Warta Bappeda Edisi Tahun 2019

Page 1

MEDIA KOMUNIKASI EDISI TAHUN 2019

Vol. 31 No. 121 Tahun 2019

PROVINSI JAWA BARAT

LAPORAN UTAMA: SI RAMPAK SEKAR PROGRAM JABAR UNTUK AKSELERASI PEMERATAAN & PEMBANGUNAN DESA

Peresmian Bersama PROYEK CSR JABAR


DARI

REDAKSI

PROVINSI JAWA BARAT

Majalah Warta Bappeda merupakan produk media cetak yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. Diproduksi secara berkala dan memberikan insipirasi, pencerahan, serta edukasi untuk menunjang proses perencanaan pembangunan anda

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Para pembaca yang berbahagia pada terbitan Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 kali ini kami tampilkan Laporan Utama seputar Si Rampak Sekar, kemudian Peresmian Proyek CSR Jabar hadir pada rubrik Laporan Khusus. Beberapa Rubrik lain hadir seperti Wawasan Perencanaan dan Jendela Perencanaan. Hal ini dilakukan demi memberikan kepuasan para pembaca dalam memperoleh informasi perencanaan pembangunan Jawa Barat melalui majalah triwulanan ini. Para pembaca Warta Bappeda yang kami hormati, selain tulisan diatas kami hadirkan pula beberapa Artikel Wawasan Perencanaan yang mengupas tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD untuk Pembangunan yang Berkelanjutan, Diseminasi Pembibitan Kentang Daratan, Pembangunan Rendah Karbon, Imbal Jasa Lingkungan Hidup Sebagai Instrumen Pembiayaan Mitigasi Bencana di Daerah Aliran Sungai Citarum, Kemudian Hadir Juga Rubrik Jendela Perencanaan dan Rehat yang membahas tentang Ritus Adat Seren Tahun di Kasepuhan Sirnaresmi di Sukabumi, dan 16 Persen Desa Wisata Pulau Jawa Bali di Jawa Barat. Akhir kata kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis atas kontribusinya selama ini. Kami tunggu artikel berikutnya yang akan diterbitkan dalam Edisi Triwulan I Tahun 2020. Selamat membaca.

Terbit Berdasarkan SK Menpen RI No. ISSN

Penanggung Jawab Ketua

1353/SK/DITJENPPG/1988 0216-6232

Dr. Ir. H. M. Tauď€ q Budi Santoso M.Soc.Sc. Eko Priastono, ST.,MPPM

Sekeretaris

Drs Wahyu Hendrawan, MM

Penyunting

Drs. Bunbun Wahyu Korneli, MAP Tuti Sakti Budhi Astuti Adhi, S.SH., M.Si Delsi Taurustiati, S.KM., M.KM., M.Med.Sc Endang Damayanti, ST.,MT

Sekretariat

Rio Teguh Pribadi,S.Sos. Umarudin, A.Md

Liputan

Novi Adriyanti, S.Sos

Fotografer

Rai Fanzi Ramadhan Yayang Tresnawan

Layouter Alamat

Ramadhan Setia Nugraha S.Sos Jl. Ir. H. Juanda No.287 Telp.2516061 Website : bappeda.jabarprov.go.id E-mail : wartabappedajabar@yahoo.com

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh menerima tulisan dari pembaca yang berhubungan dengan wawasan perencanaan, disarankan untuk melampirkan foto-foto yang mendukung. Tulisan diketik satu spasi minimal 5 halaman A4. Artikel yang pernah dimuat di media lain, tidak akan dimuat. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah substansi.


D A F TA R I S I Warta Bappeda Vol. 31 No. 121 Tahun 2019

L A P O R A N U TA M A

2

LAPORAN KHUSUS

10

S I R A M PA K S E K A R P R O G R A M J A B A R U N T U K A K S E L E R A S I P E M E R ATA A N & PEMBANGUNAN DESA

Si Rampak Sekar, merupakan singkatan dari Sistem Perencanaan dan Penganggaran yang Terintegrasi antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.

PERESMIAN BERSAMA P R OY E K P R OY E K CSR JABAR

Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Barat memberikan piagam penghargaan Corporate Social Responsibility (CSR) Tahunan kepada 123 perusahaan mitra CSR Jabar dan piagam penghargaan CSR 5 Tahunan kepada 19 perusahaan mitra CSR Jabar.

JENDELA PERENCANAAN

60

16

26

KAJIAN LINGKUNGAN H I D U P S T R AT E G I S RENCANA PEMBANGUNAN JANGKAMENENGAH DAERAH UNTUK PEMBANGUNAN YA N G B E R K E L A N J U TA N D I S E M I N A S I P E M B I B I TA N K E N TA N G D ATA R A N MEDIUM

36

PEMBANGUNAN RENDAH KARBON DI PROVINSI J A W A B A R AT

Pembangunan rendah karbon dimaknai sebagai pembangunan berdasarkan prinsip untuk meminimalisasi aktivitas penyebab emisi karbon (gas rumah kaca) yang diyakini secara ilmiah dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, serta meningkatkan potensi dan keparahan dari dampak perubahan iklim terhadap manusia dan ekosistem (IPCC, 2014).

50

IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI INSTRUMEN P E M B I AYA A N M I T I G A S I B E N C A N A D I D A S C I TA R U M

64

PENGURANGAN R I S I KO B E N C A N A SESAR LEMBANG

R E H AT

74

R I T U S A D AT S E R E N TA U N D I K A S E P U H A N SIRNA RESMI SUKABUMI

84

16 PERSEN DESA W I S ATA P U L A U J A W A BALI BERADA DI J A W A B A R AT

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

1


LAPORAN

U TA M A

2

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


Foto: Humas Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

3


LAPORAN

U TA M A

Si Rampak Sekar Program Jabar untuk Akselerasi Pemerataan Pembangunan Desa

Si Rampak Sekar, merupakan singkatan dari Sistem Perencanaan dan Penganggaran yang Terintegrasi antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.

4

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Hal tersebut dikemukakan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat Mohammad TauďŹ q Budi Santoso dalam Sosialisasi Aplikasi Si Rampak Sekar kepada peserta Pelatihan Usulan Bantuan Desa ke Provinsi di Hotel Aston, Cirebon, Senin (21/10/2019). “Sistem informasi Si Rampak Sekar itu singkatan, tapi maknanya rampak itu lagu, sekar dimainkan bersama-sama jadi ada sinergi disana, semua lagu yang kita mainkan untuk pembangunan daerah,â€? kata Kepala Bappeda Jawa Barat.


Saat ini Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat tengah melaksanakan digitalisasi perencanaan mulai dari musrenbang sampai dengan pelaporan. “Rencana harus sinergi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sistem perencanaan dan penganggaran antara provinsi dan kabupaten/kota, provinsi dengan pemerintah pusat akan diintegrasikan,” ujarnya. Hal itu penting, semisal untuk proyek strategis nasional yang prinsipnya harus diterjemahkan sampai daerah. Jadi jangan sampai program provinsi ataupun kabupaten/kota tidak sejalan, Selain itu, provinsi juga memiki program strategis provinsi yang harus sinkron dengan apa yang dilakukan kabupaten/kota. Pada saat menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) provinsi maupun kabupaten/kota diharapkan bisa menjadi bagian mengintegrasikan dan menyinergikan perencanaan antara tingkayan pemerintahan. Sinergi tersebut pun kaitannya dengan APBD kabupaten/kota, provinsi dan APBN. Sebagai awalan, Bappeda Provinsi Jawa Barat telah melakukan pelatihan kepada 4.000 kepala desa di Jawa Barat pada pertengahan Oktober untuk menggunakan aplikasi yang musrenbang. “Nanti desa akan mengusulkan ke provinsi beberapa kegiatan yang lingkupnya memang untuk kepentingan desa dan bisa dibiayai pemerintah provinsi. Usulan dari desa ke provinsi ini belum ada sebelumnya,” katanya.

Rencana harus sinergi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sistem perencanaan dan penganggaran antara provinsi dan kabupaten/kota, provinsi dengan pemerintah pusat akan diintegrasikan.” M. Taufiq B. Santoso

Foto-foto: Humas Bappeda

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

5


LAPORAN

U TA M A

Foto: Humas Bappeda

Kita ingin ada pemerataan pembangunan di Jabar dapat berjalan dengan cepat dan transparan. Kita yang menyusun program dan aplikasinya sendiri, bukan hasil meng-copy dari yang lain. Semua nanti bisa transparan sehingga akuntabilitas itu menjadi kunci dari progam ini,” M. Taufiq B. Santoso

Hasil Musrenbang Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, M. Taufiq Budi Santoso menyebut proses kerja Si Rampak Sekar berawal dari hasil musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di desa-desa. Hasil musrenbang tersebuat disampaikan oleh kepala desa atau aparatur desa via Si Rampak Sekar. Setiap usulan yang masuk akan diverifikasai oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten/Kota. Kemudian, DPMD Jabar akan melakukan verifikasi ualng dan usulan yang telah diverifikasi itu menjadi musrenbang provinsi. “Jadi, usulan harus berasak dari musrenbang desa dan itu harus diusulkan untuk didanai dari APBD provinsi. Hanya APBD provinsi saja, bukan dari sumber dana lainnya,” katanya. Ia melanjutkan, verifikasi ganda diperlukan untuk menilai pemenuhan syarat dan agar tidak tumpeng tindih dengan sumber pendanaan lain seperti dari APBD kabupaten/kota, APBD desa maupun APBN. 6

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

“Sampai sekarang sudah ada 2.000 desa dari 5.312 desa yang telah mengikuti sosialisasi aplikasi ini. Sosialisasi akan terus digencarkan sampai Januari 2020,” ujarnya. Selain itu, Bappeda Provinsi Jawa Barat juga akan memanfaatkan media lain seperti media sosial agar masyarakat mengetahui cara mengakses informasinya. Infrastruktur untuk membantu kepala desa dan aparatur desa di Jawa Barat dalam mengakses Si Rampak Sekar juga disediakan. “Kita ingin ada pemerataan pembangunan di Jabar dapat berjalan dengan cepat dan transparan. Kita yang menyusun program dan aplikasinya sendiri, bukan hasil meng-copy dari yang lain. Semua nanti bisa transparan sehingga akuntabilitas itu menjadi kunci dari progam ini,” jelasnya.


gagasan proyek perubahan Si Rampak Sekar. “Saya memiliki pandangan bahwa gagasan proyek ini memiliki sisi positif dan nilai tambah signifikan bagi proses pembangunan daerah di Jawa Barat. Naskah gagasan proyek tersebut telah sangat baik karena memiliki uraian kajian yang sangat lengkap dengan ditunjang argumentasi yang menggunakan pendekatan ilmiah dan praktis,” paparnya. Si Rampak Sekar dapat dilaksanakan apabila masih tingginya tingkat ketidak tercapaian (burning platform maupun gap analysis) dalam hal sinergitas, sinkronisasi, keterkaitan arah kebijakan, dan capaian sasaran program antara rencana pembangunan nasional, kementerian lembaga dengan rencana pembangunan daerah provinsi dan kabupaten/kota baik jangka menengah maupun tahunan. “Si Rampak Sekar sulit dilaksanakan mengingat pendekatan politis lebih dominan dalam perencanaan pembangunan daerah dibandingkan dengan pendekatan teknokratik, partisipatif, top down, dan bottom up,” ungkapnya.

DPRD Jabar, Si Rampak Sekar Perlu Direalisasikan Menurut anggota DPRD Jabar, Syahrir gagasan proyek ini dilaksanakan sehubungan Bappeda di samping dituntut untuk tetap melaksanakan fungsi dasarnya, yaitu mengembangkan proses perencanaan, mengimplementasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi atas perencanaan pembangunan daerah. “Ke depan Bappeda juga dituntut untuk menyusun kerangka makro rencana pembangunan daerah, menentukan strategi dan prioritas program pembangunan daerah, mengidentifikasi dan mengelola potensi daerah, mengembangkan sumber-sumber alternatif pembiayaan pembangunan daerah, mengembangkan kerja sama vertikal dan horizontal, merangsang partisipasi masyarakat, dan lain-lain,” jelasnya, Sabtu (5/10) di ruang kerjanya. Sangatlah tepat apabila Bappeda Provinsi Jawa Barat memiliki inisiatif untuk membuat

Program Si Rampak Sekar harus mampu menjadi alat perencanaan pembangunan yang saat ini terindikasi belum sepenuhnya berbasis pada kewenangan OPD sebagai penyelenggara urusan pemerintahan. “Program Si Rampak Sekar sebagai alat perencanaan pembangunan daerah harus mampu mengintegrasikan dengan rencana tataruang, memperhatikan lingkungan hidup dan berorientasi pada kewilayahan pembangunan,” jelasnya. Program ini juga harus mengefektifkan pengendalian dan evaluasi terhadap proses dan pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Syahrir menambahkan, perencanaan pembangunan daerah belum berbasis pada data dan informasi yang valid dan akurat. “Hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan proses perumusan perencanaan pembangunan tidak sesuai dengan tahapan dan tatacara penyusunan rencana pembangunan daerah yang diatur dalam UU dan regulasi yang ada di bawahnya,” jelasnya. Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

7


LAPORAN

U TA M A

Program ini nantinya hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa substansi yang dirumuskan dalam perencanaan pembangunan, tidak sesuai dengan UU dan regulasi yang ada di bawahnya. “Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kerangka ekonomi daerah dan kerangka pendanaan, prioritas, dan sasaran pembangunan, rencana program dan kegiatan prioritas daerah,” urainya.

Wagub Resmi Luncurkan SRS Sistem Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Online (Si Rampak Sekar) secara resmi diluncurkan oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jabar Taufiq Budi Santoso di Hotel El Royale, Kota Bandung, Rabu (13/11/19). Si Rampak Sekar merupakan aplikasi yang akan menjadi pintu bagi usulan-usulan desa. Nantinya, usulan tersebut didanai oleh APBD Provinsi. Selain itu, Si Rampak Sekar dapat memadukan sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota dan pusat. Menurut Uu, Si Rampak Sekar dapat membuat pembangunan di semua lini, khususnya desa, merata. Pun demikian dengan pertumbuhan ekonomi. Maka itu, dia mengimbau kepada kepala desa (kades) dan aparatur desa untuk bersinergi dalam program tersebut. “Pertumbuhan ekonomi Jabar kemarin sudah mencapai 5,9 persen. Kami (Pemerintah Daerah Provinsi Jabar) ingin pertumbuhan ekonomi itu bisa melibatkan dan dirasakan oleh masyarakat desa,” kata Uu. Uu juga berkata, penerapan aplikasi, seperti Si Rampak Sekar, dapat meningkatkan kualitas kades di era digital. Jika kades tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi, kata dia, roda pembangunan di desa akan lambat. “Siapa yang menguasai digital, itu yang akan menguasai dunia. Siapa yang tidak menguasai, akan ketinggalan. Supaya kades dan desanya tidak tertinggal dari dunia yang sekarang, maka

8

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

kami memberikan perhatian seperti ini (melalui program aplikasi),” ucapnya. Proses kerja Si Rampak Sekar berawal dari hasil musyawarah perencanaan pembangunan (musrengbang) di desa-desa. Hasil musrengbang itu nantinya disampaikan oleh kades atau aparatur desa via Si Rampak Sekar. Setiap usulan yang masuk akan diverifikasi oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) kabupaten/kota. Kemudian, DPMD Jabar akan melakukan verifikasi ulang. Usulan yang telah diverifikasi bakal menjadi musrengbang provinsi. “Jadi usulan harus berasal dari musrenbang desa, dan itu harus diusulkan untuk didanai dari APBD provinsi. Hanya APBD provinsi saja, bukan dari sumber dana lainnya,” kata Kepala Bappeda Jabar Taufiq. “Verifikasi ganda dilakukan untuk menilai pemenuhan syarat, dan agar tidak overlap dengan sumber pendanaan lain, misalnya dari APBD Kabupaten/Kota, APBD desa itu sendiri, maupun APBN,” imbuhnya. Taufiq mengatakan, pihaknya tengah menyosialisasikan Si Rampak Sekar ke semua desa se-Jabar. Sampai saat ini, sudah ada 2.000 desa dari 5.312 desa yang telah mengikuti sosialisasi aplikasi tersebut. Menurut dia, sosialisasi akan terus digencarkan sampai Januari 2020. “Kami rencanakan dalam waktu setelah ini di Januari akan kami lakukan lagi Insyaallah, untuk memenuhi semua 5.312 desa bisa kita sosialisasikan,” katanya. “Kita juga akan memanfaatkan media lain, seperti media sosial untuk nanti masyarakat diberi tahu cara akses informasinya seperti tutorial di Youtube,” ucap Taufiq melanjutkan. Selain itu, kata Taufiq, pihaknya menyediakan instruktur untuk membantu kades dan aparatur desa di Jabar dalam mengakses Si Rampak Sekar. Tujuannya supaya pemerataan pembangunan di Jabar berjalan dengan cepat dan transparan. (Humas Bappeda/Novi)


Sistem Perencanaan dan Penganggaran yang Terintegrasi antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.

PUSAT

PROVINSI

KAB/KOTA

DESA

SI RAMPAK SEKAR SI RAMPAK SEKAR diambil dari Bahasa Sunda, yaitu rampak dan sekar. Rampak artinya bersama – sama, sekar artinya nyanyian atau lagu, jadi secara istilah makna rampak sekar adalah menyanyikan lagu berbahasa Sunda secara berkelompok atau koor lagu-lagu Sunda. Bila kita kaitkan dengan proses perencanaan maka perencanaan haruslah sinkron, sinergis, dan terintegrasi antara satu dan lainnya sehingga membentuk irama pembangunan yang harmonis dan selaras antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota.

APA KEUNGGULAN SRS? AKSES WEB

Usulan Bantuan Desa

Pembangunan Sanitasi

isi profil desa

LOGIN

Pembangunan Homestay

Jembatan Desa

isi usulan

Pembangunan Posyandu

Peningkatan Jalan Desa

kirim

Pipanisasi Sumber Air Bersih

apbd.jabarprov.go.id

e-Evaluasi RKPD

e-Musrenbang

e - Evaluasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah

e - Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah

e-Planning e-Budgeting e-Reporting

e-LPPD

e-Evaluasi APBD e - Evaluasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

e - Evaluasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Rp $

PUSAT

Rp Rp $$ Rp $

140300 140300

PROVINSI

KAB/KOTA

DESA

Desain: Humas Bappeda


LAPORAN

U TA M A


Peresmian Bersama Proyek - Proyek

CSR Jabar Foto: Humas Bappeda


LAPORAN

KHUSUS

Foto: Humas Bappeda

Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Barat memberikan piagam penghargaan Corporate Social Responsibility (CSR) Tahunan kepada 123 perusahaan mitra CSR Jabar dan piagam penghargaan CSR 5 Tahunan kepada 19 perusahaan mitra CSR Jabar.

12

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


penghargaan dan digelarnya acara tersebut. Pertama adalah merespons kepedulian terhadap perusahaan yang telah menjalankan kegiatan CSR di Jabar. “Yang kedua, untuk mengenal lebih jauh kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Yang ketiga untuk mendekatkan hubungan sinergi antara Pemerintah Daerah Provinsi Jabar dan perusahaan-perusahaan,” kata Daud. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jabar tersebut, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menandatangi 84 prasasti sebagai peresmian 84 program pembangunan proyek mitra CSR Jabar 2018-2019 di 15 kabupaten dan 3 kota di Jabar.

Pemberian Penghargaan ini untuk merespons kepedulian terhadap perusahaan yang telah menjalankan kegiatan CSR di Jabar.

P

iagam penghargaan diberikan dalam acara Peresmian Bersama Proyek–Proyek Corporate Social Responsibility (CSR) Jawa Barat Tahun 2018–2019 di Trans Luxury Hotel, Kota Bandung, Senin (18/11/19). Menurut Ketua Tim Fasilitasi CSR Jabar yang juga Pj. Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Daud Achmad, ada tiga tujuan dari pemberian

Pemda Provinsi Jabar pun menerima secara simbolis motor TVS Cargo Ram 5 dari PT. TVS Motor Company Indonesia. Selain itu, ada pameran proyek-proyek mitra CSR Jabar. “Penghargaan kepada perusahaan yang berkontribusi menjalankan program kegiatan CSR atau PKLB (Program Kemitraan Bina Lingkungan) dan bersinergi dengan kegiatan Pemerintah,” ucap Daud. Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

13


LAPORAN

KHUSUS

Sedangkan, Asisten Manajer CSR dan PKLB PT Pegadaian Kantor Wilayah (Kanwil) X Bandung Suwanto menyatakan, penghargaan yang diberikan Pemda Provinsi Jabar kepada perusahaan mitra CSR Jabar merupakan sebuah pengakuan. Dia juga menyebut pengakuan merupakan hal berharga. “Acara ini bagus untuk menghargai dan menyemangati temanteman, yang mana mereka membutuhkan pengakuan. Mereka mengeluarkan dana. Dana untuk apa? Untuk ikut terlibat dalam program-program Pemda Provinsi Jabar,� kata Suwanto. Turut hadir dalam acara tersebut pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat, Bupati Walikota Se-Jawa Barat, Asisten dan Staf Ahli Gubernur, Kepala Perangkat Daerah di lingkungan Pemda Provinsi Jabar. (Humas Bappeda/Novi)

Foto-foto: Humas Bappeda

14

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


Dapatkan informasi terbaru seputar Perencanaan Pembangunan Jawa Barat

Design by: Rama

bappeda.jabarprov.go.id Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

15


WAWA S A N PERENCANAAN

Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah untuk Pembangunan yang Berkelanjutan Oleh Maman Sukiman*

Pendahuluan

I

su pembangunan dan lingkungan hidup seringkali menjadi bahan diskusi yang panjang di kalangan para ahli. Bagi mereka yang sangat pro pembangunan berpendapat bahwa lingkungan hidup menjadi salah satu penghambat dalam pembangunan namun bagi mereka yang sangat pro lingkungan hidup beranggapan bahwa pembangunan seringkali menjadi pemicu kerusakan lingkungan. Pembangunan dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang saling berkaitan. Apabila terlalu condong pada pembangunan, maka lingkungan hidup beresiko rusak dan apabila terlalu condong pada lingkungan hidup, maka pembangunan kemungkinan sulit untuk dilaksanakan.

*) Perencana Ahli Madya Bappeda Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat


Foto: Humas Bappeda

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

17


Foto-foto: Humas Bappeda

Pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun tidak jarang pembangunan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan longsor merupakan beberapa contoh dari dampak kerusakan lingkungan yang dapat dilihat saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya mencari jalan tengah agar pembangunan bisa tetap berjalan dan kerusakan lingkungan dapat dihindari. Dalam rangka mencegah munculnya permasalahan lingkungan hidup, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini menetapkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar 18

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Pada akhir tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Permen LHK P.69/2017). Permen LHK P.69/2017 merupakan penjabaran operasional dalam pelaksanaan penyusunan KLHS baik di Pusat maupun di Daerah, diundangkan pada Januari 2018 sekaligus mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS (Permen LH 09/2011). Peremen ini menekankan tentang pentingnya mengangkat dan mempertimbangkan isu lingkungan hidup


dalam setiap penyusunan kebijakan, rencana maupun program baik yang terkait spasial maupun non spasial. Prinsipnya, kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup akan lebih efektif dicegah bila sejak proses formulasi Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) telah mempertimbangkan masalah lingkungan hidup dan ancaman terhadap keberlanjutannya. Dalam Permen ini menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya wajib membuat KLHS. KLHS ini wajib dilaksanakan ke dalam penyusunan atau evaluasi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat nasional dan daerah. Salah satu dokumen yang wajib dilengkapi dengan KLHS yaitu dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pada waktu yang relatif berdekatan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Permendagri 7/2018). Adanya dua peraturan menteri yang mengatur KLHS RPJMD ini membawa tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah terutama bagi mereka yang harus segera menyusun dokumen RPJMD. Agar menghasilkan dokumen KLHS RPJMD yang sesuai dengan arahan kedua permen ini, diperlukan pemahaman tentang alur pikir pembuatan KLHS RPJMD. Hal ini terutama disebabkan oleh terdapatnya kemungkinan perbedaan paradigma dalam menyusun KLHS RPJMD versi Permen LHK P.69/2017 dan Permendagri 7/2018. Setelah itu, dikaji langkahlangkah apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah dalam membuat KLHS RPJMD agar menghasilkan RPJMD yang berkualitas sesuai arahan kedua permen tersebut.

Alur Pikir Pembuatan KLHS RPJMD Selama ini dipahami bahwa proses pembuatan dokumen KLHS RPJMD berakhir ketika sudah selesainya proses penjaminan kualitas. Berbeda dengan Permen LH 09/2011, Permen LHK P.69/2017 menekankan tentang perlunya proses validasi terhadap dokumen KLHS hasil penjaminan kualitas. Proses ini dilakukan untuk menghindari adanya pemerintah daerah yang

menyusun KLHS hanya sekedar menggugurkan kewajiban yang ditandai dengan masih terdapatnya ketimpangan (gap) antara mutu hasil penjaminan dengan mutu dokumen yang sesungguhnya. Selain itu, validasi juga untuk mengetahui apakah proses pembuatan KLHS sudah dilaksanakan sesuai prosedur serta sejauh mana rekomendasi hasil KLHS diintegrasikan ke dalam dokumen RPJMD. Selain proses validasi, Permen ini menekankan pentingnya melaksanakan kajian 6 (enam) muatan KLHS, antara lain : 1.

kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan;

2.

perkiraan mengenai dampak dan risiko Lingkungan Hidup;

3.

kinerja layanan atau jasa ekosistem;

4.

eďŹ siensi pemanfaatan sumber daya alam;

5.

tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan

6.

tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati

Melalui Permen ini, pemerintah daerah diminta untuk lebih serius lagi dalam menyusun KLHS RPJMD bahwa KLHS RPJMD bukan sekedar syarat administrasi dalam menetapkan peraturan daerah tentang RPJMD. Bahkan, Permen ini mempersyaratkan pula bukti pemenuhan standar kompetensi tenaga ahli. Dengan demikian, proses pembuatan KLHS RPJMD sudah dimulai sejak pemilihan tenaga ahli dan penentuan tim kelompok kerja (pokja) KLHS RPJMD.

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

19


Meskipun Permen LHK P.69/2017 dan Permendagri 7/2018 sama-sama mengatur dalam membuat KLHS RPJMD, namun secara substantif terdapat perbedaan yang cukup mendasar sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Perbedaan KLHS Versi Permen LHK P.69/2017 dan Permendagri 7/2018 No.

Perbedaan

Permen LHK P.69/2017

1

Metode

On going / Ex-poste

2

Waktu Pelaksanaan

Iteratif

(bersamaan

Permendagri 7/2018 Ex-ante

dengan

penyusunan

RPJMD) atau linear (RPJMD disusun terlebih

sebelum penyusunan rancangan awal RPJMD

dahulu) 3

Fokus

Lingkungan hidup

4

Isu

Isu strategis adalah isu KRP

5

Pokja

Pencapaian TPB/SDGs yg memiliki

Isu

strategis

adalah

dampak Lingkungan Hidup

TPB/SDGs

Diketuai oleh Kepala Bappeda atau Kepala

Dikoordinatori oleh Sekda

isu

Dinas LH 6

Anggaran

pada Dinas LH

pada Bappeda atau Dinas LH

7

Nomenklatur

Pokja KLHS

Tim pembuat KLHS RPJMD

6 (enam) muatan KLHS

Indikator-indikator TPB

Penyusun 8

Kajian Pembangunan Berkelanjutan

Sumber : Permen LHK P.69/2017 dan Permendagri 7/2018 Foto: Humas Bappeda

Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan paradigma dalam membuat KLHS RPJMD di mana Permendagri 7/2018 lebih menekankan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Artinya, pembuatan KLHS RPJMD berbeda 180 derajat dengan pemahaman yang telah ada selama ini. Pemerintah daerah diharuskan untuk mengkaji indikator-indikator TPB. Bahkan, menurut Permen ini visi-misi kepala daerah terpilih harus diselaraskan juga dengan target dan indikator TPB. Secara ďŹ losiďŹ s, Permendagri 7/2018 ini bertujuan untuk memandu pemerintah daerah dalam merumuskan skenario pencapaian 17 (tujuh belas) TPB dengan 319 indikatornya, yang selanjutnya akan menjadi masukan dalam penyusunan RPJMD. Dengan kata lain, Permendagri 7/2018 dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkuat substansi perencanaan daerah sehingga lebih terarah, tepat sasaran, dan selaras dengan pembangunan Nasional. Indikatorindikator yang dikaji oleh pemerintah daerah disesuaikan dengan kewenangan daerah.

20

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


Foto-foto: Humas Bappeda

Menurut Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, terdapat 17 (tujuh belas) TPB yang harus dicapai yaitu : 1. mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun; 2. menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan; 3. menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia; 4. menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua; 5. mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan; 6. menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua; 7. menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua; 8. meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua; 9. membangun infrastruktur yang tangguh, meningkatkan industri inklusif dan berkelanjutan, serta mendorong inovasi; 10. mengurangi kesenjangan intra- dan antarnegara; 11. menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan; 12. menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan; 13. mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya; 14. melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan; 15. melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjuta ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati; 16. menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan,

menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan; 17. menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan; Pencapaian TPB di atas mutlak memerlukan dukungan dari pemerintah daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini pula yang melandasi ditetapkannya Permendagri Nomor 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD dan RPJMD serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD dan RKPD. Substansi dokumen RPJMD saat ini diarahkan untuk pencapaian TPB sehingga diharapkan akan terjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi, kehidupan sosial masyarakat, kualitas lingkungan hidup dan tata kelola pembangunan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam bentuk diagram, keterkaitan antara Perpres 59/2017, Permendagri 7/2018 dan Permendagri 86/2017 diperlihatkan dalam Gambar.2 di bawah ini. Secara logis, ketiganya membentuk suatu alur dalam pencapaian TPB di Indonesia. Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

21


Gambar.1 Alur Pikir Pembuatan KLHS RPJMD Menurut Kemendagri

Sumber : Telaah, 2019 Foto: Humas Bappeda

Hal yang relatif baru dalam pembuatan KLHS RPJMD yaitu kajian 6 (enam) muatan KLHS, kajian seluruh indikator TPB yang menjadi kewenangan daerah, proses validasi, dan kompetensi tenaga ahli. Kesemuanya mengindikasikan bahwa pembuatan KLHS RPJMD memerlukan proses ilmiah yang perlu dipertanggungjawabkan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan benar-benar dijadikan dasar dan diintegrasikan dalam pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan persiapan sedini mungkin dalam membuat dokumen KLHS RPJMD mulai dari penganggaran, pemilihan tenaga ahli, penentuan tim pokja KLHS, penyediaan data, dan sebagainya.

Langkah-langkah Pembuatan KLHS RPJMD yang Berkualitas Untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan, dibutuhkan serangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif. Permasalahan umum yang dihadapi pemerintah daerah pada saat melakukan analisis yaitu data yang dibutuhkan

22

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


untuk melakukan kajian 6 (enam) muatan KLHS dan analisis indikator-indikator TPB seringkali tidak lengkap atau bahkan tidak ada. Padahal tanpa ditunjang data, analisis akan sulit untuk dilakukan. Selain masalah data, pemahaman yang keliru dalam membuat KLHS RPJMD juga dapat menjadikan analisis yang dilakukan Pokja menjadi sia-sia. Dalam hal ini, proses partisipatif yang melibatkan Pokja KLHS dan stakeholders lainnya dapat menjadi tidak efektif karena para peserta tidak paham mengenai tujuan dan arah pembuatan KLHS RPJMD. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk menghasilkan dokumen KLHS RPJMD yang berkualitas.

konsultasi seperti memperoleh informasi yang diminta, memperoleh solusi untuk masalah yang tidak dapat dipecahkan, memperolah arahan yang tepat dan jelas dalam menyusun KLHS RPJMD, membangun konsensus dan komitmen tim Pokja sehingga tercipta efektivitas, dan sebagainya. 2.

Setelah berlakunya Permendagri 7/2018, proses pembuatan KLHS RPJMD tidak lagi dilakukan bersamaan atau menunggu selesainya rancangan awal RPJMD. Selain substansi KLHS RPJMD diarahkan berisi kajian pencapaian TPB di daerah, analisis dan proses penyusunannya pun akan divalidasi oleh Menteri atau Gubernur. Oleh karena itu, apabila pola pikir pembuat KLHS RPJMD belum berubah, maka mereka akan menemukan banyak permasalahan pada saat proses validasi dilaksanakan.

Berikut merupakan langkah-langkah yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, antara lain : 1.

Melakukan Penyamaan Persepsi Mengenai Alur Pikir Pembuatan KLHS RPJMD Beserta RPJMD-nya

Melakukan Konsultasi Bagi pemerintah kabupaten/kota, konsultasi dapat dilakukan kepada Kementerian LHK dan/atau Dinas LH Provinsi. Ada banyak manfaat yang didapat melalui

Pola pikir di atas pun harus disinkronkan dengan penyusun RPJMD agar mempermudah proses integrasi rekomendasi KLHS RPJMD ke dalam RPJMD. Sinkronisasi dapat dilakukan melalui komunikasi dan koordinasi yang intensif agar menghasilkan dokumen yang benar-benar berkualitas dan dapat diterima bersama. 3.

Mengacu pada Permendagri 7/2018 dan Permen LHK P.69/2017 Sejak Awal Pembuatan KLHS RPJMD Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pemerintah daerah harus mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh Kemendagri dan Kemen LHK. Integrasi arahan peraturan-peraturan tersebut perlu dilakukan sejak awal penyusunan KLHS RPJMD. Sebagai contoh, di dalam KLHS RPJMD perlu ada bab atau sub bab yang berisi tentang kajian 6 (enam) muatan KLHS dan kajian pencapaian indikator-indikator TPB.

4.

Memilih Tenaga Ahli yang Kompeten Sudah saatnya Pemerintah Daerah mengubah persepsi dalam pelaksanaan Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

23


pembuatan KLHS RPJMD. Pembuatan KLHS RPJMD sebaiknya tidak lagi dipandang sebagai proyek biasa, melainkan sebagai langkah untuk membangun masa depan daerah berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pembuatan KLHS RPJMD perlu dibantu oleh tenaga ahli yang berkompeten sesuai amanat Permen LHK P.69/2017 agar pekerjaan Pokja menjadi lebih mudah. 5.

Memilah Indikator TPB yang Sesuai dengan Kondisi di daerah Berdasarkan hasil telaahan Kemendagri, dari 319 indikator yang ada, 308 indikator menjadi kewenangan Pusat, 235 indikator menjadi kewenangan provinsi, 220 indikator menjadi kewenangan kabupaten, dan 222 indikator menjadi kewenangan kota. Dengan banyaknya indikator yang ada, pemerintah daerah perlu memilah indikator mana saja yang sesuai dengan kondisi di daerah. Di antara indikator-indikator tersebut terdapat indikator yang digunakan bersama seperti :

6.

Indikator TPB nomor 9.1.2.(b) dan 9.1.2.(c) diperuntukkan bagi kabupaten yang memiliki pelabuhan atau dermaga;

·

Indikator TPB nomor 6.5.1.(a) diperuntukkan bagi kabupaten yang terdapat salah satu dari 108 DAS Prioritas;

·

Indikator TPB nomor 6.3.2.(a) diperuntukkan bagi kabupaten yang terdapat salah satu dari 15 danau prioritas dan 5 wilayah sungai prioritas;

·

dan sebagainya.

Menyiapkan Data Setelah indikator TPB dipilah, langkah berikutnya yaitu penyiapan data untuk analisis. Data dapat diperoleh dari instansi penyedia data seperti BPS dan Bappeda, atau dari perangkat daerah terkait. Data yang tersedia dipilah kembali mana yang lengkap berdasarkan kebutuhan time series, mana yang tidak lengkap, dan mana data yang tidak tersedia. Selain data untuk kebutuhan analisis TPB, disiapkan juga data untuk kajian 6 (enam) muatan KLHS yang berupa data spasial.

·

Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/sederajat digunakan oleh indikator 4.1.1.(f) , 4.3.1.(a), dan 5.3.1.(c);

·

Proporsi peserta Program Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan digunakan oleh indikator 1.3.1.(b) dan 10.4.1.(b);

7.

Persentase perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya di fasilitas kesehatan digunakan oleh indikator 1.4.1.(a) dan 3.1.2.(a);

Penutup

·

·

Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak digunakan oleh indikator 1.4.1.(d) dan 6.1.1.(a);

·

dan sebagainya.

Selain terdapat indikator yang digunakan bersama, terdapat juga indikator yang hanya menjadi kewenangan daerah tertentu. Sebagai contoh, meskipun terdapat 220 indikator yang menjadi kewenangan kabupaten, namun di dalamnya terdapat indikator yang tidak dimiliki oleh semua kabupaten seperti : ·

24

bagi kabupaten tertinggal; ·

Indikator TPB nomor 10.1.1.(b), 10.1.1.(e), 10.1.1.(f), dan 17.8.1.(a) diperuntukkan

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Melakukan Analisis TPB dan Kajian 6 (enam) muatan KLHS RPJMD serta proses lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Permendagri 7/2018 dan Permen LHK P.69/2017

Terdapat perbedaan alur pikir dalam pembuatan KLHS RPJMD setelah berlakunya Permen LHK P.69/2017 dan Permendagri 7/2018. Permen LHK P.69/2017 menekankan pentingnya melakukan kajian 6 (enam) muatan KLHS, penyediaan tenaga ahli yang berkompeten, dan proses validasi. Adapun Permendagri 7/2018 menekankan pentingnya kajian pencapaian TPB. Kedua peraturan ini sama-sama mengatur tentang KLHS RPJMD dan sama-sama bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan benar-benar dijadikan dasar dan diintegrasikan dalam pembangunan. Permendagri 7/2018 bertujuan untuk memandu pemerintah daerah dalam merumuskan skenario pencapaian 17 (tujuh


belas) TPB dengan 319 indikatornya, yang selanjutnya akan menjadi masukan dalam penyusunan RPJMD agar substansi perencanaan daerah lebih terarah, tepat sasaran, dan selaras dengan pembangunan nasional. Dalam implementasi pembuatan KLHS RPJMD ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah agar menghasilkan KLHS RPJMD yang berkualitas antara lain : 1.

melakukan konsultasi

2.

melakukan penyamaan persepsi mengenai alur pikir pembuatan KLHS RPJMD beserta RPJMD-nya

3.

mengacu pada Permendagri 7/2018 dan Permen LHK P.69/2017 sejak awal pembuatan KLHS RPJMD

4.

memilih tenaga ahli yang berkompeten

5.

memilah Indikator TPB yang sesuai dengan kondisi di daerah

6.

menyiapkan data

7.

melakukan analisis TPB dan kajian 6 (enam) muatan KLHS RPJMD serta proses lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Permendagri 7/2018 dan Permen LHK P.69/2017

Daftar Pustaka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2 017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Permendagri Nomor 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang RPJPD dan RPJMD serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD dan RKPD Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

Foto-foto: Humas Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

25


Foto: Istimewa

26

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


WAWA S A N PERENCANAAN

Diseminasi Pembibitan Kentang Dataran Medium Oleh Trisna Subarna*) Agus Ruswandi **)

Kerusakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) baik di hulu maupun wilayah hilir. Salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi teknik konservasi tanah pada budidaya sayuran, khususnya kentang adalah aspek kultur/budaya petani.

*)

Praktisi/ Pensiun dari Peneliti Utama Kebijakan Pembangunan Pertanian Peneliti Madya Pada BP2D Jawa Barat

**)


Foto: Istimewa

teknologi kultur teknis dan teknologi pengendalian OPT yang memungkinkan tanaman kentang tumbuh secara optimum (Sumadi et al., 2016). Keadaan tersebut telah dihimbau oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang mengatur penggunaan lahan dengan kemiringan dan elevasi tertentu (Lembaran Negara RI No. 48 Tahun 2008).

I. PENDAHULUAN Budidaya kentang di Jawa Barat dilaksanakan pada dataran tinggi dengan teknis penanaman pada umumnya memotong kontur atau tidak sesuai dengan kaidah konservasi lahan sehingga berpotensi menimbulkan erosi dan longsor yang berakibat kepada semakin rendahnya ketersediaan unsur hara tanah dan rusaknya lingkungan. Kondisi ini ditunjukkan oleh semakin rendahnya produktivitas kentang di Pangalengan dan meningkatnya kerusakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) baik di hulu maupun wilayah hilir. Salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi teknik konservasi tanah pada budidaya sayuran, khususnya kentang adalah aspek kultur/budaya petani. Petani umumnya enggan menerapkan penanaman pada guludan searah kontur (memotong lereng) karena tehnik tersebut menyebabkan berkembangnya jamur penyebab penyakit busuk akar atau umbi (Kurnia et al. 2004) Kondisi topograďŹ pada ketinggian di atas 1.000 m dpl dengan tehnik budidaya memotong kontur merupakan wilayah yang rawan erosi. Subhan (1998) menyatakan bahwa budidaya kentang di dataran tinggi secara terus menerus dapat merusak lingkungan terutama terjadinya erosi dan menurunkan produktivitas tanah. Untuk mengatasi masalah tersebut, tindakan yang harus dilakukan ialah mengembangkan kentang di dataran medium pada ketinggian 300-700 m dpl dengan menggunakan varietas kentang yang toleran terhadap suhu tinggi dengan dukungan 28

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Pengembangan kentang di dataran medium telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tersebar di beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka, Kabuaten Kuningan. Untuk mendukung pengembangan kentang di datatran medium telah dilakukan oleh Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) dengan menghasilkan tehnik budidaya dan varietas yang toleran terhadap suhu tinggi di dataran medium (Prabaningrum, et al., 2014). Salah satu varietas unggul baru (VUB) yang dikembangkan adalah varietas median yang telah dilaksanakan di Kabupaten Majalengka dengan hasil mencapai 19,37 ton per hektar. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing pengusahaan kentang dataran medium adalah daya inovasi dan kemampuan teknologi khususnya bagi penangkaran benih kentang. Keterbatasan kemampuan teknologi pada penangkaran benih kentang dataran medium disebabkan oleh lemahnya akses penangkar benih kentang terhadap teknologi. Rendahnya akses teknologi disebabkan oleh lambatnya teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai penghasil teknologi kepada penangkar benih sebagai pengguna teknologi. Unrtuk mempercepat sampainya teknologi dari penghasil teknologi ke pengguna perlu dilkakukan transformasi teknologi yang disebut intermediasi (Sri Rubiyanti, dan Totok Sujatmiko, 2012). Intermediasi, merupakan upaya untuk menjembatani proses terjadinya inovasi antara investor dengan calon pengguna teknologi atau alih teknologi antara pihak kepada pengguna. Peran dan fungsi penangkar benih sebagai inkubator bisnis teknologi kentang akan berjalan dengan baik apabila dilengkapi dengan adanya peran lembaga yang memberikan pelayanan untuk menjembatani penghasil teknologi dan


pengguna teknologi, yang dalam hal ini diinisiasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi (BP2D) Jawa Barat. Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut di atas, maka tantangan pengembangan benih kentang adalah:

1

meningkatkan efektivitas mekanisme intermediasi untuk meningkatkan difusi hasil penelitian ke dalam kegiatan ekonomi yaitu penangkaran benih kentang; dan

2

mengembangkan kelembagaan intermediasi teknologi penangkaran benih kentang.

PENGEMBANGAN PENANGKARAN BENIH KENTANG DATARAN MEDIUM Produktivitas kentang dataran medium saat ini masih rendah yang disebabkan oleh masih rendahnya kualitas benih dan terbatasnya kultivar kentang yang sesuai untuk kebutuhan pasar dan lingkungan tumbuh (Nuraini, 2016). Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat (2010), rendahnya kualitas benih kentang dataran medium di Jawa Barat disebabkan oleh belum mapannya kelembagaan penangkar benih di dataran medium. Sehingga benih kentang yang digunakan oleh petani kentang dataran medium saat ini belum memenuhi alur sertiďŹ kasi di seluruh level kelas benih. Hal ini menyebabkan kemurnian varietas belum terjaga dan belum

terjaminnya benih kentang yang sehat dan berproduksi tinggi. Kondisi ini memerlukan pengembangan, pembinaan dan pengawasan terhadap penangkar benih kentang di dataran medium. Merujuk kepada penangkaran benih kentang dataran tinggi di Jawa Barat yang telah sejak lama eksis memproduksi benih kentang seperti di Pangalengan, maka pengembangan penangkaran benih kentang di dataran medium di Jawa Barat perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: (a) membangun infrastruktur penangkaran benih kentang seperti penyediaan planlet, screen house, dan kelembagaan penangkaran benih kentang; (b) meningkatkan sumberdaya manusia penangkar yang terlatih, dan (c) mengidentiďŹ kasi jumlah dan waktu kebutuhan benih kentang dataran medium di setiap wilayah. Pembangunan infrastuktur penangkaran benih kentang dataran medium tersebut memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, sementara sambil mengembangkan infrastruktur dan kesiapan sumberdaya manusia penangkar benih kentang di dataran medium, perlu diinisiasi untuk mengintegrasikan pengadaan benih kentang dataran medium di penangkar- penangkar di dataran tinggi, yang bekerjasama dengan penangkar-penangkar di dataran medium, sehingga kebutuhan benih kentang daratan medium dapat terpenuhi. Seperti disajikan pada Gambar berikut ini:

Foto: Humas Bappeda

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

29


4

Foto-foto: Istimewa

Dukungan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk memfasilitasi, menstimulasi, dan mengakselerasi interaksi antara pengembang-pengguna teknologi dan kelembagaan pendukung lainnya (Lakitan, 2009).

MODEL DESIMINASI KENTANG DATARAN MEDIUM Rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian nasional khususnya di bidang pertanian disebabkan oleh belum padunya antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani dan pengguna teknologi lainnya. Kondisi ini ditunjukkan dengan rendahnya hasilhasil penelitian yang diadopsi oleh petani dalam melaksanakan usaha taninya. Kesinambungan aliran dua arah ini yang akan menjadi indikator eksistensi sistem inovasi pada jenjang nasional, daerah, maupun lokal. Strategi yang dapat dipilih untuk meningkatkan kinerja sistem inovasi guna meningkatkan kontribusi teknologi dalam upaya pencapaian ketahanan pangan adalah:

Pengusahaan benih kentang memerlukan investasi yang cukup tinggi, maka diperlukan proses investasi yang dibentuk oleh pengembangan sumberdaya dari penghasil teknologi dengan penangkar benih sebagai investor. Hal ini sesuai dengan pendapat SyaďŹ i Antonio, Hilman F Nugraha (2016) bahwa intermediasi adalah suatu proses dimana investasi dibentuk oleh pengembangan sumber daya manusia, teknologi dan lembaga pemberi modal, dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan sebagai persiapan bagi mereka dalam menggunakan intermediasi keuangan formal. Mengacu kepada Kementerian Riset dan Teknologi (2015), sedikitnya ada tiga lembaga yang terlibat dalam intermediasi teknologi termasuk kentang dataran medium yaitu:

1

Lembaga Penelitan sebagai pengembang teknologi (varietas dan budidaya kentang dataran medium) yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap kebutuhan teknologi bagi masyarakat dan menghasilkan teknologi ( kentang dataran medium) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;

2

1

Sinkronisasi antara teknologi yang dikembangkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh petani dan industri pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan konsumen domestik;

Industri Teknologi sebagai pengguna teknologi secara komersial (penangkar benih kentang) yang mempunyai kapasitas adopsi yang tinggi untuk mengembangkan teknologi bagi pengguna, yang secara terbuka menginformasikan kinerja teknologi yang dihasilkan pengembang kepada pengguna dan masyarakat; dan

2

3

Insentif bagi petani dan rangsangan untuk tumbuh-kembang industri pengolahan pangan yang berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan permintaan pasar domestik;

3

Vitalisasi lembaga intermediasi untuk percepatan proses adopsi teknologi oleh petani dan industri pangan dalam negeri; dan

30

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Lembaga Penelitian Daerah sebagai mediator yang menyampaikan informasi kepada pengembang akan kebutuhan teknologi bagi masyarakat dan menginisiasi paket teknologi yang dihasilkan pengembang untuk diproduksi oleh industri teknologi bagi kebutuhan pengguna dengan dukungan regulasi dari pemerintah daerah, seperti disajikan pada Gambar berikut.


STRATEGI DESIMINASI PENANGKARAN BENIH KENTANG DATARAN MEDIUM

dengan dukungan kelembagaan penangkaran benih kentang. Fungsi Asosiasi Penangkar Benih Kentang tersebut ditunjukkan oleh adanya: (a) Pelayanan/fasilitasi pemasaran benih kentang dan hasil panen kentang anggotanya baik dalam bentuk pengembangan jejaring dan kemitraan dengan pihak lain maupun pemasaran langsung; (b) Penyediaan saprodi bagi penangkar melalui kios sarana produksi.

Untuk melaksanakan model diseminasi di atas maka diperlukan pemahaman tentang fungsi lembaga intermediasi teknologi pembenihan kentang dataran medium sebagai berikut (BP2D Jawa Barat, 2019):

1

Fungsi Lembaga Intermediasi Teknologi dalam Penangkaran Benih Kentang

(1) Fungsi Balai Pengembangan Benih Kentang (BPBK) dalam intermediasi teknologi adalah menjembatani hasil penelitian dengan penangkar sebagai pengguna teknologi. Fungsi BPBK terhadap intermediasi tersebut ditunjukkan oleh adanya: (a) Sarana dan parasarana serta sumberdaya manusia yang profesional yang terdapat di BPBK untuk mempercepat penggunaan teknologi hasil penelitian oleh penangkar benih kentang; (b) Telah terbangun networking teknologi pembenihan kentang antara BPBK dengan BP2D, Balitsa. (2) Fungsi Asosiasi Penangkar Benih Kentang dalam intermediasi teknologi adalah mempercepat penggunaan teknologi

2

Strategi Lembaga Intermediasi Teknologi Dalam Penangkaran Benih Kentang Dataran Medium BPBK dan Asoisasi Penangkar Benih Kentang sebagai lembaga intermediasi teknologi memiliki peluang dan kekuatan untuk mengembangkan penangkaran benih kentang. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy) ataupun dengan rekomendasi strategi progesif, artinya BPBK dan Asoisasi Penangkar Benih Kentang sebagai lembaga intermediasi teknologi sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi dalam mempercepat pengembangan penangkaran benih kentang dataran medium dengan : Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

31


(1) Meningkatkan penggunaan sarana prasarana, sumberdaya manusia, dan Networking Teknologi yang sudah dibangun BPBK dengan memanfaatkan peluang ketersediaan teknologi, infrastruktur dan transportasi, serta Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daearah dalam ketahanan pangan;

Foto-foto: Istimewa

(2) Mempercepat peningkatan layanan teknologi kepada penangkar dan layanan jejaring pasar untuk mengantisipasi tingginya permintaan benih akibat peningkatan jumlah penduduk dan budaya konsumsi kentang melalui dukungan lembaga keuangan.; dan (3) Meningkatkan networking teknologi dan layanan teknologi dari BPBK kepada penangkar untuk mengantisipasi kebijakan lingkungan hidup dalam budidaya kentang dan perubahan iklim, serta belum adanya kebijakan penguatan lembaga intermediasi teknologi.

3

Hal – hal yang harus dilaksanakan lembaga intermediasi teknologi dalam proses diseminasi penangkaran benih kentang : (1) Asosiasi Penangkar Benih meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga profesional yang menangani teknologi pembenihan kentang pada lembaga; (2) Asosiasi Penangkar Benih melakukan mediasi antara penangkar dengan Bank untuk pembiayaan penangkaran benih; (3) BPBK perlu meningkatkan diseminasi teknologi baru kepada penangkar seperti teknologi pembenihan dengan stek planlet.

4

Kegiatan yang harus dilaksanakan oleh lembaga intermediasi teknologi dalam proses diseminasi penagkaran benih kentang: (1) Meningkatkan kualitas sarana prasarana dengan membangun networking dengan pemerintah pusat dan lembaga penelitian;

32

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

(2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya profesional di laboratorium dan screen house melalui pelatihan dengan memanfaatkan networking dengan pemerintah pusat dan lembaga penelitian. (3)

Mempercepat peningkatan layanan teknologi kepada penangkar dan layanan jejaring pasar untuk mengantisipasi tingginya permintaan benih akibat peningkatan jumlah penduduk dan budaya konsumsi kentang melalui dukungan lembaga keuangan, kegiatannya: (a) Membangun networking dengan pembudidaya kentang di Jawa Barat dan luar Jawa Barat untuk memberikan layanan pemasaran benih kentang dataran medium; (b) Membangun networking dengan perusahaan yang bergerak


dalam pasar (ekspor) dan industri kentang untuk memberikan layanan teknologi hasil dari lembaga penelitian kepada penangkar. (4) Meningkatkan networking teknologi dan layanan teknologi dari BPBK kepada penangkar untuk mengantisipasi kebijakan lingkungan hidup dalam budidaya kentang, dan perubahan iklim, serta belum adanya kebijakan penguatan lembaga intermediasi teknologi, kegiatannya: (a) Membangun networking dengan lembaga penelitian dan pemerintah pusat untuk diseminasi dan promosi kentang dataran medium; (b) Membangun networking dengan lembaga penelitian dan pemerintah pusat untuk penyebaran teknologi dalam mengantisipasi perubahan iklim.

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

33


PENUTUP Penanaman kentang di dataran tinggi yang dilakukan terus menerus pada lahan yang sama akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan produktivitas tanah. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan dan berkurangnya kemampuan lahan di dataran tinggi maka diperlukan ekspansi penanaman kentang ke dataran medium. Untuk mempercepat pengembangan penangkaran benih kentang di dataran medium diperlukan model diseminasi yang disebut intermediasi teknologi melalui lembaga intermediasi teknologi yang ada di sentra produksi kentang yaitu balai pengembangan benih kentang dan asosiasi penangkar benih kentang. Sebagai lembaga intermediasi teknologi dalam diseminasi penangkaran benih kentang perlu melakukan: (1) meningkatkan kualitas sarana prasarana dengan membangun networking dengan pemerintah pusat dan lembaga penelitian; (2) meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya profesional di laboratorium dan screenhouse melalui pelatihan dengan memanfaatkan networking dengan pemerintah pusat dan lembaga penelitian; (3) mempercepat peningkatan layanan teknologi kepada penangkar dan layanan jejaring pasar untuk mengantisipasi tingginya permintaan benih akibat peningkatan jumlah penduduk dan budaya konsumsi kentang melalui dukungan lembaga keuangan, kegiatannya: (a) membangun networking dengan pembudidaya kentang di Jawa Barat dan luar Jawa Barat untuk memberikan layanan pemasaran benih kentang dataran medium, (b) membangun networking dengan perusahaan yang bergerak dalam pasar (ekspor) dan industri kentang untuk memberikan layanan teknologi hasil dari lembaga penelitian kepada penangkar; (4) meningkatkan networking teknologi dan layanan teknologi dari BPBK kepada penangkar untuk mengantisipasi kebijakan lingkungan hidup dalam budidaya kentang dan perubahan iklim, serta belum adanya kebijakan penguatan lembaga intermediasi teknologi, kegiatannya: (a) membangun networking dengan lembaga penelitian dan pemerintah pusat untuk diseminasi dan promosi kentang dataran medium, (b) membangun networking dengan lembaga penelitian dan pemerintah pusat untuk penyebaran teknologi dalam mengantisipasi perubahan iklim. 34 Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Foto-foto: Istimewa

Daftar Pustaka: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2019. Laporan Akhir Kajian Intermediasi Teknologi. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 2010. SertiďŹ kasi Benih Kentang Di Indonesia. Kurnia, U, H. Suganda, D. Erfandi, H. Kusnadi. 2004. Teknologi Konservasi Tanah pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Murtilaksono, K. 1998. Constraint Aecting The Application of Soil Conservation Measures In Developing Countries. Jurnal Ilmu tanah dan Lingkungan Vol. 1 No.1. Jan. 1998. Nuraini, A. 2016. Rekayasa Source-Sink dengan Pemberian Zat Pengatur Tumbuh untuk Meningkatkan Produksi Benih Kentang di Dataran Medium Desa Margawati Kabupaten Garut. Jurnal Kultivasi. Prabaningrum, L., Moekasan, T. K., Sulatrini, I., Handayani, T., Sahat, J. P., SoďŹ ari, E., Gunadi, N. 2014. Teknologi Budidaya Kentang di Dataran Medium. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Sumadi, Hamdani, J. S., & Andianny, M. 2016. Pertumbuhan dan Hasil Benih Beberapa Varietas Kentang di Dataran Medium yang Ditanam di Bawah Naungan. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil PPM IPB.


Desain: Humas Bappeda


Foto: Humas Bappeda

36

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


WAWA S A N PERENCANAAN

Pembangunan Rendah Karbon di Provinsi Jawa Barat oleh Lina Yulianty* Wiki Ariď€ n Sabekti**

Pembangunan rendah karbon dimaknai sebagai pembangunan berdasarkan prinsip untuk meminimalisasi aktivitas penyebab emisi karbon (gas rumah kaca) yang diyakini secara ilmiah dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, serta meningkatkan potensi dan keparahan dari dampak perubahan iklim terhadap manusia dan ekosistem (IPCC, 2014).

*)Kepala Sub Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan I Bappeda Jabar **)Tenaga Teknis Pengelola Data Spasial Bappeda Jabar


Foto: Humas Bappeda

Pendahuluan

P

erubahan iklim saat ini telah disadari sebagai salah satu tantangan pembangunan (development constraints) yang perlu diantisipasi oleh pemangku kebijakan karena berdampak secara tidak langsung pada perekonomian. Perubahan iklim diyakini oleh para ahli sebagai salah satu penyebab meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, puting beliung, kekeringan, tanah longsor dan gelombang pasang air laut. Sebagai contoh, degradasi pada kuantitas dan kualitas sumber daya air yang diperlukan untuk aktivitas domestik, industri dan pertanian yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini diperparah dengan tingginya kerentanan dan kurangnya kapasitas adaptif terhadap dampak perubahan iklim akibat rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi bagian penting untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah satu upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim adalah dengan meluncurkan kebijakan Low Carbon Development 38

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Iniciatives (LCDI) Indonesia sebagai paradigma baru pembangunan yang merupakan respon Indonesia terhadap hasil kesepakatan pada Conference of The Parties (COP) 23 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bonn pada tahun 2017 lalu. Gubernur Provinsi Jawa Barat, Mochammad Ridwan Kamil bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro, dalam kegiatan Musrenbang Provinsi Jawa Barat tanggal 2 April 2019, menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). Jawa Barat dan 6 (enam) provinsi lainnya yakni Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Papua, Papua Barat, Bali dan Riau, merupakan provinsi percontohan dalam implementasi PPRK. Kesepakatan ini perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD), pengintegrasian kebijakan pembangunan rendah karbon pada dokumen perencanaan, dan penyiapan kegiatan yang mendukung pembangunan rendah karbon.


Foto: Humas Bappeda

Pemerintah Pusat telah menyatakan komitmen perencanaan pembangunan rendah karbon nasional dalam RPJMN 2020-2024 untuk pertama kalinya sebagai platform baru pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi (Green Growth) dan sosial (Social BeneďŹ t) melalui kegiatan pembangunan beremisi rendah (Less Carbon Pollution) untuk meminimalkan eksploitasi sumber daya alam. Komitmen ini perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan pembangunan yang menerapkan ekonomi hijau dengan mekansme green ďŹ nancing. Kesiapan dan komitmen Provinsi Jawa Barat dan pemerintah daerah lainnya saat ini perlu dievaluasi. Paradigma pembangunan di daerah selama ini belum mempertimbangkan aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perubahan iklim serta pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk memperoleh gambaran kesiapannya dalam menerapkan perencanaan pembangunan rendah karbon, perlu dilakukan penelaahan terhadap regulasi, kebijakan, kelembagaan, serta kegiatan pembangunan rendah karbon yang telah dilakukan. Hal ini menjadi modal awal pmerintah daerah dalam mendukung kebijakan pembangunan rendah karbon nasional.

Pembangunan Rendah Karbon Konsep pembangunan rendah karbon (low carbon development) sebetulnya bukan hal yang baru. Konsep ini menjadi kesepakatan universal dan komitmen politik internasional pada KTT Bumi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Conference on Environment and Development, UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, Juni 1992. Pembangunan rendah karbon dimaknai sebagai pembangunan berdasarkan prinsip untuk meminimalisasi aktivitas penyebab emisi karbon (gas rumah kaca) yang diyakini secara ilmiah dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, serta meningkatkan potensi dan keparahan dari dampak perubahan iklim terhadap manusia dan ekosistem (IPCC, 2014). Penurunan kualitas lingkungan akibat pembangunan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya

tampung serta intervensi kebijakan rendah karbon, diproyeksikan dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semula 5,7%, menjadi 4,3% pada tahun 2025 (Bappenas, 2019). Hal ini yang mendasari pemikiran agar Indonesia segera beralih menuju pembangunan rendah karbon sesuai komitmen Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Hijau dan Rendah Karbon 2020-2024, dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menjadi tool dalam pengaplikasiannya. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Provinsi Jawa Barat pada tahun 2019 sebesar 5,07, mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 5,5, dan 5,66 pada tahun 2016. Sementara provinsi lainnya di pulau Jawa seperti DIY, Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami peningkatan. Provinsi-provinsi tersebut dikenal gencar melakukan program dan kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta antisipasi terhadap dampak perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir. Hingga kini belum ada kajian komprehensif yang menjelaskan dan memproyeksikan pengaruh perubahan iklim sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah, termasuk di Jawa Barat. Kajian ini sangat penting dilakukan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan Jawa Barat ke depan. Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

39


Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Perkembangan paradigma pembangunan rendah karbon tidak dapat dipisahkan dari rangkaian momentum aksi pengendalian perubahan iklim. Pasca Protokol Kyoto pada tahun 1997, bangsa-bangsa di dunia kembali mencanangkan kesepakatan untuk bekerja sama dalam menangani dampak perubahan iklim melalui Paris Agreement (Persetujuan Paris) pada tahun 2015. Kesepakatan ini dihasilkan pada COP 21 UNFCCC yang dihadiri oleh 195 negara. Mengacu pada naskah aslinya, Paris Agreement memuat komitmen untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C dibandingkan pada masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu hingga 1,5°C. Paris Agreement juga memuat arahan untuk melaksanakan pembangunan rendah emisi dan meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim secara terintegrasi. Persetujuan Paris bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua negara (legally binding and applicable to all) dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan didasarkan pada kemampuan masing-masing (common but dierentiated responsibilities and respective capabilities), serta memberikan tanggung jawab kepada negaranegara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasitas, dan alih teknologi kepada negara berkembang. Berbeda halnya dengan isu perubahan iklim di tingkat global yang telah dimulai sejak tahun 40

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

1990-an. Pemerintah Indonesia baru secara serius memiliki kebijakan perubahan iklim melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan COP 15 di Copenhagen pada tahun 2009. Pemerintah Indonesia menetapkan target kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca nasional yang harus dicapai pada tahun 2020 sebesar 26% dengan pembiayaan sendiri, dan 41% dengan tambahan dukungan internasional, di bawah emisi business as usual (BAU) atau kondisi tanpa melakukan aksi apapun. Komitmen Pemerintah Indonesia diperkuat dengan diratiďŹ kasinya Paris Agreement melalui penetapan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework on Climate Change (UNFCCC). Pemerintah Indonesia menetapkan target baru penurunan emisi gas rumah kaca nasional, yaitu sebesar 29% (unconditional) dengan pembiayaan sendiri dan 41% (conditional) dengan pembiayaan sendiri dan dukungan internasional yang harus dicapai pada tahun 2030. Target untuk setiap sektor yakni sektor kehutanan (17,2%), energi (11%), pertanian (0,32%), industri (0,1%), dan limbah (0,38%), di bawah emisi business as usual proyeksi tahun 2030 pada masing-masing sektor. Target ini dimuat dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC), yaitu dokumen yang memuat komitmen kontribusi terhadap upaya


mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi menjadi satu kesatuan aksi pengendalian perubahan iklim (climate actions). Respon Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap komitmen kebijakan pembangunan rendah karbon Indonesia pada tahun 2019 juga dinilai cukup cepat dengan ditandatanganinya MOU Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Jawa Barat pada tahun yang sama. Hal ini menggambarkan kesiapan Provinsi Jawa Barat untuk menerapkan kebijakan pembangunan rendah karbon.

bangsa-bangsa di dunia kembali mencanangkan kesepakatan untuk bekerja sama dalam menangani dampak perubahan iklim melalui Paris Agreement (Persetujuan Paris) pada tahun 2015. Kesepakatan ini dihasilkan pada COP 21 UNFCCC yang dihadiri oleh 195 negara. Foto-foto: Istimewa

antisipasi perubahan iklim yang ditetapkan secara nasional oleh masing-masing negara. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dinilai cukup responsif terhadap komitmen penurunan emisi gas rumah kaca nasional. Sebagai tindak lanjut dari hasil COP 15 pada tahun 2009, Tim Koordinasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dibentuk melalui Keputusan Gubernur No. 660.1/Kep.1163.BPLHD/2011. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 56 Tahun 2012 sebagai tindak lanjut amanat Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Target penurunan emisi yang ditetapkan Jawa Barat adalah 9,94% terhadap besar emisi business as usual (BAU) pada tahun 2030. Saat ini, Bappenas telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Berbeda dengan peraturan presiden sebelumnya yang hanya terfokus pada penurunan emisi. Peraturan presiden tentang PPRK direncanakan akan berorientasi pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan stabilitas sosial, dan upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan hidup. Perencanaan pembangunan rendah karbon akan

Sustainable Development Summit yang diselenggarakan di New York pada tahun 2015 menetapkan 17 Goals of Sustainable Development Goals (SDGs). Pemerintah Republik Indonesia mengadopsi SDGs melalui penetapan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Menindaklanjuti hal ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 18 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Jawa Barat Tahun 2018-2023. Perubahan iklim pada SDGs secara khusus berada pada Goal 13 Climate Actions, dengan rencana aksi yang sangat berkaitan dengan tujuan lainnya. Sekurangnya terdapat 6 (enam) tujuan terkait upaya antisipasi perubahan iklim, yaitu Goal 6 Clean Water and Sanitation, Goal 7 Aordable and Clean Energy, Goal 9 Industry Innovation and Infrastructure, Goal 11 Sustainable Cities and Communities, Goal 12 Responsible Consumption and Production, Goal 14 Life Below Water, dan Goal 15 Life on Land. Aktivitas pada berbagai tujuan tersebut berpotensi menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan perlu mendapatkan penanganan agar emisi yang dihasilkan dapat dikurangi. Dengan banyaknya tujuan pada SDGS yang terkait dengan upaya penurunan emisi, pembangunan rendah karbon jelas sangat selaras dan akan berkontribusi besar terhadap keberhasilan pencapaian SDGs di tingkat nasional dan daerah, termasuk di Jawa Barat. Adapun yang perlu dilakukan sesuai dengan konsep pembangunan rendah karbon dan SDGs adalah mengidentiďŹ kasi upaya penurunan emisi yang sekaligus dapat mempertahankan bahkan meningkatkan perekonomian dan menurunkan kemiskinan.

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

41


Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena alamiah. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) atau emisi karbon di atmosfer dapat mempercepat perubahan iklim dan memperparah dampak yang terjadi. Sumber pencemaran baik air maupun udara berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca. Perubahan tutupan lahan, aktivitas pertanian dan peternakan, konsumsi energi, dan aktivitas domestik (timbulan sampah dan air limbah domestik) merupakan sumber utama emisi GRK. Hasil kaji ulang RAD-GRK menunjukkan bahwa besar emisi Jawa Barat pada kondisi business as usual (BAU) atau tidak melakukan upaya apapun akan mencapai 135,2 juta ton CO2eq pada tahun 2030. Penyumbang terbesar emisi GRK Jawa Barat adalah sektor energi sebesar 40,65%, disusul oleh sektor transportasi sebesar hampir 31%. Kondisi ini berubah dari kajian awal pada tahun 2012, dimana sektor pertanian menjadi penyumbang emisi terbesar Jawa Barat. Penyebab perubahan ini dapat dikaitkan dengan adanya kecenderungan penurunan aktivitas pertanian akibat alih fungsi lahan dan peningkatan

Foto: Humas Bappeda

konsumsi energi pada aktivitas domestik dan transportasi akibat meningkatnya jumlah penduduk. Kontribusi Sektor terhadap Emisi Jawa Barat pada Kondisi Business as Usual (Proyeksi Tahun 2030) disajikan pada Gbr.1.

Limbah (sampah & air limbah domestik) 11,00%

Kehutanan (Perubahan tutupan lahan) (Net Emisi) 11,75%

Pertanian 5,60%

Transportasi 30,99% Energi 40,65%

Gambar 1. Kontribusi Sektor terhadap Emisi Jabar pada Kondisi Business as Usual (Proyeksi Tahun 2030) (Sumber: Kaji Ulang RAD-GRK Jabar, 2018) 42

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


Untuk lingkup mitigasi perubahan iklim, Provinsi Jawa Barat telah memiliki RADGRK. Target penurunan emisi Jawa Barat dilakukan pada 5 sektor, yaitu kehutanan, pertanian, energi, transportasi serta sampah dan limbah cair domestik seperti disajikan pada Gambar 2. Dengan melakukan berbagai kegiatan mitigasi, emisi Provinsi Jawa Barat ditargetkan turun sekitar 9,44% pada tahun 2030, dengan kontributor terbesar pada sektor kehutanan (32,92%), disusul oleh sektor energi (32,68%), pengelolaan sampah dan limbah cair domestik (25,15%), pertanian (6,17%) dan transportasi (3,09%).

Gambar 2. Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jawa Barat (Sumber: Kaji Ulang RAD-GRK, 2018)

Provinsi Jawa Barat secara aktif melaporkan pencapaian potensi penurunan emisi yang dihasilkan dari kegiatan mitigasi setiap tahun dalam bentuk dokumen Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) RAD-GRK pada Presiden melalui Bappenas, KLHK dan Kemendagri. Pada tahun 2019, penurunan emisi Provinsi Jawa Barat telah mencapai 3,85% di bawah emisi business as usual proyeksi tahun 2030. Dari kegiatan mitigasi yang terlaporkan hingga tahun 2019, sektor kehutanan menjadi kontributor terbesar penurunan emisi Jawa Barat sebesar 42 %, diikuti dengan sektor pengelolaan sampah dan limbah cair domestik sebesar 36 %. Pada bidang berbasis lahan, kegiatan mitigasi yang telah dilakukan pada sektor kehutanan adalah rehabilitasi lahan kritis dan penghijauan lingkungan yang tersebar di 16 Kab/Kota di DAS Citarum, Cimanuk, Ciliwung, Citanduy dan juga kawasan mangrove. Adapun pada sektor pertanian dilakukan penerapan teknologi budidaya dengan System of Rice IntensiďŹ cation (SRI) dan juga operasional Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO). Potensi penurunan emisi pada sektor kehutanan adalah sebesar 2,29 juta ton CO2eq sedangkan pada sektor pertanian sekitar 0,0047 juta ton Co2eq.

Pada bidang berbasis energi, kegiatan mitigasi yang dilakukan pada sektor energi (domestik/komersial) meliputi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), PLTS Hybrid Rooftop, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), biogas, dan Penerangan Jalan Umum Solar Cell. Kegiatan mitigasi pada sektor transportasi meliputi pengembangan sistem Bus Rapid Transit (BRT), pengembangan Integrated Transportation System (ITS) atau Area TraďŹƒc Control System (ATCS), peremajaan armada transportasi umum, penerapan manajemen parkir, pelatihan Eco-Smart Driving, dan Car Free Day. Potensi penurunan emisi yang dihasilkan pada sektor energi adalah sekitar 1,01 juta ton CO2eq, sedangkan pada sektor transportasi sekitar 0,19 juta ton Co2eq. Untuk bidang pengelolaan limbah diantaranya telah dilakukan revitalisasi/optimalisasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah diantaranya di TPA Sarimukti dan TPA Pecuk, pembangunan Tempat Pemrosesan dan Pemgolahan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo dan Legoknangka, pembangunan dan operasional Tempat Pengolahan Sampah 3R (TPS3R), operasional Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

43


bank sampah, pembangunan Mandi Cuci Kakus (MCK) dan septic tank komunal, pelaksanaan Sanimas/Sabermas, dan operasional Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu. Potensi penurunan emisi yang dihasilkan pada bidang pengelolaan limbah adalah sekitar 1,97 juta ton Co2eq. ProďŹ l Emisi Provinsi Jawa Barat yang dapat menggambarkan perbandingan antara besar emisi pada kondisi business as usual dan besar emisi setelah ada kegiatan mitigasi, serta capaian penurunan emisi disajikan pada Gambar 3. Garis biru menggambarkan proyeksi besar emisi pada kondisi business as usual, sedangkan garis oranye menggambarkan proyeksi besar emisi setelah ada kegiatan mitigasi (RAD-GRK). Garis hijau menggambarkan capaian penurunan emisi hingga tahun 2019. Selisih antara garis biru dan garis oranye adalah target penurunan emisi sebesar 9,94%. Dari proďŹ l ini, upaya penurunan emisi Jawa Barat dinilai sudah baik dan telah melampaui target.

Gambar 3. Proď€ l Emisi Provinsi Jawa Barat (Sumber: PEP RAD-GRK Jabar, 2019)

Upaya mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat dapat dinilai telah mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam Dokumen NDC yang memuat kontribusi Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim melalui 3 bidang, yaitu: 1) bidang berbasis lahan, melalui program REDD++ (reducing emmision from deforestation and degradation + conservation/forest management/carbon stocks + agroforestry/peat land); 2) bidang berbasis energi, melalui upaya pengurangan penggunaan bahan bakar minyak, batu bara dan gas, dan digantikan dengan energi baru terbarukan; dan 3) bidang

44

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

berbasis limbah, melalui pengelolaan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dan waste to energy. KeeďŹ sienan biaya penurunan emisi menjadi salah satu pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan mitigasi. Berdasarkan Dokumen PEP RAD-GRK Jabar Tahun 2019, biaya terbesar penurunan emisi dikeluarkan pada sektor energi, yakni sekitar Rp 2,3 juta rupiah/ton CO2eq, disusul transportasi sekitar Rp 1,8 juta rupiah/ton CO2eq. Sedangkan biaya terkecil penurunan emisi terdapat pada sektor kehutanan sebesar Rp 226 ribu rupiah/ton CO2eq dan pengelolaan limbah


Foto: Humas Bappeda

sebesar Rp 488 ribu rupiah/ton CO2eq. Untuk itu, alih-alih mengalokasikan banyak biaya untuk melakukan kegiatan mitigasi pada sektor energi yang hanya menurunkan sekitar 7,99% di bawah emisi business as usual sehingga tidak eďŹ sien, Provinsi Jawa Barat perlu menggenjot penurunan emisi pada sektor kehutanan dengan biaya jauh lebih murah, namun dapat menurunkan emisi sebesar 27,85% di bawah emisi business as usual, tertinggi di antara sektor lainnya. Demikian halnya dengan pengelolaan sampah dan limbah cair domestik, perlu tetap dipertimbangkan menjadi prioritas. Selain besar emisi yang dapat diturunkan cukup signiďŹ kan, yaitu 22,74% di bawah emisi business as usual, urgensi dan beneďŹ t pengelolaan sampah dan limbah cair domestik sangat tinggi dalam rangka meningkatkan sanitasi masyarakat sebagai konsekuensi besarnya jumlah penduduk Jawa Barat. Adapun sektor pertanian, transportasi dan energi tetap perlu berkontribusi dalam penurunan emisi sesuai dengan kemampuan sumber daya dan co-beneďŹ t yang dibutuhkan. Adaptasi perubahan iklim mengacu pada upaya untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim adalah upaya menyesuaikan diri terhadap kondisi perubahan

iklim, terutama pada sektor dan lokasi yang terdampak dan rentan, terutama pada sektor kelautan dan perikanan, pertanian, kesehatan, sumber daya air, dan energi, serta wilayah pesisir dan kawasan perkotaan. Bappenas telah menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) pada tahun 2015. Upaya di tingkat nasional perlu ditindaklanjuti di tingkat lokal karena dampak perubahan iklim terutama mempengaruhi kegiatan ekonomi dan kehidupan serta lingkungan pada tingkat lokal. Provinsi Jawa Barat sendiri baru menyusun kajian kerentanan dan risiko perubahan iklim serta penyusunan aksi adaptasi pada tahun 2019. Aksi adaptasi pada umumnya telah dilakukan, hanya saja upaya tersebut belum disadari sebagai aksi yang ternyata berkontribusi terhadap pengendalian perubahan iklim. Awareness untuk aparat pemerintah dan masyarakat terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi satu hal yang masih harus ditingkatkan. Provinsi Jawa Barat dinilai belum dapat berkontribusi pada komitmen nasional dalam Dokumen NDC untuk melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara terintegrasi sebagai aksi pengendalian perubahan iklim.

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

45


Regulasi, Kelembagaan, dan RAD - GRK Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penaatan Hukum Lingkungan mengamanatkan penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Perubahan Iklim yang mencakup rencana aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, serta penetapan target penurunan emisi gas rumah kaca oleh Gubernur. Perda ini menindaklanjuti Peraturan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Provinsi Jawa Barat menyusun RAD-GRK yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Nomor 56 tahun 2012. Kaji ulang terhadap RAD-GRK dilakukan pada tahun 2018 untuk melakukan penyesuaian pada periode perencanaan yang semula tahun 2020 menjadi tahun 2030, serta aksi mitigasi dan target penurunan emisi.

Pada RPJMD Tahun 2018-2023, pengendalian dampak perubahan iklim menjadi salah satu dari sasaran misi ke-3, mempercepat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan berbasis lingkungan dan tata ruang yang berkelanjutan. Selain Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), tingkat upaya penurunan emisi gas rumah kaca juga ditetapkan menjadi Indikator Kinerja Daerah atau Indikator Kinerja Utama (IKU) Gubernur Jawa Barat. Pada akhir periode RPJMD Tahun 2023, berbagai kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca ditargetkan dapat menurunkan emisi sebesar 7,72% di bawah emisi business as usual. Target penurunan emisi pada sektor kehutanan adalah 17,54%, pertanian 8,5%, energi 7,68%, transportasi 0,61% dan pengelolaan sampah dan air limbah domestik 15,8%, di bawah emisi business as usual pada masing-masing sektor. Indikator penurunan emisi gas rumah kaca telah dinyatakan secara eksplisit untuk mengukur upaya mitigasi perubahan iklim di Jawa Barat, akan tetapi belum ada indikator pada RPJMD Provinsi Jawa Barat yang ditetapkan untuk

Foto: Humas Bappeda

Sejalan dengan RPJMN Tahun 2014-2019, upaya antisipasi perubahan iklim baik mitigasi maupun adaptasi telah menjadi salah satu muatan arah kebijakan dan strategi pembangunan dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018. Kegiatan dan target penurunan emisi yang diamanatkan dalam RAD-GRK Provinsi Jawa Barat telah diinternalisasikan ke dalam RPJMD melalui penetapan tingkat upaya

penurunan emisi gas rumah kaca sebagai salah satu indikator pembangunan bidang lingkungan hidup.

46

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


mengukur upaya adaptasi perubahan iklim. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat belum memiliki kebijakan khusus yang terukur terkait upaya adaptasi perubahan iklim. Sebagai perbandingan, RPJMN Tahun 2014-2019 menggunakan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) sebagai indikator upaya adaptasi perubahan iklim. Kebijakan adaptasi perubahan iklim memiliki korelasi dengan pengurangan risiko bencana namun dalam RPJMD Provinsi Jawa Barat hal ini belum menjadi satu kesatuan. Komitmen Provinsi Jawa Barat secara normatif dalam menindaklanjuti isu perubahan iklim dinilai cukup baik kendatipun penerapannya dalam program dan kegiatan masih bersifat parsial dan sektoral serta belum disertai dengan komitmen alokasi penganggaran perubahan iklim secara khusus. Dalam mengadopsi kebijakan pembangunan rendah karbon sebagaimana RPJMN Tahun 2020-2024. Provinsi Jawa Barat harus mengintegrasikan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim ke dalam isu pembangunan ekonomi, agar dipastikan tidak terjadi trade-o antara upaya peningkatan perekonomian dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam pembangunan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu merubah cara pandang dalam menilai dan mengantisipasi keterbatasan sumber daya alam, risiko bencana dan perubahan iklim sebagai tantangan pembangunan (development constraints). Provinsi Jawa Barat telah membentuk kelembagaan perubahan iklim melalui Keputusan Gubernur No. 660.1/Kep.1163.BPLHD/2011 tentang Tim Koordinasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Sebagai tim operasional, melalui SK Kepala Bappeda dibentuk Kelompok Kerja RAD-GRK (POKJA RAD-GRK) yang diketuai oleh Kepala Bappeda Jabar dengan susunan personalia dari berbagai unsur Perangkat Daerah yang terkait dengan sektor kehutanan, pertanian, energi dan sumber daya mineral, transportasi dan pengelolaan limbah dan sampah domestik. POKJA RAD-GRK bertugas untuk menyusun RADGRK dan melakukan Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) setiap tahunnya. Tim Koordinasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dan POKJA RAD-GRK berada

Foto: Humas Bappeda

dalam struktur organisasi yang berbeda dan hanya terdiri dari unsur perangkat daerah sehingga koordinasi dan pembagian kerja tidak eďŹ sien dan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan. POKJA RAD-GRK juga hanya bekerja dalam lingkup mitigasi perubahan iklim, sedangkan untuk lingkup adaptasi perubahan iklim, Provinsi Jawa Barat belum memiliki POKJA secara khusus. Untuk menindaklanjuti kesepakatan perencanaan pembangunan rendah karbon, tim koordinasi maupun kelompok kerja tersebut perlu ditinjau kembali sekaligus untuk menyesuaikan dengan perubahan kewenangan menurut Undangundang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahan nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat terbaru. Tim dan pokja yang sebelumnya terpisah secara struktur, sebaiknya digabungkan dan ditetapkan dalam satu Keputusan Gubernur dengan mengintegrasikan lingkup mitigasi dan adaptasi. Tim dan kelompok kerja juga perlu dilengkapi dengan unsur akademisi, pelaku usaha, dan komunitas sehingga berbagai pemangku kepentingan dapat berpartisipasi dan berkolaborasi. Sumber emisi GRK penyebab perubahan iklim dihasilkan dari aktivitas pada berbagai sektor dan berkontribusi pada meningkatnya permasalahan lingkungan. Dampaknya pun berimplikasi pada keberlangsungan aktivitas pembangunan di berbagai sektor. Konsekuensinya, upaya pembangunan rendah karbon tidak terelakkan lagi harus menjadi tanggung jawab bersama Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

47


melalui kolaburasi antarpihak multisektor. Untuk dapat berhasil dalam pembangunan rendah karbon, Jawa Barat harus terlebih dahulu melakukan penanganan permasalahan lingkungan dengan lebih baik. Permasalahan lingkungan pada dasarnya adalah irisan dari permasalahan yang terjadi pada lingkungan alami (natural environment), lingkungan buatan (manmade environment) terkait aktivitas perekonomian, dan lingkungan sosial (social environment). Dengan demikian penanganan masalah lingkungan idealnya tidak hanya dibebankan hanya pada stakeholder yang menangani urusan lingkungan hidup. Penanganan masalah lingkungan haruslah memenuhi 3 (tiga) prinsip, yaitu economically feasible, socially acceptable dan environmentally sustainable. Economically feasible berarti penanganan masalah lingkungan harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang optimal, mempunyai nilai tambah secara ekonomi, dan berdampak pada pembangunan wilayah dan investasi. Socially acceptable berarti penanganan masalah tidak menimbulkan permasalahan sosial baru, dapat membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan dapat meningkatkan keharmonisan masyarakat. Prinsip terpenting adalah environmentally sustainable. Dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan harus memenuhi batas toleransi atau memenuhi daya dukung dan daya tampung lingkungan (carrying capacity). Penanganan harus dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan memberikan manfaat untuk generasi sekarang dan generasi mendatang. Prinsip-prinsip inilah yang sebetulnya telah dikenal selama ini sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Untuk melaksanakannya, 3 pilar pembangunan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan, harus dilaksanakan secara seimbang. RAD-GRK menjadi modal awal penerapan perencanaan pembangunan rendah karbon (PPRK) di tingkat pusat dan daerah. Bedanya, jika RAN/RAD-GRK hanya melakukan penanganan dari aspek lingkungan dengan fokus menurunkan emisi gas rumah kaca, PPRK tidak hanya dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan (penurunan emisi dan ketahanan ekosistem), tetapi juga harus menghasilkan beneďŹ t untuk pertumbuhan ekonomi (peningkatan

48

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

produktivitas) dan pengentasan kemiskinan (peningkatan lapangan kerja dan penurunan ketimpangan). Pada PPRK, terdapat penambahan fokus yaitu penurunan emisi dari pengelolaan pesisir (blue carbon) yang sebelumnya tidak dihitung pada RAN/RAD-GRK. Transformasi RAD-GRK menjadi PPRK dilakukan dengan memetakan kembali kegiatan mitigasi yang telah direncanakan dalam RAD-GRK dan mengkaji dampaknya terhadap perekonomian dan sosial, untuk menghasilkan prioritas kegiatan mitigasi yang tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga dapat mempertahankan bahkan meningkatkan pendapatan (PDRB) sekaligus berkontribusi pada upaya pengurangan kemiskinan. Jika keberhasilan RAN/RAD-GRK diukur hanya dengan indikator penurunan emisi (tonCO2 eq) yang diperoleh dari data aktivitas dikali faktor emisi, kinerja PPRK diukur juga dengan indikator intensitas emisi (tonCO2 eq/PDB) dimana intensitas energi (jumlah konsumsi energi per unit PDB) dikalikan dengan fuel mix (kandungan karbon dari konsumsi energi di suatu negara). Konsep transformasi RAN/RAD-GRK menjadi PPRK disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Transformasi RAN/RAD-GRK menjadi PPRK (Sumber: Bappenas, 2018)

Untuk proses transformasi ini, Provinsi Jawa Barat telah memiliki modal awal RAD-GRK namun perlu pengkajian lebih mendalam mengenai kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan secara kesatuan yang saling mempengaruhi satu sama lain, potensi yang dimiliki Provinsi Jawa Barat, kelembagaan, kemampuan sumber daya alam


dan manusia, kemampuan pendanaan, dan aspek-aspek lainnya yang perlu diintervensi untuk dapat berkontribusi optimal dalam upaya PPRK. Dokumen RAD-GRK nantinya ditransformasi menjadi suatu dokumen baru yaitu Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, menggantikan Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2012. Perencanaan pembangunan rendah karbon pada dasarnya bertujuan untuk adalah mempersiapkan implementasi pembangunan rendah karbon yang diawali dengan internalisasi kebijakan ke dalam dokumen perencanaan. Pemerintah Pusat telah melakukan hal ini ke dalam RPJMN Tahun 2019-2024 dan perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam Revisi RPJMD Tahun 2018-2023.

Penutup Penandatanganan kesepakatan perencanaan pembangunan rendah karbon bukan merupakan titik nol. Berbagai kebijakan yang mengarusutamakan perubahan iklim merupakan bukti tingginya komitmen Jawa Barat dalam upaya pembangunan rendah karbon. Upaya penurunan emisi pada berbagai bidang telah menunjukkan kesiapan Provinsi Jawa Barat untuk mengimplementasikan pembangunan rendah karbon. Untuk dapat menerapkan perencanaan pembangunan rendah karbon, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat diantaranya adalah: 1) Meninjau dan memetakan kembali kelembagaan perubahan iklim yang telah ada disesuaikan dengan kelembagaan yang diperlukan dalam pembangunan rendah karbon; 2) Melakukan pengkajian secara mendalam terhadap potensi dan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan sebagai satu kesatuan, kemampuan sumber daya alam dan manusia, serta kemampuan pendanaan sebagai acuan dasar perencanaan pembangunan rendah karbon; 3) Menyusun Dokumen RPRKD Provinsi Jawa Barat dan menginternalisasikan hasilnya ke dalam Dokumen Revisi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2018-2023 dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan disusun; 4) Meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara terintegrasi yang diarahkan sesuai prinsip perencanaan

pembangunan rendah karbon; dan 5) Meningkatkan komitmen penganggaran dan/atau mempersiapkan mekanisme pendanaan lainnya untuk berbagai kegiatan yang mendukung pembangunan rendah karbon; dan 6) Meningkatkan upaya penanganan permasalahan lingkungan secara terintegrasi dan kolaboratif multisektor. Komitmen Jawa Barat dalam implementasi pembangunan rendah karbon diharapkan dapat menjadi lebih kuat, tidak hanya untuk kepentingan pengelolaan lingkungan semata yang selalu dipandang sebagai beban (cost), akan tetapi sudah saatnya dapat terintegrasi dan menjadi bagian dari proses bisnis pembangunan perekonomian dan sosial dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang nyata untuk kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Satu lagi dari sekian komitmen yang harus diperkuat untuk mencapai visi Jawa Barat Juara Lahir dan Batin.

daftar pustaka Bappeda Jabar, 2018. Kaji Ulang RAD-GRK Provinsi Jawa Barat. Bappeda Jabar, 2018. Laporan Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan RAD-GRK Jabar Th.2018. Bappenas, 2019. Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia. Full Report. Bappenas, 2014. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim. Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014. Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention On Climate Change. Diakses darihttp://unfccc.int/resource/docs/convkp/ kpeng.html United Nations, 2015. Adoption of Paris Agreement. Framework Convention on Climate Change. FCCC/CP/2015/L.9/Rev.1

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

49


WAWA S A N PERENCANAAN

Imbal Jasa Lingkungan Hidup Sebagai Instrumen Pembiayaan Mitigasi Bencana di Daerah Aliran Sungai Citarum

Oleh Yusman Permadi* Sani Satya Pratiwi**

Kondisi DAS Citarum saat ini mengalami pencemaran dan kerusakan ekosistem yang bersumber dari limbah pabrik, limbah domestik, residu keramba jaring apung, limbah kotoran ternak dan paparan bahan kimia dari usaha pertanian menyebabkan di beberapa titik badan Sungai Citarum berstatus cemar sedang dan berat

*) Analis Rencana Program dan Kegiatan pada Bappeda Provinsi Jawa Barat **) Tenaga Teknis pada Bappeda Provinsi Jawa Barat


Foto: Humas Bappeda

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

51


Foto: Humas Bappeda

menjadi lahan pertanian menimbulkan sedimentasi sungai dan waduk sehingga mengganggu operasional pembangkit listrik. Secara alami bagian hulu DAS Citarum yang meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut sebagian wilayahnya pada saat musim hujan tergenang air limpasan Citarum, volume limpasan air kini semakin meningkat sehingga wilayah terdampak banjir cenderung meluas. Kondisi ini mengindikasikan bahwa risiko bencana yang terjadi di sepanjang DAS Citarum lebih kompleks dibanding bencana alam lainnya.

Hulu DAS Citarum (Situ Cisanti)

Pendahuluan Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 20152019 ditetapkan lima belas Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis yang menjadi prioritas untuk dipulihkan. Salah satunya adalah DAS Citarum sepanjang 297 kilometer, dimulai dari bagian hulu di Situ Cisanti yang terletak di kaki Gunung Wayang, Kabupaten Bandung dan bermuara di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Alirannya melintasi 13 kabupaten dan kota di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut. DAS ini selain menjadi sumber air baku untuk air minum bagi 27,5 juta penduduk Jakarta dan Jawa Barat, juga sebagai sumber air irigasi untuk ratusan ribu hektar sawah serta pembangkit listrik di Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur kapasitas 1.400 MW untuk Pulau Jawa dan Bali. Kondisi DAS Citarum saat ini mengalami pencemaran dan kerusakan ekosistem yang bersumber dari limbah pabrik, limbah domestik, residu keramba jaring apung, limbah kotoran ternak dan paparan bahan kimia dari usaha pertanian menyebabkan di beberapa titik badan Sungai Citarum berstatus cemar sedang dan berat. Perubahan vegetasi alami di DAS Citarum 52

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Maksud dan tujuan studi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran serta penguatan kapasitas ekosistem dan memperbaiki tata kelola kelembagaannya. Tujuannya adalah untuk meneliti potensi imbal jasa lingkungan hidup sebagai alternatif instrumen pembiayaan mitigasi bencana di DAS Citarum dalam rangka mencegah kerusakan, serta merehabilitasi dan konservasi lingkungan hidup berdasarkan prinsip keterpaduan peran pemangku kepentingan dengan menggunakan valuasi ekonomi terhadap lingkungan hidup. Data pendukung studi ini diperoleh dari para pakar dan perwakilan pemangku kepentingan antara lain para akademisi, aktivis lingkungan hidup, pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pimpinan TNI, Polri, Kejati, serta tokoh masyarakat dalam beberapa forum diskusi bertajuk penanganan kerusakan DAS Citarum.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran Sungai adalah wilayah yang dibatasi oleh topograďŹ secara alami sedemikian rupa sehingga semua air hujan yang jatuh ke dalam DAS tersebut akan ditampung, disimpan dan dialirkan melalui suatu sistem sungai dan anak-anaknya ke danau atau laut. DAS dapat dianggap sebagai suatu sistim secara hidrologis dan berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan. Fungsi hidrologis DAS harus dikonservasikan agar dapat menunjang kehidupan secara lestari. DAS merupakan suatu sistem sehingga bagian-bagian DAS mempunyai hubungan saling ketergantungan. Daerah aliran sungai bagian hilir sangat bergantung pada DAS bagian hulu dalam hal penyediaan air (Tampubolon, 2009).


Luas wilayah DAS Citarum mencapai 682.227 ha meliputi 13 kabupaten dan kota, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

No. 1

Kabupaten/Kota Bandung

Luas (Ha) 174.304,12

Luas DAS (Ha) 134.384,06

Luas DAS (%) 77,10

2

Bandung Barat

128.468,03

128.305,52

99,87

3

Subang

216.871,79

95,16

0,04

4

Bekasi

125.172,77

46.655,77

37,27

5

Bogor

299.225,41

44.623,40

14,91

6

Cianjur

363.409,06

127.626,97

35,12

7

Garut

310.605,53

1.198,39

0,39

8

Karawang

191.540,46

94.026,31

49,09

9

Purwakarta

99.407,63

70.788,95

71,21

10

Sukabumi

416.338,79

379,61

0,09

11

Sumedang

156.916,42

13.213,51

8,42

12

Kota Cimahi

4.248,10

4.248,10

100,00

13

Kota Bandung

16.681,01

16.681,01

100,00

2.503.189,13

682.227

27.25

Total

DAS Citarum memiliki 16 sub-DAS dan tiap sub-DAS memiliki cabang anak sungai sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Setiap pencemaran atau kerusakan di sungai utama Citarum akan berdampak luas pada lingkungan dan masyarakat di sekitar DAS Citarum, demikian pula bagi masyakat Jakarta yang menggunakan air bersumber dari Citarum akan terdampak. Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

53


Imbal Jasa Lingkungan Imbal jasa lingkungan merupakan sistem pemberian imbalan kepada penghasil jasa lingkungan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jasa lingkungan, dan bukan pembayaran kepada ekosistem itu sendiri. Produk jasa lingkungan hutan atau kawasan konservasi dalam empat kategori, yaitu:

1 2 3 4

Penyerap dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage), Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection),

Perlindungan daerah aliran sungai(watershed protection), Keindahan bentang alam (landscape beauty). (Wunder, 2005)

Pasal 33 ayat (3) UUD R.I. 1945 menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur hal ini antara lain: Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

54

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Lingkungan hidup, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat telah memiliki aturan imbal jasa lingkungan hidup yaitu Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 33 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Jasa Lingkungan Hidup sebagai landasan teknis implementasi skema imbal jasa lingkungan. Kedua peraturan tersebut digunakan sebagai dasar dalam menetapkan skema pembiayaan perlindungan DAS yang diperoleh oleh pemberi jasa, dari pihak pemerintah daerah kabupaten/kota di hulu Sungai Citarum, swasta, maupun kelompok masyarakat.

Rencana Aksi DAS Citarum Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat telah menyusun rencana aksi pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 28 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2019-2025. Di dalam lampirannya terdapat skema, sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


Rencana aksi ini hanya fokus pada perencanaan kegiatan, dan tidak implementatif. Pembiayaannya dikompilasi dari kegiatan rutin kementerian/ lembaga yang hanya bersumber dari APBN dan APBD. Kurangnya peran multi pihak di luar pemerintah dalam penanganan mitigasi kebencanaan merupakan kelemahan dalam peraturan ini. Oleh karenanya para multi pihak ini selanjutnya diperankan, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar ini:

·Peraturan yang ada ·Perjanjian/ kesepakatan bersama

·Pihak yang terlibat ·Peran setiap stakeholder ·Penegakan hukum

Demikian pula dengan skema imbal jasa lingkungan hidup DAS Citarum bagi industri dan rumah tangga sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

55


Foto-foto: Humas Bappeda

Para pihak yang berkepentingan ini selanjutnya diatur kedudukan, dan kewenangannya dalam nota kesepakatan (MOU). Setelah skema imbal jasa lingkungan hidup disepakati, maka langkah selanjutnya adalah menghitung valuasi ekonomi DAS Citarum oleh lembaga independen. Masyarakat terdampak bencana banjir di hilir berharap adanya rehabilitasi di kawasan hulu agar tetap hijau sehingga tidak terdampak bencana. Biaya rehabilitasi ini lebih mahal dibanding pemulihan kawasan hulu karena dikeluarkan setiap saat. Sedangkan merehabilitasi kawasan hulu dilakukan hanya sekali sampai kawasan tersebut pulih. Sebaliknya bagi masyarakat di kawasan hulu dapat beralih pekerjaan, yang sebelumnya mengeksploitasi Citarum, berubah menjadi mengkonservasi Citarum. Proses imbal jasa lingkungan hidup ini akan berjalan dengan baik bila fungsi pengawasan dan pengendaliannya berjalan dengan benar sehingga mitigasi bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial di DAS Citarum efektif. Bencana kekeringan di musim kemarau, banjir di musim penghujan, konik sosial, dan potensi bencana lainnya di DAS Citarum akan berkurang signiďŹ kan jika semua pihak menyadari bahwa Citarum punya nilai manfaat yang tinggi jika dikelola dengan benar.

56

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Ilustrasi Imbal Jasa Lingkungan

Imbal Jasa Lingkungan dan Rencana Aksi Tabel di bawah menunjukkan keterkaitan imbal jasa lingkungan dengan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum Tahun 2019-2025, sebagian besar merupakan upaya mitigasi bencana yang dibiayai melalui skema imbal jasa lingkungan hidup.


Kegiatan Rencana Aksi PPK DAS Citarum Rehabilitasi Lahan Kritis

Penanganan Limbah Industri, Ternak, Domestik, dan Sampah

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kegiatan Mitigasi Bencana Penanaman vegetasi yang mampu mengurangi risiko banjir dan longsor Pengelolaan limbah industri terpadu untuk mengurangi risiko bencana non-alam berupa dampak industri dan pencemaran lingkungan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengelolaan Sumber Daya Air Penataan Keramba Jaring Apung

Rekayasa sipil teknis untuk mengurangi ancaman banjir Penataan zona budidaya

Penegakan Hukum Edukasi

Peningkatan kapasitas masyarakat terhadap kebencanaan Early warning system untuk bencana non-alam kategori pencemaran lingkungan

Hubungan Masyarakat Pemantauan Kualitas Sungai Citarum

Sumber Pembiayaan dari Imbal Jasa Lingkungan Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) Penyerap dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage) Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)

Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection) Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection) Keindahan bentang alam (landscape beauty) -

Penutup Pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum selama ini belum dilakukan secara terpadu. Demikian pula mengenai rencana aksi yang telah disusun dengan pembiayaannya yang relatif besar, tampaknya sulit diimplementasikan karena hanya bersumber dari APBN dan APBD. Untuk mengurangi risiko bencana yang terjadi berulang di DAS Citarum perlu disusun rencana aksi yang implementatif sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

57


Foto-foto: Humas Bappeda

Studi ini menawarkan alternatif skema kemitraan pelaksanaan pemulihan dan konservasi serta pembiayaannya. Skema berupa imbal jasa lingkungan hidup belum pernah diimplementasikan di DAS Citarum sejak ketentuan mengenai imbal jasa lingkungan hidup disahkan menjadi peraturan daerah. Studi ini tidak mengidentiďŹ kasi secara spesiďŹ k pihak-pihak mana saja yang menjadi pengguna dan penyedia jasa lingkungan. Studi willingness to pay dan ability to pay diperlukan untuk menilai sejauh mana skema imbal jasa lingkungan dapat diterapkan di wilayah studi.

Daftar Pustaka Tampubolon, S.B. (2009). Analisis Kebutuhan Air untuk Pertanian di Daerah Irigasi Karangploso Kabupaten Bantul. Jurnal Bumi Indonesia. Wunder, Sven (2005). Payment for Environmental Services: Some Nuts and Bolts. CIFOR Peraturan Gubernur Nomor 28 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum Tahun 2019-2025 https://news.detik.com/berita/d3818449/jokowi-80-air-minum-masyarakatjakarta-berasal-dari-sungai-citarum 58

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


Desain: Humas Bappeda

Sumber Informas

Perencanaan Pembangunan Jaw Bara

Design by: Rama


JENDELA PERENCANAAN


Alun-Alun Cianjur Taman Alun-Alun Kabupaten Cianjur ini merupakan ruang publik bagi masyarakat Kabupaten Cianjur dan siapapun yang ingin berkunjung ke Cianjur yang baru di resmikan pada tanggal 8 Februari 2019 oleh pak Presiden Republik Indonesia yaitu Pak Joko Widodo. Taman yang berlokasi di Jalan Pamoyanan, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat menjadi incaran warga di kala hari libur dan weekend tiba. Selain memang baru, tempat ini juga sangat luas dan terdiri dari banyak tempat untuk bermain, berkumpul dengan keluarga, hingga spot foto yang instagramable. Cukup bayar parkir kita sudah bisa menikmati cantiknya ikon barunya Cianjur ini.

Foto: Humas Bappeda


Foto: Humas Bappeda

62

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


WAWA S A N PERENCANAAN

Pengurangan Risiko Bencana Sesar Lembang Oleh Ane Carolina* Nisa Syifa Rahimah**

Berdasarkan prediksi Hastari (2019) dalam Suroso (2019) patahan Lembang berpotensi menimbulkan gempa dengan Mw 6,5-7 yang termasuk ke dalam klasiďŹ kasi gempa kuat dengan efek berupa kerusakan sedang hingga berat.

*) Analis Perencana Program dan Kegiatan Bappeda Provinsi Jawa Barat **) Tenaga Teknis Pengolah Data Spasial Bappeda Provinsi Jawa Barat Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

39 65


Foto-foto: Humas Bappeda

Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang beresiko rawan terhadap berbagai bencana alam karena terletak pada daerah yang aktif tektonik dan vulkanik sebagai akibat pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng India-Australia, PasiďŹ k, dan Eurasia (Sutikno, 1995). Pergerakan lempeng inilah yang menjadi pemicu teraktifkannya sesarsesar yang melintasi termasuk di Jawa Barat sehingga daerah yang dilewatinya menjadi daerah yang rawan terjadi gempa bumi. Berdasarkan kejadian gempa tercatat 9 kali gempa akibat aktivitas pergerakan Sesar Lembang sejak September tahun 1999 sampai Mei 2017. Gempa rata-rata berkisar 3-4 SR dengan kedalaman maksimal 10 km. Berdasarkan prediksi Hastari (2019) dalam Suroso (2019) patahan Lembang berpotensi menimbulkan gempa dengan Mw 6,5-7 yang termasuk ke dalam klasiďŹ kasi gempa kuat dengan efek berupa kerusakan sedang hingga berat. Artinya energi yang selama ini dilepaskan belum optimal, dan ada kemungkinan terjadi pelepasan energi yang lebih kuat mengingat Sesar Lembang ini belum memiliki catatan mengalami gempa yang kuat sejak 60 SM melalui analisis paleoseismologi dengan kerusakan sedang hingga berat pada bangunan. 64

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Kejadian gempa bumi di Sesar Lembang dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan Tahun 2017 cukup banyak. Tercatat sebanyak 9 (sembilan) kali gempa bumi yaitu Tahun 1999, 2003, 2010, 2011, 2014 dan 2017 (Santoso, 2019).


Kejadian Gempa Sesar Lembang 1999-2017 Sumber

Waktu Kejadian

Kekuatan Gempa

Marjoyono (2008)

18 September 1999

Kekuatan 3,1 SR

Supartoyo,dkk (2015)

11 Juli 2003

Kekuatan 4,4 SR kedalaman 10 km

Riset & Reportase Tirto.id

22 April 2010

Kekuatan 3,9 SR kedalaman 17,2 km

Sulaeman dan Hidayati (2011)

22 Juli 2011

Kekuatan 3,4 SR pada kedalaman 6 km

Badan Geologi ESDM

28 Agustus 2011

Kekuatan Mw 3,4 pada kedalaman 1,45 km

Sulaeman (2011)

28 Agustus 2011

Kekuatan 3,3 SR dengan kedalaman 10 km

Riset dan Reportase Tirti.id

22 Agustus 2014

Kekuatan 3 SR Kedalaman 21,5 km

Riset dan Reportase Tirto.id

14 April 2017

Kekuatan 2,8 SR kedalaman 5 km

Riset dan Reportase Tirto.id

18 Mei 2017

Kekuatan 2,9 SR kedalaman 6 km

Peneliti lain dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI di Bandung, Eko Yulianto sebelumnya pernah memperkirakan gempa dari Sesar Lembang pernah terjadi pada 500 ribu tahun lalu dan 2.100 tahun silam. Catatan kejadian gempa Sesar Lembang seperti di Kampung Muril dekat Gunung Burangrang dan Cisarua pada Tahun 2011 membuat beberapa hunian warga rusak. Pergerakan Sesar Lembang saat itu menimbulkan gempa bermagnitudo 3 (Siswadi, 2018). Selain karena tekanan, sebuah sesar yang bergerak dipengaruhi oleh aktivitas tektonik. Hasil kajian terbaru tahun 2017 menunjukkan laju pergeseran Sesar Lembang sekitar 3,0-5,5 mm/tahun. Angka ini bertambah dari prediksi tahun 2011 yang menyebut laju pergeserannya sekitar 2,0-4,0 mm/tahun (Hanian, 2017). Beberapa penelitian mengenai potensi kerugian dari kerusakan bangunan di Kota Bandung akibat gempa Sesar Lembang dengan skenario maksimal memberikan estimasi kerugian

sebesar kurang lebih 4 Triliun rupiah (Wira, 2010 & Widjaja, 2012). Berdasarkan penatagunaan lahan, 52 % dari luas total Kota Bandung yang mencapai 88 km2 adalah bangunan. Jika asumsi harga bangunan rata-rata permeter persegi sebesar Rp. 3.574.223,64 (Dinas PU,2014), maka estimasi nilai bangunan di Kota Bandung dapat mencapai 314,7 triliun rupiah. Estimasi kerugian sebesar 4 triliun rupiah atau hanya sekitar 1,3% dari nilai total dinilai kecil untuk skala VI-VII MMI. Penelitian terakhir mengenai potensi kerugian kerusakan bangunan akibat gempa dengan skenario maksimum di Sesar Lembang dimana menggunakan estimasi nilai eksposur total sebagaimana tersebut diatas, memberikan perkiraan kerugian rata-rata sebesar 61 triliun rupiah dengan standar deviasi Âą 20,93 triliun rupiah (Sedayo,2015). Gempa tidak membunuh, namun bangunan yang runtuhlah yang akan membunuh. Dengan demikian membangun rumah tahan gempa menjadi salah satu upaya mitigasi struktural untuk menurunkan tingkat kerentanan terutama warga pemukiman di sekitar Sesar Lembang atas ancaman bahaya gerakan Sesar Lembang. Rumah tahan gempa bukanlah rumah yang anti runtuh jika ada gempa, namun karena teknologi dan kekuatan yang dimilikinya membuat rumah ini mampu bertahan beberapa saat ketika kejadian gempa, sehingga masih ada kesempatan bagi penghuninya untuk menyelamatkan diri. Permasalahan yang akan terjadi akibat gempa yang diakibatkan oleh pergerakan Sesar Lembang adalah runtuhnya rumah yang dapat Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

65


menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Seperti halnya yang pernah terjadi, akibat kejadian gempa Sesar Lembang bermagnitudo 3 di Kampung Muril dekat Gunung Burangrang dan Cisarua pada tahun 2011 yang menyebabkan beberapa hunian warga rusak. Kerentanan akan runtuhnya rumah akibat gempa sangat tinggi. Untuk mengurangi resiko bencana Sesar Lembang, salah satunya adalah pembangunan rumah tahan gempa pada wilayah permukiman yang dilalui oleh Sesar Lembang.

dimulai dari Padalarang Kabupaten Bandung Barat hingga Manglayang Kabupaten Bandung. Letak sesar ini hanya sekitar 10 km di utara pusat Kota Bandung. Data sejarah kegempaan yang diakibatkan oleh pergerakan sesar ini masih tergolong sangat sedikit. Hasil analisis stratigraďŹ Sagpond menunjukkan bahwa Sesar Lembang merupakan sesar aktif dengan mekanisme berupa sesar normal dimana blok utara (hangingwall) relative bergeser turun terhadap blok selatan (footwall) (Hidayat dkk,2008).

Foto: Humas Bappeda

Sesar atau Patahan Lembang merupakan salah satu lajur sumber gempa bumi aktif naik. Patahan jenis ini berpotensi menimbulkan bencana gempa bumi. Menurut Suhaimi (2011), Patahan aktif naik berpotensi bencana gempa bumi. Disebut patahan naik, karena patahan Lembang cenderung miring ke selatan. Patahan naik merupakan jenis patahan bertipe kompresi sehingga berpeluang melahirkan gempa-gempa bersifat kompresif dengan kekuatan besar. Gempa itu ditandai dengan kerusakan sejumlah rumah yang berada di jalur patahan. Panjang Sesar Lembang sekitar 29 km. Disebut Sesar Lembang karena Lembang merupakan wilayah yang paling banyak dilewati sesar, selain itu lembang merupakan icon wisata Jawa Barat. Di Kecamatan Lembang terdapat 13 desa yang dilalui Sesar Lembang. Berikut adalah jumlah desa pada kecamatan-kecamatan yang dilalui Sesar Lembang:

Sesar Lembang Sesar aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu 10.000 tahun yang lalu (Keller & Pinter,1996 dalam Hidayat dkk, 2008). Salah satu sesar yang diperkirakan aktif yang memicu terjadinya gempa di Jawa Barat adalah Sesar Lembang, terbukti dengan adanya gempa pada tahun 1999, 1972, 1999, 2000, 2003, 2005 dan 2011 bersumber dari sesar tersebut (Kertapati, 2006 dan Marjiyono et al., 2008). Sesar ini melintasi permukiman penduduk yang padat dan daerah wisata Lembang. Sesar Lembang mempunyai panjang sekitar 29 km yang membentang dari arah barat ke timur yang 66

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Sumber : BPBD Provinsi Jabar 2018, diolah

Letak sesar ini hanya sekitar 10 km di utara pusat Kota Bandung. Kedalaman Sesar Lembang antara 30-60 km. Patahan Lembang berpotensi menimbulkan gempa dengan Mw 6,5-7 yang termasuk ke dalam klasiďŹ kasi gempa kuat dengan efek berupa kerusakan sedang hingga berat (Hastari, 2019 dalam Suroso,2019)


jalur sesar lembang

Sumber : Daryono dkk, 2019 dalam Suroso,2019

Bagian segmentasi yang terbagi oleh perubahan strike dan perubahan kinematis gerak patahan disebut seksi. Patahan lembang terbagi dalam enam seksi, yaitu Cimeta, Cipogor, Cihideung, Gunung Batu, Cikapundung dan Batu Lonceng dengan jeda kurang dari 4 km sehingga mampu menghasilkan gempa secara bersamaan. Kecamatan Lembang berada pada seksi Gunung Batu yang memiliki patahan tipe horizontal dan vertikal. Apabila terjadi gempa, permukaan tanah bagian horizontal akan bergeser ke kiri dan bagian vertikal akan terangkat, sehingga daerah tersebut sangat berbahaya untuk dibangun. Patahan Sesar Lembang memiliki arah pergerakan mengiri (sinistral) 80 % dan vertikal 20 % pada arah Lembang. Ketika terjadi gempa bumi maka arah pergerakannya sebagian patahan mengiri dan sebagian mengalami pengangkatan permukaan tanah. Hingga saat ini patahan Lembang telah bergerak sebesar 460 m dari kondisi awal yang membuktikan bahwa patahan Lembang adalah patahan aktif. Dengan demikian perlu diwaspadai dan dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang. Laju pergerakan di jalur patahan aktif merupakan hal penting untuk memahami tektonik dan aspek kebencanaan. Patahan Lembang memiliki laju pergerakan patahan sebesar 3,5 mm/tahun. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga diketahui bahwa jalur pergerakan patahan Lembang adalah 3-14 mm/tahun. Hal ini merupakan fakta bahwa Patahan Lembang merupakan patahan aktif yang terus mengalami pergerakan. Jalur Sesar Lembang membentang dari arah barat ke timur yang dimulai dari Padalarang

Kabupaten Bandung Barat hingga Manglayang Kabupaten Bandung. Potensi tinggi terdapat pada 4 kabupaten/kota yaitu Pada Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Sesar Lembang melewati 32 desa dan 4 kecamatan. Kecamatan dan desa yang diprediksi terdampak bahaya Sesar Lembang dapat dilihat pada tabel 2. Pada Kecamatan Lembang merupakan jalur terbanyak dilewati yaitu 13 desa , sehingga jalur sesar ini dinamakan patahan lembang.

Bencana Gempa Bumi Bencana menurut Bakornas (2007) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia dan/atau oleh keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Dalam U.U. No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan, bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

67


alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Secara umum bencana diartikan sebagai suatu kejadian (alam atau ulah manusia), secara tibatiba atau perlahan, yang menimpa dengan hebatnya, sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan yang luar biasa. Berdasarkan sifatnya bencana dibedakan menjadi bencana katastropik dan bencana silent killer. Bencana katastropik adalah bencana yang datangnya seolah tiba-tiba, dan memberikan kerusakan yang dahsyat. Bencana silent killer adalah bencana yang datangnya perlahan, yang tanpa disadari memberikan kerugian yang besar (Andreas dkk, 2018). Patahan atau sesar merupakan hasil dari gerakan tekanan horizontal dan tekanan vertikal yang menyebabkan lapisan kulit bumi yang rapuh menjadi retak dan patah. Pada suatu patahan, bagian yang terangkat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya disebut horst. Daerah patahan yang turun atau tenggelam dibandingkan dengan daerah sekitarnya disebut graben atau slenk. Informasi mengenai kejadian gempa di masa lalu penting untuk memperkirakan kejadian gempa di masa datang. Setidaknya telah terjadi tiga kali gempa bumi di patahan Lembang, yaitu 1450-1460, 2300-60 SM dan 18.000 SM melalui analisis paleoseismologi. Gempa yang terjadi diperkirakan memiliki kekuatan Mw 7, dengan efek yang dirasakan berupa kerusakan sedangberat pada bangunan. Patahan Lembang merupakan patahan aktif karena pernah menghasilkan gempa dalam kurun 11.000 tahun terakhir sehingga kemungkinan untuk terjadi gempa kembali sangat mungkin terjadi. Periode ulang gempa bumi merupakan ratarata diantara kejadian gempa atau dapat juga disebut sebagai ulang tahun gempa dan merupakan hal penting untuk mengetahui kemungkinan gempa dimasa depan. Periode ulang patahan Lembang adalah 170-670 tahun yang diketahui melalui laju pergerakan patahan. Gempa bumi terakhir terjadi pada abad ke 15 atau 1450-1460. Sampai saat ini, patahan Lembang belum menghasilkan gempa selama 557 tahun dan saat ini patahan Lembang sedang berada pada fase-fase pelepasan energi. Fase

68 Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 70

pelepasan energi ditunjukkan oleh adanya aktivitas seismik berupa gempa pada jalur patahan Lembang.

Mitigasi dan Evakuasi Bencana Mitigasi yaitu usaha meminimalkan dampak bencana terhadap kehidupan manusia, sehingga kerugian jiwa dan material serta kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Mitigasi bencana dapat dilakukan dengan menghindari/minimasi hazard, menurunkan kerentanan, meningkatkan ketahanan/kapasitas/kemampuan menanggulangi. (Oetomo A, 2019) Kepala Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengungkapkan salah satu hal penting dalam mitigasi bencana gempa bumi adalah membangun rumah dan bangunan tahan gempa. Jepang sejak tahun 1980 menerapkan aturan membangun gedung atau rumah yang harus tahan gempa. Hal ini bisa meminimalisir jumlah korban. Sebagai perbandingan, gempa Bantul berkekuatan magnitude 6,4 pada 2006 dan gempa Suruga Jepang yang juga berkekuatan sama. Kedua gempa ini mengakibatkan jumlah korban yang sangat jauh berbeda. Di Bantul hingga 6.000 orang korban tewas, sementara Suruga hanya 1 orang korban tewas. Kekuatan gempanya sama dengan titik kedalaman yang sama yaitu 10 km, namun jumlah korban sangat berbeda. Hal tersebut dikarenakan Jepang serius dalam memitigasi bencana dengan menyiapkan rumah tahan gempa.

.... Salah satu hal penting dalam mitigasi bencana gempa bumi adalah membangun rumah dan bangunan tahan gempa. DARYONO Kepala Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG


Foto: Istimewa

Rumah styrofoam semakin populer di Jepang

Mantan Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono menyatakan bahwa gempa tidak membunuh, namun bangunan yang runtuhlah yang akan membunuh. Demikian pula Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam laman resmi BNPB menyatakan bahwa sebagian besar rumah yang rusak akibat gempa dibangun dengan konstruksi yang bukan tahan gempa. Padahal desain bangunan tahan gempa sudah banyak tersedia, hanya saja belum tersosialisasi dengan baik. Minimnya regulasi di Pemda tentang rumah tahan gempa, terbatasnya pengetahuan masyarakat dan tukang, alasan ekonomi, tata ruang, merupakan beberapa faktor penyebab bangunan dengan konstruksi tahan gempa belum banyak dibangun.

Pada koridor Sesar Lembang telah dilakukan survey lokasi bangunan yang berpotensi untuk menjadi zona evakuasi beserta aksesibilitas, pemasangan papan informasi dan rambu-rambu, (BPBD Jawa Barat, 2019). Lokasi yang berpotensi sebagai zona evakuasi antara lain adalah Lapang Bentang, Pusdikajen, RSJ Provinsi Jawa Barat, SDN Lembang 1, SDN Merdeka, SDN Pancasila, SESKOAU, SESPIM POLRI, dan Kavaleri Kuda. Lokasi-lokasi diatas adalah lokasi evakuasi sementara. Untuk lokasi evakuasi akhir dapat dilakukan di Hotel Jayakarta ataupun hotel dan perkantoran lain yang ada di sekitar Hotel Jayakarta.

Peta IdentiďŹ kasi Potensi Lokasi Zona Evakuasi pada Koridor Sesar Lembang Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

69


Jumlah penduduk desa yang berpotensi tinggi terkena dampak pergerakan Sesar Lembang berjumlah 389.564 jiwa. Jika satu rumah diasumsikan dihuni oleh 5 orang penduduk, maka diasumsikan jumlah rumah yang ada pada daerah berpotensi tinggi terkena gempa berjumlah 77.913 unit rumah. Umumnya rumah di permukiman penduduk pada wilayah yang dilalui Sesar Lembang adalah bukan rumah tahan gempa dan konstruksinya sambung menyambung menambah lantai tanpa direncanakan dari awal (Kompas TV, 2018). Terdapat bangunan hingga 3 lantai tanpa memperhitungkan kemampuan struktur lantai dibawahnya dan struktur yang diatasnya hampir semua tidak memperhatikan kaidah dan standar teknis. Dengan demikian bangunan tersebut sangat membahayakan keselamatan penghuni saat terjadi gempa akibat Sesar Lembang. Hal ini menjadi perhatian pemerintah melalui alternatif teknologi berupa konstruksi rumah tahan gempa antara lain Rumah RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat).

2

Rumah dome, dibangun dengan dinding dan atap yang menyatu memungkinkannya punya daya tahan yang lebih kuat terhadap goncangan.

Rumah ini mirip kubah besar dimana elemen dinding dan atap menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga tahan terhadap goncangan dan angin. Kekuatan rumah ini terletak pada konstruksi yang kokoh dan memakai bahanbahan ringan, terutama atap dan dinding.

3

Barrataga (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa), terbukti tidak roboh saat gempa meski masih mempertahankan kesan tradisionalnya

bangunan tahan gempa BNPB telah merekomendasikan 7 (tujuh) konstruksi bangunan modern yang tahan gempa yaitu :

1

Growing house, dirancang sebagai rumah tahan gempa dan bisa mengantisipasi bencana banjir.

Foto-foto: Istimewa

Keistimewaan bangunan ini adalah karakter bangunan yang humanis. Tedapat ruang untuk beraktivitas yang cukup untuk di dalam dan di luar ruangan. Di dalam ruangan untuk berkumpul, sementara di luar ruangan ada fungsi olahraga, bercocok tanam dan berternak. 70

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Rangka barrataga ini terdiri dari beton kolom, balok bawah, balok tepi atas dan balok lantai kemudian disambungkan dengan simpulsimpul barrataga agar tidak patah saat gempa. Pada pondasi diberi pasir 20 cm sebagai peredam getaran bangunan. Aspek terpenting adalah penguatan besi tulangan bangunan yang saling mengait. Fungsi barrataga sebagai rumah anti gempa akan semakin kuat jika menggunakan kayu atau bambu untuk besi tulangannya.


4

6

RISHA merupakan rumah dengan konsep bongkar pasang dimana proses pembangunannya tidak lagi membutuhkan semen dan bata melainkan dalam bentuk panelpanel beton yang digabungkan menggunakan baut. Komponennya dibuat secara pabrikasi dengan konstruksi penyusun rumah berdasarkan ukuran modular, sehingga bangunan ini dapat dibuat dengan waktu yang cepat.

RUSPIN adalah pengembangan RISHA. Meski keduanya sama-sama memiliki sistem bongkar pasang dengan komponen yang dibuat secara pabrikasi, namun Ruspin lebih unggul karena menghilangkan simpul yang sulit untuk dibuat dan menggantinya dengan teknologi baru yang lebih mudah dipasang.

RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) bisa dibangun dalam waktu singkat dan teruji tahan gempa.

5

RIKA (Rumah Instan Kayu) yang diproses menggunakan kayu rekayasa sebagai pembentuk konstruksinya

RUSPIN (Rumah Unggul Sistem Panel) yang menggunakan sistem bongkar pasang dengan teknologi baru

7

Rumah tanpa kayu besutan PT. Conwood Indonesia ini juga diklaim kuat karena tahan gempa, anti rayap dan tahan api.

Foto-foto: Istimewa

Rumah instan ini berbahan dasar dari kayu kelas rendah cepat tumbuh (sengon, karet, akasia mangium) yang diolah kembali sehingga kekuatannya setara dengan kayu kualitas kelas 1. Prosesnya diperkuat dengan sistem Laminated Veneer Lumber (LVL). Konstruksi rumah menggunakan kayu juga relatif lebih mudah untuk dirancang tahan gempa, karena sifat dasar materialnya lebih ringan bila dibandingkan beton dan batu bata pada umumnya.

Rumah ini merupakan inovasi dari PT.Conwood, dimana material berupa campuran semen dan serat ďŹ ber disuplai dari PT. Conwood. Konstruksi rumah ini lentur, tidak mudah roboh dan eksibel. Kalaupun sempat ambruk, materialnya cukup ringan sehingga tidak terlalu membahayakan. Pekerjaan rumah ini dengan ukuran standar cukup membutuhkan 7 orang pekerja dalam waktu 7 hari. Selain itu rumah ini diklaim kuat karena tahan gempa, anti rayap dan tahan api.

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

71


Foto: Istimewa

Selain rumah RISHA yang sudah dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim), Jurusan Arsitektur Institute Teknologi Bandung juga menemukan Mabuter (Rumah Bambu Plester)/Plestered Bamboo. Teknologi Mabuter ini cukup sederhana, dan bahan juga menggunakan bahan lokal sehingga sangat mudah dan murah untuk direplikasi oleh masyarakat. Mabuter dapat dijadikan alternatif penyediaan rumah layak huni dan tahan bencana dalam hal ini gempa bumi dan puting beliung.

Gambar 2. Ilustrasi Rumah Bambu Plester

Sebagai ilustrasi, rumah tipe 36 dapat berdiri di atas tanah seluas 24 m2. Mabuter ini dapat dibuat 2 lantai dengan bahan Mezanin. Total biaya pembangunan Mabuter ini sangat ekonomis yaitu sekitar Rp. 17.500.000,-. Mabuter ini sudah diuji coba sejak 20 tahun yang lalu di Kabupaten Sukabumi dan masih kokoh hingga sekarang. Bangunan ini telah diuji coba tahan api selama 2 jam. Secara eksisting bangunan ini tahan terhadap terpaan angin puting beliung dan gempa bumi yang telah terjadi di Kabupaten Sukabumi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Program Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) telah menerapkan Mabuter ini untuk mengatasi kerusakan rumah tingkat tinggi. Rumah tahan gempa dengan bahan lokal (seperti bambu atau kayu) dan teknologi yang sederhana dapat lebih mudah diimplementasikan oleh semua masyarakat dan lebih sustainable. Pembangunan rumah tahan gempa berbasis komunitas akan lebih memudahkan dan meningkatkan keberhasilan pembangunan rumah tahan gempa. Kondisi eksisting di lapangan terdapat bangunan baru di kawasan rawan bencana (KRB) Sesar Lembang. Beberapa bangunan sudah memperhatikan standar konstruksi tahan gempa yaitu dengan memberi perlakuan pada pondasi 72

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

dengan Sistem Trucuk. Sistem Trucuk adalah upaya pemberian “Per” pada pondasi sehingga diharapkan tingkat elastisitas bangunan tinggi jika terjadi goncangan gempa dan tidak langsung runtuh. Alternatif lainnya melalui Retrofit yakni upaya memperbaiki, merestorasi dan memperkuat bangunan sehingga tahan gempa. Retrofit bisa dilakukan dengan menambal retak tembok, menginjeksi air semen, dan mengikat komponen penahan beban sehingga menjadikan bangunan sebagai satu kesatuan. Retrofit bisa diterapkan di semua kategori kerusakan. Bangunan rusak berat artinya lebih dari 40% komponen struktur rusak, kerusakan ini bisa diperbaiki dan diperkuat strukturnya secara menyeluruh. Rumah dengan kategori rusak sedang, diindikasikan dengan retak menyebar dengan celah ± 0,5 cm dan kemampuan memikul beban sebagian berkurang.

Penutup Bahaya gempa akibat Sesar Lembang sangat kuat dan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan korban jiwa yang cukup banyak. Menurut para ahli, Sesar Lembang sudah berada pada fase ujung. Kejadian gempa akibat pelepasan energi dapat terjadi sewaktu-waktu. Kondisi eksisting saat ini pada daerah yang berpotensi tinggi terdampak bahaya gempa Sesar Lembang adalah padat permukiman. Pada prinsipnya lokasi hunian harus menjauhi kawasan rawan bencana, sehingga rumah-rumah yang sudah ada sebaiknya dilakukan relokasi untuk mengurangi resiko bencana. Pengurangan resiko bencana gempa Sesar Lembang melalui pembangunan rumah tahan gempa sejalan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tertuang dalam dokumen RTRW Provinsi Jawa Barat 2009-2029 yang mengamanatkan “pelaksanaan pengurangan risiko bencana” melalui: 1. Pemasangan papan informasi, peta, rambu, dan jalur kebencanaan 2. Penyediaan lahan/zona evakuasi, hunian sementara dan relokasi 3. Penyediaan hunian sementara, shelter tsunami dan rumah tahan gempa 4. Pembangunan kembali sarana prasarana terdampak bencana. Untuk mengurangi resiko bencana akibat


pergerakan Sesar Lembang diperlukan kebijakan yang menyeluruh antara lain (Surono, 2019): 1. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa bumi 2. Peta KRB Gempa bumi sebagai data dasar dalam penataan ruang permukiman di wilayah yang berpotensi tinggi terkena bencana Sesar Lembang 3. Pada KRB Gempa bumi tinggi, agar tidak mendirikan bangunan vital dan strategis, atau bangunan lainnya yang menjadi konsentrasi penduduk. Jika terpaksa harus dilakukan, agar menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa 4. Pendidikan dan pelatihan guna mengetahui tingkat ancaman bahaya dan tata cara mengantisipasinya.

Daftar Pustaka BPBD Jawa Barat. 2019. Peta Survey Sesar Lembang. Bandung. Bakornas Penanggulangan Bencana. (2007). PengenalanKarakteristikBencanadanUpaya Mitigasinya di Indonesia. DirektoratMitigasi Lahar BAKORNAS PB: Jakarta. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Sutikno. (1995). Geomorfologi dan Prospeknya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas GeograďŹ . Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Keller,E.A. dan Pinter,N. (1996). Active Tectonics (Earthquake, Uplift and Landscape). Prentise Hall. Upper Saddle River. New Jersey 07458. Hidayat,E.;Brahmantyo,B.;Yulianto,E. (2008). Analisis Endapan Sagpond pada Sesar Lembang. Jurnal Geoaplika 2008 Vol 3 No.3 Halaman 151-161. Kertapati,E. (2006). Aktivitas Gempabumi di Indonesia (Perspektif Regional pada Karakteristik Gempabumi Merusak). Pusat Survey Geologi, Badan Geologi,Bandung.

Vol.XVIII No.2 Halaman 65-132 Oetomo, A. (2019). Filsafat dan Etika Penanggulangan Bencana. Penelitian Mitigasi Bencana ITB. Bahan Ajar Diklat Pengelolaan Kebencanaan. PUSBINDIKLATREN BAPPENAS-MPWK, SAPPK ITB. Soehaimi, A. (2011). Seismotektonik Jawa Barat dan Mikrozonasi Potensi Gempa Bumi DKI Jakarta. Muslim D (Ed), Badan Geologi, Bandung. Surono. (2019). Ngobrol Tentang Upaya Pengurangan Risiko Bencana Geologi. Makalah seminar dalam Ngobrol Serius Kebencanaan. Holland Spot Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda. Suroso, DSA. (2019). Perencanaan Tata RuangBerbasisMitigasiBencana.Bahan Ajar DiklatPengelolaanKebencanaan. PUSBINDIKLATREN BAPPENAS-MPWK, SAPPK ITB.

Sumber lain Andreas, D.(2018). ada-2426-bencana-diindonesia-pada-2018-99-juta-wargaterdampak. https://tirto.id. Diakses 12 Agustus 2019. Hanifan.(2017). GempaBesar di SesarLembangMengintai Bandung. https://tirto.id. Diakses 12 Agustus 2019. Kompas TV. (2018). Bandung WaspadaSesarLembang. Https://www.youtube.com.Diakses tanggal 11 Agustus 2019. Siswadi.(2018). 5 FaktaSesarLembang di Bandung: SesarAktifSepanjang 29 KM. https://tekno.tempo.co/read/1132865. Diakses 12 Agustus 2019.

Marjiyono.;Soehaimi,A.;Kamawan. (2008) IdentiďŹ kasi Sesar Aktif Daerah Cekungan Bandung dengan Data Citra Landsat dan Kegempaan. Jurnal Sumber Daya Geologi,

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

73


R E H AT

Ritus Adat Seren Taun di Kasepuhan Sirna Resmi Sukabumi Oleh Nunung Nurmaningsih * dan Hidayat Permana**

Dalam ritus Seren Taun banyak terkandung hal-hal yang dapat dipetik bagi penyadaran setiap orang akan makna atau arti hidup di dunia ini. Mereka bersyukur dan bergembira atas berkat yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa dengan berbagai caranya sendiri.

*) Perencana Madya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat **) Tenaga Teknis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat


Foto: Humas Bappeda

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

75


Pendahuluan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya seni dan budaya. Terdapat banyak jenis dan ragam ritus/upacara, baik yang dilakukan secara individual maupun komunal. Ritus merupakan komponen penting dalam sistem religi atau kepercayaan. Wujudnya berupa aktivitas dan tindakan manusia untuk berkomunikasi dan melaksanakan kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk gaib lainnya. Ritus umumnya dilaksanakan di ladang, sawah, sungai, rumah/halaman rumah, balai desa, kabuyutan, pantai/laut, hulu cai (mata air), bangunan tua pada setiap musim, tahun, atau saat tertentu secara berkelanjutan. Ritus terdiri atas beberapa rangkaian yang menjadi suatu kesatuan tindakan, yaitu: berdoa, bersaji, berkorban, makan bersama,

76

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

berpuasa, bersemedi, pesta (suka-cita), dan sebagainya. Fungsinya adalah untuk mendapatkan berkah atau rezeki dan keselamatan. Waktunya (bulan-hari) juga beragam, ada yang Mulud, Syura, Rajab, Rewah, Januari sampai Desember, dan sebagainya. Harinya pun demikian, ada yang Sabtu, Minggu, Senin, Rabu, Jumat, dan lain-lain. Ada yang anual, empat tahunan, winduan (delapan tahunan), dan lain-lain, tergantung jenis ritusnya. Ritus yang dilaksanakan secara individual biasanya terkait dengan siklus kehidupan manusia, mulai dari sebelum lahir (mengandung), lahir, remaja, dewasa, sampai mati. Sedangkan yang dilaksanakan secara komunal biasanya terkait dengan siklus kehidupan alam semesta sehingga dikenal bermacam-macam ritus seperti: babarit, mitoni, nyukur, nyusur taneuh, gusaran,


Adat Dan Kearifan Lokal Adat, yang dalam bahasa Arab disebut, al adah, atau tradisi, salah satunya berasal dari kata Latin: tradition, tradition (England) artinya diteruskan atau kebiasaan. Perilaku yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Di samping itu, kata “Adat” juga berasal dari bahasa Arab, al adah, yang berarti "cara", atau "kebiasaan". Adat adalah sebuah gagasan tentang kebudayaan, yakni suatu hal yang berkaitan dengan tatanilai kehidupan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan “hukum” yang berlaku di suatu daerah. Adat senantiasa melekat dengan kehidupan holistik masyarakat penyangganya. Gagasan pemikiran yang terdapat dalam adat intinya berkaitan dengan tiga relasi kehidupan: 1) relasi dengan Tuhan, 2) relasi dengan manusia, dan 3) relasi dengan alam. Ketiga relasi itu merupakan satu kesatuan yang tidak berdiri sendiri. Tata hubungannya berbentuk segi tiga, masing-masing titik terhubung dengan titik yang lainnya. Adat bisa dilihat melalui beberapa ciri, antara lain: perilaku (etika), seni, busana, arsitektur, bahasa, perkakas, organisasi, religi atau kepercayaan, dan sebagainya.

Foto: Humas Bappeda

sunatan, kawinan, ruwatan, matang puluh, natus, newu; ider bumi, ngaseuk, mapag sri, ngarot, ngunjung, sedekah bumi, ngalaksa, kawin cai, badirian, nadran, nyangku, panjang jimat, nyangku, benta-benti, cing cowong, seren taun, wuku taun, asyura (suroan), bubur syura, dan seabreg ritus lainnya. Prinsip sebuah ritus agama dan adat selalu terkait dengan ruang dan waktu. Desa, kala, patra, menurut budaya Bali. Pelaksanaannya tidak sembarangan, tempatnya tertentu, harinya dihitung baik wuku maupun pasaran hingga pada jumlah angka tertentu (konsep petangan), perlengkapannya, sesaji juga ditentukan jenisnya termasuk orang dan keseniannya. Itulah ritual adat, mempunyai pakem atau fikih (aturantatacara) masing-masing.

Tatanan nilai-nilai (hukum-hukum) adat itu biasanya dianut secara turun-temurun dan mengikat berkehidupan sendiri. Istilah tata nilai dalam adat kemudian populer dengan sebutan kearifan lokal atau a particular law; a statue; or ordinance, atau local wisdom. Maknanya adalah kepatuhan dan kepasrahan. Itulah Din (hukum), yang dalam konteks adat-istiadat atau tradisi adalah perilaku tertentu yang dipatuhi dan dijalankan terus-menerus berdasarkan “siksa” dan “bahagia”, yang menyebabkan seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Bentuk, ragam, nama, norma, dan tatacara pelaksanaannya juga beraneka ragam. Cakupan menyangkut berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari adat-istiadat yang berkaitan dengan kehidupan manusia, mulai dari kawin, mengandung, lahir, sampai mati. Ada pula adatistiadat yang berkaitan dengan tetanen atau pertanian (huma dan sawah), mulai dari mengolah lahan, tandur, sampai dengan panen, dan sehabis panen. Di samping itu ada pula adatistiadat yang berkaitan dengan kepercayaan atau agama. Kini, sebagian dari adat-istiadat tersebut masih dapat disaksikan di beberapa daerah di Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

77


Jawa Barat dan daerah lainnya. Pelaksanaan ritus secara umum implementasinya diwujudkan dengan doa, persembahan (sesaji) dan lain-lain, dilanjutkan dengan suka-cita yang juga dalam berbagai bentuk, misalnya: arak-arakan (helaran), festival atau pergelaran berbagai jenis kesenian, dan sebagainya. Prinsip dari adat (tradisi) adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, agar tradisi tidak punah. Salah satu cirinya adalah kedekatan hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Dalam tradisi (adat), banyak ditemukan ekspresi berkehidupan masyarakat yang diwujudkan melalui tatanan nilai-nilai (hukum-hukum) yang dianut secara turun-temurun, dan mengikat dalam berkehidupan. Tatanan nilai-nilai itu adalah salah satu pilar berkehidupan yang lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal atau local wisdom, a particular law (hukum tertentu, hukum tak tertulis); or ordinance (peraturan). Maknanya adalah kepatuhan dan kepasrahan. Itulah Din (hukum) yang dalam konteks tradisi adalah perilaku tertentu yang dipatuhi dan dijalankan terus-menerus. Kearifan lokal yang bertebaran di berbagai daerah dalam berbagai tradisi kini telah banyak ditinggalkan, bahkan maknanya sudah tak “terbaca� lagi. Kita seolah-olah punya mata tapi tak bisa melihat; punya kuping tapi tak bisa mendengar; punya hidung tapi tak bisa mencium; punya mulut tapi tak bisa bicara; punya rasa tapi tak bisa merasa. Kita telah mati suri. Hampir kehilangan jati diri. Padahal, melalui tradisi seni dan budaya, kita diingatkan tentang berbagai fenomena kerusakan kehidupan itu sendiri. Misalnya, melalui lagu Banyu Urip (tarling) dari Cirebon (sebagian syairnya dicuplik di bawah ini) yang dinyanyikan oleh Jayana dan Carini: Isun isin karo singa kang karebut galake isun isin karo buaya kang kepangan wangke ira isun isin karo kobra kang kaserep wisae isun isin karo bangsa lelembut kang katiru cara-carae wis karebut praharjaning jiwaning bumi karep isun bebalik arep bebenah lemah-lemah kang nelah

78

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Saya malu oleh singa yang galaknya direbut saya malu oleh buaya yang bangkainya termakan saya malu oleh kobra yang bisanya terserap saya malu oleh makhluk halus yang caracaranya ditiru kesejahteraan dan jiwanya bumi sudah terambil saya bermaksud mengubah dan membenahi tanah-tanah yang retak Syair di atas mengingatkan kita pada kearifan lokal dalam tradisi, yang visualisasinya bisa diekspresikan melalui bahasa (sastra lisan, cerita, legenda, dongeng), gerak (tari), rupa, arsitektur, bunyi (musik-nyanyian), falsaďŹ , mitos, logika, estetika, etika, dan sebagainya. Tradisi itu tidak mati, malah senantiasa memberikan peluang untuk kreasi, namun untuk memahaminya diperlukan perenungan, ketajaman pikir, dan rasa, karena pada umumnya kearifan itu adalah fenomena yang disembunyikan dalam bentuk simbol-simbol atau siloka-siloka. Kearifan lokal, yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan, menjadi terasa penting, karena dari sinilah salah satu tatanan nilai-nilai berkehidupan itu dipangku. Dalam masyarakat adat, tatanan nilai-nilai itu dibungkus dalam hukum-hukum adat yang disebut dengan hukum tilu (tri tangtu), hukum dua (papasangan), hukum lima (papat kalima pancer) dan sebagainya. Semua hukum tilu terangkum menjadi tri tangtu dina raga, tri tangtu di buana, dan tri tangtu di nagara. Ketiga formulasi hukum itu sekaligus menggambarkan tiga relasi yang tak terpisahkan, bersifat atomik. Satu sama lain harus tetap terjaga agar tetap seimbang. Dalam bahasa kiai, tiga relasi itu tak lain adalah: hablum min Allah, hablum min nas, dan hablum min alam. Jika satu dari tiga relasi itu terlepas atau terabaikan, maka hancurlah kehidupan itu. Ini mengingatkan kita pada sistem atomik: proton, netron, dan elektron, jika salah satunya lepas, maka dunia akan meledak, kiamat! Kehidupan yang carut-marut saat ini pun pada dasarnya disebabkan oleh tidak terjaganya keseimbangan tiga relasi itu. Tiga relasi itu adalah galeuh kahirupan yang merangkum seluruh tata nilai dan yang menuntun serta mengatur prinsip kehidupan. Galeuh kahirupan itu dipatri oleh amanah, wasiat


dan akibat. Muara kehidupan adalah mempertanyakan arti hidup itu sendiri: untuk apa hidup kita ini? Muara kehidupan itu juga dituntun oleh suatu kesadaran bahwa: urip ana kang nguripi, kang nguripi ana kang diuripi. Sapa kang nguripi, sapa kang diuripi. Hidup ada yang menghidupkan; yang menghidupkan ada yang dihidupkan. Siapa yang menghidupkan, siapa yang dihidupkan. Semuanya dicirikan melalui tri tangtu dina raga berupa: tekad, ucap, dan lampah yang dibahasakan ke dalam berbagai medium: bahasa (lisan-tulisan), gerak, bunyi, rupa dan arsitektur; falsafah, mitos, dan adat-istiadat. Ke mana jalan kita pulang adalah sewang-sewangan (masingmasing). Karena sewang-sewangan, maka nu pondok tong dipanjangkeun, nu panjang tong dipondokeun (yang pendek jangan dipanjangkan, yang panjang jangan dipendekkan). Biarkan berjalan sebagaimana adanya, sesuai dengan kepercayaan masing-masing, karena tujuan kita sebenarnya satu. Pulang ke 'asal’ yang 'mengasalkan', yakni Nu Dipigusti oleh masingmasing orang.

Foto: Humas Bappeda

Makna Ritus Seren Taun Seren Taun adalah sebuah pesta masyarakat agraris yang dimaksudkan untuk merayakan pergantian taun saka Sunda, juga refleksi bernuansa spiritual. Bumi, air, angin, api, rerumputan, pepohonan, mereka jadikan sebagai bagian dari hidupnya yang harus dipelihara dan diberi hak hidup sesuai dengan fitrahnya masingmasing. Tak terkecuali hama tetanen yang oleh sebagian besar petani senantiasa dibunuh dan malah berusaha untuk dimusnahkan, namun bagi masyarakat Cigugur, hama-hama itu tidak serta merta dibunuh. Mereka sengaja membiarkan hama itu tetap hidup dengan pemikiran yang amat bijak. Bahwa mereka pun punya hak hidup dan punya bagian dari apa yang selama ini diklaim sebagai hak kita. Padahal, hama itu hanya mengambil sebagian dari milik kita yang tak seberapa besar dibandingkan dengan yang diperoleh. Jadi, pemikiran mereka yang amat bijaksana itu pada dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan hidup di alam raya ini. Dalam ritus Seren Taun banyak terkandung hal-hal yang dapat dipetik bagi penyadaran setiap orang akan makna atau arti hidup di dunia ini. Mereka bersyukur dan bergembira atas berkat yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa dengan berbagai caranya sendiri. Ada yang menari, menyanyi, menabuh gamelan, menangis, dan sebagainya. Ekspresi kegembiraan itu dilampiaskan dengan berbagai cara yang sangat unik. Bumi dan isinya dihormati. Hidup mereka dipelihara dengan penuh kehidmatan sambil tak lupa mengabdi pada Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Esa.

Seren Taun di Kasepuhan Adat Sirna Resmi Jawa Barat patut berbangga memiliki masyarakat yang setia pada adat-istiadat. Adat adalah norma, yang menuntun mereka untuk hidup dengan bijaksana. Hormat dan berbakti pada ibu bumi, bapa langit, yakni ibu anu teu ngandung dan bapak nu teu ngayuga. Menghormati dan berbakti kepada kedua hal itu harus setara dengan berbakti kepada sebenarbenarnya Ibu-Bapak yang melahirkan. Mereka sangat sadar atas kehadirannya di dunia bahwa hidup itu sebenarnya hanya untuk berbakti pada yang “Mengadakan” dirinya. Mereka juga sangat sadar dan faham, bagaimana bersyukur atas pemberian dari yang “Mengadakannya”, Tuhan Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

79


Yang Maha Kuasa. Mereka amat mafhum, bagaimana menyatukan dirinya dengan bumi dan langit serta isinya. Hidup penuh keserasian, menjauhkan dirinya dari kerusakan jagat dan moral kehidupan. Dewi Padi, Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang disakralkan dan dirayakan itu, hanyalah sareat untuk mencapai makrifat, tingkat kehidupan yang tinggi. Sri bukanlah mitos, melainkan diri kita sendiri. Masih ada kampung dan desa yang menjaga dan merawat jagat kahirupan, serta melaksanakan nilai-nilai kehidupan yang hakiki dengan setia melalui Sérén Taun. Bagi masyarakat di wilayah Jawa Barat dan Banten, ritual ini sudah tak asing lagi. Contoh nyata terjadi di Kampung Adat Kasepuhan Sinar Resmi yang merupakan sebuah institusi yang mengajarkan kearifan hidup. Kampung tempat bagi setiap orang bisa belajar tentang bagaimana ngarumat jagat kahirupan. Kampung tempat kita menimba pengetahuan, dan memahami adab bercocok tanam dan tasawuf bertani. Tata cara dan pelaksanaannya berbeda-beda sesuai dengan tradisinya. Demikian pula waktunya, berpatokan setelah panen, antara bulan Juli s/d Oktober. Pada bulan Juli, tepatnya tanggal 21-23-2017, mereka melaksanakan ritus tersebut pada masa ponggokan, yaitu masa reureuh gawe (tidak bekerja/bertani). Sebelum ritus dilaksanakan terlebih dahulu diadakan sebuah riungan (obrolan) dengan tema: nyoreang alam ka tukang, refleksi kehidupan tahun yang sudah dilalui. Dalam nyoreang alam ka tukang, Abah Asep Nugraha (Kasepuhan Sinar Resmi) menegaskan niatnya untuk tetap menjaga dan melaksanakan adat tatali paranti yang diwariskan leluhurnya. Ia akan tetap menanam padi heubeul (varietas lama) yang umur tanamnya panjang (antara lima sampai dengan enam bulan) dan tak akan menggantinya dengan varietas baru yang umur tanamnya singkat sekitar tiga bulan). Menurutnya, Ibu Bumi (tanah) harus diperlakukan dengan bijak, diberi kesempatan untuk istirahat agar tidak merasa “lelah”. Demikian kata Abah Asep. Selama dua hari, acara diisi dengan hiburan berbagai jenis kesenian: Kiliningan, Jaipongan, Dangdut, Angklung Dogdog, dan lain-lain. Siang dan malam hari itu, kampung adat hingar-bingar. Dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah. Sedangkan puncak hiburan (Sabtu malam, 22 Juli)

80

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

adalah penampilan wayang golek dengan dalang Dadan Sunandar Sunarya, Putra Giri Harja 3. Sedangkan acara puncak dilaksanakan pada hari Minggu, 23 Juli, yakni dengan Ritual Ngampihkeun Pare ka Leuit atau Netepkeun. Di tempat lain disebut dengan Nginebkeun. Padi diarak dan di bawa dengan dipikul oleh rengkong dan ada pula yang dipikul biasa, diiringi dengan beberapa jenis kesenian, angklung dan Jipeng. Sebelum padi diampihkeun, dilaksanakan atraksi debus dan laés. Setelah itu baru sesepuh kampung adat menuju Leuit Jimat diiringi Baris Olot dan para tamu undangan untuk memasukkan padi ke Leuit Jimat (Lumbung Pusaka). Padi yang dimasukkan ke lumbung (leuit) itu dimaksudkan sebagai jaga lanti (menghindari kelaparan), yakni lumbung penyimpanan yang sewaktu-waktu bisa dipinjam jika ada masyarakat yang membutuhkannya. Hal ini disebut nyimat, atau meminjam. Isi Leuit Jimat itu adalah padi jekat, yakni padi yang diberikan incu-putu (anak cucu). Jumlahnya sapocong (seikat) dari setiap kepala keluarga dari jumlah penghasilan 50 pocong.

Foto 1 dan 2 Padi diarak, dipikul beriringan, sebagian dipikul dengan rengkong untuk dimasukan ke dalam leuit jimat (Foto: TAS-2017)


Di depan Leuit Jimat, Kasepuhan Abah Asep Nugraha, duduk bersimpuh seraya memakan sirih-pinang, kemudian berdoa dan selanjutnya memasukkan ikatan padi ke leuit, disusul oleh para tetua kampung adat dan para tamu undangan. Satu-persatu ikatan padi itu dimasukkan ke dalam leuit. Setelah padi masuk ke dalam leuit, ritus Ngampihkeun pun selesai dilaksanakan. Itulah puncak dari Ritual Seren Taun.

Foto 3 dan 4 Berdoa Sebelum Memasukan Padi ke Leuit Jimat oleh baris olot dan para tamu (Foto: TAS-2017)

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

81


Foto 5 dan 6 Foto Masukin Padi ke LeuitJimat oleh baris olot dan para (Foto: TAS-2017)

Nyi Pohaci Sanghiyang Sri Padi, yang diyakini sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Sri dirayakan, dirumat, dihormati, serta dirituskan sedemikian rupa. Padi adalah Sri. Menurut mereka, Sri adalah Seri atau Sarua. Sri sama dengan diri kita sendiri. Padi adalah sumber dan inti kehidupan dan tetanen yang satu ini sangat disakralkan. Menyakralkan padi atau Sri sama dengan menyakralkan diri kita. Mudah dipahami dan pantaslah jika padi tidak boleh diperjualbelikan. Dalam kesempatan tertentu Abah Asep Nugraha menuturkan bahwa: “menjualnya setara dengan dosa pembunuhan.� Menjual padi tak ubahnya dengan menjual kehidupan diri kita sendiri. Di Sinar Resmi, padi terkait dan terikat oleh tri tangtu, hukum tilu (tiga ketentuan), a particular law (hukum tak tertulis) dan salah satu dari tiga ketentuannya tidak boleh dilanggar. Padi diyakini hanya sebagai alaeun, teundeuneun dan dahareun (hanya untuk dipanen, disimpan, dan dimakan). Dalam hukum tilu itu, tidak ada kata jualeun. Menjualnya (termasuk nasi) dilarang. Karena itu, jika seseorang melanggarnya maka ia dianggap telah melakukan “kejahatan�. Demikian pernyataan Abah Asep Nugraha.

82 Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Padi adalah sumber dan inti kehidupan dan tetanen yang satu ini sangat disakralkan. Menyakralkan padi atau Sri sama dengan menyakralkan diri kita. Sejatinya padi bukan tidak boleh dijual, namun masyarakat sangat patuh akan petuah leluhurnya, Abah Arjo, yang berpesan: maraneh meunang ngajual pare, mun eta pare teh cukup keur dahar tilu taunneun. Padi boleh dijual jika sudah dianggap cukup untuk makan selama tiga tahun. Pesan itu mengandung makna, sebagai peringatan kepada masyarakat untuk berjagajaga jika terkena musibah kekeringan (paila gede) dan terjadi gagal panen. Konsep pemikiran tradisi tersebut sangat kontradiktif dengan konsep pemikiran masyarakat di luarnya yang menjadikan padi/beras sebagai salah satu komoditi yang bernilai ekonomis, yang dapat diperjualbelikan. Di sekitar Sinar Resmi Anda jangan harap ada warung yang jualan beras atau nasi. Jika Anda lapar dan ingin makan, berkunjunglah ke Abah Asep, Anda tak akan susah makan.


Foto-foto: Istimewa

Penutup Seren Taun merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah swt. atas limpahan berkah dan hidayah-Nya, yakni berupa panen yang telah dilaksanakan. Ritual ini merupakan ekspresi luapan kegembiraan masyarakat serta ajang integrasi sosial hingga orang datang dengan berbagai komunitas dari berbagai pelosok yang dekat maupun jauh. Seren Taun hendaknya dimaknai sebagai hal yang wajar, karena esok hari atau lusa, semua keceriaan dan kebahagiaan itu hanya berlaku sesaat, hilang, dan berganti lagi menjadi kesulitan dan kesusahan. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran surat Al-Insyirah ayat lima dan enam. Sungguh di balik kesulitan ada kemudahan, di balik kesulitan ada kemudahan. Itulah hidup, senantiasa dimulai dengan kesusahan dan berakhir dengan kebahagiaan. Pola hidup itu merupakan siklus: awal itu adalah akhir, dan akhir itu adalah awal. Hidup adalah harapan dan ketakutan. Harapannya mendapat kebahagiaan, dan ketakutannya mendapat kesulitan. Bagi petani, harapan itu adalah panen yang mucekil (berlimpah) dan ketakutannya adalah panen yang gagal.

Daftar Pustaka Bustanuddin Agus. 2007. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta, Raja GraďŹ ndo Persada. Imam Suprayogo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung, Remaja Rosda Karya, Koentjaningrat 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta, UI Press. Koentjaningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. Dian Rakyat.

Nara Sumber Asep Nugraha. Juli 2018. “Komunikasi Pribadi�. Kasepuhan Adat Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi..

Internet https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

83


R E H AT

16 Persen Desa Wisata Pulau Jawa-Bali Berada di Jawa Barat 84

Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


P

ariwisata merupakan salah satu sektor penting dalam peningkatan pendapatan nasional maupun daerah sehingga menjadi lokomotif dalam meningkatkan sektor-sektor lainnya. Nilai transaksi ekonomi yang diciptakan sebagai akibat kegiatan pariwisata (direct economic transaction) pada tahun 2017 mencapai Rp 634,0 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 8,40 persen dibanding tahun 2016 yang sebesar Rp 584,89 triliun (Nesparnas hal 52, 2017). Selain itu berdasarkan data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja yang terserap di sektor usaha-usaha pariwisata terus meningkat. Bukan hanya dari jumlah tenaga kerja, share terhadap penyerapan tenaga kerja nasional juga terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata dapat dijadikan salah satu alternatif pengurangan tingkat pengangguran. Pada tahun 2017 jumlah tenaga kerja di sektor industri pariwisata mencapai 12,74 juta orang atau 10,53 persen terhadap total tenaga kerja nasional yang berjumlah 121,02 juta orang (Nesparnas hal 64, 2017). Dari aspek sosial, masyarakat disekitar daerah pariwisata akan terdorong memiliki keterampilan berbahasa daerah lain atau berbahasa asing agar dapat berinteraksi dengan para pendatang sehingga menimbulkan rasa bangga akan pariwisata di daerahnya dan tergerak untuk berpartisipasi aktif melestarikan pariwisata tersebut. Adapun dari aspek budaya, terjadi interaksi budaya antara budaya lokal dengan budaya pendatang yang akan membawa mereka pada rasa saling menghargai satu sama lain.

Foto: Istimewa

Oleh Hj Widhy Kurniatun Kasie Pengolahan dan Analisis Data, Diskominfo Prov. Jabar

Amin Nurhayati Staf Pengolahan dan Analisis Data, Diskominfo Prov. Jabar

Menurut WTO (1999:5), Tourism-activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leasure, business and other purposes; Pariwisata adalah kegiatan manusia yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya, perjalanan wisata ini berlangsung dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun secara berturutturut untuk tujuan bersenang- senang , bisnis dan yang lainnya. Sedangkan menurut Undang Undang RI nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

85


Foto: Istimewa

mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Terdapat berbagai jenis pariwisata yang dikelompokkan berdasarkan tujuan atau motif seseorang atau kelompok yang melakukan perjalanan wisata. Berikut jenis-jenis Pariwisata menurut (Spillane, 1987): (1) Pariwisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism);(2) pariwisata untuk rekreasi (recreation tourism); (3) pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism); (4) pariwisata untuk olahraga (sports tourism); (5) pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism) dan (6)pariwisata untuk berkonvensi (convention tourism). Sebagai salah satu destinasi pariwisata kebudayaan, desawisata memiliki daya tarik wisata yang kuat. Pariwisata Inti Rakyat (PIR) dalam Hadiwijoyo (2012), mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan pedesaan yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, kehidupan sehari-hari, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan minuman, dan kebutuhan wisata lainnya. 86 Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Mengawinkan “Desa” dengan “Pariwisata” yang menghasilkan keturunan bernama “Desa Wisata” di tanah air (Sambutan Presiden Republik Indonesia pada pembukaan Puncak Sail Selat Karimata 2016 dalam Liputan6.com). Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Wiendu, 1993). Terdapat dua konsep yang utama dalam komponen desa wisata, yaitu :

1

Akomodasi : sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.

2

Atraksi : seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti : kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik. Sedangkan Edward Inskeep, dalam Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach, hal 166 memberikan definisi: Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and local


environment.“Wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desadesa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat”.

Tipe Desa Wisata Menurut pola, proses dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata di Indonesia sendiri, terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka.

yang didapat dari wisatawan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit dikendalikan. Sebagai contoh : kawasan Prawirotaman, Yogyakarta.

Jenis Wisatawan Pengunjungan Desa Wisata

a) Tipe Terstruktur (enclave)

Karena bentuk wisata pedesaan yang khas maka diperlukan suatu segmenpasar tersendiri. Terdapat beberapa tipe wisatawan yang akan mengunjungi desa wisata ini yaitu :

Tipe terstruktur ditandai dengan karakterkarakter sebagai berikut:

Wisatawan Domestik

1

Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini mempunyai kelebihan dalam citra yang ditumbuhkannya sehingga mampu menembus pasar Internasional.

Wisatawan Domestik,terdapat tiga jenis pengunjung domestik yaitu :

1

Wisatawan atau pengunjung rutin yang tinggal di daerah dekat desa tersebut. Motivasi kunjungan : menguji kerabat, membeli hasil bumi atau barang-barang kerajinan, pada perayaan tertentu. Pengunjung tipe pertama ini akan memadati desa wisata tersebut.

2

Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat atau penduduk lokal sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya diharapkan terkontrol. Selain itu pencemaran sosial budaya yang ditimbulkan akan terdeteksi sejak dini.

3

Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, sehingga diharapkan akan tampil menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana Internasional sebagai unsur utama untuk “menangkap” servis-servis dari hotel berbintang lima.

Salahsatu contoh desa wisata tipe ini ada di kawasan Nusa Dua, Bali dan beberapa kawasan wisata di Lombok Pedesaan tersebut diakui sebagai suatu pendekatan yang tidak saja berhasil secara nasional , melainkan di tingkat Internasional. b) Tipe Terbuka (Spontaneus) Tipe ini ditandai dengan karakter-karakter yaitu tumbuh menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal. Distribusi pendapatan

2

Wisatawan dari luar daerah (luar provinsi atau luar kota), yang transit atau lewat dengan motivasi,membeli hasil kerajinan setempat.

3

Wisatawan domestik yang secara khusus mengadakan perjalanan wisata ke daerah tertentu, dengan motivasi mengunjungi daerah pedesaan penghasil kerajinan secara pribadi.

Wisatawan Mancanegara

1

Wisatawan yang suka berpetualang dan berminat khusus pada kehidupan dan kebudayaan di pedesaan. Umumnya wisatawan ini tidak ingin bertemu dengan wisatawan lainnya dan berusaha mengunjungi kampung dimana tidak begitu banyak wisatawan asing.

2

Wisatawan yang pergi dalam grup (didalam suatu biro perjalanan wisata). Pada umumnya mereka tidak tinggal lama di dalam kampung dan hanya tertarik pada hasil kerajinan setempat. Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

87 89


3

Wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi dan hidup di dalam kampung dengan motivasi merasakan kehidupan di luar komunitas yang biasa dihadapinya.

Berdasarkan data Statistik Potensi Desa (PODES) Indonesia Tahun 2018, Indonesia memiliki 1.734 desa wisata yang tersebar di masing-masing Kepulauan di Indonesia. Di Pulau Jawa-Bali menempati posisi tertinggi dengan 857 desa wisata, Sumatera 355 desa, Nusa Tenggara 189 desa, dan Kalimantan 117 desa. Selain itu, Pulau Sulawesi tercatat sebesar 119 desa, Papua 74 desa, dan Maluku sebanyak 23 desa. Berikut Gambar 1. Jumlah Desa Wisata menurut Kepulauan di Indonesia Tahun 2018.

Jumlah Desa Wisata Menurut Kepulauan di Indonesia Tahun 2018

Sumber: Statistik Potensi Desa Indonesia 2018, data diolah Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat

Program desa wisata yang dibentuk pemerintah secara langsung telah mampu melibatkan masyarakat lokal dalam aktivitas pariwisata dan menggeser anggapan bahwa masyarakat lokal hanya mendapat sisa-sisa dari aktivitas pariwisata. Desa wisata memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mengelola wilayahnya sesuai dengan keotentikan desa.

desa wisata yang tersebar di Jawa Barat. Dapat dikatakan pula, total dari 857 desa wisata di Pulau Jawa-Bali; 16 persennya berada di Provinsi Jawa Barat. Namun jumlah tersebut masih terbilang rendah bila dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana masing-masing memiliki desa wisata sebanyak 262 desa dan 236 desa.

Provinsi Jawa Barat memiliki banyak desa wisata yang menarik untuk di kunjungi. Berdasarkan data Statistik Potensi Desa (PODES) Provinsi Jawa Barat Tahun 2018, terdapat 138

Desa wisata di Jawa Barat tersebar di 19 Kabupaten/Kota. Berikut merupakan jumlah desa wisata menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2018 dapat dlihat pada gambar 1.1.

88 Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019


Jumlah Desa Wisata Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat

Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Barat 2018, data diolah Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan Gambar 1.1. dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) wilayah dengan jumlah desa wisata tertinggi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi dengan 31 desa wisata, disusul Kabupaten Bogor dengan 22 desa wisata dan Kabupaten Subang dengan 15 desa wisata. Gambar 1.1. juga menunjukkan terdapat 3 (tiga) Kabupaten dan 5(lima) Kota di Jawa Barat yang tidak memiliki desa wisata. Sebagai Kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa, lumrah saja Kabupaten Sukabumi memiliki banyak desa wisata. Kabupaten dengan 47 Kecamatan ini, memiliki 31 desa wisata yang tersebar di 10 Kecamatan.Sementara 22 desa wisata di Kabupaten Bogor tersebar di 12 Kecamatan. Adapun 15 desa wisata di Kabupaten Subang tersebar di 10 Kecamatan. Berikut Gambar 1.3 Desa Wisata Cibuntu dan Gambar 1.2 Curug Gongseng Desa Cibuntu. Foto: Istimewa

Desa Wisata Cibuntu

Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019 Warta Bappeda

89


Foto: Istimewa

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2019). Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS) 2017. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Potensi Desa Indonesia 2018. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Potensi Desa Provinsi Jawa Barat 2018. Jawa Barat : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Blogspot. 2015. Tentang Desa Wisata Cibuntu. http://desawisatacibuntu.blogspot.com/2015/04/t entang-desa-cibuntu.html. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, n.d. https://desawisatajabar.com/desawisata/desawisata-cibuntu. Hadiwijoyo, Surya Sakti. (2012). Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat (Sebuah Pendekatan Konsep). Yogyakarta : Graha Ilmu. Inskeep, Edward.1991. Tourism Planning And Suistainable Development Approach. New York : Van Nostrand Reinblod. Curug Gongseng Desa Cibuntu

Desa wisata Cibuntu yang terletak di Kecamatan Pesawahan, Kabupaten Kuningan dapat menjadi percontohan untuk desa wisata lainnya di Jawa Barat sebab sudah mendapatkan pengakuan sebagai desa wisata terbaik urutan lima tingkat ASEAN pada 2016 untuk bidang homestay dan urutan dua di Indonesia dalam ajang Community Based Tourism (CBT) Kementerian Pariwisata Indonesia. Potensi wisata di Desa Cibuntu diantaranya Curug Gongseng, Seni Angklung, Seruling Craft dan Kue nastar Bungkies.

Kesimpulan Total dari 857 desa wisata di Pulau Jawa-Bali; 16 persennya berada di Jawa Barat atau terdapat 138 desa wisata di Jawa Barat. Desa wisata tersebut tersebar di 19 Kabupaten/Kota namun jumlah tersebut masih berada dibawah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kabupaten/Kota yang memiliki desa wisata terbanyak di Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Subang masing-masing memiliki 31, 22, dan 15 desa wisata. 90 Warta Bappeda Volume 31 Nomor 121 Tahun 2019

Liputan 6. 2016. Kemenpar dan Kemendes Bakal Kolaborasi Bangun Desa. Diambil dari https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2627971/ kemenpar-dan-kemendes-bakal-kolaborasibangun-desa-wisata Spillane J.J. (1987). Pariwisata Indonesia Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta : Kanisius. Wamad, Sudirman. (2017). Keren! Desa Cibuntu Kuningan Terbaik di ASEAN dan Indonesia. Diambil dari https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d3752876/keren-desa-cibuntu-kuningan-terbaikdi-asean-dan-indonesia. Nuryanti,Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 2-3).



bappeda.jabarprov.go.id

e-mail: wartabappedajabar@yahoo.com

Foto:Pantai Putih Pangandaran - Humas Bappeda

sumber informasi perencanaan pembangunan jawa barat C Bappeda Jabar

@bappedajabar

@bappedajabar

Bappeda Provinsi Jawa Barat


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.