Ketua Umum
sifat buruk atau faham yang salah tidak dibuang. Tahun ini kita sudah memulai mengadakan peringatan Hari besar keagamaan Niciren Syosyu di daerah masing-masing, dimulai pada pada tanggal 16 Februari 2016 yang lalu, yaitu peringatan pertama kali penyebutan Nammyohorengekyo, tetapi nampaknya tidak berjalan sebagaimana yang seharusnya, padahal sudah kita bekali dengan sambutan dan film riwayat Niciren Daisyoin. Ternyata ada daerah yang tidak hanya Dokyo-Syodai dan memutar film riwayat Niciren Daisyonin, ada juga yang menampilkan tarian, padahal sekarang kita sedang mentradisikan suasana keagamaan dalam peringatan hari Besar Niciren Syosyu. Untuk menampilkan kesenian dalam satu tahun sudah kita sediakan tiga momen yang bisa diisi dengan pentas seni, yaitu Waisak, 28 Oktober dan Tahun Baru. Kalau Hari Besar Keagamaan harus diisi dengan acara yang proposonal, jadi jangan bosan dengan dengan film riwayat Niciren Daisyonin, karena kita sedang mensosialisasikan hari-hari besar keagamaan kita, demikian juga dengan umat Kristen setiap tahun mereka menceritakan riwayat Yesus, mereka tidak bosan itu. Kita adalah orang-orang yang sedang merintis Agama Niciren Syosyu agar mengakar, membudaya, sehingga suatu waktu dapat menjadi agama
yang stabil, mengakar, dari anak-anak sudah mulai tahu, Buddha itu siapa, Nammyohorengekyo itu apa, ini penting untuk suatu agama. Hal-hal tersebut sebagai salah satu upaya agar kita dapat menjadi kapal yang baik untuk dapat mengarungi lautan hidup mati, sebab ketika mengarungi lautan hidup mati pada hakikatnya yang dapat menolong kita adalah diri kita sendiri, kita sendiri harus menjadi kapal, sehingga kita dapat mengarungi lautan hidup-mati. Jadi kekuatan kita sendiri, maka kita yang harus berupaya, bukan dari luar, jadi jangan punya pikiran kalau kita sembahyang Gohonzon nanti Gohanzon yang akan menolong kita, kalau berpikir seperti ini akhirnya akan mudah dibohongi, misalnya dengan perkataan bahwa Gohonzon NSI tidak ada kekuatan karena NSI tidak ada bhiksunya. Bila kita sudah terpengaruh oleh pemahaman bahwa ada pihak luar yang akan menolong kita, maka ibaratnya kapal kita sudah bocor, pasti tidak akan sampai tujuan. Segala hal harus sesuai dengan waktunya, demikian juga dengan Dharma Buddha. Buddha dalam mengajarkan Dharma membagi waktu yaitu, periode pertama selama 21 hari, kemudian 12 tahun disebut periode Agama, kemudian 16 tahun disebut periode Vaipulya, kemudian 14 tahun disebut periode Prajna dan 8 tahun periode Saddharmapundarika-sutra,
totalnya adalah 50 tahun. 50 tahun itu merupakan gambaran, bahwa Agama Buddha secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pengajaran selama 42 tahun dan 8 tahun. Mahaguru Tientai, membagi menjadi 3 periode pengajaran Dharma, sejak Buddha Sakyamuni wafat, yaitu 1.000 tahun Masa Saddharma/Shoho, periode ini ajaran yang digunakan/tepat guna dan tepat waktu adalah Theravadha. kedua Masa Pratirupadharma/Zoho, yaitu 1.000 – 2.000 tahun setelah Buddha Sakyamuni wafat, ajaran yang tepat pada masa ini adalah Semi Mahayana dan sebagian Mahayana yang merupakan Syakumon, Periode selanjutnya yang terakhir adalah Akhir Dharma, adalah 2.000 tahun dan seterusnya, ajaran yang tepat guna adalah Saddharmapundarika-sutra (Myohorengekyo). Jadi masa sekarang ini kita harus menyerut/membuang ajaran yang tidak tepat waktu dan tidak tepat guna, bukan berarti ajaran Buddha Sakyamuni pada masa sebelumnya tidak benar, tetapi sudah tidak tepat waktu dan tidak tepat guna. Ajaran yang tepat waktu dan tepat guna pada Masa akhir Dharma sekarang ini adalah Myohorengekyo, sehingga apabila kita menyakini, memahami dan melaksanakan Ajaran/Dharma yang sesuai dengan masa dan peruntukannya pasti akan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya. eee April 2016 | Samantabadra
5