Edisi 67 : Media Komunitas Lawan Hoaks

Page 1


DARI

REDAKSI

B

aru-baru ini, seorang jurnalis asal Amerika Serikat yang bertugas di China menuliskan refleksinya tentang dampak berita di laman www.theguardian.com. Sebagai jurnalis dengan wilayah liputan internasional, ia merasa tidak lagi merasakan dampak langsung dari hasil liputannya. Dampak liputan itu justru ia temukan dulu, saat ia yang masih berstatus mahasiswa magang di sebuah koran lokal berskala kecil di negaranya. Liputan mengenai tingkah sejumlah anggota Dewan Kota yang kerap mangkir saat rapat, misalnya, membikin mereka malu sehingga kembali aktif menghadiri rapat untuk membahas berbagai peraturan. Berangkat dari refleksi itu, ia lalu melihat perkembangan teknologi informasi saat ini yang telah menghantam media lokal. Kini berita yang lebih banyak beredar adalah berita nasional maupun internasional. Di media sosial seperti facebook, orang semakin jarang berbagi berita mengenai hal-hal di sekitar tempat tinggalnya. Itulah mengapa semakin sedikit berita yang menghasilkan dampak langsung bagi warga. Di Indonesia hari-hari ini, apa yang direfleksikan jurnalis tersebut juga sedang terjadi. Orang kini lebih sering membagikan berita tentang pemilihan kepala daerah di Jakarta ketimbang informasi lokal yang penting bagi warga di daerahnya. Tak peduli sumber informasinya dari mana, orang terbawa arus untuk membagikan informasi yang ia sukai tanpa merasa perlu mengecek kebenarannya. Di situlah hoaks menemukan salurannya. Sahabat, kolega, anggota keluarga, bahkan diri kita sendiri mungkin telah tanpa sadar menyebarkan informasi yang sumbernya tidak jelas itu. Kita semua berpotensi menjadi penyebar hoaks. Melihat hal itu, kita semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghentikannya. Melaporkan dan membagikan sebanyak mungkin berita lokal menjadi penting supaya kita kembali fokus pada berbagai hal yang terjadi di lingkungan sekitar kita dan memengaruhi hidup kita secara langsung. Tetapi, bagaimana caranya? Pada konteks inilah, media komunitas bisa menjadi salah satu jawabannya. Media komunitas bisa menjadi sarana untuk berbagi berita lokal bahkan hiperlokal berdasarkan peristiwa maupun fenomena di lingkungan kecamatan, desa, hingga rukun tetangga. Dengan membagikan informasi lokal itu, warga bisa diajak untuk kembali fokus pada persoalan lokal sehingga bisa bersama-sama mencari solusinya. Tak hanya melaporkan berita lokal sesuai prinsip jurnalistik, dalam menghadapi hoaks yang menyebar kian massif, para penggiat media komunitas juga bisa berperan sebagai agen literasi yang aktif mengajak warga untuk mengenali kemudian menghentikan penyebaran hoaks. Peran semacam ini muncul secara alami karena media komunitas melekat pada komunitasnya. Peran ganda inilah yang membuat media komunitas menjadi khas. Sejumlah tulisan dalam edisi ini membagikan cerita tentang upaya sejumlah penggiat media komunitas dalam menjalankan peran ganda itu di komunitas masing-masing. Semua itu menunjukkan bahwa jika dikelola dengan baik dan diberi dukungan oleh banyak pihak, media komunitas bisa menjadi garda terdepan dalam upaya nyata melawan hoaks.

2 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

Pemimpin Redaksi: Idha Saraswati

Redaktur Pelaksana: Apriliana Susanti Tim Redaksi: Ibnu Hajjar Al-Asqolani, Aris Harianto, Maryani, M. Amrun Foto: Dokumentasi CRI, suarakomunitas.net, Jingga Media, Speaker Kampung, Warta Desa. Kontributor: Ferdhi F. Putra, Mario Antonius Birowo, Ahmad Rofahan, Buono. Desain grafis: Aris Harianto Sampul Depan: Aris Harianto Ilustrasi komik: Alim Bahktiar Tata Letak: Randy Fachri Prabowo Sekretariat: Ulfa Hanani Distribusi: Rani Soraya Siregar, Sarjiman Pernyataan •Semua isi tulisan dari para kontributor yang diterbitkan dalam majalah ini menjadi tanggung jawab masing-masing kontributor. CRI tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan tersebut. •Isi majalah ini boleh dipublikasikan ulang, diperbanyak, maupun diedarkan sepanjang mencantumkan sumber dan nama penulis serta tidak digunakan untuk kepentingan komersial.

DAFTAR ISI 3

INFO SEKILAS

UTAMA | Mendudukkan Media Komunitas dalam Perang Melawan Hoaks 9 | Tugas Ganda Penggiat Media Komunitas 11 | “Percayalah.. Media Komunitas adalah Media Kita” Media komunitas bergerak Melawan Hoaks 16 | Menanti Komitmen Dewan Pers Terhadap Media Komunitas 6

MEDIA 20 | Merintis Kajian Media Komunitas di Indonesia PORTAL 23 | Warta Desa, “Rumah Baru” Penggiat Media Komunitas di Pekalongan 26 WARTA CRI

Combine Resource Institution adalah institusi sumber daya untuk penguatan komunitas marjinal melalui jejaring informasi. Sejak berdiri pada 2001, CRI telah mendorong pemanfaatan beragam metode serta instrumen pengelolaan informasi dan data oleh komunitas marjinal agar menjadi mandiri dan berdaya.


I

NFO SEKILAS

LOMBOK TIMUR

Speaker Kampung Gelar Pelatihan Jurnalisme Warga

M

edia Komunitas Speaker Kampung gelar pelatihan jurnalistik di SMP Islam Bile Kembar, Desa Suela, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, NTB, (18/12). Pelatihan yang didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram ini turut mengundang sejumlah penggiat media komunitas di Lombok Timur. Aktivis AJI Mataram, Abdul Latif Apriaman mengatakan, selama ini media arus utama lebih banyak menyuguhkan berita tentang kota saja. Media arus utama ini notabene dikuasai oleh kelompok pemilik modal dengan orientasi untuk mencari keuntungan. Sementara berita tentang pedesaan yang merupakan suara rakyat akar rumput, jarang diangkat. Padahal, suara akar rumput ini juga berharap suara mereka bisa didengar oleh pemerintah. Dalam tema “Saatnya Akar Rumput Bersuara� yang dipresentasikannya, Abdul Latif mengajak para penggiat media komunitas untuk tetap menjadi independen. Selain itu, ia juga mengajak para penggiat media komunitas untuk tetap menjadi yang terdepan dalam mengangkat segala isu yang berkembang di desan mereka. Sependapat dengan Abdul Latif, Hajad Guna Roasmadi selaku pimpinan redaksi media komunitas Speaker Kampung mengamini minimnya independensi pada media arus utama. Mayoritas media arus utama lebih mengejar rating dan keberpihakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Independensi media arus utama semakin diragukan ketika media tersebut dikuasi oleh birokrat. "Media, baik cetak maupun elektronik kurang independen dalam menyajikan berita, sehingga itu menjadi motivasi kami untuk mendirikan media Speaker Kampung. agar hak-hak setiap warga itu bisa disuarakan," ungkap penggiat media komunitas yang akrab disapa Eros tersebut, (18/12).

Media Komunitas Akar Rumput

Speaker Kampung dirintis sejak 2012 oleh Eros dan sejumlah penggiat media komunitas di Lombok Timur. Media komunitas ini lahir untuk menyuarakan hak-hak rakyat yang tinggal di pedesaan. Speaker Kampung menjadi sebagai media untuk menyampaikan

Portal Speaker Kampung.

ide, gagasan dan juga tulisan lewat berita tentang desa mereka. Sebelum Speaker Kampung lahir, telah ada bibit-bibit media komunitas suara akar rumput. Saat itu, pada 2008 telah berdiri radio komunitas (rakom) Ninanta FM dan sejumlah media komunitas lainnya. Namun, lantaran sulitnya mendapatkan Izin Prinsip Penyiaran (IPP) dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), rakom tersebut dan juga rakom-rakom lain di Lombok Timur banyak yang gulung tikar. Sebagai upaya untuk terus berbenah diri, Speaker Kampung pun rutin mengadakan pelatihan jurnalistik. Pelatihan tersebut terbuka untuk siapa saja yang memiliki kemauan belajar agar menjadi jurnalis yang handal dan profesional. Dengan rutin mengikuti pelatihan jurnalistik, harapannya penggiat media komunitas mampu mencari dan menulis berita. Mereka juga diharapkan dapat mempublikasikan tulisan mereka secara proporsional, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan dengan mengedepankan independensi dalam pemberitaan.

Kunjungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Merebaknya berita bohong alias hoaks mendorong Mario Antonius Birowo, aktivias komunikasi dan juga dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengunjungi media komunitas Speaker Kampung. Kunjungan yang dilakukan di Desa Ketangga, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, NTB, (17/1) tersebut untuk mengetahui bagaimana Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 3


I

NFO SEKILAS

pergulatan media komunitas di tengah merebaknya media baru penyebar hoaks. Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti sejumlah jurnalis warga Speaker Kampung itu, Anton banyak berdiskusi mengenai aktivitas media komunitas Speaker Kampung. Terlebih, belakangan ini banyak media yang menyebarkan hoaks untuk menggiring opini masyarakat akibat rendahnya literasi media masyarakat. Pada FGD tersebut, Anton meminta kepada jurnalis warga untuk menceritakan pengalamannya meliput berita. “Ternyata Speaker Kampung sebuah media yang unik, jarang ditemukan di tempat lain,” ujar Anton. Anton menganggap perlu adanya gerakan dan upaya literasi di tingkat akar rumput agar berdampak langsung ke masyarakat. Salah satunya dengan cara mengajar anak menjadi penonton TV yang cerdas dan kritis supaya tidak terpengaruh oleh konten media yang buruk. Jurnalis warga diharapkan konsisten menyampaikan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi banyak orang. “Media komunitas menolak bohong, suara kebenaran adalah suara rakyat,” tegas Anton.

TV Kabel Konten Lokal

Selain Speaker Kampung, Eros dan rekanrekannya juga mendirikan media komunitas jaringan TV kabel, yakni Speaker TV. Tujuannya, agar masyarakat bisa melihat dan mengedukasi dirinya sendiri. Muatan dalam Speaker TV ini banyak menyoroti aktivitas keseharian masyarakat dalam bertani, berkebun, berladang, dan berternak. Beragam kreativitas masyarakat yang selama ini tidak pernah diekspos ke luar juga diangkat dalam TV kabel ini. Bahkan, Speaker TV juga menayangkan siaran langsung pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak pada 2016 lalu.

Speaker TV menayangkan siaran langsung pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak

Eros menjelaskan, pihaknya juga membuat aplikasi untuk program Speaker TV lewat saluran TV kabel yang ada di desanya. “Model kerjasama yang kami lakukan adalah simbiosis mutualisme atau kedua belah pihak samasama saling menguntungkan,” terang Eros, (17/1). Sambutan masyarakat terhadap Speaker TV cukup baik. Kreativitas anak muda Seni Sanggar Lempot misalnya, bahkan mampu memproduksi video dan ditayangkan setiap hari di saluran tersebut. Speaker TV juga menyajikan program unggulan mereka seperti cerita pendek berbahasa Sasak berbentuk komedi yang disebut dengan Sketsasak. Program tersebut sangat viral di kalangan pelanggan TV kabel setempat. Sketsasak juga bisa juga disaksikan melalui jejaring Youtube Speaker Kampung. Selain acara tersebut, Speaker TV juga menayangkan program talkshow yang berorientasi untuk mengedukasi masyarakat dengan materi program seperti ekowisata, kebudayaan, kerajinan, pertanian, pendidikan, dimana semuanya berbasis komunitas. www.suarakomunitas.net

YOGYAKARTA

Diskusi tentang Kearifan Lokal dalam Karya Tulis

F

orum Penulis Negeri Batu (FPNB) menggelar diskusi di Aula Rumah Dinas Wakil Bupati Gunungkidul, (12/3). Mengangkat tema “Penerapan Kearifan Lokal dalam Karya Tulis,” diskusi bulanan ini terbuka untuk masyarakat umum. Hadir dalam diskusi kali ini, penulis, penerbit,

4 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

guru, siswa, dan mahasiswa dari wilayah Gunungkidul dan sekitarnya serta para perupa yang tergabung dalam Ikatan Perupa Gunungkidul. Antusiasme peserta sangat tinggi. Hal itu terlihat dari cepatnya tanggapan masyarakat untuk ikut mendaftar menjadi peserta. Hanya


I dalam waktu hanya dua hari, kuota peserta sudah terpenuhi. Kegiatan ini digelar untuk membangkitkan semangat masyarakat, terutama kaum muda, untuk bisa menyalurkan pendapat, ide, dan gagasan melalui tulisan. Hal tersebut diungkapkan oleh Umi Azzurasantika selaku sekretaris FNPB. Kegiatan tersebut diharapkan dapat mendorong dan memotivasi masyarakat untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa melalui bidang yang mereka geluti. Beragam pertanyaan yang mengalir dari para peserta membuat diskusi semakin hidup, hangat, dan akrab. Isu kearifan lokal diangkat sebagai upaya mengolah sumber daya spiritual lokal untuk menguatkan jati diri bangsa. Tujuan lain adalah untuk lebih menguatkan nasionalisme dan rasa handarbeni

N F O SEEKKIILLAASS

(rasa ikut memiliki-red) masyarakat terhadap Gunungkidul sebagai tanah tumpah darahnya. “Kaitannya dengan karya tulis, guna mengangkat kearifan lokal, perlu adanya sensitivitas dalam melihat lingkungan,” ungkap Amirrudin Zuhri, jurnalis sekaligus penulis yang menjadi pemateri diskusi. Ia melanjutkan, ”Dengan tulisan, kita dapat mendorong ide pengolahan spirit lokalitas menjadi isu yang meninggalkan jejak tak terbatas waktu dan tak lekang oleh jaman, karena tulisan akan abadi. Di sisi lain, penulis yang tergerak untuk menuliskan apa yang menjadi kegelisahannya terkait Gunungkidul saat ini, mendorong ide lokalitas sebagai inspirasi etos kerja untuk membumikan Gunungkidul.” www.suarakomunitas.net

SULAWESI SELATAN

Pertama kali, Malangke Barat Gelar Musrenbang di Luar Ruangan

P

ertama kalinya, Kecamatan Malangke Barat di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan menggelar Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) 2017 di luar ruangan (outdoor). Tujuannya, selain untuk memberi suasana yang lebih nyaman juga untuk meningkatkan keterlibatan warga. Pada tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan musrenbang di kecamatan Malangke Barat selalu dilakukan di dalam ruangan. Sulpiadi selaku camat Malangke Barat mengatakan, pertemuan di ruang yang terbuka dilakukan untuk menghilangkan stigma elitis pejabat. Melalui musrenbang di luar ruangan tersebut diharapkan dapat menghilangkan jarak antara pejabat dan masyarakat. “Saya selalu melaksanakan kegiatan di tempat terbuka jika itu melibatkan masyarakat banyak biar suasananya lebih nyaman dan rileks. Dan itu bisa kita lihat dari musrenbang kali ini. Ini saya lakukan agar tidak ada kesan bahwa antara pejabat dan masyarakat itu ada jarak. Stigma elitis ini yang ingin saya hilangkan,” terang Sulpiadi, (13/2). Dalam musrenbang tersebut, salah satu kegiatan yang menjadi prioritas untuk dibahas di musrenbang tingkat kabupaten adalah pengaspalan jalan beton.

Musrenbang kecamatan di Malbar dilakukan di luar ruangan.

Pengaspalan jalan tersebut rencananya akan menghubungkan Desa Cenning dan Desa Kalitata sepanjang 5 kilometer. Sementara itu, Kepala BAPPEDA Luwu Utara, Rusydi Rasyid, menegaskan pentingnya perencanaan dalam pembangunan. Seperti halnya dalam musrenbang, perencanaan adalah sebuah proses yang harus dilalui untuk mengukur kemampuan dan sumber daya yang dimiliki suatu wilayah. “Begitu pentingnya proses bernama perencanaan, maka dalam tahapan pembangunan, perencanaan menjadi urgen dan mutlak harus dilakukan dalam rangka mengukur sejauh mana kemampuan dan sumber daya yang kita miliki,” katanya saat membuka musrenbang tingkat kecamatan itu, (13/2). www.suarakomunitas.net

Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 5


U TA M A

Mendudukkan Media Komunitas dalam Perang Melawan Hoaks Oleh: Ferdhi F. Putra Staf Suara Warga CRI

H

oaks tetiba menjadi kosakata yang begitu populer belakangan. Ia menjadi perhatian banyak pihak, dari masyarakat kalangan bawah, hingga para pemangku kebijakan. Hoaks alias kabar bohong memang bukan fenomena baru. Namun, perkembangan teknologi dan media sosial membuat peredaran hoaks kian liar. Bagi banyak orang, hoaks jelas mengganggu. Tapi bagi segelintir pihak, hoaks justru dimanfaatkan untuk menggiring opini maupun menangguk untung finansial. Dampaknya tidak lagi mainmain: hoaks berpotensi menciptakan konflik horisontal. Situasi ini memaksa banyak pihak merasa perlu untuk mengambil sikap. Dalam banyak kesempatan, Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan kegelisahannya soal ini. Sebagai pimpinan tertinggi di

6 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

negara ini, Jokowi menyatakan pemerintah siap memerangi hoaks. Selain pemerintah, masyarakat sipil pun ambil bagian dalam ‘gerakan’ ini. Belum lama ini, warga sipil menggelar deklarasi anti-hoaks serentak1 di beberapa kota seperti, Jakarta, Solo, Bandung, Wonosobo dan Surabaya. Situasi ini menyiratkan kepada khalayak bahwa hoaks tidak bisa lagi dianggap remeh. Hoaks beredar melalui berbagai medium, dari media massa hingga aplikasi pesan instan yang bekerja di level yang sangat personal. Berbagai pihak mengambil sikap sesuai dengan kapasitasnya. Kementerian Komunikasi dan Informasi mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan instruksi presiden untuk mengevaluasi media-media yang menyebarkan hoaks2. Walhasil, beberapa


U TA M A

Padahal, di era keterbukaan seperti saat ini, ketika siapapun bisa menjadi produsen berita, media komunitas menjadi pilar yang perlu diperhitungkan di tengah konglomerasi media.

media yang diidentifikasi sebagai abal-abal diblokir. Sejumlah pihak mengkritisi cara yang ditempuh dan menganggap pemerintah telah mengekang kebebasan berekspresi. Dewan Pers punya cara berbeda. Sebagai institusi yang berfungsi mengawasi media massa, Dewan Pers mencoba beberapa langkah yang dianggap paling memungkinkan untuk meredam persebaran hoaks. Beberapa upaya yang akan dilakukan Dewan Pers diantaranya, pertama, mengembalikan otoritas kebenaran faktual kepada media arus utama; kedua, memberikan logo/QR code (tanda media terverifikasi) kepada mediamedia yang terverifikasi di Dewan Pers; dan memberlakukan standar kompetensi wartawan/jurnalis. Berbeda langkah dengan Kemenkominfo, upaya menangani hoaks Dewan Pers cenderung tidak instan. Namun rencana tersebut bukan tanpa kritik. Akademisi Rocky Gerung3, misalnya, menulis, “Demarkasi yang diajukan cuma satu: sumber informasi yang “bukan mainstream” harus dicurigai sebagai hoaks. Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publik diarahkan untuk hanya percaya kepada “media mainstream”. Meskipun kritik tersebut tidak ditujukan langsung kepada Dewan Pers, poin kritik Gerung jelas menyasar solusi yang ditawarkan Dewan Pers. Saya pun berpikir demikian. Memang, secara kapabilitas dan kredibilitas, media arus utama sudah cukup terjamin. Namun, kita juga cukup paham bagaimana media arus utama “menyelewengkan” posisinya dengan tidak malu-malu memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan segelintir orang. Tidak sulit mencari rujukan untuk tahu kekurangan media arus utama. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut ada empat persoalan media di Indonesia4, yakni dominasi kepemilikan, media partisan, media yang tak mendidik dengan menyajikan materi berbau pornografi, dan menjamurnya media abalabal. Tiga di antaranya mengarah pada media arus utama. Kita juga bisa membaca penelitian Center for Innovative Policy and Governance (CIPG)5 yang memetakan persoalan media di Indonesia dengan cukup komprehensif. Maka ada banyak pekerjaan rumah yang harus diatasi sebelum memutuskan menunjuk media arus utama sebagai “pemegang otoritas

kebenaran faktual” tunggal. Adakah pihak lain yang bisa diandalkan dalam situasi ini? Saya melihat media komunitas punya potensi itu. Media komunitas adalah entitas yang hampir dilupakan sama sekali dalam perdebatan soal perang melawan hoaks ini. Padahal, di era keterbukaan seperti saat ini, ketika siapapun bisa menjadi produsen berita, media komunitas menjadi pilar yang perlu diperhitungkan di tengah konglomerasi media. Terabaikannya media komunitas, baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri, membuat berbagai pihak mengambil solusi yang juga abai terhadap esensi media komunitas. Bertahun saya berinteraksi dengan rekan-rekan media komunitas, saya memiliki optimisme bahwa mereka sepatutnya dirangkul dan diposisikan di barisan depan perang melawan hoaks bersama kelompok masyarakat sipil lainnya. Dalam tulisan ini saya hendak mendudukkan media komunitas atau media warga, yang dalam “perang” ini menjadi sangat rentan, alih-alih memberdayakannya.

Memosisikan media komunitas

Sejak kebebasan pers bersemi, yang ditandai dengan disahkannya UU Pers pada 1999, hingga hari ini media komunitas masih menjadi entitas media yang terasing. Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 7


U TA M A

8 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

Media komunitas tidak bekerja dengan logika industri, melainkan dengan caranya sendiri: swadaya, sukarela, dan partisipatif.

Bahkan di tengah hiruk pikuk perkembangan teknologi digital6, media komunitas belum juga mendapatkan ruang yang layak, terlebih menjadi entitas yang dipertimbangkan. Ia selalu berada di tepian arus. Kebanyakan media komunitas tumbuh di daerah pinggiran kota (suburban) atau pedesaaan (rural), memang—setidaknya sejauh saya berinteraksi dengan entitas ini. Suara mereka jarang terdengar di perkotaan yang dihuni kelas menengah, apalagi menjangkau pusat dinamika media-media Indonesia seperti Jakarta. Mereka seperti ada di dunia lain, meski berada pada jagat yang sama. Sesekali keberadaan mereka disinggung, namun apresiasinya tidak lebih dari sekadar ekspresi, “Wah, hari gini masih ada ya media yang mandiri? Hebat betul!” Setelah itu, niscaya, media komunitas akan tenggelam lagi dalam impitan ragam isu yang kita temui saban hari. Dari segi regulasi, media komunitas tak kalah ironisnya. Dalam UU Pers maupun UU Penyiaran, media komunitas hampir tak mendapatkan ruang7 alias sempit sekali. Dewan Pers—dari dokumen presentasi yang saya dapat—menempatkan media komunitas dalam Kuadran II dalam ragam media online/ cetak. Kuadran tersebut didefinisikan, “Status kurang jelas (belum memenuhi syarat badan hukum, sebagian terdaftar di DP), tapi isinya menaati KEJ (Kode Etik Jurnalistik-red), dan menjalankan fungsi pers secara benar, menjalankan fungsi jurnalistik dengan benar, sebagian memiliki penanggungjawab dan mencantumkan alamat redaksi.” Mari kita berangkat dari asumsi tersebut. Pertama, soal badan hukum. Media komunitas sebagian besar dibangun dengan dana swadaya, mulai dari pendirian hingga pengoperasiannya. Dengan asumsi bahwa untuk mendapat label sebagai “media berstatus jelas” harus berbadan hukum pers, saya khawatir banyak media komunitas akan kesulitan. Badan hukum pers8 yang diakui hanya tiga yakni, perseroan terbatas (PT), yayasan, atau koperasi. Media komunitas tidak bekerja dengan logika industri, melainkan dengan caranya sendiri: swadaya, sukarela, dan partisipatif. Jangan dulu bicara gaji di sini. Untuk tagihan listrik dan pulsa pun, kadang mereka masih pontang-panting. Koperasi mungkin menjadi bentuk yang mendekati

cocok dengan prinsip-prinsip tersebut, tapi dalam praktiknya, tidak mudah mendirikan media berbasis koperasi. Tumpang tindih regulasi terkait media, yayasan dan koperasi membuat proses menuju badan hukum tak semudah membalik telapak tangan. Jika tetap memaksakan media komunitas bekerja dengan logika layaknya industri, jangan heran jika media komunitas kemudian akan layu sebelum berkembang. Kedua, soal fungsi pers. Tidak sedikit media komunitas yang menjalankan secara serius kode etik jurnalistik. Menyebut beberapa, misalnya, balebengong.net dan suarakomunitas.net yang terus mendorong jurnalis warganya untuk taat pada kode etik. Regulasi yang tak memadai tidak kemudian membuat mereka berhenti untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat. Dalam sebuah seminar bertajuk “Menghentikan Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Penuntasan Kasus Udin” pada Agustus 2015, Aryo Wisanggeni, anggota Bidang Advokasi AJI Indonesia, menyinggung soal posisi media komunitas dan jurnalis warga—yang merupakan bagian dari media komunitas—dalam kancah media dan jurnalistik di Indonesia. Ia mengakui bahwa posisi media komunitas cukup pelik. Tak ada regulasi yang bisa mengakomodasi aktivitas mereka, padahal ancaman yang mereka hadapi di lapangan juga tak berbeda dengan jurnalis media arus utama, bahkan lebih


U TA M A rentan. Apakah tidak bisa mengajukan revisi regulasi-regulasi terkait, seperti UU Pers? Aryo saat itu menerangkan, “dengan komposisi anggota parlemen seperti saat ini, kami tidak percaya revisi akan menjadi lebih baik, jika bukan makin buruk.� Di tengah stagnansi itu, beruntung AJI melakukan langkah cukup progresif9 dengan membuka peluang bagi jurnalis warga untuk menjadi bagian darinya. Kemajuan teknologi serta perkembangan isu sosial kemasyarakatan harusnya mendorong kita untuk bisa lebih terbuka terhadap segala kemungkinan upaya meneguhkan demokrasi, terutama di ranah media. Regulasi yang cenderung industrial serta tak adanya langkah afirmatif (affirmative action) membuat inisiatif seperti media komunitas terbonsai, jika tidak gagal bertunas.

tangan warga. Tren positif ini harusnya bisa mendorong media komunitas atau media warga lebih berkembang. Namun, alih-alih berkembang, kebebasan di media sosial telah dibajak oleh segelintir kelompok yang akhirnya membuat pemerintah melakukan langkah cenderung represif. Jika tidak ada mekanisme yang jelas untuk melindungi media komunitas di tengah peperangan melawan hoaks ini, maka demokrasi media hanya akan menjadi angan. Kita juga tidak ingin media komunitas dibajak oleh segelintir pihak untuk melanggengkan produksi kebohongannya. Maka hemat saya, sudah selayaknya media komunitas dijadikan proyek bersama (common project) untuk menciptakan atmosfer media yang lebih demokratis.

Media komunitas sebagai proyek bersama

Catatan akhir:

Berbagai upaya memerangi hoaks oleh banyak pihak patut diapresiasi. Bagaimanapun, hoaks memang kian meresahkan. Namun, kita tak bisa abai dengan proyek-proyek memperkuat demokrasi yang dibangun oleh masyarakat akar rumput, seperti media komunitas. Media komunitas adalah upaya warga untuk membangun ruang aspirasi yang mandiri. Media komunitas juga menjadi kendaraan bagi warga untuk merebut kembali posisi subyek yang selama ini dimonopoli oleh perusahaan media. Sejujurnya, tak banyak yang bisa diharapkan dari media arus utama jika masih berada dalam kerangkeng konglomerasi media. Refleksi atas proses pemilihan Komisioner KPI dan perpanjangan izin televisi10, membuat sebagian kita pesimis bahwa revolusi media akan datang dalam waktu dekat. Ketika harapan akan perubahan situasi media di ranah arus utama tak memberikan sinyal baik, mungkin tak ada salahnya jika kita mulai mendorong dan memberi ruang (baik regulasi maupun promosi) serta kepercayaan kepada mereka yang berada di tepian arus: media komunitas. Perkembangan media sosial secara perlahan memang mengembalikan subyek ke

1 http://nasional.kompas.com/ read/2016/12/29/16542981/menkominfo-dewan.pers. evaluasi.media.online.yang.sebarkan.hoax. 2 http://nasional.kompas.com/ read/2016/12/29/16542981/menkominfo-dewan.pers. evaluasi.media.online.yang.sebarkan.hoax. 3 https://indonesiana.tempo.co/ read/106833/2017/01/11/rockygerung/hoax-dandemokrasi-rocky-gerung 4 https://m.tempo.co/read/ news/2015/04/17/173658626/4-masalah-media-diindonesia-versi-aji 5 http://cipg.or.id/mapping-the-landscape-of-themedia-industry-in-contemporary-indonesia/ 6 http://www.remotivi.or.id/amatan/258/OptimismeMedia-Komunitas-di-Era-Media-Baru 7 http://www.remotivi.or.id/amatan/250/KenapaLembaga-Penyiaran-Komunitas-Sulit-Berkembang? 8 http://dewanpers.or.id/FILE LAMA/pernyataan/ detail/486/surat-edaran-dewan-pers-tentangpelaksanaan-uu-pers-dan-standar-perusahaan-pers 9 http://www.remotivi.or.id/amatan/33/DemokratisasiMedia-Melalui-Jurnalisme-Warga 10 http://www.remotivi.or.id/amatan/325/ Memperpanjang-Izin-Siaran-Televisi

Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 9


U TA M A Tugas Ganda Penggiat Media Komunitas Oleh: Ahmad Rofahan

FOTO DOK.JINGGA MEDIA

Penggiat Media Komunitas Jingga Media, Cirebon, Jawa Barat

Penggiat media komunitas Jingga Media mendampingi para remaja untuk mengenal desa sendiri di Cirebon.

D

ulu, saat baru berkecimpung di media komunitas, tantangan terberat adalah, bagaimana bisa memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Selain itu, bagaimana memenuhi informasi masyarakat dan bagaimana agar masyarakat tidak hanya bergantung pada media arus utama juga menjadi tantangan yang berat. Poin terakhir memang menjadi sebuah tantangan yang cukup berat dirasakan oleh para penggiat media komunitas. Bagaimana tidak? Hampir seluruh media yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah media yang dikuasai oleh para pemodal dan sudah sangat akrab di kehidupan mereka. Kehadiran media komunitas untuk memberikan angin segar terkait pemberitaan yang berimbang tidak begitu saja bisa diterima. Dibandingkan dengan media komunitas yang dikelola oleh warga kampung yang penuh kesederhanaan, media arus utama masih dianggap lebih berpengalaman dan meyakinkan. Bahkan, kini tantangan media komunitas bukan hanya berasal dari

10 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

media- media bermodal besar, namun justru dari komunitasnya sendiri. Sejumlah oknum sengaja merusak informasi demi kepentingannya. Mereka membuat perpecahan masyarakat dengan serbuan informasi tidak jelas kebenarannya atau hoaks hanya untuk mengeruk keuntungan finanasial. Penyebaran hoaks yang pesat didukung oleh distribusi secara sporadis melalui website maupun media sosial. Terlebih, media sosial kini hampir menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat membuat penyebaran hoaks semakin sulit dibendung. Hoaks yang semakin marak akhir-akhir ini memaksa para penggiat komunitas untuk berjuang ekstra. Tak cukup dengan hanya menyadarkan masyarakat akan pentingnya informasi, namun juga dengan memahamkan pada masyarakat bahwa tidak semua informasi yang beredar saat ini benar. Menekan laju penyebaran hoaks akan sulit direalisasikan jika membebankannya pada media komunitas semata. Penyebaran hoaks terjadi bukan karena penyebarnya tidak paham akan dampak negatifnya.


U TA M A Namun karena para oknum penyebar hoaks itu mengusung misi ambisius (baca: untuk mencari keuntungan finansial) sehingga mengesampingkan dampak negatif yang mungkin timbul. Itulah kenapa penyebaran hoaks akan sulit direalisasikan jika hanya mengandalkan pada penggiat komunitas saja untuk mengklarifikasi setiap informasi yang belum jelas kebenarannya.

Media komunitas vs media arus utama Seringkali, masyarakat menyebut media komunitas sebagai media alternatif, media kampung, bahkan media yang tidak profesional. Padahal, penggiat media komunitas lebih sadar dan bertanggungjawab dalam membuat dan menyebarkan informasi. Mereka mematuhi kaidah etika jurnalistik setiap kali membuat tulisan. Di lain pihak, media-media arus utama justru acapkali menjadikan media sosial sebagai sumber tulisan. Padahal, informasi yang didapat melalui media sosial itu belum pasti kebenarannya. Media seharusnya menjadi salah satu alat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kebenaran. Namun yang terjadi saat ini, tidak sedikit media arus utama yang justru menyebarluaskan informasi yang tidak jelas kebenarannya. Untuk mengatrol jumlah pembaca, sejumlah media arus utama tak segan memanfaatkan media sosial untuk penyebaran informasi mereka. Seringkali, karena alasan mengejar rating pembaca, kaidah etika jurnalistik pun dilanggar. Meski demikian, berbagai tantangan yang dihadapi media komunitas di atas bukannya tidak bisa dilewati. Dengan menanamkan pentingnya kedaulatan informasi di masyarakat, para penggiat media komunitas bisa melewati tantangan-tantangan di atas. Sudah saatnya masyarakat berdaulat informasi tanpa tergantung kepada media-media arus utama yang disokong oleh para pemodal dan terkadang memiliki agenda terselubung. Ketidakterbukaan informasi itulah yang mendorong para penggiat komunitas berani bergerak dan menyadarkan masyarakat. Informasi bukan semata milik media arus utama, namun juga semua masyarakat. Masyarakat bisa mengelola, membuat, bahkan menyebarkan informasi dan media mereka sendiri. Sebagai penggiat media komunitas, saya merasa bangga menjadi bagian di

dalamnya. Tujuan kami sebagai penggiat komunitas hanya untuk memenuhi kebutuhan dan mendampingi masyarakat. Tidak ada orientasi lainnya, terlebih orientasi bisnis. Kami menyadari, penggiat media komunitas harus mengambil peran dalam menetralisir penyebaran hoaks yang berkembang di masyarakat. Banyak media arus utama yang seringkali memproduksi pemberitaan yang tidak berimbang. Dampaknya, masyarakat pun kehilangan kepercayaan pada media arus utama. Itulah kenapa media komunitas harus bisa memposisikan diri sebagai media yang independen dan menjunjung kebenaran. Media komunitas harus selalu membuat dan menyebarkan informasi berdasarkan fakta dan bukti yang ada. Bukan lagi berdasarkan informasi berantai dan juga media sosial yang belum jelas kebenarannya. Karena, jika media komunitas sudah pernah melakukan hal tersebut, maka kepercayaan masyarakat kepada media komunitas akan mudah luntur. Dalam mendampingi masyarakat mengelola informasi, media komunitas harus konsisten. Ada beberapa peran yang bisa dilakukan media komunitas, seperti memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hoaks. Pemahaman itu mencakup modus hoaks, contoh hoaks, bahayanya, dampak negatifnya, dan yang paling penting adalah bagaimana menyaring informasi mana yang hoaks dan mana yang fakta. Media komunitas harus bisa menjadi media penjelas yang menjabarkan fakta atas hoaks yang sudah tersebar di masyarakat. Upaya melawan hoaks tidak berhenti di komunitas saja. Para penggiat komunitas juga harus berani menangkal berbagai serangan hoaks di berbagai media, utamanya media sosial. Penting untuk dicatat bahwa menyebarkan hoaks sama saja dengan ikut membuat konflik. Untuk itu, penggiat media komunitas harus selalu selektif dalam mengelola informasi. Terlepas dari itu semua, para penggiat media komunitas patut bangga. Di balik banyaknya cibiran pada media komunitas, para penggiatnya bisa membuktikan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar dan fakta.

Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 11


U TA M A “Percayalah...Media Komunitas adalah Media Kita�

Media Komunitas Bergerak Melawan Hoaks Oleh: Mario Antonius Birowo

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Mengapa hoaks bisa berjaya?

Ada beberapa penyebab mengapa hoaks bisa berjaya. Pertama, hoaks memiliki konsumen, yaitu mereka yang merasa hoaks mendukung keyakinannya. Pada dasarnya seseorang tidak suka jika ada informasi yang bertentangan dengan apa yang diyakininya. Inilah yang dikatakan Festinger (dikutip West & Turner, 2009) di dalam teori disonansi kognitif bahwa setiap orang berusaha memperoleh kesesuaian antara tindakan, kepercayaan, keyakinannya dengan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, setiap individu akan melakukan terpaan selektif, yaitu fokus untuk mencari informasi yang cocok dengan keyakinannya agar secara psikologis perasaannya merasa nyaman. Nampaknya, pertimbangan utama mereka adalah bukan soal apakah informasi tersebut sungguh-sungguh benar, namun lebih pada keinginan untuk memuaskan ego bahwa dirinya benar. Bahkan untuk memperkuat

12 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

keyakinannya, ia akan mencari pendukung yaitu melalui penyebaran informasi itu, terutama melalui jaringan di media sosial. Maka tidak mengherankan jika penyebaran hoaks berlipat ganda dengan cepat dan pengikutnya juga berlipat ganda. Mereka ini saling berinteraksi untuk mengkristalkan keyakinannya yang berujung pada ungkapanungkapan kebencian terhadap pihak lain yang berseberangan dengannya. Kedua, hoaks bisa berjaya karena berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama. Apalagi di persoalan politik, media arus utama diduga berpihak pada salah satu kelompok politik. Dugaan ini mengental akibat pemilik media tersebut banyak yang terlibat dengan partai politik. Ketika masyarakat tidak percaya pada media arus utama, maka mereka akan lari pada sumber-sumber informasi lain. Sayangnya, sebagian beralih pada sumber informasi penyebar hoaks. Pengaruh hoaks dapat terjadi oleh karena rendahnya literasi media di masyarakat, yang dapat dilihat pada: minimnya usaha untuk melakukan verifikasi atas informasi yang diterima, motivasi untuk menjadi yang pertama dalam penyebaran informasi, serta tidak ada sumber informasi (seperti media arus utama) yang dianggap kredibel untuk mendapat verifikasi. Hal ini memprihatinkan karena masyarakat

“

Ketika masyarakat tidak percaya pada media arus utama, maka mereka akan lari pada sumber-sumber informasi lain.

“

B

aris pertama dari judul di atas diinspirasi dari artikel Trust Me, I Am Your News Channel: Media Credibility Across News Platforms in the United States and South Korea karya Choi, Axelrod dan Kim (2015). Walau hoaks bukan persoalan baru, saat ini hoaks dirasakan sangat mengkhawatirkan di Indonesia. Sebabnya, hoaks cenderung digunakan untuk mempertajam konflik politik sehingga masyarakat terbelah dua kelompok menjadi pro dan kontra. Kita bisa merasakan tumbuhnya kebencian satu-sama lain lewat komentar-komentar di media sosial. Pertemanan bertahun-tahun diputus dengan sekejap pilihan unfriend. Energi dihabiskan untuk debat yang tidak berkesudahan yang sering tidak bertumpu pada nalar tetapi lebih pada emosi. Situasi ini tentu saja tidak bisa dibiarkan karena hoaks akan membuat bangsa kita melangkah mundur.


U TA M A

FOTO DOK.CRI

umum menjadi korban. Mereka yang awalnya berada di luar pusaran konflik, sering dijadikan target pengaruh hoaks. Minimnya informasi yang dimiliki membuat mereka tertipu hoaks. Situasi ini yang melahirkan kekhawatiran banyak pihak yang peduli terhadap informasi yang benar karena penyebaran hoaks seperti virus yang jika dibiarkan makin lama makin kuat daya rusaknya terhadap masyarakat.

Lawan hoaks melalui literasi media

Mengingat penyebaran dan daya rusak yang mengkhawatirkan bagi kita, maka harus ada gerakan bersama di masyarakat untuk melawan hoaks melalui literasi media. Salah satu gerakan yang strategis adalah dengan gerakan oleh teman-teman media komunitas. Mengapa? Posisi media komunitas yang berada di tengah masyarakat akan memudahkan jalur informasi yang benar sampai ke masyarakat. Tidak hanya itu, informasi di media komunitas dikelola sendiri oleh masyarakat sehingga mereka lebih paham informasi apa yang relevan untuk mereka. Sebagai salah satu bagian dari sistem media di Indonesia, media komunitas perlu aktif melakukan gerakan melawan hoaks. Literasi media sendiri bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, dimana mereka diberdayakan untuk memiliki kompetensi memanfaatkan informasi. Bahkan, mereka bisa terlibat dalam proses produksi informasi. Cita-cita media komunitas untuk menempatkan masyarakat sebagai pihak yang aktif, sejalan dengan ide dasar literasi media. Frank Biocca (1988) membedakan audience atau khalayak menjadi khalayak aktif dan pasif. Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh khalayak aktif adalah: Pertama, khalayak aktif dianggap selektif ketika mengkonsunmsi media yang akan digunakan. Kedua, utilitarianisme (utilitarianism), khalayak dianggap aktif apabila ketika mengkonsumsi suatu media selalu dilatarbelakangi kepentingan dan tujuan. Mereka mengkonsumsi media untuk memenuhi kepentingan serta kebutuhan yang mereka miliki. Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yaitu menggunakan secara sengaja. Dalam konteks ini, khalayak harus bersikap aktif ketika mengkonsumsi suatu media tidak hanya ‘sekedar’ menonton saja. Artinya, saat menonton, mereka memiliki tujuan untuk memperoleh manfaat positif. Keempat,

Literasi media untuk memberdayakan masyarakat. keikutsertaan (involvement), yaitu alasan yang selalu menyertai ketika mereka mengkonsumsi media. Kelima, khalayak aktif dianggap sebagai khalayak yang tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah dibujuk oleh rayuan media (Littlejohn & Gray, 2001, p. 333).

Literasi media ala Speaker Kampung

Berdasar uraian di atas, sesungguhnya aktivitas media komunitas merupakan bagian dari literasi media, bahkan pada titik tertentu sudah menjalankan tujuan tertinggi literasi media yaitu memberdayakan masyarakat tidak hanya sebagai pengguna informasi namun terlibat dalam proses pengelolaannya. Sebagai contoh, kita bisa lihat salah satu media komunitas Speaker Kampung di Ketangga, Lombok Timur, NTB. Berdiri tahun 2012, Speaker Kampung dipelopori oleh anakanak muda yang gelisah terhadap situasi di desanya. Media arus utama dipandang tidak dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang desanya. Padahal, berbagai persoalan desa dianggap bisa lebih cepat terselesaikan jika ada informasi di tengah masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan akan informasi desanya, para anak muda itupun membuat buletin yang disebar di wilayah Ketangga dan sekitarnya. Pada perkembangannya Speaker Kampung kini juga mengelola blog, website dan TV kabel bernama Speaker TV. Geliat media komunitas ini menginspirasi berbagai aktivitas warga. Pada saat penulis Bersambung ke halaman 16... Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 13


I

NFO GRAFIS

14 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017


Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 15 GRAFIS: ARIS HARIANTO


U TA M A

FOTO SUARA KOMUNITAS.NET

Sambungan dari halaman 13...

Salah satu upaya meningkatkan literasi media di masyarakat melalui program Sketsasak di TV kabel Speaker TV. mengunjungi Speaker Kampung pada Januari 2017, mereka sedang melakukan inisiasi kegiatan BATUR, yaitu baca, tulis dan tutur di kalangan remaja. Bagi aktivis Speaker Kampung, salah satu cara untuk menangkal hoaks adalah dengan memperkuat pengetahuan remaja sehingga pengetahuan tersebut menjadi filter diri dari serbuan hoaks. Pengetahuan antara lain diperoleh dengan banyak membaca. Namun agar menjadi pembaca aktif, mereka diminta untuk menulis hal-hal menarik dari bacaan tersebut, lalu membagikannya (lewat tuturan) kepada teman-temannya. Penulis melihat sendiri di SMP Islam Bilakembar, siswa-siswa mempraktekkan kegiatan BATUR ini. Dan bukan kebetulan jika salah satu guru sekolah tersebut, Rasyid Ridho, adalah salah satu pelopor Speaker Kampung. Proses kegiatan BATUR tersebut berpotensi untuk membangun kesadaran peserta tentang “dunianya� atau lingkungan sekitarnya, karena ada proses penyerapan informasi, refleksi atas informasi dan berbagi informasi. Artinya, informasi yang mereka dapatkan tidak mentah-mentah ditelan. Berdasar obrolan dengan Eros, salah satu pendiri Speaker Kampung, agar proses kegiatan Batur memberi inspirasi bagi yang lain, maka kegiatan tersebut disebarkan melalui Speaker TV, salah satu media dari Speaker Kampung. Contoh kasus media komunitas Speaker Kampung bisa menjadi contoh betapa media komunitas bisa melakukan aksi nyata untuk membangun kesadaran masyarakat atas informasi yang benar sehingga terhindar

16 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

menjadi korban hoaks. Untuk melawan hoaks, perlu ada strategi bersama di antara media komunitas. Beberapa strategi tersebut yakni, pertama, membangun media komunitas sebagai sumber informasi yang benar ke masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat memiliki lembaga veifikasi informasi di tingkat akar rumput. Dalam konteks ini, media komunitas berjuang untuk menjadi sumber yang kredibel atau dapat dipercaya. Kredibilitas tersebut dapat dicapai dengan memegang integritas dalam menyampaikan informasi benar dan memiliki komitmen menjunjung kebenaran. Menjaga amanah sebagai media bagi kepentingan komunitas berarti memiliki tanggung jawab untuk membangun komunitasnya. Kedua, media komunitas memiliki kewajiban untuk melakukan fact-checking sebelum menyampaikan informasi. Factchecking atau mengecek fakta yang sesungguhnya dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber yang kredibel atau layak dipercaya. Strategi lainnya adalah dengan membangun kerjasama antara media komunitas dengan media arus utama sehingga dapat kompak melawan hoaks. Terakhir, media komunitas bisa membantu masyarakat untuk melek informasi agar masyarakat mampu membedakan antara informasi yang benar dengan hoaks. Penulis percaya akan kekuatan media komunitas untuk menciptakan komunitas yang sehat.


U TA M A Menanti Komitmen Dewan Pers terhadap Media Komunitas Oleh: Ibnu Hajjar Al-Asqolani Staf Suara Warga CRI

P

ada 2015 lalu, laman merdeka.com melaporkan bahwa, sebanyak 220 kepala desa di Blitar menolak wawancara dari wartawan yang belum mengantongi sertifikat dari Dewan Pers. Berbekal Peraturan Dewan Pers No 1 Tahun 2010, penolakan wawancara dari wartawan tanpa sertifikat uji kompetensi dari Dewan Pers pun dilakukan. Alasannya, banyak “wartawan bodrex” (wartawan gadungan-red) berkeliaran seiring dengan penyaluran dana desa. Bahkan wartawan dari media abal-abal ini tak segan mengancam demi mendapat imbalan. Tindakan tersebut tampak beralasan. Pasalnya, fenomena “wartawan bodrex” bukanlah hal baru. Selain itu, media-media penyebar informasi yang menyesatkan (hoaks) dan mengabaikan kaidah jurnalistik pun kian menjamur. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat tak kurang dari 800 ribu situs web di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech). Berangkat dari kondisi itulah Peraturan Dewan Pers tentang uji kompetensi wartawan tersebut dikeluarkan. Salah satu poinnya, narasumber berhak menolak wawancara wartawan yang belum mengantongi sertifikat uji kompetensi dari Dewan Pers. Selain itu, Dewan Pers juga mengeluarkan kebijakan sertifikasi media. Secara bertahap Dewan Pers akan melakukan verifikasi terhadap institusi media. Media yang dinyatakan lolos verifikasi tersebut harus memenuhi 17 standar yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Kebijakan tersebut layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, uji kompetensi wartawan dan verifikasi media dapat meminimalisir potensi “penumpang gelap” yang meraup keuntungan dengan kedok kebebasan pers. Di sisi lain, para pewarta warga dan pengelola media komunitas yang bekerja sesuai prinsip

dan etika jurnalistik pun terancam. Pasalnya, standar-standar verifikasi media yang diterapkan Dewan pers tampaknya sangat sulit untuk dipenuhi media komunitas. Dengan kata lain, standar yang diterapkan Dewan Pers dikhawatirkan hanya akan mengakomodasi media arus utama. Salah satu syarat yang ditetapkan Dewan Pers, misalnya, bahwa perusahaan pers harus memiliki modal dasar sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers. Syarat lain, perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.

Media komunitas bukan media industri

Jika merujuk pada syarat-syarat penertiban media dari Dewan Pers, sebagian besar media komunitas tidak akan mampu memenuhinya, khususnya terkait syarat berbadan hukum, modal, dan kemampuan menggaji wartawan. Imung Yuniardi dari Combine Resource Institution menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk “Media Komunitas Melawan Hoaks” di University Club, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu (4/2). “Ini karena dunia media komunitas berbeda dengan dunia perusahaan pers,” ungkap Imung yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut. Media komunitas tidak menjalankan kegiatannya dengan logika industri. Pemahaman bahwa media yang benar adalah media yang mampu menggaji karyawannya dan harus berbentuk badan hukum tidak mungkin diterapkan oleh media komunitas. Imung mengungkapkan, “Di media komunitas, bisa bayar tagihan listrik tiap bulan saja sudah Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 17


U TA M A bagus. Bagi wartawan media komunitas, yang dicari bukan gaji. Kalau jurnalis warga menerima gaji, dia sudah beralih menjadi jurnalis profesional.” Media komunitas memiliki karakteristik yang membuatnya tak mungkin disamakan dengan media arus utama. Pertama, keterbukaan akses dan partisipasi. Dalam media arus utama, akses partisipasi publik tidak dibuka secara luas. Di sisi lain, dalam media komunitas partisipasi publik dibuka seluas-luasnya bagi komunitas tempat dia berada. “Dalam peraturan Dewan Pers, (partisipasi publik di media arus utama) hanya dalam bentuk hak jawab dan surat pembaca,” jelas Imung. Senada dengan Imung, Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Sinam Sutarno, menjelaskan bahwa media komunitas yang sangat dekat dengan warga memiliki mekanisme pengawasan yang berbeda dari media arus utama. Media komunitas dijaga oleh moral dan etika yang ada di tingkatan komunitas. “Salah memberitakan bisa digeruduk (didatangi beramai-ramai). Saya yakin media komunitas dijaga oleh hal-hal yang bersifat komunitas karena kita dekat dengan komunitas,” papar Sinam yang menjadi peserta dalam diskusi itu. Sinam lantas menegaskan bahwa penggiat media komunitas adalah orang-

Diskusi Media Komunitas Melawan Hoax di University Club, UGM

18 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

orang yang bekerja untuk komunitas, bukan untuk perusahaan. Dengan demikian, tidak mungkin standar verifikasi bagi perusahaan pers diterapkan terhadap media komunitas. “Jangan pers komunitas dipaksa mengikuti standar yang ada di perusahaan,” tegasnya. Hal senada diungkapkan Ahmad Rofahan, penggiat media komunitas Jingga Media di Cirebon, Jawa Barat yang menjadi salah satu narasumber diskusi. Sebagai pengelola media komunitas, ia meyakini bahwa apa apa yang dilakukan media komunitas sematamata untuk melayani warga. “Ketika tujuan jurnalisme adalah untuk warga, mengapa warga tidak membuat media sendiri? Mengapa warga harus menjadi pihak yang diberitakan? Mengapa menunggu orang lain kalau kita bisa memberitakan sendiri?” ujarnya. Lebih lanjut Rofahan mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak kebijakan sertifikasi media oleh Dewan Pers terhadap media komunitas. Ia mempertanyakan kesiapan Dewan Pers dalam mengakomodasi serta melindungi media komunitas. “Apakah nanti Dewan Pers akan mengakomodasi media komunitas, ataukah hanya media yang sudah disertifikasi?” ujarnya.

Komitmen Dewan Pers

Menanggapi berbagai kekhawatiran tersebut, Ahmad Djauhar selaku Wakil Ketua

FOTO DOK.CRI


U TA M A Dewan Pers menganggap kebijakan sertifikasi media semata-mata merupakan upaya mengawal kredibilitas institusi pers. Sebab, menurutnya, banyak terjadi penyalahgunaan institusi media untuk kepentingan tertentu. “Misalnya dua atau tiga orang membuat media online, tapi intensinya tidak jujur, melainkan untuk menggaet institusi tertentu untuk mengeluarkan berita yang bagus-bagus dengan sejumlah imbalan dana untuk untuk sosialisasi program,” ungkapnya. Terkait kekhawatiran penggiat media komunitas atas standar sertifikasi media yang diterapkan Dewan Pers, Djauhar menanggapinya dengan sederhana. Menurutnya, jika media komunitas menerapkan dan mematuhi kaidah jurnalistik, maka para penggiatnya tidak perlu merasa khawatir. “Kalau Anda tidak melakukan kesalahan, tidak usah takut,” ujarnya. Djauhar menambahkan, Dewan Pers masih berusaha supaya tidak ada celah untuk menutup institusi pers, termasuk bekerja sama dengan kepolisian dan TNI. “Nanti di Hari Pers Nasional di Ambon, tanggal 9 Februari, kami akan menandatangani perpanjangan MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman-red) antara Dewan Pers dan Polisi serta Dewan Pers dan TNI, supaya mereka tidak nggebukin (memukuli-red) wartawan lagi,” candanya. Perlakuan sertifikasi media terhadap media komunitas masih berat sebelah. Djauhar menyarankan agar asosiasi media komunitas suatu hari bertemu Dewan Pers dan mendiskusikan langkah terbaik. “Karena ini juga merupakan hak warga negara. Kalau misalnya sama-sama dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen-red) dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia-red), bisa difasilitasi dan akan memperoleh perlindungan hukum sesuai aturan yang berlaku,” pesannya.

GRAFIS: ARIS HARIANTO

Dukungan untuk media komunitas

Suwarjono selaku Ketua AJI Indonesia turut menyatakan dukungannya terhadap para penggiat media komunitas. Dukungan tersebut disebabkan beberapa alasan. Menurutnya, tidak semua media arus utama bisa dijadikan rujukan. Pasalnya, di media arus utama selalu ada kepentingan bisnis dan berbagai kepentingan lainnya. Untuk itu, ia mendukung para penggiat media komunitas untuk terus berpartisipasi dalam menyebarkan informasi yang bermanfaat bagi publik. “Kami mendorong media alternatif (media komunitas-red) karena waktunya bagi temanteman untuk membuat konten positif sebanyak mungkin,” tandas Suwarjono yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi itu. Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 19


U TA M A

20 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

Dengan prinsip nonprofit dan tidak mencari keuntungan, menunjukkan bahwa media komunitas tidak disetir oleh kepentingan modal, pasar, maupun politik praktis.

Terkait dengan regulasi, Suwarjono menyarankan diselenggarakannya diskusi lebih lanjut tentang kemungkinan dirancangnya RUU Media Baru. Menurutnya, UU Penyiaran dan UU Pers sudah mulai tidak relevan dalam konteks media baru. Beberapa negara maju sudah menerapkan UU konvergensi media untuk mengakomodasi fenomena baru di dunia jurnalisme digital. Di Australia, Suwarjono mencontohkan, sudah dijalankan UU konvergensi media yang mencakup semua platform media. UU tersebut memberikan jalan keluar bagi setiap problem yang dihadapi. “Ke depan, kalau kita semua sudah (memasuki era) digitalisasi, standar-standar lama akan terasa ketinggalan,” jelasnya. Agar bisa bertahan, media komunitas tetap harus punya pendapatan. Suwarjono mencontohkan media komunitas di Aceh yang ia dorong untuk menerapkan pendanaan dengan melibatkan masyarakat atau crowdsourcing. “Jadi media komunitas yang dibiayai oleh warga, mereka urunan untuk menghidupi itu,” paparnya. Beberapa negara telah menerapkan sistem crowdsourcing ini, termasuk laman referensi Wikipedia. “Ini (crowdosourcing) yang bisa mendorong agar media komunitas masuk ke standar agar teman-teman bisa masuk ke langkah selanjutnya,” urainya. Berbeda dengan Suwarjono, Imung mengungkapkan, kerelawanan serta prinsip nonprofit yang diterapkan media komunitas justru menjadi kekuatan tersendiri. Dalam perspektif perusahaan pers arus utama, hal tersebut memang kerap dilihat sebagai kelemahan. Namun demikian, bagi media komunitas, kondisi tersebut justru merupakan keunggulan. Dengan prinsip nonprofit dan tidak mencari keuntungan, menunjukkan bahwa media komunitas tidak disetir oleh kepentingan modal, pasar, maupun politik praktis. “Justru jiwa kerelawanan dan semangat nonprofit yang menjadi peluang, menjadi andalan, menjadi kekuatan dari media komunitas. Kalau (prinsip) itu digeser, habis! Sekali saja jurnalis warga dibayar, kredibilitasnya di mata komunitas yang melayani komunitasnya akan hilang karena dia sudah menerima sesuatu dari apa yang dikerjakan,” tegasnya. Terlepas dari berbagai pendapat tentang kebijakan sertifikasi media oleh Dewan Pers, Mario Antonius Birowo mengungkapkan

kekhawatirannya terkait imbas kebijakan sertifikasi media toleh Dewan Pers terhadap media komunitas. “Bahasa yang muncul nantinya, media yang punya kompetensi adalah yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Padahal banyak bukti bahwa media komunitas cukup kredibel,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta tersebut. Menurutnya, selama ini Dewan Pers masih cukup kaku untuk membahas tentang hadirnya media non-arus utama. Anton lantas menyarankan agar dukungan Dewan Pers terhadap media komunitas dapat dinyatakan secara terbuka. Lebih lanjut, perlu ada pembahasan antara asosiasi media komunitas dan Dewan Pers untuk mengakui keberadaan pemain-pemain di luar media arus utama. “Tadi dikatakan, jangan khawatir kalau tidak tersertifikasi oleh Dewan Pers akan otomatis mati. Tapi siapa yang harus menjelaskan bahwa media yang tidak tersertifikasi oleh dewan pers bukan media abal-abal?” pungkas Anton. Diskusi “Media Komunitas Melawan Hoaks” diselenggarakan oleh Combine Resource Institution. Ada empat pembicara dalam diskusi tersebut, yakni Ahmad Rofahan (penggiat media komunitas Jingga Media), Ahmad Djauhar (Wakil Ketua Dewan Pers), Imung Yuniardi (Direktur Combine Resource Institution), dan Suwardjono (Ketua AJI Indonesia). Diskusi tersebut dihadiri oleh para penggiat media komunitas, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.


M EDIA Merintis Kajian Media Komunitas di Indonesia

“S

Oleh: Ibnu Hajjar Al-Asqolani Staf Suara Warga CRI

ulit sekali mendapat literatur tentang media-media komunitas di Indonesia. Padahal, literatur tentang media komunitas di negara-negara lain sudah sangat banyak.” Langkanya literatur tentang media komunitas di Indonesia seperti yang diungkapkan Idha Saraswati di atas menjadi pendorong penggarapan buku tentang studi kasus lima media komunitas dari beberapa daerah di Indonesia. Selain Idha, ada tiga penulis lain dalam penggarapan buku itu. Ketiganya yakni Ferdhi Fachruddin Putra (CRI), Ranggabumi Nuswantoro dan Mario Antonius Birowo (Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Pada Senin, (13/2), keempatnya hadir dalam diskusi buku bertajuk “Pergulatan Media Komunitas di

Tengah Arus Media Baru” di Gedung Thomas Aquinas, UAJY. Idha menuturkan, selama ini literatur tentang media komunitas di Indonesia relatif sulit ditemukan. Kajian-kajian terkait media komunitas di Indonesia pun masih sangat jarang. Padahal, peran media komunitas dalam menciptakan demokrasi di tingkat lokal sangat signifikan. “Ini termasuk riset yang sangat awal yang bercerita tentang media komunitas,” jelasnya. Lebih lanjut, literatur yang membicarakan media komunitas dalam konteks media baru pun belum banyak. Dalam buku yang diluncurkan pada tahun 2016 lalu itu, ada lima media komunitas yang menjadi subjek kajian dalam penelitian ini. Kelimanya yakni Rakom Best FM (CirebonJabar), Rakom Wijaya FM (Sleman-DIY),

Diskusi buku Pergulatan Media Komunitas di Tengah Arus Media Baru di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 21


M EDIA

Peran Media Komunitas

Sementara itu, Ranggabumi Nuswantoro mengungkapkan bagaimana media komunitas menjadi solusi bagi kondisi media yang terpusat baik secara isu maupun kepemilikan. Konten-konten yang berkaitan dengan keseharian masyarakat di daerahnya masingmasing pun lebih sering terabaikan. Kondisi ini membuat hadirnya media komunitas menjadi menjadi sangat penting. Dosen Ilmu Komunikasi UAJY ini mencontohkan peranan Speaker Kampung. Media komunitas di Lombok Timur, NTB, ini sangat aktif menyiarkan informasi terkait desa mereka. Ketika terjadi bencana banjir, misalnya, media ini yang pertama kali menyebarkan informasi ke seluruh warga hingga menyita perhatian publik dan pemerintah. Berawal dari pengunggahan foto dan keterangan di jejaring sosial Facebook, media ini kemudian memperlebar aktivitasnya dengan mengembangkan website, radio, bahkan televisi komunitas. Lebih lanjut, Ranggabumi mengungkapkan bahwa kajian seputar media komunitas sangat penting untuk menarasikan proses demokrasi di tataran lokal. Pasalnya, selama ini kajian yang muncul terkait proses demokrasi kerap

22 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

Kajian seputar media komunitas sangat penting untuk menarasikan proses demokrasi di tataran lokal.

Rakom Suandri (Padang Pariaman-Sumbar), Rakom Primadona FM (Lombok Utara-NTB), dan Buletin Speaker Kampung (Lombok Timur-NTB). Berbekal studi kasus terhadap lima media komunitas tersebut, penelitian ini berupaya mengungkap pengaruh lahirnya media baru terhadap perkembangan media komunitas. “Kita ingin mengetahui bagaimana pengaruhnya dan bagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap kehadiran media baru,” jelas Idha. Dampak kehadiran media baru membuat ruang-ruang bagi media komunitas semakin terbuka. Proses yang dialami oleh media komunitas dalam beradaptasi dengan media baru juga sangat jauh berbeda dengan media arus utama. Pasalnya, media komunitas tidak dijalankan dengan logika industri, melainkan dikelola secara mandiri oleh para pegiatnya. Hal tersebut membuat media komunitas berproses dengan banyak keterbatasan. “Selain itu, regulasi yang tak ramah pada media komunitas juga menjadi hambatan,” lanjut Idha.

menyisihkan narasi di tataran lokal. “Selama ini studi-studi mengenai demokrasi banyak dilakukan di kota atau menyajikan narasinarasi besar yang diangkat media arus utama,” paparnya.

Adaptasi terhadap Media Baru

Sementara itu, Ferdhi Fachrudin menyoroti kemampuan adaptasi media komunitas terhadap media baru. Menurutnya, media komunitas bahkan menjadi entitas yang lebih hidup dan dinamis dibandingkan dengan media arus utama. Sebabnya, media komunitas sangat dekat dengan komunitasnya. Radio komunitas Best FM di Cirebon, misalnya. Media komunitas yang berangkat dari basis komunitas pesantren ini gencar mengampanyekan toleransi dan keberagaman. Lewat siaran mereka, media komunitas yang dikelola kaum santri ini gencar melawan isu Islam radikal di kampung mereka. Di tengah berbagai keterbatasan, para pegiat media komunitas sangat gigih melayani komunitasnya. Berbekal kreativitas, berbagai halangan pun pada akhirnya dapat dihadapi. Ferdhi mengatakan bahwa satu hal yang cukup penting adalah kemampuan adaptasi media komunitas terhadap media baru. Hal tersebut pada akhirnya menjadi kekuatan tersendiri dari media komunitas. “Media komunitas pun akhirnya menjadi entitas yang bahkan lebih hidup daripada media komersil,” pungkas Ferdhi.


P O R TA L Warta Desa, “Rumah Baru� Penggiat Media Komunitas di Pekalongan Oleh: Buono Penggiat Media Komunitas di Pekalongan

W

adah untuk menyuarakan aspirasi bagi warga Pekalongan masih minim. Minat warga untuk menceritakan apa yang terjadi di lingkungan sekitar juga masih rendah. Pun, ketika warga menyampaikan uneg-uneg mereka di koran maupun di website resmi Kabupaten Pekalongan, lebih banyak yang tidak ditanggapi daripada yang diselesaikan. Berawal dari kondisi itulah, ide untuk membuat media komunitas di Pekalongan ini muncul. Lahirnya media komunitas Warta Desa tidak lepas dari upaya para penggiat komunitas untuk menyajikan beragam informasi lokal dan aspirasi masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Ide membuat media komunitas

muncul setelah saya mengikuti workshop bertajuk “Membuat Konten bagi Media Online Lokal� yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, akhir Mei 2016 lalu. Bersama para penggiat media komunitas yang banyak di antaranya berkecimpung di suarakomunitas.net wilayah Pekalongan, kami pun bersepakat untuk membangun Warta Desa. Selang enam bulan kemudian, tepatnya 10 Desember 2016, kami merilis berita untuk pertama kalinya di Warta Desa. Konten yang kami sajikan meliputi informasi seputar dunia pendidikan sosial budaya, ekonomi, perempuan, olahraga, tempat wisata, teknologi, dan opini warga. Kami juga menulis

Portal Warta Desa.

Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 23


informasi tentang hukum dan kriminal yang mana rubrik tersebut memiliki pembaca terbanyak setiap harinya. Selain beragam konten berita lokal, Warta Desa juga merangkum video kiriman warga melalui kanal Warta Desa TV. Video kiriman tersebut isinya beragam, mulai dari pentas seni, lomba warga, objek wisata, sampai halhal menarik yang ada di lingkungan warga. Sebelum menautkan video di kanal, kami mengunggahnya di Youtube. Ada sebuah cita yang ingin kami gapai, yakni membangun sebuah TV komunitas di Pekalongan yang bisa bersiaran rutin walau hanya beberapa jam sehari. Sebagai media komunitas yang baru lahir, pasokan informasi yang rutin setiap hari menjadi tantangan bagi Warta Desa. Saat ini, baru ada tiga pewarta warga yang terjun langsung melakukan liputan di lapangan. Selain itu, kami juga dibantu oleh tujuh kontributor dari beberapa kecamatan di Pekalongan dengan satu koordinator. Saya sendiri meski lebih banyak menjadi editor, sesekali saya juga melakukan liputan di lapangan. Warta Desa dipimpin oleh Didiek Harahap yang menjabat sebagai Pemimpin Umum sekaligus menjadi pencari dana untuk keberlangsungan hidup portal ini. Seperti saya, sesekali Didiek juga melakukan peliputan langsung. Penggiat media komunitas rata-rata mempunyai pekerjaan pokok masing-masing. Menjadi jurnalis warga dan memberitakannya di Warta Desa merupakan panggilan hati kami. Tak ada uang lelah, apalagi upah. Itulah kenapa, seringkali kami kesulitan waktu untuk meliput di lapangan. Karena keterbatasan tim peliput lapangan itulah, beberapa konten di Warta Desa kami sadur dari beberapa media lokal di Pemalang, Pekalongan dan Batang. Penyaduran tersebut sudah melalui ijin yang resmi, baik dari admin maupun penulisnya langsung. Beberapa berita kriminal kami ambil dari tulisan dari Humas Polres setempat yang memang mengijinkan siapa saja untuk menyadurnya. Hal yang paling penting adalah pencatuman sumber berita itu di setiap informasi yang kami muat. Bagaimanapun, sebagai media komunitas, kami tetap berpegang teguh pada prinsipprinsip jurnalistik, termasuk mencatumkan sumber awal berita.

24 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

FOTO WARTA DESA

P O R TA L

Penggiat Warta Desa meliput langsung di lapangan. Warta Desa bukan satu-satunya media komunitas yang fokus pada konten lokal Pekalongan dan sekitarnya. Pada tahun 2015, sempat terbit koran cetak bernama Media Komunitas. Koran dwi mingguan ini dibentuk oleh Jaringan Radio Komunitas (JRK) Santri, wadah bagi penggiat radio komunitas di Pekalongan. Sayangnya, koran cetak itu hanya sanggup bertahan dua bulan. Alasan uang memang menjadi masalah klasik bagi media komunitas untuk bertahan hidup. Para penggiatnya harus merogoh kocek tidak kurang dari Rp 3 juta untuk biaya cetak dalam sekali terbit. Koran Media Komunitas memang hanya mampu bertahan sesaat, namun begitu, semangat untuk memberikan informasi yang berimbang kepada warga selalu membara.

Sudah berbadan hukum

Dulu, saat awal pendirian, Warta Desa bermodalkan sumbangan donatur dan iuran anggota JRK Santri Pekalongan. Total dana sebesar Rp 2 juta sebagai modal awal kami gunakan untuk sewa hosting dan membeli domain beserta biaya pemeliharaan website selama satu tahun. Selanjutnya, ada donatur yang menyumbang Rp 3 juta untuk membuat badan hukum Warta Desa. Kami sepakat memilih badan hukum media dalam bentuk yayasan. Alasannya, bentuk yayasan sesuai dengan komitmen


P O R TA L

“

Penggiat media komunitas diuji dengan dua pilihan: mencari kehidupan untuk keluarga atau menghidupi media komunitas diselasela kerja untuk keluarga.

“

kami. Selain itu, bentuk yayasan juga memungkinkan Warta Desa menjadi media yang memberikan pencerahan kepada warga, bukan semata-mata mengejar keuntungan korporasi. Bentuk yayasan inilah yang kami sepakati untuk berjaga-jaga jika sewaktuwaktu Dewan Pers melakukan pembreidelan media komunitas. Warta Desa sekarang berbadan hukum dengan Akta Badan Hukum AHU-0004226.AH.01.12 Tahun 2017, 22 Februari 2017 di bawah Yayasan Gema Desa Nusantara.

Antara panggilan jiwa dan menafkahi keluarga Mengelola media komunitas bukanlah hal baru bagi kami di JRK Santri. Sebelumnya, para penggiatnya rata-rata sudah aktif di radio komunitasyang pengelolaannya tidak jauh berbeda dengan media online lokal Warta Desa. Seperti lumrah terjadi di media-media komunitas pada umumnya, kerelawanan juga menjadi permasalahan di Warta Desa selain masalah keuangan. Penggiat media komunitas diuji dengan dua pilihan: mencari kehidupan untuk keluarga atau menghidupi media komunitas disela-sela kerja untuk keluarga. Tingkat kerelawanan dan taraf kehidupan masing-masing penggiat Warta Desa berbeda. Meski demikian, kami punya komitmen untuk memberikan yang terbaik yang kami mampu untuk Warta Desa. Para penggiat dapat mengaktualisasikan

rasa memiliki Warta Desa dengan beragam cara. Ada yang intens memberikan informasi, memasok berita, berbagi di media sosial, bahkan menyumbang dana untuk keberlangsungan media, dan lain-lain. Kami bersyukur, Warta Desa mendapat tanggapan baik dari pembaca di Pekalongan dan sekitarnya. Selama tiga bulan kehadirannya, Fanspage Facebook Warta Desa sudah disukai oleh 962 orang dan diikuti 985 orang. Jumlah pembaca semakin meningkat terutama rubrik hukum dan kriminal serta sosial budaya. Setiap berita di kedua rubrik rata-rata diakses oleh lebih dari seribu pembaca. Tak hanya tanggapan baik dari pembaca, beberapa klub jurnalistik sekolahsekolah di Pekalongan juga sudah mulai melirik kiprah Warta Desa. Setidaknya sudah ada tiga sekolah yang mengirimkan tulisantulisannya ke Warta Desa. Menjadikan Warta Desa menjadi rumah bersama bagi para penggiat media komunitas adalah sebuah pekerjaan panjang bagi kami. Namun kami yakin, di sinilah wadah bagi para penggiat media komunitas di Pekalongan dan sekitarnya untuk menyosialisasikan pentingnya menyuarakan warga bersuara, bukan hanya disuarakan. Harapan kami, Warta Desa akan tetap bisa bertahan hidup selama kami mampu bertahan. Hal itu penting agar kami bisa menumbuhkan kerelawanan, semangat untuk menyuarakan warga akar rumput melalui media komunitas ini. Terakhir, kami berharap akan muncul media-media komunitas lainnya di Pekalongan yang menyuarakan akar rumput, menjadi penyeimbang dominasi informasi dari kapitalisme media.

Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 25


W A R TA

CRI

UNICEF Timor Leste Belajar Rakom Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) Timor Leste belajar pengelolaan radio komunitas (rakom) di Indonesia, (15-16/12/2016). Tiga rakom yang dikunjungi yakni: Rakom BBM FM di Minomartani (Sleman), Rakom Wijaya FM di Wedomartani (Sleman), dan Rakom Lintas Merapi (Klaten). Indra Monemnasi selaku perwakilan UNICEF Timor Leste mengatakan kunjungannya tersebut untuk belajar hubungan rakom dengan masyarakat sekitar. “Kami ingin belajar bagaimana rakom di sini membangun relasi dengan warga sekitar dan bagaimana partisipasi warga untuk rakom,� kata Indra.

Pemanfaatan SID untuk Penyusunan RPJMDes Murtigading Desa Murtigading, Sanden, Bantul mengundang CRI dalam diskusi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa atau RPJMDes, (10/2). Diskusi ini digelar untuk mempersiapkan penyusunan RPJMDes dengan memanfaatkan data/informasi yang telah diolah di SID. Dalam diskusi tersebut, CRI yang diwakili M. Amrun memaparkan pemanfaatan SID kepada seluruh perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa dan perwakilan lembaga masyarakat di Desa Murtigading yang dilibatkan dalam tahap penyusunan RPJMDes.

26 | Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017

Pelatihan SID Tingkat Dasar di Pacitan

Sejak 2016, KOMPAK, Pemkab Pacitan dan Combine Resource Institution merancang inisiatif pengembangan dan penerapan Sistem Informasi Desa (SID) di Kabupaten Pacitan. Inisiatif tersebut berlanjut dengan penyelenggaraan Pelatihan SID Tingkat Dasar pada tanggal 7-9 Februari 2017 di Kompleks Kantor Bupati Pacitan. Ada 10 desa percontohan dampingan KOMPAK di Kabupaten Pacitan yang mengikuti pelatihan ini. Pemerintah Kabupaten Pacitan yang telah memiliki program penanggulangan kemiskinan Grindulu MAPAN siap untuk memposisikan SID sebagai alat/sarana untuk memperkuat substansi inisiatif secara terbuka. Kesiapan desa yang diperkuat melalui pelatihan ini diharapkan juga dapat diikuti dengan kesiapan pemerintah kabupaten dan jejaring para pihak yang mendukung inisiatif ini. Kesiapan kolaborasi secara simultan tersebut bertujuan untuk memaksimalkan manfaat terbangunnya kapasitas desa dalam hal olah data dan informasi.


Kombinasi 67 | Januari- Maret 2017 | 27



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.