Beranda #2 Dunia Maya

Page 1

Edisi #2 Mei 2014

BERANDA perempuan bercerita ~ dunia maya


Beranda

Tim Editorial Anastasia Widyaningsih Apriani Sarashayu Paramitha Yanindraputri Rofianisa Nurdin Sri Suryani Vallin Tsarina Kontributor Ayu Meutia Caron Toshiko Diatri Kamaratih Mulia Idznillah Tika Savitri

Adalah tempat perempuan bercerita. Dalam sebuah sore menuju petang; mengulas hal-hal keseharian ditemani secangkir teh dan penganan ringan buatan sendiri. Bersama keluarga, tetangga, kerabat, maupun seseorang yang sedang dekat. Beranda adalah tempat dialog dan argumen bertemu. Tempat kompromi didiskusikan dan keraguan diutarakan, (tempat) mengekspresikan pemikiran dari sudut pandang perempuan. Di Beranda kita menyapa, untuk sekadar mampir ataupun tinggal. Dalam derap langkah yang gegas ataupun hati yang terbuka, kelak di Beranda, kita akan bertemu kembali.

Foto Sampul Astrid Septriana Judul: Sicknal

Kontak kami cerita.diberanda@gmail.com di-beranda.tumblr.com

Karya dan tulisan yang dimuat di Beranda merupakan pendapat pribadi kontributor yang bersangkutan, dan tidak mencerminkan keseluruhan isi Beranda maupun pendapat kontributor-kontributor lainnya. Dilarang menggunakan karya atau tulisan tanpa ijin dari Beranda.

Edisi #2 Mei 2014


#2

Dunia Maya

Oleh: Rofianisa Nurdin

Bahkan di televisi kita disuguhi anak kecil yang mengajari bahwa INTERNET membawa banyak kebaikan: Keluarga yang terpisah sekian lama dapat bertemu kembali, Ibu rumah tangga menjadi jutawan dari menatap laptop seharian, Sang pemalu mendapat kekasih idaman dari rayuan jempol (belaka). Jarak, teredefinisi. Rentang ruang, rentang waktu, bukan (lagi) halangan untuk bertemu sapa. Berita-berita dunia sampai di telinga dalam sekejap mata. Dalam ruang-ruang sosial yang kasat mata kita menyaksikan (tapi barangkali luput, karena mata terus tertuju pada layar yang tergenggam); semua jiwa seakan hijrah, ke DUNIA MAYA. Maka tentang dunia tak kasat mata inilah kali ini Beranda ingin bercerita. Diatri Kamaratih membukanya dengan ilustrasi yang manis, “Aku Suka”, tentang gadis yang berimajinasi akan dunia yang tak ada. Esai berjudul “Pintu Ke Mana Saja” oleh Rofianisa Nurdin melengkapinya, dengan mengibaratkan internet sebagai ruang pelarian dibalik pintu ke mana saja milik Doraemon. Selanjutnya, Tika Savitri memberikan contoh fenomena jatuh cinta di dunia maya dalam “Borderless”. Begitupun Anastasia Widyaningsih menganggap internet telah merekonstruksi keintiman hubungan sosial antar-manusia, melalui sebuah monolog berjudul “Kesepian Kita”. Sedangkan cerpen Ayu Meutia yang berjudul “@pitamerah” menawarkan sebuah perspektif kehidupan manusia yang bolak-balik terapit di antara kedua dunia. 3


Setiap gejala yang berlangsung masif akan menuai kritik. Apriani Sarashayu menuangkannya dalam ilustrasinya yang sederhana, namun menggigit, “Series of Alias World”. Pun fenomena-fenomena yang terjabar di atas sungguh lumrah, karena menurut Paramitha Yanindraputri dalam “Interaksi Ruang Publik Dunia Maya”, internet adalah agora informasi; sebuah ruang publik masa kini yang aktual, meski virtual. Vallin Tsarina dalam “Kota Maya” memberikan contoh nyata sebuah pelarian instan para penggemar tata kota di dunia virtual, untuk mewujudkan megapolis ideal menurut mereka. Sementara Caron Toshiko memberikan penilaian psikologisnya terhadap perangai personalitas manusia yang terlihat di sana melalui sebuah kuis “Kicauan Perangai”. Begitulah, dalam gelimang bit data dan arus informasi virtual yang pikuk, kita perlu menoleh sejenak fakta yang tercecer di sekeliling, apabila kita mau mendongak sejenak dari layar gadget. Mulia Idznillah mengingatkan kita bahwa “Televisi” masih merupakan jendela kaum marjinal menuju dunia maya: kotak imajinasi satu arah yang sedikit mengalihkan perhatian mereka dari kerasnya dunia nyata. Juga sebuah cerita penutup dari Sri Suryani, “Whisper in the Crowd”, yang membawa kita ke dalam sebuah kisah “surrealis” jika dilihat dari perspektif masyarakat virtual: sebuah bentang alam dan kisah-kisah di dalamnya yang intim, lagipula “ada”. Selamat tenggelam dalam dunia maya versi Beranda!

4


6

AKU SUKA oleh: Diatri Kamaratih PINTU KE MANA SAJA oleh: Rofianisa Nurdin

8

10

14

BORDERLESS oleh: Tika Savitri KESEPIAN KITA oleh: Anastasia Widyaningsih

20 @PITAMERAH

oleh: Ayu Meutia 24

32

35

A SERIES OF ALIAS WORLD oleh: Apriani Sarashayu

INTERAKSI RUANG PUBLIK DUNIA MAYA oleh: Paramitha Yanindraputri KOTA MAYA oleh: Vallin Tsarina

39

KICAUAN PERANGAI oleh: Caron Toshiko

48

TELEVISI oleh: Mulia Idznillah

58

WHISPER IN THE CROWD oleh: Sri Suryani 5


Aku Suka OLEH: DIATRI KAMARATIH

Aku suka menutup mata Aku suka semua yang tidak ada bisa menjadi nyata

6



Pintu ke Mana Saja OLEH: ROFIANISA NURDIN

Barangkali kita masih samar-samar teringat betapa inginnya kita memiliki teman seperti Doraemon, atau setidaknya, sebuah “pintu ke mana saja.� Imajinasi kanak-kanak tentang gerbang menuju ruang pelarian; dunia yang benar-benar asing, yang tak tahu kita punya setumpuk PR di rumah. Barangkali dalam setiap kita terdapat sisi kekanakan yang diamdiam masih menyimpan proyeksi harapan tersebut, memeliharanya hatihati, mengimaninya di alam bawah sadar. Sampai suatu ketika, kita diperkenalkan oleh Internet. Dunia di mana benak kita diubah menjadi bit-bit melalui jemari menuju sekotak layar berwarna, dibuai dengan iming-iming untuk dapat melanglangbuana kemanapun yang dikehendakinya. Sebuah realitas alternatif dengan masing-masing pribadi sebagai pencipta bagi avatar dirinya. Wadah untuk menjajakan, memamerkan, mendokumentasi apa-apa yang mereka bayangkan dapat menjadi representasi diri; apapun yang dapat dihasilkan dari tarian jemari dan kemampuan mereka aksara. Jadilah sebuah persona baru! Tambal-sulam dari harapan, observasi sekitar, dan sedikit karakter awal yang dipelintir sehingga sedikit-banyak, dramatis. Di dunia itu, apapun bisa terjangkau oleh sebaris kata kunci. Satu klik saja untuk berpindah ke lain lokasi. Perkara menemukan dan ditemukan hanya berjarak selemparan spasi.

8


Sehingga tak sedikit benak-benak yang terperangkap di dunia baru tersebut, mengabaikan kehidupan sosial jasmaninya di dunia yang sebenarnya. Menjadi jasad-jasad kosong yang bergerak mengikuti arus, sembari menatap sekotak kecil jendela menuju dunia maya di tangannya. Meski tak sedikit pula yang berhasil mengambil keuntungan dari keduanya. Seorang berkacamata seperti pantat botol dan memiliki kantung mata yang seakan tak pernah memiliki cukup jam tidur sepanjang hidupnya itu, bisa jadi seorang pemimpin klan besar di dunia peperangan game online. Perempuan muda yang tak akan kau lirik dua kali jika berpapasan di jalan itu, bisa jadi penakluk belasan laki-kali kaukasia di benua nun jauh sana. Anak kecil ingusan yang kerap merengek dibelikan eskrim di toserba 24 jam itu, bisa jadi seorang bintang instagram yang kedipan matanya menyihir banyak jempol untuk meninggalkan jejak di postingannya. Kini semua manusia memiliki gangguan identitas disosiatif. Setiap orang bukanlah dirinya yang sebagian orang kenal. Orang-orang bipolar. Kini semua manusia, setidaknya, memiliki sebuah kehidupan dibalik lapisan-lapisan kehidupan lain yang begitu gegap, yang dapat ia pelihara. Meski setumpuk PR, selamanya menunggu di balik pintu yang tak akan ia buka. --

9


Borderless OLEH: TIKA SAVITRI

The name is Alditsa Sadega. I could go on telling you the band he’s been with or he is in now, what kind of business he run (clothing and restaurant–fyi), who are his exes and how’d he gone through his heartbroken. This is not about him. But let me tell you that one period of time I fell for a man I have never met --

10


I forgot exactly how it started. There was this song lingering inside my head I knew I overheard it somewhere–with catchy tunes, memorable lyric and all. From Google I found the song called Tatiana. I try hard to remember as I’m typing right now, how the hell did I end up on Ditsa’s blogspot page (it’s weird calling him Ditsa while he refer to himself as Dochi). Did I come across his twitter page first or the blogspot? Either way, one of it led to the other. One thing I’m quite certain, I was fascinate by his writing. The blogspot itself was mostly his story about daily band life, this girl he fell in love with and stuff. It wasn’t at all poetic. But it felt honest. I was attracted in how he’s so determined with his passion in music. I liked how he showing off adoration to a girl. I’m a sucker for a kind word and sincerity, big time. Now can we have a moment to deeply appreciate Twitter who makes everyone (–or hell, everything!) reachable. You’re able to greet Harry Styles or Barrack Obama directly, for god’s sake! And (with a little luck on your side) you CAN have them greet you back. Welcome to the world without barrier. I believe you can tell so much about a person based on the way they write. And my observation on his twitter (blame it on his tendency to over-share things) only leads to, hate to admit this, jealousy. Not as in Iwant-to-be-his-girlfriend type of jealousy, not even close. But as in I wish there was a boy treating me that way. With him I only got three times direct encounter. As crazy as it sounds, that was enough to make me smile from ear to ear. Twitter threw me his update everyday, he’s quite chatty so it was like he’s part of my daily life. Twitter made him what it felt like a part of my daily life. I knew for sure it wasn’t even fan-girling. If there were one day I accidentally bumped into him at some random place I would most definitely keep my distance and stare at him from afar, or pretend not to see him at all. Because that what I would tend to do if I bumped into my crush.

11


It was very stupid of me indeed. I did fall for him solely through his writing. Until then, the phrase “I knew I loved you before I met you” didn’t make any sense at all to me. Come to think of it, it’s a bit surreal how you get to know (or you think you know) a perfect stranger just from a flat screen and limitless distance beyond that. Everything become so close, but blur at the same time, they only a Tweet or a Skype away from you. Decades ago, a letter from halfway around the globe must travel months to get to the other side. Now it only takes second. It is almost as mind blowing as time travel. I have a faith that humankind can get to the point where we can go time travel. Maybe decades from now, maybe some have already done it. We’ll never now. But that’s another story.

12


“So stay with me please at least forever…”

13


Kesepian Kita OLEH: ANASTASIA WIDYANINGSIH FOTO: REFANO CITRA

Kamu tahu apa alasan aku pulang, selain karena kamu? Di negeri yang serba terhubung itu, aku seperti terjebak di antara; menjadi seorang pendatang yang terpisah dari lingkaran personalnya di tempat asal, namun belum juga menjadi bagian dari tempat baru. Tidak, bukan berarti aku tidak mencari teman atau berbaur dengan lingkungan baru, hanya saja perlu waktu untuk mencari yang benar-benar sehati. Tingkat penetrasi internet di negeri itu sangat tinggi, dan hampir 78% warganya mengakses internet via smartphone. Smartphone menjadi tak ayalnya GPS tracker pada manusia yang menghubungkan mereka satu sama lain dalam sebuah sistem kota. Hari di mana aku mendaftar kode negara adalah hari aku resmi menjadi bagian dari sistem tersebut. Kamu tahu, aku tidak pandai mengingat jalan. Kamu ingat, betapa sering kita tersesat ketika sedang berjalan-jalan karena aku salah menunjuk arah. Tapi di negeri itu, aku dilatih untuk menjadi pencari jalan. Di situ sinyal sangat kuat dan internet sangat cepat, alih-alih memberi petunjuk, orang biasanya akan menyuruhmu menggunakan Google Maps jika kamu bertanya padanya sebuah alamat. Internet juga menghubungkan sistem transportasi di negeri itu. Kita akan dengan mudah membuat rute perjalanan kita sendiri; naik apa, berapa lama perjalanan, turun di mana, semua ada basis datanya. Dan semua moda itu tepat waktu sesuai prediksi, kamu tahu, aku jadi tidak pernah terlambat lagi. Internet sungguh mengubah gaya orang berpergian. Tapi kamu juga tahu kalau negeri itu negeri kecil. Dalam kurun waktu beberapa bulan, aku lantas bosan. Semua tempat sudah aku datangi, dari 14


utara ke selatan, timur ke barat, bahkan beberapa tempat aku datangi dua kali dengan rute yang aku buat berbeda. Sepertinya, aku benar-benar harus meninggalkan fase wisatawanku untuk menghadapi kenyataan menjadi salah satu penghuni negeri. Yang paling aku senangi dari negeri itu adalah jalur pedestriannya, mulus dan tertata, terhubung satu sama lain membentuk sebuah jaringan. Ahli tata kota bilang, kota yang dibangun untuk manusia memang seharusnya berorientasi pada manusia. Semua orang di negeri itu mampu berjalan sangat cepat, bahkan wanita yang menggunakan sepatu hak tinggi sekalipun berjalan dengan lantang. Memang, tidak ada secuil lubang pun yang akan mengganggunya. Kamu akan merasa sangat bersemangat ketika kamu berada di tengah-tengah arus orang yang berjalan, hentakannya seakan mengajakmu ikut berirama. Tapi semangatku pudar ketika masuk ke dalam bus kota atau kereta cepat. Pemandangan yang aku lihat sungguh tidak menggairahkan. Setiap orang seperti terbius dengan gadget-nya masing-masing. Beberapa orang yang mengenakan earphone tampak khusyuk menatap layar tablet-nya, sambil sesekali menggumamkan lagu yang sedang didengarnya atau senyum-senyum sendiri menonton drama yang ditontonnya. Yang lain tampak selalu mengecek layar smartphone sambil ibu jarinya bergerak naik turun. Bus yang melaju lancar atau kereta yang cepat dan nyaman, seakan mematikan alarm kewaspadaan mereka akan sekitar. Beberapa orang yang berjejal di pintu masuk kereta tampak tidak mempedulikan penumpang yang akan masuk, hanya bergeser sedikit sambil tetap menatap layar smartphone-nya. Aku berdiri dengan malas, padahal perjalanan hanya beberapa menit, kenapa semua orang tampak tidak bisa menunggu hanya dengan diam saja? Memang akses internet terbatas di kantor, katanya supaya semua orang fokus bekerja. Tapi itulah keuntungannya membawa dunia dalam genggaman, kapan pun dan di mana pun kita dapat langsung masuk. Tidak ada lagi demarkasi antara tempat kerja atau pun rumah, kita dapat berpindah-pindah dengan mudah ke tempat yang kita inginkan. Kamu bisa bekerja sambil mengecek anak di rumah, berbelanja online, atau mengerjakan kerjaan sampingan. Makanya, di kantor semua tampak selalu sibuk. 15


Itu yang membawa aku padamu, selalu, setiap malam. Karena malam adalah bagian yang paling sepi. Hanya kamu yang dapat aku ajak bicara dan mengerti keluh kesahku. Menatapmu, walaupun sebatas layar, terasa rumah bagiku. Aku selalu membayangkan bagaimana hubungan kita bila tidak ada internet, mungkin aku tidak akan bisa menghubungimu setiap hari. Bisa sengsara aku. Ya, walaupun aku tahu, setiap kita berbicara via Skype, kamu juga seringkali mengerjakan hal lain, seperti browsing atau bahkan berbicara dengan orang lain di dekatmu, namun setidaknya itu lebih baik daripada tidak. Teknologi nyatanya ikut mengkonstruksi keintiman. Sampai beberapa lama aku mulai terbiasa dengan pacaran gaya online. Aku mulai bisa menakar perasaan, di mana batas rindu, di mana batas harap. Terkadang kuantitas menang di atas kualitas. Toh aku bisa menghubungimu kapan saja, di mana saja. Namun ketika kamu sedang sibuk atau tidak lekas merespon, aku lalu mulai membuka jendela-jendela lain di mana aku bisa menemukan rasa-rasa rumah. Dan ternyata banyak juga teman-temanku di social media; di Facebook, Twitter, Path, atau Instagram, bercampur dengan temannya-teman, teman lama, potensial teman, atau totally strangers. Sebuah pelarian yang sempurna. Seperti halnya ruang publik, kita bisa melihat aktivitas orang banyak di sana. Kita bisa hanya duduk memperhatikan kegiatan teman kita tanpa perlu berinteraksi dengan mereka. Yang penting ada perasaan saling terhubung. 16


Namun kesulitannya adalah kita harus mempersiapkan hati dan pikiran kalau mau berlama-lama di sana, karena akan terlalu banyak informasi yang masuk. Kamu bayangkan seakan-akan semua orang berbicara padamu, berusaha menyampaikan sesuatu; dari hal kecil seperti kegiatan sehari-hari hingga isu-isu umum. Tanpa sadar, otak dan perasaan kita dilatih untuk menilai orang dari hal-hal yang diungkapkan dan memilahmilah mana yang bisa kita telan. Ada saja hal-hal untuk dipertunjukkan di social media; penampilan, badan yang bagus, barang yang baru dibeli, mobil, keluarga, bahkan binatang peliharaan. Kamu tahu apa yang yang kita cari? Perhatian. Manusia sangat rapuh sehingga kita memerlukan perhatian terus-menerus. Dan internet adalah sumber perhatian yang melimpah. Dengannya, kita akan menemukan berbagai cara untuk mendapatkan perhatian, sekadar melupakan sejenak kesedihan dan kesepian, bahkan sebelum kita menyadarinya. Kamu pasti kesal setiap aku cerita kalau aku habis berselisih pendapat dengan teman di social media. Kamu bilang aku terlalu banyak bermain dan mulai menganggap serius apa yang terjadi di social media. Tentu saja aku tidak akan membiarkan ada orang lain buang sampah sembarangan di depanku, pasti akan kutegur. Sama halnya dengan social media yang kuanggap ruang publik. Tidak ada yang pantas mendengar kamu marahmarah atau berkomentar negatif yang menyinggung perasaan.

17


Aku rasa sesungguhnya aku tidak cukup jauh pergi, makin hari aku makin rindu rumah. Di satu sisi aku merasa sangat terbantu oleh internet, tapi di sisi lain, internet juga menjadi tali kekang dalam pikiran. Berkalikali aku bertanya, apa yang aku cari? Untuk orang yang sangat menghargai hubungan manusia, aku rasa ini tidak sepadan. Karena itulah aku pulang dan hadir di hadapanmu sekarang, sebab siapa yang kebal pada kesepian. Di sini ada kehangatan keluarga dan temanteman. Lagipula aku pikir dengan tinggal di Jakarta, tentu akan lebih sedikit waktu yang bisa dihabiskan untuk berlama-lama menatap monitor. Kamu tahu, jalanan yang semrawut, gonta-ganti moda transportasi, trotoar yang berlubang, dan segala rupa kejadian yang mengharuskan semua inderamu waspada. Tapi yang aku lihat sungguh luar biasa. Sering kutemui orang yang berjalan sambil menatap layar smartphone-nya, coba kamu bayangkan bagaimana kondisi trotoarnya; tidak rata dan berlubang, belum lagi ada pengendara sepeda motor yang menghadang dari belakang atau dari arah berlawanan. Bagaimana dia bisa tetap waspada jika tangan dan matanya fokus pada layar? Aku juga pernah satu Kopaja dengan orang yang bermain game dengan tablet-nya sambil mengenakan earphone yang dihubungkan dengan smartphone yang dia pegang dengan tangan yang 18


lain, sambil berdiri. Sungguh. Di trotoar, di bus kota, di mobil sambil menyetir, di kereta, di taman, di mall, di café, semua orang menunduk. Coba lihat itu pasangan yang duduk di belakang kamu, dua-duanya sibuk dengan smartphone-nya sampai tidak sadar kalau kopinya sudah datang. Aku paham betul bahwa fenomena ini adalah bagian dari perkembangan jaman, sesuatu yang tidak dapat dihindari. Aku mungkin agak beruntung karena aku sudah cukup dewasa ketika perkembangan internet dan social media sedang gencar-gencarnya. Coba kamu bayangkan bagaimana remaja jaman sekarang hidup tanpa social media? Dan orang seperti aku ini banyak. Orang yang pernah aktif di social media karena menganggap itu seru, lalu mulai merasa terganggu dengan banyaknya informasi yang datang, hingga berkali-kali mencoba untuk keluar. Kenapa? Karena pada akhirnya kita sadar bahwa kita perlu ruang. Ruang di mana kita benarbenar menjadi diri sendiri, tanpa distraksi. Untuk benar-benar hidup hari ini. Untuk tahu mana yang penting, bukan mana yang terkini. -“Sayang, kamu dengerin aku bicara gak, sih?” “Oh, iya, iya, aku dengerin kok, maaf ya aku sambil nulis e-mail ke bos, urgent soalnya. Kamu bilang apa tadi yang terakhir?” Jam pada dinding menunjukkan pukul sepuluh. Pasangan di belakang meja kami beranjak pulang. Pramusaji membersihkan meja, lalu mengantongi uang tip yang ditinggal. Ini sudah cangkir kopi yang kedua. Satu-satunya yang berusaha berkomunikasi denganku hanya latte art yang dibuat barista, berbentuk hati. Aku menunduk, mengaduknya sambil berbisik, “Happy anniversary.”

19


@pitamerah OLEH: AYU MEUTIA

“Mbak Yuni, ada tamu.” Begitu resepsionis kantor menyapaku dari balik meja kerja. Aku tidak bisa menahan wajah masamku yang terlihat dari pantulan layar komputer. Sudah kuperingatkan klienku bahwa treatment iklan akan siap dalam sembilan jam dan aku sudah membanting tulang selama satu minggu belakangan. Mencari alasan logis dan persuasif untuk menjual rokok sebagai suatu rekreasi pikiran dibandingkan racun tubuh benarbenar menghabiskan energiku. Apalah daya, nampaknya aku tidak punya pilihan selain mengerjakan. Aku menyeret langkahku keluar dari area kerja. Sambil meneguk kopi hitam yang terasa mulai dingin dan hambar, aku menemui tamu itu di ruang depan. Sesampainya, hanya ada aku dan bangku resepsionis yang kosong. Seorang wanita dengan rambutnya yang lurus, hitam, dan tipis sepinggang menempati bangku tamu. Aku mencoba mengingat wajah klienku. Namun rasanya, aku betul-betul tidak pernah berjumpa dengannya. Lagipula, kenapa seorang klien hendak bercakap langsung dengan copywriter bukan account executive seperti layaknya protokol di perusahaan periklanan? Aku seakan tidak pernah mengenalnya. Namun kilat di matanya saat dia memandangku dari tempatnya duduk, berkata sebaliknya. Ia tegak dari kursi begitu melihatku. Merapikan lipatan rok pensil hitamnya dengan gusar, kemudian tenang lagi begitu aku menyapa, “Mencari saya?” Ia hanya menyunggingkan senyum dan kembali bertanya, “Pita Merah?” 20


Pita Merah. Begitu ia menyebut kata itu aku langsung menggiringnya ke ruang rapat terdekat. Tangan wanita itu terasa dingin di telapak tanganku. Aku genggam tangannya lembut seakan-akan takut remuk apabila aku menggenggamnya terlalu kuat. Jari-jari itu kurus dan pembuluh darah yang hijau kebiruan menonjol dari kulitnya yang pasi. Aku biarkan office boy masuk terlebih dahulu ke ruang rapat dan menghantarkan segelas air untuk tamuku. Segelas air yang tidak sama sekali ia gubris sekalipun. “Saya akan melepas keperawanan saya,” begitu ujarnya datar. Apa-apaan ini? Wanita ini datang secara asing ke kantor dan mengeluarkan pernyataan yang seharusnya tidak perlu aku dengar. Herannya, ia tidak juga terasa sangat asing. Karena ia mengenaliku sebagai Pita Merah, pemilik akun Instagram yang kerap menyuarakan seksualitas perempuan dengan foto-foto “nyeni” sekaligus penggalan puisi yang provokatif. Bukan mengenaliku sebagai Yunita, seorang penulis amatiran yang menjualkan jasa dan bakatnya sebagai copywriter dengan jam terbang yang tidak lazim. “Oh begitu,” ujarku datar, mencoba berfikir dingin seraya menutupi rasa keterkejutanku yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Kalau boleh tahu bagaimana Anda bisa mengetahui identitas asli saya?” “Anda betul-betul suka dengan pita rambut merah rupanya. Ah, saya jadi tahu filosofi nama akun Anda,” jawab wanita itu, entah berbasa basi atau memang tertarik. “Ah, iya. Masa Anda tidak tahu rumor rumor di internet sana. Beberapa user sudah berhasil menebak identitas Anda. Dan, maaf kalau saya lancang mengunjungi Anda di kantor. Sebetulnya, ada teman saya yang bergabung dengan komunitas puisi Mbak Yunita.” “Oh begitu,” ucapku lagi. Dalam hati aku sudah merasa risau. Setelah ini, akan berapa banyak surat teguran organisasi keagamaan yang hendak dilayangkan ke alamatku. “Terus Anda sudah berapa lama menjalani hubungan dengan pasangan Anda?” tanyaku tanpa jeda lagi. Entah kenapa aku malah tertarik dengan ceritanya. Bukan khawatir dengan privasi identitasku yang sudah diketahui oleh beberapa orang di publik. Sudah dua tahun. Tapi kami belum menikah,” katanya. “Umur saya genap 30 tahun. Dan lima tahun belakangan, saya berdomisili di luar 21


negeri dan berjumpa dengan orang-orang dengan pikiran terbuka. Pasangan saya adalah seorang ekspat dan ia sudah cukup sabar untuk menunggu. Dua tahun itu adalah waktu yang lama untuk menunda intimasi. Selama ini saya hanya mencurahkan sewajarnya. Namun, sekarang kami makin membutuhkan satu sama lain secara emosi dan pikiran--“ aku melihat ia memandangiku dari bawah bulu matanya yang mengerjapngerjap kepadaku. “--ah, bodoh betul bukan kedengarannya, seorang perawan 30 tahun datang kepada Anda dan bercerita sangat terbuka tentang hal seperti ini. Bagaimana perasaan Anda?” “Terkejut iya, namun tidak secara konteks, tapi penyampaian Anda,” jawabku. “Ah, sekali lagi maaf--,” ia mengulurkan tangannya kepadaku, “--nama saya Sasty. Akun Instagram saya adalah nama saya, ssastyy, dengan huruf S dobel dan Y yang dobel juga.” Aku menjabat tangannya lebih leluasa, meski sulit bagiku untuk mengingat teman-teman yang sering berwacana di kolom komen Instagram-ku. “Bagi saya Sasty, kalau kamu merasa dia adalah orang yang tepat, kenapa tidak? Apa yang sebetulnya yang kamu takutkan?” “Norma,” ucapnya datar--dan aku sudah bisa menebaknya. “Kadang saya merasa agresif dan tidak ingin terlecehkan sebagai seorang perempuan.” “Terlecehkan, ya,” gumamku. “Mbak Sasty, saya percaya wanita itu bisa melakukan apa saja yang mereka mau. Ada yang didik untuk giat bekerja. Ada juga yang didik untuk tumbuh seperti seorang putri yang nantinya diumpankan ke laki-laki dewasa yang sudah hidup mapan. Ada yang punya pemikiran berbeda dan tidur dengan banyak laki-laki untuk kepuasan dirinya sendiri. Saya tidak pernah menghakimi individu karena mereka sudah dewasa untuk menyadari pilihan mereka sendiri. Dan, Mbak Sasty--“, aku pastikan aku menatap dua pasang mata coklat yang menyipit itu. Aku rasakan kecantikan wanita itu; bermata kucing dan beralis tebal menukik. Lelaki manapun pasti akan tersita perhatiannya bila dipandangi tajam begini. “--buat pilihan yang untuk diri Mbak sendiri. Bukan untuk norma. Bukan untuk sekitar. Jadi egois.” 22


Pandangan Sasty mencari-cari ke arah meja kopi. Ia akhirnya meneguk segelas air di hadapannya sambil membuang muka. “Saya sebenarnya lahir dari keluarga tradisional di kota kecil. Sekarang saya memiliki kesempatan besar untuk bertemu dengan orang yang luar biasa.” “Kalau begitu pikirkan konsekuensinya. Adakah Mbak bakal terluka dan terlecehkan setelah bercinta dengan pasangan yang betul-betul Anda cintai?” Matanya kembali menemui mataku. Kemudian wajahnya bersemu. Ia tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya menggapai rangka tubuhnya yang langsing dan memberi pelukan. “Pergi ke mal, cari lingerie dengan warna kesukaannya dan ingat, be safe,” bisikku. Sasty menghaturkan terima kasih berkali-kali sebelum ia pergi. Saking banyaknya, sehingga aku dibuat merasa tidak pantas menerimanya. Aku hanya senang berbagi cerita. Itu saja. Mendadak akun @ssastyy adalah akun menarik di Instagram-ku. “Yuni,” seseorang menyapaku dari luar pintu ruang rapat. Kemudian pemilik suara itu masuk. Dengan penampilan sehari-harinya. Rambut sebahu, dengan dress corak print burung kakaktua dan boots berwarna cokelat. “Kamu ngapain disini?” Dini, salah satu designer di kantor, menghampiri dan bertanya. “Ah,” mendadak aku tertegun dengan kehadirannya. “Ada tamu.” “Oh.” “Kenapa?” “Nggak apa-apa. Heran aja kamu nggak ada di meja. Padahal katanya kerjaanmu banyak.” “Biasa tamu dadakan. Kamu sibuk?” Tawa Dini malu-malu melengking sayu. “Kok kamu nanya balik, sih?” Kemudian ia berlalu, dan aku hanya mengamati bayangnya dari kaca buram. Seandainya Sasty tahu, bahwa aku sudah membuat pilihanku dan mengerti konsekuensinya. Andai saja aku bisa memberi beberapa bagian dariku kepadanya. Ada sesuatu yang memang di luar kendaliku. 23


Series of Alias World OLEH: APRIANI SARASHAYU

24


25


26


27


28


29


30


31


Interaksi Ruang Publik Dunia Maya OLEH: PARAMITHA YANINDRAPUTRI

Teknologi ibarat dua sisi mata pisau. Dalam perkembangannya, teknologi di dunia membawa perubahan dalam berbagai lini kehidupan berikut dampak positif dan negatifnya. Diawali dengan penemuan mesin uap di abad 18 yang menggantikan pola perekonomian utama berbasis agrikultur menjadi industri, berlanjut dengan teknologi kereta api dan baja, penemuan listrik, mobil dan industri kimia, hingga yang saat ini kita alami yaitu era teknologi informasi dan komunikasi [1]. Gelombang teknologi ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi dalam ruangwaktu empat-matra dengan komunikasi yang berlangsung di dalamnya bersifat aktual, namun segala sesuatu yang hadir di hadapannya bersifat maya [2]. 32


(Sumber foto: Jessika Tremblay http://netnographicencounters.com/)

Internet telah dikenal sebagai agora informasi [3] yang berperan sebagai ruang yang dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat untuk berinteraksi. Di Indonesia, keberadaan internet telah menjadi ruang untuk berbagai aktivitas yang pada umumnya terjadi di ruang publik fisik dengan ciri khasnya tersendiri. Internet menjadi tempat untuk mempromosikan hasil produksi seperti tujuan awal terbentuknya Kampoeng Cyber di Yogyakarta dalam rangka mengatasi permasalahan keterbatasan lokasi[4]. Internet menjadi tempat untuk melihat dan dilihat dengan wujud foto ataupun pembaharuan status yang memenuhi linimasa media sosial. Internet menjadi tempat untuk membicarakan mengenai orang lain tanpa menyebutkan secara langsung oknum yang dibicarakan atau dalam istilahnya no mention. Internet menjadi tempat berdiskusi maupun berdebat mengenai politik termasuk untuk menyebarkan kampanye hitam. Internet menjadi tempat untuk melontarkan pendapat hingga berujung bui seperti yang dialami seorang ibu dan membuatnya trauma untuk berinteraksi di internet walaupun ironisnya gerakan untuk pengumpulan dana dalam rangka membebaskannya pun tersebar secara luas berkat internet [5]. 33


Dalam sebuah riset mengenai penggunaan salah satu sosial media berdasarkan geolokasi di tahun 2012, Jakarta menjadi urutan pertama pengguna teraktif dan Bandung berada di urutan ke enam diantara kota-kota besar dunia seperti New York, Tokyo, London, dan Sao Paolo [6]. Selain kombinasi perangkat genggam dan layanan internet untuk telepon seluler yang tersedia dengan harga terjangkau, bisa jadi kultur lokal seperti mangan ora mangan asal ngumpul [7] atau ngariung [8] turut terbawa ke dalam ruang publik dunia maya sehingga lalu lintas penggunaan sosial media menjadi demikian tinggi. Seperti halnya dalam ruang publik fisik, diperlukan etika dalam berinteraksi dalam ruang publik maya. Memperlakukan pengguna lain sebagaimana kita ingin diperlakukan adalah hal yang utama. Dualisme sifat internet yang aktual dan maya sekaligus, mengharuskan kita harus tetap waspada dalam pemakaiannya. Pada akhirnya, selalu ada pilihan bagi kita dalam menyikapi perkembangan teknologi termasuk internet, yaitu menjadi bijak dengan mempergunakannya untuk tujuan positif atau mempergunakannya dengan tidak bertanggung jawab sehingga memberikan dampak negatif yang merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

[1] Sachs, 2013 [2] Supelli, 2010 [3] Branscomb, 1994; Agora adalah ruang publik di era yunani kuno [4] http://rt36kampoengcyber.com/ [5] http://indonesialawonline.com/Case%20Prita.aspx [6] Semiocast, 2012 [7]Dalam bahasa Jawa arti makan tidak makan asalkan berkumpul [8]Dalam bahasa Sunda arti berkumpul

34


Kota Maya OLEH: VALLIN TSARINA

Sudah satu jam lewat. Trans Jakarta masih penuh sesak. Masing-masing kita memburu nafas. Jendela berembun. Mungkin dari luar, bus ini seperti wahana sauna berjalan. Sesampainya di tempat, sebuah warung sate dan soto Madura di pinggir jalan, telah riuh oleh tawa dan percakapan. Dua jam perjalanan untuk sebuah pertemuan dengan kawan-kawan. Ada yang terasa terlalu diusahakan, tapi texting tak mampu mengalahkan kesan dari sebuah pertemuan, bukan? ‘Kuningan macet banget, cuy.’ ‘Thamrin ke Sudirman juga. Itu mobil-mobil plat item masuk jalur Trans Jakarta bikin macet aja!’ ‘MRT, semoga cepet jadi. Amin.’ ‘KRL mati lampu langsung bubar jalan tadi, gila. Chaos.’ ‘DWP naik apa nih kita? Kenapa di ujung banget sih konser, ga di tengah kota aja.’ ‘Mobil gue abis ditabrak Kopaja. Lo semua tau kan gue kalo nyetir paling hati-hati. Kadang, kitanya udah sehati-hati mungkin, pengendara yang lain yang mabok.’ -35


Tiga ratus ribu hektar, sebuah calon kota baru di tepi timur. Para perencana perkotaan paling mahir dipekerjakan untuk membuahkan sebuah visi kota paling mutakhir. Studi kawasan telah dilakukan dari tingkat regional hingga ke tingkat kecamatan. Peta-peta telah berwarna pelangi. Tulang infrastuktur penyangga kota menggunakan sistem grid, demi kemudahan pergerakan, atau demi membingungkan penduduknya yang disleksia. Bisnis bergulir. Kota ini riuh. Arsitektur menjadi penanda. Esplanade, Ordos, Soumaya Museum, London City Hall, Charminar. Sebuah bangunan raksasa dengan koleksi pustaka yang tak akan habis kau baca, cocok untuk jenis penduduk yang sedikit kutu buku, Library of Alexandria. La Sagrada Familia, karya Gaudi yang entah kapan akan selesai tapi karenanyalah kau bisa merasakan keagungan Tuhan disana. Keimanan yang dinamis, tak pernah selesai dikaji. Mungkin Gaudi sedang bercakap dengan Tuhan di atas sana. Gardens By The Bay, sebuah kebun raya yang paling kau suka. Pohon-pohon raksasa dengan teknologi penyaringan dan penampungan air. Dancing light setiap pukul delapan dan sepuluh malam. Sistem daur ulang energi paling mutakhir. Koleksi tanaman tropis di laboratorium rasksasa. Juga batu-batu kristal yang mengagumkan. Living museum yang sangat memadai untuk pendidikan warga kota, terutama untuk anakmu kelak. Kawasan pusat bisnis paling meriah. Aqua Tower, seksi sekali, kau akan bangga berkantor disana. Dynamic Tower, siapa bilang tidak mungkin. Kau lihat, di atas sana, angin memang begitu kencang hingga mampu memutar torso bangunan. Arsitektur yang dinamis, canggih! Mass Rapid Transit, monorail, guided bus, mobil pribadi, motor ataupun sepeda, sebutkan. Kau bisa nyaman bepergian dengan apapun di kota ini. Tak perlu khawatir macet. Sistem pengaturan lalu lintas telah begitu terprogram hingga aku pun tak tau bagaimana menjelaskannya padamu. Kota ini menjelma cantik dan menarik bagi penduduknya. Infrastruktur industri didukung penuh oleh pemerintah. Energi terbarukan. Kehidupan bertetangga sakinah mawaddah warahmah, dan yang paling seru, 36


saling bertukar kado. Apalagi yang bisa kau harapkan dari sebuah kota paling mutakhir seperti ini? “Build the city of your dreams! A city of Megapolis!� -Kriiiiit. Kriiit. Kriiit. Angin menyapa ayunan yang kesepian di taman. Bocah-bocah masa kini tidak lagi main di luar. Mereka telah renta pada sinar matahari dan rapuh pada rintik hujan. Dunia ada pada sekotak layar bergerak.

-Lonely Swing

Kekecewaaan kita pada kota dan sistem-sistem yang bekerja di dalamnya telah mendorong kita mencari pelarian yang paling mungkin untuk dilakukan. Mimpi dan cita-cita mengenai kota yang lebih baik selalu ada, hidup dan dipelihara, meski terbentur dengan sangat brutal oleh waktu, dimensi, dan sumber daya. Megapolis [1] adalah salah satu pelarian yang sedikit menyenangkan. Sebuah simulasi kota, tanpa terbentur realita. Waktu dipercepat, kita bisa melihat bagaimana sistem perlahan bekerja. 37


Disana, mimpi kita tentang kota mungkin menjadi nyata. Ya, sebuah ilusi yang nyata, sebuah kota maya. Hingga saat akhirnya kita kembali ke kota yang sebenarnya, kebingungan kita menjadi semakin nyata. _ Manusia-manusia kota. Kita tidak lagi peduli pada anggunnya helaian sirus dan indahnya derap sirokumulus. Kita telah acuh pada hangat matahari pagi dan belaian angin. Bukankah kita terlalu sibuk menyiasati macet? Kita tidak lagi sempat –atau menyempatkan diri– sejenak menikmati matahari senja dan langit jingga. Kau tahu? Pukul setengah enam adalah jam-jam keemasan. Dan pergerakan matahari hilang di perbatasan berlangsung hanya kurang dari lima menit. Hari-hari ini, matahari lebih sering hilang di balik gedung-gedung pencakar langit. Kita telah lupa, pada malam yang hiruk pikuk, bulan pernah menyabit purnama. Dan bintang-bintang masih di tempat yang sama. Kita lupa menengok ke atas. Di tangan, sekotak layar bergerak sibuk meminta perhatian.

[1] Megapolis is a city building game that involves creating your own virtual city by building residential houses, condos, and hotels, developing commercial and municipal infrastructure, engaging in industrial production, providing sufficient water and electricity, expanding your territory, and making your neighbors happy with gifts of building materials to assist them with construction projects. In the early stages, players focus on designing and building their city. In the more advanced stages, the social aspects of the game become more critical as players must obtain building materials from neighbors to complete quests and other construction projects. Sumber: http://sqmegapolis.wikia.com/wiki/Megapolis_Wiki 38


Kicauan Perangai OLEH: CARON TOSHIKO

Seseorang pernah berkata kepada saya, “Orang dapat terlihat sifatnya melalui kicauan di linimasa media sosial.� Benarkah demikian? Oleh karena itu, saya mengajak Anda untuk menentukan tipe perangai personalitas pada lima tokoh yang sudah Anda tahu atau mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya, melalui kicauan di linimasa Twitter. Namun sebelum Anda menentukan perangai personalitas pada tokohtokoh tersebut, ijinkan saya bercerita sepatah dua patah kata perihal sejarah dan penjelasan empat perangai personalitas yang diformulasikan oleh Claudius Galenus (th. 129-201)1. Claudius Galenus, seorang filsuf yang berasal dari Roma, mengembangkan konsep kepribadian manusia yang berdasar pada teori Yunani tentang humorism (dari bahasa Latin “umor�, berarti cairan dalam tubuh manusia), yang menjelaskan cara kerja tubuh manusia. Humorism dijelaskan oleh seorang filsuf Yunani, Empedocles (495-435 BC), sebagai perbedaan kualitas empat elemen dasar yaitu bumi, udara, api, dan air, yang menurutnya dapat menjelaskan seluruh unsur. Dua ratus tahun kemudian, Galen mengembangkan teori humorism tersebut menjadi tipe personalitas. Ia melihat hubungan antara tingkat cairan dalam tubuh manusia dengan emosi dan kecenderungan perilaku, atau perangai.

39


Menurut Galen, empat perangai personalitas (sanguinis, plegmatis, koleris, dan melankolis) dipengaruhi oleh keseimbangan cairan dalam tubuh. Jika salah satu cairan tubuh jumlahnya berlebih maka akan menyebabkan salah satu perangai personalitas menjadi dominan. Berikut ciri empat perangai personalitas menurut Galen : 1. Melankolis (cairan empedu hitam yang berlebih) Orang dengan tipe melankolis cenderung perfeksionis dan idealis akan harapan yang mereka inginkan. Mereka berharap untuk selalu belajar dan memahami setiap detail. Mereka cukup keras kepala, memegang teguh prinsip, berpikir dan berencana dengan matang. Apabila berargumen, mereka akan menggunakan alasan, bukti, logika, dan penjelasan yang kuat. Mereka lebih menyukai waktu menyendiri dan cenderung pemilih dalam bersosialisasi. Mereka membutuhkan proses yang panjang dalam membangun suatu hubungan pertemanan, namun ketika menemukan titik nyaman mereka akan menjadi teman yang setia dan rela berkorban. Orang dengan tipe melankolis sangat emosional, mudah terluka apabila tidak mencapai ekspektasi, dan sensitif dengan apa yang orang lain pikirkan akan mereka. Mereka akan merespon hal-hal yang mereka tak suka dengan berduka dibandingkan amarah. Ketika menghadapi masalah, mereka lebih memilih menjauh sehingga terkadang takut untuk mengambil resiko atau membuat keputusan yang salah, dan terlihat sebagai orang yang tidak kompeten. 2. Plegmatis (cairan lendir yang berlebih) Orang dengan tipe plegmatis cenderung penurut, lemah lembut dan berusaha menyenangkan orang lain. Mereka bertindak tidak seperti mereka lebih baik dari yang lainnya, namun cenderung menghindari konflik atau mengaku salah daripada harus berdebat. Mereka tidak mengharapkan untuk menjadi pemenang, namun lebih menginginkan perdamaian. Mereka mudah meminta maaf atas kesalahan yang mereka perbuat dan akan mengorbankan kebahagiaan mereka untuk membuat orang lain senang, bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri meskipun itu bukan kesalahan mereka. Orang dengan tipe plegmatis menghadapi masalah dengan santai dan tidak mudah marah, serta pandai menyembunyikan perasaan mereka. Mereka praktikal, konkret, lebih suka melakukan sesuatu sesuai kebiasaan yang ada, serta gigih 40


dan konsisten dengan apa yang dipilih. Mereka cenderung menjadi pendengar yang baik dan akan memberikan masukan yang suportif. 3. Sanguinis (cairan darah yang berlebih) Orang dengan tipe sanguinis cenderung impulsif dan mencari kesenangan. Mereka berorientasi pada manusia sehingga mudah membangun hubungan dengan orang lain dan menikmatinya. Mereka optimis, kreatif, senang berimajinasi, mudah simpati, dan bijaksana dalam menghadapi masalah. Mereka senang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan orang lain dan tidak malu untuk berbicara di hadapan banyak orang. Namun mereka mudah bosan dan berganti kesenangan, sehingga terkadang sulit untuk mengontrol emosi. Ketakutan mereka ialah menghadapi penolakan. 4. Koleris (cairan empedu kuning yang berlebih) Orang dengan tipe koleris mempunyai sifat kepemimpinan, ambisius dan kepercayaan diri yang tinggi. Mereka agresif, mempunyai renjana yang besar, berusaha mendominasi orang lain dan menjadi yang terbaik. Mereka cenderung untuk mengontrol semua hal, berpikir cepat, aktif, mandiri, mudah mengambil keputusan, visioner, praktikal, dan berorientasi pada hasil. Hal itu juga yang membuat mereka mudah jatuh dalam depresi dan suasana hati yang tidak menentu apabila tidak sesuai ekspektasi mereka. Apabila mereka berhadapan dengan oposisi, mereka cenderung untuk berusaha mempertahankan diri menjadi yang superior. Mereka senang berkompetisi dan tidak menyukai kekalahan, sehingga cenderung menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat.

Selamat menilai!

[1] Benson, N., et al. (2012). The psychology book: Big ideas simply explained. New York: DK Publishing.

41


Perangai Personalitas ................................ 42


Perangai Personalitas ................................ 43


Perangai Personalitas ................................ 44


Perangai Personalitas ................................ 45


Perangai Personalitas ................................ 46


Jawaban : Apakah Anda yakin dengan penilaian Anda?

47


Televisi OLEH: MULIA IDZNILLAH

48


49


50


51




54


55



.......... Do you know we are being led to slaughters by placid admirals & that fat slow generals are getting obscene on young blood Do you know we are ruled by T.V. .......... ~Jim Morrison, An American Prayer

57


Whisper in the Crowd OLEH: SRI SURYANI

Surrealis; satu kata menyusupi angin terik di cerukan lembah antah berantah. Ungkapan yang terus hadir ketika saya dan Raras siang itu duduk bersila, menatap dua sosok terhormat, dibawah naungan sebuah mahakarya. Rumah Gendang, di sana kami diterima Pak Rafael dan Pak Biatus menjadi bagian dari sebuah persaudaraan. Pahit wae kolang menggigit. Sampai jumpa dunia, selamat datang di titik terpencil Nusantara. Jumat siang di bulan Agustus, Waerebo menggelar cerita melalui biiji kopi, ceriwis tawa, dan derap langkah-langkah kecil. Perkenalkan Ogi, kelas empat SD Desa Kombo. Ia menggendong adik bungsunya yang masih bayi dengan kain yang diikatkan ke pundak, sembari menggandeng Ecen, adiknya yang lain berumur lima tahun. Kami membantu mereka memetik kopi yang matang di kebun belakang Rumah Gendang. Selain wisata, desa adat ini mengandalkan kopi untuk bernafas sehari-hari. Suara nyanyian tenor Ogi mengisi keriangan kami memanen rampai kopi ranum kemerahan. Ecen juga mewarisi suara malaikat yang sama, gemar mengucapkan ‘terima kasiiih’ dan ‘ayooo’ dengan semangat. Kemudian kami bersedih karena hari beranjak sore dan mereka mesti pulang. Rasanya seperti dibuai pada kepolosan masa kanak-kanak. Malam datang menabur bintang di pekarangan. Tujuh kerucut tegak mengitari, gelap membasuh ruang diantaranya. Pak Petus membawakan cerita mengenai sejarah dan budaya. Juga, sebuah perjalanan dan spirit baru menghadapi hari esok. Di antara wae kolang yang telah tandas, senyum tipis Pak Petrus, samar di luar terdengar suara musik memainkan lagu yang asing. Bahasa dan makna yang asing. 58


Bukankah kami terasing? Tapi mengapa dalam asing ini, kami temukan sebuah keakraban? Kami menyempatkan diri singgah ke Rumah Gendang. Mama Vilo, sedang asyik menulis percakapan jual beli tenun manggarai dalam bahasa Inggris. Ini penting, mengingat kebanyakan turis adalah wisatawan luar negeri. Beliau meminta bantuan kami untuk menuliskan versi jual beli kopi, yang dengan cepat kami sanggupi. Sedang seru-serunya menulis ketika CTEK! Lampu padam, yang tampak hanya bara kemerahan dan asap tipis di tengah rumah. Pukul sepuluh malam, penghuni desa adat ini berkompromi menggunakan lilin atau petromak untuk penerangan. Solar masih menjadi sumber energi utama. Dirigen demi dirigen dipikul selama tiga jam naik turun bukit dengan harga tiga kali lipat demi sebuah pelita menyibak kelam. Mama Vilo tersenyum, tetap giat melanjutkan sesi pelajaran bahasa. Tak lama kami undur diri. Berbagai pikiram berkecamuk dalam kepala, hingga lelap menyelimuti. Barangkali Waerebo memiliki gelombangnya sendiri, ketika saya terbangun subuh itu. Menjadi saksi milyaran bintang menyesaki angkasa deng59


an dengan foreground tujuh siluet mbaru niang, sungguh kekayaan tak ternilai. Sebuah gejolak, energi, rasa bertalu. Tanpa sadar, ada yang mengukur betapa jauh, betapa lapang, betapa besar ruang, namun begitu intim. Seakan setiap keping bintang menyusun semesta dan diri ini adalah separtikel darinya. Menghadiri live planetarium sungguh sensasi tak terkira di mula hari itu, tak pernah terlintas sedikitpun. Mungkin energi kehadiran, menjadi bagian, dan terlibat dalam suatu peristiwa membuat kekuatan mengalami menjadi tak tergantikan oleh sekedar membaca atau mendengar. Adalah suatu pagi yang hampir tak terbayang benar terjadi. Saya, Raras, Pak Alex, Pak Rafael, Pak Biatus, dan beberapa bapak lain duduk santai di ike. Layaknya anak kecil yang didongengi kakeknya, saya menatap satu per satu wajah mereka, lalu beralih pada Rumah Gendang yang gagah. “Ini adalah bukti kebersamaan kami.�ujar Pak Alex, menatap rumah tua itu, seakan menekuri hari-hari lalu dan esok. Ogi menatap jauh ke arah bukit. Pak Rafael berdiri tegak pada tongkatnya. Banyak cara memperingati sesuatu. 17 Agustus di Waerebo adalah salah satunya. Hampir tak percaya melihat susunan tujuh kerucut melingkar dibayangi hijau bukit berbaris, bermahkota langit biru. Anak-anak kecil berlarilarian dari rumah ke rumah. Mbaru niang, mereka menyebut kerucut setinggi lima lantai itu. Waerebo sudah fasih diucapkan, disebut, dan dibicarakan. Sebuah negeri antah berantah dalam dongeng, sekaligus nyata dengan hangat jabat tangan dan tutur kata. Sulit dibayangkan siang itu kami mesti undur diri. Di desa ini, kami memutus komunikasi dengan dunia. Menjadi sama sekali asing, melepas segala kulit. Di desa ini pula, kami menemukan semesta baru. Menjadi bagian dari sebuah kebersamaan, menebar ikatan rasa. Waerebo seperti sebuah bisikan dalam keramaian. A whisper in the crowd. Di tengah hingar bingar lini masa- kemudahan bersapa dalam deras waktu dan jarak yang terpangkas, konsepsi kedekatan itu muncul dari kebersamaan yang ramah. Ia berbicara dengan sesuatu yang tak terdengar, tanpa suara, tapi terasa. 60


[1] Rumah Gendang: rumah utama dari tujuh rumah adat di Wae rebo, juga merupakan rumah berukuran terbesar. Pada pucuk kerucut terdapat bubungan berbentuk tanduk. [2] wae kolang: wae (air) dan kolang (panas) biasa menjadi sebutan kopi hitam panas yang merupakan minuman sehari-hari di Wae rebo [3] ike: panggung batu di muka Rumah Gendang (rumah utama), berfungsi sebagai beranda tempat interaksi publik antara penduduk We rebo

61


Beranda Edisi #2 Mei 2014

62

62


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.