i PortfolioWriting Hanifah Sausan N. Karya pilihan (2017-2022) Disusun untuk Life Cycle Indonesia
Saat kanak-kanak suka sok-sokan menulis cerita dan novel yang tidak pernah selesai. Sebagai remaja yang pendiam, lebih suka berekspresi lewat blog pribadi. Jatuh cinta dengan arsitektur sejak SMP dan berhasil masuk kampus arsitektur di Yogyakarta, tetapi justru merasa kurang cocok dan mencari penghiburan dari membuat ulasan film, drama, dan buku.
Magelang, 2 Mei 1996
Mulai serius menulis setelah digembleng tugas-tugas esei sos-hum selama mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang. Pasca-kepulangan mulai bekerja sebagai asisten publikasi arsitektur di kampus sembari terus menulis sebagai sarana berekspresi di tengah pandemi.
Hanifah Sausan N.
Pindah ke Tangerang pada akhir 2020 untuk bekerja di penerbitan dan lembaga literasi arsitektur hingga sekarang, sembari terus mengasah keterampilan produksi berbagai jenis tulisan.

1 Daftar Isi Arsitektur Sosial Humaniora Hiburan & Gaya HidupFiksi 11268542
2 Arsitektur
3 Omah UGM Eko Prawoto: Tentang Hidup & Pencarian How classroom design impacts for student learning comfort: Architect perspective on designing classrooms Buku Ajar Estetika Dasar untuk Arsitektur Buku-Buku OMAH Library (layout & proofreading) Tadao Ando dalam Rivalitas Tokyo-Osaka Form|Bentuk - 5. Culture (Boenserm Premthada) Mohammad Danisworo: Begawan Padmanaba Arsitektur Partisipatoris untuk Mahasiswa Pengelolaan Karya Arsitektur Partisipatoris: Studi Kasus Pasar Paparingan Ngadiprono How to Get the Job: The Next Level After Gradution 51 Tahun Perum Peruri Aktivasi Aset yang Tertidur: Sayembara Gagasan Masterplan Optimalisasi Aset Palatehan Peruri 52504240382820181614124(2022)(2022)(2022)(2022)(2021)(2021)(2021)(2021)(2020)(2020)(2020)(2017)
Omah4
Kritik Arsitektur
UGM Deskriptif Mata Kuliah Kritik Arsitektur Program Studi S1 Arsitektur, FT, UGM Desember 2017
Arsitektur
Esai Akademik Saya mempercayai bahwa untuk menulis sebuah kritik arsitektur deskriptif, kita perlu mengenal karya yang kritik dengan baik. Maka tak hanya pengetahuan mengenai rancangan, latar belakang, dan konteks bangunan saja yang perlu dimiliki, pengalaman ruang langsung juga menjadi penting. Omah UGM saya pilih selain karena sering disebut dan dibahas dalam berbagai perkuliahan, juga karena saya telah beberapa kali mengungjungi tempat ini secara langsung. Nilai sejarah dan keberlanjutannya yang lestari amat mengagumkan dan menarik untuk Selaindibahas.menulis, pada karya ini saya juga berkesempatan untuk menyusun tata letaknya.
5

6 a Latar Belakang Bangunan Akibat gempa sebesar 5,9 SR yang melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006, Kotagede menjadi salah satu kawasan dengan kerusakan cukup parah, baik dari segi infrastruktur maupun jumlah korban manusia yang ditimbulkannya. Kerusakan fisik di Kotagede amat disayangkan lantaran kawasan ini merupakan kota tua warisan Kerajaan Mataram Islam yang menandai asal usul Kraton Kasultanan Yogyakarta. Namun, jelas bahwa kala itu, bantuan dan upaya mitigasi belum bisa menyentuh artefak budaya ketika pemulihan masyarakat korban gempa menjadi lebih penting. Ekonomi yang melemah mendorong masyarakat Kotagede untuk menjual pendopo dan rumah yang tersisa agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari pascagempa. Pada tahun 2007, di tengah kekhawatiran akan keberlangsungan pusaka dan budaya Kotagede, keluarga Pasti Darsono menawarkan rumahnya untuk dibeli oleh UGM agar dirawat daan dipertahankan nilai-nilai budayanya sehingga tidak berakhir seperti rumah-rumah lainnya. UGM yang telah lama mengamati fenomena ini menyambut baik tawaran itu dan membeli rumah tersebut.
Berkolaborasi dengan Jogja Heritage Society, Indonesia Heritage Trust, dan ICOMOS Indonesia; ditambah bantuan dari JICA, Total Indonesiaa, dan Exxon Mobile, rumah yang dibantun tahun 1860 ini akhirnya direkonstruksi ulang dan diberi tambahan pada bagian tersentu. Banguanna yang awalnya ditujukan sebagai pusat pelatihan ini kini telah berkembang fungsinya menjadi lebih luas.






Desain bangunan Seperti rumah adat Jawa pada umumnya, Omah UGM terdiri dari ndalem (rumah utama), pendopo, pringgitan (ruangan antara pendapa dan bagian rumah utama), gandok (bangunan yang menempel di samping kiri atau kanan ndalem), dan pawon (dapur). Pendopo yang sudah lama tidak ada diganti dengan pendopo joglo baru yang didatangkan dari daerah sekitar Kotagede dan diletakkan pada entrance di sisi selatan. Pendopo baru ini sangat polos dan sederhana, tetapi justru menarik karena karakter kayu dan tektonikanya jadi lebih menonjol. Bagian ndalem yang rubuh sebagian akhirnya dibongkar dan dikonstruksi ulang, mempertahankan denah khas rumah Jawa dan desain interiornya yang mendapat pengaruh dari Eropa. Kini, senthong (kamar) pada ndalem berfungsi layaknya senthong rumah Jawa pada umumnya: sebagai kamar tidur, ruang penyimpanan, dan khusus senthong tengah untuk ruang pemujaan Dewi Sri (dewi padi).

7

8


bcd
Gandhok di sisi timur ndalem difungsikan sebagai ruang makan, sementara ruangruang di sebelahnya digunakan sebagai ruang pamer artefak budaya dan poster pelestarian pusaka Kotagede. Pawon di bagian belakang yang rusak total dibangun lagi secara sederhana, sekadar untuk menggambarkan budaya masak masyarakat Jawa yang menggunakan luweng (tungku) dan alat-alat masak lainnya yang khas.



9
Gandhok yang berada di sisi tenggara tapak rubuh hampir sepenuhnya, menyisakan lantai dan sebagian dinding yang menempel pada kolom. Tim olah desain yang bekerja saat itu tetap mempertahankan reruntuhan tersebut dan memberikan sentuhan modern dengan desain tropis.

10 kritik penulis Omah UGM rasanya bisa merangkum berbagai karakter hunian yang ada di Kotagede. Dari pola tata ruang yang khas Jawa, pendopo polosan yang lugu, hingga langgam khas Kotagede seperti bahu danyang (konsol tritisan dengan ukiran tradisional) juga ada di sini. Omah UGM juga mampu merepresentasikan karakter Eropa yang turut mempengaruhi arsitektur rumah kalang (rumah kaum pedagang) di Kotagede. Hal ini terlihat dari finishing dinding bata, langgam pada daun pintu, jendela, dan model furnitur yang digunakan di rumah ini. Keberagaman fungsi Omah UGM juga menambah pesona tempat ini. Kegiatan seperti kumpul warga, lokakarya, hingga pemilu biasa dilakukan di sini. Omah UGM juga sering digunakan sebagai lokasi pemotretan pre-wedding. Bahkan, film sepopuler “Sang Pencerah” juga turut menggunakan tempat ini sebagai salah satu latarnya. Pesona Omah UGM yang mampu meleburkan banyak pihak ini tentunya menambah kebanggaan masyarakat Kotagede. Hal yang menurut penulis sangat patut untuk diapresiasi adalah kejujuran tim olah desain dan pengelola dalam menghadirkan informasi mengenai apa yang asli dan apa yang tidak, baik secara tekstual maupun arsitektural. Di Omah UGM, tanpa melihat info tertulis, kita sudah bisa mengetahui bagian mana yang merupakan konstruksi eksisting dan bagian mana yang merupakan tambahan. Memilih untuk menciptakan kekontrasan ini menurut saya merupakan sebuah etika yang gampanggampang susah untuk diterapkan ketika ada ego untuk mengembalikan segala sesuatu seperti sedia kala. Dengan melihat Omah UGM, masyarakat setempat maupun pengunjung mampu mendapat gambaran kondisi sebelum gempa, seberapa parah gempa yang melanda dan kerusakan yang ditimbulkannya, serta bagaimana masyarakat bersemangat untuk membangun kembali kehidupannya. Mungkin bukan kehidupan yang sama, melainkan yang penuh pengharapan untuk menjadi lebih baik.
indeks gambar A. Adishakti, Laretna T. (2008, 25-28 Oktober). Building Consiousness on Heritage Cities in Indonesia [Paper presentation]. International Conference of World Heritage Cities of Euro-Asia, Solo, Indonesia. ONESIA.pdfuploads/sites/397/2018/07/BUILDINGCONSIOUSNESSONHERITAGECITIESININDhttps://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/ B. https://www.instagram.com/p/BRoQjbDFbJY/ C. https://www.instagram.com/p/BRoQEhKFBd2/ D. https://www.instagram.com/p/BRoQPVelavs/
11 Referensi Adishakti, Laretna T. (2008, 25-28 Oktober). Building Consiousness on Heritage Cities in Indonesia [Paper presentation]. International Conference of World Heritage Cities of Euro-Asia, Solo, Indonesia. sites/397/2018/07/BUILDINGCONSIOUSNESSONHERITAGECITIESININDONESIA.pdfhttps://chc.ft.ugm.ac.id/wp-content/uploads/PelestarianalaOmahUGM.(2009,13Juli). Kompas.com. kompas.com/read/2009/07/13/1511098/pelestarian.ala.omah.ugmhttps://nasional.Sartono,A.(2013,3September).
Tembi News. (Tautan tak lagi tersedia). Gusti. (2017, 2 Maret). Pendopo Kuno di Kotagede Potensial Menjadi Warisan Cagar Budaya. UGM. Warisanpotensial-menjadi-warisan-cagar-budayahttps://ugm.ac.id/id/berita/13403-pendopo-kuno-di-kotagede-RedaksiNgangsukawruh.(2017,27November).OmahUGMKotagede,BudayauntukAnakBangsa. Ngangsu Kawruh. com/2017/11/27/omah-ugm-kotagede-warisan-budaya-untuk-anak-bangsa/https://ngangsukawruh.Punto.(2011,12Oktober).TentangOmahUGM.
Mengelola Kota Pusaka. http:// taleofcities.blogspot.com/2011/10/tentang-omah-ugm.html
Kuliah-Kuliah Eko Prawoto Eko Prawoto adalah salah satu arsitek Indonesia yang terkenal dengan karya-karya tropis dengan sentuhan arsitektur Jawa. Samasama berdomisili di Yogyakarta, saya punya cukup banyak kesempatan semasa kuliah untuk bertemu langsung dan terpukau dengan kepribadian beliau yang kritis dan rendah hati. Setiap kuliah beliau selalu memukau dan penuh makna. Pak Eko dengan pemikiran dan analogianaloginya selalu mampu menyinggung isu-isu eksistensial manusia secara tepat sasaran, membuat saya merasa seperti dikembalikan lagi pada titik mula sehingga mampu untuk berpikir jernih lagi. Alangkah baiknya bila energi positif itu dapat dirasakan orang lain. Maka, saya buatlah tulisan ini. Alhamdulillah, ia mendapat sambutan baik dari kawan-kawan di Instagram, terutama yang bergerak di bidang arsitektur.
TentangPrawoto:Hidup & ArtikelPencarianSingkat

Arsitektur
Instastory @hanifahsausann Juli Refleksi2020
Eko12
Jadi, kawan, kamu juga, selamat mencari!
Sebelumnya, Pak Eko pernah mengingatkan pent ingnya peran institusi pendidikan untuk mengenal kan pilihan-pilihan arsitektur yang beragam kepada calon-calon arsitek—semacam kritik terhadap sistem pendidikan kita yang lebih banyak berorientasi pada industri. Namun, terlepas dari keberhasilan atau ke gagalan kampus dalam menjalankan peran tersebut, kebutuhan untuk mencari akan terus ada dan pada akhirnya ia dikembalikan lagi kepada diri kita mas ing-masing. Ya, termasuk pada Pak Eko yang meng aku hingga kini juga masih terus mencari.
13 Dalam sharing session ARCHINESIA “Design Ap proach + Method”, Pak Eko memaparkan pendeka tan dan metode perancangannya yang sangat erat berkaitan dengan cara beliau meman dang kehidupan. “Life is bigger than architecture,” begitu tuturnya dalam sebuah diskusi di WA+U Desember lalu. “Keilmuan kita hanya pintu masuk menuju kehidupan.” Bila kehidupan adalah sebuah ruangan, arsitektur hanyalah satu dari sekian ban yak pintu untuk memasukinya. Masing-masing pintu tentunya memberikan sudut pandang yang berbeda. Pak Eko menekankan pentingnya mempelajari ilmu di luar bidang arsitektur agar perancang mampu melihat konteks yang lebih luas. Kita perlu masuk lewat pintu lain untuk melihat ke hidupan yang lebih utuh. Sehari sebelumnya, dalam “Cakap-Cakap” bersa ma Imelda Akmal (IG @imelda_akmal), saya sangat terkesan ketika Pak Eko mengatakan, “Kita tidak boleh bohong pada klien terkait batas kemampuan kita.” Beliau secara terbuka dan legowo mengakui keterbatasan tipologi arsitektur yang mampu beliau tangani. “Ibarat orang tidak suka duren, ia tidak mungkin bisa jualan duren.” Karena mendesain perlu komitmen jiwa raga, maka baginya, arsitektur harus yang bisa dijalani serta dekat dengan diri dan hati kita. Bagi yang lebih muda, mungkin ini adalah perang melawan harga diri sebagai arsitek. Maka, ketika mengeksplorasi, mungkin kita tidak hanya har us jujur pada klien, tetapi juga pada diri sendiri.
Pak Eko Prawoto dan praktik berarsitekturnya meng ingatkan saya tentang adanya bentuk-bentuk arsitektur yang lain, yang mungkin lebih lama pros esnya dan lebih sepi jalannya. Mereka terus hidup dan berkembang, sekalipun tidak mendapat kan sorotan. Karenanya, beliau menyarakan untuk berjalan pelan-pelan dan melihat dengan lebih cermat; menangkap yang mungkin terlewat bila kita bergerak cepat-cepat; tidak buru-buru terpikat dengan yang mengilat dan justru hanyut dalam arus bila kita tidak cukup kuat sehingga terlalu fokus mau membuat “apa” hingga lupa bertanya “mengapa”.
classroomsdesigningperspectivecomfort:learningArchitecton
Asisten Publikasi Departemen Arsitektur & Perancanaan, FT, UGM September 2020 Artikel ini merupakan salah satu produk yang saya hasilkan sebagai asisten publikasi. Healthy & Compact School merupakan tema besar dari keseluruhan penelitian yang dilakukan oleh penulis pertama. Selama penyusunan artikel ini, saya mengambil peran dalam pengolahan data dan penyusunan artikel dalam bahasa Indonesia. Jurnal (Co-Author)Akademik
Arsitektur
International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE)
14 How designclassroomimpacts for student
International Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE) Vol. 9, No. 3, September 2020, pp. 469~477 ISSN: 2252-8822, DOI: 10.11591/ijere.v9i3.20566 469 Journal homepage : http://ijere.iaescore.com
This is an open access article under the CC BY-SA license.

Corresponding Author: Kurnia DepartmentWidiastuti,ofArchitecture and Planning, Engineering Faculty, Universitas Gajah Mada, 02 Grafika Road, Senolowo, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55281, Indonesia.
How classroom design impacts for student learning comfort: Architect perspective on designing classrooms
Nowadays, the policy of schools in Indonesia, both public and private schools, on average implements a full-day school system. This policy was initiated by Minister of Education and Culture in 2016 [1, 2]. Previously, this system was only applied to schools in boarding schools. In the full day school system students are at school for approximately 8 hours every day which takes place around 07.00 to 16.00 or at 6.45 to 15.00 according to local time. Compared to the half day system (regular), full day school system means an increase in the duration of learning time from 6-8 to 10-12 hours of learning, where 1 hour of learning is about 35 minutes for the elementary school level. This time includes additional time to rest, pray, and eat. Full day school learning is carried out for 4 days in 1 week. Friday learning takes place in a half day system. Likewise Saturday is generally for extracurricular activities or self-development [3-5].
Keywords: Classroom design StudentLearningFormalComfortschool
Because of students spend more time in school, so they do not get bored easily the class should have a fun design, comfortable to learn, and not monotonous [6]. This is because the classroom is the element that most influences student progress and learning success [7, 8]. As happened in public elementary school of 002 Bangkinang Kota, in the classroom carpet was provided with the aim of giving freedom to students to choose where to study, sit on a bench or on a carpet. Even when feeling tired, students are allowed to study while
Email: k.widiastuti@ugm.ac.id 1. INTRODUCTION
Article Info ABSTRACT
Article history: Received Mar 8, 2020 Revised Jun 16, 2020 Accepted Jul 21, 2020 This study aimed to determine the factors that influence student learning comfort in the classroom and its distribution. This explorative study employed 772 students who were elementary school, junior high school, and senior high school students in several Muhammadiyah Yogyakarta schools. Data collection techniques using open questionnaires. The data analysis technique uses qualitative analysis which consists of three stages: open coding, axial coding, and selective coding. The results showed that the factors that influence learning comfort of students in the classroom include: air circulation, quietness, cleanliness, adequate & supportive facilities, and peer attendance. These five factors are among other factors that are grouped into two: 1) factors originating from the physical environment (of building & site themes and of indoor space themes); and 2) factors from within its occupants (of human themes). The theme that shows the highest influence comes from the physical conditions in the classroom, that is indoor space themes.
2Master of Islamic Studies Department, Universitas Islam Indonesia, Indonesia
15
Kurnia Widiastuti1 , Mohamad Joko Susilo2, Hanifah Sausan Nurfinaputri3 1,3Department of Architecture and Planning, Universitas Gajah Mada, Indonesia
Mata16 Kuliah Estetika Dasar Departemen Arsitektur & Perancanaan, Fakultas Teknik, UGM September 2020 Estetika Dasar adalah mata kuliah wajib di Program Studi S1 Arsitektur UGM bagi mahasiswa tahun pertama yang mengajarkan prinsip-prinsip estetika yang esensial pada komposisi dwimatra (2D) dan trimatra (3D) sembari membangun relevansi terhadap bidang arsitektur. Dalam penyusunan buku ini, saya berkontribusi mengonversi modul-modul presentasi menjadi penjelasan tertulis juga mengerjakan keseluruhan desain buku ini. ArsitekturDasarEstetikauntukArsitektur Buku (Co-Author,AjarLayouter)

17

Melawan Waktu Sejarah, Arsitektur, dan Tata Ruang Keraton MahasiswaBerkelanjutanStrategiYogyakartaArsitekturuntuk Tadao Ando: Let There Be Light Arsitektur HindiaRampaBelandaKapisArsitektur Buku-Buku Arsitektur (Proofreading & Layout)


sebuah lembaga riset dan literasi arsitektur yang didirikan di Jakarta pada 2015. Kegiatan utama lembaga ini adalah produksi pengetahuan arsitektur lewat kelas-kelas dan penerbitan buku. Saya bergabung dengan OMAH sejak Desember 2020 dan selama satu tahun selanjutnya saya dilibatkan dalam pengerjaan beberapa buku, khususnya untuk melakukan proofreading naskah dan mengatur tata letak buku. Kegiatan proofreading menjadi tantangan tersendiri karena penulispenulis dari kalangan arsitektur tidak selalu memperhatikan ejaan dan tata bahasa.
Buku-Buku18 OMAH OMAH2020-2021LibraryLibraymerupakan
Arsitektur

19







dalam Tokyo-OsakaRivalitas
Materi20 Promosi Buku Instagram Post (@omahlibrary) OMAH Library April Setiap2021menerbitkan buku, OMAH Library berusaha melakukan promosi sembari mengajak audiensnya untuk belajar hal baru. Lewat buku “Tadao Ando: Let There Be Light”, OMAH ingin memaparkan posisi istimewa Tadao Ando (arsitek ternama dari Jepang) yang tidak banyak diketahui peminat arsitektur di Indonesia, yaitu kelahirannya sebagai arsitek yang terlepas dari konstelasi arsitek yang sudah terbentuk kuat di Jepang. Pada konten ini, saya mengambil intisari penjelasan dari buku dan mengemasnya dalam berbagai foto dan diagram untuk mempermudah pembaca mencerna materi. (Text, Graphic, Layout)
TadaoArsitektur Ando
21 Rivalitas Tokyo-Osaka Posisi Tadao Ando dalam 01 Tadao Ando: Let There be Light "Tadao Ando Rokkosan Residence 09 jpg" by 準建築⼈⼿札網站 Forgemind ArchiMedia is licensed under CC BY 2 0


22
Tadao Ando: Let There be Light



Selama 43 kali penganugerahan Priztker Architecture Prize (1979 2021), Jepang merupakan negara dengan penerima penghargaan terbanyak (7 awardee) Terdapat benang merah dari arsitek arsitek tersebut, yakni mereka berasal atau berpraktik di wilayah Kanto (Tokyo, Ibaraki, dan sekitarnya) dan beberapa memiliki hubungan akademis atau melalui jalur profesional. Kecuali Tadao Ando, satu satunya yang berasal dari Kansai (Osaka, Kyoto, dan sekitarnya) dan tidak menempuh pendidikan formal atau memiliki hubungan langsung dengan penerima penghargaan lainnya Rivalitas antara Tokyo (Kanto) dan Osaka (Kansai) dalam konteks positif maupun negatif nyatanya telah lama berlangsung sejak berabad abad yang lalu 01




23 j p p g y g mencoba untuk menggapai masa depan. a, Hyōgo, Nara and akayama Kanto Tadao Ando: Let There be Light01 Tokyo, Ibaraki, Gunma, Tochigi, Saitama, Chiba, and Kanagawa Kyoto pernah menjadi ibukota Jepang selama 1 milenium. Kawasan Kansai berkembang lewat perdagangan dan pertukaran budaya karena adanya pelabuhan. Setelah ibu kota dipindah ke Tokyo, Kansai menjelma menjadi pusat preservasi, konservasi, sekaligus studi dan pengembangan sejarah kebudayaan Jepang





24


Tadao Ando: Let There be Light Terbentuknya konstelasi arsitek arsitek Jepang dari kawasan Kanto dimulai dari Gerakan Metabolist yang lahir di tahun 1959 saat persiapan Tokyo World Design Conference, digawangi Kenzo Tange dan murid muridnya Mereka merilis manifesto desain utopis dengan konsep metabolisme pada 1960 Satu dekade kemudian, arsitek arsitek Gerakan Metabolist seperti Tange, Kisho Kurokawa, Arata Isozaki, dan Fumihiko Maki berpartisipasi dalam perancangan berbagai fasilitas di World Expo 1970, menimbulkan ironi bahwa perhelatan akbar di Osaka justru didominasi oleh kelompok arsitek dari Tokyo. Manifesto desain utopis "Metabolism: the Proposals for New Urbanism" Gerakan Metabolist 1959 60 70 01 Osaka World Expo Kenzo Tange Arata Isozaki Kisho Kurokawa Fumihiko Maki






25 eru Ban Kenzo Tange yang belajar dari Junzo Sakakura dan Ku sung Le Corbusier) mendapatkan Pritzker Prize pada 1987 seka ama dari Jepang yang menerima penghargaan tersebut. Fumihiko ki yang merupakan murid langsung dari Tange masing masing mendapatkan Pritzker Prize pada 1993 dan 2019 Toyo Ito yang diberi penghargaan pada 2013 belajar dari Kikutake yang juga murid langsung Kenzo Tange Keempatnya juga sama sama alumni Universitas Tokyo (Todai). Duo SANAA, Kazuyo Sejima dan Ryue Nishizawa, yang mendapatkan Pritzker Prize pada 2010 bukan lulusan Todai, tetapi keduanya pernah bekerja di bawah Ito. Hanya Shigeru Ban dan Tadao Andolah yang tidak memiliki pengaruh langsung dari arsitek penerima Pritzker Prize lain, terlebih Ando yang belajar secara otodidak. ma awa Kenzo Tange Fumihiko Maki Arata Isozaki 87 93 95 14 1959 60 70 10 13 19 2000 1st Gen 2nd Gen 3rd Gen 4th Gen Tadao Ando: Let There be Light01








26 Tadao Ando: Let There be Light01 Dalam kompetisi sayembara maupun proyek internasional, arsitek arsitek dari konstelasi Kanto banyak yang mahir mengerjakan proyek proyek yang berkaitan dengan kehidupan urban dan modern seperti gedung pencakar langit, bangunan komersial, dan perkantoran. Sementara, bila dilihat dari perkembangan karya karya Ando yang berasal dari Kansai, terdapat lebih banyak persentase karya karya dengan tema seni dan budaya. Fumihiko Maki Tadao Ando 4 World Trade Center, New York Hyogo Prefectural Museum of Art



27 Tadao Ando: Let There be Light01 Lantas bagaimana Ando meniti jalan karir dan konstelasinya sendiri? "Tradisi nyantrik" di Jepang yang dikenal luas melalui sejarah gerakan arsitektur Metabolisme masih secara turun menurun terjaga hingga kini, sebuah tradisi yang memiliki dua gawang penting: proses magang di biro dan atau kesamaan alamamater. Sedangkan, di Osaka, Ando tak memiliki keduanya, sementara talenta talenta terbaik negeri akan selalu tertarik oleh magnet kesempatan yang dijanjikan oleh Tokyo. Simak selengkapnya di buku Tadao Ando: Let There Be Light


Class28 Summary Instagram Post (@omahlibrary) OMAH SetiapSeptemberLibrary2021mengadakan kegiatan, terutama kelas-kelas arsitektur, OMAH Library selalu berusaha berbagi ringkasan materi di media sosial, dilengkapi dengan catatan diskusi dan testimoni dari para peserta. Pada kelas “Form|Bentuk”, saya berkesempatan membuat ringkasan materi untuk Boenserm Premthada, seorang arsitek dari Thailand yang terkenal karena perhatiannya pada unsur-unsur di luar manusia. Di salah satu karyanya, Boonserm membuat sebuah museum dengan gajah sebagai salah pengguna yang dipertimbangkan dalam program ruang. (Text, Graphic, Layout) Arsitektur Form|Bentuk 5. Culture Boenserm Premthada
29 C U L T U R E : N O N - H U M A N C E N T E R E D A R C H I T E C T U R E D I S C O U R S E R E P O R T w i t h : B o o n s e r m P r e m t h a d a W H A T D I D W E D I S C U S S I N T E R M S O F C U L T U R E A N D T H E N O N - H U M A N C E N T E R E D A R C H I T E C T U R E ?





30 B o o n s e r m s t a r t e d t h e p r e s e n t a t i o n b y p r e s e n t i n g h i s 2 0 1 1 w o r k , K a n t a n a I n s t i t u t e w h i c h t o o k t h e f o r m o f t h i c k w a v y w a l l s w i t h l a b y r i n t h - l i k e p a t h . I n s i d e t h e p a t h w a y w e r e p l a n t e d t r e e s a s a w a y t o e m b r a c e n a t u r e , h e c a l l s i t i n s e r t e d f o r e s t H e e m p h a s i z e d t h a t m o r e t h a n a n y t h i n g , t h e s t u d e n t s n e e d t o l e a r n a b o u t h o w t o b e h u m a n , a b o u t e m o t i o n s a n d c h a r a c t e r s t o b e a b l e t o p o r t r a y t h e m w e l l i n t h e i r f i l m / a n i m a t i o n T h e b u i l d i n g u s e d b r i c k s a s t h e m a i n m a t e r i a l , p r o d u c e d l o c a l l y t o b o o s t e c o n o m y a n d l o c a l p r i d e . K A N T A N A F I L M & A N I M A T I O N I N S T I T U T E D I S C O U R S E R E P O R T


31 H e c o n t i n u e d w i t h T h e W i n e A y u t t h a y a , a l o c a l t o u r i s t a t t r a c t i o n f o r w i n e d r i n k i n g T h e f a c i l i t y i s a c u b e s u p p o r t e d b y s t e e l c o l u m n s i n t h e i n n e r s i d e a n d t h e s k i n a r e m a d e o f w o o d f r a m e s . I n t h e m o s t o u t e r s k i n a r e P V C s h e e t s t h a t r e f l e c t t h e s u r r o u n d i n g v i e w s o f t l y , c r e a t i n g a h a r m o n y b e t w e e n t h e b u i l d i n g a n d t h e e n v i r o n m e n t . I n s i d e , a b a r i s p l a c e d i n t h e g r o u n d l e v e l w i t h m o r e s e a t i n g a r e a i n f o u r o t h e r p l a t f o r m s p l a c e d a b o v e , c o n n e c t e d w i t h f i v e s p i r a l s t a i r c a s e s t h a t c r e a t e a u n i q u e s e n s e o f p l a c e . T H E W I N E A Y U T T H A Y DA I S C O U R S E R E P O R T


32 N e x t w a s t h e E l e p h a n t W o r l d , a c u l t u r a l c o m p l e x f o r K u i p e o p l e , a n e t h n i c g r o u p w h o l i v e s s i d e b y s i d e w i t h e l e p h a n t s a s i f t h e i r o w n f a m i l y i n s t e a d o f p e t o r l a b o r f o r c e . I t h a s a m u s e u m w i t h p a t h f o r e l e p h a n t t o p a s s t h r o u g h a n d g i v e a d i r e c t i n t e r a c t i o n t o t h e v i s i t o r s T h e c u l t u r a l c o u r t y a r d w i t h p o r o u s p i t c h e d r o o f h o l d s r e l i g i o u s e v e n t s r e l a t e d t o e l e p h a n t s a s w e l l , t h u s t h e h e i g h t o f t h e r o o f a l s o a d a p t e d t o t h e a n i m a l ' s s c a l e a s w e l l . T h e t o w e r w a s b u i l d a s a n o b s e r v a t i o n p l a c e a n d t o s p r e a d t r e e s e e d s b y w i n d & + r e s t o r e t h e e x p l o i t e d f o r e s t E L E P H A N T W O R L D : M U S E U M , T O W E R , C U L T U R A L C O U R T Y A R D D I S C O U R S E R E P O R T



T h e W a l k l o c a t e d i n M o o b a a n W o n d e r V i l l a g e i s a n i n s t a l l a t i o n m a d e t o r e m i n d v i s i t o r s a b o u t t h e s m a l l l i v i n g t h i n g s l i k e g r a s s b y p r o v i d i n g 8 c u r v e d p a t h o f s t e e l r o d s e l e v a t e d w i t h v a r i o u s h e i g h t t o g i v e v a r i e t y o f w a l k i n g e x p e r i e n c e o n d i f f e r e n t s u r f a c e T h e p a t t e r n w a s t a k e n f r o m t h e s h a p e o f r o a d s n e a r b y . T h e p a t h s a r e s t a n d i n g o n t o p o f s t e e l r o d f r a m e s w i t h s m a l l p e d e s t a l t h a t g i v e s s t r o n g e s t s u p p o r t w i t h m i n i m u m i m p a c t o n t h e g r a s s c o v e r e d g r o u n d . I t a l s o a l l o w s f o r e a s y r e l o c a t i o n a n d r e i n s t a l m e n t i n t h e f u t u r e w h e n c h a n g e i s n e e d e d T H E W A L DK I S C O U R S E R E P O R T

33

T h e o w n e r o f t h e f a c i l i t y w a n t s t o p r e s e r v e l o c a l c u i s i n e s a n d h e l p g r a n d m a s i n t h e a r e a t o g e t a d d i t i o n a l i n c o m e . F i v e m a s s e s o f t r i a n g u l a r p r i s m w e r e p l a c e d n e x t t o e a c h o t h e r , c o n n e c t e d b y w o o d e n b r i d g e s . T h e m a s s e s w e r e n a m e d a f t e r f i v e g r a n d m a s , e a c h s p e c i a l i z e s i n d i f f e r e n t m e n u s T h e y a r e m a d e o f g l a s s b l o c k s s t a c k e d u s i n g p l y w o o d T h e g l a s s b l o c k s p a s s n a t u r a l l i g h t d u r i n g d a y t i m e a n d a c t a s a l a n t e r n a t n i g h t a n d i l l u m i n a t e t h e s u r r o u n d i n g s . H E A R T I S A N : H E W O M E N R E S T A U R A N T D I S C O U R S E R E P O R T
T
T

34

E
35

T h e i d e a i s t o c o m b i n e h u m a n , a n i m a l , a n d c u l t u r a l a s p e c t s t o g i v e a n a n s w e r t o h o w a l l o f t h e m c a n l i v e t o g e t h e r I t ' s a m i x b e t w e e n t h e h u m a n h o u s e ( f r a m e s t r u c t u r e ) a n d t h e e l e p h a n t h o u s e ( s i n g l e c o l u m n s t r u c t u r e ) , a l s o a m i x o f h u m a n a n d e l e p h a n t s c a l e ( s h o w n i n t h e g r a d u a l h e i g h t i n c r e a s e ) . T h e r e a l s i z e i n s t a l l a t i o n w a s b u i l t p e r m a n e n t l y b y l o c a l c r a f t s m e n i n a t e m p l e n e a r E l e p h a n t W o r l d t o a c c o m m o d a t e c u l t u r a l e v e n t s T h e t w i n s t r u c t u r e i n V e n i c e w a s b u i l t s m a l l e r w i t h a s i m p l e r s t r u c t u r e a n d f o r m b u t w i t h t h e s a m e m e s s a g e . T H A I P A V I L I O N 2 0 2 1 V E N I C E B I E N N A L D I S C O U R S E R E P O R T


- G E
36 D I S C U S S I O DN I S C O U R S E R E P O R T


- U N D I G U N A W A N
I think it's my wife She didn't study architecture But that makes her important Her question & critiques come from common people's perspectives, they're simple but very difficult to answer. Architects are a very small community compared to the rest of the world It's our job to make our design understandable for them, for animals, for nature. Who is your biggest/hardest critique? is it yourselves, the society, or the elephant?
Boonserm Premthada
I think architects cannot control everything, (but establishing the common ground with the owner is important) they are the owner of the work, but they're not my owner. If they like my work then I'll do it.
Boonserm Premthada
When trying to create contextual architecture (especially culturally) we can get stuck with the physical form. On the flip side, modern buildings often get dismissed for not being culturally appropriate just because it 'looks different' even when they actually represent said values What is your view/advice on this? N I M A H A R A N I
Also in south east Asia, we confront with money, social issue, politic, climate, poverty, etc There're so many things we can reflect on in our work It's not just about function and form
37
C
M a t e r i a l s a r e n o t a l w a y s w h a t o u r e y e s c a n s e e . I t c a n b e l i g h t , s h a d o w , w i n d , s o u n d , a n d s m e l l . I t c a n b e c u l t u r a l a n d s o c i a l i s s u e s . B o o n s e r m p u t h i m s e l f i n o t h e r p e o p l e ' s s h o e s . Y e t w e h a v e t o b e d i s t a n t e n o u g h t o b e a b l e t o j u d g e , h a v e t h e p e r s e v e r a n c e t o p r o c e s s , c o n t i n u e t o s e r v e t h o s e a r o u n d u s , a n d c r e a t e w o r k t h a t g r o w s f r o m t h e g r o u n d . B o o n s e r m ' s w o r k s c a n c r e a t e a s e n s e o f c o m m u n i t y & c o n n e c t e d n e s s . T h e y c r e a t e b o l d s t a t e m e n t s a b o u t a r c h i t e c t u r e a n d t h e p r e s e n c e o f h u m a n i n t h e e n v i r o n m e n t . M a n i f e s t a t i o n o f t h e c o n t e x t , t h e o r y , m e t h o d o l o g y , a n d i m p l e m e n t a t i o n b e c o m e o n e s i n g l e u n i t . A n d i t ' s a p o i n t t h a t I a p p r e c i a t e , t h e h o n e s t y i n t h i n k i n g a n d p r e s e r v i n g t h e p r e s e n t . B o o n s e r m e x i s t s i n t h e c u r r e n t c o n t e x t . W o r k i n g i n a s m a l l s t u d i o w i t h r a t h e r s m a l l p r o j e c t s h a s i t s o w n p e r k s . F o r B o o n s e r m , i t g i v e s h i m f r e e d o m a n d a u t o n o m y t o t r y n e w i d e a s a n d r e f l e c t n o n a r c h i t e c t u r a l i s s u e s i n t o h i s w o r k s . H e e n c o u r a g e s t h e y o u n g g e n e r a t i o n t o b e c o n f i d e n t i f c u r r e n t l y m o v i n g i n a s i m i l a r f o r m a t a s t h e c o l l e c t i v e s m a l l p o w e r s p o t e n t i a l l y c r e a t e s i g n i f i c a n t c h a n g e s . O N C L U S I O DN I S C O U R S E R E P O R T
Buku38 Biografi Arsitektur Bahasa Indonesia, A5, 215 hlm. OMAH SejakDesemberLibrary20212019,OMAH
PadmanabaBegawanDanisworo:MohammadArsitektur

Sinopsis Mohammad Danisworo adalah sosok teladan dalam ilmu (teoretik) dan laku (praktik) arsitektur di Indonesia. Menyandingkan Mohammad Danisworo sebagai Begawan Padmanaba dalam buku ini bukanlah sebagai sebuah kultus, melainkan sebagai sebuah “jalan” untuk memahaminya sebagai seorang “guru”. Guru yang mampu membimbing murid-muridnya untuk kemudian juga menjadi “guru” untuk mendidik generasi-generasi di masa berikutnya, guru yang mampu membimbing muridmuridnya menjadi manusia yang “ahli” di bidangnya dan berkarya dalam lingkup yang lebih luas lagi. Seperti halnya Padmanaba dalam cerita pewayangan yang terus menebar ilmu untuk memelihara keberlangsungan semesta. Di buku ini dipaparkan cerita kehidupannya sejak muda, bagaimana menjalani kuliah, praktik dan prinsip-prinsip yang diteguhkannya. Menjelaskan tentang pemikiran-pemikirannya yang terus berkembang sejak dulu sampai sekarang. Termasuk pandangan dan kesan dari murid-muridnya yang tersebar di berbagai tempat, berbagai institusi. Tak ketinggalan juga membahas karya-karya yang pernah dirancangnya dalam rentang puluhan tahun.
Library memulai sebuah seri buku arsitek mumpuni yang mencoba mendokumentasikan sepak terjang tokohtokoh arsitek Indonesia generasi veteran. Mohammad Danisworo yang dijuluki sebagai Bapak Desain Urban Indonesia menjadi tokoh ketiga yang diangkat. Proses penulisannya sudah berlangsung sejak 2020 dan disempurnakan lagi pada 2021. Saya sendiri mendapat kesempatan untuk mewawancarai beliau dan merumuskan biografi serta berbagai karya yang beliau hasilkan selama hidupnya. (Co-Author & Proofreader)
39


ini merupakan buah dedikasi penulis yang aktif dalam kegiatan pengabdian masyarakat dari sejak mereka masih menjadi mahasiswa. Dengan harapan menjadikan arsitektur partisipatoris lebih mudah dipahami dan lebih dekat dengan mahasiswa, Fauziyyah dan Firda menuliskan secara lengkap metode yang digunakan untuk membuat masterplan atau merancang fasilitas bersama komunitas, dimulai dari landasan berpikir dan semangat berbagi, analisis komunitas, proses perancangan itu sendiri, pembangunan bersama, hingga evaluasi. Dicantumkan pula studi kasus pengabdian masyarakat oleh mahasiswa dari beberapa daerah di Indonesia dengan tipologi yang beragam untuk memberikan gambaran keunikan dari masing-masing komunitas.
Sinopsis Arsitektur partisipatoris merupakan salah satu bidang yang menarik sekaligus menantang bagi kalangan mahasiswa yang memiliki idealisme dan semangat berbagi yang tinggi. Namun, tidak semuanya memiliki kesiapan untuk menghadapi konteks masyarakat yang didampingi dan kompleksitas proses perancangan yang Secaramengikutinya.umumbuku
PartisipatorisArsitektur untuk Mahasiswa
Arsitektur

Buku40 Arsitektur Bahasa Indonesia, A5, 617 hlm. OMAH Library Maret 2022 Buku ini berisi teori arsitektur partisipatoris dan dokumentasi berbagai kegiatan pengabdian masyarakat yang pernah dijalani oleh kedua penulis utama. Karena belum ada buku dengan topik serupa di Indonesia, OMAH Library pun memutuskan untuk menerbitkan buku ini dengan dilengkapi hasil wawancara dengan 6 tokoh arsitektur Indonesia dari kalangan praktisi dan akademisi untuk melengkapi sudut pandang yang ada. Ditambahkan pula beberapa narasi fabel yang menggambarkan kompleksitas kolaborasi dari berbagai pihak. (Co-Author, Proofreader, Layouter)
Buku ini juga disajikan bersama dengan wawancara dengan enam praktisi dan akademisi arsitektur: Indah Widiastuti, Andra Matin, Eko Prawoto, Yu Sing, Eko Purwono, dan Wendy Teo. Masing-masing bercerita tentang arsitektur partisipatoris yang mereka yakini dan jalani: tidak hanya terbatas pada program pengabdian, tetapi kerja arsitektur itu sendiri secara umum yang merupakan hasil partisipasi dari berbagai pihak. Walau sudut pandangnya beragam, pada akhirnya semua sepakat bahwa arsitektur partisipatoris perlu keterbukaan dan kerendahan hati; menekan ego untuk membuka pintu kolaborasi dan menghasilkan kreasi. Buku ini kemudian hadir untuk merayakan nilai-nilai perbedaan dan kolaborasi di dalam menyelami ilmu arsitektur di Indonesia, tidak hanya untuk mahasiswa, tetapi khalayak yang lebih luas, seperti judul buku ini, Arsitektur Partisipatoris untuk Mahasiswa.
41


buku “Arsitektur Partisipatoris untuk Mahasiswa”, kami ingin menampilkan berbagai studi kasus berdasarkan aspekaspek yang krusial dalam arsitektur partisipatoris. Ada studi kasus yang diambil dari buku atau wawancara dengan tokoh, ada pula yang diambil dari luar, seperti studi kasus Pasar Papringan yang saya usulkan Kebetulan, saya sendiri pernah datang ke Pasar Papringan Ngadiprono dan pendirinya pernah diundang ke acara OMAH Library. Selama penyusunan, kami berkoordinasi dengan pihak pengelola untuk mendapatkan data yang tepat. (Text, Graphic, Layout)
Promosi Buku Instagram Post (@omahlibrary) OMAH Library April Dalam2022promosi
Studi NgadipronoPasarKasusPaparingan
PartisipatorisKaryaPengelolaanArsitekturArsitektur
Materi42
43 N E D R w i t h : r m P r e m t h a d a W D C E A R STUDI KASUS PASAR PAPRINGAN NGADIPRONO, TEMANGGUNG Swipe Left


















Banyak energi, waktu, dan dana dikerahkan untuk mewujudkan sebuah proyek sosial bersama komunitas Namun, seringkali fasilitas terbengkalai setelah dibangun karena tidak ada yang merawat.
2/10 2/10 2/10
Mengapa para satwa tidak menggunakan balai? Apakah desain berpengaruh dalam menentukan keberlanjutan balai? Seberapa jauh pengaruhnya?
44


Seperti halnya balai serbaguna di hutan satwa. Setelah dibangun setahun lalu, sekarang kondisinya mengenaskan. Siapa yang harus bertanggung jawab atas keberlangsungan balai?
Arsitek? Sponsor? Warga hutan? Raja hutan?






45 2/10 2/10 2/10 gtw gtw gtw gtw



Ternyata selama ini tidak ada yang ditunjuk untuk mengelola balai. Sementara raja sibuk mengurus irigasi, dan warga sibuk dengan komunitas satwanya masing masing. Tugas yang seharusnya dipikul bersama sama malah terlempar lempar dan akhirnya tidak ada yang mengerjakan.
Rombongan gajah yang baru tiba setelah berkelana selama setahun terkejut mereka melihat kondisi balai Ke mana mereka perlu mengadu? Burung berkata, "aku tidak tahu." Musang menjawab, "entahlah." Panda pun demikian. Gajah gajah lalu mendatangi Singa Si Raja Hutan. Ia juga menjawab, "aku tak tahu..."
SIAPA YANG SBERTANGGUNG IAPA YANG SBERTANGGUNG IAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB SETELAH JKARYA AWAB SETELAH JKARYA AWAB SETELAH KARYA TERBANGUN? TERBANGUN? TERBANGUN?

Proyek revitalisasi desa Pasar Papringan di Temanggung hasil inisiasi Spedagi Movement pernah mengalami kegagalan. Tidak aktifnya forum RT/RW di lokasi pertama mempersulit komunikasi dengan warga. Inisiasi yang dibuka berkala setiap 35 hari pun kurang mendapat dukungan dari pemerintah desa setempat. Belajar dari kegagalan, di Dusun Ngadiprono (lokasi kedua), Spedagi memastikan forum warga aktif dengan meningkatkan kolaborasi dalam perencanaan, analisis, desain, dan pelaksanaan program bersama warga. Perwakilan warga lokal didorong untuk menjadi koordinator program yang didampingi satu orang project manager dan tim pendamping dari Spedagi. bagaimana mengelola bersama komunitas?

46 4/10 4/10 4/10




Sementara kura kura menjawab, "Balai terlalu jauh dari rumahku "
47




Seberapa jauh pengaruh desain terhadap keberlangsungan? 3/10 3/10 3/10 jadi gemuk tambah anak rumah jauh terlalu tinggi
Raja Hutan menjawab, "Setengah tahun yang lalu? Aku jadi gemuk dan tidak muat masuk lewat pintunya Jadi, aku berhenti mengadakan rapat di sana " Kelinci bilang, "Balai jadi sempit untuk anakku yang bertambah banyak." Jerapah menimpali, "Leherku pegal karena harus menunduk berjam jam."
Para gajah akhirnya tersadar bahwa desain balai yang sekarang belum sesuai dengan kebutuhan para warga dan belum mengantisipasi perubahan yang terjadi.
Gajah gajah kembali bertanya, "Kapan balai terakhir kali dipakai?"

48 6/10 6/10 6/10







Pada Pasar Papringan Ngadiprono, lokasi gelaran awalnya merupakan kebun bambu yang kurang terawat dan tidak lazim digunakan untuk berkegiatan. Lokasi ini kemudian dibersihkan, ditata, dan dilengkapi sarana dari material lokal seperti trasah batu, pagar bambu, lampu penerangan, penunjuk arah, alat bermain, dll Penataan ulang ini memanfaatkan ruang kosong di bawah rumpun bambu tanpa mengubah lanskap alaminya. Intervensi desain dilakukan seminimal mungkin. Selain lebih mudah dikerjakan warga, juga karena pasar dibuka secara terbatas sehingga sehari hari lokasi tersebut bisa menjadi ruang publik desa. Ruang yang fleksibel membuka kemungkinan untuk kegiatan lain, seperti kegiatan sosial warga, pernikahan, atau bahkan seminar. Bagaimana desain yang fleksibel dan adaptif?



7/10 7/10 7/10 Apakah sudah cukup? bagaimana memberi lebih? pride income

Dalam gelaran Pasar Papringan warga terlibat melalui berbagai peran, baik sebagai perencana, pembangun, pengelola, pelapak, pengrajin, pemain gamelan, maupun peran peran lainnya Keterlibatan ini tidak hanya menambah pendapatan warga, tetapi juga meningkatkan kebanggaan warga terhadap diri dan desanya. Begitu pula dengan kebersihan dan keasrian kebun bambu. Selain itu, pasar yang dibuka secara terbatas, tidak serta merta mengubah mata pencaharian utama warga sebagai petani. Dengan begitu, kepercayaan diri dan kualitas hidup warga setempat dapat meningkat tanpa harus latah terhadap tren dan kehilangan identitasnya



49

Sinopsis Tidak banyak buku di dalam ranah arsitektur yang membahas bahwa kesuksesan itu bisa direncanakan. Kesuksesan bukanlah perkara bakat ataupun keberuntungan, melainkan bagaimana seorang pribadi mampu mengatasi krisis-krisis di dalam hidupnya. Apabila ia dapat memanajemen dirinya dengan baik, maka ia akan dapat terjun berkontribusi di dalam dunia kerja arsitektur. Buku ini disusun berdasarkan riset dari waktu ke waktu untuk membantu memberikan gambaran secara singkat proses persiapan menuju kompleksitas kerja tim di dalam studio desain arsitektur. Mulai dari bagaimana membuat surat lamaran kerja, portofolio, hingga bagaimana menyelaraskan tujuan individu dengan perusahaan yang ingin ia tuju. Ditemani dengan karakter Panda, buku ini mengajak pembaca untuk bersiap dalam menghadapi masa depannya dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami. Untuk melatih literasi dan pemikiran kritis pembaca, setiap bagian buku ini dilengkapi dengan ruang refleksi berupa pertanyaanpertanyaan pemantik dan lembaran kosong yang tak sabar menunggu untuk diisi.
Buku50 Arsitektur Bahasa Indonesia, A5, 182 hlm.
OMAH Library Juni Pandemi2022menjadi
momen kritis untuk generasi muda yang mulai masuk ke angkatan kerja karena harus menghadapi lapangan pekerjaan yang terbatas. Di sisi lain, diskusi arsitektur memang jarang membicarakan tahap demi tahap rekrutmen kerja. Buku ini hadir untuk mencoba menjawab kebutuhan tersebut. Peran saya dalam tim produksi adalah menyunting substansi yang telah diberikan oleh penulis utama, memberi guideline untuk penulis dan layouter, bersama merumuskan cerita pendukung dan pertanyaan pemantik, serta kontrol hasil akhir.
How to Get the Job: The Next Level After Gradution Arsitektur
(Co-Author, Proofreader,Editor,Layouter)

51


Buku52 Dokumentasi Sayembara Bahasa Indonesia, A5, 182 hlm. OMAH Proyek(On-GoingLibraryProject)inimenjadibuku

51 PerumTahunPeruri Aktivasi Aset yang Tertidur: Sayembara Gagasan Masterplan Optimalisasi Aset Palatehan Peruri Arsitektur
pertama OMAH Library yang membahas karya sayembara. Nilai tambah yang coba disuntikkan ke dalam naskahnya adalah profil perusahaan dan latar belakang yang cukup mendalam mengenai penyelenggaraan sayembara, serta eksplorasi terhadap berbagai isu tata kota di Jakarta yang membuat sayembara ini menjadi unik dan krusial. Lewat proyek ini saya berkesempatan mewawancarai beberapa direktur Peruri, para juri, peserta, dan pihak IAI sebagai penyelenggara.
Sinopsis Perkembangan ruang kota sesungguhnya tidak hanya bertumpu pada arsitek dan planolog, tetapi juga bergantung pada kepedulian pemerintah dan pemilik modal. Perum Peruri sebagai sebuah BUMN mencoba mengisi peran ini melalui optimalisasi asetnya yang tertidur sehingga tak hanya dinikmati oleh perusahaan, tetapi juga masyakat kota di Bukusekitarnya.inimencoba mendokumentasikan dinamika Sayembara Gagasan Masterplan Aset Palatehan Peruri yang berlokasi di Blok M, Jakarta. Tidak hanya membahas berbagai proposal karya yang masuk, buku ini juga membahas latar belakang pengadaaan sayembara dari Peruri sendiri, juga dari isu-isu perkotaan yang meliputinya. Kolaborasi antara Perum Peruri, IAI, dan para peserta semakin mewarnai dinamika dalam membangun cita-cita ruang publik untuk kita semua. (Co-Author, Proofreader, Layouter)
53


HumanioraSosial
54
55 An Attempt on Critical Thinking to Write a Paper About Critical Thinking When a Muslim’s Life Ends in Japan 6256(2018)(2018)
Critical Thinking and Its Urgency
Sosial
The concept of critical thinking has been developed for a very long time, agreed by many experts and adapted by leading educational institutions into their curriculum and learning methods. The practice of this method gifts the thinker the ability to formulate questions and problems clearly; gather, assess, and complexly interpret relevant information; compose and test well-reasoned conclusion and solution; be open to alternative systems of thought; review one’s own thought; and also the ability to effectively communicate with others in figuring out solutions (Paul & Elder, 2008). In other words, it is a very powerful tool of self-directing that helps to effectively solve one’s problem from mundane everyday life cases to professional matters.
Dengan topik utama Proposal Pedagogi, melalui tulisan ini saya mencoba mengeksplorasi pentingnya membentuk pemikiran kritis dalam pendidikan dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Tulisan ini juga mencoba mencari keterkaitan sejarah negara Jepang dan pengaruhnya terhadap pola berpikir masyarakat. Selanjutnya dibahas pula secara singkat bagaimana posisi pemikiran kritis dalam pendidikan di Indonesia serta perbandingannya dengan pendidikan di Jepang. Tulisan ini diakhiri dengan harapan untuk diri saya sendiri sebagai generasi muda Indonesia dan juga harapan untuk generasi muda Jepang di masa depan. Humaniora
56
It is said that critical thinking becomes more and more essential for everyone to practice in order to have a clear view of life nowadays, as people are becoming even more diverse and there is so much information with various assessment degree going around within society. Those who try to incorporate this concept in their education and teaching are hoping for their young generation to be able to figure out things by themselves and survive the unpredictable future.
An Attempt on Critical Thinking to Write a Paper about
Critical Thinking Education in Japanese Society Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University Januari 2019
My Pedagogy Proposal Student Assignment Education in Japanese Society adalah salah satu mata kuliah dalam program Japan in Today’s World yang membahas karakteristik pendidikan di Jepang dari segi kebijakan, pelaksanaan, dan isu-isu di sekitarnya.
Critical Thinking Among Japanese Japan is said to be one of the best country for carrying out education. Since the mid-1970’s, Japanese compulsory education has been considered a model for many other countries around the world (Higo, 2018). Everything looks very promising, especially with all trending articles and images of Japanese elementary school students taking the train by themselves and serving lunch for the whole class going around the internet. Japan’s elementary school education is indeed doing a very
Japan’s isolation more or less continues as the country’s geographical condition is completely detached from other civilization. Its language and writing system, and the very low use of English limits the accessible knowledge within the country. For the homogenous Japan, both situations are resulting in the lack of information and exposure to different kinds of people also different ways to think and live.
The information is then interpreted merely as it is instead of being used to reflect on their own cases.
To add to the problem is the excessive cram school industry that keep most Japanese students from going home until late evening, limiting more time for self-exploration. In the end, the development of this system gives more privilege to those who have the ability to access these supplementary educations, violating the national entrance exam’s initial intention. However, digging deeper to the characteristic and backgrounds of this country, suppress on critical thinking does not only occur in the field of education. It ties a lot with the country’s culture and political beliefs. The converts of many Japanese to Catholic and Christian in the early 1600’s which was brought by Spain and Portugal through trade threaten the legitimation of Japanese government at the time since the governance itself was based upon religious belief. The early Tokugawa government executed several missionaries and Japanese converts, then closing the country from the outside world for over 220 years, an action known as Sakoku. This policy doctrine and shaped the then called Sakoku mentality which perceive the outside world as a fundamentally hostile and threatening place, against which the people of Japan must depend upon the state to defend them (Itoh, 1996). It brought the whole Japan into one and easier to be ruled. Conformity was emphasized and here comes the saying, “the nail that sticks out gets hammered down”. This mentality remains until today even when the government’s involvement had become more subtle, making Japanese ruling system even more rigid and giving little room for individual freedom.
57 good job in equipping the Japanese children with basic knowledge like literacy, mathematic skill, also collaborative problem-solving ability (Rear, 2008). But the world is still missing out on the other side of Japanese education where it is said that their university students generally speaking are ‘prone to unquestioningly accept the opinions of others; unskilled at using a logical and objective method to independently form their own opinion’. In other words, Japanese university students haven’t had sufficient training in “critical thinking” (Kawato, 2013). Looking at the surface of its education system, the way Japanese do their university enrolment is said to be the case. Japan turns out to be highly driven by economic necessity. With companies directly recruiting workers from fresh graduates of the country’s top universities, a traditional employment system developed since the post-war period, students become extremely competitive in in their way to enter college. The only way to be enrolled in universities is by taking the national entrance exam, a system that has been long implemented to give equal opportunity and judgment to students with diverse educational backgrounds. Unfortunately this positive intention in most cases are not followed by good Peopleimplementation.aredesperate to get into college that Japan’s secondary education is then shaped to prep the students to answer the exam questions of multiplechoice or short-answer form. As interpretive skill are not tested, teachers are focusing on making the students memorize materials, often taken from the previous exams. This memorization method results in low comprehensive understanding and lack of student’s personal connection to the topic. Moreover with Japanese culture, teacher is assumed to be always right and students were not allowed to doubt what is written in textbooks (Ohmae, 2003).
Japan’s Efforts to Overcome This Problem
58
One of the strongest opinion for Japan to implement critical thinking in its education is from business leaders. They criticize the low ability of employees to think creatively and come up with innovation in order to maintain the company’s competitiveness in the market (Rear, 2008). The government then followed by saying that they need to teach students to think, express themselves, and judge by themselves to be able to succeed in the globalized community (Okada, 2017). Some concern that rises between parents are the importance for kids to think creatively as many job will be taken over by robots in the future. In 1998, the Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT) finally released new Course of Study (guidelines for all elementary and secondary schools), which emphasized the importance of activities with “thinking.” Yet, according to a survey conducted in 2014, sixteen years later, the policy couldn’t give impact on the teaching nature in Japan’s high schools (Okada, Thinking in the Japanese Classroom, 2015) because the lack of support on resources or medium for teacher to teach in new manner. In 2012, new educational guidelines was implemented in secondary school after a good result was seen in elementary school. It was a development of the ideals of yutori kyouiku or “education that gives children room to grow” which was implemented in the previous decades. Besides reducing the burden on children by their studies, it tried to incorporate concrete measures to solve problems that arose from them. The new guideline attempted to ensure both the necessary number of class hours to provide children with basic skill and knowledge, and the nurturing of critical thinking, wisdom, and selfexpression that allow them to use their knowledge (Akihisa, 2012).
Wada Junior High School in Suginami-ku, Tokyo had tried to develop this ideals in its own way. Since the first recruitment of its school principal from the private sector in 2003, they implemented broad reforms including creating special classes inviting instructor of professional from various sector, asking students to make essays based on the recent issue, opening peer discussion about no-right-or-wrong topics, and involving the surrounding community in organizing the school. Everything was done to broaden students’ horizons and practice their thinking also communication skills, with great outlook of students able to develop their dream, aim of life, and their role in society. The innovations had
The lack of critical thinking or the passiveness among Japanese might be not really the case within Japan. I remember a Japanese friend of mine is quite aware with the problem in Japanese education, but he personally likes this situation because it suits his passive character. Whether this passiveness is natural or a result of the country’s educational and political policy, many Japanese today feel very comfortable with this situation where everything has been determined and everyone just have to follow. However, it is becoming a serious problem when they are faced with globalization. Japanese society these days are dealing with issues such as mistreatment towards foreigners, hafu stereotyping and charisma man. There is a high chance that they more or less are part of the impact of underdeveloped thoughts, accumulation of plenty information received as is without further investigation. Surprisingly, that same friend of mine who turns 20 this year innocently said that sometimes he wants English to be the official language of the nation, criticizing the underdeveloped globalization within the country.
59 improved the quality of learning in the school, rising its position from the nearly-the-bottom among 23 junior high schools in Suginami-ku to one of the most successful schools in Tokyo, meanwhile breaking the perception of teaching critical thinking will reduce the success rate of student in doing test. But apparently, not all institution are able to run this innovations well. Until this day, criticisms related to the lack of critical thinking are still being carried out. Asking the Right Questions Reviewing this topic reminds me a lot of the situation of my own country, Indonesia, or generally speaking, the situation of Asian countries. I remember how we rushed in the end the last semester to review all material from the previous grades and practiced as many question models as possible. And I clearly remember how my higher education in general also failed to encourage critical thinking, creating unsupportive competition among its students. In my opinion, our country is still young, and with the vastness of the region and the diversity of our ethnics and cultures, this immature condition feels quite However,natural. our immature ruling system in the era of globalization actually provides space for alternative education to develop. In Indonesia, many schools have been established with a curriculum that is based on integration between subjects, combining learning in class and direct interaction with the surrounding nature and local culture. The students are mostly from educated parents who feel that the formal education is too rigid. Many of these schools are also open to local residents who may not even be able to get an education in public schools due to economic limitation. Together they create a system that enable everyone to have equal opportunity and learning from each other.
I realized that in most of the time when I arrive at very unique and very unusual conclusion that leads to also unusual acts, I am afraid of telling others about the reason behind my attitude when they ask.
What I realized from writing this paper is that Japan has a very important asset in its efforts to think critically about this situation, namely data. Many research has been done to addresses this issue from many perspectives, approaches, and includes development data from the earliest year of the country. It is a very great start in admitting its flaws and making the most of spawning effective solutions. With that being said, then one of Indonesia’s next steps will be collecting our own data, analyzing our own characteristic so that later we can come up with the most effective solution. Looking at some critical friends of mine and brilliant figures or experts I met during my college days, I am highly optimistic about the future of my country. Regarding my role as future educator, I am not targeting grandiose plan. Imagining my role as a mom, I will have an obligation as the first person to teach my religion to my children. This is clearly not an easy thing, considering learning about rational knowledge also proved to require a lot of effort. I also wonder what other knowledge is important for my children’s life. In respond to that, my best strategy right now would be developing my own critical thinking, analyzing what works and what don’t work for me. I also need further research on how to communicate the idea.
I’m afraid to be perceived as a weird person, also afraid if my sloppy delivery will make others feel like they are being judged and blamed, doubting my own credibility and ignoring the data that I had carefully chosen and analyze. Once I overcome it and understand how to simplify the idea according to
References
Akihisa, S. (2012, February 7). Education in Japan: The View from the Classroom. Retrieved from nippon.com: edu/watts/w03_Japancl.htmlRetrievedarticles/2008/Rear.htmlStudies:ElectronicGovernmentandFoundationGuideAsianQuestionsThinkingreview,Classroom.Shunju.[Abilityeducation/20130117.htmlwww.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/RetrievedRecommendationMentality.Japan:ofTripTeacher’sDevelopmentDestiny.Schools:japan-the-view-from-the-classroom.htmlnippon.com/en/currents/d00012/education-in-https://www.Fiske,E.B.(1983,July12).Japan’sExamOrdealRulesEachStudent’sTheNewYorkTimes,p.1.Glaser,E.M.(1941).AnExperimentintheofCriticalThinking.NewYork:College,ColumbiaUniversity.Higo,M.(2018,November16).Pre-StudyLecture-SusenjiElementarySchoolVisitJTWProgram.Fukuoka,FukuokaPrefecture,KyushuUniversity.Itoh,M.(1996).Japan’sAbidingSakokuEconomicMythsExplained.Kawato,M.(2013,January2017).forCriticalThinking.fromChuoOnline:https://Ohmae,K.(2003).Shitsumonsuruchikaratoaskquestions].Tokyo:BungeiOkada,R.(2015).ThinkingintheJapaneseJournalofModernEducation1054-1060.Okada,R.(2017).ConflictbetweenCriticalandCulturalValues:DifficultyAskingandExpressingOpinionsinJapan.EducationStudies;Vol.2,No.1,1.Paul,R.,&Elder,L.(2008).TheMiniaturetoCriticalThinkingConceptsandTools.forCriticalThinkingPress.Rear,D.(2008,March4).CriticalThinkingModernJapan:ConflictinDiscourseofandBusiness.RetrievedfromJournayofContemporaryJapanesehttp://www.japanesestudies.org.uk/Watts,S.L.(n.d.).TheSeclutionofJapan.fromSarahWatts:http://users.wfu.
60 my target’s cognitive level, it would be very useful in spreading the idea to my surrounding and my future children, also in asking the right question to open one’s mind, something that by a respected mentor of mine said to be harder to do rather than giving the right answer. Epilog After all, the purpose of critical thinking is to lead a good and conscious life. It is not as easy as teaching the students to answer questions. It’s a long life endeavor! Japanese failure in addressing this problem should be seen as a part of progress towards positivity. Yet anyway, I am not Japanese. This research and paper themselves are made in the counts of day. There are still many things that I don’t know about this country and I’m definitely not the most appropriate person to determine what Japan should do next. However, if I can wish something as a fellow human, in the case of critical thinking, I beg for Japan to redefine again their meaning of success. Is it necessary has to be studying hard and sacrificing self-freedom? Is it necessarily has to be working hard to the point where you don’t have the time to enjoy the result? Even though later it’d seems like there is not much change, I wish that at least Japan’s future generation will go through it all wide awake, and full of consideration.
“Critical Thinking & It’s Urgency”, I think this is something I regrettably failed to cover as a topic during the semester. I’ll definitely include this for the next time I offer the Education course.
61
From Prof. (Associate) Chisato Nonaka:
“Yet anyway, I am not Japanese,” This doesn’t really matter in my opinion. It is and should be a collaborative project involving people of all backgrounds if Japan sincerely hopes to advance in the use of critical thinking.
Interestingly, when I saw the title of your essay, I instantly prepared myself to read something about the current curriculum which may or may not help foster children’s critical thinking skills, so it was rather refreshing that you’ve taken a slightly different approach to discuss the topic.
Today, there is an increasing number of opportunities for people to express their otherwise suppressed opinions and emotions (i.e. the Internet). I think it’s a Pandora’s box for Japan in that people who traditionally didn’t have the means and opportunities to express themselves (= lay people, often in a lower socioeconomic status) suddenly have access to the overwhelming amount of “information” (fake or otherwise) and multiple channels to share their opinions as they go. It’s time for us to rethink the meaning of democracy…
Anyways, it’s such a stimulating piece of writing, once again thank you for sharing :)
When a Muslim’s Life Ends in Japan Self and Identity in Contemporary Japan Japan in Today’s World 2018 exchange program, Kyushu University February 2019
Mini Research Paper Student Assignment Self & Identity in Contemporary Japan adalah salah satu mata kuliah dalam program Japan in Today’s World mengenai diri dan identitas secara umum dan dalam konteks sosial masyarakat Jepang. Pada tulisan ini saya mencoba meneliti identitas dan posisi Muslim di tengah masyarakat Jepang sebagai sebuah agama yang memiliki kebutuhannya tersendiri, terutama terkait kesiapan sarana prasarana pemakanan jenazah Muslim. Agak disayangkan, karena waktu yang terbatas, saya tidak sempat meneliti lebih jauh sebelum menulis. Menurut salah seorang penduduk Muslim Jepang yang saya wawancarai belakangan, masalah tersebut benar adanya, tetapi tidak segawat yang saya gambarkan dalam tulisan ini. Humaniora
Sosial
62
Death is something that will eventually come to every living creature in this universe. Some may accept this inevitability, some might not, but it is more than possible for someone to have both attitudes at the same time to some degree (Ray & Najman, 1975). Idealisms, cultures, beliefs, and religions in some ways are affecting this acceptance. Research shows that the strength of belief in God and afterlife statistically reduced death anxiety. It also gives influence on how someone lives his life (Harding, Flannelly, Weaver, & Costa, 2005). However, the journey of a man in the world is not yet finished when his heartbeat stops. The deceased needs to be given a treatment before it is truly detached from those who live. Differences in belief lead to different perceptions of death, thus leading to different methods of caring for bodies. Sometimes, in the situation where distinctly different established methods meet, it can be a quite serious problem for one or another, as in the case of Muslim’s and Japan’s. Death In Japan When it comes to religion, Japan is quite unique. According to data, only 13 percent of Japan’s population actually feel religious in their life (Gallup International, 2015). The rest of the population engage in some religious activities as a part of their traditions and customs. This low attachment to religion perhaps explains why Japan has 154.6 percent of religious affiliation, indicating the practice of more than one religion or religious belief at once (Statista, 2017). In a life of Japanese people, they may have several important occasions like child birth celebration and wedding being run in different religious method or style, like in Shinto or Christian style. But for the case of funeral, most Japanese people do it in Buddhism way.
Looking at the isolation history and the homogeneousness of Japan, how did Muslims end up in Japan? According to historical theories, Muslims first came to the country in the 8th century by merchants from Middle East through the Silk Route. But the main theories said that it was in 1860s during Meiji era where the country started to open trade with foreign countries. Another important contact was made since the end of 19th century between Japan and Ottoman Caliphate influenced by the same condition of under increasing Western pressure (Fathil & Fathil, 2011). Following that was the translation of Prophet Muhammad Biography in the late 1870s, asylum awarding to Tatar Muslim refugee in early 1900s, Japan attention to Arab World during the oil crisis years in 1970s, and nowadays
63 Buddhism in Japan arrived during the first two millennia AD from China. The belief teaches that everything—including a soul and the body—is transient, and that the cleansing fire of cremation is transformative. Cremation helps to get rid of “pollution” created after a person dies and to move the spirit into the ancestral realm—from a “polluting spirit” to a “purified ancestral spirit” (Fujii, 1983).
In its development, around the 17th century, Confucians accused cremation as disrespectful to the dead and “unnatural”. While Meiji Restoration in the late 19th century viewed anything “Buddhist” was incompatible with “civilization” (Bernstein, 2000). Thus, the government was trying to ban cremation for its air pollution and disrespectfulness to the dead. But full bodies from the burial system surely took up space faster than ashes, and disease epidemics was harder to control without cremation to kill contagions. With western scientist spreading the sanitary benefits of cremation, and the limited space that Japan have, government started to promote cremation instead. From 1950 to 1980, the cremation rate increased from 54 percent to 91.1 percent. Now Japan is in the top of the list of the countries that practice cremation, with 99.97 percent of its dead were cremated in 2014 (Pharos International, 2015). Buddhism as the origin of the method remains along but rather as a tradition, and the practice is now more relaxed. Yet, death and funeral in Japan is still a huge thing. Even though Japanese people don’t feel so religious, in addition to 50,000 yen for the cremation and around one million yen to secure a family plot in regular cemetery, many people are willing and in fact preparing to spent even more money for holding a grand Buddhism funeral ceremony with average total cost reaching 2.31 million yen according to 2008 study by Japan Consumers’ Association.
Then,dead. what happen to those Japanese residents who have different beliefs and traditions? Can Muslim Live In Japan? Muslim existence in Japan is very little compared to its total population. It’s actually difficult to mention the exact number since Japanese government never ask their citizens to declare their religious affinity, but the number is estimated to reach 100,000 or nearly just 0.1 percent from 126.4 billion of all of its residents (Statistic Bureau of Japan, 2015), with 10 percent are Japanese converts and the rest are foreigner from Middle East and Muslim majority country in Asia.
Now the trend has started to shift. Many people tend to wish for more practical and humble funeral. They also have other options to keep the ashes. Instead of keeping it in the cemetery, many want to turn it into beads of jewelry, or have it scattered at the sea (Nakata, 2009). Even so, one thing for sure, cremation is still the main procedure of treating the
Over a few hundred years of Muslim existence in Japan, many of them had died since then. Starting from the time of Prophet Adam, Islam take care of the dead by burying the body. It is stated in the Holy Quran, “Have We not made the earth a container, of the living and the dead?” (Quran Surah Al Mursalat: 25-24, 609–632). It is important for a Muslim to be buried together in a public cemetery with other dead Muslims, separately from non-Muslims’, following the teachings of the Prophet Muhammad and his people as well as to get the prayers from all the Muslims who visit the cemetery. Now, even though the number of Muslim in Japan is small and the death number is definitely much smaller, finding a land for eternal rest of a full dead body of a Muslim in a country who don’t really spare a space for their own dead is a not an easy Althoughcase.indaily life, Japan is generally quite accommodative to Muslim’s living necessity, for the case of the death, it’s a whole different story since local regulations in many areas throughout the nation do not allow burial without cremation, though there is no such prohibition in national level. Many of them are concerned about the sanitary of the soil in the area if they allow burial without cremation and one said, “The image of burial without cremation isn’t good,” (The Yomiuri Shimbun, 2010). Some local residents had said that burial without cremation scares them, maybe because it’s a full body that
Good thing is that even though Islamophobia is spread around the world, it is not the case in Japan. They have relatively little knowledge about outside of the country and because of that, consider foreign Muslims just as the same as other foreigners in Japan. They respect you or darely speaking, actually don’t care about you. Their ignorance come in handy at times when you have no option but to do your prayer in the middle of a parking lot (something very weird to do actually in Indonesia, for instance, when you always have a proper place to pray). Yet, at the same time as their nature, Japanese are still trying to be accommodative. Many shops and restaurants are open throughout Japan, especially in urban centers, providing with halal certified food, but with no exception that some Japanese may see this merely as a form of business opportunities. Yet thanks to it all, despite the very different beliefs and cultures, Muslims’ small number in Japan is increasing. A 2008 paper from the Asian National Research Bureau based in Seattle counted the total number of immigrant Muslims at 70,000 to 80,000 which had not counted the number of Japanese Muslims. Now with Japan’s policy on tourism, foreign labor forces, its super global university scheme, and Japan economic relation with Muslim state (which is said to have bigger trade value compared to Japan’s trade with the US), the Muslim population in Japan is prospected to keep growing. That adds another conclusion that is living as a Muslim in Japan is still manageable. But Can Muslim Die In Japan?
64 are tourism and the migration of labor forces and international students. Some Japanese converted to Islam through contacts with these foreign Muslims. While some of the immigrants came back to their homeland, some build families with locals and resided in Japan. Generally speaking, living in Japan as a Muslim is definitely not an easy deal. In terms of physical needs, Japanese meals, drinks, and food ingredients are mostly contains those of what in Islam is called haram, or not permissible (to consume). Whereas Islam’s monotheism is the exact opposite of most Japanese tendency on multiple religious affiliates. Their worship methods are totally different and little facility is exists for Muslims. With how small their number is, Muslims in Japan know too well that learning and practicing their religion in this country will be far from the ideal situation.
Subsequently, some death Muslim were bound to be buried in Christian or Buddhist, though they are not always available. This whole condition often cause the postponement of the burial, while in Islam supposedly, after several procedure, the body is buried in the same day of the day he or she die. Leaving the body too long before being buried is another way to make the dead suffer and increase the pain of their loved ones for seeing Init. the worst cases, some bodies of dead Muslims were cremated by non-Muslim relatives, due to the shortage of available grave for burial and lack of knowledge, as well as the lack of connection to Islamic community. Reflection
The Muslim association in Japan has been doing a lot of effort in advocating their need to Japanese. The best way to do in the next future for Japanese community is practicing Islam as much as they can.
65 being buried instead of ashes. Others are worried if animals would dig the grave and create a mess. While some ended up turning down the agreement of the land purchase once they knew that it would be used for Muslim cemetery. With this situation, it is hard to get a land for Muslim even though they have the Surprisingly,money.
Monjuin, a Buddhist temple in Koshu, Yamanashi Prefecture offered a 4,800 sqm land to Japan Muslim Association, now a home to 120 dead Muslims. With the help from The King of Saudi Arabia, the Saudi Arabia Embassy, and many other parties, Muslim community in Japan today have several places available for burial: a cemetery in Yoichi-cho, Hokkaido; a cemetery in Kobe; and the newly purchased Yawara Cemetery in Ibaraki Prefecture. These cemeteries are taken care by the local Muslim community and they usually don’t charge any fee to purchase the land except around 120.000 yen for the digging and burial fee as well as the maintaining. But still the number is very limited. The cemetery manager in Yamanashi said that the slots are soon to be full in few next years.
Another problem for Muslim in Japan is that the local regulation of some cemeteries cannot accept bodies of nonresidents. The high cost to transport the body is also becoming a concern since the cemeteries’ locations are not evenly spread and sometimes it’s just too far for some region. When a fellow Muslim died in Fukuoka years ago, the family of the dead had to pay 400,000 yen to the cemetery in Kobe. This number is relatively small compared to what Japanese have normally, but we need to note that most Muslim in Japan are not native and they are not prepared to the high cost needed to treat the dead in Japan, while sending the dead body to their homeland would cost even much higher than this.
Since Islam is rahmatan lil ‘alamin (blessing for all the universe), living your life according to Islamic law properly must not bring harm to others, this include keeping the good relation with non-Muslim in Japan and being a good Japanese citizen. Therefore hopefully, open new perspective to Japanese people about Muslim and the Islamic way of burial. They also need to strengthen their community, keeping the good internal relation, keep tracks of Muslim individual in their area, so that the number of mistreated dead Muslim will decrease.
The whole situation is understandable as the practice of cremation had been deeply rooted in Japanese tradition. Their lack of knowledge about Muslim is also acceptable since the existence is very small and thus their contact with Muslim is still limited. However, new space for Muslim burial is constantly needed, at least for the native Japanese.
66 As for Muslim outside Japan, I believe that Muslim solidarity is not limited to ethnicity or nationality. Muslim states’ who play a big role in trade with Japan need to help seek for agreement with Japanese government to provide decent amount of burial location that are evenly distributed according to the number and the spread of Muslim population in
Fujii, M. (1983). Maintenance and Change in Japanese Traditional Funerals and Death-Related Behavior. Japanese Journal of Religious Studies , Vol. 10, No. 1 , pp. 39-64. Gallup International. (2015). Losing Our Religion? Two Thirds of People Still Claim to be Religious. Sofia: Gallup International. Halal in Japan. (2018, September 28). Islam in Japan: Past, Present, and Future. Retrieved from Halal in Japan: increasesN.,worried-by-graveyard-shortage-in-japan.194921975/Boards:worriedEstimation.dawahislamia.com/problems-of-muslim-graveyard.phpinmuslims-suddenly-visiting-japanscmp.com/week-asia/society/article/2092664/why-are-so-many-visitingcom/2017/09/08/japan-no-place-for-islamophobia/Islamophobia.Acceptance:Kareem.vanguardngr.com/2014/03/muslims-hasten-bury-dead/amp/the2014.deep-rooted-mix-of-ritual-form/#.XFjy61wzbIXjapantimes.co.jp/news/2009/07/28/reference/japans-funerals-ofwww.islam.or.jp/en/2014/07/24/graveyard-yawara/Yawara,en/?s=funeralRetrievedjapan-cremation/Japan.Acceptance.(2005).halalinjapan.com/blog/islam-in-japan-past-present-and-futurehttps://www.Harding,S.R.,Flannelly,K.J.,Weaver,A.J.,&Costa,K.G.TheInfluenceofReligiononDeathAnxietyandDeathRoutledge.Hiatt,A.(2015,September9).TheHistoryofCremationinRetrievedfromJSTORDaily:https://daily.jstor.org/history-JapanIslamicTrust.(2012,May24).BurialAssistance.fromJapanIslamicTrust:https://www.islam.or.jp/JapanIslamicTrust.(2014,July24).MuslimGraveyard-IbaragiKen.RetrievedfromJapanIslamicTrust:https://Nakata,H.(2009,July28).Japan’sfuneralsdeep-rootedmixritual,form.RetrievedfromTheJapanTimes:https://www.PharosInternational.(2015).InternationalCremationStatisticsQdeyeri,A.(2014,March).WhyMuslimshastentoburydead?RetrievedfromVanguadNewsNigeria:https://www.QuranSurahAlMursalat:25-24.(609–632).InAlQuranAlMecca,Medina.Ray,J.J.,&Najman,J.(1975).DeathAnxietyandDeathAPreliminaryApproach.Omega.Rehmat.(2017,September8).Japan:NoplaceforRetrievedfromRehmat’sWorld:https://rehmat1.Ryall,J.(2017,May7).WhyaresomanyMuslimssuddenlyJapan?RetrievedfromThisWeekinAsia:https://www.Siddiqui,A.(2014,May31).ProblemsofMuslimGraveyardJapan.RetrievedfromJapanIslamicFoundation:http://www.Statista.(2017).Japan:Religiousaffiliationsin2017.Statista.StatisticBureauofJapan.(2015).2018PopulationStatisticBureauofJapan.TheYomiuriShimbun.(2010,August16).JapaneseMuslimsbygraveyardshortageinJapan.RetrievedfromIGNhttps://www.ign.com/boards/threads/japanese-muslims-Utami,H.(2019,January20).MuslimDeathinJapan.(H.S.Interviewer)Yildirim,C.(2015,May31).MuslimpopulationinJapanwithIslamicdemands.RetrievedfromDailySabah
DyingJapan.as
Bernstein, A. (2000). Fire and Earth: The Forging of Modern Cremation in Meiji Japan. Japanese Journal of Religious Studies, Vol. 27, No. 3/4, pp. 297-334.
Fathil, F., & Fathil, F. (2011). Islam in Minority Muslim Countries: A Case Study on Japan and Korea. World Journal of Islamic History and Civilization, 130-141.
a Muslim in Indonesia never becomes a problem to me since Islam is widely practiced by the majority of the country and the method of burial is very common that it has become a part of the culture and tradition at some point. But now that I came to Japan, since death will come to everyone regardless of time, place, and age, there exist the possibility of me to die here, as big as the possibility that I have to die in my own country. My best effort to prepare for my death or rather, my afterlife, is probably to learn and practice my religion as much as I can, do all my responsibilities as well as I can, and personally being involved in the Muslim community so that it is possible for me later to be treated properly according to Islamic way when I die in this country.
References
A Muslim teenage died last night in Kyudai Hospital and I can’t help but imagine the hardship that the family and the community have to go through to place this young human in a decent eternal rest. I hope that writing this will also help the situation. Wallahu a’lam bishawab, and Allah knows the best.
It’s great that you tackled the oft-contentious topic of “death x religion” from multiple angles including history, politics, social changes, and funeral industry. It shows that you made attempts to unpack the issues around death by leveraging your specific religious upbringing which I’m sure took a lot of courage on your part. I learned a lot from your writing and I think it’s important to raise awareness among the public as you also noted that the demographics of Japan are at a critical crossroads (due to the immigration, tourism, and other social changes in the next few years). I encourage you to submit this to be published in a newsletter, newspaper, or online journal!
67
From Prof. (Associate) Chisato Nonaka:
Hiburan & Gaya Hidup
68
69 (2022)(2022)(2022)(2020)(2020)(2020)(2018)Mengicip Rasa Online Shaming: Socialphobia (2015) & Listen to Love (2016) Ulasan Film - Aruna & Lidahnya (2018) Round-Up - 5 Karakter dengan Autisme dalam Film/Drama Korea (2010-an) 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste The Killer’s Shopping List (2022) Perjuangan Kasir Supermarket Menguak Pembunuhan Berantai Green Mothers’ Club (2022) - SKY Castle Versi Humble Welcome to Wedding Hell (2022)- Actually a Wedding Playbook 11010610290847870
Mengicip Rasa Online Shaming: Socialphobia (2015) & Listen to Love a(Personal(2016)Blog)Blue-Think:journeytodiscoveries
Hiburan Gaya Hidup Artikel ini dirilis sebagai respons terhadap fenomena online shaming yang muncul pascapemberitaan kasus pelecehan seksual KKN UGM. Pendekatan film dan drama diharap bisa memberikan gambaran yang lebih humanis mengenai dampak dan isu-isu di sekitar fenomena ini. Setelah sekian tahun berada dalam lingkungan arsitektur yang minim kultur penelitian, tulisan ini menjadi artikel non-akademik pertama saya yang mencantumkan banyak referensi. Ia banyak dipengaruhi gaya penulisan esai akademik yang menjadi santapan sehari-hari saya selama program pertukaran pelajar. Selain itu, topiknya sendiri memang sangat sensitif sehingga membutuhkan banyak riset. Sayangnya, niatan ingin menghadirkan informasi yang menyeluruh belum diimbangi dengan keterampilan menulis ringkas sehingga artikel ini menjadi sangat panjang.
&
Novemberhttps://blue-think.blogspot.com/2018
70 Internet, sistem komputer yang pertama kali dibuat tahun 1969 ini kini berkembang sangat pesat. Berbagai macam inovasi di dalamnya terus diciptakan untuk mempermudah komunikasi dan seakan mempersempit jarak antarindividu di seluruh penjuru dunia. Berkat internet, “dunia” manusia mengalami ekstensi mewujudkan ruang lain yang kita sebut “dunia maya” dan di dalamnya banyak fenomena baru terjadi. Salah satunya online Onlineshamingshaming adalah bentuk “pengadilan” internet di mana targetnya dipermalukan secara publik menggunakan sarana seperti media sosial. Peserta shaming melihat ini sebagai kesempatan untuk “meluruskan” para pengguna internet yang dianggap bertentangan dengan nilai yang ada dalam komunitas terkait. Dilihat dari definisinya, fenomena ini sesungguhnya merupakan salah satu bentuk kontrol sosial yang ada baiknya pula bila dijalankan dengan penuh pertimbangan. But, what happen when it goes too far? Beberapa kasus penting terkait online shaming tercatat ada sejak tahun 2000-an, masa di mana media sosial mulai booming. Mengutip pernyataan Jon Ronson, “it was the time when the voiceless was finally given a voice”. Setiap orang dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan punya kesempatan yang sama untuk menyampaikan Dampakpendapatnya.online shaming terhadap korbannya sangatlah signifikan karena pengaruhnya tidak berhenti di dunia maya saja, tetapi juga di dunia nyata, misal dikucilkan oleh lingkungan sekitar atau diberhentikan dari pekerjaan.
Tokoh protagonis dalam film Socialphobia adalah Ji-Woong dan Young-Min, dua orang pemuda yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi sekolah polisi. Bersama tujuh warga biasa yang baru mereka kenal, keduanya turut serta dalam aksi penyergapan apartemen seorang netizen ber-ID Re-Na yang membuat gempar jagad maya negeri gingseng setelah merilis tweet kontroversial tentang meninggalnya seorang tentara. Berlagak seperti “delegasi” dari seluruh masyarakat Korea, mereka merekam dan menyiarkan secara langsung
Sutradara: Hong Seok-Jae Penulis: Hong Seok-Jae Pemeran: Byun Yo-Han, Lee Joo-Seung Rilis: 12 Maret 2015 Genre: Drama-thriller

Judul asli: 소셜포비아 (Socialphobia)
Mengamini pendapat Garin Nugroho, film dan produk sinematografi lainnya adalah salah satu bentuk cerminan dari budaya. Korea Selatan merupakan salah satu negara yang produk sinematografinya cukup berani mengupas dan mengkritik fenomena masyarakatnya. Online shaming adalah salah satu isu yang tidak ketinggalan untuk mereka angkat. Terdapat dua judul (sejauh yang pernah saya tonton) yang menurut saya sangat relevan dengan isu ini, yakni film Socialphobia (2015) dan drama Listen to Love (jTBC, 2016).
WHAT’S THE TASTE OF ONLINE SHAMING?
71
[SOCIALPHOBIA]
Walau sudah beberapa kali mendengar dan mendapat gambaran tentangnya, fenomena online shaming belum pernah terasa sangat nyata hingga akhirnya saya menyaksikannya terjadi di komunitas saya sendiri. Semua berkat mencuatnya sebuah kasus pelecehan seksual yang membawa nama almamater saya di awal bulan November ini. Somehow I knew when it was coming, dan saya terus-terus merasa khawatir karenanya. Niatan baik netizen untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap kasus ini perlahan berubah menjadi amarah yang tidak terkontrol, dan saya tidak tahan melihat lingkungan saya tanpa sadar secara berjamaah sedang menghancurkan kelangsungan hidup seseorang.
72 aksi mereka, berharap pada akhirnya mendapat permintaan maaf dari Re-Na. Siapa sangka, alihalih mendapat permintaan maaf, mereka justru menemukan jasad Re-Na menggantung di balkon apartemennya. Walau telah dinyatakan sebagai kasus bunuh diri oleh pihak kepolisian, mereka mencurigai adanya permainan di balik ini semua. Mereka kemudian mencoba menguak misteri tentang siapa yang sesungguhnya telah membunuh Re-Na. Film ini mengeksplorasi fenomena kecanduan internet, cyberbullying, fobia sosial, serta rendahnya nilai moral dan penghargaan diri di kalangan anak muda Korea masa kini. [LISTEN TO LOVE]
Judul asli: 이번 주, 아내가 바람을 핍니다 (My Wife’s Having an Affair this Week)
Sutradara: Kim Suk-Yoon Penulis: Lee Nam-Kyu, Kim Hyo-Shin, Lee Ye-Rim Pemeran: Lee Sun-Kyun, Song Ji-Hyo, Kim HeeWon, Ye Ji-Won, Lee Sang-Yeob, BoA Rilis: 28 Oktober - 3 Desember 2016 Network: jTBC Genre: Drama-thriller Episode: Diadaptasi12dari serial drama Jepang produksi Fuji TV tahun 2007 (era mulai munculnya fenomena online shaming!), Listen to Love bercerita tentang Do Hyun-Woo, seorang pria paruh baya yang tanpa sengaja mengetahui bahwa istrinya, Jung SooYeon, telah berselingkuh dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Mencoba untuk mempertahankan pernikahannya, Do Hyun-Woo meminta saran dari para anonim di sebuah jaringan sosial online Namun, seiring berjalannya waktu, para anonim yang ia mintai saran mulai bertindak kelewat batas dan justru berbalik menyerang dirinya dan keluarganya.

2. Justifikasi berdasarkan informasi dari media yang terbatas dan rawan distorsi Menurut Lucy Doyle dalam tulisannya di situs parentinfo.org, menjadi bagian dalam kelompok yang besar dan anonimitas yang lazim di dunia maya dapat mendorong munculnya mentalitas massa, di mana seseorang mampu mengatakan hal-hal yang tidak mungkin mereka katakan di hadapan seseorang di dunia nyata. Internet juga memberikan tingkatan jarak: ketika kamu tidak bisa melihat orang yang kamu serang, atau efek yang ditimbulkan dari kata-katamu terhadapnya, lebih mudah bagimu untuk kehilangan rasa empati.
73 Pengalaman menonton kedua produksi ini memberikan alaram ketika saya akhirnya menyaksikan fenomena online shaming terjadi di lingkungan saya sendiri, dan saya tercengang dengan keakuratan dan detail yang ditampilkan dalam film dan drama tersebut. Keduanya meliputi banyak hal mengenai perilaku manusia di dunia maya, antara lain: 1. The need for acceptance and approval Manusia secara naluriah senantiasa mencari penerimaan dari orang lain, sehingga kita cenderung untuk berkumpul dengan orang-orang yang satu pikiran dengan kita. Mengutip Jon Ronson, penulis buku So You’ve Been Publicly Shamed, “We surround ourselves with people who feel the same way we do, and we approve each other.” Twitter dalam Socialphobia menjadi contoh dari apa yang disebut Jon Ronson sebagai mutual approval machine. Ji-Woong, Young-Min, dan sekumpulan pemuda random di film tersebut kemudian membawa hubungan mutual approval mereka dari dunia maya ke dunia nyata dengaan secara berjamaah bertindak sebagai pahlawan menyergap apartemen Re-Na. Dalam Listen to Love, netizen anonim yang bergabung dalam jejaring online tempat Do HyunWoo mencurahkan keluh kesahnya digambarkan sebagai orang-orang dengan posisi yang kurang signifikan dalam masyarakat seperti kuli bangunan, pengangguran, remaja yang kecanduan game, dan juga seorang antisosial yang selalu bergumul di bawah selimut di dalam kamarnya yang gelap. Gagal mendapat penerimaan di dunia nyata, mereka pun mencari penerimaan di dunia maya. Meminjam istilah Remotivi, menjadi “pahlawan keyboard”, “is a relatively low cost way to feel like you are doing something noble,” (Dr. Aitchison, Irish Research Council Fellow di University College Dublin).
Segala informasi yang kita terima sangatlah terbatas, seterbatas Instagram Story yang hanya mewakili sekian detik dari keseluruhan hidup seseorang. Namun, seringkali kita mereduksi individu menjadi sebuah status, sebuah tweet, atau sebuah komentar yang barangkali ia tulis sambil lalu.
74 Dalam Listen to Love, netizen anonim yang menuntut Do Hyun-Woo untuk menceraikan istrinya mereduksi sosok Jung Soo-Yeon menjadi seorang peselingkuh saja. Tidak ada yang tahu bagaimana perannya sebagai istri, ibu, sekaligus manajer di perusahaannya; tidak ada yang tahu apa yang dialami dan yang dirasakannya sehingga ia terdorong untuk berselingkuh; dan tidak ada yang tahu bagaimana sikap Do Hyun-Woo sesungguhnya turut berkontribusi dalam munculnya perselingkuhan Ji-Woongini. dan Young-Min dalam Socialphobia, yang awalnya turut geram dengan sikap Re-Na di media sosial perlahan justru menjadi iba seiring terkuaknya sosok Min Ha-Young, wanita di balik akun kontroversial tersebut.
3. Vigilantisme: yang punya masalah siapa, yang marah siapa
Vigilantisme secara sederhana dapat diartikan sebagai “main hakim sendiri”. Ini adalah situasi di mana orang-orang mengambil peran penegak hukum tanpa diberikan kewenangan legal, tanpa mempertimbangkan apakah aksinya benar-benar berbasis keadilan atau tidak (Tirto.id, 2017). Saya turut merasakan frustrasi yang dialami Do Hyun-Woo ketika akhirnya ia memutuskan untuk berdamai dan memaafkan Jung Soo-Yeon, tetapi netizen anonim malah bersikeras sebaliknya. Beberapa dari mereka bahkan meneror dan mengancam untuk membongkar identitas istrinya. Saya juga sempat berjengit ketika pemuda-pemuda random dalam Socialphobia akhirnya memutuskan menyergap apartemen seorang netizen anonim. “Apa-apaan, sih, manusia-manusia ini?” pikir saya.
Dalam Socialphobia, setelah salah seorang korban online shaming dibongkar identitasnya (nama asli, foto, alamat rumah, pendidikan, name it all), ia harus putus sekolah dan bahkan memutuskan untuk mengganti namanya. Well, how could you have a normal life when your name has been known as the identity of a public enemy?
Then, what might happen to the victim of online shaming? Jon Ronson dalam sebuah presentasi TED menceritakan kisah Justine Sacco, seorang pegawai PR asal New York yang mengalami online shaming setelah tweet leluconnya disalahartikan sebagai pernyataan rasis. Hati saya mencelos mendengar pilihan kata Ronson yang ironis tetapi sangat jujur dalam menjelaskan situasi ini: “Thousands of people around the world decided that it was their duty to get her fired… Justin was fired of course, because social media demanded it.”
Jung Soo-Yeon dalam Listen to Love merasa keamaanan dan privasinya terganggu ketika ia mulai mendapat teror di tempat kerjanya. Namun, lebih dari itu, ia mengkhawatirkan Joon-Soo, anak mereka yang baru berusia enam tahun. Bagaimana nasibnya bila identitas Jung Soo-Yeon terbongkar? Tumbuh dewasa dengan label anak tukang selingkuh?
Kita memaki, mengata-ngatai, dan berpikir bahwa orang ini pasti sangat bebal hingga kata-kata halus tak mungkin mempan terhadapnya. Namun, sesungguhnya mereka sama-sama manusia seperti kita yang juga mencari penerimaan. But we left them with fear and often their apologies become unheard. Lantas ketika tidak ada lagi yang mempercayaimu, tidak ada lagi yang membutuhkan keberadaanmu,
75 committing suicide sounds like a great option, isn’t it? Well, bagaimana tidak ketika kamu akhirnya gagal untuk mempercayai dirimu sendiri, thanks to thousands of people around the world who told you get out (Jon Ronson, 2015).
2. Everyone has their own condition. Kata seorang mentor, bangsa kita ini kultur mendengarkannya sangat minim, lebih dominan keinginannya untuk didengar. Padahal, kultur mendengarkan itu penting supaya kita tidak salah memahami situasi. Sebelum membuat komentar terhadap sebuah pernyataan atau sebelum kita membagikan berita, coba kita cari tahu terlebih dahulu kebenarannya, bagamaina motif dan latar belakang si pembuat pernyataan, chek and recheck agar tidak berujung sebagai hoax dan merugikan orang-orang yang tidak bersalah. Marilah kita coba untuk saling mengerti sehingga tidak semudah itu merendahkan orang lain.
Sudah banyak sekali bahasan tentang bagaimana internet dan media sosial sedikit banyak memberikan pengaruh negatif pada kesehatan mental dan produktivitas manusia. Maka, untuk menghindari dampak tersebut dan fenomena problematik seperti
Setelah terus menerus diajak untuk percaya bahwa kematian Re-Na disebabkan oleh pembunuhan, Socialphobia membungkam penonton di penghujung film dengan mengungkap bahwa ReNalah yang memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Seperti Ji-Woong dan Young-Min, I didn’t find it easy to understand that “nice” people like us are capable to push someone to take his or her own life. Yet we do. Malam itu, 9 November 2018, empat hari setelah kabar pelecehan seksual di kampus kami mencuat, saya dan beberapa sahabat memantau perkembangan respons publik di internet yang semakin ganas menyerang si pelaku pelecehan. Dalam grup WhatsApp kami yang kecil itu terlontar satu doa yang saling kami amini, “Semoga ia tidak bunuh diri.”
HOW TO NOT KILL A PERSON ONLINE Menalar pendapat dari Remotivi tentang online shaming: “iya, melecehkan orang lain secara seksual itu salah, tapi mempermalukan orang sampai depresi juga salah”. Before things are going even more too far, mari kita mencoba untuk tidak menjadi seorang 1.pembunuh.Kitaperlu memahami bahwa internet adalah perpanjangan dari dunia nyata. Oleh karena itu, menurut Webroot.com, standar norma yang dipakai saat online juga sama dengan yang dipakai di dunia nyata. Bagi muslim, menurut ulama, tulisan hukumnya sama seperti lisan, sama-sama dicatat juga oleh malaikat. If you have nothing good to say, better just shut up. The internet is as public as our school and our mosques. You won’t yell at random people in mosques, will you?
Nah, kalau memang yang bersangkutan itu bermasalah dan secara pribadi cukup dekat dengan kita, lebih baik ditegur baik-baik secara pribadi dengan tatap muka atau direct massage dan beri kesempatan pada orang tersebut untuk menjelaskan situasinya serta meminta maaf. Tidak ada yang suka dipermalukan di depan umum. Orang yang mengalaminya mungkin akan mengelak dan mencari pembenaran atas pernyataannya, and we know the rest of the story
3. Best advice ever: limit our use of social media
EPILOG Socialphobia dan Listen to Love telah memberi banyak pelajaran dalam memahami fenomena online shaming baik dari sisi korban maupun sisi pelaku. Mereka sukses menyimulasi sensasi dan kecemasan yang dirasakan ketika fenomena ini terjadi di hadapan kita. Socialphobia jelas menampar saya dengan lebih keras lewat ironinya. Namun, saya berharap kita punya ending yang lebih baik seperti Listen to Love. Do Hyun-Woo dan Jung Soo-Yeon akhirnya belajar bahwa kesalahan tetaplah kesalahan dan tentunya tidak mudah dilupakan, tetapi manusia selalu punya pilihan untuk memaafkan. Baiknya lagi, tak hanya tokoh-tokoh utama saja yang bisa mengambil pelajaran, netizen-netizen yang terlibat juga perlahan mulai berkaca dan melihat ke dalam diri mereka sendiri. Irina Raicu dalam tulisannya di
So, are we ready to forgive?Fukuoka, 25 November 2018 Listen to Love Episode 11 - Sepasang suami istri yang pernika hannya di ambang perceraian akhirnya berhenti berkontribusi da lam online shaming terhadap Do Hyun-Woo dan mulai mengam bil langkah untuk menyelamatkan pernikahan mereka sendiri.

To all shamees who become aware of their wrongdoing and regret it, you may won’t be forgotten, but you deserve to be heard and to be forgiven. Semoga jiwa dan ragamu dalam keadaan sehat dan semoga Allah memberikan jalan keluar yang baik untuk masalahmu.
situs berita ABC mengatakan, “In fact, sometimes the people who start an online shaming ‘wave’ later regret their actions. Regret, in this case, seems to be a recognition of the fact that their own actions didn’t match up with their values.”
76 online shaming, alangkah baiknya kita membatasi saja penggunaan media sosial. Alihkan perhatian pada kegiatan lain yang memberikan stimulus positif pada diri kita. 4. Namun, kalau kamu menemukan seseorang sedang dipermalukan secara tidak adil, seperti saran Jon Ronson, the very best thing that we can do, “is to speak up, because I think the worst thing that happened to Justine was that nobody supported her -- like everyone was against her, and that is profoundly traumatizing,” meskipun tidak akan mudah. Last advice: master these things and you will also develop the skill to not get killed instead :) Good luck!
77 Referensi Asianwiki. (n.d.). Listen To Love. (Asianwiki) Di akses pada November 2018, dari https://asianwiki. com/Listen_To_LoveAsianwiki.(n.d.).Socialphobia. (Asianwiki) Di akses pada November 2018, dari https://asianwiki. com/SocialphobiaKirnandita,P.(2017, Agustus 21). Vigilantisme: Saat Penegak Hukum Diabaikan. (Tirto.id) Diakses pada November 2018, dari dia-social-dalam-timbangan.htmlvemberdalampedia.org/wiki/SocialphobiaDiaksespedia.org/wiki/Listen_to_LoveDiaksesonline-ethics-what-are-theycom/us/en/resources/tips-articles/netiquette-and-padatoyoutube.com/watch?v=2Y4pjo7LTDgvi)Adareligion/on-the-ethics-of-online-shaming/10097280padaOnlineline-shamingital-forgiveness-is-important-in-a-society-of-onwww.beyondtheinterview.com/article/2018/why-digview)Ining-dangerous-rise-internet-pitchfork-mob/telegraph.co.uk/news/2018/06/25/online-shamDiaksesnettisme-saat-penegak-hukum-diabaikan-cuY9https://tirto.id/vigilanOnlineshaming:Thedangerousriseoftheinterpitchforkmob.(2018,Juni25).(TheTelegraph)padaNovember2018,darihttps://www.Pineda,S.(2018,Maret9).LearningToForgiveACultureOfOnlineShaming.(BeyondtheInterDiaksespadaNovember2018,darihttps://Raicu,I.(2016,Februari25).OntheEthicsofShaming.(ABCReligion&Ethics)DiaksesNovember2018,darihttps://www.abc.net.au/Remotivi.(2018,November9).Youtube:TidakyangMenangdalamOnlineShaming.(RemotiDiaksespadaNovember2018,darihttps://www.Webroot.(n.d.).WhatisNetiquette?AGuideOnlineEthicsandEtiquette.(Webroot)DiaksesNovember2018,darihttps://www.webroot.Wikipedia.(n.d.).ListentoLove.(Wikipedia)padaNovember2018,darihttps://en.wikiWikipedia.(n.d.).Socialphobia.(Wikipedia)padaNovember2018,darihttps://en.wikiYanuar,Y.(2018,Oktober11).MediaSocialTimbangan.(Muslim.or.id)DiaksespadaNo2018,darihttps://muslim.or.id/42898-me
78Aruna & Lidahnya Viewfinder(2018) Instastory @hanifahsausann Juni Ulasan2020Film 00 01 viewfinder 20 06 27 Aruna ditugasi kantornya untuk menginvestigasi kasus flu burung di beberapa kota di Indonesia Bersama sahabatnya, Bono, Aruna berangkat dinas dengan niat sembari berwisata kuliner Kedatangan Farish & Nad di tengah perjalanan berujung pada bangkitnya roman dan rahasia terpendam di antara keempatnya Aruna & Lidahnya (2018) s e b u a h u l a s a n f i l m Harus diakui, platform blog sebagai media ekspresi personal kalah laku dibanding me dia sosial kekinian yang info-info singkatnya lebih mudah dicerna. Merespons hal itu, saya mencoba membagikan tulisan melalui fitur Instagram Story di akun pribadi saya sembari melatih diri menulis ringkas. Viewfinder merupakan rubrik pertama saya yang membahas tentang film, drama, buku, dan produk hiburan lainnya. Rubrik ini memulai debutnya lewat ulasan film Aruna & Lidahnya Hiburan & Gaya Hidup

Kombinasi
Aruna & Lidahnya (2018)
Film yang diadaptasi dari novel karangan Laksmi Pamuntjak ini mengelaborasi tidak hanya satu atau dua, tetapi tiga unsur sekaligus dalam ceritanya: percintaan, kuliner, dan yang paling random di antara semuanya, isu wabah flu burung. Pada awal cerita, ketiganya seakan berjalan sendiri sendiri dan terasa canggung, tetapi perlahan mulai menunjukkan keterkaitannya satu sama lain seiring jalannya waktu viewfinder 3 Unsur Cerita yang Padat dan Bergizi



Makanan dijadikan analogi untuk menjelaskan pahit manis kehidupan, karakter seseorang, atau kecocokan dua insan dalam suatu hubungan Lidah Aruna yang merasakan cita rasa berbeda dibanding teman temannya menjadi indikator atau simbol adanya keanehan dalam hubungan romantisnya dan kasus flu burung yang ia hadapi Pendekatan yang terbilang baru dan berani untuk film film arus utama Indonesia ini membuat Aruna & Lidahnya terasa sangat segar Terlebih, setiap unsur berhasil diselesaikan secara mendetail nyaris tanpa cela. Ini merupakan pencapaian besar untuk sebuah film yang pastinya punya lebih banyak batasan dibanding novel viewfinder
79

kota lain Seringkali ia menjadi topik utama adegan (bahkan pasien yang mereka investagi di rumah sakit juga tidak ketinggalan ikut membicarakan makanan!) Kadang ia juga disisipkan di tengah tengah adegan sebagai stress relieve (walau ada pula momen ketika kelezatan makanan yang disajikan mencuri perhatian saya dari percakapan tokohnya) Kekuatan visual dalam film menjadi nilai plus yang menjadikan masakan masakan tersebut terasa lebih nyata bila dibandingkan dengan versi novelnya viewfinder Di antara ketiga unsur yang telah dijelaskan sebelum nya, unsur kuliner merupakan sajian utamanya Beragam jenis makanan dari berbagai penjuru Nusantara memborbardir kita dari awal hingga akhir film Dari masakan rumah, jajanan pasar, masakan lapak pinggir jalan, hingga sajian restoran berkelas, semua tersedia di film ini viewfinder Makanan.




Aruna & Lidahnya (2018)
80
Aruna & Lidahnya (2018)
Penggunaan unsur surealisme sebagai penggerak cerita dan keberhasilan adegan adegan tersebut untuk tampil janggal secara sinematografis lagi lagi menjadikan film ini sangat unik dibanding film dalam negeri kebanyakan viewfinder Surealisme
Aruna & Lidahnya (2018)
Film ini dinarasikan sendiri oleh Aruna yang berbicara langsung kepada penonton. Uniknya, penerapan gaya penceritaan ini tidak memandang situasi apakah Aruna sedang sendiri atau bersama orang lain Kadang ia langsung nyerocos mengomentari orang di sampingnya Kadang ia hanya menoleh ke arah kamera dan merespons situasi lewat ekspresi wajah atau tatapan matanya saja Momen momen yang mengesankan Rasanya seakan kita menjadi bagian dari film itu sendiri.




viewfinder Breaking the 4th Wall
Keanehan lidah Aruna yang berperan sebagai kunci plot diperkuat dengan mimpi mimpi Aruna yang berhasil membuat saya bengong sejenak ketika menontonnya Pada adegan lain, giliran Bono & Nad yang tanpa sengaja menaiki "kapal menuju akhirat"
81
Aruna & Lidahnya (2018)
Surpisingly, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra tampil cukup meyakinkan sebagai teman biasa Sementara, walau hanya sekilas, bromance antara Farish (Oka Antara) & Bono (Nicholas Saputra) yang konyol mampu menjadi jeda menarik di tengah konflik


Obrolan tentang perselingkungan, seks, dan kondom terasa pas untuk tokoh tokohnya yang berusia 30 tahunan. Pengemasannya juga cukup santun untuk rating usia 17 tahun ke atas ketika ia diputar di bioskop dua tahun lalu (Herannya adalah mengapa Netflix dan Goplay hanya memberinya rating 13+?)

viewfinder

viewfinder Saya terkesan dengan penerapan prinsip tabrak warna khas negeri ini yang dalam kehidupan nyata bisa terlihat sangat "ajaib" Dengan framing yang pas dan diperkuat dengan tata busana para aktornya (termasuk para figurannya!), kombinasi warna yang biasanya dianggap norak justru menjadi sentuhan artistik tersendiri dalam film ini Nyawa Baru Palet Tabrak Warna Khas Indonesia
82
Miscellaneous
Aruna & Lidahnya (2018)
Aruna
83
viewfinder
Menonton film ini di kala pandemi membuat saya agak menyesal karena tidak bisa langsung keluar rumah untuk berburu hidangan yang diperkenalkannya Namun, di sisi lain ia memberi harapan bahwa banyak hal baik menunggu kita kelak ketika situasi ini berakhir Film ini juga membuat saya penasaran dengan versi novelnya walau rating Goodreadsnya cukup rendah Aruna & Lidahnya sebagai sebuah film dapat tampil utuh dan mampu meraih pencapaian pencapaian sinematografinya sendiri Sebagai sebuah produk budaya, tak hanya bersumbangsih dalam pengenalan keberagaman kuliner tanah air, ia juga cukup jujur dalam mengemas visual makanan, lapak, dan sudut sudut kota di Indonesia, bahkan yang paling norak dan lusuh sekalipun Sebuah film yang pantas diberi pujian dan direkomendasikan pada kawan kawan asing Kesan Akhir 8/10 & Lidahnya (2018) sebuah ulasan film viewfinder & TATA LETAK Hanifah Sausan Nurfinaputri FEEDBACK & PROOFREADING Rizky Tia Rifianty Fadhila Nur Latifah Sani Nirma Ayuni Setiasih TONTON DI Netflix Goplay
TEKS

845 Karakter dengan Autisme (2010-an)Film/DramadalamKorea Round-Up Article 00 02 viewfinder 20 08 25 dalam Film/Drama Korea (2010an) # r o u n du p 5 Karakter dengan Autisme Hiburan & Gaya Hidup Viewfinder Instastory @hanifahsausann Agustus 2020 Sangat disayangkan, kecepatan menulis saya tidak selalu bisa menyamai kecepatan me nonton film atau drama. Pertentangan antara banyaknya karya untuk dibahas dan terbatasn ya kapasitas menulis memotivasi saya untuk mencoba jenis artikel round-up. Bertepatan dengan rampungnya drama It’s Okay to Not Be Okay yang salah satu kar akternya memiliki autisme, muncul ide untuk membahas film/drama Korea lainnya dengan karakter serupa. Melalui artikel ini saya banyak belajar men genai autisme dan pola komunikasi mereka yang unik. Wawancara dengan teman yang memiliki saudara autis membantu saya menilai bagaimana media menggambarkannya.





Autisme dalam Film/Drama Korea (2010an)

85
Tingkah laku, pola pikir, dan cara komunikasi yang tidak biasa, ditambah keterbelakangan mental pada sebagian kasus membuat orang orang dengan autis me sulit mendapatkan tempat di tengah masyarakat Lima karakter dengan autism dalam film dan drama Korea berikut barangkali dapat membantu kita menye lami emosi dan dunia mereka (Deskripsi alur cerita mengalami penyederhanaan & ditulis ulang berdasarkan sudut pandang karakter yang menjadi fokus bahasan ) viewfinder
5 Karakter dengan Autisme Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme adalah sebuah kondisi perkembangan saraf yang ditandai dengan sulitnya menjalankan interaksi sosial serta pola perilaku dan minat yang repetitif dan terbatas (American Psychiatric Association, 2013)
5 Karakter dengan Autisme W , Park Si On (Joo Won) mampu mendalami kedokteran bedah anak berkat ingatan & kecerdasan spasial level jenius yang dimilikinya Pendekatan yang kekanak kanakan dan kurangnya keterampilan langsung dalam praktik bedah membuat Si On sering diragukan oleh rekan kerja di rumah sakit tempat ia memulai resi densi Drama ini selain mengeksplorasi proses adap tasi pengidap autisme dengan lingkungan profesional (dan sebaliknya), ia juga mencoba menceritakan bagaimana mereka menghadapi perasaan romantis dengan kondisi yang mereka miliki viewfinder Park Si-On (Good Doctor, 2013)

Im Ji-Woo (Innocent Witness, 2019)



Oh Jin-Tae (Keys to the Heart, 2018)


5 Karakter dengan Autisme
Di usia 26 tahun, Jin Tae (Park Jung Min) yang autis dan memilki keterbelakangan mental bertemu kakak tirinya untuk pertama kali, Kim Jo Ha (38) yang diajak ibunya untuk tinggal bersama. Jin Tae tak pernah akur dengan sang kakak yang menganggapnya aneh dan menyebalkan, hingga akhirnya Jo Ha menyadari bakat Jin Tae sebagai pianis jenius yang bisa memainkan berbagai karya hanya dari mendengarnya Namun, harapan Jo Ha untuk mencari keuntungan finansial dari bakat adiknya kandas ketika kemampuan Jin Tae menginterpretasikan karya diragukan oleh para ahli viewfinder
Im Ji Woo (Kim Hyang Gi), gadis autis berusia 15 tahun, menjadi saksi tunggal tewasnya pria tua yang diduga dibunuh oleh asisten rumah tangganya Untuk membuktikan kliennya tidak bersalah, Pengacara Yang Soon Ho dengan gigih mencoba mendapatkan testimoni Ji Woo walaupun kesulitan menjalin komu nikasi Kendati memiliki ingatan fotografis dan pende ngaran di atas rata rata, kesaksian Ji Woo sulit diper caya karena ia dianggap tidak mampu mengartikan situasi maupun ekspresi secara tepat viewfinder
86
5 Karakter dengan Autisme
Karakter dengan Autisme
5
Dong-Gu (Inseparable Bros, 2019)




87
Setelah ibunya dibunuh di depan matanya sendiri, Sang Tae (Oh Jung Se) yang memiliki autisme hidup sebatang kara dengan adiknya, Gang Tae, yang ma sih belia Belasan tahun hidup demi kakaknya, penca rian Gang Tae dewasa terhadap dirinya sendiri mem buat keduanya harus berhadapan dengan trauma ma sa kecil dan berbagai emosi terpendam Drama ini ju ga menceritakan bagaimana Sang Tae belajar untuk mengembangkan bakat, menjadi mandiri, dan mene rima orang baru dalam hidupnya viewfinder Moon Sang-Tae (It's Okay to Not Be Okay, 2020)



FEEDBACK & PROOFREADING
Namun, darinya kita bisa belajar bahwa individu de ngan autisme sebagai seorang manusia juga memiliki emosi dan kreativitas Hanya saja, cara berekspresi dan melihat dunia yang berbeda bisa membuat mereka diremehkan atau disalahpahami Kurangnya kemampuan untuk membaca hal hal yang tersirat juga bisa mengundang orang dengan niat buruk untuk me manfaatkan mereka Di sisi lain, kecenderungan untuk melihat segala se suatu sebagaimana adanya menjadikan mereka pri badi yang jujur dan logis Hal ini menjadi pesona ter sendiri ketika orang orang di sekeliling mereka terbiasa berasumsi dan memandang dunia dengan kacamata tertentu. Dengan bantuan orang sekitar yang diikuti kesabaran & pendekatan yang baik, seseorang dengan autisme juga mampu hidup lebih mandiri & membuktikan signi fikansinya sebagai anggota masyarakat viewfinder dalam Film/Drama Korea (2010an) Epilog
viewfinder
5 Karakter dengan Autisme dalam Film/Drama Korea (2010an)
REFERENSI Viu Netflix Wikipedia Asianwiki MyDramaList Kdrama Kisses Filmed in Ether South China Morning Post Organization for Autism Research
88
The Winnower IDN Times NCBI
TEKS & TATA LETAK Hanifah Sausan Nurfinaputri
Helga Juliana Seseorang yang Tidak Ingin Disebut Namanya
5 Karakter dengan Autisme Lima film dan drama yang disebutkan sebelumnya tentu tidak lepas dari kekurangan, semisal dalam menghadirkan sikon yang realistis, atau bagaimana mereka masih terjebak dalam stereotip karakter autis seperti kekanak kanakan atau savant (memiliki bakat atau intelejensi di atas rata rata).
89 Referensi Viu: Choi,MyDramaList:Asianwiki:Netflix:viu.comnetflix.comasianwiki.comhttps://mydramalist.com/S.-H.(Director).(2018).Keystothe Heart [MotionDjabarov,Picture].A.(2019, September 2). KOFFIA 2019 Review: Innocent Witness. Diambil dari Filmed in Ether: Korea.tudes[MotiondromeWikipedia:https://researchautism.org/ten-things-autism-isnt/DiambilOkay[Motionkim-soo-hyun-seo-ye-jicle/3096950/k-drama-review-its-okay-not-be-okay-https://www.scmp.com/lifestyle/entertainment/artiromance.Ye-jiIt’sDoctorric%20department.is%20about%20a,workers%20in%20the%20pediatan-drama-review/#:~:text=Good%20Doctor%20kdramakisses.com/2017/02/25/good-doctor-koreDramakarakter-sangtae-its-okay-to-not-be-okay-c1c2/10times.com/hype/entertainment/hanny-nur-fadhilah/BePerubahancent-witness-review-koffia-2019/https://www.filmedinether.com/reviews/innoFadhilah,H.N.(2020,Agustus3).10FaktaKarakterSangTaedi‘It’sOkaytoNotOkay’.DiambildariIDNTimes:https://www.idnKay.(2017,Februari25).GoodDoctorKoreanReview.DiambildariKdramaKisses:https://Ki,M.-S.,&Kim,J.-W.(Directors).(2013).Good[MotionPicture].Lee,E.(2020,Agustus11).K-dramareview:OkaytoNotBeOkay–KimSoo-hyun,SeofindlovedespitetraumasinNetflix’sfairytaleDiambildariSouthChinaMorningPost:Lee,H.(Director).(2019).InnocentWitnessPicture].Park,S.-W.(Director).(2020).It’sOkaytoNotBe[MotionPicture].Rhi.(2019,April24).TenThingsAutismIsn’t.dariOrganizationforAutismResearch:Wikipedia.(n.d.).Savantsyndrome.Diambildarihttps://en.wikipedia.org/wiki/Savant_synYook,S.-H.(Director).(2019).InseparableBrosPicture].Yoon,J.Y.(2015).SocioculturalbeliefsandattiinAutismandtheeffectsonfamiliesinSouthTheWinnower.DiambildariTheWinnower.
903 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero TheWasteEarthJournal Instastory RefleksiSeptember@hanifahsausann2020 Hiburan & Gaya Hidup The Earth Journal adalah rubrik kedua di akun Instagram saya setelah Viewfinder yang fokus membahas tema lingkungan. Tulisan pertama di rubrik ini dibuat untuk memperingati tiga tahun perjalanan mencoba gaya hidup zero waste dan mendapat sambutan yang sangat baik. Nampaknya, gaya penulisannya yang personal meningkatkan engagement pembaca.
91 3 T a h u n M e n c o b a G a y a H i d u p Z e r o W a s t e 20 September 2017, di sebuah kamar kos di Jogja, saya bertekad untuk menjalani gaya hidup zero waste. Penuh rasa gugup dan takut, diriku kala itu tentu tidak pernah membayangkan datangnya hari ini. Dengan gugup pula kini saya mencoba merangkum yang terjadi selama tiga tahun berikutnya. 2020.09.21 0001 J O U R N A Le a r t th h e



92

T a h
t th h e
Awalnya sempat keblinger dengan zero waste kits yang kinclong dan estetis, tetapi untungnya tidak bertahan lama karena urusan kantong. Saya pun belajar untuk mulai dari hal kecil dan memanfaatkan apa yang sudah dimiliki: mulai dari mengurangi konsumsi dan mencari padanan produk zero waste versi lokal dengan budget yang sesuai (yang justru membantu saya melihat berbagai potensi yang barangkali sulit ditemukan di luar negeri). u d e a l i s m e e a r

n # 1 - I
Perjalanan ini dimulai dengan penuh keraguan karena saya benar benar merasa sendirian. Komunitas daring zero waste lokal saat itu tidak banyak saya temukan. Alhamdu lillah, kemajuan teknologi dan tingginya laju informasi mem permudah jalan saya untuk belajar tentang gerakan ini walau tidak ada yang mendampingi.

3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste 2/11 J O U R N A L

93 Dalam tataran sehari hari, menolak kresek, sedotan, d sendiri; dan tentunya terbias heran dari wajah para pe membagikan informasi tenta merasa ini adalah hal yang 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste 3/11 J O U R N A Le a r t th h e



3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste 4/11 J O U R N A Le a r t th h e

Di tahun pertama ini, saya Salah satunya dengan mini secara natural seiring berk Selain itu, semakin banyak b bahwa isu lingkungan puny seperti politik, ekonomi, buda menjadi fokus saya pula di keterkaitan tersebut Di momen yang sama, tugas g y p g landasan berpikir baru, saya pun mulai mendefinisikan ulang arsitekur apa yang ingin saya hadirkan di penutup studi saya. Kontemplasi itu akhirnya membuahkan rancangan sekolah alam. Tentu prosesnya penuh trial error dan hasilnya jauh dari sempurna Namun, selama menjalaninya saya merasa benar benar hidup lantaran apa yang saya pelajari dan yakini akhirnya sejalan dengan apa yang saya lakukan. Mendekati akhir tahun pertama, usaha usaha kecil itu mulai membuahkan hasil. Saya tidak bisa menahan senyum saat mbak laundry yang kudatangi kalau sedang tidak sempat nyuci mulai duluan bertanya, "Gak usah diplastik, kan?" sebelum saya sempat meminta :)

94

r t th h e
Pasar tradisional juga sangat jarang keberadaannya Mayo ritas masyarakat berbelanja kebutuhan sehari hari di super market yang jelas sebagian besar produknya sudah dikemas plastik Yang paling membuat gemas tentu persoalan over packaging dan kebiasaan penggunaan single use utensils untuk segala jenis acara a h u n # 2 - K o n t r s a 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste

95
T

i 5/11 J O U R N A Le
a d i k
Keberangkatan ke Jepang un 2018 tepat menandai dimu ber zero waste. Saya datan harapan yang nampaknya k Sistem pengolahan sampah Fukuoka tempat saya tinggal selama 10 bulan memang luar biasa detail dan canggih. Namun, ternyata masyarakatnya cukup konsumtif juga meski cenderung minimalis (mungkin itu mengapa industri perdagangan barang seken mereka sangat keren).

th h e 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste

Karena untuk pertama kalinya saya mulai masak sendiri, di Jepang saya jadi sadar betapa pentingnya makanan bagi manusia dan mengapa ia jadi sumber sampah terbesar. Walau sulit karena masih pemula dalam hal manajemen dapur, akhirnya saya jadi berupaya supaya tidak membuang 6/11 a r t

96

Walau pengolahan sampa mengubah landfill menjadi t tetap saja saya bertanya akhirnya saya menyerah ju akses informasi, transportas cuma mengandalkan beasis sudah pusing duluan dengan Saya pun belanja produk be kalau mau survive. Pertahanan terakhirku tinggal mengucap mantra "Fukurowa irimasen, " (tidak butuh kantong plastik) tiap kali belanja. Itu pun kalau tidak keduluan kasir yang sungguh sangat cekatan (all hail Japan and its quick service)
J O U R N A Le
97
Momen yang paling mengagetkan buat saya di Jepang berangkali ketika saya main ke pantai dekat kampus dan menemukan banyak sampah di sana. Ini kontras dengan lingkungan kampus dan pemukiman sekitar yang relatif sangat bersih. Tampaknya di situ saya mulai belajar bahwa tembok citra itu nyata adanya, dan dalam hal konservasi lingkungan, mungkin tidak ada negara yang paling baik. Semua sedang belajar, semua sama sama sedang mengalami. a r t th h

e 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste

7/11 J O U R N A Le

98

Pulang ke Indonesia di tahu berdampingan dengan pla saya khawatir, apakah saya setahun sebelumnya? Alha cukup cepat dan kurang performa tahun pertama. Saya jadi lebih rileks dengan penggunaan plastik di lingku ngan saya. Mungkin karena merasa tak berdaya ketika di Jepang, saya jadi mencoba lebih menghargai situasi dan kondisi tiap orang. Di sisi lain, saya disambut masyarakat dengan kesadaran isu lingkungan yang meningkat drastis diikuti kelengkapan sarana prasarana seperti bank sampah, bulk store, dan eco cafe/resto yang makin menjamur Selain itu, kehidupan di Jepang telah mendorong saya untuk menemukan minat dan bakat baru dalam diri saya dan semangat eksplorasi itu terus berlanjut selepas kepulangan, terlebih kelulusan dan dunia kerja menanti di depan mata. Kebiasaan zero waste tetap berlanjut walau kemudian tak menjadi prioritas utama. T a h u n # 3 - R e t a 3 Gaya Hidup Zero Waste

( ? ) 8/11 J O U R N A Le a r t th h e
Tahun Mencoba
a l i

99 Kita semua tahu apa yang membuat saya yang tadinya akhirnya pulang ke Magelang Tantangan pertama tentu s tidak mau harus dibeli. Tant Setelah 2,5 tahun berprakt 9/11 J O U R N A Le a r t th h e 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste



Di tengah kelesuan itu, keikut bapak menjadi healing treat khas generasi Z yang lebih f ding tanah dan panas mat irigasi, dan kultur petani mem Namun, tentu itu baru permu ketika mulai mengamati lebi parit, tak jarang akan kau te yang tersangkut atau terpendam lumpur, sebagian kemasan p t p y l n S p
i
a


100
n
10/11 J O U R N A Le a r t th h e 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste

x
101

These three years had been future will be. Maka dari itu, jikan apa pun pada orang l satu hal yang pasti: Kini saya merasa seperti dike g p 2017, kepada Ufi yang gugup dan ketakutan di kamar kosnya di Jogja, Ufi yang tidak punya kuasa apa apa terhadap dunia, tetapi mencoba untuk memulai dari dirinya. Seperti tiga tahun lalu, ada banyak hal yang tidak bisa saya selesaikan sendiri dan ketidaksempurnaan sudah menjadi teman abadi. Namun, (kuharap) itu tidak menjadi alasan untuk berhenti Fi, kurasa perjalanan ini bukan perlombaan. Maka tak apa jalan pelan pelan. Bila lelah, istirahatlah. Bila hujan datang, meneduhlah. Nikmatilah hobi. Nikmatilah semangkuk Indomie kuah susu keju sesekali ketika benar benar ingin (walau ia meninggalkan rasa getir di lidah yang kemudian kau sesali). Di masa rehat itu barangkali kamu akan menemukan pemandangan atau jalur baru dalam perjalananmu. See you next year! XOXO, Ufi W h a t ' s N e t
? 11/11 J O U R N A Le a r t th h e ( L e t t e r t o M y s e l f ) 3 Tahun Mencoba Gaya Hidup Zero Waste

Sosok Lee Kwangsoo di kancah internasional lebih dikenal lewat keterlibatannya dalam variety show kenamaan Korea Running Man. Citranya di televisi yang ceroboh barangkali lebih kental di ingatan kita dibanding kepiawaiannya mengolah peran dalam berbagai film dan drama yang tidak bisa diremehkan. Lee Kwangsoo memang berbeda dari tipikal aktor pemeran utama yang biasa kita temui. Namun, dengan skenario yang tepat, Kwangsoo dapat menggawangi sebuah produksi yang segar dan The ShoppingKiller’sList (2022) Perjuangan PembunuhanSupermarketKasirMenguakBerantai (Personal Blog) Blue-Think: a journey to discoveries Julihttps://blue-think.blogspot.com/2022

102
Hiburan & Gaya Hidup Merasa kurang menulis untuk diri sendiri semenjak bekerja di penerbitan arsitektur, saya mengikuti tantangan menulis selama 30 hari pada Juli 2022. Ulasan drama “The Killer’s Shopping List” (2022) menjadi tulisan pertama yang saya buat di program tantangan ini. Saya melihat ada peningkatan kualitas penulisan ulasan dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti kosakata yang lebih kaya. analisis yang lebih runtut dan mendalam, serta sistematika penulisan yang lebih rapi. Ulasan Drama (30DWC Jilid 37)
103 unik. Seperti halnya drama komedi “Sound of Your Heart” (KBS2, 2016-2017) yang ikonik dan drama “Live” (tvN, 2018) tentang polisi-polisi muda dengan segala kekurangannya yang menyentuh hati. Kali ini Lee Kwangsoo kembali ke layar kaca lewat drama sepanjang delapan episode berjudul “The Killer’s Shopping List” (tvN, 2022). Dalam drama misteri-komedi ini Kwangsoo memerankan Ahn Daesung, pria berusia 30-an yang digadang-gadang jenius, tetapi akhirnya bekerja sebagai kasir di supermarket milik ibunya setelah bertahun-tahun gagal ujian PNS. Suatu hari, terjadi kasus pembunuhan di kompleks apartemen setempat. Daesung pun tergerak untuk menyelidiki kasus tersebut ketika menemukan bahwa barang-barang yang digunakan pelaku dibeli dari supermarketnya. Dimulailah perjalanan Daesung menguak siapa pelaku kejahatan tersebut Lee Kwangsoo sebagai Ahn Daesung sumber: JoyNews24 lewat observasinya terhadap belanjaan pelangganpelanggannya. Keadaan menjadi sulit ketika ia sendiri juga dicurigai polisi sebagai tersangka.

Saya tidak bisa memikirkan aktor lain untuk memerankan Daesung dalam drama ini selain Kwangsoo. Citranya cocok bersandingan dengan premisnya yang konyol, tetapi masih memberikan ruang untuk reverse charm: apakah Daesung memang jenius? Karakternya secara seimbang dikemas dalam komedi dan sekaligus drama ketika kita perlahan dibawa menyelami trauma masa lalu keluarga Daesung. Saya juga suka bagaimana Daesung tidak digambarkan heroik, tetapi selalu membutuhkan bantuan orang-orang di sekelilingnya untuk menguak kasus ini.
Ibu Daesung yang diperankan oleh Jin Hee Kyung menjadi suporter Daesung yang utama, diikuti Ahee, pacarnya yang merupakan seorang polwan. Pemilihan Seolhyun AOA yang merupakan salah satu wanita dambaan publik Korea untuk memerankan A-Hee merupakan langkah yang tepat dalam menarik perhatian karena kombinasi Lee Kwangsoo dan Seolhyun tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ekspektasi tersebut terbalas dengan kemistri keduanya yang unik dan cukup meyakinkan sebagai pasangan yang sudah bertahun-tahun pacaran.
Yang menarik lagi dari drama ini adalah karakterkarakter pegawai supermarket yang hampir tidak pernah dipanggil dengan namanya sendiri, tetapi dengan nama produk yang menjadi tanggung jawabnya di supermarket, seperti “Fish”, “Meat”, “Vegetables”, dan semacamnya. Strategi ini menggugah rasa penasaran penonton terhadap karakter-karakter tersebut, apalagi ketika Daesung mulai mencurigai mereka sebagai pelaku pembunuhan. Pemilihan aktor yang belum cukup dikenal untuk peran-peran pendukung ini membuat penonton semakin sulit menebak mana di antara mereka yang kemungkinan memerankan si penjahat. Daesung, Products, Fish, Vegetables, Meat, Part-Timer

104
Daesung dan Ahee sumber: ChosunBiz Ayah
sumber: MBN News

“The Killer’s Shopping List” pada akhirnya tidak menjadi drama kelas A, tetapi sebagai sebuah comedy-crime show berhasil membuat kita terhibur dan terus tertarik di setiap episodenya sembari menyelami bagaimana sebuah komunitas berusaha menjaga keselamatan anggota-anggotanya dengan meruntuhkan berbagai prasangka terlepas dari perbedaan yang ada.
105 Ahn Sebin sebagai Seoyool sumber: NamuWiki Bukan drama superberat, petunjuk yang diberikan penulis terkait pelaku yang sesungguhnya cukup mudah ditangkap, tetapi dengan sabar dirajut belakangan, memberi kita waktu untuk mengeksplorasi tokoh-tokoh lainnya tanpa kehilangan rasa penasaran. Pencarian menjadi semakin menantang ketika barang yang digunakan pelaku merupakan produk kebutuhan seharihari yang amat sangat biasa dan banyak dibeli orang. Pada akhirnya Daesung belajar untuk melihat petunjuk lain yang berada di luar wilayah observasinya selama ini. Semua yang sudah nonton drama ini sampai selesai rasanya akan setuju kalau bintang dari drama ini adalah sosok Seoyool, gadis cilik yang seringkali membawa petunjuk untuk Daesung. Ahn Sebin, aktor cilik kelahiran 2013 yang memerankan Seoyool patut mendapat kredit besar atas kelihaiannya berakting dengan sangat natural dan pas sesuai dengan kebutuhan tiap adegan meski dialog dan gesturnya cukup menantang untuk anak seusianya. Salah satu sosok aktris yang patut kita harapkan perkembangannya di masa mendatang. CONCLUSION Bila hanya dilihat dari sudut pandang karakter utama, plot drama ini cukup memuaskan seiring ia menjawab siapa pelakunya dan juga berbagai permasalahan hidup yang dimiliki Daesung, dari percintaan, keluarga, hingga keyakinan terhadap dirinya sendiri. Klimaksnya juga dengan cukup cermat dikemas menggunakan elemen yang muncul pada adegan pembuka sehingga membuat ceritanya terasa utuh. Sayangnya, meski berhasil menghadirkan beragam dugaan motif dari orangorang yang dicurigai sebagai pelaku, drama ini tidak menjelaskan motif dari pelaku yang sesungguhnya sehingga meninggalkan tanda tanya mengapa Daesung dan komunitasnya harus melalui seluruh tragedi tersebut.

“Green Mothers’ Club” merupakan sebuah hidden gem. Cerita dan pengemasannya amat menarik, tetapi sayangnya kalah populer dengan drama lain yang tayang di periode yg sama. Banyak kebaruan ditawarkan dari segi cerita dan tentunya kalangan masyarakat yang menjadi sorotan. Sisi teknis dari drama ini sebenarnya juga cukup menarik untuk diangkat seperti jajaran castnya yang epik. Namun, karena keterbatasan waktu selama tantangan menulis berlangsung, akhirnya saya hanya fokus pada plot dan refleksi sosial dari cerita. Ulasan Drama (30DWC Jilid 37)

“Green Mothers’ Club”, judul dari drama ini diambil dari kata 녹색어머니 (nog-saeg eo-meo-ni: lit. green mothers), sebutan untuk asosiasi ibu-ibu wali siswa yang fungsinya mengatur ketertiban lalu lintas lingkungan sekolah dan memastikan keselamatan siswa yang datang setiap paginya. Saat bertugas, ibu-ibu ini biasanya mengenakan rompi berwarna hijau sehingga kemudian disebut green mothers. Awalnya, saya tertarik menonton drama ini karena istilah tersebut, berharap akan ada kisah yang muncul dari keseharian ibu-ibu mengatur lalu lintas
106 Green Mothers’ Club (2022) SKY Castle Versi Humble (Personal Blog) Blue-Think: a journey to discoveries Julihttps://blue-think.blogspot.com/2022 Hiburan & Gaya Hidup
karakter utama kita, Lee EunPyo yang baru saja pindah ke daerah tersebut dan tidak tahu apa-apa tentang bagaimana mengurus pendidikan anak-anaknya karena selama ini sibuk mengajar sebagai dosen. Awalnya ia sulit untuk berbaur karena ingin mendidik kedua putranya dengan biasa-biasa saja. Namun, ketika
107 sekolah. Namun, ternyata judul ini hanya gimik karena fokus ceritanya lebih luas dari pada itu. Well, thanks to that I got to watch such a fun and deep story. Plot drama ini menceritakan bagaimana ibu-ibu ini “mengatur” pendidikan anak-anaknya yang duduk di sekolah dasar, diwarnai dengan konflik personal di antara para orang tua. Familiar dengan premis ini? Ya, saya juga langsung membayangkan drama “SKY Castle” yang ditayangkan di stasiun TV yang sama, JTBC, tahun 2018 lalu. Selain berbeda dari segi jenjang pendidikan, hal lain yang membedakan drama ini dari “SKY Castle” dari segi tema adalah kelas ekonomi keluarga yang lebih rendah, kisaran menengah ke atas. Mereka diceritakan tinggal di sebuah komplek apartemen di sebuah kawasan urban. Anak-anaknya bersekolah di sebuah SD negeri yang biasanya dipandang lebih rendah kualitasnya dibanding sekolah swasta. Nampaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa kompetisi dalam pendidikan di Korea sangat ketat, bahkan sebagian hingga tahap ekstrem. Karena berada dalam kondisi yang tidak seberuntung tokohtokoh di “SKY Castle” yang bergelimang harta, ibuibu di “Green Mothers’ Club” bekerja lebih keras mendukung pendidikan anaknya dengan bimbel dan berbagai lomba yang bisa meningkatkan kualitas portofolio mereka. Mereka juga dengan setia mengantar jemput anak-anaknya ke setiap agenda yang sudah disusun dengan penuh perhitungan. Ketika suami-suami sibuk bekerja dan tahu beres dengan pendidikan anak-anaknya, para ibu dengan penuh ambisi bergerak seperti manajer mereka. Pihak sekolah juga tak ketinggalan ikut berlombalomba dengan mengajari murid mereka materi satudua tahun di atas kelasnya. I know, it’s crazy right? Entah ini karena kebijakan sekolah itu sendiri yang mengupayakan sebanyak mungkin lulusan mereka diterima di SMP favorit agar reputasi terangkat, atau karena dorongan wali murid yang ingin mencicil materi, walau itu berarti melebihi kapasitas kognitif anak-anak mereka, atau merampas waktu bermain dan istirahat mereka. Meski sudah jelas tidak wajar, salah satu tokoh digambarkan rela pindah ke daerah ini agar anaknya bisa belajar di sekolah tersebut, sekaligus mengikuti berbagai program tambahan bersama anak-anak lainnya di luar sekolah dengan harapan nantinya bisa kuliah di universitas unggulan, mendapatkan pekerjaan yang berkelas, dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pergerakan ibu-ibu dalam drama ini digambarkan sangat terorganisir. Mereka rutin bertemu untuk membicarakan perkembangan anak-anaknya, di mana harus bimbel, lomba apa yang perlu diikuti, buku paket mana yang harus dimiliki, bacaan apa yang harus dijadikan referensi, dll. Semua seakan sudah ada standarnya, walau itu semua tidak selalu gamblang disampaikan, melainkan lewat perbincangan sehari-hari yang terbatas dalam kelompok tertentu. Orang luar akan kesulitan untuk bisa masuk dalam komunitas mereka. Tidak hanya anak-anak yang harus beradaptasi, orang tuanya pun juga Kesulitandemikian.dialami
Saya rasa tidak akan cukup kata saya tuliskan untuk menjelaskan kompleksitas cerita dari “Green Mothers’ Club” yang tentunya lebih kaya dari apa yang telah saya jabarkan. Perlu diingat, drama ini tayang di kurun waktu bersamaan dengan dua mega drama lainnya, “My Liberation Notes” (JTBC) dan “Our Blues” (tvN). Standar pasar sudah cukup tinggi, dan fakta bahwa drama ini berhasil membuat saya jatuh hati sejak adegan pembuka hingga episode terakhir membuktikan kepiawaian penulis Shin Yi-Won merajut cerita yang rumit menjadi seru dan mudah dicerna meski ini kali pertamanya menulis untuk format layar kaca. Drama ini juga menjadi karya pertama Ra Ha-Na sebagai sutradara tunggal di kategori minidrama (16 episode). Walau dibuka dengan rating 2,5%, “Green Mothers’ Club” berhasil ditutup dengan rating 6% yang terbilang cukup tinggi di era sekarang. Ada satu pertanyaan yang pasti akan muncul dalam benak kita setelah menonton drama ini: apakah benar perjuangan para ibu di Korea seekstrem itu? Meski tidak sedramatis penggambaran dalam cerita, menurut artikel dan jurnal ilmiah yang saya baca, para ibu di Korea memang seserius itu mengatur pendidikan anaknya hingga muncul istilah manager moms. Banyak wanita Korea meninggalkan pekerjaan mereka setelah menikah untuk fokus pada pekerjaan rumah dan membesarkan anak. Tidak memiliki penghasilan dan karir yang konkret, akhirnya banyak dari mereka menjadikan kesuksesan anak sebagai kebanggaan dan harga dirinya. Ditambah akses mobilisasi sosial di Korea Selatan yang rendah, persaingan sejak fase pendidikan menjadi semakin sengit—walau kemudian menghasilkan generasi muda yang lebih memprioritaskan karir daripada pernikahan atau memiliki anak.
Saya rasa “Green Mothers’ Club” berhasil menangkap fenomena manager moms ini dengan baik, yang kemudian digambarkan dalam kelima karakter utama kita yang sangat berbeda karakter maupun latar belakangnya sehingga terlihat beragam spektrum ibu dalam menghadapi pendidikan anaknya. Pemilihan kalangan ekonomi menengah ke atas menjadikan drama ini lebih humble dan relatable bagi masyarakat Korea, sesuatu yang mungkin belum tercapai melalui “SKY Castle”.
108 mencoba mencari teman ke komunitas ibu lain yang menjunjung tinggi kebahagiaan dan tumbuh kembang normal anak, ia justru ikut diajak membuat petisi dan berdemonstrasi untuk melawan arus mainstream. Eun-Pyo pun terjebak dalam dua kubu Diekstrem.luaritu, Eun-Pyo dipertemukan kembali dengan sahabat lamanya yang ia benci, juga suaminya yang merupakan mantan kekasih Eun-Pyo saat masih kuliah. Nantinya ia juga harus menghadapi berbagai skandal yang tumbuh dari rasa iri dengki di antara para ibu karena kesuksesan anak orang lain. Para suami juga akhirnya terlibat ketika masa lalu yang kelam perlahan terbongkar. Masalah menjadi semakin rumit ketika salah satu tokoh kita melakukan pekerjaan ilegal untuk membiayai pendidikan anaknya dan membuatnya terjerat kasus meninggalnya salah satu orang tua.
Selain jadi lebih memahami isu pendidikan di Korea dan betapa krusialnya pendidikan dasar, lewat drama ini saya juga belajar atau lebih tepatnya berefleksi tentang betapa kompleksnya pertemanan para wanita. Nuansanya bisa berubah dari manis menjadi pahit secara tiba-tiba karena sifat alami wanita yang sensitif. Masalah personal antar-ibu bisa sangat mempengaruhi pendidikan dan kualitas sosial anakanak mereka. Namun, saya juga belajar, meski anak-anak dapat menjadi buruk karena meniru orang tua mereka, hati mereka yang bersih dan tulus bisa merubah hati orang tuanya pula. Demi anak, orang tua bisa menjadi musuh atau teman bagi orang tua Lalulain. pertanyaannya di sini: bisakah kita sebagai orang tua menjadi teman dari orang tua lain, bukan untuk anak kita, tetapi untuk diri kita sendiri?
References Kyunghee Shin, Kyung Eun Jahng & Dongjin Kim (2019) Stories of South Korean mothers’ education fever for their children’s education, Asia Pacific Journal of Education, 39:3, 338-356, DOI: 10.1080/02188791.2019.1607720Torres,Amairani(2020)Manager mothers and their impact on Korean society, Talk Talk Korea, diakses pada 6 Juni 2022 community/community/CMN0000004547https://www.korea.net/TalkTalkKorea/Korean/dari
109
Hiburan & Gaya Hidup
Julihttps://blue-think.blogspot.com/2022
Dibintangi oleh Lee Jinuk dan Lee Younghee, “Welcome to Wedding Hell” memiliki premis yang amat sederhana, yakni menceritakan lika-liku proses persiapkan pernikahan antara Seo Junhyeong (36) dan Kim Naeun (32) yang telah berpacaran selama dua Tayangtahun.sebagai

110
web-drama di KakaoTV, durasi drama ini cenderung singkat, yaitu 40 menit untuk tiap episodenya dengan total 12 episode. Setiap episodenya menceritakan fase tertentu, dari
Apabila drama ini muncul di tahun 2018, mungkin ia akan terkesan biasa-biasa saja bagi saya yang masih cupu. Namun, wawasan tentang budaya dan sosiologi Korea yang semakin bertambah membantu saya melihat keistimewaan dari drama ini. “Welcome to Wedding Hell” menjadi penutup yang baik setelah “Green Mothers’ Club” yang membuka wacana tentang generasi muda Korea yang tumbuh dalam nuansa kompetitif dan memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Ulasan Film (30DWC Jilid 37)
Blue-Think: a journey to discoveries
Welcome to Wedding Hell (2022) Actually a Wedding Playbook (Personal Blog)
Drama ini barangkali bisa menjadi pedoman dasar yang baik untuk memberikan gambaran kompleksitas pernikahan kepada generasi muda Korea saat ini yang cenderung mengejar karir dan enggan menikah sebagai imbas dari berbagai permasalahan ekonomi dan sosial. Tidak untuk menakut-nakuti, tetapi justru ingin memberi tahu bahwa meskipun sulit, dengan bersama semua bisa dilalui.
111 proses melamar, pertemuan antara dua keluarga, mempersiapkan acara pernikahan itu sendiri, membicarakan kondisi finansial, mencari rumah baru, dan sebagainya. Menonton drama ini rasanya lebih seperti membaca buku panduan menikah, tetapi dengan studi kasus nyata dalam konteks masyarakat DiKorea.awal cerita, kemistri romantis antara kedua tokoh utama kita terasa datar-datar saja. Kerangka utama cerita juga bisa ditebak karena saya sudah terbiasa melihat isu pernikahan di film atau drama lain. Namun, setiap persoalan berhasil disajikan dengan runtut dan personal untuk tiap tokohnya. Kita dibawa menyelami keraguan-keraguan yang dialami Junhyeong dan Naeun terhadap perbedaan di antara mereka. Kemistri justru terbentuk ketika keduanya saling mengendap-endap, maju mundur untuk memperjuangkan pendapat pribadi terkait pernikahan mereka sembari berusaha menjaga perasaan satu sama lain. Setiap tahap dengan manis dianalogikan dengan permainan baseball yang membantu penonton memahami kedudukan kedua tokoh di setiap Beberapasituasi.isu
sensitif berhasil diangkat dengan cukup baik, seperti kondisi keuangan antarpasangan, perbedaan strata sosial antara kedua keluarga, dan hubungan dengan calon mertua yang rumit. Drama ini berhasil menggambarkan konflik interest antara dua keluarga dengan baik tanpa membuat karakterkarakternya terlihat jahat. Drama ini juga cukup humble dalam memberikan contoh kasus paling sederhana dengan menghadirkan dua tokoh utama yang sama-sama sudah mapan dan sama-sama anak tunggal untuk dieksekusi dalam waktu singkat. Akan lebih kompleks lagi bila ada ketimpangan finansial yang besar antara keduanya, atau bila mereka memiliki kakak atau adik, mengingat kultur Korea menaruh perhatian tinggi pada hirarki gender dan Perspektifusia. anak muda terhadap pernikahan yang dihadirkan dalam drama ini menjadi semakin lengkap dengan adanya dua side character dari sisi wanita, yakni teman-teman kantor Naeun: Choi Huiseon yang lebih tua, pernah menikah tetapi kemudian bercerai, dan Lee Suyeon yang lebih muda dan belum memiliki pasangan. Mereka selalu berbagi pendapat setiap timbul masalah selama persiapan pernikahan Naeun, tentang ekspektasi umum dan juga realita dari orang yang pernah gagal menjalaninya. Sudut pandang pria awalnya absen, tetapi perlahan dibangun juga lewat perbincangan antara Junhyeong, sahabatnya Jang Minwoo, dan senior-senior mereka di perusahaan—walau seringkali terkesan konyol untuk menggambarkan betapa clueless-nya laki-laki dalam menebak keinginan para wanita.
112Fiksi
113 Alasan Alin Goodbye,(Proofreader)SummerSummer 120116114(2022)(2022)(2022)
Novel114

Chick-Lit Bahasa Indonesia, 13x19, 145 hlm.
Namun, ada dua hal yang Alin tahu pasti. Satu, hidupnya seperti kuburan. Berlabur putih di luar, namun dalamnya berisi mayat yang membusuk. Dua, ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu.
Alasan Alin Fiksi
OMAH Library x Mad Tea Book Club Maret 2022 OMAH Library bersama Mad Tea Book Club bekerja sama menerbitkan buku-buku dari penulis-penulis wanita di Indonesia dengan semangat women empowermen. Alasan Alin menjadi buku pertama dari program ini sekaligus menjadi novel pertama yang pernah diterbitkan OMAH Library. Saya berperan sebagai proofreader bersama salah satu rekan kerja saya (double proofereading). Hal ini menjadi hal baru untuk kami yang terbiasa memeriksa naskah nonfiksi. Akhirnya, kami melihat novel-novel populer untuk melihat standar penyuntingan yang baik, terutama pada bagian kata-kata tidak baku.
(Proofreader)
Sinopsis Pekerjaan yang terhormat dan tunangan yang mapan. Alin cukup beruntung memiliki dua hal itu, yang pasti tidak akan ditolak seorang wanita.
115


116 Summer (Personal Blog) Blue-Think: a journey to discoveries dikemudiansendiripergulatanCerpenJulihttps://blue-think.blogspot.com/2022inisesungguhnyaadalahmonolog,tokohutamadengandirinyaketikamengalamipatahhati,yangdirefleksikandengansuasanasenjaJakarta,musik,danfilm.“ Summer” menjadi representasi sang pujaan hati yang pergi. Cerpen (30DWC Jilid 37) Fiksi
“Setahuku dia…” Menanyakan statusnya secara langsung adalah hal terakhir yang terlintas di benakku. Pertama, karena aku sendiri tidak yakin apakah aku siap untuk menjalin hubungan bila hati kami bersambut. Kedua, tentunya karena takut ditolak. Aku yang biasa-biasa saja ini tidak pantas bila disandingkan dengannya yang menawan dan berprestasi. Diri ini tidak ada apa-apanya dibanding perempuan-perempuan lain yang juga menyukainya. Aku terus berusaha menghancurkan impianku sendiri, berkali-kali membayangkan hari ia mengumumkan pernikahan dengan wanita lain. Aku juga kembali mengingatkan diriku sendiri bagaimana dua tahun ini telah berlalu tanpa ada interaksi sama sekali di antara kami. Akan tetapi, meski sangat tidak percaya diri, harapanku untuknya tidak pernah mati. Tidak ketika aku masih ingat saat-saat pandangan kami bertemu, atau ekspresi wajahnya yang canggung ketika menyapaku, atau pesan singkat darinya yang tibatiba menanyakan keberadaanku, atau perbincangan terakhir kami tentang rencana masa depan masingmasing yang panjang. Apakah aku masih memiliki peluang?
“Setahuku, nih ya,” kata Melly perlahan. Ia akhirnya menjadi orang yang kupercaya untuk menjawab rasa penasaran ini. Bisa kurasakan ia berhati-hati memilih setiap kata yang hendak diucapkannya. It’s okay, Mel. Just say it. I need to know… “Dia lagi suka sama temen SMA-nya dulu.“ “Oh, gitu…” kata-kata itu langsung keluar dari mulutku, tetapi kepalaku terasa kosong.
memutar lagu “Summer” dari band Jannabi, liriknya menganalogikan cinta dengan musim panas. Ada apa dengan cinta dan musim panas? Banyak film dan drama romansa berlatar di musim panas. Salah satu film favoritku, “500 Days of Summer” bahkan menamai love interest tokoh utama dengan kata “summer”.
“Sebenarnya, kamu bukan orang pertama yang tanya ke aku soal ini,” kata-kata Melly tiba-tiba terngiang lagi di kepalaku. Pagi ini aku berkunjung ke rumahnya di Kampung Rambutan untuk sekadar bertemu teman baik setelah setahun terpisah karena pandemi. Juga untuk menanyakan Summer-ku, seseorang yang sudah kusukai sejak lama dan kini bekerja bersama Melly. Seiring usia yang semakin bertambah, aku perlu kepastian tentang rasa ini. Should I end it here, or is it still worth continuing?
“Iya… Jadi, saranku kamu segera move on aja, sih,” lanjut Melly sambil menggendong anaknya yang baru berusia enam bulan. Sebagai seseorang sudah
117 Busway yang kutumpangi melaju di atas jalan layang melintasi kota Jakarta, menuju ke arah barat tempat matahari sedang bersiap menjemput malam. Biasanya aku benci lewat jalan layang ini karena pagar pembatasnya yang norak dicat hijau dan kuning. Namun, hari ini aku tidak keberatan karena distraksi itu tidak ada apa-apanya dibanding pemandangan langit Jakarta yang perlahan menjadi Ponselkujingga.
118
DALL·E
Sunset over Jakarta skyline Hanifah Sausan N. ×

Di dalam busway, aku mencoba untuk membaca lagi. Namun, begitu bus menaiki jalan layang, perhatianku dicuri pemandangan langit senja Jakarta yang kuceritakan tadi. Kuperhatikan deretan gedung dan bangunan yang mulai terlihat gelap seiring bayangan menyelimutinya. Seperti bus ini, ratusan kendaraan bergerak beriringan ke arah barat, membawa orang-orang yang hendak menutup harinya. Lagu “Summer” milik Jannabi mengalun dari earphone-ku. “Back then…” —kira-kira begitu bait pertama lagu tersebut bila diterjemahkan ke bahasa Inggris. “What must have I been thinking To be able to smile After giving you my everything” Kurasakan pandanganku mulai buram. Kepalaku selayaknya bioskop yang memutar seluruh kenangan yang kumiliki dengannya. “What must have you been thinking To be able to turn your back on me After taking it all” Aku menangisi masa mudaku yang kuhabiskan untuknya. Aku menangisi diriku yang merasa rendah karena dirinya. “The hot summer night has gone And what’s left is no good to see” Musim panasku telah berakhir.-//-
119 menikah dan mengalami jatuh bangun sebelum akhirnya bertemu suaminya, Melly pasti lebih bisa menilai apakah perjuangan temannya yang lajang ini layak untuk dilanjutkan. Ada baiknya aku mengikuti “Eh,sarannya.jangan sedih…” kata Mel dengan wajah agak khawatir ketika aku hendak berpamitan. Apakah sedari tadi aku banyak diam? “Ih, enggak kok, santai aja. Lagian aku udah sering ngebayangin ditolak, hehe. I’m fine,” jawabku sembari menarik senyuman untuk menenangkan Mel. Aku pun undur diri. Selepas dari rumah Melly, aku masih sempat bertemu dengan beberapa teman kuliahku di sebuah cafe. Kami berdiskusi seru tentang banyak hal, dari buku hingga transportasi publik Jakarta yang menyebalkan. Setelah satu setengah jam, temantemanku pergi lebih dulu dan aku tinggal di cafe lebih lama untuk melanjutkan novel yang sedang kubaca. Aku bangkit pukul setengah lima dan berjalan menuju halte busway terdekat, menyusuri jalan-jalan kampung, menyentuh daun-daun tanaman yang menjuntai melampaui pagar, sesekali mengambil foto bunga dengan berbagai warna, seperti yang biasa kulakukan.
120 Goodbye, Summer (Personal Blog) Blue-Think: a journey to discoveries KelanjutanJulihttps://blue-think.blogspot.com/2022daricerpen“ Summer”, “Goodbye, Summer” mencoba menunjukkan momen penyadaran tokoh utama atas cinta sepihaknya dan upaya untuk melanjutkan hidup lewat refleksi terhadap musik, film, dan Jakarta malam Cerpenhari. (30DWC Jilid 37) Fiksi
manusia, mudah terjebak dalam pemikirannya sendiri. Tanpa ia sadari, Tom sebenarnya mengabaikan hal-hal yang tidak ia sukai tentang Summer. Rasa cintanya terhadap Summer sebenarnya dibangun atas fantasinya terhadap sosok “the one”, alih-alih sosok Summer itu sendiri. Aku lebih buruk. Karena malu dan berdalih “takut kebablasan”, aku justru menarik diri darinya, menghindari interaksi kecuali untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab. Aku gagal untuk bahkan sekadar memposisikan diri sebagai teman. Imbasnya, tak hanya interaksi kami terputus setelah berpisah, tetapi juga pada akhirnya aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya. Yang aku kagumi bukan dia, tetapi sosok yang kubangun dari imajinasiku Sudahlahterhadapnya.tepat patah hati ini. Aku pun tidak akan sudi membiarkanku dicintai dengan cara seperti itu. Aku terlalu fokus pada pertanyaan, “Apakah ia menyukaiku?” dan lupa untuk mempertimbangkan: “Sosok seperti apa yang ia sukai?” Ternyata aku tidak pernah benar-benar menempatkannya sebagai subyek, sosok yang hidup, memiliki perasaan, dan punya pilihan. Mengapa tidak pernah terbayangkan, bahwa ia juga mungkin sepertiku, sedang memupuk rasa untuk seseorang entah itu siapa, yang ia yakini bisa melengkapi kehidupannya.
121 Aku masih ingat, saat pertama kali menonton film “500 Days of Summer”, si narator membuka cerita dengan berkata: “This is a story of boy meets girl, but you should know upfront, this is not a love story.” Waktu itu aku masih SMP dan tidak paham apa maksud dari kalimat itu. Aku makin gagal paham lagi setelah menyimak jalan kisahnya. Terserah, lah. Jelasjelas ini cerita cinta! Ketidakpahaman terhadap pesan si narator tidak menghentikanku dari menyukai film ini dan menontonnya berkali-kali. Namun, aku baru menyadari arti sesungguhnya dari prolog tersebut setelah aku menemukan dia, Summer-ku. Haha, ironis. Aku tersenyum getir sambil memandang langit Jakarta yang masih berwarna jingga. Matahari sore ini terbenam dengan lambat dan aku bersyukur karenanya. Izinkan aku mengenang dia sedikit lebih Kutambahkanlama. satu lagu lagi dalam playlist-ku: Jannabi - “For Lovers Who Hesitates” “Then when the night comes I carve the secret between you and me After putting a bookmark on the night to recall I open it without anyone knowing” Ingat bagaimana plot “500 Days of Summer” melompat-lompat secara acak selama rentang 500 hari? Belakangan aku baru sadar, sebenarnya babak pertama film ini dipenuhi dengan kenangankenangan indah yang Tom miliki tentang Summer. Aku pun demikian, begitu mengagumi sosoknya yang baik, menawan, pintar, berdedikasi, taat agama, dan sebutkan sifat-sifat mantu idaman lainnya, sepertinya aku akan selalu punya argumen untuk Namun,membenarkannya.betapabodohnya
122 Jakarta night traffic Hanifah Sausan N. × DALL·E

123 Aku menangis lagi. Kurasa ini baru pertama kalinya aku benar-benar berusaha untuk memahami dia. What a bad lover. Sambil menghapus air mata, kuberikan hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya, ku panjatkan sebuah doa: Semoga kau sukses dengan perjuangan cintamu di sana “If the day comes again someday Let’s not turn around hastily Let’s step backward, the way we faced each other And look at each other’s saying goodbye”
Langit mulai gelap. Aku turun dari busway, berbegegas keluar dari halte untuk menaiki angkot merah di seberang jalan yang akan membawaku pulang. Di dalam angkot, aku mengatur playlist-ku yang hanya berisi dua lagu itu dalam mode repeat Sejak pertama kali aku mendengarnya, aku sudah tahu bahwa kedua lagu itu akan menjadi lagu kebangsaanku kelak bila dilanda patah hati. Aku tidak peduli dengan keramaian jalanan yang macet, atau earphone-ku yang murahan dan bersuara aneh. Kubiarkan saja dua lagu itu mengalun berkali-kali hingga aku bosan mendengarnya, berharap aku juga akhirnya bosan dengan perasaan ini. Meski rasanya mustahil.
Tom pun butuh waktu lama untuk bisa berdamai dengan perasaannya kepada Summer. Jadi, untuk sekarang, biarkan aku bersedih. Namun, aku tidak menyesal. Aku mungkin belum mencintai dengan baik, tetapi aku belajar banyak. Seperti Tom yang akhirnya tergerak untuk mengejar impiannya lagi, kuharap aku bisa menemukan kembali hal yang berharga dalam diriku. Barangkali, setelah aku paham cara mencintai diriku sendiri, aku akan mampu untuk mencintai orang lain dengan lebih baik lagi. “I know the bloomed and fallen heart And the returned season too I’ll be in full bloom for a while and then fall Once again forever” -//-
124“Siapa yang menulis buku, berarti telah meletakkan akalnya di atas nampan, lalu menyuguhkannya ke semua orang.” https://issuu.com/hanifahsausannhttps://blue-think.blogspot.comhttp://instagram.com/hanifahsausannupak.upik@gmail.com0813-8798-3302IssuBlogInstagramE-mailPhone Lebih lanjut: - Al Khathib -