Tim Redaksi
Ketua Pemimpin Redaksi
Vania Awaliyah Herawan
Wakil Ketua Pemimpin Redaksi
Anisa Sahwa Putri Sabrina
Reporter
Wigiananda Tridadari
Sean Rayshi Hambali
Keren Yosephine Abigail
Andante Viola Jogja
Muthi’ah Azkiyatul Basamah
Nauvena Trinita Raniah
Vania Awaliyah Herawan
Annisa Sahwa Putri Sabrina
Hubungan Masyarakat
Salma Agnia Ramadhani
Raden Roro Alya Nindia Putri
Mikayla Fauzia Rendyastiwi
Naila Farhani Ramadanty
Aisha Nurul Azkia
A decade in g minor
Kembalinya Biro MSDM human in harmony echoes from the field
Memperkuat Harmonisasi Human melalui
Resensi Buku: Jazz, Parfum, dan Insiden- Seno Gumira Ajidarma, Malam, Insiden, dan Hakikat Pembebasan dalam Lubang Saksofon karya kontributor
Cerpen: Kamu Itu Rangkaian Orang yang Pernah Datang
Puisi: Kepada Mayla Untuk ke 22 Kalinya
Fotografi: Every Place Makes Memories and Stay Forever -2025
Enkultura lahir pada Oktober 2015. Ialah sebuah prakarsa kecil untuk menciptakan ruang yang benar-benar tumbuh dari kami, oleh kami, dan untuk kami—mahasiswa antropologi.
Keberadaan Enkultura berangkat dari keresahan sederhana: bahwa hidup di kampus seharusnya tidak hanya diisi oleh bacaan wajib dan tugas kuliah. Ada kebutuhan untuk memiliki mangkuk guna menuangkan gagasan, membentuk pendapat, dan menyampaikan pikiran berbentuk tulisan yang ramai —sebebas-bebasnya berlari — bersorak sorai ria dalam meneriakkan gema kultur aksara
Enkultura mengalami beberapa tahun kebelakang. Bertepatan dengan 10 tahun Enkultura, kami akan membawa temanteman ke kilas balik . lahirnya Enkultura
banyak dinamika dan adaptasi semenjak ditetapkan menjadi program kerja. Ada aturan atau nilai yang mesti dicapai, regulasi yang harus dipenuhi sehingga tidak dapat dipungkiri dalam proses penulisan dan publikasi tentu dirasakan beberapa perubahan.
Awalnya artikel yang dimuat di Enkultura terasa seperti Monthly Dagel, program kerja milik departemen Media Informasi yang biasanya memuat berita-berita singkat tentang
Seperti definisinya, Enkultura lahir pada bulan Oktober 2015 sebagai majalah independen/self publish yang menjadi wadah bagi mahasiswa
Antropologi untuk mengasah kemampuan menulis dan membaca.
Antropologi dengan tone yang menarik dan penuh candaan. Namun sekarang artikel yang dimuat terasa sangat antropologis, membutuhkan kajian yang mendalam dan bahkan ada referensinya.
Ada limitasi yang diterapkan, contohnya anggaran biaya, kejelasan
struktur kepanitiaan dan tenggat waktu yang membuat penggarapan Enkultura rasanya berat. Penggunaan Instagram
juga rasanya cukup terbatas karena panitia kebingungan haruskan membawa program ini ke arah formal atau informal.
Dari perubahan dinamika itu tentu banyak kritik yang muncul, mulai dari harapan-harapan atau keinginan supaya panitia dapat membawa kembali kesenangan penggarapan
Enkultura seperti beberapa tahun yang lalu. Enkultura harus memahami pasar pembacanya supaya dapat menyesuaikan artikel yang akan dimuat. Apakah artikelnya ingin berorientasi lebih ke akademik atau sebaliknya sehingga tidak dirasa setengah-setengah. Ditengah program kerja Human yang cukup padat dan sumber daya manusia yang terbatas, warga Human perlu mempertimbangkan kembali apakah
Enkultura bisa tetap berdiri sebagai program kerja atau mampu berdiri sendiri kembali sebagai majalah independen. Karena pengerjaannya yang remote dan belum tentu semua orang memiliki minat terhadap kepenulisan sehingga kurangnya kedekatan yang terjalin sesama anggota. Saran dan harapan Instagram
Enkultura kembali aktif dan up-to-date juga muncul, dimana instagram
Enkultura harus kembali menjadi wajah sebelum terbitnya Enkultura. Harapan-harapan juga tak lupa dilayangkan. Semoga Enkultura senantiasa selalu menjadi wadah yang menampung kreativitas mahasiswa
Antropologi. Baik dinaungi sebagai program kerja resmi atau bukan, semoga tidak mengurangi esensi dan
kehadirannya sebagai majalah kreatif kebanggaan Human. Tak lupa bagi jajaran dibalik Enkultura, diharapkan manusia-manusianya dapat memetik pengalaman berharga untuk diterapkan di kehidupannya. Yang pasti kita memiliki do’a yang sama, semoga Enkultura bisa bertahan lama. Untuk semua orang yang pernah terlibat di balik layar Enkultura, semoga perjalanan panjang ini menghadirkan pengalaman seru dan tantangan berarti. Semoga di tahuntahun berikutnya, Enkultura tumbuh makin meriah, makin bermakna, dan semakin menginspirasi banyak hati. Selamat satu dekade, Enkultura!
Vania
Ansa
Dalam perjalanan yang panjang dari berdirinya sebuah organisasi mahasiswa, ada kalanya langkah kita melambat bahkan berujung terhenti.
Namun, bukan berarti hal tersebut adalah akhir dari segala apa yang kita mulai. Sama halnya dengan Biro MSDM. Biro MSDM yang kerap menjadi tumpuan dalam keberlangsungan gerak dan langkah, sempat menghilang dari struktur organisasi Human. Hilang bukan berarti dilupakan dan terdiam, juga bukan berarti tak lagi penting. Ketidakhadiran Biro MSDM justru dirasa masih memberikan bekas yang terlihat dalam sistem pendampingan bahkan evaluasi keanggotaan Human.
Kembalinya Biro MSDM bukan hanya sekadar untuk nostalgia, tetapi sebagai respon untuk kebutuhan dari Human itu sendiri. Di tengah dinamika organisasi bahkan politik kampus yang semakin kompleks, pengelolaan sumber daya manusia menjadi salah satu hal yang penting. Sehingga, Biro MSDM hadir sebagai pondasi untuk memberdayakan anggota kepengurusan agar lebih tertata dan berdampak. Biro MSDM tentunya memberikan semangat baru kepada seluruh anggota Human, di mana MSDM juga hadir sebagai ruang untuk menumbuhkan anggota, mengelola potensi, serta membangun budaya kerja yang sehat dan produktif.
Sesuai namanya, Biro MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) hadir sebagai penyalur kebutuhan mendasar untuk menciptakan harmonisasi internal yang sehat dan berkelanjutan. Biro MSDM melengkapi setiap langkah dan juga turut serta mendampingi tiap departemen agar kinerjanya semakin terasa berdampak. Untuk itu, Biro MSDM menyajikan empat proker yang tentunya sangat terikat dengan anggota Human itu sendiri. Prokerproker itu adalah HuriUP, Birthday Post, Best Staff & Department of the Month, serta Pendampingan dan Penilaian Departemen.
Setiap anggota MSDM akan diamanahi untuk memegang satu hingga dua departemen untuk didampingi dan dinilai kinerjanya. Kurang lebih MSDM ini adalah bagian yang mengawasi sekaligus mengapresiasi kinerja dari para anggota Human. Dengan kembalinya Biro MSDM, diharapkan anggota Human bisa lebih bersemangat dalam mengerjakan tugasnya.
Selain dari empat proker diatas, MSDM juga hadir sebagai wadah keluh kesah bagi para anggota Human. Diharapkan MSDM juga bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam setiap departemen Human. MSDM ibarat musik penenang dan penyemangat bagi yang mendengarkannya, MSDM tidak hanya hadir sebagai pelengkap tapi juga sebagai bagian penting dari kesejahteraan anggota Human. Jika diibaratkan dengan lagu, MSDM itu bagaikan lagu Campfire milik grup Kpop Seventeen. Yang dimana dalam liriknya, lagu ini mengajak kita untuk selalu tetap semangat, tidak merasa sendirian, dan menawarkan tempat bersandar. Tentu hal ini sangat mirip dengan tupoksi dari MSDM itu sendiri.
Membangkitkan kembali MSDM bukan merupakan suatu hal yang mudah. Tentunya diperlukan pertimbangan yang matang untuk memahami akan fungsi strategis dari biro ini. Ini bukan hanya soal kembalinya biro lama, tetapi menjadi upaya untuk menanamkan kesadaran kolektif bahwa keberhasilan organisasi tidak lepas dari bagaimana kita memperlakukan manusia di dalamnya. Dan kini, Biro MSDM berdiri kembali bukan hanya untuk menyelesaikan persoalan manajemen, tetapi biro ini memastikan bahwa setiap langkah yang diambil oleh Human selalu berpijak pada kekuatan dan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Dengan semangat kolektif, kerja sama, dan budaya kerja yang baik, Biro MSDM akan menjadi tonggak yang penting dalam membangun Human sebagai rumah yang inklusif, progresif, dan memberikan keharmonisan dalam setiap langkah dan gerakannya. Ini adalah hal yang penting untuk membangun organisasi yang tidak hanya bekerja, tapi juga tumbuh bersama.


Di dalam kehidupan, pintar saja tidak cukup. Tetapi kita harus paham. Bukan sekadar menghafal teori, tetapi juga harus bisa menghidupkannya. Mungkin melalui jalan-jalan, rapat kecil, atau turun ke masyarakat, Huria Mahasiswa
Antropologi selalu menjadi tempat berlabuhnya para mahasiswa Antropologi. Tempat di mana kita bisa selalu belajar sekaligus memahami apa arti dari keberagaman namun tetap saling menggenggam. Di sana kita tidak hanya diajak untuk sekadar ada, tetapi juga hadir. Harmoni satu sama lain bukan hanya muncul dari kesamaan, melainkan dari bagaimana kita dapat mendengarkan satu sama lain.
BukanSekadarAda,
Satu termin kepengurusan HUMAN 2025 telah kami tapaki. Perjalanan kami belum selesai, tetapi sudah menyimpan banyak cerita. Selama menjalani satu termin di HUMAN, tentunya banyak sekali pengalaman berharga yang didapatkan, seperti kerja sama di dalam tim, berkomunikasi dengan baik, dan juga tanggung jawab. Setiap satu minggu sekali, departemen-departemen dalam HUMAN mengadakan rapat rutin, dalam rapat-rapat ini kami berdiskusi mengenai ide-ide baru atau progres program kerja, pembagian tugas, dan juga evaluasi dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya.
Disini kami belajar bagaimana menyampaikan pendapat dengan baik, sekaligus mendengarkan masukan dari orang lain. Selain itu, beberapa kali juga diadakan rapat besar bersama departemen-departemen lain, salah satu momen yang pada awalnya cukup menjadi tantangan adalah saat harus menjelaskan mengenai progres departemen di hadapan semua orang, walaupun tentunya kami saling mengenal satu sama lain. Dari pengalaman tersebutlah muncul pembelajaran, betapa pentingnya memiliki kemampuan komunikasi yang baik serta kesiapan untuk menjawab pertanyaan secara spontan dan jelas. Akhir termin ini diisi oleh jalannya salah satu program kerja di bawah naungan Departemen Sosial Masyarakat yaitu Human Mengabdi, dalam menjalani program kerja ini, kami terlibat langsung dengan ikut turun ke lapangan dan bertemu masyarakat di Desa Cileles. Kami bekerja keras dari awal hingga akhir dengan menyusun konsep yang pada tahun ini mengusung penanaman lubang resapan biopori, menghubungi penanggung jawab desa untuk menanyakan kesiapan tempat, menyebarkan informasi mengenai diadakannya acara ini kepada masyarakat, hingga memastikan acara berjalan lancar dan niat yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Melalui salah satu contoh program kerja ini, terasa bahwa HUMAN benar-benar hadir dan memberikan manfaat nyata.

Di dalam kehidupan, pintar saja tidak cukup. Tetapi kita harus paham.
Bukan sekadar menghafal teori, tetapi juga harus bisa menghidupkannya. Mungkin melalui jalan-jalan, rapat kecil, atau turun ke masyarakat, Huria Mahasiswa Antropologi selalu menjadi tempat berlabuhnya para mahasiswa Antropologi. Tempat di mana kita bisa selalu belajar sekaligus memahami apa arti dari keberagaman namun tetap saling menggenggam. Di sana kita tidak hanya diajak untuk sekadar ada, tetapi juga hadir. Harmoni satu sama lain bukan hanya muncul dari kesamaan, melainkan dari bagaimana kita dapat mendengarkan satu sama lain.

Satu termin kepengurusan HUMAN 2025 telah kami tapaki. Perjalanan kami belum selesai, tetapi sudah menyimpan banyak cerita. Selama menjalani satu termin di HUMAN, tentunya banyak sekali pengalaman berharga yang didapatkan, seperti kerja sama di dalam tim, berkomunikasi dengan baik, dan juga tanggung jawab. Setiap satu minggu sekali, departemen-departemen dalam HUMAN mengadakan rapat rutin, dalam rapat-rapat ini kami berdiskusi mengenai ide-ide baru atau progres program kerja, pembagian tugas, dan juga evaluasi dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya.
Disini kami belajar bagaimana menyampaikan pendapat dengan baik, sekaligus mendengarkan masukan dari orang lain. Selain itu, beberapa kali juga diadakan rapat besar bersama departemen-departemen lain, salah satu momen yang pada awalnya cukup menjadi tantangan adalah saat harus menjelaskan mengenai progres departemen di hadapan semua orang, walaupun tentunya kami saling mengenal satu sama lain. Dari pengalaman tersebutlah muncul pembelajaran, betapa pentingnya memiliki kemampuan komunikasi yang baik serta kesiapan untuk menjawab pertanyaan secara spontan dan jelas. Akhir termin ini diisi oleh jalannya salah satu program kerja di bawah naungan Departemen Sosial Masyarakat yaitu Human Mengabdi, dalam menjalani program kerja ini, kami terlibat langsung dengan ikut turun ke lapangan dan bertemu masyarakat di Desa Cileles. Kami bekerja keras dari awal hingga akhir dengan menyusun konsep yang pada tahun ini mengusung penanaman lubang resapan biopori, menghubungi penanggung jawab desa untuk menanyakan kesiapan tempat, menyebarkan informasi mengenai diadakannya acara ini kepada masyarakat, hingga memastikan acara berjalan lancar dan niat yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Melalui salah satu contoh program kerja ini, terasa bahwa HUMAN benar-benar hadir dan memberikan manfaat nyata.
Harmoni yang terbangun juga bukan hanya berdampak pada pihak internal.
Melalui kegiatan studi banding dan desa binaan, kami dapat membangun keharmonisan di luar HUMAN. Melalui studi banding yang HUMAN telah lakukan dengan himpunan serta huriahuria lain, kami mendapatkan pertukaran ide dan pikiran baik tentang struktur organisasi, keilmuan, dan program-program kerja. Dengan ini kami berharap bahwa timbulnya inspirasi-inspirasi serta inovasi berdasarkan referensi yang didapatkan dari luar HUMAN. Dengan terbukanya pikiran-pikiran dan wawasan atas organisasi-organisasi diluar HUMAN kami semakin menyadari bahwa makna dari himpunan/huria bukanlah sekedar nama belaka ataupun strukturstruktur belaka, melainkan sebuah nilai yang terkandung di tiap individu anggotanya dan dipegang erat baik saat menjadi mahasiswa ataupun saat sudah lulus nanti. Hal ini membuktikan bahwa sebuah organisasi mungkin saja berubah-ubah strukturnya dan keanggotaannya setiap tahun akan tetapi nilai-nilai dasar dalam himpunan/huria tersebut akan terus tersimpan dan menjadi landasan untuk memajukan kampus. Dasar-dasar ataupun konsep dari himpunan/huria pun sangat beragam, ada yang berbasis pada kekeluargaan, persaudaraan, ataupun kesukuan. Perbedaan-perbedaan pengorganisasian ini bukanlah sebuah kelemahan, akan tetapi sebuah kelebihan yang bisa dimanfaatkan kedepannya.
Sebuah struktur organisasi pada dasarnya tak bisa disalahkan ataupun diadu siapa yang paling benar,
melainkan struktur tersebut harus dibuat sesuai dengan dinamika mahasiswa di tiap program studinya. Melalui ini tergambarlah sebuah keberagaman melalui sudut pandang yang berbeda-beda yang perlahan menjadi harmoni selaras yang bisa dijadikan
sebagai satu kekuatan yang utuh demi memajukan padjadjaran.
Harmoni-harmoni yang telah
HUMAN jalin sendiri tentunya tidak hanya memberikan keuntungan bagi huria saja, melainkan bagi tiap individu di dalamnya seperti contohnya menambah relasi antar individu, membuka jalan untuk pelaksanapelaksana program kerja untuk berkolaborasi, dan lain-lain. Bagi
HUMAN, studi banding bukanlah merupakan ajang untuk menunjukan program studi mana yang terbaik, ataupun menunjukan eksistensi Program
Ketika kami datang ke tempat baru, tentunya perlu memposisikan diri sebagai orang baru juga. Dalam artian, tidak membawa solusi ke tempat baru, melainkan menjadi seseorang asing yang berniat datang untuk kembali belajar dari awal. Proses pendekatan dengan masyarakat tidak berjalan cepat. Ada ritme lain yang berjalan lebih pelan, tapi justru memberi ruang untuk saling mengenal satu sama lain. Program kerja HUMAN tentunya menjadi jembatan sederhana untuk berbagi waktu, cerita, dan rasa bersama masyarakat. Melalui Sawargi dan Humeng, kami dapat belajar bahwa pengabdian bukan tentang seberapa banyak kegiatan yang bisa dilaksanakan, tetapi tentang seberapa dalam kita bisa terhubung sekaligus
Sean & Keren
float
Ini bukan tentang Jogja layaknya di film 3 Hari Untuk Selamanya, tetapi tentang Cirebon dan angkatan 2023. Tiga hari bukanlah waktu yang lama, namun bagi kami, ia menjadi ruang yang penuh warna, cerita, dan hitungan waktu yang seolah melambat. Tiga hari memberikan makna bahwa budaya bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana cara hidup di hari ini.
Di tanah Cirebon, di bawah teriknya matahari, kami mulai melangkah untuk melakukan sebuah tugas penelitian mata kuliah Studi Lapangan. Penelitian dilakukan secara berkelompok dan mulai berpencar ibarat benih-benih yang tersebar di ladang pertanian, tumbuh di tempat yang berbedabeda namun masih mengakar di tanah yang sama. Ada yang menuju Batik Trusmi, Empal Gentong, Nasi Jamblang, bahkan Keraton Kacirebonan. Kami menyusuri jalanan dan Cirebon tidak pernah menunjukkan, melainkan ia membiarkan kami untuk menemukan sendiri apa yang sebenarnya kami cari.
Banyak cerita yang kami lewati di tiga hari itu. Malam akrab yang selama ini menjadi wacana, kini bisa kami rasakan ketika kami singgah di penginapan tersebut. Banyak yang mengatakan, rasanya mirip seperti di rumah nenek. Dan di sanalah obrolan kecil berubah menjadi diskusi panjang. Ada tawa yang pecah saat kami berkumpul di ruang tengah, ada pula keheningan yang nyaman ketika semua mulai kelelahan dan memilih tertidur berdampingan di kamar masingmasing.
Written by
Bagi kami Cirebon bukan hanya kota, ia adalah pengalaman. Bukan hanya sekadar latar tempat, tetapi juga sebagai ruang tumbuh. Dalam tiga hari yang singkat, kami belajar lebih dari sekadar sebagai antropolog. Kami belajar tentang manusia, hubungan, kebersamaan, dan menemukan bahwa sering kali hal paling berharga dalam sebuah perjalanan bukan hanya hasil akhirnya, tetapi prosesnya. Layaknya lagu Float – 3 Hari Untuk Selamanya, perjalanan kami di Cirebon juga mengalir perlahan, tenang, tetapi penuh makna. Tidak ada yang terburu-buru. Kami menikmati setiap jeda, setiap langkah, seakan waktu sengaja melambat agar kami bisa benar-benar menikmati dan memaknai seluruh kegiatannya. Tiga hari untuk Cirebon. Tiga hari untuk selamanya.

Mahasiswa antropologi seringkali melakukan penelitian yang mengharuskan kami turun ke lapangan dalam upaya memperdalam pemahaman tentang keberagaman budaya lokal. Salah satu kegiatan yang menarik perhatian adalah studi etnografi tentang alat musik tradisional karinding, yang berasal dari masyarakat Sunda di Jawa Barat. Karinding terbuat dari bilah bambu yang menghasilkan suara halus namun menggetarkan. Suara yang dihasilkan bukan sekadar irama pengisi sunyi, melainkan cerminan dari hubungan manusia dengan nilai-nilai yang dijaga secara turun temurun.

Melalui observasi dan wawancara, alat musik ini juga tidak hanya dimaknai sekadar hiburan, tetapi juga sebagai simbol kearifan lokal yang mampu menyatukan komunitas dan menjaga tradisi, terutama di sekitar daerah Cileles. Alunan nada-nada dari karinding seolah mengajak para pendengar untuk kembali ke akar, kembali menyentuh tanah, dan mendengar bisikan kearifan lokal yang masih kuat bertahan di tengah riuh gemuruhnya modernisasi. Sehingga karinding sampai saat ini masih kokoh berdiri, memberi suara bagi identitas budaya yang tak lekang oleh waktu.
Dalam proses memahami realitas budaya yang kompleks, teori di ruang kelas tidak hanya menjadi satu faktor yang dapat diandalkan. Ada kebutuhan lain yang hadir di tengah masyarakat, dan disinilah pendekatan kualitatif menjadi penting. Pendekatan kualitatif penting dalam memahami dinamika budaya yang tidak tampak dalam data statistik. Dua pasar tradisional di Tanjungsari, yakni Pasar Domba dan Pasar Tembakau, menjadi contoh bagaimana ruang ekonomi lokal juga berfungsi sebagai arena budaya.
Pasar tradisional biasanya dinamai berdasarkan komoditas utama yang diperjualbelikan. Dari nama Pasar Domba dan Pasar Tembakau, sudah dapat ditebak
barang dagangan utamanya. Meskipun jaraknya hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki, keduanya menawarkan suasana dan karakter sosial yang sangat berbeda.
Pasar Domba berada di area terbuka, dinaungi atap seng, dengan tiang-tiang besi tempat mengikat ternak. Suasana pagi itu ramai. Setiap tiang mengikat satu hingga dua domba atau beberapa kambing kecil. Jual beli dilakukan secara langsung melalui tawar-menawar, dan harga ditentukan berdasarkan jenis, ukuran tubuh, serta bentuk tanduk. Di sekitar area pasar, terdapat warung-warung makanan seperti lotek, gorengan, dan bakso. Anak-anak lokal tampak akrab bermain di antara domba, bahkan memegang tanduknya tanpa ragu. Interaksi sosial antara pedagang dan pembeli berlangsung hangat dan terbuka, menciptakan suasana yang hidup dan akrab.
Beranjak ke Pasar Tembakau, nuansa berbeda langsung terasa. Area pasar lebih tenang, dengan deretan kios dan dua pendopo besar yang difungsikan sebagai tempat pelelangan. Banyak kios tutup, sehingga atmosfer yang muncul lebih tertutup dibandingkan Pasar Domba. Namun, aktivitas dagang tetap berlangsung di beberapa kios, salah satunya Arbos Nemat Utama. Di kios ini, pemilik menjelaskan proses pembuatan rokok kretek menggunakan alat kayu sederhana: tembakau dimasukkan, lalu ditarik hingga menggulung kertas secara otomatis. Tembakau dari pasar ini bahkan diekspor hingga ke Turki, dengan harga berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 250.000 per kilogram, tergantung kualitasnya.
Di Gunung Kunci, kami menjelajahi benteng peninggalan kolonial
Belanda yang dulunya digunakan untuk kepentingan militer sebagai benteng pertahanan. Tempat bersejarah ini masih sangat terjaga dan masih sama seperti pada masa kolonial membuat saat kami memasuki goa-goa yang ada, terasa seperti memasuki portal menuju masa kolonial. Tak hanya bangunan fisik, Gunung Kunci juga menyimpan kisah-kisah perjuangan yang mewarnai perjalanan sejarah daerah ini.
Di sisi lain, pemahaman terhadap budaya juga mengajak kami untuk menengok ke belakang, menelusuri jejak-jejak kehidupan masa lampau yang tersimpan dalam peninggalan sejarah dan situs bersejarah. Didorong oleh rasa penasaran kami terhadap kebudayaan pada tanah yang kami pijak yaitu Sunda, kami memutuskan untuk terjun menyelami kebudayaan yang ada di Sumedang. Kami mengunjungi tiga lokasi penting di Sumedang: Situs Pasarean Ageung, Gunung Kunci, dan Museum Geusan Ulun. Ketiganya memiliki nilai historis dan kultural yang tinggi, masingmasing menyimpan narasi unik tentang perjalanan kebudayaan masyarakat setempat. written yb
Selanjutnya di Situs Pasarean Ageung, kami menyusuri kompleks makam raja-raja Sumedang Larang yang sakral dan penuh simbol. Selain sebagai tempat peristirahatan terakhir, Pasarean Ageung juga menjadi pusat spiritual dan ziarah bagi masyarakat, agar generasi penerus dapat mengenang, meneladani, dan mendoakan
n t e
para leluhur mereka. Dengan demikian, Pasarean Ageung tidak hanya berfungsi sebagai situs pemakaman, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya, sejarah lokal, dan keagamaan yang dijaga serta dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Terakhir, kunjungan kami ditutup di Museum Geusan Ulun, tempat berbagai koleksi budaya Sumedang tersimpan. Di sana kami mengamati benda-benda seperti pusaka kerajaan, gamelan kuno, hingga atribut-atribut kerajaan yang menjadi saksi perjalanan budaya Sunda. Field trip ini bukan hanya sarana belajar di luar kelas, tetapi juga menjadi proses kami menapaki kebudayaan masa lampau yang menjadi kekayaan budaya masa kini. Kami menyadari bahwa budaya bukan sekadar objek studi, melainkan juga warisan yang hidup.
Seno Gumira Ajidarma, Malam, Insiden, dan Hakikat
Pembebasan dalam Lubang Saksofon
AReviewby:RuthMariaArtauliPurba
Tidak ada yang diam, alunan-alunan jazz yang terdengar puluhan tahun lalu dalam tragedi kemanusiaan itu dinyanyikan kembali dengan kemarahan dan air mata yang lebih berani, barangkali karena sudah tidak ada belenggu yang terlihat. Belenggu yang mungkin akan muncul lagi, kalau kita tidak bernyanyi dengan lantang. Jazz sendiri pada awalnya berasal dari subkultur budak-budak hitam Amerika keturunan Afrika, suatu pemberontakan merdu dari rasa rendah diri, sebuah jeritan, sebuah emosi, sebuah lengkingan yang melepaskan diri dari kungkungan dan kepahitan. Jazz adalah sebuah kebebasan jiwa.
Atas nama kebebasan jiwa dan keindahan Seno menulis Jazz, Parfum, dan Insiden, yang terbit pada tahun 1996, dengan halaman berjumlah 200. Saat menulis Jazz, Parfum, dan Insiden, Seno memainkan saksofon hingga melalui lubangnya kau bisa mendengar hiruk pikuk malam kelam, insiden berdarah dan hakikat kebebasan di dalamnya.
“Bukalah buku-buku tentang jazz yang standar: Early Jazz dari Gunther Schuller, style oleh Mark C Gridley, atau jazz yang disusun John Fordham, dan gambargambar itu, kita tidak akan pernah tahu apa persisnya arti jazz?” (Jazz, Parfum, dan Insiden, Seno Gumira Ajidarma).
Membaca Jazz, Parfum, dan Insiden, bagaikan membaca kumpulan esai dan resensi, yang oleh Seno dirangkum hingga menjadi sebuah cerita fiksi yang begitu menarik, tokoh utama seolah sedikit memaksa pembaca untuk mengenal dan mencintai jazz, saat aku berkata bahwa Seno meniup saksofon saat menulis buku ini, aku tidak bercanda, karena aku tidak hanya melihat aksara tapi aku mendengar suara.
Esai dan resensi yang dirangkum menjadi suatu novel fiksi yang bukan fiksi, seperti kau membaca sebuah buku tentang sejarah jazz yang puitis dan sastrawi. Kau disajikan potongan wawancara Miles Davis yang emosional seperti, “what the fuck you were doing here, you were born to played music”, pendapat Duke Ellington yang begitu indah, “Jazz is the life vision”, dan insiden kemanusiaan yang membuatmu berteriak, “what the fuck”.
Seperti yang tadi sudah kuuraikan, jazz berasal dari subkultur kulit hitam yang memberontak terhadap kesewenang-wenangan. Insiden di buku ini juga bercerita tentang kebebasan. Insiden ini terinspirasi dari tragedi St. Cruz yang membantai jiwa-jiwa yang tidak bersalah namun berani. Mereka mungkin dikurung oleh senapan dan militer, tapi jiwa mereka bebas, sama seperti budak Amerika yang tetap bernyanyi meski dirantai, korban-korban di insiden ini juga punya musik jazznya sendiri. Pada akhirnya, jazz adalah sebuah sikap. Lewat insiden fiksi ini Seno ingin menyampaikan kritik terhadap tragedi kemanusiaan dan dengan cerdik menyulapnya menjadi sebuah karya sastra. “TNI tidak membaca sastra”
Jazz memang menarik, sebuah musik penghibur yang sendu. Ia tidak menghilangkan masalahmu, tapi menemanimu. Ia tidak membebaskan nyawamu, tapi jiwamu.
Adapun tokoh utama tidak pernah terbebas dari masalah dan insiden-insiden yang wajib dibacanya, contohnya jazz tidak bisa membuatnya berhenti dari pekerjaannya, tidak bisa membuat insiden-insiden berdarah itu berubah menjadi kumpulan guyonan absurd. Jazz tidak bisa menghentikan malam untuk tidak suram. Dia adalah temanmu, tiap rintihan nadanya berisi dialog bahwa dia memahamimu. Dia menemanimu melewati malam dengan bercerita bahwa malam memang kelam, kau tidak sendiri. Insiden-insiden yang mengkhianati kemanusiaan itu memang ada, dan “aku” lahir dari sana. Tapi lagi-lagi, kau tidak sendiri. “Kawan ayo bergoyang bersama”

“Niche sekali.” Jalul mencolek bahuku, “playlist di bio Instagram.” Rambut laki-laki yang sudah lama aku kenal itu berubah menjadi warna pirang kotor. Bertentangan sekali dengan pakaiannya yang serba baggy, menutupi tangan kurusnya yang terpapar sinar matahari. Jalul kerap menyapa aku bahkan ketika aku sedang berdiam diri, kehadirannya selalu tanpa undangan meski aku sering menyibukkan diri.
“Oh. Hahaha.” Aku berpura-pura terkikik. Dia ini seperti yang paham saja. “Aku dengar apa yang lewat di daily playlist. Lagu enak, ya, aku masukin ke playlist. Memang kamu follow?” Karena aku harap tidak. Keasyikan aku yang sengaja mengobrol dengan Jalul sudah lama sirna karena aku tidak terlalu memperhatikan dia lagi.
“Ya. Usernamenya tenggorokan paus. Disatukan.” ujar Jalul sambil menggoyangkan kunci motornya, “tenggorokanpaus. Teng-go-ro-kan-pa-us. Aku kira kamu sudah cek. Aku berkali-kali menonton story Instagram milikmu. Kamu tidak peduli ya?”
Seraya menggelengkan kepala, aku scrolling Instagram Jalul. Banyak sekali foto-foto yang bagus meskipun berlawanan dengan nama penggunanya. Jalul memang terlihat seperti laki-laki yang baik. Ada foto mamanya, ada foto dengan papanya, foto adiknya juga ada. Ada foto perempuan yang cantik, memeluknya dari samping. Kalau dibandingkan dengan Jalul sih, terasa sekali kontrasnya.
Jalul tersenyum, tahu-tahu ia sudah duduk di sampingku. Bahkan Ashton Irwin kini berteriak-teriak di telinga kiriku, menyuruh aku berlari kesetanan dari pikiran yang kini berwarna abu. Jalul bergeming, menatap ponsel di tanganku seolah ia akan mencopet dan berlari kabur sebelum aku kejar. Kemudian, kami akan saling kejarkejaran karena tidak ada yang bisa membantu, tapi teman-temanku biasa menunjuk aku sebagai sosok yang tidak bisa kabur. Jalul akan sembunyi di kehidupannya, dan aku disuruh menjalani kehidupan sampai rambut pirang Jalul muncul kembali dari tembok.
Ba! Ini semua akan terjadi lagi, tetapi bukan padaku. Lagu-lagu yang ada di playlist masih berputar tiada henti seolah menemani aku yang sedang ditemani oleh Jalul. Apa yang terjadi dalam pikiranku meresap pada kenyataan, membuatku tidak bisa membedakan mana yang terjadi dan apa yang tidak terjadi. Biasanya lagu akan berhenti ketika aku memutuskan untuk berhenti, tapi kali ini tidak. Lebih tepatnya,
tidak bisa.
“Kamu tidak pulang?” Jalul menunjukkan kunci motornya padaku, “bisa bawa motor tidak?” Sebenarnya itu pertanyaan atau Jalul hanya ingin memamerkan motornya sih?
“Tidak. Aku tidak dibolehkan bawa kendaraan.” Kini Mitski yang bernyanyi di telingaku. Tangisannya seperti badut dengan riasan yang luntur karena air mata. Kalau mencoba untuk berbicara, mulut pun rasanya akan seperti berkumur-kumur. Ingat tidak, dulu juga aku pernah meniup jus mangga pakai sedotan hingga aku dimarahi ibu yang dimarahi oleh ayah. Jalul menaikkan alis kirinya, merasa curiga. Aku tidak tahu kalau setiap laki-laki mampu mengangkat alis mereka dengan mudah. “Jalul, kamu pulang duluan saja. Kita sudah lama mengobrol di sini. Sebentar lagi juga sudah pukul enam sore.”
“Tidak. Aku justru mau menemani kamu pulang.” ucapnya dengan mudah, andai saja. “Memangnya kenapa? Kalau kita satu arah, kan lebih mudah untuk diantar. Nanti aku bisa lanjut pergi setelah tasmu diturunkan.”
“Tidak mau.” Aku bergidik. “Aku bisa datang dan pulang sendiri. Besok juga aku bisa kembali lagi sendiri, dan aku juga akan pulang sendiri.”
“Kenapa? Aku kira kita sudah akrab.”
Aku menggaruk tengkukku, “sebenarnya karena motormu jelek. Aku.. aku tidak suka motor bebek. Unggas pun aku tidak suka.” Dahi Jalul mengerut, sepertinya ada yang membuatnya tersinggung. “Aku sudah lama menjadi vegetarian.”
Aku tidak sadar kalau Jalul menggertak gigi, karena aku memaksa mataku untuk fokus pada keyboard ponsel agar lebih mudah mengetik nama playlist ketimbang langsung menghapusnya dari bio. Ini karena Jalul tahu akunku yang mana. Kalau tidak, aku bisa langsung pergi tanpa harus melakukan apapun. Kini Jalul menghentakkan kaki kirinya, bergerak per detik, mirip dengan jantungku yang berdetak. Akhirnya Matt Bellamy berbisik-bisik di telingaku, bersamaan dengan nama playlist yang saat ini membuat aku muak. Ketika ia berteriak dengan suara penuh autotune, aku berhasil menekan tombol hapus.
“Oh. Kamu menghapusnya?” Aku menoleh ke arah Jalul yang kini tergeletak di aspal. “Kamu menghapus aku? Aku? Aku kan mengenalkan kamu pada Audioslave! Bodoh! Bagaimana dengan aku yang menemani kamu sejak kamu–”
Kedua matanya membulat, seolah akan menonjol satu persatu. Jalul tidak bisa mengucapkan apapun karena bibirnya sudah hilang. Semakin cepat loading itu berputar, maka semakin cepat juga Jalul meresap ke dalam aspal untuk menyatu dengan tanah. Aku hanya bisa bergidik menatap semuanya terjadi. Rasanya seperti
sengaja meneteskan cuka ke kelingking kaki yang terjepit engsel pintu. Lega. Seharusnya aku bisa merasa lega karena bisa menghapusnya. Kini aku bersorak sorai sambil berteriak bahagia, melompat-lompat sendirian di parkiran motor.
Seketika saja aku terdiam. Aku menekan dua kali tombol di headset, dan suara Luke Hemmings kembali muncul untuk menyanyikan situasi seperti apa yang lebih baik bagi seseorang yang berwarna biru. Aku tidak paham apa maksudnya, tapi aku mengerti perasaannya. Ini juga pernah terjadi padaku dulu, ketika aku lebih memilih untuk berdiam diri di kamar agar bisa menonton tiga episode Suits dalam semalam ketimbang makan bersama di ruang makan. Aku bersiul-siul sambil berjalan kaki, menyusuri perjalanan rumah yang sunyi dan gelap.
Lalu Mitski menyanyikan lagu taruhan. Lalu Ashton Irwin bernyanyi tentang taruhan greyhound. Lalu Matt Bellamy kembali berteriak histeria. Aku mengusap wajahku gusar, karena aku lupa menghapus mereka dari urutan lagu yang perlu aku jauhi saat itu. Tahutahu aku memegang erat pedang Excalibur meskipun kedua tanganku gemetaran hebat saat melihat Jalul dalam bentuk Frankenstein–ah– Frankenjalul. Bibirnya tersenyum dengan lebar sampai aku bisa menghitung berapa gigi gerahamnya yang berwarna putih gading, dan tanganku menggiring pedang tersebut hingga aku bisa menghujam rongga mata Jalul agar bola matanya muncrat.
Kukerahkan tenagaku sampai aku menjerit, menekan pedang tersebut supaya menembus kepala Jalul. Aku bahkan bisa merasakan betapa keringnya tenggorokanku setelah menjerit, lengkap dengan suara yang serak karena kurang hidrasi. Kedua kakiku berjalan mendekati badan Jalul yang kejang-kejang, dan aku berlutut di sampingnya untuk menarik kembali pedangku dari kepalanya. Setidaknya Jalul tidak ada lagi hari ini dan aku bisa mengatasi kedatangan makhluk itu lagi. Semoga dia tidak terlalu tersinggung, diingatingat juga ya, dia mirip sekali dengan motor bebeknya.
Mungkin bukan dia saja. Kemarin teman SMA sempat datang ketika aku berdiam diri di kelas. Mantan situationship yang aku taksir karena alis tebalnya juga sempat tiba saat aku lengah, padahal aku sedang memakan mi kari. Bukan hanya itu, tetanggaku saja sempat menonjok mata kananku saat aku sedang menyiram tanaman. Mereka datang begitu cepat dan aku tidak bisa menangkisnya. Kalau saja aku diberikan waktu untuk siap-siap dan memakai baju yang rapi, aku mungkin bisa menjamu mereka dengan sopan.
Mana ada diberikan waktu. Konyol. Lalu Ashton Irwin kembali bernyanyi. Semoga kombinasi dari semua manusia itu tidak hadir lagi untuk malam ini.
My bitter beer to her sweet wine, unsteady with certainty I love. Unready yet true, I long for her.
My sweet southern wine, as you lay on your bed. With the words that slit your heart then and again, I shall pray kepada-Nya to save you. For I can't save you, I need to be saved too. I shall mention you in my prayers to the holy virgin often, my sweet southern wine.
I’m lying in my bed, dosing on my sin once again. It’s in my hair, it's in my heart, it’s in my vein.
Solitude kills killed me.
Mayla kills killed me.
Northbound with thoughts of south’s sweetness. I'll weep, I'll rage, I'll run, I'll fight, I'll kill.
No touch no kiss just thoughts. There's her I feel.
Tanpa harumnya di antara kepunyaanku.
Tanpa sentuhannya hati raga jiwa.
Ia kepunyaan-Nya tanpa ragu.
Asa menua bersamanya.
Unsteady beauty wait for me as I shall wait for you.
For two months, two years, two decades, two centuries, two forevers.
Steadfast and strong-willed godspeed your love to me, my love to you, our love to us.
All the love I have worth giving, for my sweet southern wine.
From your bitter northern beer.
W. S. Molana
"Every
Place Makes Memories and Stay Forever
-2025"
by Ala
Dari: zzz
Untuk: Kerabat Antropologi 2021