NEWS conceptual schema, by the vocabulary, by the preconceptions that a painter has about painting, by the tradition in which he was raised, the technique he has acquired.”
Masalah dalam teori Ekspresi
persis dengan realitas. Jika dilihat dari perspektif tertentu, maka realitas pun akan berubah.
(Thinking Art : hal.24) Karya Giacometti dianggap menarik karena disatu sisi karyanya dapat dengan mudah mematahkan teori imitasi, sedangkan di sisi lain mengacu pada kompleksitas persepsi. Untuk dapat melihat model secara keseluruhan, Giacometti menjauhkan model dari pandangannya. Jika model berada semakin jauh, maka detailnya akan semakin hilang dan bentuk model tersebut juga semakin mengecil. Cara ini membuat Giacometti menemukan metode baru dalam representasi dan pada saat yang sama, dia telah menciptakan suatu style yang unik.
E.H. Gombrich
Teori Ekspresi
Gombrich memberikan contoh-contoh yang relevan untuk mendukung argumennya. Salah satunya adalah lukisan pemandangan Derwentwater, satu lukisan dilukis oleh pelukis anonim Inggris pada jaman Romantik, sedangkan lukisan lainnya dilukis oleh pelukis Cina Chiang Yee pada tahun 1936. Kedua pelukis tersebut sama-sama melukis pemandangan Derwentwater, namun hasil dari lukisan mereka ternyata berbeda satu sama lain.
1
Nelson Goodman
Menurut Goodman, tidak ada perspektif yang pasti untuk merepresentasikan alam secara akurat. Goodman berpendapat bahwa representasi merupakan sesuatu yang bersifat simbolik. “According to Goodman, even the so-called “science of perspective” does not Lead to an accurate representation of nature: there is no “normal” or “reliable perspective” available, which, seen from all angles, could reproduce reality and its three-dimensionality objectively. How someone sees an object in perspective depends on someone’s vision, the light,his position in relation to the object, etc. In short, perspective is variable.” (Thinking Art : hal.25)
2
The Artist’s Studio René Magritte
Menurut Magritte, seorang seniman dapat menciptakan dunia otonom dan membuat aturan mereka sendiri. Maksudnya adalah setiap seniman memiliki “cara pandang” masing-masing dalam memahami suatu realitas. Sehingga dalam suatu karya seni, seorang seniman senantiasa menciptakan karyanya berdasarkan cara pandang dan persepsi mereka masing-masing. “What Magritte suggests here is that artists invariably create realities that are autonomous and follow their own rules.This notion of autonomy, as we shall see, is central to formalism and modernism.” (Thinking Art : hal.24) Sebagai contoh, lukisan karya Margritte, yaitu sebuah lukisan pipa yang disertai kata-kata “Ceci n’est pas une pipe” (Ini bukan pipa). Magritte memberi teks yang berbeda makna dengan objek yang dilukis bukanlah untuk menyalahkan representasi dari benda sebenarnya. Tetapi, Maggritte memandang bahwa lukisannya memang bukanlah sebuah pipa, melainkan hanya berupa gambar pipa yang nyatanya memang tidak dapat dihisap.
3
Alberto Giacometti
Giacometti dianggap “naïf” karena dia selalu berusaha untuk membuat karya seni yang sama persis dengan realitas, padahal dia mengerjakan karya tersebut dengan cara yang berbeda-beda dan berubah-ubah, serta tidak dapat sama Ligature issue #1 | page 2
Teori ekspresi merupakan teori dalam filsafat seni yang menekankan pada sisi ekspresi. Teori ekspresi bertentangan dengan teori imitasi. Leo Tolstoy (1828–1910) Pertama, Tolstoy berpendapat bahwa seni adalah murni dari sebuah emosi. Dalam teori ini Tolstoy membuat perbandingan antara sains dan seni. Sains lebih mengarah pada sesuatu yang rasional, dan argumentasi yang logis, sedangkan seni lebih mengekspresikan suatu pengertian, dengan mentransfer kebenaran dari pengetahuan alam, menjadi sesuatu yang berkaitan emosi dan intuisi. Kedua, Tolstoy mengatakan bahwa fungsi seni adalah “menginfeksi” audience, sehingga antara seniman dan audience memiliki perasaan yang sama. Ketiga adalah menyangkut masalah etika. Dengan “menginfeksi” perasaan audience, seni harus berkontribusi terhadap peningkatan moral masyarakat. (Thingking Art : hal 39-41)
Menurut teori CC, karya seni ada di dalam pikiran seniman dan tidak terletak pada benda-benda fisik. Jika pandangan ini diikuti dengan konsisten, maka akan banyak karya seni justru kehilangan statusnya sebagai karya seni. Di dalam beberapa genre seni, ada persinggungan antara kreativitas, pada satu sisi, dan bentuk serta prosedur sebagai teknik pada sisi lain. Tidak semua karya seni melibatkan emosi dalam batin, sebagai contoh: misalnya arsitek dengan karya arsitektur bangunannya. Apakah suatu bangunan bisa disebut merupakan ekspresi perasaan sedih, gembira atau bahagia? Beberapa seniman terkenal justru sering menolak bahwa ada emosi dalam batinnya ketika menciptakan karya seni. Sanggahan Terhadap CC - Theory Teori CC dapat memberikan lisensi kepada mereka yang berpura-pura memiliki karya seni di dalam pikirannya dan tidak pernah memberikan karya nyata untuk membuktikannya. “By maintaining that the work of art already exists in the mind of the artist, the theory gives license to those who pretend they have a work of art in their mind but never provide any proof for it. In these cases, rather than artists restricting the medium of their thoughts to a purely internal use, we are faced with individuals apparently lacking any medium of thought altogether.” (Thinking Art : hal. 47) Semua seni baik itu seni visual ataupun seni musik, sastra, dan lain-lain, seharusnya direalisasikan. Imajinasi jarang muncul secara detail / jelas, sehingga perlu diantisipasi dengan cara merealisasikannya ke dalam wujud karya yang nyata.
Seni sebagai ekspresi diri : CC – Theory Benedetto Croce (1866–1952) dalam bukunya yang berjudul “Estetica” (dipubilkasikan pada tahun 1902), secara eksplisit mengemukakan teorinya tentang ekspresi dari sudut pandang seniman. Di sisi lain Robin George Collingwood (1889–1943) juga mengembangkan teori ekspresi dalam bukunya yang berjudul “Principles of Art” (dipublikasikan pada tahun 1937). Karena teori mereka memiliki kesamaan, maka teori ini disebut sebagai CC Theory. Filsafat Seni – CC Theory Karya seni berada pada jiwa atau pikiran seniman. Seni merupakan ekspresi dari intuisi (Croce) atau imajinasi (Collingwood), dimana intuisi dan imajinasi berlangsung secara bersamaan. Karya seni yang telah ada di dalam pikiran seniman tidak harus direalisasikan ke dalam bentuk fisik / benda material. Karya seni sejati hanya dapat diakses oleh audience sejauh mereka melakukan re-experiences (Croce) atau penciptaan kembali (Collingwood) ekspresi dari seniman. (Thinking Art : Hal. 42-43) Seni murni adalah seni yang mampu “menginfeksi” audience, sehingga apa yang yang dirasakan seniman juga dirasakan oleh audience.
Seniman
=
Audience
(pesan/maksud seniman dapat diterima secara persis oleh audience)
Dalam teori ekspresi, karya seni dalam bentuk fisik dianggap tidak penting. Namun yang penting adalah pemikiran, ide dan konsep seniman serta bagaimana audience dapat merasakan apa yang dirasakan seniman. Berdasarkan teori ekspresi, suatu seni dikatakan bagus, jika pesan atau ekspresi yang ingin disampaikan seniman sama dengan pesan yang diterima oleh audience.
Hans-Georg Gadamer
Pandangan t (1900–2002) Teori CC termasuk ke dalam hermeneutika, karena teori CC membedah pandangan detail tentang penafsiran suatu karya. Gadamer berpendapat bahwa terdapat 2 pont yang salah tentang hermeutika. Hermeneutika telah salah mengatakan bahwa ada perbedaan yang jelas antara ilmu pengetahuan dan realitas, antara penafsiran dan karya. Berdasarkan point 1, penafsiran dapat berdiri sendiri dengan individualitas penafsir. Jadi selama mengikuti metode yang benar, dapat memungkinkan semua orang untuk mencapai penafsiran yang benar. Gadamer mengatakan bahwa tidak ada pembagian yang tegas antara pengetahuan dan realitas, karena pemahaman/ interpretasi akan diserap kedalam realitas dimana kita akan mengalami dan melihatnya. Menurut Gadamer, penafsiran karya seni tidak terfokus kepada seniman saja, tetapi lebih ke perpaduan dari pengalaman hidup seniman dengan pengalaman hidup audience. Pengalaman hidup, kepribadian individu, waktu dan latar berlakang audience, akan turut mempengaruhi cara penafsirannya terhadap karya seni. Gadamer membuat kita sadar akan fakta bahwa point of view seseorang selalu berubah dan ditentukan secara historis, dimana karya seni tersebut ditafsirkan secara terus menerus dan beragam.
G adam er
“It is a credit to Gadamer that he makes us aware of the fact that the ever-changing and historically determined points of view, from which artworks are continuously and diversely interpreted, can be explained by the nature of the hermeneutic experience itself.” (Thinking Art : hal. 50-51)