Majapahit Dalam Perbincangan Hari Ini
Bunga Rampai Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia IV

Editor:
Asyhadi Mufsi Sadzali, Larasati Dena Mardhika, M. Hasbiansyah Zulfahri, Rochtri A. Bawono, Yadi Mulyadi
Yayasan ARSARI Djojohadikusumo
Bunga Rampai Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia IV
Penanggung Jawab Direktur Eksekutif Yayasan ARSARI Djojohadikusumo
Editor
Asyhadi Mufsi Sadzali Larasati Dena Mardhika M. Hasbiansyah Zulfahri Rochtri A. Bawono Yadi Mulyadi
Desain Sampul dan Tata Letak Andisis
Foto Catrini Pratihari Kubontubuh Cresentia Zita Oktaviani Dokumentasi Yayasan ARSARI Djojohadikusumo M. Hasbiansyah Zulfahri Tito Suryawan
Diterbitkan oleh: Yayasan ARSARI Djojohadikusumo Jl. Veteran I/27 Jakarta 10110 Jl. Penjernihan II/7 Jakarta 10210 www.yad.or.id @2021
Cetakan I, Desember 2020 Cetakan II, Desember 2021
ISBN :
Hak Cipta dilindungi Undang-undang All rights reserved
Pada 727 tahun yang lalu babakan sejarah Nusantara ditandai dengan kelahiran Kerajaan Majapahit di hari ke-15 bulan Kartikan tahun Caka 1215 atau perhitungan Masehi adalah hari ke-12 bulan ke-11 yakni November tahun 1293 yang merupakan hari pelantikan Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit (Kidung Harsya Wijaya Demung VI 84b-85b). Jejak kejayaan Majapahit telah mulai diungkap oleh para peneliti sejak masa kolonial hingga kini. Penelitian lapangan terutama dilakukan di Trowulan yang diyakini sebagai kota raja yaitu ibu kota Kerajaan Majapahit. Penuturan narasi kebesaran Majapahit juga dicatatkan dalam prasasti, tinggalan arkeologis maupun karya-karya sastra pujangga pada masanya serta catatan perjalanan para pengembara yang berkunjung ke Majapahit dalam urusan perdagangan, penyebaran agama, maupun diplomasi penguasa dunia masa itu.
Penelitian tentang Majapahit terus dilanjutkan hingga kini. Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (YAD) berbangga untuk bisa terus memberikan dukungan bagi pelaksanaan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) yang dimulai sejak tahun 2008 dan masih berlangsung hingga kini. Penelitian besar ini digagas oleh Hashim Djojohadikusumo, Ketua YAD yang sangat mencintai sejarah dan berharap kegiatan ekskavasi di Trowulan tidak hanya bermanfaat bagi penelusuran bukti-
bukti kejayaan Majapahit namun juga memberikan kesempatan kepada pengajar dan mahasiswa arkeologi untuk mempraktikkan penelitian arkeologis di lapangan secara langsung. Kegiatan ini melibatkan perguruan tinggi se-Indonesia yang mengampu bidang ilmu arkeologi serta didukung penuh oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Pada awalnya perguruan tinggi yang menjadi motor penelitian ini adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Udayana. Saat ini telah bergabung pula Universitas Halu Oleo dan Universitas Jambi.
Di tengah pandemi Covid-19 diselenggarakan PATI IV tahun 2020–2021 dengan segala keterbatasan yang dihadapi. Para peneliti khususnya arkeolog yang dikoordinir oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Universitas Hasanuddin bersama-sama YAD tetap semangat dalam melakukan ekskavasi selama bulan Agustus-September 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan. Besar harapan hasil perekaman data yang didapatkan bisa melengkapi rekonstruksi narasi kebesaran Mapajahit yang kini semakin banyak bermunculan dan menunggu untuk diteliti lebih mendalam.
Sebaran kemunculan bukti-bukti kebesaran Majapahit berupa artefak, struktur, dan temuan arkeologis lainnya di berbagai penjuru hingga hari ini terus dihimpun dan dirangkaikan dalam jalinan peradaban besar Nusantara untuk menjadi satu narasi yang utuh. Keragaman kekayaan tinggalan Majapahit yang terpadat adalah di kotaraja Trowulan, serta Jawa Timur secara luas. Penelitian tentang Majapahit saat ini juga tersebar di Indonesia bagian Barat dan Timur yang diyakini memiliki keterkaitan dengan Majapahit baik akibat hubungan langsung maupun pengaruh berupa inspirasi dari kemajuan perdagangan, tata kelola pemerintahan, karya budaya, serta aspek lainnya. Sebaran pemikiran dan gagasan yang saling melengkapi satu
sama lain akan sangat bermanfaat apabila dapat dipadukan dalam satu rangkaian bunga rampai sebagaimana halnya buku ini, Bunga Rampai: Majapahit Dalam Perbincangan Hari Ini
Kami berharap tulisan segenap peserta PATI IV baik perwakilan dosen dan mahasiswa mengenai hasil kegiatan PATI IV yang disajikan dalam bentuk tulisan popular ilmiah dalam buku ini dapat bermanfaat untuk melengkapi potonganpotongan narasi yang telah dirajut selama ini. Layaknya sinar Surya Majapahit yang senantiasa menerangi bumi dan memberikan pencerahan inspirasi secara luas, maka besar harapan buku ini dapat memberikan gagasan-gagasan baru untuk masyarakat luas, khususnya generasi muda untuk lebih mengenal serta bersemangat dalam meneruskan nilai-nilai luhur Majapahit dalam dinamika masa kini maupun masa ke depan.
Dirgahayu 727 Majapahit – Kadi Dipa Amaḍaṅi Bhumi
12 November 2020
Hashim S. Djojohadikusumo
Ketua Yayasan ARSARI Djojohadikusumo
Daftar Judul dan Nama Penulis
1. Ketidakutuhan Trowulan dan Signifikansinya Catrini Pratihari Kubontubuh
2. Nāgarakṛtāgama, Narasi Kebesaran Majapahit di Berbagai Penjuru Negeri Ni Ketut Puji Astiti Laksmi
3. Surya Majapahit di Bumi Malayupura Asyhadi Mufsi Sadzali
4. Jejak Dewa Pelebur di Situs Kumitir Muhamad Satok Yusuf, Cresentia Zita Octaviani
5. Rekam Jejak Majapahit Hari Ini Marselina Sura
6. Jangan Gaptek Demi Leluhur Bangsa Nurul Afni Sya’adah
7. Masyarakat dan Situs Kumitir Dantoen Sidik Noor
8. Pelayaran Terakhir Majapahit ke Timur Jauh Asyhadi Mufsi Sadzali
9. Situs Kumitir dan Keahlian Para Teknik Sipil Isa Akbarulhuda
10. Mengupas Terpendamnya Situs Pendharmaan Sang Narasinghamurti Nensi Yuliyanti Dewi
11. Menggali Kumitir di Tengah Pandemi: Sebuah Rekam Proses Nur Ihsan D, Yusriana, Sofyan Setia Budi, Khaidir Siradjuddin, Kibagus Maulana Prayoga.
12. Refleksi Empat Belas Tahun Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) M. Hasbiansyah Zulfahri.
Pengantar............................................................................................................. i
Majapahit Dalam Perbincangan Hari Ini iv
Ketidakutuhan Trowulan dan Signifikansinya .................................................... 1
Nāgarakṛtāgama, Narasi Kebesaran Majapahit di Berbagai Penjuru Negeri ...... 21
Surya Majapahit di Bumi Malayupura ................................................................ 31 Jejak Dewa Pelebur di Situs Kumitir .................................................................. 46
Rekam Jejak Majapahit Hari Ini ......................................................................... 58 Jangan Gaptek Demi Leluhur Bangsa................................................................ 66
Masyarakat dan Situs Kumitir ............................................................................ 75 Pelayaran Terakhir Majapahit ke Timur Jauh ..................................................... 84 Situs Kumitir dan Keahlian Para Teknik Sipil .................................................... 96
Mengupas Terpendamnya Situs Pendharmaan Sang Narasinghamurti............... 113
Menggali Kumitir di Tengah Pandemi: Sebuah Rekam Proses .......................... 125
Refleksi Lima Belas Tahun Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (Pati) ....... 138
Biodata Penulis 147
Gambar 1. Perubahan paradigma pelestarian (Kubontubuh, 2020) 3
Gambar 2. Wilayah Kerajaan Majapahit Abad ke-14 Masehi (Cribb, 2000) 6
Gambar 3. Kawasan Trowulan (Kubontubuh, 2020) ............................................................. 15
Gambar 4. Foto fragmen arca ekskavasi Kumitir (Tim Kerja PATI IV, 2020). ...................... 48
Gambar 5. Foto fragmen jari menyangga cakra (roda api) (YouTube BPCB Jatim, 2021). ... 48
Gambar 6. Bakalan arca Ganesa (Yusuf). ............................................................................... 51
Gambar 7. Perbandingan arca Joko Slining dan arca Ganesa koleksi PIM. ........................... 52
Gambar 8. Peta lokasi ekskavasi Kumitir (Nugroho, 2020 yang telah dimodifikasi)............. 98
Gambar 9. Foto struktur bata pada bangunan inti (Nugroho, 2020). 99
Gambar 10. Foto batu andesit dan batu putih dengan teknik pengunci (Nugroho, 2020). ..... 101
Gambar 11. Foto kenampakan sisi luar dan tampak atas talud timur (Nugroho, 2020). ........ 102
Gambar 12. Foto sisi luar talud menggunakan bata gosok (Nugroho, 2020). ........................ 103
Gambar 13. Foto bagian tengah talud menggunakan spesi (Nugroho, 2021). ........................ 104
Gambar 14. Foto teknik gosok pada bagian luar talud (Nugroho, 2020). .............................. 104
Gambar 15. Foto dinding barat bagian dalam menggunakan isian (Nugroho, 2020). ............ 105
Gambar 16. Foto bagian dalam talud menggunakan isian (Nugroho, 2020). 106
Gambar 17. Foto keadaan bata pada bagian gerbang (Nuhroho, 2020).................................. 107
Gambar 18. Foto penggunaan teknik bata gosok pada rumah Bali (Suraditya, 2020). .......... 108
Catrini Pratihari Kubontubuh1 Latar
Wacana pelestarian telah berkembang dari masa ke masa. Dinamika zaman menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma di dalam kegiatan pelestarian. Pelestarian tidak sekedar penghormatan terhadap romantisme sejarah masa lalu. Pendekatan pelestarian semula berbasis monumen, objek tunggal dan bersifat fisik, kemudian diperluas menjadi berbasis lingkungan dan nilai atau nonfisik. Pelestarian juga melingkupi pertimbangan dan relevansi terhadap kebutuhan masyarakat, pelibatannya, dan partisipasi untuk memastikan keberlanjutan.
Pelestarian Trowulan sebagai Kawasan Ibu Kota Majapahit menghadapi tantangan besar dengan kondisi objek-objek cagar budaya yang tidak utuh lagi, rusak, dan bahkan hilang, tidak ada wujudnya lagi di masa kini. Penetapan signifikansi Trowulan berdasarkan kondisi fisik tinggalan yang tersisa tentunya tidak memungkinkan tanpa dilengkapi nilai-nilai nonfisik yang menyertainya. Tulisan ini merupakan bagian
1 Catrini Pratihari Kubontubuh, adalah Direktur Eksekutif Yayasan ARSARI Djojohadikusumo dan Ketua Dewan Pimpinan Bumi Pelestarian Pusaka Indonesi (BPPI/Indonesian Heritage Trust).
dari penelitian penulis dalam disertasi Program Doktor Arsitektur SAPPK-ITB2 yang mengkaji upaya penelusuran sejarah sebagai salah satu dasar penetapan signifikansi Trowulan. Dengan demikian, perumusan kebijakan penataan kembali ruang-ruang yang bernilai di masa lalu diharapkan dapat terintegrasi dengan pemanfaatannya di masa kini untuk keberlanjutannya di masa depan.
Teori dan praktik awal pelestarian dalam tradisi Barat sangat didominasi oleh bentukan fisik dan konsep autentisitas. Sementara, pelaksanaan di Timur lebih mempertimbangkan aspek nonfisik, serta bisa menerima perubahan-perubahan yang terjadi secara intrinsik dalam sejarah. Perubahan paradigma ini direfleksikan dalam Hoi An Protocol tahun 2009 dan Dokumen Nara + 20 tahun 2014 tentang praktik pelestarian dengan paradigma yang lebih luas. Terdapat tiga konsekuensi penting dalam pelaksanaannya, yakni pertama adalah pelestarian menyangkut sebuah proses untuk megintegrasikan tiga komponen kunci yaitu aspek fisik, signifikansi budaya, dan karakter masyarakat lokal. Kedua, pelestarian adalah pengelolaan perubahan (Ashworth, 1984). Pelestarian tidak hanya masalah fisik semata, tapi mencakup pula nilai dan fungsi objek tersebut, serta pengelolaan perubahan dalam dinamika masyarakatnya. Ketiga, pelestarian menjadi upaya untuk mempersiapkan dan membentuk masa depan.
Smith (2006) telah memberikan kritik keras terhadap wacana yang selama ini dilegitimasi dengan sebutan Wacana Resmi Cagar Budaya atau Authorised Heritage Discourse (AHD). Wacana ini mengutamakan otoritas pengetahuan
2 Disertasi berjudul “Model Konseptual Pelestarian Berbasis Kawasan bagi Cagar Budaya Tak Utuh, Studi Kasus: Kawasan Ibu Kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur” dengan promotor Prof. Dr. -Ing. Ir. Widjaja Martokusumo, Dr. Ir. Denny Zulkaidi, MUP, dan Prof. Peter Carey, BA, MA, DPhil.
para pakar mengenai masa lalu, serta lebih memperhatikan entitas fisik dari cagar budaya dalam pertimbangan pelestarian. Pergeseran paradigma dalam pelestarian selanjutnya dirangkum dengan istilah Expanding Heritage Discourse (EHD) yang merupakan perluasan pemikiran dalam wacara cagar budaya (Kubontubuh, 2020). Perluasan tersebut merumuskan perubahan paradigma pelestarian cagar budaya menjadi lebih mempertimbangkan aspek-aspek nonfisik. Perluasan wacana pelestarian melingkupi aspek-aspek nonfisik baik konteks lokal, aspek sosial, lingkungan, dan signifikansi budaya berdasarkan nilai dan atribut.
Dengan demikian, sangat diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan aspek nonfisik. Salah satu cara (tools) untuk menemukenali nilai-nilai dan aspek nonfisik adalah penelusuran sejarah. Pemahaman dan interpretasi data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis didapatkan melalui penelusuran hasil-hasil penelitian mengenai setiap peristiwa dalam babakan sejarah yang dilalui.
Penelusuran sejarah dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa penting yang berpengaruh terhadap keruangan (spasial) Trowulan. Hasil penelusuran sejarah akan berkontribusi pada perumusan signifikansi budaya. Urutan peristiwa penting dalam sejarah akan didalami melalui analisis sinkronik dan diakronik. Peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan sejarah Kerajaan Majapahit secara sinkronik akan dianalisis dalam kurun waktu sejak pembentukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 hingga masa kehancuran Trowulan sebagai ibu kota kerajaan. Sementara itu, penelitian diakronik adalah tahapan atau babakan sejarah Majapahit yang ditetapkan untuk memudahkan pendalaman proses sejarahnya.
Periode waktu sejak pembentukan Kerajaan Majapahit hingga tulisan ini diterbitkan sudah lebih dari 727 tahun, sehingga merupakan tantangan tersendiri dalam proses penelusuran sejarah Majapahit. Selain itu, terdapat data sekunder dari masa lampau berupa Kakawin Nāgarakṛtāgama atau Deśavarṇana (mulai ditulis 30 September 1365) dan Kakawin Pararaton (diduga ditulis pada awal abad ke16) yang merupakan catatan kronologis penting dari masa Majapahit. Keduanya tidak bisa langsung diakses oleh peneliti karena faktor bahasa dan kelangkaannya. Untuk menyikapinya, penelitian ini menggunakan interpretasi Nāgarakṛtāgama dari Mulyana (1979) dan Robson (1995) yang terbukti validitasnya.
Penelitian ini juga mengacu kepada terjemahan Pararaton oleh Hardjowadojo (1965). Kedua karya sastra yang ditulis oleh para pujangga tersebut pada masa kejayaan Majapahit, merupakan naskah penting dengan ketepatan uraian kronologis dan perhatian terhadap tatanan yang berlaku pada masa lampau (Pigeaud, 1960). Penelitian ini terutama memakai Kakawin Nāgarakṛtāgama dan Kakawin Pararaton sebagai acuan. Data sekunder lainnya
seperti prasasti, babad, maupun karya sastra lainnya yang masih memerlukan validitas akademis, akan didalami dalam penelitian ini sebatas literatur untuk memperkaya ilustrasi tentang keruangan Majapahit. Kakawin Nāgarakṛtāgama3 disusun oleh Mpu Prapanca, seorang pegawai senior jawatan Buddhis dari Kerajaan Majapahit. Kakawin Nāgarakṛtāgama terdiri dari 98 pupuh (Robson, 1995) yang dapat dikelompokkan menjadi uraian tentang raja dan keluarganya, kedaton, dan kota Majapahit.
Kakawin Nāgarakṛtāgama juga meliputi uraian tentang daerah-daerah yang dikunjungi oleh raja ke desa-desa bawahan Kerajaan Majapahit. Penelitian akan mendalami khususnya uraian terkait dengan kedaton sebagai pusat aktivitas di Kerajaan Majapahit, serta uraian mengenai kota Majapahit.
Trowulan dalam Masa Kejayaan Majapahit
Kejayaan Majapahit mengacu kepada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389). Prabu Hayam Wuruk didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada memimpin masa keemasan dengan kemajuan di berbagai bidang. Kondisi masyarakatnya yang sejahtera, tata pemerintahan dengan sistem kerajaan yang memiliki pengaruh politik dan perdagangan yang luas, serta berkembangnya seni budaya dan karya sastra merupakan hal-hal yang menjadi indikator kejayaan Majapahit dari uraian Kakawin Nāgarakṛtāgama.
3 Nāgarakṛtāgama artinya adalah ‘Negara dengan Tradisi (agama) yang suci’. Nama lainnya adalah Desāwarnana yang berarti ‘Deskripsi desa-desa’. Kakawin ini pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 dari perpustakaan Kedaton Mataram di Lombok oleh J.LA Brandes (1857–1905), seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok.Terjemahan modern dilakukan oleh Robson (1995).
Tokoh kunci kejayaan Majapahit adalah Mahapatih Gajah Mada yang memulai peranannya sebagai pengawal raja pada masa pemerintahan Prabu Jayanegara (1309–1328). Gajah Mada diangkat sebagai mahapatih pertama kali pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328–1351) dan mengucapkan Sumpah Palapa sebagaimana diuraikan dalam Pararaton. Realisasi Sumpah Palapa mencapai puncak penaklukan negara-negara lain dan perluasan perdagangan pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389). Peristiwa pengucapan
Sumpah Palapa ini sangat penting sebagai tonggak sejarah Majapahit. Peristiwa ini terutama mempengaruhi luasan bentuk ruang Majapahit dengan munculnya wilayah-wilayah bawahan yang tersebar luas.
Kakawin Nāgarakṛtāgama (wirama 13–16) menguraikan nama-nama wilayah bawahan baik di Pulau Jawa maupun pulau-pulau di luar Jawa sampai ke negara-negara di Asia (Robson, 1995 dan Riana, 2009). Secara terperinci, namanama wilayah bawahan Majapahit adalah:
1. Negeri Melayu (daerah bawahan pertama) meliputi Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kam par, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tumihang, Perlak, Padang, Hil was, Samudera, Batan, Lampung, dan Barus;
2. Pulau Tanjung meliputi terdapat Kapuas, Katingan, Sampit, Kutaling ga, Kutawaringin, Sambas, Lawai, Kadangdangan, Landa, Samedang, Tirem, Brunei Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutai, dan Malano;
3. Pahang meliputi Ujung Medini, Lengkasuka, Siamwang (Thailand), Kalanten (Kelantan), Tringgano (Trengganu), Johor, Paka, Muwar, Dungun, Tumasik (Singapura), Kedah Jerai, dan Kanjapiniran;
4. Bali meliputi Bedahulu (Bedulu) dan Goa Gajah;
5. Lombok meliputi Sukun, Taliwang, Dompo, Bima, Seran, Hutan Kada li, Sasak, Bantayan, dan Luwuk;
6. Wilayah timur meliputi Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galiyan, Selayar Sumba, Solot, Muar, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seram, serta Timor.
Negara asing antara lain Negeri Siam Ayodya Pura (Ayutthaya dari Siam), Darma Nagari (Ke-rajaan Nakhon Si Thammarat di Thailand Selatan), Marutma (Myanmar Selatan modern), Singha Nagari (Singora atau Songkla modern), Campa (Vietnam Selatan modern), Kamboja, dan Yawana (Annam di Vietnam).
Pengetahuan tentang nama-nama wilayah bawahan ini menunjukkan luasnya hubungan politik Majapahit pada masa itu. Salah satu bukti hubungan tersebut adalah ditemukannya banyak tinggalan arkeologis di Semenanjung Malaya yang menunjukkan keterkaitan kuat dengan raja Jawa (Miksic, 2014). Namun, sampai saat ini belum ada sumber yang jelas menyebutkan apakah semua wilayah tersebut adalah wilayah jajahan ataukah hanya merupakan wilayah bawahan dalam struktur jejaring perdagangan.
Nāgarakṛtāgama juga menerangkan struktur organisasi pemerintahan Majapahit yang berbentuk kerajaan dengan uraian struktur pejabat-pejabat bawahan raja. Uraian ini juga menyebutkan aktivitas keseharian dalam pemerintahan dan ruang yang dipakai dalam aktivitas tersebut. Selain itu, diuraikan pula material bangunan keraton, serta rincian tata letak bangunan dan fungsi dalam kedaton. Uraian dari Nāgarakṛtāgama ini telah diinterpretasikan oleh beberapa peneliti sejak masa kolonial sampai penelitian akademis masa kini.
Uraian tentang Kerajaan Majapahit tertulis pula dalam prasasti, walau belum ada penelitian yang mengkonfirmasikannya sebagai sumber data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa prasasti menjelaskan tentang peristiwa penting terkait keluarga kerajaan Majapahit seperti saat persembunyian raja dalam masa pelarian (Prasasti Kudadu, 1294), pernikahan raja (Prasasti Sukamerta, 1296), dan penobatan raja (Prasasti Balawi, 1305).
Prasasti yang penting informasinya bagi penelitian ini adalah Prasasti Sidateka (1323) dan Waringin Pitu (1447) yang menjelaskan tentang bentuk pemerintahan Majapahit. Penjelasan tentang 14 wilayah bawahan yang juga disebut ‘mandala’ dengan ‘Bhre (Sang / Yang Mulia)’ sebagai pimpinannya. Nama-nama Bhre dengan masing-masing wilayahnya dan penelusuran penelitian ini terhadap nama wilayah aktual antara lain Bhre Daha (Kediri), Bhre Kahuripan (Sidoarjo), Bhre Pajang (Surakarta), Bhre Wengker (Ponorogo), Bhre Wirabumi (Blambangan), Bhre Matahun (Bojonegoro), Bhre Tumapel (Malang), Bhre Jagaraga (Buleleng), Bhre Tanjungpura (Ketapang), Bhre Kembang Jenar (distrik wilayah Jawa Timur), Bhre Kabalan (Malang), Bhre Singhapura (Bawean), Bhre Keling (Kediri Timur), dan Bhre Kalinggapura (Jepara). Informasi ini memberikan gambaran pola sebaran daerah inti dari pusat Kerajaan Majapahit.
Selain itu terdapat pula kidung, kakawin, atau babad yang berisikan tradisi lisan berupa nyanyian dan puisi yang ditulis berbahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Namun sumber-sumber ini masih patut diverifikasi keakuratannya karena penulisannya dipengaruhi oleh unsur subjektif para penulisnya dalam rangka menyenangkan penguasa saat penulisan karya tersebut. Sumber-sumber tersebut dalam penelitian ini dipakai sebagai literatur pengayaan ilustrasi dan bukan sebagai data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam metodologinya.
Kakawin Arjunawijaya4 (1375) dan Kakawin Sutasona (ditulis antara tahun 1375-1389)5 oleh Mpu Tantular, adalah menggambarkan kehidupan keseharian di
4 Kakawin Arjunawijaya menguraikan peperangan antara Arjuna dan Rahwana, berdasarkan Uttara Kanda, bagian terakhir epos Ramayana. Kakawin ini ditulis oleh Mpu Tantular yang juga adalah keponakan Prabu Hayam Wuruk (bertakhta 1350–89) sehingga kehidupan keseharian di Kedaton Majapahit menjadi latar tulisan kakawin tersebut. Kedaton adalah bagian inti dari Keraton – daerah yang dipakai raja dan keluarga inti.
5 Tidak ada catatan tahun yang pasti, namun apabila dicermati bahwa kakawin yang disusun oleh Mpu Tantular sebelumnya yaitu Arjunawijaya baru selesai pada tahun 1375, maka Kakawin Sutasoma bisa jadi mulai ditulis setelah itu dan diselesaikan sebelum Prabu Hayam Wuruk mangkat tahun 1389.
Kerajaan Majapahit. Arjunawijaya dan Sutasoma menambahkan beberapa detail yang melengkapi rekonstruksi arkeologis lanskap ibu kota Majapahit dari deskripsi Nāgarakṛtāgama sebelumnya. Ahli Kakawin, sastra Jawa Kuno yaitu Suryo Supomo menegaskan bahwa deskripsi Kerajaan Alengka (Lĕngkā) dalam Kakawin Arjunawijaya mengacu pada pola ruang masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 (Supomo, 1977 dan Gomperts dkk., 2014: 49–56). Hal yang menarik dalam uraian Arjunawijaya adalah perincian informasi tentang kondisi lingkungan alam yang meliputi sawah dan tegalan, taman bunga, semak-semak, sungai, dan fungsi-fungsi khusus seperti pertapaan, tempat prajurit berkumpul dan berlatih perang, bangunan suci yang disebut dharma haji dan dharma lepas, serta lapangan serbaguna tempat beragam aktivitas.
Perbedaan mencolok Arjunawijaya dengan Nāgarakṛtāgama adalah dalam deskripsi kedaton. Terdapat uraian dalam Arjunawijaya yang mengemukakan bahwa material kedaton Majapahit adalah batu hitam (andesit) bukan batu bata merah. Nama negeri yang diceritakan di dalam Kakawin Arjunawijaya adalah Lĕngkā dengan rajanya Rahwana. Berdasarkan uraian Mpu Tantular tentang Lĕngkā dengan material kedaton berbeda maka kedaton yang dirujuk sebagai model dalam Kakawin Arjunawijaya ada dugaan kuat mengarah kepada salah satu kedaton dalam Kerajaan Majapahit yang ditinggali oleh Bre Wirabhumi, yaitu Candi Menakjinggo (Ménak Jingga). Kondisi candi ini tidak utuh, yakni berupa sisa reruntuhan struktur yang terbuat dari material batu hitam atau andesit. Material di candi ini berbeda dengan tinggalan lainnya di Trowulan yang semuanya terbuat dari bata merah. Selain material yang merujuk kepada Candi Menakjinggo, maka penggambaran Rahwana sebagai raja di Lĕngkā, mengarah juga kepada Bhre Wirabhumi yang digambarkan berperawakan tinggi besar sebagaimana dalam sketsa peninggalan arca di Candi Menakjinggo berdasarkan survei Wardenaar (1815).
Penelitian Maclaine Pont pada tahun 1926 juga terkait dengan Candi Menakjinggo. Ia mengemukakan bahwa sisa-sisa peninggalan yang terkumpul di Candi Menakjinggo merupakan sisa-sisa bangunan ‘pusat kedaton’. Pendapat Maclaine Pont ini belum terbukti keakuratannya dan bertentangan dengan peneliti lainnya seperti Wardenaar (1815), Vistarini (1931), Willems, Juli–Desember 1941 dalam Gomperts, dkk. (2014:72), dan Stutterheim (1948) di mana para peneliti ini telah membuat penelitian lapangan yang sangat teliti, termasuk survei situs dan survei arkeologi yang hasilnya menegaskan bahwa pusat kedaton adalah di Candi Kedaton.
Vistarini telah menemukan tembok kedaton timur (tembok barat ditemukan pada dasawarsa 1980-an dan diekskavasi oleh Kardono Darmoyuwono et al) sepanjang 2,6 km melalui ekskavasi pada tahun 1931 (Gomperts dkk., 2014). Namun, penelitian ini juga mencermati bahwa ada masa di mana Majapahit memiliki dua keraton. Pararaton menyebutkan bahwa ada keberadaan dua keraton di Trowulan, yakni Keraton Wetan dan Keraton Kulon pada tahun 1376. Keraton Kulon (barat) adalah tempat tinggal Hayam Wuruk dan Keraton Wetan (timur) adalah kediaman Wijayarajasa atau Bhre Wengker (Ponorogo) yang selanjutnya digantikan putranya, yakni Bhre Wirabhumi.
Sementara itu, Kakawin Sutasoma memberikan ilustrasi tentang kehidupan sosial yang berkembang di Majapahit. Informasi yang didapatkan lebih menguatkan kepada toleransi dalam struktur sosial yang menganut agama yang berbeda, yaitu Buddha dan Siwa (Hindu). Kehidupan sosial dengan agama yang berbeda tidak menjadi keterbatasan, melainkan hidup berdampingan sesuai dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma yang akhirnya menjadi semboyan untuk persatuan Bangsa Indonesia6.
6 Sutasoma pupuh 139.5: Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua (bhinneka tunggal ika).
Kehidupan sosial ekonomi juga meliputi mata pencaharian penduduk yang bertani dan menangkap ikan di sungai. Sementara itu, kegiatan sosial budaya meliputi tradisi yang terkait dengan kegiatan bertani, yaitu dua upacara panen yang disebut sĕḍĕkahan gĕḍe dan bĕrsih desa. Kedua kegiatan tradisi ini masih terus berlanjut hingga kini. Kegiatan ruwat desa adalah kesinambungan dari bĕrsih desa yang dilakukan menjelang bulan Ramadan.
Pupuh 148 sebagai epilog dari Kakawin Sutasoma mendukung pemahaman dari Kakawin Nāgarakṛtāgama dan Arjunawijaya tentang berkembang majunya kesenian dan karya budaya secara pesat pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (Sugriwa, 1961 dan Mastuti, 2009). Beragam informasi dari karya sastra masa Majapahit beserta interpretasinya tentunya perlu diverifikasi dengan data lainnya. Salah satunya adalah catatan kunjungan para pengembara ke Trowulan pada masa yang sama, yakni Ma Huan (1380–1460)7
Jurnal perjalanan Ma Huan menguraikan bahwa kunjungan Ma Huan ke Majapahit pada tahun 1413 adalah saat Wikramawardhana bertakhta (1389–1429). Ma Huan melaporkan bahwa ada sekitar 700–800 keluarga yang bertempat tinggal di dalam area inti keraton, yakni kedaton. Jumlah ini apabila dilengkapi dengan jumlah abdi dalem dan pembantu di kedaton berjumlah 10.000 jiwa. Kawasan perkotaan Majapahit dimulai dari utara terdapat sawah, pasar, lapangan luas untuk titik kumpul umum, dan area sabung ayam yang berada di luar gerbang kerajaan.
Ma Huan menyebutkan bahwa kedaton dikelilingi tembok batu bata dengan tinggi lebih dari 3,5 meter, sedangkan panjangnya kira-kira 2,6 km (ekskavasi Vistarini dalam Gomperts dkk., 2014). Catatan dari Ma Huan ini juga memerinci 7 Ma Huan adalah seorang penerjemah Muslim Tionghoa dari Zhejiang yang menemani Cheng Ho (Zheng He) (1371-1433), juga seorang Muslim Tionghoa dari golongan Hui. Ma Huan menemani tiga dari tujuh ekspedisi Cheng Ho pada tahun 1413, 1421, dan 1431. Ekspedisi Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405–33.
kehidupan keseharian di Majapahit. Penelitian ini mendapatkan pengetahuan tentang keterkaitan bangunan hunian dan struktur sosial serta kebiasaan penduduk Majapahit dari catatan jurnal tersebut.
Diskusi dan Perumusan Signifikansi Trowulan
Secara umum, perumusan signifikansi Trowulan berdasarkan penelusuran sejarah dapat dikaji dari beragam aspek. Tulisan ini mengemukakan kajian penelitian berdasarkan aspek ekonomi, sosial budaya, politik, dan lingkungan pada masa kejayaan Majapahit.
Aspek ekonomi menunjukkan kegiatan ekonomi pada masa kejayaan Majapahit dicatat dalam tinta emas perdagangan yang sangat luas. Jalur perdagangan tidak hanya meliputi perairan Asia namun juga sampai ke benua lain. Pedagang yang memberikan catatan tentang hubungan dagang dengan Majapahit adalah pedagang dari Tiongkok, Portugis, Arab, dan lainnya. Selain perdagangan, kegiatan ekonomi yang dilakukan penduduk sebagaimana penduduk pribumi di Pulau Jawa adalah bercocok tanam. Pemetaan keruangan secara spasial menunjukkan adanya ruangruang di Trowulan yang dipergunakan untuk kegiatan utama dalam bidang ekonomi di masa lalu. Jalur transportasi perdagangan dan kegiatan ekonomi lainnya dapat ditandai lokasi dan kedudukannya di dalam peta masa kini.
Aspek Sosial Budaya di dalam masa kejayaannya diuraikan kehidupan sosial masyarakat di kota Trowulan yang memiliki sistem kasta sosial terbagi menjadi keluarga raja, keluarga bangsawan dan rakyat biasa. Mayoritas penduduk memeluk agama Hindu yang hidup berdampingan dengan pemeluk agama lainnya, yaitu Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam. Kondisi ini memberikan gambaran kehidupan sosial penuh toleransi. Kuatnya toleransi juga ditunjukkan dengan keberadaan
lambang Surya Majapahit pada makam-makam Islam yang mengindikasikan bahwa beberapa anggota keluarga Kerajaan Majapahit sudah memeluk agama Islam pada tahun 1370-an (Perkasa, 2012a dan 2015b). Posisi makam Islam seperti Troloyo adalah berdekatan dengan lokasi kedaton yang dapat mengindikasikan pentingnya keberadaan agama Islam pada masa itu (Stutterheim, 1948: 105, 246; Damais, 1957: 253–415; Gomperts dkk., 2010:12–13). Kegiatan budaya berupa tradisi yang masih dilanjutkan oleh penduduk Trowulan secara turun-temurun antara lain ruwat desa, sedekah gede, dan kegiatan bersih desa. Uraian ini dicantumkan dalam laporan tahun 1907 oleh Knebel (1907), seorang arkeolog Belanda yang meneliti tentang tradisi Hindu di Mojokerto dan sekitarnya. Pemetaan secara spasial dalam situasi terkini dapat ditandai dengan keberadaan candi, petirtaan, serta tinggalan-tinggalan sebagai wadah pelaksanaan kegiatan sosial budaya di masa kerajaan Majapahit.
Aspek Politik dalam perumusan signifikansi Trowulan adalah perannya sebagai kota yang penting sebagai kawasan ibu kota dari Kerajaan Majapahit. Uraian dalam subbab ini menjelaskan bahwa Trowulan adalah pusat pemerintahan dengan negara bawahan yang luas, serta memiliki tatanan struktur politik dan tata pemerintahan dipimpin oleh raja dan mahapatih yang berperan sebagai perdana menteri. Pemetaan keruangan dalam kondisi terkini didukung dengan teknologi georeferensi (Gomperts dkk., 2014) yang bisa menentukan posisi koordinat GPS dari lokasi kedaton sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Aspek Lingkungan menjelaskan bahwa lingkungan menjadi bagian penting dalam tata pemerintahan Majapahit yang tidak hanya mengandalkan daratan, tetapi juga sumber daya air. Sumber-sumber air dimanfaatkan baik untuk mengairi lahan pertanian, maupun untuk perlindungan diri dari serangan musuh dan tempat pelatihan pasukan bhayangkara (armada laut). Informasi ini diperkuat dengan gambaran dalam relief artefak Majapahit yang menunjukkan ketangguhan pasukan bhayangkara dengan kapal Phinisi mengarungi samudra.
Aspek lingkungan yang menjadi bagian dari filosofi tradisional penataan ruang kota adalah pemaknaan arah mata angin yang diyakini suci berdasarkan lokasi gunung. Keyakinan ini menjadikan penempatan kawasan kedaton adalah di sebelah selatan pusat kota yang mengarah kepada lokasi Gunung Penanggungan (dulu dikenal dengan nama Pawitra). Sementara itu, tata letak lahan pertanian, lahan perumahan penduduk, serta tata kelola sumber air disesuaikan dengan arah mata angin sesuai dengan kepercayaan pewujudan keharmonisan lingkungan dengan manusianya.
Berdasarkan keempat aspek tersebut, maka penetapan signifikansi Trowulan dapat dipetakan secara spasial. Pemanfaatan masa kini terhadap tinggalan cagar budaya di kawasan ibu kota Majapahit dapat mengacu kepada signifikansi Trowulan dari penelusuran sejarah tersebut. Namun, keputusan terhadap kebijakan penataan kembali tata ruang dan fungsinya akan sangat tergantung dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat, prioritas kebijakan pemerintah, serta rencana-rencana pembangunan yang disepakati oleh para pemangku kepentingan. Persoalan besar yang dihadapi adalah kepemilikan lahan di Trowulan yang sebagian terbesar adalah milik dari masyarakat, sehingga keberadaan tinggalan Majapahit tersebar di antara permukiman penduduk. Selain itu, terdapat kontestasi dari beragam kepentingan di Trowulan yang berpengaruh terhadap rencana pembangunan di kawasan tersebut. Perumusan signifikansi dari penelusuran sejarah akan menjadi dasar pertimbangan untuk memutuskan apakah pelestarian dapat dilaksanakan ataukah dihapuskan. Apabila pelestarian menjadi pilihan, maka kaidah-kaidah pelestarian dengan pembaharuan terhadap dinamika merupakan panduan bagi pelaksanaannya. Sebaliknya, apabila pelestarian dihapuskan, maka kelengkapan dokumentasi berupa data sejarah dan perkembangannya diperlukan untuk dapat diakses dengan mudah sebagai informasi menyeluruh terhadap tinggalan yang pernah ada.
Daftar Pustaka
Ashworth, G.J. (1984): The Management of Change: Conservation Policy in Groningen, The Netherlands, Cities, Vol. 1, 4 – 605.
Cribb, R. (2000): Historical Atlas of Indonesia, Routledge, New York.
Damais, L. (1957): Études javanaises: 1. Les tombes musulmanes datées de Trålåyå, Bulletin de l’École Française d’Extrême-Orient, Vol. 48, No. 2, 253-415.
Darmoyuwono, K. (1981): Penerapan Teknik Penginderaan Jauh untuk Inventarisasi dan Pemetaan Peninggalan Purbakala Daerah Trowulan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Jakarta.
Engelhardt, R. A. (2006): World Heritage Regime: Trends and Realities in The Asia-Pacific Region, Training Workshop on World Heritage Sites Management-their Tangible and Intangible Aspects, United Nations Institute for Training and Research, Hiroshima.
Engelhardt, R. A. (2007): Comment on keynote presentation (unpublished) to Heritage and Development, 12th International Conference of National Trust, INTACH, New Delhi, 3-5 Desember.
Gomperts, A., Haag, A., dan Carey, P. (2010): Rediscovering the Royal Capital of Majapahit, Newsletter of The International Institute for Asian Studies (IIAS), 53:12-13.
Gomperts, A., Haag, A., dan Carey, P. (2014): The Archaeological Identification of the Majapahit Royal Palace: Prapañca’s 1365 Description Projected onto Satellite Imagery, Journal of the Siam Society, 102, 67 – 118.
Hardjowadojo, P. (1965): Kitab Pararaton Terjemahan. Penerbit Bhratara, Malang.
Japan International Council of Monuments and Sites (2014): Nara+20: On Heritage Practices, Cultural Values, and the Concept of Authenticity. Meeting on the 20th Anniversary of the Nara Document on Authenticity, 22-24 October 2014.
Knebel, J. (1907): Beschrijving der Hindoe-oudheden in de Afdeeling Majakerta, ROC, bijlage 35: 12-114.
Kubontubuh, C. (2021): Model Konseptual Pelestarian Berbasis Kawasan bagi Cagar Budaya Tak Utuh, Studi Kasus: Kawasan Ibu Kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, Program Doktor, SAPPK, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung.
Mastuti, D.W.R. dan Bramantyo, H. (2009): Kakawin Sutasoma, Komunitas Bambu, Jakarta.
Miksic, J. N. (2014): Singapore and the Silk Road of the Sea, NUS Press, Singapura.
Mulyana, S. (1979): Nāgarakṛtāgama dan Tafsir Sejarahnya, Bhatara, Jakarta.
Perkasa, A. (2012): Orang-orang Tionghoa dan Islam di Majapahit, Ombak, Yogyakarta.
Perkasa, A. (2015): Transformasi Pemaknaan dan Pemanfaatan Warisan Majapahit dari Pra Kolonial hingga Pasca Kolonial di Indonesia, Program Magister, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pigeaud, Th.G.Th. (1960): Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Negara Krtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD, Martinus Nijhoff, The Hague.
Riana, I. (2009): Kakawin Desa Warnana uthawi Nagara Krtagama Masa Keemasan Majapahit, Kompas, Jakarta.
Robson, S. (1995): Desawarnana (Nagarakrtagama), 169, KITLV Press, Leiden.
Smith, L. (2006): Uses of Heritage, Routledge, London, 44.
Stutterheim, W. (1948): De Kraton van Madjapahit. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 105 dan 246.
Sugriwa, I.G.B. (1961): Sutasoma, Pustakamas, Denpasar.
Supomo, S. (1977): Arjunawijaya: a Kakawin of Mpu Tantular, M. Nijhoff, The Hague.
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (2009): Hoi An Protocols for best conservation practice in Asia: professional guidelines for assuring and preserving the authenticity of heritage sites in the context of the cultures of Asia. UNESCO Office Bangkok and Regional Bureau for Education in Asia and the Pacific.
Pandemi mampu mengubah tatanan hidup suatu masyarakat. Kegiatan yang seharusnya dapat dilaksanakan di luar ruangan menjadi hal mustahil dilaksanakan karena wabah Covid-19. Di sisi lain pandemi juga menyebabkan masyarakat mulai memalingkan wajah dan mencari beragam alternatif untuk dijadikan sebagai panduan dalam menghadapi pandemi untuk keselamatan diri. Di balik kerasnya hantaman pandemi, kuatnya arus globalisasi, juga beratnya tantangan hidup, seberkas sinar dari lentera budaya dan tradisi menuntun dan menguatkan kita melewati pandemi global Covid-19. Nilai-nilai yang terkandung dalam tinggalan arkeologi dari masa lalu menjadi perbincangan utama para peneliti dengan masyarakat awam guna memberi wawasan sekaligus pembelajaran dari masa lalu untuk masa kini dan mendatang. Arsip dan dokumen penelitian puluhan tahun lalu kembali dibuka,
8 Ni Ketut Puji Astiti Laksmi adalah dosen pada Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
halaman demi halaman untuk dipersembahkan sebagai bahan perbincangan hangat di kalangan publik luas. Satu di antaranya yang cukup banyak diminati adalah telaah atas naskah dan karya-karya tulis masa klasik era Majapahit.
Budaya tulis khususnya di Indonesia telah mewariskan peninggalan berupa karya-karya tulis yang beraneka ragam mulai dari prasasti, naskah, kitab, dokumen dalam jumlah yang amat banyak serta beraneka ragam baik bentuk maupun isinya. Keberadaan aset budaya berupa tulisan sebagai salah satu bentuk cagar budaya, tidak saja memperkaya keberadaan komunitas suatu masyarakat, tetapi sekaligus memberi pengetahuan terhadap budaya manusia pada masa lalu hingga masa sekarang. Satu di antaranya yang sangat berharga adalah Kitab Nāgarakṛtāgama yang juga menjadi salah satu bukti kejayaan budaya literasi sekaligus bukti kebesaran kerajaan Majapahit pada masanya.
Narasi Kebesaran Majapahit Dalam Teks Nāgarakṛtāgama
Kitab Nāgarakṛtāgama atau juga disebut kakawin Nāgarakṛtāgama ditulis pada zaman Kerajaan Majapahit oleh Empu Prapañca dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Nagarakrtagama merupakan kitab yang paling masyhur dan paling banyak diteliti. Penemuan Kitab Nagarakrtagama sesungguhnya cukup “dramatis” dalam perjalanannya hingga akhirnya hari ini masih dapat kita saksikan di Museum Nasional. Berawal dari keberadaan Kitab Nāgarakṛtāgama, benda koleksi dari Kerajaan Karangasem yang tersimpan di Puri Cakranegara sebagai warisan dari Kerajaan Majapahit, yang dibawa oleh keluarga kerajaan dari Kediri pada masa kekuasaan Kerajaan Karangasem, sekitar akhir abad ke-17 hingga 18 Masehi. Pulau Lombok merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem. Sebelumnya, di Pulau Lombok telah berdiri beberapa kerajaan yakni Selaparang dan Pejanggik.
Isi dari Kitab Nāgarakṛtāgama diterapkan di Lombok untuk membangun sistem ketatanegaraan dan pertahanan yang menyerupai Majapahit, di samping bertujuan untuk menjadikan Lombok sebagai benteng dalam mempertahankan ajaran Hindu di Bali akibat masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam di Pulau Jawa.
Sekitar tahun 1890-an, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda menggempur istana Cakranegara dan mengakibatkan kediaman raja Karangasem dibumihanguskan. Satu peristiwa sehari sebelum Puri Cakranegara jatuh ke tangan VOC Belanda, tepatnya pada tanggal 19 November 1894, dilaporkan ada sebuah temuan naskah sastra yang ditulis di atas lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu. Sewindu kemudian Kitab Nāgarakṛtāgama diterbitkan dalam aksara Bali dan bahasa Belanda oleh JLA Brandes pada tahun 1902, namun hanya sebagiannya. Disusul kemudian oleh JHC Kern pada tahun 1905–1914 yang dilengkapi dengan komentar-komentarnya. Barulah pada tahun 1919, NJ Krom menerbitkan secara utuh isi dari Kitab Nāgarakṛtāgama tersebut. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Slamet Muljana menyebutkan sedikitnya ditemukan empat naskah lain yang serupa di beberapa Geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali. Namun naskah-naskah itu diduga merupakan turunan dari Kitab Nāgarakṛtāgama yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok. Kitab Nāgarakṛtāgama juga diterjemahkan secara lengkap ke dalam bahasa Indonesia oleh Profesor Slamet Muljana yang disertai dengan tafsir sejarahnya.
Kitab Nāgarakṛtāgama pernah dibawa oleh VOC ke Belanda untuk disimpan di perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor koleksi 5023. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, sekitar tahun 1974, manuskrip ini dibawa kembali ke Indonesia. Sejak saat itu, Kitab Nāgarakṛtāgama ini disimpan di Perpustakaan Nasional yang berada di Jakarta sebagai barang pusaka yang sangat dilindungi.
Nāgarakṛtāgama artinya Negara dengan tradisi (agama) yang suci, kata “agama” oleh beberapa ahli paleografi diartikan sebagai aturan atau tuntunan. Nama Nāgarakṛtāgama itu sendiri tidak terdapat dalam Kitab Nāgarakṛtāgama. Dapat dilihat pada pupuh 94/2, Mpu Prapanca menyebut ciptaannya Desawarnana atau uraian tentang desa-desa. Namun adapun nama yang diberikan oleh pengarangnya sendiri terbukti telah dilupakan oleh masyarakat umum hari ini. Demikian kitab itu hingga sekarang biasa disebut sebagai Nāgarakṛtāgama.
Kitab Nāgarakṛtāgama menurut Edi Sedyawati adalah salah satu kesusastraan Jawa Kuno yang berkembang pada masa kebesaran Majapahit. Pada dasarnya kesusastraan tersebut merupakan kelanjutan dari sastra yang sudah berkembang pesat pada zaman Kediri atau bahkan jauh sebelum itu yaitu pada zaman Raja Erlangga yang menghasilkan Kakawin Arjunawiwaha. Ragam dan kaidah puisi kakawin berkembang amat maju di masa Jawa Kuno, sehingga model-model pola puitis pun bertambah ragam, melebihi apa yang sudah lebih dahulu dikenal dalam susastra Sanskerta yang berlandaskan prinsip-prinsip yang sama. Apa yang dalam dunia susastra Sanskerta dikenal dengan nama kāvya dilanjutkan dan dikembangkan dengan nama kakawin dalam kesusastraan Jawa Kuna. Telaah P.J Zoetmulder mengenali adanya sejumlah ragam pola kakawin baru dalam kesusastraan Jawa Kuno menunjukkan tingkat kreativitas para sastrawan Jawa Kuno cukup tinggi, baik dalam membangun isi atau konten maupun format formal gaya ungkap.
Kerajaan Majapahit sebagai tempat lahirnya Kitab Nāgarakṛtāgama didirikan di Pulau Jawa oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 M, tepatnya di Hutan Trik yang pada saat ini diperkirakan berada di kawasan Trowulan. Sejarah Kerajaan Majapahit bermula dari kekacauan yang terjadi menjelang runtuhnya Kerajaan Singhasari pada tahun 1292 M. Kerajaan Singhasari diserang oleh penguasa Kadiri yakni
Raja Jayakatwang, sehingga Raja Kertanagara yang merupakan Raja Singhasari tewas sementara keluarga kerajaan harus meninggalkan Kraton. Adapun menantu Raja Kertanagara yaitu Raden Wijaya dengan bantuan seorang petinggi dari Madura yaitu Arya Wiraraja kemudian berhasil menaklukkan Raja Jayakatwang. Ia lalu mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit didirikan di tengah situasi kekacauan, sehingga tidak mengherankan jika pada awal masa Kerajaan Majapahit ditandai dengan berbagai pemberontakan. Pemberontakan tidak hanya pada masa pemerintahan Raja Wijaya, tetapi terus berlanjut hingga pemerintahan kedua raja berikutnya. Raja Wijaya wafat tahun 1309 M dan digantikan oleh Raja Jayanagara tahun 1309–1328 M. Raja Jayanegara wafat karena dibunuh, yang kemudian digantikan oleh saudara perempuannya yaitu Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328–1350 M).
Kejayaan Majapahit terwujud di bawah pimpinan Raja Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara (1350–1389 M). Secara politik masa ini ditandai dengan terwujudnya sumpah Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara di bawah panji Majapahit pada tahun 1457 M, yaitu ketika pulau-pulau di sebelah timur Bali selesai ditaklukkan. Secara ekonomi ditandai dengan pembangunan infrastruktur pertanian yang memungkinkan pembukaan lahan-lahan baru untuk persawahan dan perladangan, disertai dengan kemakmuran rakyat yang meningkat secara menyeluruh. Secara budaya, karya-karya besar kesusastraan baik kakawin maupun kidung tercipta pada masa ini.
Kitab Nāgarakṛtāgama selesai ditulis pada bulan Aswina tahun 1287 Saka (September–Oktober 1365 M). Penulis Kitab Nāgarakṛtāgama adalah seorang putra Majapahit yakni Mpu Prapanca. Nama Mpu Prapanca berdasarkan analisa kesejarahan, merupakan seorang Dang Acarya Nadendra (pendeta agama Buddha). Ia adalah pembesar di istana Kerajaan Majapahit, khususnya untuk urusan agama
Buddha, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389 M). Beliau juga merupakan putra dari seorang pejabat istana Majapahit dengan pangkat Dharmadyaksa ring Kasogatan (pemimpin urusan agama Buddha).
Mpu Prapanca menulis kitab tersebut sebagai tanda penghormatan dan pengagungan terhadap Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Beliau merasa terdorong untuk ikut serta mengharumkan nama baik raja dan negaranya. Meskipun karyanya tidak dikenal di istana pada saat itu, karya ini tetap ia persembahkan kepada Duli Paduka Girinatha dengan harapan sang paduka berkenan menerimanya. Tiada harapannya kecuali semoga dunia sejahtera, dan terutama agar raja tetap kokoh dalam bertakhta.
Mpu Prapanca, adalah saksi hidup yang langsung menyaksikan berbagai peristiwa di zaman kejayaan Majapahit. Terlebih pada saat menulis kitab ini, Mpu Prapanca telah menjadi mantan Darmadyaksa ring Kasogatan (pemimpin urusan agama Buddha) di Kerajaan Majapahit yang memilih untuk menjadi seorang petapa. Sehingga ia tidak lagi memiliki kepentingan pada kekuasaan atau politik tertentu. Bahkan selama menulis, Mpu Prapanca telah menjauhkan diri dari kota dan menetap di lereng gunung di sebuah desa kecil yang bernama Kamalasana.
Kitab Nāgarakṛtāgama berisikan rekaman sejarah kejayaan Majapahit, perjalanan Raja Hayam Wuruk, hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa, kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, dan kebudayaan, serta adat istiadat sepanjang perjalanan keliling Raja Hayam Wuruk pada tahun 1281 Saka (1359 Masehi). Semua itu dikumpulkan dan digubah oleh Mpu Prapanca dalam sebuah karya sastra.
Pada bagian pendahuluan Kitab Nāgarakṛtāgama Mpu Prapanca mengisahkan perjalanan dalam bentuk laporan pandangan mata, karena ia sendiri mengikuti perjalanan tersebut dari awal hingga akhir. Beliau juga mengatakan bahwa perjalanan serupa itu telah berlangsung beberapa kali sebelumnya dan diulang lagi sesudahnya. Ia mencatat perjalanan serupa pernah dilaksanakan pada tahun 1353 M ke wilayah Pajang, tahun 1354 M ke Lasem, tahun 1357 M hingga Lodaya, tahun 1360 M hingga Tirib dan Sompur, tahun 1361 hingga Palah/Blitar, dan tahun 1363 M hingga Simping. Berdasarkan uraian Nagarakretagama juga dapat diketahui bahwa perjalanaan ini membutuhkan energi, waktu, dan biaya yang besar. Misalnya, disebutkan melibatkan rombongan besar raja Majapahit beserta para pejabat tingginya termasuk para penguasa daerah yang tinggal di ibu kota beserta istri-istri mereka. Kereta pedati yang dibawa rombongan berjalan kaki, serta dengan menunggang kuda dan gajah. Perjalanan melewati tidak kurang dari 210 desa yang mencakup kawasan seluas 15.000 mil persegi dan memakan waktu hingga sepuluh minggu atau dua setengah bulan. Dari segi frekuensi pelaksanaan dan sumber daya yang harus disiapkan dapat dipastikan bahwa tindakan itu tentu memiliki arti penting, bahkan sangat penting, bagi Kerajaan Majapahit juga mungkin bagi rakyatnya.
Kitab Nagarakretagama sebagaimana dalam pandangan Supratikno Rahardjo juga mengandung empat nilai kehidupan yang merupakan warisan utama Majapahit, yaitu nilai harmoni, toleransi, kosmopolitan, dan kreativitas. Nilai harmoni mengacu kepada nilai-nilai kehidupan yang dapat disimpulkan dari pola-pola perilaku yang mewarnai kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung pada zaman Majapahit. Nilai tersebut tercermin dalam bagian Kitab Nagarakretagama yang mengisahkan perjalanan keliling para kerabat kerajaan dari ibu kota hingga Lumajang pada tahun 1359 M. Nilai toleransi terutama menyangkut penghargaan atas perbedaan keyakinan, khususnya antara penganut Siwaisme dan Buddhisme.
Kitab Nagarakretagama juga mengisahkan tentang pendarmaan raja-raja Majapahit di candi-candi yang memiliki latar agama berbeda. Nilai kosmopolitan tumbuh karena warganya mengenal negerinya bukan sebagai pusat dunia, tetapi menyadari bahwa ada dunia-dunia lain yang lebih besar. Di samping itu, dikenal pula konsep negara-negara sahabat terutama yang berada di Semenanjung Melayu, Kamboja, dan Champa. Di bagian lain juga disebutkan negara-negara di wilayah India dan Cina. Kitab Nagarakretagama memuat uraian bahwa setiap bulan Caitra (sekitar Mei) diadakan pesta besar yang dipusatkan di Lapangan Bubat selama tujuh hari. Dalam acara pesta yang penuh hiburan dan permainan itu hadir perwakilan dari Cina, India, Kamboja, Vietnam, Champa, dan Thailand sebagai bentuk penghormatan atas undangan Majapahit. Di luar acara tersebut, Majapahit secara khusus tetap menjaga hubungan diplomatik dengan Cina melalui pertukaran utusan secara berkala.
Nilai kreativitas umumnya dikaitkan dengan individu tertentu yang memiliki kemampuan dalam mengembangkan gagasan baru dan cara yang efektif dalam memecahkan masalah. Namun demikian, kreativitas dapat pula dikaitkan dengan aspek sosial atau kelembagaan. Adapun kreativitas Majapahit terlihat pada inovasi di bidang kelembagaan, teknologi bangunan air, serta karya seni.
Pemahaman terhadap aksara-aksara dan bahasa yang digunakan pada pertulisan di masa lampau sangat perlu dilakukan. Pada masa yang akan datang diharapkan lebih banyak ahli epigrafi, filologi, linguistik geografi, ekonomi, agama, sejarah, dan filsafat yang dapat memanfaatkan artefak bertulis sebagai sumber kajian, sehingga diperoleh hasil yang lebih komprehensif. Upaya menjaga dan melestarikan warisan budaya tulis semestinya terus-menerus ditanamkan, salah satunya dengan gencar menyosialisasikan hasil penelitian kepada masyarakat. Diharapkan dengan cara ini akan diperoleh umpan balik sehingga tercapai kesempurnaan penelitian.
Penelitian yang berkaitan dengan budaya tulis diharapkan bukan saja menarik minat para ahli dan generasi tua tetapi juga menarik minat generasi muda sebagai penerus budaya pada masa yang akan datang. Upaya pemanfaatan nilai-nilai budaya masa lalu untuk memahami dan menghadapi masa sekarang dan masa yang akan datang memerlukan kearifan menyeleksi serta “mendaur ulang” agar didapatkan nilai-nilai yang tepat dan bermanfaat bagi kehidupan.
Kern, H. 1917. Verspreide Geschriften VII. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Mulyana, Slamet. 1979. Nāgarakṛtāgama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Rahardjo, Supratikno. 2014. Empat Warisan Utama Majapahit” dalam Inspira si Majapahit. Yogyakarta: Yayasan Arsari Djojohadikusumo bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Gajahmada, Universitas Udayana, dan Universitas Udayana.
Sedyawati, Edi. 2014. “Seni dan Identitas Majapahit” dalam Inspirasi Majapahit. Yogyakarta: Yayasan Arsari Djojohadikusumo bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Gajahmada, Universitas Udayana, dan Univer sitas Udayana.
Zahrah Yuan Nisaka. 2017. https://www.dictio.id/t/apa-yang-anda-ketahuitentang-kitab-nagarakretagama-kakawin-desawarnana-karya-empuprapanca/8702.
Apakah Tuan dan Puan pernah mendengar tempat bernama Malayupura? Lalu bagaimana dengan Dharmasraya? Bila belum pernah mendengarnya, bukan berarti kedua tempat ini tidak pernah ada, atau tidak memiliki peran penting dalam peta peradaban Nusantara. Justru sebaliknya, tempat ini boleh dikatakan menjadi kunci peristiwa titik balik peradaban klasik Sumatra selepas melemahnya Sriwijaya pasca serangan Rajendra Cola dan melumpuhkan jaringan perdagangan Sriwijaya yang terkoneksi antara hulu ke hilir dan muara. Tempat ini juga menjadi saksi akan masa peralihan peradaban Hindu-Buddha yang telah berlangsung lebih 700 tahun menuju masa kesultanan Islam dan berkuasanya kolonialisme Eropa. Tentu hal ini sangat menarik untuk diperbincangkan.
9 Asyhadi Mufsi Sadzali adalah dosen pada Program Studi Arkelogi Universitas Jambi.
Memang benar Dharmasraya hingga hari ini, masih menjadi tempat yang belum populer bagi kebanyakan orang, dan mungkin sulit untuk menjelaskan keberadaan lokasinya di belahan Sumatra mana. Namun, bila ditinjau dari riwayatnya, Dharmasraya merupakan wilayah administratif baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, yang secara resmi berdiri sebagai pada tanggal 7 Januari 2004. Pemilihan nama Dharmasraya sendiri memiliki latar argumen historis yang sangat kuat, yakni diambil dari nama tempat yang tertulis pada lapik arca temuan situs Padang Roco di Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatra Barat. Isi dari inskripsi itu menyebutkan bahwa arca Amoghapasa merupakan hadiah dari Raja Sri Maharajadiraja Kartanegara untuk ditegakkan di Kerajaan Melayu Dharmasraya. Bila ditelusuri jejak historisnya, disebutkan bahwa pemberian hadiah arca terjadi pada tahun 1286 M.
Ditinjau secara administrasi, Kabupaten Dharmasraya baru berusia 16 tahun terhitung per Januari 2020. Sungguh hal luar biasa bahwa rupanya data pada prasasti Dharmasraya telah mencapai lebih dari tujuh abad. Merujuk pada data sejarah, sejatinya hari jadi Kabupaten Dharmasraya tak jauh berbeda dengan umur kota lain seperti Surabaya dan Jakarta, yang pada tahun 2020 telah memasuki usia ke-493. Tentu tidak berlebihan bila Dharmasraya juga disebut negeri tua dengan peradaban panjang.
Data mengenai jejak kemasyhuran Dharmasraya walau tidak melimpah, namun masih dapat ditelusuri melalui sebaran cagar budaya yang bernilai tinggi. Sebaran tapak-tapak tua mengisyaratkan kebesaran era Melayu Dharmasraya, yang menjadi kebanggaan segenap komponen bangsa. Sebaran-sebaran itu antara lain Komplek Percandian Padang Roco, Percandian Pulau Sawah, Situs Candi Awang Ombiak, Situs Prasasti Raja Adityawarman, dan beberapa situs lain yang berada saling berjauhan namun tak dapat dipisahkan. Di samping itu terdapat pula situs
lain yang tak kalah penting, namun belum cukup populer di telinga publik. Narasi di balik situs itu boleh dikatakan kepingan penting tidak hanya bagi Dharmasraya atau Sumatra Barat, namun juga bagi Nusantara. Situs-situs bersejarah tersebut terletak di hulu sungai Batanghari, yang oleh masyarakat lokal diberi nama Nagari Rambahan.
Lokasi ini cukup penting dengan ditemukannya Kampung Lama-Rambahan, yaitu kawasan perbukitan dengan benteng tanah. Pada bagian semenanjungnya, ditemukan arca penting bernama Amoghapasa yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Berdasarkan data ekskavasi arkeologi, lokasi penemuan arca dilengkapi dengan sebidang struktur bata berbentuk persegi. Serangkaian kegiatan penelitian arkeologi telah digelar di wilayah ini yang menghasilkan beragam temuan yang cukup mengejutkan, yaitu keramik China, pemakaman pra-Islam menyerupai “temu gelang”, hingga folklor cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang seorang raja dari Jawa.
“Menunggu Raja dari Jawa”, demikian judul cerita rakyat yang turuntemurun dilestarikan masyarakat lokal, mengisahkan seorang raja dari Jawa yang datang ke Sumatra Barat. Dikisahkan, para datuk (pemimpin tiga suku besar Minangkabau) berkumpul di titik pertemuan antara Sungai Batanghari dan anak sungai kecil bernama Rambahan untuk menunggu kedatangan seorang raja dari Jawa yang merupakan satu pertalian darah dengan mereka. Raja tersebut nantinya akan diangkat sebagai pemimpin para datuk. Raja tersebut banyak diartikan sebagai seorang tokoh penting pada masa Melayu Kuno bernama Maharaja Diara Adityawarman. Kini diketahui bahwa persimpangan pada daerah hulu Sungai Batanghari, yang merupakan tempat para datuk menunggu, berada dekat dengan ditemukannya struktur fondasi peletakan arca Amoghapasa. Setelah sang raja dari
Jawa tiba di Rambahan, para datuk pemimpin kaum berjalan menuju ke Pagaruyung untuk mendudukkannya di singgasana dan memimpin negeri.
Cerita ini dikenali dan diturunkan generasi tua masyarakat Rambahan, namun generasi muda, seperti kalangan milenial banyak yang tidak mengetahui kisah ini. Untuk mengukur tingkat kebenaran cerita rakyat dengan fakta peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau, diperlukan kajian lebih spesifik dan mendalam.
Berdasarkan narasi dan fakta sejarah yang telah diungkapkan para peneliti, tercatat dua peristiwa kedatangan utusan raja dari Jawa ke Minangkabau. Pertama adalah kedatangan utusan Raja Kartanegara dari Kerajaan Singasari yang membawa arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada rakyat Melayu Kuno. Adapun yang kedua yakni kedatangan Raja Adityawarman yang juga duduk di atas singgasana Melayu Kuno. Data arkeologi memperkuat peristiwa tersebut melalui temuan struktur bata berbentuk persegi yang diasumsikan sebagai struktur penempatan arca Amoghapasa. Cerita rakyat “Menunggu Raja dari Jawa” memang hal menarik yang perlu diuraikan secara mendalam. Namun pertanyaan menarik selanjutnya Siapakah tokoh sejarah bernama Adityawarman? Lalu mengapa Adityawarman jauh-jauh datang dari Majapahit ke pedalaman Sumatra menyusuri Sungai Batanghari? Sejauh mana pengaruh Majapahit telah menginspirasi perkembangan peradaban Melayu Kuno pada masa Adityawarman dan kebudayaan selanjutnya? Tentu hal ini perlu penelusuran dengan perangkat-perangkat data, baik prasasti, naskah, dan temuan arkeologis sehingga secara peristiwa masa lalu dapat dibaca dengan lebih terang. Adityawarman adalah nama salah satu tokoh penting dari abad ke-14 M, era Kerajaan Melayu Kuno yang telah meninggalkan banyak jejak cagar budaya yang tersebar di dataran Minangkabau dan salah satunya Desa Rambahan yang telah berusia 700 tahun. Kronologi waktu ini ditandai dengan inskripsi berupa angka
tahun pada prasasti Amoghapasa, dan didukung temuan sebaran keramik mulai dari Dinasti Sung hingga Dinasti Chin. Di samping itu, ditemukan cagar budaya lain yang tak kalah penting di luar wilayah Rambahan, tepatnya di Nagari Siguntur dan Padang Roco, yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pulau Punjung. Pada dua lokasi tersebut terdapat banyak struktur percandian dari masa Melayu Kuno abad ke-12 sampai dengan ke-14 M. Bila terus masuk ke wilayah hulu pedalaman Sumatera Barat, tepatnya Kabupaten Tanah Datar, maka akan dijumpai sebaran prasasti di wilayah Bukit Gombak, Pagaruyung, dan Saruaso. Keseluruhan tinggalan cagar budaya dari masa Melayu Kuno ini memberikan informasi tentang raja besar bernama Adityawarman, seorang keturunan Melayu yang dibesarkan di Majapahit lalu kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi Sri Maharaja Diraja. Informasi geneaologi dan riwayat hidup Adityawarman dapat diketahui melalui beberapa prasasti serta tinggalan arkeologi berupa arca dan naskah kuno. Bila kita merujuk kepada prasasti Bukit Gombak I dan Bukit Gombak II, prasasti Pagaruyung I, hingga prasasti Pagaruyung IX, dapat ditemukan silsilah Maharajadiraja Adityawarman, sang penguasa Kanakamidinendra “Raja di pulau Emas”. Pada prasasti Kubu Rajo I disebutkan bahwa Adityawarman merupakan putra dari Advayavarman yang berasal dari wangsa Kulisadhara. Selanjutnya prasasti Saruaso II menyebutkan bahwa Adityavarman memiliki anak. Salah satu anaknya adalah penerus tahta bernama Ananggawarman, yang juga sekaligus sebagai putra mahkota kerajaan Malayupura.
Berdasarkan informasi pada Prasasti Amoghapasa, Maharajadiraja Adityawarman memerintah kerajaan Malayupura dari tahun 1347 sampai tahun 1374
M, atau kurang lebih 32 tahun lamanya. Waktu yang cukup untuk mengeluarkan sebanyak 20 prasasti, yang sebagian besarnya telah dikonservasi dan dialihaksarakan dari Palawa ke aksara latin serta dari bahasa Sansekerta dan Melayu Kuno ke bahasa Indonesia. Secara keseluruhan isi prasasti menginformasikan kejadian-kejadian penting yang patut diabadikan dalam pahatan batu abadi sepanjang zaman. Melalui informasi dari inskripsi prasasti-prasasti tersebut, gambaran kejadian dan keseharian pada masa pemerintahan Raja Adityawarman dapat sedikit diketahui. Latar belakang Adityawarman yang lama bermukim di Majapahit serta pernah menjabat sebagai pejabat tinggi di Majapahit, turut dibawa dan diterapkan di Kerajaan Malayupura. Arlo Grifith, seorang ahli epigraf yang banyak meneliti prasasti Adityawarman, mengasumsikan lokasi Kerajaan Malayupura terletak di wilayah Minangkabau, di antara Dharmasraya dan Tanah Datar, Sumatera Barat.
Secara umum, prasasti yang dikeluarkan raja Adityawarman menguraikan gambaran kehidupan sosial budaya dan pengetahuan yang dikembangkan kala itu. Para ahli beranggapan bahwa sistem pengetahuan dan teknologi diadopsi dari Majapahit. Dengan kata lain, pengetahuan Adityawarman yang dipelajari semasa menetap di Majapahit diterapkan di Kerajaan Melayu Kuno. Hal ini bukan berarti melihat superioritas suatu kebudayan dibandingkan dengan kebudayaan lainnya, namun menunjukkan perpaduan antara inspirasi yang diambil dari kebudayaan lalu dengan pengetahuan yang telah berkembang di masyarakat setempat.
Beberapa hal terlihat sebagai perpaduan antara inspirasi dari Majapahit dengan kearifan lokal, mencakup sistem irigasi pertanian, pemerintahan, literasi, dan hukum peraturan perundangan. Pada dasarnya, inspirasi Majapahit terlihat pula dengan jumlah yang lebih banyak di Kerajaan Melayu Kuno, terutama keempat
sistem yang telah disebutkan di atas yang yang terlihat menonjol. Keempat sistem tersebut memiliki beberapa fakta menarik yang akan diuraikan dengan diperkuat data prasasti serta data pendukung lain.
Pertama, sistem irigasi pertanian. Budaya pertanian dengan kompleksitas pengetahuan yang melekat di dalamnya, seperti hidrologi atau pengelolaan air dan biologi menjadi kunci ketahanan pangan. Wilayah Sumatera Barat termasuk pendukung kuat kebudayaan agraris sejak era megalitik dan terus berkembang hingga masa kini. Berdasarkan acuan historis, budaya agraris ini setidaknya telah ada pada kurun waktu 2500 tahun yang lalu, sebagaimana bukti arkeologi di Nagari Mahat, serta di 50 Koto, Sumatera Barat. Sebaran batu-batu megalit penciri budaya agraris sebenarnya juga memunculkan pertanyaan baru, apakah kala itu telah dikembangkan sistem irigasi layaknya pada masa Adityawarman, atau baru diperkenalkan pada masa Adityawarman?
Pada masa klasik Hindu-Buddha khususnya pada masa pemerintahan Adityawarman, pertanyaan tesebut mulai terjawab. Data-data prasasti seperti Bandar Bapahat I dan II yang ditemukan di Desa Saruaso, Tanah Datar memuat informasi tentang pembangunan sistem irigasi dengan membelah sebuah bukit sekaligus mengatur sistem tata guna air guna kebutuhan pertanian dan kehidupan masyarakat. Inskripsi kuno pada prasasti Bandar Bapahat I terpahat pada bagian kiri Tebing Sungai Batang Lili. Struktur penulisan prasasti ditulis sepuluh baris, menggunakan aksara pasca palawa berbahasa Sansekerta dan Melayu Kuno. Berdasarkan pembacaan oleh seorang ahli epigrafi bernama Arlo Grifith, yang dikutip oleh Kusumadewi (2012) dalam tesisnya yang berjudul Adityawarman, secara keseluruhan prasasti berisi informasi tentang peremajaan dan pengembangan sistem irigasi untuk pengairan lahan pertanian dan taman. Dalam informasi selanjutnya disebutkan bahwa Raja
Adityawarman mendirikan sebuah bendungan yang berfungsi membendung air guna mengairi tanaman yang nantinya mendatangkan kesejahteraan masyarakat luas.
Semakin menarik, hal serupa juga dapat kita jumpai di Majapahit pada masa yang lebih awal beberapa tahun sebelum Adityawarman menerapkannya. Inskripsi pada Prasasti Kandangan yang berangka tahun 1350 M menyebutkan bahwa telah dilakukan pembangunan bendungan dan sistem pengairan yang dikelola secara teratur, lengkap dengan penyebutan pejabat penanggungjawab. Misalnya, disebutkan ada jabatan “Hulu Wras”, yaitu jabatan yang menangani urusan pertanian. Data arkeologi dari hasil ekskavasi di situs Trowulan banyak menunjukkan struktur yang diduga sebagai bendungan dan jaringan kanal pengairan.
Maka tak heran bila Majapahit dianggap kerajaan dengan sumber pangan melimpah atau swasembada pangan. Kerajaan ini mampu mengekspor beras hingga ke wilayah timur nusantara dengan armada dagangnya. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Agus Aris Munandar (2009) dalam karya ilmiahnya yang bertajuk “Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim di Nusantara”. Swasembada pangan Majapahit menjadikan rakyat makmur dan damai. Dengan dicapainya surplus pangan dan bebas dari ancaman kelaparan, rakyat tenteram sehingga menjadikan situasi kerajaan stabil untuk fokus melakukan pembangunan serta pengembangan bidang susatra antara lain Kitab Nāgarakṛtāgama dan Kitab Undang-Undang Majapahit, Kutara Manawa. Merupakan hal yang masuk akal apabila kemudian Adityawarman menerapkan pengetahuan yang sama, sebab sejarah membuktikan kondisi swasembada pangan menjadi kunci utama kestabilan negara dan kebahagiaan rakyat.
Kedua, sistem tata kelola pemerintahan. Di alam Minangkabau, setidaknya sejak masa pra-Islam dikenal konsep triumvirat, “Cati Nan Tigo” atau “Rajo Tigo
Selo”, yakni tiga pilar kepemimpinan yang mengatur tatanan politik, sosial, dan religi. Triumvirat terdiri atas Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Eksistensi dari sistem konfederasi ini dibuktikan sejak pra-Islam melalui tinggalan arkeologi berupa situs megalit, yaitu Medan Bapaneh, Menhir Guguak, Batu Batikam, dan beberapa situs lain.
Merujuk pada kajian antropologi, sistem budaya yang berkembang di Minangkabau dikenal dengan sistem federasi di mana setiap klan atau suku memiliki pemimpin masing-masing yang bergelar “Datuk”. Salah satu syaratnya adalah lakilaki kemenakan atau keponakan dari paman atau ‘mamak’ melalui garis darah ibu, atau anak laki-laki dari adik atau kakak perempuan sang “datuk”. Dalam hal ini kaum perempuan memegang peran penting dalam sistem budaya Minangkabau, yang sampai hari ini masih menganut sistem “matrilineal” atau menarik silsilah genealogi dari garis darah ibu. Sehingga, anak laki-laki dari pihak ibulah yang dapat meneruskan jabatan sebagai datuk pemimpin kesukuan. Secara sederhana, sistem yang diterapkan adalah sistem demokratis di mana kekuasaan tidak terpusat dan dikendalikan oleh satu orang atau satu golongan tertentu. Keputusan berasal dari mufakat. Hal ini tercermin dalam adat Minangkabau. Data atas sistem demokrasi ini, dapat dilihat di masa sekarang maupun sebelum Adityawarman mengukuhkan legasinya sebagai penguasa tunggal dengan gelar “Maharajadiraja”, raja di atas para raja.
Bercermin kepada sistem pemerintahan Kerajaan Majapahit, dikutip dari Kitab Nāgarakṛtāgama maupun Kitab Pararaton serta sumber dari beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa raja adalah sentral pusat kekuasaan, sosial, budaya, dan religi, dengan dibantu para kumara raja, atau para keluarga raja. Adapun administrasi pemerintahan dibantu oleh para patih dan mantri serta pejabat-pejabat struktural dan fungsional sesuai keahlian bidang masing-masing. Pewarisan takhta
diturunkan atas dasar garis keturunan, bukan dipilih oleh suatu dewan bangsawan dan bukan pula dipilih secara demokrasi oleh rakyat.
Sistem serupa kemudian berlangsung di Kerajaan Melayu Kuno pada masa pemerintahan Adityawarman. Informasi terkait sistem pemerintahan yang dijalankan Adityawarman tertulis dalam prasasti Amoghapasa, Kuburrajo, dan Batu Sangkar. Dalam tata kelola pemerintahan, Adityawarman adalah pemimpin tunggal yang dibantu beberapa keluarga raja, patih, dan menteri. Hak waris diturunkan kepada anak, sesuai informasi dalam prasasti Batusangkar yang menyebutkan bahwa selepas Aditywarman mangkat, maka digantikan oleh anaknya yang bernama Ananggawarman. Sistem pemerintahan dengan model yang menyerupai Majapahit ini tentu telah mengubah tatanan lama di Swarnadwipa dan di wilayah Malayupura, tempat Adityawarman menerapkan pemikiran-pemikirannya. Sistem demokrasi kemungkinan besar berlaku di masa sebelumnya yang tercermin dari tinggalan arkeologi seperti Situs Medan Bapaneh dan Menhir Guguak yang merupakan tempat musyawarah para pemimpin “Datuk” dalam mencapai kata mufakat. Namun, pada masa Adityawarman hal ini tampaknya berganti menjadi sistem sentralistik raja, sebagai pusat segalanya sebagaimana gelar yang disematkan pada dirinya “Maharajadiraja”, raja di atas segala raja atau pemimpin di atas segala pemimpin.
Adityawarman dengan keberadaannya di pucuk pimpinan tertinggi telah mengubah tatanan lama pemerintahan yang sifatnya konfederasi dan berasas demokrasi menjadi sentralistik feodal tulen, di mana berlaku sistem pewarisan takhta secara garis keturunan ayah kepada anaknya. Namun, terjadi titik balik perubahan. Tampaknya demikian skenario peradaban selalu berulang, tidak ada yang benar-benar abadi, terus berkembang sesuai jiwa zaman.
Sistem selanjutnya adalah sistem literasi di wilayah Melayu Kuno abad ke14 sampai dengan ke-16 M yang banyak bermunculan dari masa pemerintahan Adityawarman. Tercatat hampir dua puluh prasasti yang telah ditemukan, dengan memperlihatkan kompleksitas dan keberagaman penggunaan aksara, yaitu Pallawa dan Jawa Kuno. Demikian juga dengan keberagaman penggunaan sistem bahasanya, yakni bahasa Jawa Kuno, Sansekerta, dan Melayu Kuno. Benar-benar suatu tatanan literasi yang kompleks dan menunjukkan keterbukaan dan pluralisme tinggi. Bagaimana dengan prasasti dari masa terdahulu, apakah ditemukan prasasti sebelum masa Adityawarman? Terdapat satu prasasti, yakni inskripsi awal pada arca Amoghapasa yang merupakan hadiah Maharajadiraja Kertanegara, tepatnya 60 tahun sebelum Adityawarman naik takhta. Namun, sejauh ini sangat minim atau belum ditemukan yang berasal dari masa sebelumnya, yakni abad ke-11 dan 12 M. Prasasti yang ditemukan didominasi prasasti masa Sriwijaya seperti temuan di Bangka Belitung serta wilayah Palembang, Jambi, dan Lampung.
Pengetahuan ini seakan mengisyaratkan kepada kita, bahwa apa yang dipelajari Adityawarman selama di Majapahit benar-benar dituangkan secara nyata dalam maklumat dan pengumuman resmi yang dikeluarkannya. Pada banyak prasasti, aksara Jawa Kuno berpadu dengan Pallawa. Demikian juga dengan bahasa Sansekerta, bercampur dengan Melayu Kuno dan Jawa Kuno, suatu bentuk perpaduan yang luar biasa. Bila kita kategorikan jiwa zamannya, masa ini menunjukkan tingginya kesadaran literasi dan keluasan pengetahuan sang raja dan rakyatnya. Perlu diketahui bahwa prasasti dibuat untuk segenap bangsawan dan rakyat dan ditempatkan pada pusat-pusat permukiman atau keramaian sehingga dapat disaksikan dan dibaca semua orang. Bila diibaratkan serupa dengan papan informasi atau baliho pada jalan di pusat kota. Maka wajar bila Adityawarman dianggap sebagai salah satu raja paling ‘melek’ dan sadar literasi, hal ini juga bisa dibaca dalam prasasti Pagaruyung yang memuji kecerdasan dan keluasan
pengetahuan Adityawarman. Tentunya pengaruh ini tidak lahir dalam sekejap, namun telah berproses lama sejak masa-masa berkarir dan berkarya di Majapahit. Adityawarman benar-benar seorang pemimpin intelektual dan sadar akan pentingnya pengembangan budaya literasi, yang ia terapkan ke segenap rakyatnya.
Sistem berikutnya adalah hukum perundangan. Majapahit menjadi satu di antara kerajaan besar di Nusantara dengan data yang tergolong cukup memadai sehingga dapat direkonstruksi dan dinarasikan guna menyusun perjalanan peradaban bangsa. Data yang cukup signifikan dan banyak memberikan informasi khususnya gambaran suasana kehidupan kala itu adalah kitab Nāgarakṛtāgama yang memuat informasi politik dan sistem pemerintahan. Kitab lain yang cukup spektakuler adalah Kitab Kutara Manawa atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Majaphit. Kitab ini memuat beragam aturan hukum, baik pidana maupun perdata termasuk sanksi hukumnya. Kitab Kutara Manawa ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dan disusun dalam 16 bab, yang masing-masing berisi tentang bidang persoalan hukum, misalnya Bab 6 membahas hukum jual beli atau adol-atuku, dan Bab 2 terkait hukum pembunuhan atau astaduka. Bila dilihat pembagian persoalan hukum pada keenam belas bab tersebut, maka kitab Kutara Manawa boleh dikatakan undang-undang yang lengkap dan mengakomodir semua persoalan hukum pada masa itu.
Sejauh penelitian terkait zaman kerajaan klasik Hindu-Buddha di Nusantara, Majapahit termasuk di antara kerajaan yang menyusun kitab perundang-undangannya sendiri. Semakin menarik ketika hal serupa juga dilakukan kerajaan Melayu Kuno Adityawarman Malayupura. Dilihat berdasarkan kronologi waktu, kurun tahunnya tidak berbeda jauh dari Majapahit. Pada Kerajaan Melayu Kuno disusun kitab perundangan yang dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Berdasarkan pengkajian Uli Kozok (2005), yang kemudian diterbitkan dalam
sebuah buku berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, secara keseluruhan kitab ini memuat peraturan hukum yang kompleks. Dimulai dari hukum jual beli, hukuman pada penipuan, pembunuhan, perkelahian, bahkan kudeta atau pemberontakan. Kitab ini disebut-sebut juga sebagai kitab perundangan Melayu tertua di dunia. Merujuk kepada Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditulis di wilayah Dharmasraya dan diberlakukan di segenap penjuru Swarnadwipa, serta melihat masa penetapannya, dapat dipastikan bahwa pada masa Kerajaan Melayu Kuno Adityawarman juga diberlakukan sistem kepastian hukum sebagaimana yang ada di Majapahit. Pulang kampungnya Adityawarman dari Bumi Jawa Majapahit ke Bumi Swarnadwipa dan memproklamirkan diri sebagai Maharadiaraja penguasa Malayupura, tentu membawa perubahan signifikan dalam perkembangan peradaban Sumatra pascaruntuh Sriwijaya. Perubahan-perubahan yang terlihat melalui data prasasti dan data arkeologi yaitu berupa sistem irigasi, pemerintahan, hukum, dan literasi. Perubahan ini tidak terlepas dari latar belakang kehidupan Adityawarman yang tumbuh di Kerajaan Majapahit. Tentu tidak berlebihan bila kemudian diasumsikan bahwa Adityawarman dalam hal cara pandang dan latar belakang pengetahuannya terisnpirasi oleh Majapahit. Sebagaimana sifatnya, inspirasi itu terus berkembang dan menyebar ke segala penjuru Kerajaan Malayupura. Tatkala pengetahuan yang terinspirasi dari Majapahit itu telah menyebar luas dan membawa manfaat dan kebaikan pada segenap makhluk di bumi Malayu, maka saat itu “Surya Majapahit” mulai menebarkan sinarnya di Bumi Malayupura. Inspirasi itu hingga kini tetap abadi, bahkan berkembang dengan wajahnya sendiri, terus hidup hingga kini. Seperti kata petuah Hang Tuah, “Tak Kan Malayu Hilang di Bumi”.
Kusumadewi, Sri Ambarwati. 2012. Adityawarman (134-1374); Kajian Epigrafi. Tesis S2 Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Kozok, Uli. 2005. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Penerbit Obor.
Munandar, Agus Aris. 2009. Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim di Nusantara. Tidak Diterbitkan. Jakarta.
Sadzali, Asyhadi Mufsi. 2019. Hulu Ke Hilir: Jaringan Dan Sistem Perniagaan Sungai Kerajaan Sriwijaya. Dalam Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol.9 No. 1 (2019): 61-82.
Prasasti Pagaruyung I
Prasasti Kuburajo
Prasasti Bukit Gombak I & II
Prasasti Bandarbapahat
Prasasti Amoghapasa
Prasasti Saruoaso II
Muhamad Satok Yusuf10 , Cresentia Zita Octaviani11 “Om nama siwaya”
Begitulah mantra pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Pelebur yang populer di tanah Jawa sejak abad VII Masehi yang sering terdapat pada pembuka prasasti. Popularitas dewa utama dalam trimurti ini telah diberitakan sejak lama oleh para raja di tanah Jawa melalui prasasti, arca hingga percandian yang memang didedikasikan untuknya. Sebut saja prasasti Canggal dari Magelang yang diterbitkan pada tahun 732 Masehi menyebutkan tentang pendirian lingga di bukit Sthirangga. Ada pula dari Malang sebuah prasasti yang telah pecah menjadi tiga bagian, menyebutkan pendirian bangunan suci dan penggantian arca Agastya dari kayu cendana menjadi
10 Muhamad Satok Yusuf adalah Mahasiswa Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Uni versitas Udayana.
11 Cresentia Zita Octaviani adalah Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur.
batu. Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Gajayana tahun 760 Masehi ini juga menyebutkan tentang keagungan sang guru atau dikenal juga dengan Agastya, sebagai penghancur kekuatan musuh. Bila ditelisik mendalam kedua berita prasasti tersebut menceritakan tentang eksistensi Dewa Siwa, Mahadewa yang menjadi pimpinan dan dewa superior dalam kepercayaan Hindu. Lingga merupakan simbol suci Dewa Siwa dalam bentuk penis, sedangkan Agastya adalah perwujudan lain dari-Nya sebagai Mahaguru.
Popularitas Dewa Siwa di tanah Jawa tampaknya tidak hanya terwujud pada data prasasti saja. Candi Hindu termegah di Indonesia, Prambanan merupakan bukti nyata pengagungan Siwa sebagai yang tertinggi di antara Trimurti lainnya (Wisnu dan Brahma). Hal ini didasarkan pada penyebutan nama tempat tersebut sebagai Siwagrha (rumah Siwa), juga atas dasar peletakan arca Siwa dan keluarganya di bagian inti dan pada bangunan paling tinggi. Pengagungan Siwa seperti kasus di atas tidaklah dilakukan tanpa alasan. Dewa yang memiliki sifat pelebur segala zat ini memiliki aspek paling ganas dalam konstelasi dewata Hindu. Sifat-sifat menakutkan itulah yang akhirnya ditakuti oleh manusia, layaknya neraka yang menjadi momok bagi manusia dalam berbagai agama, juga menjadi simbol keperkasaan para kesatria. Selanjutnya karakter Siwa sebagai Ia yang mengembalikan zat lebur kembali menjadi wujud semula menjadikannya dianggap sebagai dewa yang berkuasa, mengalahkan kehebatan Wisnu Sang Pemelihara dan Brahma Sang Pencipta.
Membicarakan tentang Dewa Siwa rupanya terdapat temuan menarik di Situs Kumitir yang berlokasi di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Ekskavasi yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Direktorat Perlindungan Kebudayaan dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo, berhasil menampakkan sebuah struktur talud dan bangunan seluas 6 hektare. Ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2019 dan 2020 mendapatkan temuan lain yang cukup menarik, di antaranya adalah struktur sumur, fragmen prasasti, komponen candi, dan fragmen arca. Ada pula temuan lepas di sekitar situs ini berupa komponen bangunan, bakal kepala kala, bakal makara, hingga bakal arca. Temuan fragmen arca dan bakal arcalah yang menguatkan bukti adanya jejak Siwaistis pada situs yang berada di tenggara kompleks istana Majapahit.
Fragmen arca yang ditemukan saat ekskavasi di Situs Kumitir berjumlah lima buah. Masing-masing jenisnya adalah fragmen jari telunjuk arca yang menyangga roda api atau cakra, 1 bahu kiri dengan kelat bahu, dan 3 fragmen paha arca yang dibalut kain bawahan motif batik kawung. Kelima fragmen tersebut tersusun dari satu batu yang sama, yang mengindikasikan terdapat suatu sebab yang mengakibatkan arca pecah berkeping-keping. Melalui petunjuk berupa cakra, maka dapat dijustifikasi untuk sementara, bahwa fragmen tersebut adalah Dewa Wisnu, Dewi Durga, atau Dewa Harihara. Pasalnya, ketiga dewa tersebut memiliki senjata yang sama, yaitu cakra.
Temuan lepas berupa arca yang ada di sekitar Situs Kumitir merupakan bakalan arca. Artefak tersebut oleh masyarakat sekitar disebut sebagai arca Joko Slining. Arca ini terbuat dari satu buah batu andesit abu-abu yang telah dipahat secara kasar membentuk bagian-bagian tubuh sosok arca. Melalui pahatan dasar
yang ada, dapat diinterpretasi bahwa arca tersebut menggambarkan sosok Ganesa, putra Dewa Siwa. Interpretasi tersebut berdasarkan penggambaran arca yang berada dalam posisi duduk, terdapat telinga lebar di sisi kiri, dan adanya tonjolan vertikal dari kepala hingga perut yang diidentifikasi sebagai belalai gajah.
Temuan fragmen arca dan bakalan arca tampaknya menjadi bukti kuat eksistensi Dewa Siwa pada situs Kumitir. Fragmen kunci berupa senjata dewa berwujud cakra dapat menjadi petunjuk tentang keberadaan sosok Dewi Durga, istri Dewa Siwa yang pada percandian Siwaistis selalu ditempatkan pada relung bagian utara. Dewi ini merupakan perwujudan ganas dari Dewi Parwati. Durga menjadi simbol dari kemenangan melawan kejahatan yang diperbuat iblis berwujud kerbau. Arca Durga pada pengarcaan di Jawa Kuno menurut Ratnaesih Maulana dalam bukunya Ikonografi Hindu, secara umum digambarkan sebagai seorang wanita bertangan delapan memegang senjata cakra, sangka, pedang, perisai, anak panah, dan busur, berdiri di atas kerbau serta menjambak rambut raksasa yang berada di kepala kerbau.
Temuan lepas berupa bakalan arca menunjukkan ciri-ciri dari penokohan Dewa Ganesa. Ciri yang paling terlihat adalah adanya pahatan dasar dari sikap duduk tokoh yaitu bersila seperti bayi (utkutikasana), adanya penggambaran bidang lebar di sisi kiri kepala seperti telinga gajah, dan adanya tonjolan sepanjang muka hingga perut yang membentuk belalai. Jika dibandingkan dengan arca Ganesa yang masih utuh koleksi Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM), maka didapatkan kesamaan ikonoplastis dengan bakalan arca. Melalui penggambaran dan perbandingan tersebut maka bisa disimpulkan peran Ganesa juga dihadirkan dalam bangunan suci di Situs Kumitir.
Ganesa Sang Dewa Perang, berdasarkan Siwapurana dikisahkan sebagai putra Parwati. Kala itu Parwati ingin mandi dan tidak ingin diganggu siapapun, oleh karenanya, ia menciptakan seorang anak laki-laki dari dakinya yang ditugaskan menjaga pintu kediamannya. Siwa yang hendak memasuki kediaman Parwati terhalang oleh penjaga tersebut. Maka kemudian terjadilah keributan dan pertarungan sengit di antara keduanya. Alhasil Siwa menebas leher anak lakilaki tersebut menggunakan trisula hingga menyebabkan kematian. Parwati yang mengetahui kejadian itu menjadi murka dan menuntut Siwa untuk menghidupkan kembali penjaganya. Siwa pada akhirnya meminta pertolongan Brahma dan ia disarankan untuk mencari pengganti makhluk bumi yang kepalanya menghadap ke utara. Para Gana kemudian turun ke bumi dan berhasil menemukan gajah yang sedang tertidur menghadap ke utara. Oleh karena itu, Ganesa memiliki kepala gajah,
serta ia disebut sebagai Ganesa (gana + isa) maupun Ganapati (gana + pati), Sang Pemimpin para Gana.
Ganesa juga memiliki nama lain sebagai Sang Penyingkir Rintangan (Wigneswara). Nama tersebut ia raih sebab menjadi pahlawan bagi kahyangan dalam mengalahkan musuh dewata berwujud Asura. Ia juga membantu Siwa dan Parwati dalam menghadapi Parasurama yang hendak mencoba menerobos ke kediaman Siwa. Kisah yang dituliskan dalam Brahmandapurana menggambarkan pertarungan heroik antara Ganesa melawan Parasurama yang mengakibatkan salah satu gading Ganesa patah. Oleh karenanya, ia dikenang sebagai ekadanta (pemilik gading satu) atas jasanya sebagai pahlawan. Satu hal lagi, Ganesa memiliki kendaraan berupa tikus. Tikus dalam dunia pertanian dikenal sebagai hama yang mendatangkan bencana, oleh karenanya, melalui penaklukan tikus Ganesa dianggap sebagai simbol pengusir bencana, khususnya dalam agraria.
Antara Ganesa, Durga, Agastya dan Siwa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ditambah dengan Mahakala dan Nandiswara maka lengkaplah konstelasi pengarcaan dewa bernafas Hindu Siwa pada sebuah candi. Pada sebuah candi, Ganesa menempati relung bagian belakang (timur atau barat), Durga menempati relung sebelah utara, Agastya pada relung selatan, Nandiswara dan Mahakala pada relung di kanan dan kiri pintu masuk, sedangkan Siwa menempati ruang utama candi (garbagrha). Pakem perletakan arca-arca tersebut telah terkristalisasi sejak ajaran Hindu di India dan masih berlaku di Jawa hingga masa Majapahit. Berdasarkan temuan fragmen arca yang diduga kuat sebagai Durga dan bakalan arca yang diidentifikasi sebagai Ganesa pada situs Kumitir, maka dapat menguatkan landasan keagamaan yang terdapat di situs tersebut, dan bisa mengantarkan kepada tokoh siapakah yang didarmakan pada candi tersebut.
Siwa, Kumitir, dan Mahisa Campaka
Pada masa Singhasari pernah hidup tokoh yang menjadi nenek moyang dari raja-raja Majapahit, yaitu Mahisa Campaka yang bergelar Narasinghamurti. Tokoh yang masih keponakan dari Wisnuwarddhana ini merupakan patih Kerajaan Singhasari pada tahun 1248 Masehi. Kakawin Nagarakretagama menyebutkan hubungan akrab Raja Wisnuwarddhana dengan Mahisa Campaka seperti Krisna dan kakaknya (Basudewa). Bahkan Pararaton menguraikan lebih lanjut silsilah mereka yang pada mulanya seibu, yaitu Ken Dedes. Informasi tersebut dijabarkan oleh Slamet Mulyana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit.
Mahisa Campaka mendampingi Wisnuwarddhana memimpin Tumapel (nama lama Singhasari) selama 20 tahun. Nagarakretagama menyinggung wafatnya Wisnuwarddhana pada tahun 1268 Masehi. Sang raja didarmakan di dua tempat, di Jago sebagai Buddha dan di Waleri sebagai Siwa. Kakawin yang digubah oleh Mpu Prapanca tersebut juga memberitakan wafatnya Mahisa Campaka tak lama setelah mangkatnya sang raja. Hal ini diperkuat dengan temuan prasasti Sarwwadharmma di Tulungagung, yang oleh Slamet Mulyana dalam bukunya Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit dinyatakan bahwa Mahisa Campaka meninggal setahun setelah wafatnya Wisnuwarddhana. Pengarang Nagarakretagama yang beragama Buddha menguraikan tempat pendarmaan Mahisa Campaka di Wengker dan ia juga dibuatkan arca yang indah berwujud Siwa di Kumitir. Oleh karenanya, sangat memungkinkan bahwa Kumitir yang dimaksud dalam Nagarakretagama adalah lokasi yang dibahas dalam tulisan ini. Nama Kumitir di Jawa Timur dijumpai pada dua tempat, yang pertama di perbatasan Banyuwangi dan Jember berupa Gunung Kumitir, yang kedua adalah
nama desa di Mojokerto yang dibahas dalam tulisan ini. Nama Kumitir rupanya juga dikenal dalam Pararaton sebagai kuměpěr. Kedua tempat tersebut menjadi tempat pendarmaan Mahisa Campaka sebagai Siwa. Pendapat umum mengenai nama kumitir didasarkan pada nama bunga yang di Bali disebut gumitir (Tagetes erecta). Bunga gumitir menjadi salah satu sarana penting dalam peribadatan umat Hindu di Bali sebagai pelengkap dari sesaji. Akan tetapi, ternyata kosakata kumitir maupun kuměpěr juga dijumpai pada masa Jawa Kuno.
Kata kumitir berasal dari kata dasar ‘kitir’ yang mendapat imbuhan ‘um’. Begitu juga dengan kata kuměpěr yang berasal dari kata dasar ‘kěpěr’ yang mendapat imbuhan ‘um’. Imbuhan ‘um’ dan ‘in’ sangat lazim dalam kosakata Jawa Kuno hingga Jawa sekarang. Arti dari kitir yakni bergoyang kian kemari atau bergetar, sedangkan kata kěpěr memiliki arti menggigil atau bergetar. Kedua kata tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan makna yakni bentuk getaran pada suatu objek. Jika demikian maka penamaan Kumitir pada Nāgarakṛtāgama maupun kuměpěr dalam Pararaton tidaklah berbeda. Akan tetapi, untuk penamaan situs Kumitir saat ini sebagai nama bunga sepertinya harus ditinjau kembali, sebab dalam kamus Jawa Kuno nama bunga tersebut tidak dikenal.
Masih berkaitan dengan arti kumitir maupun kuměpěr yaitu bergetar. Berdasarkan arti kosakata tersebut, maka muncul indikasi bahwa tempat pendarmaan Mahisa Campaka merupakan daerah yang rawan akan getaran yang mungkin merupakan wilayah rawan gempa. Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang membuat manusia senantiasa waswas dan takut, layaknya bencana gunung meletus. Bahkan gempa bumi juga menjadi sengkalan dari runtuhnya Majapahit yaitu sirna ilang kertaning bhumi (sirna hilang ditelan bumi). Gempa yang sering terjadi di Indonesia disebabkan dua hal, yaitu aktivitas lempeng tektonik maupun
aktivitas vulkanik gunung berapi. Berdasarkan penyebab gempa tersebut, maka dapat ditelusuri jika bencana gempa berkaitan dengan eksistensi Dewa Siwa. Mungkin saja pada daerah Kumitir dulu rawan gempa dan tanahnya bergetar, maka dengan pendirian arca Siwa sebagai Raja Gunung diharapkan nantinya wilayah tersebut terbebas dari bencana, layaknya pendirian Candi Palah oleh Raja Srengga. Demikian juga sangat mungkin pemilihan Trowulan sebagai ibu kota Majapahit berkaitan dengan faktor pemilihan lokasi yang dekat dengan candi pendarmaan kakek sang pendiri Majapahit tersebut.
Pembahasan tentang dewata pelebur di Situs Kumitir tak berhenti pada titik ini. Masih terdapat permasalahan yang perlu dipecahkan guna menguatkan hipotesis di atas. Yang pertama adalah kebenaran lokasi Kumitir di masa lalu sebagai daerah rawan gempa. Tentu untuk menjawab hal ini memerlukan peran dari geolog yang lebih memahami tentang aktivitas geologis. Yang kedua adalah keberadaan arca Siwa yang digambarkan indah dalam Nagarakretagama. Apakah arca tersebut pernah ditemukan, ataukah masih terpendam, belum dapat dijawab lebih lanjut. Terlebih, ekskavasi yang dilakukan pada situs Kumitir belum menyeluruh dan masih 30%. Tentunya masih sangat banyak kejutan nantinya berdasarkan hasil ekskavasi lanjutan pada situs ini.
Majapahit, satu kata yang sudah tentu lazim di telinga orang Indonesia, meski telah runtuh lebih dari lima abad silam namun kenangan akan kebesaran Majapahit masih terdengar gaungnya hingga saat ini. Mengapa nama harum Majapahit dapat abadi? Sedangkan Majapahit bukan satu-satunya kerajaan besar yang pernah lahir, tumbuh, mencapai puncak kejayaan, hingga mengalami keruntuhan di Indonesia. Membahas Majapahit kita seolah menonton serial berepisode panjang yang penuh dengan intrik politik serta taktik cerdik para tokohnya.
Membahas Majapahit, yang tersirat di dalam benak tentu saja dua tokoh fenomenal yaitu Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada yang membawa Majapahit menuju puncak keemasan. Namun, jauh sebelum itu berdasarkan kitab
12 Marselina Sura adalah mahasiswi Universitas Hasanuddin.
Pararaton dan Nāgarakṛtāgama, Majapahit dimulai dari delta Sungai Brantas tepatnya di hutan yang berada di wilayah Tarik oleh seorang tokoh yang begitu cerdik dalam memanfaatkan kesempatan, dialah Raden Wijaya yang tanpanya tidak akan ada Majapahit.
Mengenal lebih jauh tentang tokoh sentral dibalik berdirinya kerajaan Majapahit yaitu Raden Wijaya, ia merupakan menantu dari penguasa terakhir Singasari raja Kertanegara yang dilengserkan melalui kudeta oleh para pemberontak dari Kediri di bawah pimpinan Prabu Jayakawang. Sebelum lengser Raja Kertanegara telah mempermalukan utusan penguasa Mongolia yang bermaksud untuk menuntut upeti dengan merusak wajah dan memotong telinganya. Hal ini membangkitkan murka Kaisar Kubilai Khan sehingga sang kaisar mengirim ekspedisi besar untuk menyerang Singasari. Di kemudian hari, Raden Wijaya bekerja sama dengan pasukan yang diutus Kaisar Kubilai Khan untuk menyerang Prabu Jayakatwang yang menduduki Singasari pada saat itu.
Kerja sama antara Raden Wijaya dengan pasukan Mongol berhasil mengalahkan pasukan serta menewaskan Prabu Jayakatwang. Setelah taktik cerdiknya mengalahkan Prabu Jayakatwang dengan memanfaatkan Pasukan Mongol berhasil, Raden Wijaya kembali menggunakan taktik cerdiknya dalam mengusir Pasukan Mongol. Pada saat Pasukan Mongol sedang merayakan pesta kemenangan dengan mabuk-mabukan, mereka diserang oleh Pasukan Raden Wijaya hingga terdesak dan mundur ke laut.
Selanjutnya Raden Wijaya membuka hutan di Tarik dan menjadikannya perkampungan yang dikenal dengan nama Majapahit. Perkampungan Majapahit terus berkembang seiring waktu. Namun, dalam perjalanannya sebagai sebuah kerajaan, Majapahit tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan. Pada masa
pemerintahan Raden Wijaya, terjadi beberapa kali pemberontakan yang di dalam beberapa literatur disebutkan dilakukan oleh orang-orang kepercayaannya sendiri.
Pada masa pemerintahan Raden Wijaya, terjadi pemberontakan Ronggolawe. Kisah pemberontakan Ronggolawe dapat ditemukan dalam Kitab Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ronggolawe. Pemberontakan ini sendiri didasari oleh ketidakpuasan Ronggolawe atas pengangkatan Nambi menjadi Patih di Majapahit. Pada akhirnya pemberontakan Ronggolawe dapat ditumpas. Pada pemberontakan ini gugur pula Kebo Anabrang yang juga merupakan orang kepercayaan Raden Wijaya.
Pemberontakan lainnya pada masa pemerintahan Raden Wijaya yaitu pemberontakan Lembu Sora. Kisah pemberontakan Lembu Sora tercatat dalam Kidung Sorandaka. Diceritakan bahwa hal ini berawal dari terbunuhnya Kebo Anabrang dalam penumpasan pemberontakan Ronggolawe yang dilakukan oleh Lembu Sora, yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi Lembu Sora sendiri. Diriwayatkan akhir hayat Lembu Sora tewas akibat fitnah yang dilakukan oleh mahapatih seorang pejabat di kerajaan Majapahit .Lembu Sora meninggal setelah dikeroyok pasukan Majapahit di depan istana Majapahit.
Setelah beberapa tahun memimpin Majapahit Raden Wijaya mangkat. Dalam kitab Nāgara Kṛetāgama Pupuh 47 (3) dituliskan bahwa Raden Wijaya mangkat pada tahun 1309 M dan didarmakan sebagai Harihara atau perwujudan dari Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Masih menurut kitab Negara Kertagama, Raden Wijaya diprabukan di Candi Simping yang terletak di Dusun Krajan, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Arca Harihara sendiri sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Tahun silih berganti, tampuk kekuasaan pun berpindah dari satu penguasa ke penguasa lainnya, hingga tibalah Majapahit pada masa keemasannya. Di bawah pimpinan seorang raja yang masih belia dibantu oleh patihnya yang setia. Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Raja Hayam Wuruk naik takhta ketika usianya baru menginjak 16 tahun menggantikan ibunya, Ratu Tribuwanatunggadewi yang memilih mundur dari tampuk kekuasaan setelah ibunya, Gayatri wafat.
Dalam kitab Nāgarakṛtāgama dan beberapa prasasti disebukan usahausaha yang dilakukan Raja Hayam Wuruk dalam memajukan serta memakmurkan Majapahit, usaha-usaha tersebut antara lain blusukan yang dilakukan oleh pembesar kerajaan. Blusukan ini dimaksudkan agar raja dapat mengetahui keadaan rakyatnya. Dalam beberapa tinggalan prasasti dari kerajaan Majapahit diceritakan tentang pembangunan-pembangunan infrastruktur yang dilakukan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seperti jalan, jembatan, tanggul, waduk, serta tempat-tempat penyeberangan bahkan kota pelabuhan di tepi sungai-sungai besar di Jawa Timur.
Sebagai sebuah kerajaan besar yang memiliki wilayah yang luas, penguasa Majapahit memiliki strateginya sendiri dalam mengawasi daerah kekuasaannya, yaitu dengan menempatkan pejabat-pejabat sebagai utusan kerajaan untuk mengurusi daerah kekuasaan. Kerajaan Majapahit sendiri terbagi atas beberapa wilayah mulai dari pusat kota hingga ke pelosok desa dengan pejabatnya masingmasing. Disebutkan pula pada waktu-waktu tertentu rakyat memberi upeti atau pajak kepada raja. Pemberian upeti selanjutnya digunakan untuk membangun infrastruktur-infrastruktur yang menunjang kemaslahatan rakyat sekaligus sebagai tanda atau bentuk kesetiaan rakyat kepada rajanya.
Waktu silih berganti, pada tahun 1389 M Raja Hayam Wuruk mangkat, sebelumnya Patih Gajah Mada telah mendahuluinya yaitu meninggal pada tahun
1364 M. Sepeninggal kedua tokoh besar ini, Kerajaan Majapahit sedikit demi sedikit menuju ke ambang kemunduran. Hal ini disebabkan tidak adanya pemimpin yang secakap Hayam Wuruk, juga disebabkan oleh konflik internal di dalam tubuh Kerajaan Majapahit serta melemahnya kontrol terhadap daerah bawahan yang menyebabkan beberapa daerah melepaskan diri dan mendirikan kerajaan-kerajaan baru yang bercorak Islam. Pada saat itu, Islam merupakan napas baru walaupun sesungguhnya Islam telah ada di Jawa jauh sebelum keruntuhan Majapahit, namun masih berupa kelompok-kelompok kecil di tengah dominasi Hindu-Buddha di Majapahit.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada abad ke-15 M. Keruntuhan ini terjadi karena konflik internal di dalam tubuh Kerajaan Majapahit seperti dijelaskan dalam Kitab Pararaton akibat perang saudara antara Wirabhumi dan Wikramawardhana dan berakhir dengan kekalahan serta terbunuhnya Wirabhumi. Selain itu pesatnya perkembangan Kerajaan Islam Demak di utara Pulau Jawa serta berdirinya Kesultanan Malaka juga turut melemahkan kekuasaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit memang telah runtuh pada abad ke-5, namun warisan kekayaan yang ditinggalkan masih dapat dinikmati hingga saat ini. Warisan Majapahit berupa candi, prasasti, dan karya sastra. Beberapa candi yang diyakini sebagai tinggalan Majapahit, antara lain: Candi Jabung, Gapura Bajang Ratu, Brahu, Tikus, Gapura Wringin Lawang, Surawana, Wringin Branjang, Pari, Cetho, dan Sukuh. Terdapat pula beberapa prasasti tinggalan Kerajaan Majapahit, antara lain: Prasasti Sukamerta, Butulan, Balawi, Prapancasarapura, Parung, Alasantan, Kamban, Hara-Hara, Maribong, Wurare, Kudadu, Canggu, Biluluk I, Karang Bogem, Katiden, Biluluk II, Biluluk III, Lumpang, Waringin Pitu, Jiwu, Marahi Manuk, dan Jiyu. Selain benda-benda artefaktual, tinggalan Kerajaan Majapahit lainnya
yaitu berupa karya sastra, antara lain: Kitab Nāgarakṛtāgama, Sutasoma, Arjuna Wiwaha, Pararaton, Sorandakan, Ronggolawe, Kunjarakarna, Sundayana, Soritasi, Panjiwijayakarma, Panggelaran Tantu, Calon Arang, Usana Bali, Parthayajna, dan Kutaramawana.
Candi, prasasti, dan kitab merupakan warisan tinggalan Kerajaan Majapahit yang sangat berharga, namun terdapat warisan yang jauh lebih berharga tanpa berbentuk candi, prasasti, ataupun kitab. Tinggalan tersebut tumbuh dan tertanam dalam cara berpikir dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Warisan itu, yang pertama ialah semangat bergotong-royong. Terinspirasi dari semangat Raden Wijaya dan pengikutnya membuka hutan Tarik bersama-sama, semangat tersebut hingga sekarang masih lestari dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan diterapkan mulai dari lingkup paling kecil yaitu di lingkup keluarga hingga lingkup yang paling luas yaitu lingkup berbangsa dan bernegara.
Warisan Majapahit selanjutnya yaitu musyawarah guna mencapai suatu mufakat. Warisan ini juga masih lestari dan menjadi bagian dari kehidupan seharihari dan diterapkan mulai dari lingkup paling kecil yaitu di lingkup keluarga hingga lingkup yang paling luas yaitu lingkup berbangsa dan bernegara. Yang terakhir dari warisan Majapahit yang masih hidup dan tidak akan lekang dari bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan satu kalimat luhur di dalam Kitab Sutasoma yang diadopsi menjadi semboyan bangsa Indonesia. Kalimat ini menggambarkan betapa visioner sang penulis kitab membaca keragaman pada saat itu dan juga pada masa-masa selanjutnya. Perbedaan bukan halangan untuk mencapai tujuan, namun kolaborasi antarperbedaan akan menjadi warna dan kesan tersendiri dalam meraih tujuan.
Selain warisan artefaktual, karya sastra, dan warisan yang bersifat abstrak (berupa ide, gagasan, atau cara berpikir) yang mewujud dalam bentuk tindakan, kenangan akan kebesaran Majapahit masih terus digaungkan oleh banyak orang. Bukan sekali dua kali orang-orang melakukan penipuan dengan embel-embel Majapahit dan banyak pula orang yang tertipu. Tak jarang ada orang yang mengaku keturunan pembesar Majapahit, ataupun sebagai titisan tokoh Majapahit dengan berbagai tujuan, dan banyak yang memercayainya. Selain itu banyak pula tradisi lisan yang menceritakan kebesaran Majapahit yang masih lestari hingga saat ini, serta banyak tempat yang diklaim memiliki hubungan dengan Kerajaan Majapahit ataupun tokoh-tokoh di Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit walaupun tak berumur panjang, hanya bertahan kurang lebih 2 abad dan telah runtuh lebih dari 5 abad yang lalu, namun dengan adanya fenomena-fenomena yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya membuktikan bahwa kenangan akan kebesaran Majapahit tidak padam, ia tidak hanya ada di dalam buku sejarah, namun lebih dari itu akan tetap ada dalam cerita juga dalam hidup bangsa Indonesia, yang setiap jengkal tanahnya adalah Majapahit di masa lampau.
Selama pandemi COVID-19 melanda seluruh dunia, manusia berlomba-lomba dalam menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru yang sulit dilakukan. Melakukan aktivitas di rumah, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan membiasakan hidup bersih. Semua kebiasaan bersosialisasi dan mengunjungi tempat hiburan tidak dapat dilakukan selama beberapa bulan terakhir. Banyak orang mengeluh akan hal ini. Pendapatan menurun karena banyak orang yang tidak bekerja. Demikianlah kiranya hasil kutipan berita CNN Indonesia. Rasa stres menghampiri semua orang, sehingga banyak terobosan ide baru yang dilakukan oleh orang-orang kreatif untuk bertahan dalam “perang” ini. Semua sektor terdampak oleh pandemi, salah satunya
13
Nurul Afni Sya’adah adalah mahasiswi Universitas Jambi.
pendidikan. Semua sekolah dan kampus ditutup dan proses belajar mengajar dilaksanakan dari rumah.
Demikian halnya dengan penelitian arkeologi. Sejatinya, penelitian arkeologi harus dilakukan di lapangan karena ekskavasi harus dilakukan pada situsnya langsung. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekskavasi adalah penggalian yang dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala. Ekskavasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian arkeologi yang dilakukan dengan penggalian tanah secara sistematis untuk memperoleh temuan arkeologi yang masih pada tempat aslinya. Hal ini ditujukan untuk mengetahui bentuk temuan, hubungan antartemuan, lapisan tanah, kronologi, dan aktivitas manusia pendukung yang telah terdeposit.
Ekskavasi dilakukan tidak lain adalah untuk mencapai tujuan arkeologi. Menurut Lewis R. Binford, arkeolog asal Amerika yang sangat berpengaruh dalam dunia arkeologi, terdapat tiga tujuan arkeologi, yaitu: merekonstruksi sejarah kebudayaan masa lampau, merekonstruksi cara-cara hidup masa lampau, dan menggambarkan proses perubahan budaya. Penggalian pada situs arkeologi sebenarnya merupakan kegiatan yang merusak. Kenapa demikian? Secara teori, tinggalan yang terendap di dalam tanah sudah menjadi satu kesatuan di dalamnya sehingga jika kita melakukan penggalian, kesatuan tersebut akan terpisah. Hal ini yang menjadikan banyak data arkeologi hilang dari kesatuannya jika tidak dilakukan dengan benar dan sistematis.
Dari penggalian yang dilakukan akan didapatkan data yang penting. Data tersebut akan dihimpun dalam sebuah kumpulan data yang disebut database. Database adalah kumpulan informasi yang disajikan secara cepat dalam bentuk
data elektronik. Database arkeologi terdiri dari atribut yang disepakati oleh para peneliti yang telah disesuaikan dengan data yang diinginkan.
Pendataan arkeologi selalu dilakukan secara fisik, melihat situs secara langsung, hingga penggalian yang melibatkan banyak orang. Namun aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan selama pandemi ini. Cara baru untuk menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini perlu dipilih menjadi alternatif sehingga dapat meneruskan penelitian sebelumnya. Dengan memanfaatkan teknologi para arkeolog mencoba memperbarui penelitian. Bagaimana pembaruan tersebut digunakan?
Seorang ahli arkeologi berkebangsaan Inggris yang membawa pembaruan di dunia arkeologi bernama Ian Hodder, menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Theory and Practice in Archaeology bahwa arkeolog biasanya bersikap pragmatis atau praktis yang mementingkan kegunaannya serta selalu berorientasi terhadap data kemudian terfokus pada satu permasalahan tertentu. Dalam praktiknya arkeologi selalu diimbangi dengan teori yang digunakan oleh para arkeolog untuk mengungkapkan kebenaran sebuah data. Namun penggunaan teori dan praktik saja tidaklah cukup tanpa mengikutsertakan aspek sosial di dalamnya. Oleh karena itu, di dalam bukunya dijelaskan eratnya hubungan teori dan praktik arkeologi terhadap praktik sosial. Para peneliti harus mempublikasi hasil ekskavasi atau temuannya kepada publik.
Selama ini, publikasi adalah laporan atau hasil dari ekskavasi ataupun penelitian yang telah dilakukan kemudian ditafsirkan oleh peneliti. Hal ini, acap kali tidak diperhatikan oleh masyarakat karena bahasa yang digunakan sangat ilmiah sehingga sulit dimengerti. Seyogyanya, publikasi harus mampu menjangkau seluruh
lapisan masyarakat karena masyarakatlah yang setiap waktu berinteraksi dengan situs. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak dapat terpisah dari masyarakat.
Data yang dihasilkan dari ekskavasi maupun penelitian selalu menjadi konsumsi peneliti itu sendiri, sehingga penafsiran data dilakukan oleh peneliti. Penafsiran didapatkan dari sudut pandang peneliti. Penafsiran data adalah bagian terpenting dalam penelitian karena merupakan hasil dari penelitian itu sendiri. Penafsiran biasanya disertai dengan teori-teori yang digunakan oleh peneliti. Tidak ada hal yang mutlak dalam ilmu pengetahuan, oleh karenanya siapa saja dapat memberikan pandangan terhadap sebuah permasalahan. Penggunaan database berbasis digital akan memudahkan distribusi data penelitian sehingga penafsiran data juga dapat dilakukan oleh orang lain agar mendapatkan sudut pandang berbeda terhadap satu permasalahan.
Masa normal baru ini, para arkeolog harus berinovasi dalam melaksanakan ekskavasi. Selain menggunakan protokol kesehatan, inovasi pada perekaman dan database sangat penting dilakukan. Oleh karena itu Yayasan Arsari Djojohadikusumo membuat terobosan baru dalam pembuatan database penelitian yang sebenarnya telah diwacanakan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Melalui PATI ke-4 (Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia) di Situs Kumitir yang melibatkan enam universitas dengan jurusan arkeologi di Indonesia yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Halu Oleo, Universitas Jambi, dan para arkeolog dari berbagai instansi untuk merealisasikan wacana tersebut. Database arkeologi diinput melalui sebuah aplikasi yang dapat menyimpan data yang tak terhingga. Media digital yang digunakan adalah sebuah aplikasi data collector, FulcrumApp.
FulcrumApp adalah media digital berbayar yang membantu dalam digitalisasi data tanpa kode yang berbasis daring dengan menghilangkan kesalahan transkrip bahkan dalam keadaan luring. Digitalisasi database menggunakan Fulcrum mempermudah peneliti dalam mengakses data karena telah terorganisir dengan baik dan rinci. Data yang dimasukkan dapat ditambahkan dan dimodifikasi oleh peneliti sehingga data yang dihimpun lebih variatif.
Konsep utama Fulcrum adalah membuat variabel atribut data yang dibutuhkan seperti nama kotak, sektor, temuan, bentuk temuan, hingga bagian paling rinci seperti ukuran temuan, berat, dan informasi lainnya beserta foto, peta, maupun rekaman 3D. Penginputan data oleh admin tanpa menggunakan kode sehingga mempermudah proses penginputan. Penginputan data bisa dilakukan real time sehingga potensi kehilangan data dapat berkurang. Semua variabel data bisa diunduh dengan format .xls untuk data offline.
Secara penerapannya, Fulcrum sangat membantu dalam menghimpun database arkeologi karena ketelitian dan kelengkapan komponen yang dimilikinya. Data akan tersimpan dengan aman dan dapat diakses semua orang. Variabel yang digunakan dapat disesuaikan dengan variabel yang ditentukan oleh peneliti. Sehingga data yang dimasukkan akan lebih banyak dan fleksibel.
Setiap pembelajaran baik baru maupun tidak selalu memiliki sesuatu kekurangan maupun kelebihan. Sistem database yang menggunakan aplikasi berbasis daring memudahkan para peneliti untuk mengakses data, selagi akun dalam keadaan baik maka data tidak akan hilang. Data yang terinput pun memiliki keamanan dan ketelitian yang jelas. Namun di balik itu semua, data daring ini memiliki kekurangan yang tidak semua orang bisa mengatasinya, seperti kurang
familiernya aplikasi ini pada setiap orang sehingga orang yang mengakses data harus meraba-raba bagaimana menggunakan dan mengoperasikan aplikasi. kemudian dalam hal menginput data lapangan ke dalam aplikasi dibutuhkan setidaknya enam orang untuk menginput data, namun hal ini adalah kondisional tergantung jumlah temuan selama penggalian. Pada kasus temuan penggalian Situs Kumitir yang sangat banyak, hal ini menyulitkan para peneliti dalam penginputan data lapangan.
Semakin besar database yang dibuat maka akan semakin besar pula kapasitas yang akan digunakan sehingga device yang digunakan harus mumpuni agar pengoperasiannya berjalan dengan lancar. FulcrumApp pada kalangan mahasiswa bisa dibilang hal baru. Digitalisasi database mempermudah semua proses dalam penelitian arkeologi, sehingga hal ini perlu dipahami oleh mahasiswa. Pembaruan harus selalu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas database.
Akses menyeluruh atau dapat dibuka oleh banyak orang yang dimiliki Fulcrum sangat membantu dalam mengaplikasikan praktik sosial yang dicanangkan Hodder, dengan mengikutsertakan orang lain dalam mempublikasikan data temuan ekskavasi serta akan mendapat tafsiran dari berbagai sudut pandang. Sehingga tafsiran data arkeologi tidak selalu dari satu sisi saja. Selain itu digitalisasi database juga membantu para instansi maupun para akademisi untuk melihat bagaimana mengorganisir sebuah database dengan rapi dan rinci, sehingga akan menjadi sebuah keseragaman dalam pendataan dan database arkeologi.
Keadaan baru yang mengharuskan semua orang mampu beradaptasi dengan baik untuk bisa bertahan, mengingatkan kita pada masa kurang lebih 10.000 tahun yang lalu di mana semua makhluk hidup harus berlomba dalam beradaptasi dengan
lingkungan ekstrem agar dapat bertahan hidup. Demikian pula keadaan kita saat ini, berjuang dalam membiasakan diri dengan keadaan pandemi saat ini. Kebiasaan itu pun terjadi juga pada semua sektor termasuk ilmu pengetahuan. Kegiatan arkeologi yang seharusnya di lapangan oleh para peneliti dengan ide kreatif berdasarkan pemikiran luar biasa para ilmuwan arkeologi dapat membuat bentuk baru dalam penelitian arkeologi yang sebenarnya sudah lama dicanangkan. Keadaan memaksa seperti ini membawa kita pada tahap di mana hal yang sukar dilakukan akan dapat terlaksana jika dieksekusi bersama. Penelitian arkeologi harus mampu beradaptasi dalam keadaan apapun untuk menghasilkan penelitian yang baik.
Adaptasi yang dilakukan merupakan sebuah kemajuan dalam dunia arkeologi terutama di Indonesia. Memadukan teknologi untuk memudahkan proses penelitian namun keabsahan penelitian arkeologi yang secara langsung turun di lapangan atau situs memang tidak akan tergantikan. Pembaruan akan terus berkembang dan meningkat, sudah saatnya mengikuti perkembangan tersebut demi kemajuan penelitian arkeologi yang mumpuni dan hasil yang terbaik. Mahasiswa arkeologi yang akan meneruskan bagaimana arkeologi Indonesia ke depannya harus lebih mampu mengolah dan menginovasi penelitian arkeologi menjadi lebih baik lagi.
Binford, L. R. (1972). An Archaeological Perspective. Newyork: Seminar Press.
CNN Indonesia. (2020). Survei: Pandemi Corona Gerus Pendapatan Masyarakat. Diambil dari CNN Indonesia website: https://www.cnnindonesia.com/ ekonomi/20200813165108 92-535427/survei-pandemi-corona-geruspendapatan-masyarakat.
Fulcrumapp.com. (2020). Fulcrum: Low-code Application Platform (LCAP) to Modernizing the Mobile Workforce. Diambil dari Fulcrum website: https://www.fulcrumapp.com/
Hodder, I. (1995). Theory and Practice in Archaeology. London: Routledge.
Ornstein, J. O. (2002). Archaeology: Discovering the Past. In Catholic Library World. New York: Oxford Press.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (1999). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta.
The Editors of Ensyclopaedia Britannica. (2018). Database. Diambil dari Britannica website: https://www.britannica.com/technology/database
Masyarakat Majapahit di Masa Lalu
Nusantara begitu banyak menyimpan misteri mengenai peradaban dari berbagai masa yang masih banyak belum terpecahkan. Semenjak ilmu pengetahuan mengenai sejarah dan peradaban yaitu arkeologi muncul dan berkembang di Nusantara, banyak benda maupun bangunan bersejarah mulai diperhatikan dan diteliti oleh para ahli arkeologi. Arkeologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari mengenai masa lalu berdasarkan tinggalan budaya material yang bersifat kebendaan. Tinggalan arkeologi tersebut merupakan refleksi dari hasil pola pikir masyarakat masa lalu yang kemudian dituangkan ke dalam tinggalan tersebut. Berkat tinggalan tersebut masyarakat Indonesia memiliki rentetan sejarah yang panjang dan berkesan baik di mata bangsa Indonesia maupun di mata dunia.
14 Dantoen Sidik Noor adalah mahasiswa Prodi Arkeologi Universitas Jambi.
Berbicara mengenai tinggalan arkeologi, salah satunya merupakan tinggalan Kerajaan Majapahit. Siapa yang tidak kenal Majapahit? Hampir semua masyarakat yang mengenal sejarah mengetahui kerajaan yang besar dan terkenal tersebut. Mulai dari yang tua sampai yang muda pernah mendengar kata Majapahit. Kerajaan Majapahit tidak hanya dikenal di Nusantara, namun dikenal hampir sebagian belahan dunia dikarenakan eksistensinya menyebar luas ke wilayah luar. Semua hal tersebut tidak terlepas dari adanya bantuan berbagai pihak dan yang terpenting adanya kerja sama dari masyarakat di sekitar Kerajaan Majapahit.
Agus Aris Munandar dalam bukunya yang berjudul Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaiannya menyebutkan bahwa kehidupan masyarakat Majapahit dalam hal perekonomian relatif maju. Artinya tidak semua masyarakat di Kerajaan Majapahit merupakan orang berada, namun dikarenakan masyarakat dan Kerajaan Majapahit memiliki hubungan yang baik maka hal tersebut menjadi salah satu penyebab Majapahit dapat dikenal oleh bangsa lain.
Selain itu di dalam Nagara Krtagama juga disebutkan beberapa bangunan suci Majapahit dijaga oleh masyarakat. Itulah mengapa baik masyarakat zaman dahulu maupun zaman sekarang memiliki peranan penting dalam hal menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan tinggalan arkeologi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masyarakat memiliki peranan yang sangat penting baik di masa lalu, sekarang, maupun yang akan datang. Masyarakat yang tinggal di sekitar situs memiliki peranan penting dalam mengembangkan sosial, budaya, politik, maupun ekonomi sehingga masyarakat dapat memperoleh
kesejahteraan dengan adanya situs arkeologi tersebut. Pemberdayaan masyarakat lokal dapat terwujud dengan adanya tiga aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi, ujar Tjahjono Prasodjo. Selain itu, para arkeolog juga memiliki peranan penting dalam membantu pemberdayaan masyarakat serta mendapat dukungan dari pemerintah setempat sebagai fasilitator.
Sehubungan dengan adanya Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) IV yang diselenggarakan pada Agustus 2020, dilakukan ekskavasi pada Situs Kumitir yang terletak di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan penelitian tersebut, maka penulis mencoba melakukan upaya pemberdayaan masyarakat yang nantinya akan berdampak pada pemberdayaan sosial-budaya, politik dan ekonomi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar Situs Kumitir masa mendatang. Situs Kumitir merupakan salah satu situs bekas peninggalan Kerajaan Majapahit, selain itu ketenaran kerajaan tersebut meluas bukan hanya di Indonesia namun juga di beberapa negara besar lainnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa temuan pendukung dan catatan sejarah mengenai Kerajaan Majapahit.
Daud Aris Tanudirjo menyebutkan bahwa kejayaan Majapahit bukan pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Gadjah Mada tetapi menjelang dan setelah Kemerdekaan NKRI. Saat itu, Kerajaan Majapahit begitu dikenal di kalangan para pemimpin bangsa dan masyarakat luas. Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat memiliki peranan yang cukup besar dalam membangun suatu kerajaan. Maka dari itu sudah sepatutnya masyarakat memperoleh keuntungan dari adanya tinggalan tersebut, seperti halnya dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya agar dapat menyejahterakan masyarakat yang berada di sekitar Situs Kumitir.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masyarakat memiliki peranan yang penting bagi kelangsungan tinggalan arkeologi, karena sejatinya tinggalan tersebut merupakan identitas dari suatu masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar situs arkeologi. Maka dari itu perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah tidak hanya pada tinggalan arkeologi, namun yang terpenting pada masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan cara membuat semacam kelompok atau organisasi guna melatih dan mengubah pola pikir masyarakat tentang tinggalan arkeologi. Sejauh ini kebanyakan masyarakat mengetahui bahwa tinggalan arkeologi hanya sebuah benda atau bangunan belaka yang memiliki sejarah, hanya sedikit masyarakat yang berpikir bahwa tinggalan arkeologi memiliki potensi yang dapat menguntungkan masyarakat yang tinggal di sekitar situs arkeologi.
Pemberdayaan masyarakat serta mengubah pola pikir terhadap tinggalan arkeologi dapat diterapkan. Pihak akademisi dalam hal ini berperan penting dalam mendekatkan diri kepada masyarakat. Menampung kritik dan saran serta hal yang diinginkan terhadap tinggalan arkeologi tersebut. Pemerintah sebagai fasilitator sekaligus mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengoordinasikan pengelolaan sumber daya arkeologi. Memberikan fasilitas bagi masyarakat untuk mengolah tinggalan arkeologi tersebut guna menunjang perekonomian masyarakat setempat.
Selain itu masyarakat juga akan dibekali dengan pengetahuan yang cukup mengenai tinggalan sejarah yang berada di tempat tinggal mereka. Pembekalan tersebut bisa dilakukan oleh pihak pemerintah terkait dengan bidang masingmasing, baik itu berupa pengetahuan mengenai sejarah tinggalan arkeologi ataupun hal lainnya yang dapat menyokong kehidupan masyarakat tersebut.
I Wayan Suantika menyebutkan pengelolaan sumber daya arkeologi dimulai dengan manajemen sumber daya budaya yang meliputi beberapa proses seperti perencanaan, pelaksanaan, organisasi, jaringan kerja, dan pengawasan. Instansi terkait yang bekerja sama dengan masyarakat setempat membuat gagasan atau ide mengenai kelangsungan situs dan sumber daya untuk masyarakat di masa yang akan datang. Kerangka di atas menunjukkan garis besar dalam melakukan pemberdayaan masyarakat pada Situs Kumitir. Proses tersebut dimulai setelah Situs Kumitir menjadi bentuk bangunan utuh atau telah dipugar oleh pihak yang berwenang.
Pemberdayaan masyarakat Situs Kumitir dilakukan oleh pihak terkait baik itu berupa akademisi, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. Pihak akademisi memiliki tugas pengkajian ilmiah dan pengetahuan tentang warisan budaya kemudian disajikan kepada masyarakat luas serta memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengelolaan sumber daya budaya.
Pemerintah sebagai fasilitator memberikan dukungan dan fasilitas dalam pengelolaan sumber daya budaya, mempunyai kekuatan hukum dan dana untuk melaksanakan pengelolaan. Peneliti juga memiliki peranan yang cukup penting dalam pemberdayaan masyarakat, bukan hanya sekedar melakukan penelitian terhadap situs yang diteliti namun dapat membantu masyarakat dalam pengetahuan mengenai sejarah Situs Kumitir. Masyarakat yang telah mengetahui sejarah Situs Kumitir dan ilmu pengetahuan menjadi salah satu bekal dalam memperoleh keuntungan sosial-budaya, politik, dan ekonomi.
Pemberdayaan masyarakat di sekitar Situs Kumitir dapat dilakukan dengan beberapa aspek yaitu sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Pihak yang mempunyai
tanggung jawab untuk membantu mewujudkan pemberdayaan masyarakat adalah akademisi, peneliti, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri. Masing-masing pihak mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda, namun memiliki tujuan akhir yang sama yaitu memberdayakan masyarakat yang berada di Situs Kumitir. Mengubah pola pikir masyarakat terhadap tinggalan arkeologi bukan hanya sekedar benda peninggalan masa lalu, namun masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana sejarah peninggalan arkeologi. Melalui pembekalan yang diberikan oleh pihak akademisi, para peneliti maupun pemerintah, agar dapat berguna bukan hanya sekedar pengetahuan bagi masyarakat namun berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka.
Munandar, A. A. (2008). Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. Prasodjo, T. (2004). Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Trowulan, Mojokerto.
Suantika, I. W. (2012). Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Jl. Raya Sesetan 80 Denpasar: Forum Arkeologi Vol. 25 No. 3, Balai Arkeologi Denpasar.
Tanudirjo, D. A. (2005). Peran Masyarakat Dalam Pelestarian Bangunan Dan Kawasan Bersejarah, Disampaikan Dalam Penguatan Pelestarian Warisan Budaya Dan Alam. Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tanudirjo, D. A. (t.thn.). Warisan Budaya Majapahit Dalam Perspektif Manajemen Sumberdaya Arkeologi. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (t.thn.). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Historia Magistra Vitae, Sejarah adalah guru yang terbaik. Tidak satupun bangsa di dunia ini yang membantah bila kebesaran mereka di hari ini tak terlepas dari perenungan dan telah menjadi murid yang baik dari sejarah. Terbukti dari generasi tua hingga generasi muda yang paham betul akan sejarah peradaban bangsanya. Mengakar kuat, sehingga mereka begitu bangga kemudian berbuah nasionalisme. Bila menyebut contoh, ada banyak negara maju yang bisa kita sebutkan. Lantas bagaimana dengan Indonesia, satu bangsa yang sejarah peradabannya membentang panjang dari masa prasejarah hingga di Perang Dunia II di Morotai. Secara skala kecil dilakukan survei terhadap lima puluh anak muda tentang apa yang mereka ketahui soal Majapahit. Hasilnya cukup mengejutkan. Terlebih respon spontan atas pertanyaan sederhana, “Apa yang terlintas di benak Anda tentang Majapahit?” Secara kumulatif, delapan puluh persen jawabannya mengacu pada dua hal, pertama Gajah Mada, dan kedua Sumpah Palapa. Lantas saat ditanyakan kenapa dua hal ini
yang begitu melekat dalam pikiran mereka, jawaban yang terlintas cukup sederhana, karena dua hal itu yang diajarkan di bangku sekolah.
Fenomena yang sedang mengglobal di kalangan anak muda kemudian membuat kita bertanya-tanya, “Apa yang menjadikan Gajah Mada begitu penting dan istimewa?” Pertanyaan yang sejatinya masih kalah populer daripada keingintahuan publik terkait seperti bagaimana rupa asli Gajah Mada. Bahkan yang tak kalah seru adalah soal perdebatan panjang letak istana Raja Hayam Wuruk saat itu. Walau seakan tak kunjung menemukan titik temu, luar biasa mengetahui bahwa dikursus ini telah menjadi perdebatan abadi di kalangan arkeolog dan sejarawan sejak masa M. Yamin masih muda, bahkan hingga kongres sejarah nasional terakhir kali di Jakarta dua tahun yang lalu. Memang isu ini boleh dikatakan mengandung daya imaji untuk terus diungkap. Sepertinya tanda tanya itu dibiarkan terus bergentayangan dalam dunia perdebatan sejarah klasik nusantara, cukup positif untuk disimpan sebagai api abadi yang senantiasa membakar jiwa zaman dalam mengenang Majapahit.
Apa yang telah Gajah Mada berikan untuk Majapahit sehingga namanya menggema sampai ke Negeri Matahari Terbit? Pertanyaan ini dijawab dalam beberapa literatur yang mengulas kemaharajaan majapahit, di antaranya karya Prof. Dr. Slamet Muljana berjudul Tafsir Sejarah Nāgarakṛtāgama. Dinyatakan bahwa sebuah sumpah sakral yang diucapkan seorang maha patih di hadapan khalayak ramai menjadi inspirasi suatu bangsa untuk bangkit melawan penindasnya. Sumpah itu dikenal dengan “Amukti Palapa”. Sumpahnya yang terucap tak hanya lip-synch, namun dengan pembuktian totalitas tanpa batas. Sumpah itu tidak hanya membakar api semangat para prajurit Majapahit, juga menghidupkan kebanggaan 268 juta jiwa bangsa Indonesia yang tersebar di tujuh perairan di antara dua samudra raksasa. Sumpah itu hingga kini masih menggema dari Sabang sampai Merauke. Berulangulang terdengar sayup dalam telinga,
“Sira Gajah Mada Patih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjung pura, ring haru, ring pahang, ring dompo, ring bali, sunda, Palembang, tumasik, samana isun amukti palapa.”
Lantas apa yang dilakukan Gajah Mada setelah mengucapkan sumpahnya? Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun membuka rahasia seorang negarawan ulung dan ahli strategi itu. Sebagaimana yang telah dituliskan para arkeolog dan sejarawan merujuk pada data prasasti dan artefaktual. Langkah pertama Gajah Mada yaitu membangun hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan besar di wilayah Asia atau yang pada masanya dikenal dengan sebutan Negeri di Atas Angin. Perjalanan dan upaya-upaya diplomatik itu dicatat dengan baik oleh Mpu Prapanca dalam mahakaryanya yang dikenal dengan Nāgarakṛtāgama. Ada banyak nama tempat yang disebutkan, mulai dari ujung barat pulau Sumatra, yaitu Haru, Panai, dan Melayu, hingga wilayah timur kepulauan Nusantara seperti Bali, Bima, dan beberapa nama lainnya.
Bukankah Majapahit senantiasa identik dengan budaya agrarisnya? Isu ini termasuk dalam top list perbincangan hangat soal Majapahit dikalangkan para ahli dan juga publik. Banyak di antara para ahli cenderung menganggap Majapahit sebagai kerajaan yang bercorak agraris. Dasar argumen yang dibangun melihat posisi keletakannya, serta isi dari prasasti yang banyak dikeluarkan selama imperium Majapahit berdiri. Namun jika meninjau ulang visi Sumpah Palapa, serta menelaah kembali Nāgarakṛtāgama, menjadi suatu keniscayaan Majapahit harus mengembangkan kemaritimannya. Bagaimana mungkin Majapahit bisa menjalin hubungan dagang, diplomasi, dan menjalankan politiknya bila tidak memiliki armada angkatan laut yang memadai?
Tentu untuk mewujudkan visi Sumpah Palapa, perlu dibangun armada maritim yang tangguh dengan teknologi pelayaran dan perkapalan mutakhir dan menjadi prioritas negara. Struktur organisasi pemerintahan “negara” juga harus dilengkapi dengan aparatur urusan maritim. Maka hal ini terlihat pada prasasti, naskah, dan sumber kuno lain, misalnya dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama, dan Babad Arya Kutawaringin, yang memaparkan informasi terkait penyerangan Gajah Mada dan Adityawarman ke Pulau Bali di tahun 1343 M. Narasi ini juga didukung oleh asumsi Profesor Slamet Mulyana dalam buku Tafsir Sejarah Nāgarakṛtāgama.
Serangan ke Bali merupakan serangan pertama yang dilancarkan Gajah Mada untuk pembuktian sumpahnya. Serangan itu sepenuhnya berhasil sehingga satu langkah Sumpah Palapa telah terealisasi dengan sempurna.
Ditinjau secara geopolitik, Bali adalah satu di antara pulau lain di Nusantara yang harus disambangi oleh Gajah Mada untuk menegakkan panji Wilwatikta. Melihat kondisi perairan yang harus ditempuh, dibutuhkan teknologi perkapalan serta penyiapan pelabuhan pendukung. Selain dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama dan Serat Pararaton, para sejarawan dan arkeolog terus berbenah melengkapi kepingan sejarah Majapahit, terutama dalam bidang kemaritimannya. Satu diiantaranya Nugroho (2011) dalam buku bertajuk Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Nugroho secara gamblang menarasikan dunia kemaritiman Majapahit dengan sistim dan tata kelola yang baik serta dapat mengendalikan pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara sehingga pada akhirnya mengendalikan perekonomian dunia pada masa itu. Kapalkapal dengan beragam ukuran dan fungsi dikembangkan. Demikian pula dengan pelabuhan-pelabuhan penting sebagai pendukungnya, sebut saja Lasem, Rembang, Surabaya, Tuban, dan Ujung Galuh.
Majapahit benar-benar menjadi kekuatan raksasa, yang mengendalikan perdagangan dan pelayaran dengan kehebatan tata kelola dan kekuatan armadanya. Namun sebagian besar masyarakat awam masih bertanya-tanya perihal kemaritiman Majapahit, bahkan banyak yang meragukannya. Bagaimana mungkin kerajaan yang terletak di pedalaman Jawa Timur, di sebuah wilayah bernama Mojokerto, yang terkenal dengan bidang agrarisnya karena panen melimpah juga dapat melakoni dirinya sebagai sebuah kerajaan maritim?
Agus Aris Munandar, seorang guru besar bidang arkeologi di Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul “Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim di Indonesia”, menarasikan dengan baik mengenai konsep politik, ekonomi, dan budaya Majapahit yang sesungguhnya. Artikel ini memberikan gambaran kepada pembaca bahwa Majapahit selain memiliki potensi mewujudkan cita-cita Sumpah Palapa, juga didukung oleh pemahaman lingkungan dan kecerdasan akan sistem tata kelola pemerintahan yang baik.
Dari hal ini lahir sebuah grand concept yang relevan dan tidak usang dimakan zaman. Pembuktian akan konsep Majapahit sebagai penganut dualisme kerajaan agraris-maritim, selain menggunakan sumber mayor seperti Nāgarakṛtāgama dan Pararaton, namun juga menggunakan sumber minor seperti sejarah Melayu. Sejarah Melayu menceritakan bagaimana Majapahit mengalahkan Tumasik atau dikenal sebagai Singapura di masa kini. Ada pula cerita Lasem mengenai pelabuhan Lasem di tahun 1351 M terdapat banyak kapal perang Majapahit bersandar dengan dipimpin laksamana bernama Rajasawardana. Adapun Babad Dalem dari Bali memberikan informasi perjalanan seorang pembesar Majapahit yang menyusuri Sungai Berantas menuju Selat Madura sebelum akhirnya berbelok memasuki Selat Bali. Kemudian
informasi lain dapat ditemukan dalam kisah Panji di Palembang tentang kisah sezaman dengan Majapahit dan menceritakan mengenai kapal yang dapat memuat 600–400 orang pengayuh sekaligus. Selain itu kisah mengenai kemaritiman khususnya tradisi perkapalan Majapahit, ditemukan dalam Hikayat Banjar yang mengisahkan perahu Nagara-Dipa, yang bentuk dan cara pembuatannya mengikuti tradisi maritim Majapahit. Dikatakan perahu Nagara-Dipa berukuran panjang 10 depa, mempunyai kayuh berjumlah 40, dengan badan perahu diwarnai merah gelap, biru terang, dan warna emas.
Sekian abad kapal Majapahit ini seakan tenggelam di antara rimbunnya padi menguning, hingga ditahun 1999, seorang pengrajin miniatur dari Mojokerto, Jawa Timur yang akrab disapa dengan Pak Djuhhari mematenkan bentuk miniatur kapal Majapahit. Pembuatan miniatur diawali dengan riset ke Belanda pada tahun 1995. Namun upayanya yang telah memakan waktu puluhan tahun belum mendapatkan respons yang cukup baik, sehingga jurus terahir dia keluarakan untuk memancing insan sejarawan, arkeolog, dan masyarakat umum. Dengan segala upayanya, pada tahun 2005 ia mulai mengusulkan pembangunan monumen kapal Majapahit kepada pemerintah Kota Mojokerto dan terealisasi pada 2016. Lokasi pembangunan monumen kapal Majapahit berada di Simpang Empat Miji, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto. Monumen berbentuk kapal Majapahit ini berukuran 2,5 x 0,6 meter dengan tinggi 1,5 meter. Kini monumen ini menjadi sebuah pemandangan menakjubkan sekaligus pengingat bahwa Majapahit pernah mengusai lautan, tidak hanya di perairan Nusantara, bahkan di perairan Asia.
Kehebatan kemaritiman Majapahit dipercaya para ahli sejarah dan arkeologi berakar dari tradisi bahari nusantara yang diwariskan dari para leluhur penutur
Austronesia, yang melintasi laut China turun ke selatan menuju kepulauan Mindao, Luzon, Palawan, lalu memasuki peraiaran Nusantara. Peristiwa historis ini telah dituturkan Peter Beelwood (2007), dalam buku berjudul Prehistori Indo-Malaysia Ciri kapal bercadik dilengkapi dengan layar tajak dan kemudi gada menjadi DNAnya yang kemudian diwariskan hingga ke generasi Mataram kuno di mana kapalkapal bercadik tergambarkan dengan baik dalam relif candi Borobudur. Kehebatan kemaritiman Majapahit bahkan menjadi satu kisah epik yang menceritakan satu tokoh Mpu Nala sebagai nama termasyhur di sepanjang perairan Asia. Faka akademik, disertai bukti sejarah dan arkeologis terkait pelayaran Majapahit yang menjelajahi perairan Asia boleh dikatakan belum memadai untuk merekonstruksi secara holistik. Namun setidaknya beberapa kepingan telah mulai disusun, satu diantaranya temuan keris di Kuil Enkuji Okinawa, Jepang yang bergaya Majapahit. Berdasarkan hasi penelitian sejarawan Jepang Kurayosi Takara dari Universitas Ryuku, keris sepanjang 22,1 cm tersebut berasal dari abad ke15 M. Hubungan antara Majapahit dengn Pulau Ryuku atau dimasa kini dikenal dengan Okinawa, telah terjalin sejak masa Majapahit atau bisa jadi lebih tua. Hal ini diperkuat dengan temuan keramik Imori di Trowulan. Satu hal yang sangat mungkin. Terlebih mengingat sifat dari pelaut Nusantara yang terkenal sebagai penjelajah bahari. Bisa saja antara keduanya telah menjalin hubungan dagang dan diplomatik yang baik.
Perihal relasi Jepang-Nusantara di masa lalu, juga disinggung dalam artikel yang ditulis oleh Sadzali (2014) berjudul “Dari Inspirasi Menuju Ekspedisi; Pelayaran Inspirasional Replika Kapal Majapahit ke Timur Jauh”. Pada tahun 2010 diselenggarakan sebuah pelayaran napak tilas yang terinspirasi dari temuan keris di Okinawa, serta adanya kepercayaan masyarakat Okinawa bahwa sebagian dari mereka memiliki darah keturunan Majapahit. Pelayaran bersejarah ini diinisiasi
oleh Japan Majapahit Association atau JMA bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, lantas melangsungkan misi pembuatan replika kapal Majapahit untuk kemudian dilayarkan menuju Okinawa dengan diawaki dua belas orang dan target ahir yaitu kapal akan dimuseumkan setibanya di Tokyo.
Pelayaran yang kemudian diberi nama Ekspedisi Bahari kapal Sprit of Majapahit ini dilepas oleh Bapak Jero Wacik selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwisata masa itu, dan perwakilan JMA di pelabuhan Marina Batavia-Jakarta pada hari Minggu tanggal 4 Juli 2010. Replika kapal Majapahit dibuat menggunakan teknologi tradisional Nusantara. Adapun rujukan bentuknya, mengacu dengan hasil seminar internasional bertajuk “Mencari Bentuk Kapal Majapahit” yang diselenggarakan di Tokyo pada bulan Maret, dan sesi kedua di Jakarta pada bulan Juni tahun 2009. Dari hasil seminar ini maka disepakati bentuk kapal memiliki cadik ganda, dilengkapi dengan dua tiang layar segitiga, serta menggunakan layar tajak. Pada bagian buritan dilengkapi dua kemudi atau dikenal juga dengan sitilah kemudi ganda. Kapal Spirit Majapahit memiliki bobot 20 ton, dengan panjang 20 m, lebar 4,5 dan dek setinggi 2 m. Secara estetis filosofis kapal ini dihiasi dengan dekorasi berupa ukiran berbentuk suluran serta motif ular naga yang kemudian oleh para awak kapal diberi nama “Marasendes’ atau naga laut pelindung.
“Sprit of Majapahit” demikian nama yang disematkan dalam buku harian catatan perjalanan kapal serta sekoci penyelamat, yang sekaligus sebagai identitas asalnya. Dalam prosesnya, memang tidak berjalan lurus, terdapat pro dan kontra terutama mengenai bentuk. Beberapa ahli sejarah maritim dan arkeologi mempertanyakan keabsahan bentuk kapal pada masa Majapahit. Tulisan berdasar kajian akademik mengenai bentuk kapal Majapahit boleh dikatakan memang sangat langka. Sehingga lumrah bila kemudian menjadi bahan perbincangan hangat.
Satu di antara tulisan yang langka itu adalah karya Profesor Daniel M Rosyid (2009) berjudul A Reconstruction of A Majapahit Ship, dipresentasikan dalam seminar internasional Historical Ship (RINA) di London 2009. Pada artikel ilmiah sepanjang dua belas halaman diulas secara mendalam bagaimana bentuk kapal Majapahit ditelaah dari sumber tertulis, pendekatan rekonstruksi, maupun etnografi yang merujuk pada perahu golekan karya Haji Solihin yang kini menjadi koleksi di sebuah museum Kanada.
Menurut Profesor Daniel, pakar teknik perkapalan Institut Teknologi Surabaya, melalui artikel ilmiah yang dipresentasikan dalam seminar internasional kapal kuno di Inggris tahun 2010, bentuk kapal Majapahit mengikuti gaya perahu tradisional Nusantara, atau yang dikenal juga sebagai teknik perkapalan Asia Tenggara. Sambungannya tidak menggunakan paku tetapi pasak kayu, kemudian menggunakan tambuku sebagai penyambung antara bagian rusuk dengan gadinggading dan papan lambung kapal. Tali ijuk berpilin tiga dijadikan pengikat antarbagian. Sistim penggerak kapal menggunakan tenaga dua layar tajak yang bisa dioperasikan berputar 180 derajat mengikuti arah angin berembus. Adapun untuk mengendalikan kapal mengandalkan dua daun kemudi ganda serta cadik sebagai penyeimbang dari hantaman ganasnya ombak. Bentuk seperti ini oleh para ahli perkapalan kuno seperti misalnya A.B Lapian, Manguin, dan Horst Leibner memang diakui sebagai bentuk perkapalan Nusantara di masa lampau, termasuk pada masa Majapahit menjelajahi perairan Asia.
Satu keniscayaan Majapahit telah membangun teknologi perkapalan dan pelayarannya dengan sangat baik untuk memenuhi kebutuhan diplomatisnya, baik dengan kerajaan di Nusantara maupun di Asia. Sumpah Palapa dan cita-cita penyatuan Nusantara bukanlah tonggak awal berkembangnya teknik perkapalan dan pelayaran bangsa-bangsa di Nusantara, namun sejatinya manifestasi dari obor
semangat diplomasi dan penjelajahan samudra yang telah diwariskan dari generasi pendahulu. Sumpah Palapa menjadi inspirasi semangat persatuan dan penyatuan Nusantara di bawah satu bendera yang sama, bendera merah putih, yang pada masa Majapahit juga menjadi bendera kerajaan Majapahit yang termasyhur di seantero Asia, bahkan hingga Kepulauan Ryuku-Jepang.
Pelayaran pertama Ekepedisi Bahari Kapal Sprit of di tahun 2010 tidak dapat tiba di Ryuku-Okinawa-Jepang akibat hantaman Badai Domeng saat akan berangkat dari Filipina menuju Okinawa. Badai besar yang mengaduk lautan selama hampir dua minggu memaksa pelayaran dihentikan sementara dan kapal Majapahit putar haluan kembali ke tanah air. Kurang lebih enam tahun kemudian, tepatnya pada bulan Mei tahun 2016 kapal Majapahit kembali dilayarkan untuk menebus janji pada sahabat lama di Ryuku-Okinawa-Jepang. Pelayaran pertama kapal dinahkodai oleh Mayor Deni, dan pelayaran kedua dinahkodai oleh Muhammad Amiin Azis. Sebagaimana yang dirilis dalam website Kemenko Maritim (2016), kapal Sprit of Majapahit akan dimuseumkan di Jepang, sebagai monumen pengingat hubungan baik dua bangsa yang telah terjalin sejak masa Majapahit hingga di pelayaran terakhirnya persahabatan itu tetap terjalin baik.
Historia Magistra Vitae, seakan menegaskan bahwa sejatinya sejarah dapat menjadi cerminan untuk masa kini dan masa depan. Di sisi lain, pelayaran kapal Spirit of Majapahit hingga ke Jepang secara tersirat mengingatkan kembali kepada bangsa ini, bahwa sejatinya napas dan urat nadi peradaban Nusantara adalah maritim sekaligus juga agraris, sebagaimana yang telah diwariskan para leluhur Austronesia, yang bermigrasi dengan pengetahuan darat dan lautnya menuju kepulauan Nusantara. Bangsa yang besar tentu harus mengingat dan berpegang teguh kepada identitasnya, bukan melupakan dan mencoba menjadi sesuatu yang bukan bagian dari dirinya. Maka pelayaran terakhir kapal “Spirit of Majapahit”
ke Timur Jauh, ke negeri di mana matahari terbit, menjadi peristiwa pengingat sekaligus cambuk untuk terus melanjutkan pelayaran berikutnya, dan kapal bangsa ini tetap bersandar di muara, bukan dimuseumkan.
Bellwood, Peter. 2009. Prehistory of The Indo Malaysian Archipelago. Australian National University Press.
Rosyid, Daniel M. 2009. A Reconstruction Of A Majapahit Ship, dipresentasikan dalam seminar internasional Historical Ship (RINA). London
Munandar, Agus Aris. 2009. Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim di Nusantara. Tidak diterbitkan. Universitas Indonesia.
Mulyono, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nāgarakṛtāgama. Penerbit LKIS. Yogyakarta.
Nugroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Penerbit Suluh Nuswantara Bhakti. Jakarta.
Sadzali, Asyhadi Mufsi. 2014. Dari Inspirasi Menuju Ekspedisi; Pelayaran Inspirasional Replika Kapal Majaphit Ke Timur Jauh. Dalam Buku “ Inspirasi Majapahit”. Yayasan Arsari DjoJohadikusumo.
Siapa sangka di Desa Kumitir, Mojokerto, Jawa Timur, ditemukan struktur bangunan yang terkubur di bawah tanah? Kenyataannya, hal tersebut memang terjadi. Pada tahun 2019, seorang pengrajin bata menemukan struktur batu bata di bawah permukaan tanah yang membujur utara-selatan. Penemuan tersebut langsung ditindaklanjuti oleh Balai Penelitian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur (Gambar 8). Mereka datang melakukan penggalian dan penelitian pusaka, dan menemukan bahwa struktur tersebut adalah sisi timur dari sebuah talud atau pembatas air dengan panjang 187 meter. 15
Penelitian pada tahun 2019 seakan menjadi pelopor untuk penelitian di tahun 2020. Dengan tenaga yang lebih banyak, waktu lebih lama, dan lokasi yang lebih luas, BPCB yang didukung oleh instansi lainnya menemukan dinding talud sisi timur, utara, dan barat dan sebuah struktur bangunan inti di bagian timur sisi dalam talud. Menurut BPCB Jawa Timur, talud ini memiliki panjang 312 meter dan lebar 250 meter.
Dalam penelitian arkeologi, semua hal yang dapat dilihat dalam penggalian adalah data arkeologi. Saat kita menggali, ditemukannya struktur, pecahan tembikar, benda-benda lainnya sudah menjadi hal biasa. Bahkan ketidaksamaan atau yang disebut anomali data pun menjadi sebuah data bagi arkeolog. Hal itu dianggap wajar pada penggalian dalam skala yang besar.
Satu hal yang menarik bagi diri saya untuk diteliti adalah cara mereka membuat dinding talud dan bangunan utama. Bahan utama penyusunnya adalah batu bata (Gambar 9). Hasil penggalian menunjukkan bahwa terdapat dua buah teknik merekatkan bata dan dua buah cara meletakkan bata.
Teknik pertama yang diketahui adalah teknik bata gosok. Teknik ini digunakan dengan cara menggosokkan dua buah bata dengan bantuan air. Kedua permukaan bata yang digosok tadi akan saling mengikis dan menghasilkan serbuk halus. Apabila serbuk ini bercampur dengan air, maka serbuk tersebut akan menjadi cairan kental seperti bubur. Cairan tersebut digunakan sebagai lem, karena memiliki kandungan awal dari batu bata, yaitu tanah liat. Semakin banyak digosokkan, maka semakin banyak serbuk hasil kikisan, dan semakin banyak pula “bubur bata”, hasilnya mereka saling merekat. Hasil akhir teknik ini menjadikan gabungan antarbata sangat rapat. Teknik kedua adalah teknik menggunakan isian. Teknik ini disebut juga dengan spesi atau nat di antara dua buah bata. Jika kita lihat saat ini, saat orang ingin menembok, dia menyisipkan semen di antara dua buah bata, semen itu disebut dengan isian. Pada kasus di Situs Kumitir, mereka menggunakan isian berupa tanah.
Tentu dalam meletakkan bata juga terdapat perbedaan. Ditemukan di hampir semua struktur bangunan, masyarakat yang membuat bangunan menampilkan sisi lebar bata sebagai bagian depan, namun ada pula yang menampilkan sisi panjang sebagai bagian depan. Pada tulisan kali ini, saya lebih tertarik untuk membahas tentang alasan mengapa terdapat dua buah teknik penggabungan bata. Apakah ada makna atau alasan yang kuat tentang penggunaan dua buah teknik ini pada sebuah bangunan? Sedangkan untuk arah meletakkan bata, sangat memungkinkan menjadi sebuah penelitian tersendiri yang tidak kalah menarik.
Untuk mengetahuinya, diperlukan data setiap struktur bangunan yang menggunakan bata. Data tersebut dapat diperoleh dari sebuah akun di kanal YouTube yang bernama ArkeoVlog Indo. Pada akun ini, diperlihatkan hasil penggalian dari hari pertama hingga hari terakhir, termasuk menjelaskan struktur bangunan dan juga anomali yang teramati. Hal tersebut dilakukan sebagai cara yang dilakukan BPCB dan instansi terkait untuk memublikasikan hasil penggalian kepada publik. Selain kanal YouTube, sebuah kegiatan bernama Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) IV bekerja sama dengan Arkeologi Universitas Hasanuddin membuat sebuah database hasil penggalian Situs Kumitir tahun ini. Kedua hal ini lebih aman dibandingkan dengan datang ke lokasi, apalagi dengan kondisi pandemi Covid-19 yang sedang marak-maraknya. Data yang dipilih adalah data dengan hasil yang paling baru. Hal itu dipilih karena data tersebut dapat dikatakan hasil akhir, paling update, dan paling terlihat.
Penelitian kita mulai dari bangunan inti. Bangunan inti ditemukan di sisi timur bagian dalam talud. Struktur bangunan ini terlihat dengan jelas, baik keadaan sisi luar, tengah, dan dalam. Dengan melihat lebih seksama, terdapat dua buah teknik
yang digunakan, yaitu bata gosok dan bata isian. Teknik bata gosok dapat dilihat dari kerapatan antarabata. Sedangkan pada bagian dasar atau bawahnya, digunakan teknik bata isian yang terlihat dari adanya rongga di beberapa tempat antarbata.
Selain bata, banyak sekali ditemukan batu putih dan batu andesit berukuran besar (Gambar 10). Kedua jenis batu ini menjadi menarik karena pada beberapa batu, ditemukan hasil modifikasi oleh manusia berupa bagian yang menyiku. Diduga bagian tersebut digunakan sebagai pengunci antara satu batu dengan batu yang lain. Teknik tersebut ditemukan juga pada candi-candi besar seperti Candi Borobudur. Hal tersebut juga dapat menjadi penelitian tersendiri yang menarik
Kita berlanjut ke dinding talud di sisi timur (Gambar 11). Pada sisi ini, penggalian tidak sampai menampakkan bagian dalam talud, hanya bagian luar dan atasnya. Dinding talud ini dapat dikatakan sebagai dinding talud dengan hasil yang sangat baik karena belum rusak oleh tangan manusia saat ini. Dengan melihat dari yang sudah tampak, benar jika dinding talud ini menggunakan dua teknik. Teknik pertama adalah teknik bata gosok dan terpasang di sisi luar dinding talud. Hasilnya sangat bagus dengan tumpukan sangat rapat, meskipun keadaan bata sudah aus karena dugaan sementara terkikis oleh aliran sungai. Sedangkan teknik kedua atau teknik isian, terdapat pada bagian tengah talud yang tampak dari atas. Isian berupa tanah ini terlihat saling berimpitan di kanan kiri tiap batu bata. Selain itu, terdapat bata pada bagian tengah yang sudah acak, hal itu sangat memungkinkan bagi bata untuk bergerak karena adanya rongga hasil spesi yang tidak rusak.
Dinding talud sisi utara terbagi menjadi dua buah tempat, yaitu di timur laut dan barat laut. Keadaan dinding talud di timur laut sudah agak rusak, namun masih bisa direkonstruksi dan dikenali sebagai dinding talud. Kedua tempat tersebut tidak digali sampai sisi dalam, namun bisa dilihat dari sisi luar, bagian dalam dari atas, dan juga melalui beberapa bata yang sudah terlepas. Bagian timur laut memiliki bagian yang aus di sisi luar. Sama seperti sebelumnya, seluruh dinding talud bagian utara ini juga menggunakan dua buah teknik. Teknik bata gosok digunakan pada sisi luar dinding talud (Gambar 12. Hasilnya sungguh rapi dan sangat apik. Sedangkan bagian tengahnya, terlihat adanya spesi atau isian berupa tanah, baik itu menumpuk atau mengimpit antarbata (Gambar 13). Hasil bata yang disusun pun lebih baik dan lebih kompak, tidak seperti bagian tengah dari dinding talud sisi timur.
Bagian terakhir yang digali adalah dinding talud bagian barat. Pada dinding talud bagian ini, diperlihatkan sisi luar, bagian tengah, dan sisi dalam. Keadaan dari dinding talud ini lebih adalah dinding talud dengan keadaan paling rusak, namun justru gejala tersebut terlihat lebih jelas. Teknik bata gosok digunakan pada sisi luar dinding talud (Gambar 14). Teknik ini digunakan setidaknya sampai tiga banjar bata ke arah tengah dinding talud, hal itu dapat terlihat dari keadaan dinding talud yang rusak dan kita dapat melihat kenampakan bagian dalam dinding talud itu seperti apa.
Sedangkan untuk teknik isian dilakukan pada bagian tengah dan sisi dalam dinding talud (Gambar 15). Pada kedua bagian tersebut, terlihat jelas adanya spesi atau isian berupa bata di antara dua buah bata (Gambar 16). Namun, hasil dari teknik ini terlihat masih kompak, khususnya pada sisi dalam, yang membuatnya menjadi sangat bagus. Jika sisi luar dibuat sebagai talud, maka sisi dalam dibuat untuk melindungi sesuatu yang ada di dalam, atau disebut sebagai dinding tembok.
Satu hal yang tertinggal, ditemukan sebuah struktur besar yang diduga sebagai gerbang masuk dan berlokasi tepat berada di tengah-tengah dinding talud sisi barat (Gambar 17). Bentuk dari diduga gerbang ini berupa susunan bata dengan menggunakan teknik bata gosok. Hal tersebut dapat dilihat dari batu bata yang tersusun sangat rapat sekali. Sedangkan teknik isian terlihat saat dipertemuan antara gerbang dengan dinding talud dan pada bagian bawah dari susunan bata gosok. Bata dengan teknik isian seakan menjadi pondasi bagi struktur dengan teknik bata gosok.
Dari informasi letak penggunaan kedua teknik tersebut, muncul interpretasi bahwa kedua teknik tersebut digunakan dengan memperhatikan nilai estetika dan fungsional. Bagaimana bisa interpretasi tersebut muncul?
Nilai estetika atau keindahan terlihat pada penggunaan teknik bata gosok saja. Setidaknya, diketahui tiga tempat yang menggunakan teknik tersebut, yaitu pada bagunan utama, seluruh sisi luar dinding talud, dan lokasi yang diduga sebagai gerbang. Interpretasi ini muncul dengan analogi seperti sebuah rumah. Saat membuat sebuah rumah, tentu semua orang ingin memiliki tampilan depan yang sangat indah. Mereka membuat tampilan depan pagar dan rumahnya dengan sangat indah dengan tujuan menyenangkan para tamu ataupun menyenangkan diri sendiri. Dari kedua teknik tersebut, teknik bata gosok memiliki hasil yang paling rapi. Maka dari itu, digunakanlah teknik tersebut untuk menambah keindahan suatu bangunan, baik itu di sisi luar tiap dinding talud dan gapura sebagai sesuatu yang dilihat pertama kali oleh pendatang, atau pada bangunan utama sebagai bentuk penghormatan terhadap yang didharmakan. Saat ini, sulit sekali mencari informasi
penggunaan bata gosok. Namun di Bali, terdapat pabrik bata di Desa Tulikup yang terkenal sebagai bahan untuk teknik bata gosok (Gambar 18). Sayangnya, teknik tersebut ditinggalkan dan diganti dengan cara yang lebih praktis, yaitu mereka membuat dinding rumahnya menyerupai teknik bata gosok, padalah mereka hanya menempelkan bata dengan semen di bagian dalamnya.
Teknik bata isian tidak digunakan sebagai penampil depan, namun ia terletak di sisi yang terhalang oleh teknik bata gosok. Teknik bata isian menggunakan tanah liat sebagai isian atau yang kita kenal saat ini dengan semen. Penggunaan isian antar bata haruslah pas agar tampak rata dan indah, namun hal tersebut dirasa sulit dan juga tanah yang nantinya mengering dapat terkelupas dan meninggalkan hasil yang jelek. Dengan hal tersebut, sangat memungkinkan tidak adanya teknik bata isian pada tampak depan sebuah struktur bangunan karena tidak terlalu indah.
Selain nilai keindahan, teknik bata gosok pun memiliki nilai fungsional atau nilai kegunaan. Seperti yang sudah disebutkan di atas, gabungan yang dihasilkan dari teknik ini adalah bata yang sangat rapat. Saking rapatnya susunan bata, maka air tidak akan merembes pada sela-sela bata, karena tidak ada celah bagi air untuk masuk. Hal tersebut menjelaskan alasan lain mengapa sisi luar dinding talud menggunakan teknik tersebut. Didukung pula dengan permukaan sisi luar dinding talud yang aus karena kikisan air dan hasil stratigrafi tanah yang memperlihatkan lapisan tanah hasil endapat aliran sungai.
Sedangkan teknik bata isian, diketahui hanya memiliki nilai fungsional saja. Alasan paling logis kenapa teknik bata isian selalu berada di bagian tengah, sisi dalam dinding talud, bagian dalam bangunan utama adalah spesi yang digunakan. Spesi yang digunakan adalah tanah. Apabila tanah bertemu dengan air dengan jangka waktu yang lama, maka tanah yang menjadi spesi antar bata menjadi lumpur atau rusak, membuat susunan antar bata menjadi tidak seimbang dan akhirnya rusak. Saat ini, terdapat aturan dari pemerintah tentang campuran spesi dengan perbandingan 1 semen : 3 pasir. Sangat sulit membayangkan apakah mereka memperhatikan perbandingan bahan dalam menyisipkan spesi, terlebih bahan seperti semen belum ditemukan pada masa itu.
Sebaliknya, dalam keadaan kering, susunan bata ini menjadi sangat kokoh. Dengan alasan tersebut, sangat memungkinkan penggunaan teknik ini digunakan sebagai bentuk penguat dan pengerasan. Terlebih pada dinding talud, penggunaan teknik bata isian seakan menopang struktur bata dengan teknik bata gosok. Dari penelitian ini, diketahui bahwa setiap teknik memiliki karakteristik, keletakan, dan nilainya sendiri. Apabila ingin diinterpretasikan lebih jauh kita dapat mengetahui bahwa masyarakat masa lalu sudah memiliki pengetahuan sehebat itu. Selain itu, saat penggalian dinding talud sisi selatan, identifikasi bagian talud menjadi sangat mudah, apakah itu tampak depan atau belakang.
Bachtiar. Rofiq, “Cara /Teknik Bata Gosok || Merekat Sangat Kuat Tak Perlu Semen” YouTube, diunggah oleh Nyak Tuing Channel, 16 September 2020, https://www.youtube.com/watch?v=-0Iudoo4QJk, diakses pada tanggal 5 November 2020.
Ditjen Cipta Karya. 2006. Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa. Jakarta: Ditjen Cipta Karya.
Nugroho, Wicaksono Dwi. “Diskusi online: Adakah bencana di Situs Kumitir?l” YouTube, diunggah oleh Arkeovlog Indo, 22 Agustus 2020 https://www. youtube.com/watch?v=Z6_wejhiwVU, diakses pada tanggal 5 November 2020.
Nugroho, Wicaksono Dwi. “Ekskavasi Situs Kumitir 2020 : Mencoba Menemukan Jejak Gerbang (Hari 20)” YouTube, diunggah oleh Arkeovlog Indo, 28 Agustus 2020, https://www.youtube.com/watch?v=BQsAx4wNBU, diakses pada tanggal 5 November 2020.
Nugroho, Wicaksono Dwi. “Ekskavasi Situs Kumitir 2020 : Menuju Interpretasi Part 1 (Hari 28)” YouTube, diunggah oleh Arkeovlog Indo, 7 September 2020, https://www.youtube.com/watch?v=PHSeQ_es2S4, diakses pada tanggal 3 November 2020.
Nugroho, Wicaksono Dwi. “Ekskavasi Situs Kumitir 2020 : Temuan menarik di sektor A, C, D (hari 25)” YouTube, diunggah oleh Arkeovlog Indo, 3 September 2020, https://www.youtube.com/watch?v=xfcEBHP1jTc, diakses pada tanggal 3 November 2020.
PATI 4.0. “Data Temuan”. Diambil kembali dari Arkeologi Universitas Hasanuddin, September 2020, https://arkeologi.unhas.ac.id/pati-iv-2020/ data-temuan/, diakses pada tanggal 3 November 2020.
Suaditya. “Pembuatan Tembok Stile Bali” YouTube, diunggah oleh Suaditya Daily, 9 Juli 2017, https://www.youtube.com/watch?v=Zv0X_xgVelg, diakses pada tanggal 5 November 2020.
Tama, Pande Wayan. “Seni Bangunan Bali”. Diambil dari Bata Gosok Bali, 18 Agustus 2012, http://batagosok.blogspot.com/2012/08/seni-bangunanbali.html, diakses pada tanggal 5 November 2020.
Kegiatan Arkeologi di Situs Kumitir
Belakangan ini situs Kumitir menjadi buah bibir di kalangan arkeolog maupun masyarakat umum. Ada apa dengan Situs Kumitir? Mari kita mengenal sekilas tentang situs tersebut. Situs Kumitir secara administrasi berada di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Sebenarnya situs ini sudah ditemukan sejak 18 Juni 2019 oleh warga sekitar. Adapun temuan yang terekam adalah struktur bata sepanjang 21 meter dengan orientasi utara-selatan yang diduga sebagai talud. Mungkin kalian akan bertanya-tanya tentang apa yang dimaksud dengan talud? Menurut penulis, talud merupakan bangunan untuk memperkuat 16 Nensi Yuliyanti Dewi adalah mahasiswi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indone sia.
dan menahan tanah pada suatu kawasan. Menindaklanjuti berita hangat itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan tinjauan pada 21 Juni 2019. Ekskavasi dilakukan pada bulan Oktober 2019 dengan total area ekskavasi 6 hektare, ukuran yang sangat luas untuk suatu situs. Ekskavasi situs yang sangat berbau arkeologi itu, telah dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap pertama tahun 2019 dan tahap kedua tahun 2020. Ekskavasi tahap pertama berhasil menyingkap bentangan struktur bata dengan orientasi utara-selatan sepanjang 187,2 meter. Struktur tersebut berlanjut ke arah sisi selatan, sedangkan di sisi utara menunjukkan sudut yang mengarah ke barat.
Struktur bata yang diduga talud memiliki indikasi, yaitu: (1) pilar dengan interval 5,5 meter; (2) sisi luar talud berada di timur dengan tatanan bata yang rapi, sementara tatanan sisi barat memiliki pola yang acak; dan (3) talud tersusun oleh 23 lapis bata dengan ketinggian 100 cm dari permukaan tanah, bagian pondasinya terdapat enam lapis bata. Adanya indikasi talud menjadi tanda tanya karena memberikan jalan remang-remang atau malah memantik pengetahuan? Untuk sementara, kita tinggalkan pertanyaan itu dan beralih pada ekskavasi tahap kedua, yang bertujuan untuk menampakkan lanjutan struktur arah selatan dan barat, serta di area makam yang diduga sebagai candi. Temuan baru yang didapatkan pada tahun 2020 adalah struktur bata dan pipi tangga atau makara. Situs dibagi menjadi beberapa grid dengan ukuran 4 x 4 meter dari sebelah timur dinding kompleks makam. Sementara, itu, ekskavasi dilakukan dengan teknik trench atau parit. Target ekskavasi tahun 2020 adalah bidang gali seluas 1084 m² atau volume kerja 2168 m³, setelah ekskavasi selesai akan dilakukan pencungkupan sementara.
Setelah mengungkap data lapangan, sekarang kita beranjak menuju data tertulis. Situs Kumitir dalam sumber tertulis dimuat pada Kitab Nāgarakṛtāgama, Pararaton, dan Kidung Wargasari. Dalam Nāgarakṛtāgama pupuh 41:4, Kumitir
tertulis sebagai sebuah bangunan suci pendharmaan yang berlatar agama śiwa dengan arca śiwa yang indah. Tokoh yang didharmakan adalah Narasinghamurti yang meninggal setelah tahun 1268 M. Pupuh tersebut juga memberikan keterangan bahwa bangunan suci itu dibangun oleh Bhre (Bhatāra i) Wĕngkĕr (bernama Wijayarajasa, paman raja). Sementara itu, dalam Pararaton, Kumitir disebut sebagai Kumĕpĕr tempat Narasinghamurti atau Mahisa Campaka meninggal dan didharmakan, sebagian abunya ditempatkan di Wudi-Kuncir. Besar kemungkinan bahwa Kumĕpĕr dalam Pararaton adalah Kumitir yang dikenal sekarang. Terakhir adalah Kidung Wargasari, karya sastra tersebut banyak memasukkan adegan cerita di luar nalar namun adegannya terinspirasi pada lingkungan asli masa tersebut. Kumitir disebutkan saat Wargasari dan Narawati melewati banjaran Gêtas menuju ke Kumitir.
Hal yang mengejutkan adalah berdasarkan Kidung Wargasari, lokasi Kumitir berada di timur pusat kota Majapahit, hal tersebut ternyata sesuai dengan lokasi Desa Kumitir saat ini. Sekarang masalah sesungguhnya adalah mengapa harus situs Kumitir? Karena situs ini memiliki keunikan tersendiri, terbilang baru, dan belum banyak peneliti yang membahasnya secara mendalam. Ukuran talud yang sangat besar tentunya menjadi perhatian publik. Kemudian, bagi orang awam akan timbul pertanyaan-pertanyaan. Untuk mengatasi rasa lapar akan keingintahuan tersebut, kali ini penulis akan secara singkat menceritakan tentang situs Kumitir, khususnya interpretasi bencana dan kerusakan, temuan, serta relevansinya terhadap Kerajaan Majapahit.
Interpretasi Bencana dan Kerusakan di Situs Kumitir
Pada arah selatan situs kita disuguhkan pemandangan deretan Gunung Welirang, Arjuna, atau Gunung Adi Kemukus yang masih aktif. Jika dikaitkan
dengan peta geologi dan lapisan tanah yang terdapat pada situs, sangat dimungkinkan bahwa wilayah Kumitir merupakan bagian dari kipas aluvial. Perlu ditekankan bahwa, lokasi situs bekas kota Majapahit berada di ujung bawah kipas aluvial Jatirejo yang memiliki ketinggian antara 30–40 meter dari permukaan air laut dengan gradien sekitar 2–3% (Sutikno, 1992). Menurut Amien Widodo, dosen geofisika dari Institut Teknologi Sepuluh November, boulders yang terdapat di Situs Kumitir terjadi akibat banjir lahar dingin atau aliran massa yang menyebabkan kerusakan struktur. Gunung yang diperkirakan menyebabkan hal tersebut adalah Gunung OroOro Ombo di bagian selatan. Boleh jadi lantaran gunung yang terdapat di sekitar situs mengalami pensesaran menjadi beberapa blok, batuan menjadi tidak stabil dan memungkinkan terjadi gerakan massa batuan. Jika terjadi hujan maka gerakan massa tersebut berubah menjadi aliran lahar yang membentuk kipas fluvio vulkanik (Pojoh et al., 1995).
Hal yang menarik lainnya, menurut Ismail Lutfi, dosen sejarah di Universitas Negeri Malang, diperkirakan terdapat kegiatan pengambilan material bangunan pada masa lampau, kemudian tertimbun kembali dalam waktu yang cukup lama di situs Kumitir. Proses kerusakan tidak hanya terjadi sekali, melainkan berulang kali yang diakibatkan oleh manusia, dan mungkin juga aktivitas alam. Indikasi adanya peran manusia dalam kerusakan dapat dilihat pada struktur bata yang sudah tidak rata. Namun adanya sedimentasi yang ada di sekitar struktur merupakan proses alam maupun tafonomi. Sistem tafonomi berlangsung sejak suatu objek terdeposisi hingga ditemukan kembali oleh arkeolog. Rangkaian proses tersebut, baik alam maupun budaya akan menghasilkan perubahan kondisi yang sangat mencolok (Yuwono, 2003). Beberapa pernyataan ahli di atas tentunya sangat bermanfaat, agar situs Kumitir tidak dilanda kekeringan informasi.
Data yang digunakan untuk interpretasi adalah data lapangan dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari sumber tekstual dan relief yang terdapat pada percandian masa Majapahit. Berdasarkan hasil ekskavasi, dapat disimpulkan bahwa temuan yang ada di situs Kumitir merupakan temuan yang multikompleks, karena di samping temuan berupa struktur dan boulders, juga terdapat adanya dugaan gapura. Hal yang harus diingat oleh pembaca adalah, struktur dalam arkeologi memiliki arti sesuatu yang tidak dapat dipindahkan tanpa merubah bentuk aslinya, seperti dinding. Sementara itu boulders adalah serakan bebatuan alam berukuran besar dan biasanya berasal dari gunung berapi. Berdasarkan data sekunder yaitu relief koleksi Pusat Informasi Majapahit (PIM), dapat diinterpretasikan bahwa masyarakat pada masa tersebut hidup berkelompok dalam cluster. Cluster dalam konteks HinduBuddha sering disebut sebagai sebuah mandala dengan pembatas seperti pagar atau pembatas alam. Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan talud diduga mengikuti pola mandala. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya perlu kehati-hatian terhadap lahan sekitar situs yang ditemukan saat ini.
Selain itu, pada area talud juga ditemukan fasilitas untuk ketersediaan sumber daya air, yaitu sumur jobong. Air dapat digunakan untuk keperluan seharihari maupun kepentingan ritual. Pola mandala pada situs dapat dikaitkan dengan sektor A, B, dan C tempat ditemukannya sisa-sisa bangunan keagamaan dengan kombinasi antara andesit dan bata. Tim ekskavasi juga menemukan adanya bakal kala, bakal makara, bakal antefiks, dan bakal pelipit yang kerap ditemukan pada sebuah candi. Temuan menarik yang terdapat pada situs yang berada di Kecamatan Jatirejo tersebut adalah fragmen arca. Pertama, fragmen yang terdapat pahatan lidah api, untuk mendeskripsikan siapa arca tersebut harus dicari padanan tokoh yang memiliki atribut semacam itu. Kedua, fragmen arca bagian hiasan seperti
sayap yang diduga sebagai wahana atau kendaraan sang tokoh. Ketiga, fragmen arca bagian lengan kanan dengan kelat bahu yang kaya akan ornamen sebanyak dua lapis.
Fragmen keempat merupakan fragmen arca dengan motif kawung, umumnya ragam hias tersebut menggambarkan garis dan titik yang sangat rinci, mengindikasikan teknik yang digunakan untuk membuat kain adalah teknik batik (Mulianingrum, 2013). Motif batik tertentu seperti kawung tidak boleh digunakan rakyat biasa, persisnya hanya digunakan oleh golongan tertentu terutama raja dan kerabatnya yang memiliki gelar kebangsawanan (Maziyah, 2004). Namun belum dapat diketahui mengapa arca tersebut dapat terpecah menjadi beberapa fragmen, apakah akibat alam, intrik, atau konspirasi politik? Hal ini masih menjadi tanda tanya besar. Selain adanya fragmen arca, temuan lepas yang didapatkan yaitu artefak logam, barang tanah liat, batu artifisial, keramik, sisa fauna, dan tulang. Kemudian, ditemukan juga tiga buah umpak batu dengan kemungkinan terdapat bangunan bertiang, hal tersebut tentunya relevan dengan temuan lepas berupa genteng yang biasanya terdapat pada bangunan suci.
Kumitir dan Hubungannya Dengan Majapahit
Talud yang ada di situs Kumitir memiliki pilar yang konstan dan diperkirakan memiliki panjang 250 meter. Bagian sudut memiliki bentuk yang berbeda dengan talud di sekelilingnya, yaitu terdapat dugaan adanya relief yang mengarah pada kala. Kala sendiri sering dikaitkan dengan makara, kala-makara merupakan bentuk dualism atau kesatuan yang saling melengkapi. Dikenal sebagai makhluk mitologi yang dipercaya sebagai penjaga pintu bangunan suci dari roh jahat (Kempers, 1959). Hal yang dapat memperkaya informasi pembaca adalah tampilan kala
dapat menunjukan tampilan atau gaya dari suatu masa. Dalam konteks talud dapat ditarik suatu interpretasi bahwa adanya bentuk segi empat yang memanjang dengan panjang 312 x 250 m, memiliki orientasi barat timur, dengan konsep Siti Inggil. Tidak boleh dilewatkan bahwa di bagian barat laut terdapat kemungkinan adanya menara sudut dengan ukuran 5 x 5 m dengan ornamen arsitektural seperti pelipit dan palang yunani khas Majapahit. Dalam strategi pembangunan suatu talud, harus diperhatikan kekuatan bangunan, hal itu dapat dilihat pada pilar-pilar dengan jarak lima meter antara satu dengan yang lain. Struktur di sektor delapan melebar ke arah timur-barat, diduga sebagai pintu gerbang bagian barat yang mengarah ke Gunung Penanggungan.
Lokasi yang menjadi titik utama berada di sektor makam, struktur yang ditemukan menunjukan pola bangunan suci pada masa Hindu-Buddha. Balok batu yang terdapat pada situs dibagi menjadi dua yaitu batu andesit dan batuan kapur. Hal yang tidak biasa adalah adanya tanda pada batu andesit, perlu ditekankan bahwa tanda pada batu andesit mengindikasikan tempat di mana batu tersebut akan diletakkan. Andesit yang ditemukan ada yang permukaannya halus dan kasar. Batu yang memiliki permukaan halus dimungkinkan sebagai posisi luar suatu bangunan, sementara itu batu dengan tekstur yang kasar ditempatkan untuk memperkuat struktur. Struktur yang ada di sektor makam diduga sebagai candi, berpijak oleh data berupa dua buah bakal kala, satu bakal makara, bakal antefiks, dan fragmen arca yang layaknya ditemukan pada sebuah candi. Berikutnya, terdapat adanya konsep Siti Inggil pada situs Kumitir, di mana terdapat bangunan yang dianggap lebih suci dan berada di bagian tengah suatu area. Menurut Santiko (1995), dalam tata letaknya suatu candi akan didirikan di atas bukit atau lereng gunung. Bahkan apabila didirikan di dataran rendah, maka akan dibuat bukit buatan atau tanah sedikit ditinggikan dibanding daerah sekelilingnya.
Hasil ekskavasi sektor A, B, dan C (area makam) menunjukan sisa-sisa bangunan dari candi yang belum jadi. Arsitektur candi di Indonesia diduga tidak sekedar meniru kebudayaan luar, melainkan dikreasikan dengan unsur-unsur lokal dan kondisi setempat. Suatu perwujudan arsitektur yang adaptif sehingga menghasilkan bentuk yang dinamis (Rahadhian dan Richard, 2013). Candi-candi di wilayah Jawa Timur dibangun antara abad 11–15 M yang disebut sebagai periode klasik muda (Munandar, 1994). Struktur yang diduga sebagai candi di situs Kumitir diperkirakan merupakan jenis samkirna dikarenakan bahan pembuatannya lebih dari dua bahan (Munandar, 1995: 9). Hal tersebut dapat disimpulkan dari temuan yang berada di sektor A, B, dan C yaitu bata, balok batu andesit, dan umpak yang diduga sebagai tempat berdirinya tiang kayu penopang atap dari genteng. Menelusuri pendapat ahli terdahulu, pada konteks Hindu-Buddha bangunan yang dianggap paling sakral umumnya tidak berada di titik silang, melainkan lebih ke belakang di suatu area (Santiko, 1995). Hal tersebut tentunya sesuai dengan lokasi struktur di sektor makam yang menjorok ke dalam dari lokasi talud.
Interpretasi sementara dari hasil ekskavasi Situs Kumitir, bahwa boulders yang terdapat di Situs Kumitir terjadi akibat banjir lahar dingin atau aliran massa yang menyebabkan kerusakan struktur. Gunung yang diperkirakan menyebabkan hal tersebut adalah Gunung Oro-Oro Ombo. Selain adanya faktor alam, kerusakan juga disebabkan oleh manusia karena kegiatan pengambilan material bangunan. Temuan yang didapatkan yaitu struktur, fragmen arca, artefak logam, barang tanah liat, batu artifisial, keramik, sisa fauna, dan tulang. Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa situs Kumitir adalah sebuah kompleks bangunan suci yang dikelilingi oleh talud berukuran 312 x 250 m berbentuk persegi panjang dengan pintu di bagian barat.
Berikutnya, terdapat konsep Siti Inggil pada situs Kumitir, dimana terdapat bangunan tersakral, berada di bagian belakang suatu area. Struktur yang diduga sebagai candi di situs Kumitir diperkirakan merupakan jenis samkirna dikarenakan bahan pembuatannya lebih dari dua bahan. Mengingat ekskavasi yang dilakukan baru 30% dari total keseluruhan, maka diperlukan pembuktian lebih lanjut terkait penyebab kerusakan, tokoh yang diduga didharmakan, dan mengapa ukuran talud begitu besar. Hipotesis akhir menyebutkan bahwa situs Kumitir merupakan sebuah bangunan suci atau “caitya” yang didirikan sebagai pendharmaan dari salah satu leluhur dari tokoh raja besar di Majapahit yang berasal dari Kerajaan Singhasari. Untuk membuktikan hipotesis tersebut dan mengeliminasi pernyataan yang salah, disarankan untuk melakukan ekskavasi lanjutan.
Daftar Pustaka
Kempers, A.J. Bernet. (1959). Ancient Indonesian Art. Massachussets: Harvard University.
Mulianingrum, Novika. (2013). Relief Candi Majapahit sebagai Sumber Ide Pengembangan Desain Batik Majapahit. Jurnal Ilmiah Tekstil, 2(2), 1-12.
Munandar, Agus Aris. (1994). Arsitektur Candi-Candi di Wilayah Jawa Timur: Sebuah Pembahasan Ringkas. Depok: Universitas Indonesia. Laporan Penelitian.
Munandar, Agus Aris. (1995). Candi Batur dalam Periode Klasik Muda (Abad 1415). Depok: Universitas Indonesia. Laporan Penelitian.
Pojoh, I.H.E; Untoro, H; Ramelan, W.D. (1995). Terakota dari Situs Trowulan sebagai Wujud Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Laporan Penelitian.
Rahadhian dan Richard, Antonius. (2013). Kajian Arsitektural Percandian ‘Kayu’ pada Masa Klasik Tengah dan Muda di Jawa (Identifikasi). Bandung: Universitas Katolik Parahyangan. Laporan Penelitian.
Santiko, Hariani. (1995). Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia (Abad VIII-XV Masehi): Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik. Depok: Universitas Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar.
Tim BPCB Jawa Timur. (2020). Strategic Plan Ekskavasi Situs Kumitir. Mojokerto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur.
Yuwono, J.S.E. (2003). Aspek-Aspek Teknis Ekskavasi dalam Kerangka Pemahaman Transformasi Data. Disampaikan pada Bimbingan Pelatihan Metodologi Penelitian Arkeologi, Puslitarkenas, Yogyakarta.
Referensi Online:
Arkeologi.unhas.ac.id. Data Temuan PATI IV. Diakses pada 4 November 2020, dari https://arkeologi.unhas.ac.id/pati-iv-2020/data-temuan/
Sumber Video:
Arkeovlog Indo. (2020, Agustus 11). Ekskavasi Situs Kumitir 2020: Bencana di Kumitir 16 [Video Youtube]. Diakses melalui https://youtu.be/ UViS9mi0wmc
BPCB Jawa Timur. (2020, Agustus 27). BPCB JATIM – Interpretasi Awal Situs Kumitir Update Data Hari ke-16 [Video Youtube]. Diakses melalui https:// youtu.be/KOYQLyEdJBM
BPCB Jawa Timur. (2020, September 4). BPCB JATIM – Interpretasi Sementara Hasil Ekskavasi Situs Kumitir [Video Youtube]. Diakses melalui https:// youtu.be/iW4c9uYtRfA
BPCB Jawa Timur. (2020, September 14). BPCB JATIM – Interpretasi Akhir Hasil Ekskavasi Situs Kumitir [Video Youtube]. Diakses melalui https:// youtu.be/Zu7aG5rABaU
Nur Ihsan D, Yusriana, Sofyan Setia Budi, Khaidir Siradjuddin, Kibagus Maulana Prayoga17
Apa yang dapat Anda lakukan ketika di tengah persiapan pelaksanaan kegiatan lapangan, badai pandemi melanda sehingga semua peserta kegiatan urung hadir karena pemberlakuan pembatasan sosial (social distancing)? Bagaimana menyelenggarakan kegiatan lapangan di saat semua peserta dari seluruh Indonesia tidak dapat melakukan perjalanan ke luar kota untuk hadir di lokasi penelitian? Pertanyaan tersebut mengemuka dan mesti dijawab oleh semua pihak yang merencanakan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia IV (PATI IV) tahun 2020.
17 Nur Ihsan D, Yusriana, Sofyan Setia Budi, Khaidir Siradjuddin, Kibagus Maulana Prayoga adalah dosen dan mahasiswa Universitas Hasanuddin.
Beberapa opsi kemudian lahir. Salah satu di antaranya ialah menunda kegiatan hingga badai Covid-19 mereda. Tetapi, ketetapan jatuh pada pilihan untuk tetap melaksanakan PATI VI dengan berbagai penyesuaian konsep kegiatan.
Tulisan ini merupakan catatan yang merangkum perjalanan pelaksanaan PATI IV di tengah suasana pandemi Covid-19. Berbeda dengan tulisan lain dalam bunga rampai ini yang menyentuh substansi penelitian, tulisan ini lebih mengarah pada substansi kegiatan, memaparkan pelaksanaan PATI IV dengan format yang telah banyak berubah dari perencanaan awalnya. Pada bagian pertama, akan diuraikan sekelumit tentang kegiatan PATI, sebuah kegiatan yang bertolak dari isu-isu penelitian dan pelestarian di Situs Kerajaan Majapahit. Akan dipaparkan pula rencana awal kegiatan PATI IV yang dirumuskan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Dari uraian tersebut, tulisan ini akan menguraikan berbagai bentuk penyesuaian yang dilakukan agar PATI IV dapat tetap terlaksana meskipun berada di tengah situasi yang berbeda dari asumsi perencanaan awalnya. Menutup tulisan ini, akan dirangkum sejumlah catatan reflektif dari rekam proses pelaksanaan PATI IV.
Intensi tulisan ini cukup sederhana: sebagai “catatan” yang merekam proses pelaksanaan PATI IV. Catatan ini dibuat untuk meninggalkan jejak agar pemikiran, laku, dan luaran kegiatan bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang dikemudian hari akan: (1) melaksanakan penelitian lapangan di tengah situasi pandemi, (2) membangun sistem database ekskavasi, atau (3) menjadi penyelenggara PATI.
Kerajaan Majapahit memiliki posisi yang penting dalam dua konstruk narasi, yaitu: identitas ke-Indonesia-an dan perkembangan arkeologi di Indonesia.
Meskipun disebutkan terpisah, kedua narasi tersebut sesungguhnya berkaitan erat. Dalam konstruk narasi yang disebutkan pertama, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang mewarnai perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia. Empat pencapaian penting masyarakat Majapahit, yaitu: seni bangun (tata kota, irigasi, arsitektur); seni kriya (antara lain gerabah, logam, kain); seni sastra (kakawin dan kidung); dan seni dekorasi (pola hias gerabah, hiasan rumah), mewarnai kebudayaan Islam di Jawa yang berkembang setelahnya. Pada puncaknya, Majapahit kemudian menjadi sumber inspirasi bagi kaum pergerakan nasional dalam mengarusutamakan Identitas ke-Indonesia-an.
Pada konstruksi narasi yang kedua, Majapahit menjadi ladang kajian ilmiah yang telah melahirkan ribuan tulisan dalam berbagai bentuk yang membicarakan berbagai aspek kesejarahan dan kebudayaan. Di dalam himpunan karya tersebut, termaktub pula sejumlah sarjana di bidang kepurbakalaan/arkeologi yang berhutang besar terhadap warisan budaya bendawi Majapahit. Kekayaan tinggalan arkeologis warisan kerajaan Majapahit telah berkontribusi besar dalam perkembangan ilmu arkeologi di Indonesia. Kedua konstruksi narasi tersebut berpadu utamanya dalam upaya menemukan bukti artefaktual pusat kerajaan Majapahit.
Baik secara individual, institusional, maupun kolaboratif, jumlah penelitian arkeologis yang pernah dilakukan di bekas wilayah kerajaan Majapahit sudah tidak terbilang. Sejak survei pionir yang dilakukan oleh Wardenaar pada kisaran awal abad ke-19 hingga saat ini, upaya untuk memancangkan secara pasti lokasi keberadaan pusat kerajaan Majapahit masih merupakan enigma dalam dunia arkeologi Indonesia. Moendardjito mengidentifikasi sejumlah problematika dalam khazanah penelitian Situs Kota Majapahit, yang meliputi: kesenjangan antara data tertulis dengan data artefaktual dalam kajian ilmiah, kurangnya koordinasi antarlembaga,
kolaborasi dan integrasi hasil penelitian, dan kelemahan politik pelestarian yang menyebabkan tingginya tingkat ancaman perusakan pada situs Kota Majapahit.
Sesungguhnya upaya untuk memecahkan kebuntuan dalam menguraikan problematika di atas telah dirintis sejak dekade 1980-an. Lahirnya Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan pada tahun 1986 telah menunjukkan upaya tersebut. Dengan perencanaan pengembangan yang diselaraskan dengan kerangka Pembangunan Lima Tahun (Pelita) ala Orde Baru, RIA Trowulan mengupayakan lahirnya konsep kerja yang mengintegrasikan penelitian dan pelestarian situs dalam satu tarikan busur. Usaha tersebut dimantapkan lagi dengan pelaksanaan Indonesian Field School of Archaeology. Kegiatan yang didanai Ford Foundation antara tahun 1991–1993 yang melibatkan Puslit Arkenas serta sejumlah mahasiswa dan dosen dari empat jurusan arkeologi di Indonesia adalah bentuk kolaborasi antarinstitusi dalam penelitian arkeologi di Situs Kerajaan Majapahit.
Sayangnya, lebih dari dua dekade kemudian, tepatnya pada tahun 2008, masalah akan penelitian yang kurang berorientasi pelestarian dan bersifat sektoral masih menjadi masalah yang teridentifikasi dalam Kajian Integratif Perlindungan dan Pelestarian Situs Kerajaan Majapahit di Trowulan. Lebih lanjut, penegasan tentang batas-batas dan tata kota Majapahit hingga kini masih menjadi diskursus hangat di kalangan peneliti Majapahit. Padahal, menautkan identitas Indonesia pada kisah kejayaan Majapahit di masa lalu tanpa bukti yang autentik dan faktual tentang kebesaran Majapahit berpotensi menjerumuskan bangsa ini dalam sebuah jurang yang diistilahkan Riwanto Tirtosudarmo sebagai “Sindroma Yamin”. Demikian juga, Supratikno Rahardjo menyebutkan bahwa ada empat warisan Majapahit yang layak diketengahkan dalam konteks Indonesia di masa kini, yaitu: harmoni, toleransi, kosmopolitanisme, dan kreativitas.
Karena Majapahit yang masih saja relevan untuk Indonesia masa kini, di bawah bayang-bayang romantisme IFSA dan hasrat intelektual yang membuncah untuk terus menggali dan menemukan Majapahit, empat universitas penyelenggara pendidikan kearkeologian di Indonesia melaksanakan PATI. Kegiatan yang didanai sepenuhnya oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) menghimpun mahasiswa dan dosen arkeologi se-Indonesia dalam sebuah kegiatan penelitian terpadu bermuatan sekolah lapangan arkeologi. PATI I dan II yang terlaksana pada tahun 2008 dan 2012 dilakukan dalam bentuk ekskavasi ekstensif di sejumlah titik dalam Situs Kota Trowulan.
Senapas dengan IFSA yang menetapkan tujuan “membentuk ahli arkeologi yang berkemampuan tinggi dan berwawasan luas, baik sebagai ahli arkeologi historiografi (untuk penelitian sejarah budaya manusia) maupun arkeologi konservasi (untuk penelitian data masa lalu), baik yang bekerja di instansi penelitian, konservasi, maupun pendidikan, PATI I dan II menetapkan tujuan umum, yaitu: “(1) menjadi ajang pembelajaran dan penajaman teori dan metode yang telah dimiliki oleh para pengajar dan mahasiswa arkeologi dari keempat universitas dan (2) mempererat hubungan dan menumbuhkan rasa kebersamaan antar para pengajar dan mahasiswa arkeologi seluruh Indonesia.”
Berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya, PATI III yang dilaksanakan pada tahun 2014 lebih berorientasi kepada upaya melahirkan sintesis dari dua PATI terdahulu. Pada PATI I, penelitian dititikberatkan pada penegasan lokasi kedaton Kerajaan Majapahit. Berlanjut pada PATI II, penelitian lebih difokuskan pada upaya memperdalam pemahaman mengenai peradaban masa Majapahit, khususnya kedudukan dan fungsi sumber air serta jaringannya dalam kota Majapahit. Sintesis yang dihasilkan diwujudkan dalam penerbitan dua buah buku, Inspirasi Majapahit dan Majapahit: Inspiration for the World, berisi himpunan tulisan ilmiah karya
arkeolog akademisi Indonesia. Dengan demikian, cukup beralasan jika dunia arkeologi Indonesia masih memandang Situs Kerajaan Majapahit sebagai ladang subur tempat menggali pengetahuan sembari mengasah nalar intelektual. Sebuah sumber inspirasi yang terus menelurkan kejutan menarik.
Di tengah maraknya industri bata di wilayah Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto, jejak kebesaran Majapahit kembali tersingkap. Pada Juni 2019 silam, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (BPCB Jatim) menerima laporan akan temuan struktur bata di lokasi penggalian tanah untuk kepentingan pembuatan batu bata. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan melaksanakan peninjauan ke lokasi temuan. Struktur yang berlokasi di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Trowulan tersebut berorientasi utara-selatan dengan dimensi panjang 21 m, tinggi 70 cm. Puncak struktur berada pada kedalaman ±1 m dari permukaan lahan eksisting. Dari segi teknologi yang menggunakan teknik gosok tanpa spesi, diidentifikasi bahwa struktur tersebut identik dengan teknik pengerjaan bangunan besar dari masa Majapahit.
Bertolak dari hasil peninjauan tersebut, BPCB Jatim melaksanakan ekskavasi penyelamatan 21–30 Oktober 2019. Ekskavasi yang berlangsung selama 10 hari tersebut, Tim Ekskavasi berhasil menyingkap bentangan struktur bata kuno sepanjang 100 m dengan ketebalan 140 cm dengan tinggi kisaran 120 cm dari permukaan tanah asli. Dari dimensi tersebut, Tim Ekskavasi dari BPCB Jatim menduga kuat bahwa struktur bata tersebut merupakan sisi timur Kota Majapahit. Dari hasil peninjauan oleh Direktur Pelindungan Cagar Budaya (PCBM) Kemdikbud RI, BPCB Jatim merencanakan akan melaksanakan ekskavasi penyelamatan besar-besaran bersama
BPCB se-Indonesia dengan dukungan dana dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI.
Tergerak oleh temuan dan rencana tersebut, YAD berkomitmen untuk turut berkontribusi dengan menggalang mahasiswa dan dosen arkeologi di Indonesia untuk terlibat dalam upaya penyelamatan Situs Kumitir, Trowulan. Terkait dengan rencana tersebut, ada tiga konteks yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan PATI IV tahun 2020, yaitu: 1) dilaksanakan dalam rangka penyelamatan situs, 2) digandengkan dengan ekskavasi penyelamatan yang melibatkan BPCB seIndonesia, dan 3) dilaksanakan pada era ketika pemanfaatan teknologi digital dalam ilmu-ilmu humaniora tengah mengarus utama.
Dua konteks yang disebutkan pertama akan berdampak pada tujuan dan orientasi kegiatan. Jika PATI I dan II sarat akan muatan riset arkeologi murni, dan PATI III menghasilkan sintesis dari dua pelaksanaan PATI sebelumnya, maka PATI IV akan lebih diarahkan pada upaya penemuan dan rekonstruksi situs untuk menjawab dua pertanyaan utama, yaitu: temuan apa saja yang terkandung di Situs Kumitir dan apa fungsi dari tinggalan di Situs Kumitir serta hubungannya dengan temuan-temuan lain di Situs Kota Trowulan. Lebih lanjut, PATI IV akan mengajak pesertanya untuk menilik “tradisi penggalian” yang berkembang dalam dunia pelestarian cagar budaya di Indonesia melalui interaksi yang intensif di lapangan dengan praktisi pelestari cagar budaya dari BPCB. Adapun konteks yang disebutkan terakhir akan mewarnai muatan pembelajaran dalam PATI IV 2020. Dengan asumsi bahwa peserta yang hadir telah mapan dengan prinsip-prinsip dasar penelitian dan metode ekskavasi arkeologis, PATI IV akan menambahkan muatan pembelajaran berupa praktik penggunaan teknologi digital dalam penelitian arkeologi. Diharapkan dengan muatan tersebut, PATI IV bisa memberi warna yang unik dan pengalaman baru terhadap pesertanya.
Sebagaimana yang diketahui bersama, tahun 2020 diwarnai eskalasi situasi pandemi Covid-19. Dampaknya yang berskala global memengaruhi tidak hanya tingkat kesehatan masyarakat. Lebih jauh, krisis kesehatan global tersebut berdampak pada berbagai sendi kehidupan manusia mulai dari kehidupan ekonomi, sosial, politik, hingga kebudayaan. Rencana pelaksanaan kegiatan PATI IV dalam bentuk kegiatan lapangan akhirnya harus pula mengalami serangkaian penyesuaian. Sehubungan dengan perubahan bentuk kegiatan akibat eskalasi situasi pandemi Covid-19 di Indonesia, tujuan pelaksanaan kegiatan pun mengalami perubahan. Menjangkau lingkup yang lebih kecil, PATI IV dilaksanakan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Membangun sistem database yang mampu mendokumentasikan seluruh hasil ekskavasi di Situs Kota Trowulan;
2. Membangun sistem repositori daring data hasil penelitian di Situs Kota Trowulan yang dapat digunakan secara berkelanjutan; dan
3. Menyiapkan prototipe sistem database ekskavasi yang dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan ekskavasi lainnya di Indonesia.
Rangkaian penyesuaian yang dilakukan ialah dengan mengubah format kegiatan. Kegiatan yang dirancang untuk menghadirkan perwakilan mahasiswa dan dosen arkeologi se-Indonesia terpaksa urung dilakukan karena adanya pembatasan sosial. Dengan situasi tersebut, ekskavasi dilaksanakan tanpa menghadirkan sumber daya dari luar Trowulan. Direktorat PCBM Kemdikbud RI dan BPCB Jatim melaksanakan ekskavasi dengan dukungan arkeolog dan tenaga lokal yang berdomisili di sekitar situs.
Rekam proses dan data ekskavasi dihimpun dalam sebuah sistem database daring yang dikembangkan oleh Panitia Pelaksana PATI IV. Sistem database yang dibangun menghimpun seluruh informasi mengenai dimensi data arkeologis (bentuk, ruang, dan waktu) dalam bentuk piktorial dan tekstual sejak tahap perencanaan, penggalian, perekaman data lanjutan, hingga analisis temuan. Perekaman data ekskavasi ke dalam sistem database tersebut dilakukan oleh tim dari Panitia Pelaksana PATI IV yang dibantu oleh tenaga teknis dari BPCB Jawa Timur.
Peserta PATI IV yang terdiri dari mahasiswa dan dosen arkeologi berpartisipasi secara daring dari kota kediaman masing-masing. Peserta mengikuti jalannya ekskavasi melalui sistem database yang dipublikasikan secara daring melalui website. Setiap saat, peserta dapat memperoleh informasi mengenai temuan dan proses penggalian di kotak ekskavasi. Setiap minggunya, peserta mengikuti pertemuan daring untuk membahas kemajuan pelaksanaan ekskavasi di Situs Kumitir dan paparan materi dari beberapa narasumber.
Meskipun mengalami perubahan format, tujuan besar yang digagas dalam desain awal kegiatan tetap disasar. Melalui sistem database tersebut, peserta memperoleh pengetahuan dan keterampilan tentang berbagai bentuk aplikasi teknologi digital dalam penelitian lapangan arkeologi, mulai dari sistem database, publikasi data digital, sistem informasi geospasial, dan berbagai teknik fotogrametri. Pada saat yang bersamaan, peserta juga membangun keterampilan untuk berkolaborasi secara daring dalam penelitian arkeologi. Hal-hal tersebut menjadi semacam “berkah tersembunyi” yang diperoleh dari keputusan penyelenggara untuk “merangkul” pandemi Covid-19.
Pada banyak hal, kegiatan PATI IV 2020 telah mengalami berbagai penyesuaian terkait pelaksanaannya yang berada di tengah-tengah suasana pandemi Covid-19. Tanpa bermaksud mereduksi kompleksitas pengalaman yang dialami oleh semua orang yang terlibat dalam PATI IV, saya ingin membagikan beberapa catatan reflektif dari sudut pandang pelaksana teknis kegiatan.
Pertama, PATI IV telah mengajak kita untuk memikirkan kembali tentang “kepemilikan” dan aksesibilitas data. Dalam penelitian arkeologi, ekskavasi selalu menghasilkan informasi dan temuan yang berada di luar batas-batas tujuan penelitian yang direncanakan. Ekskavasi di situs prasejarah kadang menghasilkan temuantemuan yang berasal dari periode setelahnya, dan demikian pula sebaliknya. Selama ini, data ekskavasi baru tersaji setelah arkeolog memublikasikan artikel atau laporan penelitiannya. Data yang disajikan pun tentunya adalah data yang mendukung atau selaras dengan pencapaian tujuan penelitian. Lalu apa yang terjadi pada data yang dianggap tidak relevan dengan tujuan ekskavasi? Umumnya, temuan atau informasi semacam itu akan mengendap di ruang koleksi temuan, menunggu kesempatan si peneliti untuk menganalisis dan melaporkannya dalam bentuk artikel atau laporan lain. Kemungkinan lainnya, ialah peneliti melanjutkan penelitian di situs yang sama dan mengangkat tema penelitian yang berkaitan dengan temuan sebelumnya yang belum di publikasikan. Apapun kemungkinannya, temuan ekskavasi merupakan “milik” si peneliti dan akses ke (data) temuan bergantung pada kemurahan hatinya.
Situasi tersebut akan sangat berbeda manakala informasi dan temuan arkeologis dikelola dan disimpan dalam sebuah sistem database ekskavasi. Selama berlangsungnya ekskavasi, pihak-pihak yang diberi akses oleh peneliti dapat “mengintip” dan mengikuti jalannya penelitian. Pada saat yang bersamaan, dan
tanpa perlu hadir secara langsung di lapangan, pihak tersebut dapat berkontribusi dengan membantu peneliti di lapangan dalam menjelaskan sebuah temuan. Setelah pelaksanaan ekskavasi, data terekam dalam sebuah pangkalan data yang bisa di akses kapan saja oleh pihak-pihak yang diberi akses, dan terakumulasi dengan hasil-hasil ekskavasi lain. Temuan-temuan yang tidak relevan dengan tujuan penelitian dari pelaksana ekskavasi dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain sepanjang memperoleh otorisasi dari peneliti yang menghimpun data tersebut. Dengan demikian, repetisi dan penumpukan temuan yang tidak terpublikasi dapat dihindari melalui pembukaan akses terhadap informasi dan data ekskavasi.
Kedua, ihwal “otoritas interpretasi”. Meskipun kehadiran di lapangan tidak akan pernah setara dengan partisipasi secara daring, tetapi dengan visualisasi 3D, peserta yang tidak hadir di lapangan dapat melihat dan mengamati data ekskavasi pada tingkat yang mungkin menjadi lebih baik. Selain itu, data digital jauh lebih mudah didistribusikan kepada analis ahli atau peneliti lain yang tidak berkesempatan untuk hadir di lapangan. Dengan demikian, interpretasi dapat terjadi dengan melibatkan orang-orang yang tidak terlibat dalam tim penelitian tetapi memiliki keahlian yang terkait dengan temuan, situs, atau tema yang sedang diteliti.
Ketiga, terjadinya sentralisasi data penelitian. Poin ini berkaitan erat dengan poin kepemilikan dan aksesibilitas data yang disebutkan sebelumnya. Dengan mengakumulasi data penelitian dari berbagai situs yang dilaksanakan oleh berbagai pihak dalam satu pangkalan data, arkeolog bisa mengajukan berbagai pertanyaan kecil berskala besar. Sebagai ilustrasi, untuk mengetahui sebaran dari temuan A, peneliti mesti membaca tumpukan publikasi penelitian yang tersebar di berbagai instansi. Untuk temuan-temuan yang belum sempat dianalisis dan dilaporkan, seorang peneliti mungkin harus mendatangi secara langsung gudang temuan yang menyimpan temuan tersebut. Melalui sentralisasi data ekskavasi, seseorang bisa
memperoleh informasi tersebut dengan mengajukan kueri sederhana ke dalam sistem database. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk akselerasi dalam tahapan perancangan penelitian dan memungkinkan terjadinya perluasan cakrawala pertanyaan penelitian.
Penelitian arkeologis di Situs Kerajaan Majapahit masih akan berjalan untuk jangka yang panjang. Selain Kumitir, kerajaan yang mewariskan inspirasi untuk merealisasikan gagasan tentang negara dan bangsa Indonesia, masih akan menyajikan kejutan-kejutan baru. Dengan seluruh signifikansinya, Trowulan masih akan menjadi medan kajian yang menarik bagi banyak peneliti dari berbagai instansi, termasuk di dalamnya semua universitas penyelenggara pendidikan kearkeologian di Indonesia.
Keputusan penyelenggara untuk “berdamai” dengan situasi pandemi Covid-19 mencatatkan sejumlah pengalaman pertama. Sepanjang sejarah penelitian arkeologi di Indonesia, PATI IV mungkin merupakan ekskavasi arkeologis pertama yang membuka ruang partisipasi secara daring. Jika selama ini, ekskavasi selalu merupakan pengalaman lapangan ketika para arkeolog berkumpul dan bersamasama menggali, mengangkat, dan menganalisis temuan dari sebuah situs. Maka pada PATI kali ini, kebersamaan tersebut terjadi di ruang maya dengan sebagian peserta hadir sebagai bit-bit data yang tersalur melalui internet. PATI IV juga menjadi kegiatan penelitian yang merealisasikan wacana integrasi data ke dalam sistem database ekskavasi; sebuah wacana yang telah mengemuka beberapa dekade sebelumnya di dunia arkeologi Indonesia. Pada titik ini, pandemi telah mendorong lahirnya inovasi perekaman data ekskavasi berbasis teknologi digital di Indonesia, dan YAD beserta universitas-universitas peserta PATI berperan sebagai penggerak utamanya.
Oleh. M. Hasbiansyah Zulfahri18
Arkeologi sebagai ilmu tentunya tak terlepas dengan perkembangan teori dan praktik dalam pengembangan ilmunya. Perjalanan Arkeologi sebagai ilmu di Dunia terlebih di negara kita Indonesia pun rasanya belum begitu lama. Namun perjalanan yang singkat tersebut diam-diam telah menelurkan berbagai teori, pendekatan hingga praktek yang luar biasa. Kolaborasi dengan berbagai bidang keilmuan seperti geologi, geografi, kimia-fisika, bahkan ilmu sosial dan ekonomi menjadi alat bantu untuk menjelaskan dan menilaigunakan peradaban bangsa. Salah satu peradaban yang banyak dijelaskan dan dipelajari multidimensi dan multidisiplin adalah Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit (1293–1527) merupakan sebuah kerajaan Hindu terbesar di Nusantara. Kerajaan ini didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya atau dikenal dengan Raden Wijaya pada tahun 1293. Catatan penting dan panjang meliputi
sejarah kerajaan ini. Menurut Kubontubuh (2021), Kerajaan Majapahit mengalami kemajuan pada masa Hayam Wuruk (1350–1389), pencapaian saat itu adalah keberhasilannya melebarkan kepak sayap pengaruhnya dalam perdagangan dan politik mempersatukan Nusantara. Di sini Kerajaan Majapahit dipandang sebagai kerajaan super power di tenggara Asia. Kemudian, pasca era keemasan tersebut, pasca meninggalnya Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kesurutan dan hancur akibat perebutan kekuasaan dan pemindahan ibu kota dari Trowulan ke Daha (1478) serta kehancuran akibat serangan Demak (1572) pada masa Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya atau Bhatara Wijaya (Brawijaya V) yang juga merupakan adik dari Samarawijaya dan putera keempat dari Sinagara.
Seiring waktu berjalan, runtuhnya Majapahit semakin menghilangkan kebesarannya. Majapahit seolah terkubur oleh waktu hingga akhirnya datang berbagai pakar yang menjelaskan keberadaan Majapahit sebagai sebuah kerajaan. Berdasarkan penelitian Indonesian Field School Archaeology (IFSA) tahun 1991, lokasi ibu kota Majapahit dipercaya berada di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Bahkan diperoleh luasan ibu kota sebesar 10 x 11 km2. Batas makro ini didukung juga dengan interpretasi temuan empat yoni yang posisinya membentuk persegi empat mengelilingi area Trowulan, diduga sisa dari tugu batas kota. Pemerintah turut mengembangkan interpretasi batas kota tersebut dengan mengeluarkan penetapan Kawasan Strategis Nasional (2008) yang meliputi Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang dan Penetapan Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan (2013) dengan luasan 92,6 km² berdasarkan SK Mendikbud No. 260/M/2013. Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) sejak tahun 2008 sampai 2014 kembali menegaskan hasil identifikasi Kedaton Majapahit adalah terletak di Trowulan (www.direktorimajapahit.id).
Menelaah catatan awal di atas, saya melihat arkeologi sebagai ilmu dituntut dapat lebih luas menjelaskan kronologi sejarah budaya Mapajapahit, walaupun
penelitian mengenai Kerajaan Majapahit sudah cukup panjang dilakukan. Jajaran pakar dan peneliti lintas keilmuan telah membuahkan hasil dan pemikirannya, bahkan dari masa kolonial hingga hari ini. Seperti yang dijelaskan dalam Direktori Majapahit (www. direktorimajapahit.id), beberapa peneliti diantaranya Wardenaar, R.T. Kromo Adi Negoro, Henry Maclaine Pont, Bruno A.G. Nobile de Vistarini, Pieter van Stein Callenfels, Stutterheim, J.L.A. Brandes, H. Kern, N.J. Krom, Poerbatjaraka, C.C. Berg, F.D.K. Bosch, A. Teeuw, Th. G. Th. Pigeaud, J. Noorduyn, W.P. Groeneveldt, Hasan Djafar, Slamet Mulyana, S.O. Robson, Hadi Sidomulyo, I Ketut Riana, Kardono Darmoyuwono, Mundardjito, John N. Miksic, Agus Aris Munandar, Amrit Gomperts, Peter Carey, Arnoud Haag, Nurhadi Rangkuti, Bondan Hermanislamet, Oesriful Oesman, Wara Indira Rukmi, Adrian Perkasa, dan Catrini P. Kubontubuh.
Deretan peneliti dan pakar tersebut menjelaskan jika Majapahit memiliki arti penting dalam perjalanan sejarah budaya bangsa Indonesia. Namun demikian, penelitian panjang dan kompleks tersebut tidak terlepas dari catatan refleksi untuk kita bersama. Khususnya hasil-hasil Penelitian Arkeologi terpadu Indonesia (PATI). Catatan akhir dalam buku ini penulis sebagai editor berusaha merefleksikan kegiatan PATI antara ide, pelaksanaan, dan luarannya.
Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (YAD) sebagai sebuah lembaga nonpemerintahan ikut andil dalam kemajuan ilmu dan penelusuran narasi panjang tentang Kerajaan Majapahit melalui Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI).
PATI pertama kali dilangsungkan atas gagasan Hashim Djojohadikusumo, Ketua YAD, yang tergerak untuk memberikan kesempatan kepada para dosen dan mahasiswa arkeologi untuk melakukan praktik langsung ilmu arkeologi melalui ekskavasi di situs cagar budaya. Gagasan ini disambut baik oleh dosen-dosen jurusan Arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, sehingga diputuskan untuk menyelenggarakannya di situs cagar budaya yang merupakan satu-satunya situs kota di Indonesia yaitu Situs Majapahit di Trowulan. Didanai sepenuhnya oleh YAD, PATI diselenggarakan pertama kali pada tahun 2008 di bawah koordinasi FIB Universitas Indonesia yang melibatkan jurusan arkeologi dari 4 perguruan tinggi yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin. Kemudian kegiatan ini menggeliat dan terus berlanjut di tahun berikutnya. Pada tahun 2012, PATI II kembali dilaksanakan, dengan skema kegiatan yang sama yaitu penelitian dan penggalian arkeologi yang melibatkan dosen dan mahasiswa dari empat perguruan tinggi di atas.
Seiring perjalanan, pada tahun 2014, PATI III kembali dilaksanakan, dengan koordinator yaitu Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Pada saat ini, konsep kegiatan PATI berubah menjadi sebuah Festival Trowulan Majapahit (FTM) yang diselenggarakan di Trowulan. Di tahun yang sama pula lahir sebuah pojok informasi Majapahit yang kita kenal hari ini sebagai Mandala Majapahit (ManMa) Trowulan. Kehadiran ManMa ini sebagai wadah berbagai data Majapahit khususnya hasil penelitian PATI untuk bisa diakses langsung oleh masyarakat. Keberadaannya di tengah masyarakat harapannya dapat memudahkan masyarakat untuk mengkases data dan informasi ilmiah seputar Majapahit.
Kemudian, di tengah pandemi yang begitu berat, PATI IV kembali dilaksanakan meskipun dengan jumlah kegiatan yang terbatas. Konsep kegiatan PATI IV dilakukan sama dengan PATI I dan II. Hal ini dikarenakan kebutuhan atas
berbagai temuan arkeologis yang penting pada saat itu. Yang menjadi pembeda adalah kegiatan PATI IV menerapkan sistem hybrid atau kombinasi daring dan luring dengan memanfaatkan dan mengembangkan berbagai teknologi terkini.
Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) telah menjadi sebuah brand dalam kegiatan penelitian Arkeologi di Indonesia. Kegiatan penelitian yang notabenenya sebagai kegiatan penelitian pelatihan dan pembelajaran bagi mahasiswa, tumbuh menjadi sebuah kegiatan penelitian yang diperhitungkan setiap kali PATI dilakukan. Hal ini bukan tanpa alasan, berbagai kontribusi akademisi dan pemikiran tokoh-tokoh arkeologi mewarnai kegiatan penelitian ini.
PATI I (2008) memiliki tujuan untuk menentukan mandala posisi Kedaton Majapahit, tema ini diangkat untuk memahami secara holistik kerajaan klasik Majapahit yang berada di Trowulan dan menempatkan perkembangan dan peranan Kerajaan Majapahit dalam dinamika sejarah kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, serta interaksinya dengan kerajaan-kerajaan sezaman lainnya, dan makna kehadirannya dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Selain itu tujuan khusus tema tersebut diangkat adalah untuk mengidentifikasi struktur, artefak dan ekofak, untuk pembuktian apakah kedaton tersebut benar-benar pemukiman atau tempat tinggal raja dan Keluargannya (www.direktorimajapahit.id).
Kemudian, tema PATI II adalah Air dan Kosmologi di Situs Majapahit. Untuk mengungkap permasalahan penelitian, ekskavasi dilakukan pada 5 situs, yaitu Situs Nglinuk, Situs Segaran, Situs Sumur Upas, Situs Paras Kanal Lantai Segi enam, dan Situs Cancangan Gajah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
di situs yang diduga bekas kraton, yaitu memiliki pengaturan distribusi air yang terstruktur, yaitu dari pusat kraton yang letaknya paling tinggi ke luar kraton yang merupakan permukiman masyarakat biasa. Konsep air pada masyarakat Majapahit yang berlatar agama Hindu sangatlah penting karena raja dianggap sebagai perwakilan dewata, sehingga air “bekas” pemakaian raja adalah air yang telah disucikan dan memiliki manfaat bagi kehidupan (www.direktorimajapahit. id). Berbeda dengan kegiatan PATI sebelumnya yang mana melakukan perekaman data arkeologi melalui penggalian, pada kali ini YAD bersama empat Universitas tersebut membuat publikasi berupa Buku yang berjudul Inspirasi Majapahit dan Majapahit Inspiration for The World.
Selanjutnya, pada tahun 2020, di tengah pandemi PATI IV dilaksanakan untuk mengungkap sebuah tempat yang diduga lokasi pendharmaan Mahesa Cempaka. Kegiatan PATI IV pun mengembangkan teknologi 3D photograf ekskavation sebagai metode pembelajarannya.
Namun demikian, jika kita melihat kilas balik dan pelaksanaan PATI kebelakang, rasanya kegiatan PATI hanya bersifat temporal, kegiatan dan pelaksaannya hanya dibuat instan. Maka hasilnyapun terkesan instan dan terbatas. Seharusnya sebagai media pembelajaran dan pelatihan calon arkeolog masa depan, PATI wajib memiliki roadmap atau silabus yang terukur. Setidaknya setiap 5 tahunan yang disepakati perguruan tinggi dan lembaga terkait, sehingga capaian yang dilaksanakan dapat terukur dengan baik.
Selanjutnya, jika kita melihat carut marut penelitian di Trowulan, hal ini dikarenakan tidak adanya konektivitas dan keterbukaan data antara peneliti dan lembaga penelitian arkeologi. Sehingga kegiatan penelitian yang dilakukan di situs dan lokasi yang sama sering terjadi. Hal ini menjadi ironi, padahal saat ini teknologi
dan paradigma dunia open science sudah mendukung. Di sinilah peluang peran PATI sebagai kelompok peneliti arkeologi yang dapat meluruskan kekeliruan dan kesalahan saat ini melalui integrasi teknologi peta penelitian Majapahit bersama.
Berbicara luaran PATI mungkin sudah cukup baik bagi kelompok peneliti Majapahit yang diinisiasi oleh swasta. Luaran berupa buku laporan (PATI I dan II), buku populer ilmiah (Inspirasi Majapahit, Inspiration for The World, Bunga Rampai PATI IV), festival (Festival Trowulan Majapahit (FTM)), pusat informasi (Mandala Majapahit) hingga pusat data digital Majapahit (www.direktorimajapahit.id). Luaran tersebut memperlihatkan bahwa PATI dan YAD memperhatikan pentingnya publik luas mengetahui tentang informasi-informasi terkini terkait Majapahit. Namun penulis melihat kurangnya perhatian dan kerja sama positif pemerintah terhadap upaya yang telah di lakukan. Sehingga getaran manfaaat dan okupasi informasi yang disajikan terbatas.
Selain itu, ke depannya hasil penelitian PATI harapannya dapat bermuara dalam berbagai kebijakan baik itu terkait penelitian maupun pelestariannya. Sehingga hasil penelitian PATI maupun Majapahit pada umumnya memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas khususnya masyarakat Trowulan sebagai tuan rumah yang dipercaya sebagai ibu kota Majapahit.
Akhirnya, kita sepakat sebuah penelitian arkeologi khususnya PATI bukanlah sebuah proses instan, terlebih sebuah penelitian terpadu. Butuh waktu, pemikiran, bahkan dana yang tidak sedikit pula untuk meramunya. Akan tetapi bukan berarti PATI hanya menghasilkan data mendasar yang tidak bisa berbicara banyak. Hari
ini publik menyorot tajam terhadap hasil. Dengan demikian harapannya melalui PATI, setiap penelitian hendaknya lebih konkret dan tajam sekalipun penelitian ini merupakan wadah pendidikan dan pelatihan bagi calon-calon arkeolog masa depan. Selain itu, kegiatan PATI harus memiliki roadmap/silabus jangka pendek, menengah, maupun panjang yang terhubung dengan Rancangan Induk Penelitian Arkeologi Indonesia. Sehingga hasil dari setiap penelitian dapat terukur dan saling melengkapi serta yang terpenting sejarah yang ditulis dan di jelaskan oleh para peneliti khususnya PATI tidak lagi kaku dan repetisi dari tulisan dan penelitianpenelitian terdahulu. Selanjutnya hal penting yang perlu diperhatikan pula adalah terkait upaya mengintegrasikan berbagai data dan kegiatan penelitian Majapahit melalui peta bersama yang terbuka, sehingga kasus tumpang tindih penelitian tidak terulang di kemudian hari dan PATI memiliki kans untuk mewujudkannnya.
Laporan
www.direktorimajapahit.id
Asyhadi Mufsi Sadzali, lahir di Padangsidimpuan, Sumatera Utara pada Tanggal 6 September 1984, dan menjalani studinya mulai dari SD hingga SMA di Padangsidimpuan. Lalu melanjutkan pendidikan ke Jurusan Arkeologi Universitas Udayana dan meraih gelar Sarjana Arkeologi di Tahun 2009. Pada tahun 2010, melakukan ekspedisi Bahari keliling Asia bersama kapal layar “Spirit Majapahit Ship”. Pada tahun 2011, meraih Beasiswa Unggulan Calon Dosen Dirjen Pendidikan Tinggi, untuk studi S2 Arkeologi di Universtas Gadjah Mada dan diselesiakan di Tahun 2014. Setelah wisuda mengabdi merintis jurusan Arkeologi di Universias Halu Oleo Sulawesi Tenggara, selanjutnya Tahun 2016, merintis Program studi Arkeologi di Universitas Jambi, hingga sekarang menjadi dosen di Arkeologi Universitas Jambi. Selain tertarik tentang kajian Arkeologi Klasik Sumatra, juga banyak menulis tentang kajian Majapahit, antara lain “Dari Inspirasi ke Ekspedisi: Pelayaran Inspirasional Replika Kapal Majapahit Ke Timur Jauh”.
Catrini Pratihari Kubontubuh, Ari memiliki latar belakang ilmu perencanaan kota dan wilayah, serta arsitektur. Lulus sarjana teknik Planologi dari Institut Teknologi Bandung tahun 1996, dan meraih Master Arsitektur dari K.U. Leuven, Belgia tahun 1997, serta meraih gelar Doktor dalam bidang arsitektur di Institut Teknologi Bandung tahun 2021. Ia memiliki ketertarikan kuat dengan dunia pelestarian yang digelutinya sejak lebih dari 20 tahun, dimulai dengan kiprahnya membidani lahirnya organisasi pelestarian Badan Warisan Sumatera Barat (1999), Bali Kuna Heritage Society (2000) dan akhirnya bersama-sama berbagai organisasi pelestarian dari berbagai daerah mendirikan Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (The Indonesian Network for Heritage Conservation) tahun 2000 dan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI/ The Indonesian Heritage Trust) tahun 2004, dimana dalam kepengurusannya ia menjadi Direktur Eksekutif BPPI tahun 2007-2013, dan menjadi Ketua BPPI sejak tahun 2014 hingga saat ini. Selain itu, ia juga menjadi anggota Komite Eksekutif dari International of National Trusts Organization (INTO) atau Forum Organisasi Pelestarian se-Dunia yang berpusat di London (2010-2021). Ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua forum organisasi pelestarian se-Asia Tenggara, yakni Southeast Asian Cultural Heritage Alliance (SEACHA) yang berpusat di Bangkok (2021-sekarang). Ia bekerja profesional di Bank Dunia Jakarta selama enam tahun sejak 2007 sebelum bergabung dengan Yayasan Arsari Djojohadikusumo dan menjadi Direktur Eksekutif sejak 2013.
Ia pernah menerima beberapa anugerah penghargaan, yaitu The Most Inspiring Woman (2007), Asia 21 Young Leader (2007), The Climate Reality Leader (2020), dan Tokoh Penjaga Budaya dan Konservasi Alam Nusantara (2021).
Cresentia Zita Octaviani, atau kerap disapa Oshin, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Oktober 1993. Oshin menjalani studinya di Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin sejak tahun 2011 hingga 2017. Penulis aktif dalam kegiatan penelitian dan pelestarian di Jawa Timur, di antaranya: kolaborasi NSC Fieldschool ISEAS Yusof Ishak Institute – Puslit Arkenas dan Zonasi Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan Tahap III oleh Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (BPCB Jatim). Pada tahun 2019 sebagai staf teknis tidak tetap di BPCB Jatim hingga sekarang.
Dantoen Sidiek Noor, lahir di Jambi pada tanggal 17 September 1998. Menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Muara Jambi. Kemudian pada tahun 2015 melanjutkan studi di Program Studi Arkeologi Universitas Jambi. Selama masa kuliah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, salah satunnya Himpunan Mahasiswa Arkeologi Jambi (PRAJA). Selain itu pernah mengikuti beberapa penelitian yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Sumatra Utara dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Saat ini tengah menyelesaikan penulisan skripsi Arkeologi Klasik dengan tema; Arsitektur Percandian di Kawasan Padang Lawas, Sumatra Utara.
Isa Akbarulhuda, lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 Maret 1999. Pendidikan formal hingga SMA ditempuh semua di Kota Bogor, dan saat ini sedang menjalani semester VII program Sarjana di jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia, Depok. Selama masa perkuliahan, aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan Keluarga Mahasiswa Arkeologi (KAMA), juga mengikuti kegiatan ekskavasi yang dilakukan oleh program studi Arkeologi di Sawahlunto, Sumatra Barat. Saat ini sedang menulis tugas akhir tentang fenomena bangunan megalitik di lereng utara Gunung Salak.
M. Hasbiansyah Zulfahri adalah seorang arkeolog muda lulusan Departemen Arkeologi, Universitas Gadjah Mada (2016). Pasca lulus sarjana, Ia melanjutkan pendidikan Program Master Gestion et Valorisation Touristique du Patrimoine studi khusus Gestion Patrimoine Mondial/Management World Heritage di Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne, Perancis (2019). Selama 6 tahun berkiprah di dunia arkeologi dan pelestarian pusaka, ia telah terlibat dan berpartisipasi lebih dari 30-an proyek penelitian, pelatihan, pengembangan masyarakat, dan lingkungan. Dalam keilmuan arkeologi dan pelestarian pusaka, ia tertarik dalam bidang Archaeological Heritage Management, Public Archaeology, Communitybased Conservation, dan Heritage Economics. Dari petualangannya tersebut, ia telah menghasilkan berbagai publikasi di media dan jurnal lokal, nasional maupun
internasional. Beberapa diantaranya: Artefact DNA: Engineering the security system for culture heritage items. Proceedings and Speakers at the International Confidence Museology Our Own (2014), Alas Purwo: Kilas Balik Sejarah Budaya Semenanjung Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal Pusat Arkeologi Nasional, Republik Indonesia, Kalpataru Vol 24, No 2, (2015), USAT LIBERTY SHIPWRECK: Pilot Project of underwater Museums in Indonesia. International Scholarship Journal, Edition (2016), Urban walks in Paris; a new form of cultural mediation by residents, highlighting heritage and tourism issues. International Council on Monuments and Sites, ICOMOS France (2017), La Diffusion Des Flux Touristiques De Montmartre Aux Puces De Saint-Ouen. La mairie du 18e arrondissement de Paris (2018). Selain itu, ia pun menjadi koordinator dalam pengembangan Direktori Saujana Pusaka Indonesia (2020) sebuah pusat data saujana pusaka Indonesia berbasis digital, serta Direktori Majapahit (2021), sebuah pusat data majapahit berbasis digital. Kini ia beraktivitas di Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (YAD) sebagai Kepala Bidang Budaya dan Direktur Eksekutif Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI/ Indonesian Heritage Trust) sejak tahun 2019.
Marselina Sura, lahir di Larang Tuka, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 24 Maret 1999. Menjalani studi di Makassar dan Batam saat sekolah dasar. Sekolah menengah pertama hingga akhir di Kota Makassar. Melanjutkan ke perguruan tinggi pada tahun 2017 dengan mengambil Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini menjalani semester VII. Penulis banyak menghabiskan waktu di Himpunan Keluarga Mahasiswa Arkeologi (KAISAR FIB-UH), selain itu penulis juga telah mengikuti ekskavasi yang diadakan oleh Balai Arkeologi Sulawesi Selatan.
Muhamad Satok Yusuf, lahir di Blitar pada 1 Oktober 1998. Menyelesaikan pendidikan formal dari SD hingga SMA di Blitar. Sejak tahun 2017 Yusuf menempuh kuliah di Program Studi Arkeologi FIB Universitas Udayana. Selama kuliah aktif mengikuti beberapa organisasi kampus seperti WARMA, juga aktif menulis artikel ilmiah dan penelitian bersama dosen. Karya tulis lainnya adalah ‘Eksistensi Rumah Adat Bugis di Kampung Bugis Pulau Serangan Kota Denpasar’. Saat ini sedang menyusun skripsi berjudul ‘Aktivitas Religi di Kawasan Gunung Pegat Kabupaten Blitar Periode Kadiri, Singhasari hingga Majapahit’. Nensi Yuliyanti Dewi, lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 31 Juli 1999. Pendidikan formal dari SD hingga SMA berada di Kabupaten Jombang. Kemudian pada tahun 2017, melanjutkan pendidikan di Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Selama menjalani perkuliahan, aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Indonesia (DPM UI), Keluarga Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia (KAMA UI), juga terlibat dipenulisan buku tentang warisan dunia yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, dan saat ini sedang menulis tugas akhir dengan topik “Situs Bhre Kahuripan dalam Tinjauan Bentuk, Tata Letak, dan Perannya pada Masa Majapahit”.
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, lahir di Mengwi pada tanggal 20 November 1974, bertempat tinggal di Banjar Umacandi, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Menyelesaikan pendidikan S1 (Arkeologi) dan S2 (Kajian Budaya) di Universitas Udayana. Selesai S3 (Arkeologi) pada tahun 2017 di Universitas Indonesia dengan disertasi berjudul “Identitas Keberagamaan Pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi: Kajian Epigrafis”. Karya tulis yang lain di antaranya “Traces Religious Life in Ancient Bali Period: an Ephigraphical Study” dan “Rituals and Offerings in The Ancient Bali in The Periods of IX-XIV Centuries an Ephigraphical Study” Sejak tahun 2003 sampai sekarang menjadi staf dosen di Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.
Nurul Afni Sya’adah, lahir dan besar di Desa Siulak Panjang, Kabupaten Kerinci Tanggal 12 Agustus 1998. Menyelesaikan studi SMP hingga SMA di Kota Sungai Penuh dan tahun 2016 melanjutkan pendidikan di Program Studi Arkeologi Universitas Jambi. Selama kuliah aktif mengikuti kegiatan organisasi kampus satu di antaranya Himpunan Mahasiswa Arkeologi Jambi (PRAJA), dan di luar kampus yakni Ikatan Mahasiswa Arkeologi Kerinci-Sungai Penuh (IMAKS). Saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir dengan kajian Arkeologi Klasik tentang seni arca di Kompleks Kepurbakalaan Padang Lawas Sumatra Utara.
“Saya berpikir alangkah eloknya bila di situs bekas pusat kerajaan Majapahit itu bangsa kita bisa memulai suatu karya besar seperti ekskavasi di Pompeii, dengan melibatkan para ahli arkeologi bangsa kita sendiri dari berbagai universitas secara kolaboratif”.
Hashim S. Djojohadikusumo, 2008
Kurang lebih dua belas tahun sejak pikiran dalam kutipan di atas tercetus, kerja kolaboratif bernama Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) telah empat kali terlaksana dengan berbagai format. Di tahun 2020, PATI IV Kembali dilaksanakan dan diikuti oleh enam universitas (Universitas Jambi, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Halu Oleo) berkolaborasi dengan Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, dalam kegiatan ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir, Mojokerto, Jawa Timur. Di tengah situasi pandemik Covid-19 mengharuskan kegiatan PATI IV melakukan berbagai penyesuaian desain kegiatan dengan metode hybrid (Daring dan Luring dilapangan). Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam pelaksanaannya. Karena kegiatan pembelajaran peserta PATI IV menjadi terbatas. Namun ditengah keterbatasan tersebut tidak mengurangi ruang diskusi dan bertukar pikiran mengenai isu, hasil dan perbincangan Majapahit hari ini. Buku ini adalah edisi kedua dari kumpulan catatan para peserta PATI IV yang terangkum dalam bunga rampai majapahit dalam perbincangan hari ini.