Beranda #4 Ruang Nirbatas

Page 1

Edisi #4 Juni 2016

BERANDA perempuan bercerita ~ ruang nirbatas


Beranda Tim Editor Anastasia Widyaningsih Apriani Sarashayu Rofianisa Nurdin Sri Suryani Kontributor Anindita Aulia Apriani Sarashayu Astrid Septriana Fath Nadizti Ferima Puspita Dewi Fransiska Damaratri Mulia Idznillah Rofianisa Nurdin Sinta Mahardita Siti Amrina Rosada Sri Suryani Wahyu Kusuma Astuti

Adalah tempat perempuan bercerita. Dalam sebuah sore menuju petang; mengulas hal-hal keseharian ditemani secangkir teh dan penganan ringan buatan sendiri. Bersama keluarga, tetangga, kerabat, maupun seseorang yang sedang dekat. Beranda adalah tempat dialog dan argumen bertemu. Tempat kompromi didiskusikan dan keraguan diutarakan, (tempat) mengekspresikan pemikiran dari sudut pandang perempuan. Di Beranda kita menyapa, untuk sekadar mampir ataupun tinggal. Dalam derap langkah yang gegas ataupun hati yang terbuka, kelak di Beranda, kita akan bertemu kembali.

Foto Sampul Mulia Idznillah Tata Letak & Grafis Anastasia Widyaningsih

Kontak kami cerita.diberanda@gmail.com di-beranda.tumblr.com

Karya dan tulisan yang dimuat di Beranda merupakan pendapat pribadi kontributor yang bersangkutan, dan tidak mencerminkan keseluruhan isi Beranda maupun pendapat kontributor-kontributor lainnya. Dilarang menggunakan karya atau tulisan tanpa ijin dari Beranda.

Edisi #4 Juni 2016


#4

Ruang Nirbatas EDITORIAL

Sesungguhnya frasa ruang nirbatas, atau ruang tanpa batas, begitu problematis karena ruang itu sendiri dibentuk oleh batas. Sejak gagasan tentang ruang muncul, bahasa ‘ruang’ berkembang melingkupi ranah fisik, tapi juga meta-fisik dan non-fisik. Jika ditelusuri lebih jauh, batas yang membentuk ruang dapat dimaknai atau berubah menjadi begitu cair dan lentur, atau keras membatu, bahkan mewujud ruang yang lain. Bukankah tak ada ruang yang berdiri sendiri di semesta ini, seperti halnya batas yang menciptakannya? Lantas bagaimana rekonstruksi ruang itu dipahami atau terjadi? Melalui pertanyaan ini, Beranda mencoba melakukan eksplorasi kreatif tentang makna ruang dan batas itu sendiri. Apakah batas itu muncul dari pengalaman? Astrid Septriana menuangkan kisah di Negeri Tanah Api yang membawa makna batas pada hidup keseharian yang komparatif pada ‘Bicara Ruang, Bicara Batas’. Batas pun dapat begitu halus dan lekat dengan manusia yang membangunnya. Cerita Sinta Mahardita dalam ‘Ada Partisi Dalam Koneksi’ meminta kita untuk sejenak menjaga jarak dari batas tak tampak di sekitar atau bahkan dalam diri kita. Narasi Mulia Idznillah dengan kolase foto yang menyentil bentuk materi batas oleh perspektif pengamat, ‘Karena Batas Selalu Diciptakan’, menegaskan sisi politis ruang ini. Apakah ini juga adalah tentang perspektif? Jika begitu, maka batas menyentuh ruang materi maupun imateri. Fransiska Damaratri mengetengahkan dinamika temporer yang dialami pada ruang interaksi, saat ia meniadakan batas sunyi dalam ‘Yang Tidak Pernah Selesai Dan Tidak Diam’. Dari sini, 3


makna batas menjadi sangat konseptual, menyentuh ranah ruang ide dalam diri manusia. Wahyu Kusuma Astuti mengangkat kemungkinan kreativitas yang justru muncul dalam keterbatasan dengan pertanyaan: ‘Kampung: Sebuah Manifestasi Oeuvre?’ dilengkapi rekaman peristiwa melalui foto karya Ferima Puspita Dewi. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh Sri Suryani. Ia menggali lebih dalam ruang ini dengan refleksi kritisnya dalam ‘Harapan: Sebuah Ruang Nirbatas?’ mengenai ruang-ruang yang jauh dan tak mengenal dimensi, tapi juga digelayuti realitas. Kemudian, kita memasuki ruang yang jamak. Ruang yang dibentuk oleh kehadiran, aktivitas, dan kerumunan intim. Anindita Aulia, melalui ‘Ruang Bisa Digambarkan’, membawa pengakuannya akan ruang ‘antara’ yang juga adalah ruang sosial dan menjadi cerita khas kota Yogyakarta. Dari Yogya kita bergerak ke Milan, dimana Apriani Kurnia Sarashayu mengisahkan ‘pasar kaget’, yang ia sebut ‘Tactical Urbanism’, memberi warna akan geliat warga kota mengelola diri sekaligus mencipta suasana. Batas pun direkonstruksi oleh penerimaan dan perayaan bersama. Ia menyentuh dimensi spasial, sosial, dan politik. Ia juga menggugah posisi untuk memandang ruang dengan keluar dari batas ‘aturan’. Lantas, batas menjadi bentuk subjektivitas yang menciptakan dimensi-dimensi tersebut. Rofianisa Nurdin melalui ‘Kisah Hong Kong’ memaparkan bagaimana batas dan subjek akan lekat dan lepas dari identitas yang menggerakkan kolektivitas dalam suatu kota, bahkan negara . Relativitas dalam batas juga diperkenalkan oleh Siti Amrina Rosada yang bercerita tentang kemampuan ‘Mereka Yang Mengurai Semesta Yang Dibatasi’ dengan memperkenalkan entitas baru yang memiliki subjektivitas berbeda. Cerita tentang subjektivitas batas ini ditutup oleh Fath Nadizti dengan ‘Berpikir Berdoa’, betapa batas itu tak ada di ruang antara manusia dan Dia yang Mencipta. Selamat memaknai batas dengan cerita di Beranda!

Sri Suryani 4


06

BICARA RUANG, BICARA BATAS teks dan foto: Astrid Septriana ADA PARTISI DALAM KONEKSI teks: Sinta Mahardita

11

16

KARENA BATAS SELALU DICIPTAKAN foto: Mulia Idznillah

22

YANG TIDAK PERNAH SELESAI DAN TIDAK DIAM teks: Fransiska Damaratri

26

KAMPUNG: SEBUAH MANIFESTASI OEUVRE? teks: Wahyu Kusuma Astuti foto: Ferima Puspita Dewi

30

HARAPAN: SEBUAH RUANG NIRBATAS? teks & ilustrasi: Sri Suryani

36

RUANG BISA DIGAMBARKAN teks & ilustrasi: Anindita Aulia

38

TACTICAL URBANISM teks & ilustrasi: Apriani Sarashayu

40

KISAH HONG KONG teks & ilustrasi: Rofianisa Nurdin

47

50

54

MEREKA YANG MENGURAI SEMESTA YANG DIBATASI teks: Siti Amrina Rosada BERPIKIR BERDOA teks: Fath Nadizti PROFIL KONTRIBUTOR 5


BICARA RUANG, BICARA BATAS

Pengalaman Awal Merasakan Hidup di Negeri Tanah Api TEKS DAN FOTO: ASTRID SEPTRIANA

Yanar Dag, 2016. 6


Beberapa bulan lalu ketika saya masih tinggal di Jakarta, saya hanya bisa jadi satu dari jutaan warga lainnya yang marah akan kepadatan, keterbatasan ruang gerak, dan kesal terhadap sesama pengguna ruang. Tapi entah, marah pun hanya terbit menjadi uap di dalam diri sendiri, karena tak tahu mau ditujukan kepada siapa? Tingginya angka populasi? Tidak meratanya pembangunan? Pemerintah? Atau bahkan Tuhan? Sehingga lebih baik diam dan mengeluh dalam jendela-jendela sosial media, kan? Lalu saya memutuskan untuk hengkang dari Jakarta, hingga beberapa tahun ke depan. Kini saya tinggal di ibukota negeri tanah api, Baku, Azerbaijan. Jauh dari kota kelahiran, membuat saya dapat membandingkan absensi dan presensi satu dengan lainnya. Melihat Jakarta dari Baku, saya menyimpulkan satu kata untuk Jakarta, ramai. Kontras dengan Jakarta, kota Baku ini jumlah penduduknya tak seberapa. Di sini saya mulai menginterpretasikan kembali soal ruang, juga konteks zaman. Saya seperti memasuki lorong waktu, pindah dari satu peradaban ke peradaban sebelumnya. Di Jakarta, untuk usia produktif seperti saya, dosa rasanya jika tidak sibuk. Ditambah lagi dengan kurangnya ruang hijau publik. Sementara Baku adalah kota bagi para penanti. Kamu bisa melamun (tanpa merasa dosa) di bangku taman yang ada di salah satu dari sekian banyak taman dan menantikan entah kerabat atau sekadar kenalan untuk singgah. Dengan waktu siang yang lebih panjang jika dibandingkan Jakarta, maka segala sesuatu berjalan lebih tidak tergesa-gesa. Menikmati desiran angin laut Kaspia dari beberapa pucuk kota, yang terbuka untuk umum, juga merupakan salah satu untuk pilihan meng7


habiskan waktu yang menyenangkan dan tentunya murah. Seorang kenalan di sini pernah bilang, bahwa angka kriminalitas di kota ini termasuk rendah, entah berpengaruh atau tidak tapi kota ini termasuk - yang jika saya memetik perkataan Banksy -“CCTV Everywhere!”. Mungkin dengan lengangnya kota ini dan dengan sedikitnya penduduk yang ada, konsep Panopticon dapat diadaptasi dengan lebih efektif. Ada sisi-sisi mereka yang takut melanggar, takut mengkritik karena ada satu bentuk penguasa yang utuh. Tapi jangan bayangkan kota ini seperti ‘Lego City’, istilah yang suka saya pakai untuk menggambarkan beberapa negara percontohan yang kecenderungannya non-majemuk, di mana warganya bak memakai kacamata kuda karena masih ada rasa-rasa ketidakteraturan, seperti Jakarta. Di sini orang-orangnya tahu peraturan, berusaha taat. Tapi seperti yang saya bilang, ber-u-sa-ha, ya masih banyak alpanya. Dalam kondisi berlalu lintas misalnya, kebat-kebut ala ‘Formula Bir’, putar kiri-kanan seenaknya bahkan lawan arah sesuka hati. Lucu betul kondisi ini. Tak heran Formula One dihelat di sirkuit jalanan kota Baku, ~ wong driver di sini sembalap semua. Dengan menempati tempat baru, artinya karakter juga harus siap dibendung ya. Kata-kata usang seperti zona nyaman atau titik nol di sini jadi terpakai lagi. Jakarta yang tampak kacau-balau, rumit, ramai, pokoknya terkesan blangsak banget itu, adalah zona nyaman saya. Zona nyaman dari rasa sepi, rasa sendiri, di mana saya bisa bersembunyi dibalik kesibukan ini-itu; bertemu dengan kawan yang satu atau yang satunya lagi; pergi ke sana atau main di sini, hingga akhirnya kadang saya merasa kehilangan substansi dari makna pertemanan itu sendiri. Di kala ramai ala anak Jakarta ini kadang saya selalu merayakan nyamannya menghabiskan waktu hingga pagi sendiri. Untuk menonton, menulis, atau mendengarkan lagu, membiarkan isi kepala berpencar sejenak. Momen seperti ini adalah hal mewah untuk saya saat itu. 8


Di sini, kebalikannya, berkumpul, bergerumul, bersosialisasi adalah kelangkaan, jadi tampak seperti momentum yang perlu saya hidupi sungguh-sungguh. Senang ternyata mendengar gelak tawa orang lain, senang ternyata menertawakan kehidupan dengan ‘yang ngerti-ngerti’ aja. Tapi pada akhirnya saya menyadari, bahwa kesendirian tidak menjadi suatu momok yang membuat hati saya perih. Saya ‘kan sudah terlatih untuk menciptakan waktu berefleksi dalam kesendirian ketika masih di Jakarta dulu, jadi sendiri tak pernah tampak menakutkan. Di sini apa yang disebut upaya menjadi jelas; titik nol, berusaha, merintis, hingga semangat itu bahkan hampir menjadi terlalu nyata, bukan lagi kiasan atau penamaan semata. Saya pernah terbangun di suatu pagi di kota Baku dan dapat merasakan betul bahwa rasa semangat saya sedang tak hadir bersama pagi. Dan dengan begitu, saya pun mulai berlatih untuk menjaga pikiran saya agar tak menyinggung lagi si rasa semangat itu. Saya menyadari pada beberapa titik, saya menjadi lebih mengenal karakter diri saya, lebih berani berekspresi dan menentukan posisi akan suatu peristiwa. Di zona nyaman tadi, saya kadang bisa lebih mudah memilih untuk mundur, diam, atau bersembunyi di balik ini dan itu. Ketangguhan dan keyakinan juga sering kali ditantang oleh keadaan, tapi tak apa, saya suka. Mungkin dengan hidup terasing di negeri yang tidak populer seperti Azerbaijan ini, saya jadi punya waktu untuk berkenalan lebih dekat dengan diri saya sendiri, dan belajar memahami tiap ruang beserta batas-batasnya. 9


Bicara lagi soal popularitas suatu negeri, Azerbaijan pastinya bukan salah satu tujuan utama orang Indonesia untuk melancong apalagi menuntut ilmu ya. Artinya dengan memilih hidup di sini, kemungkinan saya dikunjungi teman atau keluarga juga semakin tipis. Tapi Azerbaijan ini menyenangkan, dengan merasa terasing seperti ini saya juga pada dasarnya meraih kilau-kilau kebahagiaan. Di sini bahkan ada kampus yang menyediakan program studi Indonesia dan ada perguruan pencak silat. Siapa yang tak hampir berkaca-kaca ketika melihat ini? Terpisah jarak 7 ribu kilometer di dataran yang tak pernah saya bayangkan, dan ternyata di sini sedikit banyak mereka mengenal nilai keindonesiaan. Cara mereka menyanjung budaya Indonesia dan Indonesia sebagai sebuah bangsa itu membuat saya kembali melihat bahwa negeri saya memang indah, kaya dan memiliki harapan besar di masa depan. Negeri saya seindah permata dan (tiba-tiba) saya, entahlah, semacam berjanji untuk dapat berkontribusi besar bagi negeri saya. Yang mana hal ini tampak begitu abu-abu, ambisius dan pretensius ketika saya masih berada di Indonesia. Tapi di sini, kecintaan saya terhadap ruang bernama Indonesia itu lebih bisa nyaring terdengar. Kini saya kembali belajar hidup, di negeri tanah api. Merintis apa yang perlu ada dan menuai apa yang sudah pernah dibuat. Ruang dan batasnya bak bicara diri dan bayangannya. Ada dan tak dapat ditangkap hanya dengan inderawi, tapi juga rasa dan titik pandang kita akan suatu hal. Saya belajar satu hal. Bahwa kita dapat terus melampaui keterbatasan yang disuguhi suatu ruang jika mimpi dan upaya keras terus menyala. 10


ADA PARTISI DALAM KONEKSI

TEKS: SINTA MAHARDITA

“Password wifi-nya apa ya, Mas?� Pernah, itu menjadi kalimat tanya favorit saya jika sedang bertandang ke sebuah kedai makanan – minuman atau kafe. Sejalan dengan berlalunya waiter atau waitress mencatat pesanan saya, mulailah saya membuka kanal-kanal informasi yang menghubungkan saya dengan titik-titik di ribuan kilometer sana. Bercumbu dengan internet layaknya traveling alih-alih piknik, tanpa rencana sejauh apa perjalanan berselancar akan tertelusuri. 2015. Saya pertama kali datang ke sebuah kedai kopi di Bandar Lampung ini dengan kikuk. Sendirian, pengunjung pun belum mulai berdatangan. Sudah ada seorang pria yang berjaga di balik meja bar, dan ketika saya datang, langsung disodorinya saya buku menu. Saya bolak-balik buku menu itu sambil duduk di salah satu kursi, dari halaman pertama sampai halaman terakhir, menunya banyak sekali. Kedai kopi ini menyediakan kopi hasil seduhan manual, dan pada saat itu, saya bahkan nggak hapal yang mana French Press dan yang mana Vietnam Drip. Akhirnya saya tutup buku menu, mendatangi barista jaga yang tadi, dan menunjuk (kalau tak salah) Flores Bajawa untuk diseduh dengan kertas saring atau setahu saya waktu itu disebut pour over. Usai memesan, saya duduk kembali dan mulai membuka ponsel. Sinyal tak stabil, membalas pesan pendek pun tak disambut centang tanda pesan berhasil terkirim. Alih-alih centang, waktu 11


rasanya berhenti. Ponsel ini sepertinya kurang berguna. Mulailah saya gelisah, dan akhirnya bertanya, “Kok sinyalnya jelek ya, Mas?” Barista jaga yang belakangan saya ketahui mahir menyeduh dengan tangan kiri ini hanya tertawa mengiyakan pertanyaan saya. Saya tidak tahu bagaimana kemudian kami saling berbagi cerita tentang pekerjaan masing-masing dan mengalirlah cerita tentang biji kopi dari hulu sampai hilir. Selama sekitar dua jam berikutnya, saya yang datang sendirian seperti tidak sendirian karena obrolan yang tak putus-putus. Sesekali, ya, dia harus ijin untuk membuatkan kopi pesanan pengunjung, sementara saya mengecek ponsel dan puluhan pesan serentak masuk namun saya tetap gagal membalas dengan cepat. Kedai kecil ini tampaknya memang setengah “memaksa” pengunjungnya untuk lebih betah bicara. Tentu bukan karena kesengajaan untuk meredam sinyal masuk ke dalam kedai, melainkan untuk mengajak kembali ke konsep “kedai kopi” klasik di mana orang datang karena dua hal: kecintaannya menyeruput kopi dan kebutuhannya untuk bersosialisasi. Hanya karena perubahan jaman, tujuan ke-2 menjadi sedikit bergeser. Meskipun datang ke kedai dan bertatap muka dengan manusia, hubungan dengan rekan di belahan dunia sebelah sana haruslah tetap lancar, akses laman yang menghibur hati atau melengkapi hobi pun selayaknyalah ada, dan tak lupa telepon genggam juga semestinya-lah tetap aktif memerima pesan-pesan “penting”. Tanpa disadari, sering kali ketidakterbatasan akses itu seperti tengah membangun dinding-dinding pembatas dengan orang-orang yang ada di depan hidung kita sendiri. 1 http://rumahinspirasi. com/tumbangnya-sinarharapan-jakarta-globe-koran-tempo-harian-bola/). 2 http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20151110090125 -185-90598/separuh-remaja-australia-menderitapenyakit-media-sosial/ 12

2016. Nielsen mencatat sepanjang tahun 2016, ada 16 surat kabar dan 38 majalah yang gulung tikar karena melajunya perkembangan era berita digital1. Sebelumnya di tahun 2015, Kompas Gramedia Gramedia pun dikabarkan menutup 9 anak perusahaan media miliknya1. Ada istilah yang populer disebut FOMO (Fear Of Missing Out)2, yakni ketakutan akan tertinggal informasi atas dampak


konsumsi media sosial yang tinggi yang terjadi di Australia sana. Ya, meskipun sampel yang diambil adalah muda-mudi di Australia, bukan tidak mungkin FOMO terjadi di berbagai tempat lainnya. Kecepatan akses dan keterbaruan adalah kebutuhan baru yang diinginkan generasi Y, meredam pamor media cetak jauh di bawah keterbacaan media digital yang dapat diakses secara mudah dan murah dengan internet. Sebagai akibatnya, keputusan menutup versi cetak pun diambil. Kebutuhan berselancar menjadi penting semenjak manusia menyadari bahwa pembelajaran bisa datang dari sudut dunia sebelah mana saja, dan sesuatu bernama “internet� memudahkan realisasinya. Namun ketika kebutuhan dan internet bersatu, tanpa disadari, partisi-partisi pembatas interaksi sosial mulai berdiri tegak dan mengikis kepekaan manusia.

Kafe Gudang Rupa, Bandar Lampung, @_thepopop (Intagram)

Ini adalah gambar yang terpajang di dinding di salah satu kedai makan-minum yang kerap saya kunjungi di Bandar Lampung. Meski menyediakan wi-fi, kedai ini tetap berupaya mengingatkan pelanggannya agar tak lupa dengan berinteraksi. Karena berinteraksi bisa menyajikan kehangatan dan membuka sudut pandang, bukan hanya wawasan seperti yang ditawarkan oleh koneksi internet Anda, bukankah demikian? Ya, itu menurut saya, sih. Saya jadi ingat adegan Joel dan Clementine di film Eternal Sunshine of the Spotless Mind di sebuah kedai yang dimulai dengan curi-curi pandang Joel yang canggung dan dibalas oleh tatapan penasaran Clementine. Untuk orang se-introvert Joel, bantuan media sosial tampaknya sangat perlu untuknya mengenali seseorang yang menarik perhatiannya, sekaligus membantunya memulai percakapan 13


panjang tanpa harus terlihat kikuk. Namun beruntungnya, Clementine yang ekstrovert membuatnya tidak perlu melakukan hal itu. Obrolan mencair secara alamiah, dan bertemulah mereka di satu titik yang mempertemukan ketertarikan satu sama lain. Kalau jaman sekarang? Saya pikir interaksi paling intensif untuk sebuah perkenalan pasti banyak dilakukan melalui media layanan ngobrol dibandingkan bertatap muka langsung. Media sosial yang didukung oleh keberadaan internet, kalau bahasa klasiknya “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat�. Akan selalu ada dua paham kontradiktif tersebut saat bicara mengenai internet dan interaksi. Jika hubungan penting itu terpisah jarak ribuan kilometer, maka keberadaan internet meretas batasan ruang dan waktu dengan lincah dan makin mendekatkan hubungan (yang secara fisik jauh). Sebaliknya, jika internet bisa mendekatkan sampai setaraf itu, bisa jadi, kedekatan secara fisik dengan sesama manusia malah menjadi sebuah anomali. Jaringan internet membuka wawasan dengan dunia global yang pergerakannya sangat sangat sangat (ya, tiga kali sangat) cepat. Kemampuan retas yang mengagumkan bukan, oleh sesuatu yang tak kasat mata bernama internet, tapi toh jika tak digunakan dengan bijak, hanya menyisakan ruang-ruang berbatas dalam interaksi sosial kita. Pada akhirnya, mengenali batasan di dalam ketidakterbatasan menjadi PR kita masing-masing untuk terus bergerak maju, bukankah demikian? Foto: Keiko Bahabia

Bandar Lampung, 29 Mei 2016 14


Halaman ini sengaja dikosongkan 15


KARENA BATAS

16


SELALU DICIPTAKAN.

17


18


FOTO: MULIA IDZNILLAH

19


20


21


YANG TIDAK PERNAH SELESAI DAN TIDAK DIAM

TEKS: FRANSISKA DAMARATRI 1 Sassen, Saskia 2013, ‘Does the city have speech?’ dalam Public Culture, 25(2), hal 209–221. Sebuah esai mengenai kota. Apakah kota memiliki speech? Konsep speech berkaitan dengan istilah speech seperti juga berlaku kepada korporasi dalam dunia legal. Sassen berpendapat bahwa kota memiliki speech. Dalam pergantian epos, kota masa kini melawan kekuatan-kekuatan yang akan mengganti segala sifatnya yang urban. Kekuatan-kekuatan itu antara lain adalah (1) kesenjangan ekstrim, (2) privatisasi ruang publik dengan segala macam penggusurannya, dan (3) pengawasan yang masif terhadap segala sesuatu yang dilakukan warga kota. 2 Sitte, Camillo 1965, City Planning According to Artistic Principles, terjemahan G.R. Collins dan Chr. Crasemann Collins. Random House, New York, dalam Van De Ven 1991, Ruang dan Arsitektur.

22

“Bagusnya Indonesia ini dibubarin aja!” “Lah, jangan, Pak, ini kan rumah kita.” “Tapi isinya bangsat semua.” Karena saya sudah sampai di tempat tujuan, “Pak, kiri, Pak.” Dalam sebuah arena yang telah diberi standar oleh manusia – dimensi maupun operasi, akan ada pengulangan, penggandaan, dan iterasi.1 Akan tetap ada ritual yang menghasilkan makna. Dalam sejarah peradaban manusia, tersebutlah arena bernama kota. Kota adalah bercampurnya manusia, ruang, dan kegiatan menjadi sesuatu yang sukar dipahami. Kota adalah skala di mana ketergantungan yang kompleks dapat diamati. Ketergantungan merayu ragamnya manusia kota untuk hidup bersama, bersama dalam damai dan konflik. Dalam seni ruang2, segala hubungan komparatif memang jauh lebih bermakna dibandingkan ukuran-ukuran yang absolut. Sifat-sifat itu yang dukung-mendukung kota menjadi langgeng. Kota bertahan hidup beribu, beratus-ratus tahun. Kerajaan berlalu, batas serta nama-nama negara berubah, dan organisasi kuasa resmi lainnya pun paripurna. Kota tidak pernah selesai dibangun. Kota mengundang semua untuk membangun. Namun dia sekaligus membela diri dari gangguan yang ingin mengubah agar ia menjadi rampung.


Seratus meter, kami berbelok. Seorang pria masuk dan duduk di sebelah dua anak gadis. Lima puluh meter, seorang pria masuk lagi, legam berbadan besar. Agar dia mudah duduk, saya bergeser, di antara saya dan ibu beranak dua. Jaket besar olehnya ditaruh di sisi pinggang. Pria pertama terlihat bingung melihat jurusan lain yang baru saja kami dahului, penuh dengan siswa pulang sekolah dan tengah berhenti mengambil penumpang. “Oh ya, ya, harusnya naik itu,” gumamnya. Sembari meminta turun, pandangannya terlempar tidak jelas kemana. Lalu setelah agak jauh sebelum lampu merah, pria kedua turun, “Kiri, Pak!” Entah mengapa aku dan dia yang sedang berdiri di tepi jalan, bertukar pandangan lebih dari tiga detik. Air mukaku lelah. Air mukanya keras. Kami melesat lagi. “Ibu-ibu dompet-na aya sadayana?” Manusia mengukur dirinya sendiri dalam ruang yang ditemukannya, tulis Boullée3 di penghujung abad ke-18 dalam esainya tentang arsitektur. Di awal abad ke-20, Einstein mengajukan teori relativitas kepada dunia. Ruang, waktu, dan objek adalah satu kesatuan dan segala sistem saling relatif. Makna ruang pun berevolusi walaupun dalam skala manusia, relativitas seturut ilmu Fisika mungkin tidak nyata teramati. Bagi manusia, ruang nyata tetap adalah segala yang dapat dia ukur atau rasakan. Saya terduduk kelelahan dan kepanasan di antara yang lain. Semua terdiam, kecuali mereka. “Suami saya yang dulu kerja di perusahaan asing di Papua. Tapi kerja di sana itu, taruhan nyawa! Dari delapan orang yang naik Hartop masuk ke hutan, suami saya satu-satunya yang selamat. Selamatnya gara-gara nyangsang di pohon! Sampai sekarang ini tangan bengkok, dulu kalau nggendong anak jadi susah.

3 Ettiene-Louis, Boullée 1953. ‘Architecture, Essai sur l’art’ dalam The Treatise of Architecture, disunting oleh Helen Rosenau. Tiranti, London, hal. 54. Esai yang ditulis diambil dari volume tulisan dari tahun 1778-1788. Boullée dikenal sebagai arsitek yang membuat konsep Cenotaph untuk Newton. Cenotaph tersebut adalah monumen kematian berbentuk bola untuk ilmuwan yang turut mengabadikan konsep ruang yang absolut. Seiring waktu, konsep ruang absolut terus ditantang berbagai bidang hingga akhirnya muncul konsep relativitas Einstein.

23


Dulu saya bisnis sampingan jual dollar. Duh, banyak uangnya! Sampai-sampai kalau ada yang ambil dari laci, saya nggak bakal tahu. Dulu kan gaji dia dalam dollar. Tapi kalau saya, ya, dulu banyak uang tapi enggak merasa senang. Orang kan beda-beda ya, tapi kalau saya begitu. Suami saya dulu cuma dapat cuti 12 hari dalam satu tahun. Saya tinggal di sini. Kalau saya sudah kangen, libido saya kan tinggi, saya yang terbang ke sana. Lama-lama saya enggak kuat, akhirnya saya beli surat cerai - menceraikan dia lah.” “Ibu pernah berarti ke sana? Di sana kayak apa?” “Oh indah. Indah. Iya, (tertawa) di sana banyak Sapi dan Kopi. Ko pi kemana? Sa pi bayar lampu. Bayar listrik, Bu. Kalau bayar lampu artinya bayar listrik. (terbahak)” “Terus Ibu sekarang suaminya tentara?” “Iya, sudah pensiunan tapi dipanggil lagi biar bermanfaat. Usianya sudah 73 tahun.” “Ibu usia berapa?” “Saya 54 tahun sekarang. Dulu saya diperistri jadi yang ketiga. Waktu ditanya, mau kamu jadi istri ketiga? Saya jawab gimana nanti, kan udah kadung cinta. Sekarang istri pertama dan keduanya sudah meninggal. Saya jadi istri pertama.”

4 Sassen, Saskia, hal. 221.

Apabila manusia mencoba duduk mendengarkan, mungkin tetap mereka tidak menyadarinya. Namun kota dapat menjawab.4 Dia dapat berpendapat. Di masa-masa perubahan yang selalu hadir sepanjang abad, ia mempertahankan diri. Dia bergulat agar dirinya tidak disekat, dirampungkan dan disederhanakan. “Muhun, Neng,” ujarnya pada penumpang yang hendak turun, menyela obrolan kami berdua.

24


Di Jalan Katamso, seorang penumpang naik ke kursi sampingnya lalu turut mengobrol. “Saya suka kalau anak muda pintar-pintar. Tidak ada gunanya jadi preman, kalau sudah tua yang penting otak!” usul Bapak itu dengan logat keras. Ternyata Bapak yang kepalanya sudah penuh uban ini dari Siantar. Bapak sopir dengan fasih berganti bahasa daerah Sumatra Utara lalu mengobrol santai. Saya terheran-heran sampai akhirnya turun di tujuan. “Sampai ketemu lagi, Dek!” sapanya sebelum saya masuk gerbang sekolah. Manusia dapat saling bersepakat untuk menumpuk bata di antara julangnya kolom atas nama cita rasa, keinginan, atau kepentingan. Dari ketinggian mata manusia, dapat terbentuk pula sebuah batas – wadah tak-tergerakkan yang melingkupi dinding terluar yang mereka dirikan itu.5 Batas itu tanpa wujud dan tanpa bentuk. Hanya saja alam semesta menunjukkan gejala bahwa lingkup tidak dapat ada tanpa waktu, tanpa isi dan tanpa lingkup-lingkup lainnya.6 Dia pun dapat berbicara, jika mereka coba mendengarkannya. Tragedi terjadi ketika wadak terbentuk tetapi tidak menjadi sebuah tempat; tidak ada rupa ragam saling ketergantungan yang mendorong keberlanjutan. Yang apabila terbentuk pun, dia bisu ataupun bungkam.

5 Aristotle’s Physics, diterjemahkan oleh R. Hope 1961. Lincoln: University of Nebraska Press. Dalam buku IV, konsep tentang topos sebagai tempat, atau di mana. 6 Prof. H.A. Lorentz. 1919. The Einstein Theory of Relativity. New York. hal 11-13. Penjelasan mengenai Teori Relativitas. Terdapat kutipan dari wawancara The Times dengan Einstein di awal tahun 1919.

25


KAMPUNG: SEBUAH MANIFESTASI OEUVRE? TEKS: WAHYU KUSUMA ASTUTI FOTO: FERIMA PUSPITA DEWI

Banjir sudah mulai surut ketika saya datang berkunjung ke sana. Perabotan rumah tangga masih basah dan diletakkan di lapak panggung depan rumah. Pemilik kandang ayam tengah berbenah usai kebakaran tempo hari. Di Kampung Bukit Duri inilah segelintir orang menambatkan hidupnya bersama keluarga.

26


Tetapi hari itu ada yang berbeda. Setidaknya kerumunan anakanak yang bernyanyi di atas panggung tegaknya bambu-bambu berbalut kain panjang, dan sebuah gapura bertuliskan ‘Pasar Rakyat’ menandakan hajatan kecil-kecilan: entah syukuran atas kehidupan mereka sampai hari ini atau perlawanan atas kabar penggusuran yang sebentar lagi konon akan disosialisasikan.

Mungkin [pasar rakyat] ini adalah yang terakhir. Kenapa ini harus jadi yang terakhir atau lebih tepatnya, mengapa diakhiri?

Bukan hanya karena pasar rakyat atau kegiatan seniman bersama warga pada hari itu. Kampung memang sejatinya adalah karya seni – seni berkota yang diproduksi warga. Oleh Lefebvre, karya ini disebut dengan oeuvre yakni karya yang diwujudkan warga sesuai dengan sejarah, pengetahuan, budaya, dan peradabannya melalui apropriasi ruang dan waktu. Oeuvre merefleksikan estetika yang tidak sekedar ‘bedak’ untuk wajah kota tetapi keindahan yang diproduksi secara kolektif sesuai dengan sosio-kultural warga sehingga tumbuh kenikmatan ‘meruang’. Demikian sehingga karya ini dihidupi warganya, lebih dari sekedar produksi materiil yang berorientasi untuk mengakumulasi kapital. 27


Bagi warga Bukit Duri, kampung mereka adalah kanvas tempat eksperimentasi dilakukan. Ruang yang tidak dibatasi garis atau standar. Ruang tempat manusia bermanuver secara lumrah, intuitif, spontan, juga kreatif. Sayangnya, ke-lumrah-an ini kerap diberi label ilegal, kemudian membenarkan diskriminasi terhadap warga. Atau jangan-jangan, label-melabeli ini juga urusan lumrah manusia? Bukan hanya untuk entitasnya sendiri, kreativitas warga kampung mewarnai kehidupan kota dan berkontribusi terhadap bergeraknya sendi-sendi kegiatan perkotaan. Oeuvre menjadi bentuk yang unik, menjadikan kota heterogen, tidak hanya dihegemoni satu kontruksi diskursus saja. Kampung kemudian menjadi sebentuk perayaan atas keragaman sekaligus perlawanan atas imajinasi berkota yang itu-itu saja; yang bergedung tinggi, yang berteknologi maju, yang modern‌ yang kumuh minggir. Pasar Rakyat ternyata bukan sekedar pameran produk kesenian warga atau ramai anak-anak kampung bernyanyi. Pasar Rakyat mengantar saya ke bentuk kreativitas warga yang sesungguhnya, bukan sekedar oeuvre dalam definisi yang sempit yakni hidup berkampung. Hanya pertanyaan besarnya adalah bagaimana poster-poster rontek di Pasar Rakyat bisa menjadi lebih dari sekedar satirisme dan mendobrak konstelasi politik perkotaan? Meski demikian, agaknya romantisme ini tidak baik dibiarkan berlarut-larut. Saya ingat seorang guru mengatakan, “Kemiskinan buat kita adalah tema, tapi buat mereka itu adalah kehidupan sehari-hari.â€? Romantisme tadi ternyata hanya khayalan. Yang saya ilustrasikan sedang memproduksi ruang secara kreatif sebenarnya sedang bertaruh hidup dan mati ketika banjir bandang datang, ketika kandang ayam terbakar, atau ketika tidak bisa bayar uang pendidikan anak di sekolah swasta. Di tengah realita tadi, entah kenapa ibu dan bapak yang saya ajak jagongan hari itu bercerita, “Ah enak di sini, Neng, Ibu nggak pengen pindah-pindah.â€? 28


Peningkatan produktivitas ekonomi warga, perbaikan infrastruktur skala kota, peningkatan kesehatan warga serta menumbuhkan kembali semangat berkomunitas di tengah individualisme – atau lebih penting lagi keadilan dalam berpikir, mutlak dibutuhkan. Seperti yang Pram pernah katakan, “Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.� Tinggalkan dululah urusan label-melabeli itu. Bersama-sama mendukung warga untuk memiliki kehidupan yang baik itu lebih penting. Tapi untuk menggusur? Saya pikir kok tidak.

29


HARAPAN: SEBUAH RUANG NIRBATAS?

TEKS & ILUSTRASI: SRI SURYANI

Di tengah hiruk-pikuk Pasar Rakyat Bukit Duri 2016, warga RT 6 RW 12 berkumpul di Sanggar Ciliwung siang itu. Satu per satu warga hadir, dengan membawa bahan-bahan yang perlu dibicarakan bersama sebagai sebuah komunitas. Saat itu adalah momen yang ditunggu oleh warga untuk kembali merumuskan langkah menghadapi penggusuran yang kian nyata. Setelah melakukan pedataan warga yang terdampak normalisasi Ciliwung, warga melakukan pemetaan kemungkinan lahan di sekitar Bukit Duri yang berpotensi menjadi lokasi kampung baru. Survey lokasi, foto lapangan, dan obrolan tentang lokasi dan lahan tersebut mengalir. Di antara pilihan lokasi dipo kereta api, SMA 8, Setia Ciliwung, dan lapangan dekat Stasiun Manggarai, akhirnya diputuskan lokasi SMA 8 dan Setia Ciliwung sebagai alternatif lokasi. Dari dua lokasi tersebut, terdapat dua pendekatan pembangunan. Lokasi SMA 8, yang memiliki rencana akan pindah ke lokasi lain, akan mengupayakan renovasi bangunan sekolah dan adaptasi ke dalam fungsi hunian. Sementara Setia Ciliwung, dengan kondisi bangunan yang sudah kurang layak, akan mengalami pembangunan baru. Kampung, dengan segala potensi sosial dan budaya, tidak dibangun dalam semalam. Upaya warga untuk memperbaiki kondisi pemukiman bantaran Ciliwung telah dilakukan sejak tahun 2012. Konsep Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri tercetus pada masa itu, pula telah disetujui oleh Joko Widodo, gubernur yang baru terpilih saat itu. Namun, waktu berlalu tanpa memberikan 30


kabar yang jelas tentang keberlanjutan konsep penataan kampung in situ tanpa menggusur tersebut. Yang terjadi justru munculnya peraturan tentang normalisasi Ciliwung dan Perda 2014 dalam bentuk RDTR. Kedua dokumen legal ini mendesak keberadaan pemukiman warga, dari hal teknis tentang lebar sungai, hingga zonasi pemanfaatan lahan. Penggusuran di Kampung Pulo tahun 2015 dan sebagian pemukiman Bukit Duri bagian selatan di awal tahun 2016 menjadi pelajaran bagi warga bantaran lain. Sosialisasi yang satu arah dari pemerintah dan ketidakjelasan kehidupan warga setelah direlokasi ke rusunawa membuat warga perlu bersuara. Dimulai dari Pasar Rakyat Bukit Duri, aktivitas diskusi bersama warga dilakukan secara kontinu. Pendataan dan pemetaan adalah langkah awal untuk melangkah lebih jauh dengan desain alternatif sebagai penolakan atas opsi rusunawa yang jauh dan tidak menjawab kebutuhan sehari-hari. Maka, siang itu warga membagi diri menjadi dua kelompok yang mengulik kemungkinan desain di dua lokasi yang berbeda. Dengan pendampingan dari Ciliwung Merdeka, telah dirumuskan pemukiman baru yang mengakomodir jumlah warga, luas unit, dan fasilitas umum dan sosial. Penjajakan selanjutnya adalah negosiasi dengan pemilik lahan tersebut untuk merumuskan perencanaan lebih matang. Koperasi pun dimulai, diinisiasi dari kelompok menabung warga, dengan struktur kepengurusan yang dipilih dari warga sendiri. Tidak bisa tidak, partisipasi warga kota dalam pengambilan keputusan mengenai dirinya adalah bentuk dasar pembangunan yang berperikemanusiaan. Apa yang terjadi di pada warga Bukit Duri adalah semangat untuk membangun hal serupa. Waktu akan terus bergulir. Tahun 2016 mencatat sejarah baru bagi warga Bukit Duri. Sekali lagi arsitektur menjadi bahasa untuk berdialog, berbicara pada publik. Jakarta dirangkum dengan harapan-harapan warganya untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik. Hari ini akan usai, esok pasti tiba, dan harapan-harapan itu tidak mengenal batas. 31


32


“Indeed, our goal [to provide housing for everyone] won’t be realized in two years. It won’t be fully completed in ten or twenty years. However, in forty years or in half a century, we will be able to fulfill our wish, if we are committed and make the effort with confidence.” -Mohammad Hatta, 1950

Pak Mulyadi menatap surat kuasa yang baru saja ia tanda tangani. Bersama dengan ratusan warga terdampak rencana normalisasi Ciliwung, ia berkumpul siang hari itu untuk keperluan persiapan administrasi gugatan. Dengan begini, gugatan warga atas rencana normalisasi dilancarkan sebagai bentuk penolakan atas kebijakan yang mengabaikan peraturan, perencanaan, serta proses partisipasi. Sebagai pimpinan unit kesatuan rumah tangga, ia mendapati tanah tempat ia lahir dan dibesarkan hingga berkeluarga sekarang akan diubah menjadi jalan beton tepi sungai. Sikap apa yang perlu ia ambil? Di atas petak dua kali empat meter, ia membangun rumah sederhana berlantai dua. Bagi Pak Mul, begitu ia akrab di sapa, ini bukan hanya tentang luas rumah dan identifikasi pemukiman kumuh atau sejenisnya. Ketika akses perumahan formal tertutup karena penghasilannya yang minim sebagai ketua RT dan pedagang lepas di pasar, pilihan untuk hidup dan membangun komunitas itu telah tumbuh dan berakar sejak bertahun-tahun lampau di Bukit Duri. Ia adalah satu potret dari jutaan warga Jakarta yang memilih untuk membangun rumah di atas perjanjian bersandar pada sistem non formal sebagai ruang hidup. Tantangan yang dihadapi Pak Mul tidak sederhana; logika penilaian ruang dari kacamata harga pasar. Apakah modal sosial dan ekonomi lokal yang dibentuk bertahun-tahun oleh warga Bukit Duri dapat diakomodasi oleh sistem itu? Apakah wujud dari ‘bertempat tinggal yang layak’ sesuai amanat konstitusi adalah rumah susun sewa tanpa kepastian akan bermukim? 33


Harapan dan aspirasinya sebagai warga kota tak lepas dari tarikmenarik, friksi realitas antara ia sebagai warga dan perencanaan kebijakan kota yang ada. Sangat manusiawi jika sesekali ia sebagai ketua RT berpikir singkat untuk menerima relokasi ke rusunawa. Namun, kondisi rusunawa yang terisolasi dan minim fasilitas umum/sosial membuatnya mengedepankan penghidupan yang layak dan menuntut kompensasi atas gangguan yang ia terima selama program normalisasi berlangsung. Rumah akan selalu mengisyaratkan wujud harapan yang sangat personal dan privat. Di tengah pragmatisme kehidupan ibukota, keputusan ini butuh keberanian dan keteguhan sebagai warga kota yang kritis. Di titik pusaran media tentang urgensi menjalankan proyek perkotaan, kesempatan yang ia miliki adalah melalui jalan alternatif mempertahankan hak bermukimnya. Perencanaan pemukiman baru yang dilakukan adalah langkah awal menuju ke sana. Sebuah pertanyaan timbul; apakah suara Pak Mulyadi dan komunitasnya terdengar diantara gegap gempita prasangka ideal yang diciptakan? Masihkah ada ruang dialog dalam membangun dan menjawab masalah kota?

34


Pada sebuah kota, Pak Mulyadi menjalani hari-harinya sebagai kepala keluarga dan perwakilan komunitas yang hingga saat ini belum mendapat jaminan bertempat tinggal yang layak dan aman. Beliau adalah satu dari 34 ribu kepala keluarga yang terdampak proyek normalisasi Ciliwung. Membaca pembangunan Jakarta seperti menuntut posisi untuk memahami kesadaran yang kritis. Mimpi perumahan bagi semua yang dicita-citakan oleh Bung Hatta, apakah bermakna tentang perumahan menurut definisi segelintir orang bagi puluhan ribu kepala keluarga yang akan menghuninya?

Bukit Duri, Mei 2016

35


RUANG BISA DIGAMBARKAN

TEKS DAN ILUSTRASI: ANINDITA AULIA

Ruang bisa digambarkan. Ruang juga tidak diam, dia mampu bercerita. Seperti halnya suasana di angkringan. Wilayahnya secara spasial tidak dapat didefinisikan dengan baku, namun mengalir, menyimpan banyak cerita dan hubungan sosial budaya, a space beyond. Terkadang saya merasa berada di dimensi yang lain ketika menikmati bercengkerama bersama teman, keluarga, atau hanya ngobrol dengan penjualnya yang ternyata punya kisah hidup yang menarik. Mungkin saya hanya bersikap romantis. Karena sama seperti penjual kaki lima lainnya, mereka menciptakan ruang informal baru di atas ruang eksisting yang sebagian besar formal dan terdefinisi. Jalur pedestrian misalnya, ketika kita menginginkan ini dipakai untuk pejalan kaki, tidak ada orang yang lewat, semua orang sibuk lalu lalang dengan kendaraan. Jadi pada akhirnya dimanfaatkan pedagang kaki lima untuk membuka usahanya. Itu menjadi berhasil, meski memunculkan masalah baru. Yang utamanya diciptakan adalah social space, ruang sosial yang mampu menembus batas visual terdefinisi yang dibuat oleh arsiteknya.

36


Saya suka angkringan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, terlepas dari baik atau tidaknya cara mereka berjualan. Mereka membuat kota menjadi hidup dan saya hanya ingin orang-orang menyadari eksistensi mereka sebagai pertimbangan, untuk semua perencanaan kota manapun yang baik-baik.

37


TACTICAL URBANISM Via Ampere, Milano

Fri - Wed

Thu 07.00

Thu 10.00

Thu 09.30

TEKS & ILUSTRASI: APRIANI SARASHAYU

Pasar kaget sering disebut perusak ketertiban di Indonesia. Lain halnya di kota tempat saya tinggal saat ini. Di Milan, pasar kaget seperti ini justru menjadi penggerak ekonomi lokal, memotong rantai distribusi, dan yang paling menyenangkan adalah konten dagangan yang berubah setiap beberapa periode mengikuti pergantian musim. Buah-buahan dan sayuran relatif lebih murah, waktu kedatangan juga mempengaruhi. Ketika pasar tutup menjelang siang hari, harga-harga cenderung turun. 38

Th 10.


hu .30

Thu 08.00

Thu 09.00

Thu 11.00

Thu 14.00

Pasar ini berlangsung di hari tertentu dan sifatnya berpindah, mendorong penduduk kota untuk megeksplorasi kotanya sendiri. Seperti Kamis ini, di mana saya bisa menemukannya di jalan menuju kampus. Pasar ini selain menjual bahan makanan, juga menjual barang kebutuhan sehari-hari. Zona pasar mengikuti konteks tempat mereka bernaung, konteks via (jalan) Ampere, terbagi menjadi dua zonasi: kering (non makanan: sepatu, baju, dll) dan basah (bunga, makanan, sayuran, daging, ikan, dll). Di akhir pekan tema pasar bisa lebih beragam dan tematik, mulai dari pasar barang- barang antik sampai dengan bazaar jajanan. 39


KISAH HONG KONG Di Balik Surealisme Okupasi Kota dan Euforia Kesadaran Politik Kaum Muda

TEKS DAN ILUSTRASI: ROFIANISA NURDIN

“Bustling City Under the Rain” watercolor on paper, 2016

“Don’t forget your umbrella! It is The Warrior God’s halberd, The Monkey God’s staff, Ai Wei Wei’s paintbrush, Bruce Lee’s fist of fury, The vermilion sword in Jin Yong’s wuxia, The five-petal orchid blossom That smells like freedom, And grandma’s chopsticks — Always reaching for the best piece of dim sum At the far end of the table.” - Kenneth Wong 40


Bagi saya, Hong Kong adalah kota surealis. Bahkan sebelum peristiwa Occupy Central terjadi di akhir tahun 2014, sepanjang 79 hari di sekitar bulan Oktober. Langkah tergesa para pekerja korporat berbaju rapi bercampur dengan turis-turis yang menghalangi jalur pedestrian; kepala mereka senantiasa mendongak ke atas, kamera di leher, koper besar di tangan. Pencakar langit bersandar di antara bukit-bukit. Meski saya bukan satu-satunya yang teralienasi. Anak-anak generasi ketiga di Hong Kong, yang orangtuanya lahir dan besar di sana, pun merasa asing dengan negaranya sendiri. “They don’t want to be called Chinese. They hate mainland (China). Yes, we’re different from them, raised and taught a different ideology from what kids in mainland learn. And now we have to share the same political system?� Anak-anak generasi ketiga ini lah yang turun ke jalan, mengokupasi titik-titik sentral di tengah kota, menuntut demokrasi dan menyuarakan protes terhadap pemerintah China terkait kebijakan hak pilih universal untuk kota Hong Kong. Mereka adalah bagian dari generasi Y yang lahir pada tahun 1980 - 2000, generasi produktif yang masih bersekolah hingga eksekutif muda yang sedang meniti karir. Berbeda dengan generasi muda China yang apolitis, millenials di Hong Kong adalah pribadi yang vokal dan kritis terhadap pemerintah. Dan anak-anak ini tumbuh bersama nilai-nilai liberal barat, jauh dari paham sosialis di Beijing. Hong Kong memang kota yang istimewa. Setelah sekian dekade berada dalam konstitusi kerajaan Inggris, pada tahun 1997, mereka menyerahkan Hong Kong kepada China. Dibuatlah perjanjian yang memberlakukan sistem demokrasi agar setiap warga punya hak pilih penuh. 41


Hong Kong (dan Makau) menjadi Special Administrative Region. Hal ini membuat China menjadi satu negara dengan dua sistem pemerintahan. Maka, ketika Pemerintah China memutuskan dalam pemilihan tahun 2017 nanti bahwa otoritas China yang akan memilih kandidat pemimpin Hong Kong, para pemuda ini menuntut. Di akhir bulan September 2014, ternyata tak hanya para pemuda (yang sebagian besar adalah pelajar yang tergabung dalam organisasi Scholarism dan Hong Kong Federation of Students); ribuan warga pun turun ke jalan. Apa yang diawali dengan protes damai di hari libur, berubah menjadi boikot kota besar-besaran yang konon hampir mengancam keberjalanan ekonomi kota. Sebuah fenomena yang aneh, mengingat warga Hong Kong adalah warga yang taat hukum dan bergantung kepada produktivitas kapital. “The Umbrella Revolution” watercolor on paper, 2016

“What’s happening now with this Umbrella Movement is that you start to see among the younger people a collective obsession with Hong Kong, a Hong Kong identity, which is very unusual for Hong Kong,” …. “In the past, when they see something troubling, their first reaction would be emigration. But this is something new. We say, ‘We stay here, we fight.’ This is total freedom to voice our discontent.” 42


Kampanye pembangkangan sipil (civil disobedience campaign) ini kemudian lebih dikenal dengan nama Umbrella Movement, setelah insiden kekerasan dan penyemprotan gas airmata yang dilakukan oleh polisi direspon secara damai oleh pengunjuk rasa dengan hanya melindungi diri mereka menggunakan payung. Berangkat dari situ, payung yang semula dianggap sebagai simbol kelemahan politik, berubah makna menjadi simbol politis gerakan perlawanan. Simbol payung kemudian digunakan sebagai subyek maupun obyek kampanye yang mengokupasi distrik-distrik vital Hong Kong; Admiralty, Causeway Bay, dan Mong Kok.

The city is a giant gallery! “Occupy Central� watercolor on paper, 2016

In a city as crowded as Hong Kong, where policy is often controlled by real-estate developers, the public has never had such unbridled access to roadways and avenues. The proliferation of artworks is in many ways a response to this experience of freedom and expansiveness. Kebebasan berekspresi warga Hong Kong yang selama ini tertahan akibat minimnya ruang publik dan terbatasnya ruang gerak bahkan dalam skala hunian individu, tiba-tiba terlepas dan menemukan kanalnya.

43


Yang terjadi adalah selebrasi ruang kota. Sebagian dari kita merasakannya setiap hari Minggu di Car Free Day, atau di beberapa festival komersial yang berhasil meyakinkan (dan tentu saja, membayar) pemerintah untuk menutup jalan demi memberikan pengalaman ruang yang baru dalam kurun waktu tertentu. Selebrasi rekreasional demi pembuktian identitas individual atau golongan. Sementara di Hong Kong, euphoria mengokupasi ruang terbuka justru muncul dalam kebersamaan pencarian identitas kolektif yang telah terkonstruksi sejak lama, lalu kehilangan pegangannya. Maka bagi warga kotanya, sepanjang 79 hari di sekitar bulan Oktober 2014, Hong Kong adalah kota surealis. MTR berhenti beroperasi dan jalan-jalan protokoler sepi. Trem dan bus digantikan oleh deretan tenda dan kios-kios kuliah umum tentang demokrasi. Median jalan menjadi ruang belajar dadakan. Ruang kota terbebaskan dari definisi sehari-harinya yang mengekang.

The icon of the movement: “The Umbrella Man� watercolor on paper, 2016

44

Hong Kong Central terokupasi menjadi sebuah galeri seni raksasa. Seni menjadi bagian integral dari aktivisme; akrab dengan keseharian dan bukan lagi menjadi sesuatu yang steril di balik lemari kaca, tak tersentuh debu keberpihakan politik. Pada kasus Umbrella Movement, seni muncul secara organik, spontan, ekspresif. Seni ikut membentuk teritori “miniatur kota� yang dibangun di tengah unjuk rasa; hadir dalam bentuk poster, instalasi maupun benda fungsional sehari-hari; beberapa bahkan menjadi penanda, - landmark.


Lalu, apa yang dapat kita pelajari dari Hong Kong dan drama di bawah payung besar bernama demokrasi? Sementara di belahan dunia lain ada yang mengelu-elukan pemimpin bertangan dingin yang mampu melindungi budaya lokal dari keruwetan pengaruh universalisme dan nilai-nilai global. Di era keberagaman dan kesetaraan yang mendefinisikan kemanusiaan dengan harga mati, Hong Kong justru ingin terlepas dari stereotip Chinese, menjadikan penduduk daratan Cina sebagai momok bahkan bahan ejekan. Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat! “It is important to protect our form of freedom. However it is also a lesson to learn that we are part of China now. Money or not. It is naïve for the government to not mediate the process for the past 17 years. And now created a certain degree of confrontation of cultures. If Shanghai and Beijing people can be proud of their cities,we Hong Kong could do the same. But have to realize that we are China as a whole.”

Virtual and symbolic support from the world to HK protesters. “Lennon Wall Add Oil” watercolor on paper, 2016

45


Kisah romantis tentang perjuangan memenangkan demokrasi yang muncul dari balik ribuan tenda pada 79 hari di sekitar bulan Oktober di Hong Kong, merupakan representasi mikrokosmis tentang bagaimana dunia saat ini sedang dalam kebingungan. Batas kota, batas negara, batas budaya; tercabik-cabik oleh kenyataan bahwa manusia saat ini telah terkoneksi lebih jauh dibanding garis imajiner geografis yang sudah disepakati. Era keterhubungan melepas pemaksaan identitas individu sebatas kedekatan geografis menjadi tak berbentuk dan samar. Secara cepat, nilai-nilai yang telah dibangun pendahulu mereka di masa lampau terkontaminasi norma budaya skala global. Individu-individu menjadi schizophrenic, berkepribadian majemuk, menyesuaikan diri tergantung di mana mereka berada. Mereka membaur sekaligus terasing di dunia nyata dan imajiner‌ Dalam keterasingan yang familiar, keterbukaan yang janggal, dan keriaan yang sedikit terlihat ambisius; Hong Kong, bagi saya, menjadi lebih dari sekedar sebuah kota surealis. Ia ternyata mewakili individu schizophrenic yang brilian, kreatif, meletup-letup; namun terkungkung dalam ketidakmampuannya lepas dari realitas.

Referensi: Bruls, T. (2015). An Interdisciplinary Study of the Collective Identity of the Umbrella Movement. Bachelor Thesis, Interdisciplinary Social Sciences, University of Amsterdam. http://kennethwongsf.blogspot.co.id/2014/10/the-ballad-of-umbrellas-poemfor-hong.html http://kyotoreview.org/issue-17/the-umbrella-movement-in-hong-kong-fromeconomic-concerns-to-the-rejection-of-materialism/ http://nextshark.com/hong-kong-china-differences-designs/ http://www.artnews.com/2015/01/06/art-during-hong-kong-umbrella-movement/ https://www.dissentmagazine.org/article/chinas-youth-do-they-dare-to-careabout-politics http://www.scmp.com/news/hong-kong/article/1610547/occupys-umbrellastatue-symbol-peace-says-artist https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2014/10/07/photosthe-colorful-world-of-hong-kongs-protest-art/ Wawancara dengan Kalun Keung (35), generasi kedua Hongkongers. Termasuk generasi Y dan kelas menengah, menempuh pendidikan tinggi di AS, dan prodemokrasi. 46


MEREKA YANG MENGURAI SEMESTA YANG DIBATASI

TEKS: SITI AMRINA ROSADA

Saat itu tengah malam. Suasana senyap, banyak orang memilih pergi ke alam mimpi. Kalau ada yang masih terjaga, biasanya pergi ke dunia maya. Di luar, dia dan beberapa temannya asyik bermain. Awalnya mereka berkumpul di halaman sebuah rumah. Tak memperdulikan batas, mereka menelusup celah pagar dan masuk ke halaman rumah sebelah. Beberapa dari mereka melompat masuk melalui celah jendela. Sebagian lagi memilih duduk di kursi teras, mungkin sudah lelah. Ketika pagi memanggil, mereka bangun dan pergi ke jalan. Jika malam memberikan ijin bagi mereka akan sebuah ruang, pagi meminta mereka untuk segera berpindah dari peraduan. Apa yang tidak terbatas? Fisika hadir menjawabnya dengan ‘semesta’. Sebuah entitas yang terus tumbuh, di mana cerita tentang garis akhirnya memiliki ragam lewat kalkulasi maupun wahyu. Di dalamnya diisi banyak kosong yang hadir secara presisi. Kosong itu bernama ruang. Atau menyesuaikan Relativitas Einstein, ruang waktu. Dalam Relativitas Umum, ruang dan waktu adalah sebuah kesatuan, sehingga frasa ruangwaktu digunakan untuk menjelaskannya. 47


Layaknya hamparan kain, ruangwaktu melengkung terhadap sebuah massa. Lengkungan itu membawa reaksi terhadap massa lain yang juga berada di sana. Seperti matahari, lengkungan ruang waktu-nya membawa Merkurius sampai Neptunus mengikutinya. Bagai ibu membawa anak-anaknya bepergian, sang surya memboyong planet-planetnya mengitari massa lain yang lebih besar, sebuah lubang hitam supermasif yang menjadi pusat dari galaksi. Mundur lebih jauh lagi, seperti bus yang mengangkut kumpulan ibu-ibu dan anaknya bepergian, galaksi pun berkeliling memutar massa yang lebih besar lagi. Bersama tetangga galaksi lain, seperti Andromeda dan Triangulum, Bima Sakti mengorbit titik pusat grup lokal bersama seluruh isinya. Pada titik ini, layaknya ungkapan Carl Sagan yang terkenal, bumi hanyalah sebuah titik bewarna biru pucat di tengah luasnya sebagian dari semesta. Di permukaan titik biru pucat itu, manusia membagi-bagi ruang di tengah kenirbatasan semesta. Lewat kepala-kepala yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan, ruang dikelompokan dengan batas-batas spasial yang menjelma jadi peraturan. Dalam kerangka kuasa, pembagian ruang itu dilegitimasi atas nama keharmonisan hidup bersama. Di sana ada teritorialitas, kepemilikan, sampai pemungsian. Ruang bumi dibagi berdasarkan teritori, yang bisa membesar dan mengecil lewat ekspansi. Kepemilikan akan ruang membebaskan empunya untuk memberdayakannya sesuka hati. Pada ruang yang biasa digunakan bersama, aktivitas konsumsinya dilakukan atas keputusan yang telah disepakati. Di antara ruang-ruang yang dibatasi pada permukaan bumi, mereka yang bermain di tengah malam tadi hidup di luar aturan yang diciptakan.Alasannya, mereka tertinggal dalam proses berbagi ruang, sehingga praktik spasial dilakukan di luar tatanan. 48


Mereka tak mengenal kepemilikan, sehingga sering berkonflik dengan manusia yang terlebih dahulu melakukan klaim atas sang ruang. Namun bagi mereka, meruang di atmosfer bumi adalah hak yang harus dilaksanakan. Mereka pun tak peduli dengan itensi, sehingga fungsi-fungsi ruang tak jarang mereka abaikan. Mereka paham, tatanan bisa membagi-bagi spasial sesuai fungsinya, namun pada fungsi spasial tersebut entitas waktu memberi celah lewat kesejenakan. Alhasil mereka bisa tidur di teras rumah di tengah malam, biarpun ada manusia lain yang bisa membuktikan bahwa itu ruang bukan hak milik mereka. Mereka juga bisa melamun di jalanan, tanpa peduli fungsinya ditujukan sebagai ruang lintas kendaraan. Mereka bisa tidur di satu rumah, bangun lalu mendatangi rumah lain untuk mencari makan.Misal kita sebut saja rumah pagi. Di sana, terdapat seorang perempuan yang tak pernah lalai memberi mereka makan. Biasanya, waktu matahari mulai bersinar penuh namun masih malu-malu, si perempuan keluar dari rumah, membawa piring penuh makanan. Maka pagi itu, setelah bangun dari rumah malam mereka beranjak ke rumah pagi. Di sana mereka menunggu sambil bermain santai. Ketika pintu terbuka, nyaris serempak mereka berseru, “Meoong!�

49


BERPIKIR BERDOA

TEKS: FATH NADIZTI

Sekarang adalah saat yang baik untuk berdoa karena kaca jendela mobil di samping kiriku mulai basah. Aku tahu itu dari seorang kawan yang hatinya pernah hancur lalu membaik karena ia selalu langsung sholat dan berdoa pada Tuhan ketika hujan sedang turun. Segera aku menyusun kalimat - kalimat doa sambil terperangkap di dalam mobil yang terperangkap di dalam arus lalu - lintas kendaraan bermotor yang tidak bergerak. Sebelum terjebak di sini, aku mengunjungi seorang kerabat yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. Kondisinya tampak menyedihkan. Matanya sayu, bibirnya pucat, punggung tangan kirinya ditusuk jarum infus, dan kedua lubang hidungnya dimasuki selang oksigen. Padahal aku biasa melihatnya hiperaktif. Baru pulang dari mendaki gunung, tiba-tiba esok sudah muncul di toko kelontong yang ia kelola bersama sahabatnya. Keluarga kami paham betul betapa besar gairahnya terhadap hal-hal yang ia kerjakan. Tidak pernah terbayang olehku ia tergeletak tak berdaya seperti itu. Kemudian ia bilang begini padaku dengan susah payah: “Kamu tahu apa yang paling tidak menyenangkan saat sakit? Perasaan tidak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu.” Salah satu tetua keluarga langsung mengatakan untuk sabar dan mengingatkan soal hakikat bekerja yang tidak berorientasi pada materi semata. “Iya, aku paham,” ia melanjutkan, “tapi aku menjadi tidak produktif dalam kondisi seperti ini. Jadi merasa tidak bermanfaat.” Yang lain diam saja karena merasa percuma berdebat 50


dengan orang sakit. Aku hanya bisa bilang kalimat klise semacam, ”Semoga lekas sembuh, Joe,” kemudian pamit pulang beberapa saat kemudian. Lalu lintas bergerak beberapa meter. Aku berkesimpulan sepertinya Joe perlu didoakan agar lekas sembuh dan kembali produktif, bermanfaat dan tidak stres. Sekalian mendoakan supaya orangorang di sekitarku selalu sehat. Karena aku paham betul orang macam Joe. Banyak orang di sekitarku yang seperti itu, yang produktivitasnya disalurkan melalui berbagai macam kegiatan dan pekerjaan. Ada Remy, seorang dokter muda yang menjadi kakak asuh belasan anak jalanan, juga Intan seorang penyiar radio yang bekerja sama dengan beberapa petani sayuran organik di kampung kelahirannya, dan ada juga kolegaku bernama Luna yang merangkap sebagai... Tunggu dulu. Kolegaku yang super sibuk itu justru berkali-kali berharap untuk sakit agar bisa rehat sejenak dari pekerjaanya. “Gue capek,” katanya suatu hari, “tapi kalo gue istirahat, banyak hal yang nggak keurus,” lanjutnya. “Kalau gue sakit kan mau nggak mau, ya harus istirahat.” Aku ingat betul kalimat itu ketika kami sedang makan siang bersama. Luna merangkap sebagai pengawas dan akuntan sebuah kafe yang ia jalankan bersama kakaknya. Ditambah dengan posisinya sebagai seorang editor di sebuah majalah, total pekerjaan yang saat itu ia jalani adalah empat. Wajar jika ia lelah dan merasa bersalah jika beristirahat. Tapi Tuhan mengabulkan perkataannya beberapa minggu kemudian. Akhirnya Luna sakit, walaupun tidak sampai rawat inap seperti Joe. Ia hanya perlu bed rest selama tiga hari dan Remy memberikan surat sakitnya langsung ke kantor-kantor tempat Luna bekerja. Tidak ada alasan untuk produktif, “Pokoknya pabrik harus tutup dulu,” kata Remy setengah marah. Dan tentu saja Luna tidak keberatan. Aku bisa menilai betapa ia menikmati hariharinya ke depan yang hanya dihabiskan di atas tempat tidur sambil menonton sinetron murahan di televisi dari surat elektronik yang ia kirim tadi pagi. Isinya kira-kira seperti ini: 51


I’m off for few days due to illness. Text or e-mail only, unless very very very urgent. Please handle the project with other colleagues, and no need to send me any report. I’m watching those sinetrons that you always talk about in the office. I trust you all, guys. See you within few days ;) Lalu apakah aku perlu mendoakan kesembuhan Luna juga? Bisabisa aku jadi perusak kebahagiaannya sekarang. Karena bukankah dengan menjadi sakit ia malah sempat beristirahat? Bahkan mungkin, jadi memiliki waktu lebih bersama orang-orang terdekat? Atau mungkin sebaiknya aku lebih diplomatis pada Tuhan dengan mendoakan yang terbaik untuk mereka? Lagipula, sering aku mendengar kalau apa yang kita inginkan belum tentu yang kita butuhkan. Jadi serahkan saja urusan sehat atau sakit seseorang pada Tuhan. Bukan begitu? Hujan masih deras dan mengaburkan cahaya-cahaya kendaraan. Mobil merapat ke kanan, mencoba masuk ke lajur yang lebih mengalir. Aku belum mulai berdoa karena tiba-tiba aku teringat Intan pernah bilang kalau meminta yang terbaik bukanlah doa yang baik. Kemudian ia bercerita tentang lika-liku pekerjaannya. Tentang terjadinya gesekan antara idealisme dan kenyataan yang membingungkan karena isi doanya selama ini hanya sebatas meminta diberikan yang terbaik. Niat awal Intan sebagai sarjana pertanian yang idealis adalah membuat hasil tani cepat sampai kepada konsumen dengan murah. Tapi rupanya, ia tidak mampu melawan kekuatan tengkulak yang sudah begitu besar. Bahkan ketika usahanya sudah dilengkapi dengan doa-doa. “Tuhan harus tahu dengan jelas preferensi kita,� katanya dengan berapi-api. Ia berpikir jika di masa perjuangannya itu ia berdoa dengan jelas meminta supaya petani-petani jagung yang sedang ia bantu diberi keberanian untuk melawan sistem tengkulak, mungkin sekarang kondisi mereka akan bisa sama sejahteranya dengan petani-petani organik di kampungnya.

52


Sayangnya kenyataan berkata lain. Para petani jagung terlalu takut dengan ancaman tengkulak, sehingga usaha Intan selalu menemui jalan buntu. “Bukannya gue maksa keinginan gue diturutin,” katanya, “tapi supaya apa yang kita simpan di dalam hati tersampaikan dengan jelas, jadi hasilnya juga jelas,” lanjutnya dengan yakin. Aku ceritakan itu pada Ibu kemudian beliau langsung menyuruhku istighfar, memohon ampun pada Tuhan. Baginya, terkesan instruktif jika memiliki konsep memastikan. Dia tahu apa yang kita simpan dalam hati, bahkan sampai setengah memaksa melalui doa. Itu bisa jadi sebuah bentuk penantangan kuasa-Nya. Tapi bukankan selama ini doa selalu tentang isi hati, keinginan, dan permintaan manusia biasa pada yang Maha Segalanya? Seperti yang akan segera aku lakukan setelah ini? Jika benar menyampaikan dan meminta adalah instruktif, lalu apa Doa sebenarnya? Atau jangan-jangan Doa bukan soal itu semua, melainkan sebuah kegiatan yang menyadarkan posisi kita sebgai manusia bertuhan? Karena, toh, pada akhirnya manusia menjalani skenario yang sudah dituliskan? Kendaraan masih tidak bergerak, tapi rupanya hujan sudah berhenti. Padahal berpikir pun belum selesai, apalagi berdoa. Gagal sudah niatku untuk berdoa diwaktu yang katanya baik. Malahan aku sekarang tidak tahu apa makna Doa sesungguhnya. Entahlah. Aku diam menatap aspal basah. Setengah menyesal karena membuang waktu baik untuk berdoa, dan setengah bingung karena konsep doa yang berantakan dalam kepala. Lalu aku baru ingat lanjutan kalimat si kawan yang hati hancurnya membaik. Ia pun sebenarnya tidak yakin betul soal mujarabnya waktu hujan dan apa arti Doa sesungguhnya. Katanya ada batas nalar manusia yang tidak bisa menembus ruang Arsy milik Tuhan, “Mau berdoa ya berdoa saja. Mau ngobrol sama Tuhan ya ngobrol saja. Nggak ada yang salah, kan?”

53


PROFIL KONTRIBUTOR

Anastasia Widyaningsih, urban designer yang tertarik pada dimensi sosial perkotaan. Mencintai fotografi dan petualangan. Personanya dapat ditemui di anastasiawidyaningsih.tumblr.com Anindita Aulia, pendatang baru di dunia perkotaan, mengawali studi arsitektur dan urban design di tengah hiruk-pikuk kota Yogyakarta dan London. Saat ini mulai belajar jalan-jalan dan memahami kompleksitas kehidupan masyarakat urban Apriani Sarashayu, penikmat seni, jatuh cinta pada perilaku manusia dan kota, terkadang menulis di mencuciotak.tumbr.com Astrid Septriana, penulis dan fotografer lepas yang kini tinggal di Baku, Azerbaijan. Masih aktif menjadi kontributor pada beberapa media massa Indonesia. Tulisannya dapat disimak di www.astridseptriana.com Fath Nadizti, penikmat literatur, kopi, seni, musik, batik, piknik, fotografi, arsitektur, kota, kampung, komunitas, sosial, bahasa, budaya, politik, ekonomi, agama, dan diskusi di nadizti.blogspot.com Ferima Puspita Dewi, penikmat fotografi dan aroma kopi, perintis usaha kerajinan dengan hati Fransiska Damaratri, tengah mencoba belajar dan bekerja bersama masyarakat, tentang arsitektur pun hidup. Kumpulan tulisan dan puisi ada di frnsska.wordpress.com 54


Mulia Idznillah, lahir di Jakarta, 12 Agustus 1988. Ia seorang sarjana Arsitektur yang kini tengah berupaya menyelesaikan pendidikannya di pasca sarjana Antropologi. Suka berpetualang dan mencintai fotografi. Intip jepretannya di akun Instagram @idznie Rofianisa Nurdin, editor majalah Ruang dan ambassador CreativeMornings Jakarta. Tulisan-tulisan lainnya seputar arsitektur kota bisa ditemukan di membacaruang.com, rujak.org, juga betterciti.es Sinta Mahardita, tukang aduk coklat dan penggemar kopi aliran V60 garis keras, yang kalau senggang suka bercerita lewat akun Instagram @sintamahardita Siti Amrina Rosada, di antara arsitektur, fotografi, tulisan, kucing, dan lainnya. Bisa dijumpai di artsy-tektur.tumblr.com Sri Suryani, berkelana dan sketsa adalah rumahnya. Silakan bertamu di karyasurya.wix.com/srisuryani Wahyu Kusuma Astuti, penyuka ruang, manusia, dan politik. Sekarang sedang belajar dan mengajar ilmu perkotaan

55


Beranda Edisi #4 Juni 2016

56


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.