8 minute read

Smart Environment” Aerosol:Partikel Kecil Berdampak Besar

Aerosol: Partikel kecil berdampak besar

Aerosol di atmosfer kota Jakarta membatasi jarak pandang (visibilitas) dan membuat langit tampak berkabut (sumber gambar: https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-44882631 )

Advertisement

Aerosol merupakan partikel padat atau cair yang melayang di udara dan berukuran sangat kecil. Tak terlihat secara kasat mata, tetapi dalam jumlah yang sangat banyak, keberadaannya dapat dirasakan karena aerosol mampu menghamburkan dan menyerap sinar matahari. Hamburan sinar matahari akibat aerosol dapat mengurangi jarak pandang dan membuat matahari tampak kemerahan ketika terbit atau terbenam. Meskipun berukuran sangat kecil, partikel ini mempunyai peran besar dalam sistem iklim dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.

Di atmosfer, aerosol hampir selalu ada dan tersebar dimana-mana, bahkan ketika kondisi cuaca sedang cerah. Tanpa disadari, setiap kali kita menghirup udara, baik ketika di luar maupun di dalam ruangan, jutaan partikel aerosol ikut masuk ke dalam saluran pernapasan. Zat yang sangat sering kita temui dalam kehidupan seharihari ini memiliki bentuk dan jenis yang sangat beragam. Aerosol memiliki dampak yang cukup kompleks terhadap sistem di atmosfer, sehingga masih menjadi kajian menarik bagi para peneliti khususnya yang terkait dengan perubahan iklim. Jenis aerosol bervariasi menurut sumber, dimensi, dan komposisi kimianya. Berdasarkan sumbernya, aerosol dapat dikategorikan menjadi dua yaitu yang berasal dari alam (natural) dan dari aktivitas manusia (antropogenik).

Buletin Antasena Januari - Juni 2019 30 Sebagian besar (sekitar 90%) aerosol yang berada di Bumi bersifat alami, seperti partikel garam laut (sea salt ), debu vulkanik dan kebakaran hutan. Sisanya, aerosol antropogenik (sekitar 10%), meskipun sedikit namun sering kali mendominasi daerah perkotaan dan wilayah industri. Aerosol juga dapat digolongkan berdasarkan ukuran dan bentuknya, berkisar mulai dari hanya beberapa nanometer (sebesar virus terkecil) sampai puluhan mikrometer (sekitar diameter rambut manusia). Dalam beberapa bidang terkait lingkungan dan kesehatan, istilah baku yang digunakan untuk merujuk pada aerosol adalah particulate matter (PM, materi partikulat), yang dikelompokkan berdasarkan dimensinya. Berdasarkan dimensinya, partikulat ada yang dikelompokkan dalam PM 10 , PM 2.5 , PM 0.1 , dan sebagainya. PM 10 merupakan partikulat dengan diameter aerodinamik kurang dari 10μm, dan seterusnya. Dengan kemajuan teknologi pengamat partikulat maka akan dapat dideteksi dimensi partikulat yang semakin kecil.

Dengan ukuran yang sedemikian kecil, aerosol dapat dengan mudah masuk ke dalam saluran pernapasan dan menumpuk di paru-paru. Hal ini yang menyebabkan timbulnya penyakit pernapasan, asma hingga penyakit jantung. PM 2.5 bahkan dapat memperparah penyakit tersebut hingga memicu kematian dini. Dampak buruk lain dari aerosol, terutama yang mengandung sulfat atau nitrat, adalah dapat memicu terjadinya hujan asam. Ketika berada di atmosfer, aerosol yang mengandung asam

terlarut dalam molekul air dalam bentuk awan, yang kemudian terdekomposisi jatuh bersama hujan. Beberapa masalah lingkungan seperti rusaknya permukaan tanaman, berkurangnya kesuburan tanah, dan korosi pada bangunan dapat timbul sebagai akibat dari hujan asam. Peran dalam sistem iklim Selain menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan, aerosol memiliki peran penting dalam sistem cuaca dan iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi antara aerosol dengan radiasi matahari secara langsung dapat mengubah kesetimbangan energi dan mempengaruhi pola cuaca. Tidak semua radiasi matahari, yang merupakan sumber energi utama pada sistem iklim, dapat menembus atmosfer dan sampai ke permukaan bumi. Adanya aerosol dan awan mencegah radiasi matahari masuk dengan memantulkannya kembali ke angkasa. Kemampuan aerosol untuk menyerap, menghamburkan atau memantulkan radiasi ini tergantung pada karakteristik sika dan kimianya. Sebagian besar aerosol lebih bersifat reektif, yaitu memantulkan kembali radiasi yang diterima dari matahari. Aerosol seperti ini, misalnya sulfat/nitrat murni dan sea salt, memantulkan hampir seluruh radiasi matahari sehingga memberikan efek pendinginan di atmosfer. Jenis aerosol lainnya memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi yang lebih besar, seperti black carbon , yang menyebabkan pemanasan di atmosfer di tempat aerosol itu berada, namun tetap menahan sinar matahari masuk ke permukaan sehingga di permukaan mengalami pendinginan. Dampak tidak langsung aerosol terhadap sistem iklim di atmosfer adalah keterkaitannya dalam memodikasi inti kondensasi awan. Aerosol memiliki efek yang kompleks terhadap awan dan hujan. Umumnya, tipe aerosol yang sangat halus ( ne aerosol) menyebabkan terbentuknya awan dengan ukuran butiran awan (cloud droplet) yang lebih kecil dengan jumlah yang sangat banyak. Beberapa contoh aerosol alami: debu gurun, volatile organic compounds (VOC), asap kebakaran hutan, dan debu vulkanik. (sumber gambar: https://www.giss.nasa.gov/) Hal ini menyebabkan awan bersifat reektif terhadap radiasi matahari (meningkatkan albedo) serta memperpanjang waktu hidup awan. Meskipun pada umumnya aerosol menyebabkan ukuran butir awan lebih kecil dan cenderung mencegah pembentukan hujan, namun saat kondisi tertentu, jenis aerosol lainnya, yaitu yang lebih kasar atau tipe coarse, bersifat larut dalam air, sehingga membuat ukuran butiran awan menjadi lebih besar. Awan tersebut kemudian dapat tumbuh secara vertikal dan berpotensi menimbulkan hujan lebat disertai petir. Dalam hal ini, tipe aerosol menjadi faktor penentu bagaimana aerosol memberikan pengaruh terhadap awan dan hujan. Dalam konteks perubahan iklim, estimasi kuantitatif seberapa besar pengaruh aerosol terhadap pemanasan global masih memiliki ketidakpastian yang tinggi. Hal ini karena luasnya cakupan aerosol dengan beragam karakteristik dan properti baik sika dan kimianya. Meskipun secara umum aerosol memberikan efek pendinginan, namun bukan berarti dapat menghilangkan efek pemanasan seperti yang dihasilkan dari gas-gas rumah kaca. Dampak pendinginan dari aerosol umumnya bersifat lokal dan regional, sementara efek gas rumah kaca lebih bersifat global. Ketidakpastian yang tinggi ini menyebabkan validitas dari model-model proyeksi iklim menjadi terbatas. Melihat pentingnya peran aerosol dalam sistem iklim, kajian untuk meningkatkan pemahaman terkait aerosol dan efeknya tentu sangat diperlukan. Pentingnya pengukuran aerosol Meskipun telah diketahui sejak puluhan tahun lalu bahwa aerosol berpengaruh terhadap iklim, pengukuran aerosol dirasa masih kurang memadai. Pada masa sekarang, para peneliti dapat memanfaatkan data aerosol yang berasal dari satelit, pesawat, maupun peralatan pengukuran di permukaan untuk pemantauan aerosol. Parameter terukur yang biasa diamati adalah aerosol optical depth (AOD), merupakan ukuran seberapa banyak sinar matahari dapat menembus atmosfer sampai

Efek pemanasan dan pendinginan dari aerosol black carbon. Aerosol ini lebih bersifat menyerap radiasi daripada memantulkannya, menghangatkan lapisan atmosfer namun juga menghalangi radiasi sehingga mendinginkan permukaan (sumber: https://earthobservatory.nasa.gov/Features/Aerosols).

Pengaruh tidaklangsung aerosol terhadap awan dan hujan. Di daerah yang bebas polusi, awan tampak berwarna hitam dan transparan karena jumlah butiran awan (droplet) cenderung lebih sedikit (kiri). Sementara di daerah dengan konsentrasi aerosol tinggi, umumnya uap air dapat dengan mudah terkondensasi dan menghasilkan butiran awan kecil dalam jumlah yang banyak (kanan). Awan ini biasanya lebih tebal, berwarna putih dan bersifat reektif terhadap radiasi matahari. (sumber: https://earthobservatory.nasa.gov/Features/Aerosols)

di permukaan bumi akibat terhalang oleh aerosol. AOD tidak memiliki satuan (dimensionless). AOD antara 0 – 0,05 mengindikasikan kondisi cerah dengan kandungan aerosol yang sangat sedikit dan visibilitas maksimum. Sementara nilai AOD mendekati atau lebih dari 1 menunjukkan keberadaan aerosol dengan konsentrasi yang tinggi, tebal (berkabut), dan membatasi jarak pandang. Sebagai gambaran, rata-rata nilai AOD diamati pada bulan April – September 2016 dari pengukuran satelit Himawari-8 di atas wilayah daratan Indonesia diketahui berkisar antara 0,2 – 0,7. Selain AOD, properti optis aerosol yang juga sering dipantau dari instrumen pengukur aerosol adalah single scattering albedo (SSA), yang mengindikasikan proporsi radiasi matahari yang dihamburkan terhadap total yang diterima. SSA memberikan gambaran apakah partikel aerosol bersifat lebih banyak memantulkan (reektif) atau menyerap radiasi (absorbing). Properti ini juga berguna untuk mengetahui apakah tipe aerosol tertentu memberikan efek pendinginan atau pemanasan pada atmosfer. Umumnya, nilai SSA berkisar antara 0,7 (tipe absorbing, contohnya black carbon/soot) sampai mendekati 1 (tipe reektif, seperti pasir dan partikel garam laut). Pengukuran aerosol dari satelit memiliki beberapa kekurangan, terutama yang berkaitan dengan akurasi data. Seperti misalnya untuk wilayah Indonesia, beberapa produk satelit (seperti AOD dari MODIS dan satelit Himawari-8) menghasilkan nilai yang lebih besar (overestimate) ketika dibandingkan dengan data observasi di permukaan, terutama di atas wilayah daratan. Hal ini terkait dengan kompleksitas permukaan di daratan dengan sumber dan tipe aerosol yang beragam. Keterbatasan data aerosol dari satelit juga disebabkan oleh tingginya tutupan awan. Seringkali sensor satelit, yang memanfaatkan kanal visible, tidak dapat membedakan sinyal aerosol yang diterimanya dengan awan-awan tipis seperti cirrus. Nilai AOD satelit yang lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh adanya campuran dengan awan tipis tersebut. Sebagai tambahan, tingginya tutupan awan, terutama di Indonesia, juga menyebabkan keterbatasan jumlah data yang dapat diturunkan oleh satelit, karena pengukuran hanya dapat dilakukan pada kondisi cerah (clear sky). Meskipun demikian, pengukuran dari satelit

Rata-rata AOD (550 nm) dan SSA di atas wilayah daratan Indonesia hasil penurunan dari data satelit Himawari-8 selama periode April – September 2016. Konsentrasi aerosol tertinggi terdistribusi di Pulau Jawa dan Sumatera (Risyanto, 2018)

ini tetaplah penting mengingat secara spasial mampu mengamati wilayah yang sangat luas. dalam jaringan ini tidak banyak. Sampai dengan saat ini, hanya ada sembilan stasiun AERONET yang terdapat di wilayah Indonesia. Seperti telah disebutkan sebelumnya, aerosol memiliki peran yang sangat penting dalam sistem iklim. Membangun jaringan pengamatan pengukuran aerosol di permukaan yang lebih baik, serta meningkatkan akurasi metode observasi aerosol dari satelit penting dilakukan untuk menjawab seberapa besar efek pendinginan atau pemanasan aerosol terhadap bumi dan atmosfer, atau setidaknya mengurangi ketidakpastian dalam perhitungan dampak tersebut. Besarnya kontribusi aerosol dalam perubahan iklim dan belum terukurnya dampak yang ditimbulkan secara kuantitatif, membuat ruang bagi penelitian dan kajian aerosol tetap terbuka lebar.

Monitoring aerosol melalui satelit pada dasarnya mampu memberikan perspektif baru secara global untuk memahami bagaimana aerosol berpengaruh terhadap sistem iklim, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Informasi dari instrumen pengamatan aerosol di permukaan tetap diperlukan untuk validasi satelit dan menjadi sumber data aerosol yang paling akurat. Salah satu jaringan pengamatan aerosol global terlengkap, yang disponsori oleh NASA, adalah Aerosols Robotic Network atau AERONET. Tingkat akurasi data AERONET cukup tinggi, dengan rentang kesalahan pengukuran AOD sebesar ±0,01 sampai ±0,02. Terdapat total lebih dari 1000 titik pengamatan aerosol tersebar di seluruh dunia. Sayangnya, jumlah pengukuran di Indonesia yang termasuk Satu set peralatan pengamat aerosol di permukaan yang digunakan dalam jaringan AERONET. Sunphotometer, dilengkapi dengan antena, panel surya dan weather box (sumber gambar: https://aeronet.gsfc.nasa.gov/).

(Penulis: Risyanto)

This article is from: