ENKULTURA edisi #27 D I M E N S I
("apa kabar"
dalam bahasa Dayak Ngaju)
Setiap orang yang pasti punya sudut pandang atau cerita sendiri tentang ruang. Ada yang menganggap ruang itu tempat belajar, tempat istirahat, tempat kumpul bareng temen-temen, dan entah apa lagi. Semuanya benar, sesuai perjalanan masing-masing Tapi emang ya, ruang tuh kayanya gak bisa lepas dari manusia Kadang juga ruang tuh bikin memori yang gabisa dilupain Malah menurut aku, ruang juga jadi tempat untuk mempertemukan waktu
Nah, pas banget! Enkultura juga mau mempertemukan sobat kul-kul nih yang pastinya udah kangen untuk baca Enkultura. Di Enkultura edisi 27 ini akan membahas mengenai ruang yang sering kita temui sehari-hari bahkan beberapa sudah jadi bagian dari kita. Pokoknya seru abis!
AURA, Pemimpin Redaksi
Ruang telah tercipta bahkan sebelum manusia ada dengan paradoksnya sebagai yang berbatas dan yang tidak terbatas. Manusia melalui kebudayaannya memanipulasi ruang dan mengubahnya sesuai dengan kepentingan; dari losmen hingga apartemen, dari "Waiting Room" ala Fugazi hingga ruang bus DAMRI, serta dari tingginya gedung pencakar langit hingga rubanah bak film Parasite.
Kali ini, tim redaksi Enkultura membahas tentang ruang yang dikemas dalam berbagai bentuk tulisan ringan mungkin terkesan sederhana atau justru terasa kompleks karena kita hidup di dalamnya. Terima kasih atas karsa tim redaksi serta kepercayaan kontributor yang menjadikan Enkultura sebagai penyalur karya.
Semoga ruang-ruang yang kita jejaki terus menghidupi tanpa membatasi. Selamat membaca!
SHOFIA, Wakil Pemimpin Redaksi
Ketua Pemimpin Redaksi
AuraParamaratri
Wakil Ketua Pemimpin Redaksi
ShofiaAzZahraAulia
Reporter
Sani Sakinah
Danara Prapanca
Nashwa Fadya Nurinsani
Muhammad Rio Abinawa
Alivia Pandanarum
Dhifan Nurfadhlih
Muhammad Raihan Ibrahim
Raybie Ryan Saputra
Hubungan Masyarakat
Siva Aripin
Annisa Inayaturrahmah Choiri P
Muhamad Fikri D
Illona Syahla Pramudita
Jedidyah D'Alma Christy S
Yaqub Hangga Wirayudha
Editor
Valerina Nassasra
Arif Rinaldi
Fahmi Fadhilah Nugraha
Sabrina Excalanti Ayuningsih
Ilustrasi, Desain, dan Fotografi
Virna Husna Nurfaizah
Zulfa Nasywa M
Dewi Andriani
Nurul Haqiah
Tiara Maharani Ashaf
Venus Nareswari
Bilghi Arroyan
Elga Glysi Vorika
Quinira Daniar Damarta
Media dan Publikasi
Birgitta Anjani Christiana P
Arraya Razleen
Nadira Averina Ramadhanti
Raihan Galih Surya Permana
Bimo Aulia Junito
Narai Kabar Tim Redaksi Daftar Konten Place of Comfort Danara Prapanca Rumah Raybie Ryan Saputra Kendaraan Berhalte Sani Sakinah Menjadi Kota Zeta Lana dalam Arumanda Alivia Pandanarum Sebuah Paradoks: Ruang Bernama Batasan Rai Ibrahim Perpustakaan: Ruang Nyata dan Khayalan Annisa Inayaturrahmah Tutur nashwa fn Ruang Tunggu Dhifan Nurfadhlih Nirmala Syachfitri R Smoking Room M. Rio Abinawa SANDYAKALA Sepi di Tengah Keramaian Dewi Andriani Dago Elos Nurul Haqiah The Man Behind Tahu Sumedang Virna H. N Menanam hingga Ditanam Widuri Iswari 02 03 04 05 07 10 13 14 17 20 23 26 31 32 35 36 37 38 39
Places of Comfort
Danara Prapanca
In liminal spaces, betwixt and between Where boundaries blur, and nothing is seen
A world that was once brimming with life
Now but an empty husk of what it was
The world seems eerie, yet oddly serene And I find comfort in this in-between
In the darkest of nights, when nothingness prevails And shadows stretch, and lights allay
I wander through these spaces to play Eagerly stepping foot on its grounds And bask in the beauty of its desolation.
Here, in these places, I am not alone
As spirits dance and ghosts sings Their ancient tales of love and woes
Filled with contents and regrets
And I am welcomed, into their zone
I find solace in the unknown
As if such places were salubrious
As the veil between worlds is broken And I am reminded, in a way that's grown That life is none but a test, to guide my path.
So I embrace the liminal spaces
With all their eerie, uncanny faces
For in their midst, I find oasis And feel the comfort of their graces
Puisi
Enkultura 06/
Rumah
Raybie Ryan Saputra
Kalian pasti memiliki tempat pulang, tempat di mana kalian
bisa merasa tenang, aman, bahkan di sana
kalian bisa melepas topeng kalian yang pada akhirnya dapat menjadi diri sendiri
Setiap orang memiliki tempat pulang mereka masing-masing, namun tidak semua orang menganggap rumah mereka adalah
tempat mereka untuk pulang. Itu semua
terserah kepada diri mereka sendiri karena
semua orang memiliki haknya masingmasing untuk menentukan pulang menuju
ruang nyaman yang mereka miliki.
Selama aku menjalani kehidupan, sebenarnya aku tidak pernah tahu ke mana aku harus benar-benar pulang. Bagiku
semua tempat yang ada di dunia ini tidak sedikit pun bisa membuatku merasakan
semua hal baik yang orang lain rasakan ketika mereka pulang. Di mana pun diriku berada, aku hanya merasakan kehampaan yang tiada batasnya.
Namun pada akhirnya, aku mengetahui perasaan itu Aku merasa aman, nyaman, dan yang terbaik adalah akhirnya aku merasa ingin hidup. Ketenangan yang aku
dapatkan ketika aku pulang ke rumah sangatlah luar biasa. Aku tidak pintar dalam mengekspresikan kebahagiaanku, tapi secara tiba-tiba air mata bahagiaku jatuh
saat pertama kali aku merasakan kalau inilah rumah yang menjadi tempatku untuk pulang.
Waktu terus berjalan dan aku menjalani hidup yang semakin membaik semenjak memiliki tempat pulang, namun ada permasalahan yang tidak bisa diriku hindari Aku sedang menuntut ilmu di dunia perkuliahan dan tempatku berkuliah ini cukup jauh dari rumah yang menjadi tempatku untuk pulang.
Bagiku hal itu menjadi permasalahan yang tidak dapat aku tangani. Aku selalu ingin pulang setiap harinya, namun itu sangat tidak memungkinkan bagiku. Karena jika aku pulang setiap harinya, aku hanya akan merusak fisikku dengan menerjang jauhnya jarak
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika aku merindukan rumah, jadwal kuliahku sangat padat, jadi aku hanya bisa pulang pada akhir pekan, bahkan terkadang aku tidak bisa menetap untuk satu hari penuh. Itu sangat menyebalkan bagiku.
Aku mencoba menerima kenyataan yang sedang terjadi, dan menjadikan hal itu untuk melatih kesabaranku, tapi aku masih butuh waktu untuk benar-benar dewasa karena terkadang aku masih sering bolos kelas hanya untuk pulang ke rumahku. Akan tetapi, aku juga mulai belajar untuk menjadikan rasa rindu itu sebagai tabungan rindu yang akan kupecahkan saat aku pulang ke rumah.
Cerpen
Enkultura 08/
Bagiku kalian harus mencari tempat kalian pulang. Kalian harus merasakan ketika
berada di sebuah ruang dan waktu yang
kalian cintai. Dan kalian pun perlu tau, kalau
tempat untuk pulang itu tidak selalu rumah
yang dibangun oleh keluarga kalian, tempat
kalian pulang untuk pulang itu bisa saja kos, sekolah, tongkrongan, tempat kerja, atau
apapun yang kalian mau. Aku mengerti, sangat sulit untuk menentukan tempat
kemana kalian akan pulang. Tempat itu
memerlukan banyak ikatan yang terhubung
langsung dengan kalian dan ikatan ikatan
itulah yang membuat kalian akhirnya bisa
merasakan banyak hal baik yang ada di tempat pulang kalian.
Jika kalian tau tidak semua tempat tinggal itu adalah tempat pulang. Bagi saya sendiri tempat pulang memiliki arti yang sangat
dalam karena untuk menentukan tempat
pulang itu tidak bisa sembarangan. Akan tetapi, ketika kalian sudah mengetahui
kemana kalian harus pulang, maka dapat kupastikan kalau kalian sudah menemukan
kebahagiaan yang kalian cari selama ini.
Aku bersyukur telah menemukan tempatku pulang, tempat yang sedari tadi aku sebut dengan sebutan “rumah”. Tempat di mana aku bisa menjadi diri sendiri, berkeluh
kesah, dan akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini diriku cari.
Dan perlu kalian tau, apa yang aku maksud rumah adalah seseorang yang menjadi tempatku untuk pulang.
Cerpen Enkultura 09/
Kendaraan Berhalte
Sani Sakinah
Suara knalpot, getaran kaca, pegangan tangan yang beradu, dan dan derit kursi berbunyi bersamaan ketika bus berjalan dan beradu dengan aspal, apalagi saat ban sudah beradu dengan polisi tidur ditemani dengan suara pengumuman halte yang berbunyi pada waktu tertentu apabila telah sampai pada halte yang dituju.
Sebising itulah suara di dalam bus. Bisingnya dikalahkan oleh obrolan penumpang yang dapat didengar beberapa penumpang lain apabila duduk berdekatan.
Rasanya seperti menguping pembicaraan orang lain hingga terkadang batin mengomentari urusan mereka. Namun, begitulah suasana ruang publik.
Penumpang menghabiskan waktunya di bus dengan memainkan handphone, tidur, mengobrol dengan teman atau orang asing yang baru saja ditemuinya, membaca buku, atau hanya memandang jalanan lewat jendela. Namun, terkejut rasanya apabila
bertemu orang yang dikenal berada pada
satu bus yang sama, merasa yakin bahwa takdir itu benar terjadi. Kebetulan juga
apabila bertemu orang yang tak dikenal
berkali-kali berada di dalam bus yang sama
Berharap menjadi teman naik bus atau jodoh
yang tak diduga, tetapi dongkol rasanya bila
bertemu orang yang tidak diharapkan untuk
bertemu, kesialan yang datang katanya.
Pegangan tangan yang disediakan berfungsi bagi mereka yang tidak mendapatkan kursi. Namun, pegangan tangan tersebut jarang digunakan karena bila penumpang
berpegangan pada gantungan tersebut, mereka sering kali kehilangan keseimbangan apabila bus tiba-tiba menancap gas, rem, melewati jalan yang tidak rata, dan jalan berkelok. Penumpang yang berdiri lebih nyaman bersandar pada dinding pintu yang berada di tengah bus karena pintunya tidak pernah dipakai atau berpegangan pada tiang besi penyangga yang memanjang vertikal hingga lantai bus. Selain itu, penumpang dapat juga kehilangan keseimbangan bagi mereka yang duduk di kursi paling belakang karena mereka akan merasakan tubuhnya terlempar ke depan dibandingkan dengan penumpang yang duduk di kursi lainnya apabila bus melewati polisi tidur dengan cepat.
Kursi prioritas sering dikosongkan apabila
penumpang tidak banyak, namun ada saja
penumpang yang duduk di kursi prioritas meskipun kursi penumpang umum masih kosong. Hal itu bisa dilakukan tanpa alasan atau hanya tidak mau bersebelahan dengan
penumpang lain Apabila penumpang cukup banyak, kursi prioritas sering digunakan oleh orang prioritas–ibu hamil, penyandang disabilitas, dan lansia–atau ditempati
penumpang umum agar semua penumpang dapat duduk.
Artikel Enkultura 11 /
Posisi kursi prioritas yang berada di tengah bus sepertinya agak kurang tepat–entah disebabkan rancangan awal–karena pada kenyataanya, memang sering digunakan oleh orang prioritas, namun mereka lebih suka duduk di dekat pintu keluar.
Ketika kursi penumpang sudah terisi penuh, kemudian penumpang perempuan naik, biasanya terdapat penumpang laki-laki yang
memberikan kursinya. Namun, apabila penumpang prioritas yang naik, tidak hanya
penumpang laki-laki, terkadang penumpang
perempuan juga memberikan tempat
duduknya Tetapi, ketika situasi yang sama
terjadi dan penumpang laki-laki naik, biasanya penumpang lain tidak ada yang
memberikan kursinya dan membiarkan ia
berdiri karena dianggap kuat. Dalam kasus
tertentu, ketika kursi penumpang sudah
terisi semuanya, kemudian beberapa
penumpang baik laki-laki dan perempuan naik, penumpang lain tidak ada yang
memberikan kursinya bagi mereka kecuali ketika ada penumpang prioritas di antara mereka
Terlihat perbedaan perlakukan pada gender hasil bentuk konstruksi sosial dari
masyarakat dan pemerintah, sekadar hanya di dalam bus. Tidak hanya itu, terdapat peristiwa lain di mana terjadi pelecehan
seksual di dalam bus dengan modus yang
berbeda-beda, seperti menempelkan bagian tubuh pelaku ke korban dengan alasan tak sengaja, melihat bagian tubuh korban, memegang bagian tubuh korban, dan sebagainya
Keadaan bus yang penuh penumpang menjadi keberuntungan copet untuk beraksi Ini suara dari salah satu korban Kala itu, korban dan seorang temannya menaiki bus di sore menjelang malam hari Tepat sebelum turun, ia masih melihat handphonenya yang disimpan pada saku terbuka, setelah ia turun, handphone-nya telah hilang.
Ia menelepon handphone-nya dengan bantuan temannya, telepon pertama tidak diangkat dan telepon selanjutnya di luar jaringan Detik itu pun, ia melapor pada pihak bus dan tidak mendapatkan jawaban hingga sekarang Meskipun skenarionya dicopet, setidaknya ia ingin mendapatkan rekaman CCTV-nya, kelak beruntung bila tahu wajah pencopet. Jika tidak beruntung, setidaknya ia bisa menyebarkan informasi kewaspadaan pada penumpang yang sering menaiki bus melewati tampilan fisik pencopet. Setelah kejadian itu, korban selalu memasukkan handphone ke dalam tas ritsleting dan memeluk tasnya atau apabila ingin memainkannya, ia memegang handphone dengan erat selama di dalam bus. Mungkin ini sebuah tips usulnya.
Kompleksitas kegiatan di dalam bus menggapai banyak aspek kehidupan; antropometri yang kurang nyaman; anggapan penumpang; dan perilaku penumpang yang mengejutkan mewarnai pengalaman di dalam bus.
Enkultura 12 / Artikel
Puisi
Menjadi Kota
Zeta
Keluarlah!
Dari gang-gang sempit bau lumut berlendir
Dari sawah-sawah yang memanen getir
Dari petak-petak kebun terakhir
Dari bilik kecil sekadar menunggu takdir
Berseraklah!
Ke pusat kota dengan kantong belanja McDonald
Ke kedai kopi dengan desain industrial
Ke tempat karaoke mewah para pembual
Berserahlah!
Ke all you can eat favorit kawula muda
Ke taman kota seberang markas tentara
Menuju rumah bertiang korintia di Setraduta
Enkultura 13/
Lana dalam Arumanda
Alivia Pandanarum
"De,
mau makan ga? Mama b sate tadi siang,” tan Arumanda tanya Arumanda dengan nada lembut. La adik Arumanda, hanya menggelengk
kepalanya tanpa berbicara sepatah kata pu
“Yaudah aku turun ya. Aku sisain sepu tusuk yang ayam buat kamu,” uc Arumanda sembari turun dari atap rumahn menuju dapur
Di meja makan terdapat sepuluh tusuk sa ayam yang baru saja dihangatkan ma khusus untuk Arumanda seorang. Aruman merasa tidak adil karena adiknya tidak mendapatkan jatah sate ayam dari mama. Ini pun bukan pertama kalinya ia merasa mama tidak memberi adiknya jatah makanan.
Arumanda menaikkan nada bicara terhadap
mamanya, “Ma, kenapa sih mama gak pernah beliin makanan buat adek? Terus selama ini juga ade udah gak pernah makan di meja makan lagi. Mama terlalu pilih kasih!” Karena kesal, Arumanda memisahkan tujuh tusuk untuk adiknya, dan tiga tusuk untuknya.
Ia membawa seluruh makanannya menuju atap rumah untuk dibagi bersama adiknya. Namun, Arumanda tidak menemukan adiknya di atas atap Ia geram pada mamanya Arumanda yakin adiknya kabur karena ulah mamanya yang sudah bertahuntahun mengabaikan Lana.
Arumanda merupakan seorang gadis cantik berumur enam belas tahun yang sangat dekat dengan adiknya Umur mereka hanya terpaut dua tahun saja Tidak pernah terbayangkan di benak Arumanda jika ia dan adiknya berpisah.
Arumanda berteriak kesal pada mamanya
“Mama kalau ga pilih kasih dari awal gak bakalan ada acara adek kabur segala!” ia terdiam di atap rumahnya sampai malam hari. Segala bentuk rayuan mama untuk Arumanda telah dilakukan, namun Arumanda tetap marah dan tidak mau turun dari sana
Mama bingung apa yang harus dilakukannya. Terlebih, mama merupakan seorang single parent yang ditinggalkan suaminya karena kasus kriminal. Segala bentuk perhatian sudah dilakukannya, tetapi tidak ada tanda-tanda dari membaiknya kesehatan mental Arumanda. Ia kerap berdiam dan bercengkrama sendiri di atapnya dengan imajinasinya yang timbul karena suatu trauma
Cerpen
Enkultura 15/
Trigger Warning
Enam tahun lalu, saat Lana masih berumur sembilan tahun, ia ditemukan tewas dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya, di atap rumah tempat biasa mereka bermain. Orang pertama yang menemukan Lana adalah kakaknya sendiri, Arumanda. Lana ditemukan dengan sepuluh tusukan di perutnya dan tiga tusukan di pahanya.
Selama tiga tahun lamanya ayah dan mama Arumanda masih bersikeras dalam mencari pelaku pembunuhan Lana. Saking frustrasinya, mereka melakukan sayembara
bagi siapa pun yang dapat menemukan pelaku pembunuhan Lana dan akan memberikan hadiah berupa mobil mereka satu-satunya. Sayembara ini tidak akan dilakukan jika polisi dapat bergerak serius dalam menanggapi kasus pembunuhan Lana.
Tidak lama setelah sayembara dilakukan, seorang wanita paruh baya menghampiri
ayah Lana untuk melaporkan identitas
seorang pria yang baru saja pindah ke
rumah sewaan dekat tempat tinggalnya
Identitas pelaku tersebut mirip dengan apa yang polisi umumkan tiga tahun lalu. Ayah
Lana langsung melaporkan laporan wanita paruh baya tadi kepada polisi dan diproses lima hari kemudian.
Dalam waktu satu minggu, petugas kepolisian yang mengurus kasus kematian
Lana memberikan konfirmasi bahwa pria yang dilaporkan merupakan pelaku pembunuhan Lana Tanpa basa-basi, mobil sebagai hadiah sayembara untuk Lana diberikan kepada wanita yang melapor dan proses sidang pun dilakukan.
Pelaku mengaku bahwa motif pembunuhan yang dilakukan kepada Lana adalah karena pelaku terobsesi dengan Lana yang menurutnya sangat cantik dan anggun Ia merasa tidak bisa memiliki Lana karena ia berumur 32 tahun dan Lana hanya merupakan seorang anak kecil. Maka dari itu ia beranggapan bahwa jika Lana mati, tidak akan ada yang bisa memilikinya.
Mendengar alasan tersebut ayah Lana tidak dapat membendung emosinya. Ia mengeluarkan pisau lipat dari saku belakangnya dan secara spontan merobek perut sang pelaku di tengah kerumunan Tentu semua orang termasuk petugas kepolisian dan istrinya terkejut. Sontak polisi memborgol ayah Lana dan menempatkannya sebagai pelaku tindak kriminal pembunuhan berencana.
Mama tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Suaminya yang menjadi tahanan kriminal, anak keduanya yang meninggal karena kasus pembunuhan, dan anak pertamanya yang trauma berat karena melihat mayat mengenaskan adiknya
Di samping itu, kehilangan ayah dan adik kesayangannya membuat Arumanda merasa sangat terpukul. Ia menjadi seorang anak yang pendiam selama satu tahun dan hanya baru bisa kembali ceria setelah berhalusinasi tentang Lana.
Arumanda selalu berhalusinasi tentang Lana setiap kali ia bermain di atap rumah Bagi Arumanda, atap rumahnya merupakan tempat di mana ia selalu melihat tawa dan canda Lana. Di tempat itu pula, Arumanda melihat Lana tanpa tawa dan canda untuk yang terakhir kalinya.
Enkultura 16 /
Cerpen
Sebuah Paradoks: Ruang Bernama Batasan
Rai Ibrahim
Saat kita menatap ke jurang ruang yang tak terbatas, pikiran kita yang tidak bisa disangkal mengarah ke dalam ruang ke dalam batas yang kita dirikan dalam benak kita—seperti tembok benteng besar yang melindungi kita dari
gencaran alam semesta Kita kerap
bertanya-tanya tujuan apa yang sebenarnya kita tuju? Batasan, paksaan apakah ini, dan apakah cerita itu? Apakah tentang tempat kita, asal-usul kita?
Sebenarnya, kita hanyalah titik kecil, terapung-apung dalam kosmos yang luas dan tak terduga. Namun, kita senantiasa berpegang teguh pada ruang yang disebut 'batasan' ini, seolah itu adalah satu-satunya hal yang mencegah kita “diterkam” oleh yang tak terbatas Tapi, apakah hakikat sebenarnya dari struktur rapuh yang kita bangun di sekeliling kita?
Tetapi, semakin kita merenungkan batasan kita, semakin kita menyadari batasannya. Karena apapun itu, pada akhirnya hanyalah ilusi, konstruksi rapuh yang telah kita dirikan untuk melindungi diri kita sendiri dari realitas kehidupan yang keras Namun, kita masih berpegang teguh pada hal tersebut, seolah-olah hal tersebut adalah satu-satunya yang berdiri di antara kita dan dilupakan.
Sebuah paradoks, memang. Gagasan tentang batas-batas ini, merupakan sesuatu yang tidak dapat kita hindari. Bahkan, ketika kita mencoba melepaskan diri dari kungkungan, kita menemukan diri kita terus menerus ditarik ke belakang, seperti ngengat yang terbang ke dalam kobaran api Kita terus-menerus hidup dalam batas sempit, selamanya mencari cara untuk membebaskan diri, melampaui batasan kita dan terbang melampaui bintang-bintang.
Mungkin itu adalah cara untuk menegaskan keberadaan kita, mungkin pula tidak demikian. Mungkin untuk menandai ruang kita sendiri di bentangan alam semesta yang tak berujung Mungkin itu adalah cara untuk mendefinisikan diri kita sendiri, mungkin pula tidak demikian.
Mungkin untuk menciptakan identitas yang dapat kita pegang teguh di dunia yang terus berubah dan berubah.
Prosa Enkultura 18 /
Namun, pada akhirnya bukan batasan yang menentukan kita, melainkan potensi jiwa manusia yang tak terbatas.
Karena di dalam diri kita terdapat alam semesta yang luas dan tak terbatas, sebuah jagat kemungkinan yang menunggu untuk dijelajahi.
Serta dalam mengejar kemungkinankemungkinan ini, dalam meruntuhkan keterbatasan yang kita buat sendiri, kita benar-benar menemukan apa artinya hidup
Bagaimana jika 'batasan' ini bukanlah pelindung kita, melainkan kandang kita?
Apakah kita benar-benar bebas menjelajahi luasnya alam semesta atau apakah kita dibatasi oleh batasan yang kita tempatkan pada diri kita sendiri?
Bagaimana jika kita berani melepaskan diri dari batasan ini dan meraih bintang-bintang, mendorong diri kita sendiri melampaui batas yang kita sebelumnya pikir mustahil?
Akankah kita menemukan tujuan dan pemahaman baru tentang diri kita sendiri dan tempat kita di alam semesta?
Yakinlah untuk mendobrak dan tidak berada di dalam batas-batas yang telah kita ciptakan, karena jika kita berani melampaui batas-batas itu, terdapat pengharapan bagi kita untuk menemukan potensi tak terbatas dari keberadaan kita sendiri
Prosa
Enkultura 19 /
Perpustakaan: Ruang Nyata dan Khayalan Annisa Inayaturrahmah
Sore itu, aku yang sedang terduduk di bangku perpustakaan gedung fakultas menghela napas. Kapasitas ruang berpikirku telah habis, menyisakan serbuk abu-abu yang memenuhi kepala. Hal ini mungkin disebabkan aku sudah menghabiskan waktu seharian dengan berkutat membaca lektur rasional yang membuat kepala pusing untuk mengerjakan tugas perkuliahan.
“Hm istirahat sebentar aja deh,” gumamku dalam hati sambil memejamkan mata dan pelan-pelan memijat kening sebelum selesai karena sebentar lagi perpustakaan akan ditutup.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku, membuatku tersadar. Aku menoleh ke kanan dan menatap seseorang yang baru saja menepuk bahuku sedang berdiri tegak sembari tersenyum.
"Abis ngapain? Kok tidur di perpus?" tanyanya sambil duduk di bangku di sebelahku.
"Liat nih abis ngapain," balasku sambil mengarahkan jemariku ke arah buku yang berserakan dan sebuah laptop yang menampilkan artikel ilmiah, artikel populer, dan dokumen yang memperlihatkan poin rangkuman yang masih berantakan dari bacaan dalam tiga bagian layar secara bersamaan "Bacanya buat pusing "
Dia tertawa pelan "Emang baca apa?"
Tanpa menunggu jawaban, tangannya meraih buku di mejaku dan melihat judul buku, Conceptual Approaches to Human Ecology, Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddle of Culture, dan Dari Ekologi Manusia ke Ekologi Politik. Kemudian, matanya beralih ke layar laptop dan membaca singkat poin rangkuman sebelum berkata, "Tumben serius banget ngerjain tugas matkulnya Bukannya masih dua minggu lagi?"
"Bilang aja masih males ngerjainnya," balasku.
Dia kembali tertawa pelan yang membuatku ikut tersenyum. "Eh, jangan suuzan. Udah ada niat ngerjain. Cuma gimana ya?
Namanya sibuk nyiapin program kerja organisasi, jadi sibuk lah, belum ada waktu ngerjain "
"Alasan," balasku yang membuatnya kembali tertawa untuk ketiga kalinya. Kali ini, aku harus memalingkan wajah agar dia tidak melihat ekspresiku menahan tawa karena tingkah lakunya yang menggemaskan.
Cerpen
Enkultura 20/
"Eh, tapi lo masih inget kan dasar-dasar perspektif kebudayaan untuk antropologi ekologi?” tanyanya untuk mengalihkan topik “Kalau lupa, ntar gue jelasin ”
“Coba jelasin lagi dong,” kataku sambil menopang wajah dan melihat wajahnya yang mulai bersemangat.
“Jadi gini,” ceramah pun dimulai. “Di antropologi ekologi memandang kalau kebudayaan adalah hasil dari adaptasi. Pendukungnya diawali dengan kritik untuk pendapat Leslie White pada tahun 1949 yang melihat bahwa evolusi kebudayaan itu universal, dia menekankan kalau energi sebagai tolok ukur terhadap tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Jadi, adanya keterkaitan antara teknologi dan perkembangan kebudayaan secara unilinear. Nah, di konsep white supremacy dia yakin kalau semakin efisien dalam mendapatkan energi untuk digunakan, jadi semakin tinggi tingkat kebudayaannya
“Di sini, Leslie White tuh gak sepenuhnya benar karena dia melupakan adanya interaksi antara lingkungan dan kebudayaan yang punya hukum timbal balik. Pendapat ini melihat kalau setiap kelompok atau masyarakat kan tinggal di wilayah dan daerah yang berbeda, dan pasti bentuk lingkungan atau geografinya berbeda, sehingga tantangan hidup mereka pasti berbeda juga. Karena itu, perkembangan kebudayaan terjadi karena suatu kelompok atau masyarakat sudah mengalami adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan di sekitar.
Nah, pendukungnya itu ada Julian Steward dengan teori evolusi kebudayaan multilinearnya sama Marvin Harris dengan teori cultural materialism dan prinsip determinisme infrastrukturnya ”
Melalui konsep energi dan evolusi kebudayaan oleh Leslie White yang berpendapat bahwa penangkapan energi melalui teknologi bisa membuat kebudayaan akan semakin berkembang sesuai tahapannya unilinear.
Antropolog tersebut melihat bahwa perkembangan kebudayaan bergantung pada kemampuan mendapatkan dan menggunakan energi secara efisien. Sepertinya, hukum ini juga bisa berlaku padaku jika aku berinteraksi dengannya unilinear, dimana aku bisa mendapatkan energi positif yang dia miliki melalui interaksi, dan energi itu bisa memompa tingkat semangatku yang beberapa detik lalu hampir habis. Kemudian, semangat itu bisa aku gunakan untuk produktivitas lainnya
Tiba-tiba, ada kilasan tangan yang melewati penglihatanku. Ternyata, itu tangannya. “Ck... denger gak gue ngejelasin apa? Kok malah bengong,” katanya sambil berdecak.
Aku segera menegakkan posisi dudukku untuk bisa fokus kembali, “Iya, iya denger. Tentang kebudayaan adalah hasil adaptasi, teori energi dan evolusi kebudayaan universal Leslie White, teori evolusi kebudayaan multilinear Julian Steward sama
Enkultura 21/
Cerpen
teori cultural materialism dan prinsip determinisme infrastruktur Marvin Harris, kan?” kataku mengulang penjelasannya yang sebenarnya sudah kutahu dan kuingat sebelumnya
Dia mengacungkan jempolnya, “Betul. Itu baru dasar-dasarnya ya, ntar lebih mendalamnya baca aja sendiri,” katanya dengan nada bangga seperti sudah berhasil membuat seseorang mengerti dan memberi instruksi untuk bisa memahami lebih lanjut secara mandiri.
"Siap, Bos ”
“By the way, gue mau balikin dan ngasih sesuatu. Tapi harus tutup mata dulu.”
Aku mengerutkan kening, “Apaan?”
“Ck... tutup mata dulu,” perintahnya.
“Oke oke,” setujuku sembari menutup mata.
TOK TOK TOK
Suara ketukan pada meja membuatku membuka mata dan menoleh ke kiri. Kudapatkan seorang bapak yang sudah berumur dengan selintang bulu tipis yang menghias ruang wajahnya antara bibir dan hidung. "Udah jam 4. Perpustakaan mau ditutup," ucap bapak berkumis tipis itu dengan kalimat singkat dan ekspresi lelah.
Aku mengangguk untuk memberi isyarat kalau aku akan membereskan barang di atas meja dan segera keluar dari perpustakaan Lalu, untuk memastikan sesuatu, aku menoleh ke kanan dan dia tidak ada Dengan begitu, aku tersadar, ternyata... aku baru saja terbangun dari ruang mimpi menuju ruang nyata ditandai dengan kursi sebelahku yang tadi dia duduki kosong dan tertata rapi, seakan tidak pernah ada seseorang yang duduk di sana. Ditambah, keadaan perpustakaan saat ini sudah sepi, hanya tinggal aku yang tersisa.
Aku tersenyum, menertawakan otak konyolku yang menarik dia ke dalam mimpi atau ruang imajinasi yang kuharapkan?
Saat aku mulai fokus merapikan dan membersihkan meja yang kugunakan, aku melihat ada dua benda baru yang sebelumnya tidak aku lihat di meja perpustakaan yang kugunakan. Dua pulpen dengan warna berbeda, hitam dan biru. Aku teringat kalau pagi tadi, satu kelas hari ini, dia meminjam pulpenku dan belum dikembalikan berdasarkan ingatan Namun, kini ada dua pulpen yang berbeda, aktualisasi dari perkataan dia di mimpiku.
Aku kembali tersenyum, hampir tertawa. Aku harus segera menjernihkan pikiran untuk kembali mengulang ingatan untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi.
Enkultura 22/ Cerpen
P.S. Jangan bilang siapa-siapa!
Mungkin, konteks yang sedang aku alami dikarenakan aku sedang tertarik padanya dan hal ini bisa kujelaskan secara rasional Menurut Profesor Psikologi New York, Arthur Aron, dalam bukunya yang berjudul Love and the Expansion of Self: Understanding Attraction and Satisfaction, saat mulai tertarik dengan seseorang ada bagian otak yang akan ikut berperan dalam bertindak dan berperilaku, yaitu:
Hipotalamus yang bertugas untuk mengontrol sistem hormon, di mana saat hormon
oksitosin yang menurunkan tingkat stres dan hormon vasopresin yang meningkatkan
tekanan darah mulai bereaksi dan bersatu dapat membentuk serta meningkatkan beberapa senyawa kimia dalam otak, yaitu:
Dopamin yang menimbulkan rasa senang, bersemangat dalam menjalani aktivitas; Norepinefrin yang bertugas untuk memusatkan perhatian terhadap objek tertentu, menyimpan memori, dan berperan dalam mengelola emosi bisa meningkatkan detak jantung dan energi; dan
Serotonin yang mengontrol nafsu makan serta membuat perasaan lebih tenang dan stabil
Korteks prefrontal yang bisa membantu dalam mengambil keputusan supaya bertindak rasional dan hati-hati dilemahkan oleh perasaan yang dominan
Enkultura 23/
Karena itu, saat aku dekat dengannya, rasanya mirip seperti tanda di atas.
Cerpen
Tutur
nashwa fn
Bicara tanpa suara berharap didengar orang-orang. Tembok tipis menghalangi suara rongrongan orang bicara
Tempat apa ini sebenarnya Ditengok pun tidak. Bicara berbusa tak diindahkan olehnya.
Rongga menjadi ruang bahasan tentang dunia. Tidak ada batasan siapa saja bisa jadi Tuhannya
Puisi Enkultura 25/
Ruang Tunggu
Dhifan Nurfadhlih
Malam semakin gelap, cahaya bulan pun tak sanggup untuk melihatkan memperlihatkan rupanya ke bumi. Hujan berjatuhan membasahi kota tanpa ampun. Kilatan petir tampak dari luar jendela rumah sakit, seolah menambah kesan suram di malam hari. Pada deretan petir yang kesekian kalinya, aku terbangun di sebuah kamar yang kurasa ini adalah sebuah kamar di rumah sakit. Aku mencabut selang oksigen dan juga selang infus yang menempel di tubuhku Aneh rasanya, aku tidak merasakan sakit apa pun, tapi peralatan medis menempel lengkap di tubuhku.
Tidak ada seorang pun yang kutemui di ruangan ini, hanya ada suara ventilator oksigen yang selangnya baru kucabut tadi. Aku menyusuri seisi ruangan, rasanya aku pernah melihat ruangan ini di mimpiku. Aku pergi keluar ruangan, rasanya aku ingin pulang saja ke rumah Tak jauh dari ruangan tempat aku bangun, aku melihat beberapa dokter yang membawa pasien menggunakan kursi roda dengan terburu-buru. Semua yang ada di tempat ini tampaknya sedang sibuk, tak ada satu pun orang yang menghiraukanku.
Aku pergi ke sebuah tempat yang kuyakin adalah ruang tunggu. Beberapa orang tampaknya sedang tidur dengan posisi duduk, sedangkan di barisan kursi paling belakang ada seorang ibu paruh baya yang baru saja tiba
Ibu itu menangis tersedu sembari menatap foto seorang anak yang kira-kira berusia enam tahun, anak tersebut menggunakan baju berwarna merah muda dan memegang sebuah permen Chupa Chups yang belum dibuka bungkusnya Sepertinya anak itu adalah seorang pasien yang berpapasan denganku tadi
Di samping ruang tunggu terdapat sebuah halaman kecil. Hujan belum juga berhenti, kilatan-kilatan petir sesekali masih terlihat dari halaman itu. Aku pergi ke arah halaman itu, dinginnya hujan tak membuatku gemetaran. Aneh, padahal seingatku dulu jika hujan turun akulah satu-satunya orang yang merasa kedinginan di dalam kelas Tapi aku tak menghiraukannya, aku lebih memikirkan bagaimana cara aku pulang dari tempat ini.
Kilatan petir kembali mengiringi malam. Dari kejauhan terlihat seorang lelaki tua yang pergi ke arah taman membawa payung. Samar kulihat lelaki tua itu menghampiri seorang pria berbaju hitam yang sedang duduk di salah satu kursi di taman tersebut. Aku yakin semua pakaian yang ia kenakan kini telah basah Hujan ini lumayan deras, agaknya cukup untuk membuat Baleendah kebanjiran. Aku berjalan mendekat ke arah taman. Benar saja, semua pakaian lelaki itu sudah basah.
Cerpen Enkultura 27/
“Sudah dua jam kamu di sini, apa tubuhmu tidak kedinginan?” ucap lelaki tua kepada pria berbaju hitam itu Pria itu malah menunduk, sama sekali tidak mengindahkan kepedulian si lelaki tua Kilatan petir kembali menyambar, menampakan dengan jelas wajah si pria berbaju hitam. Aneh, rasanya aku tidak asing dengan wajahnya. Tidak lama kemudian kedua lelaki itu beranjak masuk ke dalam ruang tunggu. Aku masih berdiri kebingungan saat berpapasan dengannya. Aku jadi semakin yakin jika aku pernah bertemu dengan dia sebelumnya, tapi dia bahkan tidak menatapku sama sekali
Pria berbaju hitam itu pergi ke arah toilet dengan membawa tas yang sudah disiapkan oleh si lelaki tua. Ia seperti hendak mengganti pakaiannya. Bagaimana tidak, bahkan saat ia sudah membasahi lantai ruangan ini dengan air yang masih tersisa di pakaiannya. Aku tak tahu harus pergi ke mana, hujan ini memaksaku untuk tetap diam di ruangan ini. Pria berbaju hitam itu kembali dengan pakaian yang kini tampaknya kering Aku yang merasa penasaran, akhirnya memutuskan duduk di belakang mereka.
“Saka, jadi sudah berapa lama kamu berada di sini?” tanya lelaki tua itu kepada si pria berbaju hitam.
“Entahlah Yah, sepertinya sudah seminggu aku di sini,” jawab si lelaki berbaju hitam yang ternyata bernama Saka.
Rasa canggung antara kedua pria yang tampaknya adalah ayah dan anak tersebut dapat kurasakan dari sini Selain kedua lelaki yang membuatku penasaran, di ruang tunggu ini aku melihat seorang anak kecil berwajah putih pucat yang sedang membawa boneka dan duduk di barisan kursi paling depan. Kurasa tidak ada yang salah dengan penampilan anak itu atau tingkahnya Namun sejak aku pertama datang ke sini, dia terus menatapku dengan wajah polosnya. Rasanya hanya anak itulah yang merespons kehadiranku di ruangan ini.
“Sudahlah Saka, kau harus menerima kenyataannya,” ucap ayah Saka dengan penuh hati-hati, takut hal buruk akan terjadi kepada anaknya.
“Aku tahu itu, tapi aku akan menemani Anna sampai ia benar-benar sembuh,” jawab saka dengan mata yang berbinar. Jelas aku terkejut mendengar mereka menyebutkan namaku. Kedua sosok lelaki di depanku ini membawa banyak pertanyaan bagiku mengenai ‘siapa mereka sebenarnya?’ Namun, tak lama kemudian kedua lelaki tersebut pergi setelah seorang suster memanggil mereka.
Cerpen Enkultura 28/
Siang ini terik sekali. Orang tua di zaman dulu pasti berkeyakinan jika di sore hari akan terjadi hujan yang besar Padahal tak ada satupun langit yang terlihat di sini Saat siang hari tempat ini terasa sangat mencekam, banyak orang yang datang ke sini dengan keyakinan bahwa selepas dari sini semuanya akan baik-baik saja. Sudah genap seminggu aku menemani Anna di rumah sakit ini.
Namun kondisinya tidak berubah sama sekali, bahkan ia belum sadarkan diri dari komanya
Anna merupakan gadis unik menurutku Ia bukanlah tipe orang yang digemari oleh semua murid di kelas jika saja ia masih sekolah. Anna juga bukanlah siswi yang buku catatannya diincar oleh semua orang di kelasnya. Anna hanyalah manusia biasa yang cenderung lebih pendiam sekaligus juga cerewet jika bersamaku. Tidak ada yang spesial dari Anna.
Namun bagiku Anna tidak harus spesial, kehadirannya di hidupku sudah lebih dari cukup. Anna selalu menemaniku di setiap saat. Ia selalu senang jika bisa berlama-lama di dekatku, begitu pun juga denganku. Anna tidak akan menjawab ‘terserah’ jika ditanya hendak makan dengan apa. Tiga tahun aku bersama Anna, sepertinya kita tidak pernah meributkan hal-hal yang tidak penting.
Tepat jam 13.00 nanti, Anna akan melakukan operasi Ia mengidap penyakit Leukositosis Perutnya kini sudah membesar, sedangkan lemak di kakinya sudah menyusut menyisakan tulang Tubuhku sudah semakin lemas, kemungkinan Anna selamat dari operasi ini hanya sedikit.
Waktu menunjukan jam 13.00, para suster sudah memberitahukan bahwa operasi Anna akan segera dilakukan. Tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit, pikiranku saat ini sedang kacau Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika nanti Anna tidak ada
Pikiranku kembali ke masa-masa indah saat aku bersamanya. Saat kita berdua bermain lari-larian di Braga atau kamu yang sering mengikuti perkataanku sampai aku merasa bosan. Kelakuan kita terkadang mirip dengan anak kecil, tapi itu justru menyenangkan bagiku
Bulan sudah menampakkan rupanya Operasi Anna seharusnya akan selesai sebentar lagi. Menunggu hasil ini membuatku semakin gelisah, aku tidak bisa hanya terus berdiam diri di sini sampai operasinya selesai. Membayangkan hasilnya selalu membuatku takut. Aku pergi ke taman di belakang ruang tunggu, kursi dan meja yang berada di sini cukup membuatku merasa nyaman. Aku memang menyukai udara di malam hari
Cerpen
Enkultura 29/
Awan sudah menutupi cahaya bulan. Gelapnya malam sangat terasa karena aku masih berada di taman ini Rintik hujan mulai membasahi taman, aku berlindung di balik payung yang menyatu dengan meja di depanku. Kukira hujan hanya sampai di sini, namun ternyata hujan makin menggila. Kilat dan petir bahkan sesekali datang untuk menemani hujan, membuat malam yang gelap ini semakin suram saja rasanya.
Aku tidak berniat untuk pindah dari tempat ini, menurutku menunggu di dalam sama buruknya dengan hujan
“Sudah dua jam kamu di sini, apa tubuhmu tidak kedinginan?” ucap ayah kepadaku.
Aku bahkan tidak menyadari kedatangannya, ayahku datang dengan membawa payung dan tas yang berisikan pakaian ganti untukku. Mungkin ayah tahu jika aku sudah tidak mengganti baju selama 2 hari. Ayah mengisyaratkan untuk pergi ke dalam, aku menurut dan segera mengganti pakaian yang kukenakan di toilet dekat sini
Setelah mengganti pakaian, ayah mengajakku untuk mengobrol basa-basi, mungkin maksudnya untuk meredam kesedihan yang kurasakan. Tapi aku tidak bisa banyak berkata-kata, pilu ini sudah mendominasi seluruh pikiranku.
Tak lama kemudian datanglah seorang suster yang memanggil aku dan juga ayah Hasil operasi Anna harusnya sudah bisa ia beritahu sekarang Orang tua Anna tidak sempat datang untuk menjenguk Anna hari ini. Anna dari keluarga yang biasa saja, sebagian besar harta orang tua Anna sudah habis untuk mengobati biaya rumah sakit. Itulah kenapa mereka sekarang tidak datang ke sini untuk menjenguk Anna yang baru saja operasi.
Wajah suster itu terlihat lemas, sama lemasnya denganku Saat ia menatap wajahku, aku bisa menebak kata apa yang akan keluar dari mulut suster tersebut Suster itu tidak berkata apa-apa, hanya menggelengkan lemas kepalanya. Sial tebakanku kali ini benar, Anna sudah tiada.
Cerpen Enkultura 30/
Nirmala Syachfitri R.
gemercik air jatuh membanjiri permadani
yang elok namun terlalu pekat untuk dipikul
aku adalah Nirmala
yang berharap sebuah pelita datang
mengisi sudut yang rimpuh nan jejal
siapa yang mampu menyisakan jarak antara aku dan permadaniku yang lusuh?
aku adalah Nirmala
yang rimpuh dan tidak tahu apa apa
tak gusar kuusir yang datang menghampiri permadaniku
takkan ada yang sanggup mengisi kekosonganku ini
aku adalah Nirmala
yang sendu dalam ruang keabadianku
selamanya
Puisi Enkultura 31/
Smoking Room
M. Rio Abinawa
Kepulan asap yang dianggap mengganggu oleh sebagian orang, justrujustru memiliki makna berbeda bagi para penikmatnya Tidak hanya sekadar sebatang
barang, rokok memiliki sifat pemersatu yang
dapat mengiring topik obrolan dalam
jenjang waktu yang cukup lama. Mulai dari
sekumpulan sahabat karib yang sudah
bersama-sama puluhan tahun lamanya, sampai dua orang yang sebelumnya tidak
pernah mengenal satu sama lain dapat
hanyut dalam perbincangan tanpa
memandang gender, profesi, jabatan atau
latar belakang lainnya. Dalam kumpulan
riungan itulah ruangan khusus bagi mereka diciptakan
Ruangan merokok bertujuan untuk
memberikan hak bagi para perokok dan bukan perokok secara adil serta memberikan layanan kenyamanan bagi para pengunjung dalam suatu kawasan umum.
Ruang khusus tersebut biasanya memiliki
ciri khas bertuliskan smoking room/area dan berbentuk seperti bilik kaca yang terpisah dari kawasan umum. Tidak jarang, dinding pada smoking room juga bertuliskan
“smoking kills” atau yang dalam bahasa
Indonesia berarti “merokok membunuh”
Meskipun begitu, di dalamnya pun disediakan beberapa fasilitas-fasilitas
pendukung bagi para perokok seperti asbak, meja, dan tidak jarang pula terdapat kursi untuk bersantai.
Entah disengaja atau tidak, desain di beberapa smoking room terlihat membuat pengguna ruangan tersebut tidak merasa nyaman jika berlama-lama di dalamnya.
Padahal esensi dari keberadaan smoking room adalah agar para perokok bisa memisahkan diri dari keramaian umum sehingga tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Hal seperti ini membuat para perokok cepat-cepat meninggalkan smoking room dan berpotensi merokok di area bebas rokok secara diam-diam Terminal Bus
Tirtonadi di Kota Solo menjadi salah satu contoh nyata dari desain tempat umum yang belum bisa menciptakan smoking room secara efektif untuk memisahkan para perokok aktif dan perokok pasif. Pihak stasiun sudah menyediakan dua titik smoking room berbeda, namun para perokok tetap memilih untuk merokok di luar area smoking room. Perihal ini terjadi karena smoking room pada Terminal Bus
Tirtonadi dirasa tidak memberikan kenyamanan dan fasilitas yang sama dibandingkan dengan warung sekitar, bahkan belakang gedung dengan kawasan bebas asap rokok. Selain itu, aturan yang tidak tegas pun membuat para perokok tetap melakukan tindakan tersebut secara berlangsung dan diikuti oleh para perokok lainnya.
Artikel
Enkultura 33/
Inovasi smoking room atau smoking area telah menjadi salah satu solusi untuk memisahkan perokok pasif dari paparan asap yang dihasilkan oleh rokok, tanpa mengurangi hak dan kenyamanan perokok aktif yang sedang berada di wilayah kawasan publik.
Hanya saja beberapa aspek pendukung dari smoking room tersebut seharusnya dapat lebih dipertimbangkan untuk menarik dan membuat para perokok tidak memilih merokok di sembarang tempat agar tujuan dan fungsinya dapat terealisasikan demi kenyamanan bersama.
Kebebasan merokok bagi para penikmatnya sebenarnya adalah suatu pilihan, selama tidak ada pihak lain yang dirugikan dan merasa terganggu dengan rokok tersebut. Untuk dapat saling menghargai di kawasan umum, jadilah perokok yang sopan dan bijak karena tidak semua orang adalah perokok dan tidak semua orang tahan terhadap asap rokok tersebut.
Artikel Enkultura 34/
s a n d y a k a l a
Nurul Haqiah Sony Cybershoot DSC-W610 Dago Elos
Widuri Iswari Canon IXUS Menanam hingga Ditanam
Dari: Orang tersayang
Untuk: Shofia Az Zahra Aulia
Pesan: Semangat ❤
Dari: Kurniawan
Untuk: Teruntuk perempuan solehah
Pesan: kapan bisa bertemu
Dari: fans aura paramaratri jaya jaya jaya
Untuk: @auraprr
Pesan: d4h pnya pcaR lom kak? ctiq bged dech
Dari: sigaling berkumis tipis
Untuk: anak anak 21
Pesan: semangat yaahh buat kalian, semester ini emang aga aga deh. tp aku tau kalian psti bisa kok . yuu semangat yu!!!
Dari:
Untuk: alen
Pesan: senyum dong
Dari: chaeyoung's gf
Untuk: wiwi, alen, zulfa, nuy
Pesan: been a great one and a half semester with you guys!!! i reaaallyy cherish your accompany!!
goodluck kuliahnya yah, kl capek istirahat. oiya, katsunyaka gak sih? :p
Dari: guee
Untuk: Yaqub Antrop 22
Pesan: Yaqub keren banget, semangat terus kuliahnya ya!
Dari: aku dan arif
Untuk: yg join adkesma 2023
Pesan: gengs semangat trus smpe demis smg lancar lancar dan hanupis thanks berat atas bantuannya!!
Dari: budak_korporat
Untuk: angkatan 2020 tercintaaaaaaaaaa
Pesan: Semangat buat kerbat antrop 2020 yang lagi mau skripsian (dan lagi magang)!!!! Semoga bisa lulus di waktu yang tepat semua dah biar ga ditanya-tanya kapan lulus :D
Dari: bunda
Untuk: venuss
Pesan: SEMANGAT ETNOFEST!!!!!!
Dari: ariel tatum
Untuk: wapimred
Pesan: terimakasih telah menemani 24/7 tetap semangat ya ceu!
Dari: ariel tatum
Untuk: anisa bijaksana
Pesan: semangat terus ya bun
Dari: Aku yang baru keluar dari Perpustakaan
Untuk: Dia yang baru menjajahi ruang khayalan
Pesan: Besok ketemu ya, abis Kontemporer kita jalan jalan ke Bandung.
Dari:
Untuk: Elga Antrop 22
Pesan: klo mau ngumpul lagi di luar perpus gas
Enkultura 40/
Dari: CP
Untuk: Kalian
Pesan: Maaf ya ges, aku suka waktu, dan gasuka hal hal berbau mepet jadinya suka mendorong kalian buat cepet dan sesuai yang aku pikirin : ((( padahal kalian juga perfect pada waktu dan konteksnya. Tapi gimana ges, kita saling kerja sama aja atu ges, biar semuanya untung intinya maaf ges kalo aku salah dalam bersikapp. Lop yu guys
Dari: CP1
Untuk: Kamu yang bisa jawab
Pesan: Kenapa kalo bahagia tu rasanya menggebu gebu? Entah bahagia nyekesain tugas, bahagia karena tiba tiba dapet ide brilian dan terilhami, dll. Tapi harus tau juga mau diluapin ke apa atau siapa. Karna gasemua orang punya waktu luang untuk mendengar bacotan aku haha.
Dari: windah basudara
Untuk: Alen
Pesan: Alen lucu bgt, klo ngobrol lucu klo diem jg lucu, pokoknya alen paling lucu aku ngefans bgt
Dari:
Untuk: ocha
Pesan: semangat cantik! you deserve someone better
Dari: langit
Untuk: aura paramaratri
Pesan: hai au, keren banget kamu! pokoknya aku ngefans dan will support kamu always
Enkultura 41/
Rekomendasi Lagu 9
The Smiths ON MELANCHOLY HILLS Gorillaz
FOXGLOVE THROUGH THE CLEARCUT Death Cab For Cutie
KUKIRA KAU RUMAH Amigdala
TOLONG! KAMI BUTUH BANTUAN!
Rasukma
SAYONARA
ASLEEP Monita Tahalea
UNTIL THE END
TOKYO
Kelly McRae RM
QUIET Jason Mraz
Enkultura 42/
Enkultura 43/ Rekan Media
@enkultura|
majalahenkultura@gmail.com issuu.com/ENKULTURA