1 minute read

Democracy, Resistance And Algorithms”

Panel 1 - “Bahasa-Bahasa Yang Mungkin”

Moderator Anggraeni Dwi Widhiasih

Advertisement

Pembicara Pujita Guha (India, kurator dan akademisi) Afrian Purnama (Indonesia, penulis dan kurator)

Setidaknya dalam waktu nyaris satu dekade terakhir, perkembangan teknologi menonton telah mengarah pada kultur menonton yang lebih individual melalui platform video on demand. Situasi demikian berkembang semakin intens saat pandemi Covid19 terjadi dan memaksa munculnya kebijakan distancing yang berimplikasi pada ditutupnya ruang-ruang menonton konvensional yang umumnya mensyaratkan kehadiran fisik secara berkelompok di ruang menonton. Di sisi lain, platform media sosial yang menghadirkan berbagai fitur untuk memproduksi dan menonton video pun telah mendorong munculnya langgam bahasa yang lain dalam wacana gambar bergerak.

Jika menilik kaitan antara krisis dan perubahan dalam peradaban manusia, kita dapat mencatatkan bagaimana krisis selalu memiliki peran yang signifikan dalam memantik munculnya hal-hal baru. Bersamaan dengan munculnya sense of urgency, lahir pula space for emergence. Kedaruratan pun tak ayal kerap dihubungkan dengan sebuah kemunculan. Bahkan secara etimologi dalam Bahasa Inggris, keduanya berdekatan; emergency dan emergence. Krisis dengan demikian berhubungan erat dengan munculnya sebuah celah bagi perubahan.

Dalam kaitannya dengan sinema, krisis dan keterbatasan sejak lama menjadi daya ungkit yang mampu mengungkil kemunculan temuan dan kebaharuan dalam produksi gambar bergerak. Sebagai sebuah teknologi, kamera adalah jelmaan atas kelahiran inovasi yang secara signifikan mengubah cara tatap manusia terhadap dunia. Ia pun berkembang sebagai sebuah aparatus yang terus mengalami evolusi sehingga bahasa yang muncul dari dan/atau akibat teknologi ini pun terus mengalami evolusi.

Dapat dikatakan bahwa baik secara teknologis maupun bahasa medium itu sendiri, krisis dan keterbatasan kerap kali memungkinkan sinema beroleh daya dorong untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan berbahasa. Kontinjensi dan ketidakpastian yang muncul pada sebuah krisis dapat kita umpamakan sebagaimana interval dan ruang gelap sinema yang memungkinkan munculnya spekulasi dan imajinasi bagi kemungkinan berbahasa.

Pada panel ini, Pujita Guha akan membicarakan tentang sinema sebagai medium yang merekam gejala sosial dan ekologi kawasan yang mampu menawarkan tak hanya cara tatap dari kawasan yang pinggiran, tetapi juga gestur-gestur nonmanusia pada ekosistem kita. Kemudian, Afrian Purnama akan memaparkan tentang eksperimentasi sinema dengan mengaitkannya pada praktik sinema di Indonesia, serta kaitannya dengan perkembangan media rekam dalam konteks masyarakat Indonesia kini.