Lentera Di Tengah Samudra

Lentera di Tengah Samudra

C ATATA N P E R J A L A N A N 23 J I W A DI TANAH BAJAU

ISBN 978-623-297-006-9 PENANGGUNG JAWAB REDAKSI

Lembaga Kemahasiswaan ITB PENERBIT

Penerbit ITB PENGARANG

Tim EMPI ITB 2019 EDITOR

Tim EMPI ITB 2019

D ID UK UNG O L E H:

Lentera di Tengah Samudra C ATATA N P E R J A L A N A N 23 J I W A D I TA N A H B A J A U

Terima Kasih

Buku perjalanan ini merupakan persembahan dari ekspeditor untuk masyarakat Indonesia dan seluruh pihak yang telah membantu sehingga serangkaian kegiatan Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia ITB 2019 (EMPI ITB 2019) dapat terlaksana.

Ucapan terima kasih kami berikan untuk Lembaga Kemahasiswaan ITB (LK ITB), Bapak Sandro Mihradi selaku Kepala LK ITB dan Bapak Sony Suhandono selaku pembimbing. Di bawah bimbingan LK ITB, lahirlah EMPI ITB 2019 sebagai lanjutan dari Ekspedisi Nusantara Jaya ITB 2018 (ENJ ITB 2018). Di bawah bimbingan Bapak Sony Suhandono, tim ekspedisi terbentuk dan dipersiapkan untuk melakukan perjalanan ekspedisi ini.

Terima kasih kepada pihak sponsor, yaitu Ikatan Alumni ITB, Ikatan Alumni Jawa Barat ITB, dan Bank BJB yang memberikan dukungan secara moril dan materiil untuk melaksanakan pameran EMPI ITB 2019 pasca melakukan perjalanan ekspedisi ke Pulau Pagerungan Kecil. Terima kasih juga kepada seluruh donatur yang

berpartisipasi, terkhusus Bapak Abdul Hamid untuk dukungan materiil yang membantu perjalanan ekspedisi ini menjadi lebih baik.

Terima kasih kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Jawa Barat, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Jawa Timur, BASARNAS Surabaya, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sumenep, Polres Sumenep, Kodim Sumenep, Kepala Kecamatan Sapeken, Polsek Sapeken, dan Kepala Desa Pagerungan Kecil atas kemudahan perizinan ekspedisi sehingga kami sampai ke Pulau Pagerungan Kecil dan kembali dengan selamat.

Terima kasih kepada Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Ganesha ITB, Program Studi Oseanografi ITB, dan Bapak Sony Suhandono atas bantuan berupa peminjaman pelampung keselamatan yang digunakan selama ekspedisi ini.

Terima kasih kepada Mas Nizam dan kawan-kawan dari Sapeken yang sudah memberikan informasi mengenai transportasi, Kepulauan Kangean, dan juga sudah menyediakan tempat ting-

gal untuk bermalam di Sapeken. Terima kasih kepada Bapak Haji Hujen selaku Kepala Desa Pagerungan Kecil yang telah banyak memberikan informasi mengenai Pagerungan Kecil dan juga menyediakan tempat tinggal untuk kami selama berada di Pulau Pagerungan Kecil. Begitu pula kehadiran Bapak Yoyok dan Ibu Nur yang menemani tim kecil ekspeditor yang mengurus perizinan selama kami berada di Sumenep, Jawa Timur. Tak lupa, juga kami mengucapkan terima kasih untuk kehadiran dari Bimanda Dharma Sahara, yang menjadi base komunikasi Bandung sehingga menghubungkan kami para ekspeditor dengan orang tua dan pembimbing kami.

D O K U M E N TA S I

KONTRIBUTOR

I L U S T R AT O R D A N EDITOR FOTO

Tim Ekspeditor EMPI 2019

Satwika Ananda

Ari Rachman

Yunida Indira Cahyono

Muhammad Raihan Dzaky M

Irfans Maulana Firdaus

Iffat Iftikar

Alif Zaky Muhammad

Nayla Marhamah Sadidah

Sherine Angelica

Aulia Salsabella Suwarno

Galih Aditya Syailendra W

Ahmad Hidayatullah

Nadifa Adila

Ramadhita Umitaibatin

Baginda Yusuf Aditya Negara

Fatimah Syahidah Nusaibah

Putri Risa Fatmawati

Nissakim Puteri Salsabila

Naretta Veronica

Naqita Ramadhani

Nadhilah Mustikarini

Novita Eka Padmaningrum

Naretta Veronica

Bimandha Dharma Sahara TIM REDAKSI

Nissakim Puteri Salsabila Alif Zaky Muhammad

DESAIN:

@timuredesign

Grha Gandana Putra

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

1

Salam Redaksi

TIM REDAKSI

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Rahayu Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia (EMPI) merupakan program pengembangan dari Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) yang dinaungi oleh Lembaga Kemahasiswaan Institut Teknologi Bandung (LK ITB). Sebelumnya, selama tiga tahun berturut-turut, ITB mengikuti program Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI, bersama dengan belasan perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

EMPI menjadi salah satu wadah kegiatan mahasiswa untuk lebih mengenal negerinya sendiri, juga untuk mengenali diri sendiri.

EMPI menjadi kesempatan mahasiswa untuk belajar dan memberikan solusi terhadap permasalahan di masyarakat. Adapun tim EMPI 2019 terbentuk sejak 27 Maret 2019 dan berangkat ekspedisi pada 10 Juli hingga 3 Agustus 2019, di Pulau Pagerungan Kecil, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Buku “Lentera di Tengah Samudra” berisi temuan-temuan dan catatan perjalanan oleh 23 ekspeditor EMPI, menceritakan setiap sudut Pulau Pagerungan Kecil. Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi lima bab. BAB I berisi tentang gambaran umum dari Pulau Pagerungan Kecil, BAB II berkisah tentang perjalanan yang

kami lalui hingga tiba di Pagerungan Kecil, BAB III menceritakan temuan kami mengenai Pagerungan Kecil dari satu sudut pandang.

Pada saat di Pagerungan Kecil, 23 ekspeditor dibagi menjadi delapan kelompok pergerakan untuk mempelajari sisi tertentu pulau, hasil temuan kelompok ini ditulis pada BAB IV. Terakhir, BAB V menuangkan hasil kontemplasi dari ekspeditor yang lebih fokus pada pola pikir dari sudut pandangnya, sekaligus menjadi akhir dari buku ini.

Kuasa Tuhan menjadi hal yang krusial karena kami tidak akan mampu menyelesaikan perjalanan ini dari awal hingga akhir tanpa-Nya, ditambah lagi panjatan doa dari orang-orang yang menyayangi kami, keluarga, pembimbing, sahabat, dan kolega.

Tanpa dukungan mereka, kami bukan siapa-siapa. Kami harap orang-orang yang telah melakukan perjalanan tidak berhenti di sini, akan terus berbagi, dan tetap melakukan perjalanan untuk mengabdi pada Indonesia dengan seninya masing-masing.

Semoga pelajaran yang kami dapat tidak berhenti di sini, tetapi mampu menggerakkan hati setiap insan yang membaca untuk terus belajar dan melakukan perjalanan.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Shalom, Om Santi Santi Santi Om, Namo Buddhaya, Rahayu

2

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Kata Pengantar

OLEH DR. ENG. SANDRO MIHRADI (KETUA LEMBAGA KEMAHASISWAAN ITB)

Alhamdulillahirabbil’alamin Segala puji dan syukur kita panjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat-Nya kepada kita semua. Atas kesempatan dari Allah SWT, Institut Teknologi Bandung dapat mendorong dan memfasilitasi mahasiswa kami untuk hidup bersama masyarakat pesisir dalam program Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia (EMPI) 2019. Pada bulan Agustus 2019 lalu, ITB berkesempatan mengirimkan 23 mahasiswanya ke Desa Pagerungan Kecil, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Dengan semangat tinggi, mereka berangkat melakukan ekspedisi, menyapa penduduk, dan menyatu dengan alam pesisir. Dari kehidupannya selama kurang lebih 3 minggu di suatu pulau, mereka menggali informasi, memupuk harapan, dan menyimpan pengalaman berharga untuk kelak menjadi bekal agar mereka tahu bagaimana cara membangun negerinya sendiri.

Buku ini hanyalah satu dari sekian banyak oleh-oleh yang dibawa kembali oleh para ekspeditor EMPI 2019. Melalui kata dan gambar, buku ini bercerita tentang betapa unik dan beragamnya budaya yang dimiliki oleh bangsa ini, bahkan di pulau yang sebenarnya masih bagian dari Pulau Jawa. Buku ini adalah bukti nyata bahwa sejatinya mahasiswa kami telah banyak menerima dari para penduduk di Pulau Pagerungan Kecil. Mereka menerima berbagai pembelajaran kehidupan tentang mendengar, memahami, serta berkolaborasi bersama masyarakat pesisir yang tentu menjadi pengalaman hidup yang tak ternilai harganya. Pada akhirnya, kami berharap dengan diterbitkannya buku ini, semakin banyak anak negeri yang terbuka mata dan hatinya agar bersemangat membangun negerinya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

3

OLEH DR. SONY SUHANDONO ( S E K R E TA R I S B I D A N G N O N K U R I K U L E R D A N K E M A S YA R A K ATA N , LEMBAGA KEMAHASISWAAN ITB)

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia (EMPI), yang digagas dan difasilitasi oleh Ditmawa ITB, merupakan upaya strategis untuk membangkitkan cinta tanah air serta pandangan realistis akan negara kita yang sangat besar ini. Tak hanya meningkatkan wawasan kebangsaan, para mahasiswa sebagai peserta diharapkan juga dapat belajar mengenai kehidupan dari masyarakat bangsanya sendiri, khususnya yang tinggal di daerah pesisir. Dari masyarakat pesisir yang jauh dari peradaban kota, diharapkan mahasiswa dapat belajar bagaimana melatih diri untuk memiliki sifat disiplin dalam mengatur kehidupannya di desa, di mana kebutuhan hidup tidak selalu tersedia setiap saat. Di samping itu, seperti halnya di kota, mahasiswa di harapkan juga mengembangkan sifat humble, simpati, dan komunikatif dengan warga setempat di mana kebiasaan dan pola pikir sangat berbeda dengan di kampus.

Sementara itu, diharapkan bagi masyarakat pesisir setidaknya akan memiliki memiliki ikatan batin dengan para mahasiswa ini.

Mereka bisa memulai bercita-cita untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-cucunya nanti. Sebab, tidak dimungki-

4

ri bahwa bagi penduduk wilayah terpencil, menyekolahkan anaknya ke tingkat universitas seolah tidak terpikirkan. Pasalnya, untuk menyekolahkan hingga sekolah lanjutan saja, menjadi hal yang cukup sulit bagi mereka. Adapun dengan tumbuhnya kenangan indah dan hubungan bathin yang dekat dengan masyarakat desa, diharapkan mahasiswa kelak akan menjadi pengambil keputusan yang memiliki skill dalam memahami situasi di daerah pembangunan, terutama karena mereka telah melihat secara langsung bagaimana karakter bangsanya.

Alhamdulillah, kami sebagai dosen koordinator EMPI 2019 serta pembimbing melihat ikatan batin antara penduduk dan peserta EMPI 2019 sangat tercipta. Kami mengucapkan selamat atas prestasi yang dicapai mahasiswa EMPI 2019. Terima kasih dan sekali lagi selamat atas diselesaikannya buku EMPI 2019. Semoga karya buku ini bisa memberikan referensi serta manfaat bagi masyarakat masa kini dan masa depan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Belajar untuk Mengenali

OLEH S AT W I K A A N A N D A ( K E T U A E M P I 2019)

Berbulan-bulan perencanaan, berminggu-minggu tinggal bersama, dan selama-lamanya kenangan takkan terlupa.

Perjalanan ini mungkin sebuah mimpi yang memberikan arti bagi kami, dari namanya saja sebuah ekspedisi tentunya memberikan banyak pelajaran yang belum kami ketahui.

Bersama 23 anggota Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia, kami memutuskan untuk menjelajahi salah satu pulau dari dua pulau kembar yang terletak di tengah-tengah wilayah laut Indonesia.

Pulau ini dikenal dengan nama Pagerungan Kecil. Diawali dengan perjalanan yang cukup rumit, melewati ganasnya lautan dengan kapal berukuran besar hingga hanya dengan perahu bermotor. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki dan jarak yang sangat jauh dari hiruk pikuk keramaian, siapa sangka kami mampu bertahan selama 20 hari.

Disini kami memilih untuk belajar. Belajar mengenali diri sendiri dan belajar mengenali masyarakat setempat. Kami berusaha untuk menyatu menjadi masyarakat setempat. Membuang jauh idealisme yang ada dan mencoba untuk hidup dalam realitas yang terpampang di depan mata.

Banyak hal yang dapat kami pelajari, mulai dari keramahan

warganya, toleransi, hingga aktivitas sehari-hari warga. Semua kami ikuti meskipun tidak bisa dalam jangka panjang. Meskipun membawa beberapa rencana dari kota, kami tetap berupaya untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Di sini, kami percaya tidak ada yang lebih mengenal kondisinya selain masyarakat itu sendiri.

Nampaknya harapan kami terpenuhi, karena setelah kembali rasanya kami yang dididik. Banyak hal bermanfaat yang masih dirasakan dan membekas hingga detik ini. Mungkin, saat ini kami hanya bisa mengenali, tapi suatu saat nanti kita harus bisa untuk mendalami, mendalami peran kita sebagai masyarakat sesungguhnya.

Saya harap melalui buku ini kami dapat berbagi cerita ekspedisi kami bagi para pembaca sehingga dapat memberikan manfaat. Buku ini merupakan catatan dari rekan-rekan ekspeditor yang luar biasa selama melakukan perjalanan. Semoga dengan membaca buku ini, pandangan tentang Indonesia akan semakin luas dan menghasilkan ekspeditor-ekspeditor yang memiliki semangat tinggi untuk menjelajah.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

5

Pulau Pagerungan Kecil Pagerungan Kecil merupakan desa yang terdiri seluruh pulau sehingga istilah pulau dan desa merujuk pada subjek yang sama. Pulau yang memiliki dua zona waktu (WIB dan WITA) ini adalah satu dari gugusan pulau di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

1

3a 2

4

18

19

5

3b

17

20

6 7 3c

12 9

8 10

11

13 14 15

16

Peta oleh: Juniar Chandra & Ramadhita Umitaibatin.

6

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

KETERANGAN GAMBAR

1.

2.

3a, 3b, 3c.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Pantai Shenol Kebun Kelapa Dermaga Ponpes Al-Musyawirien SDN 2 Balai Desa Puskesmas Pasar Basecamp Penampungan Ikan

(Panah putih) Pulau Pagerungan Kecil.

11.

12.

13 .

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

Pembuatan Kapal Pinisi Ponpes Al-Barkah Tower Telekomunikasi SDN 1 Ponpes Nurunnubuwah Pantai Salaboh Pusat Kerajinan SDN 3 PLTS PLTD

Peta satelit: Google Map Imagery © 2020 CNES/ Airbus, Maxar Technologies.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

7

Daftar Isi

8

Salam Redaksi

2

Bumantara

58

Kata Pengantar

3

Dimulai dari Sampah

65

Infografis Pulau Pagerungan Kecil

6

Ikan Babalambang

69

Daftar Isi

8

Rawe

72

Bab I

10

Karya Kecil Pagerungan Kecil

75

Gambaran Umum

13

Tren Mabuk dengan Komix

78

Bab II

28

Petani Jagung

81

Jiwa Jelajah yang Sulit Dicari

30

Kelapa (Cocos nucifera): Tree of Life

83

Perjalanan Tim Advance

35

Air Sumur Kepercayaan

86

Keberangkatan

43

Pernikahan ala Pagerungan Kecil

89

Bab III

48

Makna Saloka Angura

92

Pagerungan Kecil yang Selalu Dirindukan

51

Mas Bahok dan Mitos Pagerungan Kecil

96

Secercah Cahaya untuk Pagerungan Kecil

54

Mitos dan Superstisi Masyarakat Lokal

98

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pesta Rakyat

100

Racauan Seorang Pendosa

158

Bab IV

108

Khasiat Tahlilan

16 0

Benda Antik dari Hewan Cantik

111

Bermalam di Sapeken

16 3

Kerajinan untuk Laut

115

Keramahtamahan Warga Setempat

16 6

Tanaman Obat

118

Bola Pagerungan Kecil

16 9

Daun Karuntigi: Dari Obat hingga Kosmetik

120

Makanan yang Tidak Biasa!

17 0

Kapal Borobudur

124

Catatan Komandan Operasional

17 3

Saloka Angura

127

Ku Takkan Melupakan Surga

17 5

Kehangatan Anak Kecil di Pagerungan Kecil

135

Suatu Saat Jika Kamu Ekspedisi

17 6

Suar Pendidikan Pagerungan Kecil

142

NABASTALA

17 7

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Pulau Pagerungan Kecil

147

Pulang untuk Kembali

17 9

Bab V

1 50

Pesan Kesan Ekspeditor EMPI 2019

185

Rayuan Pulau Kelapa

1 53

Kamus

19 2

Mendalami Arti Syukur

1 54

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

9

Bab I Lentera di Tengah Samudra

10

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

11

12

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Gambaran Umum

OLEH T I M E M P I 2019

GEOGRAFI

Rumah panggung

Desa Pagerungan Kecil hanya terdiri dari satu pulau dengan total luas 2.76 km², berada di ketinggian dengan rata-rata 0-2 mdpl dan maksimal 9 mdpl. Secara umum, Pagerungan Kecil merupakan pantai dan dataran rendah yang memiliki tipe vegetasi hutan hujan tropis. Namun kondisinya saat ini kebanyakan sudah dibuka untuk dijadikan pemukiman dan perkebunan. Di sisi utara pulau, merupakan wilayah yang secara luas dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa. Sisi barat pulau merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian pulau, di mana terdapat berbagai dermaga untuk melayani rute Sapeken-Pagerungan Kecil hingga BanyuwangiPagerungan Kecil. Bagian tengah pulau lebih banyak terdiri dari padang rumput dengan beberapa rumah di antaranya. Di sisi timur merupakan pantai yang lebih terjal dan terdapat beberapa dermaga dengan jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan sisi barat pulau yang digunakan masyarakat sekitar untuk menyeberang ke Pulau Pagerungan Besar. Di daerah ini juga terdapat hutan dengan vegetasi yang relatif lebih rapat jika dibandingkan dengan bagian pulau lainnya. Di daerah selatan terdapat garis pantai yang cukup panjang dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

13

Nelayan

SOSIAL KEPENDUDUKAN Berdasarkan Kecamatan Sapeken Dalam Angka 2017, jumlah penduduk di Pulau Pagerungan Kecil sebesar 6.696 jiwa dengan jumlah laki-laki sebesar 3.325 jiwa dan perempuan sebesar 3.371 jiwa. Seluruh penduduk Pulau Pagerungan Kecil beragama Islam sehingga tidak mengherankan jika tidak ada satupun sarana peribadatan selain masjid yang dapat ditemukan di pulau ini.

Sebagai wilayah pesisir, Pulau Pagerungan Kecil didominasi oleh penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Penduduk dengan profesi lainnya pun kebanyakan memiliki pekerjaan sampingan sebagai nelayan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Mayoritas nelayan di Pulau Pagerungan Kecil mencari ikan dengan pera-

14

hu motor tempel. Namun demikian, ada juga beberapa nelayan yang mencari ikan dengan perahu-perahu kecil tak bermotor.

Nelayan-nelayan tersebut pada umumnya hanya mendapatkan ikan dalam jumlah kecil.

Masyarakat di Pulau Pagerungan Kecil pada umumnya berasal dari suku Bajau, Bugis, dan Mandar. Oleh sebab itu, mayoritas masyarakat Pagerungan Kecil tidak pandai berbahasa Indonesia maupun berbahasa Madura. Bahasa yang umum digunakan di Pagerungan Kecil adalah Bahasa Bajau. Wilayah Pagerungan Kecil dan sekitarnya memang pada mulanya ditinggali oleh masyarakat Bajau, Bugis, dan Mandar yang terkenal sebagai nelayan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pengeringan ikan Babalambang.

Berdasarkan hasil wawancara masyarakat sekitar, penduduk Pagerungan Kecil pada umumnya masih memiliki hubungan keluarga. Penduduk Pagerungan Kecil memang cenderung banyak yang menetap secara turun-temurun dan hanya sedikit yang merantau khususnya ke luar Kecamatan Sapeken. Penduduk Pagerungan Kecil pada umumnya hanya berpindah tempat tinggal ke pulau-pulau sekitarnya seperti Pulau Pagerungan Besar, Pulau Sepanjang, dan Pulau Sakala.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

15

SARANA DAN PRASARANA Tidak banyak sarana dan prasarana yang dapat ditemukan di Pulau Pagerungan Kecil. Pulau Pagerungan Kecil hanya memiliki sarana peribadatan berupa beberapa masjid, puskesmas pembantu, pasar, kantor desa, dan beberapa kantor pemerintahan lainnya.

Pasar yang ada di Pulau Pagerungan Kecil hanya satu jumlahnya dan berlokasi di dekat dermaga barat. Pasar tersebut terbilang mudah untuk diakses karena letaknya persis berada di pinggir jalan. Pasar tersebut terdiri atas 3-4 kios yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil observasi, kios-kios tersebut dalam kondisi bersih dan buka pada pagi hingga sore hari.

Terdapat tiga buah sekolah dasar negeri di Pulau Pagerungan Kecil, yaitu SDN Pagerungan Kecil I, SDN Pagerungan Kecil II, dan SDN Pagerungan Kecil III. SDN Pagerungan Kecil II dapat dikatakan paling baik kondisinya karena telah mengalami renovasi pada tahun 2009. Terdapat satu buah perpustakaan di SDN Pagerungan Kecil II yang baru dibangun pada tahun 2018. Perpustakaan tersebut baru memiliki sedikit buku dan belum memiliki karpet ataupun kursi dan meja. Berbeda dengan SDN Pagerungan Kecil II, bangunan SDN Pagerungan Kecil I dan SDN Pagerungan Kecil III merupakan bangunan lama namun masih dalam kondisi baik. Pada tahun 2018, terdapat penambahan dua ruang kelas baru di SDN Pagerungan Kecil I yang mulai digunakan pada Januari 2019. Bangku yang digunakan di ruang kelas baru dapat dikatakan baik, berbeda kondisinya dengan bangku-bangku di ruang kelas lama yang beberapa di antaranya mengalami kerusakan.

Pulau Pagerungan Kecil memiliki satu buah puskesmas pembantu (pustu) yang buka pada hari Senin hingga Sabtu pukul 08.0012.00. Fasilitas puskesmas tersebut terbilang minim dan tidak ada UGD sehingga pustu tersebut sering merujuk ke puskesmas di Sapeken. Akan tetapi, kebanyakan warga tidak mau dirujuk karena masalah ekonomi. Meskipun prosedur rujukan tidak terlalu rumit seperti di kota, akomodasi kapal ke Sapeken apabila tidak dapat ditangani dengan perahu desa harus menggunakan biaya sendiri dan cukup mahal. Di belakang pustu, terdapat satu buah tempat pembuangan sampah yang kondisinya kurang baik.

Tak jauh dari pustu, terdapat kantor desa yang lokasinya persis di seberang lapangan desa. Kantor desa tersebut buka setiap hari kerja meskipun berdasarkan hasil observasi, kantor desa tersebut rupanya jarang dikunjungi. Kondisi bangunan terbilang cukup baik namun tidak banyak fasilitas yang dimiliki kantor desa tersebut.

Kantor Desa Pagerungan Kecil sering digunakan sebagai tempat berkumpul warga misalnya untuk melakukan musyawarah.

(Atas) SDN 3 Pagerungan Kecil.

(Tengah) Madrasah Ibtidaiyah Al-Barkah Pagerungan Kecil.

(Bawah) Mushola di sisi Timur Pagerungan Kecil.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

17

Memperbaiki jaring.

18

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

T E K N O LO G I LO K A L Sebagai masyarakat yang tinggal dalam sebuah pulau, tentunya sebagian besar mata pencaharian penduduk Pulau Pagerungan Kecil adalah sebagai nelayan. Dalam menangkap ikan, beberapa teknik digunakan oleh masyarakat Pulau Pagerungan Kecil.

Di antaranya adalah sebagai berikut: a. Tambak Selain menggantungkan hidup dengan mencari ikan di perairan lepas, masyarakat Pagerungan Kecil juga sudah memulai budidaya ikan menggunakan keramba yang terletak 150-850 meter dari bibir pantai. Beberapa komoditas yang dibudidayakan di pulau ini adalah ikan kerapu dan teripang. Ikan kerapu banyak dibudidayakan di bagian barat pulau, sementara teripang yang banyak dibudidayakan di bagian timur pulau. Budidaya teripang dilakukan dengan memasang kandang dari kayu yang membatasi suatu wilayah di dekat bibir pantai. Budidaya dilakukan tanpa pemeliharaan dan pengawasan yang rutin, yang berarti teripang dibiarkan tumbuh dalam lingkungan alaminya. Kandang ini dipasang hanya untuk membatasi ruang gerak teripang sehingga mudah ditangkap. Sementara itu, budidaya ikan kerapu sudah tidak dilakukan sehingga hanya menyisakan keramba kosong di bagian barat. Kendala budidaya ikan kerapu bagi warga Pagerungan Kecil adalah mahalnya modal dan sulitnya akses sumber daya. Salah satu contohnya adalah sulitnya memberi ikan makan ikan kerapu pada musim tertentu sehingga menghambat aktivitas budidaya.

b. Tangle nets Tangle nets adalah jaring lurus yang dipasang di dasar laut untuk menangkap ikan demersal atau ikan yang hidup di dasar lautan. Jenis alat tangkap ini biasanya digunakan oleh masyarakat Pagerungan Kecil untuk menangkap ikan pari yang banyak ditemukan di perairan antara Pulau Pagerungan Kecil dan Pulau Saredeng Besar. Tangle nets berbentuk memanjang dan ukurannya dapat mencapai 40 depa. c. Rawai Rawai atau biasa disebut masyarakat Pagerungan Kecil rawe adalah salah satu tipe alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan pelagis besar. Alat ini terdiri atas beberapa mata pancing yang terikat pada satu tali panjang yang dikaitkan dengan pelampung. Penggunaan rawai oleh masyarakat Pagerungan Kecil sendiri biasanya hanya digunakan untuk menangkap ikan hiu, yang merupakan salah satu komoditas unggulan untuk diambil siripnya dan dijual ke Banyuwangi atau tengkulak-tengkulak di sekitar pulau. d. Pancing Pancing adalah alat tangkap yang paling konvensional.

Masyarakat Pagerungan Kecil kerap menggunakan pancing untuk menangkap ikan karnivora kecil seperti kerapu, kakap merah, angoli, serta ikan lokal lainnya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

19

T R A N S P O R TA S I Transportasi asli Pagerungan Kecil adalah perahu kayu yang disebut Pinisi. Perahu ini merupakan perahu layar dengan bentuk layar seperti segitiga terbalik. Perahu ini juga memiliki penyeimbang berupa kayu atau pipa di samping kanan atau kiri atau keduanya.

Adanya penyeimbang ini membuat perahu ini sering disebut masyarakat sebagai “tiga roda”.

P E R TA N I A N Berdasarkan hasil pengamatan dan informasi yang diperoleh dari warga sekitar, pertanian yang dilakukan di Pulau Pagerungan Kecil cenderung ke arah pertanian kering dengan komoditas pangan yang ditanam berupa kelapa, singkong, pisang, bengkoang dan jagung. Masyarakat tidak menanam sayuran hijau dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak cocok dengan pertumbuhan sayuran hijau seperti suhu yang terlalu tinggi, media tanam berpasir yang tidak menahan air dengan baik sehingga tanaman cenderung mudah kering karena kekurangan air. Tanaman tadi juga tidak ditanam pada musim kemarau dikarenakan akan terjadi kekurangan air. Untuk pengairan sendiri dilakukan secara manual dari sumur warga.

Masyarakat Pagerungan Kecil sama sekali tidak menggunakan pupuk dalam pengolahan lahan pertaniannya. Pengolahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah dengan pem-

20

bakaran lahan sebelum melakukan penanaman. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gulma pada lahan dengan cara yang cepat.

Namun, pembakaran lahan memiliki dampak buruk. Beberapa di antaranya adalah pencemaran udara, merusak tanaman lain selain gulma, dan meningkatkan suhu tanah sehingga banyak mikroba tanah yang mati.

Tanaman kelapa menjadi komoditas unggulan di Pulau Pagerungan Kecil. Pohon kelapa mudah ditemui di setiap sudut pulau dan dapat dipanen setiap harinya. Harga kelapa di Pulau Pagerungan Kecil sangat murah, biasa dijual seharga dua hingga empat ribu rupiah ke pulau tetangga atau Pulau Jawa. Selain dijual langsung, penduduk sekitar juga biasa mengolah kelapa menjadi minyak kelapa untuk keperluan memasak sehari- hari. Selain diolah menjadi minyak kelapa, hasil panen kelapa diolah menjadi Virgin Coconut Oil (VCO) oleh salah satu ustad di Pesantren AlBarkah dibantu oleh santri-santri pondok pesantren. Virgin Coconut Oil yang dibuat tanpa proses pemanasan sama sekali sehingga kandungan penting dalam minyak dapat dipertahankan. Virgin Coconut Oil dari Pulau Pagerungan Kecil biasa dijual ke Pulau Jawa dan Madura dan pengirimannya menggunakan kapal.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pembuatan kapal Pinisi.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

21

22

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Bidara Karansia

K E A N E K A R A G A M A N H AYAT I a. Flora Pulau Pagerungan Kecil memiliki banyak spesies tanaman obat yang memiliki berbagai khasiat untuk menyembuhkan penyakit. Beberapa diantaranya ialah daun beluntas (Pluchea indica) yang dapat mengobati nyeri pinggang, rematik, dan bau badan. Selain itu, ada pula daun dan akar bunga pukul delapan (Turnera ulmifolia) yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan, bengkak karena memar, dan rematik sendi. Ada pula tanaman belimbing wuluh (Averrhoa blimbi) yang memiliki berbagai khasiat, seperti bunganya yang dapat digunakan sebagai obat batuk, obat pegal linu, darah tinggi, dan sakit gigi. Daun jarak pagar (Jatropha curcas Linn) merupakan tanaman semak yang dapat hidup di lingkungan kering dan bermanfaat sebagai obat untuk luka bakar, penyakit kulit, diare, dan demam. Kemudian, terdapat tumbuhan karuntigi (Lawsonia inermis L) atau dikenal sebagai kuku

pacar yang berkhasiat sebagai obat penyembuh luka kulit dan telah terbukti sebagai antibakteri. Tanaman tembelek (Lantana camara) merupakan tumbuhan liar yang hidup pada tempat terbuka yang terkena sinar matahari. Biasanya daun digunakan sebagai penangkal serangga dan akarnya berkhasiat sebagai pereda demam, penawar racun, mengobati Tuberkulosis kelenjar, dan menghentikan pendarahan. Selain itu, bunga tembelek berkhasiat mengatasi Tuberkulosis paru-paru dengan batuk darah dan sesak nafas. Daun katuk (Sauropus androgumus) dikenal masyarakat untuk melancarkan air susu ibu (ASI) dan sebagai sumber gizi yang baik dikonsumsi. Selain tanaman obat-obatan, terdapat pula tanaman kapas (Gossypium sp.), cemara Laut (Casuarina equisetifolia), bidara (Ziziphus mauritiana), beberapa jenis alga dan lamun.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

23

24

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Bintang Laut Tanduk

Bintang Laut Biru

(Kiri atas) Porifera (Kiri bawah) Penyu Sisik

b. Fauna Pulau Pagerungan Kecil memiliki fauna laut yang cenderung beragam, terutama ikan terumbu karang yang banyak didominasi oleh famili Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, dan Chaetodontidae. Dari famili Pomacentridae terdapat ikan badut (Amphiprioninae sp.), ikan betok belang (Abudefduf sp.), Chrysiptera sp., Stegastes sp., Chromis sp., Pomacentrus sp. dan masih banyak lagi.

Selain itu, juga terdapat penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Penyu Hijau sendiri biasa dikonsumsi oleh masyarakat sekitar, sedangkan penyu sisik tidak dikonsumsi dikarenakan rasanya yang pahit dan hanya dimanfaatkan cangkangnya sebagai aksesoris. Terdapat pula peliharaan berupa ayam kate (Gallus gallus) yang memiliki perawakan kecil, suara merdu, serta bulu dan jengger yang indah.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

25

K E S E H ATA N D A N L I N G K U N G A N Pelayanan Kesehatan Medis di Pagerungan Kecil terdiri dari satu puskesmas pembantu, dua pondok bersalin desa (polindes), satu pos kesehatan desa (poskesdes), tiga orang bidan dan satu orang mantri. Adapun fasilitas kesehatan pada puskesmas pembantu terbatas pada alat ukur non-elektronik dasar yang terdiri dari stetoskop, timbangan, kasur, jarum suntik, dan tensimeter. Tidak ada dokter tetap dalam puskesmas tersebut. Bantuan dokter hanya datang seminggu sekali dan berasal dari Pulau Sapeken. Apabila terdapat penyakit pasien yang sekiranya tidak mampu ditangani oleh tenaga medis di Pagerungan Kecil, maka pasien akan dibawa ke puskesmas Sapeken. Apabila puskesmas Sapeken tidak dapat mengatasi penyakit yang diderita, maka akan dirujuk ke rumah sakit terdekat yang berada di Banyuwangi atau Bali. Meskipun

26

Pagerungan Kecil secara administratif masuk wilayah Kabupaten Sumenep, rumah sakit di Sumenep jaraknya lebih jauh daripada rumah sakit di Bali dan Banyuwangi. Inilah sebabnya warga Pagerungan yang sakit tidak dirujuk ke rumah sakit di Sumenep melainkan ke Bali atau Banyuwangi. Adapun mekanisme transportasi pasien menuju rumah sakit adalah menggunakan kapal motor atau menumpang kapal barang milik nelayan yang hendak menuju Banyuwangi atau Bali untuk berdagang. Sebagaimana diketahui, kapal barang tidak memiliki tempat duduk khusus penumpang atau tempat tidur seperti layaknya kapal feri. Mereka tidur di atas alas kayu, terhembus angin karena kapal yang tidak tertutup, dan terombang-ambing dengan gaya yang cukup besar karena keseimbangannya belum sebaik kapal feri. Meskipun terdapat bandar

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

udara di Pulau Pagerungan Besar, hal ini bukanlah menjadi opsi karena penumpang dari pesawat itu adalah hanya yang berkepentingan dari perusahaan PT. Kangean Energy.

Berkaitan dengan kelahiran anak, masyarakat memiliki dua pilihan yaitu dengan melahirkan melalui bantuan tenaga medis (bidan), atau dengan dukun bayi. Jumlah kelahiran anak di Pagerungan Kecil melalui bidan selalu melebihi target minimal kelahiran anak yang ditetapkan oleh bidan Kecamatan Sapeken. Target tahunan kelahiran anak yang diatasi oleh bidan Pagerungan Kecil adalah 55 bayi/tahun. Meskipun kelahiran anak yang diatasi oleh bidan melebihi target, hal ini tidak dicatat dalam pembukuan kebidanan yang akan dikirimkan ke Badan Pusat Statistik maupun ke bidan pusat di Sapeken. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpercayaan bidan pusat kepada bidan Pagerungan Kecil karena dirasa masyarakat pulau ini tidak semaju itu untuk menyadari pentingnya kelahiran bersama bidan. Penyebab lainnya, jika melebihi target, akan menimbulkan lebih banyak penjelasan dalam pelaporan administratif yang dianggap merepotkan. Adapun proses pencatatan yang dilakukan di pulau ini masih manual di dalam logbook.

Konversi dari bentuk tertulis ke digital biasanya dilakukan oleh pusat.

Kasus yang paling sering terjadi dalam kehamilan ibu-ibu Pagerungan Kecil adalah BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Frekuensi maupun data statistik tidak dapat kami dapatkan karena ketidaksediaan dari bidan Pagerungan Kecil untuk memberikan kami izin mendokumentasikan data tersebut. Selain itu, jika saat pemeriksaan pasien bidan merasa tidak bisa mengatasi masalah tersebut, pasien akan segera dirujuk ke puskesmas Sapeken supaya melahirkan di sana. Hal ini disebabkan karena peralatan medis untuk

membantu ibu melahirkan hanyalah untuk kasus kelahiran normal.

Jumlah bayi yang meninggal saat lahir sejauh ini adalah delapan bayi (selama bidan bekerja di Pagerungan Kecil).

Selain melakukan persalinan melalui bidan, dukun bayi masih menjadi alternatif warga karena biayanya lebih murah. Namun, dukun bayi sudah bekerjasama dengan bidan sehingga jika ada yang lahir melalui dukun bayi, dukun bayi tersebut harus melapor ke bidan agar kelahiran bayi tetap tercatat dalam dokumen. Untuk proses persalinan oleh bidan biasanya diadakan di polindes. Artinya, polindes hanya buka jika terdapat orang yang hendak bersalin.

Ibu-ibu yang melakukan pemeriksaan rutin tidak menuju ke puskesmas atau polindes, melainkan langsung ke rumah bidan. Hal ini mengingat jarak tempuh untuk ke bidan lebih dekat dan bidan memiliki pekerjaan lain di samping menjadi tenaga medis.

Sistem Keluarga Berencana (KB) sudah ada di Pagerungan Kecil namun dengan pendekatan yang berbeda. Mengingat keadaan Pagerungan Kecil yang cukup agamis, stigma negatif tentang KB melekat di sana. Masih ada segelintir orang yang tidak mengizinkan istrinya untuk melakukan KB sehingga beberapa ibu memilih untuk melakukan KB di luar pengetahuan suaminya.

Lembaga perwakilan KB (yang berasal dari Sapeken namun tinggal di Pagerungan Kecil) tidak memberikan penyuluhan pada umumnya, melainkan melalui pendekatan rasa iba dari ibu jika jarak kelahiran anaknya terlalu dekat. Adapun cara KB yang dilakukan adalah dengan menggunakan pil dan suntik. Metode spiral belum diperlakukan mengingat ketiadaan teknologi yang memadai untuk teknik tersebut. Sejauh ini lembaga KB juga menjadi sumber konsultasi bagi para ibu-ibu yang ingin merencanakan kelahiran anak.

Tenaga kesehatan di puskemas pembantu.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

27

Bab II Perjalanan Dimulai

28

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI NUSANTARA JAYA 2018

29

Jiwa Jelajah yang Sulit Dicari OLEH ALIF ZAKY MUHAMMAD ( M S ’ 1 6)

Pada awalnya, tiga orang yang masih dalam proses belajar dan banyak berpikir, diberi amanah untuk melaksanakan ekspedisi dari LK ITB yang namanya bukan lagi Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ).

Mereka adalah Bella, Be A, dan Putri, mahasiswa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Dengan adanya diskusi dengan Pak Sony, kami memutuskan untuk mengadakan seleksi yang tentunya mencari teman satu juang dalam perjalanan. Kami sepakat untuk mencari 22 mahasiswa ITB sebagai kawan seperjalanan.

Kami bertiga bisa disebut sebagai formatur Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia (EMPI), karena kami yang membuat nama tersebut untuk menggantikan nama ENJ. Oleh karena itu, kami jugalah yang mengurus proses seleksi. Proses seleksi dilakukan melalui pendaftaran formulir yang diseleksi secara subjektif, karena kami mencari teman yang cocok dalam perjalanan. Kemudian, dilanjutkan dengan seleksi wawancara. Pada akhirnya, kami bertiga menerima 22 orang untuk belajar bersama.

Awal bertemu, seluruh 24 temanku tentunya masih canggung karena mayoritas memang baru saling mengenal. Baik cita-cita, interest, hingga kemampuan kami pun jelas berbeda-beda. Namun, segala perbedaan itu tidak menjadi halangan kami dalam merencanakan ekspedisi ini. Perbedaanlah yang menyatukan kami, untuk saling melengkapi peran dan mengkritisi pendapat satu sama lain. Hingga akhirnya, satu tim telah memiliki satu visi dan tujuan, serta setiap orang memiliki tugasnya masing-masing. Aku pun sempat digadang-gadang menjadi ketua, tapi dari diriku sendiri tidak menyanggupi. Akhirnya aku pun didapuk menjadi Komandan Operasional, sang pemimpin di lapangan.

30

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Kelas Persiapan

Mungkin banyak orang yang ingin melaksanakan suatu perjalanan yang bermanfaat dengan destinasi masih di Indonesia.

Adapula yang senang menjadi pribadi pembelajar dengan melihat langsung realita di jalanan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan masih banyak yang takut jika perjalanannya tidak terjadi karena tidak paham apa saja yang perlu disiapkan, kekurangan dana, atau tidak bisa bekerja sama. Itulah yang bisa jadi aku sebut dengan ‘Jiwa Jelajah yang Sulit Dicari’. Dalam melaksanakan suatu ekspedisi, kita tidak bisa hanya sekadar jalan-jalan. Tentunya sang ekspeditor perlu memiliki tim, dengan jumlah anggota disesuaikan dengan kebutuhan, yang memiliki visi bersama yang kuat dan ditanamkan dalam setiap langkah pra-perjalanan hingga pascaperjalanan. Sebagai ekspeditor, perlu diketahui adanya proses persiapan yang memakan waktu lebih lama dari ekspedisi itu sendiri. Hal ini meliputi perencanaan konsep, teknis, fisik, hingga keuangan. Lama persiapan, kegiatan yang akan dilakukan selama di lapangan, serta keluaran yang akan dihasilkan pun harus ditentu-

kan secara matang. Hal ini menjadi nilai jual untuk dijadikan promosi kegiatan kepada orang umum. Jika beruntung, orang umum akan memberikan sumbangan pendukung untuk memperlancar keuangan ekspedisi.

Rasa ingin menjelajah memang sulit dicari, tetapi tentunya dapat diasah untuk menjadi penjelajah yang memiliki semangat mengarungi segala sudut Indonesia. Hal ini ditunjukkan temantemanku yang dengan disiplin mengikuti kelas dalam persiapan materi dan ilmu ekspedisi. Kami pun bersama-sama belajar tentang masyarakat, cara berpikir mencari solusi, ilmu jurnalistik, dan ilmu pembentukan tim. Namun, di tengah jalan kami mendapatkan kabar buruk dengan gugurnya 3 teman kami karena urusan keluarga dan akademik. Oleh karena itu, kami mencari orang yang paham mengenai penyuntingan video dan foto untuk mengisi kekurangan anggota di bagian tugas tersebut. Proses seleksi ini dilakukan dengan cara tertutup, di mana hal ini di luar perkiraan tim formatur. Secara teknis, aku yang bertanggung jawab penuh

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

31

(Atas) Simulasi Social Mapping.

(Bawah) Simulasi di Desa Ponggang.

32

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Upacara pelepasan EMPI.

di lapangan. Aku pula yang membentuk tim operasional yang berisi penanggung jawab transportasi, perizinan, komunikasi, akomodasi, dokumentasi, perbekalan, peralatan, medik, dan program.

Masa persiapan merupakan masa yang cukup sulit karena harus mencari waktu untuk jadwal kumpul yang sama sehingga dapat dihadiri banyak ekspeditor. Hal ini berlaku dalam pembentukan rencana perjalanan dan kelas persiapan. Dengan bertatap muka, pastinya semua komunikasi akan lebih lancar dilaksanakan.

Sifat asli dari masing-masing orang masih belum banyak yang terdeteksi pada masa persiapan, tertutupi oleh rasa malu-malu.

Percayalah hal ini pasti terjadi dalam tim yang baru saja saling mengenal.

Saat hari keberangkatan telah dekat, kami melaksanakan simulasi ekspedisi di Desa Ponggang, Kabupaten Subang. Hal ini dilakukan untuk mengimplementasikan ilmu yang didapat di kelas secara nyata di lapangan sebelum turun di ekspedisi yang sebenarnya. Saat simulasi, kesabaran kami pun mulai diuji karena dengan berinteraksi satu sama lain, lambat laun sifat asli masing-masing ekspeditor mulai mucul. Setelah melaksanakan simulasi, yang kami lakukan adalah melaksanakan upacara keberangkatan sebagai bentuk terima kasih kepada orang tua anggota tim dan para dosen yang telah membina ekspeditor hingga siap melakukan kegiatan yang tidak biasa di kampus.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

33

34

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Perjalanan Tim Advance

OLEH S AT W I K A A N A N D A ( G L’ 17), P U T R I R I S A FAT M A W AT I ( B I ’ 17), R A M A D H I TA U M I TA I B AT I N ( E B ’ 17), N A Q I TA R A M A D H A N I ( E P ’ 17)

Di dalam kereta.

Tim Advance, sebuah tim kecil yang berisi empat orang dengan segala keunikannya. Dhani, orang hebat yang mampu menahan beban berat dengan segala kerecehan dan kesabarannya. Kalau kamu berada di dekatnya, akan terasa aura bapakbapak Whatsapp. Putri, orang yang super baik dan mau melakukan segala hal meskipun kadang merasa terpaksa dan banyak mengeluh. Rama, manusia super yang mampu melipat kaki ke belakang kepala (literally), orang yang selalu terencana dan bisa memikirkan segala hal secara terstruktur. Wika, sosok bapak yang paling terlihat kalem, bijak, dan dapat menenangkan semua anggota. Sebenarnya ia beberapa kali terlihat panik. Namun air mukanya selalu terlihat kalem dan seakan mengatakan “everything is ok bro”.

Sebuah perjalanan yang tidak pernah terduga sebelumnya.

Perjalanan yang didorong supaya perizinan lebih efektif. Perjalanan yang cukup dadakan karena maju satu hari dari rencana keberangkatan awal akibat tidak mendapat tiket kereta yang sesuai dengan jadwal. Akan tetapi, perjalanan ini penuh dengan kenangan karena banyak momen yang takkan terlupakan. Perjalanan terkeren yang pernah ada dengan segala kesederhanaan kami. Momen yang akan selalu teringat. Mulai dari Wika yang pertama kali naik kereta, mengurus perizinan bersama di Surabaya, menyeberang laut ke Pulau Sembilan sambil menunggu tim utama, dan yang terpenting menyadari bahwa adanya relasi itu sangat penting.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

35

Tim advance sampai di Pulau Madura (Difoto dari dalam bus).

Perjalanan kami dimulai pada pukul 04.00 WIB di hari Selasa, 9 Juli 2019. Kami berempat berjalan kaki dari rumah Etta yang sebelumnya menjadi basecamp menuju Stasiun Kiaracondong.

Jalanan yang lengang serta dinginnya Kota Bandung menemani kami pagi itu. Setibanya di stasiun, kami disambut oleh anggota tim yang lain: Bella, Dhila, Vivi, Etta, Galih, dan Mas Bima (komunikasi Bandung). Rupanya mereka melepas kepergian kami yang menuju Surabaya menggunakan kereta Pasundan. Perjalanan selama 16 jam duduk di kursi kereta yang tegak 90 derajat berhadapan tanpa sekat yang tentunya menimbulkan pengalaman tak terlupakan bagi kami. Perlu jiwa yang kuat menahan keluh kesah untuk menikmati perjalanan di kereta ini. Akhirnya, untuk mengisi kebosanan kami di kereta, kami banyak bercerita, terkadang tidur, dan sesekali berjalan-jalan di dalam gerbong kereta untuk melemaskan badan kami yang pegal-pegal. Tibalah kami menginjakkan kaki di kota Surabaya, tepatnya di Stasiun Gubeng pada pukul 22.00 WIB. Kami langsung menuju tempat penginapan masing-masing untuk beristirahat dan menyiapkan diri untuk perjalanan esok hari.

Esok harinya, hari Rabu, 10 Juli 2019. Kami terbagi menjadi dua tim dengan destinasi perizinan yang berbeda. Sedari pagi Putri dan Rama sudah bersiap untuk mengurus perizinan ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Timur. Sepanjang

36

perjalanan menggunakan taksi online, Putri mengamati jalanan dan bangunan-bangungan kota yang tertata sangat rapi, sejajar dengan teriknya matahari pagi di Kota Surabaya yang cukup membuatnya menggerutu sepanjang jalan. Rama lebih banyak mengajak bicara bapak-bapak yang mengantarkan perjalanan menggunakan Bahasa Jawa yang sama sekali tidak Putri mengerti. Sementara itu, Dhani dan Wika mengurus perizinan di BASARNAS Surabaya yang terletak di Sidoarjo. Hal ini cukup kontras karena mereka mengendarai sepeda motor melalui persawahan dan jalanan yang cukup sepi. Bahkan mereka sampai tersesat di antara perumahan warga dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam. Bagi Dhani dan Wika yang buta arah dan mengandalkan GPS saja, pengalaman tersesat di Surabaya menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Beruntungnya, perizinan dapat kami selesaikan pada hari itu juga. Dari sini kami baru tahu kalau mengurus penelitian apapun, termasuk skripsi, memang harus melewati Bakesbangpol dan hasil penelitiannya harus dikirim ke sana.

Masih di Surabaya, Putri, Wika dan Dhani menyempatkan untuk berjalan-jalan ke Monumen Kapal Selam setelah semua urusan selesai. Rama sendiri tinggal di penginapan karena ibunya datang berkunjung. Tidak banyak yang dilakukan di sana, melihatlihat kapal selam, mengambil foto, dan diakhiri dengan duduk santai di pinggiran sungai hingga bermain ayunan di sekitar mo-

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

numen tersebut. Setelah puas melihat-lihat kapal selam, kami memutuskan untuk makan malam dengan menu khas Kota Surabaya.

Namun, kami cukup lama berpikir untuk memilih di antara rawon setan, rujak cingur, dan bebek Sinjay. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk makan malam dengan menu bebek Sinjay. Ternyata, setelah diberi tahu oleh Rama di penginapan, bebek Sinjay yang asli terdapat di Bangkalan, Madura. Tetapi, bagi kami bertiga yang sudah kelaparan merasa enak-enak saja sih, hehe. Setelah perut kenyang, dilanjutkan dengan jalan-jalan malam mengelilingi kota. Udaranya lebih sejuk dan jalanan tidak sepadat pagi dan siang hari. Lampu-lampu di pinggir jalan, pedagang kaki lima serta taman-taman Kota Surabaya yang ramai memberikan kesan damai pada malam itu. Karena suasana itulah, menimbulkan kesan bahwa Surabaya adalah kota yang romantis dan akan selalu dirindukan.

Hari berganti menjadi hari Kamis, 11 Juli 2019, masih tiga hari menuju pertemuan dengan tim utama. Kami melanjutkan perjalanan ke Madura untuk mengurus izin, tepatnya di Kabupaten Sumenep. Kami berangkat menggunakan bus dari Terminal Purabaya, Surabaya. Dengan kondisi siang hari yang terik, bersamaan dengan hiruk pikuk Kota Surabaya, bus patas AKAS melaju menuju Pulau Madura dengan tujuan akhir Terminal Bus Sumenep.

Perjalanan ditempuh selama 5 jam melewati Jembatan Suramadu.

Bus penuh sesak sehingga kami berempat harus duduk terpisah satu sama lain. Tidak banyak kendaraan yang melintas, hanya saja hamparan persawahan, kebun jati dan juga ladang garam yang dipenuhi burung blekok sawah. Perjalanan ini diakhiri dengan pemandangan mentari terbenam berwarna merah dengan serabut jingga yang terlihat di atas tambak garam.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

37

(Atas) Masjid Agung Sumenep (Bawah) Mengisi waktu bersama di Alun-Alun Sumenep.

38

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Orang Tua Angkat Tim Advance Selama di Sumenep : Pak Yoyok (kiri) dan Bu Nur (Kanan).

Di Sumenep, kami menginap di rumah Pak Yoyok dan Bu Nur, yang merupakan kerabat dari Rama. Kami dijemput di Terminal Bus Sumenep oleh Pak Yoyok. Rupanya, rumah beliau sangat dekat lokasinya dengan terminal. Malam itu pun kami beristirahat untuk melepaskan penat perjalanan melintasi Pulau Madura. Keesokan harinya, kami berempat ditemani oleh Pak Yoyok melanjutkan perizinan ke Kodim Sumenep, Polres Sumenep, dan Bakesbangpol Sumenep. Karena perizinan di Bakesbangpol belum selesai, kami diajak oleh Pak Yoyok berkeliling Kota Sumenep dan berkunjung ke tempat bersejarah di Kota Sumenep, yaitu pemakaman Raja-raja Sumenep di Asta Tinggi. Malam harinya, dengan ditemani udara malam yang cukup sejuk, kami diajak Pak Yoyok, Bu Nur dan Shinta (putri dari Pak Yoyok dan Bu Nur) untuk mengunjungi Alun- Alun Sumenep. Alun-Alun ini berseberangan juga dengan Masjid Jami’ atau Masjid Agung Kota Sumenep yang awalnya akan menjadi tempat kami menginap di Sumenep. Di alun-alun, Putri dan Rama bermain ketapel terbang di tengah alun-alun. Sedangkan Dhani, Wika dan keluarga Pak Yoyok memakan kacang rebus sambil melihat Rama dan Putri bermain. Setelah puas bermain, kami mengobrol hingga akhirnya kami pulang ke rumah.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

39

Semua perizinan sudah kami tuntaskan sehari sebelum pertemuan dengan tim utama. Untuk mengisi waktu luang, Bu Nur mengajak kami ke Pulau Sembilan, salah satu pulau yang ada di Kabupaten Sumenep. Perjalanan dari rumah menuju penyeberangan ditempuh dalam waktu kurang lebih 20 menit. Seperti biasanya, kota ini memang cukup sepi, jalanannya tidak terlalu ramai seperti Kota Bandung. Dari penyebrangan untuk menuju pulau, kami menggunakan kapal kayu penumpang berukuran kecil dan ditempuh dengan waktu kurang lebih 30 menit. Pasirnya yang putih, angin sepoi-sepoi dan juga laut biru yang syahdu membuat kami terhenyak, sebenarnya Indonesia memiliki diversitas yang besar. Satu jam perjalanan dari rumah Bu Nur, kami sudah disuguhkan sesuatu hal yang baru dan berbeda dari tanah yang

40

kami pijak sebelumnya.

Minggu 14 Juli 2019, hari keberangkatan kapal menuju Sapeken pun tiba. Kami diantar oleh Pak Yoyok sekeluarga menuju Pelabuhan Kalianget. Di sana, kami bertemu dengan tim utama dan melanjutkan perjalanan dengan kesatuan tim yang utuh. Sebenarnya, tanpa bantuan Pak Yoyok dan Bu Nur, kami mungkin tidak bisa berangkat ke Pagerungan Kecil dikarenakan sistem ticketing yang belum rapi di pelabuhan. Tidak ada tiket online dan tidak ada kepastian tanggal. Relasi, bantuan orang lain, doa orang tua, dan kebaikan Tuhan yang membawa kami bisa melanjutkan perjalanan. Akhirnya, kami memulai perjalanan, meninggalkan kenyamanan, menuju destinasi yang belum pernah terbayangkan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

(Kiri) Penginapan di Pulau Sembilan (Kanan) Pulau Sembilan

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

41

42

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Keberangkatan OLEH FAT I M A H S YA H I D A H N U S A I B A H ( G L’ 17)

Perjalanan di kereta.

Pukul 01.14 WIB, 12 Juli 2019, dini hari. Semua teman-temanku sudah berkumpul dan merapikan carrier mereka masing-masing.

Arahan yang disampaikan oleh Komandan Operasional kami, Kak Be A, pun juga sudah disampaikan. Teman-temanku satu persatu mulai terlelap di ruang seluas empat kali empat di lantai dua rumah Etta. Ruangan itu adalah tempat les milik orang tua Etta, teman kami yang tinggal tidak jauh dari Stasiun Kiaracondong. Keputusan untuk menginap bersama sebelum menjejali kereta subuh ke Surabaya memang sangat tepat mengingat barang dan rombongan kami yang cukup banyak.

Namun, ketika waktu memasuki sepertiga malam yang katanya adalah waktu yang baik untuk beribadah, aku malah gusar, takut, sedih, dan marah, semua tenggelam dalam perasaan campur aduk. Aku adalah orang terakhir yang bersiap untuk keberangkatan ini. Aku benar-benar tidak siap. Saat itu, isi kepalaku tak hanya dipenuhi bayangan ekspedisi melainkan juga bayangan melepaskan. Dengan penuh keyakinan bahwa apa-apa yang memang untukku pasti kembali sejauh apapun itu.

Kami berangkat dari Stasiun Kiaracondong menuju Surabaya.

Meskipun gagal melihat sunrise sepanjang perjalanan, hamparan sawah dan perbukitan tetap berhasil meluluhkan egoku untuk tidak bisa diam. Kak Be A sebagai teman duduk disampingku asyik membaca buku. Ahmad tenggelam dalam percakapannya dengan Kak Dhila. Kak Irfans yang terkenal suka mengantuk pun sudah terlelap di dalam mimpi. Bella di seberangku mengamati pohonpohon yang menari di luar jendela dengan kamera kesayangannya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

43

Jam menunjukkan pukul 19.40 WIB ketika Galih sempat membuat panik satu gerbong karena kami mengira dia tertinggal kereta saat transit di salah satu stasiun tadi. Ternyata Galih sedang asyik- asyiknya menyantap pop mie di kantin. Kereta sampai Stasiun Surabaya Gubeng pada pukul 21.45 WIB. Kami langsung disambut baik oleh tim Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) dari Universitas Airlangga (UNAIR). Mereka dengan baik hati mengantarkan kami menggunakan mobil pick up ke masjid kampusnya, tempat menginap kami selama di Surabaya. Untuk perempuan, kami disediakan ruangan nyaman yang menempel dengan masjid. Setelah bersih-bersih dan salat, kami semua langsung tertidur karena nyamannya AC di ruangan tersebut.

Karena kami semua kelelahan setelah perjalanan panjang kemarin, kami semua telat bangun. Kami semua panik karena seharusnya pagi ini kami ke pasar untuk membeli perbekalan dan sarapan. Aku menemani Bella dan Kim mencari sarapan. Setelah sarapan dan membagi barang-barang bawaan, kami menyempatkan menonton film dari laptop Vivi hingga selepas zuhur kami bersiap matrikulasi. Sampai petang menjelang, kami membahas program dan tugas apa saja yang harus dilakukan begitu sampai di Pulau Pagerungan Kecil. Setelah itu, kami melepas penat di atap masjid sambil menikmati hawa Surabaya sore yang hangat dan lembab.

Pukul 20.00 WIB kami kedatangan salah satu anggota ENJ UNAIR yang bernama mas Heri. Dia menceritakan berbagai pengalamannya pergi ke suku pedalaman di Maluku. Lalu kami bergegas tidur karena besok pukul 01.00 pagi kami harus sudah bergegas menuju Terminal Purabaya. Setelah berjam-jam menunggu dan mengejar bus, kami mendapat bus yang sangat nyaman dan mulai bergerak pukul 05.00 pagi menuju Pelabuhan Kalianget di Madura. Aku sudah tidak sabar melewati Jembatan Suramadu dan melihat sisa-sisa matahari terbit disana.

Pukul 06.30 aku terbangun karena ternyata terjadi sedikit perselisihan antar sopir bus yang mengharuskan kami pindah bus. Perpindahan ini menjadi hal yang sangat heboh karena memindahkan belasan carrier dan barang-barang kami dalam hitungan menit sangat sulit. Bus yang baru itu sangat kecil dan penuh dengan orang. Aku menelan ludah dan keluhanku sendiri. Di antara sesaknya badan-badan orang, aku berusaha mengintip keluar jendela mencari sedikit udara dan pemandangan dan menikmati perjalanan kami yang selalu penuh kejutan.

Kami sampai di pelabuhan jam 11 siang. Aku tidak bisa menahan perasaan senang begitu lembaran-lembaran birunya laut terlihat di ujung Pulau Madura. Maklum, sudah lama ingin pergi ke laut, tetapi batal. Walaupun panasnya sangat tidak bisa ditolerir, aku

44

tetap bersorak ketika bertemu dengan teman-teman tim advance yang lebih dulu berangkat mengurus perizinan. Putri, Ramadhita, Wika, dan Dhani. Pukul dua siang kami mulai masuk ke dalam dek Kapal Sumekar yang sangat kecil yang dipenuhi warga-warga yang membawa berbagai macam barang dan sayur-mayur. Aku dan teman-teman menikmati angin laut sambil bernyanyi dan mengobrol melepas tawa. Kaki-kaki menjuntai di ujung kapal mengikuti ikan-ikan kecil yang dengan cepat berputar-putar di sekeliling kapal mengucapkan selamat datang.

Jam empat sore kapal berangkat. Saat itu laut dengan bangganya menggulung begitu banyak ombak. Tidak tahu dia susah payah aku menahan mual di dalam kapal. Di antara kardus-kardus es krim dan carrier aku memaksa mataku tidur untuk melupakan mabuk lautku. Sampai jam setengah tiga pagi akhirnya aku memberanikan diri turun dan pergi ke toilet. Sedari kemarin aku tidak berani berdiri di kapal karena rasanya ingin pingsan. Aku harus salat isya sebelum subuh dan untungnya ombak sudah mulai mereda. Kapal berhenti di Pulau Kangean. Kami turun untuk bersiap mencari tempat untuk salat subuh dan sarapan. Aku makan nasi dengan sayur wortel dan kentang, lengkap dengan ikan kakap, sambal, dan mie. Harganya 15 ribu satu porsi. Aku dan temanteman makan dengan lahap dan minum susu.

Semburat cahaya malu-malu muncul di ufuk timur. Laut bagaikan permadani jingga dengan butiran butiran emas yang berasal dari buih lautan yang memantulkan cahaya mentari. Indah sekali. Aku menikmati sebatang es krim sambil bercengkrama di dermaga dengan teman-teman dan warga sekitar. Kami juga bertemu dengan guru-guru dari Pagerungan Kecil dan mengumpulkan banyak informasi terkait sekolah dan perpustakaan di sana.

Jam delapan pagi peluit kapal melengking kencang menarik kami kembali ke kapal. Galih dan Rama menemukan alga cokelat atau Sargassum menurut sobat biologiku, Putri. Dia menjelaskan secara sederhana anatomi alga dan kegunaannya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Makan malam bersama warga Sapeken.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

45

Ketika kami tiba di Sapeken jam setengah 12 siang, bapakbapak, ibu-ibu, hingga anak-anak muda dengan sigap sibuk mengeluarkan isi muatan kapal. Ketika menapakkan kaki di dermaga, aku melihat anak-anak kecil menangkap ikan menggunakan alat pancing yang mereka buat sendiri. Hebat sekali. Aku bertemu Pak Abdul yang sangat baik dan ramah menyapa kami. Pak Abdul adalah penjaga warung makanan dekat pelabuhan yang sangat murah hati. Dengan harga yang sangat terjangkau, ia membungkus bekal makanan untuk kami. Dia senang bercanda dan sembari pamit dia menitipkan satu dus air mineral untuk kami yang memang sudah terlihat kehausan. Semoga Pak Abdul sehat selalu dan laris dagangannya.

46

Aku memutuskan untuk tidak salat di dalam pelabuhan dan memilih untuk berjalan kaki mengelilingi pasar dan rumah-rumah warga sekitar sambil mencari masjid. Kami bertemu sekumpulan ibu-ibu yang sedang asyik bersantai di dipan depan rumah dan bertanya kepada mereka letak masjid sekitar sini.Ternyata di sini isinya orang-orang keturunan suku Bajau dan tidak ada aksen bahasa Madura sama sekali di lidah mereka. Kami salat di Masjid Agung Abu Hurairah dan berkenalan dengan banyak siswa pondok di sana. Salah satu kakak tertua di sana bernama Mbak Dina yang menemani kami selama di masjid.

Pukul tiga sore kami mendengar kabar yang kurang menyenangkan. Kami tidak bisa pergi ke Pagerungan Kecil sore

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Peristirahatan kami di kapal Sumekar.

itu karena laut sudah surut. Para pemilik kapal dan taksi laut tidak berani melepas kapal mereka. Akhirnya, aku bersama Putri, Wika, Gin, Dhani, dan Bella pergi ke kantor kecamatan untuk mengobrol dengan Pak Camat Sapeken sekaligus meminta izin menginap di Sapeken. Pak Camat Sapeken dengan senang hati mendengarkan cerita kami dan memperbolehkan kami untuk menginap semalam di Sapeken. Kami pulang menaiki odong-odong, semacam kendaraan roda tiga sebagai moda transportasi antar pulau di Sapeken. Ketika kami sampai di rumah Ken, anak Sapeken yang sudah berjanji mengantarkan kami sampai Pagerungan Kecil, kami mendengar kabar bahwa gawai teman kami, Kim, hilang dan mereka sedang menjalankan misi mencari gawai itu berbekal fitur

Find My Phone di Google. Ken merupakan teman kami yang banyak membantu selama kami ekspedisi. Menjelang maghrib gawai Kim berhasil ditemukan. Setelah itu, kami dengan gembira membakar ikan kerapu merah yang terkenal enak.

Keesokan harinya, tanggal 16 Juli 2019, pukul 07.47 WIB kami mendapat taksi laut dengan harga yang cukup mahal. Aku duduk di bagian belakang kapal. Perjalanan saat itu terasa sangat menyenangkan karena meski banyak kejutan dan masalah yang datang, aku tahu aku bersama teman-teman yang siap membantu dan menemani.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

47

Bab III Halo, Pagerungan Kecil!

48

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

49

50

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pagerungan Kecil yang Selalu Dirindukan OLEH P U T R I R I S A FAT M A W AT I ( B I ’ 17)

Hei, Aku Rindu!

Aku melangkahkan kaki lebih dari seribu langkah menuju negeri antah berantah yang hampir saja tidak kuyakini adanya.

Menggenggam secercah kedamaian untuk kubawa pergi jauh dari rumah. Pagi itu, mentari bersinar terang dari horizon laut yang merengek ingin dilihat dan dikagumi. Angin berhembus membawa ketakutan-ketakutan yang sempat terbawa dari perjalananku ini. Setelah kurang lebih tiga hari, Aku dan teman-temanku; Melewati hari- hari di kereta, bus kota, perahu nelayan dan kapal penumpang. Untuk pertama kalinya, Aku menginjakkan kaki di pulau yang mereka sebut Pulau Pagerungan Kecil.

Selasa pagi, kami disambut oleh beberapa warga yang sedang berada di dermaga pada pagi itu, senyuman ramah setengah heran melihat adanya kami disana dengan membawa tas besar serta logistik yang tidak sedikit. Rumah Pak Kepala Desa di samping pabrik es menjadi tempat tinggal selama kami berada disana. Kebisingan dan kegelapan hampir setiap saat menemani kami.

Rupanya, Aku sangat tidak sabar. Bersama kedua temanku, sore itu kuputuskan untuk menyusuri pinggiran pantai. Dari jauh, mataku tertuju pada pinisi besar yang masih setengah jadi.

Kami menghampiri pria paruh baya, Pak Mansur, sedang asyik membuat pinisi besar itu. Pria itu bercerita tentang perahu khas Desa Pagerungan Kecil dan yang paling menarik ialah tentang ekspedisi 3 orang warga Pagerungan Kecil bersama beberapa orang lain dari luar pulau menuju Gana berlayar dengan Kapal Borobudur. Hampir satu jam bercengkrama di dalam pinisi itu, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan tak lupa pula Pak Mansur membekali kami air mineral botol. Agar semangat untuk berjalan mengelilingi Pagerungan Kecil, katanya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

51

Pohon kelapa, banyak sekali kulihat ia bertebaran di sepanjang jalan pulau ini. Setiap rumah yang dilewati, pemilik rumah selalu menawarkan kami untuk singgah. Samar-samar ku lihat dari jauh beberapa warga berkumpul di salah satu rumah panggung, dan lagi, mereka menawarkan kami untuk singgah sebentar. Beralaskan anyaman bambu, Aku duduk sembari membantu Ibu-ibu yang sedang memisahkan jagung kering dari bonggolnya. Jagung itu akan ditumbuk untuk disajikan bersama kopi menjadi kopi jagung dan juga dapat digoreng untuk dijadikan cemilan. Kami sangat antusias mendengarkan cerita-cerita mereka, tentang lautnya yang menawarkan pemandangan terumbu karang dan biota laut yang indah, makanan khas yang sangat nikmat untuk dicicipi, dan juga cerita lokal Pulau Pagerungan Kecil. Salah satu dari mereka menawarkan Aku dan 22 orang lain temanku untuk menyantap ikan bakar pada malam hari di rumahnya. Dengan senang hati kami tidak menolak ajakan tersebut.

Di hari yang berbeda, Aku dan kedua temanku mengunjungi rumah Ibu Fatma dan membantunya mengupas Buah Kelor ditemani Ibu Maryam yang juga adik dari Ibu Fatma. Mereka bercerita tentang asal usul penduduk Pulau Pagerungan Kecil yang berasal dari Sulawesi dengan Bahasa utamanya ialah bahasa Bajau atau Bajo.

52

Sambil mengobrol banyak hal, kami disuguhi beberapa cemilan dan yang paling unik ialah Tetehe atau kerang laut yang sudah direbus. Agak kenyal dan rasanya sedikit manis. Kulihat Ibu Maryam mengenakan cincin yang asing bagiku, berwarna kecoklatan dengan motif kuning bening. Rupanya cincin tersebut terbuat dari sisik penyu, warga lokal disini menjadikan sisik penyu untuk dijadikan berbagai macam aksesoris. Mereka hanya mengambil sisik saja, lalu penyu dikembalikan ke laut, katanya.

Kau masih tertarik dengan kisah ini? Aku tidak pernah bosan untuk menceritakan pulau ini. Pagerungan Kecil, pulau dengan tingkat keramahan penduduknya yang begitu tinggi. Setiap hari yang kuhabiskan di pulau ini, Aku mengingatnya dengan baik. Aku ingat betul ketika raga ini akan pergi meninggalkan pulau, kesedihan dan kerinduan jaraknya hanya setipis benang saja. Apakah kau tertarik untuk mengunjungi pulau ini bersamaku suatu saat nanti?

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Ibu Fatma dan Ibu Maryam

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

53

Secercah Cahaya untuk Pagerungan Kecil

OLEH N A Q I TA R A M A D H A N I ( E P ’ 17)

54

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pernahkah kalian membayangkan untuk hidup tanpa listrik? Ketika pemadaman bergilir dilakukan, pastilah kita akan kebingungan untuk mencari akses listrik, baik untuk penerangan maupun sumber daya gawai yang kita miliki. Bahkan ketika smartphone yang biasa kita pakai kehabisan daya, maka kita akan setengah mati untuk mencari stopkontak atau powerbank. Selayaknya kebanyakan manusia di era globalisasi, kita semua membutuhkan listrik. Dua puluh empat jam tujuh hari tanpa diganggu gugat. Namun, apakah kalian pernah terpikirkan bagaimana mereka yang hidup di kepulauan sana dapat bertahan dengan akses listrik seadanya?

Perkenalkan pulau tempat aku belajar. Pulau kecil di sebelah penghasil migas di ujung Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pulau itu bernama Pagerungan Kecil. Aku sangat tertarik dengan kesederhanaan masyarakatnya yang mampu bertahan tanpa akses listrik penuh. Listrik bagi mereka adalah barang mewah yang hanya bisa didapat lima jam tiap harinya. Terkadang bisa lebih sebentar, pun juga gelap gulita sepanjang hari pernah dirasakan. Hal ini tentu miris jika dibandingkan dengan pulau tetangga, Pagerungan Besar, yang mendapat akses listrik dua puluh empat jam meskipun masih harus bergantian antar kampung. Setidaknya mereka sudah merasakan pasokan listrik seharian penuh.

Akses yang bisa dibilang sebentar itu disokong oleh sebuah pembangkit diesel yang dioperasikan secara swadaya. Hal ini dikarenakan warga harus patungan membeli solar agar malam mereka dapat dilalui dengan cukup cahaya. Menurut warga yang aku tanya, mereka dapat membayar kurang lebih Rp380.000,00 untuk satu bulan listrik yang mereka gunakan. Biaya listrik tersebut akan dibagi dengan empat hingga lima kepala keluarga, yang artinya setiap bulan mereka membayarkan sekitar Rp76.000,00.

Tak seberapa bukan kelihatannya? Mari kita bandingkan dengan pemakaian kita tiap bulan kira-kira Rp150.000,00 untuk pemakaian listrik selama 24 jam. Sementara itu, mereka hanya menikmati listrik maksimal 5 jam setiap hari. Itupun kalau pasokan solarnya mencukupi. Pernah pula dua hari kehidupan tanpa listrik akibat solar yang tak kunjung datang untuk menggerakkan diesel.

Bagaimana jika kita bandingkan dengan Pagerungan Besar? Warga Pagerungan Besar hanya membayar sekitar Rp20.000,00 setiap bulannya kepada perusahaan migas yang memberikan listrik sebagai program CSR mereka. Apakah listrik menjadi sesuatu yang sangat mewah dan eksklusif bagi sebagian warga negara yang menjunjung tinggi sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”?

Hingga ketimpangan ini sungguh nyata adanya.

Mesin diesel merk Cummins yang digunakan sebagai PLTD untuk menerangi pulau di kala malam hari.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

55

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 50 kWp yang menunggu tahap commissioning agar dapat beroperasi. Di depannya juga sedang dibangun PLTD dari PLN agar listrik pulau ini dapat tersuplai 24 jam penuh.

56

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Panel surya milik warga.

Tiang utilitas

Masyarakat Pagerungan Kecil pun tak habis akal untuk mengatasi permasalahan ini. Saat siang hari berjalan mengelilingi pulau, kalian akan menemukan banyak warga yang “menjemur” panel surya yang dihubungkan dengan aki mobil. Aki yang diisi dayanya menggunakan panel surya akan menjadi sumber energi alternatif jika pasokan daya dari PLTD sudah habis. Panel surya dan aki ini harus didatangkan dari Banyuwangi dengan harga yang cukup merogoh kantong, yaitu sekitar Rp500.000,00. Setidaknya, sumber alternatif ini dapat menerangi Pagerungan Kecil yang gelap gulita.

Selain untuk menyalakan lampu pada malam hari, panel surya ini digunakan untuk menyalakan sound system masjid. Jadi setiap waktu sholat datang, warga dapat mengetahuinya dari suara adzan yang berkumandang.

Namun, harapan warga Pagerungan Kecil akan listrik 24 jam dan murah akhirnya akan menjadi kenyataan. Sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) milik PLN dengan kapasitas maksimal 50 kW sudah selesai dibangun dan sedang menunggu proses commissioning*. Dengan PLTS ini diharapkan suplai listrik di pulau ini dapat tercukupi dengan baik, mengingat kondisi kepulauan yang tak kurang akan sumber energi matahari. Saat aku akan beranjak dari pulau ini pula, pembangunan PLTD dari PLN sudah dimulai.

Dengan ini, semoga di masa depan listrik dapat menjadi sebuah komoditas yang dapat dinikmati oleh seluruh warga negara, di manapun mereka berada. *commissioning = pengawasan

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

57

Bumantara OLEH NADHILAH MUSTIKARINI ( A S ’ 1 5)

58

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pulau kecil bernama Pagerungan Kecil itu sangat hangat dan bersahabat. Di sana, kami tinggal di sebuah rumah milik Kepala Desa, namanya Pak Haji Hujen. Warga di sana memanggilnya Haji Hojeng. Ya, aksen Bahasa Bajau memang khas sekali. Kata-kata yang berakhiran ‘n’ akan terdengar seperti ‘ng’. Kebetulan beliau sedang menetap di Bali, mengurus bisnis katanya.

Rumah yang kami tempati ini–sebut saja basecamp–terletak di bagian barat pulau, persis di depan dermaga. Bangunan yang menghadap ke arah barat ini membuat kami selalu disapa oleh matahari sebelum benar-benar tenggelam. Sinarnya menyelinap masuk lewat pintu dan jendela. Bercengkerama senja hari sambil menunggu giliran kamar mandi adalah jalan ninja kami.

Sang Surya kemudian pergi meninggalkan horizon. Warna langit juga sudah bukan oranye lagi. Saatnya kami beribadah, makan

malam, lalu duduk melingkar sambil berbagi cerita tentang serunya bertualang seharian. Tak habis-habisnya cerita kami, ada saja kelakuan aneh yang terjadi. Momen itu juga kami manfaatkan untuk mengevaluasi diri, mencurahkan isi hati dan emosi, terkadang sampai tidak sadar air mata keluar tanpa permisi.

Tak terasa, pabrik es–yang juga milik Pak Haji Hojeng–di sebelah basecamp sudah selesai beroperasi. Berarti sudah pukul sepuluh malam, sebentar lagi lampu juga akan padam. Maklum, listrik di pulau ini hanya bergantung pada generator dengan bahan bakar bensin. Bisa dibayangkan betapa mahalnya tarif listrik kalau harus menyala sepanjang malam. Kami jadi terbiasa dengan kondisi gelap-gelapan. Di luar rumah pun sama, lampu jalan pun tidak ada. Di saat seperti ini, senter memang menjadi andalan, jika dibutuhkan.

Berbagi cerita sebelum tidur.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

59

60

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pemandangan langit petang di depan Basecamp.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

61

Setelah selesai diskusi dan evaluasi, kami suka sekali menikmati kegelapan. Aku sepakat dengan salah satu tokoh fiksi dalam novel Winter in Tokyo, “Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang bisa dilihat sewaktu gelap?”. Rutinitas kami tiap larut malam adalah merebah di dermaga sambil memandangi langit penuh bintang. Lengan Bima Sakti juga terlihat sangat jelas melintasi cakrawala. Tak jarang kami mendapati ‘bintang jatuh’ dan berulang kali terpesona. Tak hentinya kami mengucap syukur dan pujian kepada-Nya. Pemandangan luar biasa seperti ini tidak mungkin didapatkan di kota yang sarat polusi cahaya.

Semua hal tentang langit memang selalu menarik untuk jadi topik obrolan. Aku, sebagai satu- satunya anak Astronomi di tim ini, mendadak dilempari banyak sekali pertanyaan. Bak ditanyai wartawan saja. Padahal pengetahuanku juga masih seadanya. Sambil menunjuk rasi bintang, aku mulai bercerita, “... itu di dekat berkas Bima Sakti ada rasi Sagitarius, orang-orang sih lebih sering bilang mirip teko, soalnya kayak ada asapnya gitu...”. Aplikasi peta bintang

62

di ponsel pintar milik Putri juga sukses menjawab keingintahuan aku dan teman-teman. Oh iya, ada hal yang sangat wajib dilakukan: berburu foto bumantara. Langit mengajarkan aku tentang kesederhanaan dan perjuangan. Aku jadi ingat kutipan seorang tokoh hebat asal Amerika Serikat, Martin Luther King, Jr. “Only in the darkness can you see the stars”. Bintang tidak akan bersinar tanpa kegelapan, sama halnya dengan kita yang tidak akan berhasil menjadi manusia yang lebih baik tanpa belajar dari pengalaman yang sulit dan mengecewakan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Aku, kamu, dermaga dan Galaksi Bima Sakti.

Memungut sampah bersama warga Pagerungan Kecil.

64

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Dimulai dari Sampah

OLEH N A D I FA A D I L A ( P L’ 1 7)

Berbicara mengenai sampah, memang tidak ada habisnya. Persampahan sudah menjadi permasalahan dimana-mana, baik itu di perkotaan maupun di pedesaan. Daerah pesisir pun tidak luput dari permasalahan sampah yang tidak dapat dihindari. Hal mengenai sampah inipun sampai ke Pulau Pagerungan Kecil, tempat kami melakukan ekspedisi selama kurang lebih tiga minggu tinggal di sana. Pulau Pagerungan Kecil merupakan pulau yang indah dengan berbagai potensi alam khas pesisir yang berlimpah dan juga nyaman untuk ditinggali. Namun dengan luas wilayah pulau yang cukup kecil dan jauh dari perkotaan, warga Pagerungan Kecil memiliki kesulitan untuk mengelola sampahnya. Warga Pagerungan Kecil belum memiliki kesadaran penuh akan mengelola sampahnya. Terjadi perbedaan antara daerah Utara dan Selatan Pagerungan Kecil yang tentunya memiliki karakteristik berbeda.

Pada bagian Utara Pagerungan Kecil, warga masih membuang sampah sembarangan di pojok-pojok rumah. Sampah tersebut dikumpulkan lalu tidak diolah, melainkan langsung dibakar dan

pengumpulan dan pembakaran sampah tersebut juga dilakukan tak jauh dari pinggir pantai. Tak jarang pula ditemukan banyak abu yang berserakan sebagai dampak dari pembakaran sampah tersebut. Sederhana dan mudah untuk dilakukan, namun memberikan dampak lingkungan yang tidak terhindarkan. Masalah sampah memang dirasakan oleh warga Pagerungan Kecil, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena sampah tersebut tidak dapat dibawa kemana-mana, mengingat biaya transportasi yang tidak murah untuk menuju ke perkotaan. Lain halnya dengan bagian selatan Pagerungan Kecil yang sudah lebih modern dibandingkan bagian utara. Titik-titik penumpukan sampah tidak sebanyak yang berada di utara, namun tetap ditemukan adanya sampah yang berserakan. Hal lain yang disayangkan, Pagerungan Kecil belum memiliki tempat pembuangan akhir di salah satu titik di Pulau, melainkan masih tersebar dimana- mana. Hasil berbicara ringan dengan adik-adik kami yang berada di Pagerungan Kecil, mereka masih belum mengerti sepenuhnya pentingnya menjaga lingku-

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

65

ngan sekitarnya terutama masalah sampah. Hal tersebut menggugah kami untuk melakukan gerakan mengenai pengenalan pen tingnya menjaga lingkungan untuk masyarakat di Pagerungan Kecil.

Gerakan yang kami lakukan tidaklah besar, kami lakukan dari hal-hal kecil dimulai dari adik-adik kita yang berada pada tingkat sekolah dasar. Kelompok pergerakan pun terbagi menjadi 3 yakni untuk SDN 01, SDN 02 dan SDN 03 Pagerungan Kecil. Di sana, sehabis kami melakukan percobaan sains, kami bersama adikadik melakukan gerakan bersama untuk memungut sampah di sekitar sekolah mereka. Mereka terlihat antusias dan senang serta berhasil mengumpulkan sampah sebanyak-banyaknya yang ter-

66

dapat di sekitar sekolah mereka yang kemudian ditampung di dalam tempat sampah berupa karung bekas. Hal lain yang membuat kami kakak-kakak menjadi terenyuh adalah ketika sehabis mengumpulkan sampah, mereka membantu kakak-kakak dari EMPI untuk membersihkan dan merapikan kelas mereka kembali setelah digunakan sebelumnya. Adik-adik mengaku senang dengan adanya kegiatan tersebut, dan mereka menjadi banyak yang bertanyatanya mengenai sampah dan dampak dari sampah apabila tidak dibuang.

Selain membuat adik-adik sekolah dasar menjadi familiar terhadap peduli lingkungan, kami pun juga menyentuh ke kalangan pemuda dan bapak-bapak di Pagerungan Kecil. Hasil dari Focus

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh kami dan warga Pagerungan Kecil menyatakan bahwa pentingnya kami bersama warga sama-sama bergotong royong mengatasi permasalahan sampah. Hari itu, saat pagi hari, kami dari EMPI ditemani dengan pemuda-pemuda yang ada di Pagerungan Kecil bersama melakukan gerakan pungut sampah di dua bagian Pagerungan Kecil yakni di Utara dan Selatan. Hal mengejutkan pun didapatkan yakni masih banyaknya sampah yang ditemukan di sepanjang pesisir pantai yang ada di utara. Sampahnya pun beragam, mulai dari botol plastik, bekas makanan, hingga popok pun dibuang di pesisir pantai yang tentunya akan berbahaya untuk ekosistem laut yang berada di sekitar Pagerungan Kecil. Sampah-sampah tersebut

pun dikumpulkan dengan pemisahan antara sampah plastik dan non-plastik dengan harapan untuk sampah plastik dapat diolah kembali, sedangkan untuk sampah non-plastik dilakukan pembakaran sampah. Memang belum ideal, namun kami mengharapkan gerakan kecil tersebut dapat memantik masyarakat di Pagerungan Kecil untuk lebih peduli terhadap lingkungan dimulai dari peduli terhadap sampah.

Anak-anak SD Pagerungan Kecil semangat membuang sampah.

Sampah yang dibakar.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

67

Ikan Babalambang OLEH R A M A D H I TA U M I TA I B AT I N ( E B ’ 1 7)

(Atas) Tempat penjemuran ikan asin.

(Tengah) Pengeringan di bibir pantai.

(Bawah) Ikan Babalambang dalam proses pengeringan.

Pada saat saya dan rekan tim yang terdiri dari Dhani dan Sherine berjalan ke daerah selatan, kami menemukan sebuah teras yang dipenuhi gantungan ikan di bambu. Kami penasaran dan mendekati rumah tersebut karena sepanjang perjalanan kami, hanya rumah itulah yang menggantungkan ikan di teras rumahnya.

Adalah Ibu Ruk yang memiliki rumah tersebut dan menjual ikan asin. Pengolahan ikan asin ini merupakan salah satu metode yang dilakukan oleh masyarakat Pagerungan Kecil untuk mengawetkan ikan. Jika masa melaut usai, mereka masih bisa mengkonsumsi ikan-ikan tersebut. Diselimuti rasa penasaran, akhirnya kami mengikuti Ibu Ruk untuk mengeringkan ikan. Beruntungnya, Ibu Ruk menerima kami dengan senang hati sehingga kami diajak menuju tempat pengolahan ikan asin.

Ikan ini dikenal masyarakat sebagai babalambang. Menurut bahasa nomenklatur, ikan ini adalah Balone balone (Gar Fish).

Babalambang memiliki ciri khas berupa ukuran yang panjang tetapi ramping, mulut yang runcing seperti pedang, serta berwarna abuabu mengilat seperti sarden atau makarel. Ikan ini banyak ditemukan di wilayah Samudra Pasifik.

Sebenarnya saya sempat mempertanyakan alasan mereka tidak mengeringkan ikan kerapu dan sejenisnya. Dari hasil pengamatan saya, sebenarnya hal ini terjadi karena ikan sejenis kerapu lebih cocok untuk dijual secara langsung karena harga jualnya lebih tinggi. Sedangkan untuk ikan babalambang harganya cenderung stabil jika kita menggunakan proses pengasinan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

69

Bagaimana cara membuat ikan asin babalambang? Apakah ikan diberi asam benzoat lalu dipanggang? Atau direndam air garam kemudian dikeringkan? Ternyata jawaban yang kedua yang benar, tetapi garam yang dimaksud adalah larutan garam alami alias air laut. Nelayan biasanya mencari ikan babalambang di pagi hingga sore hari. Tidak memerlukan waktu lama untuk mencari babalambang di Pagerungan Kecil karena di tepi pantai jumlahnya masih cukup melimpah. Setelah mendapatkan cukup ikan, dilanjutkan ke proses pencucian. Proses pencucian artinya membersihkan isi tubuh ikan babalambang untuk dibuang ke laut. Proses pembersihan ini memang sengaja dilakukan di laut supaya saripati dari ikan itu sendiri akan kembali ke laut untuk menjadi konsumsi ikan lain. Selain itu, hal ini dilakukan untuk mempertahankan cita rasa dari ikan tersebut supaya masih tetap asin dan tidak busuk. Proses ini juga termasuk dalam pembelahan ikan babalambang menjadi dua bagian. Ikan dibelah secara vertikal sehingga terbentuklah ikan bergelombang yang terbelah melebar.

Setelah dicuci dan dibelah, nelayan segera kembali ke daratan.

Ketika sudah sampai di bibir pantai, nelayan akan melakukan penjemuran ikan balambang di tepian pantai dengan memanfaatkan panas matahari. Pengeringan yang dilakukan di bibir pantai lebih memudahkan mobilitas dan lebih efisien karena angin yang kencang dan juga terik yang cukup. Akibatnya, proses pengeringan menjadi lebih cepat. Kendati demikian, lama waktu pengeringan juga bergantung pada cuaca. Proses pengeringan dapat ber-

langsung selama satu hari, dua hari atau bahkan satu minggu.

Setelah kering, ikan tersebut diangkat dari tempat penjemuran lalu ditusuk di bagian dekat insangnya. Ikan ini kemudian disambungkan dengan senar jaring. Ikan ini dijual seharga Rp10.000,00 untuk satu tali yang berisi 10 ekor babalambang.

Setelah kami pergi melaut, ternyata ikan babalambang tidak hanya diolah menjadi ikan asin, tetapi juga bisa diolah seperti ikan segar lainnya. Kami mengetahui hal ini saat mendapati sebuah kapal nelayan yang mendekat dan menawarkan kami ikan babalambang di tengah laut. Satu ekornya dijual dengan harga seribu rupiah dengan kondisi yang sudah dibersihkan (siap dimasak).

Ikan asin sendiri biasanya diolah masyarakat dengan cara digoreng kering seperti kerupuk. Ada juga masyarakat yang mengolahnya dengan dicampur santan. Sebelum diolah, ikan direndam terlebih dahulu di dalam air hangat agar rasanya tidak terlalu asin.

Proses pengolahan dengan santan ini juga menggunakan cara khas Pagerungan Kecil, yaitu dengan mencampur santan dengan asam matang, lalu dimasak seperti sayur lodeh. Kesan yang diberikan oleh masakan ini adalah segar dan milky.

(Kiri) Proses pengambilan ikan yang siap dijual.

(Kanan atas) Pengelompokkan ikan dengan senar jaring dan paku.

(Kanan bawah) Ikan Babalambang yang siap dijual.

70

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

71

Rawe OLEH MUHAMMAD RAIHAN DZAKY M U S YA F FA ( M R ’ 18)

Pagi hari kala itu, di saat mentari belum menampakkan senyumnya, di saat ayam-ayam belum berkokok, di saat mata yang lelah masih tertutup. Kami berenam—Nayla, Dhani, Bea, Putri, Wika, dan aku sendiri—sudah bergegas menuju kediaman Pak Abdul. Satu hari sebelumnya, kami telah membuat janji dengan Mas Bahok. Mas Bahok sudah berjanji akan mengajak kami melaut dan mengajarkan teknik memancing khas orang Pagerungan Kecil.

Sekitar pukul 5 pagi, Mas Bahok dan tiga orang temannya sudah berkumpul bersama kami. Kami pun dengan semangat langsung naik ke kapal dan berangkat. Sebelumnya kami sudah diperingatkan bahwa ombak hari itu akan cukup tinggi sehingga bagi kami yang tidak terbiasa akan mengalami mabuk laut.

Karena terlalu bersemangat tampaknya kami tidak mengindahkan peringatan tersebut. Perjalanan menuju tempat memancing memakan waktu sekitar setengah jam. Lokasinya kurang lebih berjarak 3 mil dari bibir pantai.

Sesampainya di sana, dari jauh kami melihat sebuah tiang dengan bendera di ujungnya yang terapung terombang-ambing di lautan. Lantas aku pun bertanya kepada mas Bahok. “Itu apaan, Mas?”, beliau lantas menjawab, “Nah itu yang namanya rawe,” aku lanjut membalas, “Hah rawe itu apaan, Mas?”, “Lihat saja nanti,” balasnya. Tak lama kemudian kapal kami mendekati bendera itu lalu berhenti di sampingnya. Awak kapal lain selain nakhoda mulai bekerja, mereka bekerja sama untuk mengangkat tiang bendera itu dari air.

72

Setelah berhasil mengangkat tiang bendera tersebut dari air, ternyata di bawahnya terdapat jeriken-jeriken kosong yang berfungsi sebagai pelampung bagi tiang bendera. Jeriken tersebut ternyata terikat dengan tali pancing yang sangat panjang! Di bawah jeriken tersebut sudah terpasang tali pancing sepanjang dua kilometer di bawah permukaan air, dan di sepanjang tali pancing tersebut sudah terpasang kail mata pancing dengan jumlah yang luar biasa, 132 kail yang sudah dipasangi umpan hidup!

Saat itu kami benar-benar kagum terhadap beliau-beliau ini.

Mereka menarik tali pancing sepanjang dua kilometer hanya dengan menggunakan kekuatan tangan. Kurang lebih proses penarikan tali pancing ini memakan waktu sekitar 40 hingga 50 menit. Proses penarikan ini dilakukan oleh dua orang dengan satu orang sebagai penarik dan satu lagi sebagai pengambil ikan sekaligus merapikan tali yang sudah diatas kapal. Penariknya pun tidak menarik selama 40 menit nonstop, penarikan dilakukan secara bergantian dengan tiga orang. Aku sendiri sempat mencoba menarik rawe tersebut, tetapi baru 5 menit aku langsung menyerah.

Bagaimana tidak? Talinya terasa sangat berat bagi aku yang tidak terbiasa melaut. Terlepas dari itu kami hanya menonton Mas Bahok dan tim menyelesaikan pekerjaan mereka.

Dengan teknik rawe ini, hasil tangkapan yang mereka dapatkan sangatlah beragam. Mulai dari kakap merah, kerapu merah, bahkan terkadang hiu. Mas Bahok bercerita pada rawe sebelumnya mereka berhasil mendapatkan seekor hiu. Hiu ini kemudian diambil sirip

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pergi ngerawe.

dan giginya untuk dijual kembali dengan harga tinggi. Sementara kakap dan kerapu dijual ke pengepul ikan untuk konsumsi seharihari. Namun sayangnya, hasil tangkapan hari itu tidak banyak. Tapi yang penting bagiku adalah pengalamannya, pengalaman bisa mengenal dan belajar budaya lokal langsung bersama warga lokal adalah suatu hal yang tidak bisa dibayar dengan uang sekalipun.

Selama penarikan, kapal melaju dengan kecepatan rendah sehingga goyangan kapal oleh ombak lebih terasa dibanding saat melaju dengan kecepatan tinggi. Hal ini membuat temanku, Dhani, tergeletak tak berdaya selama proses rawe ini berlangsung, Ia ditenangkan dan dihibur oleh temanku Nayla. Benar-benar dari

sekitar jam 6 pagi sampai jam 10 pagi dia tergeletak diam di atas kapal, sambil menahan mual. Kasihan betul, orangnya memang tidak tahan dengan kombinasi angin laut dan ombak tinggi.

Setelah menarik rawe selesai, kami bergegas kembali ke pantai. Kasihan Dhani nampaknya sudah tidak tahan lagi. Bisa gawat nanti kalau kita lanjut menaruh rawe. Setelah 30 menit kami pun sampai di bibir pantai. Kami berterima kasih pada Mas Bahok dan teman-temannya. Mereka pun memberi kami beberapa ikan hasil tangkapan untuk makan siang. Kemudian kami bergegas pulang ke basecamp untuk beristirahat dan berbagi cerita dengan temanteman yang lain.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

73

Karya Kecil Pagerungan Kecil OLEH SHERINE ANGELICA ( K I ’ 16)

(Atas) Salah satu bentuk apresiasi untuk anak-anak yang berani mengekspresikan dirinya ke dalam suatu karya.

(Bawah) Diskusi membuka cakrawala berpikir seseorang menjadi luas.

Karya Kecil Pagerungan Kecil (KKPK) merupakan suatu kesempatan yang kami berikan kepada masyarakat kota yang ingin mengikuti kisah perjalanan ekspedisi kami secara tidak langsung. Kami menawarkan kepada mereka untuk menjadi #SobatPagerungan yang turut berkontribusi dalam mengembangkan daya kreativitas anak-anak di Pulau Pagerungan Kecil serta menumbuhkan kesadaran untuk dapat berkarya dan mengapresiasinya.

Berangkat dari suatu latar belakang yang kami sadari, bahwa kini kita semakin melupakan pentingnya untuk memberikan apresiasi kepada sesama. Kami menyadari pentingnya suatu apresiasi dalam perkembangan pribadi suatu individu di dalam hidup. Oleh sebab itu, melalui KKPK kami ingin menumbuhkan nilai apresiasi kepada seluruh pihak, kepada mereka yang berkontribusi di KKPK, kepada anak-anak kecil di Pagerungan Kecil, dan kepada kami sebagai ekspeditor.

Kami sebagai ekspeditor berperan sebagai perantara dalam KKPK. #SobatPagerungan diberikan kesempatan untuk menitipkan suatu “topik”. Topik- topik tersebut akan dibawa ekspeditor ke Pulau Pagerungan Kecil. Saat ekspeditor mulai berinteraksi dengan anak-anak kecil (rata-rata anak SD), ekspeditor akan mendorong anak-anak di pulau untuk menghasilkan suatu karya dari topik yang dititipkan kepada ekspeditor. Anak-anak di pulau bebas membuat karyanya dalam bentuk apapun. Dengan demikian kreativitas anakanak di pulau tidak dibatasi sehingga mereka dapat dengan bebas mengeksplorasi jiwa kreativitasnya. Kemudian, ekspeditor akan mengarsipkan karya mereka dan kembali mengirimkan kepada #SobatPagerungan yang berkontribusi sesuai dengan “topik” yang dititipkan kepada ekspeditor.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

75

Anak-anak pulau

Masyarakat yang berkontribusi

Topik

Karya Ekspeditor

76

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Bermain bersama, berbagi semangat dan tawa.

Diagram kegiatan Karya Kecil Pagerungan Kecil (KKPK).

Kami berhasil mengumpulkan karya anak-anak dalam bentuk yang beragam, ada yang membuat puisi dan pantun, ada yang membacakan pantun buatannya, dan ada pula yang menuangkan idenya ke dalam bentuk gambar. Kami juga ingin menanamkan nilai kebanggaan pada diri anak-anak di pulau, kebanggaan akan karya yang telah mereka buat. Dengan memberi tahu anak-anak pulau bahwa karya tersebut akan diberikan kepada teman-teman kami di kota (re: #SobatPagerungan), anak-anak cenderung senang mendengarnya dan merasa puas dengan karyanya. Walaupun karya tersebut kecil tapi karya ini menjadi besar karena penuh makna

untuk pihak-pihak yang bersangkutan. Karya-karya kecil tersebut memiliki makna yang besar bagi anak-anak di pulau, bagi kami para ekspeditor, dan bagi #SobatPagerungan.

Harapan untuk jangka panjangnya, kami berharap melalui KKPK ini anak-anak kecil di pulau akan terus berkarya. Melalui karya-karyanya kami berharap mimpi mereka kelak akan tercapai.

Dan tentu saja kami berharap kesadaran untuk mengapresiasi diri dan sesama tetap melekat dalam jiwa kita semua.

Karena kesederhanaan selalu mempunyai nilai yang tidak bisa ditukar dengan apa pun.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

77

Tren Mabuk dengan Komix OLEH N O V I TA E K A PA D M A N I N G R U M ( G L’ 17)

“Kesehatan adalah harta yang utama”. Kalimat sederhana yang sebenarnya sangat bermakna dan menggambarkan kondisi di dunia saat ini, termasuk di Pulau Pagerungan Kecil.

Pada suatu sore, tim Ekspedisi Maritim Pesisir Indonesia 2019 sedang berjalan-jalan menyusuri sekitar pulau ketika tim dikejutkan dengan banyaknya sampah obat batuk cair sachet dengan merek yang paling banyak ditemukan adalah Komix. Saat kembali ke tempat singgah (basecamp), kami berdiskusi dan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa sampah obat cair sachet tersebut adalah produk yang sebelumnya disalahgunakan remaja Pulau Pagerungan Kecil sebagai minuman memabukkan.

Hal yang menyebabkan Komix dapat memabukkan adalah kandungan dextromethorphan di dalamnya. Fungsi utama dari zat ini adalah untuk meredakan gejala batuk. Sayangnya jika dikonsumsi secara berlebihan bisa mengakibatkan pusing hingga halusinasi berkepanjangan. Hal itu dikarenakan produksi hormon dopamin berlebihan oleh efek obat, dan pemblokiran reseptor yang disebut dengan NMDA. Bahkan kemungkinan terburuk jika obat yang mengandung dextromethorphan ini dikonsumsi berlebihan adalah bisa meningkatkan kemungkinan terkena skizofrenia.

Mabuk Komix sachet menjadi suatu tren di kalangan anak sekolah, terutama anak-anak pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurutku, alasan yang mendukung para remaja di Pulau Pagerungan Kecil menggunakan Komix sebagai minuman yang memabukkan adalah karena pulau tersebut jauh dari pemasok minuman keras. Segala pengiriman barang harus menggunakan

78

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Lokasi yang sering digunakan untuk mengonsumsi Komix.

kapal laut. Kapal laut dengan ukuran besar hanya dapat bersandar di Pulau Sapeken. Distribusi selanjutnya harus menggunakan kapal nelayan. Alasan lainnya adalah harga Komix yang murah apabila dibandingkan dengan minuman keras.

Untuk menghindari pengawasan orang tua dan penglihatan penduduk desa, para pelaku sering mengonsumsi obat-obatan di wilayah kebun di sekitar dermaga di bagian utara pulau. Wajar saja, lokasi tersebut ditumbuhi semak-semak rimbun dengan beberapa pohon kelapa, tidak memiliki pencahayaan yang cukup, dan jauh dari permukiman penduduk. Agar mendapatkan efek mabuk hingga halusinasi dan tidak sadarkan diri, pelaku biasanya mengonsumsi 15-25 sachet secara bersamaan. Dosis ini melebihi batas harian yang dapat ditoleransi oleh tubuh, yaitu 6 sachet dalam satu hari.

Bahaya mengonsumsi Komix berlebihan dari segi kesehatan adalah dapat menyebabkan gagal ginjal, kerusakan hati, pecahnya pembuluh darah, kulit melepuh seperti terbakar, hingga kematian.

Dari segi lokasi, setelah pelaku berhalusinasi, pelaku dapat tercebur ke laut. Hal lain yang disayangkan dari kejadian ini adalah pelaku tersebut tidak mengambil kembali sampah Komix mereka sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan.

Melihat maraknya kejadian ini, aku menganggap bahwa kesadaran orang tua akan bahaya dan efek samping dari mengonsumsi Komix berlebihan perlu ditingkatkan. Diperlukan juga kontribusi

dari pemerintah desa bahkan pemerintah daerah di Kecamatan Sapeken untuk menertibkan distribusi obat bebas tersebut.

Hingga saat ini masih terdapat beberapa pertanyaan yang mengganjal di benakku mengenai bagaimana cara remaja-remaja tersebut mendapatkan Komix dalam jumlah yang banyak dan siapa yang menjualnya. Pertanyaan ini mengganjal karena hanya terdapat satu puskesmas di Pulau Pagerungan Kecil dan hanya di puskesmas tersebut yang memiliki stok obat melimpah.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

79

Alternatif makanan pokok yang kami (nelayan) tanam ketika cuti melaut.

80

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Petani Jagung Musiman OLEH YU N I D A I N D I R A C A H Y O N O ( P L’ 15)

Hai kawan, tahukah kalian mata pencaharian apa yang umumnya dimiliki oleh penduduk di daerah pesisir? Ya benar, mata pencaharian itu adalah nelayan. Nelayan pergi melaut hingga berbulan-bulan untuk mencari ikan yang kemudian mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lantas apakah nelayan dan keluarganya hanya mengkonsumsi ikan setiap harinya? Tentu tidak. Mereka adalah manusia yang membutuhkan asupan nutrisi layaknya manusia pada umumnya. Ya, mereka tetap mengkonsumsi makanan pokok seperti nasi, jagung, umbi, serta pelengkapnya berupa lauk-pauk, buah, sayur, dan susu.

Di Pulau Pagerungan Kecil, tempat tim EMPI melakukan ekspedisi, penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Keluarganya pun menikmati makanan yang menurut saya sudah memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna. Namun bahan-bahan makanan yang mereka konsumsi itu kebanyakan berasal dari luar pulau mereka dan ragamnya sangatlah terbatas. Misalnya, beras yang merupakan makanan pokok, mereka mendapatkannya dari Pulau Jawa. Jenis tanah yang tidak mendukung untuk menanam padi dan beberapa tanaman sayur dan buah membuat penduduk Pulau Pagerungan Kecil hanya dapat merasakan secuil kenikmatan dunia dari segi makanan dan ini menurut perspektif saya.

Berbicara perkara makanan pokok, ada kalanya penduduk Pagerungan Kecil mengkonsumsi jagung baik sebagai campuran maupun makanan pokok mereka sehari- hari. Ya tentu dengan pendampingnya yang tidak saya sebutkan. Hal ini terjadi ketika musim kemarau tiba dan nelayan terpaksa harus mengambil cuti dari pekerjaan nelayan mereka. Sebab angin laut tidak mendukung dan ikan pun sulit didapat.

Nelayan-nelayan ini kemudian beralih profesi menjadi petani jagung. Mereka membuka lahan dengan cara membakar sebagian tanaman di hutan yang berlokasi di sebelah utara pulau. Tanaman jagung mereka pilih karena dapat menggantikan beras sebagai makanan pokok, yang hanya bisa mereka dapatkan dari Pulau Jawa atau pulau lain. Selain itu, jagung merupakan tanaman yang tidak memerlukan terlalu banyak air sehingga cocok apabila ditanam ketika kemarau tiba. Kondisi ini berlangsung hingga musim kemarau berlalu dan para nelayan Pagerungan Kecil dapat kembali ke laut untuk mencari ikan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

81

82

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Kelapa (Cocos nucifera): Tree of Life OLEH N AY L A M A R H A M A H S A D I D A H ( B A’ 1 6)

(Atas) Kelapa (Bawah) Segarnya kelapa muda.

Kelapa (Cocos nucifera) adalah pohon di daerah tropis yang termasuk keluarga Palmae dan golongan monocotyledoneae.

Pohon ini tumbuh di daerah pantai, dengan tinggi pohon berkisar antara 15-40 m dan diameter batang 0,25-0,40 m. Pada ujung batang terdapat jaringan meristem yang berfungsi untuk membentuk daun, bunga dan batang. Pada usia 3-4 tahun lingkaran pada batang tidak membesar lagi disebabkan pohon kelapa tidak mempunyai kambium sehingga tidak mengalami pertumbuhan sekunder. Buah kelapa berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia, terdiri dari lima bagian, yaitu esokarp (kulit luar), mesokarp (sabut), endokarp (tempurung), daging buah dan air kelapa.

Di Pulau Pagerungan Kecil, masyarakatnya sudah terbiasa menanam pohon kelapa, baik di pekarangan rumah maupun di lahan tertentu. Kebanyakan masyarakat Pulau Pagerungan Kecil menanam kelapa dengan sistem tanam campuran (mix cropping), yaitu sistem tanam yang terdiri dari beberapa jenis tanaman yang tidak diatur jarak tanamnya atau larikannya. Kelapa (Cocos nucifera) tumbuh dengan baik di pulau ini dan secara rutin dilakukan pengiriman ke pulau- pulau tetangga, namun masyarakat Pagerungan Kecil belum mampu mengolah kelapa secara maksimal, padahal setiap bagian dari pohon kelapa dapat dimanfaatkan sehingga dapat meningkatkan nilai ekonominya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

83

Selain untuk dijual, masyarakat Pagerungan Kecil juga terbiasa mengonsumsi buah kelapa baik secara langsung maupun diolah menjadi minuman segar dengan cara membuat jus daging dan air kelapa ataupun dicampur dengan minuman berasa lainnya seperti susu kental manis. Daging kelapa tua biasa digunakan masyarakat setempat untuk dijadikan santan. Selain itu, daging kelapa diproses menjadi kopra, kopra selanjutnya dapat diolah menjadi minyak kelapa, VCO, lilin, sabun atau diproses lebih lanjut menjadi bahan baku produk oleokimia. Masyarakat Pagerungan Kecil juga sering membuat minyak goreng sendiri dari daging kelapa, masyarakat percaya minyak kelapa cenderung lebih sehat dibandingkan minyak kelapa sawit yang dijual di pasar. Minyak kelapa biasa diolah dengan cara diambil sari dagingnya, kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama dua hari agar kadar airnya berkurang, menurut masyarakat setempat, penjemuran dilakukan agar minyak kelapa yang dihasilkan lebih tahan lama. Setelah dijemur, minyak kelapa dipanaskan hingga terpisah bagian minyak dengan dagingnya dan minyak kelapa siap digunakan. Minyak kelapa atau coconut oil memang lebih sehat dibandingkan minyak kelapa sawit, dikarenakan pada coconut oil terdapat lemak jenuh alami yang dapat mening-

katkan kesehatan jantung, meningkatkan tiroid, meningkatkan metabolisme, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sistem kekebalan tubuh.

Salah satu ustadz bersama para santrinya dari Pesantren AlBarkah di Pagerungan Kecil telah mengolah buah kelapa menjadi Virgin Coconut Oil (VCO). VCO adalah minyak kelapa yang diproses dari kelapa segar tanpa pemanasan dan tidak melalui pemurnian dengan bahan kimia. Dibandingkan dengan minyak kelapa yang diolah secara tradisional, VCO memiliki keunggulan, yaitu kadar air dan asam lemak bebas yang rendah, tidak berwarna (bening), beraroma harum, dan daya simpan lebih lama. Di Pesantren AlBarkah pengolahan buah kelapa menjadi VCO masih menggunakan alat- alat sederhana dan skala produksi rumahan. Adapun santri di Al-Barkah membuat VCO dengan cara memisahkan daging kelapa dengan batok dan airnya kemudian diparut, setelah itu dilakukan pengambilan sari kelapa dengan cara diperas menggunakan tangan. Sari kelapa tersebut kemudian dimasukkan ke dalam drum khusus yang telah diberi keran di bagian bawahnya, didiamkan beberapa saat hingga airnya terpisah (di bagian bawah drum) dan air tersebut dibuang. Pemurnian minyak dilakukan sekali lagi dengan

Pengolahan kelapa menjadi VCO. (Tengah) VCO buatan warga lokal.

(Paling kanan) Atap rumah panggung dari kelapa kering.

84

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

cara penyimpanan selama satu sampai dua hari hingga mendapatkan minyak bening yang selanjutnya disebut Virgin Coconut Oil. VCO hasil produksi Pagerungan Kecil biasa dijual ke Pulau Jawa atau pulau- pulau tetangga lainnya.

Daun muda kelapa dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus ketupat dan sebagai obat tradisional. Daun tua dapat dianyam untuk dijadikan atap dan lidinya digunakan sebagai bahan sapu lidi.

Di Pulau Pagerungan Kecil sendiri daun tua dari pohon kelapa biasa disusun untuk dijadikan sebagai penahan angin laut yang didirikan di pekarangan rumah. Akar kelapa dapat dimanfaatkan menjadi bahan pewarna dan batangnya dimanfaatkan sebagai furniture. Di Pulau Pagerungan Kecil tempurung dan sabut kelapa berlimpah tapi tidak dimanfaatkan dengan baik, bahkan seringkali diambil oleh masyarakat pulau sekitarnya untuk kemudian dijual di pulau tersebut. Alangkah lebih baik jika tempurung dan sabut kelapa tersebut diolah terlebih dahulu menjadi arang atau briket arang sehingga dapat bernilai jual tinggi. Selain itu sabut kelapa dapat diolah menjadi cocopeat dengan cara penghancuran sabut kelapa yang telah kering sehingga menghasilkan serat atau fiber dan serbuk. Cocopeat merupakan media tanam yang memiliki kemampuan

menyerap dan menahan air dengan baik, mampu menggemburkan tanah, dan mengikat akar dengan baik. Sehingga pengolahan sabut kelapa menjadi cocopeat dapat menjadi solusi bagi masyarakat Pagerungan Kecil agar dapat bercocok tanam dengan baik karena dapat menjadi alternatif media tanam pengganti tanah berpasir yang cenderung kurang baik dalam penyimpanan air.

Seluruh bagian dari tanaman kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga tidak berlebihan jika pohon ini disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan buah digunakan untuk keperluan manusia sehari-hari. Tanaman kelapa menjadi komoditi yang komersial dan mempunyai nilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

85

Air Sumur Kepercayaan

OLEH A H M A D H I D AYAT U L L A H ( K L’ 1 7)

Sebuah sumur kepercayaan Pulau Pagerungan Kecil. Begitulah adanya para pelaut Pagerungan Kecil mendapatkan sumber air bersih utamanya dari sumur air tawar. Kepercayaan yang tinggi atas pemberian alam atau mother nature telah mendarah daging di pulau yang dihuni oleh mayoritas suku Bajau ini. Mereka meyakini bahwa pemberian dari alam selalu lebih baik daripada apa yang telah dibuat oleh manusia.

Jumat pagi ketika matahari sudah menunjukkan pukul delapan, kami berjalan menuju timur pulau melalui akses jalan tengah yang menghubungkan dua ujung pulau seolah memotong pulau menjadi dua bagian. Di samping jalan terdapat sebuah sumur di depan rumah warga, sekilas terlihat seperti sumur biasa. Lokasi sumur ini berada di tengah Pulau Pagerungan Kecil yang menyerupai ikan pari. Sumur ini dipercaya memiliki rasa paling enak se-Pulau Pagerungan Kecil.

Sumur ini merupakan sumber air bersih yang paling sering digunakan di pulau. Bukan hanya air bersih, air dari sumur ini bisa langsung dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu. Menurut beberapa warga yang kami temui, mereka lebih percaya dengan meminum air sumur langsung dibandingkan dengan air galon mineral yang peredarannya terbatas.

86

Rasa ingin tahu kami bergejolak ketika mendengar pernyataan tersebut. Mereka berkata bahwa air sumur dipercaya lebih sehat karena telah diuji dengan membandingkan air sumur dengan air mineral siap konsumsi di sebuah toples tertutup dan didiamkan selama beberapa hari. Dengan hasil air sumur yang ditumbuhi jamur dan mikroorganisme dibandingkan dengan air mineral siap konsumsi yang tetap jernih, mereka percaya bahwa air mineral siap konsumsi mengandung banyak bahan pengawet dan obat-obatan sehingga membuat air ini tidak mau ditumbuhi oleh organisme.

Bu Rukaiyah, yang merupakan pemilik dari sumur ini, selalu menimba air ketika Pak Hasan Basri dan warga lain ingin mengambil air dari sumur. Pak Hasan merupakan seorang warga yang berprofesi sebagai distributor air sumur ke seluruh penjuru pulau. Beliau mengitari pulau menggunakan motor roda 3 atau akrab disebut ‘odong-odong’ oleh warga setempat. “Sehari bisa dua kali”, ujar Pak Hasan ketika kami tanya seberapa sering mengambil air disini. 20 jerigen air yang ia bawa mengitari pulau selalu habis dalam putaran pertama.

Ada mitos lain yang dimiliki oleh air sumur ini selain rasanya yang seperti air gunung. Orang-orang yang meminum air sumur dipercaya akan “terkurung” di pulau ini seperti nama Pagerungan

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

(Atas) Pak Hasan Basri dengan ‘odong-odong’-nya.

(Bawah) Sumur kepercayaan warga Pulau Pagerungan Kecil.

(Kanan) Bu Rukaiyah sedang menimba air sumur.

Kecil yang berarti ‘pagar kurungan’. Kami saling tatap saat pertama kali mendengar mitos ini setelah meminum air sumur Pagerungan Kecil langsung dari sumbernya. Terlebih para ekspeditor lainnya yang baru menyadari bahwa mereka menggunakan air sumur ini untuk masakan sehari-hari.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

87

Pernikahan ala Pagerungan Kecil

OLEH ARI RACHMAN ( G L’ 18)

Henna

Setiap tempat pasti memiliki adat istiadat dan budayanya sendiri. Namun, dengan adanya arus globalisasi yang menerjang, membuat adat dan budaya ini lama-kelamaan hilang tergerus zaman. Tak terkecuali dengan pulau yang kami kunjungi, Pulau Pagerungan Kecil.

Suatu hari, kami diajak oleh seorang warga Pagerungan Kecil bernama Mas Ishaq untuk mengikuti acara pernikahan. Konon katanya jika warga Pagerungan Kecil ada yang menikah, maka sang calon mempelai pria akan bertarung dengan perwakilan mempelai wanita. Jika sang lelaki menang, maka dia dapat memperistri sang wanita. Jika tidak, maka sebaliknya. Tentu kami tidak menyianyiakan kesempatan berharga yang satu ini. Maka, dibuatlah kami untuk mengikuti acara ini. Aku, Gege, Ibah, dan Putri menuju rumah pengantin pria, sedangkan Dhilah, Bella, dan Ari menuju rumah pengantin wanita. Kami berangkat pada malam hari karena pernikahan di Pagerungan Kecil biasa dilakukan pada malam hari selepas sholat isya.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

89

90

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Perjalanan menuju rumah pengantin pria tidaklah mudah.

Jarak yang cukup jauh dengan jalanan yang masih berupa tanah menyulitkan langkah kami. Beruntungnya, kami dibonceng oleh warga yang masih satu keluarga dengan pengantin pria menuju ke rumahnya yang ada di bagian utara pulau. Sesampainya di tempat, sang calon mempelai bersama dengan rombongan iring-iringan ternyata sudah siap untuk berangkat. Ia menggunakan pakaian rapi berupa jas berwarna hitam dan kopiah hitam pada kepalanya.

Sontak aku merasa heran. Ini katanya harus bertarung terlebih dahulu, tetapi kok pakaiannya rapi seperti ini? Ternyata setelah aku menanyakan kepada Mas Ishaq, budaya bertarung tersebut sudah hilang karena masyarakat Pagerungan Kecil merasa pertarungan tersebut tidaklah dibutuhkan.

Setelah rombongan siap, kami pun berangkat menuju rumah calon mempelai wanita yang berada di bagian selatan pulau. Kami bersama rombongan pengiring mempelai pria menggunakan motor dan kendaraan roda tiga yang biasa disebut “odong-odong”.

Kala itu, aku membonceng Gege dan Putri bersama dengan Ibah pada motor yang lain. Karena tidak ingin melewatkan momen ini, aku menyalakan kameraku dan mengabadikan proses iring-iringan ini. Selama perjalanan, banyak warga yang menonton dari pinggir jalan yang kami lalui. Nampaknya, proses iring-iringan ini sudah menjadi tradisi tontonan masyarakat Pagerungan Kecil. Bagaima-

na tidak? Rombongan puluhan orang dengan berbagai kendaraan yang membunyikan klakson pada malam hari tentu saja menarik perhatian banyak orang.

Sesampainya di rumah pengantin wanita, prosesi akad nikah pun dimulai. Untuk akad nikah sendiri tidak ada perbedaan dengan apa yang dilakukan di sekitar kita. Justru yang menjadi perhatianku di tempat mempelai wanita adalah adanya tulisan “Selamat Datang” yang cukup besar di atas pintu rumah. Tulisan ini tak jarang pula kutemui saat berjalan di sekitar pulau. Ternyata tulisan-tulisan ini sudah menjadi budaya di Pagerungan Kecil di tempat mereka yang akan dan telah menikah. Setelah prosesi akad nikah selesai, para tamu pun dijamu dengan makanan berupa lontong mie. Yang unik adalah lontong mie ini menggunakan bihun yang berwarna biru.

Sekembalinya menuju basecamp, kami pun bertukar pengalaman kami kepada teman-teman ekspeditor lain. Setelah mengikuti prosesi pernikahan di Pagerungan Kecil, aku jadi sadar bahwa budaya tidaklah harus menjadi sesuatu yang spesial dan spektakuler. Sesederhana mengiringi mempelai pria dengan rombongan yang cukup ramai, tulisan “Selamat Datang” di atas pintu, dan makan bersama dengan makanan khas tempat tersebut menurutku sudah menjadi suatu budaya. Hal ini karena keunikan dan perasaan euforia yang didapat saat mengikuti prosesnya menimbulkan sesuatu yang cukup berkesan.

(Kiri atas) Pengantin pria (Kanan atas) Keluarga pengantin menaiki odong-odong.

(Bawah) Pengantin wanita

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

91

Makna Saloka Angura

OLEH GRHA GANDANA PUTRA ( T M ‘15)

92

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Aku merasa sedikit iri dan tertantang ketika melihat ada sebagian kawan-kawan yang pulang ke basecamp membawa buah tangan berupa kelapa muda dan juga cerita mereka dimana mereka disuguhi bermacam-macam jamuan. Benak hatiku berkata, “Pokoknya aku harus bisa mendapat kelapa muda dengan gratis!”. Temperatur Pagerungan Kecil pada siang hari amat panas menyengat.

Rasanya seperti membakar sekujur tubuh sekaligus juga membuat matang isi kepala sehingga terkadang kepala terasa terombang-ambing. Menyantap kelapa muda di siang hari menurutku adalah salah satu tujuan yang harus diraih dalam regu pergerakan kami: Nida, Ipeh, dan aku.

Kami mendapat tugas untuk menjelajah daerah utara Pagerungan Kecil. Namun, setelah 2 hari menjelajah daerah utara aku sudah bosan dan ingin menjajal daerah lain. Alkisah pada suatu siang hari yang terik kami bertiga sedang beristirahat di

basecamp. Tepat di seberang basecamp kami terdapat saung tua yang sering dipakai para penduduk Pagerungan Kecil untuk duduk santai menikmati angin sepoi-sepoi, bermain gaple, berbincang-bincang, menunggu kapal datang, dan berbagai aktivitas lainnya. Saung ini hampir selalu ramai mulai dari pagi hingga malam.

Saat itu aku menghampiri para penduduk yang sedang bersandar di saung tersebut untuk mencari informasi lokal setempat.

Hingga terdapat dua orang pria tua yang umurnya berjarak 10 tahun, yaitu Pak Murahmin dan Pak Taki. Pak Murahmin berumur 73 tahun sedangkan Pak Taki berusia 63 tahun. Mulanya aku mengira Pak Murahmin berusia sekitar 50 tahun-an. Perbincangan seru terjadi antara saya, Pak Murahmin, dan Pak Taki. Mereka mengajak aku untuk beranjangsana ke rumah Pak Murahmin terlebih dahulu, tak lupa aku juga mengajak Nida dan Ipeh untuk ikut siapa tahu barangkali mendapat kelapa muda gratis.

Bersantai bersama sambil meminum kelapa.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

93

Memotong batok kelapa.

Sesampainya di rumah Pak Murahmin kami bertemu dengan istri, anak lelaki dan dua anak perempuannya, serta cucunya.

Rumah beliau ini merupakan rumah adat khas Bajau, yaitu Rumah Cape. Kekhasan rumah ini terlihat dari tidak adanya pondasi, hanya kayu-kayu tinggi yang menyangga alas rumah yang terbuat dari kayu. Sehingga untuk masuk ke dalam rumahnya kami harus menaiki tangga terlebih dahulu. Kami bertiga dipersilakan duduk di beranda rumah Pak Murahmin. Di tengah obrolan, Pak Murahmin menawarkan kami untuk minum kelapa muda, dalam Bahasa Bajau kelapa muda disebut saloka angura. Tanpa banyak basa-basi kami terima tawaran tersebut. Aku menengok ke arah belakang seraya memberikan kode bahagia pada Nida dan Ipeh.

Pak Murahmin segera turun ke bawah rumah untuk mencari pohon kelapa. Setelah mencari pohon yang tepat beliau lantas memanjat pohon tersebut dengan tangkas. Segera beliau tebas

94

beberapa buah kelapa dari pohon tersebut hingga terjatuh menghujam bumi. Kelapa-kelapa tersebut dikupas dan kami dipersilakan untuk menikmati hidangan tersebut. Amboi! Betapa damainya hidupnya di sini. Kalau haus mendera, kami tinggal memanjat dan memetik beberapa buah kelapa sesuka hati.

Di tengah perbincangan dengan Pak Murahmin kala kami sedang tenggelam dengan kenikmatan kelapa muda, Pak Murahmin bercerita mengenai pengembaraannya untuk berjuang menghidupi keluarganya. Beliau berkeliling ke beberapa daerah di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Selama mengembara tersebut pekerjaan yang sering dilakoninya adalah sebagai kuli bangunan. Pak Taki juga ikut menyeletuk dan mengatakan bahwa Pak Murahmin ini sangat kuat dan bisa memikul beban-beban yang berat. Meskipun sudah berkelana kemana-mana, keadaan keluarga Pak Murahmin ini masih jauh dari kata sejahtera. Pak Murahmin

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Meramu Saloka Angora.

tidak terbiasa melaut sehingga terkadang beliau harus meminta ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan untuk dibawa pulang ke rumah.

Perbincangan tersebut terhantar pada benakku dan membuat aku yang melankolis ini menitikan air mata yang segera aku usap.

Entah mengapa air mata ini tiba-tiba keluar. Meskipun dalam kondisi demikian, Pak Murahmin tetap memiliki pribadi yang hangat dan ramah. Di tengah sulitnya menjalani rintangan hidup, Pak Murahmin masih memiliki semangat untuk menghidupi keluarganya. Masih terukir dengan jelas di memoarku, senyuman-senyuman yang beliau keluarkan saat kami berbincang. Raut-raut wajah yang menjadi tanda perjuangan hidupnya. Mendengar kisah hidup Pak Murahmin membuat rasa dalam lubuk hati untuk melakukan sesuatu namun apa daya pada kondisi ini aku belum bisa banyak berbuat, mungkin ini yang membuat sifat melankolisku meluap.

Aku sempat merasa malu dengan diri sendiri yang mula-mula niatku hanya untuk mendapatkan kelapa muda. Namun setelah bertemu Pak Murahmin ada nilai lebih yang jauh lebih berharga daripada sebuah kelapa muda, yaitu semangat untuk membawa perubahan nasib orang banyak ke tingkat yang lebih baik.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

95

Mas Bahok dan Mitos Pagerungan Kecil OLEH G A L I H A D I T YA S YA I L E N D R A W A R D I A N A ( G D ’ 18)

Di belakang sebuah jok motor yang tak lagi kukenali merk dan jenisnya, Mas Bahok, salah seorang pemuda yang cukup akrab dengan ekspeditor, mengajak aku berkeliling Pulau Pagerungan Kecil. Untuk mengelilingi pulau ini sendiri sejatinya hanya membutuhkan waktu satu jam. Namun, ia memutuskan untuk mengajak aku berkeliling melalui celah-celah di antara rumah warga yang membuat waktu berjalan lebih lama.

Dalam perjalanan sore itu, Mas Bahok bercerita tentang kisah hidup dan mitos-mitos di Pagerungan Kecil, mulai dari kisah tentang ia yang sempat merantau hingga ke lautan di sekitar Pulau Lombok hingga kisah tentang Pagerungan Kecil yang tak banyak orang tahu.

Dalam deru knalpot yang cukup memekakkan telinga, Mas Bahok bercerita tentang kakeknya yang merupakan jagoan kampung dan merupakan orang pertama dari leluhurnya yang memutuskan untuk pindah ke Pagerungan Kecil. Menurut penuturannya, kakeknya merupakan salah satu orang yang dihormati di Pagerungan Kecil dan salah satu orang yang membantu membangun sebuah masjid di sisi selatan pulau.

Selain itu, kakek dari Mas Bahok mewariskan sebuah buku yang secara turun temurun dijadikan pedoman oleh ayah dan juga Mas Bahok sendiri. Buku yang disebut buku budaya tersebut berisi tentang ajaranajaran untuk berperilaku baik, teknik menangkap ikan, aturan-aturan dalam pernikahan, dll.

Mas Bahok juga berbagi kisah tentang ayahnya yang memiliki beberapa “musuh” di Pagerungan Kecil dan memiliki kesaktian kebal akan senjata tajam. Menurut cerita Mas Bahok, ayahnya menemui ajalnya setelah dalam waktu berminggu-minggu dikejar oleh beberapa orang hingga ke seberang pulau. Ia juga bercerita tentang mitos mengenai gigi taring ikan saji yang diyakini memiliki banyak kesaktian seperti dipertajamnya intuisi dan kebal akan serangan ilmu hitam. Ayah Mas Bahok mewarisi sebuah gigi taring ikan saji kepadanya, selain itu, ia juga berhasil memperoleh tujuh gigi taring ikan saji hasil dari tangkapannya sendiri. Sesaat sebelum meninggalkan Pagerungan Kecil, aku cukup beruntung untuk dapat diberikan salah satu gigi taring tersebut. Terlepas dari kepercayaan akan mitos yang ada, gigi taring tersebut merupakan salah satu cenderamata berharga yang diberikan oleh masyarakat Pagerungan Kecil kepada ekspeditor.

96

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Mas Bahok pelaut andal.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

97

Mitos dan Superstisi Masyarakat Lokal

OLEH NISSAKIM PUTERI SALSABILA ( D K V ’ 17)

“Kamu pernah mendengar nama ‘Poppo’?”. Kalimat ini kemudian menjadi sebuah pembuka dari dongeng panjang yang diceritakan salah seorang mantri di pulau Pagerungan Kecil sepanjang sore itu. Aku dan tiga teman lainnya yang hadir mendengarkan berhasil dibuat penasaran oleh sepatah kalimat tersebut.

Mitos dan superstisi adalah dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Mitos melahirkan superstisi, kemudian superstisi memperkuat kehadiran mitos.

Kedua hal ini saling melengkapi dan mengakar pada masyarakat tradisional, tak terkecuali di Pagerungan Kecil.

Meski dikenal sebagai pulau yang kental dengan pendidikan agama Islam, kebanyakan masyarakat yang bermukim di sini masih memegang erat berbagai mitos dan superstisi yang dibawa dari tanah Sulawesi. Salah satu contohnya adalah kisah tentang ‘Poppo’. Jika melirik pada pengertian yang disediakan laman pencari daring, hantu Poppo atau ‘pok-pok’ merupakan perwujudan lain dari hantu ‘kuyang’ yang dikenal di pulau Jawa. Penduduk pulau ini selalu berhati-hati dalam membuang sampah organik khususnya yang mengandung darah atau buangan dari manusia.

Mereka pun kerap mengingatkan kami, para pendatang, untuk mengubur segala sampah yang mengandung darah atau buangan manusia.

“Mbak, sampahnya jangan dibuang di sini, kubur di daerah pantai saja,” ujar istri Pak Mantri ketika aku hendak membuang sampah di tempat sampahnya. “Kuburnya yang dalam ya, mbak, nanti takut ada yang gali.”, lanjutnya.

98

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Cerita Poppo menuju petang.

Mendengar hal tersebut, spontan aku keheranan. Dari kejadian itu, Pak Mantri pun mulai menceritakan sosok yang disebut oleh warga lokal sebagai ‘Poppo’. Sebelum ketakutan pada makhluk tak kasat mata, perlu diketahui bahwa wujud Poppo adalah manusia biasa. Poppo merupakan wujud dari ‘kutukan’ yang ditimpakan pada keturunan orang-orang yang mengonsumsi darah dan hal-hal kotor demi mendapatkan ilmu hitam, katanya. Poppo merupakan satu dari sekian banyak istilah yang digunakan orang Indonesia untuk menyebut sosok ini, mungkin di tempat lain disebut kuyang atau leak.

Masyarakat lokal percaya bahwa dengan membakar kulit bawang putih dan bawang merah, menanam bawang merah atau putih di setiap pintu masuk dan jendela rumah serta menebar garam di sekitar rumah mampu menghalau Poppo untuk masuk ke rumahnya. Hal ini kerap dipraktekkan khususnya di rumah orang yang baru melahirkan. Katanya, Poppo ini sangat gemar memakan bayi baru lahir dan bisa saja memasuki rumah sebagai manusia biasa yang berdalih ingin menengok bayi. Selain itu, residu apapun seperti darah atau rambut buangan jika dimakan oleh

Poppo, maka pemilik dari buangan tersebut akan merasakan imbas berupa pusing atau lemas.

Pada siang hari, Poppo berbentuk manusia biasa dan berinteraksi dengan masyarakat dengan normal. Namun, mereka tidak bisa mengendalikan hal yang terjadi pada diri mereka sendiri di malam hari. Oleh karena itu, masyarakat lokal percaya bahwa keturunan Poppo tidak masalah apabila dijadikan teman atau tetangga, tapi jangan sampai masuk sebagai keluarga atau kekasih, karena ‘kutukan’ ini ternyata menular lewat ikatan dan keturunan.

Mitos ini membuatku berpikir kalau setiap daerah pasti memiliki suatu kepercayaan lokal yang hanya bisa dipegang secara erat oleh orang daerahnya sendiri. Aku pun masih sulit untuk mempercayai cerita dari Pak Mantri, tapi di sisi lain aku tidak mau harus mengalami kejadiannya dahulu untuk kemudian percaya pada mitos tersebut. Ah, pokoknya, cobalah untuk selalu bersikap sopan dan tidak melewati batas ketika berkunjung ke tanah orang lain, karena aturan dan norma yang berlaku juga pasti berbeda dengan di rumah sendiri.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

99

Pesta Rakyat

Pesta rakyat merupakan sebuah program dari ekspeditor EMPI 2019 sebagai sarana membaur kepada masyarakat. Selain itu, acara ini merupakan wujud terima kasih kami terhadap kebaikan hati warga Pagerungan Kecil yang mau menerima kunjungan kami.

Program ini dimulai dengan lomba kecil-kecilan berupa lomba balap karung, balap bakiak, gobak sodor, tarik tambang, membuat alis, hingga dayung sampan dan ditutup dengan makan bersama sekaligus bentuk perpisahan kami kepada warga lokal. Dalam perlombaan yang begitu semarak, kami menyaksikan antusiasme warga dan anak-anak yang mengikuti lomba dengan begitu ceria.

Anak-anak berebut untuk berpartisipasi dalam lomba balap bakiak, balap karung, dan gobak sodor. Para ekspeditor pun tidak kalah antusias untuk ikut berpartisipasi, seperti lomba tarik tambang, membuat alis, dan lomba dayung sampan. Antusiasme penonton pun terlihat dari membludaknya jumlah warga yang menyaksikan perlombaan, terlebih dalam lomba dayung sampan yang konon katanya terakhir diadakan pada tahun 2012.

100

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

101

Selain perlombaan, salah seorang ekspeditor, yaitu Ari Rachman mengadakan pelatihan cara membuat roket air sederhana dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan di sekitar. Hal ini ia lakukan setelah melihat ketertarikan anak-anak terhadap roket air yang kami bawa dari Bandung. Selain itu, diperagakan pula cara menerbangkan roket air tersebut. Acara ini pun juga cukup ramai diikuti oleh anak-anak yang penasaran dengan roket air.

Rangkaian acara terakhir dari Pesta Rakyat ini adalah makan bersama warga. Dalam acara ini, kami makan bersama warga dengan hidangan yang kami masak bersama beberapa warga.

Makan bersama ini menjadi bentuk ucapan terima kasih kami kepada warga yang telah menerima kehadiran kami di Pulau Pagerungan Kecil. Selain itu, diadakan pula penyerahan hadiah kepada pemenang lomba pada rangkaian acara Pesta Rakyat ini. Terakhir, dengan acara ini kami sekaligus berpamitan kepada warga untuk kembali ke Bandung dan sebagai bentuk ramah tamah kami kepada warga Pagerungan Kecil.

102

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

(Paling atas) Lomba balap bakiak antar anak-anak.

(Tengah) Lomba tarik tambang antara ekspeditor dan warga lokal.

Anak-anak bersiap untuk lomba gobak sodor.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

103

Salah satu ekspeditor (Nadhilah) menjadi MC Pesta Rakyat.

(Kanan) Lomba membuat alis.

(Kanan atas) Perlombaan dayung sampan.

(Kanan tengah) Salah seorang peserta lomba dayung sampan setelah sampannya terbalik.

(Kanan bawah) Penonton yang antusias menonton lomba dayung sampan.

104

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

105

106

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

(Paling kiri) Salah seorang ekspeditor (Ari) menerbangkan roket air buatannya.

(Atas) Hidangan makan bersama untuk menutup Pesta Rakyat.

(Bawah) Makan bersama warga lokal sebagai penutup Pesta Rakyat.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

107

Bab IV Setiap Sudut Pulau

108

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

109

110

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Benda Antik dari Hewan Cantik OLEH NADHILAH MUSTIKARINI ( A S ’ 1 5)

“Tim pergerakan 1A: Dhila, Be a, Ahmad...,” begitu kata Be a – pemimpin briefing tiap pagi – ketika membagi kelompok pergerakan. Kami bertiga kebagian menyusuri area timur Pulau Pagerungan Kecil. Ya, jauh memang, apalagi kaki Be a masih belum sembuh betul dari kecelakaan motor beberapa hari sebelum kami berangkat ekspedisi. Aku dan Ahmad juga lihat gimana Be a menahan nyeri saat berjalan jauh...diseret-seret. Untung Be a jagoan hehehe...

Siang itu, kami mulai menyusuri pulau sampai ke ujung timur, sambil menyapa semua orang yang kami temui. Sedikit ke arah selatan, kami berpapasan dengan seseorang di tepi jalan.

“Mau ke mana?”

“Jalan-jalan aja mas...”

“Saya dengar-dengar, kalian datang beberapa hari lalu. Dari Bandung ya?”

Wah, sepertinya kabar keberadaan kami sudah tersebar seantero pulau!

“Iya, mas. Masnya mau ke mana?”

“Saya mau lanjut bikin aksesori dari kulit penyu. Mau ikut?”

Terdengar menarik. Jelas kami ikut.

Namanya Mas Hary, beliau adalah pengrajin. Gelang, cincin, bahkan jam tangan juga bisa dibuat.

“Kalau tempurungnya dibikin cincin, terus dagingnya juga bisa dimakan?”

“Oh beda... Di sini ada dua jenis penyu. Yang ini (bahan dasar aksesori) namanya penyu kulitan(g). Kalau yang dagingnya bisa dimakan namanya penyu hijau.” Penyu kulitang, begitu orang Pagerungan Kecil menyebutnya. Kata-kata yang berakhiran ‘n’ berubah menjadi ‘ng’.

“Kok bentuknya bisa melingkar, diapain mas?”

“Dipanasin dulu biar bisa dibentuk.”

Seakan dapat membaca pikiranku, Mas Hary kemudian menjelaskan, “Yang diambil itu (tempurung) bagian dalamnya. Penyunya enggak akan mati kok. Nanti tempurungnya juga bisa tumbuh lagi.”

(Atas) Gelang dari tempurung penyu.

(Bawah) Hasil kerajinan sisik penyu.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

111

“Kalau ini apa mas?”

“Itu akar bahar, walaupun bentuknya mirip ranting pohon tapi sebenarnya itu hewan lho.”

“Oooh ini yang namanya akar bahar,” ucapku dalam hati, teringat cerita Iffat dan Zaky. Kemarin mereka berkunjung ke rumah Pak Bakrie – orang paling nyentrik sepulau ini – pulang-pulang dikasih gelang akar bahar.

Mas Hary bilang, ada dua jenis akar bahar: putih dan hitam.

Yang putih harganya jauh lebih mahal karena sangat langka.

Keduanya bisa dibentuk menjadi berbagai macam aksesori, seperti gelang, tasbih, sabuk, bahkan tongkat. Orang-orang percaya kalau hewan ini punya unsur magis, bisa meningkatkan percaya diri, menangkal racun, bahkan mengusir makhluk gaib. Akar bahar (Antipathes sp.) tumbuh pada terumbu karang yang kedalamannya sekitar 20 meter di bawah permukaan laut.

Setelah puas dapat pengetahuan baru dari Mas Hary, kami melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Kami mampir sebentar ke pantai dan menemukan ikan yang cukup besar terdampar di bibir pantai. Sebenarnya kami tidak tahu jenis ikan apa ini, tapi akhirnya kami bawa saja siapa tahu bisa dimakan ramai-ramai.

Tidak jauh dari sana, kami bertemu dengan bapak-bapak yang sedang ngobrol. Salah satu dari mereka sedang memutar-mutar sebuah alat, mirip yang kami temui di rumah Mas Hary.

112

“Dari mana?” sekumpulan bapak-bapak itu menyapa kami.

“Dari pantai, pak.”

Melihat kami yang sedang membawa ikan entah apa namanya, salah satu bapak berkata, “Itu ikan beracun, tidak bisa dimakan.

Sini mampir lah dulu!” Kami kemudian menghampiri mereka sambil menertawakan ke-sotoy-an kami ini. “Taruh saja ikannya di sana, nanti bapak yang buang,” ujar beliau. “Hmmm baik sekali,” pikirku.

Mereka menyambut kami dengan hangat, menjamu kami dengan minuman dan makanan ringan sebagai teman ngobrol.

“Tahu gak? Ini gelang dari tempurung penyu,” kata Pak Pudali.

Dari logatnya, kami tahu kalau beliau orang Jawa. Ternyata beliau juga pengrajin aksesori. Alat yang diputar-putar itu adalah alat pengasah supaya aksesori menjadi halus dan mengilap, beliau rakit sendiri katanya. Karena penasaran, kami mencobanya bergantian. Beliau kemudian meminta aku mencoba gelang yang dari tadi diasahnya sampai mengilap itu.

“Bagus?”

“Wah bagus pak.”

“Coba juga cincin yang ini, muat ga?”

“Muat juga yang ini.”

“Ya sudah, itu buat kamu.”

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Wow! Aku dapat oleh-oleh cuma-cuma. Alhamdulillah rezeki anak sholehah...

Tidak terasa, hari sudah petang dan kami bergegas pulang. Di basecamp kami bercerita tentang keseruan di hari itu. Kami sampai heran, saking baiknya orang-orang di sana, pasti ada saja sesuatu yang bisa kami bawa pulang setiap harinya.

Putri, Nay, Vivi, dan Zaky yang baru pulang snorkeling juga bercerita, “Tadi habis snorkeling, lihat Pak Abdul lagi ngeringin gigi hiu, eh malah dikasih gigi hiu juga.” Katanya, Pak Abdul sendiri yang menangkap hiunya. Musim ikan memang hanya bulan Agustus hingga Oktober. Saat itu hasil tangkapan sangat melimpah. Ketika tidak sedang musim ikan, beberapa warga di sana mencari peruntungan ke Kupang dan sekitarnya untuk menangkap hiu. Biasanya bagian-bagian hiu dijual terpisah dan harganya cukup mahal sehingga penghasilannya cukup untuk biaya hidup sehari-hari selama beberapa bulan.

(Kiri) Akar Bahar (Tengah) Gigi hiu (Kanan) Alat pengasah

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

113

Kerajinan untuk Laut OLEH ALIF ZAKY MUHAMMAD ( M S ’ 16)

Kehebatan Pulau Pagerungan Kecil dalam mencari ikan dibuktikan dengan berbagai alat pancing yang dibuat mandiri oleh mereka, bisa dibilang handmade. Menurut hasil penelusuran tim, alat pancing yang kami temukan meliputi jaring pancing, alat tombak, dan alat tembak. Besi-besi seperti jangkar dan tombak pun mereka buat handmade dengan cara ditempa oleh masyarakat Pagerungan Kecil kepada ekspeditor.

Kala itu, hari pertama melakukan pergerakan di Pulau Pagerungan Kecil, Aku, Ahmad, dan Dhilah melakukan penjelajahan ke daerah timur pulau. Dari situ kami bertemu seorang pria yang umurnya sudah senja, namanya Pak Umar, lalu kami dipersilakan untuk datang ke rumahnya. Dengan kebaikan beliau, kami diberi makan dan minum yang diiringi oleh cerita khas pelautnya. Saat itu kami ditemani pula oleh istrinya, Bu Halida, dan anaknya, Pak Jamal. Dari sini kami dikenalkan betapa canggihnya jaring ikan khas Pulau Pagerungan yang mampu menangkap kepiting, cumi, udang, penyu, dan ikan-ikan kecil. “Betapa kayanya lautan sekitar pulau, bisa beragam hewan kami dapatkan,” ucap Pak Umar.

Jaring ikan itu dibuat oleh Pak Jamal yang tinggalnya di bagian selatan pulau. Bukan hanya beliau saja yang membuatnya, melainkan juga Pak Lasani, pelaut sekaligus tukang pembuat jaring ikan yang kami temui pada hari ketiga. Balutan senar putih yang membentuk pola kerucut membuat desain jaring ini cocok untuk menangkap berbagai jenis hasil laut. Tidak lupa pada bagian atas-tengah jaring diberikan karet sebagai pelampung tradisional sehingga menambah cantiknya desain jaring.

Sebagai keturunan suku laut, mereka percaya apapun yang ditangkap oleh jaring ini merupakan rezeki mereka. Ikan kecil mereka syukuri, cumi yang didapat akan mereka santap dengan bumbu kuning tanpa santan khas Pagerungan Kecil, penyu sang binatang langka pun mereka syukuri. Penyu bersisik akan mereka buat pernak-pernik, penyu sisik tipis akan mereka santap.

(Atas) Pak Umar dan jaring Pak Jamal.

(Bawah) Jaring ikan di rumah Pak Lasani.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

115

116

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Masih di hari yang sama, hari ketiga pergerakan, kami bertemu dengan satu-satunya penempa di pulau ini. Beliau bernama Pak Hasani yang rumahnya berada di timur pulau. Beliau sadar akan usia yang semakin senja namun hanya beliau satu-satunya orang yang masih menempa dengan profesional. Mas Hary, Mas Mabrur, dan teman-teman lainnya turut membantu dalam pekerjaan Pak Hasani supaya ilmu dari Pak Hasani dapat diresapi sehingga mereka dapat menjadi penerus penempa selanjutnya.

Di Pagerungan Kecil, alat pancing tombak, jangkar, pedang, dan pisau menjadi tempat pembuatan utama di pulau ini. Mesin dan besi bekas menjadi material yang membentuk alat-alat pancing dan peralatan kapal yang diproduksi oleh Pak Hasani dan teman-temannya. Caranya dengan memanaskan besi di atas api yang terus dinyalakan hingga besi memanas dan berwarna merah, lalu dipukul oleh palu besi untuk membentuk alat sesuai yang diinginkan. Untuk membuat material lebih keras, alat tersebut didinginkan dengan cepat menggunakan air. Api yang dibuat pun selalu ditiup oleh alat peniup dan bahan bakarnya berasal dari kayu bekas serta serabut kelapa tua yang bertebaran di pulau ini.

Alat pancing sederhana pun dibuat mandiri secara handmade oleh masing-masing nelayan di sini. Meskipun sederhana, alat tembak sederhana ini mampu menangkap berbagai jenis hewan di laut yang dangkal, meskipun berukuran kecil. Alat ini digunakan sembari menyelam sehingga nelayan harus jeli terhadap hewan buruan maupun ancaman seperti bulu babi. Uniknya warga lokal di sini mampu membuka matanya di dalam air asin tanpa kacamata renang sekalipun. Alat tembak sederhana ini cocok saat air sedang surut dan dapat dilakukan dalam durasi berburu yang cukup singkat, maksimal 4 jam. Tentu saja, perburuan tersebut dipengaruhi rasa lelah warga lokal ketika berenang di air.

Pak Hasani sedang menempa.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

117

Tanaman Obat OLEH N AY L A M A R H A M A H S A D I D A H ( B A’ 16), P U T R I R I S A FAT M A W AT I ( B I ’ 17), S AT W I K A A N A N D A ( G L’ 17)

a

b

c

d

g

e f

i h

Ilustrator: Bimanda Dharma Sahara

Tanaman obat: a. Belimbing Wuluh; b. Beluntas; c. Bidara; d. Kapas; e. Tembelekan; f. Kembang Sepatu; g. Jarak Pagar; h. Karuntigi; i. Bunga Pukul Delapan.

118

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Etnobotani terdiri dari dua kata yakni etno atau etnis dan botani. Etno atau etnis merupakan adat masyarakat, kebudayaan dalam sistem sosial, kebudayaan yang memiliki arti dan kedudukan tertentu dikarenakan keturunan, adat, agama, bahasa, dan lain sebagainya. Botani merupakan tumbuh-tumbuhan. Etnobotani dapat diartikan interaksi masyarakat setempat dengan lingkungan hidupnya khususnya tumbuh-tumbuhan dan pengkajian tanaman asli setempat dalam kebudayaan pada sistem sosial sebagai pemenuh kebutuhan makan, pengobatan, bahan bangunan, alat budaya, bahan pewarna dan lain sebagainya (Purwanto, 1999).

Etnobotani memanfaatkan nilai-nilai pengetahuan masyarakat tradisional dan memberi nilai-nilai maupun pandangan yang memungkinkan pemahaman terhadap kebudayaan kelompok masyarakat dalam penggunaan tumbuhan secara praktis. Terjadi hubungan saling mengisi, yaitu memanfaatkan nilai-nilai keunikan pengetahuan tradisional dan menerima pandangan-pandangan untuk memahami kebudayaannya dan penggunaan tumbuhan secara praktis. Sumbangan pemikiran penggunaan tumbuhan secara praktis dengan pendekatan-pendekatan ilmiah untuk memahami pengetahuan tersebut (Suryadarma, 2008).

Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang dapat dipergunakan sebagai obat, baik yang sengaja ditanam maupun tumbuh secara liar. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diramu dan disajikan sebagai obat guna menyembuhkan penyakit.

Tumbuhan obat adalah satu di antara bahan utama produk-produk jamu. Bahan tersebut berasal dari tumbuhan yang masih sederhana, murni, belum tercampur atau belum diolah (Kartasapoetra, 1994).

Desa Pagerungan Kecil memiliki beberapa tanaman yang biasanya dijadikan sebagai tanaman obat. Beberapa di antaranya yaitu Tanaman Beluntas (Pluchea indica (L.) Lees.), Karuntigi, Karansia (Lantana camara Linn.), Kembang Sepatu (Hibiscus sp.), Blimbing Wuluh (Averrhoa blimbi), Jarak Pagar (Jatropha curcas), Jambu Biji, Bidara, Srikaya, dan Katuk.

Menurut masyarakat, Tanaman beluntas jika direbus daunnya dapat menurunkan demam, mengatasi sakit lambung, dan menghilangkan bau badan. Menurut Hariana (2013), tanaman ini memiliki rasa getir dan bau yang khas. Daun dan bunga beluntas mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, minyak atsiri, dan asam horgenik. Pada akarnya juga terkandung senyawa flavonoid dan tanin. Beluntas dapat digunakan sebagai obat gangguan pencernaan, penghilang bau badan, penurun panas, rematik, dan nyeri persendian.

Bunga belimbing wuluh banyak digunakan oleh masyarakat sebagai penghilang rasa perih dan merah pada mata. Bagian batangnya mengandung saponin, tanin, asam format, glukosida, kalsium oksalat, sulfur, dan peroksida. Pada bagian daun terkandung asam format, tarlin, sulfur, kalsium oksalat dan kalium sitrat. Bagian yang

dapat digunakan untuk mengobati penyakit yaitu daun, bunga, dan buah yang berkhasiat untuk meredakan batuk pada anak, darah tinggi, jerawat, pegal linu, rematik, sakit gigi berlubang, antiradang, pelembut wajah, dan peluruh kencing (Hariana, 2013).

Tembelekan atau biasa disebut oleh masyarakat Pagerungan Kecil sebagai Karansia merupakan tumbuhan liar dengan bunga bewarna oranye kemerah-merahan, merah muda, dan kuning. Tumbuhan ini berpotensi sebagai obat luka, lebih cepat menyembuhkan dari bioplasenta dengan ditumbuk terlebih dahulu sebelum dioleskan pada bagian luka. Selain itu, digunakan pula sebagai antioksidan, menyembuhkan pegal linu, nyeri karena rematik, nyeri otot, keseleo, diare, dan sakit perut. Menurut Rijai (2014), tembelekan atau karansia sangat berpotensi sebagai obat luka dan antioksidan karena memiliki bunga yang berwarna-warni sehingga mengandung flavonoid yang umumnya memiliki aktivitas antioksidan yang baik.

Tumbuhan jarak pagar digunakan sebagai obat penurun panas oleh masyarakat. Menurut Gomes (2016), pada tumbuhan ini, getahnya biasa digunakan sebagai penyembuh sariawan, obat oles untuk luka, kutu air, dan bercak pada kaki. Lalu, daun muda dapat dicampur dengan bawang merah dan sedikir air panas untuk menurunkan demam, apabila ditambahkan dengan minyak kelapa dapat membasmi cacing kremi pada dubur anak dengan cara mengoleskan pada bagian tersebut.

Bunga kembang sepatu yang direbus dan diambil airnya dapat mengobati bronchitis. Daunnya yang direbus dan diambil airnya juga dapat mengobati sakit kepala. Sementara, akarnya yang ditumbuk halus dapat menjadi penurun panas. Menurut Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB & Gagas Ulung (2014), akarnya dapat menurunkan panas dan meredakan nyeri lambung, daunnya dapat mempercepat penyembuhan bisul, borok, menurunkan kadar gula darah, antitumor, dan mempercepat tumbuhnya rambut. Sedangkan bunganya dapat mengobati nyeri haid.

Berbagai tanaman di Pulau Pagerungan Kecil telah kami identifikasi. Kemudian kami mengumpulkan berbagai informasi mengenai tanaman obat dari masyarakat setempat. Kami melakukan studi literatur untuk menemukan fakta dan informasi lain dengan pencarian data sekunder. Berbagai data dan informasi mengenai tanaman obat di Pulau Pagerungan Kecil kami jadikan buku dan kami sebar bagi masyarakat setempat, seperti di puskesmas, Pak Mantri dan perkumpulan ibu-ibu. Secara umum masyarakat sekitar memiliki pengetahuan yang baik mengenai tanaman obat di sekitarnya berdasarkan pengalaman atau pengetahuan leluhur.

Namun, mereka tidak begitu memahami informasi tanaman obat ini berdasarkan data sains. Diharapkan data dan informasi tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga menjadi nilai tambah secara ekonomi atau menjadi alternatif dalam pengobatan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

119

Daun Karuntigi : Dari Kosmetik hingga Perobatan

OLEH N A Q I TA R A M A D H A N I ( E P ’ 17), R A M A D H I TA U M I TA I B AT I N ( E B ’ 17), S H E R I N E A N G E L I C A ( K I ’ 16)

Daun pacar kuku memiliki nama latin Lawsonia inermis L. yang termasuk ke dalam suku Lythaceae. Penduduk Pulau Pagerungan Kecil biasa menyebutnya dengan Karuntigi. Tanaman ini berasal dari Afrika Timur Laut dan Asia Barat Daya (Semwal, 2014). Daun Karuntigi sangat mudah ditemukan di sudut-sudut rumah penduduk Pagerungan Kecil karena proses perawatannya yang sederhana, serta suhu dan jenis tanah yang sesuai dengan habitat Pohon Karuntigi.

Ada beragam manfaat dari daun karuntigi. Namun, penggunaan daun karuntigi yang biasa dan diketahui penduduk Pagerungan Kecil hanya untuk memberikan warna pada kuku dan kulit. Padahal, sudah banyak penelitian yang mengkorelasikan senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam daun karuntigi menjadi manfaat yang membantu kehidupan manusia sehari-hari. Manfaat dari karuntigi ini yaitu sebagai pengobatan luka bakar serta pereda sakit kepala dan demam karena adanya aktivitas anti-inflamasi, antibakteri, dan anti-jamur. Di samping itu, daun ini juga dapat mencegah penuaan karena daun ini mengandung zat anti- oksidan yang dapat membantu peremajaan sel-sel kulit.

120

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Para warga berkumpul di rumah capek untuk membuat henna dari daun karuntigi.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

121

122

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Penggunaan daun karuntigi sebagai pewarna kuku atau biasa dikenal sebagai henna merupakan metode tradisional untuk mewarnai kuku yang sudah sering dilakukan sejak dahulu. Dengan kemudahan mendapatkan daun karuntigi di Pulau Pagerungan Kecil, masyarakat memiliki kebiasaan untuk menggunakan metode tradisional ini untuk menghias kuku mereka di momen-momen spesial. Cara pembuatan henna sangatlah mudah. Pertama, daun karuntigi dipisahkan terlebih dahulu dari tulang daunnya. Hal ini dilakukan guna mempermudah proses penumbukkan sehingga tumbukkan yang dihasilkan lebih mudah halus. Setelah itu, daun yang sudah dipisahkan dari tulang daunnya dikumpulkan untuk ditumbuk. Penumbukkan dilakukan hingga permukaan daun menjadi bubuk. Daun yang sudah ditumbuk sampai halus tersebut kemudian ditempelkan pada kuku jari yang ingin diwarnai. Daun tersebut dibiarkan mengering dan terlepas sendiri dari kuku.

Semakin lama menempel pada kulit, warna oranye yang dihasilkan pada kuku semakin gelap dan tahan lama. Selain itu, daun ini dapat digunakan untuk menghias kulit. Prosesnya berbeda dan lebih mudah dibandingkan proses pewarnaan kuku. Untuk menghias kulit hanya perlu minyak gosok atau minyak yang menghasilkan panas untuk kulit. Mula-mula daun dibentuk sesuai keinginan dan disusun di atas permukaan kulit. Lalu, daun dioleskan dengan minyak gosok dan dibiarkan beberapa saat hingga warnanya keluar di kulit. Proses ini menjadi proses penentu apakah hasil yang didapatkan menunjukkan hasil yang baik atau tidak. Jika daun

yang sudah dioleskan minyak tergeser, hasilnya pun menjadi tidak simetris.

Daun karuntigi biasa digunakan masyarakat Pagerungan Kecil dalam acara pernikahan. Daun yang sudah diolah menjadi henna digunakan di tangan pengantin wanita utamanya di bagian kuku, punggung tangan, dan pergelangan tangan. Gaya yang diberikan pada tangan terfokus pada bentuk bulat, garis, atau bunga-bunga yang terbentuk dari daun yang dipotong dan dibuat melingkar.

Namun, seiring perkembangan rantai pasar, produk henna instan banyak beredar di Pagerungan Kecil. Akibatnya, proses pembuatan henna secara manual sudah jarang dilakukan. Masyarakat lebih memilih menggunakan produk henna instan karena mudah, cepat, dan bentuk yang dapat dibuat lebih variatif.

Malam pemakaian henna merupakan tradisi membubuhkan daun pacar ke beberapa bagian tubuh calon pengantin, biasanya dilakukan di tangan dan kaki menggunakan motif yang menarik sebagai bagian dari persiapan pernikahannya. Dalam balutan gaun pengantin, mempelai wanita pun terlihat cantik dengan hiasan henna pada tubuhnya di hari istimewa. Budaya pemakaian henna di malam sebelum pernikahan, bisa ditemui di beberapa tradisi pernikahan Arab, Mesir dan Indonesia. Di Indonesia sendiri ada beberapa daerah yang memakaikan henna pada tubuh calon pengantin. Sebut saja Malam Bainai dari Minangkabau, Mapacci dari Makassar, dan Bohgaca dari Aceh. Di pulau yang kami kunjungi ini pun, tradisi memakai henna pada malam pernikahan juga berlaku.

(Atas) Proses pemasangan daun karuntigi pada tangan, sebelumnya dilapisi minyak angin supaya panasnya dapat memindahkan warna dari daun ke kulit.

(Bawah) Hasil pemasangan henna pada tangan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

123

Kapal Borobudur OLEH I F FAT I F T I K A R ( F T ’ 18), M U H A M M A D R A I H A N D Z A K Y M U S YA F FA ( M R ’ 18)

Ilustrator: Bimanda Dharma Sahara

Kapal Borobudur

124

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Rute pelayaran Ekspedisi Samudra Raksa.

(Kiri) Salah satu penjaga lautan, Bapak Zulham.

Cerita Ekspedisi Borobudur berawal ketika Phillip Baile, seorang mantan Angkatan Laut Inggris, berkunjung ke Candi Borobudur. Tergambar di salah satu relief batu Candi Borobudur, sebuah kapal kuno yang tengah mengarungi samudra. Disadarinya bahwa kapal tersebut menggambarkan pelayaran Jawa Kuno abad ke-8 pada Dinasti Sailendra. Philip Baile, yang sempat menghabiskan masa hidupnya di lautan, terinspirasi oleh kisah tersebut.

Ia memutuskan untuk menyusuri jalur perdagangan bahari purba antara Jawa dan Afrika menggunakan kapal yang tergambar kokoh di relief Borobudur. Mimpi akan petualangan di lautan itulah yang membawanya ke Pulau Pagerungan Kecil, Kepulauan Kangean. Sebuah pulau hunian suku Bajau, suku yang terkenal sebagai pelaut ulung. Di pulau kecil di tengah samudra itulah dibangun sebuah kapal yang akan membawa orang-orang pemberani melakukan penjelajahan jalur perdagangan samudra masa lampau.

Pembuatan kapal ini dipimpin oleh Bapak Assad Abdullah AlMadani, seorang warga Pagerungan Kecil keturunan Timur Tengah yang bersama leluhurnya telah menetap cukup lama di Nusantara.

Kapal ini dibangun olehnya dengan bantuan warga setempat. Pak Assad yang berbekalkan pengalaman bertahun-tahun menciptakan pengarung lautan hanya memiliki satu acuan, pahatan relief batu Candi Borobudur. Berdasarkan cerita yang kami dapat dari sang anak yang kini melanjutkan keahlian ayahnya membangun kapal, Pak Assad membangun kapal Borobudur tersebut tanpa menggunakan perhitungan dan hanya menggunakan penglihatan saja.

Hal ini menyebabkan proses pembangunan kapal menuai perdebatan. Akankah kapal yang hanya dibuat dengan intuisi belaka mampu mencapai Afrika? Bahkan untuk mengapung saja

bisa dipertanyakan. Pak Assad dan timnya tak menghiraukan pertanyaan orang dan terus membangun kapal Borobudur. Pada 17 Agustus 2003, hari kemerdekaan Indonesia, 4 bulan 6 hari sejak kayu pertama diletakkan, kapal Borbudur mengapung di atas air.

Kapal ini lalu diberi nama Samudra Raksa yang mempunyai arti penjaga lautan.

Sebagian dari awak kapal Ekspedisi Kapal Borobudur ini merupakan warga asli Pagerungan Kecil. Rute yang dilewati oleh Kapal Samudra Raksa ini meliputi Pagerungan Kecil-Bali-Jakarta-Suriah -Madagaskar-Ghana. Dalam perjalanannya, beberapa awak kapal ada yang memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan dan turun di pemberhentian-pemberhentian pelayaran sampai hanya tersisa tiga orang asli Pagerungan Kecil yang menginjakan kakinya di daratan Ghana, Afrika. Tiga pelayar tangguh itu adalah Bapak Zulham, Bapak Muh. Abduh, dan Bapak Sudirman. Sesampainya di Ghana, Kapal Samudra Raksa tidak digunakan untuk berlayar kembali ke Indonesia namun dibongkar dan dirakit kembali di Indonesia selama 93 hari. Kapal Samudra Raksa kini beristirahat di Museum Kapal Samudraraksa, Taman Wisata Candi Borobudur, sebagai saksi bisu pelayaran luar biasa menyusuri jalur perdagangan kuno antara Indonesia dan Afrika.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

125

126

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Saloka Angura OLEH G R H A G A N D A N A P U T R A ( T M ’ 15), N A D I FA A D I L A ( P L’ 17), YU N I D A I N D I R A C A H Y O N O ( P L’ 16)

Berkunjung ke suatu wilayah baru tak lengkap rasanya apabila tak mencicipi penganan khas wilayah tersebut. Begitulah keseharian kami, tim ekspeditor EMPI yang gemar berkeliling pulau sambil jajan ke sana kemari. Tak lagi memedulikan gengsi pribadi, setiap tawaran warga untuk mampir ke rumahnya tak dapat kami hindari. Di sana kami disuguhi berbagai kuliner, mulai dari yang ringan hingga yang berat.

Berikut adalah beberapa jajanan khas Pagerungan Kecil yang sempat kami nikmati dengan tajuk Saloka Angura yang berarti kelapa muda.

TEH PORON Minuman ini adalah teh poron. Kendati kata awal minuman ini didahului dengan kata teh, minuman ini tidak bisa dikatakan sebagai teh seutuhnya. Teh ini berbahan dasar gula putih yang terkaramelisasi dalam bentuk padatan. Padatan tersebut dicampur dengan air panas hingga berwarna coklat muda layaknya teh pada umumnya. Sentuhan daun pandan membuat teh poron ini memiliki semerbak aroma harum yang membuat teh ini sangat syahdu untuk dinikmati.

K E L A PA H E M AV I T O N

Kelapa Hemaviton

Kedatangan kami di Pagerungan Kecil menjadi daya tarik sebagian warga. Kerap kali kami diajak para warga untuk minum kelapa muda hingga perut kami kembung. Kelapa muda dalam bahasa Bajau adalah Saloka Angura. Kami dapat makan dan/atau minum kelapa muda setiap saat tanpa batas. Kelapa menjadi komoditas utama yang berlimpah. Kami biasa diajak oleh para pemuda untuk menyantap kelapa dengan harga cuma-cuma. Usaha yang perlu dikeluarkan untuk mendapatkan kelapa ini hanyalah dengan kondisi fisik yang prima. Beberapa pemuda dapat dengan mudah memetik kelapa tersebut dengan tebasan badik yang merajam.

Kelapa-kelapa yang terjatuh menghantam bumi mengundang kami untuk menyantap kelapa muda. Kelapa-kelapa tersebut dibelah menjadi dua agar dapat dijadikan wadah untuk menampung hidangan kelapa muda. Santapan semakin menyegarkan ketika kelapa tersebut dicampurkan susu kental manis, hemaviton/extra joss, dan es batu.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

127

128

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

P E R M E N K E L A PA

MOLENG

Kelapa dapat diolah menjadi berbagai jenis olahan. Salah satunya adalah permen kelapa. Permen kelapa ini kerap ditemui di beberapa penjuru Pagerungan Kecil. Permen yang rasanya manis ini mudah sekali untuk dibuat. Caranya dengan mencampur air kelapa dengan gula pasir. Campuran tersebut dipanaskan di kompor hingga membentuk adonan yang mengental. Ketika mulai mengental, adonan segera diangkat dan dipisahkan dari wadah campuran sebelum mengeras. Adonan yang dipisahkan ini disebut permen setengah jadi. Setelah itu, permen setengah jadi dilumuri minyak kelapa, lantas dipotong kecil-kecil seperti permen pada umumnya.

Permen inilah yang disebut sebagai permen kelapa.

Makanan ini bernama moleng. Moleng hampir selalu hadir di setiap warung yang ada di Pulau Pagerungan Kecil. Moleng bisa disebut sebagai salah satu makanan favorit kami selama melaksanakan ekspedisi. Sekilas moleng ini memiliki kemiripan dengan molen yang berisi pisang. Lapisan luar moleng memiliki bahan dasar yang sama seperti molen, yaitu campuran tepung, telur, dan gula pasir. Hanya saja yang berbeda adalah isinya. Moleng ini berisi sale pisang.

K A C A N G S E M B U N Y I / C A N G G O R E H TA P O Canggoreh tapo atau kacang sembunyi merupakan makanan asli khas Pagerungan Kecil. Makanan dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti tepung, telur, gula, dan tentunya kacang. Dinamakan kacang sembunyi karena kacang diletakkan dalam lilitan adonan tepung. Selain bahan, cara membuat canggoreh tapo juga sederhana. Pertama-tama tepung, telur, dan gula dicampur hingga menjadi adonan yang mirip seperti adonan sistik. Ambil adonan sedikit demi sedikit untuk dibentuk menjadi tipis dengan cara ditekan. Kemudian adonan dipotong menjadi bentuk persegi.

Kacang ditaruh di bagian tengah adonan yang sudah menjadi tipis dan kotak, lantas adonan tersebut dipelintir. Adonan yang telah dipelintir tersebut digoreng dan dilapisi gula merah sehingga rasa manisnya menjadi semakin kentara.

B A K S O D AYA H Dalam bahasa Bajau, dayah memiliki arti ikan. Maka dari itu dapat diartikan bahwa bakso dayah adalah bakso ikan. Bakso dayah di Pagerungan Kecil tidak sama dengan bakso ikan pada umumnya. Hidangan ini disajikan menggunakan suwiran ikan dan bihun berwarna hijau tosca. Bakso dayah ini nikmat jika disajikan pada sore hari seraya bercengkrama dengan kawan.

BUARENGAS Untuk pembaca pecinta makanan manis, buarengas adalah pilihan yang tepat! Buarengas adalah makanan khas Pagerungan Kecil yang berbentuk bulat, bertekstur seperti roti, dan berbahan dasar kacang hijau. Buarengas dimasak dengan cara digoreng sehingga teksturnya renyah. Bagi siapapun yang mencoba, pasti akan merasakan kombinasi antara rasa manis dan gurih di dalam satu makanan.

(Kiri atas) Kacang Sembunyi (Kiri tengah) Bakso Dayah (Kiri bawah) Buarengas

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

129

Buah Lato

B U A H L AT O

SUMPIN KOKOLU

Berkeliling dan berkunjung ke rumah warga tentunya menjadi salah satu cara paling efektif untuk mengenal mereka dan menjadi lebih dekat. Saat itu salah satu tim kami sedang berkunjung ke pesantren. Perut yang lapar membuat mereka mampir ke salah satu warung milik warga. Mereka beristirahat di warung milik Bu Jamilah dan menyantap baso dayah (ikan) di sana. Sambil menikmati jajanan, mereka pun berbincang bersama Bu Jamilah. Ditengah-tengah perbincangan ringan itu, Ibu menawarkan buah lato kepada tim. Buah yang asing tak hanya nama, tetapi juga bentuknya.

Bu Jamilah pun memberikan beberapa buah lato kepada tim untuk dibawa kembali ke basecamp. Paham tak seorang pun dari kami tahu cara mengolahnya, beliau berinisiatif untuk membuat sambal sebagai teman makan lato. Lato ini memiliki rasa yang tak terduga, asin dan teksturnya serupa dengan telur ikan. Namun, saat dicampur dengan sambal rasa dari lato justru tidak terlalu dominan. Rasa asamlah yang mendominasi, sebab sambal yang menjadi teman makan lato ini berbahan baku asam jawa, cabe rawit, air, dan juga penyedap rasa. Adapun lato sebenarnya merupakan Caulerpa lentillifera atau anggur laut. Namun, masyarakat Pagerungan Kecil memang lebih mengenalnya dengan lato.

Bagi warga asli Sunda pasti sudah tidak asing dengan makanan seperti nagasari. Nah, Pagerungan Kecil juga memiliki ‘kembaran’ nagasari bernama sumpin kokolu. Sumpin kokolu berbahan dasar labu sebagai isinya. Isinya kenyal dan dibalut oleh daun pisang.

Bahan pendukung lain dari sumpin kokolu ialah tepung beras, tepung sagu, santan, dan gula. Sumpin kokolu ini cocok untuk dijadikan suguhan pada tamu maupun sekadar camilan di rumah.

Aroma dari sumpin kokolu juga khas sehingga siapapun pasti terbayang-bayang akan kelezatannya.

130

S U M P I N N A N TA H Serupa tapi tak sama, inilah makanan khas lain dari Pagerungan Kecil yang bernama sumpin nantah. Dilihat dari teksturnya, sumpin nantah memang mirip dengan sumpin kokolu. Perbedaan mendasar yang dimiliki oleh sumpin nantah adalah bahan dasarnya yang berasal dari pisang. Sumpin nantah tidak dibalut dengan daun, bentuknya membulat dan warnanya hijau. Makanan ini cocok untuk pecinta rasa pisang dan rasa manis.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

(Atas) Sumpin Nantan (Bawah) Sumpin Kokolu (Kanan) Kue Gula

KUE GULA Memiliki bentuk yang sederhana, tetapi mengandung cita rasa yang sanggup mengundang lidah untuk terus mengecap. Kue gula merupakan salah satu jajanan yang sering dijajakan di warung maupun pedagang keliling Desa Pagerungan Kecil. Terbuat dari bahan-bahan yang mudah didapat, kue ini tercipta dari campuran tepung terigu, telur, dan gula. Harganya pun sangat murah, yakni Rp1.000,00. Meskipun murah, kue gula cukup untuk mengganjal perut ketika lapar menyerang di tengah perjalanan. Kue gula semakin nikmat ketika disantap bersama kopi susu. Tak jarang para ekspeditor mampir ke warung-warung untuk membeli kue ini sambil berbincang dan bersenda gurau dengan warga Pagerungan Kecil.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

131

Jepa

Kue Buroncong

J E PA

BURONCONG

Sambil bercengkrama dengan warga lokal di Pagerungan Kecil, rasanya tidak afdal jika tidak diimbangi dengan cemilan yang menggugah selera. Cemilan yang satu ini dinamakan jepa.

Usut punya usut, jepa disinyalir berasal dari Sulawesi Barat. Jepa memiliki bentuk lingkaran dan bahan dasarnya adalah singkong yang dibalut dengan parutan kelapa. Jepa dibuat dengan memarut singkong yang sudah dikupas, kemudian diperas hingga keluar sarinya. Sari diolah menjadi adonan yang diayak dan dicampurkan dengan parutan kelapa. Parutan kelapa inilah yang memberikan sensasi rasa gurih. Jepa dimasak dengan wajan khusus dari tanah liat. Bahan bakar yang digunakan untuk memasak juga berupa kayu. Tekstur jepa khas seperti roti yang pipih dengan warna kecokelatan. Jepa selain dihargai sebagai makanan tradisional, juga dianggap sebagai sumber kalori yang tinggi. Oleh sebab itu jepa cocok untuk karakteristik warga lokal Pagerungan Kecil yang bermata pencaharian sebagai nelayan atau pelaut. Sebuah pilihan yang cocok di kala sudah bosan dengan nasi.

Kue ini memiliki wujud yang menyerupai kue pukis. Buroncong umum disajikan untuk tamu, seperti saat tim ekspedisi berkunjung ke SDN 1 Pagerungan Kecil. Kala itu kami tengah menunggu Kepala Sekolah SD tersebut, lalu para guru memberikan suguhan berupa air mineral dan beberapa toples buroncong. Kue ini terbuat dari tepung, santan, parutan kelapa muda, garam, gula pasir, soda kue, dan air. Semua bahan dicampur dan diaduk rata untuk kemudian dimasak dengan cetakan khusus yang berbentuk setengah lingkaran.

Entah karena lapar setelah berjalan cukup jauh dari basecamp menuju sekolah atau karena menghabiskan waktu menunggu sang Kepala Sekolah tiba, yang jelas kami merasakan nikmatnya rasa buroncong ini. Manis yang mendominasi rasa di lidah serta tekstur kue yang cukup padat membuat kami tak berhenti melahap kuekue yang disuguhkan. Tiba saatnya Kepala Sekolah hadir, kami pun memulai aktivitas yang telah kami agendakan di sana. Wajah kami sedikit memerah menahan malu karena menghabiskan kue di stoples, hehe.

132

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Sambal Cocol

Pisang Cocol Sambal

PISANG COCOL SAMBAL Hampir mencapai di penghujung ekspedisi, beberapa warga mengundang kami untuk masak dan makan bersama. Beberapa hari sebelumnya, salah satu tim ekspedisi mengantar pulang seorang anak perempuan bernama Kirana. Kirana memang cukup sering bermain dengan ekspeditor yang mengantarnya pulang hingga menjadi cukup dekat. Saat mengantar inilah kami mendapat undangan untuk masak dan makan bersama di rumah Kirana. Salah satu makanan yang dimasak saat itu adalah pisang cocol sambal.

Cara membuat makanan ini cukup mudah. Pisang muda dikukus hingga matang. Sementara untuk sambal sendiri bahan-bahan yang digunakan seperti sambal pada umumnya, yaitu cabai rawit, bawang merah, dan sedikit minyak goreng. Cita rasa dari masakan ini terbilang unik karena pisang yang digunakan masih muda muda, rasanya pun tidak terlalu kentara dan cenderung hambar. Sementara itu, si sambal cenderung gurih, lebih berminyak, dan sama sekali tidak pedas.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

133

Kehangatan Anak Kecil di Pagerungan Kecil OLEH I R FA N S M A U L A N A F I R D A U S ( M E ’ 15), FAT I M A H S YA H I D A H N U S A I B A H ( G L’ 17), N O V I TA E K A PA D M A N I N G R U M ( G L’ 17)

Pulau Pagerungan Kecil merupakan pulau yang unik. Apabila ditinjau dari aktivitas penduduknya, pulau ini didominasi oleh aktivitas anak-anak dengan kisaran umur 6-12 tahun dan dewasa dengan kisaran umur 18-35 tahun. Tidak mencoloknya aktivitas remaja dengan kisaran umur 13-17 tahun terjadi karena kebanyakan dari mereka bersekolah di pondok pesantren sehingga aktivitas mereka tidak terlihat dari luar pondok.

Aktivitas anak-anak di Pagerungan Kecil ini menjadi sorotan tim pergerakan kami (Vivi, Ibah, Irfans). Berbagai kegiatan menarik mereka lakukan untuk mengisi waktu luang sehari-hari. Anak-anak kecil ini kebanyakan bermain di wilayah barat, timur, dan selatan.

Daerah utara tidak seramai daerah lainnya karena memang daerah utara tidak terlalu banyak dihuni oleh rumah-rumah warga. Uniknya, meskipun mereka terbagi-bagi menjadi beberapa wilayah, hampir

Anak-anak suku Bajau.

setiap anak di Pulau Pagerungan Kecil mengenal satu sama lain meskipun tanpa adanya media sosial.

Hari pertama kami melakukan pergerakan, kami langsung disambut oleh kehangatan dan keceriaan anak-anak Pagerungan Kecil. Berawal dari keadaan kami yang lapar lalu ingin mencoba bakso ikan yang direkomendasikan oleh salah satu warga lokal, kami bertemu dengan anak-anak yang sedang bermain di lapangan. Anak-anak yang sedang bermain sepeda dan sepatu roda ini terlihat malu-malu mengintip kami, mungkin bertanya-tanya mengapa terdapat remaja asing yang terlihat di sekitaran pulau ini. Perlahan kami mencoba mendekati mereka satu persatu, ternyata mereka sangat menerima kehadiran kami dan juga penasaran mengenai kamera yang sedang kami bawa. Sebuah fakta lucu, di Pulau Pagerungan kecil istilah ‘difoto’ disebut dengan ‘digambar’.

Jadi apabila terdapat ekspeditor yang ingin mengatakan “sini difoto dulu”, diganti dengan “sini digambar/ambil gambar ya”.

Dari siang hingga sore, waktu kami habis untuk bermain bersama anak-anak. Setelah pulang sekolah (sekitar pukul 12.0014.00 WIB), anak-anak menuju rumah untuk berganti baju dan makan siang. Setelah itu, mereka yang bertempat tinggal di sekitar rumah Ustaz Ishaq (nama salah satu ustaz muda yang ada di pulau tersebut) pergi mengaji. Terdapat sebuah saung di samping rumah beliau yang digunakan sebagai tempat belajar mengaji.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

135

Seusai pengajian, kami diajak oleh anak-anak untuk bermain di laut dan pantai. Dikarenakan kondisi geografis Pagerungan Kecil dikelilingi oleh lautan, maka pantai di bagian manapun dari pulau tersebut sering digunakan sebagai tempat bermain untuk anak-anak. Hal tersebut juga menjadikan anak-anak di sini mempunyai kemampuan berenang secara alami, ditambah dengan kisah bahwa suku Bajau memiliki kemampuan menyelam di laut yang fantastis.

Sesampainya di dermaga, anak-anak meminta kami untuk ikut bermain di tepi pantai. Beberapa anak juga langsung menceburkan diri ke laut meskipun saat itu cuaca sedang terik-teriknya. Anakanak ini bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya, terbang bebas melayang di angkasa. Setelah puas bermain di pinggir pantai, kami kembali ke rumah dan beristirahat siang.

Sore hari selepas salat asar, kami memulai kembali pergerakan. Dari kejauhan, kami melihat beberapa anak tengah bergerombol di pinggir dermaga. Setelah kami mendekat, ternyata anak-anak tersebut sedang memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain sampan di pinggir laut. Kami pun tanpa berpikir dua kali

langsung bergabung untuk bermain sampan bersama mereka.

Setelah hari semakin gelap, kami memutuskan waktunya untuk mengantarkan anak-anak ke rumahnya masing-masing dan segera pulang ke tempat dimana kami tinggal.

Pada hari yang berbeda, kami melihat anak-anak yang sedang berkumpul di gubuk di depan rumah tempat tinggal ekspeditor saat sore hari. Berangkat dari rasa heran, ekspeditor menghampiri mereka dan tampaknya mereka semua menunggu waktu untuk bermain bersama dengan para ekspeditor.

Berhubung tidak ada agenda wajib, tanpa berpikir panjang kami menerima ajakan anak-anak untuk bermain. Kali ini, mereka mengajak ekspeditor untuk bermain di pinggir pantai utara pulau sembari mencari kremis. Kremis merupakan salah satu jenis kerang yang tidak beracun dan sering digunakan sebagai santapan bagi warga Pagerungan Kecil.

Karena personel dalam mencari kremis banyak, kremis yang kami kumpulkan juga banyak. Selanjutnya kremis ini diolah dan dimasak untuk dijadikan lauk makan malam oleh ekspeditor.

(Kanan atas) Berburu Kremis.

(Kanan) Anak-anak yang berenang di laut.

136

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

137

138

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Dayung sampan, menjadi kebiasaan anak-anak di sore hari.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

139

Dayung Sampan

Dayung Dayung Sampan Didayung Nuju Lautan Dayung Dayung Sampan Didayung Nuju Lautan Riang Riang Riang Riang Riang Riang Hidupku hanya impian Tepung Tepak Tepung Tepak Tepung Tepak Tepak Tepung Tepung Tepak Tepung Tepak Tepung Tepak Tepak Tepung

Gula-gula

Gula-gula tambah santan Es terlalu manise Gula gula tambah santan Es terlalu manise

140

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Anak-anak suku Bajau

Pada tanggal 22 Juli 2019, beberapa ekspeditor menerima ajakan untuk bakar-bakar ikan dan makan bersama oleh Pak Tasman. Saat ekspeditor beramai-ramai membakar ikan di rumah Pak Tasman, di seberang jalan terdapat anak-anak yang didominasi oleh anak perempuan sedang heboh bermain. Berawal dari rasa penasaran, ekspeditor mendekati mereka dan menawarkan diri untuk ikut bermain. Terdapat saat dimana ekspeditor bosan kemudian menantang anak-anak tersebut untuk menyanyikan lagu yang khas dari Pulau Pagerungan Kecil yang pernah diajarkan oleh bapak/ibu guru mereka masing-masing.

Beberapa anak kemudian mendiskusikan nyanyian apa yang hendak mereka tunjukkan kepada ekspeditor. Tak lama, mereka sepakat untuk menyanyikan dua lagu. Lagu pertama bertajuk Dayung Sampan dan lagu kedua bertajuk Gula-Gula.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

141

Suar Pendidikan Pagerungan Kecil OLEH A R I R A C H M A N ( G L’ 18), B A G I N D A YU S U F A D I T YA N E G A R A ( R I L’ 18), N I S S A K I M P U T E R I S A L S A B I L A ( D K V ’ 17)

142

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi pilar besar dalam mendukung kehidupan masyarakat. Pagerungan Kecil pun tidak luput dari kehadiran pilar-pilar ini. Sebagai komunitas masyarakat yang cukup terisolasi dari dunia luar, aspek pendidikan di Pagerungan Kecil sangat lekat dengan ajaran agama yang dianut mayoritas masyarakat. Pendidikan komunal diajarkan berdampingan dengan ayat-ayat Alquran, anak-anak mengenyam sains dan ilmu agama secara bersamaan. Jika ditilik dari sejarahnya, Pagerungan Kecil adalah sebuah pulau dengan komunitas masyarakat yang memegang teguh ajaran agama Islam. Dari satu pesantren yang didirikan oleh ulama besar yang dulu bermukim di Pagerungan Kecil, kemudian muncul pesantren-pesantren lainnya yang membantu menghembuskan angin pendidikan di pulau ini. Dalam kolom kecil ini, kami mencoba menghadirkan kembali potret pendidikan berbasis agama yang tersebar di seluruh penjuru Pagerungan Kecil.

Dari tiga pondok pesantren yang berdiri di pulau ini, Pondok Pesantren Darul Musyawirien adalah salah satu pesantren yang kerap kami kunjungi karena berlokasi di daerah observasi kami, yaitu daerah utara. Sudah delapan belas tahun Pondok Pesantren Darul Musyawirien kokoh berdiri di utara pulau, dari meminjam kelas pada lembaga lain berdiri sendiri dengan sepuluh bangunan; dilatarbelakangi semangat kebermanfaatan yang tinggi, tiga orang pribumi berhasil mendirikan pondok ini. Biaya operasional yang harus dibayarkan santri tiap bulannya kepada pihak yayasan hanyalah sepuluh ribu dan tunjangan yang diterima para pengajar pun hanya seratus ribu.

“Kurang lebih hanya seratus ribu tunjangan yang bisa pihak yayasan berikan kepada pengajar yang sekarang sudah berjumlah 40 orang,” tutur salah satu pendiri pondok. Tak akan pernah masuk akal bila kita gunakan kacamata manusia biasa. Jumlah santri sebanyak 245 dari jenjang SMP sampai jenjang SMA, dididik selama hampir 24 jam rasanya cukup untuk membuat pengajar angkat kaki. Namun, pengajar-pengajar tersebut senantiasa sabar dalam mendidik santrinya.

Dalam keterbatasannya, rata-rata 5 santri dari pondok ini melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Para ustaz begitu mendorong santrinya untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal itu dibuktikan dengan antusiasme penerimaan para ustaz akan kedatangan kami untuk membagikan info mengenai pendidikan tinggi. Perbincangan kami terganggu ketika tibatiba listrik padam sehingga membuat para santriwati harus segera dipulangkan karena khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

Beginilah potret kehidupan pulau Pagerungan Kecil dengan akses listrik yang hanya bisa digunakan selama 6 jam. Kesenangan yang dibalut oleh rasa iba hadir dalam benak ketika kami melihat kenyataan yang sebenarnya. Kami yang masih bisa melakukan berbagai kegiatan sampai larut malam di Bandung tak bisa melakukan apapun di pulau ini. Setelah selesai bercengkerama, kami diantar pulang menggunakan motor milik pengajar pondok.

Satu hal yang selalu membuat kami tertarik setiap berkunjung ke pondok ini adalah kehadiran surau-surau kecil di seberang masjid tempat mengaji anak-anak usia 6-12 tahun. Di sana adalah tempat anak-anak usia sekolah dasar belajar mengaji dan menghafal Alquran. Di bawah bimbingan Ustaz Ishaq, salah satu pengajar di pondok, beberapa anak sudah memiliki hafalan hingga lima juz. Tidak ada pendekatan metodis dalam menghafal seperti yang terdapat di kota-kota besar. Kesabaran dan keteguhan sang pembimbing dalam memurojaah (mengecek) hafalan setiap anak didiknya yang berhasil membuat anak-anak tersebut menjadi tekun dan berhasil dalam menghafal ayat-ayat Alquran.

Sehelai kain dan bangunan sederhana menjadi saksi para penuntut ilmu.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

143

Berpindah ke daerah tengah, kami mendapati pondok bernuansa salafussalih. Di sanalah berdiri Pondok Pesantren Al-Barkah. Suatu lembaga pendidikan yang katanya menjadi anak cabang pesantren yang berinduk di Pulau Sapeken. Benar saja, pesantren ini didirikan dengan semangat tandzhim Persatuan Islam (PERSIS). Berbeda dengan Pesantren Darul Musyawirien, Pondok ini memiliki jenjang pendidikan mulai dari Raudhatul Athfal (setara Taman Kanak-kanak) sampai Madrasah Aliyah (setara Sekolah Menengah Atas). Para santri belajar pendidikan formal dari pagi hingga siang hari kemudian dilanjutkan dengan pendidikan non formal pada sore hari di pesantren. Pesantren selalu libur di hari Jumat. Hal ini biasanya dimanfaatkan sebagian santri untuk mengunjungi rumahnya masing-masing. Santri laki-laki cukup bebas dan dapat pergi keluar-masuk pesantren, namun santri perempuan tidak diperbolehkan untuk keluar dari area pesantren kecuali pada hari libur yang telah ditentukan. Kendati tak dapat

144

pulang sesuka hati, anggota keluarga yang tinggal di sekitar area selalu membawakan lauk makan setiap hari pada jam makan siang dan malam.

Dalam beberapa kali kunjungan ke Pondok Pesantren Al-Barkah, kami berkesempatan untuk mengunjungi tempat tinggal para santri untuk melihat keseharian mereka. Kondisi tempat tinggal mereka dapat dibilang cukup layak, namun jika ditilik dari standar pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa maka kondisinya dapat dibilang masih jauh dari layak. Dalam sebuah kamar kecil berukuran 3 x 3 meter, biasanya digunakan oleh empat orang santri untuk berbagi ruang. Meski dalam keadaan seperti itu, para santri tetap semangat mengejar ilmu dan selalu diliputi rasa penasaran terhadap hal-hal baru. Hal ini dibuktikan dengan antusiasme mereka dalam belajar dan mencari informasi mengenai pendidikan lanjutan melalui pertemuan kami dengan mereka. Pertemuan kami dilakukan di ruang kelas mereka yang beru-

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Masjid Al Barkah saat maghrib berkumandang.

pa saung beralas bambu. Fasilitas ruang kelas mereka memang sangat terbatas. Pergantian kelas dengan shifting juga kerap dilakukan untuk menyiasati minimnya ruang kelas di pondok.

Meski begitu, tidak terdapat raut muka mengeluh dari para santri terhadap kondisi yang mereka alami saat itu. Papan tulis kapur yang penuh dengan tulisan meyakinkan kami bahwa saung kecil itu adalah tempat mereka belajar dan mencari masa depan.

Pondok Al-Barkah memiliki beberapa kerja sama eksternal dengan beberapa pendidikan tinggi swasta di luar pulau berupa pengadaan beasiswa bagi santri yang berprestasi. Kerja sama ini yang membuat lulusan pesantren Al-Barkah memiliki angka putus kuliah lebih kecil dibanding pondok-pondok lainnya di pulau ini. Pihak pemberi beasiswa kebanyakan merupakan yayasan pendidikan tinggi swasta keislaman berbasis pondok pesantren atau asrama mahasiswa. Hal ini membuat para santri memiliki minat yang kurang untuk melanjutkan pendidikan di bidang sains.

Kurangnya ketercapaian informasi mengenai cara masuk, jurusan, serta pilihan-pilihan pendidikan tinggi di Indonesia juga menjadi faktor lain pada rendahnya minat di bidang sains. Meski ada sebagian guru yang mengetahui hal ini, mereka juga kebingungan karena kurangnya fasilitas dan kompetensi mereka untuk mendukung anak didiknya bersaing dalam seleksi pendidikan tinggi skala nasional.

Bergerak ke daerah selatan, kami mendapati satu pondok pesantren terakhir yang terdapat di Pulau Pagerungan Kecil, Pondok Pesantren Nurun Nubuwah. Pondok bernuansa sunni ini dipimpin oleh Ustaz Waisul yang juga merupakan pejabat pertimbangan desa. Tidak jauh beda dengan pondok Al-Barkah, pondok ini memiliki jenjang pendidikan dari TK sampai dengan SMA. Namun, Pondok Pesantren Nurun Nubuwah membuka pendidikan diniyah yang terbuka untuk siapapun di Pagerungan Kecil pada sore hari. Para siswa SD-SMA yang tinggal di pondok wajib mengikuti pendidikan diniyah tersebut, hal ini membuat Pesantren Nurun Nubuwah disebut sebagai fullday school. Malam hari tidak ada kegiatan belajar mengajar dari pesantren. Para santri menggunakan waktu ini untuk belajar mandiri dan menambah hafalan Quran mereka. Kami juga mendapati santri yang menyetorkan hafalannya kepada musyrif (pendamping) pada malam hari.

Upaya ini dilakukan para pengajar untuk memenuhi profil lulusan dari pondok, yaitu lulusan yang tidak hanya berbekal ilmu konvensional, tetapi juga ilmu sebagai pedoman hidup dalam hati. Salah satu hal yang kami anggap cukup mengejutkan adalah kurikulum yang diajarkan kepada para santri. Untuk pendidikan dalam lingkup agama Islam, para pengajar memiliki kapabilitas lebih dari cukup untuk membagikan ilmunya. Namun dalam hal pendidikan komunal, para santri hanya diajarkan ilmu pengetahuan alam dan matematika. Bagi santri kelas 3 SMA atau kelas 6, ujian akhir dilaksanakan dalam bentuk makalah yang membahas aspek-aspek agama Islam. Tidak ada kerja sama spesifik antara pondok pesantren dengan lembaga pendidikan tinggi di luar pulau. Hal ini membuat beberapa lulusan melanjutkan pendidikan dengan bergantung pada kondisi ekonomi keluarga. Dengan nuansa manhaj sunni yang dimiliki oleh pesantren ini, tak jarang kami melihat para santri dengan sarung dan songkok hitamnya berbondong-bondong mengikuti kegiatan belajar sambil membawa kitab kuning.

Mengunjungi Pagerungan Kecil membuat kami sadar bahwa minimnya akses terhadap pendidikan tidak memadamkan semangat manusia untuk belajar. Jauh dari kota bukan berarti tidak berpendidikan dan jauh dari peradaban bukan juga berarti buta terhadap pentingnya menuntut ilmu pengetahuan. Para pengajar yang sabar dan ikhlas menjadi kunci penting dalam penyebaran pengetahuan di seluruh penjuru pulau. Di Pagerungan Kecil, kami diajari bahwa upah bagi pengajar bukanlah segalanya; melihat anak didik kembali ke pulau dengan wajah berseri sambil membawa ilmu baru adalah suatu pengalaman yang selalu diidamidamkan para pengajar di pulau kecil ini.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

145

Ketulusan Ibu Wardah, seorang guru tidak tetap, dalam memberikan pengajaran.

146

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Pulau Pagerungan Kecil OLEH N A R E T TA V E R O N I C A ( P L’ 17), A U L I A S A L S A B E L L A S U W A R N O ( O S ’ 17), G A L I H A D I T YA S YA I L E N D R A W A R D I A N A ( G D ’ 18)

Pendidikan sejatinya merupakan hak setiap warga negara. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya masih banyak kasus kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia. Desa Pagerungan Kecil merupakan salah satu wilayah yang mengecap ketidakberuntungan itu. Sebagai pulau kecil yang sulit diakses, Desa Pagerungan Kecil tidak memiliki tenaga pendidik yang mencukupi. Oleh sebab itu, mimpi generasi penerus bangsa di Desa Pagerungan Kecil digantungkan pada keberadaan guru-guru tidak tetap (GTT) yang jumlahnya bahkan nyaris menyamai jumlah pegawai negeri sipil di desa tersebut.

Adalah Pak Syamsyah yang mengantarkan kami pada realitas tersebut. Pak Syamsyah merupakan seorang guru yang telah mengabdikan dirinya sebagai guru tidak tetap selama 48 tahun. Bagi beliau, mengajar adalah jiwa hidupnya. Kerelaan hati ini rupanya menjadikan beliau menjadi guru favorit bagi anak-anak SD Pagerungan Kecil 2 tempatnya mengajar. Sekalipun usianya menginjak senja, selera humornya tetap digemari oleh anak-anak.

Di kala kami sedang santai berbincang, Pak Syamsyah bercerita bahwa Desa Pagerungan Kecil yang memiliki 3 sekolah dasar negeri tidak memiliki banyak tenaga pendidik yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Di SDN Pagerungan Kecil 2, terdapat 3 pegawai negeri sipil dan 7 guru tidak tetap. Kebanyakan guru berstatus pegawai negeri sipil di Pagerungan Kecil hanya datang di awal dan akhir semester. Menurut cerita penduduk, guru-guru tersebut merasa tidak kerasan ketika harus ditempatkan di Pagerungan Kecil yang terbilang terpencil di tengah lautan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

147

(Atas) Kelas Belajar Mengajar di SDN 1 Pagerungan Kecil.

(Kiri) Senyum Manis Siswa Pagerungan Kecil.

Cerita tersebut membawa kami lebih jauh untuk menggali cerita tentang GTT. Di sela-sela waktu kami menjelajahi Pagerungan Kecil, kami mempunyai misi baru yaitu mencari tahu tentang GTT. Pada akhirnya rasa penasaran membawa kaki kami melangkah ke SDN Pagerungan Kecil 1 dan SDN Pagerungan Kecil 3. Tak berbeda dengan Pak Syamsah, guru-guru di sana juga menyambut kami dengan ramah, membuktikan kelembutan hati seorang guru.

Berdasarkan wawancara kami, SDN Pagerungan Kecil 1 rupanya memiliki 5 GTT dan 6 PNS. Sementara itu, SDN Pagerungan Kecil 3 memiliki 3 GTT dan 5 PNS. Dari bincang- bincang kami bersama para guru, kami tiba pada suatu kesimpulan yang sama.

GTT di Pagerungan Kecil rupanya belum mendapatkan hak yang setimpal dengan jerih payahnya sebagai seorang pendidik. GTT di Pagerungan Kecil rata-rata hanya diupah 250-450 ribu rupiah per bulan. Tentu bukan angka yang mencukupi untuk kebutuhan setiap bulannya. Hal tersebut diakui sendiri oleh para guru yang kami wawancarai. Kecilnya upah tersebut memaksa mereka untuk memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi seorang guru. Ada yang harus mencari ikan setiap sore, ada pula yang berdagang.

Maklum saja, guru-guru di Pagerungan Kecil tidak mendapat jatah tunjangan daerah terpencil. Lantas mengapa masih banyak GTT yang bertahan di Pagerungan Kecil? Menurut salah seorang guru di SDN Pagerungan Kecil 1, semangat mengajarlah yang tetap membuat para guru bertahan untuk menjadi seorang guru. Sekalipun profesi guru bukanlah profesi satu-satunya, tugas sebagai seorang gurulah yang justru menjadi prioritas dalam kehidupan sehari-hari.

Seiring kami berbincang dengan para guru, semakin kami memaknai arti pahlawan tanpa tanda jasa. Di sela para guru bercerita, kami hanya menemukan satu kesamaan. Sungguh, hanya ketulusan murni hati seorang pendidik. Kadangkala, di sela-sela cerita, para guru Pagerungan Kecil juga menceritakan keluh kesah dan kendala mereka selama mengajar di Pagerungan Kecil. Kurikulum 2013 misalnya yang dirasa sangat menyulitkan karena fasilitas di Pagerungan Kecil yang belum memadai. Pernah suatu waktu, ada keharusan dalam tugas di buku paket kurikulum 2013 untuk mencari peta Pulau Kalimantan di internet. Padahal, komputer saja tak ada di sana. Tak hanya itu, SD di Pagerungan Kecil juga mesti berkutat dengan perkara dana BOS yang terlambat cair. Seringkali para guru harus berhutang dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan dasar sekolah. Itu saja belum termasuk kebutuhan ekstrakurikuler yang keberadaannya masih sangat minim di Pagerungan Kecil.

Perjalanan kami menelusuri seluruh sekolah dasar negeri di Pagerungan Kecil membawa cerita yang begitu membekas. Realitas ketimpangan pembangunan pendidikan yang selama ini hanya kami lihat di televisi, internet, dan berbagai media lainnya rupanya memang amat nyata. Keceriaan dan semangat anak-anak SD yang kami temui, pada akhirnya menyentuh relung tersendiri di hati kecil kami. Sekalipun fasilitas pendidikan yang mereka rasakan tidak semaju di kota sana, anak-anak di Pagerungan Kecil tetap memiliki semangat yang tinggi untuk mengenyam bangku pendidikan dan giat mencari ilmu.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

149

Bab V Tunggu Aku Lagi, Ya?

150

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

151

152

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Rayuan Pulau Kelapa OLEH S AT W I K A A N A N D A ( G L’ 17)

Mungkin kalimat ini sering terdengar di telinga kita sebagai sebuah lagu nasional yang sangat bermakna. Mari kita ingat salah satu petikan liriknya, “Tanah airku Indonesia. Negeri elok amat kucinta.”

Sebuah kalimat yang memang terbukti benar adanya. Bagaimana tidak? Bayangkan saja kita dapat melihat rimbunnya kelapa, berkaca di air laut yang sangat jernih, menikmati desiran angin, dan merasakan lembutnya dekapan pasir putih di pulau-pulau yang tersebar di seluruh Indonesia.

Begitu pula Pagerungan Kecil, salah satu pulau terpencil di pelosok Madura, konon katanya Pagerungan Kecil juga punya rayuan tersendiri. Bila kita meminum air pulaunya kita pasti akan kembali lagi ke sana. Entah apa ajaibnya, tetapi kami percaya bukan itu saja alasannya. Keindahan alamnya dan keramahan warganya menjadi kombinasi yang luar biasa untuk Pulau Pagerungan Kecil sendiri.

Pagerungan Kecil menyimpan banyak rahasia lainnya, antara keseimbangan dari iman dan taqwa serta kepercayaan mistis yang masih merajalela. Ketakutan sebelum berangkat sempat muncul dan menghantui kami, tapi ternyata berbagai macam stigma yang ada sebelumnya tak pernah berarti. Kami mencoba masuk ke segala sendi dan akhirnya berhasil menggali informasi. Informasi yang ada tentunya sangat berguna karena harapan kami nantinya Pagerungan Kecil tidak tertutupi oleh harumnya pulau tetangga, Pagerungan Besar, yang terkenal sebagai penghasil minyak bumi.

Yang kami rasakan, rayuan untuk kembali itu asalnya bukan dari air “ajaib” yang selalu diungkitungkit oleh warganya, melainkan karena sambutan ramah dan hangat warga Pagerungan Kecil. Tatapan tajam warga terhadap kedatangan orang asing seperti kami berganti menjadi tatapan penuh harap akan kembalinya ekspeditor mengunjungi Pagerungan Kecil ketika kami pergi. Sejujurnya, bagi kami perjalanan ini memang berarti dan pasti memiliki ceritanya tersendiri. Bukan hanya karena destinasi, melainkan juga aktivitas yang kami lakukan sehari-hari.

Ternyata, rayuan pulau kelapa itu benar adanya. Pengarangnya sungguh luar biasa. Entah karena apa hingga kini kami masih merasakan pikatnya. Seakan-akan terbayang menikmati pemandangan elok pantai putih nan bersih ditemani segarnya air kelapa alami. Sebuah pengalaman yang tak mungkin terlupa. Sebuah perjalanan yang terlalu indah untuk disimpan sendiri.

(Kiri) Senyum ramah penduduk desa.

(Kanan) Tatapan penuh kehangatan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

153

Mendalami Arti Syukur OLEH N A R E T TA V E R O N I C A ( P L’ 17)

“Put, tujuan ekspedisi kita apa?” tanyaku pada Putri sore itu, kala aku dilanda kebingungan luar biasa untuk menyusun program kegiatan.

“Belajar dari masyarakat pesisir, Ta,” jawabnya singkat. Ah, baiklah. Mendapati jawaban itu maka ekspektasiku tak banyak tentang ekspedisi ini. Belajar memancing, pergi melaut, mengarungi arus laut yang kencang, atau belajar menyelam? Hmm, belajar lebih dalam tentang kondisi sosial budaya di Pagerungan Kecil nanti?

Nampaknya hari-hariku di Pagerungan Kecil cukup sesuai dengan dugaanku. Kau boleh membayangkan sebuah adegan yang mungkin hanya terjadi di desa pesisir. Aku berdiri di dermaga, menghadap laut, menoleh ke bawah, dan aku melihat ikan-ikan kecil berenang bahkan di tepi pantai! Berjalan sedikit ke utara, aku mendapati pantai sedang surut dan kerang-kerang segar dapat dipungut dengan mudahnya. Di sore hari, aku berlari bersama teman-temanku kembali ke arah dermaga, melihat matahari tenggelam dan mengaburkan warna permukaan laut di ujung sana menjadi jingga.

Ah, rasanya seperti hidup di dalam mimpi. Sampai kemudian aku tinggal lebih lama dan semakin tersadar ketimpangan pembangunan di negeri ini rupanya benar adanya. Semakin lama tinggal di sana, mataku semakin terbuka. Pagerungan Kecil kaya akan sumber daya namun miskin fasilitas. Di kota besar guru dan tenaga kesehatan banyak sekali jumlahnya, fasilitas lengkap, dan informasi mudah diakses. Sementara itu, di desa yang kucinta ini listrik terbatas, guru berstatus PNS sedikit sekali jumlahnya, tak

ada dokter, anak-anak usia sekolah bahkan tak tahu bagaimana cara masuk ke perguruan tinggi negeri. Bahkan, saat aku pulang ke kota, seorang warga mengalami kecelakaan di pabrik es, tetapi harus menunggu berjam-jam lamanya untuk dibawa ke dokter.

Suatu malam aku tak dapat tidur. Aku berjalan ke teras. Temantemanku yang lain telah tertidur nyenyak. Kulirik jam di ponselku, hmm, pantas saja sudah tengah malam. Aku menengadah ke langit. Kudapati banyak bintang yang tak mungkin aku lihat di Bandung. Aku masih asyik melihat bintang sampai tak lama kemudian ada seorang teman di sampingku. Rupanya ia terbangun.

Malam itu aku habiskan bersama temanku dengan berbincang di bawah bintang. Aku tak sadar hingga akhirnya kami saling bercerita tentang banyak hal. Tidak ada satupun di antara kami yang memegang ponsel, tetapi rasanya waktu berjalan begitu cepat. Temanku kemudian kembali ke dalam rumah, mengambil sarung, dan kemudian berjalan ke arah dermaga. Aku mengikuti dari belakang.

Senja di dermaga.

154

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Ditemani angin malam dan kerlap kerlip lampu kapal nelayan di dermaga, malam itu aku mendapati bahwa ada banyak hal yang hanya bisa aku dapatkan di pesisir. Teringat pada pertanyaanku di awal pada Putri mengenai tujuan ekspedisi, malam itu aku mendapati jawabannya. Aku belajar bagaimana hidup sebagai masyarakat pesisir. Aku belajar mencari ikan di laut. Kemudian aku belajar bagaimana melihat ketimpangan di negeri ini sebagai suatu fakta nyata yang menyedihkan. Namun lebih dari itu, di malam itu

156

aku belajar apa arti bersyukur. Ada sesuatu di antara masyarakat pesisir yang tak kumiliki di kota. Aku belajar bahwa masyarakat Pagerungan Kecil seolah melebur menjadi satu keluarga. Aku belajar bahwa di tempat ini, masyarakat menyatu dengan alam. Malam itu, aku juga belajar bahwa memandang bintang tengah malam di dermaga sambil berbincang bersama orang- orang terdekat adalah kemewahan yang sama sekali tak mungkin aku dapatkan di kota.

Ah, sungguh aku hanya dapat bersyukur.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Jernihnya air laut di pantai yang sedang surut.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

157

Racauan Seorang Pendosa

OLEH B A G I N D A YU S U F A D I T YA N E G A R A ( R I L’ 18)

Beberapa definisi kata yang selama ini membangun citra, rupa aku tertanggalkan sudah jauh sebelum perjalanan dimulai.

Munajat pengagungan asma-Nya, yang sempat menjadi pegangan setiap harinya larut sudah dalam dosa, aku, yang terbuai.

Ku khianati sang Illah berkali-kali, kukenakan dengan nyaman kemunafikan itu setiap hari.

Sebuah usaha untuk kembali menemukan arti kata yang hilang, usaha perangkaian munajat baru yang benar, sesuai.

158

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Dengan gamis lusuh peninggalan kakekku, pagi itu (lagi) kubisikkan sisa frasa penutup andalan setiap tandangku ke rumah-Nya, “yaa rabbi akhirkanlah kami dalam keadaan khusnul khotimah.” Tak yakin apa lagi yang benar-benar aku inginkan.

Gelap, seperti biasanya, suara bising generator pabrik telah berhenti pertanda listrik mati dan matahari akan segera kembali.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Sumber cahaya yang awalnya berada di langit-langit sekarang berpindah ke pegangan pintu, lampu bertenaga aki yang terhubung dengan kabel merah dan hitam yang menggantikannya. Aku kembali memejamkan mata seraya memosisikan tubuh senyaman mungkin di atas tikar bambu, alas tidurku. Singkat bukan main, alarm ponsel beberapa kawan yang telah menyala seolah melesatkan sebuah pesan otomasi yang menghubungkan seluruh saraf pada tubuhku untuk bangun.

Waktu menunjukkan pukul empat lebih satu. Aku berdiri mengambil gamis di atas tumpukan pelampung, berjalan lima langkah melewati beberapa kawan ke depan pintu. Sisi lain sudah menunjukkan tanda kehidupan. Nampak cahaya terbiaskan etalase, berpendar, berasal dari head lamp yang dikenakan Rama yang sedang mengambil sesuatu dari tasnya. Samar ingatanku akan seorang lagi wanita yang sudah berdiri di depan kamar mandi memegang senter, Nida sepertinya. Aku menepuk kaki beberapa kawan yang berada di dekat pintu sebagai usaha membangunkan dan mengajak memenuhi panggilan salat yang seharusnya berkumandang pada pukul 04:06

waktu setempat. Mereka bangun. Pintu kubuka, lampu yang berada di gagang pintu tersebut kucabut dan kusimpan di dekat jendela.

Tak lupa kuambil kunci gerbang yang semalam disimpan di atas kusen pintu. Bukan tipikal pesisir yang mungkin kau bayangkan. Di sini tak terdengar deburan ombak, begitu tenang. Kulangkahkan kaki ke pelataran rumah, mencoba mengamati sendal mana yang bisa dipakai mengingat sandal jepit hijauku sudah tak mungkin lagi digunakan. Dalam heningnya pagi itu, angin terdengar begitu sibuk menggelitik pohon-pohon di depan rumah. Decitan dermaga kayu hasil hantaman halus perahu-perahu yang bersandar pun turut serta meramaikan. “Nid pinjem sendal! Iya boleh,” ucap dan jawabku sendiri. Saat kuinjak sandal kekecilan itu sembari mencoba memasukkan kepala ke gamis peninggalan kakek yang belum dicuci semenjak hari pertama menginjakkan kaki di pulau ini, tibatiba aku teringat sebuah pertanyaan sederhana yang ditanyakan salah seorang kawan, “Sebetulnya tujuanmu apa?”. Malam ketika pertanyaan itu dilontarkan aku bingung, tak tahu apa jawabannya. Berjalan aku menuju gerbang, berjalan pula pikiranku mencari sebenar-benarnya jawaban akan pertanyaan itu. Singkat cerita, keluar aku dari masjid. Selalu jadi yang pertama beranjak setelah salat dibanding kawan yang lain. Kukenakan kembali sandal kecil itu lalu aku pulang. Cepatnya aku beranjak setelah salat rasanya diakibatkan tak banyak pintaku pada sang Ilahi. Tapi, pulau ini semakin menggeser banyak hal. Kuharap Tuhan tidak keberatan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

159

Khasiat Tahlilan OLEH GRHA GANDANA PUTRA ( T M ’ 15)

Saat itu kami sedang berada di Masjid Nuruzzaman, UNAIR. Kami mendapatkan tempat bernaung selama sehari lebih untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Kalianget. Rencananya hari ini akan kami manfaatkan untuk melengkapi perbekalan dan logistik kami yang masih kurang. Tak hanya itu, kami juga melengkapi pengetahuan kami dengan ilmuilmu lapangan untuk kebutuhan berekspedisi seperti materi social mapping, design thinking, focus grup discussion, dll.

Pada suatu sore kami diberitahu oleh Mas Dai yang merupakan ekspeditor ENJ UNAIR 2019 sekaligus Ketua DKM Masjid Nuruzzaman untuk menghadiri acara tahlilan sehabis isya dalam rangka mengenang 100 hari meninggalnya mendiang salah satu dosen Program Studi Farmasi UNAIR. Sebuah tawaran yang sulit untuk kami. Muncul rasa enggan dalam benak. Namun, ditolak pun tidak mungkin. Apalagi, kami telah diperlakukan dengan baik selama di sini.

Hingga isya belum ada satu pun dari kami yang menyambut tawaran Mas Dai untuk ikut ke acara tahlilan. Sembahyang isya telah berlalu hingga akhirnya beberapa kawan menunjuk aku sebagai delegasi untuk ikut ke acara tahlilan.

160

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Kami berangkat berempat dengan tiga di antaranya merupakan teman-teman UNAIR termasuk Mas Dai. Lokasi tahlilan berjarak sekitar 200 meter dari kompleks Masjid Nuruzzaman. Seluruh tamu, mayoritas merupakan pria berumur paruh baya, yang diundang telah hadir di dalam ruangan dengan posisi duduk melingkar.

Kami yang tak mendapat tempat duduk di bagian luar lingkaran terpaksa duduk di tengah lingkaran tamu tersebut.

Lantunan-lantunan doa dan kalam Allah dibacakan dengan khidmat malam itu. Seusai acara utama dilaksanakan, kue-kue basah sebagai makanan pembuka dihidangkan kepada seluruh tamu. Kemudian, dihidangkan pula jamuan prasmanan spesial bagi para tamu. Aku memilih nasi kebuli dan es campur sebagai menu makan malam.

Sembari menyantap makanan malam, kami juga bercengkerama dengan beberapa tamu menggunakan bahasa Jawa yang aku tidak pahami. Kami memutuskan untuk kembali ke Masjid Nuruzzaman setelah perut terasa berat. Sebelum kami hendak pulang, seluruh tamu diberi bingkisan dari pihak keluarga.

Bingkisan-bingkisan tersebut diwadahi dalam paper bag yang berukuran lumayan besar. Kami berempat pun mendapat jatah masing-masing satu paper bag. Tepat sebelum kami pulang kami dijejali lagi dengan kue-kue basah hingga paper bag milikku terisi penuh.

Di perjalanan pulang aku masih terheran-heran kenapa para tamu diberi bingkisan. Apa hal ini memang lazim terjadi di acara tahlilan? Namun, yang pasti aku bersyukur sekaligus senang.

Rasanya ingin segera sampai untuk membuka isi paper bag ini.

Setibanya kami di masjid, teman-teman yang lain sedang berkumpul menyantap ayam geprek. Lantas aku mengambil benda-benda yang berada di dalam paper bag satu per satu mulai dari kue-kue basah, sebuah kotak dus berbentuk persegi panjang yang berisi kue spiku khas Surabaya, hingga pandanganku tertuju pada secarik amplop putih.

Di tengah keramaian kawan-kawan yang lain, suasana makin riuh setelah aku mengangkat amplop tersebut dari dalam paper bag dan mengambil isi dari amplop tersebut. Terlihat selembar kertas bewarna biru muda yang tidak lain adalah selembar uang Rp 50.000. “Alhamdulillah!” ucapku, salah satu kawan yang melihat aku menggenggam uang tersebut bergerak trengginas untuk merebutnya sembari kami terbahak-bahak. Sebuah hadiah yang luar biasa, lain ceritanya bila aku tidak ikut bersama Mas Dai dan kawan-kawan UNAIR. Suatu pengalaman tahlilan yang tak terlupakan dan “berkhasiat”.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

161

162

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Bermalam di Sapeken OLEH P U T R I R I S A FAT M A W AT I ( B I ’ 17)

Langit di Pulau Sapeken.

Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Setelah terombang-ambing di lautan selama kurang lebih 13 jam, aku turun dari Kapal Sumekar dengan tujuan Pelabuhan Kalianget - Pelabuhan Sapeken. Mataku dengan gesit mencari-cari kenalanku, Mas Nizam namanya (atau sebut saja Ken). Tak lama setelah aku turun dari kapal, Ken dan teman-temannya menyapaku dan menawarkan bantuan untuk membawakan barang-barang. Dermaga itu tidak luas, ada beberapa hal yang sempat membuatku takjub. Ketika mataku tertuju ke bawah dermaga, air lautnya sangat jernih dan juga terlihat bulu babi yang melimpah ruah di dasar perairan. Di dermaga itu, kami berniat untuk transit dan langsung melanjutkan perjalanan ke pulau tujuan kami. Namun, karena satu dan lain hal, kami memutuskan untuk menginap di salah satu rumah kenalan kami.

Aku bergegas menuju kantor kecamatan bersama empat orang temanku. Kami menemui Bapak Jae selaku Camat Kecamatan Sapeken. Sekitar 40 menit kami mengobrol dengan Bapak Jae. Pulau Sapeken merupakan suatu pulau yang terletak di Kepulauan Kangean yang berada di utara Pulau Madura. Sisi sebelah utara dibatasi oleh Laut Kalimantan, sebelah selatan dibatasi oleh Laut Bali, sebelah timur dibatasi oleh Laut Sulawesi, dan sebelah barat dibatasi oleh Laut Jawa. Pulau ini termasuk ke dalam Provinsi Jawa Timur. Meskipun begitu, bahasa yang digunakan ialah bahasa Bajau, Mandar, dan Bugis. Mayoritas penduduk Pulau Sapeken bermata pencaharian sebagai nelayan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

163

(Atas) Berburu Bebembe (Strombus sp.)

(Bawah) Membakar ikan Poponto Garas, Limbogor, Katombong dan Cepak.

Sore hari, ketika mentari hampir pulang ke peraduannya, Ken (dan teman-temannya) mengajakku dan teman-temanku berkeliling pulau. Pemberhentian terakhir kami yaitu di suatu pantai yang sedang surut airnya. Kami mencari kerang atau biasa disebut bebembe. Kerang itu akan kami masak bersamaan dengan ikan bakar pada malam harinya. Langit saat itu sangat indah untuk dinikmati sejenak, bewarna biru dengan gradasi jingga dan merah muda.

Hari itu, aku mendapat momen yang jarang sekali aku temui.

Bertemu teman baru dari pulau yang jauh dari tempat aku tinggal, bertukar cerita, bercengkrama di pesisir pantai hingga langit mengabu, juga mengenal teman-temanku lebih dekat. Aku juga menemukan beberapa biota laut seperti bintang laut coklat (Archaster typicus), bintang laut tanduk (Protoreaster sp.), teripang (Holothuria sp.), dan sekelompok porifera. Sebagai orang yang memiliki ketertarikan pada laut, penemuan-penemuan itu menjadi

164

kesenangan tersendiri hehe.

Seusai bermain di pantai, aku dan teman-temanku kembali ke rumah. Kami diajak oleh Ken dan teman-temannya untuk membakar ikan kerapuh merah dan kerang bebembe. Anak laki-laki membakar ikan sementara anak perempuan membuat sambal di dapur. Setelah satu jam, makanan sudah tertata rapi. Kami makan beralaskan daun pisang dengan posisi berdempetan. Kami semua lahap memakan hasil bakaran kami.

Soal rasa? Tidak usah ditanya, sangat nikmat! Terlepas dari itu, makan malam bersama teman-teman di Pulau Sapeken dengan posisi berdempetan diselingi tawa bahagia menurutku adalah sebuah momen yang hingga detik ini sangat aku rindukan.

Untuk teman-teman di Pulau Sapeken, Mas Nizam (Ken), Mas Tomo, Mas Ivan, Mas Al, dan Geta, terima kasih banyak atas sebuah cerita yang digoreskan untuk kami pada hari itu. Boleh jadi, aku akan berkunjung lagi!

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

“Tekke di memon mugai carite malasso ka palahatan sapekkan mugai aha sadiri kesek ngite kahan, gagaudi masomber ka aha ma pulau, kesek jeye bke kahan tarek boe mate pasuru sappale pamolean di (Sikadampe, situloh, sikarimanan).”

Datang kalian semua mulai cerita bagus ke Pulau Sapeken buat orang lain bahagia melihat kalian, tingkah kalian yang ramah ke orang pulau, mereka bahagia dengan kalian sampai air mata mengalir mengiringi keberangkatan kalian (Saling suka, saling bantu, saling cinta).”

K E N , 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

165

Keramahtamahan Warga Setempat OLEH SHERINE ANGELICA ( K I ’ 16)

166

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Perjalanan Dimulai

Transit

Menginap Satu Malam

Sampai ke Tujuan

Kalianget

Kangean

Sapeken

Pagerungan Kecil

Skema perjalanan menuju Pagerungan Kecil.

Bangsa Indonesia terkenal dengan keramahtamahan yang melekat pada jiwa masyarakatnya. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, budaya tersebut menjadi luntur terutama di kota besar. Ketika menapakkan kaki pertama kali di Pulau Kangean, hal yang langsung terlintas di benak kami adalah betapa hangatnya mereka menyambut kehadiran kami.

Dalam perjalanan laut yang kami tempuh, kami tak bisa sampai di pulau tujuan kami sesuai dengan agenda. Penyebabnya adalah kondisi laut yang sudah surut saat kami hendak menyambung perjalanan dengan kapal lainnya dari Pelabuhan Sapeken. Perasaan seluruh anggota tim menjadi kecewa dan bingung saat mendengar kabar ini. Walaupun kami menyadari betul bahwa kondisi lapangan itu dinamis, tetap saja dengan keadaan fisik yang lelah setelah terombang-ambing di kapal selama hampir 20 jam, kami tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa kami.

Kabar bahagianya adalah teman baru kami di Pulau Sapeken menawarkan tempat tinggal bagi kami beristirahat semalam agar keesokan paginya kami dapat menyewa kapal menuju pulau tujuan kami. Teman baru kami merupakan seorang admin dari akun Instagram @exploresapekenofficial. Kami sempat menghubunginya untuk mencari informasi tentang pulau yang menjadi tujuan kami.

Kami berkenalan dengan teman-teman Al, pemilik akun tersebut, yang tentu saja menyambut hangat kami. Mereka pun menjamu kami dengan ikan-ikan segar yang kami olah bersama untuk makan malam. Kenangan semalam di Pulau Sapeken terkenang di hati kami karena kehangatan mereka.

Keesokan harinya, mereka juga menemani kami di kapal yang menuju pulau tujuan kami, Pulau Pagerungan Kecil. Setelah sampai tujuan, kami turun dari kapal di dermaga. Bak artis turun dari mobil Lamborghini di karpet merah, kami menjadi pusat perhatian masyarakat yang berada di sekitar pelabuhan. Kami disambut hangat oleh kaki tangan kepala desa yang sedang tidak berada di pulau.

Kami juga diberikan tempat tinggal di salah satu rumah milik kepala desa yang kosong. Tempat inilah yang menjadi basecamp untuk 14 hari ke depan.

Ekspeditor, kawan-kawan Sapeken

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

167

Senyum yang selalu dirindukan.

Setiap harinya, kami menjelajahi setiap bagian dari pulau ini.

Untuk jangka waktu yang singkat, kami merasakan rasanya jadi artis dadakan. Kami senang karena dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga semua perasaan was-was karena takut tidak diterima oleh masyarakat sirna begitu saja. Ajakan warga untuk mampir ke rumahnya selalu menjadi melodi selama perjalanan kami. Sedapat mungkin kami menerima tawaran tersebut, tetapi saking banyaknya, terkadang kami tidak bisa mengabulkan keinginan warga karena kami sudah memiliki agenda tertentu. Pernah kami menjumpai seorang bapak yang kecewa karena kami tidak pernah mampir. Namun, kekecewaannya sirna saat kami hadir untuk sekadar bersenda gurau di rumahnya.

Saat kami mampir ke rumah warga, kami tidak hanya disuguhkan makanan atau minuman, tetapi juga disuguhkan cerita-cerita dari pengalaman hidup mereka. Ada yang sudah menetap di pulau ini sejak lahir, ada juga pendatang. Semuanya memiliki kenangan yang menarik di pulau ini. Warga yang lahir di pulau ini rata-rata berprofesi sebagai nelayan untuk laki-laki dan pengajar untuk perempuan. Warga pendatang biasanya memiliki pekerjaan yang

168

berbeda, seperti perias wajah (make-up artist), bidan, serta pedagang mainan. Kami juga terkadang diajak untuk mengikuti aktivitas mereka seperti melaut, memasang jaring di keramba, menjemur ikan, membuat olahan makanan, dan lain-lain.

Hari berganti hari kami menyimpan memori yang indah bersama warga di pulau. Menjelang jadwal kepulangan, kami merasa waktu seolah berjalan dengan cepat. Sulit rasanya untuk kembali ke kota dan meninggalkan aktivitas kami di pulau yang pada saat itu sudah menjadi kebiasaan baru bagi kami. Momen pesta rakyat yang kami adakan bersama warga merupakan momen terakhir kami. Kami merasa seperti sudah diterima menjadi warga Pagerungan Kecil. Bahkan, kami pun ditawarkan untuk menetap.

Dengan berat hati kami harus menolak dan berpisah dengan warga di pulau. Perpisahan ini menjadi pilu di hati. Bukan hanya kami yang meluapkan kesedihan kami dalam bentuk tetes air mata, tetapi warga di pulau khususnya ibu-ibu dan anak- anak kecil merasakan hal yang sama. Kesedihan ini menjadi haru yang terus melekat di memori kami hingga sekarang.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Bola Pagerungan Kecil OLEH I F FAT I F T I K A R ( F T ’ 18)

Masyarakat Pagerungan Kecil gemar berolahraga mulai dari voli, dayung sampan, hingga bulu tangkis. Namun, sepak bola menjadi olahraga yang paling populer di Pagerungan Kecil khususnya bagi kalangan pelajar putra dan santri. Pesantren Al-Barkah di Dusun Bondat adalah salah satu pesantren yang rutin mengadakan pertandingan sepak bola tiap minggu. Aku dan teman-teman ekspeditor berkesempatan untuk ikut bermain bersama santri-santri di Pesantren Al Barkah. “Dari Senin sampai Jumat main terus bola, kecuali Senin dan Kamis karena pada puasa,” jelas Maksum, salah satu alumni Al-Barkah sekaligus teman dekat kami yang mengajak para ekspeditor untuk ikut bermain bersama mereka di pesantren.

Hari itu merupakan hari-hari terakhir kami di Pulau Pagerungan Kecil. Setelah asar, kami berangkat menuju Pesantren Al-Barkah yang berada di selatan rumah kepala desa, basecamp tim ekspedisi kami.

Pesantren Al-Barkah memiliki lapangan kosong di tengah-tengah bangunan kelas-kelasnya. Di lapangan itulah para santri mengisi sore mereka dengan bermain bola.

Sepak bola adalah salah satu media yang mempersatukan Pulau Pagerungan Kecil dan Pagerungan Besar. Setiap dua tahun sekali, kedua pulau tersebut mengadakan turnamen yang diikuti oleh masyarakat Pagerungan Besar dan Pagerungan Kecil. Jika terjadi sebuah pertandingan, seluruh warga datang, menonton, dan mendukung kerabat-kerabat mereka memperebutkan gelar juara.

Ketika tiba di Al-Barkah, kami diperlihatkan sebuah pertandingan sepak bola yang menarik seluruh penghuni Al-Barkah untuk keluar menonton. Batu sebagai gawang, kaki berlari tanpa alas kaki, dan bola hanya out jika semua setuju itu out. Permainan dengan alat-alat seperti itulah yang telah melukiskan senyum pada wajah kami dan santri-santri Al-Barkah. Aku pun tidak sabar untuk menunggu giliranku bermain.

Maksum yang ada di lapangan berteriak ke arah kami untuk mengajak kami bermain “Ayo main, main!”. Pada sore itu ada aku, Gege, Ari, dan Wika yang siap bermain bersama mereka. Kami, karena kekurangan orang, satu tim dengan Azmy, seorang alumni Al-Barkah dengan tampang mengintimidasi namun lebih muda dari Maksum. Aku tidak jago bermain sepak bola, kami semua belum mandi, dan Gege menggunakan sarung.

Meskipun kami kalah, permainan sepak bola tadi cukup membuat kami yang biasanya hanya jalanjalan keliling pulau (memutari pulau, secara harfiah!), mengeluarkan keringat yang cukup membuat baju kami seperti baru menaiki taksi laut dari Sapeken ke Pagerungan Kecil. Ya, permainan tadi membuat kami banyak mengenal penghuni-penghuni Al-Barkah, santri-santri, dan juga para ustad. Memang, bermain sepak bola benar-benar dapat melukiskan senyum ke wajah seseorang, termasuk kami.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

169

Makanan yang Tidak Biasa!

OLEH NADHILAH MUSTIKARINI ( A S ’ 1 5)

Waktu di Pagerungan Kecil adalah pertama kalinya aku makan yang ‘aneh-aneh’, misalnya…

HIU Siapa yang menyangka kalau kami bakal diberi daging hiu oleh warga lokal? Bahkan kami mendapatkannya dua kali pada hari yang berbeda dan dari warga yang berbeda pula.

Menu pertama: opor hiu (atau kari ya? pokoknya berkuah). Percobaan pertama masak hiu memang agak failed sih, masih ada bau amisnya sedikit. Entah karena menyimpan dagingnya terlalu lama (hanya di rendam di air baskom) atau karena cara memasaknya yang salah.

Menu kedua: hiu goreng. Masakan kedua ini jauh lebih enak, mungkin karena sudah diajarkan cara mengolah yang benar oleh warga. Kalau dipikir-pikir, rasa daging hiu mirip seperti ikan pada umumnya, tapi lebih tebal dan sedikit lebih amis aja.

P E N YU H I J A U Setelah pesta rakyat, santri-santri Al Barkah mengajak kami makan lagi di pesantrennya. Kata mereka sudah ditungguin sama Pak Ustad, mau bakar-bakar sate penyu. Karena semuanya sudah disiapkan, terpaksa kami dengan berat hati memakan sate penyu tersebut. Ternyata rasa penyu nggak beda jauh sama daging ayam.

Mungkin after effect-nya aja yang harus hati-hati. Kata Pak Ustad, tidak boleh banyak-banyak makan daging penyu, nanti badan kita bisa jadi panas.

170

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Ilustrator: Nissakim Puteri Salsabila

Tubuh ikan hiu, dagingnya lembut tapi sangat amis.

Frambozen

FRAMBOZEN Di suatu siang yang terik, aku bersama Be a dan Ahmad bertamu ke rumah Pak Umar. Mungkin karena melihat muka lelah kami, Ibu (istri Pak Umar) membuatkan minuman dan ubi rebus. Pada tegukan pertama, aku langsung jatuh cinta pada rasa minuman buatan Ibu yang enaaaaak sekali. Aku coba ke dapur dan tanya ke Ibu. “Bu, ini minuman apa, kok enak banget ya?”

“Ini namanya teh poron(g), sebenarnya enggak pakai teh, cuma gula dimasak di atas kompor (jadi karamel) terus dikasih air. Warnanya aja yang mirip teh.”

Aku nggak puas sama jawaban Ibu, “Tapi ini beda bu rasanya, nggak pernah aku temui sebelumnya.”

Setelah berpikir sebentar, ibu kemudian bilang, “Oh itu tadi ditambah vanili biasa kok beli di warung, nggak ada yang aneh”, sambil nunjukkin botol merah mungil yang sedap baunya. Ternyata ‘vanili’ itu adalah frambozen, campuran makanan yang kadar alkoholnya sekian puluh persen… jeng jeng…

BIDARA Yang aku tau, bidara itu obat untuk menghilangkan sihir, mengusir jin, atau hal-hal serupa. Di sana, aku baru mengetahui wujud pohon bidara. Buahnya berwarna hijau dan berukuran kecil mirip kacang polong, rasanya asam manis.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

171

172

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Catatan Komandan Operasional OLEH ALIF ZAKY MUHAMMAD ( M S ’ 1 6)

E K S P E D I S I K O K C A C AT ?

Be a dipijat di Ponggang setelah kecelakaan.

Semua berjalan baik-baik saja, sampai ia, sang Komandan Operasional, saat simulasi mengalami sebuah kecelakaan motor yang mengakibatkan kakinya memiliki luka dalam. Be a, begitu ia dipanggil, memutuskan untuk ditangani di tempat simulasi sebelum ekspedisi, Desa Ponggang. Di sana, ia tidak bisa berjalan sama sekali dengan kondisi kaki yang membengkak. Setelah pulang simulasi, dia mendapatkan penanganan medis, yang ternyata kakinya dalam kondisi retak, sedangkan kurang dari 3 minggu lagi ia harus berangkat ekspedisi.

Yah, kalo kata temannya yang bertugas sebagai medik tim ekpeditor, Vivi, Be a sih sering diledek, kaki masih cacat tapi kok ekspedisi. Mungkin rasa kagum Vivi digambarkan dengan bentuk guyonan. Selama di kereta dan transit, kaki Be a perlu dirawat dengan penanganan medis mandiri. Menderita tapi senang, mungkin itu yang bisa disebut mendobrak batas kemampuan diri. Bahkan saat pergerakan di lapangan pun, kakinya perlu berjalan perlahan.

Namun, ajaibnya dengan kegiatan di lapangan ini, kaki Be a perlahan menjadi sembuh dan terbiasa untuk berjalan dengan normal.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

173

Kondisi Haluan Kapal KM Sumekar.

K E B E L E T, K E P E P E T, D I P I N G G I R K A PA L Malam hari di KM Sumekar memang membuat suasana tidur menjadi kurang nyenyak. Dengan kondisi tempat tidur yang sempit, 3 kasur diisi 4 orang, ditambah dengan rasa yang sudah tidak dapat ditahan oleh dia, kebelet pipis. Be a yang kala itu terbangun di malam hari heran, ada salah satu anggota ekspedisi yang tidak ada di kasur, Iffat. Sang Komandan Operasional yang kebelet pipis ini akhirnya memutuskan untuk keluar kamar berencana untuk buang air dan mencari Iffat. Namun, saat membuka pintu kamar, Be a dikagetkan dengan kepala orang di depan pintu. Kaget bukan main, ternyata saat menoleh ke kiri, jalan menuju kamar mandi sesak

174

oleh orang berbaring. Hal ini membuat Be a bingung mau buang air di mana.

Saat menoleh ke kanan menuju haluan kapal, Be a melihat Iffat sedang berdiri. Iffat berdalih bahwa ia sedang mengeringkan tubuh, padahal air laut selalu menyembur di haluan. Karena kebetulan Be a menemukan temannya, maka dia meminta untuk ditemani di haluan.

Dengan rasa kebelet dan kepepet, maka Be a buang air dengan terpaksa di pinggiran kapal. Untungnya arah angin mendukung, sehingga air dapat mudah mengalir menuju laut.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Ku Takkan Melupakan Surga OLEH ALIF ZAKY MUHAMMAD ( M S ’ 1 6)

Siang itu, dua hari sebelum kepulangan, aku sangat bingung.

Semua teman-temanku mengabarkan bahwa warga-warga yang telah mengetahui bahwa lusa kami pulang, mengundang para ekspeditor untuk hadir pada jamuan yang diadakan oleh mereka pada malam hari. Sebagai Komandan Operasional tentunya aku bingung untuk mengatur jadwal supaya hadir ke berbagai rumah warga dan tentunya dengan perut yang siap untuk menerima makanan yang mereka suguhkan. Aku ingat saat itu kami ditawarkan 6 undangan sebagai bentuk perpisahan terakhir dari warga di sana, baik itu pribadi maupun dari pesantren.

Dengan keterbatasan jumlah ekspeditor dan volume perut, akhirnya kami menyetujui untuk hadir dengan membagi waktu yaitu malam ini dan malam esoknya sebelum kepulangan. Undangan yang kami terima pun hanya 4 undangan yang terbagi menjadi 2 undangan per malam. Alangkah baiknya warga lokal di sana, semoga rezeki terus mengalir ya Pak, Bu, Mas, Mbak.

Hidangan yang kami nikmati pun tak kalah menariknya dengan hidangan yang telah kami cicipi di pulau tersebut selama kami melakukan pergerakan. Bak hidangan surga yang mereka jamu, memiliki cita rasa lokal yang sulit untuk dicari di tempat lain disertai bumbu yang sangat lezat. Dikejutkan dengan daging penyu

yang dibakar, dihidangkan pisang rebus yang dicocol sambal terasi, ikan segar yang durinya tidak mengganggu di mulut, kepiting dan lobster yang dikasih cuma-cuma, rasa teh poron yang menyegarkan tenggorokan, dan hidangan lainnya yang dicicipi oleh temantemanku. Sungguh, hari-hari terakhir membuat kami kangen terhadap surga yang mereka beri.

Tak hanya hidangan yang kami ingat tentang rasanya, kami pun diberikan pemberian yang amat berharga nan beragam, aku yang diberi baju koko, gelang akar bahar, dan artefak berupa penyu yang aku simpan baik-baik di dalam tas hingga sampai Bandung tanpa memberikan cacat pada pemberian mereka. Tak lupa, teman-temanku diberikan beragam kenangan, seperti cincin penyu, gigi hiu, jubah koko, ekor pari, sisik penyu, dan masih banyak peninggalan lainnya yang mereka beri ke kami.

Detik-detik sebelum kami menaiki kapal pun, teman-teman kami yang ada di Pagerungan Kecil menyempatkan hadir untuk memberikan salam terakhirnya meskipun pada saat itu sudah memasuki jam sekolah dan jam kerja. Terima kasih atas segala pengalaman yang kalian beri, Pagerungan Kecil. Ini merupakan perjalanan kami mengenal negeri ini.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

175

Suatu Saat Jika Kamu Ekspedisi OLEH ALIF ZAKY MUHAMMAD ( M S ’ 1 6)

Pesan ini diperuntukkan untuk teman-temanku dan kamu yang ingin melaksanakan ekspedisi.

Bagi temanku, pengalaman ini merupakan pengalaman berharga yang tidak akan pernah dilupakan.

Dengan adanya perjalanan ini, aku bisa lebih mengenal manusia, lebih mengenal negeri ini, mengajarkanku lebih baik tentang tenggang rasa antar-pribadi, dan memberikan bekal untukku ke depan tentang cara memberdayakan masyarakat. Aku mendapatkan pesan-pesan hidup dari masing-masing pribadi kalian dengan latar belakang yang unik dan memberikan manfaat secara langsung pasca-ekspedisi ini. Mungkin, suatu saat nanti jika aku ingin melaksanakan perjalanan akan menjadi lebih tertata karena kalian yang telah menuntunku mencari evaluasi. Semoga kita bertemu lagi.

Bagi kamu yang akan melakukan perjalanan, takut memang bisa jadi modal awal batas diri kamu.

Perjalanan ini bicara soal melewati batas diri, skill, fisik, maupun mental. Beranikanlah diri untuk terus berjalan, meskipun pelan. Tidak ada gunanya jika terus berdiam atau hanya jalan di tempat. Mulailah berjalan dan perlahan menjadi berlari. Banyak hal yang bisa kamu dapat jika kamu peka dengan memaksimalkan seluruh panca inderamu. Jadikanlah kamu yang paling gigih, tapi janganlah hanya sekadar pemenuhan egomu. Banyak temanmu yang memiliki tujuan yang berbeda-beda, tapi hapuslah ego itu dan jadikan bergerak bersama menjadi gerakan yang kamu inginkan. Beranilah!

176

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

NABASTALA

OLEH P U T R I R I S A FAT M A W AT I ( B I ’ 17)

Aku selalu menuju dermaga kayu saat petang Duduk di ujung dermaga dengan kaki menyila Menikmati lembayung di peraduan Juga suara ombak yang menabrak kaki-kaki dermaga Dan ya, perlahan langit menjadi abu Hamparan bintang gemintang Menyaksikan bintang jatuh Juga sabuk galaksi bima sakti Selalu menggiurkan untuk dinikmati Di tempat ini, Matamu, mataku Mereka bersua Tentang perjalanan Tentang hari ini, masa depan dan juga, Tentang cinta Hari itu menakjubkan Banyak sekali cerita tertoreh lembut dalam ingatan Sekali dua, Aku rindu. Pada langit petang dan malam Yang menjadi saksi bisu Akan hari-hari yang amat baik Di negri nun jauh di sana

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

177

Pulang untuk Kembali OLEH I R FA N S M A U L A N A F I R D A U S ( M E ’ 15), B A G I N D A YU S U F A D I T YA N E G A R A ( R I L’ 18)

Tak terasa tanggal yang ditetapkan untuk kita pulang sudah dekat dan tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Komandan lapangan (Be A) dan Penanggung Jawab transportasi (Dhani) mulai mempersiapkan segalanya untuk kepulangan kami, mulai dari kendaraan hingga ongkos. Teman-teman juga kadang ikut bertanya kepada warga saat pergerakan sehari-hari.

“Pak, kalo kapal Sanus kira-kira kapan sampai Pagerunga Besar?” tanyaku.

“Ohhh, kalian pulang kapan?” jawab Pak Yusuf.

“Insyaallah, tanggal 30 Juli (2019), Pak.” jawabku.

“Kalo Sanus jadwalnya tanggal 31 Juli di Sapeken.” kata Pak Yusuf sambil membuka handphone.

“Oh begitu, Pak. Makasih Pak.” timpalku.

Warga Pagerungan Kecil mendapatkan kabar tentang kapalkapal yang berlabuh di Pagerungan Besar maupun Sapeken lewat grup Whatsapp. Hal itu, cukup mempermudah warga Pagerungan Kecil yang akan bepergian ke Madura, Banyuwangi, maupun Bali.

Oke, jadwal kapal sudah didapatkan. Be A dan Dhani juga mendapatkan jadwal kapal dari sumber lainnya. Akhirnya diputuskan bahwa kami pulang tanggal 31 Juli 2019 melalui Banyuwangi karena kapal Sanus hanya melayani rute Sapeken-Banyuwangi, bukan Sapeken-Kalianget (Madura).

Berat untuk melepaskan dan pergi meninggalkan.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

179

31 Juli 2019. Pagi kami beberapa hari sebelumnya bisa dibilang sudah monoton. Namun, tidak untuk hari ini. Hari ini adalah hari terakhir kami di Pagerungan Kecil. Tidak ada masak, cuci piring, dan piket membersihkan rumah karena kami harus bersiap untuk pulang. Kami sarapan bersama di depan rumah sambil mengobrol ngalor-ngidul. Nayla membeli gado-gado buatan ibu warga sekitar dengan harga tiga ribu rupiah (sudah dapat lontong, mie, dan kerupuk) yang bisa dibilang murah, bahkan sangat murah. Sarapan dan mengobrol dicukupkan.

Pukul 08.00 kami sudah siap menuju ke kapal yang kami sewa untuk menuju ke Sapeken. Kami melakukan checking ulang barang-barang kami agar tidak ada yang ketinggalan. Setelah semua telah aman, kami melangkah menuju ke kapal. Tak lupa, kami juga mengenakan pelampung dan berdoa bersama agar selamat sampai tujuan. Kami hanya ber-19 karena Galih, Nod, Rama, dan Ahmad sudah pulang terlebih dahulu karena ada satu dan lain hal.

Warga yang cukup dekat dengan kami selama di Pagerungan Kecil juga turut mengantar kami menuju ke kapal. Bahkan anakanak yang sering main bersama ikut mengantar kami. Padahal anak-anak ada jadwal sekolah. Kepala Sekolah SDN 2 Pagerungan Kecil juga datang dengan membawa sedikit oleh-oleh untuk dimakan di perjalanan, tetapi beliau tidak lama kembali ke sekolah karena harus kembali mengajar. Ada rasa senang, sedih, tawa, canda, dan tangis saat kami naik ke kapal. Ya, bukankah jika ada pertemuan maka ada perpisahan. Tidak lama kami berpamitan dengan para warga, kami menaiki kapal dan perlahan menjauhi dermaga.

Perjalanan dari Pagerungan Kecil ke Sapeken menggunakan kapal yang kami sewa perlu waktu kira-kira 2 jam. Kami akhirnya sampai di Sapeken sebelum zuhur. Kapal Sanus akan berangkat dari Sapeken menuju Banyuwangi pada pukul 17.00 WIB. Kami masih bisa sedikit bermain di Sapeken. Kami dibebaskan sejenak untuk berkelana sampai pukul 14.00 WIB. Ada yang makan siang, ada yang mengunjungi SMA di Sapeken, dan ada yang beli oleholeh dari Sapeken berupa tas dan topi. Pukul 14.00 WIB Dhani sudah membeli tiket kapal Sanus seharga Rp 13.000,- per orang.

Harga yang sangat murah untuk fasilitas yang sangat nyaman, karena ada mushola, kasur, kantin, dan tempat duduk santai di bagian belakang kapal. Tak lupa kami berpamitan dengan “Sapeken Boys” yang telah membantu kami mulai dari kami tiba pertama kali di Sapeken hingga kami pulang.

Pukul 17.30 WIB, kapal Sanus tak kunjung berangkat. Beberapa penumpang menikmati keterlambatan kapal Sanus dengan

180

bersantai di tempat duduk bagian belakang kapal untuk menikmati matahari terbenam. Langit jingga dan tenangnya ombak jadi pemandangan kala itu. Pukul 18.00 WIB, kapal Sanus akhirnya berangkat menuju Banyuwangi. Masih ada beberapa dari kami yang menikmati waktu di bagian belakang kapal dan ada juga yang kembali ke kasur kapal untuk beristirahat. Perjalanan SapekenBanyuwangi memerlukan waktu kira-kira 12 hingga 13 jam.

Keesokan harinya, 1 Agustus 2019 pukul 07.00 WIB, kami tiba di Pelabuhan Banyuwangi. Turun dari kapal, kami diminta untuk cek kesehatan dengan cara diambil sampel darah. Hal ini untuk memastikan bahwa kami sehat. Sambil menunggu cek kesehatan, Bella dan Wika membeli sarapan dan selanjutnya kami makan bersama. Pukul 09.00 WIB kami bersiap meninggalkan pelabuhan dan berjalan kaki menuju Terminal Bus Banyuwangi. Di gerbang pelabuhan, Wika harus berpisah dari tim EMPI karena dia akan me lanjutkan perjalanan ke Bali untuk bertemu keluarganya. Terminal Bus Banyuwangi terletak sekitar 1 km dari pelabuhan. Kami berencana untuk berjalan menuju Terminal Banyuwangi dan mencari bus di sana. Namun, di tengah jalan kami ditawari oleh kernet bus dan diyakinkan bahwa kami tidak akan dioper di tengah jalan. Kami memutuskan untuk naik bus tersebut dan membayar Rp54.000,00 untuk ke Terminal Surabaya. Tak disangka, di tengah perjalanan kami dioper ke bus yang lain dengan alasan bus yang kami tumpangi harus kembali ke bengkel karena ada masalah. Akhirnya kami berganti bus dan sampai di Terminal Surabaya pada malam hari.

Setibanya di Terminal Surabaya, kami memesan transportasi online menuju ke Masjid UNAIR untuk singgah beristirahat sambil menunggu jadwal kereta pada tanggal 3 Agustus 2019.

Dalam selang dua hari penantian jadwal kereta kepulangan, kami menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat wisata di Surabaya kecuali dua ekspeditor, Irfan dan Baginda yang terlebih dahulu pulang ke Bandung pada tanggal 4 Agustus. Selaras dengan kami yang menjauh dari Pagerungan Kecil, ketenangan pikiran dan kesederhanaan kegiatan harian di sana pun perlahan berangsur menjauh dan tampaknya mustahil untuk dapat kami rasakan kembali. Ingar-bingar pulau terpadat di Indonesia kembali menyambangi, kompleksitas problematika jutaan jiwa mulai menggeser hal-hal sederhana yang kami rasakan di Pagerungan Kecil. Jantung kembali berdegup lebih kencang, dahi mengernyit lebih lama, dan atmosfer penuh tekanan menjadi tanda kami telah kembali di tanah penuh buaian duniawi.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Senja di Sapeken.

182

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Masyarakat Pagerungan Kecil melepas kepulangan ekspeditor EMPI 2019.

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

183

Kesan Pesan Ekspeditor EMPI 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

185

ALIF ZAKY MUHAMMAD M S ’1 6 , K O M A N D A N O P E R A S I O N A L

“EMPI menjadi salah satu pengalaman terbaik di kampus yang belum tentu semua orang bisa beruntung mengikuti kegiatan ini, bisa mendapatkan teman yang punya karakter yang heterogen tapi tetap bisa seru bareng dan bekerja bareng. Pagerungan Kecil menjadi kenangan manis sebagai pulau indah yang eksotis oleh budaya dan keindahan alamnya.

Aku mau suatu saat nanti seluruh ekspeditor dapat bekerja sama kembali dan berkumpul untuk mendiskusikan arti hidup yang sudah dilalui oleh masing-masing orangnya, dan terakhir semoga kegiatan seperti ini tidak akan hilang hingga seluruh pulau di Indonesia ditelusuri oleh anak ITB.”

FAT I M A H S YA H I D A H N U S A I B A H G L’1 7 , P R O G R A M

“Aku datang ke pulau ini membawa semua definisi takut, sedih, dan terpuruk tapi begitu segerombolan anak-anak kecil lari ngikutin aku dengan mainannya, ibu-ibu yang menawarkan masakannya, serta bapak-bapak dengan segudang cerita dan ilmu yang tak pernah terpikirkan berhasil meruntuhkan kekhawatiranku dan Pagerungan Kecil jadi satu memori di hidupku yang tidak terlupakan. Terima Kasih Pagerungan Kecil untuk segala pesan dan kesan yang boleh kubawa pulang. Rasanya, sia-sia saja ketika kita pergi jauh menjelajah, tetapi kita tidak mau bersama belajar dan bertumbuh darinya.”

A H M A D H I D AYAT U L L A H K L’1 7 , F U N D R A I S I N G

“Pagerungan Kecil baik banget orang-orangnya sama pendatang, kita mudah mencari informasi dasar yang kita perlu. Kepercayaan mereka akan alam sangat tinggi. Aman, di sana keamanan cukup baik. Seru banget hari-hari di Pulau Pacil. Buat EMPI, temen-temen baru, keluarga baru yang aku temukan disini, kalian keren! Ayo, jalan-jalan lagi!

Untuk Warga Pagerungan Kecil, terima kasih sudah menerima kita dengan baik, semoga kalian selalu diberi kesehatan dan kelancaran dalam segala aspek kehidupan. Kita dapat banyak pembelajaran dan pengalaman baru yang siap diceritakan dan dibawa semangatnya mulai dari komunitas kita, ke khalayak ramai. Buat EMPI, kalian jangan takut buat ekspedisi ke tempat antah berantah! You can do it!”

I F FAT I F T I K A R F T ’1 8 , K O M U N I K A S I

“Pagerungan Kecil, pulau yang terperangkap di tengah samudra namun tidak satupun yang merasa tidak bebas. Jika masih diberi umur, tenaga, dan kesempatan, aku ingin melihat matahari terbenam di sana sekali lagi. ”

186

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

ARI RACHMAN G L’1 8 , D O K U M E N TA S I

“Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia ITB 2019 adalah perjalanan terjauh yang pernah aku lakukan di dalam negeri. Menjadi bagian dari tim ekspeditor itu sendiri adalah pengalaman yang sangat berharga. Dimulai dari ajakan teman dekat untuk melengkapi kekurangan tim karena sebagian memilih mundur menjadi pengalaman yang berbeda dengan teman satu tim ekspeditor. Hadirnya diriku berbeda dengan mereka yang sudah melewati tahap rekrutmen yang cukup panjang dan menyulitkan. Sedih memang, kadang susah untuk bertukar cerita karena tak sama-sama merasakan pengalaman hebat mereka.”

AULIA SALSABELLA SUWARNO O S ’1 7 , A K O M O D A S I

“EMPI merupakan hadiah dan pelajaran yang paling bermakna dalam proses pencarian jati diri saya: laut, masyarakat, dan budaya. Kenangannya tak hanya akan tersimpan di memori digital, tapi juga di dalam sanubari jiwa ini selamanya.

Jika selama ini kau pikir tugas mahasiswa hanyalah belajar demi “masa depan bangsa”, maka ada yang kurang dari tujuanmu. Berikanlah kesempatan pada dirimu untuk pergi dan melanglang buana untuk benar-benar mempelajari kondisi nusa, tak semua ilmu sudah tertulis di atas kertas.”

GRHA GANDANA PUTRA T M ’1 5 , M AT E R I D A N M E T O D E

“Rasanya tidak karuan. Ada kalanya senang, sedih, tertawa, kesal, dan masih banyak frasa sifat lainnya. Pagerungan Kecil memang berhasil membuatku terkesan dimulai dari warga lokal yang terbuka, santapan oplos es kelapa-muda-susu-hemaviton yang menghancurkan pencernaan, bocah-bocah bengal bermuka polos, pesta sate penyu pesantren, dan kejutan-kejutan lainnya. Terima kasih kawan-kawan! Semoga kita selalu haus untuk bermanfaat.

Untuk para kawan-kawan ekspeditor, semoga apapun tujuanmu dapat terealisasi dan semakin membuat insyaf akan peran kita di masa mendatang sebagai makhluk hidup yang berakal. Untuk pembaca semoga terinspirasi dan dapat melakukan hal bermakna bagi pribadi dan masyarakat di dunia yang fana ini.”

N O V I TA E K A PA D M A N I N G R U M G L’1 7 , M E D I K

“Pagerungan Kecil di luar ekspektasiku. Betul memang kata orang bahwa masyarakat timur Indonesia notabene terdiri atas orang-orang yang ikhlas membantu.Buatlah setiap tempat yang kau tapaki berharga dan bermakna.”

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

187

P U T R I R I S A FAT M A W AT I B I ’1 7 , P E R I Z I N A N

“Pertama kalinya melangkah jauh ke pelosok negeri. Mengarungi lautan selama 16 jam, merupakan pengalaman yang sangat menakjubkan. mengenal dan tinggal satu rumah dengan 22 ekspeditor lain yang memiliki sifat juga paradigma yang berbeda akan banyak hal, tidak mudah. Mengenal, bermain, bercengkrama dengan warga di pulau Pagerungan juga merupakan pembelajaran dan pengalaman yang menarik. EMPI mengubah cara pandang dan juga pola pikirku akan sesuatu yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.

Yang paling utama adalah, aku menemukan sebuah arti pertemanan juga keluarga baru. Terima kasih, Pagerungan Kecil. Terima kasih, EMPI 2019.

Untuk kalian, keluargaku, EMPI 2019. Jangan pernah berhenti menjelajahi alam Indonesia yang luas dan indah. Jangan lupa pula untuk menebarkan kebaikan untuk orang-orang di sekitar juga pada diri sendiri. Kalian hebat!”

NISSAKIM PUTERI SALSABILA D K V ’1 7 , P U B L I K A S I D A N D E S A I N

“Yang selama ini cuma pernah melihat peradaban di kaki gunung akhirnya bisa menengok peradaban pulau timur di tengah-tengah laut. Beda budaya, beda norma, beda kebiasaan. Jadi pengalaman paling unik dan seru di antara sejuta aktivitas kuliah yang monoton, dan bikin diri bersyukur sama nikmat yang udah dimiliki dan bisa diakses saat ini.

Tugas sebagai mahasiswa memang banyak, tapi jangan pernah lupa sama tugas kita sebagai manusia. Semoga dari EMPI ini bisa memupuk rasa kemanusiaan tiap ekspeditor dan mendorong kita untuk bersama-sama belajar menjadi bermanfaat.”

M U H A M M A D R A I H A N D Z A K Y M U S YA F FA M R ’1 8 , P E R A L ATA N

“Pagerungan Kecil, sebuah tempat yg membuka mata saya tentang keberagaman budaya Indonesia serta pesona yang memukau. Di sanalah semangat menjelajah Indonesia serta dunia ini bangkit.

Keluarlah, pergilah, jangan terlena dengan kenyamanan kampus dan perkotaan di saat petualangan yang seru menanti kalian di luar sana!”

S AT W I K A A N A N D A G L’1 7 , K E T U A E K S P E D I S I

“Nggak nyangka aja, ternyata tempatnya bagus dan nggak sesuai dengan pandangan orang-orang sebelumnya.

Jangan pernah berhenti menjelajah, karena kamu akan menemukan dirimu sendiri!”

188

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

N A D I FA A D I L A P L’1 7 , D O K U M E N TA S I

“Dari EMPI aku belajar banyak hal mulai dari sesederhana gimana caranya bicara dengan orang yang tidak pernah bertemu dengan kamu sebelumnya.

Ditambah lagi dengan bahasa Bajau yang mungkin terdengar asing bagiku yang terbiasa di kota hingga belajar bagaimana caranya membuat kerajinan, membuat makanan khas, hingga memahami permasalahan sosial yang ada di pulau pesisir yang penuh dengan dinamika laut yang mempengaruhinya.

Pesanku sebenarnya tidak banyak, pun aku tidak banyak pengalaman tapi satu hal yang kurasa harus orang lain percaya bahwa kita siapapun jangan pernah merasa diri kita tinggi hingga ingin “memberikan sesuatu” untuk masyarakat. Pada akhirnya justru kita sendiri lah yang belajar pada mereka.

Tanamkan pikiran bahwa yang diperlukan ialah saling bertukar rasa dan ilmu hingga saling melengkapi satu sama lain. Masih banyak pelosok-pelosok Indonesia yang belum terjamah dan bahkan belum memiliki peradaban yang mumpuni, maka jangan kenal lelah untuk mengenal Indonesia.

N A R E T TA V E R O N I C A P L’1 7 , P R O G R A M

“EMPI benar-benar pengalaman hidup yang pasti susah diulang. Dari EMPI aku belajar untuk lebih bersyukur. Dari EMPI juga aku belajar iri sama masyarakat pesisir yang kekeluargaannya erat, selalu saling menolong, dan dekat sama alam. Kadang masih nggak nyangka pernah punya pengalaman hidup yang seindah novel.

Makasih banyak untuk ke 22 ekspeditor EMPI yang udah jadi salah satu keluargaku. Dari kalian aku belajar banyak hal karena kalian semua unik dengan sifatnya masing-masing. Sukses selalu!”

N AY L A M A R H A M A H S A D I D A H B A’1 6 , P E R B E K A L A N

“Mengikuti kegiatan EMPI merupakan keputusan yang tidak pernah kusesali sama sekali. Seru banget! Pagerungan Kecil punya banyak cerita! Bertemu teman, sahabat, keluarga baru di EMPI ini.

Semoga EMPI selalu jadi “Lentera di Tengah Samudra”! Jangan ragu untuk menjelajah, jangan takut, ayo lihat dunia yang lebih luas!”

B A G I N D A YU S U F A D I T YA N E G A R A R I L’1 8 , M A N A J E M E N S U M B E R D AYA M A N U S I A

“Ekspedisi: Pengalaman tak terlupakan yang menggeser keinginan-keinginan keduniaan.

Panjang umur untuk usaha pemahaman kemasyarakatan oleh tuan puan peramu masa depan.”

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

189

NADHILAH MUSTIKARINI A S ’1 5 , P U B L I K A S I D A N D E S A I N

“Jangan sungkan untuk belajar dari manapun dan dari siapa pun. Karena kadang-kadang pelajaran hidup yang luar biasa didapat dari sesuatu yang nggak diduga-duga.”

“EMPI jadi pengalaman luar biasa di tahun kelima aku di ITB. Sukses bikin aku terpana tiap kali melihat langit malam di Pagerungan Kecil, cerah banget kaya masa depan (Aamiin). Orang-orang di sana juga ramah, bahasa dan budaya Bajau juga unik. Indonesia memang indah dengan keragaman budayanya.”

YU N I D A I N D I R A C A H Y O N O P L’1 5 , S E K R E TA R I S

“Warganya ramah banget, aku ngerasa gotong royongnya masih kuat antar warga. Lingkungannya menurutku masih tergolong bersih, tetapi sudah terpapar limbah plastik saja pantainya. Sampah belum menjadi concern bagi masyarakat di sana. Kalau sarana dan prasarananya jauh dari kata memadai buatku. Kebutuhan dasar seperti listrik dan air bersih masih belum bisa mencukupi kebutuhan harian masyarakat. Apalagi kebutuhan pangan, kalau melihat yang dijual di pasar jenis makanannya monoton. Bisa jadi karena jarang ada pasokan makanan dari luar pulau.

Pulau ini punya potensi yang besar di komoditas kelapa. Bisa memberikan nilai jual kalau kelapa ini bisa diolah jadi produk lain seperti nata de coco, briket batu bara, dan lain-lain. Perlu adanya kerjasama dari pemerintah, akademisi, pihak swasta, dan masyarakat itu sendiri untuk mengembangkan potensi di Pagerungan Kecil sehingga mampu memberikan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi penduduk di sana.”

N A Q I TA R A M A D H A N I E P ’1 7 , T R A N S P O R TA S I

“Sebuah ekspedisi yang pada awalnya tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan sanggup. Namun, pada akhirnya yang mengajarkanku akan banyak arti kehidupan dan turut membentuk diriku yang sekarang ini.

Jangan ragu untuk keluar dari zona nyaman! Karena kita tak pernah tahu apa yang akan kita temukan di luar kenyamanan kita.”

G A L I H A D I T YA S YA I L E N D R A W A R D I A N A G D ’1 8 , L AT I H A N F I S I K

“It’s a diamond in the middle of nowhere. Semoga Pagerungan Kecil tetap lestari dengan dinamikanya sendiri.”

190

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

R A M A D H I TA U M I TA I B AT I N E B ’1 7 , M AT E R I D A N M E T O D E

“Dalam setiap rencana, persiapan menghadapi kasus terburuk dan kuasa Tuhan menjadi penolong utama” “Saya yakin teman-teman satu tim merasakan pengalaman luar biasa pada saat berinteraksi dengan warga Pagerungan Kecil. Begitu pun saya, yang sangat bersyukur karena kami diterima dengan baik di Pagerungan Kecil.

Warga Pagerungan Kecil memang memiliki ciri khas yang tidak terlupakan, terutama melihat salah satu warga menyelam ke dalam lautan tanpa alat bantu signifikan untuk berburu gurita, atau ibu-ibu Pagerungan Kecil yang menjalankan Slow Living.

Awalnya saya menduga akan mengambil data saintifik di lapangan. Ternyata tidak semudah itu karena alat yang kurang mendukung. Saya harap kedepannya semua elemen yang terlibat pada ekspedisi ini dapat bekerjasama untuk pengambilan data saintifik sehingga yang didapat bukan hanya perihal sosial budaya kualitatif melainkan juga data yang pasti sehingga bisa digunakan untuk bahan pengambilan keputusan di masa mendatang, demi kemajuan teknologi dan bangsa Indonesia.”

SHERINE ANGELICA K I ’1 6 , F U N D R A I S I N G

“Paling berkesan setelah perjalanan laut dan akhirnya sampai di pulau. Lalu ketemu warga-warga yang excited, berasa jadi artis mendadak. Warganya welcome banget dan sederhana banget. Aku paling deket sama keluarga di selatan, udah ngerasa seperti keluarga sendiri. Terus kalau kesan terhadap tim EMPI itu rasanya seperti punya keluarga baru, hidup di pulau terpencil dengan sinyal terbatas, 24 jam bersama, sampai muka saat bangun tidur pun rasanya feels like a new home for me in my life.

I R FA N S M A U L A N A F I R D A U S M E ’1 5 , B E N D A H A R A

“Teruntuk aku: Terima kasih sudah melampaui batasmu. Untuk pertama kali bisa berekspedisi dan mendapatkan pengalaman, pembelajaran, serta cerita yang indah luar biasa. Banyak kata “pertama kali melakukan (hal)” dalam perjalanan ini.

Teruntuk aku dan kamu: Bergunalah untuk diri sendiri dan sekitar. Jika ada kesempatan untuk lebih bermanfaat, ambil!”

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

191

Kamus

192

Aada kao? = Mau kau?

Kaluppanan = Lupa

Bagang = Perahu bercadik satu

Kimoak = Petang

Babon = Roti

Lallai = Lari

Bagal = Besar

Landoh = Mendung

Bidok = Perahu

Lekur = Kelereng

Colo = Korek kayu

Lelle = Laki-laki

Cambe = Asam jawa

Lese = Minggir

Dampe = Suka

Lo’or = Zuhur

Dangai? = Berapa?

Lelepe = Sampah kecil

Daha ambongan = Jangan malu

Lupus = Selesai

Dede’ = Menempa besi

Memandi = Berenang

Dibelle = Direbus

Malasso = Bagus

Dende = Perempuan

Maciro = Minta ikan

Daha talau = Jangan takut

Memessi = Memancing

Dayah = Ikan

Manok = Ayam

Daha = Jangan

Munsigik = Masjid

Geku ada = Tidak mau

Mase = Masa iya?

Kukuri = Main-main

Mamanok = Burung

Ka di laut = Ke laut

Maen bal = Main bola

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

Mopo = Mencuci

Saloka = Kelapa

Napenje ko/kite? = Mau kemana kau?

Saloboh = Selatan

Ngalupanko = Kamu juga

Sangai = Angin

Ngandedde = Menempa besi

Seggek = Sampah

Nginta = Makan

Sai aranu? = Siapa nama mu?

Ngura = Muda

Sedi gusoh = Pantai

Nyanyaloh = Pagi

Songko = Topi

Nape dayah = Bakar ikan

Sangan = Malam

Ngengngal = Lelah

Sella = Enak/nikmat

Nayi = Kaki

Sudu = Sendok

Ngilantu = Lapar

Salatan = Timur

Nganjareh = Menjaring

Sedi = Pinggir

Pakialat = Hati-hati

Tabe’ = Permisi

Pasiadu = Berkelahi

Tumalang = Berjalan

Pore = Ke sana/pergi

Tabea = Ikut

Palumera = Kuah kuning

Toho keloh = Haus

Pependak = Pendek

Tutumalang = Jalan-jalan

Poso = Capai

Toe = Tua

Paluncat = Loncat

Urang = Hujan

Reye = Ilalang

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

193

Lentera di Tengah Samudra C ATATA N P E R J A L A N A N 23 J I W A D I TA N A H B A J A U

194

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019

195

Ekspedisi benar-benar membuat saya melampaui batas diri, membuat saya keluar dari tembok-tembok tinggi kampus untuk melihat belajar dengan nyata di masyarakat. Idealisme berganti menjadi aktualisme, karena saya harus menyesuaikan kondisi yang benar-benar ada di masyarakat.

Menjadi bagian dari masyarakat untuk hadir di tengah mereka dan mendengarkan keluh kesah yang dirasakan membuat saya sadar bahwa pelajaran itu bisa berasal dari mana saja.

- D A R I S AYA , M A H A S I S W A YA N G S E D A N G MENCARI ESENSI DIRI

196

EKSPEDISI MARITIM DAN PESISIR INDONESIA 2019