Enkultura #28

Page 1

ENKULTURA edisi #28

P E N U M B R A


lam bahasa Dayak N kabar” da gaju) (“apa Ada udang dibalik batu merupakan salah satu peribahasa yang bermaknakan sesuatu yang terselubung. Tanpa kita sadari, hal-hal seperti ini sering ditemui di sekitar kita dan terkadang kurang menyadari adanya makna-makna terselubung itu. Nah, pas banget! Edisi kali ini tim redaksi Enkultura akan membahas mengenai makna tersirat atau terselubung yang dikemas secara asik dan menarik. Selamat membaca, Sobat Kul-Kul! <3 Tentunya terima kasih banyak untuk seluruh tim redaksi yang telah mempersembahkan Enkultura edisi 28 dengan segenap hati <3 Aura Paramaratri, Pemimpin Redaksi Hadir kembali. Dalam edisi kali ini, kami mencoba untuk mengeksplor blind spot kami. Judul “Penumbra” dirasa cukup representatif karena edisi ini bukan mencari antitesis yang mencoba menghitam-putihkan suatu fenomena, tapi mencoba mencari tesis-tesis yang kerap luput dari pandangan penulisnya sendiri—mencoba mencari kuning, abu, lilac, bahkan sage! Terima kasih, tim redaksi Enkultura 2023 dan para kontributor yang telah berpartisipasi. Sayonara dan selamat membaca! Shofia Az Zahra, Wakil Pemimpin Redaksi

Ketua Pemimpin Redaksi Aura Paramaratri

Editor Valerina Nassasra Arif Rinaldi Fahmi Fadhilah Nugraha Sabrina Excalanti Ayuningsih

Wakil Pemimpin Redaksi Shofia Az Zahra Aulia Reporter Sani Sakinah Danara Prapanca Nashwa Fadya Nurinsani Muhammad Rio Abinawa Alivia Pandanarum Dhifan Nurfadhlih Muhammad Raihan Ibrahim Raybie Ryan Saputra

Ilustrasi, Desain, dan Fotografi Virna Husna Nurfaizah Zulfa Nasywa M Dewi Andriani Nurul Haqiah Tiara Maharani Ashaf Venus Nareswari Bilghi Arroyan Elga Glysi Vorika Quinira Daniar Damarta

Hubungan Masyarakat Siva Aripin Annisa Inayaturrahmah Choiri P Muhamad Fikri D Illona Syahla Pramudita Jedidyah D'Alma Christy S Yaqub Hangga Wirayudha

Media dan Publikasi Birgitta Anjani Christiana P Arraya Razleen Nadira Averina Ramadhanti Raihan Galih Surya Permana Bimo Aulia Junito


Narai Kabar

2

Tim Redaksi

2

Daftar Konten

3

Suara dari Kerah Biru Dhifan Nurfadhlih

4

Kursi Sekolah Sani Sakinah

7

Sajak Warung Makan Rai Ibrahim

10

Kembang Racau Ben

13

The Emergence of #CoreCore: A Multifaceted Art of Emotion Danara Prapanca

14

Pohon; Semoga Hingga Tua Dewi Andriani

17

Kekuatan atas Kekecewaan M. Rio Abinawa

18

Apa yang Dirasakan oleh 19 Orang dengan Bipolar dan ADHD? Alivia Pandanarum Gardenia Alea (Leza)

22

A Love Affair So Blue Jessenia Oriza Arta Amalia

23

Sisi Baik dan Buruk dari Pergaulan Raybie Ryan S.

25

Tenggelam di dalammu Virna H. H.

27

Museum Nasional Berduka Nashwa Fadya N.

28

Selisik Membatik di Museum Tekstil Rachma Azahra Ramadhani

30

Surut Nurul Haqiah

31

Jumpa Kerabat Shafa Aulia Nursani

32

Titip Pesan

35

Seberapa Antropkah?

37

Rekan Media

38



Artikel Opini

Suara dari Kerah Biru Dhifan Nurfadhlih

M

ungkin kita sudah tidak asing dengan . kampanye yang dilakukan oleh calon legislatif (caleg). Menurut (Anshar et al., 2022), kampanye adalah sebuah upaya yang diorganisir oleh suatu kelompok yang ditujukan untuk mempersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2024 dilaksanakan secara terbuka dan memberikan peluang bagi masyarakat untuk memilih caleg yang akan menjadi pemimpinnya. Hal ini tentu saja memicu para caleg untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Pada masa menjelang pemilu, mungkin kita seringkali melihat banner, poster, atau bahkan bendera partai. Hal tersebut merupakan bagian dari kampanye yang dilakukan oleh para caleg untuk menyampaikan visi, misi, dan program mereka. Inilah yang membuat penulis tertarik, untuk melihat bagaimana para caleg berkampanye dan sejauh mana kampanye dapat berdampak pada masyarakat di Pulosari, Tamansari, Bandung Wetan. Pada umumnya, kampanye dilakukan oleh para caleg beserta tim suksesnya dengan berbagai metode yang mereka lakukan. Namun, blusukan ke pemukiman padat sembari memberikan sembako adalah hal yang biasa dilakukan oleh para caleg ketika masa kampanye.

Bahkan beberapa masyarakat di Pulosari sudah tidak asing dengan caleg yang datang ke tempat mereka untuk berkampanye. Ketika memasuki wilayah Pulosari pada tanggal Jumat, 15 September 2023, pandangan saya langsung terfokus pada bendera partai berwarna merah yang terpasang di salah satu rumah warga. Begitu juga ketika saya menyusuri kawasan Pulosari, terlihat banyak sekali bendera partai, banner, bahkan baliho yang tersebar di sepanjang jalan yang berada di pinggiran Sungai Cikapundung. Bendera partai, banner, dan baliho yang tersebar bukanlah berasal dari satu partai politik saja, akan tetapi ada sekitar 3 caleg yang berasal dari partai politik yang berbeda yang mendominasi wilayah tersebut, diantaranya adalah Partai Demokrat, PDIP, dan PSI. Para caleg beserta tim suksesnya biasanya akan membagikan sembako atau bahkan uang tunai kepada masyarakat saat berkampanye. Akan tetapi, para caleg beserta tim suksesnya akan berkoordinasi dengan seseorang yang terlegitimasi untuk mengajak masyarakat setempat mendatangi tempat kampanye. Istilah-Istilah “menjual KTP” atau “menjual janji” sudah cukup melekat di masyarakat Pulosari, para caleg yang datang tidak lebih dari sekedar menjual janji lalu membagikan sembako atau kebutuhan lainnya.

Enkultura

/05


Artikel Opini Ketika saya berjalan di kawasan Pulosari, saya melihat sebuah masjid yang merupakan hasil renovasi dari sebuah partai yang telah melakukan kampanye di tempat tersebut. Politik identitas memang seringkali digunakan sebagai alat kekuasaan oleh para caleg untuk mendapatkan suara atau pengakuan dari masyarakat. Masjid bukan hanya sekedar tempat ibadah saja, di lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, masjid merupakan tempat di mana ikatan sosial diperkuat, pertukaran informasi, berita, dan cerita sering terjadi. Maka dari itu, merenovasi masjid mendapatkan respons yang lebih positif dari masyarakat jika dibandingkan dengan bagi-bagi sembako. Meskipun kebutuhan akan barang pokok terpenuhi, tetap saja citra “menjual janji” atau “janji palsu” sudah sangat melekat di masyarakat. Kampanye yang dilakukan oleh para caleg dimaksudkan untuk menjalin hubungan patron-klien, yang mana bahan pokok atau sumber daya diberikan kepada klien dengan harapan imbalan berupa suara saat pemilu. Namun, pada praktiknya masyarakat tidak selalu memilih caleg yang berkampanye di tempatnya, meskipun sudah diberi dukungan berupa materi oleh para caleg beserta tim suksesnya, kini masyarakat kita sudah cukup pintar untuk mengenali janji-janji palsu yang dilontarkan oleh para caleg.

06

/

Enkultura


Cerpen

Kursi Sekolah Sani Sakinah

TTubuhku sudah dibalut seragam merah,

seragam yang tampak mahal bagi orang berdesil bawah dan nampak biasa saja bagi mereka berdesil tinggi. Seperti biasa, aku berkaca di depan mata ibuku untuk meyakinkan dia jika tampilanku sudah baik. Setelah muncul senyuman di bibir ibuku, seperti biasa ia mengatakan. “Jangan nakal dan turuti apa kata gurumu dan hormati dia,” Ia selalu mengatakan itu setiap aku sudah dibalut seragam merah ini. Apakah semua ibu pasti mengatakan hal itu? Untuk apa? Tepat di gerbang sekolah, banyak murid yang diantar oleh orang tuanya dan lagi, lagi, aku mendengar kalimat yang sama, “turuti kata guru dan hormati dia”. Bising dan muak rasanya mendengar hal itu. Selangkah lagi aku memasuki pintu kelas, kulihat Rino sedang membersihkan meja guru dan memastikannya dalam keadaan baik. Ia membetulkan posisi taplak meja yang beberapa hari lalu dibeli dari uang kas kelas hanya untuk meja guru. Tentu saja aku tidak terlibat dalam hal itu, tahu-tahu saja uang kas dibelikan hal tersebut. Aku melangkah ke kursi dan meja tempatku duduk seperti biasa, kursi dan mejanya terbuat dari kayu dengan coretan karya murid dan hanya ada fasilitas kolong meja yang terkadang diisi sampah.

Begitu kontras dengan meja guru yang panjangnya dua kali lipat meja murid, meja yang tanpa coretan, disediakan taplak meja dan vas bunga, ah kursinya pun berbusa, begitu nyaman untuk duduk berjam-jam. Tapi mirisnya, murid yang selalu duduk selama di sekolah hanya disediakan kursi kayu keras, namun guru yang menjelaskan materi sambil berdiri terkadang menyianyiakan kursi berbusa itu. Apakah mereka yang duduk di kursi bertahta tidak melihat orang lain yang berada di bawahnya, apakah mereka memang menikmati dan menggunakan kuasanya sebagaimana posisinya berada. Pentingnya, apakah ada mereka yang berkursi tahta duduk di kursi yang sama dengan mereka orang biasa? Aku berlari ke kelas lain di sekolah ini, tak ada kursi yang sama antara kursi guru dan kursi murid. Aku terus berlari dari sekolah satu ke sekolah lainnya di kota ini, belum ada kursi yang setara antara guru dan murid. Aku terus berlari ke sekolah lain di luar kotaku untuk menemukan kesetaraan ini. Aku tak merasa lelah sama sekali untuk membuktikan adanya sosok orang bertahta yang ingin setara dengan orang biasa. Pantai, hutan, jurang, gunung, sawah, hingga tempat tak bernama tanpa sekolah aku datangi. Aku tak menemukan satu pun sekolah yang menyamakan kursi guru dengan kursi murid.

Enkultura

/ 07


Cerpen Aku kemudian menemukan bangunan mewah beratap hijau yang katanya pernah dinaiki ribuan mahasiswa, aku menyelinap masuk dan aku menemukan kursi guruku ada pada posisi peserta, namun posisi kursi paling depan, ditempati oleh kursi yang lebih nyaman dari kursi lain. Ia kursi yang keseluruhannya berbusa tebal dan dapat berputar 360 derajat. Nampaknya tidak ada kesetaraan bahkan di kursi bangunan penting seperti ini.

Pikiranku tak padam dengan ketidakadilan ini, pagi buta aku berangkat ke sekolah yang mengundang rasa heran ibuku hingga lupa mengucapkan kalimat jimatnya. Aku berlari menuju kursi guruku dan kubawa kursi guruku ke lapangan, kubakar kursi guruku. Aku mengambil kursi murid dan kutempatkan di mana kursi guru berada. Beberapa murid yang melihat, melaporkan perbuatanku dan dipanggil ke ruang kepala sekolah.

Aku termenung, mengapa tidak ada yang menyamakan kursi biasa dengan kursi bertahta, apakah orang yang duduk di kursi biasa punya kesalahan sehingga harus dihukum dengan duduk di kursi yang berbeda. Mereka tidak bisa memilih dan ditetapkan di kursi biasa. Padahal orang biasa dengan orang bertahta sama sama membayar kewajiban mereka. Namun mengapa dibedakan, peliknya kehidupan ini.

“Kepala Sekolah, kenapa kursi guru tidak sama dengan kursi murid?” ucapku lantang, kepala sekolah terdiam.

Esoknya, aku pergi ke sekolahku, aku tukarkan posisi kursi guruku dengan kursiku. Ketika aku duduk di kursi guruku, semua orang di kelas memandangku sinis. Hingga guruku datang, ia heran kenapa kursinya ada padaku. Rino mengadukan bahwa kursi guru ada padaku dan ia inisiatif memaksaku mengembalikan kursiku. Sebelum aku mengembalikan kursiku, aku bertanya pada guru itu “Mengapa kursi guru tidak sama dengan kursi murid, Pak?” tanyaku. Guru itu tidak menjawab. Rino merebut paksa kursi guru dan mengembalikan kursi ke posisi semula. Aku mengambil kursi muridku dan kembali ke mejaku.

08

/

Enkultura

“Perbuatanku baik, aku membuat keadilan di kelas, aku membuat kesetaraan di kelas. Aku membayar untuk sekolah dan mendapatkan ilmu, guru mengajar dan mendapatkan gaji. Kami sama-sama melakukan kewajiban kami, mengapa kursinya harus dibedakan?” tanyaku lagi. “Kamu belum dewasa untuk memahami hal itu Nak, kamu harus memilih untuk mengganti kursi guru yang kamu bakar atau kamu diskors tidak masuk sekolah selama seminggu, pilih mana?” ucap kepala sekolah. “Aku cukup Dewasa, aku bahkan mengunjungi bangunan penting itu, mereka tampak sama seperti di kelas. Mereka yang duduk di bangunan penting dengan ibuku sama-sama masyarakat yang membayar pajak kepada negara, namun mengapa tidak diizinkan masuk? Apabila mereka datang ke rumah kami, kami pasti menyambut mereka dengan baik. Mengapa dibedakan, Kepala Sekolah?” tanyaku lagi.


“Saya akan menjawab hukuman saya apabila saya salah untuk memperjuangkan keadilan ini,” tegasku. Aku melihat kepala sekolah terdiam dan tak berkata apapun. Aku kembali ke kelas dan duduk di kursiku, rasanya nyaman melihat kursi guruku sama persis dengan kursiku. Kepala sekolah beranjak keluar ruangan dan memandang kursi guru terbakar itu. Pikirannya berjalan seperti rekaman rusak yang mengulang kalimat muridnya. Mengapa dibedakan, Kepala Sekolah?

Enkultura

/09



Puisi

Sajak Warung Makan Rai Ibrahim

Es batu sudah mencair Sisa sambal di piring sudah lalat hinggapi Obrolan sudah mulai mencair Bergulir sekian banyak pengalaman di kuping Baik buruk ku tak peduli Terus saja ia meracau dengan suara parau Bagaimana jika, bagaimana kalau Orang ini memang biadab Tapi ku tak mau dianggap sebagai orang yang judgemental dan apatis Tetap ku mencoba mendengarkan ia bercerita tentang seorang gadis Mulailah ia menceritakan segala aib Aib pertama, Ia mendekati seorang gadis lugu hanya untuk merusaknya Nafasku menderu, memang brengsek ini manusia Tangannya bersandar, terkekeh sambil busung dadanya Iya, tetap kudengarkan Aib kedua, Ia mengajak gadis itu untuk minum alkohol bersama Naik geram, hampir saja hendak kusiram air ini ke muka Tapi tempat ini sepertinya tidak cocok untuk bersengketa Iya, tetap kudengarkan Aib ketiga, Ia menyetubuhi gadis itu Nista sudah gadis itu ujarku Tinggal ku bayar ke kasir dan beranjak meninggalkan Iya, sudah kudengarkan Tapi, Es sudah mencair Bubur menjadi nasi Rokok tinggal sebatang Orang baru mulai datang

Enkultura

/ 11


Puisi Ku berbalik dan mengatakan Kau pilih Pukulan atau laporan Terkekeh lagi ia Kau mau apa Hal ini sudah biasa Janganlah terlalu naif jadi manusia Aku bertanya: Apakah gunanya moral jika kau tak indahkan? Apakah gunanya iman jika tak ikuti keinginannya? Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, etika, meta-etika, dan moralitas, atau apa saja, bila pada akhirnya, Ketika ia pulang ke kosnya, lalu berkata: Aku bangga dengan semua ini!

12

/

Enkultura


Puisi

Kembang Racau Ben

Aku kembang, tuan puan Yang elok tak eloknya, bergantung perlakuan Pesonaku dari merah, kuning, dan lalala lalala Yang dimaknai sesuka kalian Pesonaku merekah dari lembaran indah yang menengadah menyapa semua dengan keanggunan yang indah Praktik liar kalian, kaumku kutuk! Dengan erotisnya kau. kau. kau. bertanya "Ya atau Tidak?", "ya", "tidak", "ya", "YA", "TIDAK!" Kelopak yang kalian lucuti satu demi satu hingga binasa Lalu dibuang percuma karena kalian tak dapat jawabnya bi.a.dab Tapi bukankah aku tetap indah, tuan puan? Dalam bentuk sempurna atau tidaknya akulah wujud dari rupawan Sekalipun dalam bentuk berserakan Di ranjang pengantin maupun pemakaman

Ben adalah moniker dari seorang mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran bernama Eca. Saat ini, ia tengah menjalani perkuliahan di semester 5–dengan setengah waras—dan aktif meniti karir sebagai sarjana quarter life crisis.

Enkultura

/ 13



Artikel

The Emergence of #CoreCore: A Multifaceted Art Form of Emotion Danara Prapanca In the ever-evolving landscape of social media trends, a unique and emotionally charged phenomenon has taken center stage— #CoreCore. This trend transcends traditional forms of content creation, incorporating unrelated video snippets from various sources like movie scenes, podcasts, interviews, and more, all interconnected by a common thematic thread. The primary goal of #CoreCore is to evoke intense emotional reactions from viewers, whether it be sadness, joyfulness, hope, or even despair. In this article, we will delve into the origins of #CoreCore and explore its positive and negative aspects, with particular focus on the sub-trends, #Hopecore and #Sadcore. The Essence of #CoreCore At its core, #CoreCore is a testament to the boundless creative potential of the digital age. Creators meticulously curate an assortment of seemingly unrelated video clips, piecing them together like a cinematic mosaic. What unites these diverse sources is a central theme or emotional element that serves as the emotional anchor for the viewer. The thematic unity is where the magic happens. A #CoreCore video may seamlessly transition from a poignant movie scene to a heartwarming podcast excerpt, creating a powerful and emotional journey. These videos harness the power of storytelling, music, and imagery to provoke an emotional response that resonates deeply with the audience.

The Positive Aspects: #Hopecore One of the most uplifting sub-trends within #CoreCore is #Hopecore. In #Hopecore videos, creators compile motivational contents from various sources, aiming to inspire and uplift viewers. These compilations often feature motivational speeches, scenes of personal triumph, and heartwarming moments from everyday life. #Hopecore videos have the potential to serve as digital beacons of positivity in a sometimes nihilistic online world. The positive aspects of #Hopecore are evident. It spreads positivity, encourages personal growth, and reminds us of the indomitable human spirit. By curating moments of hope, resilience, and determination, #Hopecore videos provide a refreshing counterbalance to the negativity that can permeate social media. The Negative Aspects: #Sadcore As you would know: wherever there is light, there will always be shadows that casts upon it. Not all facets of #CoreCore are as uplifting as #Hopecore. The emergence of #Sadcore brings forth a darker side to this trend. In #Sadcore videos, creators compile melancholic, miserable, and often selfloathing content from various sources.

Enkultura

/ 15


Artikel These videos would usually includes scenes from movies such as “Drive”, “Nightcrawler”, or any other movies that shows their protagonist at their lowest, and it would also include captions regarding relatable scenarios; talking about feeling useless in life, jealousy towards others happiness, or loneliness and wallowing in their past mistakes.These videos can be emotionally draining, potentially giving a negative impact to the mental and emotional well-being of viewers. #Sadcore videos may inadvertently glorify sadness, despair, and self-deprecation. For those already struggling with mental health issues, exposure to such content can exacerbate their feelings of hopelessness. While self-expression is a valuable aspect of art, creators must be mindful of the impact their content may have on vulnerable audiences. Conclusion #CoreCore, with its various sub-trends like #Hopecore and #Sadcore, represents a complex and multifaceted art form. It harnesses the power of the digital age to evoke intense emotions, offering a range of experiences to viewers. While #Hopecore uplifts and inspires, #Sadcore reminds us of the responsibility that creators hold in curating content that respects the emotional well-being of their audience.

16

/

Enkultura

As #CoreCore continues to evolve, it is crucial for creators and viewers alike to strike a balance between exploring the full spectrum of human emotions and being mindful of the potential consequences of the content they create and consume. In doing so, we can ensure that #CoreCore remains a powerful art form that encourages empathy, understanding, and positive emotional growth. Personal Connection I've noticed that the majority of these compilations are always filled with male figures talking about their issues or male characters at their lowest point of their life. So, it shouldn’t be surprising that these videos are much more appealing to male demographic than to female demographic. Male loneliness is something that is quite prevalent in the digital world. As you would know, men’s value tend to be based off of their achievement and wealth, and you can find this particular belief in videos about romantic relationships, whether it’s from a men or a women; and of course, it’s always about having a lavish or extravagant lifestyle. I myself have been exposed to this belief and it made me believe that i am not allowed to have a relationship until i could provide this specific lifestyle. So basically, both women AND men are perpetuating this principle of romantic relationship, and same goes to everything that pertains to male expectations. #Sadcore is the outcome of male social expectations, a scream for help.


Dewi Andriani “Pohon; Semoga Hingga Tua” Canon 1200D


Cerpen

Kekuatan atas Kekecewaan Muhammad Rio Abinawa Terdengar suara gemuruh sorak-sorai yang menggema di sekitarnya, tetapi pemuda itu tak peduli. Matanya berkaca-kaca dan dia melanjutkan dengan suaranya yang gemetar. "Ayahanda, engkau adalah segalanya bagiku. Kau telah mengajarkan aku nilai-nilai hidup yang sejati, ketulusan, dan ketabahan. Kau selalu ada untukku, bahkan ketika aku merasa dunia ini begitu kejam." Pemuda itu meraih sehelai kertas yang telah ia siapkan sebelumnya. Dalam detik-detik berikutnya, ia mulai membacakan pidato yang telah lama dipersiapkannya untuk menghormati ayahnya yang telah pergi. "Dalam kehidupan ini, kita seringkali terlalu cepat untuk menilai orang lain. Kita lupa bahwa setiap individu memiliki cerita mereka sendiri, perjuangan mereka sendiri. Ayahanda, engkau telah mengajariku untuk tidak pernah merendahkan siapapun, karena kita tidak tahu apa yang mereka alami. Engkau adalah contoh nyata dari kebaikan hati." Pemuda itu melanjutkan pidatonya dengan penuh emosi, mengingat momen-momen indah bersama Ayahnya. Sorakan dan tepukan tangan dari orang-orang di sekitarnya semakin redup, seolah-olah mereka dapat merasakan kekuatan kata-kata pemuda tersebut. Ayah, darimu aku belajar untuk menjadi lebih baik, denganmu aku belajar untuk melakukan yang terbaik, tanpamu aku belajar untuk memperbaiki.

18

/

Enkultura

Ayahanda walaupun engkau telah pergi, kenanganmu akan selalu hidup dalam hatiku. Aku berjanji untuk melanjutkan perjuangan ini, untuk menjadi orang yang engkau selalu ingin aku menjadi. Engkau adalah pahlawan sejati dalam hidupku, dan aku akan selalu mencintaimu." Pemuda itu mengakhiri pidatonya dengan pandangan tulus ke langit. Meskipun hatinya masih berat karena kehilangan, ia merasa lega telah dapat mengungkapkan perasaannya. Dalam keheningan yang mengikuti, ia merenungkan kenangankenangan indah bersama Ayahnya, sambil menunggu sorakan dan tepukan tangan yang tulus dari orang-orang yang mengerti perjuangannya. Pemuda itu tahu bahwa proses penyembuhan akan memakan waktu, tetapi ia merasa bahwa ia telah melepaskan beban yang selama ini menghimpitnya. Ia tahu bahwa ayahnya akan selalu ada dalam kenangannya, dan ia akan melanjutkan perjuangan hidup dengan tekad untuk menjalani nilai-nilai yang telah diajarkan oleh ayahnya: ketulusan, kebaikan hati, dan ketabahan. Dalam kisah hidupnya, pemuda itu menjadi bukti bahwa di balik kekecewaan serta kesedihan, ada kekuatan yang muncul dari kejujuran dan cinta sejati. Hingga pada akhirnya, ia menemukan makna sejati dari penghormatan, cinta, dan perdamaian dalam hatinya.



Artikel

Apa yang Dirasakan oleh Orang dengan Bipolar dan ADHD? Alivia Pandanarum Belakangan ini sedang marak-maraknya unggahan di sosial media mengenai masalah “mental health”. Mungkin kalian pernah mendengar istilah bipolar dan ADHD. Gangguan-gangguan mental tersebut hanya dapat didiagnosa oleh dokter jiwa atau psikiater, dan tidak bisa asal self-diagnose tanpa konsultasi pada ahlinya. Namun sayangnya, masih banyak yang salah mengira arti dari kedua gangguan mental ini. Secara singkat, bipolar adalah kondisi di mana penderitanya memiliki fase-fase perubahan emosi yang sangat drastis dari fase depresi (sangat sedih), ke normal, sampai manik (sangat senang). Tapi bipolar ini berbeda dengan mood swing yang biasanya dirasakan saat wanita pada masa PMS. Ada juga yang salah mengira bahwa bipolar merupakan sebuah kondisi di mana penderitanya memiliki dua kepribadian. Sedangkan, ADHD merupakan Attention Deficit Hyperactivity Disorder yang mana penderitanya memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi, sering melakukan hal-hal impulsif, mudah lupa, terdistraksi, dan terlalu aktif. ADHD biasanya ditemukan pada anak-anak, namun pada dewasa ini, ADHD juga dapat ditemukan pada orang dewasa. Sering kali saya menemukan unggahan di sosial media mengenai bipolar dan ADHD ini, dan saya penasaran dengan komentar para netizen pada postingan tersebut. Tidak jarang saya menemukan komentar self-diagnose dan kekhawatiran para orang tua yang anaknya didiagnosa bipolar dan ADHD. Ada komentar yang menyebutkan bahwa orang dengan ADHD tidak boleh menyetir kendaraan karena tidak bisa fokus, ada juga komentar orang tua yang khawatir jika anaknya tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena ADHD yang diderita, ada juga komentar yang bilang bahwa penderita gangguan bipolar hanyalah mood swing biasa yang sebenarnya sering kali dijumpai pada masa PMS. ––– Genap satu tahun yang lalu, saya menjumpai psikiater di salah satu rumah sakit swasta di Bandung. Pada hasil konsultasi tersebut disimpulkanlah bahwa saya mengidap gangguan mental bipolar dan ADHD. Saya merasa lega dengan diagnosa psikiater saya karena saya telah mengetahui apa yang terjadi pada diri saya selama ini. Dengan diagnosis tersebut, saya juga dapat mengenal diri saya lebih baik. Psikiater saya bilang bahwa memang kondisi bipolar dan ADHD ini sudah menjadi bawaan saya sedari kecil, namun baru saya sadari pada saat saya semester 3 berkuliah. Maka dari itu banyak kekurangan saya di masa lalu yang tidak bisa saya selesaikan sendiri, padahal mungkin orang lain menganggap bahwa kekurangan tersebut adalah hal sepele. Salah satu contohnya adalah saya tidak bisa fokus pada kegiatan-kegiatan yang saya anggap membosankan, seperti memperhatikan mata pelajaran sejarah selama 15 menit di tempat yang sama. Saya perlu berpindah-pindah tempat setiap 3 menit sekali agar saya dapat mengerti esensi dari pelajaran yang saya coba untuk perhatikan.

20

/

Enkultura


Artikel Opini

Itu pun belum dengan distraksi yang muncul sendiri di kepala saya. Berbeda dengan saat saya melakukan hal yang saya suka seperti menulis jurnal. Saya dapat sangat fokus saat menulis jurnal selama 2 jam lebih tanpa terasa bahwa waktu yang saya habiskan sudah cukup lama. Begitu pula pada kondisi bipolar saya. Pada fase Depresi, saya bisa menangis tersedu-sedu hanya dengan melihat kucing yang kurus kumal, dan hal itu akan membuat saya gelisah serta banyak pikiran sehingga saya tidak bisa berkegiatan dengan maksimal. Berkebalikan pada fase manik, saya bisa berkegiatan dan melakukan banyak hal sekaligus tanpa merasa lelah, dan bahkan saya bisa bercerita di depan teman-teman dengan volume suara keras dalam durasi yang lama tanpa saya sadari. ––– Meskipun saya merupakan penderita bipolar dan ADHD, saya sekarang mampu untuk berkuliah dengan baik di salah satu perguruan tinggi negeri di Jatinangor, saya juga aktif menyetir mobil dan motor setiap hari. Saya juga aktif pada banyak kepanitiaan dan organisasi kampus karena datangnya kreativitas dan ambisi lebih pada diri saya. Jangan terlalu khawatir dengan hal-hal yang belum dicoba. Jika kamu membaca tulisan ini dan kamu atau orang terdekat kamu mengalami gangguan bipolar atau ADHD, percayalah bahwa kita bisa beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya. Pada awalnya memang akan berat dan mungkin akan merasa denial. Disiplinlah konsultasi pada psikiater/psikolog, dan jangan lupa untuk minum obat teratur. Kamu tidak sendiri. <3

Enkultura

/ 21


Alea (Leza) “Gardenia” 2023


Puisi

A Love Affair So Blue Jessenia Oriza Arta Amalia On fairest waters, she called to me I taste her kiss in the salty breeze We leave at last, to heed her pleas Out here with her, I longed to be As I traverse her waves and shoals, My lover waits to take her toll At your command, I turn and swerve Yet at her caress, I sway to and fro Indecent as it is, my illicit deeds, From your iron grip, she gave me reprieve Unknowing yet how I’d be in her throes, I let her bend me to a curve How could her brisk inviting currents now thrash to drag me in her deep? How can her lulling, loving whispers become the howls of waves so steep? To your command, I crest and trough At last, I see What my lust has done to you and me Sailors totter on rafts and huff, As we both watch so mournfully It seems, my love, that we were both fated to be lost at sea O Captain, my Captain, My first love and my last Standing by me to the end Holding steady to my mast If this must be the end we face, then allow me please, to indulge Into my lover’s frigid embrace, Together we take the plunge

Jess ber-KTP Jakarta, berdarah Garut, berdomisili Depok, dan terpelanting ke Jatinangor. Beraliran Taylor-Mitski-Hozier, pecinta lautan dan rembulan. Aslinya anak Teknik Sastra. Bisa ditemukan di IG atas nama @echieamalia

Enkultura

/ 23



Artikel

Sisi Baik dan Sisi Buruk dari Pergaulan Raybie Ryan Saputra P ergaulan adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Dari pergaulan, kita dapat P membangun relasi, pertemanan, dan jaringan sosial yang mendukung perkembangan pribadi dan profesional kita. Namun, pergaulan memiliki sisi baik dan buruk yang perlu kita pertimbangkan.

Pertama kita akan membahas mengenai sisi baik dari pergaulan. Menurut saya ada beberapa hal penting yang menjadi sisi baik dari pergaulan, pertama, pengembangan hubungan sosial, pergaulan memberi kita kesempatan untuk membangun hubungan dengan berbagai macam orang. Ini dapat memperkaya hidup kita dan membuka pintu untuk pertemanan yang kuat. Kedua, peningkatan keterampilan komunikasi, berinteraksi dengan orang lain membantu kita mengembangkan keterampilan komunikasi yang penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan dan hubungan pribadi. Ketiga, dukungan emosional, teman-teman dan keluarga yang baik dapat menjadi sumber dukungan emosional yang penting saat kita menghadapi kesulitan atau stres. Lalu yang terakhir, peluang sosial dan profesional, melalui pergaulan, kita dapat menemukan peluang sosial dan profesional yang dapat membantu kita mencapai tujuan pribadi dan karier. Selain beberapa hal baik yang sudah saya jelaskan di atas, ada juga sisi buruk dari pergaulan itu sendiri. Beberapa sisi buruk itu, yakni pergaulan toksik, beberapa pergaulan bisa toksik dengan memengaruhi perilaku dan keputusan kita secara negatif. Ini bisa berupa tekanan teman sebaya untuk mengonsumsi alkohol, narkoba, atau memicu perilaku merusak lainnya. Selain itu, konflik dan drama. Konflik dalam pergaulan seringkali tak terhindarkan, bahkan drama dapat mengganggu ketenangan pikiran dan emosi kita. Berikutnya, isolasi sosial. Beberapa orang dapat merasa terisolasi atau kesepian jika mereka kesulitan membangun atau mempertahankan hubungan sosial yang sehat. Dan yang terakhir adalah, ketergantungan sosial media. Pergaulan online melalui media sosial dapat menyebabkan ketergantungan dan isolasi sosial karena kita menghabiskan terlalu banyak waktu di dunia maya daripada berinteraksi langsung dengan orang lain.

Enkultura

/ 25


Artikel

Setelah menyampaikan sisi baik dan sisi buruk dari pergaulan. Di sini juga saya akan memberi tips bagaimana mengelola pergaulan yang baik dan buruk: 1. Pilih teman dengan bijak, hindari pergaulan yang toksik dan carilah teman-teman yang mendukung pertumbuhan Anda sebagai individu. 2. Jaga keseimbangan, selalu pertimbangkan waktu yang Anda habiskan untuk berinteraksi dengan orang lain dan pentingnya waktu sendiri. 3. Bersikap terbuka dan empati, cobalah untuk bersikap terbuka terhadap orang-orang baru dan berempati terhadap pengalaman mereka. Ini bisa membantu memperluas wawasan Anda. 4. Gunakan media sosial dengan bijak, batasi waktu yang Anda habiskan di media sosial dan pertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan mental Anda. Pergaulan adalah aspek penting dalam kehidupan kita yang dapat membawa manfaat dan tantangan. Dengan menyadari sisi baik dan buruknya, kita dapat mengelola interaksi sosial kita dengan lebih bijak dan memaksimalkan potensinya untuk membangun kehidupan yang lebih seimbang dan bahagia.

26

/

Enkultura


Virna H. N. “Tenggelam di dalammu” 2020


Artikel

Museum Nasional Berduka Nashwa Fadya N

II nsiden kebakaran menimpa Museum Nasional Indonesia (MNI). Dikutip dari akun Instagram

resmi Museum Nasional, insiden tersebut terjadi pada Sabtu, 16 September 2023 pukul 20.08 WIB. Museum Nasional sendiri terbagi atas tiga gedung, yaitu gedung A, B, dan C. Kebakaran terjadi di bagian belakang Gedung A dan menghanguskan beberapa ruangan di gedung tersebut. Kebakaran diduga karena korsleting arus listrik yang terjadi di bedeng renovasi museum di area belakang Gedung A. Untuk pencegahan dan perbaikan, museum tutup untuk sementara waktu sampai ada pemberitahuan lebih lanjut dan dipastikan untuk secepatnya kembali dalam keadaan baik. Dikutip dari situs web Museum Nasional, bagian Gedung A yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat atau terbuka untuk umum adalah Gedung A Lantai 2 atau Ruang Barat. Ruangan ini digunakan untuk pameran temporer. Melalui pemberitahuan lebih lanjut, api berhasil dipadamkan pukul 22.40 WIB di hari yang sama. Proses pemadaman dibantu oleh tim Pemadam Kebakaran, Kepolisian, dan MNI. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Selanjutnya akan difokuskan upaya untuk pengamanan benda sejarah oleh tim internal Museum Nasional. Koleksi yang terdampak adalah replika, kebanyakan dari koleksi prasejarah. Koleksi lainnya sudah dipastikan aman tidak terdampak. Sedangkan koleksi hasil repatriasi atau pengembalian dari Belanda sudah dipastikan aman, karena disimpan di lokasi yang berbeda, jauh dari titik kebakaran. Saat ini Museum Nasional sudah ditetapkan sebagai instansi pemerintah pusat dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Status ini ditetapkan pada 22 Maret 2021 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 117/KMK.05/2021. Museum Nasional juga ditetapkan sebagai salah satu dari tiga pilot project Museum Cagar Budaya, dua diantaranya adalah Galeri Nasional dan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Dengan ditetapkannya Museum Nasional sebagai BLU, pada dasarnya menuntut pihak museum untuk lebih mandiri dalam peningkatan, baik dalam fasilitas maupun sumber daya manusia, serta manajemen pengelolaan museum. Bagian penting dalam proses tersebut adalah sumber daya manusia. Proses pembentukan ide besar sebuah pameran yang akan membingkai karyakarya dalam pameran atau proses kuratorial dan edukasi kepada masyarakat menjadi sesuatu yang perlu diarahkan untuk mendatangkan pendapatan agar keberlangsungan museum terjaga. Timbul banyak tanggapan dari warganet yang menyampaikan belasungkawa atas insiden yang terjadi. Ada juga yang menyampaikan kekecewaannya dan menganggap pihak museum lalai dalam menjaga koleksi dan benda bersejarah. Turut berkomentar pula warganet tentang ditetapkannya Museum Nasional sebagai BLU dan pengelolaan museum setelah ditetapkannya status tersebut.

28

/

Enkultura


Artikel Menurut mereka, adanya status tersebut mengubah beberapa fungsi museum. Menurut Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2015, museum adalah lembaga yang berfungsi untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan mengkomunikasikan koleksi kepada masyarakat. Status BLU tersebut memberi kesan untuk museum agar lembaga yang mandiri dalam menghasilkan pemasukan untuk keperluan tidak terduga. Museum Nasional dianggap sebagai lembaga yang diperuntukan untuk membantu keuangan negara. Insiden yang terjadi terkait dengan benda sejarah ini seringkali mengingatkan kita dengan kematian seorang arkeolog yang masih dipenuhi kejanggalan hingga saat ini, Lambang Babar Purnomo. Lambang, yang berpulang pada 9 Februari 2008 pada, merupakan seorang ahli purbakala yang handal. Tidak hanya menangani benda purbakala, ia juga menyelidiki dan melaporkan kasus pencurian benda-benda cagar budaya, termasuk kasus pencurian arca koleksi Museum Radya Pustaka, Surakarta. Dikutip dari datatempo.co, tim Tempo menelusuri ulang pada jam-jam terakhir kematiannya, melakukan wawancara dengan para saksi, hasil visum, dan berdiskusi dengan ahli forensik. Dari hasil penelusuran, semuanya mengerucut pada dugaan kuat bahwa Lambang dibunuh. Perkiraan mafia barang-barang purbakala berada di balik pembunuhan tersebut.

Enkultura

/ 29


Artikel

Selisik Membatik di Museum Tekstil Rachma Azahra

Pindai di sini untuk membaca tulisan.

Rachma Azahra yang akrab disapa Rery merupakan mahasiswi semester 6 Jurnalistik, Universitas Multimedia. Rery menyukai topik lingkungan dan sosial yang bisa memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. Rery dapat dihubungi melalui Instagram @reryazhrar

30

/

Enkultura


Nurul Haqiah “Surut” 2022


Reportase

Jumpa Kerabat Shafa Aulia Nursani

S inar mentari menyengat kulit hingga terasa Sore harinya, seluruh peserta Praterbakar begitu ditapakkannya kaki di Kota Makassar ini. Suhu menunjukkan angka 36 derajat kala itu, tak sadar keringat mulai bercucuran. Setelah menyusuri belasan gate dan lorong-lorong bandara, akhirnya sampai juga di pintu kedatangan. Bak seorang idola, begitu jalan keluar para supir taksi langsung berebut menawarkan jasanya. Namun, kali ini agak berbeda. Mereka berani menyentuh, menarik lengan baju, dan menyodorkan gawainya sembari berbicara dengan nada yang cukup keras. Kesan pertama di kota ini cukup unik.

Setelah berjalan menghindari tawaran para supir taksi brutal, akhirnya aku bertemu dengan tiga orang kerabat yang akan membawaku ke penginapan. Ya, mereka merupakan kerabat antropologi yang berasal dari Universitas Hasanuddin di mana kegiatan Pra-Sarasehan akan dilaksanakan. Sebelum melangkah lebih jauh, tujuanku kali ini datang ke Makassar adalah untuk menghadiri acara Pra-Sarasehan yang diadakan oleh Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia atau lebih akrab disapa JKAI. Kegiatan ini diselenggarakan agar bisa bertemu dan berjejaring dengan kerabat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sesuai dengan namanya, sarasehan sendiri memiliki arti pertemuan yang dilangsungkan untuk saling mendengarkan pendapat. Kembali ke cerita awal, aku dan kerabat lainnya yang baru saja dijemput dari bandara langsung dibawa untuk menyantap coto Makassar yang terkenal itu. Urusan perut telah selesai, kemudian kami dipersilakan untuk beristirahat sejenak.

32

/

Enkultura

Sarasehan diminta untuk berkumpul di depan aula penginapan. Pada saat itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seluruh kerabat dari Sabang hingga Merauke. Meskipun agak canggung, kami memulai pertemuan pertama dengan saling berkenalan tentunya–dan bertukar username Instagram. Kemudian dilanjut dengan saling bercengkrama, membahas dan membandingkan kondisi geografis daerah asal, kebiasaan di kampus, hingga proses inisiasi yang dilakukan. Obrolan tersebut berlanjut hingga larut malam. Siapa sangka, rasa canggung seketika hilang dan rasanya seperti sudah berkenalan lama dengan mereka. Dua hari pertama kegiatan Pra-Sarasehan diisi dengan seminar dan pematerian untuk persiapan turun ke lapangan nantinya. Di hari ketiga, kami semua harus beranjak pergi meninggalkan Kota Daeng (Makassar) menuju kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terletak di Kabupaten Maros. Kami akan melakukan penelitian lapangan selama lima hari kedepan dan juga bersenang-senang pastinya. Kawasan Bantimurung ini terkenal akan air terjun, batuan karst, dan spesies kupu-kupu yang indah nan beragam. Bahkan Bantimurung sendiri dijuluki sebagai “The Kingdom of Butterfly” karena sumber daya kupu-kupu yang dimilikinya. Gambaran indah tentang Bantimurung ini sayangnya harus terpatahkan begitu kami sampai. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat kupu-kupu sulit


Reportase berkembang biak, hingga cukup sukar untuk bertemu dengan kupu-kupu yang menjadi ikon dari Bantimurung. Selain itu, penginapan yang ditempati pun terkena imbasnya. Kami menjadi kesulitan mendapatkan air bersih untuk mandi dan sebagainya. Tampaknya ini akan jadi lima hari terberat yang harus dilalui selama di Bantimurung. Meskipun demikian, dengan segala hal yang terjadi, Bantimurung memberikan kesan mendalam pada perjalanan kali ini. Tidak dapat dipungkiri, banyak cerita dan kejadian menarik yang terpatri dalam memori diri masing-masing. Setidaknya pasti ada satu hal baik yang bisa dikenang. Misalnya mandi di air terjun sore hari ataupun makan jagung bakar di warung depan penginapan. Tak terasa lima hari berlalu begitu saja dan kami harus kembali ke Kota Makassar. Kembalinya kami ke Kota Makassar menandakan perjalanan Pra-Sarasehan yang akan segera selesai. Sesampainya di Makassar kami perlu menyusun laporan hasil penelitian untuk dipresentasikan nantinya. Di sela-sela waktu tersebut, aku dan beberapa kerabat lainnya pergi untuk mengelilingi sebagian kecil Kota Makassar di malam hari. Kami pergi ke pasar malam, mencicipi streetfood-nya, mengunjungi Central Point Indonesia (CPI), dan beberapa spot lainnya. Malam itu entah mengapa rasanya menyenangkan sekali. Ujung dari kegiatan Pra-Sarasehan ini ditutup dengan field trip. Kami diajak mengunjungi Museum Balla Lompa yang berisi koleksi benda-benda sejarah hingga etnografi dari Kerajaan Gowa. Setelah itu kami pergi ke makam Pangeran Diponegoro, membeli oleholeh, dan menikmati senja di Pantai Losari. Sayangnya ada satu tempat yang seharusnya kami kunjungi juga saat itu, yaitu Benteng Rotterdam. Namun, hari itu Benteng Rotterdam

sedang ditutup. Mungkin ini bisa jadi salah satu alasan untuk kembali mengunjungi kota Makassar nantinya. Malam penutup acara pun tiba, kami mempresentasikan hasil penelitian kemudian diadakan penyerahan cendra mata sebagai simbol bahwa Pra-Sarasehan resmi selesai. Malam itu berlangsung panjang, ada yang sibuk mengemas barang karena akan segera pulang, ada pula yang menari-nari dan bercengkrama hingga fajar tiba. Cara menikmati malam terakhir yang berbedabeda. Haru yang tak biru menyambut perpisahan di pagi harinya. Satu persatu kerabat mulai meninggalkan penginapan. Tidak ada air mata yang jatuh pagi itu, ya meskipun pasti ada rasa sesak di dada. Sebetulnya kami semua masih berada di Makassar, hanya saja berpisah ke tempat yang berbedabeda. Aku menikmati hari terakhir di Kota Makassar dengan beberapa kerabat lainnya. Kami pergi menonton film Petualangan Sherina 2 yang sedang tayang di bioskop, dan makan malam terakhir yang ditutup dengan semangkuk coto Makassar. Malam belum berakhir, kebersamaan ini masih berlanjut hingga larut malam. Kami juga sempat bertukar barang sebagai tanda kenang-kenangan. Hari telah berganti, aku harus segera bergegas pergi ke bandara dan pulang ke kota Bandung. Cerita perjalanan di Kota Makassar ini ditutup dengan ke hectic-an di bandara, mengejar penerbangan yang hampir lepas landas. Dua belas hari mungkin waktu yang lama bagi sebagian orang. Namun jika hari-hari tersebut dihabiskan dengan orang yang tepat pasti akan terasa singkat. Pergi sendirian ke kota yang belum pernah dikunjungi sebelumnya memberikan

Enkultura

/ 33


Reportase

ketakutan tersendiri. Takut tidak bisa bergaul, takut tidak dapat teman, takut ini, takut itu, dan sebagainya. Akan tetapi ketakutan tersebut langsung terpatahkan sejak hari pertama. Apalagi karena bertemu dengan sesama mahasiswa antropologi jadi tidak ada yang melontarkan pertanyaan, “Antropologi tuh belajar apa sih?” Jadinya tidak perlu bingung deh menjelaskan antropologi itu apa. Mungkin karena hal itu juga lah yang membuat kami menjadi lebih cepat akrab dan click. Dengan segala keunikan yang dimiliki oleh setiap orang, menjadikan cerita ini menarik untuk disimpan. Sampai jumpa lagi di lain waktu dan kesempatan, kerabat! PS: Tulisan ini ditulis beberapa hari setelah aku pulang dari Makassar atau bisa dibilang sedang rindu-rindunya dengan kalian (para kerabat yang aku jumpai di sana).

34

/

Enkultura


Dari: Angel baby angel Untuk: Nashwa, dewi, venus Pesan: Kalo kalian semester depan mau magang lagi? Dari: Gabriel dubko Untuk: Shofia Pesan: I miss u Dari: Kucing adek kunti bogel Untuk: Ale ale, wiwiduri, dinyas, nuy Pesan: Guys guys mendekati akhir tahun wuhuu met early new year!! Semangaatt otw semester semester selanjutnyaa, legooo oharang self rewardnyaa!! <3 Dari: Divisi paling keren Untuk: Semua anggota Humas Etnofest Pesan: Humas keren, Humas hebat, Humas tidak terkalahkan Dari: Yaya Untuk: Wawa bogor Pesan: WAWAAAA woof woof kangen waduh gepenk edisi naru

🫶🏻

Dari: gerard way mahasiswi psikologi Untuk: alea antropologi"23 Pesan: hati² beb kutunggu jkt-nangor + im bringing louis /j Dari: wwcn Untuk: peri keci ayah Pesan: hi sahabatku, cintaku, sayangku, jantungku, urat nadiku pengen cepet ketemu ini udh ldr berbulan-bulan, gakuat aku angkat tangan.. kpn kita bercengkrama menghabiskan waktu bersama lg

🫶🏻

Dari: hamba Allah Untuk: angkatan 21 Pesan: stulap di bulan mau gak?

P I T I T 🤑

Dari: Calon mantu Tuan Kréb Untuk: Kiyowooo Pesan: Makasih gess udah jd tempat keluh kesah aku selama kuliah. Berkat kalian aku masih bisa bertahan sampe sekarang, aku bisa jadi diri sendiri kalo sama kalian. You're my moodboster guys! Mudahmudahan kita bisa tetep kayak gini sampe kapanpun, semoga kita semua sukses yaaa.

Dari: Ak Untuk: Angkatan 21 Pesan: Kangen kelas full team Dari: orang Untuk: siapa aja yang lagi butuh Pesan: terima kasih sudah mau bekerja keras sampai saat ini!! jangan lupa untuk berhenti sebentar kalau mulai capek, jangan lupa juga untuk jaga kesehatan di musim yang sering gak jelas ini. semangat terus yaa, yuk bisa untuk terus semangat! <3 Dari: Jek Untuk: siapa aja yang baca dah Pesan: hayu main DnD bersama2 kawan! Escaping reality into the fantasy Dari: infobmkg Untuk: 84 Pesan: Hatiku tenang ketika mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tak akan menjadi takdirku, dan apa yang menjadi takdirku tidak akan pernah melewatkanku

Enkultura

/ 35


N A S E P Dari: rahasia Untuk: raihan 2021 Pesan: ganteng deh, udh ada yg pny blm hehe Dari: illonala Untuk: 22 antropologi Pesan: walaupun terlihat tidak akur (tergantung waktu dan kondisi, tapi akur ko!), semoga kita akur terus sampe akhir. makasih sudah menjadi temanku hihi, semangat kuliahnya all <33333 Dari: ala Untuk: eva, vanya Pesan: katanya mau masuk tipsen, maaci ya sudah menjadi temanku mari berteman untuk waktu yang lama, semangat terus tuk hidup, dan doa-doa baik lainnya. lov u be2 pol Dari: ariel tatum Untuk: Virna cantik Pesan: Virnaaa km cantik sekalii deh semangat terus yaa

🌞

Dari: ariel tatum Untuk: Virnaa Pesan: Virnaa semangat mengarungi lautan nangor yaaa, semangat kuliah nya! Dari: Bunda bundi Untuk: Wapimred paling kece Pesan: terimakasih bunda bundi sudah tabah sampai akhir untuk enkultura

🌞

36

/

Enkultura

Dari: bulan purnama Untuk: Tim redaksi enkultura Pesan: terimakasih banyak tim redaksi yang udah mempersembahkan enkultura dengan sepenuh hati, sehat dan bahagia selalu yaa semuaa

🫶🏽🫶🏽🫶🏽🫶🏽

Dari: cantika Untuk: bunda au Pesan: terima kasih selalu bekerja sama dengan baik selama dua termin ini HUHU <3

🤙

Dari: Untuk: tim medpub Pesan: terima kasih untuk kerja kerasnya di dua termin ini teman-temannn! maaf yaa kalo kalian jadi sering kerja dengan deadline yang mepet-mepet :( sehatsehat dan bahagia selalu yaa kaliann<3 Dari: hambaAllah Untuk: antropies21 Pesan: anywhere u are, lancar2 ya buat sems 5 ini!! semester tua menanti kelyan >< Dari: ----anon Untuk: 0014 Pesan: makasih ya buat segala hal apapun, semoga abis ngirim ini gue bisa fotbar atau confess secara langsung Dari: Depok Untuk: Depok Pesan: I don't know why, you're so attractive. Tried to engage more conversation with you, but I just can't look straight into your eyes. Seeing you closer with someone else doesn't really hurt me, but it gives me a moment of realization to take a couple step back.


Antr

opkah?

Tamat baca Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat

Bawa note book dan pulpen lebih dari 1 tiap harus ke lapangan

Menyadari kalau fase liminal itu berkali-kali

Tidak merasa overwhelmed ketika habis wawancara

Transkrip 2,5 jam itu biasa saja

Lebih suka di lapangan dibanding di kelas

Karya etnografi adalah sahabat <3

Menulis E x T = C tiap nugas tentang Leslie White

Jotting-an nggak kebaca

Ramaikan dan tag kami di Instagram @enkultura, ya!

Enkultura

/ 37

bingo

Seberapa


Rekan Media

Rekan Media

38

/

Enkultura


majalahenkultura@gmail.com issuu.com/ENKULTURA

| @enkultura


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.