9 minute read

Jejak Dewa Pelebur di Situs Kumitir

Next Article
Biodata Penulis

Biodata Penulis

JEJAK DEWA PELEBUR DI SITUS KUMITIR

Muhamad Satok Yusuf10 , Cresentia Zita Octaviani11

Advertisement

“Om nama siwaya”

Begitulah mantra pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Pelebur yang populer di tanah Jawa sejak abad VII Masehi yang sering terdapat pada pembuka prasasti. Popularitas dewa utama dalam trimurti ini telah diberitakan sejak lama oleh para raja di tanah Jawa melalui prasasti, arca hingga percandian yang memang didedikasikan untuknya. Sebut saja prasasti Canggal dari Magelang yang diterbitkan pada tahun 732 Masehi menyebutkan tentang pendirian lingga di bukit Sthirangga. Ada pula dari Malang sebuah prasasti yang telah pecah menjadi tiga bagian, menyebutkan pendirian bangunan suci dan penggantian arca Agastya dari kayu cendana menjadi 10 Muhamad Satok Yusuf adalah Mahasiswa Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. 11 Cresentia Zita Octaviani adalah Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur.

batu. Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Gajayana tahun 760 Masehi ini juga menyebutkan tentang keagungan sang guru atau dikenal juga dengan Agastya, sebagai penghancur kekuatan musuh. Bila ditelisik mendalam kedua berita prasasti tersebut menceritakan tentang eksistensi Dewa Siwa, Mahadewa yang menjadi pimpinan dan dewa superior dalam kepercayaan Hindu. Lingga merupakan simbol suci Dewa Siwa dalam bentuk penis, sedangkan Agastya adalah perwujudan lain dari-Nya sebagai Mahaguru.

Popularitas Dewa Siwa di tanah Jawa tampaknya tidak hanya terwujud pada data prasasti saja. Candi Hindu termegah di Indonesia, Prambanan merupakan bukti nyata pengagungan Siwa sebagai yang tertinggi di antara Trimurti lainnya (Wisnu dan Brahma). Hal ini didasarkan pada penyebutan nama tempat tersebut sebagai Siwagrha (rumah Siwa), juga atas dasar peletakan arca Siwa dan keluarganya di bagian inti dan pada bangunan paling tinggi. Pengagungan Siwa seperti kasus di atas tidaklah dilakukan tanpa alasan. Dewa yang memiliki sifat pelebur segala zat ini memiliki aspek paling ganas dalam konstelasi dewata Hindu. Sifat-sifat menakutkan itulah yang akhirnya ditakuti oleh manusia, layaknya neraka yang menjadi momok bagi manusia dalam berbagai agama, juga menjadi simbol keperkasaan para kesatria. Selanjutnya karakter Siwa sebagai Ia yang mengembalikan zat lebur kembali menjadi wujud semula menjadikannya dianggap sebagai dewa yang berkuasa, mengalahkan kehebatan Wisnu Sang Pemelihara dan Brahma Sang Pencipta.

Gambar 4. Foto fragmen arca ekskavasi Kumitir (Tim Kerja PATI IV, 2020).

Gambar 5. Foto fragmen jari menyangga cakra (roda api) (YouTube BPCB Jatim, 2021).

Selayang Pandang Situs Kumitir

Membicarakan tentang Dewa Siwa rupanya terdapat temuan menarik di Situs Kumitir yang berlokasi di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Ekskavasi yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Direktorat Perlindungan Kebudayaan dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo, berhasil menampakkan sebuah struktur talud dan bangunan seluas 6 hektare. Ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2019 dan 2020 mendapatkan temuan lain yang cukup menarik, di antaranya adalah struktur sumur, fragmen prasasti, komponen candi, dan fragmen arca. Ada pula temuan lepas di sekitar situs ini berupa komponen bangunan, bakal kepala kala, bakal makara, hingga bakal arca. Temuan fragmen arca dan bakal arcalah yang menguatkan bukti adanya jejak Siwaistis pada situs yang berada di tenggara kompleks istana Majapahit.

Fragmen arca yang ditemukan saat ekskavasi di Situs Kumitir berjumlah lima buah. Masing-masing jenisnya adalah fragmen jari telunjuk arca yang menyangga roda api atau cakra, 1 bahu kiri dengan kelat bahu, dan 3 fragmen paha arca yang dibalut kain bawahan motif batik kawung. Kelima fragmen tersebut tersusun dari satu batu yang sama, yang mengindikasikan terdapat suatu sebab yang mengakibatkan arca pecah berkeping-keping. Melalui petunjuk berupa cakra, maka dapat dijustifikasi untuk sementara, bahwa fragmen tersebut adalah Dewa Wisnu, Dewi Durga, atau Dewa Harihara. Pasalnya, ketiga dewa tersebut memiliki senjata yang sama, yaitu cakra.

Temuan lepas berupa arca yang ada di sekitar Situs Kumitir merupakan bakalan arca. Artefak tersebut oleh masyarakat sekitar disebut sebagai arca Joko Slining. Arca ini terbuat dari satu buah batu andesit abu-abu yang telah dipahat secara kasar membentuk bagian-bagian tubuh sosok arca. Melalui pahatan dasar

yang ada, dapat diinterpretasi bahwa arca tersebut menggambarkan sosok Ganesa, putra Dewa Siwa. Interpretasi tersebut berdasarkan penggambaran arca yang berada dalam posisi duduk, terdapat telinga lebar di sisi kiri, dan adanya tonjolan vertikal dari kepala hingga perut yang diidentifikasi sebagai belalai gajah.

Membuka Tabir Identitas Arca

Temuan fragmen arca dan bakalan arca tampaknya menjadi bukti kuat eksistensi Dewa Siwa pada situs Kumitir. Fragmen kunci berupa senjata dewa berwujud cakra dapat menjadi petunjuk tentang keberadaan sosok Dewi Durga, istri Dewa Siwa yang pada percandian Siwaistis selalu ditempatkan pada relung bagian utara. Dewi ini merupakan perwujudan ganas dari Dewi Parwati. Durga menjadi simbol dari kemenangan melawan kejahatan yang diperbuat iblis berwujud kerbau. Arca Durga pada pengarcaan di Jawa Kuno menurut Ratnaesih Maulana dalam bukunya Ikonografi Hindu, secara umum digambarkan sebagai seorang wanita bertangan delapan memegang senjata cakra, sangka, pedang, perisai, anak panah, dan busur, berdiri di atas kerbau serta menjambak rambut raksasa yang berada di kepala kerbau.

Gambar 6. Bakalan arca Ganesa (Yusuf).

Temuan lepas berupa bakalan arca menunjukkan ciri-ciri dari penokohan Dewa Ganesa. Ciri yang paling terlihat adalah adanya pahatan dasar dari sikap duduk tokoh yaitu bersila seperti bayi (utkutikasana), adanya penggambaran bidang lebar di sisi kiri kepala seperti telinga gajah, dan adanya tonjolan sepanjang muka hingga perut yang membentuk belalai. Jika dibandingkan dengan arca Ganesa yang masih utuh koleksi Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM), maka didapatkan kesamaan ikonoplastis dengan bakalan arca. Melalui penggambaran dan perbandingan tersebut maka bisa disimpulkan peran Ganesa juga dihadirkan dalam bangunan suci di Situs Kumitir.

Gambar 7. Perbandingan arca Joko Slining dan arca Ganesa koleksi PIM.

Ganesa Sang Dewa Perang, berdasarkan Siwapurana dikisahkan sebagai putra Parwati. Kala itu Parwati ingin mandi dan tidak ingin diganggu siapapun, oleh karenanya, ia menciptakan seorang anak laki-laki dari dakinya yang ditugaskan menjaga pintu kediamannya. Siwa yang hendak memasuki kediaman Parwati terhalang oleh penjaga tersebut. Maka kemudian terjadilah keributan dan pertarungan sengit di antara keduanya. Alhasil Siwa menebas leher anak lakilaki tersebut menggunakan trisula hingga menyebabkan kematian. Parwati yang mengetahui kejadian itu menjadi murka dan menuntut Siwa untuk menghidupkan kembali penjaganya. Siwa pada akhirnya meminta pertolongan Brahma dan ia disarankan untuk mencari pengganti makhluk bumi yang kepalanya menghadap ke utara. Para Gana kemudian turun ke bumi dan berhasil menemukan gajah yang sedang tertidur menghadap ke utara. Oleh karena itu, Ganesa memiliki kepala gajah,

serta ia disebut sebagai Ganesa (gana + isa) maupun Ganapati (gana + pati), Sang Pemimpin para Gana.

Ganesa juga memiliki nama lain sebagai Sang Penyingkir Rintangan (Wigneswara). Nama tersebut ia raih sebab menjadi pahlawan bagi kahyangan dalam mengalahkan musuh dewata berwujud Asura. Ia juga membantu Siwa dan Parwati dalam menghadapi Parasurama yang hendak mencoba menerobos ke kediaman Siwa. Kisah yang dituliskan dalam Brahmandapurana menggambarkan pertarungan heroik antara Ganesa melawan Parasurama yang mengakibatkan salah satu gading Ganesa patah. Oleh karenanya, ia dikenang sebagai ekadanta (pemilik gading satu) atas jasanya sebagai pahlawan. Satu hal lagi, Ganesa memiliki kendaraan berupa tikus. Tikus dalam dunia pertanian dikenal sebagai hama yang mendatangkan bencana, oleh karenanya, melalui penaklukan tikus Ganesa dianggap sebagai simbol pengusir bencana, khususnya dalam agraria.

Antara Ganesa, Durga, Agastya dan Siwa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ditambah dengan Mahakala dan Nandiswara maka lengkaplah konstelasi pengarcaan dewa bernafas Hindu Siwa pada sebuah candi. Pada sebuah candi, Ganesa menempati relung bagian belakang (timur atau barat), Durga menempati relung sebelah utara, Agastya pada relung selatan, Nandiswara dan Mahakala pada relung di kanan dan kiri pintu masuk, sedangkan Siwa menempati ruang utama candi (garbagrha). Pakem perletakan arca-arca tersebut telah terkristalisasi sejak ajaran Hindu di India dan masih berlaku di Jawa hingga masa Majapahit. Berdasarkan temuan fragmen arca yang diduga kuat sebagai Durga dan bakalan arca yang diidentifikasi sebagai Ganesa pada situs Kumitir, maka dapat menguatkan landasan keagamaan yang terdapat di situs tersebut, dan bisa mengantarkan kepada tokoh siapakah yang didarmakan pada candi tersebut.

Siwa, Kumitir, dan Mahisa Campaka

Pada masa Singhasari pernah hidup tokoh yang menjadi nenek moyang dari raja-raja Majapahit, yaitu Mahisa Campaka yang bergelar Narasinghamurti. Tokoh yang masih keponakan dari Wisnuwarddhana ini merupakan patih Kerajaan Singhasari pada tahun 1248 Masehi. Kakawin Nagarakretagama menyebutkan hubungan akrab Raja Wisnuwarddhana dengan Mahisa Campaka seperti Krisna dan kakaknya (Basudewa). Bahkan Pararaton menguraikan lebih lanjut silsilah mereka yang pada mulanya seibu, yaitu Ken Dedes. Informasi tersebut dijabarkan oleh Slamet Mulyana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit.

Mahisa Campaka mendampingi Wisnuwarddhana memimpin Tumapel (nama lama Singhasari) selama 20 tahun. Nagarakretagama menyinggung wafatnya Wisnuwarddhana pada tahun 1268 Masehi. Sang raja didarmakan di dua tempat, di Jago sebagai Buddha dan di Waleri sebagai Siwa. Kakawin yang digubah oleh Mpu Prapanca tersebut juga memberitakan wafatnya Mahisa Campaka tak lama setelah mangkatnya sang raja. Hal ini diperkuat dengan temuan prasasti Sarwwadharmma di Tulungagung, yang oleh Slamet Mulyana dalam bukunya Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit dinyatakan bahwa Mahisa Campaka meninggal setahun setelah wafatnya Wisnuwarddhana. Pengarang Nagarakretagama yang beragama Buddha menguraikan tempat pendarmaan Mahisa Campaka di Wengker dan ia juga dibuatkan arca yang indah berwujud Siwa di Kumitir. Oleh karenanya, sangat memungkinkan bahwa Kumitir yang dimaksud dalam Nagarakretagama adalah lokasi yang dibahas dalam tulisan ini.

Nama Kumitir di Jawa Timur dijumpai pada dua tempat, yang pertama di perbatasan Banyuwangi dan Jember berupa Gunung Kumitir, yang kedua adalah

nama desa di Mojokerto yang dibahas dalam tulisan ini. Nama Kumitir rupanya juga dikenal dalam Pararaton sebagai kuměpěr. Kedua tempat tersebut menjadi tempat pendarmaan Mahisa Campaka sebagai Siwa. Pendapat umum mengenai nama kumitir didasarkan pada nama bunga yang di Bali disebut gumitir (Tagetes erecta). Bunga gumitir menjadi salah satu sarana penting dalam peribadatan umat Hindu di Bali sebagai pelengkap dari sesaji. Akan tetapi, ternyata kosakata kumitir maupun kuměpěr juga dijumpai pada masa Jawa Kuno.

Kata kumitir berasal dari kata dasar ‘kitir’ yang mendapat imbuhan ‘um’. Begitu juga dengan kata kuměpěr yang berasal dari kata dasar ‘kěpěr’ yang mendapat imbuhan ‘um’. Imbuhan ‘um’ dan ‘in’ sangat lazim dalam kosakata Jawa Kuno hingga Jawa sekarang. Arti dari kitir yakni bergoyang kian kemari atau bergetar, sedangkan kata kěpěr memiliki arti menggigil atau bergetar. Kedua kata tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan makna yakni bentuk getaran pada suatu objek. Jika demikian maka penamaan Kumitir pada Nāgarakṛtāgama maupun kuměpěr dalam Pararaton tidaklah berbeda. Akan tetapi, untuk penamaan situs Kumitir saat ini sebagai nama bunga sepertinya harus ditinjau kembali, sebab dalam kamus Jawa Kuno nama bunga tersebut tidak dikenal.

Masih berkaitan dengan arti kumitir maupun kuměpěr yaitu bergetar. Berdasarkan arti kosakata tersebut, maka muncul indikasi bahwa tempat pendarmaan Mahisa Campaka merupakan daerah yang rawan akan getaran yang mungkin merupakan wilayah rawan gempa. Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang membuat manusia senantiasa waswas dan takut, layaknya bencana gunung meletus. Bahkan gempa bumi juga menjadi sengkalan dari runtuhnya Majapahit yaitu sirna ilang kertaning bhumi (sirna hilang ditelan bumi). Gempa yang sering terjadi di Indonesia disebabkan dua hal, yaitu aktivitas lempeng tektonik maupun

aktivitas vulkanik gunung berapi. Berdasarkan penyebab gempa tersebut, maka dapat ditelusuri jika bencana gempa berkaitan dengan eksistensi Dewa Siwa. Mungkin saja pada daerah Kumitir dulu rawan gempa dan tanahnya bergetar, maka dengan pendirian arca Siwa sebagai Raja Gunung diharapkan nantinya wilayah tersebut terbebas dari bencana, layaknya pendirian Candi Palah oleh Raja Srengga. Demikian juga sangat mungkin pemilihan Trowulan sebagai ibu kota Majapahit berkaitan dengan faktor pemilihan lokasi yang dekat dengan candi pendarmaan kakek sang pendiri Majapahit tersebut.

Pembahasan tentang dewata pelebur di Situs Kumitir tak berhenti pada titik ini. Masih terdapat permasalahan yang perlu dipecahkan guna menguatkan hipotesis di atas. Yang pertama adalah kebenaran lokasi Kumitir di masa lalu sebagai daerah rawan gempa. Tentu untuk menjawab hal ini memerlukan peran dari geolog yang lebih memahami tentang aktivitas geologis. Yang kedua adalah keberadaan arca Siwa yang digambarkan indah dalam Nagarakretagama. Apakah arca tersebut pernah ditemukan, ataukah masih terpendam, belum dapat dijawab lebih lanjut. Terlebih, ekskavasi yang dilakukan pada situs Kumitir belum menyeluruh dan masih 30%. Tentunya masih sangat banyak kejutan nantinya berdasarkan hasil ekskavasi lanjutan pada situs ini.

This article is from: