4 minute read

Refleksi Arkipel / Reflection on Arkipel Gambar-Gambar Terakhir Sebelum Semburat Apokalips Di Cakrawala

REFLEKSI ARKIPEL

Advertisement

Gambar-gambar Terakhir Sebelum Semburat Apokalips di Cakrawala

Otty Widasari

Zona Temaram

Saya jadi berpikir tentang apa yang telah dilakukan para sutradara sebelum mengirimkan film mereka ke meja seleksi ARKIPEL 2020. Pada kenyataannya, mereka sedang merekam gambar-gambar terakhir yang ada, sebelum semua orang di dunia harus masuk ke rumah masing-masing, dan menutup pintu rapatrapat. Kelak kita semua akan keluar dari rumah-rumah dengan kenyataan sosial yang sungguh berbeda.

Tahun ini tim seleksi ARKIPEL memulai panggilan terbuka pada tanggal 5 Februari 2020. Para sutradara punya waktu untuk mengirimkan film-film mereka hingga tanggal 31 Maret 2020. Artinya, pada saat itu sebagian negara-negara di seluruh dunia sudah memberlakukan peraturan kuncitara pada warganya. Namun tak satupun dari film-film tersebut melempar isu tentang virus corona yang sedang mewabah di dunia saat ini. Juga tak satupun yang mengetengahkan moda produksi yang menggambarkan situasi karantina. Bisa diprediksi bahwa

para sutradara mengirimkan film-film yang dibuat sebelum situasi pandemi.

Maka, ketigapuluh film yang telah terseleksi adalah gambaran tentang apa yang menjadi pemikiran manusia sebelum peradaban kembali temaram.

Hari ini kita menyaksikan kompleksitas globalisasi peradaban telah melampaui kemampuan daya dukung manusia. Globalisasi ternyata bisa menyebabkan meratanya sebuah pandemi. Ini adalah situasi yang mengguncang banyak ideologi, sistem, dan konsep-konsep yang selama ini telah mapan. Wacana dunia global yang timpang jadi teradilkan. Ada cerita tentang, bukan hanya warga negara-negara berkembang saja yang harus selalu dicurigai dan di-subdominankan jika masuk ke wilayah negara-negara maju. Para warga dari negara-negara yang selalu merasa lebih superior pun mengalami situasi dirundung, dicurigai dan terusikkan, di manapun.

Secara historis, sinema selalu melakukan eksperimentasi bahasa dan mediumnya, untuk melepaskan diri dari dominasi wacana yang terpusat. Yang paling mendasar dari eksperimentasi tersebut adalah dengan terus menerus melakukan reproduksi kenyataan hingga dia makin menjauh dari keasliannya. Dengan cara itu sinema bisa menjadi wacana kritis untuk mengganggu kemapanan sebuah pilihan. Sinema, yang juga digunakan sebagai alat untuk membangun ilusi besar sebuah kekuasaan, mengalami kesurutan saat perkembangan teknologi media tidak terbendung mengiringi peradaban. Teknologi-teknologi perekam yang semakin baru tersebut terus diciptakan untuk mempermudah kehidupan sekaligus menjadi aparatus kekuasaan. Sirkulasi dari cara kerja teknologi perekam itu menghasilkan informasi-informasi yang menjadi konstruksi budaya, dan akhirnya meleburkan ideologi utama di dunia. Ugeng T. Moetidjo (2016), menuliskan di katalog ARKIPEL social/kapital tahun 2016 bahwa, “Motif, bentuk, dan dampak dari perilaku bermedia kita tidak secara nyata menempatkan kita pada posisi orisinal kita sebagaimana acap kita akui, melainkan melalui sebuah perantara besar yang menetapkan masing-masing porsi kebermediaan tiap pelaku.”

Kita sudah tidak bisa lepas dari gelombang sosial dan kapital yang telah melebur dalam kehidupan masyarakat dunia secara global. Perilaku kita sekarang ini sudah berada dalam kendali yang mendorong kita menjadi seragam. Hal ini adalah sebuah bentuk nyata keterpenjaraan kita di dalam sebuah suaka hukuman ruang simulasi yang menyerupai balon udara raksasa. Kita hidup di dalamnya sebagai pengembara, dan berpikir bahwa ini adalah alamiahnya diri kita. Kita berada di ambang kesadaran akan situasi seragam dalam koridor horizontal yang diisi oleh hubungan timbal balik antara kenyataan dan reproduksinya sebagai pengalaman-replikasi-informasi-konstruksi-keniscayaan. Tetap saja sinema terus

mencoba mengkritisi kehidupan yang sudah menjadi serba tidak alamiah lagi tersebut, sebagai agen budaya peradaban dunia.

Di dalam keterpenjaraan ini, justru karena terpenjara, sinema malah berpeluang menjadi agen yang lain untuk memprovokasi kehidupan dengan cara melenceng keluar dari koridor. Kesempatan untuk terlibat dalam demokratisasi teknologi memunculkan sifat dasar manusia sebagai mahkluk homoludens. Dengan bermainlah akhirnya aksi reproduksi kenyataan melompat jauh ke arah yang membalikkan konsep-konsep avant-gardisme. Entah bagaimana awalnya, situasi ruang dan waktu kita tiba-tiba telah terpetakan dengan sangat cepat, dan juga selalu termediasi. Keseharian menjadi sebuah hal yang penting. Dengan susah payah para sutradara konvensional menyusun gambar-gambar bukan kesehariannya demi tersampaikan pesan yang diinginkan, itu pun kadang hanya sedikit saja yang menonton dan mengapresiasi. Sementara kini kita bisa melihat seseorang bisa mendapat ribuan tanggapan di akun media sosialnya, hanya dengan memonyong-monyongkan bibir dalam beberapa ekspresi selama 60 detik. Situasi apakah ini?; Situasi yang mendorong para bromocorah keluar, menampakkan diri, dan menyatakan pendapatnya.

Sejak menjadi makhluk pemburu dan pengumpul, bersuku-suku, kemudian memiliki kekuasaan yang terpusat, lalu mengontrol alam dan bahkan juga sesamanya, peradaban dibangun oleh manusia sambil meninggalkan artefak berupa gambar-gambar. Artefak-artefak yang dibuat berdasarkan naluri mencari makan manusia selamanya. Sebagaimana naluri itu berkembang menjadi bentuk yang paling kompleksnya pun gambar-gambar tetap terus tercipta. Gambargambar yang terlahir dari hasrat manusia pada kecintaan akan kenangan.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, hasrat membuat gambar-gambar selalu terhenti oleh berbagai hal yang menghancurkan peradaban. Salah satunya adalah wabah. Dalam beberapa literatur Kristen yang telah disimpulkan, dikenallah istilah “empat penunggang kuda” yang menandai kedatangan bencana oleh para antikristus, sebagai analogi hukuman Tuhan terhadap umat manusia yang tak setia pada-Nya. Keempat penunggang kuda itu diibaratkan sebagai empat bencana yang menjadi faktor eksternal runtuhnya sebuah peradaban: perang, kelaparan, wabah, dan kematian.

Hari ini semua orang harus berdiam selama berbulan-bulan karena pandemi. Nampaknya situasi pandemi menyeluruh diibaratkan sebagai penunggang kuda ketiga sedang datang berkunjung. Yang mengerikan dari peristiwa wabah kali ini adalah, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, wabah menyebar rata di seluruh dunia. Peradaban pun kembali temaram.

Ya, peradaban kembali temaram. Padahal, usaha mengimitasi kenyataan sudah sampai di titik pergeseran yang paling jauh, di mana akhirnya kerja teknologis