan disensor sedemikian rupa untuk membentuk persepsi penonton terhadap pemerintah). Fenomena inilah yang kemudian disematkan Garin dan Dyna dalam judul buku ini, “paradoks”. Sampai di titik ini, saya merasa hidup di zaman penjajahan nampaknya tidak buruk-buruk amat. Di tengah-tengah kegiatan sebagai aktivis kemerdekaan misalnya, sepertinya saya masih bisa nonton film dan “fangirling” satu atau dua aktor kenamaan kala itu. Fenomena kontrol film melalui sensor terus berlangsung dan terasa sangat signifikan pengaruhnya hingga masa orde baru. Tujuannya sama-sama untuk membentuk persepsi penonton terhadap pemerintah. Di sini terlihat begitu kuatnya pengaruh film terhadap masyarakat hingga pemerintah bertindak sangat ketat terhadap setiap film yang dibuat kala itu, bahkan hingga membatasi asosiasi-asosiasi pekerja film yang boleh berdiri. Selain menjadi cerminan budaya, film juga menjadi media propaganda yang memenangkan mereka yang punya kuasa. Setidaknya itu sebelum arus globalisasi semakin lancar masuk ke Indonesia, terutama dengan adanya internet.

Produksi film menjadi sangat bebas dan sangat progresif. Namun, mengingat kekuatan pengaruh film yang begitu kuat terhadap penontonnya, kini setiap pekerja filmlah yang harus mengontrol dirinya sendiri.

Kelestarian budaya dan perkembangan wawasan nasional masyarakat Indonesia di masa mendatang sedikit banyak ada di tangan produsen film.

52 Yang saya sampaikan sejauh ini hanya garis besar buku ini. Di samping itu, banyak sekali detail-detail di buku ini yang merubah persepsi, atau mungkin menjelaskan beberapa hal dalam hidup saya. Misalnya, saya ingat betul poster-poster film bertema seks yang saya lihat setiap hari saat berangkat sekolah waktu SD (2002-2008) yang dipasang di fasad bioskop Magelang Tidar, bioskop yang kursi penontonnya bolong-bolong, apek, dan bau clurut. Di bab “Krisis di Tengah Globalisasi (19851998)”, saya baru paham bahwa apa yang saya lihat beberapa belas tahun lalu adalah sisa-sisa efek masuknya filmnya barat dalam jumlah sangat besar di masa itu, menggeser film nasional dan merugikan bioskop-bioskop lokal yang tidak mampu membayar sewa roll film barat tersebut. Akhirnya bioskop-bioskop lokal macam Magelang Tidar (MT) ini mengandalkan film bertema seks yang diproduksi secara serampangan dengan harga murah untuk menyambung hidupnya. Alhamdulillah, di tengah kenyataan pahit ini, saya masih punya kenangan indah menonton “Laskar Pelangi” di bioskop ini, sebelum akhirnya MT tutup juga di tahun 2011.

Menganalisis film dengan cara seperti ini membuat film terasa sangat dekat dengan diri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan Garin saat menulis buku ini. Ia mulai lebih subjektif ketika pembahasan mulai masuk era orde baru, era di mana Garin tumbuh. Ia menuturkan beberapa fenomena industri film yang ia alami semasa kecil, tampaknya sangat membekas hingga samar-samar ia tuangkan pengalaman tersebut dalam film “Aach… Aku Jatuh Cinta” (2016). Semakin ke belakang, objektifitas kepenulisan semakin mengabur seiring Garin masuk lebih dalam di industri film dan menjadi pelaku film itu sendiri. Paradoks yang begitu kuat di awal juga turut mengabur. Dyna yang juga dalam posisi serupa tampaknya belum bisa menyelematkan tiga bab terakhir buku ini. Selain kaburnya objektivitas, buku ini juga memiliki kekurangan dalam hal sistematika penulisan. Kedua penulis belum konsisten dengan pembagian bahasan berdasar rentang masa tertentu yang mereka buat sendiri. Beberapa penjelasan melompat dari batasan era dan beberapa topik dijelaskan berulang-ulang dengan informasi yang tidak jauh berbeda. Membaca buku ini, kalau tidak benar-benar ingin tahu, mungkin tidak akan pernah selesai karena terganggu dengan dua hal tersebut. Alhamdulillah, saya menyempatkan membaca kata pengantar dari Garin dan Dyna sebelum saya menulis ulasan ini. Di situ mereka mengakui kekurangan-kekurangan tersebut dan bahkan sempat mengurungkan diri untuk menerbitkan buku ini. Namun, menilik lagi niatan Garin dan Dyna saat menulis buku ini, menurut saya mereka berdua telah berhasil: “Sekecil apa pun andil dari penulisan ini akan memperkaya khazanah dan perspektif dalam melihat perjalanan film Indonesia serta menjadi ruang dialog baru terkait film Indonesia.”

53

54Aruna & Lidahnya (2018) Viewfinder Instastory @hanifahsausann Juni 2020 Ulasan Film Lifestyle & Entertainment

55

56

57

58

59

603 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero TheWasteEarthJournal Instastory September@hanifahsausann2020 Refleksi Lifestyle & Entertainment

61

62

63

64

65

66 “Siapa yang menulis buku, berarti telah meletakkan akalnya di atas nampan, lalu menyuguhkannya ke semua orang.” 0813-8798-3302 upak.upik@gmail.com@hanifahsausannEmailInstagramPhone Kindly share your feedback: - Al Khathib -

68

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.