




















Managing Editor
Kenny Yong
Publications Manager
Amelia Lim
Editorial Consultant
Kenny Yong
Content Editor
Amelia Lim
Media Executives
Paulina Shu amelia@fireworksid.com
Veronica Anugrah
Graphic Designer
Felicia Zhang
Publisher
Welcome to our Apr–June 2025 edition, where we explore the latest shifts in sustainable agriculture and energy transformation. This quarter, we highlight a major national development—President-elect Prabowo Subianto’s revitalized push to expand and modernize Indonesia’s oil palm plantations.
This renewed focus marks a significant step in strengthening Indonesia’s agricultural sector and rural economy. With an emphasis on boosting productivity, improving infrastructure, and ensuring sustainable land-use practices, Prabowo’s administration is aiming to reinforce Indonesia’s position as a global leader in the palm oil industry.
The initiative is expected to stimulate investment, create jobs, and drive innovation across the sector, all while addressing key environmental concerns. With the right policies and oversight, this move could represent a model for balancing economic growth with sustainability—something increasingly vital in today’s interconnected world.
As always, we are grateful for the continued support of our contributors, advertisers, and loyal readers. Your engagement inspires us to bring forward meaningful stories and insights that drive global progress and cooperation.
We invite you to journey through this edition as we unpack these impactful developments and offer a closer look at the future of sustainable agriculture in Indonesia.
Yours truly,
Kenny Yong
The content of Palm Oil Indonesia Today Magazine (and website) does not necessarily reflect the views of the editor or publishers and are the views of its contributors and advertisers. The digital edition may include hyperlinks to third-party content, advertising, or websites, provided for the sake of convenience and interest. The publishers accept no legal responsibility for loss arising from information in this publication and do not endorse any advertising or products available from external sources. Palm Oil Indonesia Today Magazine and its website does not warrant that the information in it will be error-free or will meet any particular criteria of performance or quality. Your use of the information contained in the Palm Oil Indonesia Today magazine and website is at your own risk. You assume full responsibility and risk of loss resulting from the use of this website or information in it. None of Palm Oil Indonesia Today, PT Fireworks Indonesia or its affiliates, or any partners, principals, stockholders or employees of any thereof will be liable for any special, indirect, incidental, consequential or punitive damages or any other damages whatsoever, whether in an action of contract, statute, tort (including, without limitation, negligence) or otherwise, relating to the use of this website or information contained in it. No part of this publication may be reproduced or stored in a retrieval system without the written consent of the publishers. All rights reserved. DISCLAIMER
Pemerintah Gambarkan Empat Tahapan Hilirisasi Kelapa Sawit
Govt Delineates Four Stages of Palm Oil Downstreaming
Indonesia dan Malaysia Perkuat Kerjasama di Sektor Kelapa Sawit
Indonesia and Malaysia Strengthen Cooperation in Palm Oil Sector
Produsen Bersiap Hadapi Kelebihan Pasokan Minyak Kelapa
Sawit Setelah Indonesia Batasi Ekspor
Producers Braced for Glut of Palm Oil After Indonesia Curbs Exports
Kurangi Daya Saing Ekspor Minyak Sawit
Indonesia Delays B40 While GAPKI Warns News 10% Export Tax Will Make Country’s Palm Oil Exports Less Competitive
Prabowo Menghidupkan Kembali Pengembangan Perkebunan
Kelapa Sawit
Prabowo Reinvigorates the Development of Oil Palm Plantations
Pemerintah Indonesia Memperketat Aturan Tentang Alokasi Lahan Wajib bagi Petani Kelapa Sawit
Indonesia Government Tightens Rules on Palm Oil Firms’ Mandatory Land Allocation for Smallholders
Malaysia Tolak Naikkan Campuran Biodiesel Minyak Sawit menjadi 20%
Malaysia Rules Out Raising Palm Oil’s Biodiesel Blend to 20%
MPOB : Produksi Minyak Sawit Malaysia Tetap Tangguh Meski di Landa Banjir
MPOB : Malaysia Palm Oil Output Resillent Despite Flood Distruption
Penurunan Hasil Panen Kelapa Sawit menjadi kekhawatiran Para Petani
Falling Palm Oil Yields Among Planters’ Concerns
Ekslusif : Penyuling India Membatalkan Pesanan Minyak Kelapa
Sawit di karenakan Kenaikan Harga
Exclusive : Indian Refiners Cancel Palm Oil Orders Due to Price Surge
Ilmuwan Menganjurkan Budidaya Kelapa Sawit Secara Mendesak
Scientists Advocate Urgent Oil Palm Cultivation
Perusahaan Sawit Indonesia Bidik Pasar Baru di Tengah Bayangbayang Perang Dagang AS
Indonesia Palm Oil Firms Eye New Markets as US Trade War
Casts Shadow
Dorongan India untuk Mencapai Kemandirian Dalam Minyak
Kelapa Sawit Mendapat Dorongan NMEO-OP
India’s Push for Self-Reliance in Palm Oil Gets a Boost with NMEO-OP
Rangkuman Berita: Tarif AS Mengancam Kelapa Sawit, RI
Mencari Negosiasi
News Roundup: USA Tariff Threatens Palm Oil, RI Seeking Negotiations
MPOB Memperkenalkan Aplikasi Berbasis AI Untuk Petani Kecil
Kelapa Sawit
MPOB Introduces AI-Powered Apps for Palm Oil Smallholders
Abler Nordic, Livelihoods Funds, Musim Mas, dan Temasek Foundation Meluncurkan Inisiatif Pembiayaan Campuran untuk
Kelapa Sawit Berkelanjutan demi Melawan Deforestasi dan Mendukung Setidaknya 400 Petani Kecil
Abler Nordic, Livelihoods Funds, Musim Mas, and Temasek
Foundation Launch Blended Finance Initiative on Sustainable Oil Palm to Combat Deforestation and Aim to Support at least 400 Smallholders
Minyak Sawit Indonesia Terancam karena Kenaikan Suhu
Membunuh Kumbang Penyerbuk
Indonesia’s Palm Oil at Risk as Rising Temperatures Kill Pollinating Beetles
Indonesia Tekankan Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Energi
Indonesia stresses sustainable palm oil for food, energy security
Akhir dari Minyak Sawit Murah? Produksi Terhambat Saat Permintaan Biodiesel Melonjak
The end of cheap palm oil? Output stalls as biodiesel demand surges
Pabrik Kelapa Sawit Bertenaga AI Hemat RM1,6 Juta Per Tahun, Pangkas 33% Tenaga Kerja Asing
AI-Powered Palm Oil Mill Saves RM1.6mil a Year, Cuts Foreign Labour by 33PCT
Para Diplomat dan Ilmuwan Menekankan Perlunya Meningkatkan
Budidaya Kelapa Sawit
Indonesian Diplomats, Scientists Underscore Need for Boosting Oil Palm Cultivation
enteri Perencanaan Pembangunan Nasional Rachmat Pambudy mengatakan hilirisasi kelapa sawit akan dilakukan dalam empat tahap. Sebagai komoditas strategis, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045, hilirisasi kelapa sawit akan dilakukan sedikitnya dalam empat tahap. Tahapan tersebut adalah penguatan ekosistem industrialisasi, peningkatan kapasitas produksi untuk kebutuhan dalam negeri, penguatan daya saing industri menuju ekspansi global, dan pencapaian ekspor neto. “Kami berharap hilirisasi kelapa sawit dapat mendukung pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan,” ujarnya dalam seminar daring yang diselenggarakan IPB University, Selasa.
Menurut Rachmat, hilirisasi kelapa sawit memiliki potensi yang baik mengingat posisi Indonesia sebagai produsen utama minyak kelapa sawit (CPO). Produksi nasional mencapai 68,7 persen dari total produksi, imbuhnya. Selain itu, program prioritas pemerintah seperti mandatori biofuel B35 dan program makanan bergizi gratis diharapkan dapat meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit olahan. Lebih lanjut, ia mengatakan perkebunan kelapa sawit juga dapat mendukung kemandirian pangan dengan menerapkan mekanisme tumpang sari atau agroforestri, serta sistem integrasi sapi dan kelapa sawit (SISKA). Sistem ini bertujuan untuk mendukung produksi pangan dan menjaga kualitas lingkungan, serta meningkatkan pendapatan petani. Kelapa sawit berpotensi mendukung ketahanan energi dan mendukung pencapaian target bauran energi nasional, termasuk melalui pengembangan biofuel, tegasnya. Biomassa dari serat kelapa sawit, cangkang, tandan kosong, pelepah, dan batang kelapa sawit juga dapat berfungsi sebagai sumber energi alternatif. Ia menginformasikan produksi dan pengelolaan kelapa sawit berpotensi mendukung penerapan ekonomi sirkular. Yaitu dengan mengarahkan komponen kelapa sawit untuk digunakan kembali menjadi produk yang bermanfaat.
Rachmat mengatakan perkebunan kelapa sawit dapat menyerap karbon dan melepaskan oksigen dengan laju yang berbeda dengan hutan. “Konversi lahan menimbulkan emisi karbon, oleh karena itu diperlukan pengelolaan kelapa sawit yang dapat mendukung program pembangunan rendah karbon dengan konversi lahan gambut serta penerapan pertanian regeneratif dan kelapa sawit berkelanjutan,” imbuhnya.
he Indonesian government will carry out the downstreaming of the palm oil industry in four stages, National Development Planning Minister Rachmat Pambudy has said. As it is a strategic commodity, based on the National Long-Term Development Plan 2025–2045, the downstreaming of palm oil will be carried out in at least four stages, he informed. They are strengthening the industrialization ecosystem, increasing production capacity for domestic needs, strengthening industrial competitiveness toward global expansion, and achieving net exports. “We hope that palm oil downstreaming will support high and sustainable growth,” he said at an online seminar held by the IPB University on Tuesday.
According to Rachmat, palm oil downstreaming has good potential, considering Indonesia’s position as the main producer of crude palm oil (CPO). The nation accounts for 68.7 percent of the total production, he added. In addition, priority government programs, such as the mandatory B35 biofuel as well as the free nutritious meals program, are expected to increase the demand for processed palm oil. He further said that palm oil plantations can also support food self-sufficiency by adopting intercropping or agroforestry mechanisms, as well as the cattle and oil palm integration system (SISKA). This system aims to support food production and maintain environmental quality, as well as increase farmer incomes. Palm oil has the potential to support energy security and support the achievement of national energy mix targets, including through the development of biofuels, he emphasized. Biomass from oil palm fiber, shells, empty bunches, fronds, and replanting stems can also serve as an alternative source of energy. He informed that palm oil production and management could potentially support the implementation of a circular economy. This would involve directing the components of oil palm for reuse into useful products.
Rachmat said that oil palm plantations can absorb carbon and release oxygen at different rates than forests. “Land conversion causes carbon emissions, therefore, we need palm oil management that can support low-carbon development programs with peatland conversion as well as implementation of regenerative agriculture and sustainable palm oil,” he added.
enteri Perdagangan Indonesia, Budi Santoso, menyoroti perjanjian bilateral yang semakin diperkuat antara Indonesia dan Malaysia untuk meningkatkan kerja sama di sektor kelapa sawit. Mendampingi Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan kenegaraan ke Malaysia barubaru ini, Menteri Budi menekankan meningkatnya permintaan global terhadap kelapa sawit. “Selama pertemuan, Presiden Prabowo mengatakan bahwa setiap negara yang dikunjunginya menyatakan kebutuhan akan kelapa sawit. Presiden Prabowo juga berharap kerja sama antara Indonesia dan Malaysia di sektor ini dapat ditingkatkan,” ujar Budi dalam pernyataan tertulis pada Selasa, 28 Januari 2025. Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, yang menyumbang 80 persen produksi global, Indonesia dan Malaysia berada dalam posisi yang menguntungkan dari kerja sama ini. Menteri Budi juga mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dukungan Malaysia dalam upaya kolaboratif ini.
Kementerian Perdagangan menegaskan komitmennya untuk melaksanakan rencana kerja sama yang telah disepakati di sektor kelapa sawit. “Indonesia mengharapkan kolaborasi yang berkelanjutan dengan Malaysia untuk mengatasi berbagai hambatan ekspor kelapa sawit yang muncul di pasar global,” ujarnya. Sebelumnya, Presiden Prabowo telah menekankan tingginya permintaan global terhadap komoditas kelapa sawit. “Kelapa sawit adalah komoditas yang sangat penting. Setiap kali saya mengunjungi negara tertentu, mereka selalu mengatakan bahwa mereka membutuhkan kelapa sawit, termasuk Mesir, India, dan Pakistan,” kata Prabowo dalam pernyataan bersama Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, di Menara Petronas, Kuala Lumpur, pada Senin.
Prabowo juga mengajak Malaysia untuk bekerja sama dalam meningkatkan produksi kelapa sawit global. Namun, pernyataannya baru-baru ini terkait perkebunan kelapa sawit menuai kritik dari para pegiat lingkungan. Ia menganjurkan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia dengan alasan pentingnya komoditas ini secara strategis. “Saya percaya bahwa kita harus meningkatkan budidaya kelapa sawit di masa depan. Jangan takut terhadap deforestasi,” ujar Presiden Indonesia dalam Konferensi Perencanaan Pembangunan di Gedung Bappenas pada Senin, 30 Desember 2024.
Greenpeace Indonesia dengan cepat mengkritik usulan Presiden Prabowo, menegaskan bahwa hal tersebut bertentangan langsung dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagaimana diatur dalam Perjanjian Paris.
ndonesian Trade Minister Budi Santoso highlighted the strengthened bilateral agreement between Indonesia and Malaysia to enhance cooperation within the palm oil sector. Accompanying President Prabowo Subianto during a recent state visit to Malaysia, Minister Budi emphasized the growing global demand for palm oil. “During the meeting, President Prabowo said that every nation he visited expresses a need for palm oil. President Prabowo also hopes that cooperation between Indonesia and Malaysia in this sector can be improved,” Budi conveyed in a written statement on Tuesday, January 28, 2025. As the world’s leading palm oil producers, accounting for 80 percent of global production, Indonesia and Malaysia are positioned to benefit from such cooperation. Minister Budi also expressed gratitude for Malaysia’s support in advancing these collaborative efforts.
The Ministry of Trade affirmed its commitment to implementing the agreed-upon plans for palm oil sector cooperation. “Indonesia anticipates continued collaboration with Malaysia to address emerging barriers to palm oil exports encountered in various global markets,” he stated. Previously, President Prabowo had underscored the global demand for palm oil commodities. “Palm oil is a crucial commodity. Every time I visit certain countries, they always say they need palm oil, including Egypt, India, and Pakistan,” said Prabowo in a statement with Malaysian Prime Minister Anwar Ibrahim at the Petronas Towers in Kuala Lumpur on Monday.
Prabowo further invited Malaysia to work together to increase global palm oil production. However, his recent statements regarding palm oil plantations have drawn criticism from environmental advocates. He advocated for an expansion of palm oil plantations in Indonesia, citing the strategic importance of this commodity. “I believe that we should increase oil palm cultivation in the future. Don’t be afraid of deforestation,” the Indonesian President stated during a Development Planning Conference at the Bappenas building on Monday, December 30, 2024.
Greenpeace Indonesia swiftly criticized President Prabowo’s proposal, asserting that it directly contradicts Indonesia’s commitment to reducing greenhouse gas emissions as outlined in the Paris Agreement.
ara pedagang bersiap menghadapi kelebihan pasokan minyak sawit Indonesia setelah tindakan keras terhadap ekspor ilegal oleh produsen terbesar di dunia tersebut menekan permintaan dari pemasok energi dan transportasi Eropa. Komoditas ini banyak digunakan dalam berbagai hal, mulai dari coklat batangan hingga sampo dan biofuel, tetapi telah mendapat sorotan tajam dari pemerintah karena khawatir produksinya memerlukan penghancuran sebagian besar hutan hujan.
Minyak kelapa sawit yang diperdagangkan di bursaBursa Malaysia Derivatives, patokan global, turun dari titik tertinggi 30 bulan yakni lebih dari RM5.150 ($1.167) per ton pada bulan Desember menjadi kurang dari RM4.200 ringgit pada bulan Januari setelah Indonesia membatasi ekspor minyak goreng bekas dan produk limbah minyak kelapa sawit. Hal itu menimbulkan kekhawatiran akan kelebihan pasokan minyak kelapa sawit murni, karena banyak produsen Indonesia telah melepas kelebihan pasokan ke perusahaan-perusahaan di Eropa yang mencari biofuel. Larangan tersebut memiliki “implikasi pada harga karena sekarang apa yang Anda lihat tibatiba, ada banyak minyak sawit tersedia di negara ini”, kata Mohd Haris Mohd Arshad, kepala operasi di SD Guthrie, produsen minyak sawit Malaysia yang sebelumnya dikenal sebagai Sime Darby Plantation. “Minyak kelapa sawit dicampur ke dalam minyak goreng bekas apa pun yang dapat mereka kumpulkan,” katanya. “Biasanya, mereka akan mengekspornya ke pedagang, yang kemudian akan membawanya ke Eropa.” Larangan Indonesia tersebut telah menambah tekanan lebih lanjut terhadap pasar yang telah menyesuaikan diri dengan dampak dari desakan Uni Eropa empat tahun lalu untuk menghentikan perusahaan yang mengonsumsi biofuel dalam jumlah besar menggunakan minyak sawit yang bersumber dari lahan yang telah gundul.
Perusahaan di berbagai industri dari perusahaan minyak seperti Shell dan BP hingga produsen otomotif seperti Ford dan Volkswagen, serta maskapai penerbangan termasuk Lufthansa menggunakan biofuel untuk menggerakkan truk dan pesawat. Untuk menekan permintaan, blok tersebut menawarkan insentif kepada konsumen besar agar membeli minyak goreng bekas alih-alih minyak sawit murni dari lahan yang gundul. Namun, orang dalam industri mengatakan beberapa eksportir Asia memberi label ulang minyak kelapa sawit murni sebagai minyak goreng bekas, atau mencampur minyak bekas dengan pasokan baru, sehingga menciptakan pasar yang lebih tidak transparan.
Sebuah studi dari kelompok kampanye Transport & Environment yang diterbitkan Juni lalu menunjukkan bahwa China dan Malaysia mengekspor lebih banyak minyak goreng bekas ke Eropa daripada yang secara teoritis tersedia. Malaysia sendiri mengekspor tiga kali lebih banyak minyak goreng bekas daripada yang dikumpulkan di negara tersebut, menurut data yang dikutip oleh studi tersebut.
Kementerian Perdagangan Indonesia memperkirakan bahwa ekspor residu minyak sawit dan minyak goreng bekas, dua produk sampingan utama dari produksi, meningkat sebesar 21 persen antara tahun 2019 dan 2023. Ekspor minyak sawit mentah turun seperlima dalam periode yang sama, menurut temuan pemerintah. Kedua tren tersebut menunjukkan bahwa ekspor minyak goreng bekas dan residu minyak sawit “tidak murni berasal dari residu atau pengolahan minyak sawit mentah bekas, tetapi juga merupakan campuran minyak sawit murni”, kata menteri perdagangan negara itu, Budi Santoso, saat larangan tersebut mulai berlaku di awal tahun. “Permintaan luar negeri untuk bahan baku limbah [seperti minyak goreng bekas] telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir karena persyaratan lingkungan dan keberlanjutan di negaranegara pengimpor tertentu,” ungkapnya. Harga minyak sawit telah pulih dalam beberapa minggu terakhir, menjadi RM4.700 per ton, setelah produsen terbesar kedua di dunia, Malaysia, mengatakan produksi tahun ini akan terpengaruh oleh curah hujan tinggi di Asia Tenggara. Indonesia menyatakan pihaknya berencana menggunakan surplus tersebut untuk meningkatkan permintaan di pasar lokal dan mewajibkan biofuel dicampur dengan 40 persen minyak sawit, naik dari 35 persen. Oscar Tjakra dari Rabobank mengatakan ia berharap mandat tersebut akan membantu harga setelah “koreksi” Januari menjadi stabil dan naik, dan selanjutnya didukung oleh produksi terbatas di Indonesia dan Malaysia. Ia meramalkan akan terjadi defisit minyak sawit global pada tahun hingga Oktober, jangka waktu yang dianggap industri sebagai siklus tahunannya untuk menanam, memanen, dan mendistribusikan minyak sawit. Namun, Arshad dari SD Guthrie mengatakan bahwa konsumen Indonesia tidak mungkin menerima harga biofuel yang diperkaya minyak kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar biasa. Pemerintah juga tidak akan mampu mendanai subsidi yang dibutuhkan, katanya. Dan produsen khawatir bahwa pasar minyak sawit global mungkin menghadapi tekanan lebih lanjut yang dapat mendorong harga semakin rendah.
AS akan memperkenalkan insentif pajak era Biden tahun ini untuk mendorong produksi bahan bakar bersih untuk transportasi. Insentif tersebut dimaksudkan untuk menawarkan keringanan pajak kepada perusahaan yang memproduksi bahan bakar rendah karbon, termasuk produk limbah minyak sawit yang dapat diubah menjadi biofuel. Namun, pemerintahan Trump telah menunda rencana tersebut dan sedang berkonsultasi dengan pasar mengenai potensi perubahan, termasuk mengecualikan minyak goreng bekas dari cakupan skema insentif. Pengecualian dapat memaksa penyulingan AS untuk mencari alternatif, memperpanjang surplus minyak sawit dan membebani harga, kata seorang eksekutif biofuel yang berbasis di Singapura yang menolak disebutkan namanya.
Sementara pasar sedang menyesuaikan diri, Uni Eropa berencana untuk lebih memperketat standarnya terkait sumber minyak kelapa sawit pada akhir tahun. Mulai Januari, perusahaan harus membuktikan bahwa minyak kelapa sawit yang mereka impor ke Eropa untuk digunakan dalam semua barang mulai dari makanan hingga deterjen dan kosmetik tidak ditanam di lahan yang gundul. Produsen mengatakan akan mahal untuk memasok minyak sawit yang mematuhi aturan baru blok tersebut. “Biaya untuk membawa minyak kelapa sawit ke Eropa akan naik secara signifikan karena hal ini akan memaksa para produsen untuk menyesuaikan diri dan memastikan mereka mengalihkan minyak yang sesuai [dengan UE] ke Eropa,” katanya. Konsumen akan membayar tagihannya, membayar lebih untuk “semuanya”, katanya: “pasta gigi, coklat . . . roti gulung sosis Greggs”.
Traders are bracing for a glut of Indonesian palm oil after a clampdown on illicit exports by the world’s largest producer squeezes demand from European energy and transport suppliers. The commodity is widely used in everything from chocolate bars to shampoo and biofuels but has come under increasing scrutiny from governments concerned its production requires large tracts of rainforest to be destroyed.
Palm oil traded on the Bursa Malaysia Derivatives exchange, the global benchmark, fell from a 30-month high of more than RM5,150 ($1,167) a tonne in December to less than RM4,200 ringgit in January after Indonesia curbed exports on used cooking oil and palm oil waste products. That has raised fears of a glut of virgin palm oil, as many Indonesian producers had offloaded excess supplies to companies in Europe looking for biofuel. The ban is having “an implication on price because now what you see all of a sudden, there’s a lot of palm oil available in the country” ,
said Mohd Haris Mohd Arshad, chief operating officer at SD Guthrie, a Malaysian palm oil producer previously known as Sime Darby Plantation. “Palm oil was being blended into whatever used cooking oil that they could collect,” he said. “Typically, they would be exporting it to traders, who would then bring it over to Europe.” Indonesia’s ban has added further strain to a market already adjusting to the fallout from an EU push four years ago to stop companies that consumed vast amounts of biofuel from using palm oil sourced from deforested land. Companies across industries — from oil companies such as Shell and BP to automotive manufacturers such as Ford and Volkswagen, as well as airlines including Lufthansa — use biofuels to power trucks and planes. To suppress demand the bloc offered incentives to large consumers to buy used cooking oils rather than virgin palm oil from deforested land. However, industry insiders said some Asian exporters relabelled virgin palm oil as used cooking oil, or blended used oil with fresh supplies, creating a more opaque market. A study
from campaign group Transport & Environment published last June showed that China and Malaysia were exporting more used cooking oil to Europe than was theoretically available. Malaysia alone was exporting three times more used cooking oil than was collected in the country, according to data cited by the study.
Indonesia’s trade ministry estimated that exports of palm oil residue and used cooking oil, two of the main byproducts from production, increased by 21 per cent between 2019 and 2023. Exports of crude palm oil fell by a fifth in the same period, the government found. The two trends showed that used cooking oil and palm oil residue exports “were not purely from residue or used crude palm oil processing, but were also a mixture of virgin palm oil”, said the country’s trade minister Budi Santoso, when the ban came in at the start of the year. “Overseas demand for waste feedstocks [such as used cooking oil] has soared in recent years due to environmental and sustainability requirements in certain importing countries,” it found. Palm oil prices have rebounded in recent weeks, to RM4,700 a tonne, after the world’s second-largest producer, Malaysia, said production this year would be affected by heavy rainfall in south-east Asia. Indonesia has said it plans to use the surplus to bolster demand in the local market and mandated that biofuels must be blended with 40 per cent palm oil, up from 35 per cent. Oscar Tjakra of Rabobank said he expected the mandate would help prices after January’s “correction” to stabilise and rise, and be further supported by limited production in Indonesia and Malaysia. He predicted that there would be a deficit of global palm oil in the year to October, the timeframe the industry regards as its annual cycle for growing, harvesting and distributing palm oil. However, SD Guthrie’s Arshad said it was unlikely that Indonesian consumers would accept the higher prices of palm oil-enriched biofuel in comparison to regular diesel. Nor would the government be able to fund the required subsidies, he said. And producers worry that the global market for palm oil may face further pressures that could push prices further lower.
The US was due to introduce a Biden-era tax incentive this year to encourage production of clean fuels for transportation. The incentive intended to offer tax credits to companies that produced low-carbon fuels, including palm oil waste products that can be turned into biofuels. However, the Trump administration has postponed the plan and is consulting the market on potential changes, including excluding used cooking oil from the scope of the incentive scheme. Exclusion could force US refiners to seek alternatives, extend the palm oil surplus and weigh on prices, said a Singapore-based biofuels executive who declined to be identified.
And while the market is adjusting, the EU is planning to further tighten its standards on the sourcing of palm oil at the end of the year. From January, companies will have to prove that the palm oil they import into Europe for use in all goods from food to detergents and make-up is not grown on deforested land. Producers say it will be expensive to supply palm oil that is compliant with the bloc’s new rules. “The cost of bringing palm oil into Europe will go up significantly because it will force producers to realign themselves and make sure they divert whatever [EU]compliant oil they have into Europe,” he said. Consumers would foot the bill, paying more for “everything”, he said: “toothpaste, chocolate . . . Greggs sausage rolls”.
Pemerintah Indonesia telah menunda penerapan kebijakan pencampuran B40 secara nasional, yang mewajibkan campuran 40% minyak sawit dengan 60% bahan bakar diesel, demikian laporan Reccessary. Awalnya ditetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari, para pejabat mengonfirmasi penundaan hingga Februari, yang memberikan masa tenggang enam minggu bagi para pelaku bisnis untuk beradaptasi, demikian kata laporan tertanggal 7 Januari. Selain itu, pemerintah mengumumkan bahwa pada tahun 2026, campuran biodiesel akan meningkat menjadi B50, dengan rencana untuk menghentikan impor solar sepenuhnya, tulis Reccessary.
Program biodiesel ditujukan untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor solar sekaligus meningkatkan permintaan terhadap minyak sayur yang diproduksi secara lokal. Meskipun Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan kebijakan pencampuran biodiesel wajib B40 resmi dimulai pada 1 Januari, enam minggu pertama akan berfungsi sebagai masa adaptasi untuk memberi waktu bagi para pelaku usaha untuk menghabiskan sisa stok biodiesel B35 mereka, sementara teknologi terkait akan disesuaikan sebagaimana mestinya.
Perusahaan minyak milik negara, PT.Pertamina, telah menyiapkan dua kilang untuk memproduksi B40, kata laporan itu. Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mengemukakan kekhawatiran bahwa bea keluar baru sebesar 10% pada minyak sawit mentah (CPO) akan membuat ekspor komoditas tersebut kurang kompetitif, tulis The Star
Pada tanggal 19 Desember, pemerintah mengumumkan akan menaikkan ekspor CPO dari 7,5% menjadi 10% untuk mendanai subsidi yang lebih tinggi untuk biodiesel. “Menaikkan pungutan ekspor akan membuat (ekspor) minyak sawit Indonesia kurang kompetitif dibandingkan dengan negara tetangga,” kata Ketua Gapki Eddy Martono seperti dikutip Bloomberg Technoz pada 22 Desember. Industri tersebut juga mengemukakan kekhawatiran bahwa program biodiesel yang ditingkatkan, bersamaan dengan bea masuk yang lebih tinggi, akan menurunkan volume keseluruhan ekspor CPO, terutama dengan latar belakang produksi dalam negeri yang stagnan, tulis The Star pada tanggal 25 Desember.
Menurut laporan Januari Oilseeds: World Markets and Trade dari Foreign Agricultural Service (FAS) Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), peningkatan ke B40 diperkirakan akan meningkatkan konsumsi minyak sawit industri Indonesia sekitar 1 juta ton dari tahun sebelumnya ke rekor 14,5 juta ton pada tahun 2024/25, sehingga mengurangi jumlah kelapa sawit yang tersedia untuk ekspor.
The Indonesian government has delayed the nationwide introduction of its B40 blending policy, which mandates a 40% palm oil mix with 60% diesel fuel, Reccessary reported. Initially set to take effect on 1 January, officials confirmed a delay until February, giving businesses a six-week grace period to adapt, the 7 January report said. In addition, the government announced that by 2026, the biodiesel blend would increase to B50, with plans to completely halt diesel imports, Reccessary wrote.
The biodiesel programme is aimed at reducing the country’s reliance on imported diesel while increasing demand for locally produced vegetable oils. Although Indonesia’s Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) vice minister Yuliot Tanjung said the mandatory B40 biodiesel blending policy officially started on 1 January, the first six weeks would serve as an adaptation period to give businesses time to use up their remaining stock of B35 biodiesel, while related technologies would be adjusted accordingly.
State-owned oil company Pertamina had already prepared two refineries to produce B40, the report said. Meanwhile, the Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) has raised concerns that a new 10% export duty on crude palm oil (CPO) would make exports of the commodity less competitive, The Star wrote.
On 19 December, the government announced that it would raise the CPO export from 7.5% to 10% to fund higher subsidies for biodiesel. “Increasing the export levy will make Indonesian palm oil (exports) less competitive compared to neighbouring countries,” Gapki chairman Eddy Martono was quoted as saying on 22 December by Bloomberg Technoz. The industry also raised concerns that the upgraded biodiesel programme, alongside the higher duty, would lower the overall volume of CPO exports, particularly against a backdrop of stagnant domestic production, The Star wrote on 25 December.
According to the US Department of Agriculture (USDA) Foreign Agricultural Service (FAS) January Oilseeds: World Markets and Trade report, the increase to B40 is expected to increase Indonesia’s industrial palm oil consumption by around 1M tonnes from the previous year to a record of 14.5M tonnes in 2024/25, reducing the amount of palm available for export.
Pernyataan Presiden tersebut menandai titik balik bagi kelapa sawit Indonesia setelah bertahun-tahun mengalami moratorium penerbitan izin baru dan lisensi pengembangan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2011.
Salah satu dari lima poin kebijakan terpenting yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta pada 30 Desember adalah mendorong perluasan besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Hal ini didasarkan pada peran strategis komoditas ini dalam perekonomian Indonesia serta pasokan minyak nabati global. “Saat kunjungan resmi saya ke luar negeri, saya melihat begitu banyak negara khawatir tidak bisa mendapatkan pasokan minyak sawit yang cukup dari Indonesia, mengingat permintaan global terhadap komoditas ini terus meningkat,” ujar Presiden. Ia juga mempertanyakan mengapa deforestasi besar-besaran sering disalahkan pada kelapa sawit, padahal tanaman ini berasal dari pohon dengan banyak daun yang menyerap karbon dioksida. “Kita harus memperluas perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran, dan dengan ini saya memerintahkan gubernur, bupati, serta seluruh aparat penegak hukum untuk melindungi perkebunan kelapa sawit yang ada. Ini adalah aset bangsa,” tegas Prabowo. Bahkan sebelum terpilih dan dilantik sebagai presiden, Prabowo sudah sering menekankan peran strategis kelapa sawit, baik sebagai sumber pangan, bahan baku berbagai produk konsumen, maupun sebagai biofuel. Ia juga mengkritik kampanye negatif internasional yang terusmenerus dilakukan, terutama di Eropa, terhadap komoditas ini. Sejumlah penelitian nasional dan internasional juga mencatat bahwa kelapa sawit semakin berperan tidak hanya dalam perekonomian Indonesia, tetapi juga dalam pasokan lebih dari 40 persen minyak nabati dunia.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa industri kelapa sawit telah berkembang di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, memberikan kontribusi besar dalam pengentasan kemiskinan di pedesaan serta menciptakan banyak lapangan kerja. Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 55 juta ton pada 2023, menguasai 54 persen pangsa pasar global. Penggunaan minyak sawit dalam biodiesel menyumbang 46 persen dari total konsumsi tahun lalu, sementara industri pangan menyerap 44 persen dan industri oleokimia 10 persen. Konsumsi global minyak sawit untuk pangan, bahan bakar, dan produk bernilai tambah lainnya terus meningkat pesat. Sayangnya, pertumbuhan produksi belum dapat sepenuhnya mengimbangi permintaan. Dari sisi pemerataan, sekitar 40 persen dari total perkebunan kelapa sawit Indonesia yang mencapai 16,5 juta hektare dimiliki oleh 6,7 juta petani kecil. Industri kelapa sawit juga secara langsung dan tidak langsung mempekerjakan sekitar 16 juta orang.
Deforestasi akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran sejak awal 1990-an, setelah investor swasta diizinkan masuk ke sektor ini, sempat membuat Indonesia mendapat reputasi buruk sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Namun, persepsi global mengenai deforestasi dan kelapa sawit di Indonesia telah berubah drastis berkat edukasi publik yang terus-menerus serta peningkatan tata kelola industri ini. Para ahli sepakat bahwa Indonesia telah berhasil mengendalikan degradasi hutan primer dan kawasan konservasi, sehingga kelapa sawit tidak lagi seharusnya dikaitkan dengan deforestasi.
Pernyataan kebijakan Presiden ini menandai titik balik bagi industri kelapa sawit Indonesia setelah bertahun-tahun mengalami moratorium izin dan lisensi pengembangan perkebunan kelapa sawit sejak 2011. Perubahan kebijakan yang drastis ini juga didorong oleh kesadaran akan nilai strategis kelapa sawit bagi pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi, serta pengakuan bahwa kelapa sawit terbukti sebagai salah satu komoditas yang paling ramah lingkungan.
Oleh karena itu, perluasan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dipandang sebagai salah satu alternatif terbaik yang dimiliki negara untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi jutaan penerima manfaat, dengan jejak karbon yang minimal. Namun, kebijakan baru ini harus didukung oleh pedoman yang memastikan bahwa perluasan besar-besaran perkebunan kelapa sawit dilakukan sesuai dengan prinsipprinsip keberlanjutan, sebagaimana tertuang dalam konsep lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG). Konsep ini juga telah dituangkan dalam program Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diluncurkan pada tahun 2011. Tanpa pedoman kebijakan yang jelas, pernyataan Prabowo bisa diartikan sebagai ambisi kuat Indonesia untuk meningkatkan produksi minyak sawit, bahkan jika harus mengorbankan lingkungan. Prabowo telah berkomitmen untuk meningkatkan kandungan minyak sawit dalam campuran biodiesel menjadi 40 persen (B40) pada tahun 2025, yang secara otomatis akan meningkatkan permintaan minyak sawit. Untuk memenuhi pertumbuhan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi keharusan.
UNPARALLELLED OIL LIFE WITH LD 8000
• LOW ASH
• EXTENDED SERVICE INTERVALS
• SUPERIOR COMBUSTION CHAMBER CLEANLINESS
OUTSTANDING ANTI-WEAR CAPABILITY WITH CG 40
• MEDIUM ASH
• MINIMAL COMBUSTION CHAMBER DEPOSITS
• SUPERIOR ACID NEUTRALIZATION AND ENGINE PROTECTION
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah memastikan bahwa terdapat lahan luas dengan cadangan karbon rendah yang dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit tanpa menyentuh hutan primer. Secara teknis, budidaya kelapa sawit masih dapat dilakukan di berbagai jenis lahan dengan input dan praktik agronomi yang bervariasi. Kami berpendapat bahwa Prabowo sendiri telah menerima penjelasan dari para menterinya mengenai keberadaan lahan terdegradasi yang luas dan dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Seruan Prabowo untuk meningkatkan produksi hulu minyak sawit menandakan pengakuan terhadap minyak sawit sebagai aset strategis nasional yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik demi menjaga manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat Indonesia. Namun, para menteri kehutanan, pertanian, dan lingkungan hidup perlu mengumumkan informasi rinci mengenai lokasi-lokasi lahan terdegradasi yang cocok untuk ditanami kelapa sawit. Transparansi seperti ini diperlukan untuk meningkatkan keterlacakan minyak sawit kita.
Pemerintah sebaiknya mengalihkan fokus upaya untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan dengan mengembangkan perkebunan baru di Papua, Kalimantan, dan
Sulawesi, namun kita perlu memastikan keberlanjutan operasional melalui penetapan kawasan khusus untuk perkebunan kelapa sawit baru. Kami berharap kementerian terkait segera mengambil langkah konkret untuk menindaklanjuti dan memberlakukan regulasi khusus sebagai pedoman bagi budidaya kelapa sawit baru di daerah-daerah tersebut. Pedoman yang mengikat seperti ini sangat penting untuk mendorong industri kelapa sawit, baik di sektor hulu maupun hilir.
Namun demikian, regulasi baru tersebut harus didukung oleh peta jalan pembangunan jangka panjang, yang memerlukan tata kelola yang lebih baik dan perluasan riset dan pengembangan untuk menghasilkan benih unggul, serta kebijakan pengolahan hulu dan hilir yang terintegrasi di bawah prinsip keberlanjutan ESG. Dengan kata lain, pemerintah tidak bisa lagi menjalankan bisnis minyak sawit seperti biasa. Penting untuk memperbaiki dan menerapkan standar keberlanjutan yang lebih ketat sebagai prasyarat bagi budidaya baru di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya kelapa sawit. Dengan kondisi seperti ini, minyak sawit Indonesia akan terus berkembang secara berkelanjutan tanpa kontroversi yang tidak perlu.
The President’s statement marks a turning point for Indonesian palm oil after years of moratorium on the issuance of new permits and licenses of oil palm plantation development since 2011.
One of the five most important points of policy President Prabowo Subianto made at the National Development Planning Consultation in Jakarta on Dec. 30 urges massive expansion of oil palm plantations because of the strategic role of this commodity in the Indonesian economy and in the global supply of vegetable oil. “I noticed during my official visits overseas how so many countries are concerned about being unable to get enough palm oil supplies from Indonesia due to a steady increase in the international market demand for that commodity,” the President said. He wondered why massive deforestation has often been blamed on this commodity when palm oil is harvested from trees with many leaves that absorb carbon dioxide. “We therefore should massively expand our oil palm plantations and I hereby order provincial governors, regents and all law enforcement agencies to protect existing oil palm estates. They are the nation’s assets,” Prabowo pointed out. Even before Prabowo was elected and inaugurated, he often pointed out the strategic role of palm oil as a source of food, as well as numerous other consumer goods and biofuel. He has lambasted the perpetual negative international campaign, especially in Europe, against the commodity. Many national and international studies have also noted the increasing role of palm oil not only in Indonesia’s economy, but also as a source of more than 40 percent of the world’s consumption of vegetable oil.
Data at the Industry Ministry show that the palm oil industry has spread its growth centers to Sumatra, Kalimantan and Sulawesi, greatly contributing to reducing poverty in rural areas while creating employment opportunities for many. Indonesia is now the world’s largest palm oil producer with a total output of 55 million tonnes in 2023 commanding an impressive share of 54 percent of the global market for palm oil. Palm oil use in biodiesel accounted for 46 percent of total consumption last year, with the food industry taking up 44 percent and the oleochemical industry 10 percent. Global consumption of palm oil for food, fuel and other value-added products has been growing exponentially, but unfortunately the demand does not match up with proportionate growth in production. More encouraging in terms of equality, about 40 percent of Indonesia’s total oil palm plantations of around 16.5 million hectares are owned by 6.7 million smallholders and the palm oil industries directly and indirectly employ around 16 million people.
Deforestation, caused by the recklessly massive opening of oil palm plantations since the early 1990s, soon after private investors were allowed to enter the sector, has given Indonesia a notorious reputation as one of the world’s biggest carbon emitters. However, the global perception of deforestation and palm oil in Indonesia has drastically changed thanks to relentless public education and improved governance. Experts agree that Indonesia has been able to contain the degradation of primary forests and conservation areas, and palm oil should not be linked to deforestation.
The President’s policy statement marked a turning point for Indonesian palm oil after years of moratorium on the issuance of new permits and licenses of oil palm plantation development since 2011. This drastic shift of policy is also driven by the awareness of the strategic value of palm oil to the nation’s development and economic growth, as well as recognition that palm oil is proven to be one of the most environmentally-friendly commodities.
Hence, the expansion of sustainable oil palm plantations is seen as one of the best alternatives the country has to achieve the Sustainable Development Goals (SDGs) with optimum socioeconomic benefits for millions of beneficiaries with the least carbon footprint. But the new policy must be supported by guidelines to ensure that the massive expansion of oil palm plantations will be conducted according to the principles of sustainability, as enshrined in the environment, social and governance (ESG) concept. This concept also has been stipulated in the Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) program which was launched in 2011. Without clear-cut policy guidelines, Prabowo’s statement could be interpreted as Indonesia’s resolute ambition to boost its palm oil production even at the expense of the environment. Prabowo has committed to increasing the mandatory palm oil content in the biodiesel mix to 40 percent (B40) in 2025, which will consequently increase demand for palm oil. To meet such unprecedented demand growth, the expansion of oil palm plantations is imperative.
The Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) has confirmed there is a vast area of low carbon stock land that can be converted into oil palm plantations without touching primary forests. Technically, oil palm cultivation can still be achieved in any type of land with varied agronomic inputs and practices. We are of the opinion that Prabowo himself has been briefed by his ministers about the existence of a vast degraded area that can be converted into oil palm estates. Prabowo’s call to boost
upstream palm oil production signifies the acknowledgement of palm oil as a strategic national asset that should be well protected and well managed to sustain its economic and social benefits for Indonesian people. But the ministers of forestry, agriculture and environment need to announce detailed information on the locations of the degraded areas which are fit to grow oil palms. Such transparency is necessary to enhance the traceability of our palm oil.
The government should refocus its efforts to increase production sustainably by developing new estates in Papua, Kalimantan and Sulawesi, but we need to ensure operational sustainability through the designation of special areas for new oil palm plantations. We hope that the concerned ministries will soon take action to follow through and enact special regulations as a guideline for new oil palm cultivation in the regions. Such binding guidelines are essential to further boost both the upstream and downstream palm oil industry.
The new regulations, however, must be supported by a longterm development road map, which requires better governance and expanded research and development to produce highyield seeds, as well as integrated downstream and upstream processing policy under the ESG principles of sustainability standards. Put another way, the government cannot run the palm oil business as usual. It is imperative to improve and enforce stricter sustainability standards as prerequisites for new cultivations in the oil palm cultivation-designated areas. With such conditions, the Indonesian palm oil will continue to thrive sustainably without unnecessary controversy.
Aturan baru mengharuskan perusahaan untuk memberikan 20 persen tanah mereka kepada petani kecil sebelum pemerintah memperluas izin mereka.
Pemerintah memperketat regulasi izin hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dengan mewajibkan pemohon untuk mengalokasikan 20 persen lahannya kepada petani kecil setempat sebelum izinnya diperpanjang, persyaratan yang sebelumnya dapat dipenuhi setelahnya. Pihak berwenang juga memberlakukan pengawasan yang lebih ketat dalam memilih petani kecil untuk mengelola area yang dialokasikan ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid mencatat bahwa banyak perusahaan perkebunan telah menyerahkan tanah kepada koperasi yang dikendalikan oleh karyawan mereka sendiri, yang secara efektif membuat tanah tersebut tetap berada di tangan perusahaan. “Ini tidak memuaskan karena pada akhirnya, karyawan-karyawan ini tetap bekerja untuk perusahaan, bukan menjadi petani mandiri,” kata Nusron dalam rapat dengan Komisi II DPR yang membidangi urusan dalam negeri dan pertanahan, Kamis. “Kami ingin agar lahan-lahan ini benar-benar dikelola oleh petani kecil setempat.” Perkebunan kelapa sawit dapat mengajukan izin HGU untuk konsesi awal 35 tahun kemudian memperpanjangnya selama 25 tahun berikutnya.
Perkebunan dapat mengajukan perpanjangan 35 tahun, tetapi akan diminta untuk mengalokasikan 30 persen lahan mereka kepada petani kecil setempat, naik dari 20 persen sebelumnya. Nusron menyatakan bahwa penyesuaian ini akan memungkinkan lebih banyak petani lokal untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan perkebunan kelapa sawit. “Pengusaha pemegang izin HGU mungkin tidak senang dengan peraturan ini. Namun tanpa peraturan ini, 16 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang ada akan tetap dikuasai oleh kelompok perusahaan tersebut,” katanya. Selain sekadar mengelola lahan mereka sendiri, Nusron juga membayangkan para petani kecil tersebut terintegrasi ke dalam rantai pasokan perkebunan yang lebih luas, seperti mengambil bagian dalam logistik atau pengadaan pupuk.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2023, perkebunan kelapa sawit di seluruh nusantara dikuasai oleh perusahaan swasta besar dengan penguasaan lebih dari 54 persen, disusul oleh petani kecil dengan penguasaan lebih dari 42 persen. Sisanya dikuasai oleh badan usaha milik negara. Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa Indonesia harus memperluas perkebunan kelapa sawit, menekankan peran penting komoditas tersebut di pasar global dan mengklaim bahwa banyak negara khawatir kehilangan akses terhadapnya. Selain digunakan dalam industri makanan dan kosmetik, minyak sawit juga berfungsi sebagai bahan baku utama untuk biodiesel. Pemerintah terus meningkatkan porsi wajib campuran metil ester asam lemak (FAME) berbahan dasar minyak sawit dalam bahan bakar biodiesel, dengan menaikkan porsinya menjadi 35 persen pada Februari 2023 dari 30 persen pada tahun 2020. Dengan demikian, produk tersebut mendapat julukan B35.
Dimulai bulan Januari ini, pemerintah telah mewajibkan 40 persen porsi FAME berbahan dasar minyak kelapa sawit dalam biodiesel dan bermaksud meningkatkan porsinya lebih lanjut hingga 50 persen tahun depan. Prabowo melangkah lebih jauh pada bulan Desember tahun lalu, menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terhalang oleh kekhawatiran internasional mengenai deforestasi ketika memperluas perkebunan kelapa sawitnya.
Banyak yang mengatakan seruannya untuk ekspansi mungkin terkait dengan ambisinya untuk meningkatkan pasokan dan adopsi biodiesel, yang akan memainkan peran utama dalam mengejar kemandirian energi. Kelompok lingkungan telah menyuarakan kekhawatiran atas seruan untuk mengizinkan perluasan kelapa sawit, serta atas pernyataan yang meremehkan risiko yang ditimbulkan oleh praktik penggundulan hutan.
New
rules require firms to give 20 percent of their land to smallholders before the government extends their permits.
The government is tightening regulations on right-to-cultivate (HGU) permits for oil palm plantations, requiring applicants to allocate 20 percent of their land to local smallholders before their permits get extended, a requirement which previously could be fulfilled afterward. Authorities are also enforcing stricter oversight in selecting smallholders to manage these allocated areas. Agrarian and Spatial Planning Minister Nusron Wahid noted that many plantation firms have handed over the land to cooperatives controlled by their own employees, effectively keeping the land within corporate hands. “This is unsatisfactory because, at the end of the day, these employees still work for the company, rather than being independent farmers,” Nusron said during a meeting with the House of Representatives Commission II, which oversees home and land affairs, on Thursday. “We want these areas to be truly managed by local smallholders.” Oil palm plantations can apply for HGU permits for an initial 35-year concession then extend it for another 25 years.
Plantations can apply for an additional 35 year extension, but would be required to allocate 30 percent of their land to local smallholders, up from the previous 20 percent. Nusron stated that this adjustment would allow more local farmers to benefit from managing oil palm plantations. “Business people holding HGU permits might not be happy with this regulation. But without it, 16 million hectares of existing oil palm plantations would remain dominated by those groups of companies,” he said. Beyond just managing their own plots, Nusron also envisioned those smallholders becoming integrated into the broader supply chain of the plantations, such as taking part in logistics or fertilizer procurement.
Big private entities controlled over 54 percent of oil palm plantations across the archipelago, followed by smallholders at over 42 percent, according to Statistics Indonesia data in 2023. The rest was owned by state-owned enterprises. President Prabowo Subianto has said that Indonesia should expand its oil palm plantations, emphasizing the commodity’s critical role in global markets and claiming that many countries were concerned about losing access to it. Beyond its use in food and the cosmetics industry, palm oil also serves as a key raw material for biodiesel. The government has been steadily increasing the mandatory mix of palm oil-based fatty acid methyl ester (FAME) in biodiesel fuel, raising the share to 35 percent in February 2023 from 30 percent in 2020, earning the product its nickname of B35.
Starting this January, the government has mandated a 40 percent share of palm-oil based FAME in biodiesel and aims to increase the share further to 50 percent next year. Prabowo went further in December last year, asserting that Indonesia should not be deterred by international concerns over deforestation when expanding its oil palm plantations.
Many have said his call for expansion may relate to his ambition to increase biodiesel supply and adoption, which would play a major role in pursuing energy self-sufficiency. Environmental groups have raised concerns over the call to allow oil palm expansion, as well as over statements that undermine the risks posed by deforestation practices.
Malaysia tidak punya rencana untuk meningkatkan campuran biodiesel minyak sawit menjadi 20% dari 10% saat ini, karena pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan akan membutuhkan pendanaan yang tidak bersedia disediakan oleh industri dan pemerintah, kata menteri komoditas pada hari Senin. Terdapat tantangan untuk menerapkan campuran biodiesel hingga 20% karena akan memerlukan investasi dalam infrastruktur yang diperkirakan sekitar 643 juta ringgit ($146,20 juta), Menteri Perkebunan dan Komoditas Johari Abdul Ghani mengatakan kepada parlemen.
Malaysia saat ini memberlakukan mandat biodiesel 10%, meskipun mandat biodiesel 20% diterapkan di Labuan dan Langkawi serta negara bagian Sarawak kecuali Bintulu, katanya. “Keterlibatan kami dengan para pemangku kepentingan industri menunjukkan bahwa mereka ingin pemerintah membiayai ini tetapi kami belum siap untuk mendanainya,” katanya. Produsen minyak sawit terbesar Indonesia telah meluncurkan program biodiesel wajib B40, yang menciptakan ketatnya pasokan di pasar dunia dan membuat minyak sawit lebih mahal daripada minyak pesaing. ($1 = 4,3980 ringgit)
Malaysia has no plans to raise palm oil’s biodiesel blend to 20% from the current 10%, as the required infrastructure development would need funding that both the industry and the government are unwilling to provide, the commodities minister said on Monday. There are challenges to implement the biodiesel blend to 20% as it will require an investment in infrastructure estimated at about 643 million ringgit ($146.20 million), Plantation and Commodities Minister Johari Abdul Ghani told parliament.
Malaysia currently imposes a 10% biodiesel mandate, although a 20% biodiesel mandate is implemented in Labuan and Langkawi as well as the state of Sarawak except Bintulu, he said. “Our engagement with industry stakeholders show that they want the government to finance this but we are not ready to fund it,” he said. Top palm oil producer Indonesia has launched the mandatory B40 biodiesel programme, which created supply tightness in the world market and made palm oil more expensive than rival oils. ($1 = 4.3980 ringgit)
roduksi minyak sawit Malaysia tetap tangguh meskipun ada potensi gangguan akibat banjir yang melanda beberapa negara bagian dalam beberapa bulan terakhir, kata Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) pada hari Senin. “Meskipun gangguan lokal mungkin terjadi akibat genangan air sementara dan penundaan panen, dampak keseluruhan terhadap produksi negara ini diperkirakan dapat dikelola,” kata direktur jenderal MPOB Ahmad Parveez Ghulam Kadir kepada Reuters. Departemen Meteorologi Malaysia mengatakan bulan lalu bahwa Monsun Timur Laut, yang dimulai pada 5 November tahun lalu, diperkirakan akan berlanjut hingga Maret. Hujan deras yang terus-menerus selama beberapa hari dapat menyebabkan banjir di daerah dataran rendah dan rawan banjir, demikian peringatannya.
Malaysia mengalami banjir terparah dalam beberapa dekade pada November tahun lalu, yang mengakibatkan lebih dari 90.000 orang mengungsi. Gelombang banjir lainnya pada Januari memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka di negara bagian selatan Johor, serta di Sarawak dan Sabah di Pulau Kalimantan. Sarawak dan Sabah menyumbang sekitar 55% dari 5,61 juta hektar perkebunan kelapa sawit Malaysia, dan bertanggung jawab atas 43,6 persen produksi minyak sawit mentah tahun lalu.
Ahmad Parveez mengatakan MPOB akan bekerja sama erat dengan para petani untuk membantu industri tersebut pulih. “Meskipun beberapa dampak jangka pendek mungkin terjadi, sektor minyak sawit Malaysia siap untuk menjaga produksinya dan memastikan pasokan global yang stabil,” katanya. Ketika ditanya tentang permintaan minyak sawit masa depan dari Key, Ahmad Parveez mengatakan permintaan dari India, Cina, dan Eropa stabil.
Di India, katanya, penyuling minyak telah beralih ke minyak kedelai karena margin penyulingan yang lebih baik, tetapi permintaan diperkirakan akan meningkat menjelang bulan puasa Ramadan. Di China, impor masa depan akan bergantung pada daya saing harga dan kondisi pasar secara keseluruhan, tambahnya. Di Eropa, permintaan tetap relatif stabil, meskipun penundaan dalam Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) berarti tidak ada lagi urgensi untuk menimbun. Impor dapat berfluktuasi berdasarkan pergerakan harga dan bagaimana industri beradaptasi dengan perubahan peraturan. “Daya saing minyak sawit terhadap minyak kedelai dan minyak bunga matahari akan menjadi faktor utama yang memengaruhi tren permintaan jangka pendek di pasar ini,” katanya.
Malaysia’s palm oil production remained resilient despite potential disruption from floods that have hit several states in recent months, the Malaysian Palm Oil Board (MPOB) said on Monday. “While localised disruptions may occur due to temporary waterlogging and harvesting delays, the overall impact on the country’s production is expected to be manageable,” MPOB director general Ahmad Parveez Ghulam Kadir told Reuters. The Malaysian Meteorological Department said last month that the Northeast Monsoon, which began on November 5 last year, was expected to continue until March. Continuous heavy rainfall over a period of a few days could cause floods in low lying and flood prone areas, it warned.
Malaysia experienced its most severe flooding in decades in November last year, displacing more than 90,000 people. Another wave of floods in January forced thousands from their homes in the southern state of Johor, as well as in Sarawak and Sabah on the island of Borneo. Sarawak and Sabah account for some 55% of Malaysia’s 5.61 million hectares of palm oil plantations, and were responsible for 43.6 percent of crude palm oil production last year.
Ahmad Parveez said the MPOB would work closely with growers to help the industry recover. “While some shortterm effects are possible, Malaysia’s palm oil sector is wellprepared to safeguard its output and ensure steady global supply,” he said. When asked about future palm oil demand from key, Ahmad Parveez said demand from India, China, and Europe was stable.
In India, he said refiners have shifted towards soybean oil due to better refining margins, but demand is expected to pick up ahead of the Muslim fasting month of Ramadan. In China, future imports will depend on price competitiveness and overall market conditions, he added. In Europe, demand remains relatively stable, though the delay in the EU Deforestation Regulation (EUDR) means there is no longer an urgency to stockpile. Imports may fluctuate based on price movements and how the industry adapts to regulatory changes. “Palm oil’s competitiveness against soybean and sunflower oil will be the key factors influencing short-term demand trends in these markets,” he said.
ndustri minyak sawit perlu segera mengatasi masalah menurunnya hasil produksi minyak sawit, menurut para pelaku minyak sawit. Mereka telah menyatakan kekhawatirannya dan merasa lega karena masalah tersebut telah diakui oleh pemerintah. Juga dibahas pada Konferensi dan Pameran Tahunan Palm and Lauric Oils Price Outlook 2025 (POC 2025), para pelaku pasar mengatakan kesenjangan harga antara minyak sawit mentah dan minyak biji pesaing lainnya seperti minyak kedelai atau minyak kanola, berada pada kesenjangan yang sangat lebar dalam sejarah. Menurut mereka, kesenjangan tersebut akan menyebabkan permintaan struktural terhadap minyak sawit turun bahkan saat industri tersebut menghadapi pengawasan ketat dari para pendukung keberlanjutan. Untuk mendorong hasil panen kelapa sawit yang lebih banyak, pemerintah telah berjanji untuk melakukan pemeriksaan langsung pada rantai pasokan minyak sawit guna memastikan bibit yang dijual di pembibitan memiliki kualitas tinggi.
Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani mengatakan hal ini akan memastikan upaya seluruh negeri untuk meningkatkan hasil minyak sawit akan membuahkan hasil pada akhirnya. “Pemerintah akan terus fokus melindungi kepentingan industri dan lebih dari 450.000 petani kecil. “Untuk memastikan bahwa hanya benih berkualitas
tinggi yang akan digunakan dalam upaya penanaman kembali, pemerintah akan melakukan pemeriksaan acak untuk memastikan bahwa pembibitan menjual produk yang tepat,” kata Johari dalam pidatonya di acara tersebut. “Peningkatan hasil panen tentu saja penting untuk menjaga keberlangsungan industri. Pemerintah telah menjadikan penanaman kembali sebagai prioritas untuk meningkatkan produktivitas tanpa memperluas pemanfaatan lahan,” imbuhnya. Sementara itu, ia mengatakan penanaman kembali pohon kelapa sawit masih tertinggal di dalam negeri.
Pada tahun 2024, Malaysia berhasil menanam kembali lahan seluas 114.000 ha, atau 2% dari total lahan yang ditanami, menurun dibandingkan tahun 2023 di mana penanaman kembali mencakup lahan seluas 132.000 ha (2,3%). Johari mencatat bahwa penanaman kembali ini masih di bawah target tahunan yang direkomendasikan sebesar 4% hingga 5% atau 285.000 hektar per tahun. Ia juga mengatakan telah ada pernyataan minat dari calon investor untuk terlibat dalam konversi limbah minyak sawit menjadi listrik terbarukan. “Upaya ini akan membutuhkan kerja sama yang erat dengan berbagai pemangku kepentingan, khususnya Tenaga Nasional Bhd dan Komisi Energi. Kementerian berencana untuk memperluas konektivitas jaringan listrik guna memastikan integrasi energi terbarukan dari industri kelapa sawit yang lancar,” imbuhnya.
he oil palm industry will need to urgently address the issue of falling palm oil yields, according to palm oil players.They have expressed concerns and are relieved that the issue has been recognised by the government. Also discussed at the annual Palm and Lauric Oils Price Outlook Conference and Exhibition 2025 (POC 2025, the players said the price gap between crude palm oil and other competing seed oils such as soy or canola oil, was at a historically wide gap. According to them, the gap would cause structural demand for palm oil to drop even as the industry faces fierce scrutiny from sustainability advocates. To encourage greater oil palm yields, the government had pledged to conduct spot checks on the palm oil supply chain to ensure seedlings being sold at nurseries were of high quality.
Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani said this would ensure the countrywide effort to increase palm oil yields would bear fruit eventually. “The government will continue to focus on protecting the interests of the industry as well as the over 450,000 smallholders. “To ensure that only high quality seeds will
be used in replanting efforts, the government will conduct random checks to ensure that nurseries are selling the right product,” Johari said in his speech at the event. “Increasing yield, of course, is pivotal in securing the industry’s longevity. The government has made replanting a priority to increase productivity without expanding land-use,” he added. Meanwhile, he said the replanting of oil palm trees continued to lag in the country.
In 2024, Malaysia managed to replant 114,000ha, or 2% of total planted area, a decline from 2023 where replanting covered 132,000ha (2.3%). Johari noted that this replanting remains below the recommended annual target of 4% to 5% or 285,000ha per year. He also said there had been expressions of interest by potential investors to be involved in the conversion of palm oil waste to renewable electricity. “This effort will require close collaboration with various stakeholders, particularly Tenaga Nasional Bhd and the Energy Commission. The ministry plans to expand grid connectivity to ensure seamless integration of renewable energy from the palm oil industry,” he added.
Penyuling India harus membatalkan pesanan sebanyak 100,000 ton metrik minyak sawit mentah (CPO) yang telah dijadwalkan untuk pengiriman antara bulan Maret dan Juni, karena lonjakan harga patokan di Malaysia dan margin penyulingan yang negatif di India, kata empat sumber perdagangan. Penyuling dari negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia telah membatalkan jumlah tersebut selama 4 hari, termasuk 30,000 ton pada hari Jumat, setelah harga minyak sawit berjangka Malaysia naik lebih dari 11% selama empat minggu. Pembatalan dari India dapat membatasi reli pada harga minyak sawit Malaysia, meskipun hal tersebut dapat mendukung harga minyak kedelai karena beberapa penyuling beralih ke minyak kedelai. Sumber perdagangan berbicara dengan syarat anonimitas karena mereka tidak berwenang untuk berbicara kepada pers. Salah satu pembeli India, yang mengoperasikan kilang di pantai timur dan membatalkan pengiriman minyak sawit untuk pengiriman Maret, mengatakan bahwa kombinasi margin penyulingan yang negatif di India dan harga luar negeri yang tinggi membuatnya lebih masuk akal untuk mengamankan keuntungan dengan menjual kembali minyak sawit kepada pemasok, daripada mengimpornya.
Pembeli Asia yang sensitif terhadap harga secara tradisional mengandalkan minyak sawit karena biayanya yang rendah dan waktu pengiriman yang cepat. Namun, kenaikan harga barubaru ini telah mendorong minyak sawit menjadi lebih mahal dibandingkan minyak kedelai di pasar global. Masuknya minyak kedelai ke India antara Februari dan Maret, dengan harga sedikit lebih rendah dibandingkan minyak sawit mendorong beberapa penyuling untuk membatalkan pembelian minyak sawit dan bneralih ke minyak kedelai, kata Sandeep Bajoria, CEO Sunvin Group, sebuah perusahaan pialang minyak nabati.
Minyak sawit mentah (CPO) ditawarkan sekitar $1.210 per ton, termasuk biaya, asuransi, dan pengiriman (CIF), di India untuk pengiriman Maret, dibandingkan sekitar $1.120 hingga $1.130 sebulan yang lalu. Impor minyak sawit India, yang sebagian besar berasal dari Indonesia dan Malaysia, pada Januari turun 45% dari bulan sebelumnya menjadi 275.241 metrik ton, terendah dalam hampir 14 tahun, karena penyuling beralih ke minyak kedelai yang lebih murah. Minyak kedelai tersebut sebagian besar diimpor dari Argentina dan Brasil.
Spekulasi pasar bahwa India akan menaikkan bea impor minyak sawit untuk mendukung petani biji minyak lokal juga telah mendorong beberapa penyuling untuk membatalkan kontrak dan mengamankan keuntungan, kata seorang pedagang yang berbasis di New Delhi dari sebuah perusahaan dagang global.
ndian refiners have cancelled orders for 100,000 metric tons of crude palm oil (CPO) scheduled for delivery between March and June, because of a surge in benchmark Malaysian prices and negative refining margins in India, four trade sources said. Refiners in the world’s largest importer of palm oil cancelled the quantity over the last four days, including 30,000 tons on Friday, after Malaysian palm oil futures rose more than 11% over four weeks. The Indian cancellations could limit the rally in Malaysian palm oil prices, although they could also support soyoil prices as some refiners shift to soyoil. The trade sources spoke on condition of anonymity because they were not authorised to speak to the press. One Indian buyer, who operates a refinery on the east coast and cancelled palm oil shipments for March delivery, said the combination of negative refining margins in India and high overseas prices meant it made sense to lock in profits by selling palm oil back to suppliers, rather than importing it.
Price-sensitive Asian buyers traditionally rely on palm oil due to its low cost and quick shipping times. However, the recent price rise has pushed palm oil to a premium over soyoil on the global market. An influx of soyoil into India between February and March, priced slightly lower than palm oil has prompted some refiners to cancel their palm oil purchases to switch to soyoil, Sandeep Bajoria, chief executive of Sunvin Group, a vegetable oil brokerage, said. A Mumbai-based dealer with a global trade house said buyers and sellers were mutually agreeing to cancel contracts, with buyers accepting a slightly lower price than the current market rate for cancellations.
Crude palm oil (CPO) is being offered at about $1,210 a ton, including cost, insurance and freight (CIF), in India for March delivery, compared to around $1,120 to $1,130 a month ago. India’s palm oil imports, which are primarily from Indonesia and Malaysia, in January fell 45% from a month ago to 275,241 metric tons, the lowest in nearly 14 years, as refiners turned to cheaper soyoil. The soyoil is imported mostly from Argentina and Brazil.
Market speculation India will raise its import duty on palm oil to support local oilseed farmers has also prompted some refiners to cancel contracts and book profits, said a New Delhibased dealer with a global trade house.
Penekanan pada perkebunan akan menarik investasi jutaan dolar dan mengurangi impor minyak nabati
KARACHI: Diplomat Indonesia dan ilmuwan Pakistan telah menyerukan peningkatan segera budidaya kelapa sawit lokal untuk mengurangi ketergantungan besar negara terhadap impor minyak nabati. Saat ini, Pakistan mengimpor 92% minyak nabati dengan biaya sekitar $4-5 miliar per tahun. Para ahli menekankan bahwa membudidayakan setidaknya 60.000 acre dengan kelapa sawit dapat menarik investasi sebesar $30 juta dan secara signifikan mengurangi tagihan impor.
Delegasi tingkat tinggi dari Indonesia, yang dipimpin oleh Pejabat Konsul Jenderal Teguh Wiwiek dan Konsul Bidang Ekonomi Dr. Ahmad Syofyan, mengunjungi Universitas Pertanian Sindh (SAU) Tandojam untuk mengeksplorasi peluang penelitian bersama dan kolaborasi teknis. Delegasi tersebut meninjau kemajuan perkebunan percobaan di bawah Proyek Percontohan SAU-Dalda Oil Palm di Latif Experimental Farm milik universitas dan berdiskusi dengan Rektor SAU, Profesor Dr. Altaf Ali Siyal, serta anggota fakultas lainnya.
Altaf Ali Siyal mengatakan bahwa wilayah pesisir Pakistan, termasuk Sindh dan Balochistan, memiliki kondisi iklim yang ideal untuk budidaya kelapa sawit. Namun, untuk memperluas cakupannya lebih lanjut, SAU sedang melakukan penelitian bekerja sama dengan Malaysia dan mitra internasional lainnya guna mengembangkan varietas kelapa sawit yang cocok untuk daerah kering. “Universitas ini secara aktif terlibat dalam penelitian di Latif Experimental Farms dan di Kathore, dekat Karachi, bekerja sama dengan berbagai organisasi untuk menilai kelayakan komersial kelapa sawit,” katanya.
Para ahli sepakat bahwa kerja sama yang erat dengan Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, dapat membantu Pakistan mengadopsi praktik agronomi modern dan meningkatkan produksi minyak nabati domestik. Berbicara dalam pertemuan tersebut, Konsul Bidang Ekonomi Dr. Ahmad Syofyan menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mendukung sektor kelapa sawit Pakistan melalui kemitraan penelitian, beasiswa bagi mahasiswa, program pertukaran, dan bantuan teknis.
Stress plantation will attract investment of millions, reduce edible oil imports
ARACHI: Indonesian diplomats and Pakistani scientists have called for urgently boosting local oil palm cultivation to reduce the country’s heavy reliance on imported edible oil. With Pakistan currently importing 92% of edible oil, costing approximately $4-5 billion annually, the experts emphasised that cultivating at least 60,000 acres with oil palm could attract an investment of $30 million and significantly cut the import bill.
A high-level Indonesian delegation, led by Acting Consul General Teguh Wiwiek and Consul for Economic Affairs Dr Ahmad Syofyan, visited the Sindh Agriculture University (SAU) Tandojam to explore avenues for joint research and technical collaboration. The delegation reviewed the progress on experimental plantation under the SAU-Dalda Oil Palm Pilot Project at the university’s Latif Experimental Farm and engaged in discussions with SAU Vice Chancellor Professor Dr Altaf Ali Siyal and other faculty members.
Altaf Ali Siyal said Pakistan’s coastal regions, including Sindh and Balochistan, possessed ideal climatic conditions for oil palm cultivation. However, to further expand the scope, the SAU is conducting research in collaboration with Malaysia and other international partners to develop oil palm varieties suited for arid regions. “The university is actively engaged in research at Latif Experimental Farms and at Kathore, near Karachi, in collaboration with various organisations to assess the commercial feasibility of oil palm,” he said.
The experts agreed that strong cooperation with Indonesia, the world’s leading palm oil producer, could help Pakistan adopt modern agronomic practices and enhance domestic edible oil production. Speaking at the meeting, Consul for Economic Affairs Dr Ahmad Syofyan reaffirmed Indonesia’s commitment to supporting Pakistan’s oil palm sector through research partnerships, student scholarships, exchange programmes and technical assistance.
AKARTA: Perusahaan kelapa sawit Indonesia mencari pasar di Eropa, Afrika, dan Timur Tengah saat mereka mencoba untuk melindungi diri mereka dari dampak perang dagang Donald Trump, kata seorang eksekutif industri top kepada AFP. Indonesia adalah produsen minyak nabati terbesar di dunia yang digunakan dalam pembuatan makanan seperti kue, cokelat, dan margarin serta kosmetik, sabun dan sampo dan menyumbang lebih dari setengah pasokan global. Tetapi tarif 32 persen yang dikenakan pada negara itu menjadikannya salah satu yang paling terpukul di Asia oleh langkah-langkah besar presiden AS yang telah mengirim gelombang kejut ke seluruh dunia. Minyak sawit adalah salah satu ekspor terbesar Indonesia ke Amerika Serikat, dan sementara Trump telah mengumumkan jeda 90 hari untuk menerapkan retribusi, produsen mengatakan ketidakpastian memaksa mereka untuk mencari tempat lain untuk mencari nafkah. “Ini benar-benar memberi waktu bagi kami untuk bernegosiasi ... Jadi produk masih bisa masuk ke sana. Saya pikir ini sangat bagus,” kata Eddy Martono, ketua Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Kamis. Namun, dia memperingatkan bahwa diversifikasi pasar “masih harus dilakukan” untuk menghindari dampak tarif jika mulai berlaku akhir tahun ini, menambahkan bahwa perusahaan akan melihat ke Afrika - khususnya importir utama Mesir - Timur Tengah, Asia Tengah dan Eropa Timur.
Ekspor produk minyak sawit ke Amerika Serikat terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, dengan Indonesia mengirimkan 2,5 juta ton pada tahun 2023, dibandingkan dengan 1,5 juta ton pada tahun 2020, menurut data GAPKI. Eddy meminta Jakarta untuk mempertahankan dominasinya di pasar itu melalui pembicaraan, terutama karena produsen minyak sawit saingan Malaysia terkena tarif yang lebih rendah. “Pangsa pasar minyak sawit Indonesia di Amerika Serikat adalah 89 persen, sangat tinggi. Ini yang harus kita jaga,” katanya.
Menurut data pemerintah Indonesia, Amerika Serikat adalah importir minyak sawit terbesar keempat pada tahun 2023, setelah China, India, dan Pakistan. Tetapi Eddy tetap yakin AS masih akan membutuhkan minyak sawit Indonesia jika tidak ada kesepakatan yang dimeterai ketika 90 hari berakhir. “Ini masih menjadi kebutuhan bagi industri makanan. Saya yakin ekspor kami ke AS akan sedikit menurun atau setidaknya stagnan,” katanya. “Mereka yang dirugikan terlebih dahulu adalah konsumen di Amerika karena produk industri makanan utama mereka membutuhkan minyak sawit.”
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani mengatakan pada pertemuan ekonomi hari Selasa bahwa dia akan menurunkan pajak ekspor minyak sawit mentah, mengurangi beberapa rasa sakit. Sementara Eddy menyambut baik langkah itu, dengan mengatakan itu akan membuat ekspor minyak sawit Indonesia lebih kompetitif, bagi 2,5 juta petani kecil kelapa sawit di negara itu, tarif yang terancam mengkhawatirkan.
Mansuetus Darto, ketua dewan nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan langkah-langkah itu akan berdampak luas jika kesepakatan tidak dicapai. “Bahan baku kelapa sawit akan menumpuk dan kemudian petani tidak bisa panen lagi karena kelebihan kapasitas pada tanaman yang ada,” katanya sebelum jeda diumumkan.
Presiden Prabowo Subianto memilih jalur negosiasi dengan Washington alih-alih pembalasan dan akan mengirim delegasi tingkat tinggi akhir bulan ini. Sementara Trump membidik surplus perdagangan miliaran dolar Indonesia dengan Amerika Serikat, Prabowo mengatakan pungutan yang diancamnya mungkin telah membantu Indonesia dengan “memaksa” untuk menjadi lebih efisien.
Ketua Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengatakan Jakarta akan membeli lebih banyak produk seperti gas alam cair dan gas minyak cair untuk menutup kesenjangan dengan ekonomi terbesar di dunia. Itu telah memberi harapan bagi industri bahwa kesepakatan dengan Trump dapat dilakukan, jika tidak, mereka akan dipaksa untuk beralih ke tempat lain. “Masih ada waktu,” kata Mansuetus setelah jeda diumumkan. “Pemerintah harus bersiap untuk bernegosiasi sebaik mungkin dengan pemerintah AS.”
JAKARTA: Indonesian palm oil companies are seeking new markets in Europe, Africa and the Middle East as they try to protect themselves from the impact of Donald Trump’s trade war, a top industry executive told AFP. Indonesia is the world’s biggest producer of the edible oil used in making foods such as cakes, chocolate, and margarine as well as cosmetics, soap and shampoo and accounts for more than half the global supply. But the 32 percent tariffs imposed on the country make it one of Asia’s hardest hit by the US president’s sweeping measures that have sent shockwaves around the world. Palm oil is one of Indonesia’s biggest exports to the United States, and while Trump has announced a 90-day pause on implementing the levies, producers say the uncertainty is forcing them to look elsewhere to earn their keep. “It actually gives time for us to negotiate... so products can still enter there. I think this is very good,” said Eddy Martono, chairman of the Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) on Thursday. However, he warned that market diversification “must still be done” to avoid the impact of the tariffs if they come into force later in the year, adding that firms would look to Africa -- specifically top importer Egypt -- the Middle East, Central Asia and Eastern Europe.
Exports of palm oil products to the United States have steadily grown in recent years, with Indonesia shipping 2.5 million tons in 2023, compared with 1.5 million tons in 2020, according to GAPKI data. Eddy called on Jakarta to keep its dominance in that market through talks, particularly as rival palm oil producer Malaysia was hit with lower tariffs. “Indonesian palm oil market share in the United States is 89 percent, very high. This is what we must maintain,” he said.
According to Indonesian government data, the United States was the fourth-largest importer of palm oil in 2023, behind China, India and Pakistan. But Eddy remained confident the US would still need Indonesian palm oil if no deal was sealed when the 90 days are up. “It is still a necessity for the food industry. I believe our exports to the US will slightly decline or at least stagnate,” he said. “Those who are harmed first are consumers in America because their main food industry products need palm oil.”
Indonesian Finance Minister Sri Mulyani said at an economic meeting Tuesday that she would lower a crude palm oil export tax, alleviating some of the pain. While Eddy welcomed the move, saying it would make Indonesia’s palm oil exports more competitive, for the country’s 2.5 million palm oil smallholder farmers, the threatened tariffs were worrying.
Mansuetus Darto, the national council chairman of the Palm Oil Farmers Union (SPKS) said the measures would have had a far-reaching impact if a deal wasn’t struck. “The raw material of the palm oil will pile up and then farmers cannot harvest anymore because of overcapacity in existing plants,” he said before the pause was announced.
President Prabowo Subianto opted for a path of negotiation with Washington instead of retaliation and will send a high-level delegation later this month. While Trump took aim at Indonesia’s billion-dollar trade surplus with the United States, Prabowo said his threatened levies may have done Indonesia a favour by “forcing” it to be more efficient.
Chief economic minister Airlangga Hartarto also said Jakarta would buy more products such as liquefied natural gas and liquefied petroleum gas to close the gap with the world’s biggest economy. That has given hope to the industry that a deal with Trump can be done, otherwise they will be forced to turn elsewhere. “There is still time,” said Mansuetus after the pause was announced. “The government should prepare to negotiate as best as possible with the US government.”
ari makanan kemasan hingga produk perawatan pribadi, minyak kelapa sawit merupakan bahan yang tak tergantikan yang memungkinkan kehidupan modern. Oleh karena itu, sebagai negara pengimpor minyak kelapa sawit mentah terbesar di dunia dan menyumbang 38 persen dari konsumsi minyak kelapa sawit global, mencapai swasembada dalam produksi minyak kelapa sawit tidak hanya penting untuk mengurangi beban devisa yang besar tetapi juga untuk meningkatkan keberlanjutan dalam konsumsi minyak kelapa sawit. Melalui peluncuran Misi Nasional Minyak Kelapa Sawit (NMEO-OP) pada tahun 2021, India memulai perjalanan pentingnya menuju kemandirian dalam minyak kelapa sawit.
Dengan kerangka kerja yang komprehensif, NMEOOP bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri sekaligus mengamankan mata pencaharian petani. Misi tersebut menguraikan jalur yang berpusat pada petani untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit secara berkelanjutan melalui perangkat dan insentif yang menjadikan budidaya kelapa sawit sebagai usaha yang layak dan menguntungkan bagi petani, industri, dan negara.
Pedoman NMEO-OP yang terstruktur dengan baik telah membuat budidaya kelapa sawit sangat menarik bagi petani skala kecil di India, dengan fokus khusus pada subsidi, keberlanjutan, dan keamanan mata pencaharian. Petani didorong untuk memanfaatkan lahan terdegradasi dan terlantar untuk budidaya kelapa sawit, mengoptimalkan penggunaan lahan untuk mengubah lahan tandus menjadi sumber pendapatan tetap. Sementara budidaya kelapa sawit identik dengan penggundulan hutan di belahan dunia lain, model India memastikan bahwa produksi minyak sawit dalam negeri ramah lingkungan dan dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
NMEO-OP menawarkan dukungan finansial yang signifikan untuk pemasangan sistem irigasi tetes di bawah Pradhan Mantri Krishi Sinchayee Yojana (PMKSY). Karena pasokan air yang konsisten sangat penting untuk meningkatkan produktivitas tandan buah segar (TBS), pengelolaan air yang efisien sangat penting untuk memastikan hidrasi yang optimal dan memaksimalkan produktivitas. Dengan biaya aktual per hektar mencapai Rs 60.000, mengintegrasikan PMKSY dengan NMEO-OP dapat membantu menutupi sebagian besar biaya, sehingga mengurangi beban keuangan pada petani selama tahap awal penanaman.
Meskipun masa awal empat tahun penanaman kelapa sawit dapat membuat petani merasa takut untuk mengadopsinya, bahkan masa ini dapat menguntungkan melalui praktik penanaman tumpang sari. Menanam tanaman berumur pendek di samping kelapa sawit dapat membantu petani memperoleh penghasilan tambahan saat pohon kelapa sawit tumbuh dewasa. NMEO-OP telah menguraikan subsidi untuk pengelolaan pertanian dan penanaman tumpang sari, yang secara signifikan mengurangi beban keuangan petani selama tahun-tahun awal.
Untuk mendorong petani mengadopsi budidaya kelapa sawit, NMEO-OP menyediakan bahan tanam lokal dan impor gratis. Subsidi ini memfasilitasi akses ke varietas unggul yang tahan penyakit, mengurangi biaya input, dan memperpendek masa kehamilan. Namun, karena mata pencaharian petani sangat bergantung pada kinerja hasil panen, sangat penting untuk menerapkan pemeriksaan kualitas yang ketat pada benih impor guna memastikan tidak ada kompromi. Hasil panen yang tepat waktu sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan petani dan keberhasilan jangka panjang dalam budidaya kelapa sawit.
Wilayah Timur Laut memiliki potensi yang signifikan untuk budidaya kelapa sawit karena curah hujannya yang tinggi. Namun, investasi dalam pemanenan air hujan sangat penting untuk memastikan pasokan air yang cukup selama bulanbulan kering, khususnya dari bulan November hingga Maret. Selain itu, dengan petani yang menghadapi tantangan unik di wilayah tersebut, NMEO-OP menawarkan dukungan yang ditargetkan. Ini termasuk bantuan untuk pembukaan lahan, biofencing, teras setengah bulan, dan sistem pertanian terpadu untuk membantu membuat budidaya layak secara ekonomi. Ketentuan juga dibuat untuk membayar petani atas TBS mereka yang diproduksi sebesar 12,3 persen dari harga CPO, dengan Pemerintah India menanggung tambahan 2 persen sebagai pembayaran khusus. Insentif yang disesuaikan tersebut, yang memprioritaskan petani, sangat penting untuk memastikan pertumbuhan produksi minyak sawit dalam negeri yang berkelanjutan.
Peningkatan luas lahan untuk pertanian kelapa sawit mengharuskan petani diperlakukan sebagai pemangku kepentingan utama. Strategi informasi, edukasi, dan komunikasi (IEC), bersama dengan inisiatif peningkatan kapasitas yang sedang berlangsung, membantu meningkatkan kesadaran petani tentang pertanian kelapa sawit secara efektif. Berdasarkan NMEO-OP, program pelatihan dan kesadaran yang dipimpin negara diarahkan untuk mendidik petani tentang manfaat budidaya kelapa sawit, subsidi yang tersedia, dan praktik terbaik. Upaya ini membantu menjembatani kesenjangan pengetahuan, memungkinkan transisi yang lebih lancar ke pertanian kelapa sawit sekaligus mempromosikan metode pertanian berkelanjutan.
MENGATASI TANTANGAN YANG MUNCUL
Meskipun NMEO-OP telah menciptakan jalur yang kuat untuk meningkatkan produksi minyak sawit, perjalanan yang ditempuh sejauh ini belum bebas dari tantangan.
Kurangnya kesadaran tentang fitur-fitur NMEO-OP dan penerapan yang tidak merata di berbagai negara bagian telah menyebabkan lambatnya adopsi oleh para petani. Meskipun NMEO-OP menyediakan subsidi untuk bibit berkualitas tinggi, hambatan global seperti perang Rusia-Ukraina dan larangan Indonesia terhadap ekspor minyak sawit mentah menyebabkan hanya 6-7 juta kecambah yang diimpor ke India dari permintaan 25 juta pada tahun 2022.
Meskipun pasokan untungnya menurun tahun lalu, hal ini berdampak buruk pada negara bagian yang baru diadopsi dan distrik yang dialokasikan di bawah NMEO-OP, di mana permintaan tidak dapat dipenuhi. Situasi ini semakin diperburuk oleh biaya transportasi antarnegara bagian yang besar dan keterlambatan pencairan insentif kepada petani dan perusahaan. Pada tahun 2023, ketika harga TBS kelapa sawit turun, petani di negara bagian seperti Andhra Pradesh dan Telangana sangat terpukul karena mereka tidak tercakup dalam ketentuan NMEO-OP, yang seharusnya memberi mereka penghasilan tetap meskipun terjadi fluktuasi pasar.
Tantangan di lapangan seperti itu telah mengungkap langkah penting yang harus diambil India untuk meningkatkan produksi minyak sawit mentah secara efisien.
Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan kebijakan dan implementasi antara pemerintah negara bagian dan pemerintah pusat agar manfaat NMEO-OP dapat menjangkau petani secara efektif. Penerapan NMEO-OP secara seragam di seluruh negara bagian sangat penting untuk mengatasi kesenjangan implementasi, sehingga sektor minyak kelapa sawit India dapat berkembang pesat. Untuk menarik investasi, negara bagian harus menghindari perubahan yang sering terjadi dalam kebijakan dan rencana bisnis dengan tujuan pertumbuhan jangka panjang produksi minyak kelapa sawit dalam negeri. Selain itu, memastikan pencairan subsidi tepat waktu dan menyediakan dukungan yang memadai untuk irigasi akan meringankan masalah yang dihadapi oleh petani yang telah mengadopsi pertanian kelapa sawit.
Kedua, berinvestasi dalam infrastruktur yang lebih baik, terutama untuk negara-negara bagian di Timur Laut, akan meningkatkan kelayakan produksi dalam negeri dan membuatnya hemat biaya. Peningkatan kolaborasi antara pemerintah negara bagian dan pusat, bersama dengan mitra industri, dapat membantu memecahkan tantangan khusus negara bagian sekaligus meningkatkan hasil untuk sektor tersebut secara keseluruhan.
Ketiga, meningkatkan kemitraan publik-swasta untuk memastikan NMEO-OP tetap pada jalurnya dan mencapai targetnya sangatlah penting. Mitra industri harus bekerja sama dengan lembaga pemerintah untuk mempromosikan pertanian presisi, mekanisasi pemanenan, dan peningkatan genetika benih, yang akan menguntungkan petani dan negara. Melalui pertemuan tinjauan bulanan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, para pemangku kepentingan utama dapat berkumpul untuk mengukur kemajuan dan mengatasi tantangan bersama. Ini akan membantu melindungi kepentingan petani, menyelaraskan kebijakan dengan implementasi, dan mencapai visi misi India untuk menjadi produsen minyak sawit berkelanjutan terkemuka.
Meski demikian, revisi terbaru bea masuk atas minyak nabati, termasuk minyak kelapa sawit, di bawah kerangka misi tersebut telah memperbarui momentum bagi sektor minyak kelapa sawit India. Oleh karena itu, bagi misi negara kita untuk mencapai Atmanirbharta dalam produksi minyak kelapa sawit, waktunya sudah tepat untuk memulai babak baru.
From packaged foods to personal care products, palm oil is an irreplaceable ingredient that makes modern life possible. Hence, as a country that is the world’s biggest importer of crude edible palm oil and accounts for 38 per cent of global palm oil consumption, achieving self-sufficiency in palm oil production is not only essential for reducing the considerable foreign exchange burden but also for enhancing sustainability in palm oil consumption. It is through the launch of the National Mission on Edible Oil - Oil Palm (NMEO-OP) in 2021 that India kickstarted its crucial journey towards self-reliance in edible oils.
With its comprehensive framework, NMEO-OP aims to enhance domestic production while securing farmers’ livelihoods. The mission outlines a farmer-centric pathway to increase palm oil production sustainably through tools and incentives that make oil palm cultivation a viable and profitable endeavour for farmers, the industry, and the nation. The well-structured guidelines of NMEO-OP have made oil palm cultivation particularly attractive for India’s small-scale farmers, with a special focus on subsidies, sustainability, and livelihood security.
Farmers are encouraged to utilise degraded and wasteland for oil palm cultivation, optimising land use to transform barren plots into sources of consistent income. While oil palm cultivation is synonymous with deforestation in other parts of the world, the Indian model ensures that domestic palm oil production is environmentally friendly and can be sustained in the long term.
The NMEO-OP offers significant financial support for the installation of drip irrigation systems under the Pradhan Mantri Krishi Sinchayee Yojana (PMKSY). Since a consistent water supply is essential to boost the productivity of fresh fruit bunches (FFBs), efficient water management is crucial for ensuring optimal hydration and maximising productivity. With the actual cost per hectare reaching Rs 60,000, integrating PMKSY with NMEO-OP can help cover a significant portion of the expense, thereby reducing the financial burden on farmers during the early stages of cultivation. While the initial four-year gestation period of oil palms can make adoption seem daunting to farmers, even this period can be profitable through intercropping practices. Growing short-duration crops alongside oil palms can help farmers earn additional income while the trees mature. The NMEO-OP has outlined subsidies for farm management and intercropping, considerably reducing the financial burden on farmers during the initial years.
To encourage farmers to adopt palm cultivation, the NMEOOP provides free indigenous and imported planting materials. These subsidies facilitate access to high-yield, disease-resistant varieties, reducing input costs and shortening gestation periods. However, since farmers’ livelihoods depend heavily on yield performance, it is crucial to implement rigorous quality checks on imported seeds to ensure no compromises are made. Timely yields are essential for sustaining farmers’ confidence and longterm success in palm farming.
The Northeast region has significant potential for oil palm cultivation due to its high rainfall. However, investment in rainwater harvesting is essential to ensure an adequate water supply during the dry months, particularly from November to March. Additionally, with farmers facing unique challenges in the region, the NMEO-OP offers targeted support. This includes assistance for land clearance, bio-fencing, half-moon terraces, and integrated farming systems to help make cultivation economically feasible. Provisions are also made to pay farmers for their FFBs produced at 12.3 per cent of the CPO price, with the Government of India covering an additional 2 per cent as a special payment. Such tailored incentives, which prioritise the farmer, are crucial to ensure the continued growth of domestic palm oil production.
Increasing acreage for palm farming requires treating farmers as key stakeholders. Information, education, and communication (IEC) strategies, along with ongoing capacitybuilding initiatives, are helping to effectively raise awareness among farmers about palm farming. Under the NMEO-OP, stateled training and awareness programmes have been geared towards educating farmers about the benefits of oil palm cultivation, available subsidies, and best practices. These efforts help bridge knowledge gaps, enabling a smoother transition to oil palm farming while promoting sustainable agricultural methods.
While the NMEO-OP has created a robust pathway for increasing palm oil production, the journey so far has not been free of challenges.
Lack of awareness about NMEO-OP’s features and uneven implementation across states have contributed to slower adoption by farmers. Despite NMEO-OP’s provision for subsidies for high-quality seedlings, global headwinds such as the Russia-Ukraine war and Indonesia’s ban on crude palm oil exports meant that only 6-7 million sprouts were imported into India against a demand of 25 million in 2022.
While the supply thankfully eased last year, this adversely affected newly adopted states and allotted districts under NMEO-OP, where demand could not be met. This situation was further exacerbated by huge interstate transportation charges and delays in the disbursement of incentives to farmers and companies. In 2023, when FFB prices of oil palms went down, farmers in states like Andhra Pradesh and Telangana were hit particularly hard as they were not covered under provisions of the NMEO-OP, which would have given them a consistent income despite market fluctuations.
Such on-ground challenges have revealed critical steps that India must take to efficiently scale up crude palm oil production.
Firstly, there is an urgent need to align policy and implementation between state and central governments to allow the benefits of NMEO-OP to effectively reach farmers. Uniform adoption of NMEO-OP across states is essential to address implementation gaps, allowing India’s palm oil sector to thrive. To attract investments, states must avoid frequent changes in business policy and plan with a view to the long-term growth of domestic palm oil production. Additionally, ensuring timely disbursement of subsidies and providing adequate support for irrigation will ease issues faced by farmers who have already adopted oil palm farming.
Secondly, investing in better infrastructure, especially for the Northeastern states, will increase the viability of domestic production and make it cost-effective. Increased collaboration between state and central governments, along with industry partners, can help solve state-specific challenges while improving outcomes for the sector at large.
Thirdly, enhancing public-private partnerships to ensure NMEO-OP stays on track and achieves its targets is vital. Industry partners must work in tandem with government agencies to promote precision farming, mechanisation of harvesting, and improving seed genetics, which will benefit both farmers and the nation. Through monthly review meetings convened by the central government, key stakeholders can gather to measure progress and address common challenges. This will help protect farmers’ interests, align policy with implementation, and achieve the vision of India’s mission to become a leading producer of sustainable palm oil.
That said, the recent revision of import duties on edible oils, including palm oil, under the mission’s framework has renewed momentum for India’s palm oil sector. Hence, for our country’s mission to achieve Atmanirbharta in palm oil production, the time is ripe to start a new chapter.
AKARTA - Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa tingginya kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan berdampak signifikan pada daya saing produk ekspor Indonesia, termasuk kelapa sawit. “Kenaikan tarif impor timbal balik sebesar 32% yang diberlakukan Presiden Donald Trump berpotensi mengancam posisi Indonesia di pasar global, khususnya di Amerika Serikat,” kata Airlangga dalam keterangan pers, Kamis (03/4/2025).
Menurutnya, tarif timbal balik AS akan berdampak langsung pada produk elektronik, tekstil dan produk tekstil, kelapa sawit, karet, furnitur, dan produk perikanan Indonesia. Pernyataannya dikeluarkan menyusul pengumuman Trump pada Rabu malam bahwa kebijakan tarif adalah bagian dari perayaan Hari Pembebasan AS. Analis telah memperkirakan bahwa keputusan AS untuk memberlakukan tarif impor timbal balik sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia akan mempengaruhi jutaan petani kecil di industri kelapa sawit dan karet di Indonesia. Pelaku usaha mungkin akan membebani petani kecil dengan menekan harga lebih rendah. “Tarif tinggi AS akan menekan harga komoditas unggulan di daerah-daerah, seperti kelapa sawit dan karet,” kata Ekonom Ikatan Alumni Universitas Jambi, Usman Ermulan.
Saat ini, harga beberapa komoditas unggulan tinggi. Harga tandan buah segar (TBS) sawit rata-rata Rp3.600 per kilogram, sedangkan harga karet mentah Rp 30.000 per kilogram. “Sejauh ini harganya yang tertinggi, yang sangat menggembirakan bagi petani kecil,” katanya. Selain Indonesia, negara-negara seperti China, Thailand, Vietnam, Jepang, Korea Selatan dan negaranegara Uni Eropa sebagai sekutu tradisional AS akan terkena dampak tarif timbal balik yang tinggi.
PELUANG POTENSIAL
Berdasarkan data dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat relatif kecil, yaitu sekitar 1,5 – 1,7 juta ton atau 5-6 persen dari total ekspor minyak sawit. “Tapi Indonesia tidak boleh meremehkan sinyal dari AS. Ini bukan terutama tentang volume ekspor. Ini tentang efek domino yang berpotensi kita hadapi di pasar global,” kata Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung seperti dikutip PRO3 RRI, Senin (07/04/2025). Tungkot mengatakan kebijakan uniliteral AS dapat memicu reaksi berantai dari negara lain. “Ketika sebuah negara besar
mengambil sikap defensif, negara lain bisa mengikutinya. Hal ini dapat mempengaruhi distribusi komoditas strategis seperti kelapa sawit,” katanya. Menurutnya, Indonesia harus mengintensifkan diplomasi ekonomi secara agresif dan strategis, termasuk mengirimkan tim negosiator ke AS.
Namun Tungkot mengatakan bahwa di balik perang dagang, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. “Indonesia dapat mengambil posisi strategis sebagai pemasok alternatif ke China. Ketika China mulai membatasi impor pertanian dari AS, maka akan menciptakan peluang potensial bagi Indonesia sebagai pemasok alternatif untuk negara tersebut. Kita harus mengambil kesempatan seperti itu dan memperkuat pasar kita di China,” katanya. “Juga mengintensifkan hubungan perdagangan dengan China dapat berfungsi untuk mengurangi dampak perang dagang dalam jangka menengah. Dengan strategi yang tepat Indonesia tidak hanya akan menjaga stabilitas ekspor kelapa sawit, tetapi juga meningkatkan pangsa pasar di Asia Timur,” ujarnya.
Menteri Airlangga mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan segera menilai dampak ekonomi dari kebijakan tarif AS dan menyiapkan langkah-langkah mitigasi untuk melindungi sektor-sektor strategis untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional. “Pemerintah akan melakukan evaluasi holistik terhadap dampak tarif tinggi dan mengambil langkah strategis yang diperlukan,” katanya. Ia mengatakan bahwa stabilitas ekonomi akan menjadi prioritas utama pemerintah, termasuk menjaga imbal hasil efek pemerintah (SBN), kurs rupiah, dan likuiditas valuta asing bersama bank sentral, Bank Indonesia (BI). “Tekanan terhadap rupiah dan potensi inflasi yang disebabkan oleh mahalnya harga bahan baku impor akan diantisipasi dengan serius,” katanya.
Menurut Airlangga, sejak awal tahun ini pemerintah Indonesia sudah siap menghadapi kebijakan proteksionis AS dengan membentuk tim lintas kementerian dan kelembagaan serta melakukan komunikasi intensif dengan pemerintah AS. “Kami akan mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan AS. Tujuan kami adalah mendapatkan pembebasan atau pengurangan tarif impor untuk sektor strategis kami,” katanya.
JAKARTA – Economic Coordinating Minister Airlangga Hartarto has stated that the high import tariff policy imposed by USA President Donald Trump will significantly affect the competitiveness of Indonesia’s export products, including palm oil. “The increase of reciprocal import tariff by 32% imposed by President Donald Trump is potential to threaten Indonesia’s position at global market, especially in the USA,” Airlangga said in a press statement on Thursday (03/04/2025).
According to him, the USA reciprocal tariff will directly affect Indonesian products of electronics, textiles and textile products, palm oil, rubber, furniture, and fishery products. His statement was issued following the announcement of Trump on Wednesday night that the tariff policy is part of USA Liberation Day celebration. Analysts have predicted that the USA decision to impose the reciprocal import tariff by 32 percent against Indonesian products will affect millions of smallholders in palm oil and rubber industries in Indonesia. Business players will possibly burden the smallholders by pressing prices lower. “The USA high tariff will push down the prices of top commodities in regions, such as palm oil and rubber,” Economist from Jambi University Alumni Association, Usman Ermulan said.
Currently, the prices of several top commodities are high. The price of palm fresh fruit bunches (FFB) averaged at Rp3,600 per kilogram, while the price of raw rubber is Rp 30,000 per kilogram. “So far, the prices are the highest, which are very encouraging for the small farmers,” he said. Besides Indonesia, countries like China, Thailand, Vietnam, Japan, South Korea and countries of European Union as the USA traditional allies will be impacted by the high reciprocal tariff.
Berdasarkan data dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat relatif kecil, yaitu sekitar 1,5 – 1,7 juta ton atau 5-6 persen dari total ekspor minyak sawit. “Tapi Indonesia tidak boleh meremehkan sinyal dari AS. Ini bukan terutama tentang volume ekspor. Ini tentang efek domino yang berpotensi kita hadapi di pasar global,” kata Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung seperti dikutip PRO3 RRI, Senin (07/04/2025). Tungkot said the USA uniliteral policy could trigger a chain reaction from other countries. “When a big country takes a defensive stance, other countries could follow so. It can affect the distribution of strategic commodities such as palm oil,” he said. According to him Indonesia should intensify economic diplomacy aggressively and strategically, including sending a team of negotiators to the USA.
But Tungkot said that behind the trade wars, there is a big opportunity that can be tapped by Indonesia. “Indonesia can take a strategic position as alternative supplier to China. When China starts limiting agriculture imports from the USA, then it will be creating a potential opportunity for Indonesia as an alternative supplier to the country. We should take such opportunity and strengthen our market in China,” he said. “Also intensifying trade relations with China could function to mitigate impact of trade wars in medium term. With the right strategy Indonesia will not only maintain the stability of palm oil exports, but also increasing market share in East Asia,” he said.
Minister Airlangga said that the Indonesian government will soon assess the economic impacts of the USA tariff policy and prepare mitigation steps to protect strategic sectors to maintain the stability of national economy. “The government will conduct a holistic evaluation on the impacts of the high tariff and take necessary strategic steps,” he said. He said that economic stability will become the main priority of the government, including maintaining the governments securities’ yields (SBN), rupiah exchange, and foreign exchange liquidity together with the central bank, Bank Indonesia (BI). “Pressures against rupiah and potential inflation caused by the expensive prices of imported raw materials will be seriously anticipated,” he said.
According to Airlangga, since early this year the Indonesian government has been ready to face the USA protectionist policy by establishing a cross-ministerial and institutional team and pursuing intensive communication with the USA government. “We’ll send a high level delegation to Washington DC to pursue direct negotiations with the USA. Our goal is to get exemption or reduction of import tariff for our strategic sectors,” he said.
ewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) telah mengembangkan dua aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), yaitu MySawit dan Tekno Sawit, untuk mendukung petani kecil dalam mengelola perkebunan mereka secara lebih efisien.
Wakil Menteri Perladangan dan Komoditas, Datuk Chan Foong Hin, mengatakan bahwa biaya pengembangannya tetap rendah karena kedua aplikasi tersebut dibangun menggunakan platform sumber terbuka dan perangkat pintar yang sudah ada. “Aplikasi Tekno Sawit membantu petani kecil dalam memilih mesin mekanisasi dan otomatisasi yang sesuai untuk berbagai tugas di perkebunan, sehingga meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Sementara itu, aplikasi MySawit dirancang untuk membantu mengelola operasional perkebunan kelapa sawit,” ujarnya. Pernyataan ini merupakan tanggapan terhadap Senator Hussin Ismail, yang menanyakan bagaimana teknologi AI dapat membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja di sektor perkebunan dan komoditas. Chan juga mengungkapkan bahwa MySawit diperkirakan akan diluncurkan setelah Hari Raya Aidilfitri, sebagai bagian dari perluasan solusi digital untuk para petani kecil di industri ini.
he Malaysian Palm Oil Board (MPOB) has developed two AI-powered applications, MySawit and Tekno Sawit, to support smallholders in managing their plantations more efficiently.
Deputy Plantation and Commodities Minister Datuk Chan Foong Hin said the development costs were kept low as both apps were built using open-source platforms and existing smart devices. “The Tekno Sawit application assists smallholders in selecting suitable mechanisation and automation machinery for various plantation tasks, improving efficiency and productivity. Meanwhile, the MySawit application is designed to help manage palm oil plantation operations,” he said. He was responding to Senator Hussin Ismail, who asked how AI technology could help tackle labour shortages in the plantation and commodity sectors. Chan also revealed that MySawit is expected to be launched after Hari Raya Aidilfitri, further expanding digital solutions for smallholders in the industry.
Abler Nordic, Livelihoods Funds, Musim Mas, dan
Temasek Foundation Meluncurkan
Inisiatif Pembiayaan Campuran untuk Kelapa Sawit Berkelanjutan demi Melawan Deforestasi dan Mendukung Setidaknya 400 Petani Kecil
Pengelola dana dampak, Abler Nordic, bekerja sama dengan Temasek Foundation (organisasi filantropi berbasis di Singapura yang menjalankan program-program berdampak di Asia), produsen kelapa sawit berkelanjutan Musim Mas, serta Livelihoods Funds, meluncurkan proyek Sustainable Oil Palm Replanting in Indonesia (SOPRI). Inisiatif percontohan ini memfasilitasi akses pendanaan dan sumber daya bagi petani kecil untuk melakukan penanaman ulang kelapa sawit secara berkelanjutan, meningkatkan pendapatan mereka sambil mencegah perluasan lahan ke hutan. Di Indonesia, petani kecil mengelola lebih dari 40% lahan kelapa sawit, namun menghadapi tantangan besar: pohon sawit yang menua menyebabkan penurunan hasil, sehingga penanaman ulang menjadi kebutuhan mendesak dan mahal. Tanpa akses pendanaan yang terjangkau, beberapa petani kecil mungkin terpaksa membuka hutan hujan, mempercepat deforestasi dan perubahan iklim.
Proyek SOPRI merupakan komponen utama dari Climate Smart Fund milik Abler Nordic diluncurkan dalam fase pilot dengan pendanaan dari Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia—yang menggabungkan modal publik, filantropi, dan swasta untuk menciptakan rantai nilai bebas deforestasi dan mendukung ketahanan petani kecil. Temasek Foundation memperkuat model pembiayaan campuran ini dengan menyediakan modal katalitik untuk menjamin dan mengurangi risiko pinjaman bagi petani kecil dalam proyek SOPRI, sehingga menurunkan biaya pembiayaan dan meminimalkan risiko investasi swasta. Pada fase pertama, proyek SOPRI akan mendukung 400 petani kecil di area seluas 400 hektar di Sumatra, dengan menyediakan pinjaman penanaman ulang jangka panjang, pelatihan literasi keuangan, sertifikasi keberlanjutan, bantuan hak atas tanah, serta perencanaan desa partisipatif untuk mendorong penggunaan lahan yang bertanggung jawab. Sebagai gantinya, petani kecil berkomitmen untuk tidak membuka lahan hutan, yang akan dipantau melalui citra satelit dan pemeriksaan lapangan. Proyek ini dirancang untuk membuktikan bahwa penanaman ulang berkelanjutan dapat dilakukan secara finansial dan diperluas, dengan target fase berikutnya menjangkau lebih dari 20.000 petani kecil. Climate Smart Fund akan bertindak sebagai organisasi utama, mengelola operasi keuangan dan mengoordinasikan pelaksanaan bersama mitra lokal seperti Koltiva dan Bank Amar. Musim Mas menyediakan dukungan teknis untuk membantu petani kecil meraih sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan dan mengakses pasar, sementara Livelihoods Funds memberikan keahlian dalam pelatihan dan sertifikasi untuk membantu petani beralih ke praktik berkelanjutan. Selain penanaman ulang, proyek ini juga menjajaki model agroforestri yang tahan iklim, mengintegrasikan kelapa sawit dengan pohon penaung dan tanaman komersial untuk memperbaiki kesehatan tanah, mengatur iklim mikro, dan membantu petani kecil beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Abler Nordic kini menargetkan untuk memperluas Climate
Smart Fund dari awalnya USD 10 juta menjadi USD 40 juta pada penutupan tahap pertama, dengan memanfaatkan kombinasi modal investor, jaminan, dan hibah untuk memperbesar aksi iklim konkret dan berkelanjutan.
Arthur Sletteberg, Managing Director Abler Nordic, mengatakan:
“Membangun hubungan jangka panjang dengan petani kecil lokal, komunitas, dan mitra adalah inti dari pekerjaan kami. Apa yang kami lakukan ini rumit dan belum pernah dilakukan dalam banyak aspek, tetapi hasil sejauh ini menunjukkan bahwa kami memiliki model dan mitigasi risiko yang tepat untuk memperluas Climate Smart Fund dan menciptakan perubahan bermakna jangka panjang bagi petani kecil dan iklim.”
Sébastien de Royer,
Manajer Proyek Senior – Asia Tenggara dari Livelihoods Ventures, mengatakan:
“Di Livelihoods Ventures, kami percaya pada solusi jangka panjang yang mengatasi akar permasalahan. Melalui kemitraan ini, kami ingin memberdayakan petani kecil dengan dukungan teknis dan konsultasi agar mereka dapat beralih ke sistem pertanian yang berkelanjutan dan tangguh.”
Rob Nicholls, General Manager Projects and Partnerships Musim Mas, mengatakan:
“Inisiatif ini bukan hanya soal dukungan finansial; ini tentang memberdayakan petani kecil dengan pengetahuan dan sumber daya untuk menerapkan praktik berkelanjutan. Kami percaya bahwa melalui kolaborasi dan komitmen, kita bisa menciptakan dampak positif bagi lingkungan dan komunitas dalam produksi kelapa sawit.”
Heng Li Lang,
Kepala Divisi Iklim dan Kelayakan Hidup Temasek Foundation, mengatakan:
“Inisiatif percontohan ini akan menjadi pengubah permainan. Dengan membuka akses pembiayaan melalui modal katalitik, petani kecil dapat menanam ulang secara berkelanjutan tanpa menanggung risiko finansial besar. Temasek Foundation berkomitmen untuk membangun kemitraan Publik-SwastaFilantropis ini bersama Abler Nordic, Livelihoods Funds, dan Musim Mas dalam solusi berbasis alam. Kami tidak hanya mendorong dampak lingkungan yang positif, tetapi juga membuka jalan bagi solusi jangka panjang yang dapat diperluas dan bermakna.”
Impact fund manager Abler Nordic has partnered with Temasek Foundation, a Singapore-based philanthropic organisation that drives impact programmes in Asia, together with sustainable palm oil producer Musim Mas, and Livelihoods Funds to launch the Sustainable Oil Palm Replanting in Indonesia (SOPRI) project. The pilot initiative facilitates access to financing and resources for smallholders to sustainably replant oil palms, increasing their income while preventing forest encroachment. In Indonesia, smallholders cultivate over 40% of the country’s oil palm land but face a significant challenge: aging oil palms that reduce yields, making replanting an urgent and costly necessity. Without access to affordable financing, some smallholders may expand into rainforest areas, accelerating deforestation and climate change.
The SOPRI project is a key component of Abler Nordic’s broader Climate Smart Fund-launched in the pilot phase with funding from the Norwegian Ministry of Climate and Environmentcombining public, philanthropic, and private capital to create deforestation-free value chains and support smallholder resilience projects. Temasek Foundation strengthens this blended finance model by setting aside catalytic capital to guarantee and derisk loans to smallholders for the SOPRI project, thereby reducing financing costs for smallholders and de-risking private investment. In its first phase, the SOPRI project will support 400 smallholders across 400 hectares in Sumatra, offering long-term replanting loans, financial literacy training, sustainability certification, land title support, and participatory village planning to promote responsible land use. In return, smallholders commit to avoiding forest encroachment, monitored through satellite and on-the-ground checks. The project is designed to demonstrate that sustainable replanting is both financially viable and scalable, with future phases aiming to reach over 20,000 smallholders. The Climate Smart Fund will act as the lead organisation, managing financial operations and coordinating implementation with local partners such as Koltiva and Bank Amar. Musim Mas is providing technical support to help smallholders achieve sustainable palm oil certification and access markets, while Livelihoods Funds brings expertise in training and certification to help farmers transition to sustainable practices. Beyond replanting, the project is also exploring climate-resilient agroforestry models, integrating oil palms with shade trees and cash crops to improve soil health, regulate microclimates, and support smallholders in adapting to climate change.
Abler Nordic now aims to expand the broader Climate Smart Fund from the initial USD 10 million fund to 40 million USD in its first close, using a mix of investor capital, guarantees, and grants to scale concrete and sustainable climate action.
Arthur Sletteberg, Managing Director Abler Nordic, said:
“Building long-term relationships with local smallholders, communities and partners is at the heart of our work. What we’re doing is complex and unprecedented in many ways, but the results so far demonstrate that we have the right model and risk mitigation to expand the Climate Smart Fund and create long-term, meaningful change for both smallholder farmers and the climate.”
Sébastien de Royer, Senior Project Manager - Southeast Asiaof Livelihoods Ventures, said:
“At Livelihoods Ventures, we believe in long-term solutions that address challenges at their root. Through this partnership, we aim to empower smallholders with the technical support and advisory needed to transition to sustainable and resilient farming systems.”
Rob Nicholls, General Manager of Projects and Partnerships, Musim Mas, said:
“This initiative is not just about financial support; it is about empowering smallholders with the knowledge and resources they need to implement sustainable practices. We believe that through collaboration and commitment, we can create a positive impact on both the environment and the communities involved in palm oil production.”
Heng Li Lang, Head of Climate and Liveability of Temasek Foundation, said:
“This pilot initiative will be a game-changer. By unlocking financing with catalytic capital, smallholders can replant sustainably without bearing huge financial risks. Temasek Foundation is committed in collectively building this PublicPrivate-Philanthropic partnership with Abler Nordic, Livelihoods Funds and Musim Mas in Nature-based Solutions. We are not only driving positive environmental impact, but also paving the way for scalable and meaningful long-term solutions.”
Perubahan iklim mengancam masa depan produksi minyak sawit, karena panas ekstrem membahayakan kelangsungan hidup Elaeidobius kamerunicus, kumbang penyerbuk utama tanaman kelapa sawit. Studi terbaru yang dipresentasikan dalam International Conference on Oil Palm & Environment (ICOPE) 2025 di Bali mengungkap dampak kenaikan suhu terhadap serangga penting ini. Mohammad Naim, Kepala Departemen Perlindungan Tanaman di SMART Research Institute, memperingatkan bahwa gelombang panas berkepanjangan dapat mengganggu siklus hidup kumbang tersebut dan mengurangi kemampuannya untuk menyerbuk tanaman kelapa sawit secara efisien. “Elaeidobius kamerunicus memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan efisiensi penyerbukan, namun perubahan iklim bisa merusaknya sepenuhnya,” kata Naim dalam ICOPE 2025 di Bali Beach Convention, Kamis.
Menurut Naim, biaya penyerbukan saat ini mencapai Rp 1,8 miliar (sekitar USD 110.000) per hektar. Selama ini, E. kamerunicus merupakan solusi yang hemat biaya, tetapi panas ekstrem bisa memaksa perkebunan mencari metode alternatif yang kemungkinan jauh lebih mahal. Dampak perubahan iklim sudah mulai terlihat. “Kami mencatat suhu setinggi 43°C di Lampung dan Sumatera Selatan selama lebih dari lima hari. Suhu tertinggi yang tercatat di Filipina hanya 35°C,” jelas Naim. Eksperimen laboratorium menguji empat kondisi berbeda untuk menilai ketahanan kumbang. Hasilnya menunjukkan bahwa pada suhu ruangan (hingga 30°C), E. kamerunicus tetap stabil. Namun, pada suhu 43°C, larva mati dalam waktu singkat. “Ini berarti gelombang panas berkepanjangan bisa secara drastis mengurangi populasi kumbang, yang pada gilirannya mempengaruhi efisiensi penyerbukan,” tambah Naim. “Jika kondisi ini terus berlangsung, bagaimana perkebunan bisa mempertahankan produktivitas?”
Selain E. kamerunicus, serangga lain juga memiliki peran penting dalam ekosistem kelapa sawit. Purnama Hidayat, dosen dari Departemen Perlindungan Tanaman IPB University, mengatakan bahwa serangga bukanlah hama, melainkan kontributor utama bagi kesehatan perkebunan. “Serangga bukan hanya penyerbuk—mereka membantu mengendalikan hama, meningkatkan aerasi tanah, dan menjaga keseimbangan ekosistem secara keseluruhan,” kata Hidayat dalam ICOPE 2025. Penelitiannya yang dilakukan di 24 perkebunan dengan sistem manajemen berbeda menantang persepsi umum bahwa serangga adalah ancaman. “Semut dan serangga lain yang sering dianggap hama sebenarnya membantu menjaga stabilitas ekologi,” tambahnya. “Jika kita memahami peran mereka, kita bisa mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia dan beralih ke praktik pertanian yang lebih berkelanjutan.”
Dengan industri minyak sawit Indonesia menopang 25 juta rumah tangga, ancaman perubahan iklim bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga ekonomi. Para ahli mendesak agar perkebunan menerapkan langkah adaptasi iklim, seperti menjaga habitat alami, mengatur penggunaan pestisida, dan mengeksplorasi teknik penyerbukan alternatif. “Kita masih perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana suhu ekstrem mempengaruhi efisiensi penyerbukan dan pembentukan buah,” tutup Naim.
Climate change is putting the future of palm oil production at risk, as extreme heat threatens the survival of Elaeidobius kamerunicus, the primary pollinating beetle for oil palm. A recent study presented at the International Conference on Oil Palm & Environment (ICOPE) 2025 in Bali reveals the impact of rising temperatures on these crucial insects. Mohammad Naim, head of the Plant Protection Department at SMART Research Institute, warned that prolonged heat waves could disrupt the beetle’s life cycle, reducing its ability to pollinate oil palm trees efficiently. “Elaeidobius kamerunicus has incredible potential to improve pollination efficiency, but climate change could undermine it all,” he said during ICOPE 2025 at the Bali Beach Convention on Thursday.
According to Naim, pollination costs currently stand at Rp 1.8 billion ($110,000) per hectare. While E. kamerunicus has been a cost-effective solution, extreme heat could force plantations to seek alternative—and likely more expensive— methods. The impact of climate change is already being observed. “We recorded temperatures as high as 43°C in Lampung and South Sumatra for over five days. The highest recorded temperature in the Philippines is 35°C,” Naim explained. Laboratory experiments tested four different conditions to assess the beetle’s resilience. Results showed that at room temperature (up to 30°C), E. kamerunicus remained stable. However, at 43°C, larvae died within a short period. “This means prolonged heat waves could drastically reduce beetle populations, which in turn affects pollination efficiency,” Naim added. “If these conditions persist, how will plantations maintain productivity?”
Beyond E. kamerunicus, other insects play crucial roles in oil palm ecosystems. Purnama Hidayat, a lecturer from the Department of Plant Protection at IPB University, said that insects are not pests, but key contributors to plantation health. “Insects are not just pollinators—they help control pests, improve soil aeration, and support overall ecosystem balance,” Hidayat said at ICOPE 2025. His research, conducted on 24 plantations with different management systems, challenges the conventional perception of insects as threats. “Ants and other insects often considered pests actually help maintain ecological stability,” he said. “If we understand their role, we can reduce reliance on chemical pesticides and move toward more sustainable farming practices.”
With Indonesia’s palm oil industry supporting 25 million households, the threat posed by climate change is not just an environmental issue but an economic one. Experts urge plantations to implement climate adaptation measures, such as preserving natural habitats, regulating pesticide use, and exploring alternative pollination techniques. “We still need further studies to understand how extreme temperatures affect pollination efficiency and fruit set,” Naim concluded.
Denpasar, Bali (ANTARA) – Wakil Menteri Pertanian Indonesia, Sudaryono, menekankan perlunya peningkatan produktivitas kelapa sawit berkelanjutan untuk mendukung program prioritas pemerintah, khususnya swasembada pangan dan energi, serta hilirisasi sumber daya alam. “Pemerintah ingin agar kelapa sawit kita berkelanjutan,” ujarnya usai pembukaan International Conference on Palm Oil and the Environment (ICOPE) 2025 di Bali, Rabu. Ia menyatakan bahwa produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan melalui intensifikasi lahan dan penggunaan benih unggul. Ia menambahkan bahwa jika perluasan lahan dilakukan, harus dilakukan tanpa menyebabkan deforestasi. Hal ini dapat dicapai melalui kajian menyeluruh dan penerapan praktik berkelanjutan guna mencegah kerusakan lingkungan. Selain itu, program peremajaan sawit (replanting), yang menggabungkan metode tumpang sari seperti penanaman padi gogo atau jagung, dinilai cocok untuk lahan kering.
Sudaryono menyambut baik penyelenggaraan ICOPE 2025 sebagai forum untuk membahas penelitian kelapa sawit dari berbagai aspek, termasuk benih, pupuk, perubahan iklim, teknologi, serta kecerdasan buatan (AI) guna mendukung peningkatan produktivitas kelapa sawit. “Tentu saja ini bermanfaat bagi Indonesia karena 58 persen pasokan kelapa sawit dunia berasal dari negara kita,” ia menekankan. Ia mencatat bahwa produktivitas kelapa sawit dapat mendukung hilirisasi sumber daya alam dan ketahanan pangan, termasuk program prioritas penyediaan makanan bergizi gratis. Program ini ditujukan bagi pelajar sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui. Kelapa sawit juga dapat berkontribusi terhadap swasembada energi melalui program mandatori biodiesel 40 persen (B40), yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Sementara itu, Dewi Lestari Yani Rizki, Direktur Konservasi WWF Indonesia, menekankan bahwa industri kelapa sawit harus secara serius menerapkan praktik berkelanjutan untuk menghadapi tantangan pasar global. Hal ini diharapkan dapat membantu pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati. “Kami percaya bahwa industri kelapa sawit dapat bertransformasi menjadi bisnis yang berkelanjutan di masa depan,” ujar Dewi.
Ketua dan CEO Sinar Mas Agribusiness and Food, Franky Oesman Widjaja, menegaskan bahwa inovasi berkelanjutan serta sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sangat penting untuk menjamin masa depan industri kelapa sawit. Ia berharap konferensi ini menghasilkan hasil nyata dan menempatkan industri kelapa sawit sebagai bagian dari solusi global terhadap tantangan iklim dan lingkungan. “Kami berkomitmen untuk menerapkan praktik terbaik dalam pertanian berkelanjutan, serta melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem di sekitarnya,” tegasnya. Tahun ini, ICOPE diselenggarakan di Sanur, Bali, dari tanggal 12 hingga 14 Februari, dengan partisipasi dari Indonesia, India, Belanda, Prancis, Malaysia, Inggris, Finlandia, Kolombia, dan Spanyol. Konferensi ini menjadi wadah untuk merumuskan transformasi berkelanjutan bagi industri kelapa sawit.
Denpasar, Bali (ANTARA) - Indonesia’s Deputy Minister of Agriculture, Sudaryono, has emphasized the need to improve sustainable palm oil productivity to support the government’s priority programs, particularly food and energy self-sufficiency, as well as natural resource downstreaming. “The government wants our palm oil to be sustainable,” he said after the opening of the International Conference on Palm Oil and the Environment (ICOPE) 2025 in Bali on Wednesday. He stated that palm oil productivity can be increased through land intensification and the use of superior seeds. He added that if necessary, land expansion would be conducted without leading to deforestation. This can be achieved through comprehensive studies and the implementation of sustainable practices to prevent environmental damage. In addition, oil palm replanting, which incorporates the intercropping method involving the planting of upland rice or corn, is suitable for dry land.
Sudaryono welcomed ICOPE 2025 as a forum to discuss palm oil research on various aspects, including seeds, fertilizers, climate change, and technology, as well as artificial intelligence (AI) to support increased palm oil productivity. “Of course, this is beneficial for Indonesia because 58 percent of the world’s palm oil supply comes from our country,” he pointed out. He noted that palm oil productivity can support natural resource downstreaming and food security, including the priority program for free nutritious meals. The free meals program targets school students, pregnant women, and breastfeeding mothers. It can also contribute to energy self-sufficiency through the mandatory 40 percent biodiesel (B40) program, which aims to reduce dependence on fossil fuels.
Meanwhile, Dewi Lestari Yani Rizki, Director of Conservation at WWF Indonesia, emphasized that the palm oil industry must seriously implement sustainable practices to meet global market challenges. This is expected to help the Indonesian government reduce carbon emissions and preserve biodiversity. “We believe that the palm oil industry can transform into a sustainable business in the future,” Dewi said.
Chairperson and CEO of Sinar Mas Agribusiness and Food, Franky Oesman Widjaja, stressed that sustainable innovation and synergy between the government, business actors, and communities are vital to securing the future of the palm oil industry. He expressed hope that the conference will bring concrete results and position the palm oil industry as part of the global solution to climate and environmental challenges. “We are committed to implementing best practices in sustainable agriculture, as well as protecting biodiversity and the surrounding ecosystem,” he said. This year, ICOPE is taking place in Sanur, Bali, from February 12 to 14, with participants from Indonesia, India, the Netherlands, France, Malaysia, the United Kingdom, Finland, Colombia, and Spain. The conference serves as a platform to formulate a sustainable transformation for the palm oil industry.
UALA LUMPUR/JAKARTA, 10 Maret (Reuters) – Harga minyak goreng dapat tetap tinggi selama bertahun-tahun akibat stagnasi produksi dan dorongan biodiesel di produsen utama Indonesia, yang membuat minyak sawit yang sebelumnya murah menjadi lebih mahal—menghilangkan keunggulan yang selama ini menekan harga minyak nabati pesaingnya. Digunakan dalam segala hal mulai dari kue dan minyak penggoreng hingga kosmetik dan produk pembersih, minyak sawit menyumbang lebih dari setengah pengiriman minyak nabati global dan sangat populer di kalangan konsumen di pasar negara berkembang, terutama India. Setelah beberapa dekade minyak sawit murah berkat ledakan produksi dan persaingan pasar, produksi mulai melambat dan Indonesia menggunakan lebih banyak untuk membuat biodiesel, menurut analis industri terkemuka Dorab Mistry. “Hari-hari diskon $400 per ton itu sudah berlalu,” tambah Mistry, direktur perusahaan barang konsumsi India, Godrej International. “Minyak sawit tidak akan semurah itu lagi selama Indonesia terus memprioritaskan biodiesel.”
Minyak sawit, yang biasanya dijual dengan diskon dibandingkan minyak pesaing, kini dijual dengan harga premium akibat menurunnya produksi dan meningkatnya permintaan biofuel Indonesia meningkatkan campuran wajib minyak sawit dalam biodiesel menjadi 40% tahun ini, dan sedang mengkaji peningkatan menjadi 50% pada 2026, serta campuran 3% untuk bahan bakar jet pada tahun depan, sebagai upaya mengurangi impor bahan bakar. Dorongan biodiesel ini akan memangkas ekspor Indonesia menjadi hanya 20 juta ton metrik pada 2030, turun sepertiga dari 29,5 juta pada 2024, menurut perkiraan Eddy Martono, ketua asosiasi minyak sawit terbesar di Asia Tenggara, GAPKI. Mandat biodiesel dari Jakarta, ditambah dengan produksi rendah akibat banjir di Malaysia, telah mendorong harga minyak sawit melampaui minyak kedelai, membuat pembeli mengurangi pembelian. Di India, pembeli terbesar minyak nabati, minyak sawit mentah (CPO) selama enam bulan terakhir memiliki harga lebih tinggi dibandingkan minyak kedelai mentah, kadang melebihi $100 per ton. Padahal, hingga akhir 2022, minyak sawit dijual dengan diskon lebih dari $400. Pekan lalu, warga India membayar $1.185 per ton untuk minyak sawit mentah, naik dari kurang dari $500 pada 2019. Harga minyak nabati yang lebih tinggi dapat menyulitkan upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi, baik di negara yang bergantung pada minyak sawit maupun yang bergantung pada minyak kedelai, bunga matahari, dan canola.
Produksi minyak sawit, yang didominasi oleh Indonesia dan Malaysia, hampir dua kali lipat setiap dekade dari 1980 hingga 2020, memicu kritik terhadap deforestasi demi membuka lahan perkebunan. Selama periode itu, pertumbuhan produksi tahunan rata-rata lebih dari 7%, sejalan dengan permintaan. Namun produksi minyak sawit Malaysia stagnan lebih dari satu dekade lalu karena keterbatasan lahan untuk perkebunan baru dan lambatnya penanaman kembali, sementara kekhawatiran deforestasi memperlambat pertumbuhan di Indonesia. Bahkan di Indonesia, penanaman kembali oleh petani kecil yang menyumbang 40% pasokan masih lambat. Akibatnya, pertumbuhan produksi global telah melambat menjadi 1% per tahun selama empat tahun terakhir. Pada dekade ini, pertumbuhan produksi diperkirakan rata-rata hanya 1,3 juta ton per tahun, menurut analis Thomas Mielke, direktur eksekutif lembaga peramal Oil World yang berbasis di Hamburg kurang
dari setengah rata-rata 2,9 juta ton dalam dekade hingga 2020. Produksi bisa semakin terhambat oleh kekurangan tenaga kerja, tanaman tua, dan penyebaran jamur Ganoderma yang mengurangi hasil panen, kata Mielke.
Pohon sawit mulai kehilangan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun, sementara pohon baru membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun untuk mulai berbuah menjadikan lahan tidak produktif selama itu dan membuat petani enggan menanam kembali. Malaysia hanya menanam kembali 114.000 hektar (282.000 acre), atau sekitar 2% dari total lahan yang ditanami pada 2024, dari target 4% hingga 5%, kata Menteri Perkebunan Johari Abdul Ghani pada Februari. Di Indonesia, penanaman kembali yang lambat menyebabkan penurunan hasil seiring bertambah tuanya tanaman, kata pejabat GAPKI Fadhil Hasan. Hasil CPO turun 11,4% menjadi 3,42 ton per hektar dalam satu dekade.
Sementara negara-negara seperti Kolombia, Ekuador, Pantai Gading, dan Nigeria telah meningkatkan produksi minyak sawit, para pejabat industri mengatakan pertumbuhan dari pemain baru tidak cukup untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, terutama untuk biofuel. Baik Mistry maupun Mielke menyerukan agar Indonesia kembali mengeluarkan izin baru untuk perkebunan sawit—praktik yang dihentikan sejak 2018. “Jika Indonesia mempertahankan moratorium penanaman baru, akan ada kekurangan berkala dan lonjakan harga minyak sawit yang sangat tinggi,” kata Mistry. Produksi yang dibatasi ini akan menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi 3 hingga 4 miliar konsumen di negara berkembang, tambahnya.
Permintaan sudah mulai melemah di pasar utama karena harga yang meningkat, bahkan pembeli industri mulai mencari alternatif, kata CEO SD Guthrie International (SDGU. KL), Shariman Alwani Mohamed Nordin, dalam konferensi industri Februari lalu. Namun, konsumsi minyak sawit diperkirakan tetap meningkat, didorong oleh permintaan dari sektor kimia dan biofuel, kata para pejabat industri. “Kami melihat permintaan yang sangat besar terhadap minyak sawit, dan dengan keterbatasan lahan, kami merasa akan terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan,” kata Harish Harlani, wakil presiden P&G Chemicals.
Harga minyak sawit yang lebih tinggi dapat mendorong naiknya harga minyak pesaing karena peralihan permintaan, kata Sanjeev Asthana, CEO Patanjali Foods Ltd (PAFO.NS) India. “Saat pembeli beralih ke minyak kedelai dan bunga matahari, harga kedua minyak itu juga naik,” tambahnya. “Selain itu, jumlah minyak tersebut terbatas, jadi tidak bisa sepenuhnya menggantikan minyak sawit.”
UALA LUMPUR/JAKARTA, March 10 (Reuters) - Prices of cooking oil could be buoyed up for years by stagnating production and a biodiesel push in top producer Indonesia that are making traditionally cheap palm oil costlier, eliminating an advantage that also curbed prices of rival oils. Used in everything from cakes and frying fats to cosmetics and cleaning products, palm oil makes up more than half of global vegetable oil shipments and is especially popular among consumers in emerging markets, led by India. After decades of cheap palm oil, thanks to booming output and a battle for market share, output is slowing and Indonesia is using more to make biodiesel, respected industry analyst Dorab Mistry said. “Those days of $400-per-ton discounts are gone,” added Mistry, a director of Indian consumer goods company Godrej International. “Palm oil won’t be that cheap again as long as Indonesia keeps prioritising biodiesel.”
Palm oil, which usually trades at a discount to rival oils, has started trading in premium because of lower output and higher demand for biofuels Indonesia increased the mandatory mix of palm oil in biodiesel to 40% this year, and is studying moving to 50% in 2026, as well as a 3% blend for jet fuel next year, as it seeks to curb fuel imports. The biodiesel push will reduce Indonesia’s exports to just 20 million metric tons in 2030, down a third from 29.5 million in 2024, estimates Eddy Martono, chairman of the southeast Asian nation’s largest palm oil association, GAPKI. Jakarta’s biodiesel mandate, coupled with lower production because of floods in neighbouring Malaysia, has already lifted palm oil prices above rival soyoil, prompting buyers to cut purchases. In India, the largest buyer of vegetable oils, crude palm oil (CPO) has commanded a premium over crude soybean oil for the past six months, sometimes exceeding $100 per ton. As recently as late 2022, palm oil traded at discounts of more than $400. Indians were paying $1,185 a ton for crude palm oil last week, up from less than $500 in 2019. Higher vegetable oil prices could complicate governments’ efforts to rein in inflation, whether in palm oil-reliant nations or those dependent on rival soybean, sunflower, and rapeseed oils.
But Malaysia’s palm oil production stagnated more than a decade ago because of lack of space for new plantations and slow replanting, while deforestation concerns have slowed growth in Indonesia. Even in Indonesia, replanting by smallholders, who generate 40% of its supply, remains sluggish. As a result, global production growth has slowed to 1% annually over the past four years. In the current decade, production growth is likely to average 1.3 million tons a year, said analyst Thomas Mielke, executive director of Hamburg-based forecaster Oil World, less than half the average of 2.9 million in the decade to 2020. Production could lose even more momentum from the impact of labour shortages, ageing plantations and the spread of Ganoderma fungus, which is hurting yields, Mielke said.
Oil palms, which start losing productivity after 20 years, need to be replaced after 25 years, with new trees taking three to four years to yield fruit, rendering land unproductive until then and making farmers reluctant to replant. Malaysia replanted 114,000 hectares (282,000 acres), or just 2% of total planted area in 2024, against a target of 4% to 5%, Plantation Minister Johari Abdul Ghani said in February. In Indonesia, slow replanting has brought lower yields amid as plantations get older, said GAPKI official Fadhil Hasan. Its yields of crude palm oil fell 11.4% to 3.42 tons per hectare in a decade.
While countries from Colombia and Ecuador to Ivory Coast and Nigeria have boosted palm oil output, industry officials say growth among newer players falls short of rising demand, particularly for biofuel. Both Mistry and Mielke called for Indonesia to resume issuing new permits for palm oil plantations, a practice it halted in 2018. “If Indonesia keeps the moratorium on new planting, there will be periodic shortages and spells of very high palm oil prices,” said Mistry. The restricted production that resulted would inflict higher prices on 3 billion to 4 billion consumers in the developing world, he added.
Demand is already softening in key markets thanks to rising prices, and even industrial buyers are seeking alternatives, SD Guthrie International CEO Shariman Alwani Mohamed Nordin told an industry conference in February. Still, palm oil consumption will keep surging, fuelled by demand from chemicals and biofuel, industry officials say. “We see huge demand increase happening for palm oil and with the limited land, we feel, there would be demand and supply imbalance,” said Harish Harlani, vice-president at P&G Chemicals.
Higher palm oil prices could ripple out to boost those of rival oils as demand shifts, said Sanjeev Asthana, CEO of India’s Patanjali Foods Ltd “As buyers switch to soy and sunflower, their prices shoot up too,” he added. “Plus, there’s only so much of those oils available, so they can’t completely take palm oil’s place.”
UALA LUMPUR: Pabrik minyak sawit bertenaga Kecerdasan Buatan (AI) pertama di Malaysia telah menunjukkan penghematan biaya yang signifikan dan berkurangnya ketergantungan pada tenaga kerja asing, menghemat rata-rata RM16 juta setahun dan pengurangan 33 persen pekerja asing. Pabrik yang berlokasi di Kuala Kangsar ini yang beroperasi dengan kapasitas 45 metrik ton per jam telah mengurangi biaya pemrosesan sekitar RM1,6 juta per tahun karena lebih rendahnya kehilangan minyak dan biaya pemeliharaan. “Awalnya, pabrik tersebut mempekerjakan 66 pekerja asing, tetapi dengan AI, jumlahnya turun menjadi hanya 44 pengurangan sebesar 33 persen, setara dengan penghematan upah sebesar RM1,1 juta,” kata Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani di Dewan Rakyat.
Johari, yang juga anggota DPR Titiwangsa, mengatakan sistem AI yang dipasang hanya menelan biaya RM5 juta, yang berarti investasi dapat kembali dalam waktu dua tahun. Menanggapi kekhawatiran yang disampaikan oleh Anggota Parlemen Hulu Terengganu Datuk Rosol Wahid tentang potensi hilangnya pekerjaan karena penggunaan teknologi canggih,
Johari menepis ketakutan tersebut. “Yang terpenting adalah teknologi ini dapat mengubah profil industri dari ketergantungan pada pekerja asing menjadi mempekerjakan lebih banyak pekerja lokal,” katanya. Ia menekankan bahwa operasi berbasis AI membutuhkan pekerja lokal yang terampil untuk melakukan pemantauan, sehingga mengalihkan pekerjaan ke peluang berpendapatan lebih tinggi. “Banyak dari teknologi ini memerlukan keahlian untuk mengelola AI, sehingga lebih sesuai dengan pekerjaan berpendapatan tinggi,” kata Johari. Ia pertama kali berbicara tentang pabrik Minsawi Industries, pabrik minyak kelapa sawit yang telah beroperasi selama 41 tahun, pada bulan November tahun lalu.
Minsawi, bermitra dengan Airei Sdn Bhd, mengintegrasikan AI, sensor, dan alat prediktif untuk menyederhanakan pemrosesan minyak sawit. “Jika teknologi ini terbukti efektif, maka harus dipertimbangkan oleh semua pemangku kepentingan di sektor minyak kelapa sawit,” kata Johari kepada wartawan. kw: pertama, berita, berita Malaysia, pertanian, perkebunan, minyak sawit, otomasi, kecerdasan buatan, AI, teknologi, kemajuan, Johari Abdul Ghani, Kuala Kangsar, tabungan, ekonomi
The first Artificial Intelligence (AI)-powered palm oil mill in Malaysia has demonstrated significant cost savings and reduced reliance on foreign labour, saving an average of RM16 million a year and a 33 per cent reduction in foreign workers. Located in Kuala Kangsar, the mill operating at a capacity of 45 metric tonnes per hour had reduced processing costs by an estimated RM1.6 million per year due to lower oil losses and maintenance expenses. “Initially, the mill employed 66 foreign workers, but with AI, the number has dropped to just 44 a 33 per cent reduction, equivalent to RM1.1 million in wage savings,” said Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani in the Dewan Rakyat.
Johari, who is also Titiwangsa member of Parliament, said the AI system installed only cost RM5 million, meaning the investment can be recouped within two years. Responding to concerns raised by Hulu Terengganu MP Datuk Rosol Wahid
about potential job losses due to the use of advanced technology, Johari dismissed the fear. “What is most important is that this technology can transform the industry’s profile from reliance on foreign workers to employing more locals,” he said. He stressed that AI-based operations require skilled local workers for monitoring, shifting jobs towards higher-income opportunities. “Many of these technologies require expertise to manage AI, making them more aligned with high-income jobs,” Johari said. He first spoke about the mill, Minsawi Industries, a palm oil mill that has been in operation for 41 years, in November of last year.
Minsawi, in partnership with Airei Sdn Bhd, integrated AI, sensors, and predictive tools to streamline the processing of palm oil. “If this technology proves effective, it should be considered by all stakeholders in the palm oil sector,” Johari told reporters.
ara diplomat Indonesia dan ilmuwan Pakistan menekankan pentingnya mempercepat pengembangan budidaya kelapa sawit lokal untuk mengurangi ketergantungan besar negara terhadap impor minyak makan. Dengan Pakistan saat ini mengimpor 92% minyak makannya dengan biaya sekitar $4-5 miliar per tahun, para ahli menekankan bahwa membudidayakan setidaknya 60.000 acre kelapa sawit dapat menarik investasi sekitar $30 juta dan secara signifikan mengurangi tagihan impor.
Delegasi tingkat tinggi Indonesia, yang dipimpin oleh Pejabat Konsul Jenderal Teguh Wiwiek dan Dr. Ahmad Syofyan, Konsul Bidang Ekonomi, mengunjungi Universitas Pertanian Sindh (SAU) Tandojam untuk menjajaki peluang penelitian bersama dan kolaborasi teknis. Delegasi tersebut meninjau kemajuan proyek percontohan perkebunan kelapa sawit SAUDALDA di Latif Experimental Farm milik universitas serta mengadakan diskusi dengan Rektor SAU, Prof. Dr. Altaf Ali Siyal, dan anggota senior fakultas lainnya. Delegasi tersebut juga mencakup Dewanto Priyokusumo, Adi Pranajaya, Renaldi Putra, dan Mrs. Barkha Salman dari tim urusan ekonomi Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Dr. Altaf Ali Siyal menyoroti bahwa wilayah pesisir Pakistan, termasuk Sindh dan Balochistan, memiliki kondisi iklim yang ideal untuk budidaya kelapa sawit. Namun, untuk memperluas cakupannya, SAU tengah melakukan penelitian bersama Malaysia dan mitra internasional lainnya guna mengembangkan varietas kelapa sawit yang cocok untuk daerah kering. “Universitas ini aktif melakukan penelitian di Latif Experimental Farms serta di Kathore, dekat Karachi, bekerja sama dengan berbagai organisasi untuk menilai kelayakan komersial kelapa sawit di Pakistan,” ujar Dr. Siyal.
Para ahli sepakat bahwa kerja sama yang kuat dengan Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, dapat membantu Pakistan mengadopsi praktik agronomi modern dan meningkatkan produksi minyak makan domestik. Dalam pertemuan tersebut, Dr. Ahmad Syofyan, Konsul Bidang Ekonomi, menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung sektor kelapa sawit Pakistan melalui kemitraan penelitian, beasiswa untuk mahasiswa, program pertukaran, dan bantuan teknis. Beliau juga menekankan minat Indonesia untuk berkolaborasi dengan SAU dalam pengembangan infrastruktur, pembibitan komersial, unit percontohan ekstraksi minyak, dan hubungan industri guna meningkatkan produksi lokal.
Sebagai langkah penting, Indonesia juga menawarkan Pakistan keanggotaan dalam Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC), sebuah forum global yang dapat memperkuat posisi Pakistan dalam perdagangan minyak sawit internasional, memfasilitasi transfer teknologi, dan menyelaraskan kerangka regulasi dengan standar industri global.
ndonesian diplomats and Pakistani scientists have underscored the urgent need to boost local oil palm cultivation to reduce the country’s heavy reliance on imported edible oil. With Pakistan currently importing 92% of its edible oil, costing approximately $4-5 billion annually, the experts emphasized that cultivating at least 60,000 acres of oil palm could attract an estimated investment of $30 million and significantly cut the import bill.
A high-level Indonesian delegation, led by Acting Consul General Teguh Wiwiek and Dr. Ahmad Syofyan, Consul for Economic Affairs, visited Sindh Agriculture University (SAU) Tandojam to explore avenues for joint research and technical collaboration. The delegation reviewed the progress of the SAU-DALDA Oil Palm Pilot Project experimental plantation at the university’s Latif Experimental Farm and engaged in discussions with SAU Vice Chancellor Prof. Dr. Altaf Ali Siyal and other senior faculty members. The delegation included Dewanto Priyokusumo, Adi Pranajaya, Renaldi Putra, and Mrs. Barkha Salman from Indonesia’s economic affairs team.
Speaking on the occasion, Prof. Dr. Altaf Ali Siyal highlighted that Pakistan’s coastal regions, including Sindh and Balochistan, possess ideal climatic conditions for oil palm cultivation. However, to further expand the scope, SAU is conducting research in collaboration with Malaysia and other international partners to develop oil palm varieties suited for arid regions. “The university is actively engaged in research at Latif Experimental Farms and at Kathore, near Karachi, in collaboration with various organizations to assess the commercial feasibility of oil palm in Pakistan,” Dr. Siyal noted.
The experts agreed that strong cooperation with Indonesia, the world’s leading palm oil producer, could help Pakistan adopt modern agronomic practices and enhance domestic edible oil production. Addressing the meeting, Dr. Ahmad Syofyan, Consul for Economic Affairs, reaffirmed Indonesia’s commitment to supporting Pakistan’s oil palm sector through research partnerships, student scholarships, exchange programs, and technical assistance. He further emphasized Indonesia’s interest in collaborating with SAU on infrastructure development, commercial nurseries, pilot oil extraction units, and industry linkages to enhance local production.
In a significant move, Indonesia also offered Pakistan membership in the Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), a global forum that could strengthen Pakistan’s position in the international palm oil trade, facilitate technology transfer, and align regulatory frameworks with global industry standards.