15 minute read

Surya Majapahit di Bumi Malayupura

Next Article
Biodata Penulis

Biodata Penulis

SURYA MAJAPAHIT DI BUMI MALAYUPURA

Asyhadi Mufsi Sadzali9

Advertisement

Menunggu Raja dari Jawa

Apakah Tuan dan Puan pernah mendengar tempat bernama Malayupura? Lalu bagaimana dengan Dharmasraya? Bila belum pernah mendengarnya, bukan berarti kedua tempat ini tidak pernah ada, atau tidak memiliki peran penting dalam peta peradaban Nusantara. Justru sebaliknya, tempat ini boleh dikatakan menjadi kunci peristiwa titik balik peradaban klasik Sumatra selepas melemahnya Sriwijaya pasca serangan Rajendra Cola dan melumpuhkan jaringan perdagangan Sriwijaya yang terkoneksi antara hulu ke hilir dan muara. Tempat ini juga menjadi saksi akan masa peralihan peradaban Hindu-Buddha yang telah berlangsung lebih 700 tahun menuju masa kesultanan Islam dan berkuasanya kolonialisme Eropa. Tentu hal ini sangat menarik untuk diperbincangkan.

9 Asyhadi Mufsi Sadzali adalah dosen pada Program Studi Arkelogi Universitas Jambi.

Memang benar Dharmasraya hingga hari ini, masih menjadi tempat yang belum populer bagi kebanyakan orang, dan mungkin sulit untuk menjelaskan keberadaan lokasinya di belahan Sumatra mana. Namun, bila ditinjau dari riwayatnya, Dharmasraya merupakan wilayah administratif baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, yang secara resmi berdiri sebagai pada tanggal 7 Januari 2004. Pemilihan nama Dharmasraya sendiri memiliki latar argumen historis yang sangat kuat, yakni diambil dari nama tempat yang tertulis pada lapik arca temuan situs Padang Roco di Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatra Barat. Isi dari inskripsi itu menyebutkan bahwa arca Amoghapasa merupakan hadiah dari Raja Sri Maharajadiraja Kartanegara untuk ditegakkan di Kerajaan Melayu Dharmasraya. Bila ditelusuri jejak historisnya, disebutkan bahwa pemberian hadiah arca terjadi pada tahun 1286 M.

Ditinjau secara administrasi, Kabupaten Dharmasraya baru berusia 16 tahun terhitung per Januari 2020. Sungguh hal luar biasa bahwa rupanya data pada prasasti Dharmasraya telah mencapai lebih dari tujuh abad. Merujuk pada data sejarah, sejatinya hari jadi Kabupaten Dharmasraya tak jauh berbeda dengan umur kota lain seperti Surabaya dan Jakarta, yang pada tahun 2020 telah memasuki usia ke-493. Tentu tidak berlebihan bila Dharmasraya juga disebut negeri tua dengan peradaban panjang.

Data mengenai jejak kemasyhuran Dharmasraya walau tidak melimpah, namun masih dapat ditelusuri melalui sebaran cagar budaya yang bernilai tinggi. Sebaran tapak-tapak tua mengisyaratkan kebesaran era Melayu Dharmasraya, yang menjadi kebanggaan segenap komponen bangsa. Sebaran-sebaran itu antara lain Komplek Percandian Padang Roco, Percandian Pulau Sawah, Situs Candi Awang Ombiak, Situs Prasasti Raja Adityawarman, dan beberapa situs lain yang berada saling berjauhan namun tak dapat dipisahkan. Di samping itu terdapat pula situs

lain yang tak kalah penting, namun belum cukup populer di telinga publik. Narasi di balik situs itu boleh dikatakan kepingan penting tidak hanya bagi Dharmasraya atau Sumatra Barat, namun juga bagi Nusantara. Situs-situs bersejarah tersebut terletak di hulu sungai Batanghari, yang oleh masyarakat lokal diberi nama Nagari Rambahan.

Lokasi ini cukup penting dengan ditemukannya Kampung Lama-Rambahan, yaitu kawasan perbukitan dengan benteng tanah. Pada bagian semenanjungnya, ditemukan arca penting bernama Amoghapasa yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Berdasarkan data ekskavasi arkeologi, lokasi penemuan arca dilengkapi dengan sebidang struktur bata berbentuk persegi. Serangkaian kegiatan penelitian arkeologi telah digelar di wilayah ini yang menghasilkan beragam temuan yang cukup mengejutkan, yaitu keramik China, pemakaman pra-Islam menyerupai “temu gelang”, hingga folklor cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang seorang raja dari Jawa.

“Menunggu Raja dari Jawa”, demikian judul cerita rakyat yang turuntemurun dilestarikan masyarakat lokal, mengisahkan seorang raja dari Jawa yang datang ke Sumatra Barat. Dikisahkan, para datuk (pemimpin tiga suku besar Minangkabau) berkumpul di titik pertemuan antara Sungai Batanghari dan anak sungai kecil bernama Rambahan untuk menunggu kedatangan seorang raja dari Jawa yang merupakan satu pertalian darah dengan mereka. Raja tersebut nantinya akan diangkat sebagai pemimpin para datuk. Raja tersebut banyak diartikan sebagai seorang tokoh penting pada masa Melayu Kuno bernama Maharaja Diara Adityawarman. Kini diketahui bahwa persimpangan pada daerah hulu Sungai Batanghari, yang merupakan tempat para datuk menunggu, berada dekat dengan ditemukannya struktur fondasi peletakan arca Amoghapasa. Setelah sang raja dari

Jawa tiba di Rambahan, para datuk pemimpin kaum berjalan menuju ke Pagaruyung untuk mendudukkannya di singgasana dan memimpin negeri.

Cerita ini dikenali dan diturunkan generasi tua masyarakat Rambahan, namun generasi muda, seperti kalangan milenial banyak yang tidak mengetahui kisah ini. Untuk mengukur tingkat kebenaran cerita rakyat dengan fakta peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau, diperlukan kajian lebih spesifik dan mendalam.

Berdasarkan narasi dan fakta sejarah yang telah diungkapkan para peneliti, tercatat dua peristiwa kedatangan utusan raja dari Jawa ke Minangkabau. Pertama adalah kedatangan utusan Raja Kartanegara dari Kerajaan Singasari yang membawa arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada rakyat Melayu Kuno. Adapun yang kedua yakni kedatangan Raja Adityawarman yang juga duduk di atas singgasana Melayu Kuno. Data arkeologi memperkuat peristiwa tersebut melalui temuan struktur bata berbentuk persegi yang diasumsikan sebagai struktur penempatan arca Amoghapasa. Cerita rakyat “Menunggu Raja dari Jawa” memang hal menarik yang perlu diuraikan secara mendalam. Namun pertanyaan menarik selanjutnya Siapakah tokoh sejarah bernama Adityawarman? Lalu mengapa Adityawarman jauh-jauh datang dari Majapahit ke pedalaman Sumatra menyusuri Sungai Batanghari? Sejauh mana pengaruh Majapahit telah menginspirasi perkembangan peradaban Melayu Kuno pada masa Adityawarman dan kebudayaan selanjutnya? Tentu hal ini perlu penelusuran dengan perangkat-perangkat data, baik prasasti, naskah, dan temuan arkeologis sehingga secara peristiwa masa lalu dapat dibaca dengan lebih terang.

Adityawarman adalah nama salah satu tokoh penting dari abad ke-14 M, era Kerajaan Melayu Kuno yang telah meninggalkan banyak jejak cagar budaya yang tersebar di dataran Minangkabau dan salah satunya Desa Rambahan yang telah berusia 700 tahun. Kronologi waktu ini ditandai dengan inskripsi berupa angka

tahun pada prasasti Amoghapasa, dan didukung temuan sebaran keramik mulai dari Dinasti Sung hingga Dinasti Chin. Di samping itu, ditemukan cagar budaya lain yang tak kalah penting di luar wilayah Rambahan, tepatnya di Nagari Siguntur dan Padang Roco, yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pulau Punjung. Pada dua lokasi tersebut terdapat banyak struktur percandian dari masa Melayu Kuno abad ke-12 sampai dengan ke-14 M. Bila terus masuk ke wilayah hulu pedalaman Sumatera Barat, tepatnya Kabupaten Tanah Datar, maka akan dijumpai sebaran prasasti di wilayah Bukit Gombak, Pagaruyung, dan Saruaso. Keseluruhan tinggalan cagar budaya dari masa Melayu Kuno ini memberikan informasi tentang raja besar bernama Adityawarman, seorang keturunan Melayu yang dibesarkan di Majapahit lalu kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi Sri Maharaja Diraja.

Informasi geneaologi dan riwayat hidup Adityawarman dapat diketahui melalui beberapa prasasti serta tinggalan arkeologi berupa arca dan naskah kuno. Bila kita merujuk kepada prasasti Bukit Gombak I dan Bukit Gombak II, prasasti Pagaruyung I, hingga prasasti Pagaruyung IX, dapat ditemukan silsilah Maharajadiraja Adityawarman, sang penguasa Kanakamidinendra “Raja di pulau Emas”. Pada prasasti Kubu Rajo I disebutkan bahwa Adityawarman merupakan putra dari Advayavarman yang berasal dari wangsa Kulisadhara. Selanjutnya prasasti Saruaso II menyebutkan bahwa Adityavarman memiliki anak. Salah satu anaknya adalah penerus tahta bernama Ananggawarman, yang juga sekaligus sebagai putra mahkota kerajaan Malayupura.

Inspirasi Majapahit di Tanah Sumatera

Berdasarkan informasi pada Prasasti Amoghapasa, Maharajadiraja Adityawarman memerintah kerajaan Malayupura dari tahun 1347 sampai tahun 1374

M, atau kurang lebih 32 tahun lamanya. Waktu yang cukup untuk mengeluarkan sebanyak 20 prasasti, yang sebagian besarnya telah dikonservasi dan dialihaksarakan dari Palawa ke aksara latin serta dari bahasa Sansekerta dan Melayu Kuno ke bahasa Indonesia. Secara keseluruhan isi prasasti menginformasikan kejadian-kejadian penting yang patut diabadikan dalam pahatan batu abadi sepanjang zaman. Melalui informasi dari inskripsi prasasti-prasasti tersebut, gambaran kejadian dan keseharian pada masa pemerintahan Raja Adityawarman dapat sedikit diketahui. Latar belakang Adityawarman yang lama bermukim di Majapahit serta pernah menjabat sebagai pejabat tinggi di Majapahit, turut dibawa dan diterapkan di Kerajaan Malayupura. Arlo Grifith, seorang ahli epigraf yang banyak meneliti prasasti Adityawarman, mengasumsikan lokasi Kerajaan Malayupura terletak di wilayah Minangkabau, di antara Dharmasraya dan Tanah Datar, Sumatera Barat.

Secara umum, prasasti yang dikeluarkan raja Adityawarman menguraikan gambaran kehidupan sosial budaya dan pengetahuan yang dikembangkan kala itu. Para ahli beranggapan bahwa sistem pengetahuan dan teknologi diadopsi dari Majapahit. Dengan kata lain, pengetahuan Adityawarman yang dipelajari semasa menetap di Majapahit diterapkan di Kerajaan Melayu Kuno. Hal ini bukan berarti melihat superioritas suatu kebudayan dibandingkan dengan kebudayaan lainnya, namun menunjukkan perpaduan antara inspirasi yang diambil dari kebudayaan lalu dengan pengetahuan yang telah berkembang di masyarakat setempat.

Beberapa hal terlihat sebagai perpaduan antara inspirasi dari Majapahit dengan kearifan lokal, mencakup sistem irigasi pertanian, pemerintahan, literasi, dan hukum peraturan perundangan. Pada dasarnya, inspirasi Majapahit terlihat pula dengan jumlah yang lebih banyak di Kerajaan Melayu Kuno, terutama keempat

sistem yang telah disebutkan di atas yang yang terlihat menonjol. Keempat sistem tersebut memiliki beberapa fakta menarik yang akan diuraikan dengan diperkuat data prasasti serta data pendukung lain.

Pertama, sistem irigasi pertanian. Budaya pertanian dengan kompleksitas pengetahuan yang melekat di dalamnya, seperti hidrologi atau pengelolaan air dan biologi menjadi kunci ketahanan pangan. Wilayah Sumatera Barat termasuk pendukung kuat kebudayaan agraris sejak era megalitik dan terus berkembang hingga masa kini. Berdasarkan acuan historis, budaya agraris ini setidaknya telah ada pada kurun waktu 2500 tahun yang lalu, sebagaimana bukti arkeologi di Nagari Mahat, serta di 50 Koto, Sumatera Barat. Sebaran batu-batu megalit penciri budaya agraris sebenarnya juga memunculkan pertanyaan baru, apakah kala itu telah dikembangkan sistem irigasi layaknya pada masa Adityawarman, atau baru diperkenalkan pada masa Adityawarman?

Pada masa klasik Hindu-Buddha khususnya pada masa pemerintahan Adityawarman, pertanyaan tesebut mulai terjawab. Data-data prasasti seperti Bandar Bapahat I dan II yang ditemukan di Desa Saruaso, Tanah Datar memuat informasi tentang pembangunan sistem irigasi dengan membelah sebuah bukit sekaligus mengatur sistem tata guna air guna kebutuhan pertanian dan kehidupan masyarakat. Inskripsi kuno pada prasasti Bandar Bapahat I terpahat pada bagian kiri Tebing Sungai Batang Lili. Struktur penulisan prasasti ditulis sepuluh baris, menggunakan aksara pasca palawa berbahasa Sansekerta dan Melayu Kuno. Berdasarkan pembacaan oleh seorang ahli epigrafi bernama Arlo Grifith, yang dikutip oleh Kusumadewi (2012) dalam tesisnya yang berjudul Adityawarman, secara keseluruhan prasasti berisi informasi tentang peremajaan dan pengembangan sistem irigasi untuk pengairan lahan pertanian dan taman. Dalam informasi selanjutnya disebutkan bahwa Raja

Adityawarman mendirikan sebuah bendungan yang berfungsi membendung air guna mengairi tanaman yang nantinya mendatangkan kesejahteraan masyarakat luas.

Semakin menarik, hal serupa juga dapat kita jumpai di Majapahit pada masa yang lebih awal beberapa tahun sebelum Adityawarman menerapkannya. Inskripsi pada Prasasti Kandangan yang berangka tahun 1350 M menyebutkan bahwa telah dilakukan pembangunan bendungan dan sistem pengairan yang dikelola secara teratur, lengkap dengan penyebutan pejabat penanggungjawab. Misalnya, disebutkan ada jabatan “Hulu Wras”, yaitu jabatan yang menangani urusan pertanian. Data arkeologi dari hasil ekskavasi di situs Trowulan banyak menunjukkan struktur yang diduga sebagai bendungan dan jaringan kanal pengairan.

Maka tak heran bila Majapahit dianggap kerajaan dengan sumber pangan melimpah atau swasembada pangan. Kerajaan ini mampu mengekspor beras hingga ke wilayah timur nusantara dengan armada dagangnya. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Agus Aris Munandar (2009) dalam karya ilmiahnya yang bertajuk “Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim di Nusantara”. Swasembada pangan Majapahit menjadikan rakyat makmur dan damai. Dengan dicapainya surplus pangan dan bebas dari ancaman kelaparan, rakyat tenteram sehingga menjadikan situasi kerajaan stabil untuk fokus melakukan pembangunan serta pengembangan bidang susatra antara lain Kitab Nāgarakṛtāgama dan Kitab Undang-Undang Majapahit, Kutara Manawa. Merupakan hal yang masuk akal apabila kemudian Adityawarman menerapkan pengetahuan yang sama, sebab sejarah membuktikan kondisi swasembada pangan menjadi kunci utama kestabilan negara dan kebahagiaan rakyat.

Kedua, sistem tata kelola pemerintahan. Di alam Minangkabau, setidaknya sejak masa pra-Islam dikenal konsep triumvirat, “Cati Nan Tigo” atau “Rajo Tigo

Selo”, yakni tiga pilar kepemimpinan yang mengatur tatanan politik, sosial, dan religi. Triumvirat terdiri atas Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Eksistensi dari sistem konfederasi ini dibuktikan sejak pra-Islam melalui tinggalan arkeologi berupa situs megalit, yaitu Medan Bapaneh, Menhir Guguak, Batu Batikam, dan beberapa situs lain.

Merujuk pada kajian antropologi, sistem budaya yang berkembang di Minangkabau dikenal dengan sistem federasi di mana setiap klan atau suku memiliki pemimpin masing-masing yang bergelar “Datuk”. Salah satu syaratnya adalah lakilaki kemenakan atau keponakan dari paman atau ‘mamak’ melalui garis darah ibu, atau anak laki-laki dari adik atau kakak perempuan sang “datuk”. Dalam hal ini kaum perempuan memegang peran penting dalam sistem budaya Minangkabau, yang sampai hari ini masih menganut sistem “matrilineal” atau menarik silsilah genealogi dari garis darah ibu. Sehingga, anak laki-laki dari pihak ibulah yang dapat meneruskan jabatan sebagai datuk pemimpin kesukuan. Secara sederhana, sistem yang diterapkan adalah sistem demokratis di mana kekuasaan tidak terpusat dan dikendalikan oleh satu orang atau satu golongan tertentu. Keputusan berasal dari mufakat. Hal ini tercermin dalam adat Minangkabau. Data atas sistem demokrasi ini, dapat dilihat di masa sekarang maupun sebelum Adityawarman mengukuhkan legasinya sebagai penguasa tunggal dengan gelar “Maharajadiraja”, raja di atas para raja.

Bercermin kepada sistem pemerintahan Kerajaan Majapahit, dikutip dari Kitab Nāgarakṛtāgama maupun Kitab Pararaton serta sumber dari beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa raja adalah sentral pusat kekuasaan, sosial, budaya, dan religi, dengan dibantu para kumara raja, atau para keluarga raja. Adapun administrasi pemerintahan dibantu oleh para patih dan mantri serta pejabat-pejabat struktural dan fungsional sesuai keahlian bidang masing-masing. Pewarisan takhta

diturunkan atas dasar garis keturunan, bukan dipilih oleh suatu dewan bangsawan dan bukan pula dipilih secara demokrasi oleh rakyat.

Sistem serupa kemudian berlangsung di Kerajaan Melayu Kuno pada masa pemerintahan Adityawarman. Informasi terkait sistem pemerintahan yang dijalankan Adityawarman tertulis dalam prasasti Amoghapasa, Kuburrajo, dan Batu Sangkar. Dalam tata kelola pemerintahan, Adityawarman adalah pemimpin tunggal yang dibantu beberapa keluarga raja, patih, dan menteri. Hak waris diturunkan kepada anak, sesuai informasi dalam prasasti Batusangkar yang menyebutkan bahwa selepas Aditywarman mangkat, maka digantikan oleh anaknya yang bernama Ananggawarman. Sistem pemerintahan dengan model yang menyerupai Majapahit ini tentu telah mengubah tatanan lama di Swarnadwipa dan di wilayah Malayupura, tempat Adityawarman menerapkan pemikiran-pemikirannya. Sistem demokrasi kemungkinan besar berlaku di masa sebelumnya yang tercermin dari tinggalan arkeologi seperti Situs Medan Bapaneh dan Menhir Guguak yang merupakan tempat musyawarah para pemimpin “Datuk” dalam mencapai kata mufakat. Namun, pada masa Adityawarman hal ini tampaknya berganti menjadi sistem sentralistik raja, sebagai pusat segalanya sebagaimana gelar yang disematkan pada dirinya “Maharajadiraja”, raja di atas segala raja atau pemimpin di atas segala pemimpin.

Adityawarman dengan keberadaannya di pucuk pimpinan tertinggi telah mengubah tatanan lama pemerintahan yang sifatnya konfederasi dan berasas demokrasi menjadi sentralistik feodal tulen, di mana berlaku sistem pewarisan takhta secara garis keturunan ayah kepada anaknya. Namun, terjadi titik balik perubahan. Tampaknya demikian skenario peradaban selalu berulang, tidak ada yang benar-benar abadi, terus berkembang sesuai jiwa zaman.

Sistem selanjutnya adalah sistem literasi di wilayah Melayu Kuno abad ke14 sampai dengan ke-16 M yang banyak bermunculan dari masa pemerintahan Adityawarman. Tercatat hampir dua puluh prasasti yang telah ditemukan, dengan memperlihatkan kompleksitas dan keberagaman penggunaan aksara, yaitu Pallawa dan Jawa Kuno. Demikian juga dengan keberagaman penggunaan sistem bahasanya, yakni bahasa Jawa Kuno, Sansekerta, dan Melayu Kuno. Benar-benar suatu tatanan literasi yang kompleks dan menunjukkan keterbukaan dan pluralisme tinggi. Bagaimana dengan prasasti dari masa terdahulu, apakah ditemukan prasasti sebelum masa Adityawarman? Terdapat satu prasasti, yakni inskripsi awal pada arca Amoghapasa yang merupakan hadiah Maharajadiraja Kertanegara, tepatnya 60 tahun sebelum Adityawarman naik takhta. Namun, sejauh ini sangat minim atau belum ditemukan yang berasal dari masa sebelumnya, yakni abad ke-11 dan 12 M. Prasasti yang ditemukan didominasi prasasti masa Sriwijaya seperti temuan di Bangka Belitung serta wilayah Palembang, Jambi, dan Lampung.

Pengetahuan ini seakan mengisyaratkan kepada kita, bahwa apa yang dipelajari Adityawarman selama di Majapahit benar-benar dituangkan secara nyata dalam maklumat dan pengumuman resmi yang dikeluarkannya. Pada banyak prasasti, aksara Jawa Kuno berpadu dengan Pallawa. Demikian juga dengan bahasa Sansekerta, bercampur dengan Melayu Kuno dan Jawa Kuno, suatu bentuk perpaduan yang luar biasa. Bila kita kategorikan jiwa zamannya, masa ini menunjukkan tingginya kesadaran literasi dan keluasan pengetahuan sang raja dan rakyatnya. Perlu diketahui bahwa prasasti dibuat untuk segenap bangsawan dan rakyat dan ditempatkan pada pusat-pusat permukiman atau keramaian sehingga dapat disaksikan dan dibaca semua orang. Bila diibaratkan serupa dengan papan informasi atau baliho pada jalan di pusat kota. Maka wajar bila Adityawarman dianggap sebagai salah satu raja paling ‘melek’ dan sadar literasi, hal ini juga bisa dibaca dalam prasasti Pagaruyung yang memuji kecerdasan dan keluasan

pengetahuan Adityawarman. Tentunya pengaruh ini tidak lahir dalam sekejap, namun telah berproses lama sejak masa-masa berkarir dan berkarya di Majapahit. Adityawarman benar-benar seorang pemimpin intelektual dan sadar akan pentingnya pengembangan budaya literasi, yang ia terapkan ke segenap rakyatnya.

Sistem berikutnya adalah hukum perundangan. Majapahit menjadi satu di antara kerajaan besar di Nusantara dengan data yang tergolong cukup memadai sehingga dapat direkonstruksi dan dinarasikan guna menyusun perjalanan peradaban bangsa. Data yang cukup signifikan dan banyak memberikan informasi khususnya gambaran suasana kehidupan kala itu adalah kitab Nāgarakṛtāgama yang memuat informasi politik dan sistem pemerintahan. Kitab lain yang cukup spektakuler adalah Kitab Kutara Manawa atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Majaphit. Kitab ini memuat beragam aturan hukum, baik pidana maupun perdata termasuk sanksi hukumnya. Kitab Kutara Manawa ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dan disusun dalam 16 bab, yang masing-masing berisi tentang bidang persoalan hukum, misalnya Bab 6 membahas hukum jual beli atau adol-atuku, dan Bab 2 terkait hukum pembunuhan atau astaduka. Bila dilihat pembagian persoalan hukum pada keenam belas bab tersebut, maka kitab Kutara Manawa boleh dikatakan undang-undang yang lengkap dan mengakomodir semua persoalan hukum pada masa itu.

Sejauh penelitian terkait zaman kerajaan klasik Hindu-Buddha di Nusantara, Majapahit termasuk di antara kerajaan yang menyusun kitab perundang-undangannya sendiri. Semakin menarik ketika hal serupa juga dilakukan kerajaan Melayu Kuno Adityawarman Malayupura. Dilihat berdasarkan kronologi waktu, kurun tahunnya tidak berbeda jauh dari Majapahit. Pada Kerajaan Melayu Kuno disusun kitab perundangan yang dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Berdasarkan pengkajian Uli Kozok (2005), yang kemudian diterbitkan dalam

sebuah buku berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, secara keseluruhan kitab ini memuat peraturan hukum yang kompleks. Dimulai dari hukum jual beli, hukuman pada penipuan, pembunuhan, perkelahian, bahkan kudeta atau pemberontakan. Kitab ini disebut-sebut juga sebagai kitab perundangan Melayu tertua di dunia. Merujuk kepada Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditulis di wilayah Dharmasraya dan diberlakukan di segenap penjuru Swarnadwipa, serta melihat masa penetapannya, dapat dipastikan bahwa pada masa Kerajaan Melayu Kuno Adityawarman juga diberlakukan sistem kepastian hukum sebagaimana yang ada di Majapahit.

Pulang kampungnya Adityawarman dari Bumi Jawa Majapahit ke Bumi Swarnadwipa dan memproklamirkan diri sebagai Maharadiaraja penguasa Malayupura, tentu membawa perubahan signifikan dalam perkembangan peradaban Sumatra pascaruntuh Sriwijaya. Perubahan-perubahan yang terlihat melalui data prasasti dan data arkeologi yaitu berupa sistem irigasi, pemerintahan, hukum, dan literasi. Perubahan ini tidak terlepas dari latar belakang kehidupan Adityawarman yang tumbuh di Kerajaan Majapahit. Tentu tidak berlebihan bila kemudian diasumsikan bahwa Adityawarman dalam hal cara pandang dan latar belakang pengetahuannya terisnpirasi oleh Majapahit. Sebagaimana sifatnya, inspirasi itu terus berkembang dan menyebar ke segala penjuru Kerajaan Malayupura. Tatkala pengetahuan yang terinspirasi dari Majapahit itu telah menyebar luas dan membawa manfaat dan kebaikan pada segenap makhluk di bumi Malayu, maka saat itu “Surya Majapahit” mulai menebarkan sinarnya di Bumi Malayupura. Inspirasi itu hingga kini tetap abadi, bahkan berkembang dengan wajahnya sendiri, terus hidup hingga kini. Seperti kata petuah Hang Tuah, “Tak Kan Malayu Hilang di Bumi”.

DAFTAR PUSTAKA.

Kusumadewi, Sri Ambarwati. 2012. Adityawarman (134-1374); Kajian Epigrafi. Tesis S2 Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan.

Kozok, Uli. 2005. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Penerbit Obor.

Munandar, Agus Aris. 2009. Majapahit: Kerajaan Agraris-Maritim di Nusantara. Tidak Diterbitkan. Jakarta.

Sadzali, Asyhadi Mufsi. 2019. Hulu Ke Hilir: Jaringan Dan Sistem Perniagaan Sungai Kerajaan Sriwijaya. Dalam Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol.9 No. 1 (2019): 61-82.

Prasasti Pagaruyung I

Prasasti Kuburajo

Prasasti Bukit Gombak I & II

Prasasti Bandarbapahat

Prasasti Amoghapasa

Prasasti Saruoaso II

This article is from: