
39 minute read
Mendalami Arti Syukur
OLEH
NARETTA VERONICA
Advertisement
(PL’17)
“Put, tujuan ekspedisi kita apa?” tanyaku pada Putri sore itu, kala aku dilanda kebingungan luar biasa untuk menyusun program kegiatan. “Belajar dari masyarakat pesisir, Ta,” jawabnya singkat. Ah, baiklah. Mendapati jawaban itu maka ekspektasiku tak banyak tentang ekspedisi ini. Belajar memancing, pergi melaut, mengarungi arus laut yang kencang, atau belajar menyelam? Hmm, belajar lebih dalam tentang kondisi sosial budaya di Pagerungan Kecil nanti?
Nampaknya hari-hariku di Pagerungan Kecil cukup sesuai dengan dugaanku. Kau boleh membayangkan sebuah adegan yang mungkin hanya terjadi di desa pesisir. Aku berdiri di dermaga, menghadap laut, menoleh ke bawah, dan aku melihat ikan-ikan kecil berenang bahkan di tepi pantai! Berjalan sedikit ke utara, aku mendapati pantai sedang surut dan kerang-kerang segar dapat dipungut dengan mudahnya. Di sore hari, aku berlari bersama teman-temanku kembali ke arah dermaga, melihat matahari tenggelam dan mengaburkan warna permukaan laut di ujung sana menjadi jingga.
Ah, rasanya seperti hidup di dalam mimpi. Sampai kemudian aku tinggal lebih lama dan semakin tersadar ketimpangan pembangunan di negeri ini rupanya benar adanya. Semakin lama tinggal di sana, mataku semakin terbuka. Pagerungan Kecil kaya akan sumber daya namun miskin fasilitas. Di kota besar guru dan tenaga kesehatan banyak sekali jumlahnya, fasilitas lengkap, dan informasi mudah diakses. Sementara itu, di desa yang kucinta ini listrik terbatas, guru berstatus PNS sedikit sekali jumlahnya, tak ada dokter, anak-anak usia sekolah bahkan tak tahu bagaimana cara masuk ke perguruan tinggi negeri. Bahkan, saat aku pulang ke kota, seorang warga mengalami kecelakaan di pabrik es, tetapi harus menunggu berjam-jam lamanya untuk dibawa ke dokter.
Suatu malam aku tak dapat tidur. Aku berjalan ke teras. Temantemanku yang lain telah tertidur nyenyak. Kulirik jam di ponselku, hmm, pantas saja sudah tengah malam. Aku menengadah ke langit. Kudapati banyak bintang yang tak mungkin aku lihat di Bandung. Aku masih asyik melihat bintang sampai tak lama kemudian ada seorang teman di sampingku. Rupanya ia terbangun.
Malam itu aku habiskan bersama temanku dengan berbincang di bawah bintang. Aku tak sadar hingga akhirnya kami saling bercerita tentang banyak hal. Tidak ada satupun di antara kami yang memegang ponsel, tetapi rasanya waktu berjalan begitu cepat. Temanku kemudian kembali ke dalam rumah, mengambil sarung, dan kemudian berjalan ke arah dermaga. Aku mengikuti dari belakang.
Senja di dermaga.

Ditemani angin malam dan kerlap kerlip lampu kapal nelayan di dermaga, malam itu aku mendapati bahwa ada banyak hal yang hanya bisa aku dapatkan di pesisir. Teringat pada pertanyaanku di awal pada Putri mengenai tujuan ekspedisi, malam itu aku mendapati jawabannya. Aku belajar bagaimana hidup sebagai masyarakat pesisir. Aku belajar mencari ikan di laut. Kemudian aku belajar bagaimana melihat ketimpangan di negeri ini sebagai suatu fakta nyata yang menyedihkan. Namun lebih dari itu, di malam itu aku belajar apa arti bersyukur. Ada sesuatu di antara masyarakat pesisir yang tak kumiliki di kota. Aku belajar bahwa masyarakat Pagerungan Kecil seolah melebur menjadi satu keluarga. Aku belajar bahwa di tempat ini, masyarakat menyatu dengan alam. Malam itu, aku juga belajar bahwa memandang bintang tengah malam di dermaga sambil berbincang bersama orang- orang terdekat adalah kemewahan yang sama sekali tak mungkin aku dapatkan di kota. Ah, sungguh aku hanya dapat bersyukur.

Jernihnya air laut di pantai yang sedang surut.
Racauan Seorang Pendosa
OLEH
BAGINDA YUSUF ADITYA
NEGARA (RIL’18)
Beberapa definisi kata yang selama ini membangun citra, rupa aku tertanggalkan sudah jauh sebelum perjalanan dimulai.
Munajat pengagungan asma-Nya, yang sempat menjadi pegangan setiap harinya larut sudah dalam dosa, aku, yang terbuai.
Ku khianati sang Illah berkali-kali, kukenakan dengan nyaman kemunafikan itu setiap hari. Sebuah usaha untuk kembali menemukan arti kata yang hilang, usaha perangkaian munajat baru yang benar, sesuai.

Dengan gamis lusuh peninggalan kakekku, pagi itu (lagi) kubisikkan sisa frasa penutup andalan setiap tandangku ke rumah-Nya, “yaa rabbi akhirkanlah kami dalam keadaan khusnul khotimah.” Tak yakin apa lagi yang benar-benar aku inginkan.
Gelap, seperti biasanya, suara bising generator pabrik telah berhenti pertanda listrik mati dan matahari akan segera kembali. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Sumber cahaya yang awalnya berada di langit-langit sekarang berpindah ke pegangan pintu, lampu bertenaga aki yang terhubung dengan kabel merah dan hitam yang menggantikannya. Aku kembali memejamkan mata seraya memosisikan tubuh senyaman mungkin di atas tikar bambu, alas tidurku. Singkat bukan main, alarm ponsel beberapa kawan yang telah menyala seolah melesatkan sebuah pesan otomasi yang menghubungkan seluruh saraf pada tubuhku untuk bangun. Waktu menunjukkan pukul empat lebih satu. Aku berdiri mengambil gamis di atas tumpukan pelampung, berjalan lima langkah melewati beberapa kawan ke depan pintu. Sisi lain sudah menunjukkan tanda kehidupan. Nampak cahaya terbiaskan etalase, berpendar, berasal dari head lamp yang dikenakan Rama yang sedang mengambil sesuatu dari tasnya. Samar ingatanku akan seorang lagi wanita yang sudah berdiri di depan kamar mandi memegang senter, Nida sepertinya. Aku menepuk kaki beberapa kawan yang berada di dekat pintu sebagai usaha membangunkan dan mengajak memenuhi panggilan salat yang seharusnya berkumandang pada pukul 04:06 waktu setempat. Mereka bangun. Pintu kubuka, lampu yang berada di gagang pintu tersebut kucabut dan kusimpan di dekat jendela. Tak lupa kuambil kunci gerbang yang semalam disimpan di atas kusen pintu. Bukan tipikal pesisir yang mungkin kau bayangkan. Di sini tak terdengar deburan ombak, begitu tenang. Kulangkahkan kaki ke pelataran rumah, mencoba mengamati sendal mana yang bisa dipakai mengingat sandal jepit hijauku sudah tak mungkin lagi digunakan. Dalam heningnya pagi itu, angin terdengar begitu sibuk menggelitik pohon-pohon di depan rumah. Decitan dermaga kayu hasil hantaman halus perahu-perahu yang bersandar pun turut serta meramaikan. “Nid pinjem sendal! Iya boleh,” ucap dan jawabku sendiri. Saat kuinjak sandal kekecilan itu sembari mencoba memasukkan kepala ke gamis peninggalan kakek yang belum dicuci semenjak hari pertama menginjakkan kaki di pulau ini, tibatiba aku teringat sebuah pertanyaan sederhana yang ditanyakan salah seorang kawan, “Sebetulnya tujuanmu apa?”. Malam ketika pertanyaan itu dilontarkan aku bingung, tak tahu apa jawabannya. Berjalan aku menuju gerbang, berjalan pula pikiranku mencari sebenar-benarnya jawaban akan pertanyaan itu. Singkat cerita, keluar aku dari masjid. Selalu jadi yang pertama beranjak setelah salat dibanding kawan yang lain. Kukenakan kembali sandal kecil itu lalu aku pulang. Cepatnya aku beranjak setelah salat rasanya diakibatkan tak banyak pintaku pada sang Ilahi. Tapi, pulau ini semakin menggeser banyak hal. Kuharap Tuhan tidak keberatan.
Khasiat Tahlilan
OLEH
GRHA GANDANA PUTRA
(TM’15)
Saat itu kami sedang berada di Masjid Nuruzzaman, UNAIR. Kami mendapatkan tempat bernaung selama sehari lebih untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Kalianget. Rencananya hari ini akan kami manfaatkan untuk melengkapi perbekalan dan logistik kami yang masih kurang. Tak hanya itu, kami juga melengkapi pengetahuan kami dengan ilmuilmu lapangan untuk kebutuhan berekspedisi seperti materi social mapping, design thinking, focus grup discussion, dll.
Pada suatu sore kami diberitahu oleh Mas Dai yang merupakan ekspeditor ENJ UNAIR 2019 sekaligus Ketua DKM Masjid Nuruzzaman untuk menghadiri acara tahlilan sehabis isya dalam rangka mengenang 100 hari meninggalnya mendiang salah satu dosen Program Studi Farmasi UNAIR. Sebuah tawaran yang sulit untuk kami. Muncul rasa enggan dalam benak. Namun, ditolak pun tidak mungkin. Apalagi, kami telah diperlakukan dengan baik selama di sini.
Hingga isya belum ada satu pun dari kami yang menyambut tawaran Mas Dai untuk ikut ke acara tahlilan. Sembahyang isya telah berlalu hingga akhirnya beberapa kawan menunjuk aku sebagai delegasi untuk ikut ke acara tahlilan.
Kami berangkat berempat dengan tiga di antaranya merupakan teman-teman UNAIR termasuk Mas Dai. Lokasi tahlilan berjarak sekitar 200 meter dari kompleks Masjid Nuruzzaman. Seluruh tamu, mayoritas merupakan pria berumur paruh baya, yang diundang telah hadir di dalam ruangan dengan posisi duduk melingkar. Kami yang tak mendapat tempat duduk di bagian luar lingkaran terpaksa duduk di tengah lingkaran tamu tersebut.
Lantunan-lantunan doa dan kalam Allah dibacakan dengan khidmat malam itu. Seusai acara utama dilaksanakan, kue-kue basah sebagai makanan pembuka dihidangkan kepada seluruh tamu. Kemudian, dihidangkan pula jamuan prasmanan spesial bagi para tamu. Aku memilih nasi kebuli dan es campur sebagai menu makan malam.
Sembari menyantap makanan malam, kami juga bercengkerama dengan beberapa tamu menggunakan bahasa Jawa yang aku tidak pahami. Kami memutuskan untuk kembali ke Masjid Nuruzzaman setelah perut terasa berat. Sebelum kami hendak pulang, seluruh tamu diberi bingkisan dari pihak keluarga. Bingkisan-bingkisan tersebut diwadahi dalam paper bag yang berukuran lumayan besar. Kami berempat pun mendapat jatah masing-masing satu paper bag. Tepat sebelum kami pulang kami dijejali lagi dengan kue-kue basah hingga paper bag milikku terisi penuh.
Di perjalanan pulang aku masih terheran-heran kenapa para tamu diberi bingkisan. Apa hal ini memang lazim terjadi di acara tahlilan? Namun, yang pasti aku bersyukur sekaligus senang. Rasanya ingin segera sampai untuk membuka isi paper bag ini. Setibanya kami di masjid, teman-teman yang lain sedang berkumpul menyantap ayam geprek. Lantas aku mengambil benda-benda yang berada di dalam paper bag satu per satu mulai dari kue-kue basah, sebuah kotak dus berbentuk persegi panjang yang berisi kue spiku khas Surabaya, hingga pandanganku tertuju pada secarik amplop putih.
Di tengah keramaian kawan-kawan yang lain, suasana makin riuh setelah aku mengangkat amplop tersebut dari dalam paper bag dan mengambil isi dari amplop tersebut. Terlihat selembar kertas bewarna biru muda yang tidak lain adalah selembar uang Rp 50.000. “Alhamdulillah!” ucapku, salah satu kawan yang melihat aku menggenggam uang tersebut bergerak trengginas untuk merebutnya sembari kami terbahak-bahak. Sebuah hadiah yang luar biasa, lain ceritanya bila aku tidak ikut bersama Mas Dai dan kawan-kawan UNAIR. Suatu pengalaman tahlilan yang tak terlupakan dan “berkhasiat”.


Langit di Pulau Sapeken.
Bermalam di Sapeken
OLEH
PUTRI RISA FATMAWATI
(BI’17)
Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Setelah terombang-ambing di lautan selama kurang lebih 13 jam, aku turun dari Kapal Sumekar dengan tujuan Pelabuhan Kalianget - Pelabuhan Sapeken. Mataku dengan gesit mencari-cari kenalanku, Mas Nizam namanya (atau sebut saja Ken). Tak lama setelah aku turun dari kapal, Ken dan teman-temannya menyapaku dan menawarkan bantuan untuk membawakan barang-barang. Dermaga itu tidak luas, ada beberapa hal yang sempat membuatku takjub. Ketika mataku tertuju ke bawah dermaga, air lautnya sangat jernih dan juga terlihat bulu babi yang melimpah ruah di dasar perairan. Di dermaga itu, kami berniat untuk transit dan langsung melanjutkan perjalanan ke pulau tujuan kami. Namun, karena satu dan lain hal, kami memutuskan untuk menginap di salah satu rumah kenalan kami.
Aku bergegas menuju kantor kecamatan bersama empat orang temanku. Kami menemui Bapak Jae selaku Camat Kecamatan Sapeken. Sekitar 40 menit kami mengobrol dengan Bapak Jae. Pulau Sapeken merupakan suatu pulau yang terletak di Kepulauan Kangean yang berada di utara Pulau Madura. Sisi sebelah utara dibatasi oleh Laut Kalimantan, sebelah selatan dibatasi oleh Laut Bali, sebelah timur dibatasi oleh Laut Sulawesi, dan sebelah barat dibatasi oleh Laut Jawa. Pulau ini termasuk ke dalam Provinsi Jawa Timur. Meskipun begitu, bahasa yang digunakan ialah bahasa Bajau, Mandar, dan Bugis. Mayoritas penduduk Pulau Sapeken bermata pencaharian sebagai nelayan.


(Atas) Berburu Bebembe (Strombus sp.)
(Bawah) Membakar ikan Poponto Garas, Limbogor, Katombong dan Cepak.
Sore hari, ketika mentari hampir pulang ke peraduannya, Ken (dan teman-temannya) mengajakku dan teman-temanku berkeliling pulau. Pemberhentian terakhir kami yaitu di suatu pantai yang sedang surut airnya. Kami mencari kerang atau biasa disebut bebembe. Kerang itu akan kami masak bersamaan dengan ikan bakar pada malam harinya. Langit saat itu sangat indah untuk dinikmati sejenak, bewarna biru dengan gradasi jingga dan merah muda.
Hari itu, aku mendapat momen yang jarang sekali aku temui. Bertemu teman baru dari pulau yang jauh dari tempat aku tinggal, bertukar cerita, bercengkrama di pesisir pantai hingga langit mengabu, juga mengenal teman-temanku lebih dekat. Aku juga menemukan beberapa biota laut seperti bintang laut coklat (Archaster typicus), bintang laut tanduk (Protoreaster sp.), teripang (Holothuria sp.), dan sekelompok porifera. Sebagai orang yang memiliki ketertarikan pada laut, penemuan-penemuan itu menjadi kesenangan tersendiri hehe.
Seusai bermain di pantai, aku dan teman-temanku kembali ke rumah. Kami diajak oleh Ken dan teman-temannya untuk membakar ikan kerapuh merah dan kerang bebembe. Anak laki-laki membakar ikan sementara anak perempuan membuat sambal di dapur. Setelah satu jam, makanan sudah tertata rapi. Kami makan beralaskan daun pisang dengan posisi berdempetan. Kami semua lahap memakan hasil bakaran kami.
Soal rasa? Tidak usah ditanya, sangat nikmat! Terlepas dari itu, makan malam bersama teman-teman di Pulau Sapeken dengan posisi berdempetan diselingi tawa bahagia menurutku adalah sebuah momen yang hingga detik ini sangat aku rindukan.
Untuk teman-teman di Pulau Sapeken, Mas Nizam (Ken), Mas Tomo, Mas Ivan, Mas Al, dan Geta, terima kasih banyak atas sebuah cerita yang digoreskan untuk kami pada hari itu. Boleh jadi, aku akan berkunjung lagi!
Datang kalian semua mulai cerita bagus ke Pulau Sapeken buat orang lain bahagia melihat kalian, tingkah kalian yang ramah ke orang pulau, mereka bahagia dengan kalian sampai air mata mengalir mengiringi keberangkatan kalian (Saling suka, saling bantu, saling cinta).”
KEN, 2019
Keramahtamahan Warga Setempat
OLEH
SHERINE ANGELICA
(KI’16)

Perjalanan Dimulai
Kalianget Transit
Kangean Menginap Satu Malam
Sapeken Sampai ke Tujuan
Pagerungan Kecil
Skema perjalanan menuju Pagerungan Kecil.
Bangsa Indonesia terkenal dengan keramahtamahan yang melekat pada jiwa masyarakatnya. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, budaya tersebut menjadi luntur terutama di kota besar. Ketika menapakkan kaki pertama kali di Pulau Kangean, hal yang langsung terlintas di benak kami adalah betapa hangatnya mereka menyambut kehadiran kami.
Dalam perjalanan laut yang kami tempuh, kami tak bisa sampai di pulau tujuan kami sesuai dengan agenda. Penyebabnya adalah kondisi laut yang sudah surut saat kami hendak menyambung perjalanan dengan kapal lainnya dari Pelabuhan Sapeken. Perasaan seluruh anggota tim menjadi kecewa dan bingung saat mendengar kabar ini. Walaupun kami menyadari betul bahwa kondisi lapangan itu dinamis, tetap saja dengan keadaan fisik yang lelah setelah terombang-ambing di kapal selama hampir 20 jam, kami tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa kami.
Kabar bahagianya adalah teman baru kami di Pulau Sapeken menawarkan tempat tinggal bagi kami beristirahat semalam agar keesokan paginya kami dapat menyewa kapal menuju pulau tujuan kami. Teman baru kami merupakan seorang admin dari akun Instagram @exploresapekenofficial. Kami sempat menghubunginya untuk mencari informasi tentang pulau yang menjadi tujuan kami. Kami berkenalan dengan teman-teman Al, pemilik akun tersebut, yang tentu saja menyambut hangat kami. Mereka pun menjamu kami dengan ikan-ikan segar yang kami olah bersama untuk makan malam. Kenangan semalam di Pulau Sapeken terkenang di hati kami karena kehangatan mereka.
Keesokan harinya, mereka juga menemani kami di kapal yang menuju pulau tujuan kami, Pulau Pagerungan Kecil. Setelah sampai tujuan, kami turun dari kapal di dermaga. Bak artis turun dari mobil Lamborghini di karpet merah, kami menjadi pusat perhatian masyarakat yang berada di sekitar pelabuhan. Kami disambut hangat oleh kaki tangan kepala desa yang sedang tidak berada di pulau. Kami juga diberikan tempat tinggal di salah satu rumah milik kepala desa yang kosong. Tempat inilah yang menjadi basecamp untuk 14 hari ke depan.
Ekspeditor, kawan-kawan Sapeken

Senyum yang selalu dirindukan.
Setiap harinya, kami menjelajahi setiap bagian dari pulau ini. Untuk jangka waktu yang singkat, kami merasakan rasanya jadi artis dadakan. Kami senang karena dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga semua perasaan was-was karena takut tidak diterima oleh masyarakat sirna begitu saja. Ajakan warga untuk mampir ke rumahnya selalu menjadi melodi selama perjalanan kami. Sedapat mungkin kami menerima tawaran tersebut, tetapi saking banyaknya, terkadang kami tidak bisa mengabulkan keinginan warga karena kami sudah memiliki agenda tertentu. Pernah kami menjumpai seorang bapak yang kecewa karena kami tidak pernah mampir. Namun, kekecewaannya sirna saat kami hadir untuk sekadar bersenda gurau di rumahnya.
Saat kami mampir ke rumah warga, kami tidak hanya disuguhkan makanan atau minuman, tetapi juga disuguhkan cerita-cerita dari pengalaman hidup mereka. Ada yang sudah menetap di pulau ini sejak lahir, ada juga pendatang. Semuanya memiliki kenangan yang menarik di pulau ini. Warga yang lahir di pulau ini rata-rata berprofesi sebagai nelayan untuk laki-laki dan pengajar untuk perempuan. Warga pendatang biasanya memiliki pekerjaan yang berbeda, seperti perias wajah (make-up artist), bidan, serta pedagang mainan. Kami juga terkadang diajak untuk mengikuti aktivitas mereka seperti melaut, memasang jaring di keramba, menjemur ikan, membuat olahan makanan, dan lain-lain.
Hari berganti hari kami menyimpan memori yang indah bersama warga di pulau. Menjelang jadwal kepulangan, kami merasa waktu seolah berjalan dengan cepat. Sulit rasanya untuk kembali ke kota dan meninggalkan aktivitas kami di pulau yang pada saat itu sudah menjadi kebiasaan baru bagi kami. Momen pesta rakyat yang kami adakan bersama warga merupakan momen terakhir kami. Kami merasa seperti sudah diterima menjadi warga Pagerungan Kecil. Bahkan, kami pun ditawarkan untuk menetap. Dengan berat hati kami harus menolak dan berpisah dengan warga di pulau. Perpisahan ini menjadi pilu di hati. Bukan hanya kami yang meluapkan kesedihan kami dalam bentuk tetes air mata, tetapi warga di pulau khususnya ibu-ibu dan anak- anak kecil merasakan hal yang sama. Kesedihan ini menjadi haru yang terus melekat di memori kami hingga sekarang.
Bola Pagerungan Kecil
OLEH
IFFAT IFTIKAR
(FT’18)
Masyarakat Pagerungan Kecil gemar berolahraga mulai dari voli, dayung sampan, hingga bulu tangkis. Namun, sepak bola menjadi olahraga yang paling populer di Pagerungan Kecil khususnya bagi kalangan pelajar putra dan santri. Pesantren Al-Barkah di Dusun Bondat adalah salah satu pesantren yang rutin mengadakan pertandingan sepak bola tiap minggu. Aku dan teman-teman ekspeditor berkesempatan untuk ikut bermain bersama santri-santri di Pesantren Al Barkah. “Dari Senin sampai Jumat main terus bola, kecuali Senin dan Kamis karena pada puasa,” jelas Maksum, salah satu alumni Al-Barkah sekaligus teman dekat kami yang mengajak para ekspeditor untuk ikut bermain bersama mereka di pesantren.
Hari itu merupakan hari-hari terakhir kami di Pulau Pagerungan Kecil. Setelah asar, kami berangkat menuju Pesantren Al-Barkah yang berada di selatan rumah kepala desa, basecamp tim ekspedisi kami. Pesantren Al-Barkah memiliki lapangan kosong di tengah-tengah bangunan kelas-kelasnya. Di lapangan itulah para santri mengisi sore mereka dengan bermain bola.
Sepak bola adalah salah satu media yang mempersatukan Pulau Pagerungan Kecil dan Pagerungan Besar. Setiap dua tahun sekali, kedua pulau tersebut mengadakan turnamen yang diikuti oleh masyarakat Pagerungan Besar dan Pagerungan Kecil. Jika terjadi sebuah pertandingan, seluruh warga datang, menonton, dan mendukung kerabat-kerabat mereka memperebutkan gelar juara.
Ketika tiba di Al-Barkah, kami diperlihatkan sebuah pertandingan sepak bola yang menarik seluruh penghuni Al-Barkah untuk keluar menonton. Batu sebagai gawang, kaki berlari tanpa alas kaki, dan bola hanya out jika semua setuju itu out. Permainan dengan alat-alat seperti itulah yang telah melukiskan senyum pada wajah kami dan santri-santri Al-Barkah. Aku pun tidak sabar untuk menunggu giliranku bermain.
Maksum yang ada di lapangan berteriak ke arah kami untuk mengajak kami bermain “Ayo main, main!”. Pada sore itu ada aku, Gege, Ari, dan Wika yang siap bermain bersama mereka. Kami, karena kekurangan orang, satu tim dengan Azmy, seorang alumni Al-Barkah dengan tampang mengintimidasi namun lebih muda dari Maksum. Aku tidak jago bermain sepak bola, kami semua belum mandi, dan Gege menggunakan sarung.
Meskipun kami kalah, permainan sepak bola tadi cukup membuat kami yang biasanya hanya jalanjalan keliling pulau (memutari pulau, secara harfiah!), mengeluarkan keringat yang cukup membuat baju kami seperti baru menaiki taksi laut dari Sapeken ke Pagerungan Kecil. Ya, permainan tadi membuat kami banyak mengenal penghuni-penghuni Al-Barkah, santri-santri, dan juga para ustad. Memang, bermain sepak bola benar-benar dapat melukiskan senyum ke wajah seseorang, termasuk kami.
Makanan yang Tidak Biasa!
OLEH
NADHILAH MUSTIKARINI
(AS’15)
Waktu di Pagerungan Kecil adalah pertama kalinya aku makan yang ‘aneh-aneh’, misalnya…
Setelah pesta rakyat, santri-santri Al Barkah mengajak kami makan lagi di pesantrennya. Kata mereka sudah ditungguin sama Pak Ustad, mau bakar-bakar sate penyu. Karena semuanya sudah disiapkan, terpaksa kami dengan berat hati memakan sate penyu tersebut. Ternyata rasa penyu nggak beda jauh sama daging ayam. Mungkin after effect-nya aja yang harus hati-hati. Kata Pak Ustad, tidak boleh banyak-banyak makan daging penyu, nanti badan kita bisa jadi panas.
HIU
Siapa yang menyangka kalau kami bakal diberi daging hiu oleh warga lokal? Bahkan kami mendapatkannya dua kali pada hari yang berbeda dan dari warga yang berbeda pula.
Menu pertama: opor hiu (atau kari ya? pokoknya berkuah). Percobaan pertama masak hiu memang agak failed sih, masih ada bau amisnya sedikit. Entah karena menyimpan dagingnya terlalu lama (hanya di rendam di air baskom) atau karena cara memasaknya yang salah.
Menu kedua: hiu goreng. Masakan kedua ini jauh lebih enak, mungkin karena sudah diajarkan cara mengolah yang benar oleh warga. Kalau dipikir-pikir, rasa daging hiu mirip seperti ikan pada umumnya, tapi lebih tebal dan sedikit lebih amis aja.
PENYU HIJAU

Tubuh ikan hiu, dagingnya lembut tapi sangat amis. Frambozen
Ilustrator: Nissakim Puteri Salsabila
FRAMBOZEN
Di suatu siang yang terik, aku bersama Be a dan Ahmad bertamu ke rumah Pak Umar. Mungkin karena melihat muka lelah kami, Ibu (istri Pak Umar) membuatkan minuman dan ubi rebus. Pada tegukan pertama, aku langsung jatuh cinta pada rasa minuman buatan Ibu yang enaaaaak sekali. Aku coba ke dapur dan tanya ke Ibu.
“Bu, ini minuman apa, kok enak banget ya?”
“Ini namanya teh poron(g), sebenarnya enggak pakai teh, cuma gula dimasak di atas kompor (jadi karamel) terus dikasih air. Warnanya aja yang mirip teh.”
Aku nggak puas sama jawaban Ibu, “Tapi ini beda bu rasanya, nggak pernah aku temui sebelumnya.”
Setelah berpikir sebentar, ibu kemudian bilang, “Oh itu tadi ditambah vanili biasa kok beli di warung, nggak ada yang aneh”, sambil nunjukkin botol merah mungil yang sedap baunya. Ternyata ‘vanili’ itu adalah frambozen, campuran makanan yang kadar alkoholnya sekian puluh persen… jeng jeng…
BIDARA
Yang aku tau, bidara itu obat untuk menghilangkan sihir, mengusir jin, atau hal-hal serupa. Di sana, aku baru mengetahui wujud pohon bidara. Buahnya berwarna hijau dan berukuran kecil mirip kacang polong, rasanya asam manis.

Be a dipijat di Ponggang setelah kecelakaan.
Catatan Komandan Operasional
OLEH
ALIF ZAKY MUHAMMAD
(MS’16)
EKSPEDISI KOK CACAT?
Semua berjalan baik-baik saja, sampai ia, sang Komandan Operasional, saat simulasi mengalami sebuah kecelakaan motor yang mengakibatkan kakinya memiliki luka dalam. Be a, begitu ia dipanggil, memutuskan untuk ditangani di tempat simulasi sebelum ekspedisi, Desa Ponggang. Di sana, ia tidak bisa berjalan sama sekali dengan kondisi kaki yang membengkak. Setelah pulang simulasi, dia mendapatkan penanganan medis, yang ternyata kakinya dalam kondisi retak, sedangkan kurang dari 3 minggu lagi ia harus berangkat ekspedisi.
Yah, kalo kata temannya yang bertugas sebagai medik tim ekpeditor, Vivi, Be a sih sering diledek, kaki masih cacat tapi kok ekspedisi. Mungkin rasa kagum Vivi digambarkan dengan bentuk guyonan. Selama di kereta dan transit, kaki Be a perlu dirawat dengan penanganan medis mandiri. Menderita tapi senang, mungkin itu yang bisa disebut mendobrak batas kemampuan diri. Bahkan saat pergerakan di lapangan pun, kakinya perlu berjalan perlahan. Namun, ajaibnya dengan kegiatan di lapangan ini, kaki Be a perlahan menjadi sembuh dan terbiasa untuk berjalan dengan normal.

Kondisi Haluan Kapal KM Sumekar.
KEBELET, KEPEPET, DI PINGGIR KAPAL
Malam hari di KM Sumekar memang membuat suasana tidur menjadi kurang nyenyak. Dengan kondisi tempat tidur yang sempit, 3 kasur diisi 4 orang, ditambah dengan rasa yang sudah tidak dapat ditahan oleh dia, kebelet pipis. Be a yang kala itu terbangun di malam hari heran, ada salah satu anggota ekspedisi yang tidak ada di kasur, Iffat. Sang Komandan Operasional yang kebelet pipis ini akhirnya memutuskan untuk keluar kamar berencana untuk buang air dan mencari Iffat. Namun, saat membuka pintu kamar, Be a dikagetkan dengan kepala orang di depan pintu. Kaget bukan main, ternyata saat menoleh ke kiri, jalan menuju kamar mandi sesak oleh orang berbaring. Hal ini membuat Be a bingung mau buang air di mana.
Saat menoleh ke kanan menuju haluan kapal, Be a melihat Iffat sedang berdiri. Iffat berdalih bahwa ia sedang mengeringkan tubuh, padahal air laut selalu menyembur di haluan. Karena kebetulan Be a menemukan temannya, maka dia meminta untuk ditemani di haluan. Dengan rasa kebelet dan kepepet, maka Be a buang air dengan terpaksa di pinggiran kapal. Untungnya arah angin mendukung, sehingga air dapat mudah mengalir menuju laut.
Ku Takkan Melupakan Surga
OLEH
ALIF ZAKY MUHAMMAD
(MS’16)
Siang itu, dua hari sebelum kepulangan, aku sangat bingung. Semua teman-temanku mengabarkan bahwa warga-warga yang telah mengetahui bahwa lusa kami pulang, mengundang para ekspeditor untuk hadir pada jamuan yang diadakan oleh mereka pada malam hari. Sebagai Komandan Operasional tentunya aku bingung untuk mengatur jadwal supaya hadir ke berbagai rumah warga dan tentunya dengan perut yang siap untuk menerima makanan yang mereka suguhkan. Aku ingat saat itu kami ditawarkan 6 undangan sebagai bentuk perpisahan terakhir dari warga di sana, baik itu pribadi maupun dari pesantren.
Dengan keterbatasan jumlah ekspeditor dan volume perut, akhirnya kami menyetujui untuk hadir dengan membagi waktu yaitu malam ini dan malam esoknya sebelum kepulangan. Undangan yang kami terima pun hanya 4 undangan yang terbagi menjadi 2 undangan per malam. Alangkah baiknya warga lokal di sana, semoga rezeki terus mengalir ya Pak, Bu, Mas, Mbak.
Hidangan yang kami nikmati pun tak kalah menariknya dengan hidangan yang telah kami cicipi di pulau tersebut selama kami melakukan pergerakan. Bak hidangan surga yang mereka jamu, memiliki cita rasa lokal yang sulit untuk dicari di tempat lain disertai bumbu yang sangat lezat. Dikejutkan dengan daging penyu yang dibakar, dihidangkan pisang rebus yang dicocol sambal terasi, ikan segar yang durinya tidak mengganggu di mulut, kepiting dan lobster yang dikasih cuma-cuma, rasa teh poron yang menyegarkan tenggorokan, dan hidangan lainnya yang dicicipi oleh temantemanku. Sungguh, hari-hari terakhir membuat kami kangen terhadap surga yang mereka beri.
Tak hanya hidangan yang kami ingat tentang rasanya, kami pun diberikan pemberian yang amat berharga nan beragam, aku yang diberi baju koko, gelang akar bahar, dan artefak berupa penyu yang aku simpan baik-baik di dalam tas hingga sampai Bandung tanpa memberikan cacat pada pemberian mereka. Tak lupa, teman-temanku diberikan beragam kenangan, seperti cincin penyu, gigi hiu, jubah koko, ekor pari, sisik penyu, dan masih banyak peninggalan lainnya yang mereka beri ke kami.
Detik-detik sebelum kami menaiki kapal pun, teman-teman kami yang ada di Pagerungan Kecil menyempatkan hadir untuk memberikan salam terakhirnya meskipun pada saat itu sudah memasuki jam sekolah dan jam kerja. Terima kasih atas segala pengalaman yang kalian beri, Pagerungan Kecil. Ini merupakan perjalanan kami mengenal negeri ini.
Suatu Saat Jika Kamu Ekspedisi
OLEH
ALIF ZAKY MUHAMMAD
(MS’16)
Pesan ini diperuntukkan untuk teman-temanku dan kamu yang ingin melaksanakan ekspedisi.
Bagi temanku, pengalaman ini merupakan pengalaman berharga yang tidak akan pernah dilupakan. Dengan adanya perjalanan ini, aku bisa lebih mengenal manusia, lebih mengenal negeri ini, mengajarkanku lebih baik tentang tenggang rasa antar-pribadi, dan memberikan bekal untukku ke depan tentang cara memberdayakan masyarakat. Aku mendapatkan pesan-pesan hidup dari masing-masing pribadi kalian dengan latar belakang yang unik dan memberikan manfaat secara langsung pasca-ekspedisi ini. Mungkin, suatu saat nanti jika aku ingin melaksanakan perjalanan akan menjadi lebih tertata karena kalian yang telah menuntunku mencari evaluasi. Semoga kita bertemu lagi.
Bagi kamu yang akan melakukan perjalanan, takut memang bisa jadi modal awal batas diri kamu. Perjalanan ini bicara soal melewati batas diri, skill, fisik, maupun mental. Beranikanlah diri untuk terus berjalan, meskipun pelan. Tidak ada gunanya jika terus berdiam atau hanya jalan di tempat. Mulailah berjalan dan perlahan menjadi berlari. Banyak hal yang bisa kamu dapat jika kamu peka dengan memaksimalkan seluruh panca inderamu. Jadikanlah kamu yang paling gigih, tapi janganlah hanya sekadar pemenuhan egomu. Banyak temanmu yang memiliki tujuan yang berbeda-beda, tapi hapuslah ego itu dan jadikan bergerak bersama menjadi gerakan yang kamu inginkan. Beranilah!
NABASTALA
OLEH
PUTRI RISA FATMAWATI
(BI’17)
Aku selalu menuju dermaga kayu saat petang Duduk di ujung dermaga dengan kaki menyila Menikmati lembayung di peraduan Juga suara ombak yang menabrak kaki-kaki dermaga
Dan ya, perlahan langit menjadi abu Hamparan bintang gemintang Menyaksikan bintang jatuh Juga sabuk galaksi bima sakti Selalu menggiurkan untuk dinikmati
Di tempat ini, Matamu, mataku Mereka bersua
Tentang perjalanan Tentang hari ini, masa depan dan juga, Tentang cinta
Hari itu menakjubkan Banyak sekali cerita tertoreh lembut dalam ingatan Sekali dua, Aku rindu. Pada langit petang dan malam Yang menjadi saksi bisu Akan hari-hari yang amat baik Di negri nun jauh di sana



Berat untuk melepaskan dan pergi meninggalkan.
Pulang untuk Kembali
OLEH
IRFANS MAULANA FIRDAUS (ME’15), BAGINDA YUSUF ADITYA NEGARA (RIL’18)
Tak terasa tanggal yang ditetapkan untuk kita pulang sudah dekat dan tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Komandan lapangan (Be A) dan Penanggung Jawab transportasi (Dhani) mulai mempersiapkan segalanya untuk kepulangan kami, mulai dari kendaraan hingga ongkos. Teman-teman juga kadang ikut bertanya kepada warga saat pergerakan sehari-hari.
“Pak, kalo kapal Sanus kira-kira kapan sampai Pagerunga Besar?” tanyaku.
“Ohhh, kalian pulang kapan?” jawab Pak Yusuf.
“Insyaallah, tanggal 30 Juli (2019), Pak.” jawabku.
“Kalo Sanus jadwalnya tanggal 31 Juli di Sapeken.” kata Pak Yusuf sambil membuka handphone.
“Oh begitu, Pak. Makasih Pak.” timpalku.
Warga Pagerungan Kecil mendapatkan kabar tentang kapalkapal yang berlabuh di Pagerungan Besar maupun Sapeken lewat grup Whatsapp. Hal itu, cukup mempermudah warga Pagerungan Kecil yang akan bepergian ke Madura, Banyuwangi, maupun Bali.
Oke, jadwal kapal sudah didapatkan. Be A dan Dhani juga mendapatkan jadwal kapal dari sumber lainnya. Akhirnya diputuskan bahwa kami pulang tanggal 31 Juli 2019 melalui Banyuwangi karena kapal Sanus hanya melayani rute Sapeken-Banyuwangi, bukan Sapeken-Kalianget (Madura).
31 Juli 2019. Pagi kami beberapa hari sebelumnya bisa dibilang sudah monoton. Namun, tidak untuk hari ini. Hari ini adalah hari terakhir kami di Pagerungan Kecil. Tidak ada masak, cuci piring, dan piket membersihkan rumah karena kami harus bersiap untuk pulang. Kami sarapan bersama di depan rumah sambil mengobrol ngalor-ngidul. Nayla membeli gado-gado buatan ibu warga sekitar dengan harga tiga ribu rupiah (sudah dapat lontong, mie, dan kerupuk) yang bisa dibilang murah, bahkan sangat murah. Sarapan dan mengobrol dicukupkan.
Pukul 08.00 kami sudah siap menuju ke kapal yang kami sewa untuk menuju ke Sapeken. Kami melakukan checking ulang barang-barang kami agar tidak ada yang ketinggalan. Setelah semua telah aman, kami melangkah menuju ke kapal. Tak lupa, kami juga mengenakan pelampung dan berdoa bersama agar selamat sampai tujuan. Kami hanya ber-19 karena Galih, Nod, Rama, dan Ahmad sudah pulang terlebih dahulu karena ada satu dan lain hal.
Warga yang cukup dekat dengan kami selama di Pagerungan Kecil juga turut mengantar kami menuju ke kapal. Bahkan anakanak yang sering main bersama ikut mengantar kami. Padahal anak-anak ada jadwal sekolah. Kepala Sekolah SDN 2 Pagerungan Kecil juga datang dengan membawa sedikit oleh-oleh untuk dimakan di perjalanan, tetapi beliau tidak lama kembali ke sekolah karena harus kembali mengajar. Ada rasa senang, sedih, tawa, canda, dan tangis saat kami naik ke kapal. Ya, bukankah jika ada pertemuan maka ada perpisahan. Tidak lama kami berpamitan dengan para warga, kami menaiki kapal dan perlahan menjauhi dermaga.
Perjalanan dari Pagerungan Kecil ke Sapeken menggunakan kapal yang kami sewa perlu waktu kira-kira 2 jam. Kami akhirnya sampai di Sapeken sebelum zuhur. Kapal Sanus akan berangkat dari Sapeken menuju Banyuwangi pada pukul 17.00 WIB. Kami masih bisa sedikit bermain di Sapeken. Kami dibebaskan sejenak untuk berkelana sampai pukul 14.00 WIB. Ada yang makan siang, ada yang mengunjungi SMA di Sapeken, dan ada yang beli oleholeh dari Sapeken berupa tas dan topi. Pukul 14.00 WIB Dhani sudah membeli tiket kapal Sanus seharga Rp 13.000,- per orang. Harga yang sangat murah untuk fasilitas yang sangat nyaman, karena ada mushola, kasur, kantin, dan tempat duduk santai di bagian belakang kapal. Tak lupa kami berpamitan dengan “Sapeken Boys” yang telah membantu kami mulai dari kami tiba pertama kali di Sapeken hingga kami pulang.
Pukul 17.30 WIB, kapal Sanus tak kunjung berangkat. Beberapa penumpang menikmati keterlambatan kapal Sanus dengan bersantai di tempat duduk bagian belakang kapal untuk menikmati matahari terbenam. Langit jingga dan tenangnya ombak jadi pemandangan kala itu. Pukul 18.00 WIB, kapal Sanus akhirnya berangkat menuju Banyuwangi. Masih ada beberapa dari kami yang menikmati waktu di bagian belakang kapal dan ada juga yang kembali ke kasur kapal untuk beristirahat. Perjalanan Sapeken- Banyuwangi memerlukan waktu kira-kira 12 hingga 13 jam.
Keesokan harinya, 1 Agustus 2019 pukul 07.00 WIB, kami tiba di Pelabuhan Banyuwangi. Turun dari kapal, kami diminta untuk cek kesehatan dengan cara diambil sampel darah. Hal ini untuk memastikan bahwa kami sehat. Sambil menunggu cek kesehatan, Bella dan Wika membeli sarapan dan selanjutnya kami makan bersama. Pukul 09.00 WIB kami bersiap meninggalkan pelabuhan dan berjalan kaki menuju Terminal Bus Banyuwangi. Di gerbang pelabuhan, Wika harus berpisah dari tim EMPI karena dia akan me lanjutkan perjalanan ke Bali untuk bertemu keluarganya. Terminal Bus Banyuwangi terletak sekitar 1 km dari pelabuhan. Kami berencana untuk berjalan menuju Terminal Banyuwangi dan mencari bus di sana. Namun, di tengah jalan kami ditawari oleh kernet bus dan diyakinkan bahwa kami tidak akan dioper di tengah jalan. Kami memutuskan untuk naik bus tersebut dan membayar Rp54.000,00 untuk ke Terminal Surabaya. Tak disangka, di tengah perjalanan kami dioper ke bus yang lain dengan alasan bus yang kami tumpangi harus kembali ke bengkel karena ada masalah. Akhirnya kami berganti bus dan sampai di Terminal Surabaya pada malam hari.
Setibanya di Terminal Surabaya, kami memesan transportasi online menuju ke Masjid UNAIR untuk singgah beristirahat sambil menunggu jadwal kereta pada tanggal 3 Agustus 2019.
Dalam selang dua hari penantian jadwal kereta kepulangan, kami menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat wisata di Surabaya kecuali dua ekspeditor, Irfan dan Baginda yang terlebih dahulu pulang ke Bandung pada tanggal 4 Agustus. Selaras dengan kami yang menjauh dari Pagerungan Kecil, ketenangan pikiran dan kesederhanaan kegiatan harian di sana pun perlahan berangsur menjauh dan tampaknya mustahil untuk dapat kami rasakan kembali. Ingar-bingar pulau terpadat di Indonesia kembali menyambangi, kompleksitas problematika jutaan jiwa mulai menggeser hal-hal sederhana yang kami rasakan di Pagerungan Kecil. Jantung kembali berdegup lebih kencang, dahi mengernyit lebih lama, dan atmosfer penuh tekanan menjadi tanda kami telah kembali di tanah penuh buaian duniawi.
Senja di Sapeken.



Masyarakat Pagerungan Kecil melepas kepulangan ekspeditor EMPI 2019.

Kesan Pesan Ekspeditor EMPI 2019
ALIF ZAKY MUHAMMAD
MS’16, KOMANDAN OPERASIONAL
“EMPI menjadi salah satu pengalaman terbaik di kampus yang belum tentu semua orang bisa beruntung mengikuti kegiatan ini, bisa mendapatkan teman yang punya karakter yang heterogen tapi tetap bisa seru bareng dan bekerja bareng. Pagerungan Kecil menjadi kenangan manis sebagai pulau indah yang eksotis oleh budaya dan keindahan alamnya. Aku mau suatu saat nanti seluruh ekspeditor dapat bekerja sama kembali dan berkumpul untuk mendiskusikan arti hidup yang sudah dilalui oleh masing-masing orangnya, dan terakhir semoga kegiatan seperti ini tidak akan hilang hingga seluruh pulau di Indonesia ditelusuri oleh anak ITB.”
FATIMAH SYAHIDAH NUSAIBAH
GL’17, PROGRAM
“Aku datang ke pulau ini membawa semua definisi takut, sedih, dan terpuruk tapi begitu segerombolan anak-anak kecil lari ngikutin aku dengan mainannya, ibu-ibu yang menawarkan masakannya, serta bapak-bapak dengan segudang cerita dan ilmu yang tak pernah terpikirkan berhasil meruntuhkan kekhawatiranku dan Pagerungan Kecil jadi satu memori di hidupku yang tidak terlupakan. Terima Kasih Pagerungan Kecil untuk segala pesan dan kesan yang boleh kubawa pulang. Rasanya, sia-sia saja ketika kita pergi jauh menjelajah, tetapi kita tidak mau bersama belajar dan bertumbuh darinya.”
AHMAD HIDAYATULLAH
KL’17, FUNDRAISING
“Pagerungan Kecil baik banget orang-orangnya sama pendatang, kita mudah mencari informasi dasar yang kita perlu. Kepercayaan mereka akan alam sangat tinggi. Aman, di sana keamanan cukup baik. Seru banget hari-hari di Pulau Pacil. Buat EMPI, temen-temen baru, keluarga baru yang aku temukan disini, kalian keren! Ayo, jalan-jalan lagi! Untuk Warga Pagerungan Kecil, terima kasih sudah menerima kita dengan baik, semoga kalian selalu diberi kesehatan dan kelancaran dalam segala aspek kehidupan. Kita dapat banyak pembelajaran dan pengalaman baru yang siap diceritakan dan dibawa semangatnya mulai dari komunitas kita, ke khalayak ramai. Buat EMPI, kalian jangan takut buat ekspedisi ke tempat antah berantah! You can do it!”
IFFAT IFTIKAR
FT’18, KOMUNIKASI
“Pagerungan Kecil, pulau yang terperangkap di tengah samudra namun tidak satupun yang merasa tidak bebas. Jika masih diberi umur, tenaga, dan kesempatan, aku ingin melihat matahari terbenam di sana sekali lagi. ”
ARI RACHMAN
GL’18, DOKUMENTASI
“Ekspedisi Maritim dan Pesisir Indonesia ITB 2019 adalah perjalanan terjauh yang pernah aku lakukan di dalam negeri. Menjadi bagian dari tim ekspeditor itu sendiri adalah pengalaman yang sangat berharga. Dimulai dari ajakan teman dekat untuk melengkapi kekurangan tim karena sebagian memilih mundur menjadi pengalaman yang berbeda dengan teman satu tim ekspeditor. Hadirnya diriku berbeda dengan mereka yang sudah melewati tahap rekrutmen yang cukup panjang dan menyulitkan. Sedih memang, kadang susah untuk bertukar cerita karena tak sama-sama merasakan pengalaman hebat mereka.”
AULIA SALSABELLA SUWARNO
OS’17, AKOMODASI
“EMPI merupakan hadiah dan pelajaran yang paling bermakna dalam proses pencarian jati diri saya: laut, masyarakat, dan budaya. Kenangannya tak hanya akan tersimpan di memori digital, tapi juga di dalam sanubari jiwa ini selamanya. Jika selama ini kau pikir tugas mahasiswa hanyalah belajar demi “masa depan bangsa”, maka ada yang kurang dari tujuanmu. Berikanlah kesempatan pada dirimu untuk pergi dan melanglang buana untuk benar-benar mempelajari kondisi nusa, tak semua ilmu sudah tertulis di atas kertas.”
GRHA GANDANA PUTRA
TM’15, MATERI DAN METODE
“Rasanya tidak karuan. Ada kalanya senang, sedih, tertawa, kesal, dan masih banyak frasa sifat lainnya. Pagerungan Kecil memang berhasil membuatku terkesan dimulai dari warga lokal yang terbuka, santapan oplos es kelapa-muda-susu-hemaviton yang menghancurkan pencernaan, bocah-bocah bengal bermuka polos, pesta sate penyu pesantren, dan kejutan-kejutan lainnya. Terima kasih kawan-kawan! Semoga kita selalu haus untuk bermanfaat. Untuk para kawan-kawan ekspeditor, semoga apapun tujuanmu dapat terealisasi dan semakin membuat insyaf akan peran kita di masa mendatang sebagai makhluk hidup yang berakal. Untuk pembaca semoga terinspirasi dan dapat melakukan hal bermakna bagi pribadi dan masyarakat di dunia yang fana ini.”
NOVITA EKA PADMANINGRUM
GL’17, MEDIK
“Pagerungan Kecil di luar ekspektasiku. Betul memang kata orang bahwa masyarakat timur Indonesia notabene terdiri atas orang-orang yang ikhlas membantu.Buatlah setiap tempat yang kau tapaki berharga dan bermakna.”
PUTRI RISA FATMAWATI
BI’17, PERIZINAN
“Pertama kalinya melangkah jauh ke pelosok negeri. Mengarungi lautan selama 16 jam, merupakan pengalaman yang sangat menakjubkan. mengenal dan tinggal satu rumah dengan 22 ekspeditor lain yang memiliki sifat juga paradigma yang berbeda akan banyak hal, tidak mudah. Mengenal, bermain, bercengkrama dengan warga di pulau Pagerungan juga merupakan pembelajaran dan pengalaman yang menarik. EMPI mengubah cara pandang dan juga pola pikirku akan sesuatu yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Yang paling utama adalah, aku menemukan sebuah arti pertemanan juga keluarga baru. Terima kasih, Pagerungan Kecil. Terima kasih, EMPI 2019. Untuk kalian, keluargaku, EMPI 2019. Jangan pernah berhenti menjelajahi alam Indonesia yang luas dan indah. Jangan lupa pula untuk menebarkan kebaikan untuk orang-orang di sekitar juga pada diri sendiri. Kalian hebat!”
NISSAKIM PUTERI SALSABILA DKV’17, PUBLIKASI DAN DESAIN
“Yang selama ini cuma pernah melihat peradaban di kaki gunung akhirnya bisa menengok peradaban pulau timur di tengah-tengah laut. Beda budaya, beda norma, beda kebiasaan. Jadi pengalaman paling unik dan seru di antara sejuta aktivitas kuliah yang monoton, dan bikin diri bersyukur sama nikmat yang udah dimiliki dan bisa diakses saat ini. Tugas sebagai mahasiswa memang banyak, tapi jangan pernah lupa sama tugas kita sebagai manusia. Semoga dari EMPI ini bisa memupuk rasa kemanusiaan tiap ekspeditor dan mendorong kita untuk bersama-sama belajar menjadi bermanfaat.”
MUHAMMAD RAIHAN DZAKY MUSYAFFA
MR’18, PERALATAN
“Pagerungan Kecil, sebuah tempat yg membuka mata saya tentang keberagaman budaya Indonesia serta pesona yang memukau. Di sanalah semangat menjelajah Indonesia serta dunia ini bangkit. Keluarlah, pergilah, jangan terlena dengan kenyamanan kampus dan perkotaan di saat petualangan yang seru menanti kalian di luar sana!”
SATWIKA ANANDA
GL’17, KETUA EKSPEDISI
“Nggak nyangka aja, ternyata tempatnya bagus dan nggak sesuai dengan pandangan orang-orang sebelumnya. Jangan pernah berhenti menjelajah, karena kamu akan menemukan dirimu sendiri!”
NADIFA ADILA
PL’17, DOKUMENTASI
“Dari EMPI aku belajar banyak hal mulai dari sesederhana gimana caranya bicara dengan orang yang tidak pernah bertemu dengan kamu sebelumnya. Ditambah lagi dengan bahasa Bajau yang mungkin terdengar asing bagiku yang terbiasa di kota hingga belajar bagaimana caranya membuat kerajinan, membuat makanan khas, hingga memahami permasalahan sosial yang ada di pulau pesisir yang penuh dengan dinamika laut yang mempengaruhinya. Pesanku sebenarnya tidak banyak, pun aku tidak banyak pengalaman tapi satu hal yang kurasa harus orang lain percaya bahwa kita siapapun jangan pernah merasa diri kita tinggi hingga ingin “memberikan sesuatu” untuk masyarakat. Pada akhirnya justru kita sendiri lah yang belajar pada mereka. Tanamkan pikiran bahwa yang diperlukan ialah saling bertukar rasa dan ilmu hingga saling melengkapi satu sama lain. Masih banyak pelosok-pelosok Indonesia yang belum terjamah dan bahkan belum memiliki peradaban yang mumpuni, maka jangan kenal lelah untuk mengenal Indonesia.
NARETTA VERONICA
PL’17, PROGRAM
“EMPI benar-benar pengalaman hidup yang pasti susah diulang. Dari EMPI aku belajar untuk lebih bersyukur. Dari EMPI juga aku belajar iri sama masyarakat pesisir yang kekeluargaannya erat, selalu saling menolong, dan dekat sama alam. Kadang masih nggak nyangka pernah punya pengalaman hidup yang seindah novel. Makasih banyak untuk ke 22 ekspeditor EMPI yang udah jadi salah satu keluargaku. Dari kalian aku belajar banyak hal karena kalian semua unik dengan sifatnya masing-masing. Sukses selalu!”
NAYLA MARHAMAH SADIDAH
BA’16, PERBEKALAN
“Mengikuti kegiatan EMPI merupakan keputusan yang tidak pernah kusesali sama sekali. Seru banget! Pagerungan Kecil punya banyak cerita! Bertemu teman, sahabat, keluarga baru di EMPI ini. Semoga EMPI selalu jadi “Lentera di Tengah Samudra”! Jangan ragu untuk menjelajah, jangan takut, ayo lihat dunia yang lebih luas!”
BAGINDA YUSUF ADITYA NEGARA
RIL’18, MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
“Ekspedisi: Pengalaman tak terlupakan yang menggeser keinginan-keinginan keduniaan. Panjang umur untuk usaha pemahaman kemasyarakatan oleh tuan puan peramu masa depan.”
NADHILAH MUSTIKARINI
AS’15, PUBLIKASI DAN DESAIN
“Jangan sungkan untuk belajar dari manapun dan dari siapa pun. Karena kadang-kadang pelajaran hidup yang luar biasa didapat dari sesuatu yang nggak diduga-duga.” “EMPI jadi pengalaman luar biasa di tahun kelima aku di ITB. Sukses bikin aku terpana tiap kali melihat langit malam di Pagerungan Kecil, cerah banget kaya masa depan (Aamiin). Orang-orang di sana juga ramah, bahasa dan budaya Bajau juga unik. Indonesia memang indah dengan keragaman budayanya.”
YUNIDA INDIRA CAHYONO
PL’15, SEKRETARIS
“Warganya ramah banget, aku ngerasa gotong royongnya masih kuat antar warga. Lingkungannya menurutku masih tergolong bersih, tetapi sudah terpapar limbah plastik saja pantainya. Sampah belum menjadi concern bagi masyarakat di sana. Kalau sarana dan prasarananya jauh dari kata memadai buatku. Kebutuhan dasar seperti listrik dan air bersih masih belum bisa mencukupi kebutuhan harian masyarakat. Apalagi kebutuhan pangan, kalau melihat yang dijual di pasar jenis makanannya monoton. Bisa jadi karena jarang ada pasokan makanan dari luar pulau. Pulau ini punya potensi yang besar di komoditas kelapa. Bisa memberikan nilai jual kalau kelapa ini bisa diolah jadi produk lain seperti nata de coco, briket batu bara, dan lain-lain. Perlu adanya kerjasama dari pemerintah, akademisi, pihak swasta, dan masyarakat itu sendiri untuk mengembangkan potensi di Pagerungan Kecil sehingga mampu memberikan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi penduduk di sana.”
NAQITA RAMADHANI EP’17, TRANSPORTASI
“Sebuah ekspedisi yang pada awalnya tak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan sanggup. Namun, pada akhirnya yang mengajarkanku akan banyak arti kehidupan dan turut membentuk diriku yang sekarang ini. Jangan ragu untuk keluar dari zona nyaman! Karena kita tak pernah tahu apa yang akan kita temukan di luar kenyamanan kita.”
GALIH ADITYA SYAILENDRA WARDIANA
GD’18, LATIHAN FISIK
“It’s a diamond in the middle of nowhere. Semoga Pagerungan Kecil tetap lestari dengan dinamikanya sendiri.”
RAMADHITA UMITAIBATIN
EB’17, MATERI DAN METODE
“Dalam setiap rencana, persiapan menghadapi kasus terburuk dan kuasa Tuhan menjadi penolong utama” “Saya yakin teman-teman satu tim merasakan pengalaman luar biasa pada saat berinteraksi dengan warga Pagerungan Kecil. Begitu pun saya, yang sangat bersyukur karena kami diterima dengan baik di Pagerungan Kecil. Warga Pagerungan Kecil memang memiliki ciri khas yang tidak terlupakan, terutama melihat salah satu warga menyelam ke dalam lautan tanpa alat bantu signifikan untuk berburu gurita, atau ibu-ibu Pagerungan Kecil yang menjalankan Slow Living. Awalnya saya menduga akan mengambil data saintifik di lapangan. Ternyata tidak semudah itu karena alat yang kurang mendukung. Saya harap kedepannya semua elemen yang terlibat pada ekspedisi ini dapat bekerjasama untuk pengambilan data saintifik sehingga yang didapat bukan hanya perihal sosial budaya kualitatif melainkan juga data yang pasti sehingga bisa digunakan untuk bahan pengambilan keputusan di masa mendatang, demi kemajuan teknologi dan bangsa Indonesia.”
SHERINE ANGELICA KI’16, FUNDRAISING
“Paling berkesan setelah perjalanan laut dan akhirnya sampai di pulau. Lalu ketemu warga-warga yang excited, berasa jadi artis mendadak. Warganya welcome banget dan sederhana banget. Aku paling deket sama keluarga di selatan, udah ngerasa seperti keluarga sendiri. Terus kalau kesan terhadap tim EMPI itu rasanya seperti punya keluarga baru, hidup di pulau terpencil dengan sinyal terbatas, 24 jam bersama, sampai muka saat bangun tidur pun rasanya feels like a new home for me in my life.
IRFANS MAULANA FIRDAUS
ME’15, BENDAHARA
“Teruntuk aku: Terima kasih sudah melampaui batasmu. Untuk pertama kali bisa berekspedisi dan mendapatkan pengalaman, pembelajaran, serta cerita yang indah luar biasa. Banyak kata “pertama kali melakukan (hal)” dalam perjalanan ini. Teruntuk aku dan kamu: Bergunalah untuk diri sendiri dan sekitar. Jika ada kesempatan untuk lebih bermanfaat, ambil!”
Kamus
Aada kao? = Mau kau? Bagang = Perahu bercadik satu Babon = Roti Bagal = Besar Bidok = Perahu Colo = Korek kayu Cambe = Asam jawa Dampe = Suka Dangai? = Berapa? Daha ambongan = Jangan malu Dede’ = Menempa besi Dibelle = Direbus Dende = Perempuan Daha talau = Jangan takut Dayah = Ikan Daha = Jangan Geku ada = Tidak mau Kukuri = Main-main Ka di laut = Ke laut Kaluppanan = Lupa Kimoak = Petang Lallai = Lari Landoh = Mendung Lekur = Kelereng Lelle = Laki-laki Lese = Minggir Lo’or = Zuhur Lelepe = Sampah kecil Lupus = Selesai Memandi = Berenang Malasso = Bagus Maciro = Minta ikan Memessi = Memancing Manok = Ayam Munsigik = Masjid Mase = Masa iya? Mamanok = Burung Maen bal = Main bola
Mopo = Mencuci Napenje ko/kite? = Mau kemana kau? Ngalupanko = Kamu juga Ngandedde = Menempa besi Nginta = Makan Ngura = Muda Nyanyaloh = Pagi Nape dayah = Bakar ikan Ngengngal = Lelah Nayi = Kaki Ngilantu = Lapar Nganjareh = Menjaring Pakialat = Hati-hati Pasiadu = Berkelahi Pore = Ke sana/pergi Palumera = Kuah kuning Pependak = Pendek Poso = Capai Paluncat = Loncat Reye = Ilalang Saloka = Kelapa Saloboh = Selatan Sangai = Angin Seggek = Sampah Sai aranu? = Siapa nama mu? Sedi gusoh = Pantai Songko = Topi Sangan = Malam Sella = Enak/nikmat Sudu = Sendok Salatan = Timur Sedi = Pinggir Tabe’ = Permisi Tumalang = Berjalan Tabea = Ikut Toho keloh = Haus Tutumalang = Jalan-jalan Toe = Tua Urang = Hujan
Lentera di Tengah Samudra
CATATAN PERJALANAN 23 JIWA DI TANAH BAJAU
Ekspedisi benar-benar membuat saya melampaui batas diri, membuat saya keluar dari tembok-tembok tinggi kampus untuk melihat belajar dengan nyata di masyarakat. Idealisme berganti menjadi aktualisme, karena saya harus menyesuaikan kondisi yang benar-benar ada di masyarakat. Menjadi bagian dari masyarakat untuk hadir di tengah mereka dan mendengarkan keluh kesah yang dirasakan membuat saya sadar bahwa pelajaran itu bisa berasal dari mana saja.
-DARI SAYA, MAHASISWA YANG SEDANG MENCARI ESENSI DIRI