
6 minute read
PM2,5 - 'Makhluk Halus' yang Mengancam Kesehatan Dimanapun Kita Berada
PM2,5 ‘Makhluk Halus'
yang Mengancam Kesehatan Dimanapun Kita Berada
Advertisement
Rumahmu adalah surgamu. Berada di dalam rumah yang nyaman, terlindung dari panas teriknya sinar matahari, hujan, debu, dan polusi kendaraan serta kondisi iklim lainnya, tentunya merupakan idaman bagi semua orang di dunia ini. Selain itu, rumah yang nyaman memberikan kenikmatan untuk beristirahat setelah seharian disibukkan dengan pekerjaan yang membuat penat dan lelah. Namun, dibalik kenyamanan itu, banyak orang yang tidak mengetahui adanya bahaya yang mengintai kesehatan. Rumah yang bersih dan terawat juga tidak luput dari ancaman bahaya ini. Bahaya tersebut berupa materi sangat halus yang tidak dapat terlihat dengan mata telanjang, yang populer dengan nama Particulatte Matter (PM). Keberadaan PM sangat tidak terbatas, tidak hanya di udara terbuka, bahkan di dalam rumah juga dapat ditemukan. Seperti halnya makhluk halus, PM tidak dapat dilihat namun terkadang dapat dirasakan keberadaannya apabila berada dalam konsentrasi yang cukup tinggi di udara. PM dapat diterjemahkan sebagai partikulat, yaitu partikel-partikel halus yang berukuran kurang dari 10 µm (1 µm = sepersejuta meter). Partikulat juga diklasifikasikan ke dalam PM1 0, PM5, dan PM2,5 (Gambar 1 ), tanda subscriptmewakili ukuran partikulat yaitu masingmasing 10 µm, 5 µm, dan 2,5 µm. Begitu kecilnya ukuran PM2,5 ini sehingga dapat dengan mudah
menembus masker kesehatan yang biasa dipakai, kemudian memasuki sistem pernapasan dan menjadi partikel halus yang paling mematikan bagi manusia. Organisasi dunia nirlaba Greenpeace memasukkan PM2.5 sebagai salah satu penyebab kematian dini dan beberapa penyakit non-generatif yaitu asma, kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis, dan penyakit kardiovaskular.

Gambar 1. Perbandingan ukuran PM2,5 terhadap lebar rambut manusia dan butiran pasir halus (sumber: US-EPA). Gambar 2. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh PM2,5. Deposisi PM2,5 di otak dapat menyebabkan stroke, penurunan fungsi saraf pusat dan penurunan IQ. Serangan jantung dan fluktuasi detak jantung juga dipicu oleh PM2,5. Hal-hal yang berkaitan dengan kesuburan pun diduga kuat disebabkan oleh PM2,5. Kanker paru-paru dan pengentalan darah pun dipicu oleh PM2,5.
Seba ga i wu ju d ta nggu ng ja wa b pemerintah dalam perlindungan warga negaranya dalam pemantauan konsentrasi partikulat di udara ambien, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.41/1999 melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Peraturan pemerintah ini mengizinkan batas atas partikulat PM2.5 sebesar
3 65 µg/m untuk untuk durasi pengukuran 24 jam, 3 dan 15 µg/m untuk durasi pengukuran 1 tahun. Bila dibandingkan dengan nilai baku mutu World Health Organization (WHO), nilai baku mutu untuk PM2,5 yang ditetapkan oleh Pemerintah nilainya masih di atas nilai baku mutu yang ditetapkan oleh WHO, dimana nilai baku mutu 3 yang ditetapkan oleh WHO adalah 25 µg/m . Melihat perbedaan nilai baku mutu yang hampir separuh dari baku mutu yang ditetapkan oleh P e m e ri n t a h , a d a b a i kn ya d i l a ku ka n pembaharuan dan kajian mengenai perubahan nilai baku mutu PM2,5 di Indonesia. Hal ini d id a sa ri ba hwa d a la m 20 ta hun seja k diterbitkannya PP tersebut penelitian-penelitian dan pemantauan yang berkaitan dengan partikulat, khususnya PM2,5, sudah dilakukan di Indonesia. Meskipun belum banyak jumlahnya, namun pemantauan dan penelitian yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai masukan dalam pembaharuan nilai baku mutu PM2,5 di Indonesia.
PM2,5 dapat terbentuk dari banyak proses alami dan antropogenik, misalnya aktivitas rumah tangga sehari-hari seperti memasak di dapur pun dapat menghasilkan PM2,5. Hal ini menjadi semakin berbahaya jika PM2,5tersusun dari unsur kimia berbahaya. Lima aktivitas manusia yang menjadi penghasil terbesar PM2,5 antara lain adalah penggunaan kendaraan bermotor yang berbahan bakar fosil, pembangkit listrik tenaga uap khususnya yang berbahan bakar batubara, kegiatan industri, pembakaran sampah baik skala rumah tangga maupun skala besar, dan penggunaan kayu bakar untuk memasak. Penduduk di Indonesia, masih banyak yang sehari-hari memasak dengan menggunakan kayu bakar, terutama penduduk di daerah pedesaan. Meningkatnya penggunaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik dapat menjadi bom waktu terhadap kesehatan masyarakat secara luas, baik masyarakat di sekitar tambang, maupun masyarakat di sekitar pembangkit listrik. Bahkan, kawasan yang jauh dari sumber emisi pun terdampak juga akibat angin skala meso. Selain itu, proses transportasi batubara juga berpotensi memindahkan PM2,5 ke lokasi yang dilaluinya. mengalami penurunan. Lansia-lansia yang memiliki umur panjang umumnya berasal dari negara maju yang memiliki kesadaran akan lingkungan sehat yang tinggi. Kelompok ke e m p a t a d a l a h p e n d e ri ta p e n ya ki t pernapasan dan kardiovaskular, dan kelompok terakhir adalah olahragawan. Dengan menggabungkan analisis resiko dari Global Burden of Disease Project yang dilakukan oleh The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan kadar PM2,5 tahunan, Greenpeace menghitung adanya peningkatan resiko kematian akibat stroke sebesar hampir 2,5 kali di Cibubur, dan sekitar 2 kali lipat di wilayah Tambun, Setiabudi, Ciledug, Kebagusan, Depok, Cikunis, Jatibening, dan Warung Buncit. Saat ini bagaimanakah tingkat kualitas lingkungan hidup di Indonesia? Kondisi lingkungan hidup di Indonesia biasanya dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setiap tahunnya dalam laporan Status Kualitas Lingkungan Hidup. Sayangnya, tidak banyak masyarakat yang memberi perhatian khusus pada informasi tersebut. KLHK melalui Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada tanggal 12 Maret 2019 menyampaikan bahwa selama tahun 2018 terdapat 34 hari berkualitas udara Baik, 122 hari berkualitas udara Sedang, dan 1 96 hari berkualitas udara Tidak Sehat. Bagaimana dengan daerah-daerah lain di Indonesia? Bagaimana kontribusi LAPAN dalam memantau kualitas udara di Indonesia? LAPAN, khususnya Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer d i Ba nd u ng, pa d a pertengahan tahun 201 8 mendapat hibah sebuah alat ukur Palm Sized Optical PM2,5 Sensor.
Siapa saja yang rentan terhadap serangan PM2,5? Greenpeace mencatat ada lima kelompok yang rentan. Pertama adalah kelompok anak-anak, yaitu berpengaruh pada perkembangan otak dan ketahanan tubuh. Setiap orang tua tentunya sangat tidak berharap generasi penerusnya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dan daya tahan tubuh yang lemah. Kelompok kedua adalah ibu-ibu hamil yang apabila terkena paparan PM2,5 dapat membahayakan janin yang ada dalam kandungan. Kelompok ketiga adalah lansia yang sistem metabolismenya sudah banyak

Hibah ini sebagai bagian dari aktifnya peneliti PSTA dalam melakukan riset bersama Universitas Nagoya melalui Prof. Takashi Shibata. Sensor tersebut merupakan hasil perekayasaan Universitas Nagoya (Prof. Yutaka Matsumi) bekerja sama dengan Panasonic Corporation, Jepang. Sensor ini berukuran sangat mungil dan bekerja berdasarkan proses hamburan sinar laser yang disebabkan oleh PM2,5. Partikulat yang sangat halus ini bersama-sama dengan udara masuk ke dalam sebuah chamberatau ruangan yang disinari oleh sinar laser pada panjang gelombang 625 nm, dan sensor ini memberikan hasil pembacaannya setiap 6 detik atau near real time. Ukuran partikulat halus yang dapat dilihat oleh sensor ini adalah ~ 3 µm.

diduga terjadi karena posisi pengukuran di sekitar bandara Husein Sastranegara yang memiliki aktivitas penerbangan cukup aktif, dan tidak jauh dari kepadatan lalu lintas di sekitarnya, atau bisa juga sebagai akibat dari aktivitas industri di daerah-daerah sekelilingnya misalnya Cimahi, Padalarang, dan Bandung Timur.
Contoh hasil pengukuran dari alat Palm Sized Optical PM2,5 Sensor ditunjukkan seperti pada Gambar 4, yang menampilkan nilai ratarata PM2,5 tiap jam di Bandung, dengan rata3 rata harian sebesar 41,28 µg/m . Nilai ini masih di ba wa h ba ta s a m a n ya n g d iteta pka n pemerintah melalui PP No 41/1999 yaitu sebesar 3 65 µg/m untuk paparan selama 24 jam. Namun demikian, jika mengikuti baku mutu yang 3 ditetapkan oleh WHO, yaitu sebesar 25 µg/m , maka paparan PM2,5 hasil pengukuran di Bandung tersebut telah melebihi batas aman. Mari kita coba bandingkan hasil ini dengan pengukuran PM2,5 di Jambi, hasil pengukuran BMKG (https://www.bmkg.go.id/kualitasudara/informasi-partikulat-pm25.bmkg). Pada tanggal 26 Maret 201 9 hasil pengukuran konsentrasi rata-rata tiap jam PM2,5 kurang dari 5 3 µg/m , atau di bawah ambang batas yang diizinkan oleh PP 41/1999. Tingginya konsentrasi PM2,5 pada pengukuran di kantor LAPAN dapat
Gambar 4. Hasil pengukuran pada tanggal 28 Februari 2019, dihitung setiap jam dari pengukuran setiap 6 detik.
Penelitian untuk mengungkap selukbeluk PM2,5 tentunya sangat diperlukan demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat. Bagi peneliti PSTA, ini merupakan tantangan tersendiri dan kesempatan yang semestinya tidak dilewatkan. Kolaborasi dengan instansi pemerintah lainnya yang telah lama melakukan pemantauan dan penelitian mengenai PM2,5 seperti BATAN dan Kementerian LHK, juga perlu dilakukan sehingga hasil yang diperoleh akan lebih optimal.
(Penulis: Saipul Hamdi) SERBA-SERBI