Edisi 66 : Dua Sisi Pariwisata Berbasis Komunitas

Page 1

Edisi ke-66 2016 kombinasi.net

Dua Sisi

PARIWISATA BERBASIS KOMUNITAS

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 1


D

S A R I

R E D A K S I

Mengutamakan Pariwisata Berbasis Komunitas

B

eberapa bulan lalu, seorang warga Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat menulis status di media sosial. Dalam status itu, ia meratapi nasib sebagian besar warga Lombok yang menjadi penonton di tengah hiruk pikuk perkembangan pariwisata di pulau yang memiliki banyak pantai indah itu. Status itu dibagikan banyak orang, khususnya sesama warga Lombok. Di seberang barat Pulau Lombok, setidaknya selama tiga tahun terakhir, ribuan warga dan pemimpin adat menyerukan “Bali Tolak Reklamasi!�. Seruan ini muncul sebagai respons mereka terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa oleh investor untuk membikin pulau baru sebagai lokasi wahana wisata hiburan. Reklamasi itu ditolak karena dianggap merupakan rencana ambisius yang akan merusak lingkungan sehingga pada akhirnya malah merugikan banyak orang. Lalu bergeser lagi ke arah barat, di Daerah Istimewa Yogyakarta, ribuan warga juga berseru-seru : Jogja Ora Didol! Jogja tidak dijual! Alasannya serupa. Warga gerah melihat kian maraknya pembangunan hotel dan mall di kota pelajar. Itu adalah tiga fenomena yang kini muncul terkait pariwisata dan dampaknya bagi warga. Tentu saja, warga di ketiga wilayah tersebut tidak sedang menolak pengembangan pariwisata ataupun kehadiran wisatawan. Akan tetapi, mereka mempersoalkan konsep pariwisata yang sedang dikembangkan. Kini, ketika setiap desa memiliki otonomi untuk merencanakan pembangunan, khususnya di bidang pariwisata, tiga cerita di atas bisa menjadi bahan pelajaran penting. Di sektor pariwisata, banyak desa yang tengah berlomba-lomba membuka diri bagi wisatawan. Segenap potensi dikembangkan lalu dipromosikan. Kehadiran wisatawan bagaimanapun dipandang akan membawa dampak ekonomi yang signifikan. Pertanyaannya kemudian, untuk siapa pengembangan pariwisata itu dilakukan? Kesejahteraan warga tentu menjadi tujuan utama. Beragam inovasi bisa diterapkan demi mendapat manfaat yang sebesarbesarnya bagi warga, sembari tidak melupakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Pada titik itulah, wisata berbasis komunitas dipandang menjadi jawaban. Ini adalah konsep pengembangan pariwisata yang berangkat dari bawah. Warga menjadi aktor utama pengembangan wisata di desanya. Melalui forum-forum warga, arah pengembangan wisata disepakati bersama. Sejumlah desa sudah mempraktikkannya, dan hasilnya kini mulai bisa dirasakan.

2 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

Pemimpin Redaksi Idha Saraswati Tim Redaksi Redaktur Pelaksana Apriliana Susanti Editor Apriliana Susanti, Idha Saraswati Foto Dokumentasi CRI, Apriliana, Nurdiansyah Dalidjo Kontributor Prof. M. Baiquni, MA., Ferdhi F. Putra, Aris Setiyawan, Maryani, Dominique Tina Bastaja. Desain Grafis Aris Harianto Ilustrasi Komik Edwin Prasetyo Tata Letak Putud Utama, Apriliana Susanti Sekretariat Ulfa Hanani Distribusi Rani Soraya Siregar Sarjiman

Kombinasi adalah majalah tiga bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resource Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, resensi buku atau film dokumenter, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema komunitas atau media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6000 karakter (with spaces), dengan mencantumkan foto untuk tulisan nonopini, dan dikirim ke redaksikombinasi@combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyunting tulisan yang masuk ke majalah Kombinasi. Bagi penulis yang karyanya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


S

S E K I L A S LOMBOK UTARA

Pembangunan Berbasis Desa dan Pariwisata

K

abupaten Lombok Utara (KLU) tengah menggalakkan percepatan pembangunan berbasis desa. Dalam diskusi Percepatan Pembangunan dari Desa di Aula Bappeda Lombok Utara Tanjung , (9/9), Kepala Bappeda Lombok Utara, Nanang Matalata mengatakan, percepatan itu searah dengan kebijakan pembangunan daerah KLU tahun 2016-2021. Salah satu upaya percepatan pembangunan tersebut adalah dengan mencanangkan desa-desa wisata. Ada tujuh desa di Lombok Utara yang akan diuji coba menjadi desa wisata, yakni yakni Desa Gili Indah, Desa Medana, Desa Gondang, Desa Senaru, Desa Bayan dan Desa Karang Bajo. Ketujuh desa tersebut merupakan desa model berkonsep Delta Api. Catur Kukuh selaku pendamping Delta Api Nusa Tenggara Barat mengatakan, konsep Delta Api adalah upaya untuk menyiapkan desa yang tangguh secara ekologi dan adaptif terhadap perubahan iklim. Delta Api juga mencakup percepatan pemenuhan hak dasar masyarakat yang meliputi pangan, air, energi, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan dan teknologi informasi. Kawasan lain juga telah mereplikasi konsep Delta Api, seperti Kabupaten Jembrana, Bali, Kabupaten Sumba

FOTO-Laman desakarangbajo.sid Upacara adat di Desa Karang Bajo berpotensi menjadi atraksi wisata.

Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Morotai di Maluku Utara. Fokus diskusi tersebut adalah pada pelaksanaan konsep Delta Api oleh tujuh kepala desa yang menjadi model desa wisata di KLU. Bappeda KLU berharap, ketujuh desa tersebut dapat menjadi desa mandiri. www.suarakomunitas.net

CIREBON

Data Print KTP dan Chip Berbeda

M

erasa dirugikan atas ketidakaslian data KTP, Rosi, seorang ibu di Kabupaten Cirebon, Jawa barat, mendatangi kantor Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Kamis (1/9/2016). Rosi mel akukan protes lantaran data KTP anaknya yang dibuat di kecamatan ternyata berbeda dengan data di dalam chip yang tertanam di dalamnya. Kesalahan data tersebut diketahui saat Rosi mengantarkan putrinya, Thertia Maulidya (17), membuat rekening bank di salah satu bank swasta di Cirebon. Alangkah kagetnya Rosi saat petugas bank menyebutkan bahwa data KTP putrinya tidak sesuai dengan data dari Kementerian Dalam Negeri. “Kata petugas bank, data nama yang tercetak dengan yang di dalamnya berbeda,” ujar Rosi. Karena dianggap palsu oleh bank, Rosi meyakinkan kepada petugas bank bahwa KTP putrinya tersebut dibuat di kecamatan dan resmi. Meski akhirnya diperkenankan menggunakan KTP tersebut, pihak bank meminta Rosi untuk memperbaikinya.

Kepala Bidang Pendaftaran Penduduk Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Cirebon, Suyatno, mengaku sudah menyelesaikan permasalahan tersebut. Ia menyebut, bahwa KTP milik Thertia Mualidya bukanlah KTP palsu, melainkan ada kesalahan teknis dalam pembuatannya. Suyatno mengatakan, saat ini pihaknya sedang dikejar deadline pembuatan e-KTP hingga 30 September nanti. Proses perekaman dan entri data dilakukan oleh orang yang berbeda sehingga memungkinkan ada kesalahan dalam proses tersebut. “Kemungkinan ada kesalahan antara perekaman dan pengentrian data,” kata Suyatno, (1/9). Permasalahan tersebut sudah diselesaikan dengan pencetakan ulang dan pengembalian KTP yang salah di Disdukcapil. “Namanya juga manusia, ada saja salahnya. Tapi permasalahan tersebut sudah selesai dan sudah kita cetakkan yang baru,” ujar Suyatno. www.suarakomunitas.net Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 3


S

S E K I L A S LUWU UTARA

Lestarikan Pemanfaatan Pekarangan dengan Tanaman Pangan

P

emerintah menggalakkan peningkatan konsumsi pangan melalui kearifan lokal dalam gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) sejak 2010. Gerakan tersebut menggandeng pemerintah daerah, dan masyarakat, utamanya ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT). Memasuki tahun ketujuh pada 2016 ini, P2KP mencanangkan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui Konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Konsep ini merupakan kegiatan pertanian yang berkelanjutan. “Kalau kita maknai konsep kawasan rumah pangan lestari itu sangat luas sekali. Lestari itu bisa dimaknai berkesinambungan. Bisa dimaknai secara terus menerus. Bisa dimaknai tidak berhenti. Artinya harus jalan terus. Jangan sudah panen langsung berhenti di situ juga. Itu bukan lestari namanya. Panen tanam lagi, panen tanam lagi,” terang Armiady selaku Kepala Badan Ketahanan Pangan dan

Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Luwu Utara, (24/8). Armiady menambahkan, program P2KP menjadi perhatian pemerintah dalam rangka pemenuhan sumber pangan dan gizi keluarga. Program ini akan membantu warga yang tergabung dalam KWT untuk memenuhi kebutuhan pangannya seharihari. Pangan yang dihasilkan dalam budidaya ini juga lebih aman karena terbebas dari pestisida. “Program ini menjadi perhatian penuh pemerintah. Alasannya adalah bagaimana kita memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, bisa menjamin bahwa yang kita konsumsi itu bebas dari penggunaan pestisida, dan yang tidak kalah pentingnya adalah bisa menambah penghasilan keluarga,” ujar Armiady. Program P2KP mudah dilakukan. Armiady menuturkan, kegiatan melestarikan pekarangan dengan tanaman pangan ini juga menjadi alternatif olahraga. “Kegiatan ini tidak susah kok. Anggap saja ini kegiatan

sampingan kita atau anggap saja ini kegiatan olah raga. Misalnya usai salat Subuh kita ke pekarangan rumah, rapikan sayur yang kita tanam, petik yang bisa kita petik. Tidak sadar kita sudah 15 menit melakukan itu, keringat juga sudah keluar. Ini kan sehat juga. Sudah kita petik, bawa masuk ke dapur, dan kita masak. Dan yang kita masak itu sudah terjamin keamanannya,” tutur Armiady. Para ibu yang tergabung dalam KWT dihimbau untuk segera menjalankan program ini. Mereka akan dibimbing oleh Pendamping Desa. Hal itu disampaikan oleh Risman selaku Koordinator Pendamping Kabupaten Luwu Utara. “Setelah ini, segera kita beraksi di lapangan. Lakukan sesuai petunjuk teknis yang ada. Kepada Pendamping Desa, saya minta dampingi mereka. Beri motivasi agar mereka kompak. Kerja sama pengurus dan anggota harus terjalin baik agar kegiatan ini sukses dan bisa menjadi contoh bagi yang lain,” tandas Risman. www.suarakomunitas.net

SUMATERA UTARA

BPSK Medan Diharapkan Tidak Berpihak ke PLN

S

idang perdana sengketa antara konsumen dengan PLN di Medan Johor berlangsung di ruang sidang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan, (4/8). Usai sidang tersebut, Ansari B.M selaku konsumen meminta anggota majelis hakim BPSK untuk tidak berpihak kepada PLN. Ansari dan isterinya merasa kecewa dengan perlakuan oknum hakim BPSK. Alasannya, oknum hakim berisinisial H.DBN itu tidak melakukan fungsinya sebagai penengah. Ansari mengatakan,

4 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

hakim tersebut menuduhnya menyadap atau mencuri arus listrik di rumah Jalan Teratai, Medan yang disewanya. Padahal, ia tidak melakukan apa yang dituduhkan oknum hakim itu. Ansari kecewa karena hakim BPSK tidak menelusuri akar permasalahan sengketa listrik yang menimpanya. Oknum hakim tersebut bahkan menganjurkan Ansari untuk membayar denda sebesar Rp. 11 juta dalam 24 kali angsuran atas tuduhan yang tidak pernah dilakukannya. “Itu namanya bukan damai, tapi ngajak perang.


S

S E K I L A S Kalau disuruh bayar 24 kali angsuran itu suara pihak PLN. Kita jadi tanda tanya kenapa bahasanya sama dengan yang dikatakan pihak PLN,”kata Ansari BM, (4/8). Sengketa itu bermula saat Ansari didatangi petugas P2TL PLN Ranting Medan Johor dan seorang aparat beberapa bulan sebelum sidang digelar. Saat itu, Ansari tengah bertugas di Kabupaten Subussalam, NAD. Tim dan aparat ditemui oleh istrinya. Mereka memeriksa stand meter di rumah kontrakannya dan dinyatakan baik. Saat petugas memeriksa atap rumah, mereka mendapati kabel yang dapat ditarik tanpa hambatan. Salah seorang petugas pun menulis dalam berita acara bahwa rumah tersebut menyadap listrik.

Petugas pun membawa meteran listrik rumah tersebut. Ketika istri Ansari menanyakan kenapa meteran rumahnya dibawa, petugas hanya mengatakan bahwa itu pemeriksaan saja. Mereka meminta istri Ansari untuk mendatangi pimpinan ranting PLN Medan Johor. Namun, saat istri Ansari datang ke kantor PLN, ia tidak bisa menjumpai pimpinannya. Satpam setempat pun menyodorkan denda yang harus dibayarnya sekitar Rp. 11 juta. Menurut Ansari BM dan isterinya, petugas seharusnya mengikutsertakan pelanggan dalam pemeriksaan listrik di rumahnya. Hasil pemeriksaan pun seharusnya juga transparan. Namun hal tersebut tidak dilakukan petugas P2TL PLN

Ranting Medan Johor. Kasus sengketa listrik terhadap pelanggan ini sebenarnya sudah berlangsung beberapa bulan lalu dan sudah sampai ke PT. PLN Regional Sumut dan PLN Cabang Medan. Meski demikian, kedua belah pihak tetap mempertahankan prinsipnya. Ansari tetap bertahan tidak mau membayar denda atas tuduhan mencuri listrik karena ia tidak pernah melakukan. Di lain pihak, PLN tetap bersikukuh pelanggan harus membayar denda. Harapannya, dengan ditanganinya masalah tersebut ke BPSK Medan, akan ada solusi terbaik. “Seharusnya BPSK mencari jalan keluar berdasarkan prinsip hukum yang mengacu pada keadilan dan kebenaran,” pungkas Ansari. www.suarakomunitas.net

LOMBOK TENGAH

Sosialisasi Perda Perlindungan Anak Harus Libatkan Tokoh Adat

S

osialisasi mengenai peraturan daerah (perda) khususnya tentang perlindungan perempuan dan anak harus melibatkan tokoh adat. Alasannya, perlindungan perempuan dan anak sangat erat kaitannya dengan adat istiadat setempat. Sosialisasinya pun harus dilakukan lebih masif lagi agar dampaknya bisa dirasakan masyarakat secara signifikan. ”Contohnya saat ada perempauan yang menikah dibawah umur, maka cara-cara penyelesaian terkadang selalu diutamakan dengan penyelesaian secara adat,” kata Masnim, relawan dari Lembaga perlindungan Anak (LPA) dalam sosialisasi perda tentang perlindungan perempuan dan anak di Praya, Lombok Tengah, (20/9). Masnim menambahkan. Seringkali, pihak desa tidak proaktif mengambil tindakan atas kejadiankejadian yang menimpa pada anak, salah satunya adalah pernikahan anak perempuan usia sekolah. ”Seperti beberapa waktu lalu, di desa saya ada kejadian semacam itu. Kita (LPA-Red) tidak punya kewenangan lebih untuk menyelesaikan hal itu. Penyelesaiannya selalu dengan adat, yakni harus dinikahkan bila sudah pergi bersama laki-laki selama

beberapa hari,” kata Masnim. Selain melibatkan tokoh adat, perlindungan perempuan dan anak juga harus melibatkan sinergi antar lembaga. Selama ini, sinergitas belum terjalin dengan baik sehingga koordinasi antara lembaga terkait masih sangat lemah. Itulah kenapa diperlukan adanya kekompakan antar lembaga khususnya untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan isu perlindungan anak dan perempuan. ”Hingga saat ini belum ada data yang valid mengenai korban tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan. Inilah yang harus mulai dibenahi,”imbuh Masnim. Lebih jauh, bagaimana menjalankan perda tersebut dengan baik dan bisa bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat khususnya bagi anak dan perempuan menjadi hal terpenting. “Percuma sebuah perda dibuat, namun tidak dilaksanakan, bahkan tak mampu dilaksanakan. Perda itu jadinya hanya sebuah aturan-aturan semua yang hanya tertera di atas kertas semata namun tak ada artinya untuk kehidupan,” pungkas Masnim.www. suarakomunitas.net

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 5


U

S T A M A

Dilema antara Pertanian dan Pariwisata

FOTO-Dok. Watchdog

Bromo-Tengger-Semeru di Jawa Timur menjadi salah satu dari 10 Destinasi Wisata Prioritas yang dicanangkan oleh pemerintah.

Ferdhi F. Putra

P

emerintah Indonesia kian serius menggenjot pendapatan dari sektor pariwisata. Sejak akhir 2015 lalu, pemerintah mencanangkan program 10 Destinasi Pariwisata Prioritas. Kesepuluh destinasi tersebut yakni, Borobudur (Jawa Tengah), Labuan Bajo (NTT), Mandalika (NTB), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Kepulauan Seribu (Jakarta), Danau Toba (Sumatera Utara), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Tanjung Lesung (Banten), Morotai (Maluku Utara), dan Tanjung Klayang (Belitung). Akselerasi tersebut tentu didukung oleh aliran dana yang tidak sedikit. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal, pertumbuhan investasi di sektor pariwisata pada semester I tahun 2014 hingga semester I tahun 2015 menyentuh angka 64,18 persen. Sektor pariwisata hanya kalah unggul dari sektor hilirisasi sumber daya mineral yang mencapai 105,43 persen, namun lebih tinggi dari industri subtitusi impor yang sebesar 62,15 persen. Apakah jumlah investasi tersebut

6 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

seturut dengan kunjungan dan pendapatan riil? Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada 2014 mencapai 9,44 juta. Tahun berikutnya, angka merangsek hingga mencapai 10,41 juta. Walhasil, penerimaan negara dari sektor pariwisata menembus $ 22 miliar, lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan penerimaan pada satu dekade sebelumnya yang hanya $ 4,591 miliar. Jika target 20 juta wisatawan pada 2019 tercapai, pariwisata akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian nasional, selain migas. Tidak perlu heran melihat kenaikan angka-angka tersebut dari tahun ke tahun. Selain karena pemerintah serius menggarapnya dengan berbagai kebijakan yang menunjang (misalnya, lewat kebijakan bebas visa, atau penyelenggaraan event khusus seperti Sail Indonesia oleh Kementerian Pariwisata), ada banyak faktor lain yang membuat pariwisata Indonesia begitu meledak. Salah satunya adalah andil media sosial.


U

S T A M A

Saya pernah berbincang dengan seorang kawan yang berprofesi sebagai agen pariwisata independen di Lombok, NTB. Waktu itu saya bertanya bagaimana ia bisa mendapatkan pelanggan jika tidak lewat agen travel “resmi”? Ia menjawab, “Mereka tahu dari instagram saya. Mereka berkomentar, tanya ini-itu, dan transaksi pun berlanjut.” Media sosial menjadi etalase pariwisata Indonesia. Pertumbuhan masif pariwisata juga saya saksikan sendiri di Yogyakarta, tempat saya berdomisili. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, destinasi wisata baru bermunculan. Dari yang semula hanya bukit tempat warga berladang, kini disulap menjadi puncak berpemandangan ciamik; dari hutan tak terawat, diubah menjadi tempat kemping favorit para penikmat alam; dari gundukan batu tandus, dikemas sedemikian rupa menjadi tempat yang selfieable; dan hampir setiap desa berlomba menjadi desa wisata. Namun, pertanyaannya kemudian, apakah naiknya angka-angka tersebut berbanding lurus dengan naiknya kualitas kehidupan (kesejahteraan) warga yang notabene merupakan kelompok terdampak langsung dari aktivitas pariwisata? Tiga serial dokumenter yang dibuat oleh Dhandhy Dwi Laksono dan Suparta ARZ mencoba mempertanyakan hal tersebut. Ketiga film tersebut adalah Para Petani dari Balik Kabut, Surga Kentang Ranu Pani dan Turis Pendaki atau Kentang yang diproduksi di bawah bendera WatchDoc*. Dalam perjalanannya mengelilingi Indonesia yang dinamai Ekspedisi Indonesia Biru, Dhandy dan Suparta, merekam banyak peristiwa “pinggiran” yang jarang diangkat oleh media nasional. Kedua jurnalis ini berusaha merekam Indonesia dari sosoksosok dan desa-desa yang jauh dari ingar-bingar dan sensasi glamor ala Jakarta. Salah satunya adalah tentang kehidupan warga di lereng Gunung Semeru, tepatnya di Desa Ranu Pani, Lumajang, Jawa Timur. Dokumenter tersebut menyorot fenomena naiknya kunjungan wisatawan berhadapan dengan pertanian yang merupakan sumber penghasilan asli warga setempat. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS) termasuk salah satu destinasi prioritas yang dicanangkan pemerintah. Meski sepertinya belum mencapai titik yang diharapkan pemerintah pusat, kawasan tersebut sudah menjadi salah satu tujuan wisata paling ramai di tanah Jawa. Pada tahun tahun 2014 misalnya, total wisatawan yang tercatat mencapai 45 ribu, dengan rata-rata kunjungan 5.000 wisatawan per hari. Jumlah itu melonjak hingga dua kali lipatnya ketika hari libur. Tingginya jumlah wisatawan sudah tentu mendorong pertumbuhan infrastruktur, transportasi, akomodasi, dan yang pasti kebutuhan lahan. Sebagai daerah kantung (enclave) dengan luasan 500 hektare, warga Desa Ranu Pani tidak

punya banyak pilihan untuk mengakomodasi pertumbuhan tersebut. Satu-satunya jalan hanyalah dengan merelakan rumah-rumah mereka menjadi penginapan publik, atau mengalihfungsikan lahan pertanian sebagai bangunan. Alih fungsi lahan kemudian menjadi ancaman nyata di depan mata. Tak dimungkiri, pariwisata menambah penghasilan warga. Namun, itu tidak berarti bahwa pertanian yang menjadi tonggak ekonomi setempat sejak dahulu tidak membuat warga sejahtera. Dalam tiga serial dokumenter tersebut, Dhandy dan Suparta berusaha menggali banyak fakta untuk membandingkan dan menunjukkan bahwa pariwisata bukan satu-satunya “jalan keluar”. Sukodono, petani setempat yang menjadi narasumber dalam dokumenter tersebut mengungkap pendapatannya dari hasil bertani. Ia adalah petani dengan kepemilikan lahan di atas rata-rata warga lainnya. Lahan seluas 1,5 hektare yang dimilikinya seluruhnya ditanami kentang. Dari lahan tersebut, ia dapat meraup pundi hingga Rp 180 juta dalam sekali panen (4 sampai 5 bulan). Artinya, setiap seperempat hektare tanah bertanam kentang mampu menghasilkan Rp 30 juta bagi keluarga Sukodono. Narasumber lain, seorang tengkulak bernama Yonathan membeli kentang yang masih berada dalam tanah (belum dipanen) seluas seperempat hektare dengan harga Rp 25 juta. Ia berasumsi akan mendapat lima ton kentang, yang artinya setiap kilogram kentang berharga Rp 5.000. “Kadang sehari (pada masa panen) saya dapat Rp 60 juta di sini,” kata Yonathan. Tidak heran ia mendapatkan berkali-kali lipat dari yang

FOTO-DOK WATCHDOG

Warga Ranu Pani masih sangat bergantung pada pertanian. Pendapatan yang didapatkan dari hasil menjamu wisatawan adalah bonus.

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 7


U

S T A M A dikeluarkan. Sebabnya, ia mendapatkan Rp 1.500 dari tiap kilogram kentang yang dijualnya ke pengepul. Dari fakta-fakta tersebut, kita bisa melihat bahwa warga Ranu Pani sesungguhnya masih sangat bergantung pada pertanian. Pendapatan yang didapatkan dari hasil menjamu wisatawan adalah bonus. Pada musim ketika Gunung Semeru ditutup karena cuaca buruk ataupun pemulihan ekosistem, pendapatan dari pariwisata bahkan bisa merosot hingga nol. Jika tak punya cadangan pendapatan, hal ini tentu menjadi persoalan yang tak sepele. Thomas, salah seorang pelaku wisata yang tak lagi memiliki lahan bertani mengungkapkan harapannya akan masa depan Ranu Pani. “Harapan kami tidak seperti ini,” katanya ketika ditanya apakah ia ingin masa depan desanya seperti Desa Ngadisari (Probolinggo) yang sudah menjadi desa wisata. Menurutnya, selain alasan pertanian, daya saing warga setempat belum cukup untuk membendung arus modal dari luar. “Warga setempat hanya mendapatkan sebagian kecilnya saja, kebanyakan pemain dari luar (yang mendapatkan nilai lebih).” Apa yang diungkapkan Thomas adalah gambaran kecil dari dampak akselerasi sektor pariwisata yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Nyatanya, kenaikan nilai investasi sektor pariwisata tidak melulu menjadi kabar baik bagi warga. Sebab arus modal tersebut justru

“Warga Ranu Pani sesungguhnya masih sangat bergantung pada pertanian. Pendapatan yang didapatkan dari hasil menjamu wisatawan adalah bonus.” menggerus sumber daya yang mereka miliki, seperti lahan. Thomas dan mungkin juga sebagian besar warga di lereng Bromo-Semeru, berharap agar warga bisa lebih berdaya, sehingga dapat mengelola sumber daya yang ada, baik pertanian maupun potensi wisata secara mandiri. Dengan kata lain, pariwisata berbasis komunitaslah yang diharapkan olehnya. Namun pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud pariwisata berbasis komunitas? Bagaimana metode pengelolaannya? Inilah yang menjadi PR kita bersama.

Alih fungsi lahan pertanian untuk pariwisata menjadi ancaman nyata di Desa Ranu PaniFOTO - DOK WATCHDOG

*Judul Film: #10 Para Petani dari Balik Kabut #11 Surga Kentang Ranu Pani #12 Turis Pendaki atau Kentang Reporter: Dhandy Dwi Laksono dan Suparta Arz Rumah Produksi : WatchDoc Tahun : 2016

Ferdhi F. Putra

Staf Unit Pengelolaan Informasi CRI

8 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi


U

S T A M A Pariwisata Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan

Pariwisata oleh, dari dan untuk Masyarakat

Keunikan tradisi budaya bisa menjadi daya tarik di desa wisata

Prof. Dr. M. Baiquni, M.A.

C

ommunity Bassed Tourism (CBT) adalah bentuk pariwisata berbasis masyarakat yang kini marak berkembang di Yogyakarta, Bali dan destinasi pariwisata lainnya. Pariwisata berbasis masyarakat ini tak lepas dari dinamika dasar basis masyarakat yang kohesif dan memiliki struktur kelembagaan serta masih adanya pranata adat. Penerapannya di Yogyakarta dan Bali memunculkan berbagai variasi CBT yang kemudian dikembangkan melalui programprogram pemerintah dan masyarakat di berbagai kepulauan di Indonesia.

Perkembangan CBT di Indonesia

CBT yang terkait dengan perkembangan desa wisata di Yogyakarta muncul pada era pembangunan desa pada tahun 1980-an dan 1990-an. Setelah era reformasi dan otonomi daerah, CBT dikembangkan lebih jauh melalui program-program permberdayaan masyarakat. Jauh sebelum itu, yakni pada tahun 1970-an, pembangunan desa bertumpu pada sektor agraris untuk memenuhi kecukupan pangan

dan pembenahan infastruktur dasar seperti jalan, jembatan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan sebagainya. Memasuki awal 1980-an, pemerintah mulai mengembangkan strategi ekonomi ekspor non migas (minyak dan gas bumi), salah satunya melalui pengembangan pariwisata. Hal tersebut dilakukan karena minyak dan gas bumi tidak lagi menjadi kunci pendapatan negara. Sejak pariwisata dikembangkan menjadi alternatif untuk mendatangkan devisa negara itulah, destinasi-destinasi wisata di Indonesia mulai menggeliat, termasuk desa wisata. Perkembangan jasa pariwisata muncul setelah era pembangunan pedesaan yang berbasis pada sumberdaya, khususnya pertanian dan industri kecil pedesaan. Yogyakarta dan Bali menjadi dua destinasi wisata yang memelopori CBT. Desa-desa di dua destinasi tersebut memiliki adat istiadat, tradisi budaya unik, dan kerajinan yang menjadi daya tarik wisata. Ada juga desa-desa yang memiliki lanskap lingkungan alam, baik itu gunung, hutan, sungai, Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 9


U

S T A M A pesisir, maupun pantai-pantai yang bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata. Dalam CBT, sesungguhnya masyarakat telah memiliki modal, yakni sumber daya alam, sumber daya sosial, kelembagaan, sumber daya ekonomi, dan sumber daya seni tradisi. Tidak lupa pula, keramahtamahan masyarakat juga menjadi kunci dalam pariwisata. Dengan modal itulah, pariwisata desa mampu menarik orang-orang kota atau wisatawan mancanegara untuk menikmati hal-hal yang ada di desa.

Lahir dari inisiatif lokal

sumber daya manusia. Desa wisata juga harus bermitra dengan swasta, baik itu travel agent, hotel, ataupun CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaanperusahaan yang memungkinkan mereka untuk merangkai atau menambah sumber daya mereka dalam industri pariwisata. Proses tersebut telah memunculkan puluhan bahkan ratusan desa wisata berbasis masyarakat di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Khusus di Yogyakarta, CBT ini justru bangkit dan berkembang semakin marak pascagempa bumi 2006 dan erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Ketika gempa bumi tahun 2006 yang menewaskan lebih dari 5000 orang, banyak desa di Yogyakarta mengalami keruntuhan, termasuk beberapa desa yang memilki warisan budaya (culture heritage) dan warisan alam (natural heritage). Beragam prakarsa pun muncul untuk membangun kembali desa-desa tersebut, salah satunya melalui usaha pariwisata berbasis masyarakat.

CBT lahir dari berbagai inisiatif berbasis masyarakat. Ada berbagai tipe terkait dengan inisiatif berbasis masyarakat. Tipe pertama adalah masyarakat yang belajar dari pengalaman. Mereka mengalami jatuh bangun terlebih dahulu dalam mengelola sumber dayanya untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata sebelum bisa mendatangkan wisatawan. Tipe kedua, inisiatif yang datang dari pemerintah melalui Lava Tour, CBT pascabencana program-progam untuk desa-desa wisata Lava tour adalah satu daya tarik wisata itu. Program-program itu dilaksanakan baik yang muncul setelah erupsi Merapi 2006 oleh dinas pariwisata maupun pertanian dan 2010. Di sinilah masyarakat setempat atau dinas-dinas pemerintah yang terkait melakukan upaya-upaya pengorganisasian, dengan ekonomi. Tipe inisiatif yang ketiga investasi dan upaya membangun diri. adalah tipe investor yang melihat dan Mereka mengembangkan lava tour atau melirik potensi unggulan suatu desa dan tour dengan kendaraan sepeda motor akhirnya mengembangkan desa wisata itu atau jeep. Dalam lava tour itu, ada warga menjadi bagian dari investasinya. yang menjadi pemandu wisata. OrangDari ketiga tipe di atas, tipe pertama orang setempat penyintas erupsi Merapi dipandang lebih lestari dan memiliki berjuang kembali untuk bangkit. Kegiatan daya untuk menciptakan kesejahteraan pariwisata menyebabkan transformasi masyarakat. Masyarakat menjadi mata pencaharian warga di desa. Warga pelopor yang mengawali proses-proses yang semula mencari rumput, beternak, pengembangan desa wisata. Tentu saja, berladang ataupun bertani, berubah masyarakat Lava tour Merapi dikembangkan pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2006 dan 2010 tidak bisa FOTO lavatourmerapi.blogspot.com sendiri sehingga memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Mereka harus menjalin kemitraan dengan pemerintah, terutama untuk membangun infrastruktur dan pelatihanpelatihan peningkatan 10 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi


U

S T A M A menjadi pemandu wisata ataupun diversifikasi usaha warung kecil (seperti warung kopi, jahe, jadah, atau makanan). Kegiatan pariwisata alternatif CBT melibatkan puluhan atau bahkan ratusan keluarga. Warga desalah yang mengorganisir kegiatan-kegiatan wisata di desa mereka. Kegiatan-kegiatan pariwisata itu didukung oleh berbagai pihak seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan yang menaruh perhatian pada masalah itu. Dukungan itu diberikan dalam upaya untuk membantu warga korban bencana agar menjadi lebih mandiri dan pengembangan CBT bisa berkelanjutan. Generasi muda, terutama mahasiswa-mahasiswa memegang peranan penting dalam pengembangan CBT di Yogyakarta. Melalui KKN (Kuliah Kerja Nyata), para mahasiswa dari lintas disiplin ilmu (terutama dari jurusan Pariwisata) mengamalkan ilmu mereka di desa-desa, khususnya desa wisata. Dalam konteks pembangunan pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism, peran masyarakat dalam proses membangun diri, kelembagaan dan bisnisnya akan lebih kuat dan berlanjut apabila ada proses pembelajaran dari pengalaman yang bertahap. Pengalaman jatuh bangun itulah yang justru bisa lebih meneguhkan para perintis desa-desa wisata. Sampai sekarang, semakin banyak desa wisata yang sudah terorganisir dengan baik dan sudah melakukan regenerasi. Banyak desa wisata yang sudah mengunakan internet dan website untuk menginformasikan keunikan-keunikan desanya. Dalam lima tahun terakhir, fenomena swafoto di objek-objek wisata semakin mempercepat dikenalnya suatu objek wisata oleh publik yang lebih luas. Banyak juga kegiatan-kegiatan anak-anak muda yang mencoba melihat dan menikmati desa sebagai alternatif wisata mereka.

CBT di Yogyakarta

Pendekatan dan metode CBT memang beragam. Ada pendekatan yang dimulai dari sekelompok anak muda perantau di luar negeri atau di kota-kota yang pulang untuk membangun desanya. Ada juga inisiatif dari para pamong desa yang bisa melihat desanya memiliki potensi wisata. Pendekatan lainnya, CBT berangkat dari tradisi kuat sehingga tidak lekang dari situasi jaman yang cepat berubah. Mereka yang akan mengawali CBT biasanya memerlukan suatu musyarawah desa untuk memulai kegiatannya. Berbagai lembaga seperti UGM ataupun pemerintah daerah setempat pun dihubungi oleh para perintis CBT tersebut. Mereka juga menjalin hubungan dengan beberapa investor pengusaha yang mungkin masih merupakan kerabat ataupun keluarga untuk mendapatkan pengetahuan

mengenai pariwisata. Berangkat dari situ, mulailah CBT di desa tersebut ditata, dipromosikan dan dikembangkan. Beragam potensi wisata tersebut memunculkan lembaga tingkat desa untuk mengelola pariwisata di desanya, yakni kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Ada contoh-contoh pendekatan CBT yang fenomenal di Yogyakarta. Tengoklah beberapa desa di Bantul yang bangkit dari bencana gempa bumi 2006 silam melalui usaha pariwisata. Demikian halnya dengan sejumlah desa di Sleman yang menawarkan kegiatan wisata petualangan di bekas lahar Gunung Merapi pascaerupsi 2006 dan 2010. Tak ketinggalan pula di Gunungkidul yang masuk dalam jejaring geopark dunia setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO menetapkannya menjadi Geopark Gunung Sewu pada 2013 lalu. Geopark Gunung Sewu memiliki 33 geosite, mayoritas adalah geosite alam yang meliputi pegunungan, karst, hutan, dan pantaipantai yang menarik untuk aktivitas pariwisata. Geosite-geosite itu tersebar di tiga kabupaten di tiga provinsi, yakni 13 geosite di Gunungkidul (DIY), tujuh geosite di Wonogiri (Jawa Tengah), dan 13 geosite di Pacitan (Jawa Timur). Selain Gunungkidul, Kabupaten Kulonprogo juga tengah mengembangkan CBT di Pegunungan Menoreh, kebun teh, kebun kopi, dan lain-lain (lihat: Infografis Pariwisata Berbasis Masyarakat di Indonesia). Merujuk pendapat Prof. Nasikun, “Tourism has tonic and toxic,� pariwisata bisa menjadi penyegar yang memberi manfaat positif, tapi ada bagian tertentu yang bisa punya dampak negatif. Oleh karena itu, tugas kita semua, terutama pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha, terutama kalangan perguruan tinggi untuk selalu memupuk semangat pariwisata dengan mengembangkan kemanfaatan positifnya dan mengurangi dampakdampak negatif. Kerusakan lingkungan, sampah, dan kemasiatan adalah dampak-dampak negatif yang harus dikurangi bahkan dihilangkan. Dengan demikian, CBT merupakan bentuk pariwisata yang bertanggung jawab terhadap pengembangan budaya dan kesejahteraan sosial. CBT adalah bentuk pariwisata yang memperhatikan pengembangan ekonomi kreatif masyarakat serta melestarikan lingkungan alamnya. Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. Ketua Magister dan Doktor Pariwisata, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada *Tulisan ini diolah oleh Apriliana Susanti dari hasil wawancara tertulis dengan Prof. M.Baiquni, M.A.

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 11


U

S T A M A Pariwisata Berbasis Masyarakat di Nglanggeran

Pemberdayaan Warga untuk Pariwisata yang Berkelanjutan

Apriliana Susanti

L

ebih dari 600 warga Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul DI Yogyakarta berkumpul di lapangan desa pada Sabtu siang yang terik,(17/9). Dalam balutan kebaya, surjan, dan kostum tradisional beraneka warna, mereka menyemarakkan kirab tahunan dalam rangkaian ritual bersih desa atau rasulan. Mulai dari anak-anak hingga para orang tua berpartisipasi dalam ajang kesenian tradisional terbesar di Desa Nglanggeran. Ada jathilan, tarian anak-anak, gejhog lesung, sholawatan, tayub, dan masih banyak lainnya. Tiga gunungan hasil pertanian warga diarak untuk diperebutkan para peserta dan penonton kirab. Beberapa wisatawan lokal dan manca negara tampak tak ingin melewatkan even yang langka itu. Setelah Desa Nglanggeran dibuka menjadi tujuan wisata pada 2007 lalu, partisipasi warga dalam kegiatan-kegiatan desa semakin meningkat. Partisipasi itu tampak dari keterlibatan warga dalam semua rangkaian kegiatan bersih desa yang berlangsung selama dua hari, 17-18 September 2016. Bersih desa yang dulunya sekadar

12 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

ritual tahunan kini dikemas menjadi atraksi wisata. Warga ingin wisatawan tak hanya mengenal Nglanggeran dari Gunung Api Purbanya saja, namun juga keunikan budayanya. Inilah menariknya. Pariwisata menjadikan warga semakin peduli terhadap kelestarian budaya lokal. Mereka menyadari, kelestarian budaya menjadi kunci keberlanjutan desa wisata yang


U

S T A M A

bertumpu pada kolektivitas warganya. “Dulu kegiatan budaya (rasulan) tidak sebesar ini. Sekarang, setiap dusun punya kelompok seni yang nggak hanya ditampilkan setahun sekali saat rasulan, tapi kadang juga ditampilkan untuk menyambut wisatawan,� jelas Suadi, warga Dusun Nglanggeran Kulon, (17/9).

hijau dan lebih tertata. Konservasi itu pula yang membawa Nglanggeran menjadi desa wisata terbaik kedua di Indonesia tahun 2013. Pada tahun 2016 ini, Desa Nglanggeran menjadi kandidat terkuat menyabet juara kategori Innovation in NonGovernmental Organization dalam ajang UNWTO (United Nations World Tourism Organization) Award yang digelar oleh badan pariwisata dunia dari PBB.

Berdayakan warga

Berkembangnya Nglanggeran menjadi desa wisata tak lepas dari euforia menjamurnya ratusan desa wisata di Indonesia sejak 2009. Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata (dulu Kemenbudpar) gencar mencanangkan desa-desa wisata di Indonesia. Desadesa wisata itu menawarkan beragam daya tarik seperti atraksi seni, budaya, gaya hidup, kuliner dan keunikan alam setempat. Daya tarik tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah atraksi yang menarik para wisatawan, misalnya menjelaskan bagaimana cara pembuatan makanan atau mengolah minuman khas desa tersebut dan aktivitas lain yang ada di sana. Bentuk wisata berbasis desa seperti inilah yang kini menjadi alternatif wisata baru dalam peta pariwisata Indonesia. Kemunculan desa wisata jelas memberi dampak yang cukup signifikan bagi masyarakatnya. Seperti terjadi di Nglanggeran, sektor pariwisata ikut menggerakkan sektorsektor lain seperti peternakan, pertanian, penginapan

Keterlibatan warga desa ini merupakan ciri khas dari bentuk pariwisata berbasis komunitas atau masyarakat (Community Bassed Tourism) yang diusung Desa Wisata Nglanggeran. Setiap kegiatan pariwisata di desa ini selalu memberdayakan warga setempat, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Ada warga yang terlibat dalam manajemen wisata, pemandu wisata, petugas parkir, penyedia homestay, penjual makanan dan minuman, pengelola sampah wisata, dan lain-lain. Pemberdayaan warga inilah yang membedakan pariwisata berbasis masyarakat dengan pariwisata konvensional yang umumnya dikuasai oleh pemodal besar. Sugeng Handoko, pengelola wisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran menceritakan, keterlibatan warga untuk ikut mengembangkan desa bukan hal yang instan. Butuh waktu bertahuntahun untuk dapat menggerakkan partisipasi warga agar mau membangun Nglanggeran menjadi desa wisata seperti sekarang ini. Upaya itupun awalnya hanya untuk penguatan internal warga melalui lembaga kepemudaan karang taruna sejak 1999. Berawal dari penguatan itulah muncul komitmen warga untuk konservasi kawasan selang delapan tahun kemudian. “Berawal dari penguatan internal di karang taruna, kami punya komitmen untuk konservasi lapangan. Dampak dari kegiatan konservasi kawasan itu, orangorang yang datang ke desa kami semakin merasa nyaman. Semakin banyak orang datang untuk hiking dan treking di gunung. Dari situlah kami berpikir, kenapa tidak dijadikan destinasi wisata?� urai Sugeng Handoko yang juga menjadi salah satu tokoh karang taruna Desa Nglanggeran, (18/9). Konservasi ternyata menjadikan kawasan gunung api purba menjadi lebih

Dua sisi

Partisipasi warga meningkat sejak dikembangkannya CBT di Desa Nglanggeran

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 13


U

S T A M A

14 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi


U

S T A M A

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 15


U

S T A M A

Embung Nglanggeran dengan latar belakang Gunung Api Purba sejatinya digunakan untuk mengairi kebun buah di sekelilingnya, kini juga dibuka untuk wisata.

dan lain-lain. Saat ini, ada setidaknya 80 warga yang menyewakan rumahnya untuk dijadikan penginapan para wisatawan atau homestay. Sektor pertanian juga semakin menjanjikan karena petani lebih mudah menyalurkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi wisatawan. Dampaknya, kesejahteraan warga meningkat. Lebih menggembirakan lagi, tingkat urbanisasi menurun karena pariwisata memunculkan berbagai lapangan kerja bagi warga. Ada lebih dari 150 warga yang bergabung menjadi pengelola wisata. Itu belum termasuk dengan usaha-usaha kecil milik warga seperti warung makan, toko kelontong, dan lain-lain yang kini mulai menjamur di sekitar objek-objek wisata (lihat: Infografis Desa Wisata Nglanggeran). “Dulu tidak ada lapangan pekerjaan di desa ini. Sekarang, banyak anak muda yang kembali ke desa,” ujar Sri, warga Dusun Nglanggeran Kulon yang pernah merantau di Singapura sebelum kembali ke desanya beberapa tahun silam, (17/9). Jumlah kunjungan wisata yang meningkat juga berdampak pada meningkatnya pendapatan pemerintah, baik di tingkat daerah maupun tingkat desa. Tahun 2015 lalu, ada 235 ribu wisatawan yang berkunjung ke Desa Nglanggeran dengan penerimaan retribusi wisata mencapai Rp 1,5 miliar setahun. Senen, kepala Desa Nglanggeran memaparkan, 60 persen dari retribusi wisata yang disetorkan oleh pengelola wisata ke Pemkab Gunungkidul masuk kembali ke kas desa. “Desa wisata membuat pendapatan desa meningkat. Jika tahun 2004 lalu pendapatan desa sekitar Rp 10 juta per tahun, pada 2015 lalu meningkat menjadi 24 kali lipatnya,” papar Senen, (18/9). 16 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

Desa Nglanggeran yang dulunya terpencil kini menjadi jujugan wisatawan dan para peneliti serta pemerintah desa-desa lain yang ingin belajar tentang desa wisata. Setelah dibuka menjadi desa wisata dan berkembang seperti saat ini, pemerintah pusat dan daerah memberi perhatian lebih baik dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan SDM masyarakat melalui pelatihan-pelatihan. “Padahal, dulu sangat sulit meminta bantuaan dari pemerintah. Dulu jalanan di desa ini terjal dan berbatu. Penerangan jalan juga kurang,” tutur Senen. Meningkatnya kegiatan pariwisata di desa wisata mendorong warga untuk berlomba-lomba menjadi penyedia jasa yang berorientasi pada uang. Warga desa yang dulunya menggantungkan hidup pada hasil pertanian, kini banyak yang berpindah haluan dengan menjadi pedagang makanan dan minuman karena dirasa lebih menguntungkan. Fenomena itu pun dialami Nglanggeran dan desa-desa wisata lain di Gunungkidul. “Dampak dari dibukanya sebuah kawasan wisata adalah terjadinya transformasi kultural mata pencaharian masyarakat Gunungkidul yang dulunya agraris menjadi pariwisata,” kata Budi Martono, selaku General Manager GeoparkGunung Sewu di Gunung Kidul saat menyampaikan workshop tentang pengelolaan GeoparkGunungsewu di gedung Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, (30/8). Transformasi mata pencaharian tersebut tidak serta merta terjadi pada seluruh warga Nglanggeran. Senen mengatakan, warga yang mengelola homestay dan jasa pariwisata lebih


U

S T A M A kelestarian ekologi di kawasan ini. Pengelolaan lahan di gunung kini fokus pada konservasi kawasan. Tidak ada lagi penebangan liar ataupun penggalian batu-batu gunung. Masyarakat pun semakin menyadari pentingnya menjaga satwa langka gunung terutama kera gunung dan macan cecep. Padahal, dulu satwa langka itu banyak diburu warga. Tanaman keras dan buah-buahan lebih banyak ditanam di gunung untuk habitat dan sumber pakan bagi satwa-satwa tersebut.

Gunung Api Purba Nglanggeran menjadi habitat kera gunung dan hewan langka lainnya.

FOTO: Apriliana

banyak berasal dari tiga dusun yang berdekatan dengan objek-objek wisata, yakni Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan, dan Gunung Butak. Geliat pariwisata terlihat dari lebih siapnya warga di ketiga dusun tersebut dalam menyambut wisatawan. Hal itu tampak dari beberapa warga yang merenovasi rumah mereka agar lebih nyaman untuk penginapan wisatawan. Demikian juga dengan bertambahnya warga yang mengelola warung-warung makanan di seputar objek wisata. Kondisi tersebut tidak ditemukan di dua dusun lain, yakni Dusun Karangsari dan Dusun Doga. Pemerintah Desa Nglanggeran tidak menampik pariwisata memunculkan kesenjangan ekonomi di desanya. Namun demikian, baik pemerintah desa maupun pengelola wisata telah berupaya merangkul warga dari lima dusun di Desa Nglanggeran untuk bergabung menjadi pengelola wisata. “Petugas pengelola wisata saat ini sudah berasal dari 5 dusun yang ada di desa ini. Kami mengupayakan untuk pemerataan dan peningkatan keterlibatan warga dalam mengelola wisata di desa kami,” kata Senen. Sementara itu, pengelola wisata mengakui, kemampuan berbahasa asing yang minim masih menjadi PR untuk mereka. Padahal, setelah UNESCO menetapkan kawasan karst Gunungsewu (meliputi Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan) sebagai geopark dunia, akses untuk dikenal secara global semakin terbuka lebar. Terlebih, Gunung Api Purba Nglanggeran sebagai pintu masuk GeoparkGunungsewu di propinsi Yogyakarta berpeluang menarik lebih banyak wisatawan mancanegara. Tantangannya, tuntutan untuk bisa menghadirkan wisata yang edukatif, konservatif, dan menarik tak bisa ditawar lagi. “Pengelola memang masih terkendala dengan kemampuan berbahasa asing. Beberapa mahasiswa UGM (dari Manajemen Kajian Pariwisata-red) rutin datang ke sini untuk melatih kami berbahasa inggris,” kata Sugeng Handoko. Sebelum dibuka menjadi kawasan wisata, Gunung Api Purba digarap oleh masyarakat setempat. Penebangan pohon dan penggalian batu gunung untuk dijual menjadi pemandangan yang biasa pada masa itu. Warga menutup mata akan ancaman longsor yang bisa terjadi sewaktuwaktu karena tanah yang makin rentan karena penebangan dan penggalian tersebut. “Dulu nenek moyang kami hanya melihat gunung ini sebagai gunung batu saja. Mereka belum melihat peluang wisata yang bisa dikembangkan seperti sekarang. Hasil yang bisa kami nikmati bersama-sama dari gunung ini dulunya hanyalah panen pisang yang ditanam bersama-sama oleh warga,” cerita Sugeng. Dibukanya Gunung Api Purba Nglanggeran sebagai tujuan wisata memberi harapan baru bagi

Pariwisata memang membuat lingkungan di Gunung Api Purba Nglanggeran menjadi semakin tertata. Namun demikian, pariwisata juga telah meningkatkan volume sampah, terutama sampah plastik di kawasan tersebut (lihat: Kelola Sampah, Cegah Kerusakan Lingkungan). Ini tentu menjadi tantangan besar bagi pengelola wisata setempat. Pengelolaan sampah wisata mutlak dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar pada masa mendatang. Pariwisata, dimana pun itu, selalu memiliki dua sisi yang berbeda: peluang di satu sisi dan tantangan di sisi lainnya. Desa wisata yang mengusung bentuk pariwisata berbasis komunitas pun tak luput dari keduanya. Pariwisata di Desa Wisata Nglanggeran telah berdampak positif bagi pemberdayaan warga. Meski begitu, masih banyak tantangan yang harus dihadapi ke depannya. Penguatan internal warga terus menjadi perhatian, baik sebelum dan setelah kawasan itu dibuka menjadi kawasan wisata seperti saat ini. Tujuannya, agar warga lebih siap dan berdaya dalam menjawab tantangan pariwisata global. Warga yang berdaya bisa menjadi modal besar bagi keberlanjutan pariwisata di kawasan itu. Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 17


U

T A M A

Kelola Sampah Wisata, Cegah Kerusakan Lingkungan Apriliana Susanti

D

i balik keindahan setiap destinasi wisata, ada jejak muram bagi lingkungan sekitarnya, yakni sampah. Sampah yang menjadi salah satu permasalahan terbesar dalam setiap kegiatan pariwisata belum menjadi perhatian mayoritas pengelola wisata di Indonesia saat ini. Pengelola wisata lebih berfokus pada bagaimana mendatangkan sebanyakbanyaknya wisatawan untuk mengejar hasil ekonomi yang lebih besar. Padahal, semakin banyak kunjungan wisatawan, semakin meningkat pula sampah yang dihasilkan. Jika dibiarkan saja, sampah-sampah itu bisa menjadi bom waktu yang dapat merusak lingkungan. Sebagai destinasi wisata, sampah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pengelola wisata Desa Nglanggeran, di Kecamatan Patuk, Gunungkidul, DI Yogakarta. Sugeng Handoko selaku pengelola wisata Desa Nglanggeran menuturkan, setiap wisatawan yang datang di tempat ini rata-rata meninggalkan tiga sampah plastik, mulai dari sisa botol minuman hingga sisa kemasan snack. Jumlah itu belum termasuk sampah organik seperti sisa-sisa makanan, kertas pembungkus makanan, dan sebagainya. Jika kunjungan wisatawan pada tahun 2015 mencapai 235 ribu pengunjung, total sampah plastik yang

Papan peringatan dipasang untuk mengajak wisatawan membuang sampah di tempat yang disediakan

dihasilkan sebanyak 235 ribu botol plastik dan 470 kantong plastik sisa camilan dalam setahun. Meningkatnya jumlah sampah tidak bisa dihindari dengan semakin banyaknya jumlah pengunjung ke sejumlah objek wisata di Desa Nglanggeran. Terlebih lagi, kesadaran mayoritas wisatawan Indonesia untuk membuang sampah pada tempatnya masih kurang. Pengelola wisata telah mengupayakan berbagai cara untuk meminimalisir volume sampah wisata. Sosialisasi agar wisatawan membawa kembali sampah mereka setelah turun dari gunung terus gencar dilakukan. Tong-tong sampah pun ditempatkan di berbagai titik pendakian Gunung Api Purba agar memudahkan wisatawan untuk membuang sampah. Selain memasang papan-papan himbauan, pengelola juga menekankan kearifan lokal pada wisatawan. Semisal, larangan membuang sampah sembarangan di tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat. Kearifan

18 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

lokal itu terbukti ampuh meningkatkan kesadaran wisatawan untuk membuang sampah di tempat-tempat yang telah disediakan. “Kesadaran pengunjung untuk membawa sampahnya semain meningkat. Pada tahun-tahun awal pembukaan menjadi desa wisata, sampah plastik dari gunung bisa mencapai 10-15 trash bag (kantong sampahred) bahkan lebih. Sekarang, berkurang menjadi 6-8 trash bag dan semoga akan semakin berkurang terus,� jelas Sugeng Handoko, (18/9). Kegiatan membersihkan sampah di gunung pun menjadi rutinitas mingguan tim pengelola untuk konservasi kawasan tersebut. Setiap hari Rabu dan Sabtu pagi, ada beberapa tim dari pengelola wisata yang menyisir sampah di Gunung Api Purba. Berbekal kantong sampah plastik, tim-tim itu akan mengambil sampah-sampah dari tong-tong sampah dan di sepanjang jalan yang mereka sisir. Mereka akan membawa turun sampah-sampah itu untuk kemudian diangkut


U

S T A M A oleh petugas sampah ke lokasi pengolahan sampah desa. Kelola sampah mandiri Jika pada tahun-tahun sebelumnya sampah-sampah wisata diambil oleh truk sampah Dinas Pekerjaan Umum Gunungkidul, tahun 2016 ini sampah sudah dikelola mandiri oleh desa. Pengelolaannya dilakukan oleh unsur lembaga desa KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan pengelola wisata. Saat ini, ada tiga pengelola dari kedua unsur tersebut dan tiga petugas pengangkut sampah. Para petugas mengambil sampah wisata dari objek wisata setiap dua hari sekali. Mereka kemudian memilah lagi sampah-sampah itu menurut jenisnya, yakni sampah organik dan sampah anorganik. Sampah anorganik terutama plastik dan tisu menjadi sampah terbanyak yang dikelola TPS (Tempat Pembuangan Sementara) saat ini. Sampah-sampah itu masih dipilah lagi menjadi sampah yang masih bisa didaur ulang dan dijual seperti botol plastik dan sampah yang tidak bisa dijual atau didaur ulang lagi. Selama enam bulan pengelolaan sampah di TPS ini, petugas sudah memilah 1,25 ton sampah plastik yang bisa dijual. Sampah-sampah tersebut dijual ke pedagang rongsok dengan harga Rp 2.600 per kilo gram. Uang penjualan sebesar Rp 3.250.000 masuk kas pengelola wisata. Sementara sampah yang tidak bisa dijual lagi diambil oleh Dinas PU Kabupaten Gunungkidul untuk kemudian didistribusikan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sukiran, ketua pengelola TPS mengatakan, biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan pengelola TPS sebesar Rp 3 juta. Biaya tersebut meliputi biaya operasional kendaraan pengangkut sampah, listrik, BBM pengangkut sampah, upah petugas, dan lain-lain. “Biaya operasional itu belum termasuk

biaya operasional mesin pengolah sampah. Saat ini memang mesinnya belum berjalan karena volume sampahnya baru dari tempat wisata saja, jadi masih sedikit,” katanya, (18/9). TPS mandiri di Desa Nglanggeran bukan semata untuk mengelola sampah wisata, namun juga sampah warga, terutama sampah anorganik. Namun, warga masih terbiasa menimbun atau membakar sampah anorganik di kebun mereka. Padahal, pemerintah desa sudah mengadakan sosialisasi kepada warga agar mereka mau membuang sampah di TPS. Kondisi ini tentu berseberangan dengan gerakan 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle) yang dicanangkan oleh pemerintah desa setempat. Salah satu pedagang makanan di objek wisata Embung Nglanggeran, Mujiyem, mengakui masih menimbun atau membakar semua jenis sampah dari warungnya. “Biasanya (sampahnya) ditimbun di halaman rumah atau dibakar,” akunya, (17/9). Pemerintah desa berencana memasukkan pengelolaan TPS ini di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) pada tahun 2017. Kepala Desa Nglanggeran, Senen, mengungkapkan pihaknya telah meningkatkan anggaran pengelolaan TPS ini untuk tahun depan. Sosialisasi kepada warga sudah mulai dilakukan tahun ini dan akan semakin gencar dilakukan tahun depan. “Harapannya, warga mau membuang sampah mereka di TPS, terutama sampah yang tidak bisa didaur ulang agar tidak mencemari lingkungan,” kata Senen, (18/9). TPS di Nglanggeran baru beroperasi sekitar Maret 2016 di Dusun Gunung Butak, sekitar 1,5 kilometer dari kantor sekretariat Gunung Api Purba. TPS ini berdiri di lahan seluas 500 meter persegi dan bangunan seluas 12 x 16 meter persegi. Pembangunannya dibantu Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DIY. Selain bangunan, bantuan juga meliputi motor pengangkut sampah dan mesin pengolah sampah yang rencananya dioperasikan tahun 2017. Urusan sampah wisata, jika tidak dikelola dengan baik berpotensi merusak lingkungan. Kerjasama berbagai pihak sangat penting dilakukan. Pengelola wisata dan pemerintah wajib mengelola sampahsampah wisata. Kesadaran wisatawan dan warga setempat untuk membuang sampah pada tempatnya pun harus lebih meningkat.

TPS mandiri di Desa Nglanggeran untuk mengelola sampah wisata dan sampah warga.

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 19


R

E S E N S I

B U K U

Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan Aris Setyawan

Judul buku : Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan Penulis : Nurdiyansah Dalidjo Penerbit : Metagraf (Tiga Serangkai) Tahun Terbit: 2015 Halaman : 274 Hal Indonesia gemah ripah loh jinawi, indah tanpa cela.

D

emikian kiranya gambaran yang selalu dimunculkan oleh berbagai buku panduan wisata atau program jalan-jalan di televisi. Buku panduan semacam Naked Traveller, atau program televisi bertajuk My Trip My Adventure begitu digandrungi masyarakat karena menggambarkan bahwa perjalanan (berwisata) adalah sebuah petualangan yang menyenangkan, elok, dan indah. Namun persis lukisan bergaya mooi indie, lukisan zaman Hindia Belanda yang sekadar menggambarkan keelokan nusantara tetapi menyembunyikan dan menutup rapat kepedihan dan kebobrokan akibat penjajahan kolonial, panduan wisata seperti di atas pun tentu menyembunyikan sesuatu. Selain yang elok dan indah, pariwisata tak pelak memiliki sisi lain berisi kepedihan dan kebobrokan. Melalui bukunya yang bertajuk Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan, Nurdiyansah Dalidjo menggambarkan bagaimana sisi lain dari perjalanan (wisata). Ternyata, di balik sukacita para wisatawan dan megahnya infrastruktur industri pariwisata nusantara, ada tumpukan masalah dan harus diselesaikan. Dalidjo membuka bukunya dengan menjabarkan kenapa ia memilih tajuk “Porno� untuk sebuah buku tentang pariwisata. Konotasi porno sering lekat

pada yang berbau “telanjang�, konotasi ini jelas sangat tabu. Padahal, ketelanjangan tersebut adalah kejujuran. Dalam pemahaman Dalidjo, berwisata di Indonesia ibarat menatap lekat-lekat porno, terlihat indah, namun di balik keindahan itu tersembunyi kejujuran bahwa ada kesalahan dalam mengelola pariwisata. Kesalahan inilah yang akhirnya memunculkan berbagai fenomena destinasi wisata yang mencakup kemiskinan, pelacuran, kriminalitas, perdagangan ilegal, dan kerusakan lingkungan (hal 3). Dalidjo menjabarkan kesalahan pengelolaan pariwisata ini dalam sebelas cerita. Ada cerita personal, yakni semacam catatan perjalanannya sebagai seorang petualang yang gemar berpetualang keliling Indonesia. Catatan ini juga agak serius menjurus ilmiah dengan adanya analisis kritis berbagai fenomena pariwisata. Hal ini mengingat latar belakang pendidikan penulis di bidang Manajemen Marketing Pariwisata. Berseberangan dengan panduan wisata yang sekadar mengajak wisatawan berkunjung ke destinasi wisata namun melupakan etika menjaga lingkungan dan manusia sekitar, Porn(o) Tour justru mengajak para wisatawan untuk mengedepankan etika dalam berwisata. Dengan tajam, Dalidjo menyoroti

20 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi


R

E S E N S I

B U K U

hilangnya etika dalam berwisata melalui kisah kunjungannya ke Gunung Bromo. Sejak diputarnya film 5 CM (film yang mengambil latar belakang gunung Bromo), pengunjung destinasi wisata alam ini membludak luar biasa. Alih-alih memberikan sumbangsih berupa peningkatan taraf ekonomi masyarakat sekitar, riuhnya wisatawan ini justru mempersulit kehidupan mereka. Masifnya jumlah kendaraan yang datang mempercepat kerusakan jalanan hingga taraf memprihatinkan. Debu dari jalanan yang rusak berterbangan, menutupi tanaman kol di ladang dan menjadikan tanaman komoditas para petani lokal itu membusuk (hal 16). Pertanian menjadi begitu sulit di Bromo, air adalah barang langka sekalipun ada sumber mata air besar melimpah di Ranu Pane. Apa daya, masyarakat lokal dilarang mengakses telaga itu dengan pertimbangan pelestarian ekosistem oleh pengelola, atau dalam pandangan Dalidjo, demi kesenangan turis (hal 17). Bagi warga lokal, kampung halaman ini tak menawarkan kesempatan nyaman untuk bermalas-malasan. Setiap hari

adalah perjuangan hidup. Riuhnya gempita pariwisata Bromo tak juga meningkatkan taraf hidup mereka. Wisatawan juga sering melupakan bahwa warga lokal Bromo (masyarakat Tengger) memiliki kepercayaan bahwa gunung tersebut sakral. Masyarakat kerap melakukan berbagai upacara. Sayangnya, kerapkali wisatawan seolah bebal dan tak mengerti adanya kesakralan ini. Seringkali, mereka semenamena merusak sesajen dan melanggar kesakralan ini demi memperoleh posisi paling nyaman untuk berfoto selfie (hal 27). Sama halnya saat tidak menghormati ritual masyarakat Tengger, kebanyakan pendaki (terutama pemula) pun tidak menghormati Gunung Bromo dengan membuang sampah sembarangan di atas gunung. Mereka pun tak segan mengambil bunga Edelweiss untuk dibawa pulang sebagai suvenir. Padahal, bunga langka ini dilindungi dan ada larangan untuk memetiknya. (hal 28). Permasalahan di balik pariwisata tak sekadar hilangnya etika wisatawan. Terkadang, ada sengketa rumit antara

Masifnya jumlah kendaraan di kawasan Bromo mempercepat kerusakan jalanan hingga taraf memprihatinkan.

FOTO-NURDIANSYAH DALIDJO Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 21


R

E S E N S I

B U K U

pengelola destinasi wisata, masyarakat lokal, dan pemerintah. Dalidjo mencatat adanya konflik panjang di destinasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Ada konflik perebutan tanah antara pengelola TNGGP, pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan masyarakat petani lokal. Ujungnya sudah bisa ditebak: masyarakat lokallah yang terpinggirkan. Petani yang sesungguhnya telah mengolah tanah adat harus mengalah pada kuasa destinasi wisata dan hutan produksi. Seperti sebagian besar cerita tentang hilangnya hutan di negeri kita, TNGGP memiliki persoalan yang sama: HPH melanggar hak masyarakat adat terhadap kedaulatan tanah ulayat (hal 71). Berbagai destinasi wisata di Indonesia seringkali FOTO-NURDIANSYAH DALIDJO juga salah urus. Dalidjo mencatat ramainya pengunjung di Candi Borobudur (Magelang) termudah, ternyaman, dan termurah menuju sebenarnya berbahaya untuk situs purbakala destinasi wisata, panduan ala Dalidjo justru yang mendapat status world heritage atau situs menyasar bagaimana cara paling beretika ketika warisan budaya dunia oleh UNESCO tersebut. Demi seorang wisatawan berwisata. Panduan ini berisi memperoleh pemasukan tiket sebanyak mungkin, berbagai anjuran apa yang boleh dan tak boleh pengelola memasukkan hingga puluhan ribu orang per hari. Pengelola candi abai pada carrying capacity dilakukan saat berwisata. Ditulis dengan gaya mengalir yang enak dibaca atau kemampuan destinasi wisata menampung namun penuh data dan referensi, Porn(o) Tour pengunjung. Padahal ini penting untuk melindungi adalah upaya Nurdiyansah Dalidjo mendidik situs purbakala (hal 139). para pembacanya, baik wisatawan, pengelola Kasus lain salah urus pengelolaan wisata juga destinasi wisata, atau masyarakat pada umumnya. Dalidjo temukan saat berkunjung ke Aceh. Banyak Hikayat perjalanan berwisata bukan sekadar jalanpeninggalan bersejarah kerajaan Samudera Pasai jalan demi kesenangan diri bagi wisatawan atau terbengkalai tak terurus. Nisan-nisan bangsawan gelimang rupiah demi pengelola atau mereka kerajaan teronggok bak batu biasa di pinggir jalan yang berkepentingan ekonomis di dalamnya, raya, berbagai suvenir peninggalan kerajaan dan termasuk negara. Hikayat perjalanan berwisata dirham (mata uang kuno) bebas diperjualbelikan, kolektor ilegal bebas membeli peninggalan kuno dari adalah untuk memahami bahwa di balik indahnya pesona nusantara, ada banyak masalah mengintai, masyarakat lokal yang terpaksa menjadi pemburu mengancam keindahan pesona alam tersebut, harta karun karena terdesak kondisi ekonomi. (Hal serta keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya: 155-169). hewan di alam, maupun peradaban manusia. Di balik riuhnya destinasi pariwisata, kemiskinan Masalah ini tidak akan terselesaikan oleh manusia tak pelak menghiasinya. Seperti kerumunan pengemis di sekitar Masjid Agung Banten Lama, atau wisatawan yang sekadar bersenang-senang mengagumi pesona alam sembari berteriak mereka yang meminta-minta di setiap area Wihara kencang “my trip my adventure�. Masalah tidak Avalokitesvara, Serang, Banten (hal 179). juga akan terselesaikan oleh pengelola wisata yang Demikianlah porno dalam pariwisata yang mementingkan kantong pribadi. Berbagai masalah dimaksud Nurdiyansah Dalidjo, memandang lekat ketelanjangan dalam perihal pariwisata di Indonesia, ini harus dipikirkan bersama. Pemahaman Dalidjo bisa dijadikan patokan awal memahami kejujuran di baliknya. Berbagai untuk mengurai masalah ini. Buka mata, pandang problematika tersebut hanya segelintir yang mampu lekat-lekat ketelanjangan industri pariwisata diamati dan diceritakan ulang oleh penulis. Tentu Indonesia. Pahami benar bahwa di balik lukisan masih banyak lagi problematika tersembunyi di balik mooi indie yang indah ini, ada sengkarut kemiskinan industri pariwisata di Indonesia. dan kerusakan lingkungan yang harus diselesaikan, Porn(o) Tour tak hanya menjabarkan diurai perlahan. Tujuannya, generasi penerus di permasalahan di balik pariwisata. Selayaknya buku masa depan tetap dapat menikmati keindahan panduan wisata, Dalidjo mengakhiri setiap catatan nusantara tersebut. perjalanannya dengan anjuran atau panduan untuk mereka yang ingin berkunjung ke destinasi wisata *Aris Setyawan tertentu. Tak seperti panduan wisata umum yang Etnomusikolog dan musikus. Pendiri dan pemimpin redaksi media seni dan budaya serunai.co hanya memaparkan bagaimana cara tercepat, 22 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi


M

S E D I A

K O M U N I T A S

Perlindungan Data Pribadi di Indonesia Maryani

I

lmu pengetahuan dan teknologi serta kekuatan media berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut membuat orang dapat mengakses informasi dengan mudah dan cepat. Namun, keleluasaan akses itu juga membuka peluang pelanggaran terhadap data pribadi seseorang. Penggunaan teknologi yang berpotensi melanggar privasi pengguna antara lain mendaftar untuk layanan internet, berselancar di internet, mesin pencari, cookies, pengguna perangkat bergerak, komputasi awan, media sosial, dan bahkan aplikasi transportasi online. Ironisnya, potensi pelanggaran atas data pribadi tersebut berbanding terbalik dengan pengaturan hukum privasi di Indonesia. Meskipun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang sebagian mencantumkan tentang privasi data, namun pengaturan khusus privasi data pribadi belum ada. Lebih jauh mengenai data pribadi dan perlindungan atas privasi data pribadi, Sinta Dewi Rosadi selaku pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran memaparkannya dalam diskusi bersama Combine Resource Institution, (5/10). Menurutnya, data pribadi adalah data yang berhubungan dengan seseorang dari identifikasinya. “Data tersebut merupakan gabungan data generik (data umum seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat, dan data personal lainnyared) dan data yang ada di media sosial. Data apa yang harus dilindungi dan siapa subyeknya. Sementara privasi adalah suatu hak yang harus dijaga dengan baik. Salah satu bentuk privasi misalnya privasi informasi terhadap data pribadi kita,� papar Sinta yang telah mengkhususkan penelitiannya dalam bidang privasi, khususnya privasi atas perlindungan data pribadi sejak 2005. Dalam bukunya yang berjudul Cyber Law : Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional (2015), Sinta menjelaskan bahwa privasi memiliki pengertian dan konteks yang

lebih abstrak dan luas. Privasi adalah hak untuk tidak diganggu, akses terbatas, atau kendali atas informasi pribadi. Sedangkan perlindungan data pribadi adalah perlindungan secara khusus tentang bagaimana undang-undang melindungi, bagaimana data pribadi dikumpulkan, didaftarkan, disimpan, dieksploitasi, dan disebarluaskan. Sinta menegaskan bahwa kita memiliki kontrol atas privasi data pribadi kita. Hal itu sudah dijamin dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia 1948 pasal 12 dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) 1966 pasal 17. Indonesia sudah meratifikasi keduanya. Meskipun belum dituangkan dalam peraturan khusus mengenai perlindungan data pribadi, ada 30 peraturan perundang-undangan yang bersinggungan dengan aspek data pribadi. Hal itu dipaparkan Edmon Makarim seperti dikutip dalam buku Perlindungan Data Pribadi: Usulan Pelembagaan Kebijakan dari Perspektif Hak Asasi Manusia (2016).

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 23


M

S E D I A

K O M U N I T A S

Peraturan perundang-undangan yang bersinggungan dengan aspek data pribadi antara lain: No.

Undang‐Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana (KUHP) Jenis Peraturan

1

Undang‐Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang‐Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2

Undang‐Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UU Dokumen Perusahaan)

3

Undang‐Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan)

4

Undang‐Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

5

Undang‐Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI)

6

Undang‐Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)

7

Undang‐Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi)

8

Undang‐Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

9

Undang‐Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)

10

Undang‐Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Anti‐Terorisme)

Privasi data pribadi di Indonesia memang dilindungi, namun tidak diatur dalam undangundang yang spesifik. Itu sebabnya terjadi masih banyak kasus pelanggaran hak privasi terkait data pribadi. Sementara saat ini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) tengah disusun oleh akademisi bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika. Rencana pengaturan privasi data pribadi dalam RUU PDP ini meliputi prinsip-prinsip perlindungan, mekanisme perlindungan, serta hak dan kewajiban. Sinta menekankan, data khusus yang seharusnya dilindungi antara lain agama/ keyakinan, kesehatan baik kondisi fisik dan mental, dan kehidupan seksual. Selain itu, data-data seperti data keuangan pribadi, dan data pribadi lainnya yang mungkin dapat membahayakan dan merugikan privasi subjek data juga perlu mendapat perlindungan. Kasus-kasus pelanggaran privasi data

Pemahaman masyarakat dan aparatur di Indonesia akan privasi data masih kurang. Hal itu membuat data-data bisa diakses secara masif oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. “Kasus yang sering terjadi, ketika seseorang meminta nomor temannya, langsung dikasih, padahal semestinya izin dulu ke pemilik nomor,” terang Sinta. Sinta menambahkan, menurut hasil survei tim perumus RUU PDP yang dilakukan di Bandung, spaming (pesan elektronik atau telepon yang tidak dikehendaki-red) adalah kasus yang sering muncul dan mengganggu para responden. Sebanyak 83 persen responden menyatakan pernah dihubungi oleh hotel, asuransi, dan iklan-iklan produk baik 24 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi

“Pemahaman masyarakat dan aparatur di Indonesia akan privasi data masih kurang. Hal itu membuat data-data bisa diakses secara masif oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. “ melalui SMS maupun telepon. Pernah juga ada kasus tertukarnya data geometrik (data rekam sidik jari dan mata-red) antara seorang majikan dan sopirnya dalam KTP elektronik atau e-KTP. Kasus yang tak kalah mengganggu juga dialami seorang mahasiswi di Bandung yang pernah dihubungi oleh orang dari luar negeri untuk menanyakan tarif “pelayanannya”. Usut punya usut, ternyata fotonya yang diunggah di media sosial, oleh orang lain dimasukkan ke dalam website pornografi. Potensi pelanggaran privasi data pribadi di Indonesia juga terjadi melalui praktik pemasaran langsung. Praktik ini banyak terjadi dalam industri keuangan khususnya pengelolaan kartu kredit. Hal itu dijelaskan Sinta dalam bukunya Cyber Law: Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional (2015). Dalam praktik pemasaran langsung tersebut, data pribadi nasabah diperjualbelikan melalui agen-agen tanpa meminta izin terlebih dahulu dari pemilik data. Potensi pelanggaran privasi data pribadi juga ternyata juga terjadi dalam penggunaan media sosial. Data-data pribadi seseorang dalam media sosial seperti Facebook dan Twitter dapat dengan mudah diakses dan disebarluaskan tanpa


M

S E D I A

K O M U N I T A S

sepengetahuan pemilik data. Dalam buku Cyber Law: Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional (2015), Sinta menjelaskan bahwa program pemerintah pun tak luput dari potensi pelanggaran data pribadi. Program e-KTP dan e-health (rekaman kesehatan elektronik) adalah contohnya. Perangkat e-KTP membuat keberadaan dan aktivitas warga negara dapat dilacak kapan saja dan dimana saja. Ini artinya, kebebasan sipil dilanggar dengan semena-mena. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan, saat ini terdapat beberapa permasalahan yang cukup serius dalam penyelenggaraan e-KTP. Permasalahan itu antara lain server yang digunakan untuk e-KTP di Indonesia milik negara lain sehingga database di dalamnya sangat rentan diakses oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Ke depannya, e-KTP ini juga akan dapat merekam daftar dan sejarah kesehatan masyarakat. Hal itu selain untuk memudahkan dokter yang memeriksa, juga menguntungkan masyarakat. Meski demikian, program ini juga rentan terhadap pelanggaran privasi data pribadi. Kekhawatiran muncul karena

Data-data pribadi seseorang di media sosial dapat dengan mudah diakses dan disebarluaskan tanpa sepengetahuan pemilik data.

“Meskipun terdapat pengakuan atas perlindungan privasi data pribadi dalam beberapa undang-undang, belum ada mekanisme pelaporan dan penuntutan oleh warga yang privasi atas data pribadinya dilanggar.” data pribadi pasien yang tidak terlindungi itu dapat dikompilasi, diakses, dan disebarluaskan kepada pihak lain untuk dapat dimanfaatkan secara ekonomi oleh industri penyedia jasa lainnya seperti obat-obatan, industri asuransi atau industri terkait lainnya. Berkaca dari beberapa kasus yang terjadi, meskipun terdapat pengakuan atas perlindungan privasi data pribadi dalam beberapa undangundang, belum ada mekanisme pelaporan dan penuntutan oleh warga yang privasi atas data pribadinya dilanggar. “Itulah kenapa kita harus melindungi privasi data pribadi kita semaksimal mungkin agar tidak dilanggar,” tegas Sinta. Sinta menambahkan, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk melindungi privasi data pribadi kita. Diawali dari individu masing-masing dengan melakukan pengamanan terhadap data pribadi. Misalnya, tidak mencantumkan alamat kita secara detail, pendidikan dan pekerjaan di media sosial. Kita juga bisa lebih bijak saat menggunggah foto anak. Selain itu, regulasi yang menjamin privasi data pribadi juga sedang digarap (RUU PDP). “Selain itu, organisasi atau komunitas dapat mengampanyekan literasi digital melalui beberapa cara. Seperti yang kami lakukan di Bandung dengan mengadakan sosialisasi tentang literasi digital di tiga SMA di Bandung. Usia SMA merupakan pengguna media sosial dan internet yang paling banyak, sehingga perlu untuk mengetahui bagaimana memanfaatkan internet secara sehat,” urai Sinta Privasi data pribadi juga sering dikaitkan dengan pencemaran nama baik. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Seseorang bisa dituduh melakukan pencemaran nama baik jika ia membagikan informasi yang tidak benar atau fitnah. Sementara pelanggaran data pribadi/ privasi data terjadi jika informasi yang dibagikan oleh seseorang mengganggu hak privasi orang lain, meski informasi itu benar. *Maryani Staf Knowledge Management CRI Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 25


M

S E D I A

K O M U N I T A S

Mendorong Keragaman dan Kerukunan melalui Media Komunitas di Australia D. Kristina Bastaja Semangat media komunitas adalah media untuk dan oleh warga. Media komunitas di Australia dianggap sebagai salah satu contoh paling sukses media akar rumput di dunia. Ada lebih dari 500 layanan yang dimiliki media-media komunitas di Australia. Layanan-layanan itu disediakan oleh 444 organisasi independen milik masyarakat. Pengoperasiannya dilakukan oleh lebih dari 25.000 relawan penyiar dan staf pendukung. Lebih dari lima juta warga Australia mendengarkan radio komunitas tersebut. Sementara penonton saluran televisi komunitas di negeri kangguru ini mencapai satu juta warga. Meski memiliki basis media akar rumput yang kuat, Australia juga dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah media komersial (mainstream) tertinggi di dunia. Bila dibandingkan dengan media komunitasnya, mediamainstream ini lebih mendominasi. Dominasi tersebut menenggelamkan berbagai suara akar rumput, utamanya suara kaum marjinal. Dalam dunia yang semakin mengglobal, media mainstream tampaknya mematuhi atau justru dibatasi oleh aturan-aturan dan isu-isu ‘tertentu’. Hal tersebut akan menjadi sangat penting bagi kami sebagai warga negara untuk menyadari pentingnya media komunitas dalam membantu mempertahankan pengetahuan dan identitas lokal. Kami mungkin melihat media mainstream untuk mendapatkan informasi tentang politik dan ekonomi di tingkat nasional. Sementara di media komunitas, kami bisa mendapatkan informasi

penting yang lebih spesifik terjadi di suatu daerah. Media komunitas relevan dengan kami, untuk kepentingan kami, dan masyarakat kami dengan segala keunikannya. Hilangnya media komunitas akan berdampak pada hilangnya identitas masyarakat. Oleh karenanya, kami harus menjaganya. Kami tidak ingin globalisasi berdampak pada penyeragaman budaya, melainkan melihatnya sebagai kesempatan untuk mempromosikan ekspresi keragaman melalui pemeliharaan, dan penguatan ruang seperti dalam media komunitas. Media komunitas menjadi platform untuk mempromosikan demokrasi, berbagi pendapat dan partisipasi dari seluruh masyarakat. Media komunitas adalah tempat bagi orang-orang untuk didengar, untuk mendengarkan, untuk berbagi masalah dan kemenangan, terutama mereka yang merasa suaranya dibungkam. Dengan berbagi cerita, mereka dapat terhubung dan belajar dari satu sama lain dan akhirnya, menjaga rasa memiliki dalam komunitas. Dengan merayakan kesamaan dan perbedaan-perbedaan, media komunitas membantu menciptakan kesatuan melalui keragaman dalam masyarakat multikultural di Australia. *D. Kristina Bastaja Volunteer Scoope Global Australia di CRI **Tulisan ini diterjemahkan oleh Apriliana Susanti.

FOTO BING IMAGES

26 radio | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Stasiun komunitas di Melbourne Australia. Jaringan Informasi


Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarluaskan gagasan, insipirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya CRI untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Tertarik menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan Tulisan

• Tulisan adalah karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media lain. • Ditulis menggunakan Bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar. • Ditulis dengan font Times New Roman, ukuran 12, panjang karakter sekitar 6000 karakter (with spaces). • Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standar (minimal 1000 x 800 pixel). • Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis. • Mencantumkan nomor rekening penulis. • Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi. • Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan. • Penulis yang tulisannya diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim melalui surat elektronik ke redaksikombinasi@combine.or.id atau bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungi kami di: Website : http://kombinasi.net Follow kami di: Twitter : @CombineRI Facebook : Combine RI

Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi | 27


28 | Kombinasi Edisi ke-66 | Komunitas Membangun Jaringan Informasi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.