4 minute read

Tableaux Vivants Dalam Era Pasca

DIARY OF CATTLE

Country of production Indonesia Language Subtitles 17 min 31 sec, stereo, 16:9, color, 2019

Advertisement

Lokasinya terletak di sebuah pembuangan sampah di Kota Padang, Sumatra Barat. Lokasi ini tidaklah indah dipandang, namun yang terpenting adalah ekosistem lokasi yang ditajamkan oleh kamera, yang menunjukkan jasad organik dan non-organik. Keberadaan jasad tersebut merefleksikan aktivitas manusia kapitalisme tahap akhir yang agresif dan invasif. The location is in a landfill in Padang City, West Sumatra. This location is not beautiful to look at, but the most important thing is the ecosystem of the location sharpened by the camera shows organic and non-organic bodies. The existence of these bodies reflects the aggressive and invasive human activities of late capitalism.

Lidia Afrilita, David Darmadi (Indonesia)

Afrian Purnama

Lidia Afrilita adalah seorang pecinta filem dokumenter, bahasa, dan pendidikan. Dia lulus dari jurusan Linguistik dan merupakan seorang guru bahasa. Saat ini, ia mengelola sebuah pusat belajar di pedesaan di Jambi. Filem-filemnya telah diputar di berbagai festival. David Darmadi (Padang, 1987) adalah pembuat filem yang saat ini tinggal di Sumatera. Dia lulus dari program Televisi dan Film di ISI Padangpanjang. Karya-karyanya telah diputar di berbagai festival. Saat ini, keduanya tengah mengelola Ingatan Visual; sebuah inisiatif yang merekam kehidupan sehari-hari masyarakat di Sumatera Barat. Lidia Afrilita is a documentary, language, and education enthusiast. She has a Linguistics background and is a language teacher as well. She currently runs a learning center in a rural area in Jambi. Her films have been screened in many festivals. David Darmadi (Padang, 1987) is a filmmaker currently based in Sumatera. He graduated from Television and Film program in Indonesia Institute of The Arts of Padangpanjang (ISI Padangpanjang). His works have been screened at numerous festivals.

Currently, both are managing the Ingatan Visual; an initiative documenting the daily life of people in West Sumatera.

KOMPETISI INTERNASIONAL 09

Tableaux Vivants dalam Era Pasca

Dhanurendra Pandji

I

Seorang wanita bertopi frigia dengan dada dan kaki telanjang bergerak maju melewati barikade dan tumpukan mayat sambil satu tangannya mengacungkan bendera triwarna yang menjadi bendera nasional setelah Revolusi Perancis 1830. Senapan lontak bermata sangkur tergenggam di tangannya yang lain. Ia memimpin para pejuang revolusi dari berbagai lapisan sosial yang diwakili oleh ragam penutup kepala; seorang borjuis dengan topi silinder, para pekerja dengan baret, dan para pelajar mengenakan topi bicorne tradisional. Ketika kita mengalihkan tatapan ke sudut kanan gambar, tertancap kokoh bendera triwarna lainnya di atas menara Notre Dame yang menandakan suatu episode kejatuhan monarki Bourbon untuk yang kedua kalinya. Niscaya, bila kita mengetik kata kunci “Revolusi Perancis 1830” atau “Revolusi Juli” dalam mesin pencari internet, dengan mudah kita akan menemui sebuah adegan statis—disebut juga tableux vivants—yang menggambarkan kompleksitas gejolak politik Perancis yang terjadi di tengah ideide pencerahan. Adegan statis ini hadir dalam bentuk sebuah lukisan berjudul

Liberty Leading the People karya Eugene Delacroix.

Ide-ide pencerahan mengawali proyek besar manusia untuk membebaskan diri dari nilai-nilai terberi dengan menciptakan lanskap dunia baru sebagai objek yang dapat diteliti dan dimodifikasi. Sebagaimana personifikasi konsep kebebasan pada sosok perempuan dalam lukisan Liberty Leading the People yang harus berdiri di atas bangkai-bangkai revolusi, janji-janji pembebasan pada gilirannya juga menuntut dominasi yang satu atas yang lainnya.

Lantas, seperti yang dapat kita duga, sensitivitas wacana dominan yang menekankan rasionalitas untuk mencapai kebenaran objektif telah mematikan sensitivitas terhadap kebersituasian kebenaran di sisi lainnya. Kenyataan ini memicu munculnya era “pasca” sebagai gelombang penundaan terhadap wacana yang tengah mendominasi dengan mengalihkan perhatiannya pada narasi-narasi desentral. Imbasnya adalah terbukanya pintu bagi kebenaran yang terikat pada waktu dan lokasi tertentu untuk mengungkapkan diri.

II

Istilah tableaux vivants sendiri bisa diartikan secara sederhana sebagai sebuah gambar adegan statis dalam ukuran besar yang digantung pada permukaan dinding demi memberikan pengalaman konfrontatif kepada penontonnya. Artinya, ia terikat dalam ruang tertentu secara utuh sebagai sebuah objek yang membahasakan dirinya sendiri.

Kita bisa beranggapan bahwa lanskap dunia hari ini adalah lanskap artifisial ketika kita melihat struktur imajiner dalam sebuah masyarakat sebagaimana struktur sosial dalam lukisan-lukisan tableaux vivants. Keduanya sama-sama dibangun dari proyek penelitian dan pemodifikasian yang dilakukan oleh subjek atau manusia itu sendiri terhadap objek—entah kanvas atau alam—sehingga menciptakan sebuah lanskap dunia yang terbingkai. Laku pemisahan subjek dan objek ini juga yang memungkinkan kita untuk melakukan penelitian bagaimana lukisan Liberty Leading the People dalam membentangkan struktur masyarakat Perancis pada sebuah periode revolusinya.

Di era “pasca” yang seringkali kita sebut sebagai era kontemporer, sebuah gambar tampaknya hadir secara lebih demokratis ketika gambar yang diproduksi atau direproduksi oleh medium perekam dapat memberikan pandangan yang lebih personal. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari karakteristik medium perekam itu sendiri yang dapat berperan sebagai substitusi mata yang tidak hadir di ruang tertentu. Sinema memungkinkan bentangan kompleksitas lukisan Liberty Leading the People dihadirkan dalam narasi-narasi partikular, misalnya saja sisa-sisa pertempuran dalam patahan kayu yang berserakan atau bendera triwarna di atas menara Notre Dame yang hanya bisa dilihat melalui pembesaran.