PALM OIL TODAY INDONESIA MAGAZINE JULY - SEPTEMBER 2025

Page 1


Boiler Fuel - often derived from biomass, helps power industrial processes while reducing carbon emissions. Mulching - an eco-friendly technique used in gardening and agriculture to conserve soil moisture, suppress weeds, and improve soil health. Pulp & Paper - industry, essential for producing a wide range of paper products, continues to evolve with efforts to increase sustainability and reduce environmental impact. Composting - a natural process that recycles organic waste into nutrient-rich soil, promoting waste reduction and supporting healthier plant growth.

Lowest Downtime in KCP - our YTH-9.35 & YTH-9.18 is engineered to perfection to give millers a value for their money. Ease Of Maintenance - with YKL special equipments, the Thread Nut Hydraulic Wrench to fasten nut tightening process. The Hydraulic Worm & Collar, for quick replacement of worm & collar with such ease. Modular Design - the Clamping Bar Cage is easy to attach and detach from the machine body, make it interchangeable with other machine base, significantly reducing the stock count in factory. Detachable Individual Slot Blade - removing shaft becomes easier with the Slot Blade, dismantle & reinstall shaft becomes much easier and didn’t consume more time.

SENTRON™ GAS ENGINE OILS

DEMANDING OUTPUTS. ONGOING WEAR. SHRINKING BUDGETS.

UNPARALLELLED OIL LIFE WITH LD 8000

• LOW ASH

• EXTENDED SERVICE INTERVALS

• SUPERIOR COMBUSTION CHAMBER CLEANLINESS

OUTSTANDING ANTI-WEAR CAPABILITY WITH CG 40

• MEDIUM ASH

• MINIMAL COMBUSTION CHAMBER DEPOSITS

• SUPERIOR ACID NEUTRALIZATION AND ENGINE PROTECTION

Managing Editor

Kenny Yong

Publications Manager

Amelia Lim

Editorial Consultant

Kenny Yong

Content Editor

Felicia Zhang

Jusmita Sitepu

Media Executives

Paulina Shu amelia@fireworksid.com

Veronica Anugrah

Graphic Designer

Rizki Ilhamdi

Publisher

EDITOR’S NOTE

Dear Readers

Welcome to this edition of Palm Oil Today Indonesia, where we spotlight the shifting tides in the global palm oil landscape.

In this issue, we turn our focus to two powerhouse nations China and India—whose ambitions are set to reshape the future of the industry. China’s growing interest in Indonesian palm oil is no longer just about volume, but about green innovation and sustainable partnerships, with new investments aiming to modernize production and reduce environmental impact. Meanwhile, India is setting the stage for a transformation of its edible oil sector, signaling a bold new era of self-reliance and technology-driven refining.

As we explore these developments, one thing is clear: the palm oil industry is entering a new phase—where sustainability, innovation, and cross-border collaboration are no longer optional, but essential.

We hope this issue fuels new ideas, connections, and action.

Warm regards,

Yours truly, Kenny Yong

PALM OIL INDONESIA TODAY DIGITAL EDITIONS

The content of Palm Oil Indonesia Today Magazine (and website) does not necessarily reflect the views of the editor or publishers and are the views of its contributors and advertisers. The digital edition may include hyperlinks to third-party content, advertising, or websites, provided for the sake of convenience and interest. The publishers accept no legal responsibility for loss arising from information in this publication and do not endorse any advertising or products available from external sources. Palm Oil Indonesia Today Magazine and its website does not warrant that the information in it will be error-free or will meet any particular criteria of performance or quality. Your use of the information contained in the Palm Oil Indonesia Today magazine and website is at your own risk. You assume full responsibility and risk of loss resulting from the use of this website or information in it. None of Palm Oil Indonesia Today, PT Fireworks Indonesia or its affiliates, or any partners, principals, stockholders or employees of any thereof will be liable for any special, indirect, incidental, consequential or punitive damages or any other damages whatsoever, whether in an action of contract, statute, tort (including, without limitation, negligence) or otherwise, relating to the use of this website or information contained in it. No part of this publication may be reproduced or stored in a retrieval system without the written consent of the publishers. All rights reserved.

Mr. Kenny Yong

JULYAUGUST 2025

BERITA REGIONAL

/ REGIONAL NEWS

(BHS) : 06 Malaysia memperluas penggunaan biodiesel dari B10 menjadi B20 untuk kendaraan transportasi darat di bandara utama.

Malaysia expands biodiesel usage of B10 to B20 on ground transport vehicles at main airport. (ENG) :

(BHS) : 08 Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan pungutan.

Indonesia palm oil group GAPKI urges government to delay levy hike. (ENG) :

(BHS) : 10 Indonesia membantah bahwa undang-undang kelapa sawit Uni Eropa menjadi alasan mengapa perjanjian dagang memakan waktu bertahun-tahun.

Indonesia Denies EU’s Palm Oil Law Is Reason Why Trade Pact Takes Year. (ENG) :

(BHS) : 12 Transformasi PalmCo Dorong Produktivitas dan Keberlanjutan Industri Sawit Nasional.

(ENG) :

PalmCo’s Transformation Drives Productivity and Sustainability in the National Palm Oil Industry.

(BHS) : 14 Dharma Satya Siapkan Capex Rp800 Miliar untuk Program Peremajaan Sawit dan Pengembangan Energi Terbarukan.

Dharma Satya Sets Rp800b Capex for Palm Oil Replanting, Renewable Energy. (ENG) :

(BHS) : 15 Tiongkok mempertimbangkan investasi di industri kelapa sawit Indonesia dengan fokus pada teknologi hijau.

(ENG) :

China eyes investment in Indonesia’s palm oil industry with focus on green technology.

(BHS) : 16 Pemerintah meningkatkan tarif pungutan ekspor CPO guna memperkuat pengembangan industri hilir kelapa sawit.

Government raises CPO export levy to boost downstream industry. (ENG) :

(BHS) : 18 Eksklusif: Malaysia akan menindak tegas praktik penipuan dalam ekspor minyak jelantah, ujar pejabat resmi.

(ENG) :

Exclusive: Malaysia will crack down on fraud in used cooking oil exports, official says.

(BHS) : 19 Thailand Mendorong Produksi Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan melalui Kemitraan Industri Strategis dan Inisiatif Minyak Jelantah.

(ENG) :

Thailand Advances Sustainable Aviation Fuel Production with Key Industry Partnership and Used Cooking Oil Initiative

BERITA DUNIA / WORLD NEWS

(BHS) : 20 Petani Thailand menuntut tindakan mendesak untuk memerangi penurunan harga panen.

Thai farmers demand urgent action to combat falling crop prices (ENG) :

(BHS) : 22 Afrika - Minyak Sawit - Analisis Pasar, Prakiraan, Ukuran, Tren, dan Wawasan Pasar Minyak Sawit.

Africa - Palm Oil - Market Analysis, Forecast, Size, Trends and Insights. (ENG) :

(BHS) : 30 Negara-negara Afrika yang bergantung pada minyak sawit Indonesia mungkin mengalami lonjakan harga di tengah kenaikan pajak.

African countries that rely on Indonesian palm oil may see price surges amid tax hike. (ENG) :

(BHS) : 32 Uganda memberikan peluang minyak bumi dan minyak sawit kepada investor Malaysia. Uganda pitches petroleum and palm oil opportunities to Malaysian investors. (ENG) :

BERITA KELANJUTAN / SUSTAINABILITY NEWS

(BHS) : 34 Indonesia Gunakan 1 Juta Kumbang Afrika untuk Memacu Produksi Sawit. Indonesia to Use 1 Million African Weevils to Spur Palm Output. (ENG) :

(BHS) : 37 Laporan menyerukan rantai nilai minyak sawit yang lebih adil di Afrika Barat Report calls for fairer palm oil value chains in West Africa. (ENG) :

(BHS) : 39 Malaysia, Unilever mengincar kolaborasi yang lebih erat dalam kelapa sawit berkelanjutan di Afrika Timur [BTTV]. Malaysia, Unilever eye closer collaboration on sustainable palm oil in East Africa [BTTV]. (ENG) :

(BHS) : 40 Malaysia dan Kenya Jajaki Usaha Pengolahan Minyak Sawit untuk Meningkatkan Perdagangan [BTTV]. Malaysia, Kenya explore palm oil processing venture to boost trade [BTTV]. (ENG) :

(BHS) : 42 Merevolusi Sektor Minyak Nabati India: Jalur Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan. Revolutionising India’s Edible Oil Sector: Pathways to Sustainable Growth. (ENG) :

INOVASI DAN TEKNOLOGI / INNOVATIONS AND TECHNOLOGY

(BHS) : 48 Sarawak menguji coba pertanian feedlot menggunakan produk sampingan kelapa sawit. Sarawak trials feedlot farming using palm oil by-products. (ENG) :

(BHS) : 50 Laboratorium bersama China-Malaysia untuk minyak sawit menyoroti kemitraan teknologi yang berkembang di bawah BRI.

China-Malaysia joint lab for palm oil highlights growing tech partnership under BRI. (ENG) :

MALAYSIA MEMPERLUAS PENGGUNAAN BIODIESEL

DARI B10 MENJADI B20 UNTUK KENDARAAN TRANSPORTASI DARAT DI BANDARA UTAMA

KUALA LUMPUR: Malaysia memperluas penggunaan biodiesel ke kendaraan transportasi darat di bandara internasional utamanya sebagai bagian dari upaya untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada tahun 2050, kata menteri komoditas pada hari Kamis. Malaysia akan meningkatkan campuran biodiesel dari B10, campuran 10% biodiesel berbasis sawit, menjadi B20, untuk kendaraan transportasi darat, kata Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani pada konferensi pers setelah peluncuran proyek percontohan biodiesel.

Malaysia saat ini memberlakukan mandat biodiesel 10% secara nasional, meskipun mandat biodiesel 20% diterapkan di Labuan dan Langkawi serta negara bagian Sarawak, kecuali Bintulu. Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, telah meluncurkan program wajib biodiesel B40 dan sedang mempertimbangkan ekspansi ke B50.

“Jika proyek percontohan ini berhasil, kami akan meluncurkannya (ke sektor lain) karena ini adalah salah satu inisiatif negara dan komitmen kami untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada tahun 2050,” katanya, tanpa memberikan garis waktu untuk durasi proyek. Ketua Dewan Kelapa Sawit Malaysia Mohamad Helmy Othman Basha mengatakan proyek percontohan serupa juga sedang dilaksanakan di beberapa pelabuhan utama seperti di Pelabuhan Klang Utara, Pelabuhan Tanjung Pelepas, Pelabuhan Johor, dan Pelabuhan Kuching.

Penggunaan biodiesel sawit, kata Mohamad Helmy, tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil tetapi juga memberdayakan petani kelapa sawit kecil dan masyarakat lokal yang terlibat dalam industri ini. "Ini adalah bukti bahwa pembangunan berkelanjutan dan ekonomi dapat berjalan beriringan, menguntungkan masyarakat dan lingkungan secara bersamaan," katanya pada peluncuran.

-Reuters

MALAYSIA EXPANDS BIODIESEL USAGE OF B10 TO B20 ON GROUND TRANSPORT VEHICLES AT MAIN AIRPORT

KUALA LUMPUR: Malaysia is expanding its biodiesel usage to ground transport vehicles at its main international airport as part of efforts to achieve net-zero carbon emissions by 2050, the commodities minister said on Thursday. Malaysia will increase the biodiesel blend from B10, a mixture of 10% palm-based biodiesel, to B20, for ground transport vehicles, Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani told a press conference after the launch of the biodiesel pilot project.

Malaysia currently imposes a 10% biodiesel mandate nationwide, though a 20% biodiesel mandate is implemented in Labuan and Langkawi as well as the state of Sarawak, except Bintulu. Indonesia, the world’s top palm oil producer, has launched the mandatory B40 biodiesel programme and is considering expansion to B50.

“If this pilot project succeeds, we will roll it out (to other sectors) as this is one of the country’s initiatives and our commitment to achieve net-zero carbon emissions by 2050,” he said, without providing a timeline for the project’s duration. Malaysian Palm Oil Board chairman Mohamad Helmy Othman Basha said similar pilot projects were also being implemented at several major ports such as in North Port Klang, Tanjung Pelepas Port, Johor Port, and Kuching Port.

The usage of palm biodiesel, Mohamad Helmy said, would not only reduce dependence on fossil fuels but also empower small palm oil farmers and local communities involved in the industry. “This is proof that sustainable development and the economy can go hand in hand, benefiting both the people and the environment simultaneously,” he said at the launch. -Reuters.

GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA (GAPKI)

MENDESAK PEMERINTAH

UNTUK MENUNDA

KENAIKAN PUNGUTAN

JAKARTA, 16 Mei (Reuters) - Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia, GAPKI, pada hari Jumat mendesak pemerintah untuk menunda rencana kenaikan retribusi ekspor minyak sawit, memperingatkan hal itu dapat membahayakan daya saing di tengah ketidakpastian perdagangan global akibat tarif AS dan ketegangan geopolitik. Indonesia akan menaikkan pungutan ekspor minyak sawit menjadi antara 4,75% dan 10% mulai 17 Mei untuk membantu mendanai mandat pencampuran biodiesel serta program peremajaan minyak sawit. Retribusi saat ini mencapai 3% hingga 7,5%.

"Situasinya penuh dengan ketidakpastian dan merupakan risiko besar untuk meluncurkan kebijakan yang akan berdampak pada daya saing ekspor minyak sawit Indonesia," kata GAPKI dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Seorang juru bicara dana kelapa sawit yang memungut pungutan mengatakan permintaan GAPKI akan dibahas pada pertemuan dengan kementerian pemerintah minggu depan. Kementerian keuangan dan Kementerian Koordinator Urusan Ekonomi tidak menanggapi permintaan komentar.

Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, menghadapi usulan tarif AS sebesar 32%, sementara produsen nomor dua Malaysia menghadapi tingkat 24%. Tarif telah ditunda hingga Juli. “Hal ini dikhawatirkan akan membuat ekspor minyak sawit Indonesia semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan Malaysia, terutama untuk pasar AS yang saat ini didominasi oleh Indonesia,” kata kelompok itu.

Malaysia mengenakan bea masuk antara 3% dan 10%, tergantung pada harga minyak sawit. Untuk Mei, bea telah ditetapkan sebesar 10%. Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan bahwa Indonesia akan menyesuaikan pajak ekspor minyak sawit mentah untuk mengurangi beban eksportir dari tarif AS. Pajak terpisah dari retribusi.

Sementara itu, meningkatnya ketegangan antara pembeli minyak sawit utama India dan Pakistan telah memicu kekhawatiran tentang penurunan permintaan, kata GAPKI. “Belum ada gencatan senjata permanen antara India dan Pakistan yang menyebabkan pembeli dari kedua negara menunda pembelian minyak sawit mentah dan turunannya,” tambah kelompok itu.

URGES GOVERNMENT TO DELAY LEVY HIKE INDONESIA PALM OIL GROUP ( GAPKI )

JAKARTA, May 16 (Reuters) - The Indonesia Palm Oil Association, GAPKI, on Friday urged the government to delay a planned hike in the palm oil export levy, warning it could harm competitiveness amid global trade uncertainties due to the U.S. tariffs and geopolitical tension. Indonesia is due to raise its palm oil export levy to between 4.75% and 10% from May 17 to help fund a biodiesel blending mandate as well as a palm oil replanting programme. The levy currently stands at 3% to 7.5%.

“The situation is full of uncertainties and it is a big risk to launch a policy that will impact competitiveness of Indonesia’s palm oil exports,” GAPKI said in a letter addressed to Finance Minister Sri Mulyani Indrawati. A spokesperson for the palm oil fund that collects the levy said GAPKI’s request will be discussed at a meeting with government ministries next week. The finance ministry and coordinating ministry of economic affairs did not respond to a request for comment.

Indonesia, the world’s biggest palm oil producer, is facing proposed U.S. tariffs of 32%, while number two producer Malaysia faces a 24% rate. The tariffs have been put on hold until July. “It is feared that this will make Indonesian palm oil exports increasingly uncompetitive compared to Malaysia, especially for the U.S. market which is currently dominated by Indonesia,” the group said.

Malaysia charges an export duty of between 3% and 10%, depending on the price of palm oil. For May, the duty has been set at 10%. Sri Mulyani Indrawati said previously that Indonesia would adjust its crude palm oil export tax to reduce the burden on exporters from U.S. tariffs. The tax is separate to the levy.

Meanwhile, heightened tension between major palm oil buyers India and Pakistan has sparked concern about reduced demand, GAPKI said. “There is no permanent ceasefire between India and Pakistan yet that had caused buyers from both nations to delay purchase of crude palm oil and its derivatives,” the group added.

Indonesia Membantah Bahwa

Undang - undang Kelapa Sawit

Uni Eropa Menjadi Alasan Mengapa

Perjanjian Dagang Memakan

Waktu Bertahun Tahun

Jakarta. Seorang menteri Indonesia baru-baru ini mengungkapkan mengapa butuh waktu bertahun-tahun bagi Jakarta untuk menyelesaikan pakta perdagangan dengan Uni Eropa atau Uni Eropa, mengutip ukuran kelompok itu sambil menolak untuk menyalahkan undang-undang anti-deforestasi blok itu tentang minyak sawit.

Pada tahun 2016, kedua belah pihak secara resmi memulai negosiasi untuk Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (CEPA), sebuah kesepakatan perdagangan yang akan sangat menghilangkan bea masuk

Namun, hubungan bilateral mereka telah menyaksikan beberapa kemunduran selama bertahun-tahun, terutama setelah Eropa memutuskan bahwa minyak sawit apa pun yang memasuki pasarnya harus membuktikan bahwa mereka tidak terkait dengan deforestasi. Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi (EUDR) ini telah menghadapi tentangan dari banyak negara, termasuk pengekspor minyak sawit terkemuka dunia, Indonesia.

Maju cepat ke Juni 2025, pakta CEPA kini hampir selesai karena Kepala Menteri Urusan Ekonomi Airlangga bertemu dengan pejabat senior blok tersebut di markas besar Uni Eropa di Brussels pada hari Jumat waktu setempat. Mereka juga telah setuju untuk menyelesaikan negosiasi substansial pada akhir Juni 2025.

"Butuh waktu lama [bagi kami untuk menyelesaikan negosiasi CEPA] karena isinya kompleks dan komprehensif. Menemukan kesamaan dengan 27 negara Eropa tidaklah sesederhana itu. Tapi, pembicaraan sekarang telah memasuki tahap akhir, yang berarti bahwa kami telah membahas hampir semua masalah dalam pakta ini," kata Airlangga dalam konferensi video selama akhir pekan.

Dia mengatakan EUDR tidak ada hubungannya dengan negosiasi CEPA, mencatat bahwa keduanya adalah perjanjian terpisah. EUDR mewajibkan produsen kelapa sawit untuk memberikan data geolokasi sebagai bukti bahwa produk mereka tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi.

Langkah-langkah ketertelusuran yang kuat seperti itu mungkin sulit diterapkan bagi petani kecil Indonesia yang mewakili lebih dari 40 persen perkebunan kelapa sawit negara pada tahun 2023. Airlangga mengungkapkan bahwa Eropa akan memberikan perlakuan khusus kepada minyak sawit Indonesia, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

“Mereka juga telah menunda EUDR selama setahun, dan saya pikir masalah utama tentang keberlanjutan dan ketertelusuran produk hutan kami telah relatif terselesaikan. Indonesia telah menyiapkan semua mekanisme, yang hanya perlu sinkron dengan UE,” kata Airlangga kepada pers.

Undang-undang anti deforestasi akan mulai berlaku pada akhir 2025 untuk perusahaan besar dan menengah, tetapi usaha mikro dan kecil memiliki waktu hingga 30 Juni 2026.

Indonesia juga mengatakan bahwa mereka mendorong Uni Eropa untuk mengakui standar keberlanjutan Jakarta yang ada. Presiden Prabowo Subianto telah mengamanatkan produsen minyak sawit, termasuk mereka yang terlibat dalam pengolahan industri dan produksi bioenergi, untuk mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk memastikan praktik pertanian yang baik dan pengelolaan lingkungan.

Beberapa produsen Indonesia juga memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), skema sertifikasi tingkat global yang serupa, tetapi bersifat sukarela.

Menurut Airlangga, Uni Eropa telah sepakat untuk menghapus tarif untuk sekitar 80 persen ekspor Indonesia ke Eropa.

Perkiraan pemerintah mengungkapkan bahwa ekspor Indonesia ke Eropa dapat melonjak 50 persen dalam beberapa tahun sejak CEPA mulai berlaku. Data resmi menunjukkan bahwa perdagangan bilateral sebesar 30,1 miliar dolar AS pada 2024, dengan Indonesia menikmati surplus 4,5 miliar dolar AS.

Barang-barang Indonesia yang memasuki pasar Uni Eropa saat ini dikenakan tarif antara 10 dan 20 persen. Sesama anggota ASEAN Vietnam, di sisi lain, menikmati tarif 0 persen karena Hanoi sudah memiliki

Indonesia Denies EU’s Palm Oil Law Is Reason Why Trade Pact Takes Year

An Indonesian minister recently revealed why it took years for Jakarta to finalize a trade pact with the European Union or EU, citing the group’s size while refusing to put the blame on the bloc’s anti-deforestation law on palm oil.

In 2016, both sides officially kicked off the negotiations for the Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), a trade deal that would greatly eliminate import duties

However, their bilateral relations had witnessed some setbacks over the years, especially after Europe decided that any palm oil entering its market must prove they are not linked to deforestation. This EU Regulation on Deforestation-Free Products (EUDR) has faced opposition from many countries, including the world’s leading palm oil exporter, Indonesia.

Fast forward to June 2025, the CEPA pact has now neared completion as Chief Economic Affairs Minister Airlangga met with the bloc’s senior officials at the EU’s headquarters in Brussels on Friday local time. They have also agreed to wrap up the substantial negotiations by the end of June 2025.

“It’s taking a long time [for us to wrap up the CEPA negotiations] because its content is complex and comprehensive. Finding common ground with 27 European countries is not as simple. But, the talks have now entered the final stage, meaning that we have addressed almost all matters in this pact,” Airlangga told a videoconference over the weekend.

He said the EUDR had nothing to do with the CEPA negotiations, noting that both are separate agreements. The EUDR requires palm oil producers to provide geolocation data as evidence that their products do not come from deforested land.

Such robust traceability measures can be hard to implement for Indonesian smallholders who represent over 40 percent of the country’s oil palm plantations as of 2023. Airlangga revealed that Europe would give special treatment to Indonesian palm oil, without providing further details.

“They have also postponed the EUDR for a year, and I think the main issues on sustainability and traceability of our forest products have been relatively resolved. Indonesia has prepared all the mechanisms, which just need to be in sync with the EU,” Airlangga told the press.

The anti-deforestation law will enter into force at the end of 2025 for large and medium-sized companies, but micro and small-scale enterprises have until June 30, 2026.

Indonesia also said that it's pushing the EU to recognize Jakarta’s existing sustainability standards. President Prabowo Subianto has mandated palm oil producers, including those involved in the industrial processing and bioenergy production, to secure the Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) certificates to ensure good agricultural practices and environmental management.

Some Indonesian producers also have the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) certificates a similar but global-level certification scheme, but it is voluntary.

According to Airlangga, the EU has agreed to eliminate the tariffs for approximately 80 percent of Indonesia’s exports to Europe.

Government estimates revealed that Indonesia’s Europe-bound exports could jump 50 percent within a few years since the CEPA’s entry into force. Official data showed that bilateral trade amounted to $30.1 billion in 2024, with Indonesia enjoying a $4.5 billion surplus.

Indonesian goods entering the EU markets are currently subject to tariffs of between 10 and 20 percent. Fellow ASEAN member Vietnam, on the other hand, enjoys a 0 percent tariff as Hanoi already has a trade pact with the EU starting in 2020.

Transformasi PalmCo Dorong

Produktivitas dan Keberlanjutan

Industri Sawit Nasional

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU –

Langkah transformasi menyeluruh yang dijalankan PT Perkebunan

Nusantara IV PalmCo menjadi cerminan bagaimana industri sawit nasional terus berbenah untuk menjawab tantangan produktivitas sekaligus tuntutan keberlanjutan lingkungan. Dari konsolidasi entitas hingga digitalisasi dan komitmen dekarbonisasi, PalmCo menunjukkan arah baru dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang lebih terintegrasi dan bertanggung jawab.

Gagasan ini ditegaskan oleh Direktur Utama PalmCo, Jatmiko Santosa, dalam ajang Palmex Indonesia 2025 yang berlangsung di Jakarta International Expo (JIEXPO) pada Kamis, 15 Mei lalu. Dalam forum internasional yang dihadiri pelaku industri dan regulator global tersebut, Jatmiko memaparkan strategi transformasi PalmCo dengan mengusung tema “Enhancing Productivity While Maintaining Sustainability Standards in Palm Oil Plantation”.

Menurut Jatmiko, proses transformasi dimulai dari penggabungan sejumlah anak usaha PT Perkebunan Nusantara ke dalam satu entitas besar, yakni PTPN IV PalmCo, berdasarkan keputusan pemerintah pada Desember 2023. Merger ini membawa dampak luas, baik dari sisi sistem, budaya kerja, hingga pengelolaan operasional yang kini mencakup areal perkebunan sawit terbesar di dunia.

“Transformasi ini tidak sederhana. Kami menghadapi tantangan besar mulai dari perbedaan sistem hingga kultur kerja. Namun semua perubahan ini harus dilakukan secara menyeluruh dari hulu ke hilir,” kata Jatmiko melalui keterangan tertulisnya, Minggu (18/5/2025).

Sebagai bagian dari transformasi, PalmCo mengembangkan PalmCo Business Cockpit, sebuah sistem digital berbasis ERP SAP yang menyatukan data operasional secara real-time dan mendukung pengambilan keputusan yang presisi.

Lebih jauh, PalmCo juga memainkan peran sosial strategis melalui dukungan terhadap program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Hingga tahun ini, PalmCo telah memfasilitasi penerbitan rekomendasi untuk 20.000 hektare lahan plasma milik petani mitra, sebagai bagian dari target nasional 60.000 hektare hingga 2026.

Selain meningkatkan produktivitas petani lewat penyediaan bibit unggul bersertifikat, PalmCo turut mendorong pemberdayaan UMKM lokal, salah satunya melalui koperasi pandai besi yang memproduksi alat panen di wilayah operasional perusahaan.

Dalam agenda dekarbonisasi, PalmCo juga mencatat sejumlah pencapaian penting. Perusahaan telah mengoperasikan 11 unit Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) dengan kapasitas 12,05 MW dan menargetkan pembangunan 29 unit fasilitas Bio-CNG hingga 2030. Tak hanya itu, PalmCo akan mengembangkan satu unit Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang mulai beroperasi pada 2027.

“Melalui unit PKS Lubuk Dalam di Siak, Riau, kami menjadi perusahaan perkebunan pertama yang memperoleh Sertifikat Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Ini adalah bentuk nyata komitmen kami terhadap dekarbonisasi dan pengakuan terhadap upaya keberlanjutan yang kami jalankan,” tutur Jatmiko.

PalmCo’s

Transformation Drives Productivity and Sustainability in the National Palm Oil Industry.

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU –

The comprehensive transformation undertaken by PT Perkebunan Nusantara IV PalmCo reflects how the national palm oil industry is evolving to address productivity challenges while meeting environmental sustainability demands. From entity consolidation to digitalization and a firm commitment to decarbonization, PalmCo is demonstrating a new, more integrated and responsible approach to palm oil plantation management.

This vision was emphasized by PalmCo President Director, Jatmiko Santosa, during the Palmex Indonesia 2025 event held at Jakarta International Expo (JIEXPO) on Thursday, May 15. At the international forum attended by industry players and global regulators, Jatmiko presented PalmCo’s transformation strategy under the theme “Enhancing Productivity While Maintaining Sustainability Standards in Palm Oil Plantation.”

According to Jatmiko, the transformation process began with the merger of several subsidiaries of PT Perkebunan Nusantara into a single large entity, namely PTPN IV PalmCo, following a government decision in December 2023. This merger had a broad impact, including changes in systems, work culture, and operational management—now covering the largest oil palm plantation area in the world.

“This transformation is far from simple. We face significant challenges, from differences in systems to variations in work culture. However, all these changes must be carried out thoroughly, from upstream to downstream,” said Jatmiko in a written statement on Sunday, May 18, 2025.

As part of the transformation, PalmCo has developed the PalmCo Business Cockpit, a digital system based on SAP ERP that integrates operational data in real-time and supports precise decision-making.

Moreover, PalmCo plays a strategic social role by supporting the People’s Palm Oil Replanting Program (Peremajaan Sawit Rakyat/PSR). To date, PalmCo has facilitated the issuance of recommendations for 20,000 hectares of plasma land owned by partner farmers, as part of the national target of 60,000 hectares by 2026.

In addition to improving farmers’ productivity through the provision of certified superior seedlings, PalmCo also promotes the empowerment of local MSMEs, including a blacksmith cooperative that produces harvesting tools in the company’s operational areas.

In its decarbonization agenda, PalmCo has also achieved several key milestones. The company has operated 11 units of Biogas Power Plants (PLTBg) with a total capacity of 12.05 MW and targets the construction of 29 Bio-CNG facilities by 2030. Additionally, PalmCo plans to develop one Sustainable Aviation Fuel (SAF) unit, which will begin operations in 2027.

“Through our Lubuk Dalam palm oil mill unit in Siak, Riau, we became the first plantation company to receive a Greenhouse Gas Emission Reduction Certificate. This is a tangible form of our commitment to decarbonization and recognition of the sustainability efforts we are implementing,” said Jatmiko.

DHARMA SATYA SIAPKAN CAPEX

Rp 800 MILIAR

untuk Program Peremajaan Sawit dan Pengembangan

Jakarta. Dharma Satya Nusantara (DSNG), perusahaan agribisnis milik taipan Indonesia TP Rachmat, telah mengalokasikan belanja modal sebesar Rp800 miliar (49,2 juta dolar AS) untuk tahun 2025. Dana tersebut terutama akan mendukung peremajaan kelapa sawit lebih dari 5.000 hektar, proyek energi terbarukan, dan peningkatan infrastruktur.

Direktur DSNG Jenti mengatakan sekitar 22 persen dari anggaran sudah dihabiskan pada akhir Q1 2025. Selain penanaman kembali, belanja modal akan mencakup pemeliharaan rutin jalan dan pabrik, pembaruan mesin, dan investasi berkelanjutan dalam inisiatif energi terbarukan seperti pelet kayu dan pabrik biomassa. "Penanaman kembali tetap menjadi prioritas utama kami untuk memastikan produksi jangka panjang yang berkelanjutan. Target tahun ini adalah untuk menanam kembali sekitar 5.000 hektare," kata Jenti, Senin. Meskipun lingkungan komoditas bergejolak, DSNG memasuki tahun 2025 dengan harga minyak sawit mentah (CPO) yang kuat yang mencapai hampir Rp 15 juta per ton di awal tahun, jauh di atas level awal 2024 di bawah Rp 12 juta. Namun, harga CPO menghadapi tekanan pada pertengahan tahun karena meningkatnya pasokan, dan perusahaan memproyeksikan harga rata-rata 2025 sebesar Rp13–14 juta per ton.

"Kinerja DSNG sangat sensitif terhadap harga CPO. Dengan harga yang masih relatif kuat, kami optimis dengan peningkatan kinerja keuangan, meskipun kami tetap berhati-hati terhadap tekanan paruh kedua dari peningkatan pasokan dan ketidakpastian geopolitik," tambah Jenti. Optimisme tersebut tercermin dari hasil Q1 2025 perseroan. DSNG membukukan laba bersih sebesar Rp367 miliar, naik 60 persen secara tahunan, sementara pendapatan naik 20 persen menjadi Rp2,7 triliun. Minyak sawit tetap menjadi kontributor utama, menyumbang 88 persen dari total pendapatan. Harga jual rata-rata juga melonjak: CPO sebesar 27 persen menjadi Rp14.909/kg, Palm Kernel Oil (PKO) sebesar 108 persen menjadi Rp27.349/kg, dan Palm Kernel (PK) sebesar 101 persen menjadi Rp10.814/ kg. EBITDA DSNG mencapai Rp 861 miliar pada kuartal pertama. Presiden Direktur DSNG Andrianto Oetomo mengatakan perseroan sedang mengejar strategi pertumbuhan organik dan anorganik. Upaya organik termasuk penanaman kembali, peningkatan mesin, dan adopsi teknologi pertanian pintar seperti IoT dan robotika.

DHARMA SATYA SETS Rp 800B CAPEX for Palm Oil Replanting Renewable Energy

Jakarta.

Dharma Satya Nusantara (DSNG), the agribusiness company owned by Indonesian tycoon TP Rachmat, has earmarked Rp800 billion ($49.2 million) in capital expenditure for 2025. The funds will primarily support palm oil replanting over 5,000 hectares, renewable energy projects, and infrastructure upgrades.

DSNG Director Jenti said about 22 percent of the budget was already spent by the end of Q1 2025. In addition to replanting, the capex will cover routine maintenance of roads and factories, machinery renewal, and continued investments in renewable energy initiatives such as wood pellet and biomass plants. “Replanting remains our top priority to ensure sustainable long-term production. This year’s target is to replant around 5,000 hectares,” said Jenti on Monday. Despite a volatile commodity environment, DSNG entered 2025 with strong crude palm oil (CPO) prices, which reached nearly Rp 15 million per ton early in the year, well above early 2024 levels of under Rp 12 million. However, CPO prices faced pressure in mid-year due to rising supply, and the company projects an average 2025 price of Rp13–14 million per ton.

“DSNG’s performance is highly sensitive to CPO prices. With prices still relatively strong, we’re optimistic about improved financial performance, though we remain cautious of second-half pressures from increased supply and geopolitical uncertainty,” Jenti added. The optimism is reflected in the company’s Q1 2025 results. DSNG booked a net profit of Rp367 billion, up 60 percent year-on-year, while revenue rose 20 percent to Rp2.7 trillion. Palm oil remained the main contributor, accounting for 88 percent of total revenue. Average selling prices also surged: CPO by 27 percent to Rp14,909/kg, Palm Kernel Oil (PKO) by 108 percent to Rp27,349/kg, and Palm Kernel (PK) by 101 percent to Rp10,814/ kg. DSNG’s EBITDA hit Rp 861 billion in the first quarter. DSNG President Director Andrianto Oetomo said the company is pursuing both organic and inorganic growth strategies. Organic efforts include replanting, machine upgrades, and adoption of smart farming technologies such as IoT and robotics.

Tiongkok

mempertimbangkan

investasi di industri kelapa sawit Indonesia dengan fokus pada teknologi hijau.

Dewan Kelapa Sawit Indonesia (DMSI) mengungkapkan bahwa investor asal Tiongkok telah menyatakan minat yang kuat untuk berinvestasi di sektor kelapa sawit Indonesia, dengan potensi investasi mencapai Rp149,04 triliun (US$9,1 miliar).

Ketua DMSI Sahat Sinaga mengatakan, investor China telah langsung mendekati organisasi tersebut dengan rencana untuk membangun fasilitas pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi kelapa sawit. Ia menegaskan, teknologi pengolahan dalam negeri saat ini sudah ketinggalan zaman dan berkontribusi terhadap tingginya emisi karbon.

"Saya mengusulkan teknologi baru, dan China menyatakan minatnya. Mereka siap mendatangkan miliaran dolar untuk membantu petani kita," kata Sahat pada 14 Mei 2025. Menurutnya, investasi yang direncanakan akan digulirkan selama periode tujuh tahun mulai tahun 2026 ini akan fokus pada pengembangan mesin modern untuk pengolahan TBS.

Ke depan, Sahat berharap petani tidak hanya menjual buah sawit mentah tetapi juga mendapat manfaat dari pengurangan emisi karbon yang dimungkinkan oleh teknologi ramah lingkungan."Tandan memiliki nilai, serat memiliki nilai. Kami ingin petani tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek – pemain kunci. Mereka bisa menjadi kaya," katanya.

Namun, Sahat menegaskan, realisasi investasi ini sangat bergantung pada kesediaan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan penjualan kredit karbon kepada entitas asing, termasuk China. Dia mencatat belum ada pihak yang resmi diizinkan menjual kredit karbon di Indonesia.

Selain itu, DMSI berencana untuk mengusulkan perubahan penamaan produk, dari minyak sawit mentah (CPO) menjadi minyak mesokarpa sawit degummed (DPMO), sebagai bagian dari upaya rebranding dan jaminan kualitas. Metode pengolahan minyak sawit juga diperkirakan akan beralih dari pemrosesan berbasis uap ke udara panas, yang bertujuan untuk lebih mengurangi emisi karbon.

Meskipun ekspor CPO dan produk turunan turun 3,55 persen secara bulanan pada Maret 2025, yang berjumlah US$2,19 miliar, angka yearon-year menunjukkan peningkatan 40,85 persen dibandingkan Maret 2024 sebesar US$1,56 miliar, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Potensi investasi Tiongkok ini menandai peluang besar bagi sektor kelapa sawit Indonesia untuk memodernisasi dan menyelaraskan dengan standar keberlanjutan global, sekaligus memberdayakan petani lokal secara ekonomi.

China eyes investment in Indonesia’s palm oil industry with focus on green technology

The Indonesian Palm Oil Board (DMSI) reveals that investors from China have expressed strong interest in investing in Indonesia’s palm oil sector, with potential investments reaching Rp149.04 trillion (US$9.1 billion).

DMSI Chairman Sahat Sinaga said that Chinese investors have directly approached the organization with plans to establish facilities for processing fresh fruit bunches (FFB) into palm oil. He emphasized that current domestic processing technology is outdated and contributes to high carbon emissions.

"I proposed new technology, and China expressed interest. They're ready to bring in billions of dollars to help our farmers," Sahat said on May 14, 2025. According to him, the investment − planned to be rolled out over a seven-year period starting in 2026 − will focus on developing modern machinery for FFB processing.

Looking ahead, Sahat hopes that farmers will not only sell raw palm fruit but also benefit from carbon emission reductions made possible by environmentally friendly technologies."The bunches have value, the fibers have value. We want farmers not just to be objects, but subjects − key players. They can become wealthy," he said.

However, Sahat emphasized that the realization of this investment depends heavily on the Indonesian government's willingness to authorize carbon credit sales to foreign entities, including China. He noted that no party has yet been officially permitted to sell carbon credits in Indonesia.

In addition, DMSI plans to propose a change in product naming, from crude palm oil (CPO) to degummed palm mesocarp oil (DPMO), as part of a rebranding and quality assurance effort. The palm oil processing method is also expected to shift from steam-based to hot air processing, aiming to further reduce carbon emissions.

Despite a 3.55 percent month-on-month decrease in CPO and derivative product exports in March 2025, which totaled US$2.19 billion, year-onyear figures show a 40.85 percent increase compared to March 2024’s US$1.56 billion, according to data from Statistics Indonesia (BPS). This potential Chinese investment marks a major opportunity for Indonesia’s palm oil sector to modernize and align with global sustainability standards, while empowering local farmers economically.

Pemerintah meningkatkan tarif pungutan ekspor CPO guna memperkuat pengembangan industri hilir kelapa sawit.

Kementerian Keuangan telah menaikkan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari 7,5 persen menjadi 10 persen, sebuah langkah yang menurut pemerintah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan menambah nilai pada produk hilir minyak sawit, terutama bagi petani kecil. Retribusi baru, yang diatur dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) No. 30/2025, ditandatangani pada 5 Mei, diumumkan pada 14 Mei, dan mulai berlaku pada 17 Mei 2025. "Penyesuaian pungutan ekspor diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk hilirisasi perkebunan, terutama untuk kepentingan petani," kata peraturan tersebut. Retribusi tersebut dikenakan melalui Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP BLU) di bawah Kementerian Keuangan. Ini berlaku untuk ekspor minyak sawit, CPO, dan produk turunannya, berdasarkan harga acuan yang ditentukan oleh Kementerian Perdagangan.

Menurut Pasal 1 Peraturan tersebut, pungutan tersebut merupakan biaya layanan yang dibebankan BPDP BLU kepada pelaku usaha yang bergerak di sektor perkebunan. Di antaranya perusahaan perkebunan yang mengekspor komoditas mentah atau turunan, industri yang menggunakan bahan baku berbasis perkebunan, dan eksportir umum produk tersebut.Pembayaran dilakukan dalam rupiah Indonesia, dengan menggunakan nilai tukar yang berlaku sebagaimana ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk bea cukai, PPN, pajak mewah, bea keluar, dan pembayaran pajak penghasilan. Mekanisme pemungutan dan pembayaran retribusi akan diatur oleh pedoman teknis yang dikeluarkan oleh Direktur BPDP BLU.

Government raises CPO export levy to boost downstream industry

Ministry of Finance has raised the export levy on crude palm oil (CPO) from 7.5 percent to 10 percent, a move the government says is aimed at enhancing productivity and adding value to downstream palm oil products, particularly for smallholder farmers. The new levy, stipulated under Finance Ministry Regulation (PMK) No. 30/2025, was signed on May 5, promulgated on May 14, and comes into effect on May 17, 2025. “The adjustment of the export levy is necessary to enhance the productivity and added value of downstream plantation products, especially for the benefit of farmers,” the regulation states. The levy is imposed through the Public Service Agency for the Palm Oil Plantation Fund Management Board (BLU BPDP) under the Finance Ministry. It applies to the export of palm oil, CPO, and their derivative products, based on a reference price determined by the Ministry of Trade.

According to Article 1 of the regulation, the levy is a service fee charged by BLU BPDP to business actors involved in the plantation sector. These include plantation companies that export raw or derivative commodities, industries using plantation-based raw materials, and general exporters of such products. Payments are to be made in Indonesian rupiah, using the prevailing exchange rate as determined by the Finance Minister for customs duties, VAT, luxury taxes, export duties, and income tax payments. The mechanism for levy collection and payment will be governed by technical guidelines issued by the Director of the BLU BPDP.

Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, sangat bergantung pada pungutan yang dikumpulkan dari industri untuk mendanai program peremajaan, penelitian dan pengembangan, dan untuk mendukung program biodiesel, yang menyerap sebagian besar CPO domestik.

Pemangku kepentingan industri telah menyatakan keprihatinan di masa lalu tentang seringnya penyesuaian dalam pungutan ekspor, dengan alasan potensi dampak pada daya saing. Namun, pemerintah berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan ketahanan jangka panjang di sektor ini. Kenaikan retribusi tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Ketua Umum Ikatan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono mengatakan, kenaikan pungutan tersebut dapat menurunkan daya saing ekspor kelapa sawit Indonesia. “Dibandingkan dengan minyak sawit Malaysia, produk kami sudah lebih mahal karena berbagai pungutan, pajak ekspor, dan kewajiban dalam negeri. Semua ini memberatkan,” kata Eddy seperti dikutip Reuters pada 19 Desember 2024.

Kenaikan pungutan tersebut sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan alokasi biodiesel tidak tercampur kepada pengecer BBM. Kementerian ESDM mengatakan, alokasi untuk tahun 2025 ditargetkan mencapai 15,62 juta kiloliter, meningkat signifikan dari 13,4 juta kiloliter pada program B35 tahun ini.

Indonesia, the world’s largest palm oil producer, relies heavily on levies collected from the industry to fund replanting programs, research and development, and to support the biodiesel program, which absorbs a significant portion of domestic CPO.

Industry stakeholders have expressed concerns in the past about frequent adjustments in export levies, citing potential impacts on competitiveness. However, the government argues that such measures are necessary to ensure sustainability and long-term resilience in the sector. The levy increase has raised concerns among industry players. Chairman of the Indonesian Palm Oil Entrepreneurs Association (Gapki), Eddy Martono, said that the increase in levies could reduce the competitiveness of Indonesian palm oil exports. “Compared to Malaysian palm oil, our products are already more expensive due to various levies, export taxes, and domestic obligations. All of this is burdensome,” Eddy said as quoted by Reuters on December 19, 2024.

The increase in levies is in line with the government’s plan to increase the allocation of unmixed biodiesel to fuel retailers. The Ministry of Energy and Mineral Resources said that the allocation for 2025 is targeted to reach 15.62 million kiloliters, a significant increase from 13.4 million kiloliters in this year’s B35 program.

KUALA LUMPUR, 14 Februari (Reuters)

Malaysia akan menindak penipuan dalam industri minyak goreng bekas, wakil menteri komoditasnya mengatakan kepada Reuters, ketika pemerintah Barat menyelidiki apakah pengiriman bahan baku biofuel dari Asia benar-benar mengandung minyak murni. Malaysian Palm Oil Board (MPOB) sedang meninjau standar dan kebijakannya yang mengatur min yak goreng bekas (UCO) dan limbah industri sawit yang dikenal sebagai minyak lumpur sawit (SPO) untuk lebih membedakannya untuk mencegah perbedaan ekspor, kata Wakil Menteri Perkebunan dan Komoditas Chan Foong Hin. "Pemerintah juga memperkuat mekanisme penegakan hukum untuk menegakkan kredibilitas industri dan reputasi Malaysia sebagai eksportir yang bertanggung jawab," katanya dalam sebuah wawancara pada hari Kamis, menambahkan bahwa keluhan dari pembeli dapat membahayakan status negara sebagai eksportir UCO yang kredibel.

Dia mengatakan memastikan bahwa seluruh rantai pasokan dapat dilacak akan memerangi praktik penipuan. "Pada dasarnya pusat masalah ini adalah ketertelusuran. Bagaimana Anda membuat seluruh rantai pasokan dapat dilacak?", kata Chan. Industri biodiesel Eropa tahun lalu mengeluhkan lonjakan impor dari China yang diyakini melibatkan pasokan yang dinyatakan terbuat dari minyak dan lemak daur ulang tetapi sebenarnya diproduksi dengan minyak murni yang lebih murah dan kurang berkelanjutan. Negara tetangga Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, bulan lalu bergerak untuk membatasi ekspor UCO dan residu minyak sawit, dengan mengatakan bahwa pengiriman dalam beberapa tahun terakhir telah melebihi kapasitas produksi, mengindikasikan minyak sawit mentah murni (CPO) telah dicampur.

Pada bulan Agustus, Badan Perlindungan Lingkungan AS mengatakan meluncurkan penyelidikan terhadap rantai pasokan setidaknya dua produsen bahan bakar terbarukan, tanpa menyebutkan nama perusahaan, di tengah kekhawatiran industri bahwa beberapa mungkin menggunakan bahan baku biodiesel palsu untuk mengamankan subsidi pemerintah yang menguntungkan. ATURAN DEFORESTASI Industri kelapa sawit Malaysia, terbesar kedua di dunia, seharusnya tidak memandang peraturan deforestasi Uni Eropa secara negatif karena negara itu berkomitmen untuk anti-deforestasi, kata Chan. Sekitar 87% perkebunan kelapa sawit Malaysia disertifikasi secara berkelanjutan melalui standar Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO), kata Chan. "Nyatanya, kami siap," katanya.

Pada bulan Desember, Uni Eropa menyetujui penundaan satu tahun untuk undang-undang deforestasi penting yang mengharuskan importir kedelai, daging sapi, kakao, kopi, minyak sawit, kayu, karet, dan produk terkait untuk membuktikan rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan dunia, atau menghadapi denda yang besar. Chan meremehkan penurunan pengiriman ke pembeli minyak sawit teratas India, yang mencapai level terendah 14 tahun pada bulan Januari, sebagai situasi "jangka pendek" mengingat kebutuhan permintaan 1,45 miliar penduduknya. India mengimpor 3,03 juta metrik ton minyak sawit Malaysia pada 2024, naik 6,5%. "Faktor permanen adalah populasi. Jadi ya, kami masih optimis," kata Chan.

EXCLUSIVE: MALAYSIA WILL CRACK DOWN ON FRAUD IN USED COOKING OIL EXPORTS, OFFICAL SAYS

KUALA LUMPUR, Feb 14 (Reuters)

Malaysia will crack down on fraud in the used cooking oil industry, its deputy commodities minister told Reuters, as western governments investigate whether shipments of the biofuels feedstock from Asia actually contain virgin oil. The Malaysian Palm Oil Board (MPOB) is reviewing its standards and policies governing used cooking oil (UCO) and palm industry waste known as sludge palm oil (SPO) to better distinguish them in order to prevent discrepancies in exports, said Deputy Plantation and Commodities Minister Chan Foong Hin. “The government is also strengthening enforcement mechanisms to uphold industry credibility and Malaysia’s reputation as a responsible exporter,” he said in an interview on Thursday, adding that complaints from buyers could endanger the country’s status as a credible UCO exporter.

He said ensuring that the entire supply chain is traceable would combat fraudulent practices. “Basically the centre of this issue is the traceability. How do you make the whole supply chain traceable?”, Chan said. The European biodiesel industry last year complained of a surge in imports from China it believes involve supplies declared as made with recycled oil and fat but actually produced with cheaper and less sustainable virgin oil. Neighbouring Indonesia, the world’s biggest palm oil producer, last month moved to curb exports of UCO and palm oil residue, saying that shipments in recent years had exceeded production capacity, indicating virgin crude palm oil (CPO) had been mixed in.

In August, the U.S. Environmental Protection Agency said it launched investigations into the supply chains of at least two renewable fuel producers, without naming the companies, amid industry concerns that some may be using fraudulent biodiesel feedstocks to secure lucrative government subsidies. DEFORESTATION RULES Malaysia’s palm industry, the world’s second-largest, should not view the EU’s looming deforestation regulation negatively as the country is committed to anti-deforestation, Chan said. About 87% of Malaysia’s palm oil plantations are sustainably certified through the Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) standards, Chan said. “In fact, we are ready,” he said.

In December, the EU approved a one-year delay to the landmark deforestation law requiring importers of soy, beef, cocoa, coffee, palm oil, timber, rubber and related products to prove their supply chains do not contribute to the destruction of the world’s forests, or face hefty fines. Chan downplayed a downturn in shipments to top palm oil buyer India, which hit a 14-year low in January, as a “short term” situation given the demand needs of its 1.45 billion population.India imported 3.03 million metric tons of Malaysian palm oil in 2024, up 6.5%. “The permanent factor is the population. So yes, we are still optimistic,” Chan said.

THAILAND MENDORONG PRODUKSI BAHAN BAKAR

PENERBANGAN BERKELANJUTAN

MELALUI KEMITRAAN INDUSTRI STRATEGIS

DAN

INISIATIF MINYAK JELANTAH

Bapak Akanat Promphan, Menteri Perindustrian, mempelopori upaya Thailand untuk mengembangkan pendorong ekonomi baru dengan menugaskan departemen Promosi Industri (DIPROM) untuk berkolaborasi dengan Bangchak Corporation dan lima organisasi bisnis terkemuka untuk mempercepat produksi Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF). Inisiatif ini, diresmikan melalui Nota Kesepahaman (MoU). Berfokus pada "Mengelola Minyak Goreng Bekas Untuk Produksi (SAF)," sejalan dengan kebijakan Ekonomi Bio-Sirkular-Hijau (BCG). Tujuannya adalah untuk membangun jaringan rantai pasokan untuk minyak jelantah bekas (UCO) sebagai bahan baku utama untuk produksi SAF skala besar, yang bertujuan untuk mengurangi emisi CO2 dan berkontribusi pada netralitas karbon dan tujuan nol bersih Thailand. Akanat menekankan bahwa kolaborasi ini mendukung ambisi Thailand untuk meningkatkan daya saing global dan memposisikan negara itu sebagai pusat penerbangan regional, yang menguntungkan produsen lokal dan perdagangan global.

Dr. Nattapol Rangsitpol, Sekretaris Tetap Kementerian Perindustrian, menyoroti komitmen Kementerian untuk membangun jaringan kolaboratif untuk produksi SAF, dengan fokus pada pengamanan UCO sebagai bahan baku. MoU tersebut ditandatangani antara Kementerian Perindustrian, DIPROM, dan Bangchak Corporation, bersama dengan mitra sektor swasta utama, termasuk Central Group, Thai Beverage, Charoen Pokphand Foods, Thai President Foods, dan Thai Food Processors Association. Kemitraan ini akan menciptakan rantai pasokan UCO yang kuat dan mendukung industri penerbangan Thailand dalam memenuhi standar internasional.

Ibu Natthinya Netyasupha, Direktur Jenderal DIPROM, menjelaskan bahwa DIPROM bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk menganalisis permintaan SAF, kapasitas produksi, dan pasokan bahan baku dalam negeri, seperti UCO, kelapa sawit, dan produk sampingan tebu. Tahap pertama kolaborasi akan berfokus pada pengembangan mekanisme pengumpulan UCO dari sektor industri dan jasa. Bapak Chaiwat Kovavisarach, CEO Bangchak Corporation, menyatakan komitmen perusahaan untuk memajukan produksi SAF sejalan dengan kebijakan BCG Thailand, memproduksi 1 juta liter 100% Rapi SAF setiap hari di bawah sistem International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Namun, dia meminta pembuat kebijakan untuk mengatasi tantangan utama, seperti mendiversifikasi bahan baku dan menetapkan mandat adopsi SAF nasional yang jelas, termasuk persyaratan pencampuran SAF dan insentif pendukung, untuk membantu membangun ekosistem SAF yang berkelanjutan di Thailand.

THAILAND ADVANCES SUSTAINABLE AVIATION FUEL PRODUCTION WITH KEY INDUSTRY PARTNERSHIP AND USED COOKING OIL INITAITVE

Mr. Akanat Promphan, Minister of Industry, is spearheading Thailand’s efforts to develop new economic drivers by tasking the department of Industrial Promotion (DIPROM) to collaborate with Bangchak Corporation and five leading business organizations to accelerate Sustainable Aviation Fuel (SAF) production. This initiative, formalized through a Memorandum of Understanding (MoU). Focuses on “Managing Used Cooking Oil For the Production of (SAF),” in agliment with the Bio-Circular-Green (BCG) Economy policy. The goal is to establish a supply chain network for used cooking oil (UCO) as a key feedstock for large-scale SAF production, aiming to reduce CO2 emissions and contribute to Thailand’s carbon neutrality and net-zero goals. Mr. Akanat emphasized that this collaboration supports Thailand’s ambition to enhance global competitiveness and position the country as a regional aviation hub, benefiting both local producers and global trade.

Dr. Nattapol Rangsitpol, Permanent Secretary of the Ministry of Industry, highlighted the Ministry’s commitment to building a collaborative network for SAF production, with a focus on securing UCO as a feedstock. The MoU was signed between the Ministry of Industry, DIPROM, and Bangchak Corporation, along with key private sector partners, including Central Group, Thai Beverage, Charoen Pokphand Foods, Thai President Foods, and the Thai Food Processors Association. This partnership will create a robust UCO supply chain and support Thailand’s aviation industry in meeting international standards.

Ms. Natthinya Netyasupha, Director-General of DIPROM, explained that DIPROM is working with industry stakeholders to analyze SAF demand, production capacity, and domestic feedstock supply, such as UCO, palm oil, and sugarcane by-products. The first phase of the collaboration will focus on developing UCO collection mechanisms from both industrial and service sectors. Mr. Chaiwat Kovavisarach, CEO of Bangchak Corporation, expressed the company’s commitment to advancing SAF production in line with Thailand’s BCG policy, producing 1 million liters of 100% Neat SAF daily under the International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) system. However, he called on policymakers to address key challenges, such as diversifying feedstocks and establishing a clear national SAF adoption mandate, including SAF blending requirements and supporting incentives, to help build a sustainable SAF ecosystem in Thailand.

PETANI THAILAND MENUNTUT TINDAKAN MENDESAK UNTUK MEMERANGI PENURUNAN HARGA PANEN

Petani Thailand telah mendesak pemerintah untuk menerapkan langkah-langkah untuk mengatasi penurunan harga tanaman, memperingatkan bahwa petani akan menderita jika tidak ada tindakan yang diambil.

Pramote Charoensilp, presiden Asosiasi Petani Thailand, menyatakan bahwa banyak petani, termasuk mereka yang menanam padi, singkong, kelapa sawit, dan karet, berjuang karena penurunan harga panen dibandingkan dengan kenaikan biaya budidaya. Misalnya, harga beras di luar musim dengan kelembaban melebihi 25% hampir 7.000 baht per ton minggu lalu, dibandingkan dengan 9.000–10.000 baht dalam dua hingga tiga tahun terakhir. Dia mencatat bahwa biaya budidaya adalah 6.500–7.000 baht per ton. Dia menganjurkan harga beras di luar musim dengan kelembaban di atas 25% ditetapkan pada 8.000 baht per ton, menambahkan bahwa menguntungkan bahwa beras dengan kelembaban di bawah 25% dihargai 10.000 baht per ton.

Pramote menyoroti bahwa penurunan harga beras Thailand disebabkan oleh India yang melanjutkan ekspor beras putih pada akhir 2024 dan saat ini mengekspor dalam jumlah besar, yang telah mengurangi ekspor Thailand. Dia menekankan bahwa pemerintah Thailand belum memperkenalkan langkah-langkah apa pun untuk membantu petani, menunjukkan bahwa proposal untuk menyediakan bantuan 1.000 baht per rai belum diajukan ke Kabinet untuk dipertimbangkan. Kementerian Perdagangan mengklaim bahwa mereka harus terlebih dahulu menyelesaikan pendaftaran petani, yang akan berakhir pada 30 April, sebelum mempresentasikan langkah-langkah dan anggaran untuk persetujuan Kabinet, katanya. Dia juga mengkritik Kementerian Pertanian karena tidak mendukung petani dalam meninggalkan pembakaran tunggul, karena belum memberikan bantuan 500 baht per rai yang diusulkan. Asosiasi telah berulang kali menyarankan kepada Komite Kebijakan dan Manajemen Beras Nasional tentang produksi.

Ia menjelaskan jika petani dilarang membakar tunggul padi dan diharuskan menggunakan metode alternatif seperti fermentasi, maka akan memakan waktu lebih lama dan menimbulkan biaya tambahan. Selain itu, ia mencatat bahwa air fermentasi, ketika dibuang ke sumber air, dapat menyebabkan pencemaran air. Dia lebih lanjut mengklaim bahwa Departemen Padi belum mempercepat penelitian dan pengembangan varietas padi baru yang tahan penyakit, menghasilkan produktivitas per rai yang lebih tinggi, dan memenuhi permintaan pasar, terutama untuk beras lunak yang mirip dengan Vietnam. Hal ini telah menyebabkan petani membudidayakan padi melati Vietnam, yang menghasilkan lebih dari 1.200–1.300 kilogram per rai, meskipun bukan varietas bersertifikat, karena padi melati Thailand hanya menghasilkan 400–600 kilogram per rai.

Dia menyatakan keprihatinan bahwa padi melati Thailand bisa punah karena petani di Timur Laut semakin menanam padi melati Vietnam, yang dapat ditanam dan dijual dua kali setahun, tidak seperti padi melati Thailand, yang dibudidayakan dan dijual hanya setahun sekali. “Saat ini, petani dan petani lainnya berada di ambang kehancuran. Harga beras anjlok setiap hari, dengan beberapa daerah melihat harga turun di bawah 7.000 baht per ton, sementara biaya Kembali” “Jika pemerintah terus tidak aktif dan gagal segera memperkenalkan langkah-langkah apa pun, kami pasti akan menyaksikan petani di seluruh negeri bersatu dalam protes”. " Dia mencatat bahwa beberapa kelompok tani telah mendiskusikan masalah ini dengannya dan sedang memobilisasi. Dia juga membantah klaim bahwa politisi mendukung gerakan ini, menegaskan bahwa petani benar-benar dalam kesulitan. "Jika petani tidak bisa bertahan, pemerintah juga tidak bisa," katanya. Pramote melanjutkan dengan mengatakan bahwa petani kelapa sawit juga sangat menderita. Meskipun saat ini adalah awal musim panen kelapa sawit, dan produksi baru saja mulai masuk, dalam waktu kurang dari sebulan harganya sudah turun lebih dari 1 baht per kilogram. Dibandingkan dengan dua bulan lalu, pada Februari 2025, harganya turun lebih dari setengahnya — dari 9–10,2 baht per kilogram menjadi rata-rata 4,60–5,40 baht per kilogram pada akhir April. Pada saat yang sama, harga minyak sawit mentah saat ini mencapai 32,25–32,50 baht per kilogram, turun dari 36,50–36,75 baht per kilogram pada awal April. Sementara itu, Menteri Perdagangan Pichai Naripthaphan menyatakan bahwa pada 23 April ia telah berdiskusi dengan anggota parlemen Pheu Thai tentang situasi mengenai penurunan harga produk pertanian, terutama beras, di mana produksi telah meningkat sementara ekspor telah menurun setelah India kembali ke pasar ekspor. Harga singkong juga turun, karena permintaan singkong sebagai bahan baku dari China menurun. Ini karena China sekarang menggunakan jagung yang lebih murah untuk memproduksi alkohol sebagai pengganti singkong. Selain itu, wabah penyakit mosaik telah menurunkan kualitas hasil singkong.

Pichai mengatakan bahwa langkah-langkah mendesak telah digariskan untuk meningkatkan kualitas produksi dan mengidentifikasi pasar yang lebih menguntungkan untuk barang-barang pertanian, terutama tanaman utama seperti beras. Ini akan membutuhkan perombakan komprehensif dari seluruh sistem, dari hulu hingga hilir, termasuk promosi varietas padi yang tinggi permintaan pasar, dukungan untuk metode yang mengurangi biaya produksi, dan langkah-langkah tambahan untuk membantu mengatasi masalah pembakaran lahan.

Kementerian Perdagangan akan mengangkat isu-isu ini untuk dipresentasikan dan dibahas di Komite Kebijakan dan Manajemen Beras Nasional, yang diketuai oleh Menteri Keuangan Pichai Chunhavajira, untuk segera mempertimbangkan dan menerapkan langkah-langkah yang diperlukan. Dia menambahkan bahwa terkait singkong, kementerian berencana untuk mengintegrasikan upaya antara sektor publik dan swasta untuk memperluas budidaya varietas singkong yang tahan terhadap penyakit mosaik, dalam rangka mengekang wabah dan meningkatkan hasil produksi. Upaya juga akan dilakukan untuk memperluas pasar ekspor di luar China.

THAI FARMERS DEMAND URGENT ACTION TO COMBAT FALLING CROP PRICES

Thai farmers have urged the government to implement measures to address declining crop prices, warning that farmers will suffer if no action is taken.

Pramote Charoensilp, president of the Thai Agriculturists Association, stated that many farmers, including those cultivating rice, cassava, oil palm and rubber, are struggling due to falling crop prices in contrast to rising cultivation costs. For example, the price of off-season rice with humidity exceeding 25% was nearly 7,000 baht per tonne last week, compared to 9,000–10,000 baht in the past two to three years. He noted that the cultivation cost is 6,500–7,000 baht per tonne. He advocated for the price of off-season rice with humidity above 25% to be set at 8,000 baht per tonne, adding that it is favourable that rice with humidity below 25% is priced at 10,000 baht per tonne.

Pramote highlighted that the decline in Thai rice prices was due to India resuming white rice exports in late 2024 and currently exporting in large quantities, which has reduced Thailand’s exports. He emphasised that the Thai government has yet to introduce any measures to assist farmers, pointing out that the proposal to provide 1,000 baht per rai in aid has not yet been submitted to the Cabinet for consideration. The Commerce Ministry claimed that it must first complete the registration of farmers, which is set to conclude on April 30, before presenting the measures and budget for Cabinet approval, he alleged. He also criticised the Agriculture Ministry for not supporting farmers in abandoning stubble burning, as it has not provided the proposed 500 baht per rai in aid. The association has repeatedly suggested to the National Rice Policy and Management Committee on production.

He explained that if farmers are prohibited from burning rice stubble and are required to use alternative methods such as fermentation, it would take more time and incur additional costs. Moreover, he noted that ferment water, when discharged into water sources, could lead to water pollution. He further claimed that the Rice Department has not expedited research and development of new rice varieties that are disease-resistant, yield higher productivity per rai, and meet market demands, particularly for soft rice similar to that of Vietnam. This has led farmers to cultivate Vietnamese jasmine rice, which yields over 1,200–1,300 kilograms per rai, despite not being a certified variety, as Thai jasmine rice yields only 400–600 kilograms per rai.

He expressed concern that Thai jasmine rice could become extinct as farmers in the Northeast are increasingly planting Vietnamese jasmine rice, which can be grown and sold twice a year, unlike Thai jasmine rice, which is cultivated and sold only once a year. “Currently, farmers and other agriculturists are on the brink of collapse. Rice prices are plummeting daily, with some areas seeing prices drop below 7,000 baht per tonne, while costs remain high. Prices of other agricultural products are also falling,” he said. “If the government continues to remain inactive and fails to urgently introduce any measures, we will undoubtedly witness farmers nationwide uniting in protest.” He noted that several farmer groups have discussed this issue with him and are mobilising. He also denied claims that politicians are backing this movement, asserting that farmers are genuinely in distress. “If farmers cannot survive, neither can the government,” he declared.

Pramote went on to say that oil palm growers are also suffering severely. Although it is currently the beginning of the oil palm harvest season, and production has just started to come in, within less than a month the price has already dropped by more than 1 baht per kilogramme. Compared with two months ago, in February 2025, the price has fallen by more than half — from 9–10.2 baht per kilogramme to an average of 4.60–5.40 baht per kilogramme by the end of April. At the same time, the price of crude palm oil currently stands at 32.25–32.50 baht per kilogramme, down from 36.50–36.75 baht per kilogramme at the beginning of April. Meanwhile, Commerce Minister Pichai Naripthaphan stated that on April 23 he had discussed with Pheu Thai MPs the situation concerning the falling prices of agricultural products, notably rice, where production has increased while exports have declined following India's return to the export market. The price of cassava has also dropped, as demand from China for cassava as a raw material has decreased. This is because China is now using maize, which is cheaper, to produce alcohol instead of cassava. In addition, the outbreak of mosaic disease has reduced the quality of cassava yields.

Pichai said that urgent measures have been outlined to enhance the quality of production and identify more favourable markets for agricultural goods, particularly key crops such as rice.This will require a comprehensive overhaul of the entire system, from upstream to downstream, including the promotion of rice varieties that are in high market demand, support for methods that reduce production costs, and supplementary measures to help address the problem of field burning.

The Commerce Ministry will raise these issues for presentation and discussion at the National Rice Policy and Management Committee, chaired by Finance Minister Pichai Chunhavajira, to urgently consider and implement necessary measures. He added that regarding cassava, the ministry plans to integrate efforts between the public and private sectors to expand the cultivation of cassava varieties resistant to mosaic disease, in order to curb the outbreak and increase production yields. Efforts will also be made to expand export markets beyond China.

Afrika - Minyak Sawit - Analisis Pasar, Prakiraan, Ukuran, Tren, dan Wawasan Pasar Minyak Sawit

AFRIKA AKAN MELEBIHI 9,9 JUTA TON PADA TAHUN 2035

DENGAN CAGR +0,8%

Pasar minyak sawit di Afrika akan mengalami tren konsumsi naik yang stabil karena meningkatnya permintaan. Pasar diperkirakan akan tumbuh dengan CAGR sebesar +0,8% dalam volume dan +2,7% dalam nilai dari 2024 hingga 2035, masing-masing mencapai 9,9 juta ton dan $11,8 miliar pada akhir periode.

Prakiraan Pasar

Didorong oleh meningkatnya permintaan minyak sawit di Afrika, pasar diperkirakan akan melanjutkan tren konsumsi naik selama dekade berikutnya. Kinerja pasar diperkirakan akan melambat, berkembang dengan CAGR yang diantisipasi sebesar +0,8% untuk periode 2024 hingga 2035, yang diproyeksikan akan membawa volume pasar menjadi 9,9 juta ton pada akhir 2035.

Dalam hal nilai, pasar diperkirakan akan meningkat dengan CAGR yang diantisipasi sebesar +2,7% untuk periode 2024 hingga 2035, yang diproyeksikan akan membawa nilai pasar menjadi $11,8 miliar (dalam harga grosir nominal) pada akhir tahun 2035.

Konsumsi

Konsumsi Minyak Sawit di Afrika Pada tahun 2024, jumlah minyak sawit yang dikonsumsi di Afrika berkontraksi menjadi 9,1 juta ton, dengan penurunan -6,4% dari tahun sebelumnya. Total volume konsumsi meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +2,7% selama periode 2013 hingga 2024; namun, pola tren menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat pada tahun-tahun tertentu. Volume konsumsi memuncak pada 9,9 juta ton pada tahun 2021; Namun, dari tahun 2022 hingga 2024, konsumsi gagal mendapatkan kembali momentum.

Ukuran pasar minyak sawit di Afrika berkontraksi sedikit menjadi $8,9 miliar pada tahun 2024, dengan penurunan -5% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini mencerminkan total pendapatan produsen dan importir (tidak termasuk biaya logistik, biaya pemasaran ritel, dan margin pengecer, yang akan dimasukkan dalam harga konsumen akhir). Selama periode yang ditinjau, konsumsi, bagaimanapun, membukukan ekspansi moderat. Tingkat konsumsi mencapai puncaknya pada $10,9 miliar pada tahun 2022; Namun, dari tahun 2023 hingga 2024, konsumsi gagal mendapatkan momentum kembali.

Konsumsi Berdasarkan Negara

Negara-negara dengan volume konsumsi tertinggi pada tahun 2024 adalah Nigeria (1,4 juta ton), Mesir (776 ribu ton) dan Kenya (721 ribu ton), dengan pangsa gabungan 32% dari total konsumsi. Ethiopia, Afrika Selatan, Mozambik, Pantai Gading, Kamerun, Republik Demokratik Kongo dan Ghana agak tertinggal, bersama-sama terdiri dari 34% lebih lanjut. Dari 2013 hingga 2024, peningkatan terbesar tercatat untuk Pantai Gading (dengan CAGR +7,3%), sementara konsumsi untuk pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih sederhana.

Dalam hal nilai, Nigeria ($1,3 miliar), Mesir ($1 miliar), dan Kenya ($680 juta) tampaknya menjadi negara dengan tingkat nilai pasar tertinggi pada tahun 2024, bersama-sama menyumbang 34% dari total pasar. Ethiopia, Afrika Selatan, Mozambik, Pantai Gading, Kamerun, Republik Demokratik Kongo dan Ghana agak tertinggal, bersama-sama menyumbang 33% lebih lanjut. Dalam hal negara konsumen utama, Pantai Gading, dengan CAGR +8,8%, melihat tingkat pertumbuhan ukuran pasar tertinggi selama periode yang ditinjau, sementara pasar untuk pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih sederhana.

Negara-negara dengan tingkat konsumsi minyak sawit per kapita tertinggi pada tahun 2024 adalah Pantai Gading (15 kg per orang), Kamerun (15 kg per orang) dan Mozambik (13 kg per orang). Dari 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan yang paling menonjol dalam hal konsumsi, di antara negara-negara konsumen utama, dicapai oleh Pantai Gading (dengan CAGR +4,6%), sementara konsumsi untuk pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih sederhana.

Produksi

Produksi Minyak Sawit Afrika Pada tahun 2024, jumlah minyak sawit yang diproduksi di Afrika mencapai 3,4 juta ton, tetap stabil dibandingkan angka tahun sebelumnya. Total volume output meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +3,7% selama periode 2013 hingga 2024; namun, pola tren menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode dianalisis. Laju pertumbuhan muncul paling cepat pada tahun 2014 ketika volume produksi meningkat sebesar 47%. Selama periode yang ditinjau, produksi mencapai volume puncak sebesar 3,5 juta ton pada tahun 2022; Namun, dari tahun 2023 hingga 2024, produksi gagal mendapatkan kembali momentum.

Dari segi nilai, produksi minyak sawit melonjak menjadi $4 miliar pada tahun 2024 yang diperkirakan dalam harga ekspor. Total produksi menunjukkan ekspansi yang tangguh dari 2013 hingga 2024: nilainya meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +5,6% selama periode sebelas tahun terakhir. Pola tren, bagaimanapun, menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode yang dianalisis. Berdasarkan angka 2024, produksi meningkat sebesar +54,4% terhadap indeks 2021. Akibatnya, produksi mencapai tingkat puncak dan kemungkinan akan terus tumbuh dalam waktu dekat.

Produksi Berdasarkan Negara

Negara dengan volume produksi minyak sawit terbesar adalah Nigeria (1,4 juta ton), yang terdiri dari sekitar 41% dari total volume. Selain itu, produksi minyak sawit di Nigeria melampaui angka yang dicatat oleh produsen terbesar kedua, Pantai Gading (570 ribu ton), dua kali lipat. Posisi ketiga dalam peringkat ini diambil oleh Kamerun (325 ribu ton), dengan pangsa 9,4%.

Dari 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan volume tahunan rata-rata di Nigeria berjumlah +4.3%. Di negara-negara lain, tingkat tahunan rata-rata adalah sebagai berikut: Pantai Gading (+3,4% per tahun) dan Kamerun (+2,5% per tahun).

Impor

Impor Minyak Sawit Afrika

Pada tahun 2024, jumlah minyak sawit yang diimpor di Afrika sedikit menyusut menjadi 6,7 juta ton, turun -4,3% dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya. Total impor menunjukkan peningkatan terukur dari 2013 hingga 2024: volumenya meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +3,0% selama periode sebelas tahun terakhir. Pola tren, bagaimanapun, menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode yang dianalisis. Berdasarkan angka 2024, impor turun -10,6% terhadap indeks 2021. Tingkat pertumbuhan yang paling menonjol tercatat pada tahun 2017 ketika impor meningkat sebesar 18%. Volume impor memuncak pada 7,5 juta ton pada tahun 2021; Namun, dari 2022 hingga 2024, impor tetap pada angka yang lebih rendah.

Dari segi nilai, impor minyak sawit sebesar $8,1 miliar pada tahun 2024. Secara keseluruhan, impor, bagaimanapun, mengalami ekspansi yang menonjol. Laju pertumbuhan tampak paling cepat pada tahun 2021 dengan peningkatan sebesar 52%. Tingkat impor mencapai puncaknya di $9,1 miliar pada tahun 2022; Namun, dari 2023 hingga 2024, impor tetap pada angka yang lebih rendah.

Impor Berdasarkan Negara

Kenya (835 ribu ton), Mesir (784 ribu ton), Ethiopia (591 ribu ton), Afrika Selatan (544 ribu ton), Mozambik (461 ribu ton), Djibouti (366 ribu ton), Uganda (297 ribu ton), Tanzania (245 ribu ton) dan Togo (229 ribu ton) mewakili sekitar 65% dari total impor pada tahun 2024. Senegal (193 ribu ton) mengikuti jauh di belakang para pemimpin. Dari 2013 hingga 2024, peningkatan terbesar tercatat untuk Uganda (dengan CAGR +9.2%), sementara pembelian untuk pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih sederhana.

Dalam hal nilai, pasar impor minyak sawit terbesar di Afrika adalah Mesir ($1,2 miliar), Kenya ($1,1 miliar) dan Ethiopia ($693 juta), dengan pangsa gabungan 37% dari total impor. Mozambik, Afrika Selatan, Djibouti, Uganda, Togo, Senegal dan Tanzania agak tertinggal, bersama-sama menyumbang 30% lebih lanjut. Mozambik, dengan CAGR +12,6%, mencatat tingkat pertumbuhan tertinggi sehubungan dengan nilai impor, dalam hal negara pengimpor utama selama periode yang ditinjau, sementara pembelian untuk pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih moderat.

Impor Berdasarkan Jenis

Pada tahun 2024, minyak sawit olahan (5,1 juta ton) adalah jenis utama minyak sawit, dengan komitmen 76% dari total impor. Itu diikuti oleh minyak sawit mentah (1,6 juta ton), yang menyumbang 24% dari total impor. Minyak sawit olahan juga merupakan yang paling cepat tumbuh dalam hal impor, dengan CAGR +4,2% dari 2013 hingga 2024. Minyak sawit mentah mengalami pola tren yang relatif datar. Dari 2013 hingga 2024, pangsa minyak sawit olahan meningkat sebesar +7,4 poin persentase.

Dalam hal nilai, minyak sawit olahan ($5,8 miliar) merupakan jenis minyak sawit terbesar yang diimpor di Afrika, yang terdiri dari 74% dari total impor. Posisi kedua dalam peringkat diambil oleh minyak sawit mentah ($2 miliar), dengan pangsa 26% dari total impor. Dari tahun 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata nilai impor minyak sawit olahan sebesar +6,2%.

Harga Impor Berdasarkan Jenis

Pada tahun 2024, harga impor di Afrika sebesar $1,200 per ton, dengan peningkatan 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Harga impor menunjukkan pertumbuhan yang nyata dari 2013 hingga 2024: harganya meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +2,7% selama periode sebelas tahun terakhir. Pola tren, bagaimanapun, menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode yang dianalisis. Berdasarkan angka 2024, harga impor minyak sawit turun -9,9% terhadap indeks 2022. Tingkat pertumbuhan yang paling menonjol tercatat pada tahun 2021, meningkat sebesar 43%. Tingkat impor mencapai puncaknya pada $1,332 per ton pada tahun 2022; namun dari 2023 hingga 2024, harga impor gagal kembali momentum.

Harga Impor Berdasarkan Negara

Harga impor di Afrika mencapai $1.200 per ton pada tahun 2024, naik 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Harga impor menunjukkan ekspansi yang terlihat dari 2013 hingga 2024: harganya meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +2,7% selama sebelas tahun terakhir. Pola tren, bagaimanapun, menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode yang dianalisis. Berdasarkan angka 2024, harga impor minyak sawit turun -9,9% terhadap indeks 2022. Laju pertumbuhan tersebut paling cepat pada tahun 2021 ketika harga impor meningkat sebesar 43% dibandingkan tahun sebelumnya. Selama periode yang ditinjau, harga impor mencapai rekor tertinggi di $1,332 per ton pada tahun 2022; Namun, dari 2023 hingga 2024, harga impor berada pada angka yang agak lebih rendah.

Harga sangat bervariasi menurut negara tujuan: di antara importir teratas, negara dengan harga tertinggi adalah Mesir ($1.472 per ton), sementara Tanzania ($742 per ton) termasuk yang terendah. Dari 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan yang paling menonjol dalam hal harga dicapai oleh Mozambik (+5,4%), sementara para pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih moderat.

Ekspor

Ekspor Minyak Sawit Afrika Pada tahun 2024, ekspor minyak sawit di Afrika meroket menjadi 1,1 juta ton, naik 48% dibandingkan tahun sebelumnya. Secara umum, ekspor mengalami peningkatan yang menggelegar. Laju pertumbuhan tersebut paling cepat pada tahun 2021 dengan peningkatan sebesar 60%. Volume ekspor memuncak pada 1,2 juta ton pada tahun 2022; Namun, dari 2023 hingga 2024, ekspor berada pada angka yang agak lebih rendah.

Dari segi nilai, ekspor minyak sawit melonjak menjadi $1,3 miliar pada tahun 2024. Selama periode yang ditinjau, ekspor mengalami peningkatan yang menonjol. Tingkat pertumbuhan yang paling menonjol tercatat pada tahun 2021 dengan peningkatan sebesar 127% dibandingkan tahun sebelumnya. Selama periode yang ditinjau, ekspor mencapai angka puncak di $1,4 miliar pada tahun 2022; Namun, dari 2023 hingga 2024, ekspor gagal mendapatkan kembali momentum.

Ekspor Berdasarkan Negara Djibouti (289 ribu ton) dan Pantai Gading (268 ribu ton) adalah pengekspor minyak sawit terbesar pada tahun 2024, masing-masing mencapai sekitar 27% dan 25% dari total ekspor. Kenya (114 ribu ton) mengambil bagian 11% (berdasarkan istilah fisik) dari total ekspor, yang menempatkannya di tempat kedua, diikuti oleh Gabon (8,9%), Liberia (6%), Uganda (5,5%) dan Ghana (5,1%).

Dari 2013 hingga 2024, peningkatan terbesar tercatat untuk Djibouti (dengan CAGR +57,1%), sementara pengiriman untuk pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih sederhana. Dari segi nilai, Djibouti ($386 juta), Pantai Gading ($292 juta) dan Kenya ($160 juta) adalah negara dengan tingkat ekspor tertinggi pada tahun 2024, dengan pangsa gabungan 63% dari total ekspor.

Djibouti, dengan CAGR +59,2%, melihat tingkat pertumbuhan tertinggi dari nilai ekspor, dalam hal negara pengekspor utama selama periode yang ditinjau, sementara pengiriman untuk para pemimpin lainnya mengalami laju pertumbuhan yang lebih sederhana.

Ekspor Berdasarkan Jenis

Minyak sawit olahan merupakan jenis utama minyak sawit di Afrika, dengan volume ekspor yang dihasilkan sebesar 857 ribu ton, yang merupakan sekitar 74% dari total ekspor pada tahun 2024. Itu diikuti oleh minyak sawit mentah (302 ribu ton), menghasilkan pangsa 26% dari total ekspor.

Dari tahun 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sehubungan dengan ekspor minyak sawit olahan sebesar +8,3%. Pada saat yang sama, minyak sawit mentah (+8,9%) menunjukkan laju pertumbuhan yang positif. Selain itu, minyak sawit mentah muncul sebagai jenis ekspor dengan pertumbuhan tercepat di Afrika, dengan CAGR +8,9% dari 2013-2024. Pangsa jenis terbesar tetap relatif stabil selama periode yang dianalisis. Dalam hal nilai, minyak sawit olahan ($1 miliar) tetap menjadi jenis minyak sawit terbesar yang dipasok di Afrika, yang terdiri dari 74% dari total ekspor. Posisi kedua dalam pemeringkatan dipegang oleh minyak sawit mentah ($359 juta), dengan pangsa 26% dari total ekspor. Untuk minyak sawit olahan, ekspor tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata +10,5% selama periode 2013-2024.

Harga Ekspor Berdasarkan Jenis Harga ekspor di Afrika mencapai $1,253 per ton pada tahun 2024, melonjak 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Harga ekspor menunjukkan pertumbuhan moderat dari 2013 hingga 2024: harganya meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +2,0% selama sebelas tahun terakhir. Pola tren, bagaimanapun, menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode yang dianalisis. Laju pertumbuhan paling terasa pada tahun 2021 ketika harga ekspor meningkat sebesar 42% dibandingkan tahun sebelumnya. Selama periode yang ditinjau, harga ekspor mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024 dan kemungkinan akan mengalami pertumbuhan yang stabil dalam waktu dekat. Harga rata-rata bervariasi secara nyata di antara produk ekspor utama. Pada tahun 2024, produk dengan harga tertinggi adalah minyak sawit olahan ($1.199 per ton), sedangkan harga rata-rata ekspor minyak sawit mentah sebesar $1.187 per ton.

Dari tahun 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan harga yang paling menonjol dicapai oleh minyak sawit olahan (+2,0%).

Harga Ekspor Berdasarkan Negara

Pada tahun 2024, harga ekspor di Afrika sebesar $1,253 per ton, meningkat sebesar 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Harga ekspor menunjukkan ekspansi nyata dari 2013 hingga 2024: harganya meningkat pada tingkat tahunan rata-rata +2,0% selama periode sebelas tahun terakhir. Pola tren, bagaimanapun, menunjukkan beberapa fluktuasi nyata yang tercatat sepanjang periode yang dianalisis. Tingkat pertumbuhan yang paling menonjol tercatat pada tahun 2021, meningkat sebesar 42%. Tingkat ekspor memuncak pada tahun 2024 dan diperkirakan akan mempertahankan pertumbuhan dalam waktu dekat. Harga rata-rata agak bervariasi di antara negara-negara pengekspor utama. Pada tahun 2024, negara-negara pengekspor utama mencatat harga berikut: di Kenya ($1,400 per ton) dan Uganda ($1,345 per ton), sementara Pantai Gading ($1,088 per ton) dan Ghana ($1,194 per ton) termasuk yang terendah

Dari tahun 2013 hingga 2024, tingkat pertumbuhan yang paling menonjol dalam hal harga dicapai oleh Gabon (+5,2%), sementara para pemimpin lainnya mengalami laju gr yang lebih sederhana

AFRICA - PALM OIL - MARKET ANALYSIS, FORECAST, SIZE, TRENDS AND INSIGHTS

AFRICA’S PALM OIL MARKET TO EXCEED 9.9 TONS BY 2035, WITH A CAGR OF +0.8%

The palm oil market in Africa is set to experience a steady upward consumption trend due to rising demand. The market is forecasted to grow with a CAGR of +0.8% in volume and +2.7% in value from 2024 to 2035, reaching 9.9M tons and $11.8B respectively by the end of the period.

Market Forecast

Driven by increasing demand for palm oil in Africa, the market is expected to continue an upward consumption trend over the next decade. Market performance is forecast to decelerate, expanding with an anticipated CAGR of +0.8% for the period from 2024 to 2035, which is projected to bring the market volume to 9.9M tons by the end of 2035. In value terms, the market is forecast to increase with an anticipated CAGR of +2.7% for the period from 2024 to 2035, which is projected to bring the market value to $11.8B (in nominal wholesale prices) by the end of 2035.

Consumption

Africa’s Consumption of Palm Oil

In 2024, the amount of palm oil consumed in Africa contracted to 9.1M tons, with a decrease of -6.4% on the year before. The total consumption volume increased at an average annual rate of +2.7% over the period from 2013 to 2024; however, the trend pattern indicated some noticeable fluctuations being recorded in certain years. The volume of consumption peaked at 9.9M tons in 2021; however, from 2022 to 2024, consumption failed to regain momentum.

The size of the palm oil market in Africa contracted modestly to $8.9B in 2024, with a decrease of -5% against the previous year. This figure reflects the total revenues of producers and importers (excluding logistics costs, retail marketing costs, and retailers’ margins, which will be included in the final consumer price). Over the period under review, consumption, however, posted a moderate expansion. The level of consumption peaked at $10.9B in 2022; however, from 2023 to 2024, consumption failed to regain momentum.

Consumption By Country

The countries with the highest volumes of consumption in 2024 were Nigeria (1.4M tons), Egypt (776K tons) and Kenya (721K tons), with a combined 32% share of total consumption. Ethiopia, South Africa, Mozambique, Cote d’Ivoire, Cameroon, Democratic Republic of the Congo and Ghana lagged somewhat behind, together comprising a further 34%. From 2013 to 2024, the biggest increases were recorded for Cote d’Ivoire (with a CAGR of +7.3%), while consumption for the other leaders experienced more modest paces of growth.

In value terms, Nigeria ($1.3B), Egypt ($1B) and Kenya ($680M) appeared to be the countries with the highest levels of market value in 2024, together accounting for 34% of the total market. Ethiopia, South Africa, Mozambique, Cote d’Ivoire, Cameroon, Democratic Republic of the Congo and Ghana lagged somewhat behind, together accounting for a further 33%. In terms of the main consuming countries, Cote d’Ivoire, with a CAGR of +8.8%, saw the highest growth rate of market size over the period under review, while market for the other leaders experienced more modest paces of growth.

The countries with the highest levels of palm oil per capita consumption in 2024 were Cote d’Ivoire (15 kg per person), Cameroon (15 kg per person) and Mozambique (13 kg per person). From 2013 to 2024, the most notable rate of growth in terms of consumption, amongst the main consuming countries, was attained by Cote d’Ivoire (with a CAGR of +4.6%), while consumption for the other leaders experienced more modest paces of growth.

Production

Africa’s Production of Palm Oil

In 2024, the amount of palm oil produced in Africa reached 3.4M tons, remaining stable against the previous year’s figure. The total output volume increased at an average annual rate of +3.7% over the period from 2013 to 2024; however, the trend pattern indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. The pace of growth appeared the most rapid in 2014 when the production volume increased by 47%. Over the period under review, production reached the peak volume at 3.5M tons in 2022; however, from 2023 to 2024, production failed to regain momentum.

In value terms, palm oil production soared to $4B in 2024 estimated in export price. The total production indicated a resilient expansion from 2013 to 2024: its value increased at an average annual rate of +5.6% over the last eleven-year period. The trend pattern, however, indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. Based on 2024 figures, production increased by +54.4% against 2021 indices. As a result, production reached the peak level and is likely to continue growth in the immediate term.

Production By Country

The country with the largest volume of palm oil production was Nigeria (1.4M tons), comprising approx. 41% of total volume. Moreover, palm oil production in Nigeria exceeded the figures recorded by the second-largest producer, Cote d’Ivoire (570K tons), twofold. The third position in this ranking was taken by Cameroon (325K tons), with a 9.4% share.

From 2013 to 2024, the average annual growth rate of volume in Nigeria amounted to +4.3%. In the other countries, the average annual rates were as follows: Cote d’Ivoire (+3.4% per year) and Cameroon (+2.5% per year).

Imports

Africa’s Imports of Palm Oil

In 2024, the amount of palm oil imported in Africa shrank modestly to 6.7M tons, falling by -4.3% compared with the previous year’s figure. Total imports indicated a measured increase from 2013 to 2024: its volume increased at an average annual rate of +3.0% over the last eleven-year period. The trend pattern, however, indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. Based on 2024 figures, imports decreased by -10.6% against 2021 indices. The most prominent rate of growth was recorded in 2017 when imports increased by 18%. The volume of import peaked at 7.5M tons in 2021; however, from 2022 to 2024, imports remained at a lower figure.

In value terms, palm oil imports amounted to $8.1B in 2024. Overall, imports, however, saw a prominent expansion. The pace of growth appeared the most rapid in 2021 with an increase of 52%. The level of import peaked at $9.1B in 2022; however, from 2023 to 2024, imports remained at a lower figure.

Imports By Country

Kenya (835K tons), Egypt (784K tons), Ethiopia (591K tons), South Africa (544K tons), Mozambique (461K tons), Djibouti (366K tons), Uganda (297K tons), Tanzania (245K tons) and Togo (229K tons) represented roughly 65% of total imports in 2024. Senegal (193K tons) followed a long way behind the leaders. From 2013 to 2024, the biggest increases were recorded for Uganda (with a CAGR of +9.2%), while purchases for the other leaders experienced more modest paces of growth.

In value terms, the largest palm oil importing markets in Africa were Egypt ($1.2B), Kenya ($1.1B) and Ethiopia ($693M), with a combined 37% share of total imports. Mozambique, South Africa, Djibouti, Uganda, Togo, Senegal and Tanzania lagged somewhat behind, together accounting for a further 30%. Mozambique, with a CAGR of +12.6%, recorded the highest rates of growth with regard to the value of imports, in terms of the main importing countries over the period under review, while purchases for the other leaders experienced more modest paces of growth.

Imports By Type

In 2024, refined palm oil (5.1M tons) was the key type of palm oil, committing 76% of total imports. It was distantly followed by crude palm oil (1.6M tons), making up a 24% share of total imports. Refined palm oil was also the fastest-growing in terms of imports, with a CAGR of +4.2% from 2013 to 2024. Crude palm oil experienced a relatively flat trend pattern. From 2013 to 2024, the share of refined palm oil increased by +7.4 percentage points.

In value terms, refined palm oil ($5.8B) constitutes the largest type of palm oil imported in Africa, comprising 74% of total imports. The second position in the ranking was taken by crude palm oil ($2B), with a 26% share of total imports. From 2013 to 2024, the average annual growth rate of the value of

Import Prices By Type

In 2024, the import price in Africa amounted to $1,200 per ton, with an increase of 12% against the previous year. Import price indicated pronounced growth from 2013 to 2024: its price increased at an average annual rate of +2.7% over the last eleven-year period. The trend pattern, however, indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. Based on 2024 figures, palm oil import price decreased by -9.9% against 2022 indices. The most prominent rate of growth was recorded in 2021 an increase of 43%. The level of import peaked at $1,332 per ton in 2022; however, from 2023 to 2024, import prices failed to regain momentum

Import Prices By Country

The import price in Africa stood at $1,200 per ton in 2024, rising by 12% against the previous year. Import price indicated a perceptible expansion from 2013 to 2024: its price increased at an average annual rate of +2.7% over the last eleven years. The trend pattern, however, indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. Based on 2024 figures, palm oil import price decreased by -9.9% against 2022 indices. The growth pace was the most rapid in 2021 when the import price increased by 43% against the previous year. Over the period under review, import prices hit record highs at $1,332 per ton in 2022; however, from 2023 to 2024, import prices stood at a somewhat lower figure.

Prices varied noticeably by country of destination: amid the top importers, the country with the highest price was Egypt ($1,472 per ton), while Tanzania ($742 per ton) was amongst the lowest. From 2013 to 2024, the most notable rate of growth in terms of prices was attained by Mozambique (+5.4%), while the other leaders experienced more modest paces of growth.

Exports

Africa’s Exports of Palm Oil

In 2024, exports of palm oil in Africa skyrocketed to 1.1M tons, rising by 48% against the year before. In general, exports saw a buoyant increase. The growth pace was the most rapid in 2021 with an increase of 60%. The volume of export peaked at 1.2M tons in 2022; however, from 2023 to 2024, the exports stood at a somewhat lower figure.

In value terms, palm oil exports soared to $1.3B in 2024. Over the period under review, exports enjoyed a prominent increase. The most prominent rate of growth was recorded in 2021 with an increase of 127% against the previous year. Over the period under review, the exports attained the peak figure at $1.4B in 2022; however, from 2023 to 2024, the exports failed to regain momentum.

Exports By Country

Djibouti (289K tons) and Cote d’Ivoire (268K tons) were the largest exporters of palm oil in 2024, reaching approx. 27% and 25% of total exports, respectively. Kenya (114K tons) took an 11% share (based on physical terms) of total exports, which put it in second place, followed by Gabon (8.9%), Liberia (6%), Uganda (5.5%) and Ghana (5.1%).

From 2013 to 2024, the biggest increases were recorded for Djibouti (with a CAGR of +57.1%), while shipments for the other leaders experienced more modest paces of growth. In value terms, Djibouti ($386M), Cote d’Ivoire ($292M) and Kenya ($160M) were the countries with the highest levels of exports in 2024, with a combined 63% share of total exports.

Djibouti, with a CAGR of +59.2%, saw the highest growth rate of the value of exports, in terms of the main exporting countries over the period under review, while shipments for the other leaders experienced more modest paces of growth.

Exports By Type

Refined palm oil represented the main type of palm oil in Africa, with the volume of exports resulting at 857K tons, which was approx. 74% of total exports in 2024. It was distantly followed by crude palm oil (302K tons), generating a 26% share of total exports.

From 2013 to 2024, average annual rates of growth with regard to refined palm oil exports of stood at +8.3%. At the same time, crude palm oil (+8.9%) displayed positive paces of growth. Moreover, crude palm oil emerged as the fastest-growing type exported in Africa, with a CAGR of +8.9% from 2013-2024. The shares of the largest types remained relatively stable throughout the analyzed period. In value terms, refined palm oil ($1B) remains the largest type of palm oil supplied in Africa, comprising 74% of total exports. The second position in the ranking was held by crude palm oil ($359M), with a 26% share of total exports. For refined palm oil, exports expanded at an average annual rate of +10.5% over the period from 2013-2024.

Export Prices By Type

The export price in Africa stood at $1,253 per ton in 2024, surging by 11% against the previous year. Export price indicated moderate growth from 2013 to 2024: its price increased at an average annual rate of +2.0% over the last eleven years. The trend pattern, however, indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. The pace of growth was the most pronounced in 2021 when the export price increased by 42% against the previous year. Over the period under review, the export prices hit record highs in 2024 and is likely to see steady growth in the near future. Average prices varied noticeably amongst the major exported products. In 2024, the product with the highest price was refined palm oil ($1,199 per ton), while the average price for exports of crude palm oil amounted to $1,187 per ton.

From 2013 to 2024, the most notable rate of growth in terms of prices was attained by refined palm oil (+2.0%).

Export Prices By Country

In 2024, the export price in Africa amounted to $1,253 per ton, increasing by 11% against the previous year. Export price indicated a tangible expansion from 2013 to 2024: its price increased at an average annual rate of +2.0% over the last eleven-year period. The trend pattern, however, indicated some noticeable fluctuations being recorded throughout the analyzed period. The most prominent rate of growth was recorded in 2021 an increase of 42%. The

mediate term. Average prices varied somewhat amongst the major exporting countries. In 2024, major exporting countries recorded the following prices: in Kenya ($1,400 per ton) and Uganda ($1,345 per ton), while Cote d’Ivoire

From 2013 to 2024, the most notable rate of growth in terms of prices was attained by Gabon (+5.2%), while the other leaders experienced more modest

Negara-negara Afrika yang bergantung pada minyak sawit Indonesia mungkin mengalami lonjakan harga di tengah kenaikan pajak

Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, menerapkan kebijakan pada 17 Mei untuk meningkatkan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang bertujuan untuk membiayai inisiatif biofuel dan kegiatan peremajaan di dalam negeri.

• Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, menaikkan pajak ekspor minyak sawit mentah dari 7,5% menjadi 10% mulai 17 Mei 2025.

• Negara-negara Afrika, yang sangat bergantung pada impor minyak sawit Indonesia, diperkirakan akan menghadapi peningkatan biaya, yang berpotensi berdampak pada pasar lokal.

• Produksi lokal Afrika tetap tidak dapat memenuhi permintaan domestik, membuat biaya yang lebih tinggi tidak dapat dihindari bagi konsumen kawasan tersebut Keputusan Indonesia baru-baru ini untuk menaikkan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari 7,5% menjadi 10% diperkirakan akan berdampak signifikan di seluruh pasar global, terutama berdampak pada Afrika. Banyak negara Afrika sangat bergantung pada impor minyak sawit dari Asia Tenggara dan kemungkinan akan menghadapi peningkatan biaya setelah pungutan baru mulai berlaku pada 17 Mei 2025.

Menurut keterangan Kementerian Keuangan RI, pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan menambah nilai pada produk hilir kelapa sawit, dengan fokus khusus untuk menguntungkan petani kecil. “Penyesuaian pungutan ekspor diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk hilirisasi perkebunan, terutama untuk kepentingan petani,” kata peraturan tersebut.

Namun, peningkatan tersebut menimbulkan kekhawatiran dalam industri. Eddy Martono, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menyatakan kekhawatiran bahwa pungutan yang lebih tinggi dapat merusak daya saing ekspor minyak sawit Indonesia. “Dibandingkan dengan minyak sawit Malaysia, produk kami sudah lebih mahal karena berbagai pungutan, pajak ekspor, dan kewajiban dalam negeri. Semua ini memberatkan,” katanya, seperti dikutip Reuters.

Perdagangan minyak sawit Indonesia Menurut data Statista tentang volume ekspor minyak sawit global untuk 2024/25, Indonesia tetap menjadi eksportir utama dengan sekitar 24,2 juta metrik ton, diikuti oleh Malaysia dengan sekitar 15,9 juta metrik ton. Pada tahun 2023, tujuan ekspor minyak sawit utama Indonesia termasuk India ($4,86 miliar), China ($3,79 miliar), Pakistan ($2,56 miliar), Amerika Serikat ($1,71 miliar), dan Bangladesh ($1,16 miliar).

Meskipun negara-negara Afrika bukan importir minyak sawit terbesar, mereka memainkan peran penting dalam konsumsi dan penggunaan minyak sawit Indonesia. Negara pengimpor utama di kawasan ini termasuk Nigeria, Kenya, Tanzania, Angola, dan Afrika Selatan. Dengan populasi melebihi satu miliar, produsen minyak sawit Afrika berjuang untuk memenuhi permintaan domestik. Dengan populasi melebihi satu miliar, produsen minyak sawit Afrika berjuang untuk memenuhi permintaan domestik.

Menurut data tahun 2023 dari Produksi Pertanian Dunia, Nigeria memproduksi 1,4 juta metrik ton minyak sawit, menjadikannya produsen teratas di Afrika dan terbesar kelima secara global.

Pantai Gading (Pantai Gading) menghasilkan 600.000 metrik ton, sedangkan produksi Kamerun mencapai 465.000 metrik ton. Ghana memproduksi 300.000 metrik ton minyak sawit, dan Republik Demokratik Kongo (Kongo-Kinshasa) juga memproduksi 300.000 metrik ton. Kekurangan pasokan sebagian besar dipenuhi melalui impor dari produsen tanaman minyak utama seperti Indonesia, Malaysia, Brasil, dan Uni Eropa. Meskipun demikian, Malaysia dan Indonesia tetap menjadi pemasok utama minyak sawit ke Afrika sub-Sahara. Produksi lokal di seluruh Afrika saat ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan, membuat konsumen memiliki sedikit pilihan selain membayar lebih untuk produk impor.

Importir diharapkan dapat meneruskan biaya tambahan akibat kenaikan pungutan ekspor, terutama yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia, yang pada akhirnya akan menaikkan harga minyak sawit di wilayah tersebut.

African countries that rely on Indonesian palm oil may see price surges amid tax hike

Indonesia, the world’s largest producer of palm oil, implemented a policy on May 17 to increase the export tax on crude palm oil (CPO), aiming to finance biofuel initiatives and replanting activities within the country.

• Indonesia, the world’s largest producer of palm oil, raised its export tax on crude palm oil from 7.5% to 10% starting May 17, 2025.

• African nations, heavily reliant on Indonesian palm oil imports, are anticipated to face increased costs, potentially impacting local markets.

• Local African production remains unable to meet domestic demand, making higher costs inevitable for the region’s consumers Indonesia’s recent decision to raise its export tax on crude palm oil (CPO) from 7.5% to 10% is expected to have significant repercussions across global markets, particularly impacting Africa. Many African countries depend heavily on palm oil imports from Southeast Asia and are likely to face increased costs once the new levy takes effect on May 17, 2025.

According to a statement by the Indonesian Ministry of Finance, the government increased the export levy on CPO from 7.5 percent to 10 percent. This move is intended to boost productivity and add value to downstream palm oil products, with a special focus on benefiting smallholder farmers. “The adjustment of the export levy is necessary to enhance the productivity and added value of downstream plantation products, especially for the benefit of farmers,” the regulation states.

The increase has however, raised concerns within the industry. Eddy Martono, Chairman of the Indonesian Palm Oil Entrepreneurs Association (Gapki), expressed worries that the higher levies could undermine the competitiveness of Indonesian palm oil exports. “Compared to Malaysian palm oil, our products are already more expensive due to various levies, export taxes, and domestic obligations. All of this is burdensome,” he said, as quoted by Reuters.

Indonesia’s palm oil trade

According to Statista data on global palm oil export volumes for 2024/25, Indonesia remained the leading exporter with approximately 24.2 million metric tons, followed by Malaysia with around 15.9 million metric tons. In 2023, Indonesia’s main palm oil export destinations included India ($4.86 billion), China ($3.79 billion), Pakistan ($2.56 billion), the United States ($1.71 billion), and Bangladesh ($1.16 billion).

Although African countries are not the largest importers of palm oil, they play a significant role in the consumption and usage of Indonesian palm oil. Major importing countries in the region include Nigeria, Kenya, Tanzania, Angola, and South Africa.With a population exceeding one billion, African palm oil producers struggle to meet domestic demand.

According to a 2023 data from the World Agricultural Production, Nigeria produced 1.4 million metric tons of palm oil, making it the top producer in Africa and the fifth-largest globally.

Côte d’Ivoire (Ivory Coast) produced 600,000 metric tons, while Cameroon’s output stood at 465,000 metric tons. Ghana produced 300,000 metric tons of palm oil, and the Democratic Republic of Congo (Congo-Kinshasa) also produced 300,000 metric tons. The supply shortfall is largely met through imports from major oil crop producers such as Indonesia, Malaysia, Brazil, and the European Union. Despite this, Malaysia and Indonesia remain the primary suppliers of palm oil to sub-Saharan Africa. Local production across Africa is currently insufficient to satisfy demand, leaving consumers with little choice but to pay more for the imported product.

Importers are expected to pass on the additional costs resulting from the increased export levy, especially the one imposed by the Indonesian government, which will ultimately raise the price of palm oil in the region.

Uganda memberikan peluang minyak bumi dan minyak sawit kepada investor Malaysia

Ketika Malaysia menghadapi batasan lahan dan sumber daya, Uganda menawarkan ruang untuk pertumbuhan

Uganda secara aktif mempromosikan perdagangan dengan Malaysia dan investor Asia yang lebih luas melalui Pearl of Africa Business Forum & Expo, yang baru-baru ini diadakan di Kuala Lumpur. Dirancang untuk menjadikan Uganda sebagai pusat investasi utama di Afrika Timur, forum ini menyoroti peluang di bidang pertanian, pariwisata, minyak dan gas, manufaktur, dan teknologi, mendesak investor Malaysia untuk memanfaatkan sumber daya Uganda yang kaya dan lingkungan yang ramah bisnis.

Pada tahun 2024, ekspor Uganda ke Malaysia mencapai US$108,29 juta, sementara impor secara signifikan lebih tinggi pada US$250,13 juta, mengungkapkan ketidakseimbangan perdagangan. Kesenjangan ini telah mendorong Uganda untuk mengintensifkan upaya untuk memperluas perdagangan bilateral, yang bertujuan untuk pertumbuhan eksponensial selama lima tahun ke depan. Dengan mengajukan peluang investasi dan menekankan akses pasar, Uganda berupaya memperkuat posisinya dalam jaringan perdagangan Asia, mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan industri lokal.

Investasi di industri perminyakan Uganda dan sektor minyak sawit adalah salah satu peluang utama yang disajikan kepada investor Malaysia di Forum Perusahaan-perusahaan Malaysia telah diundang untuk mengajukan penawaran untuk eksplorasi ladang minyak dan gas yang belum dimanfaatkan di Uganda. Tawaran itu datang ketika Malaysia menghadapi penurunan cadangan minyaknya sendiri, yang dapat habis pada tahun 2038.

Uganda sedang bersiap untuk memulai produksi minyak dari cekungan Danau Albert, yang terletak di dekat perbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, menyusul penundaan yang lama sejak penemuan cadangan yang layak secara komersial pada tahun 2006. Total Energies Prancis dan China National Offshore Oil Corporation mengembangkan sumber daya minyak Danau Albert Uganda melalui usaha patungan dengan Uganda National Oil Company milik negara. Keputusan investasi akhir dicapai pada tahun 2022, dan proyek tersebut diharapkan dapat menghasilkan 1,4 miliar barel minyak mentah selama periode setidaknya 20 tahun.

Namun sebagian besar potensi minyak bumi Uganda masih belum dimanfaatkan – diyakini hanya sekitar 40% yang telah dieksplorasi. Pada forum tersebut, Menteri Energi dan Pengembangan Mineral Ruth Nankabirwa mengatakan bahwa putaran lisensi baru akan segera diluncurkan.Pada tahun lalu, ahli geologi pemerintah melakukan survei awal di dua cekungan tambahan di utara dan timur laut. Belum jelas apakah daerah-daerah ini akan dimasukkan dalam putaran lisensi atau apakah akan fokus pada Albertine Graben – bagian dari sistem Rift Afrika Timur yang mencakup cekungan Danau Albert dan ladang minyak Uganda yang ada.

Nankabirwa juga menunjuk prospek investasi di Taman Industri Petrokimia Kabalega, yang akan menjadi tuan rumah kilang minyak Uganda yang direncanakan. Pemerintah baru-baru ini menandatangani perjanjian dengan Alpha MBM Investments yang berbasis di UEA untuk membiayai, mengembangkan, dan mengoperasikan kilang, yang diperkirakan menelan biaya sekitar US$4 miliar. Setelah beroperasi, kilang dapat memacu berbagai kegiatan industri – misalnya, produk sampingan dapat digunakan untuk manufaktur pupuk. Layanan dukungan seperti logistik dan perhotelan juga akan dibutuhkan.

Kawasan industri ini terletak di sebelah bandara internasional kedua Uganda, yang hampir selesai. Di bidang pertanian, delegasi Uganda menyatakan minatnya untuk memanfaatkan keahlian Malaysia dalam produksi minyak sawit. Malaysia adalah produsen minyak nabati terbesar kedua di dunia, yang ditemukan dalam produk mulai dari minyak goreng dan makanan panggang hingga sampo dan biodiesel. Namun, produksi Malaysia telah stagnan selama lebih dari satu dekade, sebagian karena kurangnya lahan yang tersedia untuk perkebunan baru.

Uganda, sebaliknya, memiliki iklim yang tepat tetapi masih terbelakang dalam budidaya kelapa sawit. Pada tahun 2023, Uganda mengimpor komoditas senilai US$311 juta. Industrialis Kenya Vimal Shah, CEO produsen barang konsumen Bidco Group, baru-baru ini juga mendesak produsen Malaysia untuk mempertimbangkan untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit di Afrika Timur. Direktur Pusat Amit Jain mengunjungi perkebunan seluas 11000 hektar yang dikelola oleh Oil Palm Uganda Ltd (OPUL) – sebuah perusahaan patungan antara BIDCO dan konglomerat kelapa sawit yang berbasis di Singapura Wilmar pada tahun 2024. Perkebunan kelapa sawit di Kalangala yang terletak di pulau Bugala yang sangat indah di bagian Uganda dari Danau Victoria dulunya merupakan hutan pikir yang terinfeksi lalat tsetse yang mematikan. Saat ini memiliki distrik perikanan, pariwisata, dan pertanian kelapa sawit yang berkembang pesat dengan populasi lebih dari 66.300 penduduk.

Minyak sawit yang diproduksi di Uganda dapat melayani pasar lokal dan dipasok ke negara-negara tetangga, di mana permintaan terus melampaui pasokan lokal. Afrika mengimpor 3,9 juta ton minyak sawit Malaysia pada tahun 2023, meningkat 17,1% dari tahun sebelumnya. Kenya, Mesir, Tanzania, Nigeria, dan Mozambik termasuk di antara importir teratas. Di luar minyak dan pertanian, delegasi Uganda menyoroti peluang dalam pariwisata, terutama di penginapan ramah lingkungan, layanan perhotelan, dan infrastruktur untuk memanfaatkan potensi taman nasional negara dengan lebih baik. Pertambangan – terutama tembaga dan emas – juga ditandai sebagai daerah dengan potensi investasi yang kuat. Uganda memprioritaskan manufaktur dan pemrosesan lokal, memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pertumbuhan industri. Dengan berfokus pada nilai tambah daripada ekspor bahan baku, negara ini telah merancang kebijakan ramah investor yang menyederhanakan pendirian bisnis.

Otoritas Investasi Uganda (UIA) mendukung dorongan ini melalui pusat satu atap, merampingkan perizinan bisnis dan pendaftaran pajak. Investor dapat memperoleh manfaat dari kepemilikan asing penuh, jaminan repatriasi laba, dan tax holiday yang ditargetkan untuk sektor manufaktur prioritas. Perusahaan seperti Bidco Group, yang telah berhasil beroperasi di Afrika Timur, berfungsi sebagai studi kasus yang berharg. Bagi investor Asia yang ingin berekspansi ke kawasan ini. Lokasi strategis Uganda dan partisipasinya di Kawasan Perdagangan Bebas Bvvvvvvvvvenua Afrika (AfCFTA) juga menghadirkan keuntungan bagi produsen yang mendirikan operasi Selain itu, tingkat inflasi Uganda mengalami penurunan yang signifikan, turun dari 10,4% pada tahun 2023 menjadi 3,4% pada Maret 2025. Hal ini bisa menandakan upaya struktural yang disengaja oleh pemerintah untuk menumbuhkan lingkungan bisnis yang lebih kondusif bagi investor. Bagi investor Asia yang menjelajahi pasar Afrika, Uganda menawarkan sumber daya alam yang kaya, potensi pertanian yang kuat, dan insentif yang ramah investor. Namun, risiko pasar perbatasan, seperti volatilitas mata uang dan kesenjangan infrastruktur, memerlukan uji tuntas yang cermat untuk memastikan keberhasilan investasi yang berkelanjutan.

Uganda pitches petroleum and palm oil opportunities to Malaysian investors

As Malaysia faces land and resource limits, Uganda offers room for growth

Uganda is actively promoting trade with Malaysia and broader Asian investors through the Pearl of Africa Business Forum & Expo, recently held in Kuala Lumpur. Designed to establish Uganda as a prime investment hub in East Africa, the forum spotlighted opportunities in agriculture, tourism, oil and gas, manufacturing, and technology, urging Malaysian investors to tap into Uganda’s rich resources and business-friendly environment.

In 2024, Uganda’s exports to Malaysia reached US$108.29m, while imports stood significantly higher at US$250.13m, revealing a trade imbalance. This disparity has driven Uganda to intensify efforts to expand bilateral trade, aiming for exponential growth over the next five years. By pitching investment opportunities and emphasizing market access, Uganda seeks to strengthen its position in the Asian trade network, reduce dependency on imports, and enhance local industries.

Investment in Uganda’s petroleum industry and palm oil sector were among the key opportunities presented to Malaysian investors at the ForumMalaysian companies have been invited to bid for the exploration of untapped oil and gas fields in Uganda. The offer comes as Malaysia faces the decline of its own oil reserves, which could be depleted by 2038.

Uganda is preparing to start oil production from the Lake Albert basin, located near the border with the Democratic Republic of Congo, following long delays since the discovery of commercially viable reserves in 2006. France’s TotalEnergies and China National Offshore Oil Corporation are developing Uganda’s Lake Albert oil resources through a joint venture with the state-owned Uganda National Oil Company. A final investment decision was reached in 2022, and the project is expected to produce 1.4bn barrels of crude oil over a period of at least 20 years.

Yet much of Uganda’s petroleum potential remains untapped – it is believed only about 40% has been explored. At the forum, Energy and Mineral Development Minister Ruth Nankabirwa said that a new licensing round would soon be launched. As of last year, government geologists were conducting preliminary surveys in two additional basins in the north and northeast. It is not yet clear whether these areas will be included in the licensing round or whether it will focus on the Albertine Graben – part of the East African Rift system that includes the Lake Albert basin and Uganda’s existing oil fields.

Nankabirwa also pointed to investment prospects at the Kabalega Petrochemical Industrial Park, which will host Uganda’s planned oil refinery. The government recently signed an agreement with UAE-based Alpha MBM Investments to finance, develop and operate the refinery, estimated to cost around US$4bn. Once operational, the refinery could spur a range of industrial activities – for example, by-products can be used to manufacture fertilisers. Support services such as logistics and hospitality will also be needed. The industrial park sits next to Uganda’s second international airport, which is nearing completion.

In agriculture, the Ugandan delegation expressed interest in leveraging Malaysia’s expertise in palm oil production. Malaysia is the world’s second-largest producer of the widely used vegetable oil, found in products ranging from cooking oil and baked goods to shampoo and biodiesel. However, Malaysian production has stagnated for more than a decade, partly due to a lack of available land for new plantations.

Uganda, by contrast, has the right climate but remains underdeveloped in palm oil cultivation. In 2023, Uganda imported US$311m worth of the commodity. Kenyan industrialist Vimal Shah, CEO of consumer goods manufacturer Bidco Group, recently also urged Malaysian producers to consider establishing palm oil plantations in East Africa. Centre Director Amit Jain visited the 11000-hectare plantation managed by Oil Palm Uganda Ltd (OPUL) – a joint venture between BIDCO and Singapore-based palm oil conglomerate Wilmar in 2024. The palm oil plantations at Kalangala which is located on the stunningly beautiful island of Bugala on the Ugandan part of Lake Victoria was once a think forest infected by the deadly tsetse fly. Today it has a thriving fishing, tourism and oil palm farming district with a population of over 66,300 residents.

Palm oil produced in Uganda can cater for both the local market and supplied to neighbouring countries, where demand continues to outpace local supply. Africa imported 3.9m tonnes of Malaysian palm oil in 2023, a 17.1% increase from the previous year. Kenya, Egypt, Tanzania, Nigeria, and Mozambique were among the top importers. Beyond oil and agriculture, the Ugandan delegation highlighted opportunities in tourism, particularly in eco-lodges, hospitality services, and infrastructure to better harness the potential of the country’s national parks. Mining – especially copper and gold – was likewise flagged as an area with strong investment potential. Uganda prioritises local manufacturing and processing, leveraging its natural resources for industrial growth. By focusing on value addition rather than raw material exports, the country has designed investor-friendly policies that simplify business establishment.

The Uganda Investment Authority (UIA) supports this push through a one-stop center, streamlining business licensing and tax registration. Investors could benefit from full foreign ownership, guaranteed profit repatriation, and targeted tax holidays for priority manufacturing sectors. Companies like Bidco Group, which have successfully established operations in East Africa, serve as valuable case studies for Asian investors looking to expand into the region. Uganda’s strategic location and its participation in the African Continental Free Trade Area (AfCFTA) also present advantages for manufacturers setting up operation. Additionally, Uganda’s inflation rate has seen a notable decline, dropping from 10.4% in 2023 to 3.4% in March 2025. This could signal deliberate structural efforts by the government to foster a more conducive business environment for investors. For Asian investors exploring African markets, Uganda offers rich natural resources, strong agricultural potential, and investor-friendly incentives. However, frontier market risks, such as currency volatility and infrastructure gaps, necessitate careful due diligence to ensure sustainable investment success.

Indonesia Gunakan 1 Juta

Kumbang Afrika untuk Memacu Produksi Sawit

Indonesia bertaruh pada serangga kecil dari Afrika untuk membantu meningkatkan produksi minyak sawitnya, karena sektor yang lebih luas bergulat dengan pengetatan pasokan yang mengancam untuk menjaga harga tetap tinggi dan menambah inflasi pangan. Petani top dunia berencana untuk memperkenalkan sekitar 1 juta kumbang di beberapa perkebunan tahun ini untuk meningkatkan penyerbukan dan perkembangan buah. Tiga spesies yang dikumpulkan dari Tanzania diperkirakan akan tiba di fasilitas di Sumatera Utara bulan depan untuk serangkaian tes sebelum mereka dilepasliarkan. Harapannya adalah kumbang Afrika akan membantu menghidupkan kembali pertumbuhan produksi setelah bertahun-tahun produksi terhenti, yang berasal dari pohon tua yang beberapa petani enggan menanam kembali karena waktu yang lama yang dibutuhkan untuk berbuah. Pasokan yang terbatas, termasuk dari produsen terbesar kedua, Malaysia, telah berkontribusi pada kelapa sawit yang melepaskan statusnya sebagai minyak nabati termurah di dunia untuk minyak kedelai. Menambah masalah: Indonesia sekarang ingin memperluas program biofuel-nya, yang berarti lebih banyak minyak sawit akan dialihkan ke pasokan lokal daripada digunakan untuk ekspor. Itu menempatkan inisiatif serangga pada saat yang penting.

‘Batch Segar’ Industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia telah membengkak selama beberapa dekade terakhir, seringkali dengan mengorbankan sebagian besar hutan dan hutan asli. Keduanya sekarang menyumbang sekitar 85% dari pasokan global minyak nabati yang paling banyak digunakan, yang dapat ditemukan dalam produk mulai dari cokelat hingga kosmetik dan biofuel.

Minyak kelapa sawit berasal dari Afrika, membuat serangga Tanzania sangat cocok untuk peran tersebut, dan pelepasan serangga telah berhasil di masa lalu. Kumbang diperkenalkan selama tahun 1980-an ke perkebunan di Indonesia dan Malaysia, yang mengarah pada peningkatan tingkat produksi yang signifikan. “Kami membutuhkan sekelompok serangga baru,” kata Dwi Asmono, kepala penelitian dan pengembangan di Perhimpunan Kelapa Sawit Indonesia, yang dikenal sebagai Gapki. Kelompok industri memimpin inisiatif ini dengan dukungan dari pemerintah dan produsen milik negara dan swasta. “Ini akan seperti memiliki pasukan pekerja bebas untuk menyerbuki bunga,” tambahnya. “Beberapa faktor yang harus dipelajari sebelum rilis luas adalah musuh, teman, dan perilaku mereka di pagi, siang, dan malam hari.

“Sebuah tim peneliti Indonesia mengumpulkan sekitar 6.000 kumbang di Tanzania pada bulan Januari, yang akan dikirim ke laboratorium Sumatera Utara milik Lembaga Penelitian Kelapa Sawit Indonesia. Gugus tugas yang mencakup para ahli entomologi dan Komisi Keamanan Hayati akan mempelajari serangga dan interaksi mereka dengan spesies lokal sebelum mereka dilepasliarkan di perkebunan. Kumbang akan berkembang biak dalam jumlah besar di fasilitas sebelum diberikan kepada sekitar 20 perusahaan yang merupakan bagian dari inisiatif tersebut, menurut Asmono dari Gapki. Kementerian pertanian akan memutuskan langkah selanjutnya termasuk potensi distribusi yang lebih luas setelah uji coba, tambahnya.

“Kami berharap ini bisa secara signifikan meningkatkan produksi minyak sawit nasional,” kata Dwi Sutoro, direktur di PT Perkebunan Nusantara III (Persero), perusahaan BUMN yang ikut serta dalam program ini. Serangga tersebut berasal dari genus Elaeidobius, kumbang penyerbuk sawit yang ukurannya sekitar, atau sedikit lebih besar dari, ujung jarum pentul. Mereka memiliki kapasitas tinggi untuk memindahkan serbuk sari dan sangat spesifik terhadap pohon kelapa sawit sebagai inangnya. Kehadiran kumbang ini memberikan solusi jangka pendek bagi petani untuk mengatasi masalah pasokan, meski juga berisiko mengalihkan perhatian dari kebutuhan mendesak untuk mengganti pohon-pohon tua yang sudah tidak produktif. Pohon baru mulai berbuah pada usia tiga tahun, sementara kumbang dapat membantu menghasilkan tandan buah lebih besar dalam waktu sekitar 12 bulan.

“Inisiatif ini adalah solusi untuk pohon palem muda,” kata M. Hadi Sugeng Wahyudiono, direktur di Astra Agro Lestari, produsen kelapa sawit yang berpartisipasi dalam uji coba serangga. “Yang lebih tua, terutama yang berusia di atas 25 tahun, perlu ditanam kembali menggunakan bibit dengan produktivitas tinggi.“ Indonesia melepaskan sekitar 500 kumbang pada tahun 1980-an, dengan penelitian menunjukkan keberhasilan pembentukan buah pada pohon kelapa sawit meningkat menjadi 75% dari 40%. Gapki memprediksi batch bug baru dapat mengangkatnya menjadi setidaknya 85%. Namun, kumbang bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan panen. Varietas tanaman berkualitas tinggi, volume pupuk yang memadai, dan praktik pertanian yang tepat juga penting untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi minyak sawit, sementara hama dan penyakit tetap menjadi ancaman konstan.

Indonesia to Use 1 Million African Weevils to Spur Palm Output

Indonesia is betting on tiny bugs from Africa to help boost its palm oil production, as the broader sector grapples with tightening supply that threatens to keep prices elevated and add to food inflation. The world’s top grower is planning to introduce around 1 million of the weevils at some plantations this year to improve pollination and fruit development. Three species collected from Tanzania are expected to arrive at a facility in North Sumatra next month for a series of tests before they are released. The hope is the African weevils will help revive production growth after years of stalling output, which stems from old trees that some growers are reluctant to replant due to the extended time it takes for them to fruit. Constrained supply, including from the second-biggest producer, Malaysia, has contributed to palm relinquishing its status as the world’s cheapest vegetable oil to soyoil. Adding to the problem: Indonesia now wants to expand its biofuel program, meaning more palm oil will be diverted to local supply rather than used for export. That’s put the insect initiative at a crucial time.

‘Fresh Batch’ Indonesia and Malaysia’s palm industries have ballooned over recent decades, often at the cost of large swathes of native jungle and forests. The two now account for around 85% of global supply of the most widely used vegetable oil, which can be found in products from chocolate to cosmetics and biofuel.

Palm oil is native to Africa, making the Tanzanian bugs well suited for the role, and an insect release has been successful in the past. Weevils were introduced during the 1980s to plantations in Indonesia and Malaysia, leading to significant improvement in production rates. “We need a fresh batch of the insects,” said Dwi Asmono, the head of research and development at the Indonesian Palm Oil Association, known as Gapki. The industry group is leading the initiative with support from the government and state-owned and private producers. “It’ll be like having a troop of free workers to pollinate the flowers,” he added. “Some of the factors to be studied before a wide release are their enemies, friends, and their behavior in the morning, day, and night.”

A team of Indonesia researchers collected around 6,000 weevils in Tanzania in January, which will be sent to the North Sumatran lab owned by the Indonesian Oil Palm Research Institute. A task force including entomology experts and the Biosafety Commission will study the insects and their interaction with local species before they’re released at plantations. The weevils will reproduce in vast numbers at the facility before being given to about 20 companies that are part of the initiative, according to Gapki’s Asmono.

The agriculture ministry will decide on the next steps including the potential for wider distribution following the trial, he added. “We expect it could significantly increase national palm oil production,” said Dwi Sutoro, a director at state-owned plantation company PT Perkebunan Nusantara III (Persero), which is taking part in the program. The insects are from the Elaeidobius genus of palm-pollinating weevils, which are around, or slightly bigger than the size of a pinhead. They have a large capacity to transfer pollen and are highly host-specific to palm oil trees. The weevils offer growers a faster fix to their supply woes, but they risk distracting from the urgent need to replace old plantations that are no longer producing at their peak. New trees start bearing fruit at three years, whereas the insects can yield bigger bunches within 12 months.

“The initiative is a solution for young palm trees,” said M. Hadi Sugeng Wahyudiono, a director at Astra Agro Lestari, a palm producer participating in the insect trial. “Older ones, especially those over 25 years old, need to be replanted using high productivity seedlings.” Indonesia released about 500 weevils back in the 1980s, with studies showing successful fruit formation on palm oil trees increasing to 75% from 40%. Gapki predicts the new batch of bugs can lift that to at least 85%. Still, weevils are not the only factor determining a successful harvest. High quality plant varieties, adequate volumes of fertilizer and proper.

Laporan Menyerukan Rantai Nilai

Minyak Sawit Yang Lebih Adil di Afrika Barat

Sebuah laporan baru, Palm Oil Barometer 2025: Procurement for Prosperity telah menyerukan perubahan mendasar dalam praktik pengadaan minyak sawit global. Laporan tersebut menekankan perlunya distribusi nilai yang adil untuk mendukung petani kecil di Afrika Barat. Dikatakan kelapa sawit tetap menjadi tanaman penting untuk ketahanan pangan, sumber pendapatan bagi jutaan orang, terutama petani kecil di seluruh Afrika Barat, dan memiliki potensi untuk membantu keluarga petani keluar dari kemiskinan dalam satu generasi. Barometer Kelapa Sawit 2025, yang dikembangkan oleh Solidaridad dan ditandatangani bersama oleh berbagai perwakilan dan pakar petani kecil, mengidentifikasi ketidakseimbangan kritis di pasar saat ini, di mana petani kecil sering menerima bagian keuntungan yang sangat kecil meskipun kontribusi mereka signifikan. Di Ghana, petani kecil mengelola sekitar 81 persen dari area kelapa sawit negara itu, namun banyak yang menghadapi hasil yang rendah dan akses terbatas ke pasar.

Demikian pula, di Nigeria, petani kecil berkontribusi pada 80% produksi tetapi berjuang dengan metode pemrosesan yang ketinggalan zaman dan infrastruktur yang tidak memadai. Laporan itu mengatakan petani kecil Pantai Gading mengelola 73 persen area kelapa sawit, sementara di Sierra Leone, petani skala kecil menyumbang sekitar 70% dari produksi, seringkali mengandalkan kebun kelapa sawit liar.”Ketidakseimbangan ini, diperparah oleh hambatan sistemik, membatasi kemampuan petani kecil untuk meningkatkan pendapatan dan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional,” katanya. Bapak Muthalir Ramasamy Chandran, Ketua di IRGA. AG dan Penasihat Roundtable on Sustainable Palm Oil, mengatakan, “Pemerintah dan industri bekerja sama dengan platform sertifikasi keberlanjutan, perlu mengadopsi model bisnis baru untuk keterlibatan, pengembangan organisasi, dan pengembangan kapasitas, yang mendukung peningkatan akses ke input dan pasar bagi petani swadaya kecil.” Temuan inti dari Barometer Minyak Sawit 2025 adalah bahwa nilai didistribusikan secara tidak merata ke seluruh rantai pasokan, membuat petani kecil kehilangan upaya mereka untuk berproduksi secara berkelanjutan.

Selain itu, petani berjuang untuk berinvestasi dalam praktik yang mendukung ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim. Petani kecil di Afrika bergantung pada pendapatan genting yang tunduk pada harga yang bergejolak dan kondisi cuaca ekstrem yang diperburuk oleh perubahan iklim. Michael Opong, seorang petani kelapa sawit di wilayah Timur mengatakan, “Produksi kelapa sawit di komunitas kami menghadapi tantangan serius.” Dia mengatakan sebagian besar petani tidak memiliki akses ke alat, peralatan, dan infrastruktur yang tepat, yang menyebabkan hasil panen rendah dan kapasitas pemrosesan yang buruk.

Dia berkata bahkan dengan pelatihan; pendapatan kita terlalu rendah untuk berinvestasi dalam perbaikan. Hal ini membuat produktivitas stagnan dan mencegah sektor ini tumbuh. "Kami membutuhkan dukungan yang konsisten dan ditargetkan untuk menembus hambatan ini. Dengan bantuan yang tepat, kami dapat tumbuh lebih kuat dan berkontribusi secara berarti bagi pasar kelapa sawit global," tambahnya. Dia mengatakan underinves yang konsisten Laporan tersebut menguraikan empat prinsip inti untuk Pengadaan untuk Kemakmuran: perusahaan mengintegrasikan praktik pengadaan yang mengakui petani swadaya dalam keseluruhan strategi dan proses pengambilan keputusan mereka dan penetapan harga dan ketentuan pembayaran yang adil harus mengakui dan menghargai praktik berkelanjutan. Ini termasuk memahami kesenjangan pendapatan hidup petani dan bekerja untuk menutupnya.

Lainnya adalah kemitraan dan kolaborasi di seluruh rantai pasokan yang menggabungkan perspektif petani dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengembangan mekanisme penetapan harga dan perusahaan hilir perlu mendukung pemasok dengan berinvestasi dalam penguatan organisasi, kemampuan teknis, dan akses ke keuangan. Madam Marieke Leegwater, Penasihat Kebijakan Senior, Solidaridad Eropa, mengatakan, "Hanya menuntut produksi berkelanjutan tidak cukup." Dia mengatakan perusahaan perlu berkomitmen pada rantai nilai inklusif yang mengakui dan mengintegrasikan perspektif dan suara petani kecil swadaya dan memungkinkan produksi berkelanjutan dengan membayar harga yang adil yang memungkinkan pendapatan layak. "Ketika peraturan baru, seperti EUDR, mulai berlaku, kita membutuhkan pendekatan seimbang yang mengatasi deforestasi oleh perkebunan skala besar, sambil memastikan hak asasi manusia dan inklusi petani kecil untuk menciptakan rantai pasokan yang stabil dengan risiko yang lebih rendah," katanya.

Barometer Minyak Sawit 2025 memberikan rekomendasi konkret bagi pelaku rantai nilai, inisiatif multi-pemangku kepentingan, pembuat kebijakan publik, dan sektor keuangan saat mereka bekerja untuk memajukan inklusivitas petani kecil dan menciptakan industri kelapa sawit yang lebih tangguh. Setiap aktor memiliki peran dalam memastikan distribusi nilai wajar dan mendukung kemakmuran petani swadaya yang sangat penting bagi masa depan sektor ini.

Report calls for fairer palm oil value chains in West Africa

Anew report, Palm Oil Barometer 2025: Procurement for Prosperity has called for a fundamental shift in global palm oil procurement practices. The report emphasized the need for equitable value distribution to support smallholder farmers in West Africa. It said oil palm remained a vital crop for food security, a source of income for millions, especially smallholder farmers across West Africa, and has the potential to help farming families emerge from poverty within a single generation. The 2025 Palm Oil Barometer, developed by Solidaridad and co-signed by various smallholder representatives and experts, identified critical imbalances in the current market, where smallholders often receive a disproportionately small share of profits despite their significant contributions. In Ghana, smallholders manage approximately 81 per cent of the nation’s oil palm area, yet many faced low yields and limited access to markets.

Similarly, in Nigeria, smallholders contribute to 80% of production but struggle with outdated processing methods and insufficient infrastructure. The report said Côte d’Ivoire’s smallholders manage 73 per cent of oil palm areas, while in Sierra Leone, small-scale farmers account for about 70% of production, often relying on wild palm groves. “This imbalance, compounded by systemic barriers, limits smallholder farmers’ ability to increase incomes and contribute to national food security,” it said. Mr Muthalir Ramasamy Chandran, Chairman at IRGA.AG and Advisor to Roundtable on Sustainable Palm Oil, said, “Governments and industry in collaboration with sustainability certification platforms, need to adopt a new business model for engagement, organizational development, and capacity building, that supports improved access to inputs and markets for independent smallholder farmers.” The core finding of the 2025 Palm Oil Barometer was that value was inequitably distributed throughout the supply chain, leaving smallholders at a loss in their efforts to produce sustainably.

Additionally, farmers struggle to invest in practices that support resilience in the face of climate change. Smallholder farmers in Africa are reliant on precarious incomes that are subject to volatile prices and extreme weather conditions exacerbated by climate change. Mr Michael Opong, an oil palm farmer in the Eastern region said, “Oil palm production in our communities faces serious challenges.” He said most farmers lacked access to proper tools, equipment, and infrastructure, which leads to low yields and poor processing capacity.

He said even with training; our incomes are too low to invest in improvements. This keeps productivity stagnant and prevents the sector from growing. “We need consistent, targeted support to break through these barriers. With the right help, we can grow stronger and contribute meaningfully to the global palm oil market,” he added. He said the consistent underinvestment and lack of equitable value distribution were a threat to the entire sector and without access to better financing, technical assistance, and sustainable farming incentives, small farmers often resort to short-term survival strategies that can contribute to environmental degradation. Additionally, land tenure insecurity continues to create challenges, limiting smallholders’ ability to invest in long-term sustainability and discouraging compliance with stricter environmental regulations. The 2025 Palm Oil Barometer advocated a transition from current sourcing practices to a “Procurement for Prosperity” approach. This means moving beyond sustainability certifications to ensure that palm oil procurement has a positive impact on suppliers, particularly independent smallholders, centered on fairer trading practices and genuine partnership. The report outlined four core principles for Procurement for Prosperity: companies integrate procurement practices that recognize independent smallholders in their overall strategy and decision-making processes and fair pricing and payment terms must recognize and reward sustainable practices. This includes understanding farmers’ living income gaps and working to close them.

Others are partnerships and collaboration across the supply chain that incorporate farmers’ perspectives and include them in decision-making processes, including the development of pricing mechanisms and downstream companies need to support suppliers by investing in organizational strengthening, technical capabilities, and access to finance. Madam Marieke Leegwater, Senior Policy Advisor, Solidaridad Europe, said, “Simply demanding sustainable production is insufficient.” She said companies needed to commit to an inclusive value chain that recognized and integrated independent smallholder farmer perspectives and voices and enabled sustainable production by paying fair prices that make a living income possible. “As new regulations, like the EUDR, come into effect, we need a balanced approach that addresses deforestation by large-scale plantations, while ensuring human rights and smallholder inclusion to create a stable supply chain with reduced risk,” she said.

The Palm Oil Barometer 2025 provides concrete recommendations for value chain actors, multi-stakeholder initiatives, public policymakers, and the financial sector as they work to advance smallholder inclusivity and create a more resilient palm oil industry. Every actor has a role to play in ensuring fair value distribution and supporting the prosperity of independent smallholders who are critical to the sector’s future.

Malaysia, Unilever mengincar kolaborasi yang lebih erat dalam kelapa sawit berkelanjutan di Afrika Timur [BTTV]

KUALA LUMPUR: Malaysia sedang menjajaki kemitraan strategis dengan Unilever untuk memperkuat sumber minyak sawit berkelanjutan di Afrika Timur, sebagai bagian dari dorongannya untuk memperluas kehadiran pasar dan memperkuat standar keberlanjutan global. Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani, yang memimpin misi ekonomi dan teknis resmi ke Kenya, mengunjungi Unilever Kenya, pusat utama distribusi produk berbasis minyak sawit perusahaan di wilayah tersebut. "Unilever adalah salah satu merek barang konsumen (FMCG) yang bergerak cepat terkemuka di dunia, dengan kehadiran yang kuat baik dalam produk makanan maupun perawatan pribadi," katanya dalam sebuah pernyataan hari ini.

"Operasi mereka di Kenya berfungsi sebagai basis penting untuk pemanfaatan dan distribusi minyak sawit di seluruh Afrika Timur," tambahnya. Unilever, yang memiliki merek rumah tangga seperti Knorr, Magnum, Dove, Vaseline, Lux dan Lifebuoy, dikenal karena mempertahankan persyaratan keberlanjutan yang ketat di seluruh rantai pasokan globalnya. Johari mengatakan kemajuan Malaysia dalam menerapkan sistem ketertelusuran dan standar sertifikasi nasional, seperti skema Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), telah menjadikannya pemasok tepercaya untuk merek internasional seperti Unilever. "Saat ini kami sedang menjajaki kemitraan potensial antara MSPO dan Unilever, di mana Unilever dapat bergabung dengan MSPO Impact Alliance," katanya.

"Ini akan mendukung tujuan keberlanjutan jangka panjang Unilever sambil memastikan model sumber inklusif yang selaras dengan praktik terbaik global. " Kolaborasi yang diusulkan bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan sumber yang bertanggung jawab dalam rantai pasokan minyak sawit, sekaligus lebih mempromosikan posisi Malaysia sebagai pemimpin global dalam produksi minyak sawit berkelanjutan. Kunjungan ini menandai langkah maju dalam upaya Malaysia untuk memperdalam hubungan ekonomi dengan Afrika Timur dan mengadvokasi standar perdagangan berkelanjutan yang diakui secara global.

Malaysia, Unilever eye closer collaboration on sustainable palm oil in East Africa [BTTV]

KUALA LUMPUR: Malaysia is exploring a strategic partnership with Unilever to strengthen sustainable palm oil sourcing in East Africa, as part of its push to expand market presence and reinforce global sustainability standards. Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani, who is leading an official economic and technical mission to Kenya, visited Unilever Kenya, a key hub for the company’s palm oil-based product distribution in the region. “Unilever is one of the world’s leading fast-moving consumer goods (FMCG) brands, with a strong presence in both food and personal care products,” he said in a statement today.

"Their operations in Kenya serve as an important base for palm oil utilisation and distribution across East Africa," he added. Unilever, which owns household brands such as Knorr, Magnum, Dove, Vaseline, Lux and Lifebuoy, is known for maintaining strict sustainability requirements throughout its global supply chain. Johari said Malaysia's progress in implementing traceability systems and national certification standards, such as the Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) scheme, has made it a trusted supplier to international brands like Unilever."We are currently exploring a potential partnership between MSPO and Unilever, where Unilever may join the MSPO Impact Alliance," he said.

"This will support Unilever's long-term sustainability goals while ensuring inclusive sourcing models aligned with global best practices." The proposed collaboration aims to enhance transparency and responsible sourcing within the palm oil supply chain, while further promoting Malaysia's position as a global leader in sustainable palm oil production. The visit marks a step forward in Malaysia's efforts to deepen economic ties with East Africa and advocate for globally recognised sustainable trade standards.

Malaysia dan Kenya Jajaki Usaha Pengolahan Minyak

Sawit untuk Meningkatkan Perdagangan [BTTV]

KUALA LUMPUR: Kenya telah menyatakan minat yang besar untuk bermitra dengan Malaysia untuk mendirikan pusat pengolahan minyak sawit di Taman Industri Mombasa di Nairobi, sebagai bagian dari upaya untuk memperdalam hubungan perdagangan bilateral dan mendukung lapangan kerja lokal.

Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani mengatakan proposal itu mencerminkan niat kuat Kenya untuk menumbuhkan perdagangan dua arah dan memposisikan dirinya sebagai pusat regional untuk pengolahan dan distribusi minyak sawit. Proposal itu diajukan selama pertemuan antara Johari dan Sekretaris Kabinet Kenya untuk Investasi, Perdagangan dan Industri Lee Kinyanjui, pada hari kedua kunjungan resmi tiga hari Johari ke negara Afrika Timur itu.

"Saya baru saja bertemu dengan menteri perdagangan Kenya dan dia menekankan bahwa kami adalah pengekspor minyak sawit terbesar Kenya, mencapai lebih dari RM5 miliar," kata Johari. "Dia mengusulkan agar kita melihat cara untuk meningkatkan perdagangan antara kedua negara untuk memastikan defisit perdagangan yang dihadapi Kenya tidak melebar lebih jauh." Pada tahun 2024, Malaysia mengekspor minyak sawit dan produk terkait senilai RM5,2 miliar ke Kenya, menyumbang hampir 95 persen dari total ekspornya ke negara itu. Johari mengatakan pusat pengolahan minyak sawit yang diusulkan tidak hanya akan memperkuat sektor hilir domestik Kenya, tetapi juga berfungsi sebagai batu loncatan ke Komunitas Afrika Timur (EAC) yang lebih luas.

EAC terdiri dari lebih dari 330 juta orang di seluruh negara termasuk Uganda, Tanzania dan Rwanda. "Salah satu sarannya adalah mengajak investor yang bergerak di industri kelapa sawit untuk membuka pusat pengolahan di Pelabuhan Mombasa," katanya. "Dengan ini, mereka dapat melihat bahwa kegiatan ekonomi tidak terbatas hanya mengekspor minyak sawit, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja bagi penduduk setempat di Kenya. "Dia menambahkan bahwa Malaysia memandang Kenya tidak hanya sebagai mitra dagang strategis, tetapi juga sebagai titik masuk utama ke benua Afrika yang lebih luas. "Mombasa adalah pintu gerbang perdagangan utama ke delapan negara Afrika Timur dan ini menghadirkan peluang bagus bagi kami untuk meningkatkan ekspor minyak sawit dan kerja sama industri kami," kata Johari.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Sekretaris Jenderal (Komoditas) Kementerian Perkebunan dan Komoditas Datuk Razali Mohammad dan Chief Executive Officer Dewan Kelapa Sawit Malaysia Belvinder Sron. Misi Johari ke Kenya merupakan bagian dari strategi Malaysia yang lebih luas untuk memperluas jejak ekonominya di Afrika Timur, khususnya melalui inisiatiMalaysia dan Kenya Jajaki Usaha Pengolahan Minyak Sawit untuk Meningkatkan Perdagangan [BTTV] perdagangan minyak sawit yang berkelanjutan, inklusif, dan bernilai tambah.

Malaysia, Kenya explore palm oil processing venture to boost trade [BTTV]

KUALA LUMPUR: Kenya has expressed keen interest in partnering with Malaysia to set up a palm oil processing centre at the Mombasa Industrial Park in Nairobi, as part of efforts to deepen bilateral trade ties and support local employment.

Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani said the proposal reflects Kenya's strong intent to grow two-way trade and position itself as a regional hub for palm oil processing and distribution. The proposal was raised during a meeting between Johari and Kenya's Cabinet Secretary for Investments, Trade and Industry Lee Kinyanjui, on the second day of Johari's three-day official visit to the East African nation.

"I have just met Kenya's trade minister and he stressed that we are Kenya's biggest exporter of palm oil, reaching more than RM5 billion," Johari said. "He proposed that we look at ways to enhance trade between both countries to ensure the trade deficit faced by Kenya does not widen further." In 2024, Malaysia exported RM5.2 billion worth of palm oil and related products to Kenya, accounting for nearly 95 per cent of its total exports to the country.Johari said the proposed palm oil processing centre would not only strengthen Kenya's domestic downstream sector, but also serve as a springboard into the wider East African Community (EAC).

The EAC comprises over 330 million people across countries including Uganda, Tanzania and Rwanda. "One of the suggestions was to invite investors involved in the palm oil industry to open a processing centre at the Mombasa Port," he said. "With this, they can see that the economic activities are not limited to just exporting palm oil, it can also create job opportunities for locals in Kenya." He added that Malaysia views Kenya not only as a strategic trade partner, but also as a key entry point to the broader African continent. "Mombasa is a major trade gateway to eight East African countries and this presents a good opportunity for us to scale up our palm oil exports and industrial cooperation," Johari said.

Also present at the meeting were Plantation and Commodities Ministry Deputy Secretary General (Commodities) Datuk Razali Mohammad and Malaysian Palm Oil Council chief executive officer Belvinder Sron. Johari's mission to Kenya forms part of Malaysia's broader strategy to expand its economic footprint in East Africa, particularly through sustainable, inclusive and value-added palm oil trade initiatives.

Merevolusi Sektor Minyak Nabati India: Jalur Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan

India menempati urutan keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan Brasil di pasar minyak nabati nabati. India menyumbang 15-20% dari pasar biji minyak dunia, 6-7% dari produksi minyak nabati global, dan 9-10% dari keseluruhan konsumsi dunia. Setelah biji-bijian pangan, biji minyak adalah kelompok tanaman terpenting kedua dalam lanskap pertanian India. Kacang tanah, rapeseed-mustard, kedelai, dan bunga matahari adalah di antara sembilan tanaman biji minyak utama yang dapat ditanam di negara ini mengingat kondisinya yang beragam agro-ekologis.

India adalah produsen jarak, safflower, wijen, dan niger terbesar di dunia, sementara berada di urutan kedua untuk kacang tanah dan ketiga untuk rapeseed-mustard. Bersama-sama, negara bagian penghasil utama Gujarat, Maharashtra, Madhya Pradesh, dan Rajasthan menyumbang lebih dari 77% produksi biji minyak dunia. Produksi biji minyak mencapai rekor 41,35 juta ton pada 2022–2023, naik 3,39 juta ton dari tahun sebelumnya. Namun, India masih merasa kesulitan untuk memasok permintaan lokal untuk minyak nabati dan saat ini mengimpor 57% dari permintaan minyak nabatinya.

Strategi untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan impor

Diversifikasi dan retensi tanaman :

Diversifikasi budidaya biji minyak adalah kunci untuk meningkatkan produksi minyak nabati dalam negeri.

Metode berikut dapat diadopsi untuk mempromosikan budidaya biji minyak dasar yang luas :

Pemerintah dapat membantu petani dalam beralih dari tanaman tradisional ke biji minyak yang sesuai secara lokal dan hasil tinggi termasuk kacang tanah, kedelai, dan bunga matahari.

Melalui inisiatif pendidikan yang menyoroti keuntungan diversifikasi tanaman. Pasokan yang konsisten juga dapat dipertahankan dengan meningkatkan metode pertanian untuk tanaman biji minyak yang saat ini ditanam. Menurut NITI Aayog, strategi ini berpotensi meningkatkan produksi biji minyak sebesar 20% (~7,36 juta ton), dengan berfokus pada sembilan negara bagian penting: Gujarat, Rajasthan, Madhya Pradesh, Maharashtra, Haryana, Andhra Pradesh, Uttar Pradesh, Karnataka, dan Tamil Nadu. Produksi tambahan akan membantu membawa India lebih dekat ke swasembada.

Kemajuan teknologi :

Ada peluang besar untuk meningkatkan produksi minyak nabati di India dengan mengatasi kesenjangan antara praktik pertanian saat ini dan teknologi pertanian canggih. Penelitian telah menunjukkan bahwa mengadopsi metode yang lebih baik dapat menghasilkan hasil yang lebih tinggi pada tanaman biji minyak. Strategi utama termasuk menggunakan varietas benih yang lebih baik, mesin modern, dan praktik pengelolaan yang efektif seperti rotasi tanaman, penanaman tepat waktu, dan pemupukan seimbang. Menerapkan teknik pengelolaan tanaman yang efisien dapat sangat meningkatkan produktivitas. Selain itu, peningkatan pengelolaan hama dan penyakit sangat penting karena beberapa tanaman biji minyak menjadi sasaran ancaman yang cukup besar. Terakhir, pengelolaan pupuk yang cermat, terutama dalam sistem tumpang sari, diperlukan untuk memastikan bahwa semua tanaman menerima nutrisi, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan.

Memprioritaskan minyak sawit :

Dorongan strategis India dalam pengembangan kelapa sawit telah menjadi prioritas untuk meningkatkan produksi minyak nabati di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor. Skema ini telah menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa dalam tiga dekade terakhir. Dari hanya 8.585 hektar pada tahun 1991–1992, luas yang ditanam kelapa sawit telah tumbuh menjadi 0,37 juta hektar pada tahun 2021–2022. Akibatnya, minyak sawit mentah (CPO) dan tandan buah segar (TBS) melonjak. Saat ini, 98% kelapa sawit negara diproduksi di Andhra Pradesh, Telangana, dan Kerala. Industri kelapa sawit di Karnataka, Tamil Nadu, Odisha, Gujarat, dan Mizoram juga berkembang. Negara bagian Timur Laut Arunachal Pradesh, Assam, Manipur, dan Nagaland baru-baru ini meluncurkan proyek pemerintah yang menunjukkan meningkatnya minat pada penanaman kelapa sawit secara nasional. Menurut evaluasi ulang ICAR-Indian Institute of Oil Palm Research (IIOPR) tahun 2020, 2,8 juta hektar di negara bagian umum dan timur laut dianggap cocok untuk pertumbuhan kelapa sawit. Namun, Timur Laut saat ini hanya menggunakan 0,004 juta hektar, yang merupakan peluang ekspansi utama. Diketahui juga bahwa hasil tinggi diperoleh dalam budidaya kelapa sawit. Sementara biji minyak tradisional membutuhkan 15,80 juta hektar untuk menghasilkan 4 juta ton minyak, kelapa sawit dapat menghasilkan jumlah hasil yang sama hanya dari 1 juta hektar.

Penambahan nilai dan pemrosesan :

Produksi minyak nabati di India dapat sangat ditingkatkan melalui penambahan nilai melalui pemrosesan dan pemurnian. Menurut NITI Aayog, industri dedak padi dapat menghasilkan sekitar satu juta ton minyak yang dapat dicampur dengan minyak goreng populer. Harmonisasi peraturan untuk minyak dedak padi dengan negara-negara penghasil beras utama di bawah Komite Codex tentang lemak dan minyak akan membantu dalam peningkatan penggunaan minyak dedak padi. Langkah-langkah tambahan termasuk modernisasi dan penyeimbangan geografis fasilitas yang didistribusikan di pabrik ekstraksi itu sendiri.

Kemitraan publik-swasta :

Mendorong kemitraan publik-swasta (PPP) sangat penting untuk meningkatkan produksi minyak nabati berkelanjutan. Dengan memanfaatkan keahlian sektor swasta dalam teknologi, pemasaran, produksi benih, dan promosi area di berbagai tanaman biji minyak, termasuk kelapa sawit, kemitraan ini dapat meningkatkan efisiensi melalui pengaturan pembelian kembali. Kolaborasi antara lembaga pemerintah, koperasi petani, LSM lokal, dan pemangku kepentingan swasta sangat penting untuk mencapai produksi kelapa sawit berkelanjutan sambil memprioritaskan konservasi keanekaragaman hayati, seperti yang terlihat dalam inisiatif seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Kemitraan publik-swasta :

Mendorong kemitraan publik-swasta (PPP) sangat penting untuk meningkatkan produksi minyak nabati berkelanjutan. Dengan memanfaatkan keahlian sektor swasta dalam teknologi, pemasaran, produksi benih, dan promosi area di berbagai tanaman biji minyak, termasuk kelapa sawit, kemitraan ini dapat meningkatkan efisiensi melalui pengaturan pembelian kembali. Kolaborasi antara lembaga pemerintah, koperasi petani, LSM lokal, dan pemangku kepentingan swasta sangat penting untuk mencapai produksi kelapa sawit berkelanjutan sambil memprioritaskan konservasi keanekaragaman hayati, seperti yang terlihat dalam inisiatif seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Kesimpulan

Industri minyak nabati India berada di ambang perubahan besar, dengan fokus untuk menjadi lebih mandiri dan kurang bergantung pada impor, yang saat ini membentuk sekitar 57% dari permintaan negara. Berkat kondisi pertaniannya yang beragam, India memiliki potensi untuk menanam biji minyak utama seperti bunga matahari, kedelai, dan kacang tanah. Dengan mendorong keanekaragaman tanaman, mengadopsi teknik pertanian modern, dan memperluas budidaya kelapa sawit, India dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. Program seperti Misi Nasional tentang Minyak Nabati sudah membantu petani meningkatkan produksi dan pengolahan lokal. Pergeseran ini akan memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan pedesaan, dan membangun sektor minyak nabati yang lebih kuat untuk masa depan India.

Revolutionising India's Edible Oil Sector: Pathways to Sustainable Growth

India ranks fourth in the world after the United States, China, and Brazil in the edible vegetable oil market. India accounts for 15-20% of the world's oilseed market, 6–7% of global vegetable oil production, and 9–10% of overall world consumption. After food grains, oilseeds are the second most important crop group in India's agricultural landscape. Groundnut, rapeseed-mustard, soybean, and sunflower are among the nine major oilseed crops that can be grown in the nation given its varied agro-ecological conditions. India is the world's top producer of castor, safflower, sesame, and niger, while it comes in second for groundnuts and third for rapeseed-mustard. Together, the major producing states of Gujarat, Maharashtra, Madhya Pradesh, and Rajasthan account for more than 77% of the world's oilseed production. Oilseed production hit a record 41.35 million tonnes in 2022–2023, up 3.39 million tonnes from the year before. However, India still finds it difficult to supply its local demand for edible oils and currently imports 57% of its edible oil demand.

Strategies to attain sustainable growth and reduce import dependency

Crop diversification and retention:

Diversifying oilseed cultivation is key to increasing domestic edible oil production.

Following methods can be adopted to promote broad base oilseed cultivation:

The government can assist farmers in switching from traditional crops to locally appropriate, high-yielding oilseeds including peanut, soybean,

Through educational initiatives that highlight the advantages of crop diversification. A consistent supply can also be maintained by enhancing farming methods for currently grown oilseed crops. According to NITI Aayog, this strategy has the potential to boost oilseed production by 20% (~7.36 million tonnes), by focussing on nine important states: Gujarat, Rajasthan, Madhya Pradesh, Maharashtra, Haryana, Andhra Pradesh, Uttar Pradesh, Karnataka, and Tamil Nadu. The incremental production will aid in moving India closer to self-sufficiency.

Technological advancements :

There is a major opportunity to increase edible oil production in India by addressing the gap between current farming practices and advanced agricultural technologies. Research have shown that adopting improved methods can lead to higher yields in oilseed crops. Key strategies include using better seed varieties, modern machinery, and effective management practices such as crop rotation, timely planting, and balanced fertilisation. Implementing efficient crop management techniques can greatly enhance productivity. In addition, enhanced pest and disease management are critical because several oilseed crops are subjected to considerable threats. Finally, careful fertiliser management, especially in intercropping systems, is necessary to ensure that all crops receive nutrients, ultimately boosting productivity and sustainability.

Prioritising palm oil :

India's strategic thrust in oil palm development has been a priority for enhancing edible oil production at home and reducing dependence on imports. The scheme has been showing remarkable growth in the last three decades. From just 8,585 hectares in 1991–1992, the area planted to oil palm has grown to 0.37 million hectares in 2021–2022. Crude palm oil (CPO) and fresh fruit bunches (FFBs) have surged as a result. Presently, 98% of the nation's oil palm is produced in Andhra Pradesh, Telangana, and Kerala. The oil palm industries in Karnataka, Tamil Nadu, Odisha, Gujarat, and Mizoram are also expanding. The North-East states of Arunachal Pradesh, Assam, Manipur, and Nagaland have recently launched government projects that indicate a growing interest in oil palm planting nationwide. According to a 2020 ICAR-Indian Institute of Oil Palm Research (IIOPR) re-evaluation, 2.8 million hectares in general states and the northeast are considered suitable for oil palm growth. However, the North-East currently uses 0.004 million hectares only, which is the major opportunity of expansion. It is also well known that high yield is obtained in oil palm cultivation. While traditional oilseeds require 15.80 million hectares to produce 4 million tons of oil, oil palm can produce the same amount of output from merely 1 million hectares.

Value addition and processing :

Edible oil production in India can be greatly enhanced through value addition through processing and refining. According to NITI Aayog, rice bran industry can produce around one million tons of oil that can be blended with popular cooking oils. Harmonization of regulations for rice bran oil with major rice-producing countries under the Codex Committee on fats and oils will help in the increased usage of rice bran oil. Additional steps include the modernisation and geographical balancing of facilities distributed in the extraction plants themselves.

Public-private partnerships :

Encouraging public-private partnerships (PPPs) is essential for boosting sustainable edible oil production. By leveraging private sector expertise in technology, marketing, seed production, and area promotion across various oilseed crops, including oil palm, these partnerships can enhance efficiency through buy-back arrangements. Collaboration among government agencies, grower cooperatives, local NGOs, and private stakeholders is vital for achieving sustainable oil palm production while prioritising biodiversity conservation, as seen in initiatives like the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

Conclusion

Sarawak menguji coba pertanian feedlot menggunakan produk sampingan kelapa sawit

Sarawak telah memperkenalkan sistem pertanian feedlot yang memanfaatkan produk sampingan industri kelapa sawit sebagai pakan ternak, yang bertujuan untuk menstabilkan harga daging sapi lokal.

Perdana Menteri Datuk Patinggi Tan Sri Abang Johari Tun Openg mengatakan sistem ini dapat membantu mengurangi ketergantungan Sarawak pada sapi impor dari Australia, yang saat ini dikenakan biaya tinggi karena pajak ekspor dan nilai tukar yang tidak menguntungkan. Menurutnya, negara bagian telah memulai proyek percobaan pertanian feedlot di Lubok Antu, memanfaatkan limbah dari pabrik pengolahan kelapa sawit milik Sarawak Land Consolidation and Rehabilitation Authority (SALCRA) sebagai pakan ternak. "Kami menemukan bahwa limbah pabrik kelapa sawit seperti kernel dan biomassa dapat diolah menjadi pakan ternak.

"Ini memungkinkan kami untuk memelihara sapi dan kambing dalam sistem feedlot tanpa bergantung pada pakan ternak impor," katanya saat ditemui usai meresmikan penyerahan sapi dan daging kurban untuk konstituensi Gedong di Masjid Al-Kawthar di Kampung Gedong di sini hari ini (8 Juni).

Dia menjelaskan bahwa dengan menggunakan produk sampingan sebagai pakan ternak di tempat penggemukan, Sarawak dapat memelihara ternaknya sendiri sambil mengurangi kebutuhan untuk mengimpor pakan ternak yang mahal — menghasilkan penghematan biaya yang signifikan. "Kedua, di tempat penggemukan ini, jika kita menyediakan pakan berkualitas tinggi dan kaya nutrisi – mencampur rumput napier dengan produk sampingan ini – ternak akan memiliki akses ke makanan bergizi," katanya. Abang Johari, yang juga anggota dewan Gedong, menjelaskan bahwa jika proyek ini berhasil, Sarawak memiliki potensi untuk memanfaatkan 38 pabrik kelapa sawit di seluruh negara bagian untuk terus menerus dan dalam skala besar memproduksi pakan ternak.

Dia menambahkan bahwa pendekatan ini adalah bagian dari kebijakan pertanian baru Sarawak, yang lebih berfokus pada praktik ekonomi sirkular dan penggunaan sumber daya lokal yang optimal. "Kami ingin beralih dari metode pertanian desa terbuka tradisional ke sistem tertutup yang lebih modern dan efisien. Ketika jumlah ternak meningkat, pasokan akan meningkat, dan ini akan membantu menstabilkan harga pasar," katanya. Ketika ditanya mengenai status proyek di Lubok Antu, Abang Johari menjelaskan bahwa proyek tersebut masih dalam tahap awal, namun hasil awal menunjukkan potensi yang menjanjikan.

"Baru dua tahun kami mulai di Lubok Antu. Saya akan mengumumkan kemajuannya pada akhir tahun ini. Yang pasti, kita tidak lagi ingin bergantung semata-mata pada impor," ujarnya. Saat ini, Sarawak mengimpor sebagian besar pasokan daging sapinya dari Australia melalui peternakan yang dikelola oleh Sarawak Economic Development Corporation (SEDC), tetapi menghadapi banyak tantangan termasuk perubahan kebijakan di Australia dan pajak ekspor yang tinggi.

Sebelumnya, media melaporkan bahwa harga daging lembu di Sarawak termasuk yang tertinggi di negara ini, mencapai hingga RM96 per kilogram. Sementara itu, warga di wilayah Gedong menerima total 24 ekor sapi sumbangan. Dari jumlah tersebut, 13 disumbangkan oleh Abang Johari melalui Badan Perwalian Kesejahteraan Gedong (LAKIG). Enam lainnya berasal dari daerah pemilihan parlemen Batang Sadong konstituensi parlemen, sementara lima sisanya disumbangkan oleh Dewan Perwalian Kesejahteraan Islam Divisi Samarahan (LAKIS).

Sarawak trials feedlot farming using palm oil by-products

Sarawak has introduced a feedlot farming system that utilises palm oil industry by-products as livestock feed, aiming to stabilise the price of local beef.

Premier Datuk Patinggi Tan Sri Abang Johari Tun Openg said this system could help reduce Sarawak’s reliance on imported cattle from Australia, which currently incurs high costs due to export taxes and unfavorable exchange rates. According to him, the state has started a trial feedlot farming project in Lubok Antu, utilising waste from palm oil processing plants owned by the Sarawak Land Consolidation and Rehabilitation Authority (SALCRA) as animal feed. “We found that palm oil mill waste such as kernel and biomass can be processed into animal feed.

“This allows us to raise cattle and goats in a feedlot system without relying on imported animal feed,” he said when met after officiating the handover of sacrificial cows and meat for the Gedong constituency at Al-Kawthar Mosque in Kampung Gedong here today (June 8).

He explained that by using by-products as animal feed in feedlots, Sarawak could rear its own cattle while reducing the need to import expensive animal feed — resulting in significant cost savings. “Secondly, in these feedlots, if we provide high-quality, nutrient-rich feed — mixing napier grass with these by-products — the cattle will have access to nutritious food,” he said. Abang Johari, who is also Gedong assemblyman, explained that if the project succeeds, Sarawak has the potential to leverage 38 palm oil mills across the state to continuously and on a large scale produce animal feed.

He added that this approach is part of Sarawak’s new agricultural policy, which focuses more on circular economy practices and the optimal use of local resources. “We want to move away from traditional open village farming methods to a more modern and efficient closed system. When livestock numbers increase, the supply will rise, and this will help stabilise market prices,” he said. When asked about the status of the project in Lubok Antu, Abang Johari explained that it is still in its early stages, but the initial results are showing promising potential.

“It’s only been two years since we started in Lubok Antu. I will announce its progress by the end of this year. What’s certain is, we no longer want to depend solely on imports,” he said. At present, Sarawak imports the majority of its beef supply from Australia through farms managed by the Sarawak Economic Development Corporation (SEDC), but faces multiple challenges including policy changes in Australia and high export taxes.

Earlier, the media reported that beef prices in Sarawak are among the highest in the country, reaching up to RM96 per kilogramme. Meanwhile, residents in the Gedong area received a total of 24 donated cows. Of these, 13 were contributed by Abang Johari through the Gedong Welfare Trust Board (LAKIG). Another six came from the Batang Sadong parliamentary constituency, while the remaining five were donated by the Samarahan Division Islamic Welfare Trust Board (LAKIS).

Laboratorium bersama China-Malaysia untuk minyak sawit menyoroti kemitraan teknologi yang berkembang di bawah BRI

Pertemuan perdana laboratorium bersama China-Malaysia tentang pemrosesan dan keamanan minyak dan lemak, di bawah Belt and Road Initiative (BRI), diadakan baru-baru ini, Science and Technology Daily melaporkan pada hari Minggu. Laboratorium pertama dari jenisnya antara China dan Malaysia dalam kerangka kerja BRI ini diharapkan dapat meningkatkan perdagangan minyak sawit dan meningkatkan kerja sama industri yang lebih luas antara kedua negara.

Minyak sawit merupakan sektor penting dalam kerja sama perdagangan pertanian antara Tiongkok dan Malaysia. Malaysia adalah salah satu produsen minyak sawit utama dunia, sementara China telah menjadi pasar ekspor penting bagi minyak sawit Malaysia. Perdagangan ini tidak hanya mendukung ekonomi bilateral tetapi juga berkontribusi positif terhadap stabilitas dan pengembangan rantai pasokan global. Menurut sebuah artikel di situs web Dewan Kelapa Sawit Malaysia (MPOC), CEO-nya Belvinder Sron menyatakan bahwa pada tahun 2023, Malaysia mengekspor 3,05 juta ton produk kelapa sawit ke China, terutama minyak sawit dan oleokimia. Kolaborasi antara kedua negara mencakup seluruh rantai industri, mulai dari ekspor minyak sawit mentah hingga pengolahan hilir.

Pendirian laboratorium bersama diharapkan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi tantangan teknis dalam proses pembangunan industri yang sedang berlangsung. Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan perkembangan industri, ada kebutuhan berkelanjutan akan inovasi teknologi untuk memenuhi tuntutan pasar yang terus berubah. Misalnya, dengan pasar Tiongkok menjadi lebih canggih dan konsumennya semakin memprioritaskan kesehatan, MPOC dilaporkan mengantisipasi pergeseran permintaan dari produk minyak sawit tradisional, seperti olein sawit RBD dan stearin sawit, ke alternatif bernilai lebih tinggi. Ini termasuk minyak sawit merah kaya karoten, lemak khusus, dan minyak nabati yang diberi perlakuan hidro, yang selaras dengan tren permintaan yang muncul.

Kolaborasi teknologi antara China dan Malaysia siap untuk mendorong kemajuan dalam teknologi kelapa sawit. Menurut Science and Technology Daily, pendirian laboratorium bersama akan memanfaatkan teknologi biomanufaktur untuk meningkatkan nilai gizi dan menambah nilai industri pada minyak sawit. Inisiatif ini dirancang untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan Malaysia dan meningkatkan ketahanan pangan minyak dan kesehatan masyarakat China. Selain itu, ini akan memperkuat kemitraan antara China dan Malaysia dalam pemrosesan dan keamanan minyak nabati, membangun platform internasional untuk kerja sama dan pertukaran ilmiah dan teknologi. Ini akan mempromosikan kolaborasi internasional dan mendorong pengembangan bakat antara kedua negara.

Dalam sebuah wawancara awal tahun ini dengan Kantor Berita Xinhua, Wakil Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Datuk Chan Foong Hin, menyatakan bahwa China telah menjadi mitra dagang terbesar Malaysia selama 16 tahun berturut-turut. Lebih dari separuh ekspor Malaysia ke China terdiri dari minyak sawit dan produk terkait. Kemajuan Tiongkok dalam pertanian cerdas, manajemen presisi, dan integrasi rantai pasokan berfungsi sebagai referensi berharga bagi industri kelapa sawit Malaysia dan industri pertanian lainnya.

Kolaborasi teknologi kelapa sawit antara China dan Malaysia hanyalah salah satu aspek dari kerja sama teknologi yang lebih luas dalam BRI. Sebuah artikel di People’s Daily edisi luar negeri melaporkan awal bulan ini bahwa China dan negara-negara yang berpartisipasi dalam BRI telah memprakarsai pembentukan lebih dari 70 laboratorium bersama di bawah kerangka kerja BRI, yang mencakup sektor-sektor seperti pertanian, energi baru, kesehatan dan kesejahteraan. Upaya ini menyoroti komitmen luas BRI untuk mempromosikan kolaborasi dan inovasi ilmiah internasional.

Teknologi merupakan komponen penting dari kerja sama BRI. Laboratorium bersama antara Tiongkok dan Malaysia berfungsi sebagai contoh konkret tentang bagaimana kolaborasi teknologi pragmatis ini memainkan peran multifaset, termasuk namun tidak terbatas pada mempromosikan perdagangan dan pengembangan rantai industri. Hal ini bermanfaat bagi ekonomi dan mata pencaharian semua pihak yang terlibat.

Kemajuan teknologi adalah masalah global, dan kolaborasi terbuka adalah satu-satunya jalan yang benar ke depan. Selama dekade terakhir, BRI telah memainkan peran positif dalam mempromosikan perdagangan dan pengembangan rantai industri. Dengan penambahan kerja sama teknologi, diharapkan dapat lebih memanfaatkan kemitraan ini, membuka potensi pertumbuhan dalam perdagangan dan investasi, dan menghasilkan manfaat eksponensial.

China-Malaysia joint lab for palm oil highlights growing tech partnership under BRI

The inaugural meeting of the China-Malaysia joint laboratory on oils and fats processing and safety, under the Belt and Road Initiative (BRI), was held recently, the Science and Technology Daily reported on Sunday. This first-of-its-kind laboratory between China and Malaysia within the BRI framework is expected to bolster the palm oil trade and enhance broader industrial cooperation between the two countries.

Palm oil is an important sector within the agricultural trade cooperation between China and Malaysia. Malaysia is one of the world’s top producers of palm oil, while China has become an important export market for Malaysian palm oil. This trade not only bolsters the bilateral economy but also contributes positively to the stability and development of the global supply chain. According to an article on the website of the Malaysian Palm Oil Council (MPOC), its CEO Belvinder Sron stated that in 2023, Malaysia exported 3.05 million tons of palm products to China, predominantly palm oil and oleochemicals. Collaboration between the two countries spans the entire industry chain, from crude palm oil exports to downstream processing.

The establishment of the joint laboratory is expected to enhance the ability to address the technical challenges in the ongoing process of industrial development. In recent years, as the industry has evolved, there has been a continuous need for technological innovation to meet the ever-changing demands of the market. For instance, with the Chinese market becoming more sophisticated and its consumers increasingly prioritizing health, the MPOC reportedly anticipates a shift in demand from traditional palm oil products, such as RBD palm olein and palm stearin, to higher-value alternatives. These include carotene-rich red palm oil, specialty fats, and hydrotreated vegetable oil, which align with emerging demand trends.

The technological collaboration between China and Malaysia is poised to propel advancements in palm oil technology. According to the Science and Technology Daily, the establishment of the joint laboratory will leverage biomanufacturing technologies to boost the nutritional value and add industrial value to palm oil. This initiative is designed to bolster Malaysia’s sustainable development and enhance China’s food oil security and public health. Moreover, it will strengthen the partnership between China and Malaysia in edible oil processing and safety, establishing an international platform for scientific and technological cooperation and exchanges. This will promote international collaboration and foster talent development between the two countries.

Palm oil is an important sector within the agricultural trade cooperation between China and Malaysia. Malaysia is one of the world’s top producers of palm oil, while China has become an important export market for Malaysian palm oil. This trade not only bolsters the bilateral economy but also contributes positively to the stability and development of the global supply chain.

According to an article on the website of the Malaysian Palm Oil Council (MPOC), its CEO Belvinder Sron stated that in 2023, Malaysia exported 3.05 million tons of palm products to China, predominantly palm oil and oleochemicals. Collaboration between the two countries spans the entire industry chain, from crude palm oil exports to downstream processing.

The establishment of the joint laboratory is expected to enhance the ability to address the technical challenges in the ongoing process of industrial development. In recent years, as the industry has evolved, there has been a continuous need for technological innovation to meet the ever-changing demands of the market. For instance, with the Chinese market becoming more sophisticated and its consumers increasingly prioritizing health, the MPOC reportedly anticipates a shift in demand from traditional palm oil products, such as RBD palm olein and palm stearin, to higher-value alternatives. These include carotene-rich red palm oil, specialty fats, and hydrotreated vegetable oil, which align with emerging demand trends.

In an interview earlier this year with the Xinhua News Agency, Malaysia’s Deputy Minister of Plantation and Commodities, Datuk Chan Foong Hin, stated that China has been Malaysia’s largest trading partner for 16 consecutive years. More than half of Malaysia’s exports to China consist of palm oil and related products. China’s advancements in smart farming, precision management, and supply chain integration serve as valuable references for Malaysia’s palm oil and other agricultural industries.

The collaboration on palm oil technology between China and Malaysia is just one facet of the wider technological cooperation within the BRI. An article in the overseas edition of the People’s Daily reported earlier this month that China and countries participating in the BRI have initiated the establishment of more than 70 joint laboratories under the BRI framework, spanning sectors like agriculture, new energy, health and wellness. This effort highlights the BRI’s broad commitment to promoting international scientific collaboration and innovation.

Technology is an important component of BRI cooperation. The joint laboratory between China and Malaysia serves as a concrete example of how this pragmatic technological collaboration is playing a multifaceted role, including but not limited to promoting trade and industrial chain development. This is beneficial for the economies and livelihoods of all parties involved.

Technological advancement is a global issue, and open collaboration is the only right path forward. Over the past decade, the BRI has played a positive role in promoting trade and the development of industrial chains. With the addition of technological cooperation, it is expected to further leverage these partnerships, unlocking the potential for growth in trade and investment, and generating exponential benefits.

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.