2 minute read

The Possible Languages Of Cinema”

Pengantar Keynote Speech Forum Festival 2021: “Twilight Zone”

Keadaan gelap gulita seringkali disisipkan untuk menjadi transisi antaradegan baik pada sinema maupun pada teater. Dalam ranah keduanya, baik berupa blackout pada teater maupun berupa layar hitam pada sinema, ini dipakai dengan tujuan untuk mengarahkan emosi penonton, atau mempersiapkan kepala penonton untuk adegan setelahnya. Keadaan gelap tidak serta-merta mengeluarkan penonton dari ruang naratif dunia sinema di layar, tapi justru membawa penonton masuk ke ruang yang tidak nampak isinya. Lantas, apakah kemudian ketidaktampakan berarti bahwa sesuatu itu tidak ada? Padahal, dalam teater misalnya, dalam gelap terjadi pemindahan properti dan pergantian kostum oleh aktor. Ketidaktampakan bukan berarti sesuatu tersebut tidak hadir, melainkan ia adalah kehadiran akan sesuatu yang tidak mencapai retina mata kita. Akan tetapi, kehadiran akan sesuatu itu kemudian hanya diakui pada premis tertentu: pada kenyataan yang ada di panggung, atau pada kenyataan yang “seharusnya” berada di luar panggung. Lantas, tanpa membedakan premis mana yang mengakui kehadiran akan sesuatu itu, pertanyaannya sekarang: Ada apa di sana? Apa yang terjadi di kegelapan?

Advertisement

Dalam pengantar tema festival pada ARKIPEL 2020 “Twilight Zone” dikatakan bahwa zona temaram, suatu zona transisi terang dan gelap, adalah “zona pembesaran yang memungkinkan indera kita membingkai dengan kepekaan”. Sehingga kemungkinan itu menghasilkan adanya citra-citra yang “...mengaburkan sekaligus memperjelas lihatan yang telah ditentukan sebelumnya. Membuat kita perlu membongkar lagi, dengan berbekal pertanyaan, yang manakah yang sesungguhnya; yang ada di layar di hadapan mata atau yang ada di hadapan lensa? Maka, dalam zona temaram, hubungan antara mata, lensa, dan layar senantiasa adalah hubungan yang memuslihatkan.”

Setelah selama setahun membicarakan zona yang temaram, akan tepat bagi Forum Festival ARKIPEL 2021 untuk membicarakan apa yang terjadi pada zona tersebut. Mungkin, pada zona tersebut terjadi masa inkubasi. “Inkubasi” adalah kata-kata yang sering sekali didengar di masa pandemi ini, yang artinya adalah selang waktu yang menjadi penentu apakah sesuatu akan berlipat ganda dan menyerang, ataukah ia akan mati. Pada masa inkubasi, terjadi kemungkinankemungkinan pada substrat yang berada dalam ruang gelap, yang tidak akan terjadi pada ruang yang disinari cahaya matahari. Untuk itu, Forum Festival tahun ini akan membicarakan soal apa yang muncul (emerge) dari sebuah krisis atau keadaan darurat (emergency). Ia bisa berupa estetika bahasa sinema. Estetika itu sendiri juga berkaitan erat dengan cara menonton hari ini, dan oleh karena itu juga berkaitan dengan teknologinya. Walaupun teknologi internet telah marak digunakan sejak awal 2000-an, pandemi membuat teknologi berkembang semakin pesat dan penggunaannya semakin marak dan masif digunakan sehingga turut memberikan kontribusi besar kepada perubahan cara menonton sekarang, dan juga perubahan cara manusia menjalani hidupnya.

Perkembangan teknologi dan perubahan moda persepsi tersebut dapat mengemansipasi saat itu dipakai sebagai alat untuk mencurigai realitas sehingga berpotensi memunculkan daya kritis. Kritisisme dalam bentuk bagaimana manusia bersikap terhadap teknologi melahirkan aksi-aksi resistansi, seperti memakai konsep jejaring yang menuntut demistifikasi kuasa dalam penggunaan internet yang eksploitatif.

Perubahan moda persepsi ini juga merupakan tantangan tersendiri. Biasanya, gerakan sosial banyak menuntut gerakan fisik. Akan tetapi dengan adanya krisis ini, konsep gerakan sosial juga harus ditinjau kembali. Dengan ruang gerak yang terbatas, gerakan sosial yang ada di digital—sesuatu yang tadinya hanya dianggap sebagai pelengkap—sekarang menjadi peristiwa utama. Banyaknya gerakan di Indonesia dari dapur umum hingga pertukaran informasi di media sosial mengingatkan bahwa manusia dapat hidup dengan sistem yang ia buat sendiri tanpa harus bersitegang dengan sistem dominan, dan juga tanpa harus menganggap bahwa sistem “kecil” tersebut adalah sesuatu yang “lain” karena nyatanya sistem kecil yang ternyata lebih kontekstual tersebut lah yang membuat kita resistan untuk tetap hidup.