5 minute read

Fenomena Enso sebagai Salah Satu Pemicu Variabilitas Curah Hujan di Indonesia

FENOMENA ENSO SEBAGAI SALAH SATU PEMICU VARIABILITAS CURAH HUJAN DI INDONESIA FOKUS

Pola rata-rata dari faktor-faktor cuaca dalam jangka panjang (setidaknya 30 tahun) dikenal dengan istilah iklim. Dinamika atau penyimpangan kondisi iklim dari pola rataratanya di suatu wilayah dan tidak berlangsung lama disebut sebagai variabilitas iklim. Faktor pengendali variabilitas iklim diantaranya interaksi antara atmosfer, lautan, dan daratan. Laut memiliki peranan penting terhadap kondisi atmosfer berkaitan dengan sifat fisis air laut yang berupa fluida, mepunyai kapasitas panas yang besar, dan albedo yang rendah. Posisi Indonesia secara geografis terletak di antara dua samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sehingga perubahan kondisi parameter laut di Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik berpengaruh terhadap kondisi atmosfer di atas Indonesia. Sa la h sa tu pa ra meter la u t ya ng berpengaruh terhadap variabilitas iklim adalah suhu permukaan laut (SPL), yang berperan penting terhadap interaksi antara atmosfer dan laut terutama dalam proses pertukaran energi. Meskipun variasi bulanan SPL dipengaruhi oleh letak geografis dan distribusi wilayah Indonesia, tapi secara umum pola tersebut mengikuti gerak semu tahunan matahari. Salah satu fenomena yang terjadi akibat interaksi laut-atmosfer berkaitan dengan SPL dan atmosfer di Samudera Pasifik adalah fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) , dengan El Nino yang merupakan komponen laut di Samudra Pasifik Tropis dan Osilasi Selatan (Southern Oscillation) sebagai komponen atmosfer. Kejadian ENSO merupakan fenomena penyimpangan suhu permukaan laut ditandai dengan pergeseran kolom air hangat antara Pasifik Tengah dan Pasifik Timur. Adanya pergerakan angin dan siklus global di permukaan bumi seperti siklus Hadley dan Walker yang membawa massa udara ke suatu tempat menyebabkan dampak dari interaksi laut dan atmosfer ini menjadi lebih luas. Interaksi ENSO dengan curah hujan di Indonesia dapat dilihat berdasarkan nilai Southern Oscillation Index (SOI). SOI secara sederhana merupakan perbedaan tekanan udara permukaan antara wilayah Pasifik Timur yang diukur di Tahiti (Hawai) dengan wilayah Pasifik Barat yang diukur di Darwin (Australia). Saat fase Nino positif (El Nino), terjadi pergeseran panas ke arah timur Samudera Pasifik sehingga tekanan permukaan laut menjadi turun di Pasifik Timur dan naik di Pasifik Barat (SOI bernilai negatif). Sebaliknya, pada fase ENSO negatif (La Nina), terjadi pergeseran panas permukaan ke wil a ya h ba ra t S a m u d era P a sifi k ya n g menyebabkan peningkatan tekanan udara di Pasifik Barat dan penurunan tekanan udara di Pasifik Timur (SOI bernilai positif). Di Indonesia, berdasarkan standar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suatu tahun dinyatakan sebagai tahun El Nino kuat jika nilai SOI kurang dari -5 selama 3 bulan berturut-turut dan sebaliknya nilai SOI lebih dari 5 selama 3 bulan berturut-turut maka tahun tersebut dapat dinyatakan sebagai tahun La Nina kuat.

Advertisement

Gambar 1. Skema fenomena El Nino dan La Nina

(Sumber gambar: https://www.climate.gov/enso)

Metod e l a in u n tu k m en g a n a l isis kekuatan ENSO adalah Oceanic Nino Index (ONI). ONI berfokus pada anomali SPL di daerah Samudra Pasifik Ekuatorial yang dibagi menjadi 4 wilayah seperti pada Gambar 1. NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) menyebutkan pengaruh terbesar terhadap wilayah Indonesia adalah adanya perubahan SPL di wilayah Nino 3.4. Gambar 2 menunjukkan grafik deret waktu kondisi ONI di wilayah Nino 3.4 selama 20 tahun (tahun 2000-2019). Anomali SPL kurang dari sama dengan - 0,5 (di bawah garis biru) mengindikasikan kondisi ENSO fase dingin, anomali SPL lebih dari sama d e n g a n 0 , 5 ( d i a t a s g a r i s m e r a h ) mengindikasikan kondisi ENSO fase hangat, dan diantara -0,5 hingga 0,5 adalah kondisi ENSO normal. Nilai ONI pada bulan x merupakan ratarata anomali SPL 3 bulanan (x-1, x, x+1). Dengan metode ONI, suatu tahun dinyatakan tahun El Nino jika 5 bulan berturut-turut indeks ONI lebih dari 0,5 dan dinyatakan tahun La Nina jika selama 5 bulan berturut-turut indeks ONI kurang dari -0,5.

Gambar 2. Pembagian wilayah Oceanic Nino Index (ONI).

(Sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ninoareas_c.jpg)

Gambar 3. Grafik deret waktu Oceanic Nino Indeks (ONI) wilayah Nino 3.4 tahun 2000-2019.

(Sumber data: https://origin.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ONI_v5.php)

Gambar 4. Grafik deret waktu rata-rata curah hujan bulanan wilayah Indonesia dan nilai ONI wilayah Nino 3.4 (Sumber data curah hujan: www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.cmap.html) Salah satu dampak perubahan SPL di Samudera Pasifik pada saat fenomena ENSO adalah perubahan curah hujan dan pergeseran musim di Indonesia. El Nino menyebabkan pengurangan jumlah curah hujan di wilayah Indonesia karena adanya pelemahan konveksi m a s s a u d a ra ya n g d i a ki b a tka n o l e h peningkatan tekanan udara. Sebaliknya, dalam peristiwa La Nina konveksi menjadi kuat di atas wilayah Indonesia sehingga terjadi peningkatan curah hujan di Indonesia. Pengaruh kejadian ENSO terhadap peningkatan dan penurunan curah hujan di Indonesia tidak sama untuk seluruh wilayah. Letak geografis suatu wilayah mempengaruhi respon wilayah tersebut terhadap fenomena El Nino maupun La Nina. Gambar 4 menunjukkan grafik deret waktu ratarata curah hujan bulanan untuk seluruh wilayah Indonesia dan ONI wilayah 3.4. Beberapa kejadian El Nino kuat terjadi penurunan curah hujan yang signifikan dan beberapa kejadian La Nina kuat terjadi kenaikan curah hujan yang cukup signifikan pula. Curah hujan erat kaitannya dengan pembentukan musim di Indonesia, yaitu musim hujan dan kemarau. Kriteria awal musim hujan menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) adalah jika terjadi curah hujan lebih dari 50 mm pada 3 dasarian berturut-turut (≥1 50 mm/bulan), sedangkan awal musim kemarau didefinisikan jika dalam 3 dasarian berturut-turut terdapat curah hujan <50 mm (<150 mm/bulan). Secara umum di Indonesia terdapat 3 tipe curah hujan berdasarkan pola hujan bulanannya yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal. Dampak pergeseran musim akibat kejadian ENSO lebih terlihat pada wilayah yang memiliki pola curah hujan monsunal. Hal tersebut dapat diindikasikan oleh awal musim hujan yang lebih lambat dibanding rata-ratanya ketika terjadi El Nino atau lebih cepat dibanding rataratanya ketika terjadi La Nina. Pengaruh variabilitas curah hujan dan pergesaran musim dapat berdampak pada sektor-sektor penting seperti pertanian, sumber daya air, pariwisata, dan sektor penggerak perekonomian Indonesia lainnya. Dalam hal ini, prediksi musim dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan sektor-sektor tersebut. Penentuan awal tanam pada sebagian besar sistem pertanian tanaman pangan dan hortikultura sangat dipengaruhi oleh awal musim, perkiraan musim yang tidak tepat akan berpengaruh pada hasil produksi dan d a m p a kn y a a ka n m e n e n t u ka n keuntungan dan kerugian bagi petani. S e l a i n i t u , ko n d i s i c u ra h h u j a n berpengaruh pada pengelolaan sumber daya air. Adanya prediksi musim dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan sumber daya air sehingga dapat dilakukan tindakan preventif jika terjadi bencana banjir pada awal atau puncak musim hujan, juga tindakan-tindakan preventif terhadap kondisi kering yang mungkin terjadi pada musim kemarau. (Penulis: Eka Putri Wulandari)

This article is from: