
4 minute read
Fraksi Liputan Awan dan Suhu Permukaan Indonesia dari Satelit EOS-Aqua
sumber gambar : NASA
Satu hal yang sangat mempesona dari citra rupa bumi yang diperoleh dari antariksa adalah awan. Awan bergerak mengelilingi planet bumi dengan ”kuasi terorganisir” dalam skala yang sangat luas. Karakter dan pergerakan awan, sangat dipengaruhi oleh sirkulasi atmosfer skala global. Hal ini merupakan manifestasi esensial dari sistem cuaca di bumi. Awan-awan es pada level yang tinggi seperti awan sirus dan sirostratus muncul di lapisan atas troposfer dan memiliki luasan lebih dari 20% terhadap luas bola bumi. Awan-awan ini juga memiliki pengaruh besar terhadap budget radiasi bumi maupun siklus hidrologi, terutama yang terjadi di lapisan atas troposfer. Tidak seperti awan air-cair, awan es terjadi di level yang tinggi, di bawah temperatur udara yang rendah/dingin, dan biasanya juga memiliki sifat ketebalan optis yang tipis sehingga semi transparan terhadap radiasi matahari (gelombang pendek) dan radiasi terestrial bumi (gelombang panjang). Awan-awan es ini merupakan salah satu faktor yang menjaga temperatur troposfer bawah maupun di permukaan bumi relatif hangat melalui suatu proses/fenomena yang disebut efek rumah kaca. Dua fenomena alam yang berkaitan dengan interaksi antara radiasi dan awan yang sangat penting dan menarik perhatian para peneliti sains atmosfer adalah fenomena efek rumah kaca dan efek albedo. Efek rumah kaca memiliki kecenderungan menghangatkan lapisan troposfer bawah, termasuk permukaan bumi, sedangkan efek albedo memiliki kecenderungan mendinginkan lapisan troposfer bawah maupun permukaan bumi. Profil vertikal dari sifat mikrofisis awan dan batas ketinggian awan juga merupakan parameter penting untuk mengestimasi profil kecepatan pemanasan radiatif dan forcing radiatif awan yang memiliki pengaruh besar terhadap sistem iklim di bumi. Telah disebutkan di atas bahwa awan dan suhu permukaan bumi memiliki keterkaitan dalam hal proses pemanasanpendinginan atmosfer akibat adanya transfer radiatif yang bersumber dari radiasi matahari. Artikel ini akan membahas bagaimana korelasi antara fraksi liputan awan terhadap suhu di permukaan bumi serta bagaimana distribusi spasial awan dan suhu permukaan khususnya di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI), yang diamati melalui observasi satelit Earth Observation System (EOS) – Aqua. Berdasarkan data pada periode Desember, Januari dan Februari (DJF) 2003-2004, fraksi liputan awan yang besar (62,51% - 73,60%) terjadi di pulau-pulau besar Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) dan Laut Jawa serta Laut Arafura (Gambar 1). Sementara pola cakupan wilayah untuk temperatur permukaan yang memiliki nilai yang besar antara 304,7-313,2 K (Gambar 2) tidak terjadi di pulaupulau besar Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) dan Laut Jawa serta Laut Arafura, tetapi terjadi di wilayah Australia. Hal ini mengindikasikan bahwa luasan daerah tutupan awan tidak berkorelasi secara linier dengan fluktuasi temperatur udara permukaan pada periode tersebut. Sebagai catatan, tahun 2003-2004 merupakan tahun normal, dimana tidak ada kejadian El-Niño maupun La-Niña, yang ditandai dengan nilai Oceanic Niño Index (ONI) pada saat itu sebesar 0,3.
Advertisement

Gambar 1. Fraksi liputan awan (C loud Fraction) di B enua Maritim Indonesia dan sekitarnya, perioda DJF 2003-2004.

Gambar 2. Temperatur permukaan (K) di B enua Maritim Indonesia dan sekitarnya, perioda DJF 2003- 2004.
Secara spasial longitudinal, wilayah Indonesia bagian tengah yang membentang antara 1 20° BT – 135° BT merupakan daerah dengan nilai suhu permukaan yang tinggi, sekaligus merupakan wilayah dengan nilai fraksi liputan awan yang rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya (Indonesia bagian barat, 95° BT – 11 0° BT dan Indonesia bagian timur, 137° BT – 141° BT). Hal ini bersesuaian dengan Tjasyono (2004) yang menunjukkan bahwa wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) pada rentang sekitar 1 20° BT merupakan bagian pusat konveksi dari sel Walker maupun sel Hadley (bagian wilayah yang memiliki updraft atau gerakan massa udara ke atas yang tinggi). Scatter plot antara nilai fraksi liputan awan dan suhu permukaan secara keseluruhan di wilayah BMI dengan rentang pengamatan Desember 2003 sampai Desember 201 0, menunjukkan bahwa ke dua parameter ini memiliki hubungan yang berkebalikan, dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = - 0, 1372 (Gambar 4). Korelasi negatif ini menandakan apabila nilai fraksi liputan awan tinggi, maka suhu permukaan akan rendah, dan begitu pula sebaliknya. Secara spasial, nilai korelasi negatif yang besar (r = -0, 6 sampai -1 ,0) antara fraksi liputan awan dengan temperatur permukaan di wilayah Indonesia pada periode tersebut terjadi di sebagian besar pulau J awa, Bengkulu dan Lampung, Sulawesi Selatan serta Papua Timur (Gambar 5). Sedangkan nilai korelasi positif yang besar (r = 0, 6 sampai 1 ,0) terjadi di sebagian kecil Samudera Hindia sebelah selatan J awa dan NTB, serta Laut Arafuru sebelah selatan Papua dengan rentang data Desember, J anuari dan Februari (DJF) tahun 2003-2004. Gambar 4. Fraksi liputan awan-Temperatur Permukaan (Scatter Plot) di Indonesia dan sekitarnya, perioda DJF 2003-2010.


Gambar 5. Korelasi fraksi liputan awan-temperatur permukaan di Indonesia dan sekitarnya, perioda DJF 2003- 2010.
(Oleh : Arief Suryantoro)