Edisi 68: Kita Berhak Tahu

Page 1

Edisi 68 Tahun 2017 ď Ź kombinasi.net


D ARI

R E DA K S I

M

asih ingatkah Anda dengan dongeng tentang kura-kura yang cerewet? Alkisah pada suatu hari, seekor kura-kura yang banyak bicara bertemu dengan sekawanan burung. Benar saja, seperti nama julukannya, kura-kura itu segera mengajukan banyak pertanyaan kepada para burung. Ia bertanya: Dari mana mereka berasal? Bagaimana suasana di tempat-tempat yang mereka singgahi? Bagaimana rasanya terbang? Daripada kesulitan menjawab pertanyaan si kura-kura yang cerewet, kawanan burung itu pun mengajaknya untuk ikut pergi bersama mereka. Caranya, induk burung akan menerbangkan si kura-kura menggunakan sepotong ranting kayu. Si kura-kura tinggal berpegangan pada kayu itu dengan menggigit ujungnya. Induk burung menyampaikan satu syarat: selama terbang, kura-kura itu tidak boleh berbicara. Si kura-kura setuju dengan syarat itu. Mereka pun mulai terbang. Namun, belum terlampau lama berada di angkasa, si kura-kura ternyata sudah tidak tahan untuk tidak bicara. Tanpa sadar ia membuka mulutnya. Seketika pegangannya pun terlepas sehingga tubuhnya terjun ke bumi. Selama ini, dongeng tentang kura-kura yang banyak bicara itu disampaikan untuk menunjukkan bahwa orang yang terlalu banyak bicara akan menerima nasib buruk. Pada konteks tertentu, anjuran itu ada benarnya. Akan tetapi, jika berhubungan dengan hak-hak sebagai warga, setiap orang justru dituntut untuk banyak bicara. Memilih diam tidak saja bisa menimbulkan bencana bagi diri sendiri, namun juga orang-orang di sekitar kita. Contoh yang paling sederhana bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Ketika hendak membeli roti di warung, misalnya, kita perlu mengecek tanggal kedaluwarsanya. Jika tidak tercantum di kemasan, kita akan menanyakannya kepada penjaga warung. Mengetahui bahwa roti yang kita beli belum kedaluwarsa penting karena berkaitan dengan kesehatan kita. Sama seperti saat membeli roti, saat berobat ke dokter kita juga perlu menanyakan hasil pemeriksaan serta resep obat yang ditulis si dokter. Tanpa aktif bertanya, begitu sampai di apotek mungkin kita akan terkaget-kaget saat menyadari bahwa harga obat yang direkomendasikan dokter tersebut terlampau mahal. Padahal mungkin ada jenis obat lain dengan kandungan serupa yang harganya lebih terjangkau. Demikian pula saat mengurus perpanjangan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kita perlu mengetahui prosedur dan syarat-syaratnya sehingga tidak perlu merasa sungkan untuk menolak membayar biaya “sumbangan sukarela�. Sama halnya ketika ada rencana proyek pembangunan tertentu di lingkungan sekitar. Kita perlu mengetahui tujuan, sasaran serta dampak dari pembangunan tersebut supaya paham cara menyikapinya. Seluruh informasi terkait tanggal kedaluwarsa roti hingga rencana pembangunan itu hanya bisa didapatkan ketika kita aktif mencari tahu. Ada banyak cara mencari tahu, mulai dari bertanya langsung dengan sosok yang kita anggap tahu hingga mencari tahu melalui kumpulan dokumen informasi dan data. Seluruh cara itu bisa dilakukan karena kita punya Hak untuk Tahu. Hak untuk Tahu kini telah diakui oleh sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Dengan pengakuan ini, maka menjadi tugas masing-masing warga negara untuk rajin bertanya tentang apa saja yang berkaitan dengan kehidupan kita. Kita harus tahu karena kualitas hidup kita dan orang-orang di sekitar kita, mulai dari keluarga hingga para tetangga, ditentukan oleh itu. Maka selama itu berkaitan dengan hak-hak kita sebagai warga, kita perlu menjadi kura-kura yang cerewet. 2

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi: Ibnu Hajar A., Aris Harianto, Maryani, M. Amrun Kontributor: Ferdhi F. Putra, Abdus Shomad Grafis: Aris Harianto Foto: Dok. CRI, Dok. Jatam Kaltim, Donie Satria, Abdus Shomad. Ilustrasi: Aliem Bakhtiar, Dok. CRI Sampul Depan: Aliem Bahktiar Tata Letak: M. Safrinal Lubis Sekretariat: Ulfa Hanani Distribusi: Rani Soraya Siregar, Sarjiman Pernyataan Semua isi tulisan dari para kontributor yang diterbitkan dalam majalah ini menjadi tanggung jawab masing-masing kontributor. CRI tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan tersebut. Isi majalah ini boleh dipublikasikan ulang, diperbanyak, maupun diedarkan sepanjang mencantumkan sumber dan nama penulis serta tidak digunakan untuk kepentingan komersial.

DAFTAR ISI 3 | INFO SEKILAS UTAMA 6 | Kita Harus Tahu Hak untuk Tahu! 11 | Jalan Panjang Memperjuangkan Hak atas Informasi 16 | Bekal Informasi untuk Advokasi MEDIA 19 | Jurnalisme Warga dan Hak untuk Tahu LUMBUNG 22 | Paguyuban Kalijawi: SalingDukung dengan Menabung 24 | PUSTAKA Pertarungan Tak Imbang dalam Perjuangan Menolak Tambang 26 | WARTA CRI

Combine Resource Institution adalah lembaga sumber daya untuk penguatan komunitas marjinal melalui jejaring informasi. Sejak berdiri pada 2001, CRI telah mendorong pemanfaatan beragam metode serta instrumen pengelolaan informasi dan data oleh komunitas marjinal agar menjadi mandiri dan berdaya.


I NFO

SEKIL AS

LOM BO K T I M UR

Suarakan Keadilan Perempuan dan Anak Lewat Rakom

K

Pelatihan tentang pengarusutamaan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Hotel Lombok Raya, Mataram, NTB, 16-17 Mei 2017.

ekerasan pada perempuan dan anak, baik fisik maupun nonfisik (verbal dan psikologis) semakin meningkat. Hal itu mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KP3A) untuk membangun kerjasama dengan Jaringan Radio Komunitas Nusa Tenggara Barat (JRK NTB). Kerjasama itu merupakan upaya untuk menyuarakan keadilan terutama bagi perempuan dan anak agar terbebas dari kekerasan dan eksploitasi serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ada 40 perwakilan radio komunitas (rakom) di Lombok yang diundang KP3A dalam pelatihan tentang pengarusutamaan gender, pemberda­ yaan perempuan dan perlindungan anak. Kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Lombok Raya, Mataram, Nusa Teng­gara Barat, pada 16 -17 Mei 2017.

Sekjen Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Infirohah Al Faridah memaparkan, keterlibatan rakom di setiap daerah untuk menyuarakan isu gender memang sangat dibutuhkan. Dalam kelembagaan rakom, perempu­ an harus banyak diberikan akses untuk turut berpartisipasi sebagai alat pe­ngontrol dan diberi ruang untuk meng­ambil setiap keputusan. Dewan Penyiaran Komunitas (DPK) dalam kelembagaan rakom berperan sebagai representasi warga dalam menyampaikan aspirasinya. Selain itu, de­wan ini juga bertugas memantau akun­tabilitas, transparansi dan kredibilitas sebuah rakom. Pelaksana tugas dari DPK dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyiaran Komunitas (BPPK) melalui program on-air, onland dan on-line. “Strategi pemberdayaan perempuan

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

3


I NFO

SEKIL AS

itu bisa terwujud apabila kapasitas komunitas perempuan dalam rakom terkoneksi untuk membangun dukungan sosial agar elektabilitas lembaga bisa terangkat,” ungkap Farida, (16/5). Farida melanjutkan, pengarusutamaan gender adalah poin yang diperjuangkan. Tujuannya agar kedudukan laki-laki dan perempuan bisa sama. “Perempuan jangan sampai termarjinalkan, atau mengecap perempuan negatif (streotip) dan dinomorduakan (subordinasi). Hal inilah yang dapat membuat sudut pandang orang berbeda, sehingga pada akhirnya, terjadi diskriminasi pada perempuan. Inilah yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah,” lanjutnya. Hartini selaku Kepala Dinas Pember­dayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Propinsi NTB menjelaskan, jumlah kasus tindak kekerasan di NTB mengalami peningkatan. Berdasarkan risetnya, ada 1.171 kasus tindak kekerasan pada perem­puan dan anak pada tahun 2014. Jum­lah itu meningkat menjadi 1.572 kasus pada tahun berikutnya. Kasus terba­nyak menimpa perempuan dan anak usia 0-17 tahun di Kabupaten Lombok Timur. Sementara untuk usia di atas 18 tahun banyak terjadi di Kabupaten Dompu sebanyak 154 kasus. “Setiap tahun kasus kekerasan semakin meningkat, ini memang sangat mengkhawatirkan,” ungkap Hartini. Kepala Bidang TPPO KP3A, Dino Ardiana menjelaskan, eksploitasi perempuan dan anak merupakan kejahatan yang luar biasa dan harus segera dihentikan. UU Nomor 21 Tahun 2017 tentang pemberantasan TPPO tidak hanya mencegah dan menangani eksploitasi pada perempuan dan anak, namun juga untuk memberikan perlindungan hukum kepada para korban itu. Demikian halnya dengan para mafia TPPO agar dihukum seberat-beratnya sesuai UU yang berlaku tanpa pandang bulu. www.suarakomunitas.net 4

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

LUWU UTAR A

Relawan Tanggap Bencana Berbasis Masyarakat

K

abupaten Luwu Utara kini resmi memiliki Relawan Tang­gap Bencana Berbasis Ma­syarakat (RTB2M). Ada 80 relawan yang tergabung dalam RTB2M. Mereka diharapkan dapat meng­edukasi masyarakat tentang tang­gap darurat bencana. Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani meminta seluruh pihak yang berkompeten untuk terlibat dalam upaya pencegahan sekaligus penanggulangan bencana. “Saya berharap kepada kita semua untuk dapat mengambil bagian di dalam upaya pencegahan sekaligus penang­ gulangan bencana,” katanya usai mengukuhkan RTB2M di halaman upacara Kantor Bupati, (15/5). Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Alauddin Sukri me­ ngatakan, ada 3 aspek yang men­ dorong dibentuknya RTB2M. Keti­ ganya adalah UU Nomor 24 Tahun 2007, Peraturan Daerah Nomor 9 Pengukuhan Relawan Tanggap Bencana Berbasis Masyarakat di Kantor Bupati Luwu Utara.

Ada 80 relawan tergabung dalam Relawan Tanggap Bencana Berbasis Masyarakat (RTB2M).

Tahun 2011, dan Tugas Pokok dan Fungsi Badan Penanggulangan Ben­ cana sebagaimana diatur di dalam Perda Nomor 9 Tahun 2011. Dalam melaksanakan upaya tanggap kebencanaan, BPBD melakukan tiga fungsi, yaitu fungsi koordinasi, fungsi komando, dan fungsi eksekusi. “Fungsi koordinasi yakni melakukan pencegahan kesiapsiagaan tanggap darurat. Fungsi komando, yakni fungsi yang muncul jika ter­ja­di situasi tanggap darurat. Fungsi eksekusi yaitu melakukan kegiatan mengek­sekusi jika terjadi bencana, mem­berikan ban­tuan, dan merehabili­tasi infrastruk­tur yang rusak,” pungkas Alauddin. www.suarakomunitas.net


INFO

SEKIL AS

LOM BO K T I M UR

Jambore Speaker Kampung 2017 Ajak Warga Suarakan Haknya

M

edia komunitas Speaker Kampung menggelar Jambore Speaker Kampung (JSK 2017) Kebun Raya, Desa Suela, Kecamatan Suela, Lombok Timur, NTB, (20-21/5). Kegiatan ini menjadi media silaturahmi 15 komunitas di Lombok Timur. Selain itu, kegiatan ini juga untuk menjaring bakat pelajar dan mahasiswa serta warga menjadi jurnalis warga yang profesional untuk menyuarakan aspirasi akar rumput. Hajad Guna Rosmadi atau yang akrab disapa Eros selaku ketua media komunitas Speaker Kampung menjelaskan, jurnalis warga diharapkan mam­pu mengangkat isu yang terjadi di se­kitarnya melalui media Speaker Kam­pung. Tujuannya, agar dapat didengar­kan oleh pemerintah. “Jika kita selaku warga tidak punya nyali untuk bersu­ara, lalu siapa lagi yang akan kita ha­rapkan untuk menyuarakan hak-hak warga akar rumput,” tegasnya. JASK 2017 mengangkat tema “Saatnya Warga Bersuara”. Tema tersebut diangkat untuk mengimbangi marak­nya dampak buruk berita hoaks di ma­syarakat. Keberadaan jurnalis warga sebagai penyambung lidah warga sa­ngatlah penting. Berbagai permasalahan terjadi di masyarakat seperti KDRT, kekerasan perempuan dan anak, kurangnya perhatian pemerintah bagi penyandang disabilitas dan lain-lain. Eros mengatakan kecil kemungkinan media mainstream mau menyuarakan isu-isu seperti itu. Jurnalis warga yang tahu persis keadaan warganya diharapkan dapat mengangkat isu-isu tersebut. Saya berpesan kepada teman-teman JW, jangan takut untuk menulis. Teruslah menulis, menulis dan menulis,” ungkap Eros. Jurnalis warga harus mampu meningkatkan kapasitas agar bisa

Jambore Speaker Kampung (JSK 2017) Kebun Raya, Desa Suela, Kecamatan Suela, Lombok Timur, NTB, (20-21/5)

menja­di profesional. “Seorang jurnalis warga harus pintar melihat situasi yang dija­dikan bahan berita. Berita yang akan disampaikan juga harus berimbang, sesuai fakta yang terjadi di lapangan,” tegas Khaerul Anwar, aktivis sosial yang hadir dalam JSK 2017. Aktivis sosial lainnya yang hadir dalam kegiatan tersebut, Hafiz menjelas­kan, seorang jurnalis warga harus bisa mengetuk hati komunitasnya agar mampu dan berani menyuarakan hak-hak warga. Harapannya, agar pemerin­tah bisa mendengar suara

warga lewat media komunitas Speaker Kampung. JSK 2017 mendapat sambutan positif dari para peserta. Mereka berha­rap kegiatan itu bisa rutin digelar setiap tahunnya. Salah satu peserta, Suryadi dan Awan dari komunitas Wanasaba Kreatif mengungkapkan bahwa JSK 2017 membawa manfaat bagi komunitasnya. Ilmu jurnalistik yang dibagikan dalam kegiatan itu menjadi salah satu ilmu yang baru bagi komunitasnya. www.suarakomunitas.net KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

5


U TA M A

KITA HARUS TAHU HAK UNTUK TAHU! Oleh: Apriliana Susanti Staf Publikasi CRI

“Hak untuk Tahu? Belum pernah dengar,” Bagus Hally (22), mahasiswa salah satu universitas swasta di Kota Yogyakarta.

S

ebanyak delapan dari sepuluh orang memberikan jawab­an yang persis dengan Bagus saat Redaksi Kombinasi menanyakan tentang pemahaman mereka terhadap hak memperoleh informasi dari badan publik atau Hak untuk Tahu (HUT). Kesepuluh narasumber itu berasal dari berbagai latar belakang profesi dan tempat tinggal, mulai dari PNS, guru swasta, mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga pekerja swasta di wilayah DI Yogyakarta. Sebagian besar ternyata belum menyadari bahwa mereka memiliki HUT. Kita harus tahu bahwa kita mempunyai HUT terkait dengan informasi publik yang dimiliki oleh badan publik, baik milik negara maupun swasta. Ada banyak informasi publik yang bisa kita akses dari badan publik utamanya milik negara, mulai dari tingkat pusat hingga desa. Saat bicara tentang informasi publik di desa, misalnya, warga berhak mengetahui alokasi anggaran pembangunan jalan di desa dan bagaimana realisasinya (baca juga “Jalan Panjang Memperjuangkan Hak Atas Informasi” dan “Bekal Informasi untuk Advokasi”). Contoh informasi publik lain yang kini sedang marak terjadi baik di Yogya­karta maupun wilayah lainnya adalah masalah investasi industri skala 6

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

besar, mulai dari pembangunan pabrik hing­ga hotel. Masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung dari ren­cana pembangunan tersebut, berhak tahu informasi terkait rencana pem­bangunan dan keputusan pemberian izinnya, baik IMB (Izin Membangun Bangunan), Amdal (Analisis Dampak Lingkungan), izin usaha, maupun per­izinan lain menyangkut rencana pem­bangunan itu. Mengapa HUT penting untuk kita ketahui? HUT merupakan hak setiap warga negara. Dengan adanya hak tersebut, setiap warga negara memiliki akses un­tuk mengetahui informasi publik. Ak­ses terhadap informasi akan memung­kinkan setiap warga memiliki bekal yang cukup untuk menentukan kepu­tusan-keputusan penting dalam hidup­nya. Akses terhadap informasi juga bisa menjamin warga berpartisi­ pasi aktif dalam mengawal kebijakan dan rencana pembangunan yang akan ber­dampak bagi dirinya. Partisipasi itu ju­ga merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Sementara di sisi lain, badan publik memiliki kewajiban untuk membuka akses informasi bagi warga. Landasan kewajiban tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Publik

(UU KIP) yang mulai diberlakukan pada 2008. Lembaga negara yang mengawal keterbukaan informasi publik adalah Komisi Informasi (KI) yang saat ini ada di tingkat pusat atau Komisi Informasi Pusat dan di tingkat provinsi. Adam Wijoyo Sukarno, dosen Ilmu Komunikasi UGM menjelaskan, delapan tahun sejak dibentuknya KI pro­vinsi, secara kuantitas sebagian badan publik telah menerapkan beberapa klausul yang diatur dalam UU No 14 tahun 2008. Badan publik pemerintah misalnya, telah


U TA M A melakukan sosialisasi dan edukasi keterbukaan informasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak mereka atas informasi publik. Selain itu, KI juga bertugas menerima aduan, me­meriksa dan memutus sengketa informasi publik. Tugas lainnya, KI juga mengevaluasi pelaksanaan layanan informasi publik dan penerapan keterbukaan informasi publik.

ILUSTRASI: DOK. CRI

menerapkan beberapa hal terutama terkait dengan informasi yang wajib disediakan dan disiarkan sesuai amanat pasal 9 UU KIP. “Badan publik nonpemerintah (misalnya par­tai politik, institusi pendidikan, dan lainlain) sebagian telah menerapkan UU KIP, sementara sebagian lainnya belum,” urainya saat menjawab wawancara tertulis, Selasa (20/6). Di DI Yogyakarta, KI lebih dikenal dengan Komisi Informasi Daerah Istimewa Yogyakarta (KI DIY). KI di tingkat pusat dan daerah bertugas

Rendah, penggunaan HUT di Yogyakarta Belum semua warga negara memiliki kesadaran untuk menggunakan hak untuk meminta informasi, termasuk di DI Yogyakarta. Adam mengatakan, meskipun ada beberapa terobosan yang dilakukan oleh KI DIY melalui media cetak dan media audio untuk mendongkrak pengetahuan masyarakat, tapi permohonan informasi belum cukup meningkat secara signifikan. Masih rendahnya jumlah warga yang sadar akan HUT diakui Martan Kis­woto selaku Komisioner KI DIY bidang Ke­lembagaan. Menurutnya, tingkat kesadaran masyarakat akan HUT masih sebatas pada pemahaman. Padahal, lebih dari sekadar memahami, masya­rakat juga bisa menggunakan HUT un­tuk mengajukan sengketa informasi, baik itu antarperorangan maupun an­tara perorangan dengan badan publik. “Warga yang tahu Hak untuk Tahu masih sedikit. Itupun hanya sebatas pemahaman, belum pada pengguna­an hak mereka,” aku Martan Kiswoto saat ditemui, Rabu (19/4). Rendahnya penggunaan HUT di DIY bisa dilihat dari minimnya pengajuan sengketa informasi ke KI DIY. Sepanjang 2016, hanya ada 13 sengketa informasi yang diajukan masyarakat ke lembaga ini. Jumlah itupun menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 14 sengketa informasi. Mayoritas pengajuan sengketa informasi adalah seputar sengketa agraria. “Kalau pada penggunaannya (HUT-red), lebih banyak yang terkait dengan keuntungan ekonomis. Kalau itu (pengajuan sengketa informasi-red) tidak langsung terkait kepentingan ekonomi, (HUT-

Apa itu Hak untuk Tahu? PADA 26-28 September 2002, pertemuan bertajuk Konferensi Litigasi Kebebasan Informasi diselenggarakan di Sofia, Bulgaria. Hari terakhir pertemuan tersebut, yakni 28 September dideklarasikan sebagai Hari Hak untuk Tahu (International Right To Know Day). Perwakilan orga­nisasi Kebebasan Informasi (Freedom of Information/FOI) dari 15 negara—Albania, Armenia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Georgia, Hungaria, India, Latvia, Makedonia, Meksiko, Moldova, Rumania, Slovakia, Af­rika Selatan, dan Amerika Serikat— menyepakatinya. Indonesia memang tak ikut menginisiasinya. Tapi kini, Indo­nesia menjadi salah satu nega­ra yang ikut memper­ ingatinya. Bagaimana Indonesia terlibat? Hari Hak untuk Tahu merupakan bagian dari agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Agenda ini mensyaratkan Pemerintahan Terbuka (Open Government) yang menyelenggarakan pemerintahan secara kolaboratif bersama warga negara. Dalam hal ini, Akses terhadap Informasi (Access To Information) menjadi kunci utamanya. Artinya, warga negara memiliki akses terhadap data penyelenggaraan pemerintahan. Ferdhi F. Putra KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

7


U TA M A red) sekadar menjadi pemahaman saja,” katanya. Salah satu penyebab rendahnya penggunaan HUT di Yogyakarta ini ternyata tidak lepas dari budaya “ewuh pakewuh” alias sungkan pada masyarakatnya. Martan Kiswoto mengungkapkan, budaya ini seringkali membuat masyarakat mengurungkan niat untuk mengajukan sengketa informasi karena merasa sungkan dengan termohon. Kentalnya budaya “sasmita” atau penggunaan lambanglambang (baik melalui sikap maupun kata-kata) pada masyarakat Yogyakarta juga men­jadi penghambat pengajuan sengketa informasi. Budaya sasmita ini membuat masyarakat lebih kerap menggunakan lambang-lambang tertentu saat meng­hadapi suatu sengketa informasi. Kata Martan, ”Tidak to the point.” Sosialisasi yang dilakukan KI DIY, selain menyasar badan publik, juga menyasar masyarakat, baik melalui

Salah satu penyebab rendahnya penggunaan hak untuk tahu di Yogyakarta ter­nyata tidak lepas dari budaya “ewuh pakewuh” alias sungkan pada masyarakatnya. pertemuan langsung, penyebaran leaflet, buku, brosur maupun melalui gelaran pameran pembangunan dan car free day di kabupaten. Pada peringatan Hari Keterbukaan Informasi Nasional yang jatuh pada 30 April lalu, misalnya, KI DIY mengadakan sosialisasi keterbu­kaan informasi publik dengan menge­masnya dalam senam massal bertajuk ‘Senam Sak Isane’. Kegiatan tersebut digelar di lokasi Car Free Day Harian Kedaulatan Rakyat di Kota Yogyakarta pada Minggu (7/5) pagi.

“(sosialisasi-red) Baik yang memang ada anggarannya (melalui seksi fasilitasi KIP), maupun yang dilakukan tanpa anggaran (nonbudgeter). Kegiatan nonbugedter tidak mungkin dihindari mengingat terbatasnya anggaran,” tulis Suharnanik Listiana selaku komisi­ oner KI DIY Bidang Advokasi, Sosialisasi dan Edukasi di Buletin Tinarbuka edisi 14 yang diterbitkan KI DIY. Persoalan birokrasi, menurut Adam, menjadi salah satu penyebab minimnya kualitas implementasi UU KIP di DI Yogyakarta. Sebabnya, KI provinsi berada di bawah koordinasi Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi (Dishubkominfo) DI Yogyakarta. Hal itu berimbas pada rumitnya tata cara pe­rencanaan anggaran dan relasi yang tidak seimbang antara komisioner dan dinas. “Seolaholah KI menjadi bagian dari dinas dan ‘harus’ memahami ke­pentingan birokrasi. Ekstrimnya KI ha­rus manut pada dinas,” pungkasnya.

JUMLAH SENGKETA INFORMASI YANG MASUK KE KI DIY SUMBER: KOMISI INFORMASI DI YOGYAKARTA

Status Penyelesaian  2 sengketa ditolak  5 sengketa berhasil dimediasi  8 sengketa melalui sidang ajudikasi

Pemohon  Semua pemohon dari perorangan.

Status Penyelesaian  4 sengketa diselesaikan secara damai dengan mediasi  10 sengketa melalui putusan sidang ajudikasi Pemohon  Semua pemohon dari perorangan.

8

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

Termohon  6 kepala desa  3 kali Kantor Pertanahan Kab. Sleman  2 kali Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sleman  1 kali Pengadilan Negeri Yogyakarta  1 kali Badan Penanaman Modal Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sleman

Termohon  4 kepala desa  3 kali BPN Sleman  2 termohon dari kepala sekolah SMK  2 kali Kantor Pelayanan Negara dan Lelang Yogyakarta  BPN Yogyakarta  Kepala Balai Sumberdaya Air Yogyakarta  Pengadilan Negeri Sleman


U TA M A PPID, Garda Terdepan atau Beban Tambahan?

U

ndang-undang Keterbukaan Informasi Pub­lik (UU KIP), Nomor 14 Tahun 2008 men­jamin hak seluruh warga negara Indone­sia untuk mengakses informasi publik. Impl­ikasi­nya, setiap badan publik wajib memberikan in­formasi publik kepada masyarakat. Kewajiban memberi informasi publik tersebut disebutkan dengan jelas dalam UU KIP Bab XI pasal 52 yang berbunyi: “Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).” Sesuai amanat pasal tersebut, setiap badan publik wajib memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi atau PPID. PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. PPID inilah yang menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi publik kepada masyarakat. Dalam tulisannya di Buletin Tinarbuka edisi 15, Suharnanik Listiana selaku komisioner KI DIY Bidang Advokasi, Sosialisasi dan Edukasi menjelaskan, terhitung mulai Januari 2017, PPID badan publik negara diampu oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Sebelumnya, jabatan ini dipegang oleh Dinas Hubungan Masyarakat (Humas). PPID di tingkat desa Desa adalah badan publik. Oleh karena itu, desa punya kewajiban untuk melaksanakan amanat UU KIP. Desa wajib punya PPID.

Salah satu tugas PPID tingkat desa adalah mengelompokkan dan menyampaikan informasi ke publik: mana jenis informasi yang tersedia setiap saat, berkala, dan mana yang serta merta. Penyampaian informasi tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari papan informasi, spanduk, sampai melalui laman desa. Inisiatif untuk menunjuk PPID di tingkat desa me­mang menjadi wewenang dari desa. “Desa sudah punya undang-undang sendiri (UU Desared). Ka­rena itulah pemerintah baik di tingkat kecamat­an maupun kabupaten tidak memiliki

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

9


U TA M A

10

wewenang untuk memba­wahi desa, hanya ada koordinasi. Pemkab mengang­gap desa terpisah dengan pem­kab,” jelas Martan Kiswoto selaku Komisioner KI DIY Bidang Kelem­bagaan saat ditemui di kantornya, (19/4).

JENIS INFORMASI

Menjadi tambahan beban pekerjaan PPID tingkat desa seharusnya menjadi garda terdepan yang selalu siap memberikan segala informasi publik yang berkaitan dengan pemerintah desa. Namun demikian, PPID dalam sebagian badan publik-termasuk desa, tidak dianggap sebagai sebuah hal yang memikat. Sebaliknya, dianggap sebagai tambahan beban pekerjaan. Hal itu disampaikan Adam Wijoyo Sukarno, dosen Ilmu Komunikasi UGM. “Istilah Jawa menyebut legan golek momongan (orang yang sudah tenang, malah mencari-cari kesulitan-red). Karenanya, tidak semua personil yang diplot menjadi PPID senang menjalani pekerjaan barunya,” terangnya dalam wawancara melalui surat elektronik, (20/6). Adam mencontohkan pengalamannya melakukan permohonan informasi di level desa secara resmi. Meski permohonannya sudah ditembus­kan ke KI, ia tidak pernah memperoleh jawaban dari desa. “Padahal itu adalah informasi umum yang sebenarnya tidak begitu masalah jika dibu­ka,” tulisnya. PPID di manapun levelnya akan sangat terbantu jika badan publik telah memiliki pangkalan data (database) informasi publik. Tugas PPID menjadi semakin ringan karena mereka tinggal memilah dan menimbang mana informasi yang terbuka atau tertutup. “Persoalannya, database di berbagai level birokrasi, utamanya di desa belum begitu bagus,” kata Adam. Idealnya, PPID melekat pada sekretaris desa. Adam menjelaskan, jika pangkalan data tersebut bisa disusun, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) PPID bisa dilekatkan dan dilakukan oleh bagian yang ditunjuk oleh pemdes. Namun secara faktual, saat ini belum semua desa atau perangkat desa memahami bahwa hal tersebut diatur dalam UU KIP. “Saya kira bukan hal yang sulit jika kita memang serius dan memiliki komitmen kuat dalam mengawal UU KIP untuk menciptakan transparansi, akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan,” pungkasnya.

Informasi setiap saat adalah informasi yang wajib disiap­kan sehingga setiap saat jika ada permohon­an informasi, pemerintah desa bisa memenuhinya dengan cepat dan tepat waktu. Misalnya:

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

1

SETIAP SAAT

 Seluruh informasi publik di pemerintah desa (bu­kan yang dikecualikan)  Rencana kerja proyek tertentu termasuk perki­raan anggarannya

2

BERKALA

Informasi berkala ini adalah informasi yang berkaitan pemerintah desa. Misalnya:  Rencana dan realisasi anggaran, neraca anggar­an, arus kas  Struktur organisasi dan profil pejabat desa, pen­jelasan satuan kerja desa

3

SERTA MERTA

Termasuk dalam informasi ini adalah informasi yang terkait dengan suatu hal yang bisa mengancam hajat hidup orang banyak dan kepentingan umum, sehingga harus diumumkan segera melalui berba­gai media yang mudah dijangkau warga. Misalnya:  Peringatan dini bencana alam  Rencana pemadaman listrik

4

INFORMASI YANG DIKECUALIKAN

Yang termasuk informasi ini adalah:  Informasi yang apabila dibuka bisa menghambat proses penegakan hukum; informasi yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak ke­kayaan ietelektual (HaKI) dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat (UU KPPU)  Informasi yang dapat membahayakan pertahan­an dan keamanan negara; informasi yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia sehing­ga merugikan ke­tahanan ekonomi nasional  Informasi yang dapat merugikan hubungan luar negeri  Informasi yang dapat mengungkap isi akta oten­tik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir atau wasiat seseorang  Informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi.


U TA M A JALAN PANJANG MEMPERJUANGKAN HAK ATAS INFORMASI Oleh: Ibnu Hajar Al-Asqolani Staf Suara Warga CRI

Tidak semua pihak bisa menerima asas keterbukaan informasi. Tak jarang, upaya warga untuk memperoleh informasi harus melalui proses rumit, bahkan memakan waktu yang panjang.

K

ematian anak-anak yang menjadi korban tenggelam di lubang bekas galian tambang di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) memunculkan berbagai pertanyaan. Pasalnya, lubang bekas galian tambang tersebut terletak di se­kitar kawasan pemukiman. Selain itu, tidak ada aktivitas pembenahan atau­pun pengamanan yang memadai dari perusahaan penambang di sekitar kawasan tersebut. Kondisi itu memicu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim untuk meminta informasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta Izin Usaha Pertambangan (IUP) di beberapa wilayah di Provinsi Kaltim. Upaya tersebut lantas menuai berbagai peno­lakan dari pihak pemerintah daerah. Ketika diwawancarai pada 8 Mei lalu, aktivis Jatam Kaltim Kahar Al Bahri mengungkap hal tersebut. Ia meng­uraikan proses panjang yang harus di­lalui Jatam Kaltim dalam memperju­angkan hak atas informasi publik. Mengejar informasi seputar tambang Pada 24 Desember 2011, tiga orang anak meninggal akibat tenggelam di

Salah satu kampanye dukungan petisi di change.org yang diunggah di media sosial Facebook Jatam Kaltim.

bekas lubang tambang di Kota Samarinda, Kaltim. Peristiwa ini mendorong Jatam Kaltim meminta dokumen Amdal dan IUP di wilayah Kaltim, khususnya di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) kepada instansi pemerintah yang terkait. Selang beberapa minggu setelah peristiwa kematian tiga orang bocah di lubang tambang itu, Jatam Kaltim me­ngirimkan surat kepada Badan Ling­kungan Hidup (BLH) Kota Samarinda. Namun, surat yang dikirimkan pada 12 Januari 2012 itu tidak ditanggapi. Setelah beberapa kali mengirimkan permohonan, pihak BLH justru menolak mentah-mentah pengajuan tersebut. Salah seorang petinggi BLH bahkan mengancam para aktivis Jatam. Dalam sebuah forum, pejabat BLH tersebut mengundang para aktivis Jatam Kaltim dan menyampaikan bahwa dokumen Amdal yang diminta bersifat rahasia. “Kami tidak akan membuka (informasi).

Kalau mau berkelahi, ayo, kita buka baju!” kisah Kahar Al Bahri menirukan ucapan pejabat BLH kala itu. Saat itu, Komisi Informasi (KI) Provinsi Kaltim belum berdiri. Baru pada 12 Juni 2012, sebulan setelah KI Provinsi Kaltim berdiri, Jatam Kaltim kembali mengirimkan surat permohonan dokumen Amdal kepada BLH Kota Samarinda. Seperti sebelum­nya, permohonan tersebut tidak ditanggapi. Selanjutnya, setelah kembali mengirimkan surat permohonan Amdal pada 27 Agustus 2012, Jatam Kaltim akhirnya mengirimkan surat keberatan kepada walikota Samarinda. “Sikapnya sama seperti BLH, menganggap dokumen informasi publik ini bersifat rahasia,” ungkap Kahar. Pihak Jatam Kaltim pun akhirnya mengajukan sengketa ke Komisi Informasi Daerah. Pada 11 Desember 2012, sengketa informasi pertama pun dilang­sungkan di KI Provinsi Kaltim yang di­awali dengan proses mediasi. KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

11


U TA M A Sayang­nya, tidak ada satupun aparat BLH Kota Samarinda yang hadir. Mediasi pertama tersebut pun dibatalkan. Seminggu berselang, tepatnya pada 17 Desember 2012, proses mediasi kedua dilangsungkan. Pada proses itu, pihak BLH yang hadir malah mempertanyakan legalitas Jatam Kaltim sebagai organisasi. “Di dalam forum, mereka mengatakan tidak percaya dengan Jatam. Jatam adalah organisasi yang tidak terdaftar, kata mereka. Mereka lebih banyak mempermasalahkan soal administrasi,” jelas Kahar. “Tapi kami pikir bahwa kami mengikuti undang-undang, Jatam adalah organisasi yang mempunyai badan hukum dan jelas memiliki akta notaris,” lanjutnya. Akhirnya disepakati doku­men Amdal akan diserahkan jika Jatam Kaltim menyerahkan dokumen kelembagaannya. Tanggal 22 Januari 2013 disepakati sebagai waktu penyerahan dokumen Amdal. Tapi, tiba-tiba BLH mengeluarkan pernyataan di media bahwa mediasi yang telah dilaksanakan cacat hukum. Kesepakatan saling menyerahkan dokumen pun dilanggar. Sesuai UU KIP, Jatam Kaltim mengajukan hasil sengketa tersebut untuk dieksekusi oleh pengadilan. Pada Februari 2013, Jatam Kaltim mengirim surat kepada pengadilan tinggi Kota Samarinda agar mengeksekusi hasil putusan KI. Oleh pengadilan, BLH diberi waktu selambat-lambatnya delapan hari untuk menyerahkan dokumen tersebut. Perintah tersebut ditaati BLH. Dokumen selanjutnya diserahkan kepada Jatam Kaltim melalui juru sita pengadilan Samarinda. “Yang bikin kaget adalah waktu itu penyerahannya diserahkan satu minggu per dokumen, dan serah terimanya dilakukan setiap hari Rabu,” jelas Kahar. Bukan hanya sekali Jatam Kaltim mengajukan sengketa informasi di KI. Pada 17 Desember 2013, Jatam kembali mengajukan permintaan atas informasi publik. Kali ini, Jatam Kaltim mengajukan permohonan informasi publik terhadap Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. 12

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

Setelah pada 15 Agustus 2016 Jatam Kaltim mengajukan anmaning (pelaksanaan eksekusi putusan), penyerahan dokumen pun disetujui.

Dalam permohonan tersebut, Jatam Kaltim meminta beberapa dokumen terkait pertambangan, antara lain Rencana Kerja SKPD Pertambangan tahun anggaran (TA) 2012, Dokumen Pelaksanaan Anggar­an SKPD Pertambangan TA 2012, Surat Keputusan IUP se-Kabupaten Kukar, serta Laporan Pemantauan Ketaatan Internal Perusahaan Pertambangan tahun 2011. Seperti gugatan sebelumnya, permintaan informasi tersebut ditolak. Le­wat surat yang dikirimkan pada 2 Ja­nuari 2014, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Kukar menyampaikan penolakan. Jatam Kaltim pun mengajukan keberatan atas penolakan itu dengan mengirimkan surat keberatan pada 22 Januari 2014. Hasilnya, Distamben Kukar menang­gapi surat keberatan tersebut dengan ajakan pertemuan mediasi dan klarifikasi pada 28 Februari 2014. Distamben Kukar menyatakan bersedia menyerahkan data yang diminta Jatam Kaltim, kecuali SK IUP Batubara seKabupaten Kukar. Menanggapi hal tersebut, pada 17 Maret 2014 Jatam Kaltim pun mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Kaltim. Pada 16 April 2015 KIP mengabulkan permohonan informasi yang diajukan Jatam Kaltim. Namun, putusan KIP dengan Nomor: 0003/ REG-PSI/III/2014 itu ditanggapi Distamben Kukar dengan pengajuan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda. Putusan KIP tersebut justru diperkuat oleh putusan PTUN Samarinda pada 11 Agustus 2015. Putusan PTUN Samarinda tak lantas

membuat Distamben dan Pemkab Kukar mau menyerahkan data yang diminta Jatam Kaltim. Puluhan pengacara pun dikerahkan oleh Distamben dan Pemkab Kukar untuk mengajukan kasasi atas putusan PTUN Samarinda. Namun, dalam putusan yang dikeluarkan pada 16 Februari 2016, kasasi tersebut ditolak Mahkamah Agung. Pada 9 Mei 2016, Jatam Kaltim lantas meminta pelaksanaan putusan. PTUN Samarinda kemudian menyatakan bahwa putusan Komisi Informasi Nomor 0003/REG/PSI/III/2014 tanggal 16 April 2015 tersebut dapat dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2016. Distamben Kabupaten Kukar pun kembali melakukan perlawanan. Pada 16 Mei 2016, melalui PTUN Samarinda, pihak Distamben dan Pemkab Kukar mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. PTUN Samarinda kemudian mengirimkan berkas permohonan PK kepada Mahkamah Agung (MA) No­mor: 17/G/2015/PTUNSMD pada 19 Juli 2016. Perjuangan selama hampir tiga tahun itu pun berbuah manis. Setelah pada 15 Agustus 2016 Jatam Kaltim mengajukan anmaning (pelaksanaan eksekusi putusan), penyerahan dokumen pun disetujui. Akhirnya, pada 30 Agustus 2016, Distamben Kabupaten Kukar mengirimkan surat pemberitahuan untuk penyerahan dokumen IUP kepada Jatam Kaltim. Membuka informasi kesehatan Kisah Jatam Kaltim bukan satusatunya contoh dalam memperjuangkan hak atas informasi. Di bidang kesehatan, isu keterbukaan informasi pun ma­sih menjadi kendala. Donnie Satria, pasien gagal ginjal sekaligus pendiri komunitas Ginjal Kita di DI Yogyakarta mengisahkan pengalamannya dalam mengakses informasi seputar pelayan­an medis bagi pasien gagal ginjal. Donnie merupakan salah seorang pasien gagal ginjal yang memilih CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) sebagai metode pengobatan. CAPD merupakan satu dari tiga mekanisme dalam penanganan pasien


U TA M A gagal ginjal selain cuci darah rutin atau hemodialisa (HD) dan transplantasi/ cangkok ginjal. CAPD dilakukan dengan pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut) dan cairan dianeal. Dengan mekanisme ini, cairan dianeal bagi pasien gagal ginjal tak ubahnya penyambung nyawa. Di Indonesia, pasien CAPD telah ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sehat (BPJS). Hal tersebut telah dijamin dalam Permenkes No 52 tahun 2016 pasal 19 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan. Namun, saat Permenkes No 52 tahun 2016 tersebut digulirkan, yang terjadi di lapangan sungguh di luar dugaan. Awalnya, pada Oktober 2016, Donnie mendapat kabar bahwa distribusi cairan dianeal akan terlambat. Bahkan setelah dua minggu lebih cairan dianeal yang telah diurus pasien belum sampai ke rumah. Keterlambatan distribusi cairan dianeal inilah yang menjadi pemicu Donnie dan rekan-rekannya sesama pasien gagal ginjal dalam memperjuangkan informasi ketersediaan cairan tersebut.

Perjuangan Donnie dan komunitas Ginjal Kita terkait menipisnya stok cairan dianeal mendapat perhatian dari media massa lokal di DI Yogyakarta.

Menurut Donnie, salah satu penyebab keterlambatan adalah ketidaksesuaian harga antara RSUP Sardjito dengan mitra penyedia dianeal. Pihak Enseval selaku importir dianeal menaik­kan harga karena menurut mereka harga beli di Baxter (produsen dianeal) juga naik. Sementara itu, pihak Sardjito tetap ingin menggunakan harga lama (sesuai Permenkes No 59 tahun 2014 pasal 19). “Tepat dua minggu dianeal terlambat, temanteman (pasien gagal ginjal-red) sudah mulai gelisah. Pasien yang mempunyai cairan berlebih akhir­ nya harus merelakan sebagian cairan­nya kepada pasien yang stok cairannya sudah menipis,” kisah Donnie. “Bila ada pasien meninggal, sisa dianeal ter­sebut langsung diminta oleh pasien yang cairannya menipis,” lanjutnya. Setelah menunggu lebih dari dua minggu, Donnie dan pasien CAPD lainnya belum juga

mendapatkan cairan dianeal. “Aku dan semua pasien CAPD tentunya, benar-benar sudah kebingungan karena cairan stok cadangan sudah menipis,” urai Donnie. Ia dan teman-teman pun berinisiatif meminta bantuan Lembaga Ombudsman Daerah DI Yogyakarta (LOD DIY) untuk mengadvokasi pasien. Mereka juga menyebarkan informasi terkait persoalan tersebut ke media massa. Perjuangan mereka akhirnya berbuah. Pada 21 Januari 2017, cairan dianeal datang. Meski demiki­an, hingga saat ini, ketersediaan cairan masih sering menjadi keluhan Donnie dan pasien lain. Informasi seputar ketersediaan cairan yang mereka bu­tuh­kan pun belum sepenuhnya disosialisasikan.

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

13


I NFOGRAFIS

INFORMASI PUBLIK SUMBER: KOMISIINFORMASI.GO.ID

INFORMASI? Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.

INFORMASI PUBLIK? Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/ atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai UU KIP serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

BADAN PUBLIK? Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

SENGKETA INFORMASI PUBLIK? Yaitu sengketa yang terjadi antara badan publik dengan pengguna informasi publik, yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berda­ sarkan perundang-undangan.

14

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

BAGAIMANA CARA PENYELESAIANNYA? Dilakukan mediasi dan atau ajudikasi nonlitigasi. Mediasi adalah penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak melalui bantuan mediator Komisi Informasi. Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang diputus oleh Komisi Informasi.


I NFOGRAFIS

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

15


U

TA M A

BEKAL INFORMASI UNTUK ADVOKASI

FOTO DOK. JATAM KALTIM

Oleh: Ibnu Hajar Al-Asqolani Staf Suara Warga CRI

Mediasi hingga sengketa informasi dilakukan demi mendapatkan informasi publik. Data yang didapat menjadi bekal bagi warga sipil dalam memperjuang­kan hak-haknya. 16

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

K

eterbukaan informasi publik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2008, bertujuan mendorong partisipasi publik dalam memenuhi hak-haknya sebagai warga sipil. Dengan demikian, hak atas infor­ masi publik berkait erat dengan kerjakerja pemenuhan hak-hak sosial dasar warga sipil. Hal inilah yang mendasari warga dalam mengupayakan informasi publik. Tidak jarang, upaya warga untuk memperoleh informasi memakan wak­tu yang panjang. Dalam kasuskasus lain, sengketa informasi cukup disele­saikan dalam proses mediasi. Terlepas dari proses yang harus dilalui, warga memanfaatkan informasi yang berha­sil diakses untuk berbagai

keperluan dalam mengadvokasi pemenuhan hak-hak sipilnya. Informasi sebagai penyokong advokasi Pentingnya pemanfaatan data untuk kerja-kerja advokasi dikisahkan Elanto Wijoyono, salah seorang penggiat gerakan Warga Berdaya. Sebagai sebuah wadah kolektif bagi gerakan ma­syarakat sipil di Yogyakarta, Warga Berdaya juga memanfaatkan berbagai informasi untuk kerja-kerja advokasi. Keterbukaan informasi publik pun tu­rut mendorong kualitas dalam rumus­an kerja-kerja advokasi. “Untuk melakukan advokasi kita membutuhkan informasi terkait situasi terakhir. Informasi itu sebagian


U TA M A Untuk melakukan advokasi kita membutuhkan informasi terkait situasi terakhir. Informasi itu sebagian besar dipegang oleh lembaga negara. ELANTO WIJOYONO, AKTIVIS

Warga mengamati kubangan bekas galian tambang di Kalimantan Timur. Kubangan-kubangan seperti ini kerapkali memakan korban anak-anak yang tenggelam di dalamnya.

besar dipegang oleh lembaga negara,” jelas Elanto, (7/7). Menurut Elanto, posisi informasi dalam kerja-kerja advokasi berjalan dua arah. “Warga yang melakukan advokasi membutuhkan informasi dari negara. Entah itu tentang regulasi ataupun situasi terakhir yang mendorong mereka untuk melakukan advokasi. Sebaliknya, masyarakat nantinya juga akan mengolah informasi sehingga akan tercipta informasi lanjutan yang menjadi rumusan atau agenda dari isu-isu apa saja yang membutuhkan advokasi,” terangnya. Elanto mencontohkan salah satu pengalamannya dalam memanfaatkan informasi untuk kerja-kerja advokasi. Sejak 2013, maraknya pembangunan hotel menjadi persoalan tersendiri di

Yogyakarta. “Kita tahu ada situasi proses pemberian izin dan pembangunan hotel yang disinyalir sudah melebihi daya dukung lingkungan di wilayah Yogyakarta,” katanya. Selanjutnya, untuk bisa merumuskan agenda advokasi, diperlukan data-data soal perizinan, jumlah sebaran, serta proses dari setiap prakarsa pem­bangunan hotel. “Sehingga kita bisa mengambil keputusan terkait kasus ma­na yang menjadi prioritas,” jelasnya. Proses panjang mengupayakan informasi Perjuangan mengakses informasi untuk kerja-kerja advokasi juga dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim. Demi mendapatkan informasi seputar Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kota Samarin­da dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Jatam bahkan harus melalui proses yang rumit dan memakan wak­tu bertahun-tahun. Jatam merupakan jaringan organi­ sasi nonpemerintah (ornop) dan orga­ nisasi komunitas yang mengadvokasi masyarakat korban di banyak daerah di Indonesia yang dirusak oleh kegiatan pertambangan dan migas. Pengajuan informasi seputar izin pertambangan dan informasi Analisis Dampak Ling­kungan (Amdal) yang disampaikan Ja­tam sejak 2013 berjalan berlarut-larut. Pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kukar selaku pihak yang di­gugat untuk membuka dokumen Am­dal dan KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

17


U TA M A IUP terus menyatakan peno­lakan. Sengketa informasi yang diajukan Jatam Kaltim pun berjalan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Setelah melalui serangkaian proses panjang di pengadilan, akhirnya, 30 Agustus 2016, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Ku­kar mengirimkan surat pemberitahuan untuk penyerahan dokumen IUP kepa­da Jatam Kaltim. Setelah keputusan Komisi Informasi (KI) Provinsi Kaltim keluar pun, Jatam Kaltim masih harus melalui proses selama 2 tahun untuk mendapatkan data secara keseluruhan. Pasalnya, data Amdal tersebut diserah­kan secara bertahap. “Ngasihnya dici­cil setiap hari rabu hampir 2 tahun,” jelas Kahar Al Bahri, aktivis Jatam Kal­tim, saat diwawancarai, Senin, (8/5). Keberhasilan dalam mengakses data Amdal dan IUP membuka jalan untuk melakukan berbagai kerja advokasi. “UU Keterbukaan Informasi Publik sa­ngat membantu. Kalau tidak ada, mung­kin kami masih berada di sisi ge­lap (in­formasi) industri

FOTO-Dok. JATAM KALTIM

Salah satu aktivitas penambangan yang didokumentasikan Jatam Kaltim.

18

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

tambang,” urai Kahar. Dari data Izin Usaha Pertambangan (IUP), Jatam Kaltim menemukan ber­bagai kejanggalan. Di antaranya 1.271 izin pertambangan skala KP (Kuasa Pertambangan) di Provinsi Kaltim dan 33 izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Izin tersebut dikeluarkan dalam kurun waktu 2003 hingga 2009. Jatam Kaltim tidak menyianyiakan peluang advokasi. Dari hasil analisis atas informasi terkait IUP di Kota Sa­marinda, kerja-kerja advokasi segera digencarkan. Jatam Kaltim menemu­kan indikasi korupsi yang dilakukan mantan Walikota Samarinda dan mantan Kepala Dinas Pertambangan Kota Samarinda dalam proses pemberian IUP. Pada 2013, Jatam Kaltim lantas melaporkan temuan-temuan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara itu di Kabupaten Kukar pada tahun yang sama, Jatam Kaltim mencatat bahwa pada periode 2006 hingga 2010, Bupati Kukar dan pejabat di bawahnya telah menerbitkan 42 izin tambang dan 5 jalan hauling (jalan pertambangan) di kawasan konserva­si. Jatam Kaltim lantas melaporkan mantan Bupati Kukar.

Pelaporan terse­but terkait dugaan korupsi dalam pro­ses perizinan pertambangan di kawa­san konservasi. Tidak hanya dalam kerja-kerja ad­vokasi lewat jalur hukum, Jatam Kaltim juga memanfaatkan data yang berhasil diakses untuk kampanye isu. Pasalnya, dari data tersebut, Jatam Kaltim dapat memetakan nama-nama pejabat pemerintah yang menjadi aktor dalam penerbitan izin tambang. Jatam Kaltim pun menggunakan data tersebut untuk melakukan public sha­ming (membuka nama pelaku di depan publik). “Sekarang kami berani sebut nama, siapa-siapa saja yang menanda­tangani izin, siapa yang memberi izin, kami buka ke publik,” ungkap Kahar. Meskipun demikian, pengawasan dari Komisi Informasi terhadap lembaga publik yang menyembunyikan in­formasi publik masih sangat diperlukan. Sanksi bagi lembaga publik yang tidak menyediakan dan mengumumkan informasi publik pun belum ditegakkan. “Yang harus diperjelas adalah sanksi yang harus ditegakkan ketika sebuah institusi pemerintah dengan sengaja menyembunyikan informasi publik,” pungkasnya.


M

EDIA

Jurnalisme Warga dan Hak untuk Tahu Oleh: Ferdhi F. Putra Penggiat Media Komunitas di Jakarta

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Publik (UU KIP) pada 2008. UU tersebut mengatur hak warga negara untuk meminta badan publik, baik negara maupun swasta, guna membuka informasi yang selayak­ nya diketahui publik. ILUSTRASI: DOK. CRI

N

amun, dengan berbagai prosedur dan mekanisme yang di­atur dalam UU tersebut, keter­bukaan informasi publik terasa masih menjadi kemewahan alias sulit dijang­kau. Masalahnya, prosedur yang dibu­at sedemikian rupa masih agak rumit bagi sebagian warga, terutama yang awam. Terlebih lagi, ‘trauma’ terha­ dap birokrasi berbelit yang belum juga pudar membuat usaha menagih hak atas informasi masih mengawang. Belum lagi konsekuensi yang menunggu di depan. Sebagai contoh, Maret 2016, seorang warga Tangerang Selatan, Mustolih Siradj mengajukan transparansi donasi yang diselenggarakan jejaring ritel Alfamart. Permohonan Mustolih dikabulkan oleh Komisi Informasi (KI) Pusat. Alih-alih mendapatkan hak in­formasi yang diminta, Mustolih malah digugat oleh pihak Alfamart. Tidak hanya Mustolih, KI Pusat pun,

selaku badan negara, digugat oleh Alfamart karena telah mengabulkan permohonan Mustolih. Peristiwa ini, bagi sebagian orang, bisa jadi membuat geram dan terpicu untuk bersikap lebih keras terhadap badan-badan publik yang tidak trans­paran. Tetapi bagi sebagian lainnya, peristiwa ini mungkin malah membikin kapok. Bukan informasi yang didapat, tetapi gugatan hukum. Meminjam anekdot pasaran, “hidup udah sulit, ngapain dibikin sulit?” Contoh lainnya adalah ketika KI Pu­sat mengabulkan permohonan Kon­traS agar pemerintah membuka hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kematian aktivis HAM, Munir. Menang­gapi putusan itu, pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara meng­ajukan keberatan atas putusan KI Pu­sat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu dikabul­kan. Dengan kata lain, pemerintah ‘me­nolak’ membuka KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

19


M EDIA hasil penyelidikan. Dua kasus tersebut, menurut saya, menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan keterbukaan informasi di masa depan. Apa yang bisa masyarakat sipil lakukan kemudian?

ILUSTRASI: DOK. CRI

Jurnalisme warga: mewujudkan Hak untuk Tahu Sebelum pemerintah menetapkan UU KIP, semangat Hak untuk Tahu se­betulnya sudah termaktub dalam UUD 1945. Pasal 28F telah menjamin

20

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

warga negara untuk dapat mencari, meng­olah dan mendistribusikan informasi. Artinya, jaminan hak untuk tahu su­dah ada bahkan sejak negara ini berdiri. Namun, di masa Orde Baru, akses informasi warga disunat sedemikian rupa. Jangankan warga biasa, lembaga pers yang dianggap menyampaikan informasi-informasi ‘tidak patut’ oleh rezim terancam dibreidel. Rezim telah berganti. Keran informasi dibuka ‘sebebasbebasnya’. Me­dia massa tak lagi menghadapi ancam­ an tidak diberikan izin terbit ataupun dibreidel. Akan tetapi, perubahan ik­lim terbuka ternyata juga mengubah watak media massa. Jika dulu negara yang menutupinutupi informasi, kini media massa, melalui pemilihan isu, framing, dan lain sebagainya, telah menutup peluang warga mendapatkan informasi yang sepatutnya. Salah satu faktornya adalah kepentingan pemilik. Ini sudah rahasia umum. Merosotnya kepercayaan publik terhadap media massa menjadi salah satu pemicu wabah hoaks yang merebak beberapa tahun belakangan. Pem­ benarannya: ‘hoaks’ adalah fakta al­ternatif. Hoaks telah menjadi saluran lain bagi warga yang merasa kebutuh­ annya tak terpenuhi dan suaranya tak terwakili oleh media massa. Dengan kata lain, ‘hoaks’ adalah wujud perla­ wanan kelompok masyarakat terhadap kekuasaan yang memonopoli

ILUSTRASI: DOK. CRI

in­formasi. Saya sendiri menilai bahwa hoaks berbeda dengan fakta alternatif. Namun dalam praktiknya, hoaks dan fakta alternatif berbaur liar di masyarakat. Silang sengkarut antara dua terma itu tak bisa dielakkan, dan lagi-lagi, warga menjadi korbannya. Terlepas dari polemik tersebut, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa ke­tidakberesan dalam pengelolaan infor­masi membuat urusan hak untuk tahu menjadi lebih rumit. Jauh sebelum hoaks menjadi ‘trending topic’, sebe­tulnya banyak kelompok warga yang telah melakukan upaya untuk membe­rikan fakta alternatif di luar media mainstream. Media komunitas dan jurnalisme warga adalah salah satu praktiknya. Jurnalisme warga adalah inisiatif sekelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap keadilan informasi. Apa yang dimaksud dengan ke­adilan informasi? Salah seorang peng­giat media komunitas di Lombok Utara, Raden Sawinggih, pernah mengatakan, bahwa salah satu motivasinya membangun media komunitas adalah agar warga mendapatkan informasi seputar lingkungannya. Sebab sebelum media komunitas ada, sekitar awal dekade 2000an, kebutuhan informasi warga sepenuhnya digantungkan pada Radio Republik Indonesia (RRI) yang isinya hampir selalu soal Jakarta. Dari situ, media komunitas—yang telah melahirkan jurnalis warga— tidak hanya sedang mencari sumber informasi alternatif, melainkan


M EDIA Jurnalisme warga adalah inisiatif sekelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap keadilan informasi. Media komunitas menjadi wadah warga untuk bergeser posisi dari sekadar objek informasi menjadi subjek informasi. telah membuat saluran informasi alternatifnya sendiri. Media komunitas menjadi wadah war­ ga untuk bergeser posisi dari sekadar objek informasi (penerima/ konsumen) menjadi subjek informasi (pembuat/ produsen). Yang dilakukan oleh jurnalis warga tidak berbeda dengan jurnalis profesi pada umumnya: memproduksi dan mendistribusikan informasi. Perbeda­annya terletak pada jenis informasi yang disampaikan. Jika pada perusahaan media segala informasi sudah diatur sedemikian rupa dengan pertim­bangan pasar, profit, dan kepentingan pemilik, maka di media komunitas le­bih inklusif. Pemilihan isu dititikberat­kan pada kepentingan publik—yang pada hakikatnya harus dilakukan setiap media. Sebab media komunitas tidak memiliki kepentingan lain selain ke­pentingan komunitas yang direpresen­tasikannya. Media komunitas biasanya hadir di tengah masyarakat kelas menengah ke bawah. Mereka mewakili kelas masya­rakat yang akses terhadap informasinya terbatas. Bagi masyarakat kelas tersebut, informasi merupakan barang mewah. Mereka kerap dianggap seba­gai kelompok yang “tak perlu tahu”. Oleh karena itu, jurnalis warga menjadi bumper (penahan-red) bagi kelas ini. Dalam mencari informasi, jurnalis warga tidak jarang disepelekan. Tidak adanya identitas ‘resmi’, dan tidak diakui dalam UU Pers menjadi pengham­bat utama jurnalis warga dalam mendapatkan informasi. Namun demikian, dengan

segala risikonya, jurnalis warga tetap melakukan perannya, demi men­­capai keadilan informasi yang dicitakan. Tepat di sinilah media komunitas dan jurnalis warga memainkan peran sebagai penjembatan informasi bagi

komunitas (publik). Tanpa perlu mela­lui prosedur yang rumit, warga dapat memperoleh informasi yang sebelumnya tidak mereka bayangkan. Misalnya soal alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan. Di pelosok, dua informasi tersebut tidak seterbuka di kota besar seperti Jakarta. Saya tidak hendak menihilkan ke­beradaan UU KIP. Bagaimana pun ke­beradaan UU tersebut telah memper­lebar peluang warga untuk menda­patkan informasi yang lebih ‘rahasia’. Namun, inisiatif warga dalam media komunitas rasanya juga perlu dires­pons agar tidak seolah-olah informasi hanya bisa diperoleh melalui pengajuan hak informasi yang diatur dalam UU KIP. Saya teringat sebuah anekdot yang entah dari mana asalnya, “Tidak ada rahasia di antara kita. Tapi tidak semua kamu harus tahu, kan?” Anekdot itu ada benarnya. Bukan, saya bukan membenarkannya. Tapi kondisi itu masih terjadi. Walaupun rezim telah berganti menuju keterbukaan, nyatanya masih banyak informasi yang tidak terakses warga dengan baik. Dua contoh kasus di atas menjadi cerminan bahwa keterbukaan informasi belum betul-betul terealisasi. Dan yang bisa masyarakat sipil lakukan adalah tetap mengupayakan segala kemungkinan agar hak untuk tahu benar-benar terwujud.

ILUSTRASI: DOK. CRI

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

21


L UMBUNG

PAGUYUBAN KALIJAWI: SALING DUKUNG DENGAN MENABUNG Oleh: Abdus Shomad Penggiat Literasi di Yogyakarta

Berdiri sejak 2012, Kalijawi merupakan paguyuban yang mengajak anggotanya untuk menabung. Anggotanya adalah warga di pinggiran Sungai Gajah Wong dan Winongo, Yogyakarta. Dua sungai tersebut menjadi asal nama paguyuban ini: “Kali” artinya sungai, “Ja” dari kata Gajah Wong, dan “Wi”dari kata Winongo. 22

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

S

iang yang terik di bulan April itu, empat wanita paruh baya mengajak saya mengenal lebih dekat tentang Kalijawi. Keempatnya, yakni Farizatun, Yanti, dan Ainun merupakan pengurus paguyuban Kalijawi serta Sutinah yang menjadi salah satu anggotanya. Kami bertemu di rumah Sutinah di Kampung Jatimulyo, Kelurahan Kricak, Yogyakarta. “Fungsi Kalijawi adalah untuk mem­bantu warga menyelesaikan masalah bersama. Kalijawi bukanlah paguyub­an yang bersifat sesaat, namun men­coba melihat masa depan warga ban­taran kali. Bekerja bersamasama dan bersolidaritas setiap waktu adalah kunci lahirnya paguyuban ini,” demi­kian Ainun menjelaskan peran pagu­yuban yang dipimpinnya ini. Berdirinya paguyuban warga ini ti­dak lepas dari kerjasama Arsitek Komunitas

(Arkom) dengan empat kampung di bantaran sungai di Yogyakarta, yakni Jatimulyo, Sidomulyo, Sambirejo, dan Mrican Kota. Arkom memetakan permasalahan kampung-kampung tersebut dan mendampingi warga seta­hun sebelum Paguyuban Kalijawi ter­bentuk. Selanjutnya, pengelolaan pa­guyuban ini lebih banyak melibatkan ibu-ibu setempat. Hingga saat ini, sudah ada 14 kampung yang bergabung menjadi anggota paguyuban Kalijawi. Ainun menjelaskan, Kalijawi diben­tuk untuk membantu warga menye­lesaikan masalah bersama, salah satu­nya terkait rumah tidak layak huni. Bahkan, selama 2012 hingga 2014 sudah ada 165 anggota yang meminjam uang di paguyuban untuk perbaikan rumah mereka. Peminjaman untuk per­baikan rumah menjadi jumlah terbesar. Alasannya,


L UMBUNG banyak warga yang tinggal di bantaran sungai tak memi­liki serti­fikat sehingga akses bantuan dari pe­merintah tak bisa mereka da­patkan. “Masalah ini kita jadikan permasalahan bersama, tujuannya supaya so­lusi kita cari bersama. Tidak satu RT dipikirkan satu RT sendiri, ya itu, kita kemudian mendirikan Paguyuban Kalijawi,” tandas Ainun. Membiasakan warga menabung di luar sistem perbankan Bagi paguyuban Kalijawi, menabung adalah solusi perekonomian kampung. Iuran tabungan yang mereka kumpul­kan menjadi dana yang bisa digunakan anggota sewaktuwaktu. Iuran tersebut dibayarkan setiap hari senilai Rp. 2000 untuk tiap kepala keluarga (KK). Dari 250 penabung aktif saat ini, jumlah kas yang terkumpul mencapai Rp 600 juta. “Menurut saya (menabung itu) efektif sekali. Kalau dilihat Rp 2000 ti­dak seberapa ya. Mungkin orang me­re­mehkan uang Rp 2000. Tapi ketika dikumpulkan, lalu dibuat sistem mena­bung, banyak orang yang mengumpulkan. Bagi saya sangat bermanfaat,” ungkap Farizatun, salah satu penge­lola paguyuban. Dari menabung rutin harian itu, sejumlah warga bisa merenovasi bahkan membangun rumah mereka. Sutinah adalah salah satunya. Ibu paruh baya itu merasa sangat terbantu dengan adanya kegiatan menabung di paguyuban yang diikutinya. “Kalijawi bisa rehab (perbaiki-red) rumah saya. Ini (sambil menunjuk lantai rumah) yang saya rasakan (dari menabung),” ucap Sutinah. Selain untuk perbaikan rumah, tabungan paguyuban dipinjamkan ke warga untuk kebutuhan besar lain yang mendesak seperti simpan pinjam ha­rian, biaya pendidikan, serta biaya berobat. Farizatun menjelaskan, Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang dibagikan kepada warga tidak mampu belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Seringkali, warga membutuhkan perawatan kesehatan yang lebih cepat dan itu

sulit dilakukan dengan Jamkesda. Paguyuban Kalijawi membuat se­buah sistem yang mereka sebut Dana Pengembangan Komunitas (DPK). Tujuannya untuk menetapkan prosedur peminjaman uang. DPK dijalankan se­rupa badan keuangan simpan pinjam. “Kalau Kalijawi motornya, DPK itu ben­sinnya. Kegiatan Kalijawi bisa berjalan karena DPK,” kata Ainun. DPK menerapkan sistem bunga yang berbeda dengan sistem bank konven­sional. Nilai bunga yang diterapkan mengacu pada tiga macam kebutuh­an, yakni 12 persen per tahun untuk kebutuhan ekonomi, 10 persen untuk permukiman, dan 6 persen untuk ke­butuhan khusus. Jika uang pinjaman terlambat dikembalikan, warga tidak mendapat denda. “Mengembalikan cicilan di sini tak ada denda. Umpamanya pinjam dua ratus (Rp 200.000), ya dua ratus itu termasuk angsuran pokok, bunga, kas, sekaligus tabungan, sudah include (mencakup) semua. Bunga itu akan di­ gunakan untuk warga lalu akan masuk DPK lagi,” urai Ainun. Sistem cicilan pinjaman DPK diran­ cang oleh warga sendiri, bukan oleh pemerintah maupun ahli ekonomi. Semangat Paguyuban Kalijawi adalah warga mampu mengelola uang secara mandiri tanpa harus terkungkung ke­ pentingan ekonomi yang menggero­ goti hidup mereka sendiri. “Sistem itu tidak dibuat oleh ahli atau pengurus, tapi oleh warga sen­ diri. Kami mengadakan workshop yang pesertanya perwakilan kelompok-ke­ lompok warga. Dari workshop dipu­ tuskan uang ini kita apakan, keguna­ annya untuk apa, sistemnya itu apa,” tambah Ainun. Menciptakan pasar dengan belanja bersama Satu hal yang menjadi keinginan besar Kalijawi di masa depan adalah mampu mewujudkan kemandirian ekonomi. Ainun menjelaskan, Kalijawi ingin menjalankan paradigma ekono­ mi kolektif kolegial. Mereka sedang menyiapkan rancangan untuk memu­

tar uang di kalangan masyarakat mis­ kin di kota. Rancangan itu dimulai de­ ngan upaya menciptakan perekono­ mi­an kolektif-mandiri di bantaran Sungai Gajah Wong dan Sungai Winongo. Ia mengamati, masyarakat miskin kota sangat konsumtif. Sayangnya, me­reka lebih tertarik berbelanja di swa­layan dan toko berjejaring daripada warung di dalam kampung yang dike­lola oleh warga. “Perputaran uang harus di kita. Ar­tinya, keuntungan ada di kita. Kita pe­milik sahamnya. Kalau belanja di toko berjejaring, keuntungannya tidak kem­bali ke warga,” tegas Ainun. Paradigma tersebut nantinya akan dirintis sebagai kegiatan belanja ber­ sama. Dalam paradigma itu, ditegas­ kan bahwa warga anggota Kalijawi adalah distributor sekaligus konsu­ men. Mereka yang membuka warung di kampung disebut distributornya, sementara warga pembelinya disebut konsumen. Identifikasi kebutuhan kon­sumen menjadi salah satu hal yang harus dilakukan. Tujuannya agar distri­butor bisa menyediakan barang-ba­rang kebutuhan tersebut. Selanjutnya, warga (konsumen) diajak untuk berbe­lanja ke warung-warung yang dikelola warga anggota Kalijawi di kampung. Rancangan tersebut dibuat untuk memotong jalur tengkulak. Sebab bagi Ainun, tengkulak itu dapat membuat harga tidak menentu. Bahkan, harga kebutuhan pokok bisa lebih mahal dari harga normalnya. Kegiatan tersebut rencananya akan dikelola oleh peserta paguyuban pe­ milik warung. Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik antara pemilik wa­rung di kampung yang menjadi ang­gota Kalijawi dan mereka yang tidak bergabung di paguyuban. “Semua anggota Kalijawi bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhannya. Rantai perjalanan uang kita selama ini hanya memberikan keuntungan bagi investor. Kalau diganti dengan sistem kita, harapannya anggota sadar bahwa uang yang dimiliki dan dibelanjakan itu bisa dikelola sendiri,” tutup Ainun. KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

23


P U S TA K A Pertarungan Tak Imbang dalam Perjuangan Menolak Tambang Oleh: Ibnu Hajar Al-Asqolani Staf Suara Warga CRI

Berbekal mitos kesejahteraan, pemerintah mengeluarkan kebijakan pendirian industri tambang sebagai solusi atas kemiskinan dan keterpurukan ekonomi di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Perjuangan kaum tani pun terus bergulir demi melawan kebijakan yang mengancam kelestarian ruang hidup mereka.

P

endekatan prosedural yang paling sering digunakan dalam studi kebijakan selama ini lazimnya menempatkan pemerintah sebagai pihak yang netral. Dengan kata lain, dalam merancang dan mengeluarkan kebijakan, pemerintah dianggap senan­tiasa bersikap adil, tidak dipengaruhi siapa pun, serta tidak memiliki kepen­tingan apa pun selain menyejahtera­kan warganya. Jika pemerintah mela­kukan penggusuran, misalnya, hal tersebut dilakukan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kalau se­waktu-waktu pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan kawasan hutan untuk industri perkebunan, mi­salnya, hal itu dilakukan semata-mata untuk menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan bersama. Pun ke­tika kaum tani harus diusir dari lahan

24

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

MITOS TAMBANG UNTUK KESEJAHTERAAN: Pertarungan Wacana tentang Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan Penulis: Hendra Try Ardianto Penerbit: PolGov Cetakan: Pertama, 2016 Tebal: 263 halaman

garapannya demi pendirian pabrik se­men, hal itu semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan bagi segenap warganya. Satu-satunya tujuan pemerintah, dalam pandangan tersebut, adalah un­tuk menyejahterakan warganya melalui berbagai kebijakan. Pandangan

ini sekian lama diamini oleh kaum terpelajar dan tercermin dalam berbagai studi kebijakan selama ini. Akan tetapi, pandangan semacam itu lantas mengundang pertanyaan: benarkah dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh pihak lain? Selanjutnya, bila pandangan itu benar, bagaimana mungkin warga yang seharusnya diakomodasi justru lebih sering menjadi korban dalam kebijakan-kebijakan pemerintah? Kejanggalan-kejanggalan tersebut diuraikan Hendra Try Ardianto ketika mengawali narasi bukunya, Mitos Tambang untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana tentang Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. Buku ini mengangkat konflik dalam pendirian tambang semen di Rembang sebagai bahan kajian. Lewat karya yang semula merupakan tugas akhirnya di Program Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, ia mencoba membalik pandangan nor­matif yang selama ini dipakai dalam studi kebijakan. Alih-alih menjadi pengamat yang “netral” dan mengajukan solusi normatif, penulis menegaskan sikapnya dalam menyajikan kajian yang bersimpati pada warga sebagai pihak yang lemah dan lebih sering menjadi korban dalam kebijakan. Kedelapan bab dalam buku tersebut merangkum narasi atas proses pengambilan kebijakan yang tak bisa lepas dari pertarungan kepentingan.


P U S TA K A Dalam konflik di Rembang, setidaknya terdapat dua kekuatan yang dihadapi warga: pemerintah dan korporasi. Hu­bungan dan posisi antara pihakpihak yang saling berkepentingan itu diuraikan dengan tegas di bagian awal buku tersebut: “Konflik kebijakan ini melibatkan pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Ka­bupaten Rembang) dan korporasi (PT Semen Indonesia) di satu pihak dan masyarakat lokal di dua desa— yakni para petani di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan di di pihak lain. Bagi negara dan korporasi, kehadiran tam­bang dinilai sebagai jawaban atas ke­miskinan dan keterbelakangan ma­syarakat lokal yang dianggap tidak mampu mengembangkan sendiri ekonominya. Sebaliknya bagi masyarakat lokal, keberadaan pertambangan di­anggap sebagai ancaman bagi kelang­sungan hidup mereka dan kerusakan lingkungan yang akan berdampak bu­ruk bagi masyarakat luas.” (hlm. 3-4) Bagian awal buku ini menyajikan uraian terkait posisi pemerintah dan pelaku industri pertambangan dalam membangun gagasan tentang pentingnya pembangunan. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan membutuhkan pembenaran atas rencana-rencana ke­bijakan yang ingin dijalankan. Dalam kasus Rembang, misalnya, narasi ten­tang kemiskinan dan jumlah pengang­guran yang tinggi menjadi pintu ma­suk bagi pemerintah daerah dan korporasi untuk melanggengkan proyek tambang. Berbekal data statistik terkait kondisi kemiskinan di Rembang, pemerintah mencoba membangun gagasan tentang pentingnya pembangunan di desa. Isu kemiskinan lantas ditautkan dengan potensi tambang yang tersebar di kawasan yang sebelumnya telah dilabeli sebagai “daerah miskin” terse­but. Pada titik ini, tambang pun diha­dirkan sebagai gerbang untuk keluar dari segala penderitaan dan keterpurukan ekonomi menuju kesejahteraan bersama.

Gagasan tersebut sulit dicerna oleh warga yang selama ini merasa bahwa hidupnya baik-baik saja. Alih-alih ikut menyetujui proyek pembangunan tambang, warga justru dihantui kekhawatiran akan kerusakan ruang hidup mereka. Pencemaran lingkungan dan hilangnya daerah resapan air yang diakibatkan penambangan justru akan mengancam aktivitas pertanian yang selama ini menjadi sumber penghi­dupan warga. Pada titik ini, pertarungan wacana antara pemerintah dan kor­porasi dengan warga yang menolak tambang tak bisa terelakkan. Perten­tangan tersebut kemudian mewujud dalam berbagai strategi yang dijalankan pemerintah daerah maupun PT Semen Indonesia untuk memaksakan berdirinya pabrik semen di Rembang. Berbagai cara lantas ditempuh untuk menyangkal segala penolakan yang datang dari warga. Pihak perusa­haan memulai langkahnya dengan kampanye tentang praktik pertam­bangan yang baik (Good Mining Practice). Berbekal sertifikat penghargaan sebagai pelaku pertambangan ramah lingkungan hingga paket wisata khusus berlabel Wisata Green Industri, pihak korporasi berupaya meyakinkan berbagai pihak bahwa aktivitas penam­bangan kelak tidak akan merusak lingkungan. Upaya tersebut ditopang dengan mengupayakan studi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). De­ngan sumber daya yang dimiliki per­usahaan, berbagai pihak berhasil di­rangkul untuk memuluskan strategi ini. Sekumpulan akademisi dari berbagai universitas ternama lantas turut ambil bagian. Lewat berbagai izin dan per­aturan daerah, pemerintah daerah dengan kekuasaannya pun mendorong pendirian tambang. Pada titik ini, negara dan korporasi dengan bantuan segelintir akademisi berupaya menegaskan bahwa aktivitas penambangan nantinya tak akan berbahaya bagi ling­kungan. Maka kekhawatiran warga pe­nolak tambang sama sekali tak ber­alasan. Demi memuluskan kebijakan pembangunan, pemerintah dan

korporasi membutuhkan dukungan dari warga. Buku ini kemudian menguraikan bagaimana persetujuan atas kebijakan tersebut diupayakan dengan merangkul tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Bantuan dana sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) pun digelontorkan ke war­ga demi meraih dukungan dan me­mecah suara warga. Lebih jauh lagi, warga yang menolak tambang lantas ditampilkan sebagai gerombolan pe­rusuh yang menghalangi proses penyejahteraan warga yang mendukung tambang. Berbagai strategi tersebut terpatahkan oleh kenyataan yang dipaparkan warga yang tetap menolak pendi­rian tambang. Berbekal studi tandingan, mereka membuktikan bahwa iming-iming tambang ramah lingkungan hanya akal-akalan dari pihak perusahaan. Pada kenyataannya, berjalannya akti­vitas pertambangan di daerah yang berada dalam kawasan lindung geo­logi itu akan mengancam ruang hidup warga. Kerusakan yang sama pun akan menimpa kawasan karst dan sumber mata air yang selama ini menjadi sum­ber kehidupan warga. Alih-alih kesejahteraan, keterpurukan dan kerusakan lingkungan yang lebih parah justru akan menimpa lingkungan mereka. Pada akhirnya, buku ini menunjukkan pertarungan yang tak imbang--antara warga di satu sisi melawan korporasi yang didukung pemerintah di sisi lain--dalam proses pengambilan kebijakan. Bab demi bab dalam buku ini membuktikan bahwa tidak ada netralitas dalam pengambilan kebijakan. Negara pun tidak berdiri sebagai pihak yang sepenuhnya berkuasa dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain, warga sebagai pihak yang terkena dampak atas kebijakan selalu berada dalam posisi rentan, bahkan tak jarang ditak­lukkan tanpa perlawanan. Dengan demikian, pengorganisasian diri dan penggalangan solidaritas adalah hal yang mutlak diperlukan agar warga tak melulu menjadi korban dari pem­buat kebijakan. KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

25


W A R TA

CRI

Peluncuran Sistem Informasi Kabupaten (SIK)

P

eluncuran Sistem Informasi Kabupaten (SIK) Gunungkidul, (25/4), menandai terwujudnya integrasi data antara Sistem Informasi Desa (SID) dengan Sistem Informasi Kabupaten (SIK) Gunungkidul, DI Yogyakarta. Dengan integrasi tersebut, data dari seluruh desa di Gunungkidul yang terekam di SID dapat diakses dan dipantau secara berkala melalui SIK. Gunungkidul merupakan wilayah pertama yang menerapkan sistem

informasi dengan basis data terpadu dari tingkat desa hingga kabupaten. “Ketersediaan data yang valid, mutakhir, dan selalu diperbaharui merupakan sumber rujukan utama perenca­naan dan penerapan kebijakan. Salah satu fungsi dari ketersediaan data adalah mendukung upaya pengentas­an kemiskinan,” papar Badingah, Bu­pati Gunungkidul. Imung Yuniardi selaku Direktur CRI mengungkapkan, pengembangan SID bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan informasi berbasis komunitas demi kemandirian komunitas itu sendiri. Hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengawal dan memastikan agar SID sepenuhnya digunakan untuk kepentingan warga.

Pelatihan SID untuk Olah Basis Data Terpadu di Pacitan, Jawa Timur

C

RI bersama KOMPAK dan Pemkab Pacitan menyelenggarakan pelatihan SID untuk olah Basis Data Terpadu (BDT) di Kompleks Kantor Bupati Pacitan pada 2-4 Mei. Pelatihan yang diikuti perwakilan 15 desa ini merupakan tindak lanjut dari pelatihan SID Tingkat Dasar yang diselenggarakan pada 7-9 Februari 2017. Ke-15 desa ini diarahkan untuk mempelajari fungsifungsi olah data lebih lanjut dalam aplikasi SID untuk kebutuhan olah BDT yang telah disiapkan setiap desa. Olah BDT dengan memanfaatkan SID ini merupakan upaya mendorong pemanfaatan SID dalam perencanaan serta pembangunan di ting­kat desa dan kabupaten.

26

KOMBINASI 68 | APRIL-JUNI 2017

Pelatihan Media Warga di Ciamis, Jawa Barat

P

ALUMA Nusantara mengundang CRI untuk menjadi narasumber dalam Pelatihan Media Warga, 26-27 Maret 2017 di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Desa Sidamulih, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pelatihan media warga ini merupakan salah satu upaya untuk memperkuat partisipasi warga dalam mengelola dan menyebarkan infor­masi. Kegiatan ini diikuti oleh calon jurnalis warga di Desa Si­damulih dan Desa Bangunsari.




Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.