2 minute read

Mitos dan Superstisi Masyarakat Lokal

OLEH

NISSAKIM PUTERI SALSABILA

Advertisement

(DKV’17)

“Kamu pernah mendengar nama ‘Poppo’?”. Kalimat ini kemudian menjadi sebuah pembuka dari dongeng panjang yang diceritakan salah seorang mantri di pulau Pagerungan Kecil sepanjang sore itu. Aku dan tiga teman lainnya yang hadir mendengarkan berhasil dibuat penasaran oleh sepatah kalimat tersebut.

Mitos dan superstisi adalah dua hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Mitos melahirkan superstisi, kemudian superstisi memperkuat kehadiran mitos. Kedua hal ini saling melengkapi dan mengakar pada masyarakat tradisional, tak terkecuali di Pagerungan Kecil.

Meski dikenal sebagai pulau yang kental dengan pendidikan agama Islam, kebanyakan masyarakat yang bermukim di sini masih memegang erat berbagai mitos dan superstisi yang dibawa dari tanah Sulawesi. Salah satu contohnya adalah kisah tentang ‘Poppo’. Jika melirik pada pengertian yang disediakan laman pencari daring, hantu Poppo atau ‘pok-pok’ merupakan perwujudan lain dari hantu ‘kuyang’ yang dikenal di pulau Jawa. Penduduk pulau ini selalu berhati-hati dalam membuang sampah organik khususnya yang mengandung darah atau buangan dari manusia.

Mereka pun kerap mengingatkan kami, para pendatang, untuk mengubur segala sampah yang mengandung darah atau buangan manusia.

“Mbak, sampahnya jangan dibuang di sini, kubur di daerah pantai saja,” ujar istri Pak Mantri ketika aku hendak membuang sampah di tempat sampahnya. “Kuburnya yang dalam ya, mbak, nanti takut ada yang gali.”, lanjutnya.

Cerita Poppo menuju petang.

Mendengar hal tersebut, spontan aku keheranan. Dari kejadian itu, Pak Mantri pun mulai menceritakan sosok yang disebut oleh warga lokal sebagai ‘Poppo’. Sebelum ketakutan pada makhluk tak kasat mata, perlu diketahui bahwa wujud Poppo adalah manusia biasa. Poppo merupakan wujud dari ‘kutukan’ yang ditimpakan pada keturunan orang-orang yang mengonsumsi darah dan hal-hal kotor demi mendapatkan ilmu hitam, katanya. Poppo merupakan satu dari sekian banyak istilah yang digunakan orang Indonesia untuk menyebut sosok ini, mungkin di tempat lain disebut kuyang atau leak.

Masyarakat lokal percaya bahwa dengan membakar kulit bawang putih dan bawang merah, menanam bawang merah atau putih di setiap pintu masuk dan jendela rumah serta menebar garam di sekitar rumah mampu menghalau Poppo untuk masuk ke rumahnya. Hal ini kerap dipraktekkan khususnya di rumah orang yang baru melahirkan. Katanya, Poppo ini sangat gemar memakan bayi baru lahir dan bisa saja memasuki rumah sebagai manusia biasa yang berdalih ingin menengok bayi. Selain itu, residu apapun seperti darah atau rambut buangan jika dimakan oleh Poppo, maka pemilik dari buangan tersebut akan merasakan imbas berupa pusing atau lemas.

Pada siang hari, Poppo berbentuk manusia biasa dan berinteraksi dengan masyarakat dengan normal. Namun, mereka tidak bisa mengendalikan hal yang terjadi pada diri mereka sendiri di malam hari. Oleh karena itu, masyarakat lokal percaya bahwa keturunan Poppo tidak masalah apabila dijadikan teman atau tetangga, tapi jangan sampai masuk sebagai keluarga atau kekasih, karena ‘kutukan’ ini ternyata menular lewat ikatan dan keturunan.

Mitos ini membuatku berpikir kalau setiap daerah pasti memiliki suatu kepercayaan lokal yang hanya bisa dipegang secara erat oleh orang daerahnya sendiri. Aku pun masih sulit untuk mempercayai cerita dari Pak Mantri, tapi di sisi lain aku tidak mau harus mengalami kejadiannya dahulu untuk kemudian percaya pada mitos tersebut. Ah, pokoknya, cobalah untuk selalu bersikap sopan dan tidak melewati batas ketika berkunjung ke tanah orang lain, karena aturan dan norma yang berlaku juga pasti berbeda dengan di rumah sendiri.

This article is from: