Informasi dan Partisipasi harapan yang belum pasti

Page 1


Analisis kebijakan Informasi dan Partisipasi, Harapan yang Belum Pasti

(Analisis tentang Mekanisme Partisipasi Publik dalam Penanganan Bantuan Perumahan di Banda Aceh dan Aceh Besar)

Untuk edisi cetak hubungi : Siti Hajar Kusuma Jl. Jurong Dagang, Komp. PT. Pos No. 1 Desa Ceurih-Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh Indonesia 23117 Telp. 0651-7410466 Faks. 0651-27466 Email: info@katahati.or.id URL: http://www.katahati.or.id

ď€ ď€

Katahati Institute Katahati Institute berdiri pada tanggal 22 Juni 2001 dengan fokus aktivitas pada persoalan gender, hak asasi manusia dan perwujudan Tata Pemerintah yang bersih (clean governance). Katahati Institute bersifat nirlaba, non partisan serta memiliki komitmen untuk ikut serta sebagai kelompok masyarakat yang ingin mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat madani. Secara khusus Katahati Institute bekerja dalam isu-isu Demokratisasi dan Tata Pemerintahan. Publikasi ini adalah produk Katahati Institute, Copyright Š Agustus 2006.

2


Daftar Singkatan APBN ASPERKIM BAPPENAS BPRB BRR CBD CC CO IDP’s ILO INGO JUB KERAP KP4/D LSM NAD NGO PDR P2KP RE-KOMPAK RUU SDM SUMUT TPK UN UNDP

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Asistensi Perumahan dan Pemukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bantuan Pembangunan Rumah Baru Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias Community Based Development Community Contract Community Organizer Internally Displacement Persons International Labor Organization International Non Government Organization Jaringan Udep Beusaree Komite Rehabilitasi Pemukiman Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman/Desa Lembaga Swadaya Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam Non Government Organization People’s Driven Reconstruction Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Pemukiman Berbasis Komunitas Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Manusia Sumatera Utara Tim Pengelola Kegiatan United Nation/PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) United Nation Development Programme

3


Informasi dan Partisipasi, Harapan yang Belum Pasti

(Analisis tentang Mekanisme Partisipasi Publik dalam Penanganan Bantuan Perumahan di Banda Aceh dan Aceh Besar)

Ringkasan Informasi adalah suatu sistem sirkulasi komunikasi. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska bencana menjadikan informasi sebagai satu kebutuhan pokok berbagai pihak untuk mewujudkan pembangunan yang berlandaskan pada partisipasi masyarakat (community base development). Informasi yang baik adalah informasi yang dapat melahirkan komunikasi, edukasi, dan advokasi hak-hak masyarakat. Penelitian ini mengambil tema tentang peranan informasi dalam mewujudkan pembangunan partisipatif, khususnya dalam bidang pembangunan rumah bantuan bagi masyarakat korban bencana. Penelitian ini mengambil pola pada penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan proses pengambilan kebijakan kebijakan (policy making) yang mengutamakan data-data empiris dalam mendukung setiap argumentasi dan analisa. Penelitian yang berlokasi di Banda Aceh dan Aceh Besar ini mengambil sample dari beberapa lembaga donor dan lembaga pelaksana proses rehabilitasi dan rekonstruksi terkait termasuk BRR sendiri. Guna memvalidasi hal tersebut, maka informasi dan keterangan yang diberikan oleh lembaga sample dicek ulang ke masyarakat dan komunitas penerima bantuan. Penelitian menemukan belum maksimalnya penggunaan sistem informasi sosial oleh lembaga implementor, hal ini terindikasi dari rendahnya komunikasi dan penggalian aspirasi masyarakat untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya intensitas pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan proses pembangunan rumah, seperti pada tahap koordinasi awal verifikasi calon penerima, penentuan pihak pelaksana pembangunan, pemilihan model rumah, dan advokasi masalah pengaduan masyarakat. Grafik Intensitas Pelibatan Masyarakat dalam Proses Pembangunan Rumah 100 80 60 40 20 0 Verif ikasi -20 Data Calon Penerima Bantuan -40

Pengawasan Pembangunan

Pemilihan Pelaksana Pembangunan

Pemilihan Model dan Materi Bangunan

Adv okasi Pengaduan Masy arakat

-60 -80 -100

BRR WORLD VISION HABITAT FOR HUMANITY

UN-HABITAT UPLINK OXFAM

CARE CANADIAN RED CROSS

Keterangan: 1. Nilai 100 adalah indikator pelibatan masyarakat secara penuh 2. Nilai 0 adalah indikator pelibatan masyarakat di sebagian proses 3. Nilai -100 adalah indikator tidak adanya pelibatan/partisipasi masyarakat dalam proses

4


Kondisi rendahnya pelibatan masyarakat terlihat dengan jelas dari program pembangunan rumah yang didanai oleh BRR Aceh-Nias. Dari hasil penelitian ditemukan, bahwa faktor utama kondisi ini adalah efek negatif dari birokrasi dan mekanisme pembangunan yang menggunakan dana (APBN), sehingga kemudi pembangunan sepenuhnya berada di tangan donor, dan masyarakat hanya dapat menerima apa adanya, walaupun mereka sangat tidak puas dengan kondisi rumah yang mereka terima. Sebaliknya pembangunan yang didanai oleh donor (non pemerintah) malah menunjukkan tingginya frekwensi pelibatan (partisipasi) masyarakat dalam setiap proses pembangunan bahkan pengambilan kebijakan. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa mereka lebih berkeinginan agar pembangunan itu dimotori oleh masyarakat sendiri, sehingga masyarakat tidak hanya sebagai pihak penerima dan pengguna bantuan, tapi jauh dari itu mereka juga dapat menjadi pelaksana dan sumber inspirasi pembangunan. Hal yang sangat penting dari proses tersebut adalah perlu adanya suatu panduan kerja (guideline) baku, agar pembangunan rumah dapat terukur dengan baik. Guideline tersebut dapat dijadikan pembelajaran bersama, bahkan tidak mustahil jika selanjutnya dapat menjadi standar internasional. Implementor tidak dapat bercerita begitu saja tentang konsep Community Base Development atau konsep People’s Driven Reconstruction jika kebijakan itu tidak menjadi hal yang baku. Semua kita tidak ingin konsep itu hanya tertuang sebagai wacana, sehingga yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu pembangunan yang berlandaskan pada kebijakan donor semata (donor’s driven)

Rekomendasi Untuk BRR Aceh-Nias •

Sistem informasi dalam penanganan bencana sangat penting, bahkan harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah dalam konteks proses informasi masuk ke masyarakat, tujuan yang ingin dicapai, hingga bagaimana informasi tersebut ditanggapi oleh masyarakat dengan baik untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para pihak. Hal inilah yang disebut dengan informasi yang menghasilkan kebijakan partisipatif atau sejalan/berlandaskan pada keinginan masyarakat.

Tema Community Based Development (CBD), Community Contract (CC), bahkan ada yang menyebut dengan People’s Driven Reconstruction (PDR) terlihat seperti menjadi strategi idola bagi implementor pembangunan. Hampir semua implementor rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh mengaku melibatkan masyarakat untuk mewujudkan pembangunan yang bermoto partisipatif tersebut. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dibuka seluas-luasnya, walaupun di beberapa bidang mereka mengakui ada kekurangan akibat kondisi keterbatasan manageial yang mereka miliki. Untuk itu kepada BRR disarankan untuk tetap konsekwen dalam mewujudkan strategi pertisipasi publik dalam segala hal, khususnya lagi dalam hal pembangunan rumah.

BRR harus dengan tegas dapat mengaplikasikan konsep zonifikasi (tata ruang) yang telah dirumuskan bersama dalam Blue Print Pembangunan Aceh, khususnya sehubungan dengan kawasan-kawasan yang berbahaya dan aman bagi pemukiman penduduk. Setidaknya kepada setiap donor harus diatur kawasan-kawasan (kapling) kerja mereka, termasuk kapling kerja BRR sendiri. Kepada donor agar dapat


dikoordinasikan untuk melaksanakan program secara terpadu dan memperhatikan berbagai keperluan masyarakat lainnya disamping membangun rumah sebagai hal yang utama. Dengan ini BRR tidak terkesan menutup lobang-lobang kosong saja. Kepada donor juga harus ditegaskan bahwa pembangunan rumah tidak hanya target mengenai rumah selesai, akan tetapi yang lebih utama adalah pembangunan yang seutuhnya dan juga kelengkapan lingkungan dengan berbagai sarana, termasuk sarana keamanan masyarakat dalam penanggulangan bencana. •

Kepada BRR agar dapat mengawasi dengan baik kinerja rekanan/pemborong dengan turun langsung ke lapangan untuk melihat berbagai kekurangan dalam pembangunan rumah. Demikian juga pembangunan rumah bantuan BRR sendiri yang diserahkan kepada kontraktor agar dapat diawasi dengan baik, guna mempertahankan mutu dan efektifitas penggunaan dana oleh rekanan, yang pada akhirnya pembangunan itu tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat penerima bantuan dengan buruknya mutu rumah yang dihasilkan.

•

BRR harus pula menyediakan regulasi atau sejenis standarisasi model rumah bantuan agar adanya keseragaman mutu/type bangunan untuk meminimalisir terjadinya konflik di masyarakat. Hal ini mengingat tingginya tanggapan masyarakat terhadap ketidakseragaman model, mutu dan type rumah yang diberikan oleh masing-masing LSM di satu komunitas atau di komunitas yang berbeda.

•

Setiap implementor dan BRR sendiri harus berupaya menggali aspirasi masyarakat melalui sistem informasi terencana agar proses pembangunan tidak berjalan begitu saja, bahkan harus dapat meminimalisir konflik baru. Banyak kegelisahan dalam masyarakat sehubungan dengan mutu dan model rumah yang cenderung tidak sama akibat tidak adanya standarisasi pembangunan, sehingga implementor membangun dengan standar kemampuan dan target mereka masing-masing.

•

BRR harus sesegera mungkin menuntaskan persoalan persediaan materi pembangunan rumah yang selama ini terlihat menjadi masalah besar bagi BRR, sehingga BRR memilih jalan pintas dengan memanfaatkan rekanan/kontraktor sebagai pihak pembangun. Persediaan materi yang cukup dengan harga-harga yang lebih murah akan membuat pembangunan tersebut bejalan dengan cepat dan efisien, apalagi ketika kecukupan materi itu dapat dibuatkan regulasi tersendiri dalam konsep pembangunan dan disuplay kepada seluruh LSM yang ada didaerah ini.

Untuk Implementor rehabilitasi dan rekonstruksi •

Untuk mewujudkan pembangunan yang partisipatif tersebut, setiap lembaga implementor harus memiliki panduan dasar (guideline) tersendiri, bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk dapat diangkat sebagai guideline bersama yang berstandar dunia. Keberadaan guideline tersebut bertujuan agar proses pembangunan dapat tertata dan terukur dengan baik, minimalisir perubahan kebijakan akibat pergantian implementor atau staf implementor sendiri, hingga dapat merugian masyarakat.

•

Kepada pihak Oxfam International diharapkan agar melakukan tindakan atau menyusun program lanjutan guna mengadvokasi pembangunan rumah yang telah dilakukan di berbagai tempat. Semua bantuan rumah yang diberikan di tahun 2005 diakui

6


masyarakat tidak baik mutunya, khususnya terhadap bahan bangunan yang digunakan dan juga tanggungjawab Oxfam International untuk mengawasi pembangunan hingga selesai. Hal ini berimplikasi dari banyaknya penduduk yang saat ini enggan untuk tinggal di rumah bantuan Oxfam International. Mereka mereka lebih suka menumpang di rumah orang lain atau berangan-angan untuk dapat bantuan rumah yang lebih baik dari implementor lainnya, bahkan ada juga yang berharap agar Oxfam International sendiri yang harus memperbaikinya kembali. •

Kepada semua lembaga implementor pembangunan rumah diharapkan dapat menjalin koordinasi antara sesama lembaga. Aktivitas Shelter Working Groups (SWG) harus dapat berjalan dengan baik, sehingga antara lembaga implementor dapat bahumembahu mengatasi berbagai kesulitan dalam proses pelaksanaan pembangunan rumah, bahkan untuk mengimplementasikan program village planning ke depan, sebagai andalan pembangunan desa yang paripurna.

•

Kepada semua pihak, termasuk pihak Canada Red Cross agar dapat memprioritaskan pengkajian atau pembuatan village mapping untuk dijadikan pedoman dalam pembangunan rumah. Hal ini mengingat banyaknya pembangunan baik oleh implementor lain yang tidak lagi mempertimbangkan tata letak bangunan dan tata ruang desa, sehingga memunculkan kesemrawutan desa. Pengaturan jarak rumah, posisi hadap rumah, letak jalan bahkan juga sarana penangulangan bencana (escape bulding, escape hill, escape road, dan buffer zone) dan sarana-sarana umum lainnya seperti mesjid, meunasah dan sekolah haruslah terumus dalam suatu perencanaan yang matang sebelumnya.

•

Penanganan bencana adalah suatu kegiatan yang seharusnya dilakukan secepat mungkin dan tidak melakukan pemborosan, seperti dengan keharusan adanya pembangunan rumah percontohan di desa-desa atau di kantor NGO sendiri. Hal ini mengingat bahwa masih banyak masyarakat yang belum memiliki rumah dan hidup dengan layak. Kenyataan yang seharusnya terjadi adalah agar rumah percontohan itu langsung diperuntukkan bagi masyarakat untuk dapat dihuni.

•

Kepada Pihak Habitat For Humanity diharapkan untuk dapat mengklarifikasi dengan bijak kasus pembangunan 10 unit rumah di Desa Tibang yang tidak memiliki fondasi baru.

7


I. Pendahuluan Pada dasarnya bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, sehingga mengakibatkan korban menderita kerugian harta benda, lingkungan, sarana dan prasarana, fasilitas umum, mata pencaharian, termasuk psikologis. Penanggulangan bencana merupakan upaya komprehensif yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar segala kemungkinan untuk memburuknya situasi dapat diantisipasi. Diantara upaya yang telah disusun seperti kegiatan pencegahan, mitigasi (penjinakan), kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana, penyelamatan pada saat terjadinya bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi pada masa pasca bencana harus terus disempurnakan mengingat segala kemungkinan dapat terjadi seketika. Hal ini harus disusun dalam suatu paket penanggulangan yang terintegarasi mengingat kondisi Indonesia saat ini berada pada status rawan bencana.1 Bencana seperti gempa dan tsunami pada akhirnya menyisakan masyarakat yang kehilangan semuanya, sehingga mereka harus tinggal di komunitas pengungsian, yang terakomodasi dalam bentuk barak dan tenda. Memasuki tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, keberadaan informasi menjadi sangat penting mengingat informasi adalah salah satu alat penunjang utama dalam proses tersosialisasinya pembangunan kepada masyarakat. Jika ingin dipadupadankan, maka strategi pembangunan partisipatif tersebut dapat menyertakan strategi pengembangan masyarakat yang berbasis pada komunitas (Community Based Development). Pembangunan yang partisipatif harus melibatkan masyarakat sebagai pengambil keputusan, sehingga masyarakat bukan hanya sebagai pengguna keputusan. Pembangunan yang berbasis kepada masyarakat telah mencakupi semua aspek tersebut, dimana pelaksanaan pembangunan didasarkan pada kondisi riil masyarakat dan bukan pada keinginan pemerintah semata. Kedua langkah ini dapat dikembangkan menjadi strategi pembangunan yang Bottom Up, dalam arti bahwa masyarakat memiliki ruang untuk bersuara dalam kerangka dan proses pembangunan. Kondisi riil masyarakat harus dijadikan dasar utama pertimbangan untuk apa dan bagaimana pembangunan itu dilaksanakan. Kehadiran informasi sebagai media sosialisasi dan juga sebagai alat ukur dari kesuksesan pembangunan menjadi sangat penting, apalagi ketika informasi tesebut dapat didudukkan menjadi data/info yang diberikan ke komunitas masyarakat. Sebaliknya informasi juga dapat muncul dari komunitas masyarakat sendiri, dan ini sangat dibutuhkan implementor sebagai bahan dasar pengambilan kebijakan. Dengan demikian akan terbentuklah nuansa keterikatan (sirkulasi) antara pemerintah, LSM sebagai implementor pembangunan dan juga masyarakat tentang strategisnya fungsi informasi. Informasi yang digunakan dalam proses pembangunan sedikit berbeda dengan informasi yang ada dalam konteks teknologi, walaupun terkadang ada kaitannya dalam rangka penggunaan teknologi penyampaian informasi. Yang ingin dibahas pada penelitian ini adalah alur informasi dalam konteks sosial, sehingga informasi terkadang dapat berubah bahasa dan berfungsi sebagai data, instruksi, sosialisasi, kampanye, hiburan, sesuai dengan 1 Kondisi terakhir membuktikan bahwa bukan saja Pulau Sumatera yang dilanda kondisi rawan gempa, akan tetapi gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu setidaknya telah semakin memperingatkan kepada segenap masyarakat Indonesia untuk selalu siap-siaga untuk menghadapi berbagai hal yang mungkin saja terjadi di masa mendatang.

8


kebutuhan pemakaiannya. Bahkan lebih srategis lagi informasi dapat berubah fungsi menjadi bentuk komunikasi, advokasi, dan edukasi sesuai dengan pengeksplorasian lebih besar daya guna dari informasi tersebut. Asumsi tentang ketidaknormalan kehidupan pada komunitas pengungsian menjadikan analisis ini sangat penting, khususnya dalam melihat fungsi strategis informasi sebagai sarana para donor untuk mengimplementasikan seluruh kebijakan mereka.2 Eksistensi informasi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilihat mulai dari langkah awal pemberitahuan berbagai program pembangunan, yang kemudian dilanjutkan dengan penggalian informasi dan data, sehingga program bantuan dapat segera terimplementasi dengan baik. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh implementor diibaratkan sebagai suatu titik puncak dimana informasi menguntungkan atau tidak bagi masyarakat. Pada tahap ini informasi yang dari implementor, atau bersumber dari masyarakat memainkan fungsi dan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasarkan kebijakan yang diambil tadinya. Asumsi kedua adalah pengalaman di lapangan yang mencatat bahwa kehadiran donor justru memungkinkan terciptanya krisis dan konflik baru, baik konflik di antara organisasiorganisasi itu sendiri, maupun konflik di kalangan penerima bantuan. Hal ini menurut Eva Lotta Hedman sebagai suatu gejala bahwa bantuan justru menjadi dukungan logistik bagi mereka yang bertikai.3 Dalam hal ini posisi mekanisme informasi semakin penting untuk menerangi masalah ini. Kekhawatiran terjadinya masalah dalam pemenuhan hak-hak IDP’s sangat menarik untuk diperhatikan, apalagi mengingat bahwa IDP’s juga terikat dengan hubungan kekuasaan dan politik pembangunan di komunitas mereka. Analisis ini mencoba untuk mengangkat kembali tema pembangunan partisipatif dan berbasis kepada masyarakat sebagai isu utama, dan menempatkan informasi sebagai sarana strategis untuk dilihat lebih dalam.

Metodelogi Analisis ini merupakan jenis penelitian yang dilakukan untuk mengamati perkembangan berbagai kebijakan yang dibuat oleh implementor untuk melaksanakan program pembangungan. Robert R. Meyer menyebut penelitian seperti ini dengan “Penelitian Kebijakan” (policy research), karena penelitian ini bersifat empirik dan dilakukan untuk memverifikasi proposisi-proposisi mengenai beberapa aspek hubungan antara alat, tujuan dan pembuat kebijakan.4 Analisis kebijakan ini dilakukan dengan metode penelitian lapangan 2 Keadaan ini secara lengkap telah diilustrasikan oleh Walter Kälin sehubungan dengan hak-hak asasi pengungsi yang harus disadari untuk dilindungi dalam proses penanganan bencana. Masalah perlindungan meliputi akses bantuan, diskriminasi dalam pembagian bantuan, pelaksanaan relokasi, kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan, keterlibatan anak-anak dalam perkelahian, kehilangan dokumentasi, pemindahan dan pemulangan kembali secara sukarela dan aman, dan isu-isu ganti rugi tanah. Dengan demikian ia sangat ditekankan kepada pemerintah, lembaga-lembaga internasional, nasional dan lokal untuk menyusun dan melaksanakan program-program rekonstruksi dan reintegrasi bagi para IDP’s. mereka harus mencari solusi yang tepat sesuai dengan persyaratan hakhak asasi manusia yang berlaku. (Lihat Walter Kälin (Representative of the UN Secretary-General on the Human Rights of Internally Displaced Persons), Bencana Alam dan Hak-hak Para IDP). 3 Eva-Lotta Hedman. Permainan politik dalam respons tsunami, Senior Research Fellow di Refugee Studies Centre, University of Oxford, dengan spesialisasi di bidang dinamika konflik, kekerasan dan pengungsian internal di Asia Tenggara. Email: eva-lotta.hedman@qeh.ox.ac.uk 4 Robert R. Meyer dan Ernest Greenwood, The Design of Social Policy Research, terj. Sutan Zanti Arbi, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 66

9


(field research), dimana sesuai dengan kebutuhan akan ketersediaan data dan informasi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, maka penelitian ini mengutamakan studi kasus (case study) untuk mengungkap apa yang sedang terjadi di lapangan sehubungan dengan pemberian bantuan perumahan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, yaitu terhadap populasi LSM yang sedang melakukan pembangunan rumah bagi masyarakat korban bencana. Penelitian ini mengambil sampel terhadap lembaga-lembaga donor seperti, UN-Habitat, Care International, World Vision, Uplink, Habitat for Humanity, dan Canada Red Cross, dan termasuk pihak pemerintah Indonesia sendiri, dalam hal ini diperankan oleh BRR NAD-Nias. Keterangan yang diperoleh dari lembaga-lembaga donor tersebut ditambah dengan keterangan masyarakat penerima bantuan di komunitas dimana donor melakukan pembangunan rumah. Pengumpulan data primer (field data) dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terpandu, dimana pihak implementor, masyarakat, serta tokoh masyarakat yang ada pada komunitas sampel dimintai keterangan sehubungan dengan topik penelitian. Berikutnya data-data sekunder yang berasal dari berbagai tulisan dan hasil dokumentasi para pihak yang terlibat dalam proses pembangunan dijadikan sebagai data pendukung pada penelitian ini. Data-data yang berhasil dikumpulkan tersebut dianalisis secara kualitatif berdasarkan indikator-indikator yang ada sehubungan tentang konsep, teknik dan mekanisme pelaksanaan pembangunan yang partisipatif tersebut. Untuk memudahkan dalam memahami permasalahan yang dibahas, maka digunakan visualisasi melalui beberapa chart/bagan dan narasi terhadap beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini. Sebagai suatu analisis tentang kebijakan publik, maka penelitian ini berusaha untuk menjelaskan proses pembuatan kebijakan itu sendiri dalam proses pemberian bantuan perumahan, dan juga usaha-usaha untuk menyediakan/menggali data sebagai keperluan utama yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang rasional.5 Proses penanganan bantuan perumahan bagi korban bencana adalah suatu permasalahan khusus diantara penanganan lainnya, sehingga proses pembuatan kebijakan tentang jenis rumah, model dan bahan dasar konstruksi rumah, keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan ataupun mengawasi proses pembuatan rumah adalah variabel-variabel utama yang dianalisa.

5 Lasswell, Ide Ilmu Kebijakan dan Peran Analis Kebijakan. (lihat Wayne Parsons, Public Polcy; An Introduction to the Theory and Practice of policy Analysis, Terj. Tri Wibowo Budi Santoso, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 19)

10


Signifikansi Analisis Berbagai strategi penanganan bencana yang telah ditawarkan dan terus berlangsung sebagai langkah percepatan pemulihan kondisi masyarakat, dan informasi selalu menjadi bagian yang menyatu dalam setiap kegiatan tersebut. Informasi terkadang hadir mengawali pelaksanaan setiap kegiatan, seperti dalam bentuk pemberitahuan ataupun peringatan, dan terkadang juga dia hadir di tengah tengah perjalanan kegiatan, bahkan ada pula yang hadir setelah suatu kegiatan itu berlangsung, tergantung pada kebutuhan strategisnya. Tawaran bahwa informasi sebagai suatu bagian yang penting dalam proses pembangunan, memberikan inspirasi kepada para pengambil kebijakan untuk selalu menggunakan media informasi dalam berbagai keadaan guna memberitahukan apa yang telah terjadi, apa yang sedang dilakukan, dan apa yang diharapkan masyarakat dan implementor sendiri di masa yang akan datang. Informasi bukanlah keperluan sesaat dalam rangka memberitahukan sesuatu, akan tetapi informasi yang baik adalah informasi yang dapat membentuk jaringan atau siklus yang menjadi wadah komuniksai antara masyarakat dan pengambil kebijakan secara reflektif. Informasi bukan saja sesuatu yang diberi, akan tetapi dapat juga menjadi sesuatu yang dicari untuk keperluan tertentu, sehingga dengan menyadari pentingnya informasi maka perlu disusun langkah-langkah cerdas untuk merumuskan strategi informasi tersebut agar dapat digunakan secara efektif untuk mendukung percepatan langkah tsunami response. Berbagai strategi yang diterapkan dalam program penanganan bencana, mulai dari strategi penyelesaian masalah tanah, pemenuhan kebutuhan rumah, penataan kawasan pemukiman, penciptaan mata pencaharian, pemulihan kesehatan, atau juga advokasi terhadap hak-hak kelompok rentan (vulnerability group) seperti harta kekayaan dan lainnya akan selalu menempatkan informasi sebagai alat utama pencapaian target kegiatan tersebut.

Ruang Lingkup Penelitian Istilah informasi yang dijadikan sebagai isu utama penelitian ini adalah informasi yang dijadikan sebagai alat pengambilan kebijakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana. Informasi di sini bukanlah informasi yang dikembangkan sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi secara umum, atau teknologi informasi pendeteksian gempa dan tsunami yang juga erat kaitannya dengan proses penganganan bencana. Isu utama penelitian ini adalah tentang fungsi dan peran Informasi yang tampil sebagai suatu sistem komunikasi sebagai alat pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.6 Selanjutnya bagaimana isu tesebut disikapi oleh semua pihak sebagai bagian dari sistem penanganan bencana itu sendiri, apakah berfungsi dengan maksimal atau tidak. Penelitian ini akan melihat bagaimana sirkulasi informasi ke dan dari kominitas pengungsian. Bagaimana informasi tersebut diberikan kepada masyarakat, apa strategic background yang digunakan, atau dalam rangka apa informasi tersebut diberikan adalah bagian awal daripada 6 Kebijakan menurut Robert R, Meyer adalah keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif dan pembuatan kebijakan sebagai suatu proses dimana keputusan itu diambil. (lihat Robert R.Meyer dan Ernest Greenwood, Op. Cit., hlm. 65).

11


asumsi sirkulasi informasi itu sendiri, walaupun ada sirkulasi informasi yang diawali dari pengumpulan informasi empiris yang cenderung tersebar dan berserakan di masyarakat. Pada bagian berikutnya informasi akan dilihat sebagai suatu strategi yang digunakan oleh LSM dan Pemerintah untuk mengimplementasikan program pembangunan rumah bagi masyarakat, khususnya tentang Pembangunan Rumah Baru bagi masyarakat korban yang masih memiliki tanah (BPRB) sebagai salah satu kriteria diantara empat kriteria yang ditetapkan oleh BRR melalui Keputusan Bapel BRR tahun 2006. Dengan itu dapat dilihat bagaimana proses masyarakat memberikan masukan, kritik, saran bahkan gugatan kepada pihak implementor dalam rangka perbaikan mutu dan target pencapaian program dimaksud. Informasi akan disikapi sebagai suatu bentuk jaringan komunikasi timbal balik antara implementor dan masyarakat. Selanjutnya informasi juga akan dilihat sebagai bagian penting daripada proses advokasi untuk menjamin terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Penelitian ini mengemukakan tiga istilah operasional utama yang sebelumnya perlu dijelaskan, yaitu antara informasi sebagai awal, komunikasi dalam refleksi pelaksanaannya, serta advokasi sebagai bagian terpenting untuk menindaklanjuti hasil pembangunan dan melindungi hak-hak masyarakat penerima bantuan. Ketiga istilah tersebut tidak dapat dipisahkan dalam menganalisa penelitian ini, walaupun ketiganya memiliki typologi yang berbeda, akan tetapi kita tidak dapat memisahkannya dengan katagori yang berbeda karena ketiganya saling memiliki keterkaitan. Untuk itu, secara bijak penelitian ini akan melihat kaitan ketiganya dengan jelas, baik dari segi fungsi dan kemanfaatannya lebih jauh dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini. Kapan saatnya informasi itu menjadi media komunikasi, apa signifikansinya, dan apa keuntungannya adalah bagian terpenting untuk diungkap. Begitu juga dengan kapan dan dimana informasi itu menjadi alat advokasi bagi hak-hak masyarakat juga akan dilihat dengan jelas posisinya. Pada akhirnya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan sirkulasi informasi itu sendiri dalam proses pembangunan rumah, walaupun tidak sesempurna seperti apa yang diharapkan. Namun usaha ini akan dilakukan dengan sebaik mungkin, agar permasalahan pemanfaatan media informasi dalam hal ini dapat dijadikan pedoman di masa yang akan datang.

12


II. Pemanfaat informasi dalam Mekanisme Partisipasi Publik Salah satu kesimpulan yang diberikan oleh badan pengawas BRR NAD-Nias di akhir tahun 2005, khususnya di bidang pembangunan rumah adalah “Tidak partisipatifnya proses pembangunan rumah di beberapa tempat, begitu juga banyaknya terjadi perbedaan model rumah tanpa standarisasi di satu lokasi atau berdekatan, sehingga dikhawatirkan akan memicu lahirnya konflik baru. Untuk itu sebagai rekomendasi BRR perlu memastikan bahwa ada partisipasi masyarakat secara penuh dalam perancangan rumah, termasuk melakukan koordinasi dengan INGO dan LSM nasional/lokal, sehingga tidak terjadi penolakan atas bantuan rumah oleh masyarakat”.7 Eksistensi rumah sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat pada saat ini menjadi perioritas pembangunan Aceh pasca bencana gempa dan tsunami. Berbagai organisasi implementor berpacu dan berupaya memenuhi kebutuhan dasar agar masyarakat sesegera mungkin kembali dapat menjalani kehidupan normal. Mereka terus mengupayakan agar masyarakat tidak lagi tinggal di hunian sementara (barak, camp atau rumah knock down/bongkar pasang), dengan harapan setelah adanya rumah yang permanen, masyarakat dapat meningkatkan kehidupan serta dapat mengakses mata pencaharian dengan baik. Pemilihan kasus pembangunan rumah dalam mempelajari pemanfaatan informasi untuk mempengaruhi kebijakan, adalah upaya untuk mempelajari pemanfaatan informasi secara keseluruhan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itu pada bagian analisa kasus akan dijelaskan bagaimana mekanisme pewujudan pembangunan rumah yang partisipatif tersebut oleh pemerintah dan LSM. Sekali lagi ditegaskan bahwa analisis ini mengambil kasus terhadap proses pembangunan rumah baru (BPRB) bagi korban bencana yang pernah berdomisili dan memiliki tanah di tempat dimana rumah didirikan. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Bapel BRR Nomor 19//PER/BP-BRR/III/2006 tentang Pemberian Bantuan Pembangunan Rumah Baru bagi Korban Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi NAD dan Nias.8 Suatu teori yang patut dipahami dan diasumsikan, bahwa informasi itu adalah potensi dan bermuatan positif sejauh itu bermanfaat bagi masyarakat. Akan tetapi adakalanya informasi tersebut tidak cocok sehingga bernilai negatif bagi penerima. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dapat memanfaatkan informasi menjadi suatu yang bermanfaat, walaupun pada dasarnya dari sekian banyak informasi saat ini, mungkin sebagian saja yang bermanfaat bagi mereka. Teori gold in gold out adalah suatu kondisi positif, dimana jika informasi tersebut bernilai sebagai “emas” yang masuk ke komunitas masyarakat, dan akan keluar/ditanggapi dalam bentuk “emas” kembali, ataupun jika informasi yang masuk tersebut berupa “sampah” lalu bagaimana masyarakat dapat mengolah informasi tersebut sehingga menjadi “emas”. Kedua kondisi ini sangat bergantung 7 Abdullah Ali (Ketua Dewan Pengawas BRR NAD-Nias), Evaluasi Pelaksanaan Rehabiiltasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, Jakarta, Rapat Tripartite BRR NAD-Nias, 20 Oktober 2005. kasus ini sangat sering terjadi di masyarakat, dimana ironisnya ada masyarakat yang tidak suka dengan rumah bantuan BRR, sehingga dengan sengaja berusaha sedapat mungkin tidak menerima bantuan rumah BRR, bahkan ada juga masyarakat yang secara bersama sepakat untuk menolak rumah bantuan BRR. 8 Peraturan ini menjelaskan beberapa katagori bantuan bertempat tinggal yang diberikan donor kepada masyarakat sebagaimana yang ditetapkan oleh BRR, dimana ada tiga jenis peraturan tentang bantuan perumahan lainnya, yaitu 19/PER/BP-BRR/V/2006 tentang Bantuan Perbaikan Rumah (BPR), 20/PER/BP-BRR/V/2006 tentang Bantuan Perumahan dan Pemukiman Kembali (BPPK), dan 21/PER/BP-BRR/V/2006 tentang Bantuan Sosial Bertempat Tinggal (BSBT).

13


pada sumber dan penerima (pelaku informasi). Sumber yang baik akan memberikan informasi yang bermanfaat, begitu juga penerima yang baik akan mengambil dan memanfaatkan informasi itu sebaik mungkin.

Dalam analisis ini ditawarkan bagaimana agar informasi tentang pembangunan Rumah tersebut dapat dipahami sebagai “emas�, apakah dalam wujud advokasi, edukasi, atau partisipasi dari masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaan pembangunannya. Proses partisipasi publik dalam pembangunan rumah harus dilaksanakan sepanjang proses pembangunan rumah berlangsung, baik pra maupun pasca bantuan tersebut diserahkan ke masyarakat. Masyarakat tidak dapat dilibatkan ketika dibutuhkan saja, atau di beberapa bagian tertentu saja, sehingga mata rantai dari proses partisipasi itu terputus. Proses partisipasi tersebut harus dimulai sejak pihak implementor memberikan informasi bahwa mereka akan membangun rumah untuk masyarakat, proses verifikasi data masyarakat yang akan menerima bantuan, penunjukan pihak pelaksana, hingga berbagai bentuk tindakan pengawasan terhadap jalannya proses pembangunan.

Informasi dan Pembangunan Informasi adalah data dan fakta. Informasi dalam bentuk data sangat berharga sebagaimana seperti data itu sendiri. Berbagai hal dapat dilakukan untuk memperoleh data, apakah dengan studi, survey, assessment, observasi, bahkan dengan research sekalipun. Pembangunan tanpa data adalah buta, karena data adalah acuan utama untuk mengawali pembangunan. Ketersediaan informasi dalam bentuk data sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan rumah saat ini, hingga setiap pembangunan dapat bernilai efektif, efisien dan tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan. Informasi adalah komunikasi dan koordinasi. Informasi dalam bentuk komunikasi sedikit berbeda jika dibandingkan dengan informasi hanya sebagai data. Komunikasi adalah sistem yang membutuhkan aksi dan reaksi, sehingga informasi akan membutuhkan tanggapan ulang (reinform) dari penerima. Unsur dasar dari komunikasi adalah informasi, dimana informasi dijadikan alat untuk saling mengemukakan pendapat. Secara terminologi komunikasi adalah sebagai proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara bersama, dan pertalian antara para peserta dalam proses informasi.9 Model komunikasi (informasi bolak-balik) seperti ini dikatakan oleh Hanif Suranto sebagai komunikasi yang partisipatif, dimana sangat ditekankan partisipasi grassroot dalam proses komunikasi. Informasi adalah sosialisasi. Sosialisasi pada prinsipnya adalah media penyampaian informasi dengan model satu arah. Dalam mekanisme sosialisasi pemberi informasi terlibat dalam aktivitas 9.

D. Laurence Kincaid dan Wilbur Schramm, Op. Cit., hlm. 6.

14


pemberitahuan dan memberi pamahanan kepada masyarakat tentang satu hal. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan dalam kerangka sosialisasi juga terdapat informasi balik dari masyarakat dalam bentuk pemberian masukan, kritik dan saran. Informasi adalah advokasi. Advokasi atau “pembelaan�, adalah kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk membangun pemahaman dan mempertahankan dukungan untuk program-program imunisasi bagi masyarakat. Advokasi adalah proses politik yang dirancang untuk mempengaruhi penetapan kebijakan pada tataran nasional maupun tataran internasional, sehingga advokasi juga merupakan inisiatif warga negara dan diarahkan untuk merubah kepentingan publik atau kebutuhan-kebutuhan warga negara terakomodasi dalam kebijakan, praktik-praktik kenegaraan, atau upaya mempertahankan hak-hak asasi warga negara. Informasi dalam bentuk advokasi akan berfungsi untuk mempengaruhi masyarakat agar menyadari hak-hak yang mereka miliki serta bagaimana hak-hak tersebut dapat terlindungi. Oleh sebab itu informasi yang advokatif adalah informasi yang mengandung maksud dan tujuan untuk membela bahkan mendampingi masyarakat untuk memperoleh hak-hak mereka. Informasi adalah Policy. Penetapan policy (kebijakan) pada dasarnya tidak terlepas dari proses pengambilan keputusan terlebih dahulu, sehingga dalam tahap ini fungsi dari informasi adalah sebagai sarana/alat untuk mengambil keputusan. Model pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi dari komunitas/masyarakat sebagai bahan pertimbangan utama dapat dikatagorikan sebagai model Keputusan informatif, yaitu melalui suatu situasi yang kaya informasi.10 Dari kategori model tersebut J. Salusu kemudian mengidentifikasi jenis pengambilan keputusan berdasarkan informasi tersebut kepada metode pendekatan yang dugunakan. Dimana salah satu kutipannya mengambil metode yang ditawarkan oleh Brinckloe, yaitu dengan menggunakan pendekatan fakta, dimana seorang eksekutif akan selalu bekerja secara sistematis untuk mengumpulkan semua fakta mengenai satu masalah dan hasilnya ialah kemungkinan keputusan akan lahir dengan sendirinya.11 Pada model ini pengambil kebijakan sangat bergantung pada data dan informasi yang masuk dari lapangan, sehingga diapun harus proaktif dalam menggali data dan informasi tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Model ini sering “diidolakan� dalam proses pengambilan kebijakan, lantaran model ini menganut partisipasi masyarakat sebagai pengguna kebijakan itu sendiri. Dalam model ini keinginan dan kondisi riil masyarakat akan didengar, sehingga kebijakan yang dihasilkan adalah tentang kebutuhan masyarakat.

10. J. Salusu, Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Grasindo, Jakarta, 1996, hlm. 61 11 Ibid., hlm. 64-5.

15


Informasi adalah edukasi. Proses edukasi berarti proses pembelajaran, sehingga dengan edukasi masyarakat dapat mengerti, paham, dan tahu mengenai sesuatu keadaan. Dengan masuknya misi pembelajaran melalui media informasi, maka diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan berbagai media-media tertentu tersebut sebagai media pembelajaran. Informasi edukatif memiliki strategi yang berbeda dari fungsi-fungsi informasi lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan. Pada tahap ini informasi memiliki tujuan memberikan pengetahuan kepada masyarakat, sehingga metode yang digunakan didominasi oleh nuansa idealis dan positif. Edukasi harus hadir dalam proses pembangunan agar masyarakat dapat memperoleh hak untuk mengetahui tentang apa saja, salah satu medianya adalah dengan menggunakan informasi itu menjadi sesuatu yang edukatif. Penyebaran brosur di bidang kesehatan dengan memberikan pesan (tips) tentang hidup sehat dan hidup rukun dalam berkeluarga adalah salah satu contoh penyebaran informasi bahwa kesehatan itu penting dijaga.

Informasi tentang Pembangunan Rumah Proses masuknya informasi akan adanya bantuan ke komunitas, adalah langkah awal yang selalu ditempuh implementor. Pihak implementor memiliki strategi masing-masing agar informasi itu masuk ke komunitas masyarakat, sehingga tidak tertutup kemungkinan strategi yang digunakan memiliki variasi antara satu implementor dengan implementor lainnya sesuai dengan kebutuhan dan target ingin dicapai. BRR pada dasarnya belum memiliki konsep yang utuh dalam rangka pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan rumah (mekanisme partisipatif), walaupun pembangunan rumah di Aceh ini telah bejalan selama setahun lebih.12 Hal ini terlihat pada minimnya alat informasi yang digunakan BRR untuk menginformasikan kepada masyarakat sehubungan dengan akan dilaksanakannya pemberian bantuan rumah di komunitas mereka.13 Realitas yang muncul dari kondisi BRR sendiri adalah, bahwa saat ini adalah masa transisi bagi BRR bagian Shelter untuk beralih dari mekanisme konventional ke mekanisme partisipatif, dengan wacana ke depan adalah pembangunan rumah dengan model community contract. Selama ini BRR menjalankan pembangunan rumah dengan mekanisme rekanan (menunjuk kontraktor sebagai pelaksana pembangunan), hingga persediaan tenaga tukang dan materi bahan bangunan menjadi tanggungjawab kontraktor. 14 Menurut Kasru Susilo, konsep partisipatif ini sedianya dapat dilaksanakan pada setiap tahapan pembangunan, dimulai dari proses pengumpulan data dari masyarakat calon penerima bantuan, pemberian bantuan, kontrak pembangunan, hingga pasca pembangunan 12 Dari berbagai sumber diketahui bahwa pembangunan “rumah” yang bertipe permanent baru dimulai pada bulan ke-5 tahun 2005, sebelum itu masih bersifat sementara. Walaupun “ide” pembangunan yang partisipatif tersebut telah dituangkan BRR ke dalam peraturan Kepala Badan Pelaksana BRR Nomor 18 s/d 21/PER/BP-BRR/V/2006, dan juga program Village Planning yang akan dilaksanakan melalui jaringan RE-KOMPAK, akan tetapi detil pelaksanaan pembangunan rumah yang didasarkan pada konsep partisipasi masyarakat itu tidak tergambar dengan baik. 13 Hal ini terungkap dari hasil wawancara bersama pihak BRR sendiri; Kasru Susilo (Perencanaan dan Pemrograman), Endang Yuliarti, Imran Mahfudi (Asperkim), Miko dan Banta Syahrizal (Komunikasi dan Hubungan Kelembagaan) BRR NAD-Nias pada waktu yang berbeda, wawancara tanggal 21 Juni 2006. 14 Peneliti telah melihat beberapa rancangan pembangunan rumah yang berbasis komunitas yang dijadikan sebagai bahan rancangan panduang lapangan (juklak) mekanisme pembangunan rumah yang berbasis komunitas, salah satunya tercermin pada Tabloid “Seumangat” dan Buku Re-Kompak.

16


selesai. Akan tetapi konsep itu tidak teraplikasi dengan baik dalam proses pembangunan rumah oleh BRR, walaupun proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini telah berjalan lebih dari setahun. Khusus bagi pembangunan rumah atas nama BRR sendiri, proses informasi awal dilakukan pada saat pengumpulan data masyarakat calon penerima bantuan. Setelah data yang terkumpul tersebut diverifikasi bersama pimpinan desa maka masyarakat diminta untuk membuat Komite Percepatan Pembangunan Rumah dan Pemukiman Desa (KP4D). Komite ini adalah bentukan dan diisi oleh masyarakat sendiri melalui penunjukan langsung oleh mereka, sehingga tugas komite ini adalah mengurusan penerimaan bantuan perumahan sehingga mereka tidak diberikan honor atau sejenis gaji.15 Sungguhpun demikian alurnya, di beberapa lokasi (desa) penelitian dijumpai beberapa kejanggalan, dimana ada masyarakat yang mengakui bahwa awalnya mereka hanya dijumpai oleh rekanan BRR (kontraktor/pemborong) secara orang-perorang, dengan menanyakan “apa anda butuh rumah ?”. Masyarakat yang menjawab “ya pak” maka dibuatkan rumah, itupun setelah materi ada, sehingga di komunitas itu terlihat hanya ada 3 unit rumah BRR diantara sekian banyak rumah yang dibangunkan oleh pihak implementor asing.16 Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi koordinasi awal yang sepatutnya di-handle sepenuhnya oleh Asperkim tidak berjalan dengan baik, sehingga komunikasi yang diharapkan terjalin antara masyarakat dan BRR sebagai donor terputus dengan adanya mekanisme penunjukan rekanan sebagai pihak pembangun. Kasus lain, dimana masyarakat mengakui bahwa mereka tidak pernah dikumpulkan untuk menjalin komunikasi di antara masyarakat komunitas dengan BRR, apalagi untuk tahu apa itu KP4D, sehingga keterlibatan masyarakat untuk memberikan informasi balik tentang berapa jumlah masyarakat membutuhkan rumah tidak ada. Pada akhirnya masyarakat terjebak dalam kebimbangan untuk memilih mana rumah yang lebih bagus, karena ada beberapa NGO lain yang juga sama-sama menjanjikan akan membangun rumah di lokasi yang sama.

“Gambarannya kalau kami pilih rumah NGO lebih bagus dan memuaskan, tapi coba lihat rumah BRR yang bangunannya sangat menyedihkan, jadi kami bingung mau pilih rumah BRR, tapi kami tidak punya rumah. Kami sadar bahwa ini rumah bantuan, tapi kenapa bantuan asalasalan, sementara NGO lain tidak asal-asalan bangun rumahnya.”

Ditanyakan tentang berbagai alat informasi tentang pembangunan rumah lainnya yang digunakan BRR sebagai media sosialisasi selain komunikasi dengan masyarakat, BRR mengakui tidak memiliki media lain. Akan tetapi di lapangan dijumpai BRR memajang phamflet di berbagai tempat dengan judul “Pembangunan BRR Kita”. Asumsi yang terlahir, serta pandangan masyarakat yang dijumpai, bahwa itu adalah alat yang digunakan BBR untuk menunjukkan bahwa di komunitas tersebut BRR akan membangun rumah serta 15 BRR-Perkim, Kebijakan Pemberian Bantuan Perumahan dan Permukiman, Slide 27-28. 16 Responden “AH”, wanwancara tanggal 20 Juni 2006 di Desa “LL”.

17


berbagai kegiatan pembangunan lainnya (terpadu). Namun ketika dikoordinasikan dengan pihak Asperkim bahwa itu tidak ada sangkut-pautnya dengan program mereka. Selanjutnya ketika dikoordinasikan kepada bidang Komunikasi dan Hubungan Kelembagaan BRR, ternyata pamplet itu hanyalah sebagai alat informasi yang menerangkan bahwa semua pembangunan yang dilaksanakan di daerah ini adalah milik kita bersama, jadi tidak berarti di tempat itu BRR membangun melakukan pembangunan. Ditanya tentang berbagai instrumen informasi yang digunakan untuk menyikapi setahun lebih pembangunan ini dilaksanakan, Kasru Susilo sebagai Advisor Kebijakan dan Program Perumahan di BRR menyatakan; “Ke depan kita akan mencoba untuk menyebarkan brosur-brosur, bahwa BRR memiliki program bantuan rumah bagi masyarakat dengan berbagai jenis dan klasifikasi dan mekanisme yang digunakan. Brosur-brosur itu nantinya akan berisi petunjuk tentang kriteria-kriteria masyarakat penerima bantuan, dan juga kriteria jumlah bantuan yang dapat diterima oleh masyarakat berdasarkan kriteria yang mereka miliki�.17 Sungguhpun demikian dapat disimpulkan, bahwa rancangan berbagai pola pembangunan oleh BRR berjalan dengan sangat lamban. Hal ini dibuktikan dengan beberapa indikator, seperti baru tertuangnya (2006) ide pelaksanaan pembangunan rumah yang partisipatif melalui pola community contract. Selanjutnya juga terlihat dari minimnya intensitas pelibatan masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan, dan juga alat komunikasi dan informasi yang digunakan. Beranjak pada kasus LSM, yang juga memiliki program pembangunan rumah, World Vison juga memiliki dua model mekanisme pebangunan sedianya konsep BRR, yaitu pembanguan yang menggunakan perpanjangan tangan dengan kontraktor, dan pembangunan yang berbasis komunitas. Dari keduanya mereka mengakui bahwa yang lebih ditekankan adalah model pembangunan yang berbasis komunitas, dan ini telah diamati langsung oleh peneliti di desa Keudah. Pada tahap awal pihak World Vision memiliki strategi informasi yang cenderung lebih variatif, dimana dalam proses penyampaian informasi untuk mendapatkan data masyarakat yang membutuhkan rumah, mereka menggunakan media publikasi tertulis (pengumuman) sebagai penguatan informasi yang langsung disampaikan oleh Community Organizer (CO) sendiri kepada masyarakat. Mengawali kegiatan tersebut Fahrul18 mengungkapkan bahwa; “Sebelumnya kita melandaskan program pembangunan rumah ini atas koordinasi yang terbangun bersama BRR tentang peruntukan zona pembangunan, mengingat 17 Kasru Susilo, Advisor Kebijakan dan Program Shelter BRR NAD-Nias, wawancara tanggal 20 Juni 2006.

18


ada LSM lainnya yang juga berkepentingan untuk mengimplementasikan pembangunan. Dan pertimbangan itu juga mengacu kepada Blue Print pengembangan kawasan (zonfikasi) pembangunan rumah yang diizinkan. Setelah area tersebut jelas, maka kita mendatangi masyarakat dan bermusyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk dalam hal ini kepala desa selaku penguasa otoritatif. Hal ini bertujuan agar kita dapat terbantu oleh mereka sebagai tokoh kharismatik dalam memberi pemahaman kepada masyarakat. Selanjutnya kita menggunakan media informasi berupa gambar yang ditempelkan pada majalah dinding (mading) yang kita pajang di komunitas setalah memperoleh kata pasti bahwa masyarakat komunitas siap menerima World Vision untuk membangun rumah untuk mereka.� Menambah media informasi tersebut pihak World Vision juga mendistribusikan komik yang pernah diproduksi oleh UN-Habitat sebagai sarana bersama diantara NGO implementor untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang rumah bantuan pasca bencana. UN-Habitat yang juga bergerak dalam pengembangan pemukiman (shelter) juga mengakui bahwa mereka memegang teguh strategi partisipatif. Agung Dewanto menginformasikan bahwa pada tahap awal rencana pembagunan mereka menggunakan beberapa media yang mereka anggap sangat efektif,19 yaitu; 1. Komunikasi (communicate); dengan mengadakan rapat/pertemuan dengan masyarakat dan dihadiri oleh tokoh masyarakat. Pada kesempatan itu, mereka menjelaskan rencana kegiatan sekaligus meminta masyarakat untuk mempersiapkan kelengkapan data pribadi dan keluarga calon penerima bantuan untuk diseleksi. 2. Komik; sebagai wujud dari sosialisasi, edukasi, dan pemahaman kepada masyarakat tentang arti sebuh rumah dalam kehidupan masyarakat. UN-Habitat telah memproduksi komik dengan judul (Rumoh Impian Loen) dengan misi agar masyarakat mendapat pengetahuan yang memadai tentang keseluruhan proses pembangunan rumah pasca bencana.20 3. Plang nama; yang diletakkan di lokasi/desa tempat pembangunan dilaksanakan. Hal ini untuk mejalin informasi antar NGO implementor sehubungan dengan beberapa LSM yang sedang bekerja di komunitas yang sama. Tahap sosialiasi sebagai tahap awal diakui sebagai tahap yang sangat menentukan untuk kelancaran proses pembangunan ke depan. Untuk itu UN membentuk Tim Panitia Perencanaan (Planning Commite) sebanyak 2 orang di setiap komunitas. Mereka inilah yang ditugaskan untuk menginformasikan program kepada masyarakat, membuat pertemuan dengan masyarakat dan tokoh masyarakat. Tugas yang paling krusial dari Team ini adalah untuk menentukan beneficeries yang betulbetul berhak menerima bantuan dengan didukung oleh data yang memadai. Kemudian Team ini juga bertugas untuk menyusun perencanaan desa, sehingga disamping pembangunan rumah, mereka juga terlibat dalam strategi pengembangan desa tersebut. 19 Agung Dewanto, UN-Habitat Project Officer, wawancara tanggal 16 Juni 2006 20 Menurut Agung bahwa dari komik diharapkan ada dua komponen terpenting sebagai wujud informasi, yaitu pada bagian tulisan dan gambar. Dari tulisan kita dapat menjelaskan berbagai hal tentang rumah, sehingga informasi seperti ini lebih dapat diarahkan pada media adukasi. Dari gambar diharapkan pembaca akan merasa bahwa bacaan ini ringan dan mudah dipahami, sehingga komik dapat dibaca dimana saja, kapan saja, dan disukai oleh siapa saja.

19


Care international yang bekerja dengan program pembangunan rumah mereka yang bernama “beudoh�, juga memiliki mekanisme penginformasian yang sama dengan yang dilakukan oleh World Vision. Mereka mendatangi komunitas masyarakat yang terkonsentrasi di barak, meunasah, dan camp untuk melakukan koordinasi awal pemberian bantuan. Karena pada wujudnya Care tidak memberikan kesempatan kepada rekanan, melainkan dikerjakan sendiri oleh masyarakat dengan tukang-tukang yang mereka pilih sendiri atau dimintakan oleh pihak Care kepada pihak ILO.21 Untuk ini mereka berani mengklaim, bahwa mekanisme pembangunan yang dipakai hanya satu, yaitu “pembangunan yang partisipatif�, sebagaimana yang dituangkan pada plang nama yang mereka pasang di daerah-daerah dimana dilangsungkan pembangunan. Melalui pertemuan dan koordinasi dengan masyarakat Care juga memberikan opsi untuk memilih 4 model rumah yang bertipe 46. selanjutnya dalam pertemuan tersebut Care juga melibatkan diri secara langsung dalam memberikan informasi edukatif tentang rumah yang sehat, termasuk sanitasi yang baik. Dalam acara sosialisasi tersebut Care juga memberitahukan konstruksi rumah yang diadakan sebagai strategi antisipatif terhadap persepsi masyarakat tentang berbagai kekurangan yang ada pada bangunan rumah yang dibantu oleh pihak Care. Hal-hal yang diberitahukan seperti konstruksi bangunan, besi atau fondasi yang digunakan, dimana rumah yang dibangun tersebut memadai untuk ditambah menjadi dua tingkat. Selain itu untuk menutupi ketidaktahuan masyarakat tentang model rumah yang dikembangkan oleh Care, pihak mereka juga sengaja membuat rumah percontohan di beberapa tempat, yang gunanya untuk dapat dilihat dan dinilai bangunannya oleh masyarakat. Hal ini sama halnya yang dilakukan oleh GTZ di desa Lam Dinging (Banda Aceh), dengan membangun rumah percontohannya disamping rumah percontohan milik Care. Hal ini juga dilakukan oleh pihak Canadian Red Cross di Dusun Lam Seunong (Kajhu-Aceh Besar). Akan tetapi ada yang langsung memfungsikannya sebagai rumah kediaman penduduk dan ada pula yang sekedar menjadi pajangan, seperti yang dilakukan oleh Wika di desa Lambhung Kecamatan Meuraxa

21 Sukanendi, wawancara tanggal 20 Juni 2006.

20


Akan tetapi rumah percontohan yang dibangun oleh GTZ di Desa Lam Dingin tidak terindikasi untuk diperuntukkan kepada masyarakat sebagai rumah tinggal. Menurut masyarakat rumah tersebut akan dijadikan sebagai balai Pertemuan Masyarakat Desa saja. Dalam wawancara tersebut terlihat kemirisan warga masyarakat, karena tepat di depan bangunan rumah percontohan tersebut ada masyarakat yang belum dapat bantuan rumah. Mereka tinggal di “rumah papan�, sehingga mereka mengatakan bahwa rumah itu hanyalah proyek “peutijoh ie babah gob�. Lain halnya dengan rumah percontohan yang dibangun oleh Canadian Red Cross sebanyak 4 unit (4 model) langsung diperuntukkan bagi masyarakat (anak yatim)

Keterangan lainnya yang diterima dari pihak Uplink, dimana selain menggunakan kesempatan dalam pertemuan sosialisasi bantuan perumahan, mereka juga menggunakan poster. Media-media ini lebih bersifat sosialisasi dan edukasi, dimana masyarakat diberitahukan model-model rumah yang dibangun oleh Uplink, dan juga konstruksi yang digunakan untuk menunjukkan mutu bangunan.22 Selain itu mereka juga memberikan panduan pembangunan rumah bagi masyarakat mengingat partisipasi masyarakat yang sangat tinggi dalam mengawasi pembangunan. Masyarakat diberi gambaran rinci tentang rumah bantuan Uplink, termasuk jenis fondasi, jumlah batu/bata, teknik meyusun bata, serta jumlah tiang (tegak dan rebah) dari masing-masing model yang dikehendaki. Pada kesempatan sosialisasi tersebut pihak Uplink juga menjelaskan, bahwa bagi mereka yang memiliki tanah yang besar kemungkinan digenangi air laut pada saat pasang tertinggi (di pinggir pantai), maka kepada mereka diberikan rumah model panggung, sedangkan bagi yang memiliki tanah kering diberikan rumah tanpa panggung. Lain halnya dengan Canadian Red Cross, bahwa selain memiliki mekanisme koordinasi sebagaimana mekanisme umumnya, mereka juga lebih terbuka sehubungan dengan model dan warna rumah yang diinginkan masing-masing masyarakat dari empat model yang mereka tawarkan. Memang mereka mengakui agak 22 Sudirman Arif, Community Officer Uplink, wawancara tanggal 23 Juni 2006

21


sedikit kewalahan sehubungan dengan pengawasan di lapangan karena ada 4 model rumah di setiap komunitas. Akan tetapi Canadian Red Cross menyatakan bahwa inilah kesempatan yang diberikan pada masyarakat. Untuk proses verifikasi data masyarakat calon penerima bantuan, mereka juga menggunakan perangkat pimpinan desa sebagai jaringan kordinasi di komunitas guna memperoleh keterangan yang kuat tentang status hukum masyarakat calon penerima bantuan. Dari uraian di atas, pada dasarnya implementor membutuhkan sedikitnya 2 kali pertemuan dengan masyarakat untuk mengkoordinasikan keinginan mereka akan kebutuhan rumah bagi masyarakat. Dari proses koordinasi tersebut kemudian terdapat rangkaian informasi masuk dan informasi keluar dari masyarakat dalam bentuk aspirasi, dan kemudian implementor sendiri yang bertanggungjawab untuk mananganinya. Ada di antara implementor yang memasang pamflet untuk menandakan bahwa di komunitas tersebut mereka sedang melakukan pembangunan rumah, seperti UN-Habitat, Care, CRS, dan ada juga yang tidak berupa phamflet, seperti Uplink dan lainnya. Namun dari pihakpihak yang diwawancarai, semua mereka menyatakan bahwa keberadaan papan/ plang nama pada intinya adalah bernilai sosialisasi, baik kepada masyarakat komunitas secara khusus maupun pihak-pihak lainya. Kehadiran plang nama itu menurut mereka juga memiliki arti koordinatif dimana di komunitas itu ada beberapa implementor pembangunan rumah yang sedang membangun, sehingga masing-masing mereka dapat menjalin koordinasi agar tidak terjadi ketumpangtindihan bantuan. Berikut ini terdapat gambaran intensitas pemanfaatan media informasi sebagai sarana pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan rumah. Grafik Intensitas Penggunaan Media Informasi Pembangunan Rumah 100 80 60 40 20 0 Papan -20 Pengumuman/Mading

Plang Nama Proyek

Koordinasi/Rapat Pertemuan

Brosur/Komik/Poster

-40

Media Informasi Pribadi (Tabloid, Koran, Majalah, Radio dan Televisi)

Pembangunan Rumah Percontohan

-60 -80 -100 BRR

UN-HABITAT

CARE

WORLD VISION

UPLINK

CANADIAN RED CROSS

HABITAT FOR HUMANITY

OXFAM

Keterangan: 1. Nilai 100 adalah indikator pelibatan masyarakat secara penuh 2. Nilai 0 adalah indikator pelibatan masyarakat di sebagian proses 3. Nilai -100 adalah indikator tidak adanya pelibatan/partisipasi masyarakat dalam proses

22


Catatan penting yang dapat diberikan dari Grafik ini adalah sehubungan dengan rendahnya komunikasi yang dibangun antara pihak BRR dan Oxfam dengan masyarakat, sehingga ada diantara masyarakat yang menyatakan didatangi pihak BRR, tapi hanya sekali saja, selanjutnay urusan kontraktor. Demikian juga dengan Oxfam yang mendatangi masyarakat sekali saja, selanjutnya urusan pak Geuchik. Catatan lainnya adalah rendahnya penggunaan media, baik dalam bentuk media tulis atau elektronik, sehingga hal ini hantinya akan terkait erat dengan pengetahuan masyarakat tentang program pembangunan dan juga mekanisme advokasi pengaduan masyarakat yang rendah penindaklanjutannya.

Mekanisme verifikasi data Calon Penerima Bantuan Untuk mendapatkan informasi sebagai wujud dari kekikutsertaan masyarakat untuk dipertimbangkan dalam melahirkan kebijakan, maka implementor mengharapkan informasi itu datang dari masyarakat sendiri, atau setidaknya informasi itu harus digali sebagai wujud dari tugas untuk mengupayakan pembangunan yang baik. Penggalian informasi dalam hal pembangunan rumah dianggap sebagai bagian dari proses partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Untuk melakukan proses verifikasi terhadap data calon penerima bantuan tersebut BRR melalui bidang Asperkim di tingkat Kabupaten melakukan koordinasi langsung dengan masyarakat untuk memperoleh data yang akurat. Koordinasi ini dilangsungkan bersama pejabat desa dan pejabat kecamatan setempat untuk melakukan validasi informasi dan proposal pemanfaatan bantuan.23 Proses itu digambarkan sebagai suatu rangkaian validasi yang melibatkan pihak pemberi bantuan dan penerima bantuan sendiri. Proses itu berawal dari pengumpulan informasi dan proposal bantuan antara Asperkim dan bantuan pejabat setempat (Camat). Kepastian siapa penerima bantuan tersebut akan diterima setelah dipastikan melalui hal-hal sebagai berikut; 1. Kriteria Pemilihan/Penetapan Penerima Bantuan; 2. Kepastian tentang cara pemanfaatan, mekanisme pemberian bantuan yang menjamin bantuan dimaksud akan digunakan sesuai dengan rencana; 3. Pernyataan dari Pemberi Bantuan untuk mengajukan permohonan bantuan perumahan yang lain; 4. Melakukan klarifikasi potensi masalah penerima bantuan yang mungkin timbul. Dalam proses tersebut, masyarakat berdasarkan keterangan perangkat desa agar dapat menampakkan bukti kepemilikan tanah atau pengakuan dari perangkat desa, serta bukti Identitas diri serta keluarga sebagai data pendukung untuk memastikan bahwa korban adalah penduduk desa tersebut.24

23 Imran Mahfudi, Wawancara tanggal 21 Juni 2006. Hal ini juga mengacu pada Peraturan BAPEL BRR, dimana yang telah dilakukan adalah dengan berkoordinasi dengan sejumlah mitra pemberdaya setelah mendapatkan data dari KP4D. 24 Ibid.

23


Proses veriifikasi data pada dasarnya memiliki pola yang sama, baik oleh BRR sendiri maupun LSM lainnya, dimana proses itu dianggap penting untuk meminimalisir konflik baru, pemalsuan data dan informasi serta ketumpangtindihan perolehan bantuan.25 Terlepas dari proses perencanaan desa sebagaimana yang direncanakan oleh BRR melalui Re-Kompak dan juga program yang telah diaplikasikan oleh NGO sendiri, UN-Habitat memiliki strategi verifikasi data yang diawali oleh penyeleksian kecocokan data penduduk bersama masyarakat dan perangkat desa. Selanjutnya team Commite Planning membuatkan short list dan proses uji publik yang melibatkan masyarakat dan perangkat desa sendiri, dan pada akhirnya data masyarakat calon penerima bantuan tersebut ditempel di tempat-tempat umum seperti, kantor desa, meunasah, dan keudee (minimal 5 tempat strategis). Dalam proses verifikasi data ini pada umumnya semua NGO memiliki mekanisme yang sama, seperti digambarkan oleh pihak Uplink bahwa turunnya donor ke lapangan mencari masyarakat yang belum memiliki rumah adalah suatu keharusan, sehingga bagian verifikasi data juga tanggungjawab penuh dari donor dengan bekerjasama dengan masyarakat calon penerima bantuan sendiri. Akan tetapi terjadi permasalahan serius sebagai keberlanjutan dari pembangunan yang tidak diawali dengan koordinasi secara menyeluruh kepada masyarakat, dimana proses verifikasi data itu sendiri tidak terjadi. Hal ini diakui sendiri oleh salah seorang masyarakat penerima Bantuan BRR di desa ”LU”, bahwa mereka hanya mengaku didatangi oleh pemborong bangunan, dan ditanyai ”apakah bapak mau dapat rumah?”, terang saja masyarakat menyatakan mau, dan setelah itu beliau dibangunkan rumah. Pembangunan ini mengalami keanehan dimana ada 1 unit rumah BRR di komunitas yang kebanyakan dibangun oleh LSM lain. Hal ini membuktikan bahwa BRR tidak melakukan pembangunan rumah secara terpadu sekaligus pembangunan manusia dan perekonomiannya sebagaimana yang dilaksanakan oleh Care. Masyarakat yang telah terlanjur menerima mengaku pasrah dengan keadaan itu, walaupun ada LSM lain yang akan membangun rumah di kawasan itu untuk mereka. Hal ini juga mengesankan bahwa rendahnya koordinasi yang dibangun oleh BRR dan LSM, sehingga terkesan bahwa BRR hanya menutupi ”lobang-lobang kosong”. Keterangan lain diberikan oleh Geuchik Ismail Ibrahim (Kepala Desa Lamrukan), dimana mereka mendapatkan bantuan rumah dari pihak Uplink, bahwa; ”Untuk desa ini, bayangkan saja Uplink melakukan survey selama dua bulan, dan mereka membangun tidak di sini saja, dari desa ini sampai ke desa Ulee Lheu. Untuk mendapatkan data masyarakat mereka sangat bergantung pada kesepakatan warga, 25 Pihak World Vision juga menyatakan bahwa proses verifikasi adalah masalah yang harus mendapat penanganan teliti dan bijak, mengingat ini adalah hak, dan masing-masing orang berhak, higga sedapat mungkin dihindari segala kemungkinan yang dapat menimbulkan konflik baru, seperti pemalsuan data dan informasi.

24


termasuk kepala desanya. Kami masyarakat di sini tidak tidak ada pantang-pantangan, pokoknya siapa yang duluan datang ingin membangun kami terima. Dulu ada BRR kabarnya mau bangun rumah di sini, tapi yang datang duluan Uplink, ya kami terima Uplink. Saya sebagai Geuchik sangat perhatian dengan kondisi masyarakat saya, sehingga dukungan data dan informasipun kami berikan dengan baik. Ada 40 KK di sini yang dapat bantuan rumah, tapi masih ada 4 KK lagi yang belum siap. Namun untuk dukungan data, Uplink tidak ada masalah dengan kami. Sepatutnya kami yang harus berterimakasih kepada mereka, apalagi kondisi rumah sendiri lebih meyakinkan dibanding rumah yang lain. Untuk memproses data dari kami, ada yang berupa Kartu Keluarga bahkan KTPpun sudah ada, mereka kelihatannya sangat butuh dengan keterangan tambahan dari perangkat desa dan keterangan-keterangan bahwa mereka benar memiliki tanah dan warga masyarakat sini. Untuk membina itu semua maka kami dibentuk dan membentuk diri menjadi Tim Pengelola Kegiatan untuk mengawasi proses pembangunan rumah hingga ke tahap penyerahan. Keterangan serupa juga diberikan oleh Cut Asrarias (Kepala Desa Keudah), dimana World Vision membangun rumah, bahwa; �Untuk memperoleh keterangan, mereka datang ke kelurahan untuk meminta izin melakukan pembangunan. Setelah itu dilakukan pertemuan dengan masyarakat yang turut dihadiri masyarakat, Camat, Danramil, Kapolsek, dan perwakilan dari Bappeda. Pada pertemuan itu dilakukan persamaan persepsi dengan masyarakat tentang keinginan mereka untuk dibangunkan rumah, dan sekaligus pemilihan salah satu dari dua jenis rumah yang ditawarkan world vision. Setelah kesepakatan terwujud, maka mereka melakukan verifikasi lapangan yang diawasi oleh Kerap. Setelah itu mereka memberikan sejenis form kepada masyarakat untuk diisi di kelurahan, dan setelah itu baru dilakukan verifikasi lanjutan terhadap data tersebut bersama orang tua kampung, dengan menanyakan siapa-siapa masyarakat di sini yang berhak dan layak menerima bantuan. Selanjutnya informasi tersebut di bawa ke kepala lingkungan untuk ditindaklanjuti, yaitu dengan meminta Kepala Lingkungan menyampaikan kepada masyarakat untuk mengajukan permohonan bantuan rumah dengan membawa sertifikat tanah. Hal yang sama juga diungkapkan oleh masyarakat penerima bantuan Care International di Desa Cadek, dan juga masyarakat desa Kajhu yang dapat bantuan dari Canadian Red Cross.

25


Kebijakan dalam Proses Pembangunan Rumah • Pembentukan tim pengawas pembangunan Pengawasan pembangunan rumah ini pada dasarnya berada pada 3 pihak, dimana ada pengawasan dari implementor sendiri (officer), mandor pembangunan baik dari pihak pemborong maupun pihak masyarakat komunitas, dan ada juga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri yang membentuk diri ke dalam satu tim pengawas pembangunan. Dalam proses pembangunan yang partisipatif, pengawasan tersebut hendaknya dilakukan oleh masyarakat sendiri, agar segala kemungkinan terhadap ketidakpuasan dapat diminimalisir sendiri oleh mereka. BRR menetapkan tim pengawas pembangunan rumah tersebut dengan nama Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman (KP4). Tim ini dibentuk sendiri oleh masyarakat dalam bentuk Organisasi Masyarakat Korban Bencana (OMKB). Sejauh ini belum menjumpai adanya masyarakat yang membentuk diri ke dalam tim pengawas (KP4D). Bahkan dalam wawancara dengan masyarakatpun tidak terlihat adanya tim tersebut selain yang pernah dijumpai dilapangan yaitu KERAP (Komite Rehabilitasi Pemukiman). Dalam proses pembangunan rumah oleh World Vision yang diawasi oleh Kerap, mereka menetapkan tugas utama Kerap sebagai fasilitator lapangan yang menghubungkan antara kebutuhan pembangunan yang sedang berjalan. Tugas-tugas lainnya adalah mengawasi percepatan dan mutu pembangunan hingga selesai, dan mereka tidak diberi honorarium untuk tugas itu seperti yang diungkapkan oleh Mulyadi (ketua Kerap Lorong V Kelurahan Keudah).26 Lain halnya dengan mekanisme pengawasan pembangunan rumah Uplink, dimana mereka menyerahkan kepada masyarakat untuk membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK). Tim ini dipilih masyarakat sendiri sebagai supervisor pembangunan dengan harapan agar pembangunan berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak Uplink. Care juga memberikan persyaratan kepada masyarakat untuk pengawasan pembangunan ini agar masyarakat membentuk komite pengawas pembangunan. Akan tetapi uniknya pada mekanisme Care, supervisor diberikan tugas untuk membuat perincian pembangunan rumah, dan kemudian juga membuat rincian spesifikasi tahapan pembangunan yang sudah terselesaikan agar masyarakat dapat memperoleh bahan bangunan tambahan yang dibutuhkan. • Pelaksana Pembangunan Diakhir tahun 2005 BRR telah merancang pembangunan partisipatif, yang tertuang dirumuskan dalam program Re-Kompak. Akan tetapi hingga pertengahan tahun 2006 ini belum ada indikasi pelaksanaannya. Gambaran ini semakin kabur ketika buku panduan yang diterbitkan oleh Dirjen Ciptakarya tersebut memiliki cita-cita yang sangat besar.

26 Mulyadi (Ketua Kerap Lorong V Kelurahan Keudah), tanggal 10 Juni 2006.

26


Program yang identik dengan perencanaan desa (village planning) tersebut akan melibatkan sekian pihak dan kelompok orang untuk mendukungnya, sehingga melihat realitas yang terjadi hari ini, dikhawatirkan pembangunan rumah yang pertisipatif tersebut akan terus “tergilas”. Buku panduan kerja tersebut tidak terindikasi sebagai panduan sistematis (manual) yang detail untuk menerangkan bagaimana pembangunan itu dikelola dari A sampai Z. Bagaimana mekanisme kerja tesebut ditata dengan baik, hingga hak-hak dan tanggungjawab masing-masing pihak termasuk masyarakat sendiri sebagai pihak penerima bantuan tergambar dengan jelas. Tabloid Seumangat edisi 24 tahun 2006 juga memuat “wacana” BRR untuk beralih dari konsep pembangunan rumah konventional kepada model community contract. Publikasi ini juga merupakan strategi advokasi dari peraturan Bapel BRR NAD Nias Nomor 18s/d21 yang ditetapkan pada bulan Mei dan Juni 2006. Namun hingga saat ini kita sama-sama menantikan apakah wacana yang konseptual tersebut akan terealisasi dengan baik. Masyarakat akan selalu menuntut agar badan negara ini bekerja profesional, sehingga mereka tidak selalu mengeluh akan rendahnya mutu bangunan yang dikerjakan oleh pemborong. Keluhan tersebut dikemukakan sendiri oleh masyarakat desa “LU”, bahwa; “Pada pertemuan pertama dengan Asperkim kami telah diberitahu tentang rencana pembangunan rumah oleh mereka. Namun mengingat buruknya mutu rumah BRR yang pernah kami lihat, maka kami mengusulkan akan membangun sendiri. Akan tetapi Asperkim menyatakan bahwa hal ini sudah ada aturannya, dan rumah akan dibangun oleh kontraktor pemborong, dan untuk itu kami pasrah saja.” Melalui wawancara dengan beberapa pihak yang berkompeten dalam hal pembangunan rumah, bahwa kendala utama bagi BRR sehingga mereka memilih jalan pintas untuk menunjuk kontraktor/pemborong sebagai pihak pelaksana pembangunan adalah; 1. Sejalan dengan mekanisme kerja badan negara (Pekerjaan Umum/PU), dan dengan dalih bahwa pembangunan ini adalah menggunakan dana APBN, maka mekanisme konventional ini sudah menjadi baku. Hal ini terbukti dengan adanya salah satu bidang di BRR yang bertugas untuk menyeleksi dan memverifikasi kontraktor-kontraktor yang dianggap mampu untuk menangani pembangunan. 2. Dengan aturan itu, BRR tidak dapat melakukan intervensi lebih jauh, sehingga untuk mengatasi masalah persediaan materi bangunan diambil jalan pintas untuk dihandle oleh pihak pemborong. Hal ini berimplikasi jelas pada rendahnya mutu bangunan rumah BRR jika dibandingkan dengan bangunan bantuan LSM, walaupun harga yang ditetapkan sama.

Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan oleh Care dan Uplink. Walaupun mereka tidak memiliki aturan detail (guideline) tentang itu, akan tetapi Care mengungkapkan bahwa pada tahap pembangunan, masyarakat diberi keluasan apakah mereka akan membangun sendiri rumah mereka, atau mereka akan cari tukang, ataupun kami yang akan cari tukang untuk rumah mereka.27 27 Untuk hal ini Sukanendi mengungkapkan bahwa terkadang masyarakat mengalami kebuntuan dengan ketersediaan tenaga tukang, sehingga terkadang kami juga butuh memasok tenaga tukang dari Medan, atau bekerjasama dengan pihak ILO dengan tenaga-tenaga tukang yang telah mereka training.

27


Perlibatan partisipasi masyarakat ini diakui sendiri oleh Bapak Ridwan penduduk Desa Cadek, dimana beliau selaku pihak penerima bantuan diberikan kesempatan oleh pihak Care membangun sendiri rumahnya. Walaupun untuk saat ini beliau kerjakan secara bertahap karena sedikit terkendala dengan pasokan materi yang terputus-putus, tapi beliau mengaku sangat puas dengan mekanisme itu. Ketika masyarakat memiliki keluasan untuk menentukan pelaksana pembangunan, maka dengan sendirinya masyarakat telah memainkan fungsi sebagai pengawas pembangunan rumah mereka sendiri, walaupun terkadang ada diantara yang mereka menggunakan jasa tukang lain. Pihak Uplink juga merasakan arti yang sangat besar dari pelibatan masyarakat, dimana tugas besar mereka juga menjadi ringan. Akan tetapi Uplink tetap berupaya agar tukang-tukang pembangunan dari 25 desa yang mereka bantu untuk tetap berkumpul pada tiap hari sabtu di balee yang sudah mereka sediakan di samping kantor mereka. Demikian juga selanjutnya pada setiap hari minggu adalah hari pertemuan kepala desa tersebut hingga pembangunan selesai seluruhnya. Di balee itu para tukang diberikan bekal tentang ilmu pertukangan, dan kesempatan itu juga mereka gunakan untuk rapat dan bermusyawarah tentang perkembangan pembangunan dan kendala-kendala yang dihadapi. Balee tersebut juga ditempeli gambar-gambar konstruksi rumah dari tahap dasar hingga jadi. Dan juga alat-alat sosialisasi dan adukasi tentang rumah yang sehat dan tahan gempa, bahkan di balee itu dilengkapi dengan alat visualisasi sebagai sarana bagi Uplink untuk memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang proses panjang pelaksanaan pembangunan (Rehab dan Rekon). Hal ini juga dilaksanakan oleh UN-Habitat dan juga implementor lainnya seperti World Vision dan Habitat for Humanity, sehingga tidak terlihat kekakuan pembangunan yang mengharuskan adanya sistem kontrak atau bahkan subkontrak dengan rekanan, yang akhirnya pelaksanaan pembangunan dilaksanakan oleh tangan ketiga bahkan keempat setelah BRR. Kita tidak mengharapkan pembangunan yang terkesan bahwa keputusan implementor lebih berarti dibandingkan dengan aspirasi masyarakat seperti kasus rumah BRR bantuan Oxfam di atas (Donor Driven). Akan tetapi kita mengharapkan agar pembangunan ini

28


memiliki strategi pertisipatif atau yang sering disebut dengan strategi Community Based Development atau yang dapat disebut dengan People’s Driven.28 • Model rumah Berbagai permasalahan terjadi di masyarakat sehubungan dengan model rumah. Salah satu diantaranya adalah ketika mereka tidak mampu membuat kriteria antara “rumah sementara” dan “rumah permanen”, atau juga antara “rumah layak huni” dan “rumah tidak layak huni”. Hal ini dapat dilihat dari kebingunan mereka untuk memutuskan rumah semi permanen untuk menjadi rumah permanen, padahal dari segi materi yang digunakan sangatlah tidak layak. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang penduduk yang menerima rumah Oxfam, yang sangat jauh dari harapannya; “Kami tidak bisa tinggal di rumah tersebut, juga tidak dapat tidur karena kayu yang digunakan dimakan rayap, sehingga kalau tidur serbuk kayu itu sering jatuh, dan akan sangat mengganggu pada kesehatan. Dari segi mutu atau kualitasnya dapat kami katakan ini “rumoh cilet-cilet”. Memang rumah ini katanya pada saat jumpa pertama dengan masyarakat pada bulan ke 5 di tahun 2005 adalah rumah sementara, tapi hingga saat ini tetap menjadi rumah sementara, dan entah kapan mau jadi rumah permanen. Masih lumayan dengan rumah YBI sehingga kami tinggal saja rame-rame dengan teman di rumah YBI. Hal yang tidak kami senangi dari “gaya koordinasi” mereka adalah dimana setelah jumpa pertama dengan masyarakat mereka tidak lagi buat pertemuan berikutnya. Setelah itu mereka hanya jumpa dengan pak Kechik saja, dan kami hanya lihat-lihat saja dari kedai kopi, ooo… orang Oxfam datang…! Masyarakat juga sangat berkeinginan agar Oxfam mengklarifikasi kembali pembangunan mereka, karena dulu pada saat pertemuan awal mereka nyatakan ada yang akan merehab rumah itu. Satu hal yang sangat kami sedihkan adalah terdapatnya di daerah ini rumah-rumah yang sangat bagus sehingga mereka hanya dapat “menelan air ludah” jika melihat rumah yang dibangun oleh Un-Habitat dan lainnya yang jauh lebih layak dari rumah Oxfam.” Penelitian ini juga menemukan adanya kejanggalan, dimana terdapat 10 unit rumah yang dibangun oleh Habitat for Humanity di desa Tibang dengan tidak melakukan penggalian fondasi baru, jadi bangunan didirikan di atas fondasi lama. Masyarakat menjelaskan bahwa awalnya mereka mengatakan akan membuat gudang, dan kami akan dicarikan tanah baru. Akhirnya mereka menyuruh kami tinggal di rumah itu. Hal ini juga dinilai sebagai suatu pembodohan terhadap masyarakat, dan hingga saat penelitian dilakukan, pihak masyarakat sedang berkumpul untuk dipertemukan oleh pihak Gerak (Gerakan Anti Korupsi) dengan pihak Habitat for Humanity tentang kelanjutan rumah mereka itu. 28 Bahan-bahan Pidato Presiden dari BRR Aceh-Nias, hlm. 1

29


Masyarakat tetap berkeinginan agar rumah itu ditanggulangi atau dibayar ganti rugi, karena mereka juga tidak mau mengambil resiko dari pembangunan rumah tanpa fondasi ulang itu, dan salah seorang warga menyatakan bahwa rumahnya sekarang sudah retak akibat posisi bangunan tidak kuat lagi akibat gempa kuat beberapa waktu yang lalu. Kasus ini menandakan bahwa informasi yang seharusnya bersifat koordinatif terputus di antara masyarakat dan donor, hingga kita harus mengatakan bahwa rumah-rumah bantuan itu tidak memiliki standar kesamaan type, baik tipe untuk rumah sementara maupun rumah permanen. Hal ini yang selalu membuat masyarakat cenderung tidak puas dan bahkan tidak ingin menempati bangunan itu. Semua donor lebih mendominasi bentuk dan desain rumah. Akan tetapi ada diantara mereka memberikan beberapa opsi kepada masyarakat untuk memilih model yang mereka sukai diatara model yang ada. Ada diantara mereka yang memberikan 2, 3, bahkan 4 ops, sehingga ini dapat dianggap lebih baik. UN-Habitat memiliki 2 model rumah, yaitu rumah semi permanen dan rumah tradisional versi UGM, yang dihasilkan dari kegiatan assessment sehubungan dengan kebutuhan model rumah bagi masyarakat Aceh. Akan tetapi yang terpenting pada bagian ini adalah adanya strategi partisipatif dengan memberikan informasi berupa sosialisasi dan pemahaman kepada bahwa konsep rumah bantuan ini adalah “Konsep Rumah Tumbuh�. Hal itu bermaksud agar masyarakat dapat memahami apa dan bagaimana sebenarnya filosofi rumah bantuan, dan sekaligus dengan bebas dapat melakukan inovasi setelah rumah itu selesai diserahterimakan. Hal ini dapat dilihat dengan rumah bantuan Uplink yang telah direnovasi sedemikian rupa sebagaimana gambar rumah percontohan di atas, dimana rumah kembar tersebut telah menghabiskan dana Rp. 50 juta untuk penambahannya. Hal-hal ini juga dijumpai pada rumah-rumah bantuan BRR yang juga diupayakan perbaikannya oleh masyarakat mengingat kekurangan mutu di sana-sini. Selain itu ada juga yang dinamakan dengan rumah yang menggunakan pola “Open Menu�, dimana model rumah yang telah ada dapat diperkecil sesuai dengan ukuran tanah yang semula dimiliki oleh masyarakat. Dalam hal ini pihak World Vision mengakui sendiri ketika mereka melaksanakan pembangun rumah untuk masyarakat Desa Keudah, dimana ada masyarakat yang memiliki tanah berukuran kecil-kecil, sehingga model rumah yang dibuat harus didampingkan.

Strategi partisipasi masyarakat ini menurut UN-Habitat sangat penting, walaupun terkadang juga diakui banyak timbul kemirisan dalam masyarakat sehubungan dengan ketidakseragaman mutu dan model rumah, bahkan terkadang jauh berbeda antara yang dibangun oleh salah satu LSM dengan LSM yang lain. Untuk itu yang terpenting adalah ketika semua LSM sudah memiliki konsep pembangunan yang sama, maka model yang layak itu dengan sendirinya dapat dipertimbangkan oleh masyarakat, sehingga kesenjangan itupun dapat diminimalisir. Di beberapa komunitas yang dibangun oleh beberapa donor yang berbeda terkadang masyarakat merasa tidak nyaman dengan rumah yang diperuntukkan kepada mereka, sehingga dengan sendirinya memicu keirian antar warga masyarakat itu sendiri. Untuk itu, walaupun berbeda model tetapi donor harus dapat mempertahankan kesamaan mutu bangunan (permanen), dan memiliki kelengkapan sanitasi yang sama baiknya.

30


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.