LABORA 04 Juni 2010

Page 1


“Never attempt to eliminate trade unions. Labours never get anything for free. But Labour movements should not force the employer. They must corporate with them.� (Lech Walesa)

2

LABORA, juni 2010


Diterbitkan Berdasarkan UU Pers No 40/1999 Penanggung Jawab: Federasi Serikat Pekerja Maritim Indonesia Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Pemimpin Umum: Agus Barlianto wakil Pemimpin Umum: Dardo Pratistyo Pemimpin redaksi: Andito Suwignyo Redaktur Pelaksana: Karnali Faisal Redaksi: Safari Sidakaton, Ibnu Syafaat, Irsan Husain, Winarko, Dina Nuriyati Sirkulasi: Abdul Jalal Desain Grafis: B Jagat Setiawan Sekretaris Redaksi/Iklan: Ria Irawan Alamat Redaksi/Sirkulasi: Gedung SPSI. Lt. 4 Jl Raya Pasar Minggu KM. 17 No. 9 JAKARTA 12740 Telp/faks. 021-79190776

Redaksi menerima tulisan, artikel, gambar, foto yang belum pernah dipublikasikan dalam media apapun, redaksi berhak mengubah tulisan/artikel tersebut tanpa mengurangi substansi dari isi tulisan. Dalam melaksanakan tugasnya, Wartawan LABORA selalu dilengkapi kartu pengenal dan tidak diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk apapun.

TAJUK

Jurnal Pekerja Indonesia

Respek Pekerja

H

ubungan industrial idealnya dibangun dalam konsep simbiosis mutualisma. Kedua pihak sama-sama membutuhkan dan menguntungkan. Pengusaha membayar upah dan hak-hak pe­kerja lainnya sesuai ketentuan. Begitu pun dengan pekerja yang men­jalankan kewajbannya bukan sebagai beban, namun konsekuensi dari simbiosis mutualisma. Simbiosis komensalisma yang hanya memandang salah satu pihak diuntungkan saja, sedang pihak lain tidak mendapatkan apa-apa tentu bukan hubungan yang dikehendaki. Apalagi jika dipandang dari perspektif parasitisma yang menganggap sebagai beban. Dalam konteks sejarah perburuhan, simbiosis yang ideal belum sepenuhnya dilakukan. Konflik ketenagakerjaan yang diwarnai aksi demo, mogok kerja, slow down dan lain-lain menunjukkan belum semua pihak memahami dan menjalankan simbiosis yang ideal tersebut. Pada gilirannya, pemahaman akan pentingnya menjadikan konsep simbiosis mutualisma tersebut harus dilakukan secara bersama-sama. Pihak manajemen perusahaan diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai hal yang sudah disepakati dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku pada semua tingkatan. Mulai dari undang-undang ketenagakerjaan hingga perjanjian kerja bersama. Di sisi lain, serikat pekerja yang memiliki fungsi perwakilan dalam menegosiasikan hak-hak pekerja juga harus mampu melakukan penyadaran kepada para pekerja tentang konsep hubungan yang dimaksud tersebut. Karena itulah, dalam membangun hubungan tersebut dibutuh­ kan sikap respek (respect) yang pada gilirannya melahirkan pe­ mahaman yang lebih baik tentang hubungan ketenagakerjaan. Kita berharap demikian.

(Foto Sampul: KF)

LABORA, juni 2010

3


daftar isi

fokus................................. 5 > Dilema Ideologisasi Serikat Pekerja

celoteh............................ 8 > Demo Pekerja Bikin Susah?

tokoh............................... 10 > Marsinah (10 April 1969 – 8 Mei 1993): Bukan Pahlawan Biasa > Lech Walesa: “Kelas Pekerja Itu Seperti Bakteri”

konsultasi................... 12 > Hak Mogok

manajemen.................. 16 > Topi Monyet

liputan........................... 17 > Asa untuk Perubahan: May Day dan Pemilu di Philipina

wawancara................. 20 > Hazris Malsyah: ”Serikat Pekerja Harus Kuat dan Efektif”

politik. ........................... 22 > Serikat Melawan Modal: Kisah Aerolineas Argentinas

advertorial............... 24 > Manifesto Trans Union Federation Indonesia

esai................................... 26 > Respect

4

LABORA, juni 2010


fokus

Dilema Ideologisasi Serikat Pekerja “Workers have the right to form and join unions of their choosing, bargain collectively and go on strike.” (Paul Kersey)

D

alam sebuah hubungan in­dustrial, kesejajaran an­ tara korporasi dan pekerja me­n entukan kualitas kerjasama dan komunikasi di antara kedua be­lah pihak. Pekerja yang bermodal le­mah (dari sisi konsep, skill, dana, jaringan dan massa) berposisi tawar le­mah dan cenderung dilemahkan. Kesadaran untuk lebih dima­ nu­s iawikan dan dihargai secara pro­fesional oleh manajemen mem­ be­ra­nikan pekerja berhimpun da­ lam suatu serikat pekerja (SP). Mereka sadar, gerakan individual hanya berdampak pada perbaikan ini­vidual, belum tentu berefek pada sis­tem secara keseluruhan. Dalam suatu kondisi, mereka bisa sebagai korban dari kebijakan manajemen. Korporasi yang peka menyadari peran vital pekerjanya. Demi meng­ hindari citra buruk dan pe­n u­ runan transaksi bisnis, ia berke­ nan memberikan reward dan pu­­nish­ment yang baik sesuai de­ ngan klausul-klausul yang tercan­ tum di dalam PKB. Diyakini, pe­ ningkatan kesejahteraan pekerja akan turut meningkatkan kinerja, produktivitas, dan keharmonisan di dalam korporasi. (Manajemen yang

bertindak represif dalam mengelola psikologi ketakutan terhadap buruh berupah rendah akan dibahas pada tulisan tersendiri.)

Dilema Borjuis Kecil

Dalam situasi yang mapan dan harmonis, pekerja kembali asik dengan dirinya sendiri. Mereka tidak menganggap SP sebagai sebuah wa­ dah vital komunitas pekerja. SP tak ubahnya pemadam kebakaran yang bergerak hanya ketika ada gejolak di internal korporasi, misalnya besaran bonus. Artinya, gerakan protes SP bukan karena masalah prinsip, apa­lagi ideologis, melainkan karena ke­nyamanannya terusik. Namun militansi mereka hanya bergema di areal korporat. Bila ter­ jadi suatu gejolak di korporat lain,

belum tentu SP mapan tersebut pe­d uli, apalagi mempunyai daya te­kan sebagaimana yang mereka la­ kukan terhadap manajemen mereka sendiri. Dalam sistem global, gejolak bisa muncul bukan dari kebijakan manajemen melainkan efek domino dari transaksi global dan sistem moneter internasional. Manajemen yang jeli segera menyikapi SP mapan dengan segera menyesuaikan gaji se­ hingga tidak sempat menimbulkan riak. Inilah praktik kapitalisme ersatz. Akhirnya, SP bukan sekadar di­tuding ‘yellow union’, melainkan kum­pulan pekerja elite yang me­ nyimpan kartu truf kebobrokan ma­ na­jemen dan juga tahu bagaimana me­manfaatkan rekan-rekannya yang levelnya lebih rendah. Taktiknya, SP

LABORA, juni 2010

5


fokus

Bila solidaritas buruh (labour) dibentuk oleh rasa keter­tin­­ dasan dan keta­ kutan ko­mu­nal. Maka soli­daritas pe­kerja (em­ ployee) di­­ben­ tuk oleh rasa ke­setia­ka­wanan karena menjaga privelese dan ke­mapanan bersama.

memainkan bahasa diplomasi konseptual kepada manajemen sambil memberikan te­ ka­nan bahwa mereka menguasai jaringan pe­k erja di level operation yang sudah terbiasa memakai otot. Ketidakmampuan manajemen menja­ mah karyawan di tingkat operation me­ mudahkan elite SP untuk mengikat ke­taa­ tan atas dasar kesetiakawanan, tidak but­uh teori nasionalisme, sosialisme, bahkan teksteks keagamaan. Bila solidaritas buruh (labour) dibentuk oleh rasa ketertindasan dan ketakutan komunal. Maka solidaritas pekerja (employee) dibentuk oleh rasa ke­ setiakawanan karena menjaga privelese dan kemapanan bersama. Muncullah kelas borjuis kecil (little/petty/petite bourgeoisie), sebuah lapisan semu di dalam korporat

6

LABORA, juni 2010

antara manajemen dan buruh (level rendah).

Menghindari Kemapanan Semu

Kemudahan material yang didapat oleh pekerja hakikatnya menyimpan bom waktu. Pseudo kemapanan membuat me­r eka laksana pemilik korporat. Cu­ kup duduk santai saja maka uang akan mengalir tiap saat. Tidak heran, pengurus elite SP kerap menolak disebut sebagai buruh. “Kami bukan buruh, tapi pekerja.” Kesadaran semu semacam ini membuat lagaknya pun semakin borjuis, sesuatu yang kontras dengan status resmi mereka. Borjuis mengacu pada kapasitas individu mengakumulasi usaha mandiri dan men­ desain passive income. Sedangkan buruh/


fokus

investasinya tidak sebesar pengeluaran mereka. Gerakan pekerja kelas menengah ber­ implikasi lebih luas daripada buruh mar­ jinal, yang masyarakat awam pun me­nilai mereka paria. Bukan sekadar peru­bahan sistem sosial, namun juga struktur politik negara dan bahkan ideologi bangsa. Apa yang kelas pekerja menengah nikmati saat ini sesungguhnya tidak seberapa besar dan penting dibandingkan dengan hasil yang akan mereka nikmati apabila mereka berkesadaran ideologis.

Bukan Sekadar Pertemanan

pekerja mengacu pada kapasitas individu upahan yang mendesain massive income. Situasi mapan sungguh meninabobokan namun berbahaya. Ketersediaan segala sesuatu membuat pekerja malas/tidak mau menggali dan meluaskan potensi diri, terutama pada kapasitas ideologi. Sebagai komunitas, pekerja seyogyanya mendalami teori dan aplikasi sosialisme. Setidaknya mengetahui konsekuensi praktis pekerja upahan. Dalam istilahnya, kondisi pekerja mapan seperti tidur. Mereka baru terjaga setelah menua. Ketika dana pesangon dan pensiun yang mereka terima mulai tidak mampu mencukupi segala kebutuhan apa­ lagi keinginan dan gaya hidup mereka. Ke­ti­ka mereka tidak mampu berbisnis/ wira­swasta. Ketika nilai deposito atau hasil

”The first step in the evolution of ethics is a sense of solidarity with other human beings.” (Albert Schweitzer) Kesadaran bersatu adalah kemestian. Sebab pekerja hanya bernilai bila di antara menciptakan sinergi kekuatan, akumulasi massa di hadapan pengusaha. Tapi sinergi kekuatan juga mentransfer keinginan un­ tuk hidup setara, bukan untuk saling me­ nia­dakan. Itulah yang membuat gerakan pro­tes pekerja ‘Solidarnosc’ di Polandia men­dulang dukungan hingga 25% rakyat Polandia. Mereka sadar sebagai kekuatan riil, tapi mereka juga tidak berpretensi menjadi kanker pengusaha. Mereka hanya mengimpikan terciptanya hubungan indus­ trial yang didasarkan pada mutual respect, untuk sebuah ‘win-win solution’. Solidaritas di antara pekerja menengah mesti disokong penuh. Namun gerakan tidak boleh berhenti di sana. Karena nilainilai perkawanan, sebaik apa pun ia, tidak akan membawa perubahan sistemik yang lebih luas, apalagi melintas batas-batas kelas sosial. Mungkin di antara mereka ti­­dak menganggap penting sebuah serikat pe­­kerja ideologis. Akan tetapi, apalah arti­ nya hidup bila tidak menggaet pada nilainilai universal dan transendental, ketika hidup lebih punya makna (life meaningful). Dan itu hanya tercapai dengan membuat sistem industrial yang berkeadilan, menyebarkan kesejahteraan yang mereka miliki untuk memberdayakan knowledge, skill, attitude, dan belief lingkungan mereka. [andito]

Apa yang kelas pekerja menengah nikmati saat ini sesungguhnya tidak seberapa besar dan penting dibandingkan dengan hasil yang akan mereka nikmati apabila mereka berkesadaran ideologis. LABORA, juni 2010

7


celoteh

Demo Pekerja Bikin Âť Yulistia Ningsih (35 tahun)

Pegawai Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kotamadya Banjarmasin:

D

ulu banyak pabrik/perusahaan plywood disini. Perusahaan kayu di sini memang banyak yang nakal. Sekarang banyak yang gulung tikar. PHK dimanamana. Pekerja kayu demo hingga menginap di kantor DPRD. Untungnya demonstran disini masih kalah banyak dengan aparat yang menjaga gedung. Menurut saya, sahsah saja bila orang menuntut hak-haknya. Tapi kalau sampai bikin macet, kita semua susah. Pernah ada demo yang bikin macet, demo supir angkot atau truk batubara. Mereka semua membawa angkot/truknya.

8

LABORA, juni 2010

Saya sendiri tidak punya ide bagaimana cara agar masyarakat bisa paham demo pekerja itu.

Âť Zainal Arifin (42 tahun)

Pedagang asongan di sekitar Monumen Nasional, Jakarta:

B

anyak demo, banyak rezeki. Sebab banyak pendemo yang haus. Saya juga senang mendengar orasi mereka. Sedikit-sedikit bisa belajar politik gratis. Lokasi jualan saya tidak tetap. Saya suka ikuti pawai jalanan pendemo. Biasanya dari Bundaran HI sampai Istana Negara. Kadang-kadang saya suka cari info kapan ada demo lagi. Yang repot kalau bertemu


celoteh

bisa dipetakan ulang, dinegosiasikan, dikom­promikan. Ranah perjuangan zaman sekarang sudah berbeda. Kita sebaiknya menyadari bahwa demo-demo pekerja itu tidak seseksi demo mahasiswa. Susah dijualnya. Tidak akan efektif mengubah keadaan bila aktivis pekerja hanya bemain di isu-isu lokal atau intenal perusahaan mereka saja.

» Robert Siahaan (29 tahun)

Karyawan outsourcing di daerah Kuningan, Jakarta, saat demo May Day di Istana Negara:

A

Susah? rombongan penonton sepakbola atau per­ tun­jukan musik waktu masih jualan di Se­na­yan. Main ambil aja. Gak lihat kita peda­gang kecil. Saya Cuma berharap hasil demo itu membuat nasib orang kecil seperti saya terangkat.

» Adi Gunawan (37 tahun)

Karyawan swasta di daerah Jalan Sudirman, Jakarta:

D

ulu aku aktivis mahasiswa, suka de­ mo pemerintah yang tidak pro rakyat. Sete­lah bekerja aku menemukan bahwa realitas itu tidak hitam putih. Pasti ada gradasinya, grey area. Repot kalau hidup itu dibuat hitam putih. Banyak hal yang

ku ikut demo May Day ini karena sadar ternyata tidak ada yang memperhatikan nasib kami dengan serius. Percuma kita bicara baik-baik dengan manajemen. Mereka malah memberikan kami sanksi. Kami pernah mencoba mengadu ke anggota dewan, tapi sekadar ditampung saja. Mengadu ke instansi malah dipingpong kesana-kesini. Mungkin karena kami bodoh, tidak tahu bagaimana cara membuat surat yang baik. Kalau sekarang kami turun ke jalan, itu untuk menarik perhatian. Supaya pers dan orangorang gede itu tahu bahwa kami tidak cukup sabar menahan derita ini.

» Sarjono (32 tahun) Penyapu jalan, karyawan dari rekanan Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta:

M

ereka mengaku memperjuangkan nasib orang-orang kecil. Tapi kenya­ taan­nya pekerjaan saya jadi bertambah. Saya harus membereskan bekas botol plastik minuman dan bungkus makanan me­r eka, padahal tempat sampah telah tersedia. Sebaiknya pendemo diwajibkan mem­bawa kresek masing-masing sebagai tem­­pat sampah pribadi mereka. Gaji sa­ya hanya 700 ribu, sudah termasuk ma­kan dan transport. Teman saya yang lain ha­nya 22 ribu/hari. Kami maklum bila me­reka tidak bisa menaikkan gaji ka­mi. Na­mun setidaknya jangan buang sam­pah sem­bara­ ngan. Meskipun itu sudah ke­wajiban kami. LABORA, juni 2010

9


tokoh

Marsinah (10 April 1969 – 8 Mei 1993):

Bukan Pahlawan Biasa Pahlawan formal dibakukan dan dipublikasikan dalam seremoni akbar; dikenang dalam instruksi birokrasi; digebyar sebagai pen­ du­kung kekuasaan; dan ke­mu­dian dilupakan. Karena kepahla­wa­nannya memang karbitan.

M

arsinah bukan pahlawan biasa. Ia hadir natural da­l am benak setiap pe­­ kerja yang memperjuangkan hakhak normatifnya. Ia tidak bu­tuh seremoni, formalitas, dan so­ko­ngan kuasa. Ingat, dia bukan pengu­rus serikat kondang. Ia hanya ber­ gerak mengikuti panggilan kema­ nu­siaannya. Marsinah hanya pekerja pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Po­ rong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia mem­baca surat edaran Gubernur KDH TK I Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang menghimbau pengusaha agar me­naikkan gaji sebesar 20% dari gaji pokok sebagai efek inflasi saat itu. Bagi lulusan SMA Muham­ma­ diyah Nganjuk ini, surat edaran adalah ‘good news’ di tengah beban hi­d up yang menghimpit. Namun ba­gi pengusaha, itu ‘bad news’ yang

10

LABORA, juni 2010

mengurangi profitnya. Karena tidak ada sinyal positif dari perusahaan, karyawan PT. CPS berunjuk rasa pada 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250. Pasca demo, Marsinah menghilang. Jenazahnya ditemukan setelah 3 hari diculik. Berkat perjuangannya, tata ke­te­nagakerjaan di Indonesia me­ ngalami perubahan. Slamet Ra­ hardjo Djarot mengapresiasi per­ juangannya dalam film ‘Marsinah: Cry Justice’ (2001). Tidak heran bila Menteri Tenaga Kerja dan Trans­migrasi Muhaimin Iskandar mendukung penuh usu­l an agar Mar­sinah ditetapkan se­ba­gai pah­ la­wan buruh nasional. “Tu­juh belas tahun lalu cuma ada sa­tu se­rikat pekerja, sekarang su­d ah ba­n yak dan beragam,” kata Mu­haimin. Marsinah bukan pahlawan pe­ kerja biasa. Semangat perlawanan

Marsinah bukan pahlawan pekerja biasa. Semangat perlawanan menentang kezaliman akan selalu hadir di pabrik-pabrik, di tengah deru mesin dan putaran roda. Secara natural, tanpa formalitas. menentang kezaliman akan selalu hadir di pabrik-pabrik, di tengah deru mesin dan putaran roda. Secara natural, tanpa formalitas. Kata Sla­met Rahardjo Djarot, “Marsinah bu­kan lagi nama gadis desa atau pejuang pekerja tetapi telah menjadi idiom permasalahan kita semua. Ke­ besaran nama Marsinah tidak perlu diungkapkan oleh dirinya sendiri tapi bisa lewat orang lain.” [andito]


tokoh

Lech Walesa:

“Kelas Pekerja Itu Seperti Bakteri” “Never attempt to eliminate daritas di antara para pekerja untuk trade unions. Labours never memperjuangkan hak-haknya.” kata get anything for free. But Walesa. Labour movements should not Menjalin Hubungan force the employer, they must dengan Pengusaha corporate with them.” Menurut Walesa, kelompok pe­

P

ada Mei 2010 ini, Lech Wa­lesa berkunjung ke Indo­ne­sia. Lech Walesa (29 Sep­tember 1943) adalah mantan pre­siden Re­publik Polandia (1990-1995), meng­g an­ tikan Alexander Kwa­niew­ski. Sebe­ lumnya ia adalah pe­mim­pin “Soli­ darnosc” (solidaritas), seri­kat pe­kerja independen pertama di Blok Soviet (1980-1990). Ia meraih Nobel Prize of Peace pada 1993 dan mendapatkan 30 gelar Doktor Ho­­noris Causa dari universitas-uni­­ver­sitas yang bahkan masuk da­­lam golongan Ivy League, seperti Harvard. Lech Walesa pernah bekerja di galangan kapal Gdansk, di tepi Laut Baltik. Saat itu rezim komunis me­n indak keras gerakan protes ke­naikan harga bahan pangan di Gdansk, Gdynia dan Szczecin. Sedi­ kit­nya 39 pekerja meninggal dan ra­tusan luka-luka akibat pemogokan dan unjuk rasa yang meluas. Akibat peristiwa tersebut, ang­ gota Solidarnosc meningkat tajam men­jadi 10 juta orang dari sekitar 40 juta penduduk Polandia. “Kunci dari keberhasilan perjuangan kaum pekerja di Polandia adalah soli­

kerja harus bekerja sama dengan para majikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang saling me­ nguntungkan. Ia menyebut kon­ sepnya itu ‘Segitiga Walesa’: 1. Sudut NGO dan serikat pekerja; 2. Sudut pekerja; 3. Administrator. Ketika ketiga sudut tersebut bersinergi, akan terbentuklah persetujuan se­ suai dengan kesepakatan umum. Ba­gaimana mencapainya? Tidak bisa tidak, kalangan pe­ kerja untuk berani menekan pe­ milik modal, tanpa harus “meng­

han­curkan” pemilik modal. Kelas pe­kerja dan pemilik modal harus bekerja sama dan fokus pada pe­ ngem­bangan bisnis, tetapi pekerja harus waspada, mengontrol, dan menekan pemberi kerja. Kelas pekerja itu seperti bak­ teri di dalam tubuh. Bakteri bisa hi­dup di dalam tubuh, tetapi ti­dak mematikan tubuh. Mereka ha­rus bekerja sama, fokus pada pengem­ ba­ngan bisnis. Tetapi pekerja harus waspada, mengontrol, dan menekan pemilik modal.”Kelas pekerja ti­ dak pernah mendapatkan segala se­suatunya secara gratis. Mereka harus menekan pengusaha sebisa mungkin. Tetapi di saat yang sama, pekerja harus menjadi bakteri yang tidak merugikan,” kata Walesa. [dit/dari berbagai sumber]

LABORA, juni 2010

11


konsultasi

Hak Mogok TANYA Kami ingin tahu tentang apa dan ba­ gai­m ana mogok kerja. Kami khawatir salah langkah. Perbincangan kami dan perusahaan soal Perjanjian Kerja Bersama selalu buntu. Manajemen bersikap aro­gan, intimidatif dan tidak pernah mau men­ dengar aspirasi pekerja. Terima kasih atas jawabannya. MN, Bandung JAWAB Bung MN yang baik, Mogok adalah alternatif perjuangan yang terakhir dari Serikat Pekerja gu­na

12

LABORA, juni 2010

mendapatkan hak-haknya setelah perun­ dingan mengalami deadlock. Dalam Pasal 137 UU No.13 Tahun 2003 disebutkan: “Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/ buruh dan serikat pekerja/serikat buruh di­la­kukan secara sah, tertib, dan damai se­ba­gai akibat gagalnya perundingan.” Karena mogok berdampak pada banyak aspek, harap Saudara memperhatikan se­ cara saksama tata laksana mogok ker­ja ter­sebut. Segeralah serikat anda mem­be­ri­ ta­hukan secara tertulis kepada pengu­saha dan instansi yang bertanggung ja­wab di bidang ketenagakerjaan setempat mi­ni­mal 7 (tujuh) hari kerja. Di surat pemberita_


konsultasi

kepada para pekerja dengan mengatakan bahwa mogok tidak sah, melawan hukum, akan diberi sanksi, dll. Perlu diketahui, siapapun dilarang untuk menghalanghalangi pekerja melakukan mogok, ini diatur dalam Pasal 143: (1) Siapapun tidak dapat menghalang-ha­ langi pekerja/buruh dan serikat pe­ kerja/serikat buruh untuk menggu­na­ kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai. (2) Siapapun dilarang melakukan penang­ ka­pan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mo­gok kerja secara sah, tertib, dan da­­mai sesuai dengan peraturan perun­ dang-undangan yang berlaku.

huan itu harus dicantumkan sejelas-je­ las­nya kapan waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja, tem­pat mogok kerja, dan alasan/sebabse­bab mengapa harus melakukan mogok ker­ja. Ketua dan/atau sekretaris serikat menandatangani sebagai penanggung jawab mogok kerja. Apakah anda juga mengajak elemen/ serikat/pekerja lain untuk mogok pu­la? Pastikan pemberitahuan juga ditandata­ nga­ni oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. (lihat UU No.13/2003 Pasal 140). Ketika an­da menghadap instansi pemerintah dan pi­hak perusahaan yang menerima surat pem­be­ri­ tahuan mogok kerja, pastikan anda mene­ rima tanda terima (Pasal 141). Dalam banyak peristiwa pasca mogok, biasanya manajemen melakukan intimidasi

Pasal 144: (1) Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: a. mengganti pekerja/buruh yang mo­­gok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau tinda­ kan ba­la­san dalam bentuk apa­ pun ke­p a­d a pekerja/buruh dan pe­­ngurus seri­kat pekerja/serikat bu­ruh selama dan sesudah melaku­ kan mogok kerja. Ini yang dapat kami sampaikan se­ suai ruang yang tersedia. Aturan dan stra­tegi lainnya sangatlah banyak dan ber­a gam. Kami sangat berharap anda me­m aksimalkan perundingan dengan cara-cara yang bermartabat. Cobalah ber­f ikir out of the box, menggunakan tak­tik lain yang tidak biasa. Yang pen­ ting tujuan perjuangan teman-teman ber­­hasil tanpa ada pihak yang merasa di­kor­bankan. Jawaban-jawaban kami di sini bersifat umum karena kami tidak ta­ hu permasalahan yang sesungguhnya di tem­pat kerja anda. Kami tunggu jika ada hal-hal lain yang spesifik hendak dishare kepada kami. Terimakasih.[] LABORA, juni 2010

13


momen

KELAS PEKERJA Jumlah pekerja di Indonesia mencapai 116 juta orang. Sebanyak 74,60 juta orang (69,46 %) bekerja diatas 35 jam perminggu. Pekerja berpendidikan SD ke bawah sekitar 55,31 juta orang (51,50 %), pendidikan Diploma 2,89 juta orang (2,69 %) dan pendidikan Sarjana hanya 4,94 juta orang (4,60 %). (BPS, Februari 2010)

Prasyarat kesejahteraan kelas pekerja Indonesia adalah kesadaran kelas, pendidikan dan profesionalisme. Semua itu tidak akan tercapai tanpa persatuan kelas pekerja.

14

LABORA, juni 2010


momen LABORA, juni 2010

15


manajemen

Topi Monyet Dardo Pratistyo

S

uatu ketika ada seorang penjual topi yang melintasi hutan. Di tengah cuaca yang terik, ia rehat sejenak di ba­wah sebuah pohon besar. Ia le­ takkan topi-topi dagangannya di sam­p ingnya. Saat asik terlelap, tiba-tiba ia terbangun oleh suarasuara ribut dari atas pohon. Semua topi dagangannya telah hilang. Dilihatnya banyak monyet di atas pohon mengenakan topi-topinya. Penjual topi itu terduduk dan ber­pikir keras. Ia menggaruk-ga­ruk­ kan kepalanya. Ternyata monyetmonyet itu menirukan tingkahnya. Ia melepas topinya dan mengipasngipaskan ke wajahnya. Monyetmonyet itu melakukan hal yang sama. Lalu ia membuang topinya ke tanah, dan monyet-monyet itu pun membuang topi-topi yang mereka pegang ke tanah. Segera saja si penjual itu mengumpulkan dan mendapatkan kembali semua topinya. Ia pun melanjutkan per­ja­ la­nannya. Lima puluh tahun kemudian, cucu dari si penjual topi yang ju­ga seorang penjual topi juga melin­ta­ si hutan yang sama. Udara yang sangat panas membuatnya ber­ isti­rahat di bawah pohon besar. Ia le­t ak­k an topi-topi dagangannya di sampingnya. Saat asik terlelap, tiba-tiba ia terbangun oleh suarasua­ra ribut dari atas pohon. Semua topi dagangannya telah hilang.

16

LABORA, juni 2010

Dilihatnya banyak monyet di atas pohon mengenakan topi-topinya. Tiba-tiba ia ingat kisah kakek­ nya. Ia menggaruk-garukkan ke­ pa­l anya. Monyet-monyet itu me­ ni­r ukan tingkahnya. Ia melepas to­pinya dan mengipas-ngipaskan ke wajahnya. Monyet-monyet itu melakukan hal yang sama. Lalu ia membuang topinya ke tanah. Ta­pi monyet-monyet itu tidak ikut mem­ buang topi-topi yang mereka pegang ke tanah. Seekor monyet yang terbesar segera turun dari pohon dan me­ ngam­bil topi yang dilemparkan oleh cucu pedagang topi itu. Monyet itu menyeringai sambil berkata, “Me­ mangnya cuma kamu yang punya kakek?”

HIKMAH

Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Melalui sejarah kita mengetahui bahwa sangat sedikit pengusaha mau peduli dan berbagi keuntungan dan kesejahteraan dengan pekerjanya. Pengusaha ingin sistemnya lang­ geng. Pengusaha yang buruk selalu mem­perbarui sistemnya untuk me­ mastikan pekerjanya tidak berdaya dan bergantung secara permanen. Pe­kerja harus belajar dari sejarah agar rantai penindasan itu tidak lagi mereka alami. Dengan strategi dan taktik yang terus berkembang se­ suai dengan kondisi industrialnya.[]

Pekerja harus belajar dari sejarah agar rantai penindasan itu tidak lagi mereka alami. Dengan strategi dan taktik yang terus berkembang sesuai dengan kondisi industrialnya.


May Day dan Pemilu di Philipina

liputan

Asa untuk Perubahan:

Pekerja itu satu. Tapi ekspresi dan strategi dalam memenangkan kepentingan kaum pekerja bisa berbedabeda di berbagai tempat di dunia. Redaksi LABORA, Dina Nuriyati, berkesempatan me­ nyaksikan aksi May Day pekerja Philipina. Berikut laporannya.

1

Mei 2010 jam 00.55 WIB. Pesawat Philippines Airlines yang kutumpangi take off dari Bandara Sukarno Hatta menuju Manila, Philipina. Aku diun­dang mengikuti pelatihan advokasi dan kon­ sultasi strategi tingkat regional. Tujuannya mendukung dan mendorong adanya kon­ vensi internasional untuk perlindungan pekerja rumah tangga yang dijadwalkan dibahas pada konferensi Internasional (International Labour Conference, ILC) ILO di Jenewa Swiss, 1-18 Juni 2010. Pemilu May Day Jam 5.30 waktu Manila. Jalanan masih lengang ketika taxi yang kutumpangi me­lun­cur ke penginapan di Pasig City. Aku bangun tidur jam 8:30. Sayup-sayup terdengar keriuhan pawai. Ternyata itu bukan pawai May Day, tetapi pawai kam­ pa­nye pemilu presiden untuk pemilu di

Philipina pada 10 Mei 2010. Seluruh kota, termasuk JIPNY (angkot khas Philipina) hingga becak-becak kecil, dipenuhi poster dan umbul-umbul calon presiden. Aku ikuti serombongan perempuan ber­kaos sama warna putih dan topi merah yang membawa bendera-bendera kecil dan beberapa selebaran tentang tuntutan perbaikan upah pekerja. Dari jauh terlihat panggung dan sayup-sayup orasi yang diselingi musik yang gegap gempita. Umbul umbul bertulisan Tagalog berkibar disana sini. Termasuk bendera Alliance of Progressive Labor (APL) dan beberapa bendera serikat pekerja yang lain. Semakin didekati, ternyata banyak juga lambang Partai Akbayan, lengkap dengan poster kandidat. Awalnya aku berpikir ini bukan aksi May Day. Tapi Agnes Matienzo, perwakilan Asian Migrant Domestic Workers Alliance

LABORA, juni 2010

17


liputan

Dalam per­nya­ taan resmi pada 1 Mei 2010, ketua KMU Elmer “Bong” Labog mengecam Gloria Arroyo yang telah meninggalkan situa­si tenaga kerja terburuk dalam sejarah: upah yang beku dalam dua tahun, pengangguran tinggi, dan pelanggaran hak-hak pe­ kerja yang tak terhitung jumlahnya, termasuk aksi kekerasan ter­ hadap aktivisaktivis pekerja.

(ADWA) yang menerima telponku meng­ infor­masikan memang ini acara May Day. Ban­yak juga personal anggota jaringan dan panitia yang mengikuti aksi APLAkbayan sejak pagi. Lagu wajib pekerja se-dunia ‘Internationale’ berkumandang dengan bahasa Tagalong mengakhiri aca­ra tersebut. Kata Agnes, APL memang ber­ afiliasi ke partai Akbayan karena par­tai tersebut getol membela hak-hak pe­kerja. Mereka juga menyokong penuh perlin­ dungan pekerja rumah tangga.

18

LABORA, juni 2010

Satu Pekerja Beda Partai

Tentu saja tidak semua serikat pe­ kerja Philipina memberikan suaranya ke Akbayan. Yanti Mala MD Siahaan, Se­k retaris Jenderal Gabungan Serikat Pe­k erja Independen (GSBI) pada hari yang sama juga menghadiri undangan International Solidarity Affair yang ke26 dari Kilusang Mayo Uno/May First Labour Movement (KMU). Ia mengikuti longmarch KMU dan anggota afiliasinya yang panjangnya hingga 9 km dengan


massa 45.000 orang, melibatkan pe­k erja dan keluarganya. KMU memberikan suaranya ke Partai Anak Pawis. Dalam pernyataan resmi pada 1 Mei 2010, ketua KMU Elmer “Bong” Labog mengecam Gloria Arroyo yang telah meninggalkan situa­si tenaga kerja terburuk dalam sejarah: upah yang beku dalam dua tahun, pengangguran tinggi, dan pelanggaran hak-hak pekerja yang

tak terhitung jumlahnya, termasuk aksi kekerasan terhadap aktivisaktivis pekerja. Paling tidak ada empat konfe­de­ rasi atau federasi besar di Philipina: 1. Trade Union Congress of the Phi­l ippines (TUCP), 2. Kilusang Mayo Uno/May First Labour Move­ ment (KMU), 3. Federation of Free Workers (FFW), 4. Alliance of Pro­ gressive Labor (APL) dan masing ma­singnya mendukung partai yang

liputan

Di Indonesia, kemampuan kontrol serikat pekerja terhadap partai politik masih perlu dipertanyakan. Serikat pekerja dija­dikan mesin politik oleh partai po­ litik untuk mendulang suara dengan iming-iming mencalegkan pengurus serikat pekerja.

berbeda-beda. APL dan KMU tidak akan pernah membuat even bersama karena garis politik yang berbeda. APL lebih berhaluan sosdem atau kiri tengah sedangkan KMU berhaluan kiri. Berbeda dengan keduanya, FFW dan TUCP dianggap organ pekerja moderat dukungan pemerintah era Marcos. TUCP, lahir tahun 1975, ada­lah konfederasi terbesar di Phi­ li­pina dengan anggota sekitar 1,2 juta orang. Ia mempunyai sayap partai pekerja yang didirikannya yaitu Trade Union Congress Party. Sementara FFW (19 Juni 1950) ada­ lah serikat pekerja nasional yang memberikan suaranya kepada Par­ tido ng Manggagawa/Labor Party. Cukup wajar peringatan May Day di Philipina dimanfaatkan betul dengan kampanye partai. Massa pekerja menabur harapan atas kerja partai. Syaratnya kelas pekerja memang mampu mengontrol kerjakerja partai tersebut. Di Indonesia, kemampuan kontrol serikat pekerja terhadap partai politik masih perlu dipertanyakan. Serikat pekerja dija­ dikan mesin politik oleh partai po­ litik untuk mendulang suara dengan iming-iming mencalegkan pengurus serikat pekerja.[] LABORA, juni 2010

19


wawancara

Hazris Malsyah:

”Serikat Pekerja Harus Kuat dan Efektif” Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SPJICT) boleh jadi merupakan sebuah serikat pekerja yang berhasil menjalankan hubungan industrial dengan baik. Proses pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) selalu tepat waktu. Kita tahu, dari PKB itulah berbagai aturan yang menyangkut hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan ditetapkan. PKB merupakan ruh bagi serikat pekerja dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

K

eberhasilan SPJICT mem­ bangun hubungan hubungan in­d ustrial tersebut tentu tidak lepas dari sosok Ketua Umum se­r ikat pekerja tersebut, Hazris Mal­syah. Jiwa kepemimpinan Pria berdarah Melayu Betawi itu berhasil membawa SPJICT dalam hubungan industrial yang baik antara pekerja dan manajemen. Yang menarik, peran SPJICT di bawah kepemimpinan Hazril Mal­ syah tidak semata-mata ber­orientasi pada kepentingan memperjuangkan ke­se­jahteraan pekerja semata. Le­ bih dari itu, menjadi pionir dalam me­ningkatkan persatuan di antara sesama serikat pekerja. Berbagai organisasi gabungan serikat pekerja di lingkungan pelabuhan seperti Aliansi Pekerja Pelabuhan Indonesia (APPI), Koalisi Nasional Serikat Pekerja Pelabuhan (KNSPP). Ter­ akhir, dia dipercaya sebagai Pre­ siden Federasi Lintas Serikat Pe­ k­erja Indonesia atau Trans Union Fe­d eration (TRUF). Di SPJICT sen­diri, sosok yang biasa dipanggil dengan sebutan akrab HM tersebut menjalankan amanat sebagai ketua

20

LABORA, juni 2010

untuk masa bakti periode yang kedua. Berikut petikan wawancara LABORA dengan Ketua Umum SPJICT tersebut. LABORA : SPJICT berhasil membangun hubungan industrial yang baik. Bagaimana anda men­ jalan­kan tugas dan fungsi serikat pekerja tersebut? HAZRIS MALSYAH : Baik. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran serta anggota serikat pekerja JICT. Di samping itu, menjalankan visi dan misi secara konsisten. Pa­da periode kepengurusan yang per­ tama, kami sudah mencanangkan visi sebagai organisasi partisipatif, berpengaruh dan pembelajar. Visi ini menjadi bekal bagi SP dalam mengembangkan program-program kerjanya. Visi itu kemudian bisa dija­ lankan? Kenyataannya demikian. Ada sejumlah indikator. Salah satunya hubungan industrial selama sepuluh tahun terakhir bisa kita jalankan dengan baik. Bahwa ada sedikit

riak-riak yang dalam konteks hu­ bungan industrial, saya kira itu biasa. Sebagai sebuah proses ne­ gosiasi antara manajemen dan pe­­kerja. Toh akhirnya semua bisa ter­atasi dengan baik. Setelah berhasil memperjuangkan berbagai program kesejahteraan¸ ke depan apa lagi yang akan dilakukan? Saya katakan tadi SPJICT me­ ru­p akan organisasi pembelajar yang terus-menerus mengikuti per­ kembangan baik secara internal mau­pun eksternal. Karena itu visi yang kita bangun menyentuh lang­ sung pada upaya bersama pe­kerja untuk keberlangsungan pe­ru­sahaan. Tentu saja dengan me­m astikan bah­wa perusahaan me­nem­pat­kan pekerja sebagai asset utama. Mengapa hal tersebut dijadikan visi SPJICT saat ini?


perusahaan harus menjadi fondasi bagi kesejahteraan pekerja. Ketiga, kesejahteraan pensiun. Idealnya, disparitas pendapatan upah pokok yang diperoleh pekerja yang sudah pensiun tidak boleh terlalu besar dibandingkan dengan pekerja yang masih aktif. Kami ingin memastikan bah­ wa kesejahteraan pekerja pensiunan harus sesuai dengan anuitas pensiun. Keempat, jaminan kesehatan. Kelima, pendidikan dan pela­

ti­han. Keenam. Safety. Kami ha­ ru­s memastikan bahwa kondisi lingkungan kerja sesuai dengan regulasi yang berlaku baik nasional maupun internasional. Regulasi dimaksud seperti ISPS Code, Zero Accident, dan lain-lain, Ketujuh, lingkungan kerja yang nyaman, demokratis dan be­b as diskriminasi. Serikat pekerja ha­ rus bisa memastikan bahwa hakhak pekerja untuk mendapatkan lingkungan seperti tersebut dijamin perusahaan. Delapan, penyelenggaraan Good Corporate Governance tidak ha­ nya menjadi tanggung jawab pe­ rusahaan, namun menjadi ke­ wa­j iban serikat pekerja untuk me­wujudkannya. Sembilan, serikat pekerja yang kuat dan efektif. Kami menyadari untuk mewujudkan semua harapan di atas dibutuhkan serikat pekerja yang kuat dan efektif. [Karnali Faisal]

LABORA, juni 2010

wawancara

Bagi kami, terdapat dua fakta yang menjadi acuan visi tersebut. Pertama, berakhirnya konsesi privatisasi tahun 2018 yang tidak boleh merugikan kepentingan pe­ kerja. Kedua, lahirnya UndangUndang Pelayaran No 17/2008 yang membawa dampak be­ sar terhadap industri pela­ buhan nasional. Tidak bi­sa dipungkiri, lahirnya un­ dang-undang tersebut akan memunculkan kompetitor serta efisiensi di sektor pe­ labuhan Artinya SPJICT akan bersinergi dengan pe­r u­ sahaan dalam me­n g­a n­ tisipasi dua hal tersebut? Ya betul. Bagaimanapun kami memang harus me­ ng­a ntisipasi berbagai per­ kem­b angan-perkembangan ter­sebut. Karena itu, visi pe­ ru­s ahaan sebagai terminal pilihan bagi para pengguna jasa juga ditetapkan menjadi visi serikat pekerja. Visi ini sejalan dengan tekad kami men­ du­kung berbagai upaya tetap ek­ sis di tengah persaingan industri pelabuhan dewasa ini. Untuk me­wu­ judkan visi tersebut, maka SPJICT menginginkan keberadaan pekerja tidak boleh hanya sebagai faktor produksi melainkan juga sebagai asset perusahaan (human capital). Bisa dijelaskan secara sing­kat bagaimana visi tersebut diim­ple­ mentasikan dalam program yang nyata? Ok, ada sembilan prioritas. Pertama, job security. Ini sesuai dengan pernyataan umum ten­ tang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat 1 dijelaskan bah­ wa setiap orang harus di­ lin­­dungi atas pekerjaannya. Ke­dua, peningkatan peng­ha­ silan. PKB yang merupakan kesepakatan antara pekerja dan

21


politik

Serikat Melawan Modal:

Kisah Aerolineas Aerolineas adalah maskapai penerbangan Argentina yang diprivatisasi kepada Iberia, maskapai penerbangan Spanyol, akibat hutang menggunung pada tahun 1990. Rute penting penerbangan internasional, suku cadang dan peralatan segera dipindahkan ke Spanyol.

M

anajemen berdalih, hutang hanya bisa diatasi melalui pe­ngu­rangan gaji pekerja dan kon­disi kerja. Hal pertama yang dilakukan ada­l ah membekukan upah selama 10 tahun. Pada tahun 2001, ra­tu­san pekerja ber­penga­la­ man dipe­cat. Peru­sahaan bangkrut. Se­m ua operasi internasional di­ hen­t ikan. Pe­m erintah Spanyol ber­­usaha untuk me­n g­a mbil alih Ae­r o­l ineas secara lengkap dan meng­­­gabungkannya ke Iberia. Pa­d a ta­h un 2001 semua operasi inter­nasional dihen­tikan, setelah sebagian besar anggota awak kabin tidak lagi dipekerjakan pada tahun 2000.

Konsolidasi

Pekerja menghadapi banyak per­soalan: 1. Insta­bilitas pekerjaan dan ketidakstabilan perusahaan;

22

LABORA, juni 2010

2. Upah beku selama 10 tahun; 3. An­­ca­man pengurangan upah dan kon­disi dan kehilangan pekerjaan; 4. Peng­g ajian didasarkan pada pro­­duktivitas (jam terbang) yang ber­­akibat penurunan gaji karena pe­n er­b angan domestik menurun dan pe­n erbangan internasional dibatalkan. Serikat segera membentuk satgas. Me­r eka membentuk kelompokkelom­p ok kecil untuk menemui pekerja se­cara individu sebelum dan setelah mereka bekerja, se­tiap hari. Itu sebuah proses panjang dan mele­ lahkan. Tetapi komunikasi langsung orang-ke-orang telah meningkatkan kepercayaan ke banyak pekerja. Pada kondisi tertentu, pekerja diminta membawa keluarga untuk de­m on­s ­t ra­s i yang diumumkan melalui email pada me­n it-menit terakhir untuk me­mas­tikan ‘efek

kejut’ bagi pemerintah dan peru­ sa­haan.

Analisa Kekuatan dan Kelemahan

Serikat mengalkulasi kekuatan dan kelemahan Iberia, mulai dari siner­gi­nya de­ngan Viasa (maskapai Ve­n e­z uela yang sa­h amnya juga dimiliki oleh Spanyol); Sun­t ikan US$ 2 milyar dalam 10 tahun pa­ da Aerolineas; Rute baru Iberia ke Ame­r ika Selatan untuk menarik para in­ves­tor; hingga rute-rute yang tidak mengun­tung­kan karena salah urus manajemen. Selain itu, serikat juga mencer­ mati kekuatan dan kelemahan me­ reka sendiri, mu­lai dari keterlibatan masyarakat je­l a­t a dalam setiap ak­s i pekerja hingga po­­pu­l a­r itas Se­k retaris Jenderal AAA, Alicia Cas­tro yang kebetulan juga ang­


politik

Argentinas gota parlemen; komunikasi de­ ngan pekerja yang telah hilang pe­kerjaannya; Oposisi yang kuat dari kedua pemerintah Spanyol dan Argentina; Perbedaan strategi dan gaya di antara tujuh serikat pekerja yang mewakili Ae­ro­lineas; Mempertahankan motivasi dan ener­gi pekerja dalam sengketa yang panjang.

Presiden De La Rua (sekutu utama pemerintah Spanyol); Cavallo (men­teri keuangan Argentina yang bertanggung ja­wab atas negosiasi dengan pemerintah Spa­nyol); Mana­ jemen Aerolineas; Peru­s ahaanperu­sahaan Spanyol di Argentina (Telefonica, Repsol, BBVA, Zara); Duta besar Spanyol di Argentina.

parle­men; menyelenggarakan kamp protes di ban­dara; demonstrasi di depan Kedutaan Be­s ar Spanyol; menekan lembaga yang ber­wenang tentang salah urus dan penya­lah­ gunaan dana oleh manajer Aero­ lineas, dan bertemu dengan pejabat pemerintah dan manajer Iberia.

Tema Perjuangan

Taktik

Untuk mencapai kemenangan, se­r ing­k ali mereka menggunakan cara-cara yang ‘tidak lazim’. Mereka pergi ke se­ko­lah anak-anak pekerja di seluruh Ar­­gen­tina dengan me­ ma­k ai seragam mas­­kapai untuk men­jelaskan alasan-ala­san konflik dan meminta dukungan. Me­r eka juga menyebarkan selebaran boi­kot pom­pa bensin Repsol, pakaian Zara, bank Spanyol; menemui anggota

Publikasi dan aksi yang tia­ da henti mem­b uahkan hasil ge­ milang. Pada Sep­tember 2001, pe­ merintah Spanyol menyuntik US$ 700.000.000 untuk mengurangi utang. Penerbangan internasional kembali di­a da­k an dan regional perjalanan kembali meningkat. Pa­ra pekerja Aerolineas men­jadi pahla­ wan di Argentina. [andito/agus prasetyo/www. memberconnect.com.au]

Pekerja Aerolineas menyadari bahwa perjuangan mereka tidak akan mendapat banyak sambutan bila tema perjuangan melulu bicara soal kesejahteraan dan in­t er­n al perusahaan. Karena itu tema per­ juangan adalah soal identitas Ar­ gen­tina, ke­daulatan Argentina dan aset Argentina seba­g ai negara. Ae­rolineas adalah alat un­tuk me­ ngembangkan perekonomian nasio­ nal. Aerolineas telah terkenal di seluruh dunia sebagai milik Ar­ gentina. Jika kita kehilangan mas­ kapai ini, kita kehilangan bagian dari Argentina. Slogan sebelum 2001 kebangkrutan – “Mari kita Simpan Aero­lineas”. Slogan setelah tahun 2001 pailit - “Kita semua Aerolineas” (dalam war­na bendera nasional). Pekerja Aerolineas mencermati betul siapa yang bakal dijadikan tar­get dan pihak mana yang bakal di­rangkul. Mereka memasang tar­ get primer: Perdana Menteri Spa­ nyol, José Maria Aznar (sekutu uta­ma Presiden De La Rua dalam mendapatkan pinjaman IMF). Sedangkan target tidak langsung:

Hasil

LABORA, juni 2010

23


advertorial 24

Manifesto Trans Union Sejarah panjang jatuh bangunnya gerakan pekerja di Indonesia memberikan goresan pengalaman yang sungguh berarti bagi munculnya sebuah gerakan pembelajar. Gerakan yang menempa para pekerja di Nusantara ini dalam satu jiwa, pikiran, dan tubuh. Gerakan yang berasal dari dialektika tanpa henti, yang bertujuan meraih harkat tertinggi pekerja Indonesia, rakyat Indonesia.

LABORA, juni 2010

P

ekerja itu satu. Dan persatuan ada­lah amanat nasional yang uta­ ma. Apapun golongan kita, apa­pun karya kita, tidak akan pernah ke­luar dari hati nurani rakyat Indonesia. Pe­ker­ja itu satu, berjuang bersama demi ke­bang­ki­tan bangsa. Karena itu kelas pekerja ha­rus me­ ru­muskan nilai dan bentuk per­juangan­nya sendiri. Dalam sistem yang demokratis, untuk membentuk karakter seorang demo­ krat sejati. Agar tercipta kelas pekerja yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Untuk dan atas nama sebuah cita-cita agung kita berdiri disini. Sebuah harapan menjalin persatuan di antara beragam per­be­daan. Meluruhkan perdebatan tanpa arah yang melelahkan. Cita-cita memang bukan mistik. Atau sekadar niat baik. Tapi harus diwujudkan. Begitulah etika meme­ rintahkan kita. Sebuah tekad memang harus diaktua­

lisa­si. Melawan ocehan gombal kaum borjuis di koran dan televisi. Maka berhentilah seje­nak untuk berdebat. Saatnya merapat. Tak perlu disoal, bersatu karena sebuah kepentingan. Atau kepentingan untuk ber­satu. Karena penyatuan gerakan pe­ ker­j a merupakan suatu keniscayaan. Selama kedaulatan pekerja masih belum men­dapatkan tempat yang layak dalam kehidupan ekonomi, politik, dan budaya sebuah bangsa dan masyarakat, selama itu pula sejarah akan memberikan alatalat perlawanan untuk menegakkannya. L’union fait la force. Unity Makes Strength. Strength Through Unity. Sudah bukan saatnya lagi pekerja hanya berteriak “Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!” Tapi perjuangan ada­l ah pembuktian daripada kata-kata. Bah­wa persatuan tak cukup hanya di mu­l ut. Ya, inilah acara kita. Deklarasi kita.


Awal mewujudkan cita-cita kita. Selu­ ruh komunitas pekerja. Dan kita –para pekerja: memilih di dermaga yang gundah. Memang demikian kenyataan. Ada banyak keresahan. Bukan semata kesejahteraan. Tapi juga kesetaraan. Dan juga kepastian. Ini hari, deklarasi dilakukan. Dengan nama yang sudah dipersiapkan. Serikat pe­kerja sama-sama meniatkan. Bergabung dalam TRUF Indonesia untuk sebuah tu­juan. Federasi Lintas Serikat Pekerja In­do­nesia (FLSPI). Atau Trans Union Fede­ ration (TRUF) Indonesia. Sebuah nama, sarat makna, satu arti. Ini awal yang baik buat kita membuk­ tikan kepada Indonesia bahwa “Kami bisa bersatu, maka kami tak terkalahkan”. Ten­tu tidak akan cukup di sini. Kami akan me­nyambangi saudara-saudara kami di tempat lain di seluruh Nusantara. Para pekerja pabrik-pabrik, pekerja tradisional di pedesaan, pekerja di dermaga-dermaga, pekerja di perkantoran, rumah sakit, pela­ buhan-pelabuhan, garasi-garasi angkutan. Seluruh sektor jasa dan produksi. Kita, kelas pekerja, harus bersatu

dan kuat dan semakin kuat. Kita ba­ ngun dan sadarkan seluruh kelas pe­ kerja melalui pendidikan-pendidikan ideologi, ketrampilan dan kejuruan. Kita hadapi globalisasi pasar liberal de­­ngan kepala tegak. Karena kita ber­ kua­­litas dan profesional. Bersama pe­ ngu­saha, kita bangun kemandirian dan raih kesejahteraan bangsa. Kita ti­d ak memusuhi, menegasikan, apalagi me­ni­ hil­kan siapa pun. Musuh bersama kita ada­l ah Ketidakadilan, eksploitasi dan penghisapan. Mari kita ciptakan hubungan industrial yang mutual respect dalam winwin solution. Maka oleh karena itu, kami yang ber­g abung di sini atas nama TRUF INDONESIA menyerukan kepada kawanka­wan Pekerja untuk bersatu, bergabung bersama kami untuk kehidupan yang lebih baik. TRUF INDONESIA adalah ma­nifestasi dan jawaban untuk kebekuan dan kebuntuan hubungan industrial yang ada selama ini. Demi Tuhan, bangsa, dan pekerja Indonesia. Jakarta, 25 Mei 2010

Musuh bersama kita ada­lah Ketidakadilan, eksploitasi dan penghisapan. Mari kita ciptakan hubungan industrial yang mutual respect dalam win-win solution.

advertorial

Federation Indonesia

Arti Logo Truf Indonesia: 1. Trisula menunjukkan 3 dimensi/wilayah gerakan Truf, darat-laut-udara, di sektor produksi dan jasa. 2. Bola dunia dengan peta Indonesia menunjukkan Truf berskala nasional. 3. Bintang mata angin menunjukkan bahwa Truf adalah organisasi yg punya visi dan tujuan yang jelas. 4. Roda gigi berjumlah 5. Roda gigi melambangkan pekerja/buruh. 5. Tali yang melingkar melambangkan ikatan persaudaraan yang tak pernah putus. Victory for one, victory for all. Injury to one, injury to all. 6. Warna biru yang melingkar menunjukkan gerakan anti-kekerasan. 7. Warna merah melambangkan perjuangan pekerja (kaum proletar). 8. Warna hitam melambangkan keteguhan hati. 9. Jenis huruf TRUF melambangkan gerakan yang militan dan pantang mundur.

LABORA, juni 2010

25


esai

Respect Agus Barlianto

M

“We can really respect a man only if he doesn’t always look out for himself” (Johann Wolfgang von Goethe)

26

LABORA, juni 2010

engapa hubungan industrial Pancasila sulit ditegakkan di negara kita, justru di era keterbukaan ini? Pertanyaan ini layak dikemukakan karena pro­tes, demonstrasi, melambatkan (slow down), hingga mogok kerja ma­s ih ter­jadi di banyak perusahaan. Mu­ ta­s i, skrosing, hingga pemecatan ju­ga masih dialami banyak pekerja. Mengapa konflik hubungan industrial selalu membawa duka dan petaka bagi salah satu pihak? Tentu saja peru­ sahaan tidak mau merugi dan pekerja tidak mau hak-hak nor­m a­t ifnya dipermainkan. Semua ingin menang. Pada masa lalu, praktik “menangmenangan” adalah acuan utama untuk menyelesaikan sengketa di antara pekerja dan pengusaha. “Lawan” ti­ dak boleh dibiarkan hidup. Apalagi sistem hukum kita yang notabene warisan kolonial tidak memberikan celah bagi pekerja. Dalam mindset pengusaha, tidak beda pekerja dengan budak yang digaji. Hanya “pemilik modal”-lah manusia sesungguhnya. Praktis pengusaha tidak mempunyai sparring partner yang sepadan dalam berpraktik industrialnya. Namun kita tahu perspektif im­ pulsif seperti ini tidak membawa efek positif bagi perkembangan peru­ sahaan ke depan. Manajemen yang menjalankan perusahaan dengan ta­ngan besi laksana memelihara api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Padahal terlalu jauh bila serikat pekerja disalahkan. Pada praktiknya posisi mereka lebih (di)

lemah(kan) daripada pengusaha. Persoalan utamanya adalah ke­ tiadaan respek di antara kedua belah pihak. Respek pengusaha itu artinya menghargai pekerja sebagai manusia, bukan mesin. Tanpa pekerja, mesin ha­nyalah sekumpulan besi tua; bis­ nis tidak akan beranjak dari cata­tan rapat shareholders. Tanpa res­p ek pengusaha yang tulus, pekerja ha­nya dilihat sebagai gerombolan pe­rong­ rong yang mencari celah untuk meng­ ambil alih perusahaan, merebut alat produksi. Respek pekerja artinya meng­ hargai pengusaha sebagai mitra yang tanpanya pekerja tidak akan mem­peroleh kesejahteraannya. Ar­ ti­nya tiada aksi pekerja yang ber­tu­ juan merugikan perusahaan; tiada ak­s i kecuali komunikasi persuasif de­mi kemajuan perusahaan dan pe­ ningkatan kesejahteraan pekerja. Tan­p a respek pekerja yang tulus, pe­ngusaha hanya dilihat sebagai ins­ ti­tusi bisnis penghisap darah yang tidak pernah berhenti mengeksploitasi pekerja. Dengan respek, kedua pihak saling berkomitmen dan memberikan nilai tambah; membuat dunia bisnis yang lebih manusiawi, bermartabat dengan cara musyawarah dan prinsip “winwin solution”. Sungguh, kepentingan rakyat pekerja dan negara terlalu besar un­ tuk dikorbankan hanya karena sikap emosional dan ego jabatan. Maka, respeklah! []


Union Leadership Training

Membangun Serikat Pekerja yang Kuat dan Profesional ”Pekerja lebih dulu ada dan tidak tergantung pada kapital. Kapital hanya buah dari pekerja, dan tidak akan pernah bisa eksis jika pekerja tidak eksis lebih dahulu. Pekerja itu lebih utama dari kapital, dan pantas menerima perhatian lebih besar.” (Abraham Lincoln)

Training ini memberikan perspektif baru tentang hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan di era globalisasi ekonomi, serta pemahaman tentang posisi pekerja, serikat pekerja, perusahaan dan pemerintah dalam kerangka kerjasama tripartit yang konstruktif, moderat dan berkelanjutan berdasarkan prinsip ’mutual respect’. Training ini menjembatani teori dan praktik, menggunakan studi kasus-kasus nyata dan contoh-contoh praktis dari pengalaman serikat pekerja nasional dan internasional. Dengan menggunakan bentuk workshop, training ini mendorong terjadinya interaksi grup yang ekstensif. Setiap grup berisi 5 partisipan yang selama 30 menit per sesi akan berdiskusi studi-studi kasus yang menantang nalar partisipan. MATERI 1. Workers Under Pressure 2. Workers’ Rights are Human Rights 3. The Corporation

4. Unionism 5. The Winning Strategy Studi Kasus 1. NAFTA Labour-side Agreement 2. Menang di Disnaker, Kalah di PHI 3. Cost Benefit Analysis ala Ford Pinto 4. Ketika Serikat Buruh Memimpin Perusahaan 5. Prinsip ”Angsa Bertelur Emas” Serikat Pekerja PT. JICT 6. Privatisasi Aerolineas Argentinas Siapa yang perlu hadir? l Aktivis dan pimpinan serikat pekerja l Aktivis dan pengamat perburuhan l HRD Perusahaan Labour Education and Development Syndicate (LEADS) adalah lembaga pengembangan, pendidikan, dan advokasi pekerja. LEADS bekerja sama dengan kalangan dan jaringan pekerja profesional di tingkat nasional, regional dan internasional untuk mendidik, membela dan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan pekerja

Informasi Lebih Lanjut Jl. Cempaka 9 Tanjung Priok JAKARTA, Telp/Faks. 021-43800085 Contact Person: 0818641626, 081210612414, Email: office@leadsyndicate.org

LABORA, juni 2010

27



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.