Enkultura #21

Page 1





Menyibak tirai sandiwara metaforis Goffman lewat tembang alternatif nan ciamik Sebuah kelumrahan bagi manusia untuk selalu ingin menjadi ‘ideal’. Saya kira hal itu terjadi berkat menjadi wujud paling sempurna dari perjalanan evolusi yang panjang dan mungkin tak berkesudahan. Kita menjadi lebih peka, cermat dan jeli dalam mendeteksi kejanggalan atau ketidaknyamanan, setidaknya dalam lanksap kehidupan yang kita jalani sendiri. Berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi, serta dinamika konstelasi gagasan akan definisi ‘ideal’ yang tak pernah tetap, lahir pula orientasi nilai ‘ideal’ yang beragam dan tak pernah pasti. Ingin tak ingin pun, manusia turut menciptakan vakuum sendiri yang diliputi kebimbangan serta ketidakpastian. Bagi Carl Roggers, misalkan, konsep diri bersifat aktif pula dinamis karena dapat dipengaruhi situasi sosial apapun, hal ini termasuk pandangan individu atau kelompok lain terhadap seseorang. Saya lebih senang berpijak pada perspektif yang ditawarkan Ahmad Albar dan Erving Goffman, bahwa hidup adalah sandiwara. Goffman pada bukunya The Presentation of Self in Everyday Life, menitikkan pandangan bahwa dalam kelangsungan sosial seseorang dengan sesamanya, ia menghendaki sebuah pesan dalam rangka menanamkan harapan kepada orang lain yang sedang ia hadapi. Pesan dan harapan tersebut lantas dianggap membantu manusia merengkuh citra yang ingin ia tampilkan. Manusia, sebagaimana disebut ‘aktor’ oleh Goffman, memiliki panggung khayalan dan sedang memainkan peran-peran yang telah disematkan pada pundaknya. Pendekatan Dramaturgi tak semata-mata berbincang tentang apa yang manusia lakukan di atas panggung sandiwara metaforisnya, melainkan juga bagaimana ia melakukannya. Melalui analogi front stage dan back stage, Goffman menekankan bahwa seorang individu tak selamanya bermain lakon di hadapan orang, ada kalanya ia berada di back stage dan menjadi diri mereka sendiri. Namun realitanya, back stage seringkali dijadikan tempat untuk melatih performa sekembalinya individu tersebut ke atas front stage. Hal ini terefleksikan dengan sempurna lewat tembang milik penyanyi Amerika favorit saya semenjak kecil, Taylor Swift. Dengan personifikasi sederhana namun tetap sasaran, Swift menyebut dirinya sebuah ‘Mirrorball’ seraya menuturkan balada tentang kutukan untuk selalu ingin sempurna: I want you to know I'm a mirrorball I'll show you every version of yourself tonight


Mirrorball atau umum kita kenal dengan sebutan lampu disko terbuat dari potongan cermin kecil yang memantulkan cahaya, orang-orang yang menari di bawahnya dapat turut menikmati bayangan diri mereka. Secara dramatisnya, Swift mengandaikan dirinya menjadi sebuah objek yang reflektif namun nihil keaslian. Orang-orang menyukai apa yang mereka lihat, yakni preferensi atas diri sendiri dan Swift sendiri seolah ‘menikmati’ peran yang ia mainkan. Ia memilih untuk menampilkan pertunjukkan tertentu agar tetap membawa kesenangan dan keindahan kepada siapapun yang menontonnya. Hal ini dapat kita rasakan pula melalui teori Dramaturgi milik Goffman, dalam sebuah pertunjukkan terjadi kesepakatan tak tertulis atas apa yang dirasa ‘pantas’ atau ‘ideal’ antara pelakon dan audiens. Hush, when no one is around, my dear You'll find me on my tallest tiptoes Spinning in my highest heels, love Kemudian di bait chorus, Swift lagi-lagi mengajak kita bertamasya ala Dramaturgi dengan mengatakan bahwa di saat tidak ada orang di sekitarnya, ia masih ‘berputar’ (layaknya mirrorball), menyempurnakan dirinya untuk seseorang yang ia anggap istimewa. Bait ini memberi afirmasi atas teori front stage- back stage Goffman. Bahwasanya, aktor dari sandiwara ini terpecut ambisi (atau adil untuk dikata ‘obsesi’) untuk menyempurnakan perannya. I'm still a believer but I don't know why I've never been a natural All I do is try, try, try Nuansa jangle pop semakin mengental menuju akhir bridge lagu ini, kemudian bagaikan hidayah, sebuah pertanyaan terlintas di benak saya: apakah tidak menjadi sebuah kelalaian hakikat ketika kita (manusia) luput dari kecacatan? Swift pada bridge lagunya menyuarakan ketidakpiawaiannya dalam menjadi ‘aktor’ dari lakonnya sendiri. Sisi manusiawi yang ia singkap secara gamblang dengan mengatakan dirinya tidak terlahir ‘alami’ sempurna, yang ia tahu pasti hanyalah berusaha. Sebagaimana pada perspektif Dramaturgi dan konsep diri Carl Rogers, pengetahuan diri, esensi, dan motivasi seseorang dipengaruhi situasi sosial yang ia hadapi, tidak semata-mata ‘alami’ berasal dari nuraninya. Sebuah pil pahit untuk ditelan, mengetahui bahwa keaslian atau otentisitas diri hanyalah buah manis fiksi. Namun, baik saya, Anda, Swift, maupun Goffman, adalah aktor dari lakon kehidupan. Tentunya juga sebuah ‘mirrorball’ yang selalu berputar sempurna bagi seseorang.



Saya percaya akan keberlimpahan juta hingga milyar perkara pelik tak terjawab di konstelasi semesta kita, dahulu maupun kini. Manusia tercerdas, termasyhur, terbeken, dan sebaris ter- lainnya mungkin perlu ratusan malam hanyut terbawa arus kerja neuron dalam usaha menyambut rasa ingin tahu mereka. Buahnya yang mungkin manis atau ragam tambahan ekstraksi kemudian menjadi media eksekusi kekalutan manusia ini; akankah jawaban bisa dijumpai? Atau malah gang buntu yang akan datang menyambut? Jawaban dan jalan keluar yang berhasil ditemukan atas berbagai persoalan saya rasa dapat dimaknai sebagai konsepsi yang positif juga negatif. Positif ketika jawaban ini mampu memberi sedikit banyak kepuasan batiniah; negatif ketika menuntun manusia dalam aturan saklek yang sempit dan memaksa. Renungan mengenai proses manusia berpikir kemudian berubah menjadi konsepsi bagaimana orang cerdas (yang tentu banyak berpikir) seharusnya berpenampilan. Lamunan sederhana Tolstoy mengenai seni kemudian menuntun pada draf keseharusan pameran seni: sublim dan eksklusif. Buah pikiran yang regulatif ini saya rasa merupakan bentuk pergolakan yang khianat; bergerak be terlalu jauh dan begitu membatasi dari renungan sederhana di arus hulu pemikiran. Ketika berbicara mengenai seni, saya tak pernah mau ambil pusing memikirkan pendapat filsuf paling ahli, seniman paling nyentrik, atau sastrawan paling lihai manapun. Seni atas dasar pemikiran saya hanya sebatas media ekspresi yang bebas menautkan nilai estetik dengan berbagai roman muka; tidak kurang, tapi boleh lebih. Begitu pula adanya sastra. Sebagai salah satu fragmen dalam konsepsi berkesenian, saya merasakan keberadaan formula hipokrit yang dihadirkan manusia di dalamnya. Sastra (sebagai bagian dari seni) menjadi raut eksklusivitas, representasi dari perihal yang rumit dan pelik, serta lambang inteligensi yang tentunya, saya ulangi kembali: eksklusif. Jikalau pembaca yang arif budiman sekalian sudi menilik konstruksi kata ‘sastra’ secara sistematis (dan menjemukan), sudah terlalu sering dicakapkan bahwa ‘sastra’ sendiri belum memiliki pendefinisian yang jelas, selain terpaut keindahan dan draf tertulis yang memainkan peranan bahasa. Hal ini tentu menimbulkan kompetisi tekateki, teka-teki bagi manusia, semua berlomba menerka-nerka seberapa luas cakupan kesusastraan itu sendiri. Ragam opini kemudian muncul ke permukaan. Yang mulanya hanya berupa celetukan ringan milik pribadi kemudian mulai dipolitisi dan dijadikan ketentuan ajek yang problematik. Menurut saya, sastra tidak semata-mata deretan diksi yang rumit dan payah dipahami, bukan juga terbatas pada karya terbitan Balai Pustaka. Sastra bukan sekadar konsumsi pribadi generasi milenial yang gemar menghadiri ceramah Komunitas Salihara. Sastra jauh sekali melampaui konsepsi-konsepsi dominatif ini; tidak memerlukan kaidah saklek penuh otoritas sekalipun. Apa yang saya katakan sebagai ‘formula hipokrit’ merupakan suatu refleksi, cerminan krusial mengenai persepsi kebanyakan manusia mengenai kesusastraan: sastra dianggap sebagai suatu media yang parokial, segmented, dan khas kelas menengah. Padahal pada kenyataannya (atau setidaknya menurut saya), apabila kita sudi kembali kepada definisi awal mengenai sastra yang bertautan dengan nilai estetika; menjadi sebuah pertanyaan tersendiri, bagaimana parameter suatu ihwal agar dapat dikatakan estetik?


Saya rasa, perihal indah tak indah, bagus tak bagus, rupawan tak rupawan, merupakan semata-mata urusan selera dan preferensi masing-masing. Tidak benar-benar ada ukuran tersendiri terkait bagaimana suatu lukisan dikatakan rupawan bukan main, juga tak ada kriteria khusus bagaimana serangkaian diksi dapat dikatakan begitu indah hingga membuat mata terbelalak. Lalu, mengapa sastra menjadi suatu bab kehidupan yang begitu eksklusif? Mengapa fragmen seni ini menjadi entitas yang melambangkan inteligensi, kemudian melahirkan asumsi dangkal ‘tidak paham sastra berarti tidak pintar’? Saya rasa tidak seorang pembaca pun dapat dikatakan intelek dari seberapa paham ia terhadap setiap kalimat dalam karya sastra. Asumsi ajaib seperti ini menurut saya cenderung intoleran sekali, receh, dan apriori. Saya kira keelokan suatu karya justru dapat dipahami ketika kita sebagai pembaca dapat memberi jarak pada setiap kalimat dan diksinya. Kita tidak perlu tahu persis interpretasi si penulis, tidak pula memahami setiap diksi—mudah ataupun sulit—sebagai suatu aturan saklek yang sempit, melainkan mempertimbangkannya sebagai perkara yang ambigu nan multitafsir. Pembaca budiman sekalian tidak perlu berebut karya yang paling ‘sastra’ hanya demi eksklusivitas. Sastra atau tidaknya menurut saya merupakan suatu penilaian sendiri-sendiri. Tidak seorang pun perlu memaki-maki Tere Liye atas diksi sederhananya dalam novel Hujan yang populer itu. Tidak perlu juga berlomba-lomba menjadi penyuara paling heroik yang hobi mencerca habis-habisan novel adaptasi Wattpad karena dianggap memiliki kadar kesusastraan yang begitu minim. Kaum intelek tidak pula harus paham benar falsafah Wiratmo Soekito. Saya juga tidak perlu menguasai konsep strukturalisme sastra untuk sekadar mengatakan bahwa tulisan Iwan Simatupang begitu tak masuk akal dan cenderung terburu-buru. Tidak perlu pula menyulitkan diri untuk menyuarakan kepincangan antara Fiersa Besari dan Seno Gumira yang keduanya satu rupa: sama-sama imajinatif dan tentang senja.



Perkembangan zaman yang pesat ini telah membawa banyak perubahan bagi peradaban manusia. Kemunculan variasi ide, ragam pemikiran, hingga teknologi produksi masif, seakan-akan sebuah krayon yang perlahan mewarnai sehelai kertas putih polos. Keseluruhan coretan pada kertas putih itu, terwujud sebagai produk dari proses adaptasi manusia menghadapi lingkungan yang kian berevolusi hingga pada akhirnya manusia akan selalu dituntut untuk kreatif. Lingkungan sebagai ruang hidup manusia selalu berubah bentuknya dari zaman ke zaman. Entah berubah dengan sendirinya atau berupa efek samping karya manusia, lingkungan seolah-olah selalu menciptakan paksaan pada manusia berupa daftar kebutuhan yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Dahulu kala, manusia purba memiliki kehidupan yang lebih sederhana. Hidup dengan bekerjasama melalui pembagian tugas memanfaatkan limpahan karunia alam di depan mata. Seiring bergantinya zaman, lingkungan beralih bentuk berdampingan dengan kemajuan pemikiran manusia. Revolusi ide terus berjalan menuju modernitas masa kini. Revolusi tak pandang bulu; semua aspek terlibat. Kehidupan manusia kemudian selalu berkembang tak pernah identik sama seperti yang sudah-sudah. Saya menemukan satu perihal yang paling menarik yaitu mengenai bentuk adaptasi yang dilakukan manusia dari masa ke masa. Jikalau kita sudi untuk mundur cukup jauh ke beberapa juta tahun yang lalu, manusia tampaknya masih berorientasi pada hal ihwal sederhana; pembagian kerja yang cenderung tersimplifikasi dan acuan sikap yang kooperatif. Jauh setelahnya, sekitar entah berapa ribu tahun yang lalu, manusia mengalami ragam revolusi pemikiran, salah satunya terwujud dalam hierarki strata sosial yang melahirkan kadar kompleksitas pembagian kerja yang lebih tinggi lagi. Kemudian, berbagai rupa inovasi kreatif nan ciamik bermunculan di kisaran ratus tahun yang lalu. Beragam jenis mesin tampil sebagai bintang tersohor dalam panggung modernisasi dunia, tak lain dan tak bukan sebagai icon utama alat produksi masif penyokong mekanisme kehidupan. Proses modernisasi ini tentu diiringi ekskalasi berbagai jenis nilai kehidupan, salah satunya urusan ekonomi. Persaingan ekonomi yang begitu pelik ini nyatanya mampu menyebabkan peralihan sistem kehidupan yang cenderung kooperatif menjadi jauh lebih kompetitif. Sikap kerja sama beralih menjadi perlombaan, inilah yang kemudian menjadi pusat perhatian saya. Sikap kompetitif ini kemudian berkaitan erat dengan teori striving for superiority yang akan saya jelaskan berikutnya.


Manusia pada dasarnya hidup untuk dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya. Setiap harinya manusia berjuang mendapatkan apa yang diinginkan melalui berbagai cara. Namun, nyatanya tidak semua orang dapat memenuhi keinginannya dikarenakan masalah keterbatasan akses. Konstruksi sosial yang ada memaksa individu dalam masyarakat untuk memperjuangkan statusnya (privilese). Perjuangan ini kemudian diharapkan menghadirkan sikap kompetitif yang sportif. Manusia berjuang mewujudkan keinginannya melalui ragam akses yang ia dapat pada hadiah kemenangan kompetisi berupa privilese tertinggi tanpa menjatuhkan orang lain. Sebagaimana teori Alfred Adler mengenai konsep striving for superiority. Sebagai contoh, orang yang menginginkan akses lebih banyak akan berusaha lebih ekstra daripada yang merasa cukup karena keseluruhan hal tersebut merupakan pilihan. Namun, kenyataan yang kita hadapi pada hidup ini tidak seindah pemikiran di atas. Dalam berlomba mendapatkan privilese, beberapa manusia tidak mengamalkan prinsip moral sehingga terjadi kecacatan dalam kompetisi. Beberapa individu bahkan kelompok rela menjatuhkan saudaranya sendiri demi menggapai privilese karena nyatanya demikianlah cara termudah, meski terbilang amoral. Beberapa individu rela menyingkirkan individu lain demi menggaet akses. Bahkan, rasisme yang tengah hangat dibicarakan merupakan manifestasi kegagalan individu menerapkan konsep striving for superiority yang sebenarnya. Sekelompok manusia yang tergolong dalam satu ras berani menjatuhkan ras lain demi kepentingan politiknya atau bahkan sekedar ajang menunjukan superioritas yang amoral. Sebuah ironi yang nyatanya sudah mendarah daging pada konstruksi sosial manusia yang amat perlu dihapuskan. Perbaikan moral pada bentuk adaptasi manusia menghadapi lingkungannya amat dibutuhkan.

Referensi : Watts, Richard. (2012). On the origin of striving for superiority and social interest. Anderson, C., & Hildreth, J.A. (2016). Striving for superiority: The human desire for status.



THE DAY GOD CREATES YOU Miles away in the promised land Sitting there, a wrinkly sixty-year-old man “At least that’s what the elders taught us”, I said Acting like a supervisor Acinonyx jubatus, He murmurs As He contemplates about His next creation As He promises to make a hit The depiction of how He brought you Forever engraved on mind A couple of cheetah cubs Rubbing each other’s cheeks Playfully sniffing sni their sleek furs As if the world only revolves on them And the boulder which has been staying with Him Perish, if He ever owned one The feeling of peace runs riot through His blood In a glance, you exist I hope, you’re more than just a mortal to Him But a gift, an art, a special one That He bestows you with endless love Blesses you with an id entity Every day, I pray for the absence of wrath He graces me with the ability to love You really shouldn’t be jealous of him, My Lord For the love of God, I want a settled relationship! It today, the day God creates you It’s May you shine the shiniest Amongst those other stars Or if that doesn’t happen I’ll stand tall right beside you And we fail the storm as one



Dalam tulisan artikel kali ini, bahasan yang akan disampaikan berkaitan dengan kebudayan dalam pola pikir masyarakat mengenai pelecehan seksual, lalu kebudayaan seperti apa yang dimaksudkan? Kebudayaan sering kali dikaitkan dengan kesenian suatu daerah yang menjadi suatu ciri khas bagi daerah tersebut. Namun, dalam Antropologi, kebudayaan memiliki arti yang sangat luas. Dikutip dari buku karya Koentjaraningrat yang berjudul “Pengantar Ilmu Antropologi� (2015) bahwa kebudayaan merupakan pola pikir, gagasan, dan tindakan manusia yang ada dalam rangka kehidupan diri manusia yang ada karena hasil dari proses belajar atau pengalaman diri. Sesuatu tindakan yang dilakukan secara terus-menerus yang menjadikan tindakan tersebut suatu kebiasaan yang juga dikatakan sebagai kebudayaan. Intinya, dalam artikel ini, kebudayaan yang dimaksud adalah pola pikir manusia yang dilakukan secara berangsur-angsur dalam menilai sesuatu atau dalam memberikan pandangan terhadap dunia. PELECEHAN SEKSUAL Pelecehan seksual sudah bukan lagi hal yang awam bagi masyarakat, terlebih ia yang sudah pandai dalam menggunakan layanan internet dan media sosial. Pelecehan seksual merupakan tindakan, perilaku, dan/atau perkataan yang bisa menyinggung dan merugikan seseorang dalam konteks seksual. Pelecehan seksual juga bisa berbentuk perkataan atau kalimat kebencian. Pelecehan dalam bentuk kalimat sering diketahui sebagai pelecehan seksual secara verbal, perilaku pelecehan ini menyangkut kalimat yang dilontarkan secara keras atau terang-terangan di tempat umum atau bisa juga dilontarkan secara sembunyi-sembunyi. Namun, pelaku pelecehan seksual secara verbal seringkali menganggap hal tersebut hanya candaan dan pujian. Perilaku pelecehan seksual seringkali terjadi dirasakan oleh lawan jenis yang dirasa lebh dominan dan memiliki kekuatan untuk melakukan hal tersebut kepada korban yang dianggap lebih lemah dan tidak akan memberikan perlawanan. Pelecehan seksual tidak memandang umur, jenis kelamin, warna kulit, fisik, dan bahkan pakaian sekalipun. Pakaian sering disalah artikan sebagai “penyebab� dari adanya serangan pelecehan seksual namun, kenyataanyan pakaian tidak mempengaruhi seseorang akan terkena pelecehan seksual. Bahkan sering kali orang yang menggunakan pakaian sangat tertutupun masih saja bisa menerima pelecehan tersebut. Maka, di sini peran kesadaran diri sangat diperlukan untuk pencegahan terjadinya pelecehan seksual. SEMUA GENDER SAMA Selama ini, pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan pria yang menjadi pelaku dan wanita yang selalu menjadi korban. Namun nyatanya, tanpa disadari, pria juga sering kali menerima pelecehan seksual serupa dengan wanita, verbal maupun nonverbal. Pada umumnya masyarakat selalu mempermasalahkan ketika pria yang melontarkan kalimat bersifat seksual kepada wanita, namun ketika terjadi sebaliknya, sering kali masyarakat melihat hal tersebut sebagai hal yang biasa saja dan hanya menganggap bahwa tersebut hanya pujian semata, tetapi pada nyatanya hal tersebut bisa sangat membuat orang tersebut tersinggung dan condong ke arah pelecehan. Dalam hal ini, gender telah digenerelalisasikan oleh kebudayaan yang berpikir bahwa wanita selalu menjadi korban.


Lalu, seperti apa pelecehan yang sering dirasakan oleh para pria? Sama halnya dengan pelecehan yang dilakukan kepada wanita, pria juga merasakan bahwa tindakan atau perkataan tertentu bisa menyinggung perasaan dan menjadi sebuah pelecehan. Pelecehan seksual yang terjadi dirasakan oleh para pria sering terjadi oleh para kalangan artis atau orang ternama, sebagai contoh artis A adalah seorang anggota group penyanyi terkenal, namun para penggemar sering kali salah mengerti mana pujian dan mana pelecehan. Tak hanya para kalangan artis, pelecehan seksual bisa dirasakan oleh siapa saja, sering kali kalimat-kalimat dibawah tanpa disadari oleh para wanita adalah pelecehan seksual, contoh kalimat yang sering dilontarkan seperti:

“Buka dong Kak, bajunya. Biar perut sobeknya bisa kelihatan.” “Tariannya seksi sekali, saya jadi merasa panas.” “Kak, boleh pegang gak dadanya? Sepertinya Kakak rajin angkat beban, ya.” “Kalau lihat Kakak, Rahim saya jadi hangat.” “Kak, ganteng banget. Mau ke mana, sih? Buru-buru banget.” “Kak, pulang bareng yuk. Biar bisa mampir.” Bayangkan jika kalimat diatas dilontarkan oleh para pria kepada perempuan, pasti terkesan sangat menjijikan, bukan? Maka, perlu adanya sosialisasi merata kepada semua gender dan semua umur untuk mengetahui bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan kriminal yang merugikan dan menimbulkan trauma, tidak memandang gender, dan sulit bagi para korban untuk melawannya. Perlu diingat bahwa semua gender dapat merasakan sakit hati dan tidak nyaman karena tindakan pelecehan. Siapapun korbannya, kita harus mengerti bahwa pelecehan tetaplah pelecehan, dan harus dihindari demi kebaikan bersama. Mulai sekarang, mari hapus kebiasaan pola berpikir yang tidak terbuka dan mulai membiasakan diri untuk melihat sesuatu dari segi pandangan orang lain juga. Hapus kebudayaan dan kebiasaan cara pandang melihat pria adalah manusia kuat yang tidak bisa merasakan sakit hati. Semua manusia, kendati gender yang dimilikinya, memiliki perasaan dan emosi.



Pada awal munculnya virus Covid-19 di Indonesia, banyak warga yang mengurangi aktivitas di luar rumah, seperti kegiatan belajar mengajar di sekolah, dan bahkan berkerja yang dipindahkan ke rumah. Dengan terpusatnya aktivitas di dalam rumah, orang-orang memiliki banyak waktu yang luang, namun dengan banyaknya waktu luang ini menyebabkan rasa jenuh dikarenakan aktivitas yang hanya berkutat di sekitaran rumah, sehingga mulai banyak bermunculan kegiatan-kegiatan sebagai pengisi waktu luang tersebut, seperti: 1. Urban Farming Urban Farming atau berkebun, dalam bahasa sunda dikenal juga dengan “pepelakan�, menjadi sebuah tren yang cukup digandrungi oleh banyak orang selama masa pandemi Covid-19. Selain karena bisa membantu kebutuhan pangan rumah, kegiatan ini juga dapat menghias rumah agar lebih indah. Dalam berkebun ini, banyak metode yang dapat digunakan seperti hidroponik, vertical garden, dsb. 2. Memasak Penularan Covid-19 yang bersifat droplet membuat banyak orang mulai beralih untuk mengonsumi masakan hasil rumah. Tidak sulit untuk menemukan resep masakan yang lezat dan simpel di internet, bahkan di media sosial pun akun yang berbagi resep makanan mendapat atensi cukup tinggi dari netizen, menyebabkan kegiatan ini termasuk yang disukai masyarakat dalam menghabiskan waktu luang. Dalgona Coffe dan Korean Garlic Bread adalah beberapa makanan yang viral selama masa pandemi dan banyak orang memasaknya di rumah. 3. Mendekorasi Rumah Kegiatan ini cukup digandrungi oleh para muda mudi yang ingin mempercantik rumah, terkhusus kamar tidurnya. Banyak bertebaran di media sosial konten yang berkaitan dengan kegiatan mendekor kamar selama masa pandemi. Kegiatan ini juga ditujukan untuk menciptakan suasana baru agar kegiatan di rumah tidak monoton dan membosankan. 4. Berolahraga di sekitar rumah Berolahraga menjadi cukup digemari oleh banyak orang untuk mengisi waktu luangnya, hal ini disebabkan untuk menjaga agar kondisi tubuh senantiasa bugar agar tidak mudah terserang penyakit, ditambah dengan keaadan sekarang ini. Banyak metode Home Workout yang laku di masyatakat, bahkan ada yang melengkapi peralatan-peralatan berolahraganya. Selain home workout, bersepeda di sekitar rumah juga menjadi pilihan yang populer disaat pandemi, bahkan ada pula yang membuat trek bersepeda yang cukup jauh dari daerah tempat tinggalnya. Kegiatan bersepeda ini juga sempat menjadi tren ditandai dengan meningkatnya penjualan sepeda dan mulai maraknya pengendara sepeda di jalanan. Banyaknya waktu luang memicu kreatifitas masyarakat untuk menemukan solusi agar tidak dihantui oleh rasa bosan. Dari bercocok tanam hingga bersepeda adalah bentuk dari solusi yang muncul di masyarakat, dan hampir semua tren berfokus pada satu hal, yakni menjaga kesehatan. Tren-tren di atas mengajak masyarakat untuk lebih peduli akan pentingnya kesehatan, dimulai dari produksi dan mengolah bahan makanan yang akan diproduksi, hingga menjaga kebugaran dengan berolahraga. Namun, apakah hal ini akan terus berjalan? Atau hanya sekedar pada masa pandemi saja? Tentu akan sangat baik jika hal ini menjadi gaya hidup dari para pelakunya.



Sedekah Bumi. Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin masih terdengar asing. Bisa jadi mereka bertanya-tanya, ‘Mengapa bumi diberi sedekah? Bukankah bumi memiliki segalanya?’. Jika ditelusuri lebih lanjut lagi, maka akan ditemukan jawaban bahwa sedekah bumi adalah suatu tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya oleh penduduk desa yang tinggal di wilayah pegunungan. Mengapa hanya penduduk wilayah pegunungan saja? Karena tradisi yang dilaksanakan oleh penduduk daerah laut dinamakan sedekah laut. Kembali lagi ke wilayah pegunungan, di wilayah ini mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai petani. Sehingga tradisi ini dilaksanakan se bagai wujud syukur kepada Sang Pencipta atas segala limpahan hasil bumi yang telah diberikan-Nya. Selain itu, tradisi ini berfungsi sebagai bentuk permohonan doa agar warga dapat terhindar dari segala mara bahaya. Salah satu wilayah pegunungan yang menggelar tradisi ini adalah Desa Karanggedang. Desa ini terletak di wilayah pegunungan, tepatnya di Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Mungkin jika mendengar kata ‘Cilacap’, yang terlitas di pikiran orang-orang adalah pantai, laut, dan mungkin juga sedekah laut. Namun, di sini saya akan bercerita tentang upacara sedekah bumi yang dilaksanakan di desa saya sebagai ucapan rasa berterima kasih kepada Sang Pencipta. Tradisi sedekah bumi di desa saya biasanya dilaksanakan setiap Bulan Apit (Zulkaidah) pada hari Selasa Kliwon atau Jum'at Kliwon. Pada tahun ini, tradisi tersebut diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 2020 yang mana berada dalam suasana pandemi. Jujur saja, sebenarnya saya merasakan berbagai sisi positif dari adanya pandemi ini. Salah satu sisi positifnya yaitu karena saya bisa mengikuti upacara adat yang jarang sekali dapat saya ikuti. Hal ini dikarenakan upacara ini selalu dilaksanakan setiap pagi hari menjelang siang hari, sehingga saya jarang sekali mengikutinya karena jam tersebut adalah waktu bersekolah. Adapun akibat dari adanya pandemi ini, semua orang termasuk saya, bisa memiliki waktu luang lebih banyak yang dapat dipergunakan untuk mengikuti upacara ini. Oleh karenanya, biasanya tradisi sedekah bumi di sini hanya diikuti oleh orang tua dan anak balita. Banyak yang bisa diceritakan setelah saya mengikuti tradisi sedekah bumi kemarin. Namun, di sini sepertinya saya hanya akan bercerita tentang urutan prosesi tradisi sedekah bumi. Jadi, seperti yang kita ketahui bersama, semua ritual upacara adat di mana pun pastinya memiliki urutan atau tata cara dalam pelaksanaannya. Nah, untuk prosesi tradisi sedekah bumi di sini, sebelum sampai ke acara inti akan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Persiapannya dimulai dengan penyembelihan hewan berupa satu ekor kambing di pagi hari, sekitar pukul 07.00 WIB. Kambing ini dibeli oleh warga dari dana hasil iuran setiap KK (Kepala Keluarga) dalam satu RT (Rukun Tetangga). Mengapa iuran hanya dilakukan oleh satu RT ? Hal ini dilakukan karena, penyelenggaraan tradisi sedekah bumi dilakukan di tempat yang berbeda (wilayah RT masing-masing) dalam waktu yang bersamaan. Jadi, setiap RT di desa akan menyelenggarakan upacara sedekah bumi sendiri.


Kembali lagi dengan persiapan yang dimulai dengan penyembelihan satu ekor kambing, kambing yang telah disembelih ini akan dijadikan sebagai olahan masakan yang sering disebut oleh warga sekitar dengan besek. Di daerah lain, besek ini adalah sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Namun di sini, besek adalah istilah yang digunakan untuk menyebut olahan daging kambing yang diberi santan dan bumbu kuning. Jika dapat dilihat sekilas, olahan daging kambing ini terlihat seperti gulai. Tetapi jika dimakan, rasanya akan terasa sangat berbeda dengan gulai.

Selanjutnya, rangkaian acara sedekah bumi masuk pada tahap pelaksanaan. Tahap pelaksanaan ditandai dengan salah satu warga yang memukul kenthong atau dengan kata lain, hal tersebut digunakan untuk memanggil warga yang tidak ikut dalam kegiatan memasak dalam rangkaian persiapan. Hal ini dikarenakan, kegiatan memasak ini hanya dilakukan oleh ibu-ibu, sedangkan bapak-bapak hanya berperan dalam penyembelihan kambing di pagi hari. Setelah itu, para warga lain akan datang ke lokasi tradisi berlangsung. Lokasinya berada di pertigaan jalan desa yang letaknya tidak jauh dari tempat para ibu-ibu memasak. Para warga sekitar menganggap bahwa pertigaan jalan adalah tempat yang tepat untuk warga satu RT berkumpul. Selain makanan dari panitia, para warga yang mengikuti tradisi pun diwajibkan membawa makanan sendiri dari rumahnya dengan menggunakan rantang. Setibanya saya di lokasi tradisi sedekah bumi, kegiatan yang pertama dilakukan adalah ngesogna syarat ,yaitu kegiatan meletakkan makanan ke lubang bumi. Lubang yang dibuat ini selain diisi makanan, juga sebagai tempat penampungan darah kambing yang disembelih. Nantinya setelah kegiatan makan bersama, lubang ini akan ditutup.

Rangkaian kegiatan selanjutnya adalah megari atau pembagian besek. Besek ini dibagikan sama rata (satu rantang) pada setiap warga yang hadir dalam tradisi sedekah bumi. Orang yang membagikan besek ini adalah orang yang dianggap sebagai tetua di sini.

Selanjutnya, para warga akan menempatkan diri di pinggir jalan. Dengan telah menyusun makanannya di atas alas (karung/ daun).


Selain rangkaian acara tersbut, ada syarat lain yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan tradisi ini. Syarat tersebut adalah sebuah sesaji/sajen. Sajen ini berisi bubur merah, bubur putih, kupat slamet dan lepet, golong bongkok, tumpang endog, sambel tlenjeng dan lalap daun pepaya, tanaman pala pendem, jajanan pasar, bunga 3 rupa, kelapa muda, kopi pahit kopi manis, teh tawar, dan air bening. Selain itu, terdapat juga kemenyan yang telah dibakar. dibaka Kemudian, tiba lah pada saat rangkaian inti dari perayaan sedekah bumi, yaitu doa bersama. Namun, sebelum dilakukan doa, akan ada sambutan terlebih dahulu dari tetua setempat. Selanjutnya, pembacaan doa-doa yang berisi ucapan rasa syukur dan meminta perlindungan kepada Sang Pencipta yang akan dipimpin oleh imam setempat. Rangkaian terakhir tradisi ini yaitu kegiatan makan-makan. Menurut saya, kegiatan ini memberi kesan yang menyenangkan karena para warga akan saling berbagi makanan agar bisa saling mencicipi makanan satu sama lain. Selain itu, hal tersebut bertujuan untuk mempererat rasa persaudaraan dan kebersamaan. Lalu setelah selesai makan-makan, tradisi sedekah bumi pun selesai. Para warga kemudian akan membereskan lokasi tradisi dan sesudahnya akan pulang ke rumah masing-masing. Kiranya, cukup sekian cerita dari saya tentang pengalaman mengikuti salah satu rangkaian upacara adat yang ada di Indonesia yaitu tradisi sedekah bumi. Semoga bermanfaat.

*Sumber Foto: Milik Pribadi



Kontruksi sosial diartikan sebagai keyakinan terhadap sudut pandang, kesadaran, dan hubungan antar seorang individu dengan individu lainnya yang muncul dari kebudayaan dan pola pikir. Apa yang terjadi dan apa yang terbentuk dalam masyarakat kita sekarang dapat disebut konstruksi sosial. Sobat kul-kul, apakah kalian sadar kalau sekarang kita hidup dalam kontruksi sosial? Saya, kita, dan banyak orang lain di dunia ini hidup dalam idelogi atau keyakinan yang sesuai dengan tempat di mana kita tinggal dan bagaimana lingkungan akan membentuknya. Contohnya mengenai pelecehan seksual, karena kejadian mengerikan tersebut banyak terfokus pada perempuan yang menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku maka setiap terjadi ‘pelecehan seksual’ secara tidak sadar kita akan berfikir bahwa perempuan yang akan selalu menjadi korban. Tetapi dibalik ‘pemikiran’ tersebut, kasus pelecehan pada laki-laki juga terjadi. Bentuk pelecehan apapun itu, baik yang dialami oleh perempuan ataupun laki-laki sama-sama tidak berhak menerima perlakuan tidak senonoh. Salah satunya, bentuk pelecehan catcalling yang terjadi pada laki-laki dan perempuan tidak bisa dibenarkan dengan alasan ‘itu pujian’, reaksi menyalahkan korban pelecehan pada laki-laki dan perempuan tidak bisa dijadikan becanda dengan respon yang normal seperti ‘ah paling dinikmatin’. Pelecehan apapun bentuknya merupakan kriminal dan harus ditindak tegas! Kenyataan lainnya manusia hidup dalam konstruksi sosial dapat diliat dalam teori Dramaturgi yang dikemukakan oleh Goffman, manusia hidup dalam panggung sandiwara, di mana ia akan bersikap sebaik mungkin di hadapan orang lain dan berperan sebagai aktor yang menghayati perannya dengan baik. Teori dramaturgi digambarkan juga dalam lagu Mirrorball yang dibawakan oleh penyanyi Taylor Swift, Mirrorball yang memiliki banyak sisi dan dapat berganti warna dengan cepat sesuai dengan lampu yang menyorotnya, dapat diartikan sebagai; sisi-sisi yang berubah dalam sekejap mata, merupakan keadaan ketika manusia yang terus mengikuti keinginan orang lain dan merubah kepribadian sesuai dengan apa yang orang lain inginkan. Munculnya sikap yang digambarkan dalam teori dramaturgi tersebut merupakan bagian dari konstruksi sosial. Di sisi lain, manusia adalah penikmat seni yang hakiki, menikmati seni tidaklah sesederhana yang dibayangkan, salah satu bagian dari seni adalah sastra. Sastra sendiri ternyata bersifat ekslusif dan tidak semua kalangan dapat dengan mudah menikmati sastra merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, seperti pandangan akan bagaimana sastra yang baik dan benar tidak ada pakem pastinya, karena disesuaikan oleh individu yang ingin memahami sastra, bagaimana ia memandang sastra atau bagaimana ia memahami, semuanya karena pengaruh pola pikir dan kebudayaan yang menyertainya. Kontruksi sosial juga berkaitan dengan bentuk adaptasi, bentuk adaptasi manusia dari zaman ke zaman selalu berubah sesuai dengan porsi kebutuhan, dari pembagian kerja yang sederhana melangengkan kerjasama berubah menjadi perlombaan untuk menjadi yang paling berkuasa. Ambisi manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkan dapat dilakukan dengan berbagai cara tujuannya hanya untuk menang, yang sadar tidak sadar sudah ada sejak awal (masa manusia ada) sampai sekarang (manusia modern) rasanya sangat sulit untuk diubah karena sesungguhnya benar dan salah-bisa menjadi sangat subjektif, sesuai bagaimana kita memandangnya dan bagaimana ‘pola pikir’ manusia itu terbentuk.


Masih berkaitan dengan manusia yang akan selalu melakukan adaptasi, manusia menjalani kegiatan hariannya dengan pola berulang dari senin sampai minggu namun kegiatan harian ini tidaklah statis, karena pada nyatanya kegiatan harian manusia dapat berubah dengan begitu singkat dan manusia tidak hanya diam disatu titik hidupnya saja. Perubahan yang paling terasa adalah perubahan yang diakibatkan oleh pandemi. Perubahan kegiatan akibat pendemi –sedikit banyaknya- pasti terasa, contoh paling terasa adalah kegiatan yang biasanya dilakukan diluar rumah seperti belajar di kampus tidak bisa dilakukan dan beralih menjadi belajar di rumah, peralihan kebiasaan ini membuat tren baru sebagai ‘pengganti’ atau ‘pelengkap’ kehidupan dirumah agar tidak terlalu monoton, seperti mulai berkebun, memasak, mendekorasi rumah, dan berolahraga yang sebelumnya adanya pandemi tidak dilakukan. Jadi, pada kenyataanya kita hidup dalam konstruksi sosial. Menyadari serta mereduksi dan memilah nilai-nilai yang dapat kita adopsi atau terima adalah keharusan, tidak semua konstruksi sosial yang ada dan yang sedang berjalan adalah benar sepenuhnya karena sifatnya yang subjektif, semuanya kembali pada individu untuk menyadari perihal konstruksi sosial yang berlaku. Referensi: Ngangi, C, R. 2011. Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial. ASE. 7(2):1-4



Tipsen Edisi #20


Tipsen Edisi #20



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.