4 minute read

Pensa Pk

Next Article
Pelga HA er Ma l

Pelga HA er Ma l

Menurut Poin Ketiga General Comment No. 7 on Article 11, Paragraph 1, of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, on The Right of Adequate Housing, penggusuran paksa adalah pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara maupun untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Penggusuran paksa erat kaitannya dengan salah satu bagian dari HAM, yaitu hak atas tempat tinggal Hak tersebut tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ”

Advertisement

Penggusuran paksa sejatinya merupakan pelanggaran HAM karena hak atas tempat tinggal yang dimiliki warga negara dirampas begitu saja, di mana hal ini sering kali terjadi kepada kaum marginal Dengan dirampasnya hak atas tempat tinggal, berbagai HAM lainnya juga tidak dapat terpenuhi, seperti hak atas hunian yang layak, hak atas perlindungan dan rasa aman, serta hak atas pembangunan. Terlebih lagi, penggusuran paksa kerap dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan tanpa adanya musyawarah terlebih dahulu Melihat maraknya penggusuran paksa di berbagai wilayah yang tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, Kastrat BEM FH UI 2022 senantiasa melakukan penyikapan, pengawalan, dan advokasi terhadap kasus-kasus penggusuran paksa yang terjadi di masyarakat dan menolak dengan tegas berbagai produk hukum yang melanggengkan praktik penggusuran paksa

_Pergub DKI 207/2016_

Peraturan Gubernur DKI Jakarta

Nomor 207 Tahun 2016 tentang

Penertiban Pemakaian/Penguasaan

Tanah Tanpa Izin yang Berhak (Pergub

DKI 207/2016) telah menjadi produk hukum yang selama ini berhasil

Memberikan Legitimasi Kepada

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI

Jakarta untuk dapat terus melakukan penggusuran paksa di DKI Jakarta.

Terdapat berbagai faktor yang mengakibatkan Pergub DKI 207/2016 harus dicabut, di antaranya ialah keberadaan Pergub DKI 207/2016 dinilai melangkahi kekuasaan kehakiman karena tidak memberikan kesempatan kepada warga untuk menguji hak kepemilikan atas tanahnya Padahal, ketentuan hukum perdata di Indonesia mewajibkan hal tersebut ketika terjadi sengketa lahan Selain itu, Pergub DKI

207/2016 didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 51/PRP/1960 yang mengatur kewenangan penertiban tanah Pemerintah dalam konteks keadaan darurat, di mana peraturan ini tentu tidak dapat diterapkan dalam situasi normal

Keterlibatan Tentara Nasional

Indonesia (TNI) dan Polri dalam penggusuran dengan dalih operasi penertiban juga dilegalkan dalam

Pergub DKI 207/2016 Padahal, hal tersebut tidak sesuai dengan tugas pokok TNI dan Polri serta merupakan bentuk penggunaan kekuatan secara berlebihan Tak hanya itu, Pergub DKI

207/2016 juga melanggar asas umum pemerintahan yang baik, melanggar konsep hak atas tanah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun

2021 tentang Penertiban Kawasan dan

Tanah Terlantar, serta berpotensi digunakan untuk menggusur paksa puluhan kampung di DKI Jakarta

Melihat berbagai permasalahan tersebut, Kastrat BEM FH UI 2022 pun melakukan penyikapan, pengawalan, dan advokasi terhadap pencabutan

Pergub DKI 207/2016.

Pada Kamis, 24 Februari 2022, Kastrat BEM FH UI 2022 turut bergabung dalam Aksi Bersama Koalisi Rakyat

Menolak Penggusuran di depan Gedung

Balai Kota DKI. Aksi yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat

Menolak Penggusuran (KRMP) ini dihadiri oleh warga terdampak penggusuran di Jakarta bersama berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya Selain menuntut pencabutan

Pergub DKI 207/2016, massa aksi juga menuntut Gubernur DKI Jakarta untuk mewujudkan peta jalan reforma agraria di Jakarta berdasarkan prinsip pemenuhan hak atas tanah dan prinsip reforma agraria sejati sesuai amanat

UUPA. Adapun rekap dan dokumentasi dari aksi tersebut dirangkum dalam

Infografis “Gubernur DKI Jakarta Harus

Mencabut Pergub DKI 207/2016!” yang dipublikasikan pada 25 Februari 2022 silam.

Selain terlibat dalam aksi, Kastrat

BEM FH UI 2022 bersama KRMP juga mengadakan Diskusi Publik Menelaah

Pergub DKI 207/2016: Peraturan

Pelanggeng Praktik Penggusuran pada

14 Maret 2022 yang lalu. Diskusi publik ini diadakan dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu Mami Santi selaku Warga Pancoran Buntu II, Charlie

Albajili selaku Perwakilan KRMP, Kurnia

Warman selaku Guru Besar Hukum

Agraria Fakultas Hukum Universitas

Andalas, dan M. Azka Gulsyan selaku

Tim Gubernur Untuk Percepatan

Pembangunan DKI Jakarta Diskusi publik ini sejatinya diadakan dengan tujuan menjadi wadah edukasi dan diskusi untuk menelaah permasalahan dalam Pergub DKI 207/2016 yang selama ini melanggengkan praktik penggusuran di DKI Jakarta

Penyikapan, pengawalan, dan advokasi terkait pencabutan Pergub DKI

207/2016 tidak berhenti sampai di situ saja. Pada Rabu, 6 April 2022, Gubernur

DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengundang perwakilan KRMP untuk melakukan audiensi mengenai tuntutan pencabutan Pergub DKI 207/2016

Dalam audiensi ini, KRMP memaparkan argumen terkait pentingnya pencabutan

Pergub DKI 207/2016 Adapun terdapat poin-poin keputusan dari audiensi yang telah dilakukan dengan Pemprov DKI

Jakarta, antara lain Pemprov DKI

Jakarta menerima saran dan masukan terkait usulan pencabutan Pergub DKI

207/2016 yang disampaikan oleh KRMP;

Pemprov DKI Jakarta akan melakukan peninjauan terhadap usulan yang dipaparkan oleh KRMP sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan; dan Pemprov DKI Jakarta akan melakukan moratorium pelaksanaan penertiban sampai ada keputusan terkait. Gubernur DKI Jakarta pun berjanji akan menindaklanjuti usulan pencabutan Pergub DKI 207/2016 dalam kurun waktu 14 hari Setelah 14 hari berlalu, Gubernur DKI Jakarta memutuskan bahwa Pergub DKI

207/2016 akan dicabut dan pencabutannya akan segera diproses.

Rekap audiensi tersebut dapat dilihat melalui Infografis “Audiensi Koalisi

Rakyat Menolak Penggusuran dengan

Gubernur DKI Jakarta Terkait

Pencabutan Pergub 207/2016” yang d mengadakan diskusi publik yang bertajuk Diskusi Publik Koalisi Rakyat

Menolak Penggusuran “Pergub

207/2016: Tanahku Legal Untuk

Dirampas” pada 26 September 2022.

Diskusi publik ini diadakan di Ruang

BEM UI, Gedung Pusgiwa Lama Lantai 2, Kampus UI Depok dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu

Abdul Ghofar dari Walhi Nasional, Rafi

Dhartaman dari Semar UI, Jihan Fauziah dari LBH Jakarta, dan Mami Santi sebagai Warga Pancoran Keempat narasumber membahas berbagai substansi bermasalah yang terkandung dalam Pergub DKI 207/2016 dan urgensi pencabutan Pergub DKI 207/2016

Meski berbagai cara telah dilakukan untuk mewujudkan pencabutan Pergub DKI 207/2016, janji

Anies Baswedan untuk mencabut

Pergub DKI 207/2016 sejatinya hanyalah janji semata Salah satu penyebab dari hal tersebut ialah ditolaknya permohonan pencabutan Pergub DKI

207/2016 oleh Kementerian Dalam

Negeri Republik Indonesia dengan dalih menghindari timbulnya kekosongan

Sembari menunggu berlangsungnya proses pencabutan

Pergub DKI 207/2016, Kastrat BEM FH UI

2022 bersama KRMP kembali hukum. Hingga saat ini, proses pencabutan Pergub DKI 207/2016 tak kunjung membuahkan hasil dan Pergub

DKI 207/2016 masih menjadi produk

Melihat makin dekatnya akhir periode jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan masih banyaknya permasalahan di DKI

Jakarta, Kastrat BEM FH UI 2022 bersama Koalisi Perjuangan Warga

Jakarta (KOPAJA) pun menyelenggarakan aksi yang dinamakan “Aksi Drop Out Anies: Janji

Palsu Anies Bikin Nangis” pada 14

Oktober 2022. Aksi ini diadakan untuk menagih janji perbaikan DKI Jakarta yang belum juga ditepati oleh Anies

Baswedan. Aksi ini membawa 11 tuntutan yang dirangkum oleh Kastrat

BEM FH UI dalam Infografis “Seruan Aksi

Drop Out Anies: Janji Palsu Anies Bikin

Nangis”, di mana salah satu tuntutannya ialah cabut Pergub DKI 207/2016 Anies

Baswedan menemui massa aksi pada saat itu, tetapi tetap saja tidak ada penyelesaian yang signifikan atas permasalahan-permasalahan di DKI Jakarta hingga akhir masa jabatannya.

This article is from: