Beranda #1 Pulang

Page 1

Edisi #1 Maret 2014

BERANDA perempuan bercerita ~ pulang


Beranda

Tim Editorial Anastasia Widyaningsih Apriani Sarashayu Paramitha Yanindraputri Rofianisa Nurdin Sri Suryani Vallin Tsarina Foto Sampul Principia Wardhani Kontak kami cerita.diberanda@gmail.com di-beranda.tumblr.com

Adalah tempat perempuan bercerita. Dalam sebuah sore menuju petang; mengulas hal-hal keseharian ditemani secangkir teh dan penganan ringan buatan sendiri. Bersama keluarga, tetangga, kerabat, maupun seseorang yang sedang dekat. Beranda adalah tempat dialog dan argumen bertemu. Tempat kompromi didiskusikan dan keraguan diutarakan, (tempat) mengekspresikan pemikiran dari sudut pandang perempuan. Di Beranda kita menyapa, untuk sekadar mampir ataupun tinggal. Dalam derap langkah yang gegas ataupun hati yang terbuka, kelak di Beranda, kita akan bertemu kembali. Karya dan tulisan yang dimuat di Beranda merupakan pendapat pribadi kontributor yang bersangkutan, dan tidak mencerminkan keseluruhan isi Beranda maupun pendapat kontributor -kontributor lainnya. Dilarang menggunakan karya atau tulisan tanpa ijin dari Beranda.

Edisi #1 Maret 2014


#1

Pulang

Oleh: Anastasia Widyaninggsih Seperti halnya pergi, pulang juga adalah sebuah tujuan; sesederhana pulang ke kota seperti yang diungkapkan Rofianisa Nurdin dalam tulisannya atau sesederhana perasaan nyaman yang tergambarkan pada kolase manis karya Natasha Gabriella Tontey. Dalam perjalanannya selalu ada sesuatu yang dibawa saat pulang, entah buah tangan cerita dari pelancongan ataupun kerinduan yang dalam. Namun tak jarang, perjalanan itu sendiri memberikan sebuah pelajaran seperti Sri Suryani yang merasakan masih adanya harapan tentang Jakarta dari obrolan singkatnya dengan ojek yang mengantarnya, atau Anastasia Widyaningsih yang merasa perjalanannya ke tanah Borneo membawa perubahan dalam dirinya. Kenangan akan kota kelahirannya membuat Apriani Sarashayu menelisik kembali apa yang berubah pada kepulangannya ke Yogyakarta. Rekonstruksi ingatan, seperti apa yang juga disyairkan Vallin Tsarina atau yang direkam Principia Wardhani pada foto-fotonya, ingatan tentang tempat ataupun seseorang yang ingin dimunculkan kembali. Jika pulang adalah kepada sebuah tempat ataupun seseorang, maka Mulyani tidak akan pernah merasakannya lagi, sepeti kisahnya yang diceritakan Caron Toshiko. Berbeda dengan Eyang Etty, walaupun sulit mendapatkan rumahnya kembali, ia berusaha menciptakan rumah di perantauannya; rumah adalah tempat kita merasa diterima, seperti yang diungkapkan Paramitha Yanindraputri. Demikianlah “pulang� menjadi tema untuk edisi pertama Beranda ini, dalam upaya mengajak pembaca untuk memaknainya kembali dari berbagai sudut pandang. Diakhiri dengan pertanyaan: Maukah kamu pulang? Selamat menikmati! 3


5

OJEK TENGAH MALAM, JATINEGARA oleh: Sri Suryani

8

16

PROTES KOTA oleh: Apriani Sarashayu PULANG KOTA oleh: Rofianisa Nurdin

23 RUMAH

oleh: Paramitha Yanindraputri 28

CERITA DARI BORNEO oleh: Anastasia Widyaningsih RUSTAMI TELAH MATI oleh: Caron Toshiko

36

46

BATHING IN BLEACH oleh: Natasha Gabriella Tontey MEMORY oleh: Principia Wardhani

48

56 REKONSTRUKSI

oleh: Vallin Tsarina 4


Ojek Tengah Malam, Jatinegara OLEH : SRI SURYANI

Siapakah namamu?� Barangkali aku setengah tertidur waktu kau tanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela: siluet di atas dasar hitam. Aku tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kau tanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.[1] Kadang kesunyian lebih menyesakkan daripada keramaian. Paduan udara hangat-lembab mengisi ruang-ruang truss baja, kursi kosong, rel-rel malas, ketika letih menapak pada platform hitam berlapis aspal. Kosong yang memekakkan. Beberapa pasang mata terbangun menatap, tertangkap pandang. Sirene memecah senyap suara. Ada yang pergi untuk pulang. Apakah aku harus memberimu selamat tinggal hanya karena di stasiun?[2] 5


Kedua kaki berjalan menuju arah tanda ‘pintu keluar’. Dibalik pintu besi itu, beberapa sopir taksi yang biasa, tukang ojek yang biasa, bajaj, angkot, sahut klakson menyahut yang datang, menghujani dengan keriuhan yang biasa. Satu orang tukang ojek yang biasa dan tarif yang biasa. Entah berapa juta biasa berlalu hari ini, itu pun sebentar lagi menjadi kemarin. Tak henti aku menabur tatap pada sosok-sosok terlintas. Cipinang - I Gusti Ngurah Rai dan nafas malamnya. Sosok perempuan molek berjajar dalam jarak tertentu. Lampu remang, bayang-bayang hitam. Malam mencapai separuhnya. Lampu jalan mengintai seperti mata-mata yang awas, menyoroti lintasan yang kini menyisakan lapang. Bersembunyi padanya pohon-pohon tua mengadu nasib. Kota ini masih tegar dalam ingatan yang berkarang. Masih dalam laju di atas lautan aspal, buka kembali memori demi memori. Hisap udara kering. Rumah-rumah tepi rel. Halte busway. Di bawah naungan jalan layang, gubuk-gubuk dan tenda merona, petromak mengusir kelam malam. Sesuatu digelar, dijajakan. Beberapa pasang mata simpang siur mengerubung, seperti laron di musim hujan. Sesekali masih terlihat seosok perempuan. Kota, katanya lebih mirip rimba manusia daripada hutan beton.[3] Tapi, lihat! Betapa magis detik demi detik pergantian hari. Betapa halus. Barisan metromini dengan jendela kotak-kotak gelap, menutup mata tak bernyawa. Antena TV berbunga di atap genteng rumah-rumah padat, menemani burung gereja bermimpi di kelidan jemuran. Masih pada dimensi yang sama, sesuatu mencakar, menggapai, menjalar ke atas, me-ngais-ngais ruang demi sesuap nasi. Satu jadi seribu. Epitom reaktif urban, dimana gedung-gedung menjamur dengan sedikit atau tanpa dasar.[4] Dilihat dari manapun, potret masa depan selalu sulit diucapkan kota ini. Buram. Seperti mengeja satu negeri asing di antah berantah yang hanya dimengerti oleh angin. Apakah setitik noda kecewa telah merusak segala polos-cerianya? Jika ia adalah sebuah rumah, siapa sosok dibalik pintunya? Lambat laun, identitas itu kian pudar. Waktu berputar, berkilat cepat. Sosok itu mengabur dalam daur baur. 6


Lampu merah seperti wahana yang sepi pengunjung. Ojek masih bicara dengan bahasa bisu, sebisu langit sendu tanpa bintang. Campuran rona biru, merah, dan setetes vermilion- kubah angkasa tak pernah tentu. A state of flux. Begitu pula jutaan manusia yang memadati kota, hilir mudik mengayuh sampan dalam deras jeram waktu. Beberapa bermimpi membuka mata esok hari, beberapa bermimpi menyudahi segalanya hari ini. Jalan, gedung, taman, gerobak, kantong plastik, dan keping-keping semesta. Pada ruang lega di tengah malam raya, mimpi-harap-garis paralel bersenandung menyesakinya. Ojek kalem ini salah satunya. “Besok Pemilu Gubernur ya Pak.” “Iya neng.” “Kalau boleh tau, pilih siapa Pak?” “Saya pilih Jokowi.” “Kenapa Jokowi?” “Jokowi pro rakyat neng, mau menurunkan harga BBM.” Kemudian roda berhenti di mulut gapura sebuah gang. Gelap, pekat yang bersahabat seperti kerabat. Betapa sederhana. Di ujung perjalanan ini, ruang itu selalu ada. Ruang untuk memaafkan. Demi salam yang berbalas, lekat di jarak antara pagar dan lampu jalan. Demi sepasang tangan mengeriput dan peluk hangat. Selalu ada maaf, hadir di antara tembok dan jendela. Kota ini rumit sekaligus sederhana. Setidaknya harap-lepas masih dihela nafas.

[1]Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago oleh Sapardi [2]Perihal Waktu oleh Sapardi [3]The Human Zoo oleh Desmond Morris [4]The Book of Cities oleh Philip Dodd dan Ben Donald. London 2006. Annova 7




Protes Kota OLEH : APRIANI SARASHAYU

Pada setiap pulang, pasti ada suatu upaya untuk membarukan kembali memori. Menelisik apa yang berubah dari sudut-sudut yang selalu kita simpan rapat dalam ingatan. Tentang umur yang bertambah, pasti membuat perbedaan dalam memandang kota tempat pulang. Fase usia saya saat ini adalah fase dimana sebagian besar teman saya meninggalkan kota ini untuk mencari nafkah. Dan pertanyaan - pertanyaan yang paling sering dilemparkan pada setiap reuni adalah pertanyaan standar: tentang pembangunan mall, perumahan, dan hotel-hotel yang semakin merejalela. Hal-hal baru memang paling mudah dipindai secara visual. Lalu pulang kali ini membuat saya terkaget dengan perkembangan kota ini. Apalagi di sekitaran kampus, sepertinya kota ini beranak satu bangunan tiap berapa menit dan bersalin muka tiap berapa periode. Beberapa hal membuat saya agak terlupa, ini dimana dan kenapa semua kota beranjak ke suatu kesamaan? Apakah riuhnya perkembangan ekonomi tidak bisa dikontrol dengan kebijakan penataan kota yang baik? Jika pertambahan bangunan adalah hal yang lumrah, saya mulai mencari hal-hal visual lain yang bisa dipindai dengan cepat. Hal-hal yang masih membuktikan kota saya ini masih istimewa, setidaknya mencari pembenaran bahwa ia masih sama seperti yang dulu. Lalu saya menemukan bahwa warga kota ini sangat kritis. Warga tahu dan mengawasi pemerintahan dengan cara yang elegan. Budaya untuk menyuarakan sesuatu di muka umum sudah mendaging.

10


11


Poster Bagi yang tidak tahu seperti apa poster yang beredar, berikut saya paparkan penjelasannya. Poster ini umumnya hitam putih, diproduksi secara murah. Desain poster ini umumnya hanya berupa kata-kata ataupun gambar sederhana. Beberapa kali pulang ke kota ini, saya selalu menemukan poster-poster semacam ini di jalanan. Sederhana tetapi mencuri perhatian. Beberapa hal yang dijaga tetap sederhana terkadang menjadikan itu berbeda di antara yang lain. Yang lebih menarik lagi adalah tentang konten dari poster ini. Umumnya pembuat poster adalah dari kalangan independen karena harga pembuatan poster semacam ini relatif lebih murah. Persebarannya cukup masif dan merata di kota ini. Bisa dikatakan efektif, bahkan seorang teman saya, pelancong dari ibukota menanyakan konten poster itu kepada saya, “Udin itu siapa?�. Konten yang diusung biasanya adalah tentang pengingat. Pengingat yang efektif untuk membuat beberapa orang mencari tahu kembali. Suatu kasus politik pernah menimpa kota ini, tentang hilangnya seorang wartawan karena mengungkap korupsi pejabat daerah setempat. Saya generasi yang tidak tahu menahu soal hal itu, ketika melihat poster ini kemudian saya terdorong mencari tahu. Dari dinding-dinding kota yang bicara akhirnya saya bisa sedikit mengerti dan mengetahui dengan cara saya sendiri. Poster ini semacam pemancing bagi warga kota yang lupa untuk kembali mengingat dan bagi warga kota yang tidak tahu untuk mencari tahu dengan caranya sendiri.

12


Mural Masih hangat di ingatan, peristiwa protes keras yang ditujukan ke pemerintah kota ini melalui mural di salah satu pojokan kota. Mural tersebut berisi slogan yang menyatakan bahwa kota ini tidak dijual. Hal tersebut memancing kemarahan aparat lokal yang berujung pada penangkapan si pembuat mural. Kehadiran mural ini memantik gerakan-gerakan protes berikutnya. Sorenya ada diskusi terbuka yang diadakan untuk membahas mengenai isu kota yang dijual. Sebuah komunitas akhirnya secara intens mengawal dan membuat forum diskusi warga kota yang terbuka untuk semua orang. Komunitas ini menggagas suatu festival. Nama festival ini mencerminkan misi mereka untuk mengawal kebijakan Walikota. Festival ‘Nggoleki Har’ atau dalam bahasa Indonesia ‘Mencari Haryadi’. Haryadi adalah nama walikota di wilayah ini, kata mencari lebih mengarah pada keberadaan Sang Walikota yang dituntut selalu ada untuk memberi penjelasan dan mendengarkan aspirasi warganya. Mural ini juga mendorong terciptanya mural-mural lain yang mengusung isu serupa tentang wajah kota yang perlahan menjadi komersil. Tercipta pula sebuah lagu rap yang terinspirasi dari kata-kata di mural ini. Lagu ini menjadi pengingat untuk warga dan theme song gerakan ‘nggoleki Har’.

(Sumber foto: http://cdn.kaskus.com/images/2013/10/10/3244753_20131010033946.jpg) 13


(Sumber foto: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/04/13342146431105898956.jpg)

Instalasi Seni (Budi Ubrux, Nasi Bungkus) Salah satu hal yang paling mencolok dari kota ini adalah budaya dan kesenian. (Katanya) kota kami ini terkenal dengan seniman-senimannya yang merakyat. Seni adalah bagian dari keseharian kota. Instalasi seni juga dijadikan sebagai media efektif untuk mengembalikan ingatan masyarakat pada solidaritas warga kota. Instalasi nasi bungkus yang sempat menghiasi wajah 0 kilometer di kota ini adalah salah satu yang dianggap berhasil melakukannya. Sebuah nasi bungkus raksasa dibuat oleh sang seniman sebagai pengingat peristiwa erupsi merapi yang pernah terjadi. Kala itu muncul gerakan nasi bungkus untuk warga pengungsi gunung merapi. Erupsi gunung Merapi menimpa sebagian wilayah kota sehingga warga di wilayah yang terkena bencana terpaksa mengungsi ke tempat lain. Warga wilayah lainnya yang tidak menjadi korban membuatkan nasi bungkus untuk para pengungsi ini. Gerakan ini tidak terjadi hanya satu dua kali saja, tetapi selama bencana erupsi Merapi berlangsung. Gerakan warga yang secara mandiri membantu warga lain dalam satu kota tanpa permintaan dari pemerintah menjadikan bukti bahwa semangat guyub di kota ini masih ada.

14


Memori kolektif semacam ini dipahami oleh semua warga tanpa memandang profesi. Seorang tukang becak pun mengerti makna dari instalasi ini karena ingatan pada suatu peristiwa guyub bersama. Seni publik yang bisa diterima banyak orang terasa lebih bermakna. Maka anggapan bahwa seni tak tergapai untuk kalangan bawah berhasil dipatahkan. Kami punya seni publik yang dihasilkan karena memori warga kota bersama. Maka bolehlah saya masih menyelipkan rasa bangga pada kota tercinta ini. When you look at a city, Its like reading the hopes, aspirations, and pride of everyone who built it –Hugh Newell Jacobsen Pada akhirnya usaha-usaha di atas dilakukan sebagai upaya warga untuk merebut ruang kota. Ruang-ruang ini diharapkan bisa efektif menyampaikan aspirasi mereka sebagai warga yang peduli pada nasib kota dan kegiatan di dalamnya. Gerakan yang terkadang dianggap nyeleneh ini sejatinya menunjukan bahwa warga kota ini masih peduli dan merasa memiliki kota ini. Maka marilah kita merayakan budaya berkota!

15


Pulang Kota Tulisan: ROFIANISA NURDIN foto: lukman hakim

Kota adalah simpul. Kota adalah tempat kepentingan berkumpul. Kota adalah stasiun: tempat orang-orang datang, orang-orang pergi. Orangorang yang (bersikukuh) tinggal dan orang-orang yang tak (pernah) kembali. Bagi sebagian orang, kota itu sesederhana tempat berpulang: Rumah. 16


Di salah satu pulau terluar Indonesia, sebuah rumah berdiri di perbatasan dua negara. Penghuninya menerima tamu di Indonesia, dan pergi ke dapur untuk menyeduh kopi di Malaysia. Fakta ini kerap menjadi lelucon ringan masyarakat di sana: bahwa sekedar melangkah ke ruangan lain di dalam rumah, mereka harus berpindah negara.[1] Lain halnya dengan yang terjadi di kota besar. Ada hal yang sebenarnya janggal namun sudah menjadi pemandangan yang lumrah: orang-orang tak lagi menerima tamu di beranda rumah. Mereka menetapkan janji bersilaturahmi melalui media sosial, lalu pada waktu yang telah ditentukan bergegas dengan moda transportasi yang sesuai dengan kemampuan (dan kelas) masing-masing, menempuh jarak yang terbias waktu tempuh yang tak terduga, menyebut kata “macet� sebagai pengganti ucapan salam ketika telah bertatap muka, dan memilih kafe ataupun resto yang paling fotogenik untuk akhirnya mereka abadikan gambarnya demi menjadi bagian masyarakat dunia maya (mencatat sejarah, katanya. Menampilkan citra tertentu, biasanya). Sekedar bertatap muka untuk berbincang ringan mereka habiskan sejumlah uang, selewat waktu, dan segelintir kesabaran yang kian terkikis di perjalanan tiap harinya.

17


Dalam waktu dan biaya yang sama, seorang pengelana sudah bisa berpindah kota. Tapi tentu saja konteksnya berbeda. Pengelana itu barangkali sedang mencari rumah dalam pemaknaan yang ia imani, sementara orang-orang di kafe tadi justru (meski, mungkin, tanpa disadari) sedang memecah fungsi rumah, menjadikannya fragmen-fragmen ruang yang terpisah jarak dan pencapaian. Menjadikannya horcrux.[2] Horcrux adalah objek berkekuatan sihir tempat fragmen jiwa seorang penyihir disimpan dan dirahasiakan. Mereka yang mati namun memiliki sebagian jiwa di dalam horcrux akan dapat hidup kembali. Semakin banyak horcrux mereka ciptakan, semakin banyak jiwa mereka terfragmentasi, semakin dekat mereka dengan keabadian; meskipun memiliki resiko hilangnya sifat-sifat manusiawi dan kejanggalan pada rupa fisik. Jika sebuah rumah memiliki jiwa, maka tindakan memecah fungsi rumah tadi sama halnya dengan menciptakan horcrux: upaya merekayasa ruang-ruang sosial pada bangunan publik komersial; menjual skala yang intim, dekorasi yang cozy, “kenyamanan seakan di rumah sendiri�; menawarkannya kepada mereka yang terbutakan keabadian uang dan tersihir konsumerisme; kitsch yang membuai dalam dunia “seolah-olah�. Rumah yang sebenarnya lalu menjadi sepenggal kata ambigu, menjadi sebuah ruang sekedar. Kosong, cacat, berdebu. Tanpa jiwa. Alkisah segerombol pendatang memutuskan hijrah ke kota. Selama aktivitas ekonomi masih berjalan dan wahana perputaran uang masih dikemudikan tangan-tangan tak kasat mata, mereka akan selalu ada. Memenuhi ruang-ruang kota yang sudah sesak: kamar-kamar kos di lipatan-lipatan strategis; rumah-rumah makan yang kurang higienis; sesekali (atau berulang kali, tergantung pendapatan dan ego mana yang dimenangkan: hedonis atau utilitarian) memanjakan diri di sarana hiburan dan pusat perbelanjaan (mal, kafe, bar, club, pusat kecantikan; -sebut saja, semua ada). Gejala kaum menengah yang menjadi fenomena populer, belakangan. 18


Bertumpu pada kaki-kaki mereka yang sudah bisa berdiri sendiri, di hadapan mereka dunia terbuka lebar. Tersihir lampu-lampu kota, berlembar-lembar peluh yang mereka hasilkan selama sebulan, habis sekejap seketika. Demi merasa pulang, merasa di rumah. Mereka adalah penikmat horcrux yang paling setia. Penghuni sekotak ruang tidur yang ruang-ruang sosialnya tersebar di mana-mana. Membaca dan mengerjakan tugas di kedai kopi ber-wi-fi, bercengkrama sepulang kerja di lounge bersama teman lama, mencicipi kuliner dunia dalam satu meja di foodcourt tersohor di sejagat kota. Mereka mendamba rumah, dan obrolan hangat, dan masakan bunda; berharap ruang-ruang berinterior temaram dalam berbagai tema dapat menggantikannya. Bisakah? Apakah Rumah? “Walls with windows and doors form the house, but the empty space within it is the essence of the home.� — Lao Tse Jika rice dalam bahasa Inggris dapat didefinisikan sebagai padi, beras, juga nasi; maka rumah dalam bahasa Indonesia pun memiliki definisi ganda dalam bahasa Inggris sebagai house dan home, meski kedua kata tersebut punya makna yang berbeda. Perbedaan makna dalam satu kata ini, barangkali, yang membuat kita terkadang lupa bahwa rumah bukan sekedar tempat bernaung. Lalu apakah rumah? Bagi sebagian yang beruntung, rumah memang tak sekedar tempat bernaung. Ia representasi kesuksesan penghuninya. Tercermin dari pilarpilar maha, pagar-pagar berukir bersalut tembaga, beton berlapis peluh seratus buruh, ruang-ruang bersalut statuario dan bebatuan alam dari negeri di ujung dunia. Rumah bagi mereka adalah simbol. Sebuah kebanggaan. Sebuah pernyataan. Etalase.

19


Bagi yang kurang beruntung, rumah tak lebih dari secuil spasi beratap bayang-bayang malam. Tempat yang hanya cukup untuk meringkuk mencari mimpi dalam bising kaki yang berlalu-lalang. Rumah yang akan hilang ketika pagi datang. Ketika toko-toko kembali buka dan segala jenis sampah yang berserakan di pelatarannya disapu; termasuk mereka.

Bagi segelintir pengenyam pendidikan arsitektur, rumah ibarat komoditas: tak pernah habis beratus-ratus kali dimaknai, diteliti, didefinisi lalu diredefinisi kembali, dirancang dan dihancurkan, diolah menjadi barang dagangan demi sesuap nasi dan setenggak kopi untuk bertahan setidaknya hingga satu malam lagi. Di Indonesia, common sense arsitektur adalah rumah. Praktisi dan akademisi yang ingin mencari perhatian publik, menggunakan rumah sebagai kata kunci. Bagi sebagian orang, rumah itu sekompleks sebuah kota. Tempat mereka memaknai “pulang�.

20


Pulang (ke) Kota? Abad 21. Pelaku urbanisasi telah beberapa dekade menetap hingga beranak-pinak. Mudik kini tak hanya diasosiasikan dengan “pulang ke kampung”, karena tak sedikit yang merayakan hari raya maupun berkumpul dalam hajatan keluarga besar di kota (dan bukannya “kampung”) halaman. Ke tempat yang tertua dan yang dituakan yang masih tersisa, tinggal.

Kamar-kamar hotel full-booked. Restoran sudah tak bisa menerima reservasi. Tempat rekreasi penuh. Mal gegap dan riuh. Selebrasi pulang kota tak cukup hanya dengan mencicipi masakan oma dan bermain di halaman belakang rumah bersama sanak-saudara; petugas katering telah menyiapkan segala hidangannya dan halaman belakang rumah habis dibangun kamar-kamar untuk disewa (lagipula baik anak-anak maupun orang dewasa telah sibuk dengan benda elektronik di tangannya). Pulang kota adalah momen ketika horcrux-horcrux yang tersebar di penjuru kota laku tersambangi. Nostalgia tentang “kota halaman” yang dikunjungi setahun sekali kini berisi tentang restoran yang tahun lalu mereka kunjungi, film box office yang mereka tonton, pertujukan yang tak luput mereka nikmati (karena 21


media beserta para selebritas di dalamnya akan membicarakannya terusmenerus, dan mereka yang kehabisan tiket akan merasa menjadi manusia urban yang tak sempurna). Hingga anak-anak mereka kembali ke sekolah dan menceritakan pengalaman berlibur mereka. Tentang gemericik air di resto sunda (dan bukannya di sungai kecil belakang rumah nenek), kisah superhero yang mereka tonton di bioskop (dan bukannya nyanyian tentang anak gembala yang mengurusi kambing-kambing milik paman), serta betapa gemerlapnya dekorasi pohon natal di mall yang baru dibuka (karena gemerlap malam bertabur bintang kini bukan sesuatu yang lumrah ditemukan di kota). Lalu mereka berkoar-koar tentang romantisme pulang ke kota asal. “This feels like home,� seseorang berusia seperempat abad bergumam melalui jempolnya, menuliskan tentang betapa aroma kedai kopi favoritnya sejak SMA masih belum berubah. Mengesampingkan fakta bahwa usaha franchise internasional itu tentu punya standar penyajian yang tak setiap bulan berubah. Pun di antara mereka, ada yang tak hadir. Mungkin tak menemukan jalan pulang, atau memang sengaja terlupa. Bagi mereka, pulang ke kota hanya menyajikan penat; tak perlu lagi diingat.

Kota adalah simpul. Kota adalah tempat kepentingan berkumpul. Sejak dulu, definisinya selalu begitu. Kota adalah stasiun: tempat orang-orang datang, orang-orang pergi. Orangorang yang (bersikukuh) tinggal (meski huniannya sudah tak layak lagi), dan orang-orang yang (bersumpah) tak (akan pernah) kembali. Bagi sebagian orang, pulang ke kota adalah sebuah trauma. Seberapapun nyaman naungan yang mereka hadirkan, kota tak lagi sesederhana tempat berpulang: Sensasi rumah dalam kenangan telah hilang.

[1] Rumah Malindo, Pulau Sebatik; perbatasan Kalimantan Utara (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia). [2] Istilah horcrux dipopulerkan pada novel fantasi berseri Harry Potter karangan J.K. Rowling. 22


Rumah Oleh: Paramitha Yanindraputri

Tulisan ini hanya mengambil sepotong kecil dari kisah perjalanan hidupnya. [1] Teruntuk Eyang Etty yang selalu saya kagumi Tiap keluarga migran selalu mempunyai kisah yang menarik untuk diceritakan, dari awal mula memutuskan untuk pindah, perjuangan untuk hidup yang lebih baik, juga upaya bertahan di lingkungan yang baru. Berdasarkan teori, Entzinger[2] menyebutkan bahwa motivasi seseorang melakukan migrasi pada dasarnya terbagi menjadi empat, yaitu migrasi sukarela karena alasan ekonomi, migrasi paksa karena alasan ekonomi, migrasi sukarela karena alasan politik atau ideologi, dan migrasi paksa karena alasan politik dan ideologi. Takdir yang mempertemukan saya dan Eyang Etty melalui tugas kuliah yang membuat saya dan teman-teman harus bergerilya untuk menemukan responden asal negara kami yang telah bermigrasi dan menetap di Belanda beberapa waktu. Sebagai perempuan berumur 83 tahun ketika itu, Ia memiliki pengalaman hidup yang sangat menarik untuk diceritakan, wawasan yang luas, semangat untuk terus belajar, serta keaktifan dalam berbagai kegiatan yang membuat saya terkagum dan merasa beruntung mengenalnya. Eyang Etty lahir dan besar pada era perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Di masa mudanya, beliau turut andil dalam perjuangan melawan penjajah. Awal kisah perpindahannya ke negeri asing diawali dengan pertemuannya dengan seorang pria asal Suriname berkebangsaan Belanda di sebuah toko buku tempat Ia bekerja paruh waktu. 23


Ketika itu, Ia sedang mengenyam pendidikan di Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen bagian dari Nood-Universiteit van IndonesiĂŤ[3]. Pernikahan antar bangsa saat itu belum lazim, terutama bagi perempuan Indonesia yang menikahi pria berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1952, mereka memutuskan untuk menikah setelah mendapatkan persetujuan dari ayahnya dan calon suaminya menjadi seorang muslim. Setelah menikah mereka pindah ke Surabaya dan hidup berkecukupan. Upaya untuk mengubah status kewarganegaaraan menjadi warga negara Indonesia terus dilakukan, namun tetap tidak diterima. Di tahun 1957, hubungan antara Indonesia dan Belanda memburuk, keadaan ini memaksa penduduk berkewarganegaraan Belanda untuk pergi dari Indonesia. Demikian halnya dengan Eyang Etty dan keluarganya, mau tidak mau harus segera meninggalkan Indonesia. Pada saat yang sama, keadaan ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan yang memprihatinkan menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia, sehingga negara mengeluarkan kebijakan devaluasi mata uang rupiah. Penurunan nilai mata uang membuat tabungan yang telah Ia kumpulkan kehilangan nilainya. Bulan Maret tahun 1958, Eyang Etty yang sedang mengandung anak ketiga, suaminya, serta kedua anaknya bertolak dari Indonesia menggunakan kapal laut menuju Belanda dengan tabungan yang tersisa. Setelah perjalanan selama 40 hari dengan kapal, mereka akhirnya tiba di Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan bagi pengungsi politis dari Indonesia dengan memberikan tempat tinggal sederhana, pakaian dan uang sebesar 4 gulden per hari untuk bertahan hidup. Kesemua bantuan tersebut harus dibayarkan kembali kepada negara ketika mereka memiliki penghasilan beberapa tahun setelahnya. Berkat perjuangan Eyang Etty dan suaminya, kondisi sosial dan ekonomi mereka beranjak membaik. Ia bekerja sebagai asisten pustakawan di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) dan suaminya menjadi guru Bahasa Inggris. Ia dan suaminya juga aktif dalam menginisiasi organisasi berbasiskan Islam termasuk upaya dalam mendirikan sekolah Islam. Setelah suaminya meninggal dunia, Ia tinggal di apartemen yang diperuntukkan bagi warga lanjut usia di pusat kota.

24


Berbagai macam kegiatan Ia ikuti untuk mengisi waktu, mulai dari menjadi perwakilan lingkungan di Gementee[4], mengikuti kuliah singkat bagi para pensiunan di universitas, asosiasi warga lanjut usia, organisasi Islam Suriname, pengajian dengan warga Indonesia, menjadi sukarelawan di sekolah Maroko hingga membuat ulasan buku-buku bertemakan Islam. Hidup berpuluh tahun, menjadi warga menengah di Belanda yang berkecukupan dan aktif berkegiatan sosial di lingkungan tempat tinggalnya, Belanda baginya tetap lah asing. Tinggal di Belanda, menurutnya, serasa tinggal di pengungsian. Hingga kepindahannya ke Belanda, ia dan suaminya tetap berusaha mengurus kewarganegaraan Indonesia tetapi tidak berhasil. Saat ini, rumah baginya adalah Islam, dimana ia selalu dapat kembali tanpa terhalang oleh batasan geografis maupun kewarganegaraan. [1] Tulisan berdasarkan Migrant Household Livelihood in Rotterdam Interview and Analysis Report oleh Aqwam, A & Yanindraputri, P. [2] Entzinger, H. 2011. USD-1 Livelihood Strategies and Social Sector Policies : Migration and Integration presentation. Rotterdam: IHS [3] Saat ini adalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia [4] Kantor Walikota 25




Cerita dari Borneo Oleh: ANASTASIA WIDYANINGSIH

Tiket pesawat sudah dipesan, kali ini perjalanan menuju tanah Borneo harus mengandalkan sepenuhnya pada angkutan udara karena kondisi jalan darat di musim hujan ternyata sangat parah. Cerita lama. Kali ini aku akan berkunjung ke jantung Kalimantan Barat, kawasan Taman Nasional Danau Sentarum yang terletak di 14 jam dari kota Pontianak ke arah Putussibau. Danau pasang surut terbesar di Indonesia ini dihuni oleh masyarakat Dayak Iban dan Melayu yang tersebar di beberapa desa. Fenomena pasang surutnya menjadikan Danau Sentarum ekosistem yang unik yang menjadi tumpuan mata pencaharian bagi mereka dan tentu saja menjadi objek yang menarik bagi para peneliti lingkungan dan fotografer. Entah karena sudah lama tidak melakukan perjalanan menantang alam atau memang karena tambah tua, aku menjadi lebih khawatir dan penuh perhitungan. Padahal, ini bukan pertama kalinya aku pergi ke sana. Mataku menerawang menembus kaca jendela pesawat mini ini, hamparan hujan tropis cukup menarik namun tidak berhasil membuyarkan lamunanku: Bagaimana kabar mereka sekarang?

28


Setelah dua kali perjalanan udara dan sekali perjalanan air menyusuri Kapuas Hulu, akhirnya tibalah aku di desa Selimbau, pintu masuk menuju kawasan danau. Hari sudah malam tapi cukup jelas bahwa air pasang karena sebagian besar tiang penyangga rumah terendam air. Ini akan menjadi malam terakhirku di ‘peradaban’ sebelum masuk ke antah berantah, aku sungguh tak sabar. Desa Pengerak akan menjadi persinggahanku beberapa hari ke depan. Desa yang dihuni suku Dayak Iban ini adalah desa yang dulu aku kunjungi, desa yang sebagian besar penghuninya adalah ibu-ibu dan remaja gadis sementara pria-pria mudanya pergi merantau ke Malaysia; desa yang masih bernapaskan kristiani. Aku menahan napas ketika perahu kami melewati tikungan terakhir; pepohonan satu persatu terbuka dan pemandangan deretan rumah panggung kian tergambar jelas; refleksi indahnya pada air sungai yang hitam terbelah oleh deru perahu tempel kami. Bangunan pertama yang menyambut adalah gereja yang tampak tidak terawat dengan lambang salib di atas daun pintunya, disusul oleh beberapa rumah panggung milik warga, dan diakhiri sebuah rumah betang, rumah keluarga sang kepala desa, merupakan gabungan dari beberapa rumah panggung yang disatukan oleh sebuah beranda luas. Desa tampak hening pagi itu, sepertinya para gadis sedang pergi memasang pukat. 29


Kemanakah anak-anak kecil yang biasa bermain di pinggir kolam pemandian? Haru biru memenuhi ruang komunal di rumah betang ini. Suasananya masih sama seperti waktu aku datang dulu, kombinasi tempelan poster yang acak antara gambar Yesus dan Avril Lavigne, sesekali diselingi foto kenangan-kenangan dari pengunjung yang datang menghiasi dinding papan kayu. Tikar-tikar lapuk melapisi lantai yang juga terbuat dari papan kayu, coraknya memudah dimakan jaman. Ibu-ibu berkerumun, sambut-menyambut menceritakan kisah-kisah yang terlewatkan, sementara para gadis malu-malu menatap foto mereka hasil jepretanku terdahulu. Ada anak yang pulang dari merantau dan membawa keluarga baru, ada juga yang pergi ikut suami ke negeri seberang. Ada anak anjing baru. Anak-anak kecil ternyata sudah tidak tinggal lagi di sini, mereka semua pindah ke kota kecamatan untuk bersekolah. Mengingat kesulitan mereka mendapatkan guru yang mau tinggal di desa terpencil, berita itu setidaknya memberikan secercah harapan di antara cerita tentang yang datang dan yang pergi. Keesokan harinya aku bangun pagi sekali, karena udara yang menusuk, juga karena teman tidur satu kelambuku, Kanca, salah satu gadis Iban, sudah bangun. Ada hal yang menarik yang kuperhatikan dari para gadis Iban ini, yaitu pembagian tugas mereka, sepertinya ada penjenjangan dalam melakukan tugas sehari-hari. Gadis yang lebih tua, seusia Kanca (25 tahun – ke atas), bertugas di dapur: memasak, menyiapkan makanan, dan mencuci piring; mereka juga yang diharuskan untuk belajar menganyam bemban (sejenis tanaman yang digunakan sebagai bahan dasar membuat tikar khas Dayak Iban) dan meronce manik-manik. Konon menurut ibu mereka, keahlian tersebut adalah bekal bagi mereka sebelum nantinya dipinang, sebagai sebuah keahlian yang diturunkan. Sementara gadis yang lebih muda ditugaskan untuk mencari ikan dari memancing atau memasang jala (dan berladang saat musim kering). Namun pagi ini mereka terpaksa absen mengambil pukat seperti biasa karena akan menemaniku mendaki bukit tertinggi di kawasan ini. 30


Persiapan berangkat mendaki menjadi agak lama ketika sejumlah perempuan ikut serta. Mereka mandi dan mencuci terlebih dahulu, berdandan, sarapan, lalu mempersiapkan perlengkapan. Mereka ribut mencari dimana sepatu mereka sementara aku sendiri sibuk menalikan sepatu gunung yang kubeli khusus untuk perjalanan ini. Aku pikir tentu sepatu kets atau minimal sandal gunung yang akan mereka kenakan, namun ternyata mereka mengeluarkan sepatu plastik seperti yang biasa dijual di pasar-pasar di Jakarta. “Kanca, kamu pakai sepatu plastik itu apa kuat?� tanyaku. “Tidak apa, sudah biasa pakai ini,� balas Kanca sambil memakai kaus kaki pemain bolanya terlebih dahulu. Memperhatikan mereka dan membandingkannya denganku membuat diriku merasa agak sedikit berlebihan. Hari ini adalah puncak semua kekhawatiranku, kami akan menaiki Bukit Semujan yang terkenal misterius dengan dipandu satu-satunya orang yang pernah mendakinya di antara kami. Yang aku resahkan adalah tersesat, atau lebih buruk lagi, berpapasan dengan beruang madu atau kucing hutan. Namun rasa takut sepertinya tak tersirat di wajah-wajah manis di hadapanku, mereka tampak antusias seperti akan pergi ke kota. Mungkin sebaiknya aku pun menyimpan ketakutanku. Seperti kata pemanduku, “Tidak perlu takut, alam akan menjagamu.� Pendakian berjalan agak terseok-seok, beberapa kali kami harus berhenti karena ada yang tidak kuat, termasuk aku. Padahal medannya tidak terlalu terjal, hanya saja pernapasan ternyata kurang terlatih. Para gadis Iban turut mengambil manfaat peristirahatan ini dengan berfoto dengan kamera handphone model lama milik salah satu dari mereka. Memang itu adalah kali pertama mereka ke Bukit Semujan yang sebenarnya berjarak tidak begitu jauh dari desa mereka. Mereka berfoto bergantian. Melihat mereka bertingkah seperti itu serasa kembali lagi ke masa SMP ketika marak handphone berkamera. Walaupun sedikit terlambat, tak ayal fenomena berfoto diri pun akan dilalui juga oleh mereka. 31


32


Setelah tiga jam yang alot, akhirnya sampai juga kami di titik tertinggi kawasan cagar alam ini. Sambil menyambung napas yang putus-putus, aku mengeluarkan peralatan untuk merekam pemandangan indah yang terhampar di depan. Bukit Semujan setinggi kurang lebih 900 mdpl ini memang memiliki keunikan, pada beberapa titiknya terdapat batu-batu berukuran besar, termasuk di puncaknya, yang entah berasal dari mana, konon menurut sejarahnya dulu bukit ini dijadikan tempat berperang antardesa dan batu-batu itu adalah meriam-meriam yang bertransformasi. Aura misteriusnya memang masih terasa, namun selebihnya hutan di Bukit Semujan ini cukup indah. Sayup-sayup kudengar pemandu kami pun bercerita perihal sisi lain kawasan ini yang sudah mulai dirambah untuk perkebunan sawit. Dalam hati aku berdoa, semoga cerita misteri bukit ini cukup melindunginya dari hasrat serakah para manusia. Kami tidak lama di atas sana, matahari sedang panas-panasnya. Untuk menghindari malam hari, kami turun secepatnya. Tidak seperti naik, perjalanan turun terasa lebih ringan. Di perjalanan pulang aku memperhatikan banyak hal yang terlewat saat perjalanan naik; banyak batang pepohonan mati yang terkoyak yang konon karena ulah beruang madu yang mencari makan, kondisi yang lembab menjadikannya tempat yang nyaman bagi cendawan-cendawan untuk tumbuh. Bongkahan-bongkahan hitam seperti sarang lebah yang sebenarnya adalah sarang semut yang menggelantung di dahan-dahan pohon, juga gerombolan ulat bulu yang bertumpuk seperti bola kapuk, membuat aku bergidik, antara terkesiap dan geli. Aku justru lebih takut itu daripada cerita-cerita misteri tadi. Menjelang sore kami sudah di bawah, bergegas menuju perahu yang ditambatkan di semak-semak, kembali ke desa. Tiada lelah, gadis-gadis Iban terus bernyanyi, lagu-lagu Melayu yang tidak kukenal, sepertinya mereka menikmati petualangan kami. Aku tersenyum saja mengingat betapa merepotkannya aku tadi. Fisik mereka luar biasa kuat, mungkin karena sudah terbiasa bekerja yang mengolah tubuh, sehingga daya tahan mereka terlatih. Sementara aku, sepertinya sudah terlalu banyak duduk di depan komputer. Malam itu terasa sangat panjang, aku berencana tidur awal karena badanku sakit semua, namun ternyata itu justru membuatku susah tidur. Aku lantas bergabung dengan ibu-ibu yang sedang menonton sinetron, 33


satu-satunya hiburan mereka di malam hari, itu pun hanya sampai jam 9, ketika solar yang menjadi bahan bakar genset habis. Kadang-kadang aku berpikir bagaimana jika aku bertukar kehidupan dengan salah satu gadis Iban ini; mereka tinggal di kota, berkuliah dan bekerja di kantoran; sementara aku tinggal di sini, melakukan tugas sehari-hari, mencuci, memasak, mencari ikan, bahkan menganyam bemban. Bila malam hari hiburanku hanya televisi. Walaupun aku dikelilingi keindahan alam yang seperti nirwana ini, apakah aku bisa? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang ditentukan para penguasa. Sila kelima dasar Negara kita ini semakin tidak terdengar gaungnya, diredam berbagai masalah, tentang wakil rakyat yang tidak mumpuni, juga rintihan panjang rakyat yang sengsara. Tapi dari desa Iban ini aku belajar satu hal, tentang sukacita dari kesederhanaan. Hidup sewajarnya dengan hanya mengambil yang dibutuhkan. Menyadari bahwa mereka adalah bagian dari alam. Dan bahwa kesengsaraan diawali oleh hasrat yang tidak terkendali. Hasrat yang sama yang mendorong orang untuk mencuri hasil panen orang lain, atau menjual tanahnya kepada perkebunan sawit demi hidup mewah. Aku masuk ke ruang istirahat, kelambu-kelambu sudah terpasang, kulihat Kanca sudah berada di dalam salah satunya. Dia tersenyum, tangannya sibuk mengetik sesuatu di telepon genggamnya. Ada satu hal yang sangat ingin aku tanyakan padanya bahkan sejak kali pertama aku datang ke desa ini. “Kanca, kalau ada kesempatan, kamu mau gak pindah dan tinggal di Jakarta?� tanyaku perlahan. Kanca tersenyum, tampak jelas deretan gigi putihnya yang rapi dan bersih. “Ndak,� jawabnya sambil tetap tersenyum. Entah karena pertanyaanku terdengar lucu baginya atau karena wajah seorang pria tampan di layar telepon genggamnya yang tidak sengaja kulihat. Mata kupejamkan, berpura-pura tertidur untuk memberinya waktu sendiri. Namun dalam hati aku lega, semoga bumi Kalimantan ini tetap lestari dan dijauhkan dari hasrat orang-orang serakah. Karena jika tidak, keindahan alam ini akan musnah, termasuk para penjaganya ini. Dengan sungguh-sungguh aku berdoa. 34


35


Rustami Telah Mati Oleh: CARON TOSHIKO

Di atas dipan itu, Mulyani mulai menghisap rokok kedua. Sambil menunggu pelanggan selanjutnya, ia berusaha mengingat kenangankenangan lama agar tetap merasa awet muda. Dalam bedeng yang temaram itu, ia tak sendiri. Kecoa, kalajengking, tikus hanyalah sedikit dari banyaknya penghuni tetap. Mulyani sudah bersahabat dengan semua itu. Lagipula apa yang ditakutkan oleh seorang wanita ketika ia pernah mengalami penyiksaan terkelam. Cap Eks Tahanan yang melekat pada KTP-nya hanyalah jejak suram dari sejarah hidupnya. Sudah lama ia tak wajib lapor. Anggap saja wanita yang bernama Rustami sudah mati, ujarnya. Lagipula di sini hanyalah tempat ia singgah. Sudah tak ada lagi kata pulang, mau pulang ke mana? Baginya, kediaman yang ia tempati hanyalah sementara. Tak terhitung seringnya ia berganti nama dan berpindah-pindah tempat, agar bisa menjadi bagian dari warga setempat. Tapi percuma, kapan seorang lonte dianggap oleh masyarakat. Namun ia tetap mengingat perkataan ibunya, seorang lonte melakukan pekerjaan yang terhormat. Mulyani lalu teringat ketika pertama kali ia diciduk oleh aparat. Waktu itu semasa kepemimpinan presiden pertama, Mulyani bersama teman-teman perempuannya senang sekali menari lagu genjer-genjer, nadanya sangat indah didendangkan, apalagi diiringi dengan gamelan. 36


......... Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak Setengah mateng dientas yo dienggo iwak Setengah mateng dientas yo dienggo iwak Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco Genjer-genjer dipangan musuhe sego ......... Ia dan teman-temannya sering menari ketika sore menjelang malam, untuk memikat para lelaki. Namun tiba-tiba segerombolan petugas berseragam hijau bercak coklat datang dan menyuruh mereka untuk cepatcepat naik ke pikap, menuju suatu tempat yang tak mereka ketahui. Tak ada yang berani buka mulut, mereka menuruti tanpa mengerti. Akhirnya sampailah mereka di markas militer. Di sana ternyata sudah ada tahanan lain yang diinterogasi oleh petugas setempat. Mulyani dan teman-temannya disuruh melucutkan seluruh pakaian mereka di depan banyak petugas laki-laki dan naik ke atas meja, dengan alasan para petugas mencari cap di paha sebagai tanda yang umumnya dimiliki oleh anggota Gerwani. Gerwani itu apa? Baru pertama kali Mulyani mendengar kata itu. Tubuhnya bergetar tak tertahan, meskipun ia sudah seringkali telanjang di hadapan lawan jenis namun timbul rasa takut dari dalam dirinya yang tak pernah ada sebelumnya. Apalagi ia akan disiksa apabila tidak mau mengaku sebagai anggota Gerwani dan terlibat dalam pesta seks di daerah Lubang Buaya. “Lubang Buaya saja saya tidak tahu tempatnya, Pak�, ujar Mulyani sambil terisak-isak berharap air matanya dapat menyingkap kabut di hati para petugas. Braaaakkkk Ditendangnya tubuh Mulyani sehingga terhempas ke dinding ruang interogasi, beberapa saat ia tak sadarkan diri. Keesokan harinya, Mulyani kembali diperiksa. Kali ini para interogator menyuruhnya telanjang dan duduk berpangkuan dengan lelaki yang juga telanjang, hingga beberapa hari. Sambil memeriksa, tangan sang interogator menggerayangi tubuh Mulyani. Ia benar-benar merasakan energinya sangat terkuras. Tubuhnya benar-benar menegang dan gemetar 37


tak karuan, menangis hingga air matanya tak dapat keluar, menahan rasa pilu yang menyesakkan dadanya. Apa salahnya sehingga ia diperlakukan semena-mena. Ia pun tak pernah bermimpi untuk melewati jalan hidup yang seperti ini. Kalaupun ini hanya mimpi, ia berharap segera bangun dan melupakan semua mimpi buruk yang terjadi. “Kamu memang pantas diperlakukan seperti ini, karena para pemberontak lebih rendah daripada pelacur. Kamu pengkhianat Pancasila!” bisik sang interogator dengan garang. “Saya bukan pemberontak!” geram Mulyani. Lalu rambut Mulyani dijambak dan ia dipaksa menciumi alat kelamin para petugas yang ada di ruangan itu satu per satu, sambil kepalanya ditekan-tekan. Mulyani pun semakin terisak, hatinya sangat tertusuk. Meskipun ia bukan anggota Gerwani, namun bukan berarti seorang pelacur tidak mempunyai harga diri. Ibu..Ibu mengapa engkau begitu cepat meninggalkanku, saat aku benar-benar membutuhkanmu. Aku ingin pulang ke rahimmu, yang memberikanku kehangatan. Suatu malam, Mulyani dipanggil. Kali ini Mulyani harus mengaku kalau ia dapat mengokang bedil. “Ampun Gusti, saya tidak pernah melihatnya apalagi memegangnya,” ujarnya sambil sedikit berteriak. Mulyani sudah benar-benar naik pitam melihat kelakuan pihak berwenang yang sewenang-wenang. Petugas mengambil sapu di pojok ruangan dan memasukkan gagang sapu ke alat kelamin Mulyani, setiap kali ia melontarkan jawaban yang tak sesuai harapan sang interogator. Siksaan demi siksaan membuat Mulyani pasrah akan takdir hidupnya dan berharap Tuhan dapat mengambil jiwanya saat itu juga. Tak lama setelah peritiwa itu dan kurang lebih sudah sebulan lamanya Mulyani berada di “rumah neraka”, ia dan para perempuan lainnya akhirnya dipindahkan ke Penjara Bukit Duri. Di sana ia bertemu banyak para anggota Gerwani yang menjadi tahanan politik (tapol). Mereka kebanyakan adalah orang-orang terpelajar. Kekaguman Mulyani kepada para anggota Gerwani terkikis oleh keheranannya, mengapa para wanita terpelajar itu ikut ditahan bersamanya dan para tahanan kriminal. 38


Semakin lama ia hidup bersama para anggota Gerwani, ia semakin memahami hak hidup sebagai manusia khususnya sebagai perempuan. Gerwani yang aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak perempuan, namun sekarang hak mereka sudah tercabik-cabik akibat tuduhan mencungkil mata dan memotong kelamin para jenderal. Mulyani semakin lama semakin merasa menjadi bagian dari tubuh Gerwani karena mereka sadar akan diri Mulyani yang melacur bukan murni atas kesalahannya. Bagi Gerwani, pelacuran akan lenyap apabila paham sosialisme dipraktikkan. Mulyani sering tersenyum geli ketika para perempuan tersebut mengobrol urusan politik, banyak hal yang ia tak mengerti. Suatu pagi, seorang tahanan perempuan baru dimasukkan ke Penjara Bukit Duri. Sambil menyiapkan makanan bagi para tahanan, Mulyani melihat perempuan itu dengan seksama. Tak heran banyak tahanan lain yang turut memperhatikan gerak gerik perempuan tersebut. Perempuan itu menangis sambil meronta-ronta dan menjerit-jerit histeris selama perjalanan dari gerbang penjara menuju ke selnya. Dan alhasil, petugas pun menghajarnya sampai pingsan. Malam harinya, Ami, nama perempuan yang berteriak histeris, akhirnya siuman dan ia pun kembali berteriak-teriak menyumpahi para petugas yang berjaga. “Salah saya apa, bajingaaan�. Kata-katanya membuat gerah para petugas dan akhirnya Ami di-bon1. Keesokan paginya, Mulyani mendatangi sel tempat Ami ditahan namun Ami belum kembali atau mungkin ia tidak akan pernah kembali. Seperti banyak tahanan perempuan lainnya yang sampai saat ini menghilang tanpa jejak, di-game2 lebih tepatnya. Tanpa ada surat penahanan, dakwaan, ataupun proses pengadilan, para petugas bisa melakukan apa saja menurut kepantasannya, demi mengamankan negara, kata mereka. Mulyani penasaran dengan keberadaan Ami, ia mencoba cari cara agar bisa melewati koridor sel Ami. Akhirnya ia berbicara kepada petugas bahwa ia ingin membantu tahanan lainnya mengolah gatot3, yang entah sudah berapa lama tersimpan di gudang, untuk makan malam. Ketika Mulyani hampir mendekati sel Ami, ia mengintip. Namun Mulyani terkejut ketika Ami sudah duduk di dalam selnya, memancarkan tatapan mata yang kosong sambil menghadap ke tembok dan mengulangi kata39


kata yang samar terdengar oleh Mulyani. Seperti orang sedang mengaji, dengan tubuh yang digerakkan ke depan dan ke belakang secara terus menerus, tidak berubah posisi. Rasa ngeri menyelimuti diri Mulyani, ia akhirnya mempercepat langkahnya menuju dapur umum. Keesokan paginya, beredar kabar di antara para tahanan bahwa Ami kesurupan, tidak bisa diajak bicara dan sering bicara sendiri. Mulyani penasaran dan pergi ke sel Ami. Ia kembali menemukan Ami pada posisi duduk dan gerakan yang sama seperti kemarin. Mulyani masuk ke sel Ami yang terbuka, ia mendekati Ami. Dilihatnya bibir keringnya yang komat kamit, mengeluarkan suara yang tidak jelas, tatapan matanya yang kosong, dan aroma yang tak sedap pada diri Ami karena air kemihnya bertumpah ruah tidak dibersihkan. Garis alis Ami yang menjuntai ke atas terlihat seperti kepunyaan sang ibu sehingga memunculkan rasa sayang Mulyani pada dirinya. Lalu dirangkulnya tubuh Ami dan diangkat berjalan menuju kakus. Hidup Mulyani berubah, ia merasa berarti semenjak kehadiran Ami. Hari-harinya selalu dilewati bersama Ami. Mulyani bahkan memandikan, menyuapinya makan, dan mengajaknya ngobrol, walau seringkali Ami menjadi teman ngobrol yang pasif. Alih-alih banyak tahanan yang mengeluh karena susahnya hidup di penjara, namun tidak dengan Mulyani. Ia semakin bersemangat bangun pagi untuk segera bertemu dengan Ami. Namun suatu hari, ia tidak mendapati Ami di selnya. Kata Suratih, salah satu tahanan yang satu sel dengan Ami, mengatakan bahwa Ami semalam dibawa oleh petugas entah kemana dan belum kembali sampai sekarang. Mulyani meneteskan air mata tanpa suara. Berhari-hari, ia tak nafsu makan. Inilah kehilangannya yang kedua semenjak ibunya mati. Hari-hari berlalu dan sampailah pada suatu waktu bahwa para tapol perempuan golongan B akan dipindahkan ke daerah sejuk di kota Semarang. Tanpa tahu kapan ini semua akan berakhir, Mulyani tegak berjalan menyusuri lorong bersama puluhan tapol lainnya menuju bus yang sudah menunggu. Banyak orang sudah menunggu di luar penjara, menanti sejak semalam suntuk karena tidak tahu kapan saudara mereka akan diberangkatkan. Haru biru terjadi di antara para tapol dengan keluarganya 40


yang datang. Tidak ada satupun wajah yang Mulyani kenal, tidak ada yang perlu ia tangisi. Ia hanya menangis ketika berpisah dengan para tahanan lainnya yang masih tinggal di Penjara Bukit Duri, yaitu keluarga sementaranya. Di lembah Gunung Prahu, kabut tebal menutupi sebuah kompleks di Desa Plantungan. Hembusan angin dari arah tenggara cukup kuat untuk menggoyangkan tubuh Mulyani bersama 499 tahanan politik perempuan lainnya. Mereka berjalan menyusuri kebun bunga yang indah menuju Kamp Plantungan, tempat persinggahan berikutnya. Yang Mulyani dan para tapol perempuan tahu, Plantungan dulunya merupakan rumah sakit khusus untuk penderita lepra yang di dalamnya terdapat kamp-kamp isolasi. Kesunyian dan keterasingan tempat itu membuat Mulyani merasakan apa yang dirasakan para penderita lepra, kehilangan harapan akan masa depan, tanpa tahu kapan mereka akan bebas dari tempat tersebut. Dan akhirnya sekarang, tempat ini digunakan untuk menyembuhkan lepraisme dalam otak Gerwani dan antek-antek PKI agar menjadi warga Indonesia yang lebih pancasilais. Bertahun-tahun, Mulyani dan para tapol perempuan lainnya hidup bersama di kamp tersebut. Segala pekerjaan yang kasar sekalipun, dilakoni setiap tapol perempuan yang ada di kamp tersebut. Sudah tak terhitung seringnya Mulyani dan para tapol tersengat hewan-hewan liar, seperti kalajengking dan ular berbisa. Berkat bantuan Dr. Sumiyarsi, yang dikenal sebagai “dokter lubang buaya�, turut menyembuhkan beberapa sakit penyakit yang tidak hanya diderita para tapol perempuan namun juga penduduk di sekitar kamp tersebut, namun tidak dengan sakit kanker yang telah merenggut nyawa 2 tapol perempuan. Banyak teman-teman Mulyani yang tetap tegar untuk bertahan hidup di kamp tersebut berharap mereka masih dapat melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, namun banyak juga yang sudah pasrah menunggu ajal menjemput. Mulyani salah satu yang pasrah. Pembinaan mental di kamp Plantungan agar nantinya dapat kembali ke masyarakat, dinilainya sebagai bentuk penindasan halus. Ia bersama beberapa teman-temannya akhirnya membuat nisan yang dibuat dari kayu dan kemudian menancapkan di tanah kosong belakang bangunan kamp dekat Kali Lampir. Mempersiapkan tempat untuk tubuhnya berbaring dalam kematian. 41


Pada nisan itu, Mulyani menuliskan dengan arang.

42


Suatu hari, Mulyani dan beberapa tapol disuruh untuk membeli koper. Kemudian Mulyani diminta merapihkan semua barang kepunyaannya. Timbul perasaan bingung dan gundah, akan dibawa ke mana lagi Mulyani dan teman-temannya setelah ini. Mereka masuk ke bus yang akan melaju ke pusat kota Semarang. Mulyani akhirnya dibebaskan bersama ratusan tapol perempuan lainnya. Ternyata pembebasan tersebut juga dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk tapol pria. Mereka menghirup udara bebas dan kembali pulang ke lingkungan masing-masing. Namun tidak dengan Mulyani, bersama beberapa eks tapol ia berusaha membuka lembaran baru dengan mencoba hidup di kota yang belum pernah ia sentuh, Surabaya. Tapi ternyata apa yang dilakukan, tidak selalu seperti yang diinginkan. Masyarakat belum bisa menerima kehadiran eks tapol di sisi mereka. Berbagai hujatan membuat eks tapol lebih terasing dari sebelumnya. Ruang gerak yang terbatas, menjadikan mereka seperti di penjara, lebih tepatnya penjara terbuka. Mau tidak mau, harus berganti nama dan membuang jauh seluruh identitas yang sebelumnya pernah ada. Banyak anak-anak yang tumbuh dewasa tanpa kehadiran ayahnya dan ibunya yang terpenjara, menjadikan mereka antipati kepada orangtuanya berstatus eks tapol, “Bu, anu kowe to Bu, wong sing terlibat G30S/ PKI jelek.�4 Ternyata sang penguasa sudah mematri sejarah belaka. Alhasil, di Surabaya Mulyani mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah keluarga Tionghoa yang mau menerima ia apa adanya. Namun ia tidak bertahan lama, karena tidak jarang banyak petugas kodim bertamu ke rumah majikannya itu. Perasaan waswas selalu mengganggunya, meskipun para petugas itu sekadar ngobrolngobrol. Ketika dilihat para tamu majikannya yang berseragam hijau bebercak cokelat datang, Mulyani menjadi gatal-gatal dan timbul bentolanbentolan besar di sekujur tubuhnya. Akhirnya, Mulyani teringat pada pekerjaan yang dilakoninya dulu sebelum drama penyiksaan terjadi. Apa yang bisa dilakukan oleh Mulyani untuk bertahan hidup? Cap eks tapol sudah melekat pada dirinya untuk bisa bekerja di suatu instansi sebagai pegawai rendahan. Naun apakah para lelaki masih mau menggunakan jasa seks dengan wanita yang umurnya sudah kepala 3, dengan beberapa kerutan yang ada di wajahnya? Ternyata para lelaki bernafsu besar belum punah. Dalam sehari, Mulyani bisa dapat 3-5 pelanggan. Meskipun bayarannya tak sebesar ketika muda 43


dulu, setidaknya perut ini terisi, ujarnya. Tak jauh dari tempat protitusi terbesar di kota Surabaya, Mulyani berpindah-pindah tempat menghindari persaingan yang ketat. Dari lelaki berambut putih yang sudah susah berjalan hingga yang penisnya tak lebih panjang dari kelingking Mulyani, semua masih puas dengan kelihaian Mulyani melayani mereka. Seiring bertambahnya umur Mulyani, harga jual menjadi semakin berbanding terbalik. Semakin banyak anakanak berseragam putih biru dan putih abu-abu, bahkan putih merah, yang menjadi pelanggan tetapnya. Mulyani masih menanti pelanggan selanjutnya. Kira-kira sudah batang rokok kelima ia hasap. Untuk mengatasi kejenuhannya, ia pun berusaha berdiri menyalakan TV yang sudah usang di hadapannya. Semenjak bebas dari penahanan, Mulyani menjadi suka mengikuti berita-berita di TV hitam putihnya itu. Ia berharap orang-orang yang sewaktu dulu menyiksanya, mendapat hukuman yang setimpal dengan dirinya bahkan lebih. Namun para dalang yang ada di balik kejadian itu pun masih berkeliaran hingga saat ini dan bahkan beranak cucu, menempati kursikursi pemerintahan. Mereka melindungi orang-orang yang menyiksanya, bahkan memberi penghargaan atas jasa mereka yang dinilai turut mengamankan negara. Tak berapa lama kemudian, ada yang mengetuk pintu. Mulyani meraih kunci yang ada di atas TV, lalu berjalan agak tertatih menuju pintu. Mulyani membuka pintu sedikit, mengintip siapa yang mengetuk. Pria paruh baya berkaos hitam dan bercelana hijau bercak coklat berdiri di muka pintu. Mulyani mempersilahkan masuk, tubuhnya mulai gatal.

44


Dibawa keluar penjara dan terkadang tidak pulang kembali. Dibunuh 3 Singkong yang hitam 4 “Bu, mengapa kamu ikut-ikutan itu sih Bu, orang yang terlibat G30S/PKI jelek.� 1 2

45


Bathing in Bleach, Natasha Gabriella Tontey 46


47


Memory Oleh: principia wardhani

48


49






54

54


55

55


Rekonstruksi Oleh: vallin tsarina

Kau adalah laut paling biru Biru yang tak kusuka dan laut yang selalu terlalu dalam Atau kau sengaja membuatnya begitu dalam agar tak ada yang mencoba menyelam Ia tak membiarkan seorang pun membuat ingatan tentangnya. Ia menghindar, ia berputar dan memudar. Ia tak ingin diraih, itu yang membuatku perih. Lelaki itu pucat, matanya kelabu, ia lelaki bulan. Hingga pada suatu musim, ia, juga aku, menabur ingatan, di dalam kepala, di tepi malam, di sepanjang jalan. Kita berbagi senja; bola kuning raksasa dari ujung utara Jakarta, dan matahari ungu di Bandung yang mendung. Sampai kemudian waktu beku, cerita senyap, matahari dingin, ia, juga aku, kehilangan percakapan. Ingatan adalah beban hidup. Ia pergi begitu jauh, tak tersentuh. Kepedihan yang paling sedih adalah yang terkatakan pada hening. Sisa rindu bisa jadi berbahaya Bisa jadi harapan yang banjir Atau bisa jadi jelaga yang kian hari menutup keinginan untuk hadir Sesungguhnya kita tidak pernah bernar-benar melepaskan. Kita tidak benar-benar melupakan. 56


Adegan berulang. Cuplikan masa lalu berloncatan, menari liar, berbuat onar (hatimu, hatiku). Aku ingin bertemu engkau, pada sebuah waktu yang tidak diduga, pada tempat yang pernah begitu menyenangkan ketika kita kunjungi bersama. Agar aku yakin- atau itu hanya aku yag sedang berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa kita memang seharusnya bersama. Belum terjadi juga. Kadang juga, kita menghindari menciptakan ingatan—agar tak perlu repot melupakan. Jalanan telah sepi. Juga kedai kopi 24 jam yang pegawainya mulai mengenakan baju hangat. Lampu telah temaram, kopi di cangkir merah telah sampai ke dasar. Telahkah kau ingin pulang? Di pinggir jendela, ada rindu yang sedang bertamu. Di mataku, gerimis turun satu-satu. Telah kupintal kata-kata. Bermusim. Tapi bahkan kau tak terpengaruh angin. Kita sebenarnya selalu tau bahwa ada pelukan yang terasa pulang. Kita sering menafikkannya karena kita (hanya) belum ingin pulang. ‘Pulang’ adalah berbeda dengan ‘masuk rumah’. Pulang butuh kesediaan. Masuk rumah butuh kunci (juga pintu yang tidak di-slot dari sisi dalam). Penting mana, merasa pulang atau serasa di rumah? Pulang belum tentu ke rumah. Ke rumah belum tentu untuk pulang. Aku berziarah. Dengan enggan mendatangi senja, mendatangi sebuah suasana di antara dinding bata, mendatangi dermaga, mendatangi mimpimu. Aku memunguti ingatan yang berserakan di sepanjang jalan. 57


Aku mengirimimu sebuah pesan bening, tentang kerinduan yang hilang tempat. Aku mengurung diri di sebuah dunia di dalam kepala. Engkau masih kuhidupkan disana. Kesedihan dan kenangan dipintal menjadi selimut malam. Aku mengingatmu dengan baik, pada bebukitan di musim kering yang menyapa matahari pagi dan melarung matahari senja. Aku mengingatmu dengan baik, pada sore berkabut di Cipularang dan cemara abu-abu di pinggir jurang. Aku mengingatmu dengan baik, pada punggungmu yang selalu kau keluhkan dan rambutmu yang beruban. Ingatan, sayangku, adalah lautan, seperti lautmu yang selalu terlalu dalam. Aku menyelam dan tenggelam. Hari menghilang, satu-satunya penanda adalah makna. Segala sesuatu berdasarkan ingatan. Sesuatu menjadi bernilai, menjadi bermakna karena kita mengingat kembali. Dalam mengingat kembali, proses penciptaan kembali berlangsung. Baik secara sadar atau tidaklebih banyak secara sadar. Dengan berlangsungnya waktu, jadilah rekonstruksi ingatan pada peristiwa sebagai peristiwa barusebagaimana yang kita kehendaki. Kita menambal di sana, merapikan di sini, mengubah data-data yang menyertai. [1] Ia belum lelah namun telah menyerah Ia pulang kepada ingatan yang mungkin tak ia ingat benar 2014

[1] Arswendo Atmowiloto, Dewi Kawi, halaman 49.


59


Beranda Edisi #1 Maret 2014

60

60


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.