Buletin slilit arena februari 2015

Page 1

SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

EDISI FEBRUARI 2015

www.lpmarena.com


DAFTAR ISI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Kesiapan UIN dalam menerima mahasiswa asing tidak dibarengi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung perkuliahan, akibatnya banyak mahasiswa yang Drop Out (DO) atau kembali ke negara mereka masing-masing.

9/ UKT Berimbas ke Praktikum Sistem UKT yang telah diterapkan oleh UIN Sunan Kalijaga sejak tahun ajaran yang lalu, memunculkan efek ke beberapa hal, salah satunya adalah berkurangnya dana untuk praktikum mahasiswa.

OPINI 19/ Untuk Yang Terkasih: UIN Yogyakarta 21/ Mencari Kurikulum PUSTAKA 12/ Lokalitas dalam Kalompang SASTRA 14/ Wali sebagai Tema 18/ Antologi Puisi CATATAN KAKI 4/ Mitos Agen Perubahan

Mz_Ruoh

DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PELINDUNG Rektor UIN Sunan Kalijaga PEMBINA Abdur Rozaki, S.Ag, M.Si PEMIMPIN UMUM Ahmad Jamaludin WK. PEMIMPIN UMUM Dedik Dwi Prihatmoko SEKRETARIS UMUM Anisatul Umah

S” MITO

NT AGE of NGE A H C ???

ILUSTRATOR SAMPUL DOEL

UNIVERSITARIA 7/ Mahasiswa Asing Minim Fasilitas

EDITORIAL 6/ Tolak Komersialisasi Pendidikan

SLiLiT ARENA menundang semua kalangan masyarakat akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi guna berdiskusi lebih lanjut WARTAWAN SLiLiT ARENA DIBEKALI TANDA PENGENAL DALAM SETIAP PELIPUTAN DAN TIDAK MENERIPA AMPLOP DALAM BENTUK APAPUN

BENDAHARA Chusnul Chotimah DEWAN REDAKSI Januardi S Husin, Roby Kurniawan PEMIMPIN REDAKSI Lugas Subarkah REDAKTUR ONLINE Ulfatul Fikriyah REDAKTUR SLiLiT Subarkah REDAKTUR BAHASA S Ghidafian Hafidz STAF REDAKSI Fendi, Iim, Tika, Mas’odi, Fai, Lilik, Novi, Ekmil, Mutiara, Maya, Amri, Fauzi, Shoim, Cakson, Oli, Isma, Faisal, Ria, Chusna, Najib, Hasbul, Anis, Irsal, Surasuk, Riza, Elmi, Mugiarjo ARTISTIK Pundi, Masruroh, Chika Dwichandri Fitri, Najib FOTOGRAFER Abdul Majid, Yazid, Harya Rifki Pratama DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI Khusni Hajar KOORDINATOR PUSDA Andy Robandi KOORDINATOR JARKOM Faksi Fahlevi KOORDINATOR PSDM Arifki Budia Warman Kantor Redaksi/Tata Usaha Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281 Telp.: +62857 259 151 49 a/n Khusni E-mail: lpm_arena@yahoo.com Website: www.lpmarena.com


SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

SURAT PEMBACA

Word Class University? Benarkah? World class university? Mungkin agak asing ditelingaku, tapi kata-kata itu sudah sering digembar-gemborkan ketika ada diskusi ilmiah, seminar dan sebagainya. Aku awalnya merasa bangga karena kampusku ini mau jadi kampus yang selevel kampus internasional. Aku merasa senang karena kampusku ini mau jadi kampus yang dikenal di mata dunia. Tapi apa iya? World class university bukan sebuah gelar yang main-main. Dalam predikat itu sebuah kampus seharusnya bisa mencerminkan level internasional. Selain bentuk keilmuan yang bisa disandingkan dengan kampus-kampus world class university lainnya, seharusnya juga sarana-prasarana harus selevel dengan mereka. Namun bagaimana dengan kondisi di kampus kita sekarang ini? Aku gak pernah ngebayangin ada mahasiswa bule kuliah di kampus kita terus megap-megap kepanasan karena Air Conditioner (AC) kelasnya aja gak ada. Boro-boro AC, kipas angin aja pada kotor dan rusak. Terus mereka nyumpah-nyumpahin. Kampus internasional macam apa ini, masang ac di kelas aja gak becus! Untuk itu pesan buat pihak rektorat yang sangat getol ingin dapet gelar world class university, sebaiknya sebelum muluk-muluk gelar itu dibayangin, mulai sekarang sarana-prasarana di kelas di perbaiki dulu deh. Kalo emang gak kuat pasang AC, ya‌, kipas-kipas dibenerin dulu. LCD proyektor yang notabene sangat penting buat media pembelajaran banyak tuh yang udah blur gambarnya, diganti lah! Gak nyaman kuliah pake LCD proyektor yang udah ng-blur. Duit yang ada, ayolah‌, digunain semaslahat mungkin. Dulu, aku pernah belajar demokrasi itu kayak gini: dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk mahasiswa. Bukan dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk rektorat. Kalau kayak gitu, kan gawat tuh jadinya! Ahmad Syafii, mahasiswa semester III Jurusan PAI FITK UIN Sunan Kalijaga Surat untuk redaksi hendaknya dilengkapi biodata lengkap, fotokopi KTP/KTM yang masih berlaku, beserta nomor ponsel yang dapat dihubungi. Redaksi tidak mengembalikan surat-surat yang diterima. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Judul file: Surat Pembaca_SLiLiT ARENA

SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

3


CATATAN KAKI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Mitos Agen Perubahan Agen perubahan, sebuah frase yang sering dikonotasikan sebagai seseorang atau kelompok/kelas/golongan masyarakat tertentu yang menjadi pelopor dan penggerak perubahan sosial. Frase tersebut menjadi label yang penuh kebanggaan, tanggung jawab, harapan besar dan kadang-kadang dianggap sekedar mitos. Ia menjadi atribut yang sering dilekatkan secara ideologis kepada para mahasiswa, terutama di kampus yang tradisi gerakan mahasiswanya cukup kuat. Misalnya di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, begitu pelaksanaan OPAK, para mahasiswa baru UIN sudah dicekoki dengan stimulus ideologis tentang identitas mahasiswa. Mahasiswa adalah “kaum intelektual”, ia “tidak menghamba pada kekuasaan” (termasuk terhadap struktur dan birokrasi kampus), ia adalah “penyambung kepedihan rakyat”, ia “anti kemapanan”, karenanya ia adalah seorang agen perubahan (Change Agent). Kurang lebih slogan-slogan tersebut lah yang sering diinternalisasikan terhadap mahasiswa baru yang kemudian dilanjutkan pada forum-forum diskusi mahasiswa di warung kopi, perkuliahan (kadang-kadang), hingga kaderisasi organisasi mahasiswa. Secara mudahnya, slogan-slogan diatas memprovokasi mahasiswa untuk beroposisi biner terhadap kemapanan. Dengan beroposisi, diharapkan mahasiswa mengkritisi setiap kemapanan supaya terjadi transformasi sosial. Dengan demikian, mahasiswa dituntutut untuk bisa berpikir kritis terhadap fenomena sosial yang ada. Lalu bukankah slogan-slogan tersebut juga bisa menjadi kemapanan ideologis? Bisa jadi, apalagi kalau tidak ada kritik terhadap sloganslogan tersebut. Memangnya dari mana wacanawacana di atas lahir, dan bagaimana ia hadir? Kebanyakan mereka (si pendukung wacana) akan menyodorkan rentetan sejarah mahasiswa yang menggulingkan rezim kekuasaan sebagai argumen. Sebut saja mahasiswa Indonesia angkatan '66 yang berhasil menggulingkan Soekarno dan angkatan '98 yang berhasil menumbangkan diktator Soeharto.

Mz_Ruoh

T N E AG of GE N A CH ???

SLiLiT

4

ARENA Jelas & Mengganjal

S”

O “MIT


CATATAN KAKI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Catatan manis sejarah mahasiswa tersebut bisa dikatakan sebagai romantika gerakan mahasiswa yang akan terus dikenang. Bahakan dibeberapa kasus sampai dimitoskan oleh mahasiswa yang kurang berani mengkritisi dua angkatan penumbang pemerintah tersebut. Lalu bagaimana dengan mahasiswa terkini? Masihkah mahasiswa terkini mengusung idealisme yang sama dengan mahasiswa angkatan '66 dan '98? Realitas terkini berbeda dengan mahasiswa angkatan penumbang rezim tersebut. Mahasiswa kini mewakili siapa? Sederhananya, sekarang mahasiswa kini kuliah untuk apa? Saya kira biasanya jawaban-jawaban di atas akan muncul tergantung latar belakang sosial si mahasiswa. Mahasiswa yang latar belakangnya berekonomi mapan, fasilitas hidupnya memanjakan, kampusnya aliran pragmatis, ya wajar saja kalo semangatnya sebagai mahasiswa adalah belajar yang rajin, biar cepat dapat pekerjaan misalnya. Biasanya mahasiswa yang anti kemapanan berasal dari masyarakat yang hidupnya sulit. Logika sederhananya secara politis, biasanya pihak yang menikmati struktur social akan bersifat pragmatis dan ingin mempertahankan kenyamanannya. Sedangkan pihak yang berada pada posisi pahit, akan bersikap kritis dan ingin melakukan perubahan sosial. Jadi, frase “agen perubahan� kemudian apakah merupakan identitas, atribut, atau mitos yang dipaksakan pada mahasiswa? Apapun jawabanya tergantung perspektif dan ideologi yang memaknainya. Namun sepanjang yang saya ketahui, secara faktual tidak semua mahasiswa adalah agen perubahan, bahkan beberapa diantara mereka sama sekali tidak terpikirkan ke arah situ. Seorang agen perubahan sosial juga tidak semuanya mahasiswa, sebut saja para Nabi misalnya. Saya lebih sepakat agen perubahan dilekatkan pada seorang Intelektual Organik dalam istilahnya Gramsci atau Rausyan Fikr dalam istilahnya Ali Syariati. Sederhananya, Si Rausyan Fikr ini adalah orang yang cerdas dan mencerdaskan masyarakat. Ia memahami realitas (apa yang terlihat) dan idealitas (apa yang seharusnya). Sehingga ia menjadi agen perubahan dari keadaan objektif masyarakat menuju keadaan ideal suatu masyarakat. Meskipun banyak kalangan menilai masyarakat ideal itu utopis, setidaknya tetap diarahkan

ke sana. Supaya terjadi transformasi sosial Nah, intelektual organik ini ciri-cirinya dia orang terdidik tapi dekat dengan masyarakat. Ia tidak justru mengambil jarak dengan masyarakat alias elitis. Orang-orang semacam ini tidak harus mahasiswa, karena ilmu dan kepekaan social tidak melulu di dapat dari kuliah di kampus, malah kebanyakan didapat dari pergolakan social sehari-hari. Orang-orang ini bisa saja kyai, lurah, guru, budayawan, sastrawan, dan elemen-elemen masyarakat lainya. Nah, sebenarnya mahasiswa lebih berkesempatan untuk menjadi intelektual organik. Bahkan idealnya memang diarahkan ke sana. Karena mahasiswa memiliki akses pendidikan yang tidak dimiliki elemen masyarakat lain. Selain itu, tanggung jawab moral mahasiswa sebagai kaum terdidik adalah mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Nah, tinggal kita refleksikan bersama saja, apakah selama ini orientasi kita sebagai mahasiswa sudah mengarah sebagai intelektual organik atau belum. Terlebih sekarang banyak jebakan-jebakan yang menjadikan mahasiswa bermental praktis dan tidak mau susah. Misalnya saja gaya hidup masyarakat terkini yang digempur kemudahan teknologi, konsumerisme, narsisme, alayisme, dan lain-lain. Bahkan, kampus sebagai tempat mencari dan sumber ilmu para mahasiswa juga sering jadi jebakan. Misalnya, kebijakan percepatan masa kuliah, pembatasan kegiatan organisasi, sampai orientasi institusi kampus yang berpihak pada pasar. Kampus yang demikian biasanya adalah kampu-kampus pragmatis yang mencetak para robot industry. Cirinya biasanya kampus tersebut mengiming-imingi mahasiswa dengan janji seperti cepat kerja, double degree, dan orientasi pragmatis sesaat lainya. Dengan demikian, kiranya perlu mahasiswa kini mendefinisikan ulang siapa dirinya. Kita bisa berkaca dari perjalanan sejarah mahasiswa dan dinamika sosial masyarakat kontemporer. Kalaupun tidak bisa menjadi Agent of Change, setidaknya ikut bantuin perjuangan para Agent of Change. Karena dengan membantu mereka, insyaallah kita pun secara ma'nawi juga menjadi bagian dari Agent of Change. Wallahu a'lam bisshawwab. @arifcepot

SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

5


EDITORIAL

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah berjalan di UIN Sunan Kalijaga. Sistem ini pada awalnya dikecam oleh kalangan mahasiswa aktivis karena dinilai memiliki banyak mudharat, diantaranya: secara tidak langsung memaksa mahasiswa lulus dalam 8 semester, SPP jadi lebih mahal, dana untuk keahasiswaan berkurang, dsb. Namun pada akhirnya mahasiswa pun menerimanya dengan rasionalisasi UKT lebih memberi kesempatan bagi golongan kurang mampu untuk kuliah, karena dalam UKT ada sistem penggolongan, dimana biaya kuliah mahasiswa ditentukan berdasarkan penghasilan orang tua. Dalam tahun pertama penerapan UKT, mulai ditemui permasalahan. Salah satunya yaitu menurunnya alokasi dana bagi praktikum di Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek). Hal ini disebabkan karena rata-rata mahasiswa masuk UKT golongan dua. Menurunnya anggaran ini berdampak langsung pada operasional praktikum. Dan tentu saja yang dirugikan adalah mahasiswa. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang seharusnya bisa mem-back up kekurangan dari UKT ternyata di lapangan belum berperan banyak. Fakultas pun dibuat pusing dengan keuangan yang terbatas. Prinsip UKT adalah subsidi silang, dimana mahasiswa menengah ke atas membantu mahasiswa menengah ke bawah. Dari situ, diharapkan terjadi keseimbangan. Namun sayangnya mahasiswa UIN Sunan Kalaijaga—paling tidak dalam input data—rata-rata termasuk dalam golongan menengah ke bawah. Sehingga keseimbangan yang diharapkan pun tak pernah terjadi. Dari fakta diatas, jelaslah bahwa pendidikan hari ini masih menggunakan logika jual beli. Kualitas yang kita dapat tergantung dari berapa harga yang kita bayarkan. Meskipun belum benar-benar berbasis pasar, tapi indikasi untuk ke arah sana mulai bermunculan, contohnya adalah kasus praktikum di atas. Karena mahasiswa bayar murah, maka pengadaan fasilitas praktikum tidak maksimal. Hal semacam ini hanya bisa dimaklumi dalam logika jual beli. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 menyatakan bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini seharusnya menjadi dasar terpenting bagi pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Orientasi dari pendidikan di sini adalah kehidupan bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas diharapkan dapat memberi sumbangan bagi negeri untuk masa depan yang lebih baik. Sudah saatnya kita merefleksikan sistem pendidikan hari ini. Jika memang sudah melenceng jauh dari esensinya, maka jangan ragu untuk bergerak dan melawan!

Mz_Ruoh

Tolak Komersialisasi Pendidikan

www.lpmarena.com

tentang kampus, UKT, rektor baru 2015,

Redaksi

Redaksi SLiLiT ARENA menerima kritik dan saran terhadap editorial. Silahkan kirim ke alamat redaksi LPM ARENA atau lewat e-mail lpm_arena@yahoo.com. Bentuk tulisan utuh 400-700 kata. Sertakan biodata lengkap. Judul file: Saran/Kritik Editorial_SLiLiT ARENA SLiLiT

6

ARENA Jelas & Mengganjal

pemilwa 2015, BLU, PTIPD, akademika, rencana kampus II UIN Sunan Klaijaga


UNIVERSITARIA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Mahasiswa Asing Minim Fasilitas Kesiapan UIN dalam menerima mahasiswa asing tidak dibarengi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung perkuliahan, akibatnya banyak mahasiswa yang Drop Out (DO) atau kembali ke negara mereka masing-masing. Oleh Khusni Hajar

U

Mz_Ruoh

IN Sunan kalijaga merupakan salah satu kampus yang mampu menyedot mahasiswa asing untuk kuliah di dalamnya. “Mahasiswa asing di UIN ada semenjak IAIN, saya tidak tahu kapan jelasnya,” tutur Maksudin selaku Wakil Rektor III. Terhitung sejak tahun 2002, tercatat ada 175 mahasiswa asing asal Thailand dan Afghanistan yang kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Namun, sebagai kampus yang menggemborkan world class university, fasilitas yang disediakan oleh UIN kepada mahasiswa asing masih minim. Salah satunya adalah tidak adanya ruangan khusus untuk mahasiswa asing sebagai tempat untuk berkumpul. Abdullah, mahasiswa jurusan Psikologi angkatan 2011 asal Thailand mengungkapkan rasa kekecewaan karena tidak ada tempat khusus yang disediakan bagi mahasiswa asing. “Kami telah mengajukan 2 kali proposal meminta ruangan untuk mahasiswa asing, namun jawabanya selalu tidak ada tempat, sampai sekarang juga tidak disediakan.” Menurut Abdullah, adanya ruang untuk mahasiswa asing akan dapat memberikan manfaat yang cukup banyak. “Jika ada ruangan, kita di sana dapat berkumpul sesama mahasiswa asing lainnya, dapat bertukar pikiran, dapat mengembangkan kreativitas, bukan hanya itu saja, jika ada mahasiswa asing yang datang ke UIN mereka langsung dapat menemukan tempat untuk bertanya, untuk transit, kalau selama ini ada mahasiswa asing datang ke UIN mereka bingung sendiri mau tanya kepada siapa,” tambah Abdullah. Selain itu, fasilitas yang disediakan UIN dalam memberikan SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

7


CATATAN UNIVERSITARIA KAKI

“Banyak itu teman-teman saya sekitar tujuh sampai delapan orang yang kembali ke Thailand karena tidak bisa bahasa Indonesia sehingga dia tidak bisa ikut kuliah dengan baik.”

SLiLiT

8

ARENA Jelas & Mengganjal

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

pendampingan bahasa bagi mahasiswa asing juga tidak maksimal. Abdullah mengungkapkan banyak temannya yang lebih memilih pulang ke Thailand karena tidak dapat mengikuti perkuliahan di UIN dikarenakan kendala bahasa. “Banyak itu temanteman saya sekitar tujuh sampai delapan orang yang kembali ke Thailand karena tidak bisa bahasa Indonesia sehingga dia tidak bisa ikut kuliah dengan baik.” Setelah dikonfirmasi, Maksudin menjelaskan bahwa memang tidak ada fasilitas khusus yang diberikan kepada mahasiwa asing, ia mengungkapkan bahwa mahasiswa asing tidak berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. “Meraka kuliah, mereka mahasiswa, kami hanya ada pendampingan di awal-awal saja, terkait pendampingan pencarian tempat kos, awal-awal masuk ada pendampingan dari akademik dan dari kemahasiswaan, awal-awal ya, setelah itu dilepas.” Terkait dengan ruangan bagi mahasiswa asing Maksudin menanggapi bahwa pihaknya masih mengupayakan. “Lagi-lagi kita ini dari sisi ruang sangat terbatas, UKM itu kan yo suk-suk'an to, ya ketika mereka merasa butuh tempat dan kita ada tempat ya kita upayakan,” tanggapnya santai. Menanggapi mahasiswa asing yang banyak di-Drop Out (DO), sejak tahun 2013 UIN memberikan fasilitas berupa adanya program matrikulasi bahasa Indonesia yang telah disediakan oleh lembaga BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga bagi mahasiwa asing. “Karena terkendala bahasa banyak mahasiswa asing yang di-DO atau sebagian kembali ke negaranya karena tidak dapat mengikuti perkuliahan, lha dosen memberikan materi mereka

tidak paham, maka program ini diharapkan dapat membantu mahasiswa asing untuk lebih lancar dalam berbahasa Indonesia,” ungkap Rohinah, staff pengajar di lembaga BIPA. Program matrikulasi tersebut wajib diikuti oleh mahasiswa asing yang ingin menjalani perkuliahan di UIN. Program matrikulasi ini berlangsung selama satu tahun. Dalam program ini mahasiswa asing membayar Rp. 2.500.000,00 dengan total 100 kali pertemuan. Aninditya SN, salah satu pengajar di BIPA menyatakan bahwa pihaknya berusaha untuk membantu mahasiwa asing yang ingin belajar. “Tugas kami adalah membantu mahasiswa untuk bisa bahasa Indonesia, kami mengajarkan dari nol hingga sampai mereka paham betul. Bukan hanya sebatas bisa berkomunikasi, tetapi sampai tingkat pemahaman, di mana mereka kalau masuk kelas dosen menyampaikan materi mereka paham seperti itu, sehingga mereka bisa mengikuti perkuliahan dengan baik, tidak terlalu ketinggalan.” Miss. Arfas Salae, mahasiswi jurusan Sastra Inggris 2013 asal Pattani, Thailand, “saya sangat terbantu dengan program bahasa Indonesia ini, karena sekarang saya lebih bisa berbahasa Indonesia, saya juga diajarakan cara membuat makalah, sehingga dapat membantu kuliah saya,” paparnya. Dalam akhir program tersebut terdapat UPBI (Uji Penguasaan Bahasa Indonesia) yang harus dilalui oleh mahasiswa yang mengikuti program matrikulasi. Dalam UPBI tersebut ada grade score yang harus dicapai, jika tidak mencapai grade score yang telah ditetapkan maka mahasiswa tersebut harus mengulang lagi dari awal.[]


SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

UNIVERSITARIA

UKT Berimbas ke Praktikum Sistem UKT yang telah diterapkan oleh UIN Sunan Kalijaga sejak tahun ajaran yang lalu, memunculkan efek ke beberapa hal, salah satunya adalah berkurangnya dana untuk praktikum mahasiswa. Oleh Anisatul Umah

U

ang Kuliah Tunggal (UKT) ternyata berdampak terhadap dana praktikum. Seperti yang terjadi di Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek). Pendapatan fakultas pasca UKT justru menurun. Budhi Susilowati selaku Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag. TU) Fakultas Saintek mengatakan bahwa pendapatan fakultas pasca UKT untuk praktikum menurun. “Anggaran untuk praktikum bayangannya dengan UKT pendapatan naik, tapi pada kenyataannya pendapatan perfakultas turun, karena dulu mahasiswa membayar 600 ribu dan 300 ribu untuk praktikum sehingga jumlahnya 900 ribu. Sedangkan sekarang rata-rata masuk golongan dua sehingga pendapatan menurun,” tutur Budhi. Senada dengan Budhi, Dekan Fakultas Saintek Akh. Minhaji saat di temui Desember 2014 lalu menyatakan, bahwa pemasukan fakultas berkurang karena ada potongan dari Pusat Administrasi Umum (PAU) dan rata-rata masuk golongan dua. “Uang turun semuanya, dulu praktikum 300 ribu rupiah, itu di bayar langsung ke fakultas tidak di potong. Sejak UKT uang itu kan nyatu pokonya golongan dua 400 ribu rupiah sudah semua dan dipotong 37,5%,” tegas Minhaji yang kini telah terpilih menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga.

Mz_Ruoh

SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

9


CATATAN UNIVERSITARIA KAKI

“Anggaran untuk praktikum bayangannya dengan UKT pendapatan naik, tapi pada kenyataannya pendapatan perfakultas turun, karena dulu mahasiswa membayar 600 ribu dan 300 ribu untuk praktikum sehingga jumlahnya 900 ribu. Sedangkan sekarang ratarata masuk golongan dua sehingga pendapatan menurun,”

SLiLiT

10

ARENA Jelas & Mengganjal

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Dengan dana yang menurun wajar bila nantinya akan terjadi penurunan juga dalam kualitas praktikum. “Kata orang jawa bayar murah kok njaluk apik ( bayar murah kok ingin yang bagus),” tambah Minhaji. Budhi juga menyayangkan penurunan pendapatan fakultas untuk praktikum, terlebih Saintek memiliki dosen Luar Biasa (LB) paling banyak dibanding dengan fakultas lain dan juga harus membagi dana yang ada untuk membeli alat-alat praktikum dari tiap jurusan. “Beli bahan saja mahal dari Kimia, Fisika, dan Biologi. Saintek itu dosen LB-nya banyak sekali sehingga uang itu dibagi-bagi untuk bahan-bahan, pembelian alat, pemeliharaan, dan dosen LB,” tambah Budhi. Menanggapi masalah ini, Nur Untoro, dosen Laboratorium Elektronika mengatakan bahwasannya mengenai alat praktikum dampaknya belum terlalu dirasakan, namun dalam hal pengadaan barang memang diminta usulan untuk membeli apa saja yang dibutuhkan. Namun untuk standar laboratorium Saintek baru cukup untuk laboratorium pendidikan saja, sedangkan untuk penelitian masih kurang serta jumlahnya yang minim. “Melihat alat-alat praktikum di UIN sebatas untuk pendidikan pengajaran ya cukup hanya saja jumlahnya kadang untuk praktikum Fisika kurang, tapi kalau untuk penelitian ya kurang,” jelas Untoro. Berbeda dengan Untoro, Agung yang juga mengampu di Laboratorium Elektronika Dasar mengatakan bahwa semua fasilitas untuk pendidikan lumayan lengkap hanya saja honor untuk asisten yang turun. “Yang turun itu honor asisten, yang alat-alat saya rasa di-support. Kalau laboratorium kita memang untuk pendidikan. Saya kira alatnya sudah cukup lengkap,” tutur Agung. Penurunan dana praktikum setelah diterpakannya UKT yang terjadi di

Saintek dimentahkan oleh Nizar Ali Wakil Rektor II (WR II) dengan mengatakan bahwa dana yang didapat justru meningkat. “Praktikum masih tetap, dari mana bisa dikatakan turun. Jadi problem UKT sudah dihitung dari semua komponen biaya, Jadi nggak ada persoalan sebenarnya.,” tegas Nizar. Menurut Nizar semua kebutuhan praktikum sudah bisa di-back up dengan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). “Misalnya alat praktikum yang rusak itu bisa di-back up BOPTN. Fakultas kan ada yang praktikum dan ada yang tidak. Pokoknya tergantung kurikulumnya. UKT dari komponen fakultas yang menghitung jatah ini sesuai bagaimana mereka me-manage. Setiap fakultas membuat rencana kerja,” pungkas Nizar. Pendapat Nizar yang mengatakan tidak ada permasalahan di dalam praktikum tidak dirasakan oleh Budhi. Menurut Budhi untuk memelihara alat saja fakultas masih kurang, apalagi dengan penurunan dana pasca UKT. Sebelum diberlakukannya UKT, mahasiswa Saintek mulai paham dengan kebutuhan praktikum mereka yang lebih mahal. Sehingga mereka akan siap jika dinaikkan. “Untuk memelihara saja kita sudah nggak cukup apalagi untuk beli. Uang tidak ada tapi direncana saya ada. Tidak terealisasi karena pendapatan kita tidak seperti yang kita perkirakan. Sebelum UKT teman-teman Saintek memahmai kalau praktikum kita yang hanya 300 ribu rupiah mau kita naikkan. Waktu itu belum terpikir UKT, hanya menaikkan praktikum itu sudah menjadi wacana Saintek itu belum terealisasi tiba-tiba UKT tambah anjlok. Mereka sudah mulai paham baru akan kita usulkan untuk kenaikan tiba-tiba sudah muncul UKT jadi hancur,” cetus Budhi.[]


arena jepret Harya Rifki Putra/LPM ARENA


PUSTAKA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Lokalitas dalam Kalompang Menilik kembali ke masa silam memang suatu hal yang menyenangkan, setidaknya bagi sebagian orang. Begitupula dengan Badrul Munir Chair, penulis novel berjudul Kalompang. Hal ini tercermin dari bagaimana ia dengan lihai memindahkan ingatan akan Madura sebagai kampung halamannya ke pembaca melalui novel ini. Novel ini menceritakan tentang ganasnya arus kehidupan sebagai seorang nelayan di pulau garam Madura. Kalompang sendiri adalah nama sebuah kampung pesisir, kampung yang hanya berjarak beberapa langkah dari titik pasang tertinggi, sehingga para nelayan dicemaskan oleh laut pasang dan angin kencang yang bisa menelan rumah-rumah penduduk kapan saja. Di Kalompang itulah, Mattali tinggal bersama Rofiqoh sang istri dan Marsud anak lelaki satusatunya. Percikan konflik dimulai dari terusiknya Mattali dengan kabar adanya pembangunan proyek besar pembuatan tanggul oleh pemerintah di Pandeman, sebuah kampung di timur Kalompang. Adanya proyek itu mengingatkannya kepada surat peringatan yang ia terima beberapa bulan yang lalu, “Rumah-rumah yang berjarak lima puluh meter dari titik pasang tertinggi akan segera direlokasi, sebab tanah pantai sejarak lima puluh meter dari titik pasang tertinggi harus dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi.� Disertakan pula undang-undang yang melarang pembangunan rumah di pantai yang berjarak kurang dari lima puluh meter dari titik pasang. Pembangunan tersebut tentu saja membuat Mattali cemas akan adanya penggusuran rumah-rumah penduduk, termasuk yang saat ini ia dan keluarganya tinggali. Belum cukup menenangkan diri dari kecemasan, Mattali kembali dikejutkan dengan kabar adanya pengusaha yang datang menawar rumah penduduk dengan harga tinggi untuk dijadikan pabrik. Tanpa terlebih dahulu menyelesaikan konflik pertama, penulis langsung menggempur pembaca dengan konflik baru yang lebih rumit yaitu ketika mobil pick-up yang dikendarai Adnan, adik kandung sang istri dianggap menabrak anak dari seorang Bajing (sebutan lain dari preman dalam budaya Madura). Dalam novel tersebut, dikatakan bahwa sebenarnya anak dari Bajing itulah yang menabrak mobil Adnan, namun untuk tidak mau mengambil risiko, akhirnya keluarga Mattali yang terlebih dahulu meminta maaf, sebab sebagaimana tingkah seorang Bajing yang sombong dan angkuh, pastilah tidak mau mengakui kesalahannya. Karena itu, pihak Mattali SLiLiT

12

ARENA Jelas & Mengganjal

JUDUL BUKU

Kalompang PENULIS

Badrul Munir Chair PENERBIT

Grasindo, Jakarta GENRE

Sastra, Novel ISBN

978-602-251-622-4 HALAMAN

XI+310H


PUSTAKA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

terpaksa melakukan namoy, semacam silaturahmi untuk mencari kesepakatan damai, meski dengan itu Mattali secara tidak langsung merendahkan derajatnya di hadapan Bajing. Sebagaimana adatnya di Madura, ketika seorang melakukan namoy maka harus membawa beberapa kebutuhan pokok seperti gula, beras dan kebutuhan pokok lainnya dan harus berjumlah ganjil. Karena yang mengajukan namoy dari pihak Mattali, maka ia berarti mengakui bahwa pihaknya bersalah kepada keluarga Bajing dan untuk mencapai kesepakatan damai, maka pihak Bajing berhak mengajukan syarat. Kesepakatan damai kemudian tercapai, namun Mattali harus merelakan pundi-pundi rupiah yang selama ini ia kumpulkan. Nampak sekali bahwa penulis ingin mengusung wacana lokalitas, hal ini perlu diapresiasi mengingat belakangan ini sangat jarang kita jumpai karya sastra yang mengusung wacana tersebut. Namun sayangnya, penulis hanya sekadar memaparkan tanpa disertai adanya kritik sosial, sehingga kemudian pembaca seolah tidak mendapatkan apa-apa setelah membaca, hanya sekadar penggambaran kehidupan nelayan yang keras karena harus menggadaikan kehidupan ketika berada di laut. Ironinya, ketika seorang Mattali yang kesehariannya bergelut dengan maut harus menyerah dengan begitu cepat ketika menghadapi seorang Bajing, seolah bertolak belakang. Apalagi sesuatu yang menyangkut harga diri, bagi orang Madura adalah sesuatu yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Baiklah jika penulis ingin menggambarkan bahwa Mattali adalah orang yang moralis dan taat agama, namun setidaknya tentu ada pertentangan batin bagi Mattali sendiri maupun lingkungan sekitar Mattali agar tokoh tidak nampak seperti malaikat yang tanpa cela. Penulis juga tidak mengajak pembaca untuk memahami secara objektif kenapa Bajing itu begitu ditakuti, yang penulis sampaikan hanya kesimpulan-kesimpulan bahwa Bajing itu sombong, angkuh, kasar dsb. Artinya, pembaca kemudian memahami seorang Bajing di Madura dalam perspektif subjectif penulis. Alangkah baiknya ketika penulis menghadirkan fakta objektif seorang Bajing, sehingga pembaca mampu menilai sendiri bagaimana karakter mereka. Selain itu, konflik antara Mattali dengan keluarga Bajing juga tak terselesaikan. Setelah keluarnya Adnan dari penjara karena tebusan yang di bayar Mattali kepada Bajing, Adnan masih saja mendapat teror dan untuk menghindarinya ia kemudian merantau ke negeri seberang. Saya tidak tahu, mungkin penulis bermaksud untuk menyatakan bahwa merantau bagi orang Madura adalah suatu kebiasaan, sesuatu yang mendekati wajib, namun kesan yang saya dapat, penulis tidak mampu menyelesaikan konflik yang di bangun. Sebab kepergian Adnan tidak bisa

dijadikan sebagai penyelesaian konflik. Kenapa penulis tidak mempertemukan kedua belah pihak untuk kedua kalinya dan melakukan mediasi dengan kiai atau sesepuh yang dihormati sebagai mediator? Sebab di awal, digambarkan bahwa seorang kiai sangat dihormati dan hampir semua hal melibatkannya. Selain itu, ada hal yang barangkali luput bagi penulis dan sangat disayangkan, yaitu ketika penulis membiarkan sesuatu yang sebenarnya sangat berpotensi untuk membangun konflik yang lebih besar lagi. Pada awal cerita, saya berpikir penulis akan mengulas konflik antara nelayan dan kaum pemodal, tetapi sampai ujung cerita, ternyata tidak. Masuknya kaum pemodal ke kampung pesisir dibiarkan begitu saja nyaris tanpa gejolak yang berarti. Bahkan sama sekali tidak ada kelanjutan, dan lagi-lagi konflik dibiarkan tidak selesai. Pembaca tidak tahu, apakah kemudian kaum pemodal itu berhasil menduduki tanah pesisir atau tidak, kenapa pembangunan tanggul kemudian berhenti di tengah jalan sebelum pembangunan sampai ke Kalompang, atau pertanyaan mendasarnya, kenapa penulis tidak menggambarkan kemarahan warga karena para pemodal yang mencoba mengusir penduduk dan bahkan mengancam? Di sepertiga terakhir Kalompang, penulis kembali menghadirkan konflik. Namun konflik ini berbeda dengan dua konflik sebelumnya, sebab bukan lagi antara manusia dengan manusia namun antara manusia dengan alam, antara Mattali dengan laut yang selama ini menghidupinya, yaitu ketika perahu yang dinaiki Mattali beserta dua awak perahu tak mampu menahan ganasnya gelombang laut. Satu awak perahu ditemukan selamat namun penuh luka, satu awak perahu yang lain ditemukan jenazahnya, sedangkan Mattali sendiri pada awalnya dianggap mati sebab tak juga ditemukan jenazahnya. Baru setelah beberapa bulan kemudian ia kembali dengan selamat. Dalam novel ini penulis mampu menghadirkan sense keMadura-an dan membuat pembaca mudah memahami apa yang disampaikan penulis selain karena pemilihan diksi yang sederhana dan mudah dimengerti. Meski di awal saya mengatakan terdapat beberapa kekurangan dalam membangun konflik, namun Novel Kalompang ini tetap saya rekomendasikan untuk dibaca, sebab wacana lokalitas yang mengkover novel ini sangat penting dan menarik untuk dipelajari di tengah globalisasi yang kian menggurita. Kiranya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak salah menjadikan Novel ini sebagai pemenangnya dalam Kompetisi Tulis Nusantara tahun 2013 silam. Salam. Dhedhe Lotus, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama FUPI UIN Sunan Kalijaga SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

13


SASTRA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Wali sebagai Tema Muhammad Abduh keluar dari ruangan itu, ruangan kecil yang telah mengurungnya selama hampir dua jam bersama dua penguji yang tak henti mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Tak semua pertanyaan bisa dia jawab, tetapi itu tidak masalah karena dia menyadari keterbatasannya sebagai manusia. Manusia, makhluk yang katanya paling sempurna itu, kesempurnaannya terletak pada keterbatasannya. Di depan pintu dia disambut oleh teman-teman yang dengan setia menunggunya. Mereka bergumam mengucap syukur. Ada yang langsung menghampiri untuk mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan di dalam ruangan. Ada yang menghampiri untuk sekedar menyalami sambil mengucapkan selamat. Sementara beberapa masih tetap tak acuh sambil terus menghabiskan jatah konsumsi yang disediakan. Ada hiruk pikuk, ada gemuruh, ada kehebohan yang sebenarnya tak diharapkan. Di sela cecaran pertanyaan teman-temannya, Abduh gelisah. Bukan perkara dia bisa atau tidak, bukan perkara dia sempurna atau tidak; ada seseorang yang seharusnya ada di sana tetapi tidak ada di sana. Dia berpikir jangan-jangan orang itu melupakan janjinya, atau sengaja datang terlambat untuk memberi kejutan, atau justru memutuskan untuk tidak datang sekali. “Dia menunggumu di lantai satu laboratorium. Segera temui begitu urusanmu di sini selesai,” kata seorang perempuan yang duduk di sebelahnya. “Kenapa kalian meninggalkannya di sana?” “Itu keinginannya sendiri,” jawab si perempuan tadi. Percakapan itu terhenti sebelum waktunya karena pintu ruangan terbuka. Sesosok wajah yang mereka kenal muncul dari balik pintu. Dosen paling senior di jurusan mereka yang bahkan belum mencapai umur dewasa dalam standar manusia. “Muhammad Abduh, silahkan masuk ke dalam ruangan.” Abduh masuk, menutup pintu, berdiri di hadapan dewan penguji. Pembimbingnya, dosen senior itu, duduk di tengah. Di kiri kanan pembimbingnya adalah dosen penguji satu dan dosen penguji dua. Ketiganya baru saja melakukan sidang penentuan nilai yang akan diberikan kepada Abduh atas hasil kerja yang dia tuangkan ke dalam skripsi. “Kamu bisa mengukur dirimu sendiri,” pembimbing membuka pembicaraan. “Sepanjang sidang kamu melewatkan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Itu adalah kerugian. Dan sekarang kamu bisa memperkirakan kirakira berapa nilai yang akan kamu peroleh.” Abduh menggeleng. “Kira-kira sajalah,” kata pembimbing. “Berapa persen yang bisa kamu jawab dari Ibu Yuniasih?” “Enam puluh persen, Pak.” “Dari Bu Yasrina?” “Tujuh puluh persen, Pak.” Si pembimbing terlihat menahan tawa. “Kalau tujuh puluh dan enam puluh, berarti nilaimu hanya 65. Itu masuk dalam kategori oh Ru C. Berarti kamu tidak lulus.” Si pembimbing _ z M mengambil jeda, Abduh diam menunggu. “Tapi kami bertiga sepakat dalam satu hal: kami mengapresiasi apa yang sudah kamu kerjakan. Kamu sudah

SLiLiT

14

ARENA Jelas & Mengganjal


SASTRA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

berproses selama satu tahun lebih dan menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah yang sangat langka. Jadi kami meluluskan kamu dengan predikat A.” Hal berikutnya yang dia ingat hanyalah kosong. ***

Kosong. Dalam luapan kegembiraan yang tak terkira, tak ada yang tersisa dalam hatinya selain adanya yang tiada. Adanya memenuhi hati yang sudah tak lagi dipenuhi. Kosong menjadi isi. Isi menuntut kosong. Yang tiada harus mengada, yang ada harus meniada. Dia yang mulanya tak ada, sedang duduk sendirian di kursi panjang di lantai satu laboratorium terpadu. Pandangannya tertuju pada lantai, berusaha menghitung yang tak ada sambil menunggu dia yang ada. Mereka yang hilir mudik tidak banyak peduli, terutama karena dia hanyalah mahasiswi dengan paras rata-rata yang berpakaian rata-rata dan memposisikan diri sebagai manusia rata-rata. Menjadi rata-rata adalah menjadi biasa, dan menjadi biasa adalah memaksimalkan apa yang ada tanpa meributkan apa yang tidak ada. Pandangannya teralihkan saat satu dari sekian yang hilir mudik itu mendekat dan berdiri di depannya. Dia menengadah. Dalam satu pandang dia menemukan sosok yang dikenalnya, senyum yang dikenalnya, serta sorot mata yang dikenalnya. Ya, dia mengenal semua yang bisa dikenali dari orang itu. “Aku mencarimu begitu keluar dari ruangan,” Abduh mengaku. “Kau tidak berada di tempat seharusnya engkau berada.” “Aku memisahkan diri supaya kau tidak terpisahkan dari teman-temanmu yang lain,” Ainun Najla menjawab. “Aku membatasi kehadiranku supaya kehadiranmu di sana tidak terbatasi. Bukankah kita sudah sepakat bahwa cinta tak boleh membatasi dua aku yang ingin bersatu?” Abduh mengangguk, tersenyum, lalu mendudukan diri di samping Najla. “Ya, itulah yang sudah kita sepakati. Dan lagi, ada kesepakatan lain yang sudah kita sepakati. aku harap kau tidak melupakannya.” “Tentu,” Najla menyahut riang. “Tapi pertamatama, aku ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana.” “Itu cerita yang panjang,” Abduh berkata dengan nada malas. “Bisa menjadi trilogi atau bahkan sinetron beratus-ratus episode. Kesemuanya hanya berisi pengulangan. Pengulangan yang membosankan. Dan panjang.” “Tapi aku ingin mendengarnya,” Najla berkeras. Abduh menyerah. “Baiklah jika itu maumu.” Maka mengalirlah sebuah cerita yang selalu diceritakan oleh mereka yang pernah menjalani cerita

itu. Tentang kata-kata yang diucapkan sebagai kebenaran. Tentang bantah-bantahan yang disamarkan sebagai kegiatan ilmiah. Tentang kompromi yang diposisikan sebagai kebaikan hati. Di sekitar itulah tema ceritanya. “Dan hasilnya adalah?” “A.” Najla menutup mulut dengan kedua tangan. Kedua matanya terbelalak. Napasnya berhenti. Tubuhnya terdiam. Semua demi mendengar huruf A diucapkan oleh Abduh. Huruf A adalah prestisius, bahkan bagi yang mereka menolak kategori buatan dunia akademis sekalipun. Huruf A adalah tujuan para akademisi, diraih dengan cara apapun, dan huruf itu baru saja menjadi kawan Abduh. “Hebat,” satu kata muncul dari mulut Najla. “Kita memetik apa yang kita tanam,” Abduh meniru kata-kata orang bijak. “Satu tahun lebih aku menanam, hari ini aku memetik. Buah yang matang di pohonnya setelah melalui terik yang menyengat dan badai yang mengguncang. Buah yang melalui proses alamiah. Dan proses adalah tema yang sudah sangat langka dalam hidup kita.” “Kita hidup di dunia di mana rekayasa bisa mematangkan buah sebelum waktunya,” Najla mengiyakan. “Dan proses menjadi semakin tak dikehendaki dalam hidup kita.” “Tetapi kita, kau dan aku, akan mempelajari proses. Kau dan aku akan mengalami sebuah proses. Atau mungkin harus aku katakan, kau dan aku adalah proses.” “Itu termasuk hal yang sudah kita sepakati,” Najla mengingatkan. Abduh menatap Najla. “Aku tahu,” katanya. “Kau dan aku adalah proses. Kau dan aku ada di antara ada dan tiada, tanpa sekalipun menjadi salah satunya. Aku akan membawamu ke tempat di mana proses adalah tema yang tak bisa dihindari. Itu kesepakatan kita.” ***

UIN Sunan Kalijaga terletak tidak jauh dari jantung Kota Yogyakarta, berjarak empat kali lampu merah ke arah timur dari ikon Kota Yogya, Tugu Pal Putih yang legendaris itu; tugu yang merupakan penghubung antara Gunung Merapi dengan Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. UIN Sunan Kalijaga juga hanya berjarak dua persimpangan dari UNY, yang letaknya bersebelahan dengan UGM. Baik Sunan Kalijaga maupun Patih Gajah Mada memiliki popularitas yang sama dengan cara yang berbeda: Gajah Mada bersumpah untuk menghindari kesenangan dunia sebelum menyatukan nusantara, sementara Sunan SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

15


SASTRA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Kalijaga mengajarkan Islam melalui perpaduan kebudayaan. Kedua tokoh itu menjadi besar karena proses. Tetapi masa yang terlampau jauh sudah mengikis habis sejarah. Dan manusia adalah makhluk yang gemar sekali lupa pada apa yang seharusnya tidak boleh dilupakan. Tanyakanlah pada akademisi yang bernaung di bawah nama kedua tokoh besar itu, adakah mereka masih menjalani laku sebagaimana tokoh yang mereka catut namanya? Mungkin ada, tetapi mungkin tidak sebanyak yang tidak. Banyak yang mungkin akan berkilah, apalah artinya sebuah nama. Artinya adalah, bisa jadi nama akan mengingatkan siapa diri kita, dari mana diri kita berasal, dan ke mana kita akan menuju. “Kita akan pergi ke utara, jauh ke utara. Ke tempat di mana wali adalah sebuah tema,” Abduh memberi tahu Najla. “Apa yang akan kita temukan di sana?” Abduh menggeleng. Dia tak yakin. “Apapun bisa kita temukan. Selama kita mau menemukannya.” “Seperti ketika aku menemukanmu dan kau menemukanku,” kata Najla sambal tersipu malu. “Seperti itulah,” Abduh membenarkan. “Kita sudah sepakat. Jadi kita akan berangkat.” Baik Abduh maupun Najla sudah menyediakan perbekalan. Perbekalan untuk sebuah perjalanan mencari Yang Entah. Perjalanan untuk menegaskan bahwa manusia adalah proses yang berada di antara ada dan tiada. Bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan, dan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi adalah potongan-potongan kecil kehidupan yang kelak akan menjadi gambaran utuh manusia itu sendiri. Maka perjalanan bukanlah tentang pergi ke tempat wisata, bukan tentang pergi ke tempat yang tak pernah didatangi, bukanlah tentang seberapa banyak melakukan perjalanan, juga bukan tentang mengenal dan mencintai negeri sendiri—perjalanan adalah tentang seberapa besar manusia menjadi manusia ketika melihat hal-hal asing di luar manusia. “Dan apakah mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan kesudahan orangorang sebelum mereka?” Tuhan bertanya dalam salah satu firman-Nya. “Orang-orang itu lebih hebat kekuatannya dari mereka dan lebih banyak peninggalan-peninggalan peradabannya di muka bumi, tetapi Allah mengazab mereka karena dosadosanya. Dan tidak satu pun yang akan melindungi mereka dari azab Allah.” Abduh dan Najla mempersiapkan apa yang perlu disiapkan, memeriksa apa yang perlu diperiksa, melakukan apa yang perlu dilakukan. Terutama SLiLiT

16

ARENA Jelas & Mengganjal

adalah kesiapan jiwa untuk menemukan Yang Entah. Di pagi hari, saat matahari terbit untuk yang kedua kalinya sejak Abduh disahkan menjadi sarjana, mereka berdua berangkat dari UIN Sunan Kalijaga menuju ke utara, jauh ke utara, ke tempat di mana Sunan Kalijaga bukan sekedar nama maupun tema. Di sana Sang Sunan adalah nyawa, dan jejak-jejak yang ditinggalkannya menghidupi jiwa-jiwa manusia yang bergentayangan di antara ada dan tiada. ***

Dari Kota Yogyakarta mereka berdua ke utara, melaju di jalan besar hingga melewati gapura penanda batas wilayah. Keduanya melintas, lalu memasuki wilayah di mana seni pahat dari batu adalah kehidupan yang menghidupi raga-raga manusianya. Wilayah di mana mahakarya budaya bangsa di masa lalu menjadi legenda yang jatuh bangun hingga akhirnya kembali berdiri seperti keadaannya yang sekarang. Itu bukan sekedar mahakarya budaya, tetapi juga mahakarya para penganut agama yang menunjukkan betapa bangsa ini adalah bangsa yang religius, terlepas dari apapun agamanya. Bahwa bangsa kita adalah bangsa yang gemar mencari kebenaran sejati. Mungkin memang mahakarya budaya itu sekarang hanya menjadi tontonan, hanya menjadi tempat orang-orang menghabiskan waktu dan uang di saat mereka memiliki banyak waktu dan uang, hanya menjadi alat jual untuk menambah pemasukan pihak-pihak tertentu. Tak heran jika bangsa kita gemar rusuh atas nama agama: apa yang dulu disucikan oleh para pendahulu kita yang bijak bestari kini dijadikan tontonan yang tak bermakna. Ke utara. Mereka terus menuju ke utara. Sampai tiba di sebuah wilayah di mana industri adalah kehidupan siang malam tanpa henti. Kiri kanan dipenuhi bangunan-bangunan berpagar dan berbenteng tebal, ditempeli identitas raksasa tentang siapa mereka dan apa yang mereka lakukan. Kendaraan-kendaraan besar keluar masuk ke dalam bangunan-bangunan itu. Tiap tahun jumlah bangunan di sana bertambah seiring dengan semakin banyak manusia-manusia yang mendambakan penghidupan. Bangunan-bangunan itu, yang tiap tahunnya bertambah, adalah juga gambaran kehidupan bangsa yang mengaku-ngaku sebagai bangsa yang besar ini. Ketika kita tertatih-tatih untuk menegakkan kaki kita sendiri, serbuan dari luar sudah datang dan kitasemakin terpincang-pincang. Kita menjadi korban kerakusan diri kita sendiri yang ditumbuhkembangkan oleh budaya industri, dilegalkan oleh pemerintah atas nama pertumbuhan ekonomi sembari merusak jiwa-


SASTRA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

jiwa manusia dengan konsumsi di luar batas kewajaran. Di dalam bangunan-bangunan itu manusia saling berkejaran dengan hasrat: agar bisa mendapatkan sesuatu sebanyak mungkin aku harus memberikan kepada mereka sesuatu yang terlihat banyak padahal sebenarnya sedikit. “Transaksi minimal sekian akan mendapatkan voucher belanja gratis dengan nominal sekian,” atau “Beli produk minimal sekian akan memperoleh hadiah ini,” adalah sebagian dari mantra ampuh yang merusak jiwa-jiwa manusia. Ke utara. Utara yang jauh. Mereka sudah tiba di sebuah tempat di mana laut dan kota seperti saudara, memeluk satu sama lain. Laut merapatkan kapalkapal, menurunkan beraneka kehidupan dan penghidupan. Kapal-kapal yang datang dari seberang, dari dunia yang entah di mana batasnya, memberikan secercah harapan kepada para pencari penghidupan. Tetapi kapal tak tahu menahu soal kehidupan, ia hanya paham soal mengarungi lautan. Lantas manusia-manusia bergelimpangan di pusat kota. Harapan telah menipu mereka mentah-mentah, dan kini kehidupan mengkhianati mereka sebagaimana mereka mengkhianati kehidupan di tempat asalnya. Ke timur. Ke timur yang hanya sepenggal perjalanan. Mereka sampai di sebuah tempat di mana wali adalah tema, di mana Sunan Kalijaga adalah nyawa, Di sini mereka berhenti. Di sini mereka akan menghadap kepada sang pemilik nama. Di sini mereka akan menunduk demi menemukan hening pada jiwa yang telah letih mencari. Perjalanan di sepetak kecil wilayah negeri bisa menjadi pencarian jati diri. ***

Abduh dan Najla melewati gerbang kecil berbentuk seperti candi di kanan kiri. Gerbang itu sedikit menanjka dengan beberapa anak tangga, lalu pelataran kecil, lalu turun lagi. Mereka kemudian memasuki lorong kecil yang kiri kanannya adalah kios-kios penjual cenderamata. Seperti halnya pasar: teriakan-teriakan penjual menawarkan dagangan, beberapa tunawisma yang menengadahkan tangan atau kaleng atau mangkuk kosong, beberapa peziarah yang berhenti untuk melihat-lihat, atau menawar, atau memborong. Setelah sampai di ujung lorong, mereka melewati gerbang kedua—sebuah pintu pagar kecil yang ditunggu oleh dua orang di bawah bangunan kecil seperti pos ronda. Di sini nisan-nisan bermunculan. Di sini tanah pekuburan adalah pembaringan. Lalu mereka tiba di tempat di mana gemuruh dari

sekumpulan manusia menggema, menenteramkan jiwa-jiwa yang keletihan mencari, bersahutan di sekeliling makam besar yang ditutupi bangunan semacam rumah kayu. Mereka berdua duduk bersimpuh di antara manusia-manusia yang asing itu, di hadapan pembaringan manusia yang telah lama mendahului kehidupan mereka. “Kita berada di tempat yang sama dengan mereka, tetapi pastinya kita memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka,” Abduh berbisik. “Tiap-tiap kita adalah peziarah di dunia ini, dengan jalan beragam yang ditapaki. Tiap-tiap kita adalah proses.” Najla hanya diam. Kepalanya menunduk. Pikirannya larut dalam gema. Hatinya meleleh dalam lantunan yang menenteramkan jiwa. Matanya berderai oleh riuh rendah yang mengheningkan telinga. Di tengah gema bernada itu kesunyian justru menyergapnya—sendiri, mencekam, tak ada siapapun kecuali dirinya dengan Tuhannya. Seketika itu pula dia berucap pada Abduh. “Aku paham kenapa kita ada di sini. Di hadapan pembaringan Sang Sunan aku mendapati diriku bertransformasi sepanjang perjalanan kehidupan. Kita adalah manusia yang tidak tahu, menjadi sedikit tahu, lalu kembali tidak tahu. Kita adalah manusia yang suci, menjadi ternoda oleh dosa, lalu kembali menjadi suci. Kita adalah proses. Dan akhir dari semua proses itu adalah tempat di mana kita memulai—Tuhan.” “Seperti Sang Sunan yang di masa mudanya adalah perampok,” Abduh menambahkan. “Dalam setiap perjalanan kita akan menemukan hal-hal asing di luar diri kita. Hal-hal yang adalah gambaran diri kita. Maka perjalanan adalah kebutuhan bagi jiwa-jiwa yang sedang melakukan pencarian. Perjalanan bukan sekedar menemukan tempat-tempat indah demi menceritakan bagusnya negeri ini.” “Apalah artinya Yang Bagus jika tidak ada Yang Jelek,” kata Najla. “Yang Bagus bisa menjadi Yang Jelek, Yang Jelek bisa menjadi Yang Bagus. Pun seorang perampok bisa menjadi wali saat dia berkehendak, saat dia mau berproses.” “Maka dari itu jangan berputus asa dengan proses,” Abduh berpesan. “Setelah ini kita akan menempuh perjalanan-perjalanan lain. Menemukan hal-hal asing untuk mengenali diri kita sendiri. Tak ada wisata, tak ada hura-hura. Hanya ada kita melewati proses panjang perjalanan.” Keduanya pun serempak menunduk, memanjatkan doa kepada Yang Maha Esa untuk kebaikan Sang Sunan yang sudah mendahului ke alam barzah. Hilman Firdaus, cerpenis asal Garut, Sunda. Alumni PFis UIN Sunan Kalijaga. hilmanfirdaus1410.wordpress.com

SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

17


SASTRA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Kota Tuhan Aku bersepeda ke arah Jl. Rohani No. 1 Menuju altar yang di atasnya terdapat banyak menara ibadah Cahaya di kota ini berpendar lampu ilahiah Puji-pujian pada Dia Yang Maha Indah, tak hentinya mengudara Doa-doa membebek bagai serombongan sriti kala sore Dikelilingi sembah sahaya yang di setiap pundaknya isme-isme bagai sebuah kutil Kota ini, milik Dia Yang Alim dalam cakrawala ilalang Penguasa langit, laut, ombak, dan pagi yang basah Hidup sendirian menjadi sandaran insan-insan Ia kekal, dengan cinta dan makna di setiap musim Lalu, aku berhenti sebentar di alun-alun kota berwajah teduh bulan ini Kubaca sebuah pengumuman: “Nietzche, Marx, Freud, Satre…” dan nama tak kukenal lainnya Masuk di Daftar Pencarian Orang para polisi yang mengaku dari akhirat Masih tak kuketahui rupa pemilik-Nya? Aku mencari-Nya, aku tersandera Jogja, Desember 2014

Kota Malaikat Hati malaikat adalah hati embun yang dengan lembut temanku sentuh tiap pagi dan tiap sore melalui sayap senja yang mengepak simfoni oranye dari langit Temanku lalu berkata, kota malaikat adalah kota yang penuh dengan buku-buku Malaikat menguasai semua bahasa di bumi Katanya lagi, malaikat selalu mengucapkan mantra untuk Dia Yang Maha Malaikat hening dan bersembunyi di celah-celah Sambil meneruskan ibadah anehnya—mencatat Catatan dari surga yang mendiktekan laku keturunan Adam dalam posnya sendiri-sendiri Yang kelak jadi timbangan Maha Junjungan Aku mengangkat semafor: “Malaikat, bolehkah catatan itu aku ganti isinya?” Jogja, Desember 2014

Kota Manusia Tak ada yang sesemarak kota ini, Dik. Kota warna-warni yang mudah sekali terjadi tabrakan dan yang sakral telah dikerandakan. Aku mendengar sabda langit menggemuruh, Dik. Tetapi hujan tak kunjung turun ke bawah. Sedang siut angin dari negeri moral mengobrak-abrik. Rumah-rumah mengheningkan cipta. Jogja, Desember 2014

Kota Iblis Polan melaporkan Dari kacamata kegelapan Negeri setan Kota siluman Kota konservasi warga buangan dan pesakitan Memiliki banyak pasukan bayangan di nadi insan Hidup bersama zaman di halaman yang dilindungi Tuhan Berkendaraan (nafsu) keinginan Mengaku kawan, ndilallah lawan Polan berhenti di tengah jalan Tak lagi berkesadaran Jogja, Desember 2014

SLiLiT

18

ARENA Jelas & Mengganjal

Isma Swastiningrum, mahasiswi semester III Jurusan Fisika, UIN Sunan Kalijaga. Tidak tinggal di kota Konohanya Naruto atau Bikini Bottom-nya Spongebob. Kesibukannya sedang menulis surat yang panjang untuk dikirim ke dirinya sendiri.


OPINI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Untuk Yang Terkasih: UIN Yogyakarta

“Tak ada yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.” SOE HOK GIE

Tergugah satu anggapan bahwa Universitas Islam Negeri (Yogyakarta) tak lebih dari sekedar agen besar kepentingan Islam—proyek lembaga bukan nilai. Hal tersebut bisa kita telisik dari dominannya wacanawacana Islam yang dicangkokkan ke kepala masingmasing mahasiswanya. Wacana-wacana tersebut berbentuk sebagai sebuah keharusan atau kewajiban yang tidak boleh tidak untuk ditaati oleh siapa yang bernaung di lembaga pendidikan ini. Mengapa harus begitu? Ada apa di balik itu semua? Konon, Islam hari ini, baik lembaga ataupun nilainya, dianggap digerus oleh perubahan zaman. Karena memang demikian, perubahan zaman menuntut perubahan di segala penjurunya. Belum lagi, lembaga-lembaga yang membawa serta nilai-nilai non-Islam (katanya), terus melakukan kolonialisasikolonialisasi dunia kehidupan beserta ilmu-ilmu pengetahuannya. Dan untuk meminimalisir hal ini, sekaligus berpartisipasi dalam kompetisi, lembagalembaga Islam seperti UIN, sangat diwajibkan mengambil peran besar dalam agenda besar ini. Mereka diharuskan untuk memantapkan posisi Islam, bahkan jika perlu, menjadikan Islam sebagai pandangan dunia secara universal. Entah bermula dari mana dan kapan, UIN yang hari ini saya kenal bukan lagi UIN sebagai kampus pembaharu. Seorang pembaharu, atau siapapun yang melakukan kerja-kerja pembaharuan, berarti melakukan kerja-kerja pembebasan. Dan yang hendak dibebaskan, yang utama, adalah pikiran dan tindakan manusia. Bahwa pikiran dan tindakan manusia selamanya haram untuk dibatasi oleh apa dan siapapun. Seperti yang sudah banyak dikemukakan para pemikir, kebebasan adalah fitrah kemanusiaan. Dengan begitu, ketika terjadi kondisi yang melanggar kefitrahan, berarti ada kesengajaan untuk membunuh kemanusiaan itu sendiri, dehumanisasi. Secara salah kaprah guna berpartisipasi dalam peran besar dan kompetisi itu, UIN justru telah dan sedang melakukan upaya pembunuhan tersebut. Lihatlah, bagaimana pihaknya—salah satunya adalah dosen pembimbing akademik mahasiswa—mengharamkan mahasiswa untuk meneliti (mengajukan skripsi) wacana-wacana selain tentang Islam, tokoh beserta pemikirannya. Tanpa henti, berjubah sebagai pembimbing, mereka SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

19


OPINI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

mendikte mahasiswanya untuk meneliti ini dan itu tanpa pertimbangan atas apa yang sebenarnya menjadi kehendak mahasiswa bersangkutan. Bukankah ini justru tindakan pembatasan berpikir? Apa guna memantapkan posisi Islam jika cara yang demikian dipilih sebagai mekanismenya? Dan apa guna banyak baca buku jika pikiran dan tindakan terus dibungkam? Fuck! Iba saya melihat rekan-rekan mahasiswa yang mengalami perlakuan yang demikian. Mereka yang hendak melakukan riset tentang duniadunia Barat dan pemikirannya misalnya, harus berujung pada pembohongan niat dan kata hati. Mereka sama sekali dijegal hanya karena harus mengikuti sistem kurikulum yang ada. Mati sebelum berkembang? Ya, kondisi semacam inilah yang menghinggapi rekanrekan mahasiswa UIN hari ini.

Untuk Ditinjau Kembali

Mereka sama sekali dijegal hanya karena harus mengikuti sistem kurikulum yang ada. Mati sebelum berkembang? Ya, kondisi semacam inilah yang menghinggapi rekan-rekan mahasiswa UIN hari ini.

Sistem pendidikan UIN yang melarang mahasiswanya meneliti wacana-wacana selain tentang keislaman, agaknya perlu untuk ditinjau kembali. Secara pribadi, saya tidak bisa membayangkan jika pada akhirnya potensi-potensi (mahasiswa) yang dimiliki UIN hari ini dan ke depan hanya akan terlahir sebagai mayat-mayat hidup. Tentu saja, bukannya menjadi kekuatan real di masyarakat, melainkan hanya sebagai momok beringas yang begitu menakutkan. Alhasil, peradaban unggul sebagai cita-cita bersama hanya jadi takhayul tanpa makna. Lantas, bagaimana seharusnya UIN berkiprah sebagai pencetak para kelompok pembaharu? Seperti disebutkan di awal, kelompok pembaharu adalah kelompok para pembebas, UIN harus memusnahkan tradisi pembungkamannya. Ruang publik seperti dunia pendidikan adalah ruang yang bebas. Wilayah ini membebaskan siapa saja yang hendak berpikir dan bertindak apa dan bagaimana saja selama bertanggungjawab penuh atas pikiran dan tindakannya sendiri-sendiri. Jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, maka jangan harap jika antara manusia dengan binatang sudah tidak lagi memiliki perbedaan yang signifikan. Kondisi inikah yang kita inginkan? Patut diingat, hari ini, di tangan oknum-oknum yang tak bertanggungjawab, UIN nampak seperti ladang tandus tak berpenghuni. Seolah, sekedar memberi air kehidupan pun ia tak mampu lagi. Apalagi yang harus dilakukan selain menyeru pada kebaikan? Sebagai mahasiswa UIN, tentu saya tergerak untuk menghapus ketidakadilan yang terjadi di kampus terkasih ini. Selamanya saya tidak akan pernah menghendaki jika nantinya yang terkasih ini hanya akan mengalami kelumpuhan sebelum benar-benar mencapai maksud dan tujuannya: menjadi agen pembaharu. Maman Suratman, mahasiswa Jurusan Filsafat UIN Yogyakarta

SLiLiT

20

ARENA Jelas & Mengganjal


OPINI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

Mencari Kurikulum Lahirnya sistem pendidikan di Indonesia memang tidak dapat terlepas dari visi-misi pemerintahan yang berkuasa. Contohnya ketika era Presiden Soeharto, kurikulum yang diterapkan mewajibkan siswa di sekolah untuk mempelajari mata pelajaran P4 dan Sejarah G30/S PKI versi pemerintah, begitu pula dengan era Presiden Joko Widodo yang menginginkan keragaman kultur pendidikan di tiap-tiap daerah, sehingga Gubernur diberikan otoritas penuh untuk mengawal jalannya pendidikan yang ada didaerahnya termasuk evaluasi yang berkaitan dengan tingkat kualitas pendidikan yang ada di daerahnya. Sehingga tidak diperlukan lagi model evaluasi secara nasional seperti Ujian Nasional. Ujian Nasional hanya diperlukan untuk pemetaan kualitas pendidikan secara nasional yang dapat dilaksanakan dua sampai tiga tahun sekali artinya tidak tiap tahun harus ada. Perubahan tentang kurikulum tersebut membuat sebagian besar guru menjadi kebingungan. Permasalahan ini ditimbulkan akibat kurang persiapan dari sebuah kebijakan kurikulum yang diambil pemerintah pusat. Mulai dari metode dalam pembelajaran, hingga sarana-prasarana membuat sekolah-sekolah di pelosok daerah sulit untuk menerapkan kurikulum baru. Menanggapi kebijakan Mendikbud Anies Baswedan tentang penghentian pelaksanaan Kurikulum 2013 dengan kembali menggunakan KTSP 2006 merupakan sebuah langkah berani. Banyak Pro-Kontra terkait kebijakan yang diambil. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan langkah mundur, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan langkah cerdas untuk mengevaluasi Kurikulum 2013 sebelum benar-benar cocok untuk digunakan.

Model Kurikulum Sebenarnya jika melihat konstruksi dari Kurikulum 2013 merupakan sebuah sistem pendidikan yang diusung berdasarkan tema. Menurut Robin Forgaty, dalam bukunya yang berjudul Integrated Curriculum, model kurikulum dibagi menjadi dua bagian, yakni Klasik dan Terpadu. Klasik hanya ada satu macam tipe yakni Fragmented, di mana implementasi dari pemberian materi kepada siswa secara terpisah, contohnya dalam kehidupan sehari-hari guru menerangkan tentang mata pelajaran Bahasa

Indonesia pada jam pertama dan kedua, kemudian pada jam ketiga dan keempat guru yang lain memberikan materi tentang Matematika, setelah itu selepas jeda istirahat ada pemberian materi kembali tentang mata pelajaran PPKn. Artinya di sini pemberian materi secara teoritik terhadap siswa adalah terpisah-pisah antara disiplin keilmuan yang satu dengan disiplin keilmuan yang lain, di mana penyajian konsep daripada mata pelajaran yang diberikan bersifat abstrak tidak konkrit. Sedangkan model Kurikulum Terpadu, dalam pengaplikasiannya menggunakan pengikat yang biasa digunakan, yakni dapat berupa tema atau produk. Penyajian model kurikulum ini lebih mengubah konsep dari keadaan yang sebelumnya abstrak menjadi hal yang konkrit. Artinya pembahasan sebuah tema yang dibahas menggunakan berbagai sudut pandang keilmuan yang beragam. Robin Forgaty juga mengungkapkan, Tipe dari model terpadu ini terbagi menjadi sembilan jenis, yakni; share, immers, nested, connected, sequences, threated, webb, networking, dan integrated. Di Indonesia digunakan jenis Integrated dalam Kurikulum 2013 dan masih ada delapan jenis dari model Kurikulum Terpadu yang dapat dipadukan dan dimodifikasi sehingga dapat terbentuk suatu jenis model pembelajaran bercirikan khas Indonesia. Dalam KTSP 2006 memang setiap pemberian materi mata pelajaran kepada siswa belum terlihat jelas dalam mengusung asal-usul dan fungsi dari materi yang akan disampaikan oleh guru sehingga terlihat abstrak (tidak berbentuk), maka dari itu siswa tidak dapat mengetahui secara penuh kegunaan dari materi yang disampaikan. Contoh realnya adalah penggunaan materi KPK dan FPB, apakah setiap siswa SD/MI mengetahui kegunaan KPK dan FPB untuk di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari? Siswa SMP hingga SMA pun belum tentu dapat menjawab pertanyaan tersebut. Maka dari itu sebaiknya ketika guru menjelaskan tentang materi yang akan disampaikan, disarankan untuk memberikan pengetahuan lebih tentang kegunaannya. Di Kurikulum 2013 memang secara tidak langsung guru menyampaikan memberikan fungsi dari materi yang disampaikan. Ketika membahas tentang sebuah tema, contohnya di kelas VI SD/MI Tema 4, yakni “Berbagai Pekerjaan�. Di sini siswa akan lebih mengetahui arah SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

21


OPINI

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

?

?

um

l iku Kur 3 201

??

KTSP 2006

dari fungsi materi yang disampaikan walaupun secara tidak langsung, karena materi yang diusung berdasarkan tema dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa diberikan kesempatan untuk memecahkan masalah melalui sudut pandang dari berbagai mata pelajaran.

Keputusan Mendikbud Menyoroti surat edaran dari Mendikbud dapat kita ambil tiga pokok penting, yakni sekolah yang telah menggunakan Kurikulum 2013 dalam satu semester harus beralih ke KTSP 2006, penyebabnya adalah pelatihan guru yang kurang berhasil sehingga banyak dari guru kebingungan dalam mengaplikasikan Kurikulum 2013, dan keterlambatan distribusi buku Tematik Terpadu. Kedua, bagi sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2013 hingga 3 semester dapat melanjutkan penggunaannya dengan catatan apabila ada sekolah yang keberatan dapat pula untuk beralih ke KTSP 2006. Namun sekolah yang tetap menggunakan Kurikulum 2013 nantinya akan dijadikan sebagai sekolah percontohan bagi seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Ketiga, mengembalikan tugas dalam mengevaluasi Kurikulum 2013 kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan (PUSKURBUK). Menanggapi surat edaran tersebut, pertama yang harus digaris bawahi adalah sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2013 selama satu semester harus beralih ke KTSP 2006. Mestinya ketika berbicara tentang objektifitas terhadap sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013 selama tiga semester dapat memilih untuk beralih ke KTSP 2006 atau melanjutkan penggunaan Kurikulum 2013, tentunya SLiLiT

22

ARENA Jelas & Mengganjal

keobjektifan tersebut juga berlaku untuk sekolah yang telah menggunakan Kurikulum 2013 selama satu semester, sehingga dapat memilih mundur ke KTSP 2006 atau melanjutkan ke Kurikulum 2013. Kedua, dalam surat edaran berisi tentang kewenangan yang diberikan kepada sekolah yang telah menggunakan Kurikulum 2013 selama tiga semester untuk memilih melanjutkan atau kembali ke KTSP 2006. Apabila sekolah tersebut memilih melanjutkan penggunaan Kurikulum 2013 dan dianggap berhasil dalam penerapannya maka sekolah tersebut akan dijadikan Sekolah Percontohan atau Pilot School Project. Maka di sini dapat dipahami, bahwasannya kebijakan untuk mundur ke KTSP 2006 merupakan kebijakan untuk mengantisipasi sekolah yang belum siap dalam penggunaan Kurikulum 2013. Artinya kebijakan untuk menghentikan Kurikulum 2013 tidak bersifat mutlak tetapi bersifat relatif, karena ketika sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013 dianggap berhasil dan dijadikan Sekolah Percontohan, maka sekolah-sekolah yang belum menggunakan KURIKULUM 2013 juga akan mengikuti, tentunya dengan menggunakan Kurikulum 2013 yang sudah dievaluasi. Ketiga, pengembalian tugas dalam mengevaluasi Kurikulum 2013 memang selayaknya harus ditangani oleh Puskurbuk, istilahnya mengembalikan sesuatu ke tempat asalnya. Di sini Kurikulum 2013 dapat dievaluasi secara penuh dengan narasumber dan orang yang berkompeten dalam bidangnya serta tidak terlibat kepentingan politik atau semacamnya. Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwasannya sekolah-sekolah yang kembali menggunakan KTSP 2006 juga akan menggunakan Kurikulum 2013, tentunya dengan Kurikulum 2013 yang sudah dievaluasi oleh Puskurbuk. Namun perlu menjadi catatan bagi kita bersama, agar para guru tidak berhenti mengembangkan kreativitas di dalam memberikan penyampaian pembelajaran, melalui metode-metode pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan walaupun masih dengan kurikulum KTSP 2006. Sehingga ketika nantinya Kurikulum 2013 di berlakukan kembali siswa maupun guru sudah tidak kesusahan dalam menjalankan kurikulum tersebut. Anang Amiruddin Nugroho, mahasiswa Jurusan PGMI FITK UIN Sunan Kalijaga


ADVERTORIAL

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

CV. ISTANA AGENCY

DISTRIBUTOR BUKU, PENERBITAN, & PERCETAKAN

Jl. Nyi Adi Sari Gg. Dahlia I, Telp.:+6274 852 347 6 Pilahan KG.I/722 RT 39/12 E-mail: info@istanaagency.com Rejowinangun-Kotegede-Yogyakarta Website: www.istanaagency.com

MUHAMMAD TAUFIK SPV. MARKETING | +62857 2577 3269 | BBM: 7DEF672D | maula_sia@yahoo.co.id

ruang

iklan

mu

+62857 259 151 49

refresh your day with shopping

UniQuee Shop @UniQueeShop

Uni Quee Shop fast respon

|

(+62)857 259 151 49 @etniquee 52A44487

|

free souvenir untuk setiap pembelian bebas ongkos kirim untuk pulau Jawa & Bali* *term & condition apply


socialistpartyscotland.org.uk

IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA ARENA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.