Kisah Usai Perang

Page 1



KISAH USAI PER ANG



KISAH USAI PER ANG Editor: Adi Warsidi


Penerbitan ini terlaksana berkat kerjasama Katahati Institute dan Pusat Resolusi Konflik dan Telaah Perdamaian (Center for Conflict Resolution and Peace Studies—CCRPS) IAIN Ar-Raniry, serta dukungan dari Masyarakat Jepang. Diterbitkan pertama kali pada Desember 2009, dari hasil tulisan mahasiwa yang mengikuti pelatihan ‘Studi Antopologi dan Jurnalisme Damai’: Ade Haryandi; Alfahmizar; Alhadi Habibi; Arief Maulana; Aris Munandar; Cut Tiara Utami Putri; Emi Safriani; Ferdian Majni; Fitria Anisak; Heri Juanda; Ilhas Saputra; Iqbal; Irman; Irwan Syahputra; Ishak Yusuf; Iwan Aramiko; Kamarullah; Khairi Tuah Miko; Manfaluthi; Masrizal; Meriyadi HS; Miftahul Umam; Muhammad Azimi; Muhammad Hamzah; Najmuddin; Nana Noviana; Rahmawaty; Ratna Sari; Rita Junia Sari; Saifannur; Siti Aminah; Syakirorrozi; Syamsuddin; Taufiq Hidayatullah; Yuhdi Fahrimal; Zoni Jamil; Zulkarnaini Masri. Disunting oleh Adi Warsidi. © 2009, Katahati Institute. Jl. Lamreung No. 17 Ulee Kareng Banda Aceh 23117, Indonesia Telp.(0651) 7410466 Fax. (0651) 636947 Email: info@katahati.or.id Website: www.katahati.or.id Hak cipta dilindungi Undang-undang. Katalog Dalam Terbitan (ed.) Warsidi, Adi, 2009– Kisah Usai Perang/Adi Warsidi xii + 176 h. 20 x 25 cm. ISBN: 978-979-16458-4-3 Dirancang dan diatur dengan huruf Minion oleh Khairul Umami. Desain sampul oleh gepe.


Isi Buku

Pengantar Penerbit  ix Pengantar Editor  xiii

Kisah Janda Kampung Konflik  1 Kipang Gring Made In Pawang Raket  9 Kala Partai Masuk Kampus  17 Kisah dari Kilometer Tujuh  25 Terpangkasnya Uang Janda  31 Balada Mantan Kombatan  35 Harapan Usai Perang  41 Demokrasi Ala Aceh  45


Isi Buku

viii

Kisah Pengemis Kota  49 Mantan GAM yang Dilupakan  55 Caleg Mahasiswa yang Gagal  59 Antara Harapan dan Realita  61 Pesan Rakyat untuk Dewan  65 Mahasiswa pun Dibayar Mudik  69 Kisah Miris Anak Antara  73 Perjalanan Caleg Muda  77 Yang Wanita Tak Dipercaya  79 Dayah di Bekas Kawasan Hitam  83 Yang Terpuruk di Sudut Desa  87 Menunggu Kiprah Wakil Rakyat  91 Terasing di Aceh Timur  95 Belajar Melepas Dendam  99 Damai di Jambo  103 Sama Saja di Blang Keudah  107


kisah usai perang

Potensi Lain Ujong Pancu  111 Sisa Kisah di Montasik  119 Harapan Inong Bale di Metareum  123 Akhir Resah Warga Tanjung  129 Mantan Gerilyawan Masih Berharap  133 Rasa Hidup Dua Masa  137 Terpuruk di Sudut Krueng Sabee  143 Yang Mengikhlaskan Kisah  149 Korban Dua Bencana di Markas Al-Aziziyah  153 Sekolah di Zona Rawan  157 Kisah Angkatan 86  161 Belum Beruntung ke Gedung Dewan  165 Moral Politik Mahasiswa  169 Janda Konflik di Bukit Tiongkok  173

Para Penulis  177

ix



Pengantar Penerbit

Pertama puja serta syukur dipanjatkan kepada Allah SWT sehingga sebuah kumpulan tulisan perdamaian dapat terbit dalam rangka memperingati 4 tahun perdamaian di Aceh. Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penulis yang telah bersusah payah dalam menyajikan tulisan yang terbaik sebagai akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman di Aceh. Katahati Institute sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil di Aceh berupaya semaksimal mungkin menerbitkan kumpulan tulisan ini dengan maksud ikut berkontribusi menambah dokumentasi tentang perdamaian yang diharapkan berguna bagi generasi mendatang. Oleh karena terima kasih yang tidak terhingga bagi rekan-rekan Katahati Institute yang telah bekerja dalam mendokumentasikan tulisan-tulisan hingga menjadi kemasan buku. Sebuah perenungan mendalam tentang perdamaian di Aceh tersaji dengan humanis pada tulisan-tulisan di dalam buku ini. Ritme kegelisahan dalam tulisan-tulisan di dalamnya mengisyaratkan bahwa perdamaian yang terjadi saat ini masih harus menjadi agenda bersama


Pengantar Penerbit

xii

mencapai cita-cita masyarakat Aceh yang sesungguhnya. Mereka gelisah tentang hak-hak korban yang belum jelas penyelesaiannya serta realitas bahwa Aceh sangat kompleks akan problem sosial seperti kemiskinan dan kriminalitas. Di balik riak-riak perjalanan perdamaian di Aceh, telah diakui pula bahwa perdamaian di Aceh telah mengubah wajah Aceh yang muram menjadi tersenyum. Perdamaian banyak mengubah dan menghilangkan hal-hal tersebut di atas. Saat ini Aceh menjadi daerah yang kondusif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pembangunan di Aceh pun cukup pesat, utamanya dengan kegiatan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk korban tsunami yang menjadikan Aceh sebagai provinsi ‘model dan modal’ di Indonesia. Dalam konteks ini perdamaian sudah seharusnya menjadi kenduri besar di Aceh maupun Indonesia secara luas yang patut diperingati dan dirayakan setidaknya pada hari ditandatanganinya MoU Helsinki. Beberapa kali melalui momentum nasional perdamaian di Aceh telah diuji. Setahun setelah MoU, Aceh melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Suasana mendorong persamaan dan memperkecil perbedaan melalui semangat reintegrasi, dihadapkan pada suasana dimana setiap orang mempunyai pilihan politik yang berbeda. Ternyata, pilkada tidak membawa ketegangan yang berlarut-larut dan berlangsung dengan aman dan damai. Kemudian perdamaian diuji kembali dengan pemilu 2009 yang baru saja dilewati. Uniknya partai lokal hadir mewarnai pesta demokrasi ini. Partai local merupakan amanat MoU Helsinki dan dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan diturunkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Partai Lokal. Secara umum pemilu yang damai tercapai di Aceh. Setidaknya ada dua hal yang dapat disampaikan dalam memandang perdamaian di Aceh. Pertama, perdamaian procedural. Perdamaian


kisah usai perang

procedural mensyaratkan adanya

pemenuhan dari kedua belah

bertikai atas kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian perdamaian, dalam hal ini MoU Helsinki. Sejauh mana perdamaian dapat dipenuhi melalui bunyi kesepakatan tersebut. Kedua, perdamaian substansial. Perdamaian substansial mengarah pada apakah cita-cita perdamaian yang sesungguhnya cita-cita masyarakat Aceh secara luas sudah dapat dicapai yaitu kesejahteraan dan keadilan. Dalam menuju perdamaian dalam arti procedural dan substansial dibentuk suatu Badan Kerja di bawah pemerintah Aceh yaitu Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Badan ini yang kemudian mempunyai mandate besar mengawal berlangsungnya reintegrasi di Aceh. Lepas dari kekurangan dan kelebihannya dalam implementasinya, adanya BRA menunjukkan bahwa pemerintah baik nasional dan Aceh mempunyai perhatian khusus atas berlangsungnya perdamaian. Namun demikian, berbagai kritik pun dialamatkan pada badan ini. BRA seolah-olah hanya mengurusi hal-hal teknis pendistribusian bantuan, sementara hal-hal strategis lainnya cenderung tersisihkan. Meski demikian BRA terus berbenah diri. Perbaikan struktur seringkali dilakukan bahkan BRA menyusun rencana stategis yang memungkinkan badan ini mempunyai arah yang jelas dalam bekerja. Substansi perdamaian yaitu kesejahteraan dan keadilan. Oleh karenanya, berbicara perdamaian tidak hanya diperankan oleh BRA, akan tetapi harus diwujudkan oleh seluruh komponen di Aceh. Legislatif, eksekutif dan MPU harus mendukung perdamaian melalui regulasi dan implementasi program. Masyarakat pun baik tokoh adat, ulama, pemuda mendukung perdamaian ini dengan meningkatkan kreativitas dan pembangunan di wilayahnya masing-masing. Perlu disampaikan disini, kebijakan-kebijakan baik legislative dan eksekutif sangat menyentuh pada partisipasi public mulai dari pembentukan regulasi hingga penganggaran daerah. Pembenahan hokum terus menerus dilakukan

xiii


Pengantar Penerbit

xiv

dengan dilahirkannya Qanun nomor 3 tahun 2006 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun dan adanya Program Legislasi Aceh/Kabupaten/ Kota. Dalam hal penganggaran pun, pemerintah gencar dengan program Bantuan Keuangan Pemakmur Gampong yang diyakini dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dan tentu saja banyak hal yang telah dilakukan pada masa 4 tahun perdamaian di Aceh. Kumpulan tulisan ini setidaknya memberikan fakta, buah pikiran tentang hikmah perdamaian apa yang dirasakan rakyat. Katahati Institute berupaya melalui jurnalisme damai menggugah dan menyampaikan pesan-pesan perdamaian agar menjadi pembelajaran berharga bagi Aceh di kemudian hari. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu belajar dari kegagalan dan menghargai keberhasilan berbagai pihak. Buku Ini menjadi penting sebagai sebuah upaya pendokumentasian atas fakta dan rujukan pemikiran baik yang terekam baik rekaman keresahan, dan harapan , praktek keberhasilan yang menjadi satu. Akhirnya, ucapan terimakasih sekali lagi dari Katahati Institute kepada penulis, organisasi mitra program Aliansi Jurnalis Independen (AJI Banda Aceh), CCRPS IAIN Ar-Raniry dan Kedutaan Jepang yang telah mendanai berjalannya program Jurnalisme Damai. Banda Aceh, 17 Ramadhan 1430 H ­â€ƒ 7 september 2009

FAHRUL RIZHA YUSUF Direktur Eksekutif Katahati Institute


Pengantar Editor Oleh : Adi Warsidi

Kumpulan cerita yang terserak di sudut-sudut Aceh. Tentang kabar tawa dan tangis setelah damai hadir, setelah empat tahun perang berhenti.

Menulis kekinian Aceh adalah merangkai kisah-kisah dalam ruang damai yang masih muda. Empat tahun lebih sedikit, bukanlah waktu lama untuk melihat kondisi tak miris. Kendati banyak yang merasakan tenteram, tapi masih ada riwayat duka, nestapa ketika sebuah tanya ditebarkan ke warga di empat penjuru Bumi Serambi. Apakah damai sudah membawa sejahtera? Inilah laporan yang coba merekam kisah-kisah kecil yang tersangkut pada bingkai besar perdamaian, setelah MoU Helsinki disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mengakhiri perang, 15 Agustus 2005 silam. Damai setidaknya mengisi hari-hari masyarakat yang langsung maupun tidak terimbas konflik.


Pengantar Editor

xvi

Nyaman tentu ada, tapi banyak cerita lainnya. Mungkin jauh dari kata sempurna, karena buku ini lahir dari tangan mereka yang minim pengalaman. Ibarat seorang gadis yang ingin merangkai bunga plastik, kusut di sana-sini adalah hal biasa. Mereka semua pemula, yang menabalkan sebuah cita untuk menjadi penulis. Coba merekam sejarah yang bergelimpangan pada setiap jengkal tanah ‘Negeri Seulanga’. Sudah menjadi pepatah tak bertuan bahwa masyarakat kita ahli berkata-kata, debat sudah biasa didendangkan dalam setiap temu di warung-warung. Tak sulit meminta seorang untuk cerita lisan satu kisah panjang, tapi bila disuruh menulis, akan banyak yang angkat tangan. Dari situ, mungkin menjadi kewajiban semua kita mengubah pelan cara pandang, agar menulis menjadi gampang. Sebuah usaha coba dibentuk, mendidik para generasi muda untuk menjadi penulis. Ditempa dalam pelatihan tak lama agar mampu meramu kata layaknya jurnalis, kolumnis maupun cerpenis. Setelah dilatih seminggu lebih, para pemula kemudian dipandu menulis fakta, memotret kisah-kisah dalam tema besar perdamaian Aceh, sesuai dengan tema pelatihan itu sendiri, ‘Studi Antropogi dan Jurnalisme Damai’. Sebuah kerja nyata membungkam tradisi lisan menuju tulisan. Lahirlah kemudian buku ini. Para penulisnya adalah anak kampus, dari berbagai latar dan asal daerah. Hingga tanpa sengaja menjadikan buku ini kaya kisah yang terserak dari berbagai pelosok di Aceh. Tentang kenyamanan sesudah perang, tentang hidup semakin tertib, juga tentang ketidak-adilan dalam damai dan tentang damai yang belum membawa perubahan. Lalu ada kisah-kisah yang sukses setelah usai perang seperti Pawang Raket dengan Kipang Gring-nya, ada kisah Janda di Kampung Konflik


kisah usai perang

dan puluhan lainnya yang mungkin menggambarkan, inilah Aceh sekarang. Kendati pemula yang menulis, agaknya laporan-laporan di dalamnya tidaklah terlalu buruk untuk dibaca. Sekadar menikmati Aceh yang dipotret dari sisi lain. Tapi yang lebih penting, mereka telah mencoba menulis, membuang sejenak lakon lisan. Bagi saya, inilah buku para generasi yang akan menulis sejarah Aceh ke depan.

Banda Aceh, September 2009.

xvii



KISAH USAI PERANG



Kisah Janda Kampung Konflik Oleh: Zulkarnaini Masry

Rumah kecil berdinding kayu tanpa cat bertapak di sepetak tanah ukuran seperempat lapangan sepak bola. Atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia, bagian depan terdapat jendela tanpa gorden. Hanya beberapa pot bunga dari kaleng bekas menghiasi teras. Bagian dalam, dinding berlapis kertas semen, karpet kotak-kotak biru dan abu-abu yang telah robek di sana-sini. Rumah itu ada dua kamar, pintunya ditutupi kain merah hati, sangat kontras dengan warna dindingnya. Di sudut kiri terdapat satu buah televisi yang tak hidup lagi. Di sampingnya, satu buah kilang jahit yang juga rusak, dan beberapa buku bacaan berserakan di bawahnya. “Apa yang kamu lihat, rumah saya sangat berserakan,� seorang perempuan keluar dari pintu belakang. Armiah, 48 tahun pemilik rumah itu. Sejak lahir ia sudah tinggal di Desa Munyee Lhee, Kecamatan Nibong, Kabupaten Aceh Utara. Namun, setelah suaminya meninggal karena dibunuh oleh kelompok bertikai, tepatnya 15 Agustus 2002 lalu, Armiah terpaksa menjalani sisa hidup


Kisah Janda Kampung Konflik

2

bersama ketujuh anaknya. Anaknya yang pertama dan kedua sudah menikah, dan tinggal jauh. Sisanya tinggal bersama, empat di antaranya masih sekolah. “Capek pergi ke sawah. Luasnya pun cuma dua petak, baru saja siap ditanam,” ujarnya mempersilahkan aku duduk. Garis-garis di wajahnya menampakkan kalau ia terlalu lelah. Sawahnya memang sudah siap ditanam. Tapi, bukan berarti ia bisa berdiam diri di rumah. Banyak pekerjaan yang dilakukan sendiri. Pagi-pagi sekali ia bergelut dengan cucian, tangannya belum kering, ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Selalu begitu. *** Pagi sekali, seakan berlomba dengan fajar, Syamsyiah (55 tahun) bangkit. Setelah shalat subuh, ia menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Selanjutnya begegas bersiap-siap ke sawah yang letaknya satu kilometer dari Desa Munyee Lhee tempat ia tinggal. “Uroe nyoe lon jak tueng tu upah bak umoeng gob (hari ini saya bekerja di sawah orang sebagai buruh),” ujar perempuan yang tak menamatkan sekolah dasar ini. Bekerja sebagai buruh di sawah, setengah hari diupah Rp 20 ribu. Uang itu ia gunakan untuk membeli lauk dan jajan anaknya sekolah. Tak ada pilihan lain, itulah pekerjaan yang paling mudah didapatkan. Syamsyiah memiliki dua petak sawah dan satu bidang kebun yang ditanami coklat. “Sudah dua bulan tidak berbuah. Apalagi setelah hujan lebat bulan lalu,” kisahnya. Kemudian ia minta permisi karena harus ke sawah. Biasanya dari hasil penjualan biji coklat, kebutuhan sehari-hari bisa ia penuhi. Malamnya, awal Juni 2009 lalu, aku kembali bertandang ke rumah


kisah usai perang

Syamsyiah. Sangat sederhana, rumah semi permanen yang baru saja direhab belum sepenuhnya siap. Jendela masih dipalang dengan papan bekas. Loteng ditutupi dengan plastik biru yang biasa dipakai untuk tenda. Dinding tidak bercat. Satu buah foto, ia bersama anaknya digantung dalam bingkai kaca. “Kalau malam saya sakit. Bagaimana tidak, seharian capek kerja di sawah,� ia tampak sangat lelah. Dibetulkan tempat duduk. Padahal dulu ia pernah ingin berhenti sebagai petani. Sawah dua petak itu ingin diupah pada orang lain. Tapi, keinginan itu tak pernah sampai. Karena tak punya uang, terpaksa ia mengerjakan sendiri. Sawahnya belum panen. Tapi hutang sudah menunggu. “Pupuk saja harus ngutang sama toke Pan. Bayarnya setelah panen, 40 kilogram padi,� ujarnya hampir tak terdengar. Padahal kalau punya uang, hanya Rp 80 ribu pupuk sudah dapat dibeli. Harga padi Rp 3.000 perkilogram, berarti ia harus membayar Rp 120 ribu. Mau tidak mau, harus diambil. Sejak suaminya meninggal, setelah diculik oleh orang tak dikenal, ia menggantikan posisi sebagai nakhoda dalam keluarga, banyak pekerjaan berat harus dipikul. Menghidupkan ketujuh anaknya bukan pekerjaan mudah. Apalagi pada masa konflik. Berkat kerja keras tanpa mengenal lelah anaknya kini sudah ada yang menjadi sarjana. Bahkan duanya lagi, sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Banda Aceh. Si bungsu kini duduk di bangku kelas 4 SD, dan kakaknya baru saja mengikuti Ujian Nasional. Tak pernah terbayang sebelumnya. Anak-anak begitu yakin dalam menuntut ilmu. Padahal saat suaminya meninggal, mereka sempat putus sekolah. Ia mengisahkan kenangan pahit. Sabtu, 10 Juli 1999 matahari beranjak siang. Syamsyiah sibuk di dapur. Tiba-tiba suaminya pulang dan menyerahkan sejumlah uang, hasil gajian sebagai pesuruh di sekolah

3


Kisah Janda Kampung Konflik

4

dasar. “Uang ini kamu gunakan untuk membayar utang,” ia mengulang apa yang diucapkan suaminya. Kemudian suaminya keluar, katanya mau minum kopi. Tak ada firasat apa-apa. Ia masih konsentrasi dengan masakannya, wajahnya ceria mengingat sudah ada uang untuk membayar utang. Sementara di jalan, 500 meter dari rumah. Sebuah mobil jenis taft warna gelap berhenti tepat di depan suaminya yang sedang berjalan. Tiba-tiba. Empat lelaki tegap turun, memaksa suaminya naik ke mobil. Suaminya melawan. Tapi apa daya, badannya yang kecil tak mampu mengalahkan empat lelaki itu. Suaminya dilempar ke mobil. Sekejap meluncur kencang meninggalkan duka bagi Syamsyiah. Suaminya diculik. Dua hari kemudian, suaminya baru didapati. Tapi, dalam keadaan tak bernyawa. Ia hanya bisa menangis, dan berdoa pada Allah agar diberikan keadilan serta kekuatan untuk menjalani sisa-sisa hidup bersama buah hatinya. Srimayuliza, anaknya paling kecil bahkan tak sempat mengenal wajah ayahnya. Saat suaminya meninggal, Srimayuliza baru berumur tujuh bulan. *** Itu hanya kenangan. Armiah dan Syamsyiah sudah merelakan, tapi bukan melupakan. “Kami tak punya dendam, itu semua takdir Allah,” ujar Armiah tegar. “Besar sebab daripada mati. Malaikat saja, tidak mau mencabut nyawa apabila tak ada sebab.” Perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, mereka sambut bahagia. Bukan karena ada bantuan dana diyat bagi perempuan yang suaminya meninggal


kisah usai perang

karena konflik. Tapi, karena rasa aman yang telah lama mereka impikan. Tak ada lagi suara tembakan. Setelah damai. Pada Februari 2006, pemerintah mendirikan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), tugasnya adalah memberi dukungan sosial bagi masyarakat yang terimbas konflik. Bagi mantan GAM diberikan bantuan dana pemberdayaan ekonomi. Juga bagi mantan tahanan politik/narapidana politik. Rumah yang pernah dibakar juga dibangun kembali. Dana diyat sebesar Rp 3 juta yang diberikan BRA, mereka sudah mendapatkan 3 kali. Yaitu pada tahun 2003, 2005 dan 2007, sedangkan untuk 2008 belum mereka terima. “Jatah tahun ini, diberikan pada tahun berikutnya. Jatah 2008 akan diberikan pada 2009,” Armiah menjelaskan. Penerimaan pertama tahun 2003, uang mereka dipotong oleh pejabat di kantor kecamatan sebesar Rp 500 ribu. Sekarang tetap juga dipotong, masing-masing Rp 150 ribu. Kabarnya untuk ongkos urus. Selain itu, bantuan beasiswa dari BRA khusus bagi anak korban konflik sudah diterima oleh keempat anaknya, masing-masing Rp 1.800.000 pada tahun 2008, untuk tahun 2009 masih dalam proses. “Kalau bantuan lain belum ada,” ujarnya singkat. Selama ini Armiah mengakui ada beberapa kali orang datang meminta nama anaknya, foto copy KTP dan kartu keluarga, katanya untuk mengurus bantuan korban konflik. Nyatanya nihil, ia ditipu. “Padum goe supoet dicok nan aneuk yatim. Tapi peng jipajoh keudroe (saban hari nama anak yatim dicatut. Tapi, uangnya dimakan sendiri),” Armiah menyesal pernah memberikan data-data tersebut. Pernah juga ia merasa tidak diberlakukan secara adil oleh mantan panglima sagoe GAM di kampungnya. Pasalnya, anak korban konflik yang ayahnya ditembak oleh aparat tiap bulannya mendapat uang dari mereka. Pernah sekali ia mendatangi tempat mereka. “Hai tengku, kenapa anak saya tidak mendapatkan uang bulanan dari GAM?” tanya

5


Kisah Janda Kampung Konflik

6

Armiah saat itu. “Apakah karena ayah anak saya (suaminya) dibunuh oleh GAM?” Dan tau jawaban apa yang didapat. “Ya. Kira-kira begitulah.” Setidaknya jawaban itu membuat hatinya lega. Pasalnya, selama ini ia tak pernah terbuka, siapa sebenarnya yang membunuh suaminya. Lagipula ia tak pernah membedakan, mati karena GAM atau aparat. “Manusia boleh membedakan, di depan Tuhan semua sama. Anak yatim semua disayang. Kita tidak boleh bersedih,” suaranya terbata-taba. “Tidak diberikan oleh mereka (GAM), kita tetap tidak lapar.” Lain dengan Syamsyiah. Anaknya tidak termasuk dalam daftar penerimaan beasiswa untuk anak korban konflik. “Sekdes bilang namanya ada diisi, mungkin di kantor BRA yang lupa,” ujar Syamsyiah mengulang apa yang dikatakan Sekretaris Desa. Sepertinya harapan Syamsyiah akan segera terwujud. Ketua BRA Aceh Utara, Nurdin M.Yasin mengatakan pada tahun 2009, pihaknya akan menyalurkan beasiswa bagi anak yatim-piatu korban konflik Rp 1.800.000 peranak setahun. Jumlahnya sekitar 3.100 anak, sebanyak 27 di antaranya di Kecamatan Nibong, Aceh Utara. “Jumlah dana tersebut sangatlah minim didapatkan mereka, seharusnya pihak pemerintah dapat memberikan bantuan beasiswa tersebut dua kali dalam setahun, apakah dana itu di poskan baik itu melalui BRA, Dinas Sosial atau lembaga lainnya yang penting pemerintah dapat prioritaskan program ini sebagai jangka panjang dan mudahmudahan ke depannya dapat terealisasikan,” ujarnya penuh harap. Selain beasiswa pendidikan anak yatim, pihak BRA Aceh Utara dalam tahun 2009 berkomitmen merealisasikan bantuan dana untuk 2.500 unit rumah dan pemberdayaan ekonomi untuk korban konflik. Sehingga tidak ada terdengar lagi yang tidak menerima bantuan dana untuk korban. Sedangkan dana diyat, pada tahun 2008 BRA Aceh Utara sudah


kisah usai perang

menyalurkan kepada janda korban konflik sebanyak 6.000 jiwa. Pada tahun 2009 pihaknya tetap akan melanjutkan. Bagi Nurdin, yang terpenting pasca perdamaian adalah pemerintah harus benar-benar memperhatikan pendidikan bagi korban konflik. Jika tidak, dikhawatirkan akan timbul dendam dalam diri anak yang ditinggal ayah, meninggal karena konflik. Pengamat Politik Aceh, Zulfikar Abdullah yang pernah aktif di Inter Peace menilai, pemerintah dalam hal ini BRA sudah bekerja maksimal. Terlepas masih ada satu dua korban yang belum mendapat bantuan. “Ini adalah proses. Menjalankan reintegrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan,� ujar lelaki yang biasa disapa Zul. Pembentukan BRA berpedoman pada Inpres nomor 15 tahun 2005, merupakan usaha Pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi mantan GAM dan korban konflik. Menurutnya saat ini, BRA sedang dalam tahap memperbaiki infrastruktur. Belum menyentuh kepada penanganan traumatik yang dialami korban saat konflik. Namun, Zulfikar tetap memberi aplus bagi kinerja BRA dalam menangani korban konflik. Konflik memang sudah usai. Tapi, perjuangan belum berhenti. Harapan Armiah dan Syamsyiah hanya satu. Melanjutkan pendidikan anak-anaknya sampai ke jenjang tertinggi. “Ka tanyoe bangai, bek lah aneuk (sudah kita bodoh, jangan anak lagi),� Armiah tersenyum lebar.***

7



Kipang Gring Made In Pawang Raket Oleh: Ishak Yusuf

Tak seperti biasanya, rumah sederhana dengan dinding papan itu terlihat sepi. Padahal, beberapa hari belakang rumah selalu ramai. Dari pagi hingga sore tetap ada aktifitas yang dilakukan. Semisal mengaduk tepung, memasukkan ke cetakan, sampai menggoreng. Mungkin yang bekerja sedang libur, saat aku menyambangi rumah itu, Juni 2009 lalu. Rumah itu kepunyaan Pawang Raket. Ia memiliki industri rumah tangga, membuat kue. Ada roti kacang, kipang gring, roti manis, payek dan cakar ayam. Usaha ini ia mulai pada April 2008. Pada mulanya ia mendapat hibah modal dari ADeL-Com (Aceh Democratik Labour Community), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal di Kabupaten Bireuen sebesar Rp 12 juta. Uang itu ia gunakan untuk membuat gudang sebagai tempat produksi sebesar Rp 7 Juta, sisanya digunakan untuk membeli peralatan, seperti kuali besar, dandang, cetakan kue juga bahan baku tepung, gula dan sebagainya. Setelah semua rampung, mulailah ia menggeluti profesi sebagai pembuat kue.


Kipang Gring Made In Pawang Raket

10

Selain itu ia juga menambah modal sendiri sebesar Rp 4 Juta untuk menyewa rumah yang kini telah mampu ia beli. Uang itu ia dapatkan setelah menjual foto-foto pribadinya ke wartawan internasional dan membuat kalender yang menampilkan gambarnya. “Setelah perdamaian, ada wartawan dari Amerika dan Jepang menelepon saya, meminta izin memuat foto saya di koran mereka,” kisah Pawang Raket. Karena fotonya dimuat di koran internasional, ia dibayar oleh media tersebut. Ia tak menyebutkan berapa dibayar. Namun, ini menjadi ide sendiri bagi Pawang. “Gob foto tanyoe dipubloe (orang lain menjual foto kita),” kata Pawang. Kemudian ia memutar otak, bagaimana cara mendapat modal untuk membuka usaha. Akhirnya ia bersama temanya membuat kalender yang menampilkan gambar-gambarnya dan dijual kepada masyarakat umum. Kalendernya laku keras, sekitar 1000 eks habis terjual, jumlah masukan dari sana sebesar Rp 7 juta. “Hasil penjualan kalender inilah saya jadikan modal tambahan,” ceritanya lagi. Setelah menjalani usaha selama 5 bulan, ia berhasil meraup untung Rp 175 juta. Uang sebanyak itu tentu bukan laba bersih. Karena harus dibagi dua dengan pihak donatur, yaitu ADeL-Com, ia juga harus menggaji karyawannya sebanyak 15 orang. Semua yang dipekerjakan adalah penduduk Desa Seuleumah, Bireuen. Pada umumnya mereka adalah perempuan-perempuan janda. “Lelaki tidak saya pakai,” ujar Pawang tegas. “Tujuan usaha ini untuk membantu masyarakat. Membina mereka yang kehidupannya kurang mampu,” ia menjelaskan. Manajemen yang diterapkan oleh Pawang Raket tertata rapi, ia membagikan pekerja perkelompok. Misalnya 10 orang jurusan roti manis, 10 orang jurusan kipang gring, 10 orang membuat permen. Dan bidang lainnya.


kisah usai perang

Satu hari, usahanya menghasilkan 1.000 pak roti. Dalam satu minggu 3 kali datang mobil mengambil barang untuk dipasarkan. Tak tanggungtanggung, roti dan kipang gring buatan Pawang Raket menembus hampir semua pasar di Aceh. Kawasan Takengon dan Bireuen sudah sangat familiar dengan roti yang diberi nama “BAROE” itu. Karyawannya tidak digaji perbulan. Tapi, dalam setiap bungkusan mereka mendapat 10 persen dan tergantung berapa banyak yang mampu mereka selesaikan dalam sehari. Sedangkan harga roti dijual ke pasaran Rp 1.000 per biji. Karena usahanya semakin berkembang, Pawang merasa perlu memperluas gudang tempat produksi. Ruangan sebesar 15 x 7 meter baru siap disemen, atap daun rumbia, dinding tak dipagari sampai ke atas. Dibiarkan saja terbuka, agar hawa panas saat bekerja tak begitu terasa. Gudang terletak di bagian samping kiri rumah, dindingnya pun menyatu. Itu karena tanah terlalu kecil, sehingga ia harus memaksimalkannya. Pun begitu ia sangat bersyukur, rumah dan tanah itu kini mutlak menjadi miliknya. Padahal dulu, rumah dan tanah itu ia sewa. Membeli rumah murni dari hasil penjualan roti. Dalam menyetir usaha, kendala kerap ia hadapi. Setelah rumah tangganya ‘oleng’ ia dan istrinya sepakat hidup sendiri-sendiri. Akhirnya, modal dari ADeL-Com ia bagi dua. Separuh untuk istrinya dan separuh untuk Pawang. “Setelah diberikan bantuan modal Rp 12 juta, AdeL-Com tak pernah memberikan lagi kepada saya. Saya tidak diperhatikan lagi,” ia mengeluh. Ia tak tahu, kenapa sekarang ia tak pernah diperhatikan oleh ADeLcom. Tapi firasatnya mengatakan, ini ada hubungannya dengan masalah keluarganya. Kejadian ini tak diambil pusing, justru ia bangkit lagi dengan sisa modal yang ada agar usahanya bisa lebih maju. Saat ini ia mengaku, banyak uangnya tersangkut di pasaran. “Di pasar uang saya

11


Kipang Gring Made In Pawang Raket

12

ada Rp 30 juta lebih, tapi belum saya tarik,” katanya. *** Sementara, dalam ruangan di sebuah rumah yang terletak di samping Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen, seorang pria paruh baya sibuk menekan keybord di laptopnya. Pria itu Tgk Nasruddin, Koodinator LSM Lokal ADeL-Com. Lembaga itulah yang memberikan modal kepada Pawang Raket untuk membuka usaha rumah tangga. ADel-Com sendiri berdiri pasca stunami, tujuannya untuk mengembangkan perekonomian mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Program pertama yang mereka lakukan adalah ternak bebek khusus bagi mantan kombatan yang ekonominya rendah. Baru kemudian membina usaha pembuatan roti. “Saat itu kan mantan kombatan ekonominya masih rendah. Kalau sekarang mereka sudah menjadi kontraktor,” kata Tgk Din bernada menyindir. Pada awalnya, ADel-Com mendapat hibah modal usaha dari pengusaha asal Bireuen. Dana tersebut dipakai untuk membeli peralatan penetasan telur dan lampu serta dan telur yang akan ditetaskan. Program ini pertama sekali dilakukan di Desa Blang Rheum, jumlah pekerja saat itu 12 orang. Semuanya adalah mantan kombatan GAM. Caranya sangat sederhana, setelah telur dimasukkan ke dalam tempat penetasan, dalam 5 hari sekali dibalik, agar panasnya merata. Masa pengentasan selama 1 bulan 5 hari. Hasil panen pengentasan telur bebek dibagi dua. Setengah untuk pengelola dan setengahnya untuk ADeLCom, yang akan dimanfaatkan kepada masyarakat lain. “Kita membagikan kepada masyarakat yang kurang mampu dan memiliki kandang. Masing-masing mendapat 10 ekor,” ulasnya.


kisah usai perang

Ini merupakan pengalaman pertama, tidak ada proses administratif. Tgk Din hanya bertekad menjalankan titipan donaturnya. Ia berhasil, buktinya pihak donatur menyatakan salut atas hasil kerjanya. Bahkan, mereka bersedia membantu modal lebih besar. Tahap kedua, program penetasan dilanjutkan ke Desa Tanoh Anoe Kecamatan Bangka, tapi tidak lagi bagi mantan GAM. Khusus bagi masyarakat miskin. Ini juga sukses. Pada tahap ketiga dilakukan di Desa Kuala juga bagi mantan kombatan, namun tahap ini tidak berhasil sebagaimana pada tahap satu dan dua. Tapi, itu tak berlangsung lama. Tak sampai 1 tahun program ternak bebek dihentikan. Kemudian beralih ke program pembuatan roti, ia mendapat modal dari Rizal Frasisco, pengusaha lokal sebesar Rp 12 juta. Modal itulah yang diberikan kepada Pawang Raket untuk membuka usaha pembuatan roti, yang sampai sekarang berkembang pesat. Karena program-program yang ia lakukan berjalan sesuai perencanaan, akhirnya ia dilirik oleh sebuah NGO Internasioanal, JICA asal Jepang bersedia membantu untuk mengembangkan usaha pembuatan roti. Pada tahap pertama kontrak diberikan Rp 300 juta selanjutnya ditambah Rp 100 juta. Saat ini ADeL-Com tetap membina usaha pembuatan roti yang digawangi oleh Pawang Raket. Usaha ini bukan hanya bermanfaat bagi Pawang, tetapi juga bagi masyarakat sekitar. Setidaknya mereka bisa bekerja di sana. Seperti Aini, perempuan berusia 22 tahun ini sangat bersyukur ada usaha-usaha masyarakat seperti ini. “Sangat membantu, daripada tidak ada pekerjaan, lebih baik bekerja di sini, juga bisa bekerja setengah hari,� ujar Aini. Biasanya ia masuk dari pukul delapan pagi, siang istirahat, masuk lagi pukul dua siang dan berhenti pukul empat sore. Penghasilan dari bekerja di situ cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan itu hanya sebagai sampingan, apabila tak ada kegiatan di rumah. Sehingga tak ada waktu yang terbuang sia-sia.

13


Kipang Gring Made In Pawang Raket

14

“Saya sangat senang ada masyarakat yang membuka usaha sendiri. Setidaknya, apabila kita perlu sesuatu tak perlu lagi membeli keluar. Dan juga ekonomi bisa menjadi lebih maju,” ujar Aini. Di Desa Seulemah, industri rumah tangga semakin terlihat. Ada pabrik batu bata, usaha menjahit, pembuatan kue, usaha perabot dan beberapa industri rumah tangga lainnya. *** Pawang Raket telah menjadi ikon di sana. Dia lahir Maret 1973 di Desa Seulemah, Kabupaten Bireuen. Nama aslinya Ramli Yahya. Namun, setelah bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka namanya menjadi Pawang Raket, tak ada sejarah dengan nama samaran itu. Uniknya, nama Pawang Raket sudah mendunia. Bagaimana tidak, setelah Pemerintah Republik Indonesia sepakat berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka, pada 15 Agustus 2005, gambar-gambarnya saat memanggul senjata AK-47 tersebar luas sampai ke Amerika dan Eropa. Adalah wartawan dari Jepang yang mempublish ke dunia. “Foto saya dijual, diberi nama ‘rambo Aceh’ alias Pawang Raket,” kisah Ramli sambil menunjukan fotonya saat memakai seragam militer GAM yang dipajang di dinding. Di organisasi GAM, ia dipercaya sebagai koordinator lapangan wilayah Jaba. Keahliannya, mampu merakit senjata. Pengalaman merantau ke Thailand membuat ia mahir di bidang itu. Jenis senjata yang bisa ia rakit antara lain, GLM, Pistol, Colt, dan Double Lux. “Keahlian saya hanya dua, pertama membuat roti dan membuat senjata,” ujarnya bercanda. Di dinding rumah, foto-foto saat masih berstatus anggota GAM terpampang. Semua itu dibingkai rapi. Melihat Ramli dalam balutan seragam militer sangat jauh berbeda dengan sekarang. Wajahnya sangar,


kisah usai perang

sorotan matanya tajam sambil mengangkat AK-47. Satu lagi, kain merah melilit kepalanya dengan rambut gondrong sebahu. Tapi itu hanya kenangan. Perdamaian telah merubah jalan hidupnya. Dulu melalui tangannya dapat menghasil senjata, tapi kini sentuhan itu menghasilkan kipang gring. ***

15



Kala Partai Masuk Kampus Oleh: Meriyadi HS

Spanduk itu membentang luas dan membelah jalan T Nyak Arif, Banda Aceh, hingga ke lingkungan dua kampus, Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. Pesta demokrasi lima tahun sekali sesaat lagi. Pemandangan itu kurang menarik, merusak dan mengganggu pemandangan para pengguna jalan. Pasalnya, kerap spanduk di median jalan menghambat penglihatan. Seorang mahasiswi sempat gusar garagaranya. Gusarnya bertambah saat melihat spanduk itu berasal dari partai politik yang dibenci oleh kaum minoritas kampus. Benci Risna, mahasiswi itu beralasan. Banyak kalangan mahasiswa yang dianggap ikut berpolitik praktis, padahal seharusnya mahasiswa menjadi pengontrol terhadap pemerintahan dan negaranya. “Dalam Undang Undang Nomor 10 tahun 2008 pasal 84 ayat 1 disebutkan, bahwasanya pelarangan terhadap pelaksana, peserta dan petugas kampaye untuk memasang atribut kampaye di tempat-tempat ibadah, institusi pemerintahan dan tempat pendidikan. Tetapi itu tetap saja tidak digubris oleh para caleg mahasiswa yang mengikuti kompetisi


Kala Partai Masuk Kampus

18

lima tahunan tersebut,” kata Risna. Amrizal J Prang, pemerhati politik mengatakan bahwa KPU telah melarang para caleg untuk mengkampanyekan dirinya di instansi pendidikan. Ketidak-disiplinan mereka yang melanggar peraturan tersebut telah membuat para konstituen miris dan sedikit kesal kepada para calon legislator. “Ya, seperti kita ketahui, saat ini juga masih banyak caleg ataupun bendera partai yang menyebar di kampus dan instansi pendidikan lainnya, seperti di Darussalam.” Ketika ditanya kepada para caleg yang memasang spanduknya di tempat larangan, mereka diam. ”Itu kan tugas dari tim sukses saya, mungkin saja mereka yang tidak mengetahui tempat mana yang menjadi larangan untuk naiknya spanduk ataupun tidak bolehnya,” ungkap salah seorang caleg yang menolak namanya ditulis. Mujiburrahman, Presiden Mahasiswa Unsyiah mengatakan boleh saja mahasiswa berpartai politik, selama ia bisa berperilaku profesional, tidak membawa partai politik ke kampus dan menjadi mahasiswa sejati ketika di kampus. Hal senada juga diungkapkan Yanwar Fakhri, mantan Wakil Presiden Unsyiah. Menurutnya mahasiswa mempunyai dua buah fungsi sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di kampus dan sebagai masyarakat biasa, karena fungsi sebagai masyarakat mahasiswa mempunyai hak berpolitik dan masuk ke partai politik tertentu berdasarkan keinginannya. ”Ini tercantum dalam UUD 1945, bahwa setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berorganisasi,” ujarnya. Pendapat kedua tokoh mahasiswa yang berasal dari ADK (Aktivis Dakwah Kampus) dimentahkan oleh Fauzan Febriansyah, Ketua Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK). Menurutnya, mahasiswa berpolitik praktis atau terlibat dalam partai politik ini sangat bertentangan dengan konsep-konsep ideal mahasiswa sebagai agent of change dan sebagai agent of social control.


kisah usai perang

“Bagaimana mahasiswa di sebut agent of change atau agent of social control, tetapi dia juga seorang kader partai, tentu apapun ceritanya yang dikedepankan adalah tujuan partai bukan lagi perjuangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat maupun mahasiswa. Hal ini terjadi karena independensi, idealisme, dan kenetralan mahasiswa sudah hilang,” ujarnya. Febrian

mempertanyakan idealisme mereka yang tenggelam ke

politik praktis tersebut. Mahasiswa harus memilih sebagai mahasiswa yang sejati yang bebas dari intrik-intrik partai politik, atau memang harus keluar dari kampus sebagai kader partai. Menurutnya, partai politik perlu masuk kampus, tapi bukan untuk menjaring kader. Melainkan untuk bertarung gagasan dan konsep dengan akademisi dan mahasiswa. Hal inilah yang tak pernah terjadi. Kerap partai masuk kampus untuk berkampanye. Zainal Fikri, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh lebih demokratis. Dia mengatakan tidak ada larangan dalam bentuk hukum normatif yang diatur oleh negara, bila mahasiswa ingin berpolitik praktis. “Tapi alangkah bijaksananya dan lebih etis jangan dulu masuk ke dalam partai politik jika masih mahasiswa.” “Kalau mahasiswa tidak netral dan tidak bermoral dangan mendukung salah satu partai politik tertentu nanti akan dilecehkan, karena mereka masih menjadi tempat bertanya bagi masyarakat,” ujar Dr Rusli Yusuf, Pembantu Rektor III Unversitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dia menambahkan, hal ini untuk netralitas dan indenpenden lebih terjaga. Mahasiswa harus melihat suatu persoalan dengan mengunakan pedekatan perspektif keilmuan, nilai kebenaran, moral, data empiris, dan secara keseluruhan. Juga, tidak memihak pada golongan dan ideologi tertentu. “Makanya aktifitas partai politik di kampus haram.” Dosen senior itu menerangkan, secara normatif tidak boleh satupun

19


Kala Partai Masuk Kampus

20

lembaga kampus diboncengi oleh partai politik. Namun, secara logika umum pasti ada partai politik yang mengembangkan ideologi kepada mahasiswa, karena mahasiswa kadang diibaratkan sebagai gadis manis dan cantik yang selalu disenangi oleh partai politik. Hal ini dikarenakan mahasiswa sangat pontesial, mahasiswa adalah intelektual muda dan masih energik, punya potensi fisik yang luar biasa, umur masih muda, punya pengalaman interaksi sosial organisasi. Juga lebih bagus dari pemuda lainnya yang bukan mahasiswa. “Membawa nama mahasiswa untuk mendukung partai politik tertentu, itu haram,” tegas Rusli. Penyataan tegas juga dikatakan eberapa aktifis HMI yang dulunya pernah duduk di bangku kuliah. Ridha Ramli, salah satu Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa (KAHMI) Aceh berpendapat mahasiswa harus indenpenden yang berpihak kepada kebenaran. “Namun, tidak boleh buta politik, karena dia calon pemimpin dan tidak boleh terjebak dalam partai politik.” Bagaimana komentar para politisi? Sulaiman Abda, politisi dari Partai Golkar mengatakan bahwa di kampus ada mekanisme peraturannya yang harus disepakati dan patuhi, partai politik tidak boleh membuat pengkaderan di kampus. Azhari Basar dari Partai Gokar mengamininya. Menurutnya, kalau menganut sistem demokrasi, tidak ada satu ruangan pun di Indonesia yang bebas dari pada demokrasi dan partai politik. Hanya saja, ada suatu keputusan yang diambil oleh Menteri Pendidikan Nasional dulunya, semasa Daud Yusuf, bahwa kampus harus bebas dari gerakan politik. Itu merupakan bagian dari keputusan pemerintah pusat. “Kampus harus bebas dari partai politik, tapi kalau pembinaan politik tidak masalah karena untuk pembinaan calon intelektual, mahasiswa tidak boleh buta politik,” ujarnya.


kisah usai perang

T. Nasruddin, mantan Gubenur GAM Wilayah Lhok Tapak Tuan dan juga Politisi Partai Aceh mengatakan kampus harus menjadi lembaga yang betul-betul dianggap netralitasnya terjaga, berilmu dan belum terkotori oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Juga belum terbebabni sejarah. “Mahasiswa dan kaum intelektual muda harus menjadi kekuatan penyeimbang di antara lembaga pemerintah, baik itu parlemen maupun pemerintah daerah.� *** Sekumpulan mahasiswa duduk melingkar di lantai dua Masjid Jamik Unsyiah. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang yang dibagi dalam lima kelompok. Mahasiswa baru itu sedang dibina oleh senior mereka yang rata-rata angkatan 2004. Mereka belajar melafazdkan huruf hijaiyah secara bergantian di dalam kelompok masing-masing. Kegiatan ini adalah pengajian yang diorganisir oleh UP3AI (Unit Pengembangan Program Pendamping Mata Kuliah Agama Islam), sebuah program yang menjadi syarat utama untuk mengambil mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Sistem penilaian program ini ada di tangan senior yang mengasuh mereka. Fauzan, mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2005 yang ditanyai tanggapannya tentang program ini mengatakan, LDK (Lembaga Dakwah Kampus) dan UP3AI secara tujuan dan misi visinya sangat bagus. Artinya ada sebuah gerakan dakwah di kampus, yang dibentuk dengan SK Rektor dengan tujuan agar semua mahasiswa melek Alquran. “Ini tujuannya sangat baik. Sayangnya sebuah nilai baik, tidak dibarengi dengan tindakan baik.� Fauzan mensinyalir ada kepentingan politik yang dibawa oleh mereka. Menurutnya, LDK dan UP3AI harus punya tujuan sebagai gerakan dakwah, bukan berdakwah untuk menarik kader ke partai

21


Kala Partai Masuk Kampus

22

politik tertentu. Rahasia umum, Direktur UP3AI pernah menjadi calon Bupati Aceh Besar pada tahun 2006 yang didukung oleh sebuah partai nasional. Tentunya, agenda seperti ini sulit dipisahkan ketika harus memimpin sebuah lembaga di kampus. “Mengantipati partai politik masuk kampus, pihak rektorat harus mempunyai sikap yang tegas, rektorat harus mengajak duduk semua elemen-elemen mahasiswa,” ujarnya. TAF. Haikal, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan mengatakan, sudah ada partai politi masuk baik di intenal maupun ekstenal kampus. “Ini sudah terlihat dan secara kasat mata sudah menjadi rahasia umum,” ujarnya. Menurut mantan Calon Legislator (caleg) dari Partai Amanat Nasional ini, adanya partai politik melakukan pendekatan melalui media dakwah, sebenarnya tidak masalah, ini pilihan-pilihan bagaimana partai politik membangun konstituennya. Tapi, kemudian klaim-klaiman yang menjadi perpecahan dan dikotomi kalangan mahasiswa dalam mengasah lingkungan sosial masyarakat itu, kemudian menjadi pertanyaan besar. “Apakah kemudian ini yang diharapkan?” Dia lebih setuju jika kalangan mahasiswa tidak ikut berpolitik praktis saat belajar. “Sesudah tamah kuliah, silahkan masuk ke mana saja.” Muslem Hasan Birga, mantan Pengurus Besar (PB HMI) juga mengusulkan program pendampingan mata kuliah agama harus dikelola secara indenpenden. Artinya yang berhubungan dengan akademik harus dikelola langsung oleh pihak kampus atau dosen, karna pengajian di UP3AI atau mentoring menjadi persyaratan untuk mengambil mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Hal ini perlu diantisipasi agar lembaga UP3AI ini terhindar dari fitnah yang beredar, bahwa ada partai politik mengambil ranah akademik melalui program mata kuliah agama. Menurut Muslem, isu partai politik masuk ke kampus dimulai tahun 1999 setelah berdirinya PK (Partai Keadilan) yang dideklarasikan


kisah usai perang

oleh para ADK (Aktifis Dakwah Kampus). Katanya, pernah dulunya mentoring di UP3AI diliburkan, karena kampanye partai politik PK. Hampir semua pengelola mentoring adalah kader partai itu. Hal-hal yang menjustifikasi bahwa ADK adalah kader suatu partai dibantah tegas oleh Muttaqim, Ketua UKM FOSMA Unsyiah. “Lembaga Dakwah Kampus bukan kader partai Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kita lembaga indenpenden dan tetap fokus pada peningkatan diri dalam pengamalan agama.” Bantahan keras juga datang dari kubu lainnya. ”Mereka yang mengatakan bahwa ADK dan beberapa organisasi eksternal maupun internal kampus menjadi pendukung suatu partai, adalah tidak benar,” ungkap Basrial Efendi, Ketua KAMMI Aceh. Basri menambahkan komunikasi KAMMI dengan partai lebih kepada komunikasi simbiosis mutulisme. Hubungan mereka bukan hanya dengan satu partai atau partai berazas islam saja. ”Mahasiswa pada hari ini berpikir independen tapi tidak rasional, karena perjuangan kita hari ini tidak mungkin sendiri. Saya pikir mahasiswa harus membangun kumunikasi dengan partai politik, akademisi, masyarakat, media atau elemen-elemen lainnya.” ”Hanya saja kadangkala ini agak sulit, partai politik minta feed-back nya dari kita dan ini perlu disiasati,” tambahnya. Gufron Zainal Abidin, Ketua DPD PKS Aceh mengatakan aktifis dakwah kampus bukan kader partainya. ”Saya sendiri aktifis PII, tapi menjadi orang PKS. Adek mahasiswa di kampus beraktifitas terbebas dari intitusi partai politik PKS, partai ini tidak ada sayap di kampus, saya beratifitas di PKS ketika saya tidak lagi di PII,” ujarnya. Menurutnya, proses kaderisasi PKS terbuka bagi semua kalangan masyarakat selama tidak melanggar undang-undang dan aturan-aturan di PKS. Hanya saja kader partai tidak boleh beraktifitas selama berada di bawah intitusi kampus, tidak boleh membawa partai politiknya di

23


Kala Partai Masuk Kampus

24

kampus. Tetapi kalau berartifitas di luar itu, menjadi hak setiap warga negara. Pihaknya kata Gufron, tidak pernah mempolitisir mahasiswa. Tetapi hanya memberi pendidikan politik bagi siapa pun yang mau. �Mahasiswa tidak boleh buta politik, tapi kader jangan mempolitisir kegiatan di kampus dengan partai politik, walaupun dia simpatisan partai,� tambah Gufron. Sudah menjadi rahasia umum, dua kampus besar di Banda Aceh telah dijangkiti partai politik. Tak hanya mahasiswa yang tahu, bahkan seluruh masyarakat Aceh kerap mendengar hal itu.***


Kisah dari Kilometer Tujuh Oleh: Ratna Sari

Matahari baru sepenggalah, saat anak berseragam sekolah itu menenteng tas di bahunya. Sorot matanya tajam. Sejurus kemudian ia memberi komando untuk seorang bocah yang lebih kecil darinya, agar bersiap-siap duduk di belakang sepeda kesayangannya. Meutia keluar dari rumahnya, mengayuh sepeda menuju sekolahnya yang ada di sebuah kaki bukit. Di sana, dia akan bertemu dengan sejumlah teman-temanya, belajar bersama. Sesekali di tengah perjalanan, Meutia sigap tatkala menjumpai lubang yang menganga di aspal jalan. Itu perkara biasa baginya demi menimba ilmu, menggapai masa depan yang lebih baik. “Jalan jelek tiada masalah, yang penting ilmu. Mamak bilang, masa penjajahan Belanda dulu, susah sekali sekolah. Kalau tak sekolah maka bodoh dan mudah ditipu orang,� kata Meutia awal Juni 2009 lalu. Adiknya kadang meringis menahan sakit saat sepedanya tersandung batu. “Dulu, bukan hanya jalan yang mengganggu, tapi kadang kami harus tengkurap di jalan saat mendengar suara senjata di atas bukit sana.�


Kisah dari Kilometer Tujuh

26

Dewi, adik Mutia pun kemudian semangat setelah dihibur. Semangat sekolah tidak hanya ditunjukkan Meutia. Seorang bocah lainnya, Fadlur (7 tahun) juga sama. Bahkan, ibunda dari Fadlur mengaku kalau setiap jam 5 subuh, anaknya sudah bangun pagi karena khawatir akan terlambat ke sekolah. Malahan, tak jarang ibunya kewalahan menghadapi minat baca anaknya terhadap hal yang baru didengarnya. Pernah ketika Fadlur masih mengecap pendidikan di Taman KanakKanak (TK), bertanya bagaimana mungkin logam besi bisa meluncur dari sebuah bukit yang tak jauh dari kediamannya dan bisa membuat manusia yang tadinya masih tertawa tiba-tiba diam membeku. Rumah Fadlur berada di sebuah kaki bukit, berjarak tujuh kilometer dari pusat jalan raya, lintas Banda Aceh – Medan. Desa yang memiliki banyak bukit ini dikenal dengan Ulee Gle, namun desa ini beruntung karena menjadi ibukota dari Kecamatan Makmur, bagian wilayah Kabupaten Bireuen. Di masa perang, kecamatan ini merupakan wilayah hitam, sebutan yang ditabalkan tentara untuk menandakan wilayah rawan. Perang antara pasukan pemerintah dengan kombatan GAM kerap terjadi di sini dulunya, sebelum damai bersemi di Aceh. Kontak tembak sering terjadi bukan karena wilayah itu banyak kombatan. Tapi umumnya kombatan dari wilayah lain menjadikan daerah ini sebagai idola pencegatan tentara. Maklum, ruang untuk bersembunyi dan pelarian sangat terbuka di kaki bukit sana. “Mantap betul sekolah zaman sekarang, apalagi pelajaran sejarah. Baru belajar teori sudah ada prakteknya,� ujar Ichsan siswa kelas 4 SDN 10 Makmur. Dia ingin berkisah tentang masa konflik. Katanya, dahulu tidak ada sekolah seperti di tempatnya menimba ilmu. Pernah suatu hari, saat Bu Guru Fakriah menjelaskan heroiknya para pejuang yang melawan


kisah usai perang

penjajahan Belanda, tiba-tiba dari bukit belakang sekolah peluru beterbangan. Kontak senjata sedang terjadi. Perang tidak hanya menyisakan kegetiran, luka dan kesedihan bahkan ketakutan yang tak kunjung reda. Namun, juga kisah lucu para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di sana. Sudah menjadi tradisi, jika kejar-kejaran antara dua pihak yang bertikai terjadi dan hasilnya nihil, maka yang akan menjadi sasaran selanjutnya adalah pemuda, tak terkecuali siswa sekolah. Cerita Ichsan, pernah suatu hari usai kontak tembak, para siswa SMA yang baru pulang sekolah disambut sepasukan aparat keamaman. Mereka tak dipukul, tapi disuruh berbaris menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sial, beberapa di antaranya malah tak tahu bait lagu kebangsaan itu. Itu adalah kisah yang menggeletik di sana kala damai belum datang. Kesepakatan damai yang ditandatangani di Helsinki, 15 Agustus 2005 silam, membawa hawa sejuknya ke Ulee Gle. Ismail, salah seorang warga mengatakan pasca konflik, masyarakat di sana sudah leluasa bepergian. Sawah miliknya yang dulu kerap ditinggalkan saat ada letusan senjata, kini sudah digarap lagi. “Kami sudah bebas mau pergi kemana saja. Mau ke gunung, mau ke sawah, tidak ada rasa takut lagi,� katanya sambil tersenyum. “Bahkan sekarang lega rasanya bisa melihat anak-anak sekolah tanpa ada ketakutan dan rasa khawatir jika mereka sedang berada di sekolah,� sambung Ismail. *** Abdul Majid, Kepala Sekolah SDN 10 Makmur, sibuk menulis di papan tulis dengan kapur putih. Dia sedang mengajar anak didiknya. Pandangannya berpendar ke seluruh ruangan kelas, menggebu ia

27


Kisah dari Kilometer Tujuh

28

berbicara tentang rumus-rumus matematika. Sesekali ia berpaling dari satu siswa ke siswa lainnya, mengayunkan badan dan bermain-main dengan 10 jemarinya. Mengajarkan cara mudah untuk hapal perkalian tanpa perlu mengandalkan kalkulator. Ia lelah mengajar. Seharusnya kepala sekolah tidak mendapat tugas mengajar, namun Abdul dengan ihklas mengantikan posisi guru kelas yang sedang berhalangan hadir. “Anak-anak tidak boleh dibiarkan tidak belajar hanya karena guru tidak datang. Membiarkan mereka bermainmain saat jam kelas sama saja artinya dengan membuat mereka terlantar masa depannya,� ujarnya. Sesekali lelaki tua berusia 50 tahun itu mengelap keringatnya dengan saputangan kecil. Ia terus mengasah kemampuan anak didiknya. Sementara siswa berebutan mencari perhatian sang guru, berharap mereka sudah lihai dalam berhitung. Syahdan, sebelum penandatanganan perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005, suasana belajar tidak seperti sekarang. Menurut Abdul, salah satu ajang yang bisa dimanfaatkan siswa hanyalah momen pada saat menjelang perayaan 17 Agustus. Seperti lomba cerdas cermat, apabila berhasil menjadi juara tingkat kecamatan maka akan mendapat kehormatan mengadu kecerdasan di Kota Lhokseumawe, tingkat kabupaten. SDN 10 sudah terkenal menjadi pemegang piala bergilir. Tidak hanya itu, lomba sepakbola, upacara bendera, paduan suara, gerak jalan hingga lomba panjat pinang semuanya tak pernah dilewatkan. Karena justru pada saat itulah mereka bisa unjuk gigi, memperlihatkan ke masyarakat bahwa menjadi anak dusun bukan halangan untuk berkarya. *** Sore itu masih terlalu terik. Di bawah pondok beratapkan daun kelapa ia belum beranjak pergi. Matanya masih berkeliaran, sepertinya


kisah usai perang

ia masih mencari sesuatu. Dalam sekejap, suasana di depannya berubah menjadi riuh dengan bocah-bocah yang telah siap lengkap atribut dan seragam kebangsaannya. “Sengaja kita adakan di lapangan ini, karena tempat ini sudah terkenal kenyamanannya. Lagipula anak-anak asli di sini sudah sangat familiar dan akrab dengan tanah lapang yang tempat bermain bagi pemuda di kampung,” ujar pelatih Iskandar, pelatih bola anak-anak SDN 10 Makmur. Team mereka bernama BOCA Junior. Kegiatan ini merupakan salah satu ekstrakurikuler mereka. “Kami tidak mau kalah dengan siswa-siswa perempuan lain yang juga punya kegiatan menari, jadi ingin menang juga seperti mereka,” ujar Ihcsan penuh semangat. Ternyata selain hobi, bisa berjalan-jalan mengunjungi sekolahsekolah lain di luar sana membuat mereka ketagihan berlatih sepakbola. Awalnya karena 20 anak-anak ini iri melihat kawan-kawannya bisa tampil di ajang perlombaan tarian antar sekolah di kabupaten bahkan provinsi. Cerita tentang sekolah-sekolah di luar dan gaya anak kota bersekolah menimbulkan keinginan kuat, agar suatu saat giliran mereka yang bisa berkunjung ke sana. Tidak sia-sia, karena ternyata ketekunan mereka mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. BOCA Junior yang baru berumur seusia jagung telah berhasil mematahkan semangat lawan. Ternyata mereka punya semangat tempur tinggi. Pernah menang 2 kali ketika bertanding di Matang Geulumpang Dua dengan skor 8-0 membuat mereka berpuas diri. Team yang dikalahkan juga menyimpan demdam karena mati kutu di tangan pasukan dari gunung Ulee Gle. “Anak-anak kota tidak terbiasa main di tanah becek bekas hujan, makanya mereka kalah,” ujar Ghifari sambil tersenyum memamerkan giginya. Berniat untuk membalas kekalahan tempo hari berujung pada malu yang sangat. Bagaimana tidak, anak-anak borjuis itu tidak tahan dengan kondisi alami lapangan yang apa adanya. Kondisi lapangan yang

29


Kisah dari Kilometer Tujuh

30

nyaman, kering dan bersih membuat team itu kalah total. “Bagaimana mau menang, lagi menggiring bola malah sibuk menghindar dari lumpur lapangan,” ungkap Zuheng sambil tertawa geli mengenang pertandingan tempo hari. Sang pelatih mengawasi setiap gerakan gesit dari kedua puluh anak bimbingannya. Jarinya lekat di ujung peluit. “Saya tidak mendapat pendidikan khusus, hanya pengalaman yang membuat saya berani mengajar anak-anak ini,” ujar Iskandar. Sekarang anak-anak berlatih sudah tenang, beda dengan masa konflik dulu. Orang tua mereka pun sudah mengizinkan anak-anaknya berlama-lama di lapangan. Trauma pasti ada, tapi hal itu tidak mampu mengalahkan keinginan generasi muda itu untuk terus menjadi lebih baik. Meskipun belum jelas alasan mereka ikut ektrakurikuler yang dibuat sekolahnya, namun mendengar celoteh bocah-bocah itu membuat siapapun akan tersenyum geli. “Di TV ada iklan internet masuk desa, nanti siapa tau kalau kami menang bisa masuk internet. Siapa tahu saat sedang bermain bola, ada orang RCTI yang menonton kami dan bisa masuk TV seperti iklan yang mengacungkan jempol itu,” kata Ichsan dengan lugunya. Matahari kini telah meninggalkan sisa-sisa senja merah di ufuk barat yang mulai tenggelam. Kini Ulee Gle juga telah meninggalkan masa kelam. Senjata tak lagi meyalak di sana. Anak-anak sekolah pun semakin berbinar bahagia menatap masa depan yang lebih baik. Berharap damai abadi.***


Terpangkasnya Uang Janda Oleh : Alfahmizar

Belum lagi trauma konflik bersenjata usai, para janda yang mendapat bantuan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) harus mengurut dada, berhadapan dengan kenyataan pemotongan dana diyat. Di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, hal itu juga terjadi. “Kami hanya bisa pasrah. Jika menolak pemotongan takut tidak diperhatikan proses pengurusan oleh aparat desa,� kata Ratnawati kepada saya, awal Juni 2009 lalu. Ratnawati adalah salah satu 5 orang janda penerima bantuan diyat sebesar Rp 3 juta per tahun di desa itu. Dia menjadi janda karena Safwan, suaminya meninggal di penghujung masa darurat militer berlaku di Aceh. Mayat suaminya tak jelas rimba sampai sekarang. Ketika saya menemuinya, Ratnawati sedang menjaga kedai kecil miliknya, ditemani Yusna, tetangga yang juga kehilangan salah seorang anaknya. Mereka senasib, warga yang ikut menderita akibat perang selama kurang dari tigapuluh tahun di Aceh. Pengakuan Ratna, sebelumnya mereka tidak tahu tentang ada


Terpangkasnya Uang Janda

32

bantuan bagi korban konflik dari pemerintah. Sampai akhirnya salah seorang perangkat desa datang mendaftar nama dan meminta mereka membuat surat permohonan lengkap dibubuhi materai. Bahkan, sampai sekarang buku rekening pengambilan uang di bank juga tidak diberikan kepada mereka. “Disimpan mereka (aparat desa). Katanya, takut hilang kalau kami yang bawa,” kata Ratnawati tentang kejelasan rekening tersebut. Menurut penuturan kedua perempuan itu, oknum aparat desa yang dimaksud aktif mendata para korban konflik penerima bantuan. Dia juga ikut pergi ke bank bersama para korban waktu penarikan uang. “Setelah mengambil uang di bank, jumlah yang kami bawa pulang tak pernah utuh satu kalipun, padahal waktu itu kami sangat membutuhkan uang tersebut sebagai tambahan modal usaha dagangan demi menghidupi keluarga,” kata Ratnawati. Besarnya pemotongan bervariasi. Saat penarikan pertama dan kedua, mereka hanya diberikan Rp 900 ribu, tetapi pada tahap penarikan ketiga mereka hanya mendapatkan Rp 500 ribu. Dengan alasan, uang pemotongan tersebut akan dibagikan kepada kombatan GAM dan aparat TNI. “Jangan bilang-bilang kalau ditanya,” kata Ratnawati menirukan ucapan oknum tersebut. Jika korban menolak permintaannya, jangan harap akan didaftar kembali sebagai penerima bantuan. Nasib serupa juga dialami Salifah. Dia seharusnya berhak menerima dana diyat atas kematian suaminya. “Oknum aparat desa malah meminta uang bantuan diyat agar dibagi dua. Begitu tega dia bertindak seperti itu padahal saya saat ini tak punya apa-apa lagi,” jelas Ratnawati. Surat rekomendasi dari aparat desa sangat penting bagi korban konflik karena pengurus BRA tidak akan menidaklanjuti permohonan bantuan jika tidak ada nama mereka dalam rekomendasi. Akhirnya,


kisah usai perang

aparat desa sangat berkuasa dalam menentukan siapa-siapa yang berhak atau tidak berhak sebagai penerima bantuan tersebut. “Kalau adik ketemu aparat desa itu, jangan sebut-sebut nama kami. Bilang saja dari warga desa. Kami takut kelak bermasalah. Cukuplah hanya konflik yang membuat kami sengsara,” pinta Ratnawati kepada saya. “Kenapa tidak lapor ke pihak berwajib saja soal pemotongan itu?” tanya saya. “Kami takut masalahnya akan panjang. Lagipula kami (korban konflik) juga gak punya pengetahuan apapun untuk melakukan pengaduan ke sana kemari,” kata Ratnawati. Pihak BRA Aceh Besar sebetulnya sudah menjelaskan bahwa bantuan harus diterima utuh oleh korban konflik. Faktanya, masih saja ada laporan pemotongan bantuan oleh aparat desa atau kecamatan. “Saya juga mendengar laporan itu (pemotongan bantuan). Malah ada laporan oknum staf BRA ikut menikmati bantuan korban,” kata Fuad Hasan, Ketua Bagian Humas BRA Aceh Besar kepada saya. Pengakuannya, pihak BRA sudah mencoba telusuri siapa orangnya yang bermain dalam pemotongan dana untuk korban tersebut. ”Tetapi si pelapor tidak ingat persis siapa oknum itu,” kata Fuad. Syarifah, relawan LSM perempuan di Banda Aceh mengatakan juga menemukan hal serupa di Desa Lambadak, Aceh Besar. Setidaknya ada 10 nama warga desa tersebut yang menerima dana diyat, juga dipotong oleh oknum aparat desa setempat. “Sebetulnya warga tidak menerima haknya yang hanya sedikit dipotong, karena bantuan itu merupakan dana tambahan dalam bertahan hidup paska damai. Tapi mereka tidak dapat berbuat banyak karena khawatir pihak desa mempersulit pengurusan administrasi terhadap bantuan lainnya,” kata Syarifah. Berbagai macam alasan dilontarkan petugas pemerintah untuk

33


Terpangkasnya Uang Janda

34

memotong dana diyat. Di Aceh Timur, misalnya, juga ditemukan pemotongan dana yang dilakukan oleh tim verifikasi dana BRA. Tim ini dibentuk BRA untuk mengecek kebenaran kriteria korban berdasarkan surat rekomendasi kepala desa. �Namun, tim ini juga ikut-ikutan menikmati hasil pemotongan itu,� kata Syarifah. ***


Balada Mantan Kombatan Oleh : Cut Tiara Utami Putri

Sebuah toko dua lantai terletak di jalan Teungku Imuem Lueng Bata, tak jauh dari Simpang Surabaya, Banda Aceh. Bangunan itu bercat biru dan putih, kanopi dipasang 7 meter menjorok ke depan, di bagian atasnya sebuah pamflet bertuliskan ‘Mahkota Steel’. Tempat itu merupakan bengkel pembuatan pagar, kanopi, tangga, dan rak. Seorang pekerja di sana bernama Saree. Nama yang sama dengan sebuah tempat di kaki Gunung Seulawah. Ini hanya nama alias yang disandangnya sejak tahun 2000, didapat semasa menjadi gerilyawan dulu. Biasa untuk menyembunyikan identitas. Lelaki kelahiran Cot Keutapang, 1 Januari 1982 lalu, bernama asli M. Nasir. Bergabung dengan GAM tanpa paksaan dari orang lain, melihat teman-teman sebaya banyak yang ikut, akhirnya ia putuskan untuk ‘naik gunung’. “Perasaan saya senang, tidak ada yang perlu kita takuti. Kecuali kita tidak tahu di mana posisi mereka (musuh),” kata Nasir mengisahkan pengalamannya. Bergabung, tak lantas hidup selamanya di hutan. Ia diberikan pangkat


Balada Mantan Kombatan

36

sebagai Pang Cut, ketua untuk tingkat kampung. Meskipun GAM, harihari ia tetap bersinggungan dengan aparat. Tapi mereka tidak menyangka kalau ia adalah ‘awak nanggroe’. “Dulu saya pernah ditanyakan oleh aparat di mana Saree? Saya bilang tidak kenal, padahal Saree itu adalah saya,” katanya tersenyum. Belakangan identitasnya bocor oleh seseorang yang pada masa itu dianggap ‘cuak’ (mata-mata). Ia menjadi buronan aparat, untuk menghindar dari TNI ia pergi ke Medan. Lima bulan hidup tak ada pekerjaan. Hingga kemudian seorang saudaranya memberikan pekerjaan berupa menjual mainan anak-anak. Tak lama di Medan, dia berangkat ke Dumai, kota kecil di Provinsi Riau. Cukup banyak anggota kombatan yang dapat ia temui di sana. Kurang lebih 87 orang tergabung saat itu di bawah komando Teungku Muda. Setelah perdamaian 15 Agustu 2005 silam, dia memutuskan untuk pulang ke Aceh. Kerinduan berada di tengah keluarga dan merasakan hangatnya kasih sayang mereka yang begitu kuat, mengembalikan dia ke tanah Serambi Mekkah. Tapi kemudian, semakin lama perdamaian, semakin membuatnya risau ketika harus menerima kenyataan kawan-kawannya yang semakin terasa jauh. “Dulu selalu bersama-sama, kini kawan-kawan yang telah kaya tidak mengenal kita lagi,” ungkapnya. Dia memilih Banda Aceh untuk bekerja. Kini, dia mendapat pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan sekitar Rp 1,2 juta perbulan. Saree berharap uang tersebut bisa dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk akhirnya kembali dapat menjadi modal awal untuk membuka usaha atas namanya sendiri. Sebagai eks kombatan, pria yang berkulit sawo matang dan kurus ini, mengaku tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Hanya Komite Peralihan Aceh (KPA) yang pernah membantu. Itupun bukan


kisah usai perang

untuk dia sendiri, melainkan uang yang harus dibagi sama rata dengan anggota eks kombatan lainnya yang berada di desa yang sama. Bahkan, sempat pula ia menyisihkan uang bantuan tersebut kepada anggota keluarga eks kombatan yang kehilangan nyawa akibat konflik. *** Berkulit hitam dengan rambut cepak, sandal swallow tersemat di telapak kakinya, kaus biru membungkus tubuhnya dipadukan dengan jeans berwarna coklat. Dialah Iskandar M Ali, seorang eks kombatan yang kini bekerja sebagai kuli bangunan. Diakuinya bahwa ia pernah menerima bantuan dari BRA sebesar 10 juta pada tahun 2006. Tapi uang bantuan tersebut melayang entah kemana. Tak ada sebuah usaha atas namanya kini berdiri. Ayah dari seorang anak yang berusia 3,5 tahun ini, berkeinginan untuk membuka sebuah usaha kilang padi. Dana tetap menjadi kendala. “Untuk usaha sendiri tidak ada modal,� ungkapnya. Kisahnya di hutan menegangkan. Satu yang paling diingatnya adalah ketika disergap oleh aparat, awal Desember 2001, di Desa Menasah Dayah, Bireuen. Saat kepergok dengan aparat, dia bersama kawannya melarikan diri. Tapi kemudian sebutir timah panas mengenai kakinya, dia tertangkap. Sementara satu orang kawannya berhasil melarikan diri dengan bom rakitan. Dia sempat ditembak Lelaki kelahiran 14 November 1984 ini kemudian pingsan. Saat sadar, Iskandar sudah berada di rumah sakit. Itupun langsung disambut dengan interogasi dari aparat, tapi dia harus berbohong, dengan mengatakan bahwa ia diancam untuk menemani anggota kombatan mengambil bom di suatu tempat. Aparat pun percaya. Lagi pun apa yang dapat diperbuat pada orang yang telah kesakitan itu. Biaya pengobatan semuanya ditanggung sendiri, habis sekitar Rp 35

37


Balada Mantan Kombatan

38

juta, didapat dari menjual lembu kesayangan dan beberapa petak tanah milik keluarganya. “Kisah itu menjadi pengalaman yang cukup berharga untuk dikenang.� *** Banyak eks kombatan yang kini hidup belum berkecukupan. Pengamat politik, Aryos Nivada mengatakan bahwa proses reintegrasi yang berjalan belum maksimal. Karena masih terparsialkan beberapa agenda. Yang kaya terus bisa menikmati bantuan, sedangkan yang miskin makin terpinggirkan. Hal itu bisa karena pengaruh rekruitmen data atau kesalahan sistem. Namun, hal ini tidak bisa dibiarkan berkelanjutan karena dapat memicu tingkat kriminal. Hak-hak dasar rakyat yang tidak terpenuhi oleh Pemerintah Indonesia mendorong rakyat mengambil langkah cepat tanpa pikir panjang. “Karena urusan perut yang harus terisi (terpenuhi), sehingga dapat mengakibatkan rakyat melakukan kegiatan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas.� Menurutnya, reintegrasi yang menjadi tanggung jawab Badan Reintegrasi

Aceh

(BRA)

hanya

mengarah

kepada

program

pemberdayaan ekonomi saja. Intinya BRA tidak memiliki sebuah konsep terpadu, sistematis dalam manajemennya, serta operasionalnya dalam menyelesaikan mandatnya seperti yang tertuang di klausul MoU Helsinki poin 3.2 reintegrasi dalam masyarakat. Pada kenyataannya, kata Aryos, perdamaian yang telah terukir di tanah rencong belumlah dirasakan manfaatnya secara keseluruhan oleh golongan korban konflik serta eks kombatan GAM. Terdapat beberapa kesepakatan yang belum terakomodir antara lain belum adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh yang jelas-jelas dimaktub di dalam klausul MoU Helsinki dan kemudian juga Undang Undang


kisah usai perang

nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di lain pihak, kriminalitas juga meningkat di Aceh secara signifikan. Berdasarkan data dari KontraS Aceh tahun 2007, ditemukan sedikitnya 219 kasus tindak kekerasan dengan jumlah korban 397 orang. Kekerasan ini dilakukan oleh berbagai pihak yang diduga memiliki keterkaitan sejarah sebagai aktor konflik kekerasan di masa lalu. Masih tercatat dalam data KontraS Aceh, sedikitnya terjadi 38 kali pembongkaran kuburan korban konflik oleh keluarga korban orang hilang tanpa keterlibatan serius aparatur negara, serta sepanjang tahun 2005 hingga Juli 2008 terjadi sekurang-kurangnya 24 kali aksi demonstrasi korban konflik yang menuntut agar hak-haknya dipenuhi negara. Hal tersebut, secara tidak langsung turut mendorong transformasi para eks kombatan ini menjadi pelaku kriminalitas karena didesak oleh kebutuhan ekonomi di satu sisi. Di sisi lain adalah, masih banyaknya senjata-senjata sisa konflik yang beredar di masyarakat yang belum diserahkan ke pihak yang berwajib. Disinyalir karena masih adanya kekhawatiran akan gagalnya proses perdamaian. Menurut Aryos, minimnya lifeskill rata-rata eks kombatan dalam bersaing di bidang ekonomi, secara tidak langsung akan membuat mereka susah dalam persaingan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Dia berharap, BRA nantinya dapat membuat lebih baik dengan memperhatikan korban konflik. Secara politik, sebagian reintegrasi telah terlaksana. Dapat dibuktikan dengan berdirinya partai lokal. Walaupun perubahan tidak signifikan dalam artian belum terakomodir dengan baik. “Berhasil memang belum, tapi setidaknya telah lebih baik,� tutur Aryos. ***

39



Harapan Usai Perang Oleh : Ade Haryandi

“Bakso… bakso… bakso ayam, juga bakso tahu. Bakso… bakso,” begitulah saban hari syair yang dilantunkan Arif dengan becaknya keliling kampung. Suaranya keras, untuk menarik perhatian pembeli. Pedagang Mie Bakso keliling, begitulah profesi yang disandang lelaki 49 tahun ini. Bernama lengkap Arif Surahman, aktivitas itu dilalui dengan berbagai suka dan dukanya di Nagan Raya. Tentu baginya mengenang lalu adalah pelajaran amat beharga. Saat Aceh dilanda konflik, kisah kehidupannya menarik. Pria paruh baya asal Solo, Jawa Tengah ini mengatakan tak mudah mencari peruntungan era konflik di Aceh. Pedagang kecil sepertinya tak luput dari tekanan pihak bertikai. Ancaman bukan hal asing bagi Arif ketika Aceh masih konflik. Kebencian sejumlah warga Aceh bagi kalangan etnis Jawa lah yang membuatnya tak tenteram. Hampir setiap hari pula dia menerima berbagai gunjingan dari masyarakat. Bahwa suku Jawa kerap menjadi mata-mata tentara.


Harapan Usai Perang

42

Wajar saja jika kemudian dendam etnis itu membara di kalangan masyarakat. Tak ayal, masyarakat etnis Jawa yang tinggal di Aceh terusir. Sejumlah besar mereka terpaksa angkat kaki untuk lepas dari jeratan konflik. Namun bukan bagi pria berkumis tebal ini. Baginya Aceh telah menjadi daerah kelahiran kedua. Dia telah tinggal di Aceh sejak tahun 1990 lalu. Kalaupun dia memaksa diri hengkang dari Tanah rencong, tak jelas juga arah dan tujuan hidupnya. “Daripada nggak tau kemana, lebih baik di Aceh dalam konflik. Toh, langkah, rezeki, jodoh, dan maut telah diatur oleh Allah,” tuturnya. Syukur, masa itu telah terlewati. Masa suram itu menjadi kenangannya. 15 Agustus 2005 lalu, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati perjanjian damai untuk mengakhiri pertumpahan darah di Seuramoe Mekkah ini. Dengan

tertatih-tatih,

mulailah

Bang

Arif

membenahi

perekonomiannya. Bang Arif merasa senang dengan keadaannya sekarang. Aceh yang mulai kondusif, membuat kehidupannya lebih baik. Penghasilan pria ini pun lumayan, setidaknya untuk menghidupi seorang istri dan 3 orang anak yang masih bersekolah. Dibandingkan dengan masa berjualannya dahulu. Kini dia sudah memakai sepeda motor untuk keliling menjual bakso. Dia tak lagi mengayuh sepeda tuanya. ”Saya berharap Aceh yang maju, Aceh terus aman dan kita semua berharap seperti itu,” ujarnya. Hal yang sama disampaikan Marie, mahasiswa asal Medan yang kuliah di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. ”Sepengetahuan saya, dulunya masyarakat luar Aceh tidak berani untuk menetap di sini, apalagi orang Jawa. Karena mereka kerap dikucilkan masyarakat,” ujarnya. Lelaki ini menambahkan, bahwasannya cukup banyak masyarakat luar yang datang ke sini untuk melanjutkan pendidikan di Unsyiah. Saat damai hadir, banyak kawan-kawan dari luar daerah yang masuk ke Aceh


kisah usai perang

menimba ilmu. Merekapun tak meragukannya lagi. Lagipula pendidikan Aceh bekembang dan meningkat beberapa tahun belakangan ini. Lain kisah etnis pendatang, lain lagi masyarakat Aceh sendiri. Sebut saja seperti pengakuan Nyak Salamah yang keseharian menjadi penjual sayur di Pasar Keudah, Banda Aceh. Nyak Salamah asli Cot Keueng, wilayah hitam yang dulunya kerap terjadi perang. Dulunya, dia tak hanya harus berhadapan dengan TNI yang kerap menghardiknya kala memburu GAM. Namun dia juga harus berhadapan dengan GAM sendiri yang kerap meminta bantuan kepadanya. “Pernah beberapa kali, saya diminta memberi bantuan kepada GAM,” tutur perempuan yang sudah tampak keriput. Pengakuannya, kehidupan ekonominya tertatih-tatih saat konflik berlangsung. Karena sangat sulit untuk berjualan kala itu seperti kendala dirazia aparat keamanan, dicurigai membantu GAM dan lain sebagainya. Kini, damai menghadirkan berkah sendiri buat Nyak Salamah. Dia tak takut lagi dalam bekerja. ”Sekarang sangat berbeda, penghasilan yang saya dapat juga lumayan besar.” “Semoga Aceh terus maju dan berkembang, supaya lebih baik lagi di masa akan datang,” kata Nyak Salamah sambil tersenyum. ***

43



Demokrasi Ala Aceh Oleh: Alhadi Habibi

Bertempat di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, gedung berwarna merah darah itu disulap menjadi markas pengurus pusat Partai Aceh (PA). Suasana ramah langsung menyapa para tamu yang masuk ke ruangan utama tersebut. Saban hari, di kantor itu tak pernah sepi. Pemilu legislatif yang telah berlangsung pada 9 April 2009 lalu berjalan dengan sukses. Partai Aceh, salah satu partai lokal berhasil mendapatkan suara terbanyak. Hasil rekapitulasi akhir Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyebutkan partai Aceh (PA) menjadi jawara dengan mendapatkan 46,93 persen atau 1.007.173 suara. Sementara Partai Demokrat menang telak di tingkat parlemen nasional. Pada tingkat lokal, partai itu memperoleh 232.728 suara atau 10,84 persen. Di urutan ketiga, partai Golongan Karya mendapatkan 141.411 suara atau 6,64 persen suara. Dengan hasil perolehan suara tersebut, PA berhasil meraih 33 kursi dari 69 kursi yang tersedia di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Partai Demokrat mendapatkan 10 kursi, Golkar 8 kursi. Selebihnya


Demokrasi Ala Aceh

46

didapat oleh partai lainnya. Kemenanagan PA dalam pemilu kali ini membawa konsekuensi logis, berkurang atau hilangnya kursi DPRA bagi sejumlah partai. Sebut saja Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang semula memperoleh 12 kursi pada Pemilu Legislatif 2004 menjadi hanya tiga kursi pada pemilu kali ini. Partai Golkar, yang semula diyakini akan menyaingi perolehan Partai Demokrat di Aceh, karena dikaitkan dengan peran Ketua Umum Partai, Jusuf Kalla sebagai tokoh perdamaian Aceh ternyata bernasib jelek. Mereka hanya memperoleh delapan kursi. Hilang empat kursi dibandingkan pemilu 2004 lalu. Sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Saifudin Bantasyam mengatakan, calon legislatif yang terpilih harus banyak belajar dari kesalahan dan keberhasilan yang telah diraih para pendahulunya. Tanpa belajar dan memiliki kemauan yang keras untuk bekerja, masyarakat nantinya pasti tidak akan berharap banyak kepada wajah-wajah baru yang mengisi parlemen di Aceh. Saifuddin mengatakan, ada kemauan belajar yang kuat dari para wajah baru itu. “Kemungkinan akan terjadi, mudah-mudahan pada saat pengambilan keputusan, terutama yang terkait pada kepentingan rakyat Aceh, seperti memperjuangkan isi nota kesepahaman damai (MoU Helsinki) dan isi Undang Undang Pemerintahan Aceh,� katanya. Mantan Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, M Jafar mengatakan, kepercayaan pada semangat kelokalan dan ke-Acehan menjadi faktor kunci kemenangan PA dalam pemilu kali ini. Meski hampir seluruh anggota DPR Aceh periode 2004-2009 merupakan warga Aceh, mereka dinilai belum mewakili kepentingan rakyat Aceh. Jafar membagi kemenangan PA ini sebagai kemenangan yang mayoritas tunggal dan kemenangan beragam. Daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai basis pendukung Gerakan Aceh Merdeka


kisah usai perang

(GAM) yang sudah bermetamorfosis menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) merupakan lumbung kemenangan PA. Daerah-daerah tersebut adalah kabupaten/kota Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhoukseumawe, dan Aceh jaya. Di luar daerah tersebut, kemenangan yang diperoleh adalah beragam. “Tidak mayoritas tunggal, seperti daerah-daerah yang sudah disebut tadi,” ujar Jafar, Juni 2009 lalu. Menurut Jafar, meski pada masa kampanye Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menjadi juru kampanye bagi PA, hal itu tidak berarti dengan mudah kebijakan eksekutif lolos dari tangan DPRA. “Irwandi terpilih dari jalur independen dan bukan melalui jalur partai,” katanya. Anggota DPR Aceh dari PA, menurut Jafar, bukanlah tokoh partai. Kinerja mereka akan mudah diawasi oleh pimpinan dan anggota partainya, kalau kinerja caleg asal PA rendah dalam menjalani fungsi sebagai anggota legislatif, mereka mudah digantikan oleh anggota yang lain yang memiliki loyalitas terhadap kebijakan partai yang lebih baik. Untuk itu, perbaikan kapasitas bagi para caleg menjadi sangat penting. Mereka harus bekerja sesuai dengan keinginan konstituen. “Parlemen Aceh yang baru akan menjadi referensi politik dan berdemokrasi yang baru di Indonesia, karena fungsi kontrol partai terhadap anggota akan menjadi sangat kuat,” ujar Jafar. Kini aksi para anggota dewan yang baru, terlebih dari PA akan di nanti-nantikan rakyat Aceh. Menunggu perubahan ke arah yang lebih baik. ***

47



Kisah Pengemis Kota Oleh: Arief Maulana

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh tak pernah sepi. Mulai dari pagi buta sampai larut malam pun masih ada saja orang-orang yang berkumpul di sana. Bukan hanya warga kota, tapi juga dari luar Banda Aceh. Asal mereka berbeda, tujuannya pun tak lantas sama. Ada yang datang untuk ibadah dan tidak sedikit hanya sekedar jalan-jalan menikmati suasana di masjid kebanggaan masyarakat Aceh. Tapi ada juga kelompok lainnya yang juga berkerumun duduk di sepanjang pintu masuk. Mereka berlomba menengadah tangan, berharap rezeki datang dari belas kasihan setiap pengunjung yang masuk ke dalam masjid. Mereka adalah para pengemis. Jumat pagi, pertengahan Juni 2009 lalu, terik matahari tak menyurutkan semangat beberapa pria dan wanita paruh baya. Terlihat juga anak-anak yang berdiri di antara mereka. Selintas terlihat mereka sama dengan orang–orang lainnya yang hendak beribadah atau paling tidak baru sampai dari daerah dan menunggu jemputan sanak familinya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh, setiap ke Banda Aceh, seakan


Kisah Pengemis Kota

50

tidak sah kalau belum singgah di Masjid Baiturrahman. Tapi mereka adalah pengemis yang biasa mangkal di area masjid. Dengan mengenakan baju yang agak kumuh, mereka ‘bekerja’ di tempat ini dari pagi hingga sore. Pemandangan ini sudah sangat biasa ditemui di area Masjid Raya. Mereka bebas duduk di mana saja, mulai dari pintu gerbang sebelah utara, selatan, barat dan timur, juga di halaman masjid tanpa merasa canggung ataupun malu. Para pengemis itu sulit untuk diajak bicara. Mungkin sudah menjadi kode etik bagi kaum peminta-minta, mereka selalu enggan menjawab jika ditanya. Misalnya, ketika seorang pria tunanetra dengan badan tegap dan penampilan sedikit ‘rapi’ dibanding rekannya, saya ajak bicara. Dia mengaku bernama Ismail, berumur 28 tahun dan memilih posisi di depan pos penjagaan masjid. Dengan modal tongkat kayu dan kantong kresek ia setiap harinya nongkrong sebagai pengemis. Ketika ditanya tinggal dan berasal dari mana, ia menolak menjawab. Sambil mengisap rokok ‘234’-nya, ia berusaha mengalihkan pembicaraan. ”Saya mau cari minum dulu keluar,” sebutnya seraya berlalu. Muhammad (38 tahun), penjual rokok keliling mengatakan, jumlah pengemis di sana semakin hari semakin bertambah banyak. Di antara pengemis itu ada yang suami istri. Mereka juga bawa anaknya untuk ikut mengemis. ”Saya sedih melihat kondisi mereka, tapi gimana mau dibantu, saya juga orang yang harus dibantu,” ujarnya. Menurutnya, kebanyakan dari mereka sebenarnya sudah ada yang menjadi kaya dengan mengemis. “Kebanyakan dari mereka punya HP (handphone),” sebutnya sambil menawarkan rokok. Makin siang, pengemis makin banyak, berbaur bersama masyarakat yang ingin menunaikan shalat Jumat. Ada pria cacat kaki dengan menghapit dua tongkat besi menyodorkan ember kecil meminta sedekah. Ada perempuan tua dengan menggengam sebuah buku tulis lapuk. Anak kecil bertubuh kurus, berani, percaya diri sambil menyodorkan ember


kisah usai perang

kecil minta sedekah. Ibu mengendong bayi yang lelap tertidur, juga ikut tengadah tangan. Sayup-sayup terdengar suara qari membaca Alquran. Jamaah mulai memasuki masjid. Sedangkan di luar para pengemis mulai mencari tempat yang srategis. Suara Azan menggema tanda masuk waktu shalat Jumat. Selesai shalat, berbondong-bondong jamaah keluar. Di luar para pengemis sudah menunggu. Jumlah mereka mencapai 30 orang lebih. Mereka meminta sedekah kepada jamaah yang akan beranjak pulang. Di antaranya juga terlihat anak kecil yang juga meminta rupiah. “Neutulong aneuk yatim pak, neubi seudekah keu lon bacut (tolong anak yatim pak, beri sedekah untuk saya),� ujarnya seorang anak kepada jamaah. Di pintu keluar, pemandangan semakin memilukan. Para pengemis berbaris di sepanjang jalan keluar. Di sudut pintu sebelah selatan, terlihat seorang pria yang memegang tongkat. Pria itu berumur sekitar 55 tahun. Pak tua ini terlihat lusuh dan begitu. Pria ini sangat kaget ketika saya duduk di sebelahnya. Ia menyuruh saya duduk di tempat lain. Dengan memegang sebuah tongkat kayu dan sebuah ember kecil, pria tua yang sudah tak dapat melihat dengan baik itu, mengira saya adalah rekannya sesama ’korps pengemis’. Dengan mengeluarkan pecahan uang ribuan dan memberikan kepadanya, barulah kemudian ia tahu saya bukanlah rekan seprofesinya. Ketika mencoba mengajaknya berbicara, dia hanya diam. Sambil menghisap dalam-dalam kreteknya, ia seolah ingin mengatakan agar saya pergi. Di sudut lain, samping tong sampah terlihat seorang wanita dengan dua bocah di sampingnya. Keranjang kecil di depan mereka mulai terisi dengan uang-uang seribuan. Mereka terlihat kusut. Wanita yang mengaku bernama Manyak (53 tahun) ini, mau diajak bicara. Dengan suara yang lembut, ia mengatakan sudah melakukan pekerjaan ini sejak lama. Bahkan saat suaminya masih hidup, mereka

51


Kisah Pengemis Kota

52

melakukannya bersama-sama. Dengan menyewa rumah seharga satu juta setengah pertahun di Gampong Neuheun, Aceh Besar, dia tinggal bersama dengan kedua orang anaknya yang masih kecil. Khatijah (12 tahun) dan Linda (2 tahun). Suaminya telah meninggal 18 bulan yang lalu karena sakit. ”Saya menjadi pengemis karena tidak punya pilihan lain. Mata saya pun tak lagi normal,” ujarnya. Kak Manyak mengaku berasal dari Langsa. Ketika mengemis, ia membawa anaknya yang masih kecil untuk meminta belas kasihan dari para jamaah. Khatijah, anaknya yang tua juga ikut mengemis bersama ibunya, sedangkan adiknya lelap dalam pangkuan Manyak. Pengakuannya, dia memperoleh uang Rp 50.000 perhari, namun bila hari Jumat, jumlah pemasukan bisa lebih. Ia mengaku punya handphone yang digunakan untuk menghubungi anaknya Khatijah. Khatijah sendiri duduk dikelas 6 Sekolah Dasar. Setiap pulang sekolah langsung menyusul ibunya ke masjid. ”Saya berharap kelak, anak saya bernasib lebih baik.” Tak semua pengemis punya kondisi tubuh yang cacat. Sebagian dari mereka, punya fisik normal. Misalnya seorang wanita yang saya perkirakan berumur 35 tahun. Dengan badan yang masih sangat sehat dan penampilan yang lebih rapi dari rekannnya, ia memilih mencari rezeki dengan mengemis. Perempuan ini biasa duduk di pintu sebelah utara masjid. Saat saya dekati, dia sibuk menghitung uangnya. Bahkan kemudian mengeluarkan handphone yang lumayan bagus dari tasnya. “Wah, ternyata pengemis juga pakek HP ya, HP aku aja nggak sebagus dia,” kata Muksalmina, seorang mahasiswa. Ia mengaku sangat prihatin dengan kondisi mereka. penilaianya, kehidupan orang orang tersebut harus ditanggung oleh negara. Namun tambahnya, ada sebagian dari mereka yang berpura-puara miskin. Padahal mereka masih bisa mencari kerja yang lain, yang lebih


kisah usai perang

mulia. Tetapi karena merasa mudah mencari uang dengan memintaminta, mereka sudah keenakan seperti ini. �Seharusnya pemerintah menertibkan dan memberdayakan mereka, sehingga tidak lagi memintaminta,� kata Muksalmina. ***

53



Mantan GAM yang Dilupakan Oleh: Aris Munandar

Tak sulit menemukan letak kilang kayu milik Teuku Saifullah, Panglima Muda Wilayah Pasee pada Komite Peralihan Aceh (KPA) yang jadi pengusaha. Kendati jalan ke sana berliku, tapi semua warga se-kecamatan tahu tempat itu, di Desa Menasah Benout, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Tak ada yang istemewa aktivitas di kilang tersebut. Semua seperti biasa. Yang mencetak pintu kayu sibuk menghiasi pintu yang siap jadi, pemotong kayu sibuk dengan cetakan potonganya, penyusun kayu sibuk memindahkan kayu untuk dikeringkan, sebelum pekerja lain memisahkan kayu yang sudah siap pakai sesuai pesanan pelanggan. Para pekerjanya adalah mantan kombatan bersama masyarakat biasa. Salah satunya Fahrizal, 23 tahun, lajang bekas pasukan GAM yang juga warga desa tempat areal kilang itu berdiri. “Saya berkerja di sini sejak awal pabrik ini dibangun, masa konflik hidup saya lumayan rumit,” ujarnya. Pengakuannya, di masa konflik hidupnya tak nyaman dan waswas,


Mantan GAM yang Dilupakan

56

segala prosesi aktivitas tempur dijalaninya, sampai sempat bergerilya di hutan. Fahrizal ahli dengan senjata M-16 dan AK 47, kecepatan tangan membuat dia disegani sesama angkatan gerakannya. Latihan gerilya diikutinya pada tahun 2000. Kemudian dia dipasang sebagai mata-mata di desa. Belakangan, dalam masa darurat militer yang dimulai 19 Mei 2003, keadaanya tercium oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dia pun terpaksa menyingkir dari desa. “Kadang di atas hutan, di laut dan kadang juga di kota lain untuk menyelamatkan diri,” jelasnya. Masa lalu sudah hampir 4 tahun ditingalkannya. Dalam masa damai, dia setiap hari bekerja keras di kilang katu milik Saufullah. Soal ekonomi, hidupnya tak banyak berubah, kadang kala dia juga bekerja sampingan menjadi kuli bangunan. “Lumanyan 50 ribu perhari, sudah cukup untuk rokok dan untuk dikumpulkan buat modal usaha kecil-kecilan penjamin hidup,” sebutnya. Modal?

Fahrizal

tidak

pernah

mendapatkan

apapun

dari

Badan Reintegrasi Aceh (BRA), lembaga yang bertanggung jawab dalam reintregrasi pascakonflik. Padahal sebagian kawan-kawan seperjuangannya telah mendapat bagian itu. Ada yang telah berhasil membuka usaha dan bahkan ada yang telah terpilih menjadi anggota parlemen. “Tidak semua, ada juga rekan-rekan yang sama dengan saya.” Fahrizal mengaku kecewa dengan kebijakan mantan pemimpin di wilayahnya. Mengingat mereka juga mantan kombatan dan pernah seide serta sama-sama dalam perjuangan. Dia hanya berharap sedikit modal kerja agar bisa untuk usaha kecil-kecilan, memperbaiki hidup di masa depan. Sama halnya dengan Teuku Ikbal, 33 tahun juga bekerja di kilang itu. Dia bekerja menghidupi 5 anaknya, sebagian sudah bersekolah. Dia menjadi single parent karena kerena istrinya meninggal saat konflik. “Bantuan ada dari KPA, waktu hari raya dikasih uang Rp 200 ribu untuk


kisah usai perang

beli daging dan beras,” paparnya. Soal Ekonomi tak banyak berubah, malah bertambah sulit. “Sekarang saya hanya mengantungkan hidupnya dari kilang kayu yang berpenghasilan tak menentu. Untuk jajan anak pun tidak cukup.” Selebihnya belum mendapat apa-apa termasuk dana reintegrasi yang dijanjikan kepada mantan kombatan. Jelas ekonominya pas-pasan, harapannya juga modal kerja agar bisa membuka usaha yang sederhana untuk membiayai anak-anaknya menjadi orang yang sukses. “Saya ingin anak jangan seperti saya, susah,” kata Iqbal dengan mata berkaca-kaca. Harapan lainnya ke pemerintah, agar rumahnya yang dibakar semasa konflik dapat diganti dan dibangun yang layak untuk mereka. “Janganlah melupakan kami bagi rekan seperjuangan yang telah sukses.” ***

57



Caleg Mahasiswa yang Gagal Oleh: Emi Safriani

Pemilihan umum legislatif 2009 usai sudah, hasilnya ada yang bahagia dan tidak sedikit pula yang gagal masuk parlemen. Di Aceh, pemilu pertama kali pasca Momerandum of Understanding (MoU) ini diikuti oleh 43 partai politik, 6 di antaranya merupakan partai politik lokal. Partai politik lokal merupakan amanah MoU Helsinki dan juga Undang Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Disebutkan masyarakat Aceh memiliki hak untuk mendirikan partai politik lokal. Selanjutnya akan berkompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat untuk mendapat kursi parlemen yang menjadi incaran banyak orang. Tak ayal, ribuan orang dari berbagai profesi pun berlomba-lomba untuk mendaftarkan diri menjadi calon legislator (caleg). Mulai dari kaum politisi, ekonom, petani, nelayan, tukang becak bahkan pengamen. Tak terkecuali mahasiswa yang masih dianggap tabu apabila terjun ke kancah politik praktis. Ada yang beranggapan terjunnya mahasiswa dalam arena politik


Caleg Mahasiswa yang Gagal

60

praktis sah-sah saja. “Selama memenuhi syarat silahkan saja, toh tidak ada undang-undang yang melarang mahasiswa untuk mencalonkan diri menjadi anngota legislatif,” ungkap Michan, mahasiswa Fakultas Ekonomi. Hal yang berbeda diungkapkan Hadi Surya, mahasiswa Fakultas Pertanian Unsyiah yang juga mantan ketua BEM FP periode 2007-2008. Secara pribadi ia tidak setuju apabila mahasiswa mencalonkan diri menjadi caleg. “Terlalu dini bagi mahasiswa untuk menjadi caleg.” Ia beranggapan, seharusnya mahasiswa menjadi mitra kritis pemerintahan,

untuk

mengkritisi

kebijakan

pemerintah

yang

tidak berpihak kepada rakyat dan mahasiswa masih diharapkan sumbangsihnya bagi sesama mahasiswa. Sebut saja Aulianda Wafisa, salah seorang caleg dari kalangan mahasiswa yang gagal. Ketika ditemui di sela-sela kesibukannya, ia membenarkan bahwa ia gagal menjadi anggota legislatif. Kegagalan mahasiswa merebut hati konstituennya telah menimbulkan beragam spekulasi. “Yang muda nggak dipercaya,” ungkap mahasiswa Fakultas Ekonomi itu. Menurutnya, masyarakat cenderung lebih percaya terhadap kepemimpinan yang tua, yang dianggap telah berpengalaman. Berdasarkan data yang dihimpun dari media center KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh, tidak satupun caleg yang berstatus mahasiswa lolos menjadi anggota legislatif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Yarwin Adidarma, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan KIP Aceh. “Tidak ada satupun mahasiswa yang berhasil lolos menjadi anggota legislatif,” ujarnya. Menurutnya, masyarakat cenderung memilih yang telah dikenalnya. “Warga masih belum percaya terhadap kepemimpinan muda, dan biasanya masyarakat akan memilih tokoh-tokoh lama yang sudah dikenalnya,” tegasnya. ***


Antara Harapan dan Realita Oleh: Heri Juanda

"Lon mantong bingong (saya masih bingung).� Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Baharuddin (39 tahun), Warga Desa Lamguron, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Akhi Juni 2009 lalu. Baharuddin mengaku masih kebingungan tentang tata cara pemilihan presiden yang akan dilaksanakan tanggal 8 Juli mendatang. Kebingungan itu disebabkan karena minimnya sosialisasi tentang tata cara pemilihan di daerah tersebut. “Pemilu kemarin saya sangat bingung. Cara pemilihan berbeda dengan sebelumnya. Pilihan sangat banyak, pusing saya,� tuturnya. Ia menambahkan, untuk tata cara pemilihan presiden, masyarakat daerah tersebut hingga saat ini belum mendapatkan penjelasan tentang sosialisasi tata cara memilih. "Saya juga belum tau apakah pada pilpres saya sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum," imbuhnya. Masyarakat

berharap

Komisi

Independen

Pemilihan

(KIP)

memberikan sosialisasi agar mereka paham dan mengerti tentang tata cara pemilihan. "Sehingga nantinya kami bisa mengikuti pemilu presiden


Antara Harapan dan Realita

62

dengan lancar," tambahnya. Berbeda dengan Amirullah, dia mengaku sama sekali tidak tertarik untuk mencari tau tentang Pemilu. Baginya, siapapun pemenang nya, dia tetap seperti biasa. "Siapapun yang jadi anggota dewan atau presiden. Saya tetap seperti biasa, tidak ada perubahan," ujar lelaki yang seharihari berprofesi sebagai pedagang di Pasar Aceh. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh, terus melakukan berbagai upaya dalam mensosialisasi tata cara Pemilihan Umum (Pemilu) di Aceh. Ketua Kelompok Kerja Pantarlih dan Sosialisasi KIP Aceh, Akmal Abzal mengatakan, saat ini KIP telah melakukan sosialisasi dengan memasang spanduk dan stiker yang isinya mengajak masyarakat untuk mendaftarkan diri, sehingga masuk dalam daftar pemilih sementara (DPS) pilpres. Spanduk dan stiker tersebut disebarluaskan ke seluruh kabupaten/ kota, sehingga masyarakat yang tidak masuk dalam DPT pemilu legislatif bisa mendatangi panitia pemungutan suara (PPS) yang ada di desanya masing-masing. Akmal mengaku banyak warga yang memiliki hak pilih tapi tidak masuk dalam DPT pemilu legislatif, sehingga perlu didata kembali agar tercatat di DPS pilpres. Ia menyatakan, KIP kabupaten/kota kini sudah proaktif mensosialisasikan pendaftaran pemilih. "Namun, respon masyarakat untuk ikut pemilihan presiden (pilpres) rendah dibandingkan pemilu legislatif 2009, padahal Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten/kota sudah sangat gencar melakukan sosialisasi," ujarnya. Ia menyatakan, dari hasil evaluasi pemutakhiran data pemilih sementara Pemilu Presiden 2009 di hampir seluruh kabupaten/kota mengalami pengurangan jumlah pemilih dibandingkan DPT Pemilu legsilatif. Kata dia. Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden (Pilres) 2009,


kisah usai perang

yang telah disahkan dalam sidang pleno tertutup yaitu 3.006.481 jiwa. DPT Pilres bekurang dibandingkan DPT Pemilu Legsilatif lalu yang berjumlah 3.009.965 pemilih. “Selisih DPT Pilres dengan DPT Pileg sebanyak 3.484. Ada beberapa daerah yang berkurang dan ada juga daerah yang bertambah pemilihnya,” kata Akmal. Akmal mengatakan pengurangan banyak terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Lhokseumawe, Aceh timur, Nagan Raya, Subulussalam dan Aceh Selatan. Sementara itu, Kotamadya Banda Aceh adalah yang paling banyak bertambah DPT, kemudian diikuti Kabupaten Bireuen, Langsa, Aceh Tamiang, Abdya, Aceh Singkil, Sabang dan Aceh Besar. Akmal membantah pengurangan tersebut di sebabkan karena minimnya sosialisasi yang dilakukan KIP. Pengurangan itu dikarenakan banyaknya pemilih muda yang melanjutkan sekolah ke luar daerah sehingga mereka tidak didata di daerah tempat asal mereka. Sebagian dari mereka berpindah ke Banda Aceh makanya ada pertambahan DPT di Banda Aceh serta pengurangan yang disebabkan ada pemilih ganda di DPS sebelumnya. “Bukan karena minimnya sosialisasi,” Kata Akmal. Sementara menyangkut dana, KIP mengaku masih memiliki dana yang diberikan Pemda sesuai dengan revisi Perpres untuk kegiatan sosialisasi, transportasi logistik terutama untuk daerah terpencil, dukungan monitoring dan bantuan kelancaran Pemilu lainnya. Bantuan dan fasilitas yang diterima KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota bukan bantuan berupa personil dan kantor. Tapi, bantuan yang diterima itu sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Perpres terhadap bantuan yang diberikan oleh Pemda dalam pelaksanaan Pemilu. "Tidak ada kendala menyangkut dana, KIP masih memiliki dana yang telah dikucurkan pemerintah," tuturnya. Sementara itu, Pemerintah Provinsi Aceh mengaku akan terus

63


Antara Harapan dan Realita

64

mendukung upaya KIP dalam menyukseskan Pemilu di Aceh. Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, A. Hamid Zein mengatakan, pemerintah melalui APBN telah mengucurkan dana untuk kegiatan sosialisasi pemilu yang dilakukan KIP. “Kami tidak bisa memastikan berapa dana yang dialokasikan untuk sosialisasi Pemilu, tergantung pengajuan dari KIP. Yang pasti semua dana itu bersumber dari APBN," tuturnya. Dana telah tercukupi, sosialisasi telah dimulai, namun masih ada masyarakat yang belum benar-benar mengerti ataupun tertarik untuk memberikan suara dalam pemilihan presiden. ***


Pesan Rakyat untuk Dewan Oleh: Iqbal

Pagi itu akhir Mei 2009 lalu, seorang lelaki setengah baya sedang minum kopi sambil membaca surat kabar yang memberitakan tentang pengumuman calon legislator (caleg) yang berhak menduduki kursi Dewan. Namanya Muhammad, tukang becak yang saban pagi mangkal di Warung Kopi Bang Wan, Kampung Laksana Kota Banda Aceh. Ia mengenakan baju oblong warna hitam yang berlambang Partai Aceh (PA) dan celana hitam yang sedikit kusuk. Jam melingkar di tangan kirinya. �Saya berharap kepada para Caleg terpilih hendaknya jangan lupa dengan janjinya pada saat meminta dukungan kepada masyarakat. Sebab, kalau tidak amanah dan tidak perduli pada janjinya mereka akan kena masalah di kemudian hari. Paling tidak masyarakat tidak percaya lagi sama mereka,� ujarnya. Menurutnya, mereka yang terpilih duduk di parlemen harus menjalankan amanah rakyat, karena rakyat yang memilihnya. “Jangan sampai setelah jadi anggota dewan rakyat pun tidak dikenal lagi, kalau


Pesan Rakyat untuk Dewan

66

dulu pada masa kampanye mereka sering ngopi bareng sama kami para tukang becak, mudah-mudahan nanti mereka juga mau ngopi bareng sami kami,” katanya sambil tertawa. Usai menikmati segelas kopi dan berita pagi itu, Muhammad bergegas menuju becaknya. Sambil bercanda dia berkata, “kalau saya jadi anggota dewan, saya akan pergi ke kantor dengan becak.” Hal yang senada juga disampaikan oleh Abdullah, karyawan Dinas Kebersihan Pasar (DKP) Kota Banda Aceh. Menurutnya, mereka yang terpilih harus mampu membawa perubahan bagi rakyat. Tidak hanya makan gaji saja, tapi kerjaannya juga harus bagus seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Sehari-hari Abdullah yang bekerja sebagai penyapu di ruas jalan Diponegoro Peunayong, mengaku pekerjaan ini sudah dijalaninya selama tujuh tahun lebih. Dia berasal dari Pidie Jaya yang mencoba mengadu nasib ke Banda Aceh saat konflik dulunya. “Saya menginginkan kepada caleg yang sudah terpilih tidak melupakan masyarakat, sudah lama masyarakat hidup dengan ketakutan, kegelisahan, ketidakadilan, pelanggaran HAM dan berbagai bentuk kejahatan lainnya pada masa konflik.” Penilaiannya, dalam memilih calon wakilnya, masyarakat selalu menaruh harapan, agar yang dipilih betul-betul akan memperjuangkan hak-hak rakyat yang pernah tertindas, betul-betul menjadi wakil rakyat untuk membawa kehidupan lebih baik. Sangat penting bagi caleg terpilih mampu mengubah nasib rakyat ke arah yang lebih baik di semua sektor, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan kesejahteraan bagi rakyat. “Yang paling penting adalah jangan korupsi uang negara,” kata Abdullah. Sementara Supardi, buruh bangunan asal Jawa Tengah yang sudah lama bekerja di Aceh juga berharap banyak kepada caleg terpilih. Katanya, meskipun mereka bukan orang Aceh, tapi mereka sudah


kisah usai perang

menganggap diri sebagai orang Aceh. Harapannya, agar caleg terpilih dapat menciptakan lapangan kerja, dan melanjutkan perdamaian Aceh ke arah yang lebih baik. “Agar masyarakat Aceh bisa hidup tenang dan nyaman, kami orang luar Aceh pun bisa bekerja dengan tenang dan nyaman di Aceh.” Pemuda yang sudah dua tahun hijrah ke Aceh ini mengaku senang dan bahagia tinggal di Aceh. Maklum, masyarakat Aceh menerima mereka seperti layaknya masyarakat biasa. Bahkan kata Supardi, dia juga berniat menikah dengan gadis Aceh dan tinggal di Bumi Serambi. Namun berbeda dengan keinginan Ainsyah, wanita yang berprofesi sebagai penjual sayur di Pasar Peunayong. Dia tidak banyak berharap kepada para caleg terpilih, karena dulunya ia pernah kecewa. Saat pemilihan 2004 silam, kata Ainsyah, para caleg datang ke tempat mereka sambil membawa selembar kain sarung dan berharap untuk dipilih dalam pemilu. “Mereka juga berjanji akan memperjuangkan hak-hak kami, sekaligus membantu para pedagang sayur. Namun setelah mereka terpilih menjadi anggota dewan mereka tidak kenal lagi sama kami. Jangankan untuk membantu dan memperjuangkan hak-hak, mungkin hak-hak kami juga mereka makan,” kisahnya. Wanita yang sudah dua belas tahun menjual sayur ini mengatakan bahwa biasanya yang terjadi selama ini, kalau seseorang sudah terpilih menjadi anggota dewan, maka mereka akan melupakan janjinya kepada rakyat kecil. “Saya hanya berharap mudah-mudahan caleg yang terpilih tahun ini akan menempati janjinya kepada rakyat, kalau tidak nanti azab Tuhan lebih parah dari tsunami.” Nurul Asyura, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry juga punya pandangan sama. Nurul yang aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan mahasiswa dan kerap melakukan aksi bersama kawan-kawannya, berharap kepada caleg terpilih untuk memperjuangkan hak-hak rakyat

67


Pesan Rakyat untuk Dewan

68

yang masih tertindas selama ini. Penilaiannya, harapan itu bisa terwujud jika para anggota dewan yang akan duduk di kursi parleman nantinya benar-benar mempertimbangkan dan memperjuangkan setiap kebijakan untuk kepentingan masyarakat. Dia megaku kecewa dengan anggota DPRA saat ini (periode 2004 – 2009), yang kerap tak memperhatikan suara rakyat. Misalnya, saat elemen masyarakat dan mahasiswa menentang mereka untuk kunjungan kerja ke luar negeri. Tetapi penentangan itu tak membuat wakil rakyat itu surut dari niat mereka. “Mereka tak membatalkan niat untuk ke luar negeri, dengan berbagai macam alasan, mereka menghabiskan dana rakyat yang sangat besar. Mereka tidak perduli, aspirasi rakyat dianggap sebagai angin lewat,” ujarnya. “Mudah-mudahan Calon legislatif yang terpilih pada pemilu tahun ini mendengar semua aspirasi rakyat, dan mereka harus bisa memperbaiki roda pemerintahan dan pembangunan masyarakat ke arah yang lebih baik.” ***


Mahasiswa pun Dibayar Mudik Oleh: Iwan Aramiko

“Kak nge geh jema e, ter pora (kak sudah datang orangnya, cepat sedikit),� teriak gadis itu dalam bahasa Gayo. Tak lama berselang muncul seorang gadis lain, Mawar namanya. “Ara hana dek ( ada apa dek),� tanyanya kepada gadis yang memanggilnya. Mereka berdua adalah mahasiswa asal tanah Gayo yang sedang menimba ilmu di Banda Aceh. Mawar akan pulang kampung, jelang pemilu legislatif, 9 April 2009 lalu. Pulang kampung memang menjadi keinginan setiap mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua, rindu akan sedapnya masakan ibunda tidak dapat terbendung lagi, setelah sekian lama jauh dari rumah. Namanya juga mahasiswa yang hidup di perantauan, puasa karena terpaksa terasa tidak menjadi hal yang aneh lagi, kadang-kadang hanya ditemani sambal lado ketika makan, lebih-lebih bila akhir bulan. Itulah gambaran umum kehidupan Mawar. Mahasiswa IAIN jurusan Bahasa Inggris ini mengaku rasa ingin pulang kampung sudah lama dipendam. Hanya saja karena ongkos yang


Mahasiswa pun Dibayar Mudik

70

terlalu mahal membuat mahasiswa semester enam ini sedikit enggan. Maklum, Mawar tinggal di Gayo Lues, kalau tidak menggantongi Rp 180.000 mustahil bisa pulang kampung, belum lagi ditambah dengan uang jajan di jalan. Tapi kali ini, keberuntungan berpihak Mawar. Dia mendapar rezeki nomplok hingga bisa mudik di luar jadwal kebiasaan. Biasanya pulang kampung hanya pada libur panjang semester dan lebaran. Rezeki itu didapat mawar dari satu calon legislator (caleg) asal daerahnya. “Caleg tersebut mendatanggi saya ke kos, maklum saja kami ada ikatan keluarga,” ujar Mawar. Pengakuannya, secara jujur sebenarnya dia berat menerima tawaran itu. Tapi karena saudara, Mawar merasa tak enak menolak. ”Ongkos yang diberikan hanya ongkos pulang saja, sedangkan ongkos untuk balik ke sini tidak ada, ujung-ujungnya kan harus minta ke orang-tua, nampak kali tidak ikhlas,” keluh Mawar. Caleg dari salah satu partai nasional itu memfasilitasi Mawar dan dan delapan orang lainnya ke Gayo Lues. Misi perburuan suara yang dilakukan oleh Caleg daerah ini telah lama digencarkan ke mahasiswa, terbukti Mawar yang telah lama menerima tawaran pulang kampung walaupun pemilu baru akan dilaksanakan seminggu kemudian. Ketika masa kampaye terbuka dimulai, banyak caleg yang menyusun strategi untuk mendulang suara, walaupun harus mengimpornya dari luar daerah. Berbeda halnya dengan Bagus, mahasiswa Falkutas Ekonomi, Unsyiah ini mengaku meminta sendiri ke calon legislator untuk dibayari pulang kampung. Nasib Bagus dan kawan-kawan lebih baik dibandingkan Mawar, mahasiswa Abdya (Aceh Barat Daya) ini langsung diberikan fasilitas mobil pulang-pergi dengan sedikit jajanan di jalan. “Namanya juga pulang kampung gratis, kan harus ada timbal baliknya, mana mau orang membuang uang sia-sia hanya untuk bayari kami pulang, jelas saja ada kontrak moral antara kami dengan caleg,”


kisah usai perang

ungkap Bagus. Bagus dengan

membawa misi pemilu beranggotakan 14 orang

siap menjadi pendulang suara caleg dari salah satu partai nasional di Kecamatan Susoh. “Tidak enak saya sebutkan nama caleg yang memberi kami fasilitas itu.” “Kami tidak hanya menyontreng, tetapi kami juga mengajak temanteman yang ada di kampung untuk memilih caleg ini, walaupun dalam hal ini kami tidak menerima persenan sedikitpun,” ungkap Bagus yang juga mengaku sebagai tim sukses. Strategi yang dibangun mahasiswa adalah dengan mengajak temanteman yang tergabung dalam mahasiswa Abdya untuk ikut pulang kampung dengan cuma-cuma. “Sekarang orang Aceh sudah pintar, mereka memang diajak pulang kampung, dan mau dibayari, duit memang dikasih, tetapi kalau milih kan sesuai dengan hati nurani,” potong Walhi, mahasiswa yang juga berasal dari Abdya. Menjelajahi sejarah panjang pesta demokrasi Indonesia khususnya di Aceh, misi pemburuan suara yang kerap melibatkan mahasiswa di perantauan menjadi tim sukses bukanlah hal yang aneh. Agenda antar jemput mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Banda Aceh telah lama menjadi profesi musiman. Hanya saja kasus ini seperti jarang terungkap ke permukaan. Hal ini juga dibenarkan oleh anggota Panwaslu Aceh, Asqalani. “Dalam Undang Undang Nomor 10 Pasal 84 Ayat 1, dijelaskan bahwa dilarang melakukan tindakan pelanggaran pemilu termasuk di dalamnya money politik. Banyak pelanggaran seperti ini terjadi menjelang pemilu, hanya saja tidak ada yang melaporkannya ke Panwaslu,” ujarnya. Menurutnya, sampai pemilu berakhir pihaknya belum menerima informasi tentang pelanggaran yang bermodus caleg tanggungi ongkos pulang kampung mahasiswa. Diakuinya itu masuk dalam pelanggaran, tapi tak ada laporan. ***

71



Kisah Miris Anak Antara Oleh : Khairi Tuah Miko

“Mele i ogohen ke kekanak nie, buku pe gere ara kune mele belejer (Mau dibodohkan anak-anak kita ini, buku saja tidak ada bagaimana mau belajar),� kata Samsudin. Lelaki paruh baya itu petani kopi di Bener Meriah. Dia berkisah soal kondisi pendidikan di kampungnya. Samsuddin tinggal di desa bernama Antara, sebuah wilayah di Bener Meriah yang tak luput dari dari ekses konflik dulunya, saat perdamaian belum tercipta di Aceh . Bunyi letusan senjata dan muncul korban adalah hal biasa. “Bahkan pembakaran sekolah dan penculikan pun kerap terjadi di kawasan ini,� kisahnya. Kisah perang memang tak ada lagi kini, tapi desa itu masih menyimpan cerita duka, pendidikannya tertinggal jauh dari wilayah lain. Desa Antara hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki, di sana terdapat satu sekolah, SD Negeri Antara. Juni lalu, aku memotret kehidupan di sekolah itu. Hanya lembaran papan yang tak lengkap menjadi pembalut lima ruangan, berlantaikan tanah yang bertatapan langsung dengan atap seng, menjadi ciri khas


kisah Miris Anak Antara

74

sekolah itu. Di dalam, anak-anak dapat belajar sambil memandang pepohonan dan gunung nan hijau. Saat hujan turun, sekolah tetap jalan tanpa kendala. Tapi, seragam merah-putih anak-anak bernoda tanah liat. Sepatunya juga membawa gumpalan tanah ke dalam kelas. Satu kelas hanya ada enam pasang bangku panjang. Bangku yang terbuat dari dua lempeng papan itu mengisi ruangan kelas yang berukur kurang lebih tiga kali empat meter, dihiasi dengan papan tulis yang terpampang di depan beserta tiga kapur tulis menjadi pendukung proses belajar mengajar. Sekali-kali terdengar nyayian lagu Indonesia Raya dari ruagan itu, dengan nada tak beraturan lagu itu mengawali sekolah pagi. Sapriani, seorang guru mengatakan sekolah ini sudah lama ada. Karena konflik, sekolah sampat vakum beberapa saat dan tak terurus. Belakangan setelah damai terwujud pada Agustus 2005, masyarakat sekitar berkumpul dan membangun kembali sekolah dengan swadaya. “Masing- masing kepala keluarga menyumbangkan beberapa lembar papan untuk sekolah, sehingga berdirilah lima ruang ini,� katanya. Ia menambahkan, baru-baru ini ada NGO Luar Negeri yang berjanji mau membangun gedung sekolah. Tapi kemudian, Sapriani juga tidak tahu kenapa NGO tersebut tak menepati janjinya. Satu kilometer dari sekolah tersebut, terletak bangunan beton yang masih belum diplaster, gedung itu adalah bagian dari gedung SD Antara dan SMP Antara. Gedung itu dibangun terpisang karena keterbatasan tanah. Hanya tiga ruang yang baru dibangun oleh pemerintah, lainnya belum selesai. Fasilitas jelas kurang. Terkadang SD Antara terpaksa meminjam buku ke SMP Buntul yang terletak sekitar enam kilometer dari wilayah itu. “SMP itu ada di dekat kantor kecamatan,� kata Talib, guru yang lain. Tidak berbeda dengan SD Antara, SMP Antara pun mengalami nasib


kisah usai perang

yang sama. SMP yang berdiri tiga tahun lalu, juga kekurangan fasilitas. Yang ada hanya ruang kelas dengan bangku-bangku untuk belajar, minim buku. Maryani, kepala sekolah SMP itu mengatakan guru-guru tidak ada yang yang pegawai negeri, hanya dia sendiri. Gurunya berjumlah enam orang dan mereka hanya berstatus mengabdi di sekolah itu. ”Tentunya tidak ada gaji pokok.” Biasanya Maryani hanya mengandalkan sumbangan dari murid sebesar Rp15.000 untu membayar guru abdi. Kesepakatan itu diambil bersama wali murid, karena sekolah ini tidak memiliki biaya operasional ”Hanya uang itulah yang ada, tidak ada bantuan yang pernah kami terima,” ujarnya yang sudah tiga tahun memimpin SMP Antara. Sekitar satu jam perjalanan dari Desa Antara terletak sebuah desa yang beranama Rikit Musara yang hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor ataupun berjalan kaki. Jalan yang berlumpur hingga setebal 30 sentimeter menjadikan daerah tersebut sulit dilewati. Ada sebuah bangunan memanjang yang tepat di depannya ada tiang bendera merah-putih. Itu adalah sebuah Sekolah Dasar (SD) Swasta yang lain. Kondisinya juga miris. Berlantaikan tanah liat, atapnya seng. Ada bangku memanjang sebagai tempat murid duduk, di depan sebuah meja guru terpajang. Semua guru di SD itu mengabdi, bahkan kepala sekolahnya sendiri. ”Guru di sini jumlahnya empat orang, ditambah saya sebagai kepala sekolah yang masih bersetatus mengabdi. Baru setahun umurnya,” sebutnya menolak dituliskan nama. Sekolah didirikan untuk menampung anak sekitar, yang sebelumnya harus bersekolah di kota yang jauhnya puluhan kilometer. Kepala sekolah sendiri mengaku hanya sesekali ke sekolah karena jalan yang berlumpur jika hujan. “Kekenak ni i kolen meh oya I kerjenen,timmi besekulah, hana pe beteh

75


kisah Miris Anak Antara

76

he (anak di sini dibesarkan lalu dikawinkan, nggak usah bersekolah, mereka tidak tahu apapun),� kata Samsuddin gusar. Ia merasa kecewa dengan kondisi sekolah yang seperti itu. Fasilitas yang serba kurang dan bahkan guru. “Tolonglah pemerintah perhatikan kami di sini, perhatikan guru-guru di sini agar serius dalam mengajar anak-anak kami ini.� ***


Perjalanan Caleg Muda Oleh: Miftahul Umam

“Politik tak kenal tempat dan waktu, juga bukan milik orang tua. Politikus bisa jadi artis dan artis bisa jadi politikus,” ujarnya. Kekalahan yang baru saja dialaminya tidak membuat semangatnya surut, gaya bicaranya masih lantang. Zulfahmi merupakan pemain baru di kancah politik, usianya baru 23 tahun. Ia salah satu Calon Legislator (caleg) yang berharap besar pada kampanye media. Hari itu ia memakai celana jeans, sepatu kulit. Untuk memuluskan jalannya menuju perlemen, salah satunya ia mempercayakan media percetakan dalam kampanye-nya kali ini. Ia menilai media percetakan adalah media yang punya pengaruh besar membantunya maju ke dewan nantinya. Bahkan ia berani mengeluarkan banyak dana dari kantong pribadi untuk mencapai tujuannya. “Untuk percetakan sekitar Rp18 juta, saya yakin karena media percetakan berfungsi sebagai wujud publikasi,” nah begitu katanya. “Karena sehebat apapun seseorang, tidak akan pernah ada yang tahu bila tidak dipublikasikan dan sebaliknya seburuk apapun bila tanpa


Perjalanan Caleg Muda

78

publikasi maka juga tidak akan tahu bahwa dia buruk,” tambah Fahmi. Zulfahmi, sosok caleg muda dari Partai Bulan Bintang. Ia memilih partai itu karena ber-azaz-kan syariat Islam, baginya bukan sekadar faktor kekuasan yang dikejar tapi bagaimana kemudian mensyariat-islamkan Indonesia. Tapi sayang, kali ini niatnya belum tercapai. Padahal sudah menghabiskan dana senilai Rp 60 juta dalam berkampanye agar terpilih. “Itu belum seberapa,” ucapnya optimis. Sambil mengangkat kedua tangannya, pertanda itu adalah awal dari perjuangannya menuju kancah perpolitikan, kerena ia sebelumnya telah siap menang atau gagal. Dari segi pengalaman perpolitikan sebelum bergabung dengan Partai Bulan Bintang, ia pernah menjadi simpatisan di partai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golongan Karya (Golkar), namun ia tidak terlibat secara struktural di dalamnya, artinya sebelum melangkah dalam dunia praktis ia harus benar mengerti dahulu dunia perpolitikan. Menurutnya, kekalahan itu terletak pada persiapan, baik dari segi strategi, massa maupun logistik dan juga waktu yang terlalu sempit. Ia juga mengaku tidak menerima bantuan dari partai yang sifatnya personal, partainya tetap memberikan bantuan tapi hanya atribut kepartaian. Penilaiannya tak terpilih menjadi anggota parlemen kali ini, karena pada hakikatnya Allah belum memberikan jalan. “Ketika Allah pemberi hakikat yang sebenarnya tidak memberikan kita hakikat itu, maka tidak akan kita dapat. Kita harus paham bahwa pemberian hakikat yang sebenarnya itu adalah dari Allah,” ujarnya. Namun sekali lagi, kegagalan kali ini tidak membuat semangatnya pudar. Dia akan maju lagi dalam pemilihan periode ke depan, ia bertekad akan memperbaiki strategi lebih kuat dengan cara yang bijak. Ia menyikapi lagi bahwa penyampaian pendapat tidak harus ketika berada di dalam gedung DPR. “Sebenarnya yang dibutuhkan dalam pemenangan pemilu ini adalah strategi, tapi itu harus didukung dengan logistik yang cukup juga,” tambahnya. ***


Yang Wanita Tak Dipercaya Oleh. Nana Noviana

Siti, mahasiswi IAIN Ar-Raniry sengaja meluangkan waktu pulang kampung untuk ikut mencontreng pada pemilihan umum legislatif 9 April 2009 lalu. Ia tak ingin hak politiknya sebagai warga negara hilang, layaknya warga lain yang tidak terdata di Daftar Pemilih Tetap (DPT). “Orang-orang yang gak terdaftar di DPT aja ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) menanyakan haknya, masa kita yang terdaftar gak mencontreng,” ungkapnya. Pemilu kali ini merupakan pemilu pertama yang diikuti dara asal Padang Tiji, Kabupaten Pidie ini. Meskipun ia seorang wanita tak lantas ia memilih calon legislator (caleg) dari kaum Hawa. Ia mengakui menjatuhkan pilihannya pada caleg lelaki, karena menurutnya lelaki memang tercipta sebagai pemimpin. Lebih lanjut ia mengatakan wanita kurang pantas menjadi pemimpin, karena bagaimana pun wanita terkadang lemah, tak bisa menegakkan kebenaran dan kurang pantas saja. “Sehebat apapun seorang wanita, tapi tetap laki-laki yang lebih hebat,” tambahnya.


Yang Wanita Tak Dipercaya

80

Abdul Salam Poroh, Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh punya pandangan lain. Menurutnya, sesuai ketentuan siapa saja berhak menjadi anggota legislatif, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Undang Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu. Selain itu, mampu bekerja dan tentunya dipercaya oleh masyarakat sebagai pemilih untuk mewakili aspirasinya di parlemen. Perihal banyak caleg perempuan yang urung menduduki kursi anggota dewan, ia menilai hal itu dikarenakan peranan caleg itu sendiri yang masih kurang. “Ke depan ketokohan seorang wanita itu penting ditingkatkan di desa-desa� ungkap Abdul Salam. Berdasarkan data KIP Aceh, jumlah perempuan yang terdaftar sebagai caleg Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mencapai 304 orang. Jumlah ini telah mencapai kuota keterwakilan perempuan yang diamanahkan undang-undang, sebesar 30 persen. Namun, yang berhasil menikmati kursi di legislatif hanya 4 orang atau sekitar 5,7 persen. Keempat caleg perempuan yang berhasil melaju ke DPRA untuk periode 2009-20014 tersebut adalah Hj Nurlelawati, Nuraini Maida dan Hj Yuniar, ketiganya berasal dari Partai Golkar. Sedangkan satu lagi adalah Hj Liswani yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN). Kenyataan tersebut tentunya membuat para aktivis perempuan di Aceh prihatin. Hj Zainab AR Anggota DPRA dari Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Menurutnya, tidak sedikit para caleg perempuan yang dilihatnya saat kampanye adalah caleg-caleg yang cerdas, berdedikasi dan mempunyai kapasitas untuk duduk di DPRA. Soraya Kamaruzzaman aktivis perempuan Aceh beberapa waktu lalu juga menyatakan keprihatinannya. Soraya menilai, hal itu terjadi karena belum adanya dukungan serius terhadap caleg perempuan, baik dari partai politik sendiri maupun masyarakat luas. Keterlibatan perempuan dalam kancah politik dianggap tabu di Aceh. Berbagai komentar miring kerap terdengar di keudee kupi (warung kopi).


kisah usai perang

Keprihatinan ini cukup beralasan. Dalam catatan sejarah, Aceh pernah dipimpin oleh perempuan empat kali berturut-turut. Selain itu, Aceh juga pernah memiliki wanita perkasa sekelas Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati, dan lainnya. Mereka tak hanya mampu menjadi ibu rumah tangga, tetapi lebih dari itu, mampu menjadi panglima perang yang handal dalam mengusir penjajah dari tanah rencong. Kini, pertarungan telah berakhir. Hasilnya pun telah ditetapkan oleh KIP selaku pelaksana pemilu di Aceh pada 18 Mei 2009. Masyarakat seperti Siti hanya berharap semoga wakil rakyat yang dipilih bisa bekerja semaksimal mungkin demi kesejahteraan rakyat. ***

81



Dayah di Bekas Kawasan Hitam Oleh: Najmuddin

Sebuah kawasan yang jauh dari keramaian kota, terletak Aceh Besar yang pada saat konflik dikenal dengan wilayah hitam. Namun kini telah berubah menjadi wilayah yang aman dan tentram pasca-MOU di Helsinki. Bahkan, menjadi salah satu pencetak ulama untuk masa depan. Dulunya wilayah tersebut adalah tempat para kombatan berkumpul karena dekat dengan pergunungan. Wilayah tersebut dikenal dengan nama Cot Keueng. Orang-orang pasti merinding jika mendengar nama daerah tersebut. Namun kini, di sana telah ada obat penawarnya yaitu dayah Babul Maghfirah. Pada saat konflik memuncak dan pascakonflik daerah ini sudah mencetak kader ulama. “Yaitu para lulusan pesantren atau yang pernah belajar di dayah tersebut,â€? ujar Abu Madinah, pendiri sekaligus pimpinan Dayah Babul Maghfirah. Dayah  Babul Maghfirah di setiap tahun pada bulan Juni-Juli, menerima murid-murid baru. Metode pendidikan yang digunakan di dayah ini adalah terpadu, gabungan antara kurikulum umum dengan kurikulum pesantren. Pada


Dayah di Bekas Kawasan Hitam

84

papan yang berwarna putih dengan tulisan warna hitam yang menyambut bila mengunjungi dayah, ‘Dayah siap mencetak kader ulama dan umara yang handal dan beriman kepada Allah’. Tertulis dalam bahasa Arab dan Indonesia. Dayah ini banyak menampung anak-anak korban konflik, tsunami dan fakir miskin. “Dayah didirikan pascakonflik dan tsunami 2004 silam,” kata Abu Madinah. Pengakuannya, biaya belajar mereka ditanggung oleh Yayasan Babbul Maghfirah, masyarakat, donatur dalam dan luar negeri serta Pemerintah Pusat dan Daerah. Tempat belajarnya ada tiga gedung lantai dua yang berjejeran dengan cat kuning. “Di pagi hari mereka belajar pelajaran umum, siang hari dan malam hari belajar ilmu agama,” Sebut Mufriyadi, pengasuh panti asuhan. *** Awal Juni 2009 lalu, tepat pukul 12:45 WIB. Belasan anak laki-laki sebaya duduk di kantin dalam komplek dayah yang dipagari dengan kawat duri. Mereka baru saja usai belajar di sekolah, yang juga berada dalam komplek dayah. Badan mereka dibungkus dengan seragam khusus dayah. Di tangan mereka terdapat botol minuman mineral. Asyik mendiskusikan pelajaran yang baru usai mereka terima dari guru sekolah. Sebagian mereka adalah anak yatim dan yatim piatu korban konflik. Mereka belajar di SMA dan SMP Babul Maghfirah. Pihak sekolah bekerja sama dengan dinas pendidikan Aceh Besar dalam mendidik mereka. “Misalnya dalam pengadaan komputer, perpustakaan dan lain sebagainya, serta dari para donatur lainnya,” ujar Agusni, kepala sekolah SMA. “Anak kami sudah bisa mengoperasikan komputer dengan baik,”


kisah usai perang

tambahnya lagi. Para anak ini tentunya masih trauma dengan konflik. Maka pihaknya berusaha mengontrol emosi dan karakter mereka secara psikologi. Dan mengajarkan tentang perdamaian dalam bentuk kegiatan ekstrakurikiler. “Supaya anak-anak dapat melupakan konflik secara beransur-ansur, walaupun lama tapi kami harus sabar,” jelas Agus. Setelah meneguk air dari botol Aqua yang dijual di kantin. Aku berusaha mendekati para anak laki-laki yang duduk di meja depan kantin. “Assalamu’alaikum...,” aku memberikan salam pada mereka. Mereka menjawab serentak. “Kaifa Halukum... (apa kabar kalian semua).” “Bikhair, Alhamdulillah (Alhamdulillah, baik-baik saja),” jawab mereka. Bahasa arab mereka sangat fasih. Di antara anak tersebut terdapat dua orang anak yatim korban konflik, Murtadha dan Kautsar. Mereka tinggal di sana sejak damai terwujud. “Saya bercita-cita ingin jadi dokter umum dan dokter gigi,” kata Murtadha. Pengakuannya mereka sangat betah tinggal di sini karena para guru-guru yang mengasuhnya sangat menyayangi mereka semua. Pengakuannya, dia tidak merasa trauma lagi sekarang, karena konflik sudah berlalu dan banyak teman di sini. “Kami sudah belajar banyak Ilmu Agama di sini, dan kami tidak merasa dendam pada apa yang telah terjadi, ini merupakan kehendak dari pada Allah. Damai harus kita jaga,” Sebut Murtadha, dengan nada yang serius. Kautsar mengangguk tanda setuju. “Ilmu agama telah memberikan pengertian pada kami bahwa dendam itu tidak bagus dan dilarang,” katanya. Ustad Mufriyadi, seorang pengasuh mengatakan para santri telah belajar banyak tentang agama, hadits-hadits Nabi dan lainnya. Jadi mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga perdamaian di Aceh ini.

85


Dayah di Bekas Kawasan Hitam

86

Tak hanya pendidikan yang membaik di sana. Pasca perdamaian ekonomi warga di Cot Keueng berangsur-angsur pulih. Afdhal pedagang sayuran mengatakan, saban pagi sudah berangkat ke pasar Aceh. “Kami sudah bisa mencari nafkah untuk biaya sekolah anak-anak,” katanya. Helmi seorang warga lainnya mengatakan bila dibandingkan dengan sebelum konflik, kehidupan mereka sangat berubah. “Pendidikan di Cot Keueng sudah bagus dan maju.” Menurutnya, dengan adanya dayah Babul Maghfirah, sebagai awal mula bangkitnya pendidikan dan kehidupan masyarakat Cot Keueng pascakonflik. “Sekarang anak-anak bisa belajar dengan tenang di sini. Mari kita jaga perdamaian bersama-sama,” harap Rahmi, seorang guru di wilayah bekas perang itu. ***


Yang Terpuruk di Sudut Desa Oleh: Rita Junia Sari

Jum’at pagi, sinar matahari terasa mulai membakar kulit. Tak menyurutkan niatku untuk menuju ke sebuah Gampong. Aku ingin merekam kehidupan warga di sana. Mengenderai sepeda motor, butuh waktu satu jam perjalanan dari tempat tinggalku di Banda Aceh. Gampong tujuan itu bernama Bak Diliep, terletak di bagian selatan Aceh Besar. Banyak rumah terbuat dari batu bata, beberapa lagi terlihat sederhana dengan model semi permanen dan bahkan rumah panggung. Sepanjang perjalanan, terhampar aspal tua. Gampong tersebut terlihat sepi. Terus kupacu sepeda motorku, hingga melihat sebuah rumah panggung yang terbuat dari pelepah rumbia. Aku berniat merekam kehidupan keluarga di rumah itu. Seorang bapak berkulit hitam kecoklatan, rambut hitam tebal dan postur tubuh berisi, tampak sedang membersihkan balai kecil yang ada di halaman rumah panggung. Amiruddin namanya. Rumah itu punya ibu Mariam, 65 tahun, mertua dari Amiruddin.


Yang Terpuruk di Sudut Desa

88

Halaman rumah dipenuhi rerumputan, di tengah halaman terdapat beberapa pohon pisang dan sebatang pohon belimbing dan di sekelilingnya dipagari dengan kayu-kayu kecil. Di bagian dalam rumah terlihat beberapa panci dan beulanga tersusun di dinding rak piring, melekat erat dengan pelapah rumbia di sebelah kanan pintu masuk. Alas rumah yang terbuat dari lidi bambu sudah rapuh. Mariam duduk di atas kasur reot dengan lebar satu meter dan panjangnya dua meter dilapisi kain sarung garis-garis bewarna kecoklatan, “neuk hana peu hireun, meunoe keuh asoe rumoeh (nak tidak usah heran, seperti inilah isi rumah saya),� ujarnya. Bagi Mariam, Aceh dulu dengan sekarang tidak ada bedanya. Kehidupan mereka tetap saja melarat, baik semasa konflik atau pun pascaperdamaian. Menurut Mariam, pemimpin demi pemimpin telah ia pilih, tapi tak juga membawa angin segar baginya dan keluarga. Tapi dia tak putus asa, setiap langkah dan semangatnya menjalankan hidup menaruh banyak harapan kepada pemimpin-pemimpin. “Semoga orang atas memikirkan orang di bawah,� ujar Mariam yang memiliki empat orang anak itu. Apa yang dirasakan Mariam juga sama dengan menantunya, Amiruddin 51 tahun. Lelaki paruh baya ini merasa diperlakukan tidak adil pada masa konflik dan juga sekarang. Pekerjaan sebagai penjual ikan keliling dulunya selalu mendapat rintangan. Tiap usai menjual ikan keliling, dia selalu diberhentikan di tengah jalan oleh aparat dan juga gerilyawan, untuk meminta sebagian hasil penjualannya. Ketika Aceh damai 15 Agustus 2005 lalu,

pemerintah banyak

memberi dana bantuan untuk korban konflik. Namun, Mariam hanya mendapatkan pengganti atap rumahnya, yang dulu terbuat dari anyaman daun rumbia sekarang digantikan dengan seng, selain itu Mariam tidak mendapatkannya lagi. Sawah sebesar lapangan voli menjadi tempat Mariam dan keluarganya


kisah usai perang

menggantungkan hidup. Ketika memasuki masa panen padi, sebagian dijual dan sebagian lagi dijadikan beras untuk makan sehari-hari. ”Tiap tahun dua kali membajak sawah kalau tidak begitu tidak ada beras untuk dimakan,” kata Mariam. Pengakuannya,

belakangan

ini

sering

sakit-sakitan

karena

reumatiknya kerap kambuh. Berobat ke rumah sakit, keluarga miskin itu tak punya dana yang cukup. Amiruddin yang menjadi tulang punggung keluarga itu juga serba kekurangan. Bahkan untuk jajan anaknya sekolah saja, kerap tak ada. ”Meski orang tuanya tamatan SD, tetapi anak saya harus keperguruan tinggi,” kata Amiruddin. Kehidupan Mariam dan menantunya memang pahit. Mereka hanya sebagian kecil dari masyarakat Aceh yang hidupnya masih terkatungkatung di Aceh. Mereka masih menunggu janji hidup yang layak dari negara. Kepala Gampong Bak Diliep, Nasrul mengatakan umumnya warga di daerahnya sudah dapat mencari rezeki dengan baik, berbeda saat masa konflik dulunya. Menurutnya masih ada 10-15 rumah lagi yang masih berbahan pelepah rumbia, karena faktor sosial ekonominya kurang mampu. ”Jangankan untuk membeli papan, untuk kebutuhan seharihari saja susah mereka dapatkan.” Saat mendengar ada bantuan dana dari pemerintah, pihak gampong sudah mengajukan proposal untuk membantu warga miskin desanya. Namun hal itu belum berhasil, kecuali dana BKM (Bantuan Kesejahteraan Masyarakat) untuk keluarga kurang mampu. ”Kami tetap berusaha walau itu tak mudah, terlalu berharap kami nggak mau, karena takut merasa kecewa, makanya sampai sekarang kami menerima apa adanya.” Kata Nasrul, gampongnya sangat butuh perhatian pemerintah untuk membangun jalan, walau sebagian sudah dibuat. Pada masa konflik gampong ini memang dipenuhi orang aparat dan GAM (Gerakan Aceh

89


Yang Terpuruk di Sudut Desa

90

Merdeka), warga merasa ketakutan dan hidup dalam kekhawatiran kontak senjata. Saat Aceh damai, warganya sudah terlihat tenang. Hanya saja banyak masyarakat yang masih butuh perhatian. �Saya rasa belum ada perubahan yang terlihat jelas, karena di sini masih banyak keluarga yang butuh perhatian. Aceh damai rakyat belum sejahtera,� ungkapnya. ***


Menunggu Kiprah Wakil Rakyat Oleh: Saifannur

“Wakil Rakyat Seharusnya Merakyat‌. “ begitu kutipan lagi penyanyi terkenal, Iwan Fals. Data yang didapat dari Komisi Independen Pemilu (KIP) menyebutkan jumlah keseluruhan caleg yang ikut serta dalam pemilu legislatif di Nanggroe Aceh Darussalam, sangatlah meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukti bahwa tahun ini adalah kesempatan emas bagi rakyat Aceh, setelah menikmati perdamaian dari hasil MoU Helsinki 2005. Dengan hadirnya calon legislator (caleg) yang lumayan besar jumlahnya dari berbagai macam latar belakang profesi, memungkinkan ada kedekatan antara rakyat dan wakilnya nantinya. Dari segi perspektif publik yang makin hari makin puruk menjalani hidupnya, bisa disimpulkan dengan hadirnya caleg-caleg dari setiap Partai Nasional (Parnas) maupun Partai Lokal (Parlok) sangatlah menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Caleg itu berasal dari berbagai jenis pekerjaan, sebut saja seperti guru,


Menunggu Kiprah Wakil Rakyat

92

mantan kombatan, tengku dan dosen. Tidak sedikit dari mereka itu yang mencalonkan dirinya dengan modal keberanian, ketangkasan berpikir, serta kepandaian tersendiri. Ini merupakan suatu perubahan yang telah memberikan kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi calon legislatif dan ikut serta pada pesta demokrasi tersebut. Nizar, 20 tahun, salah seorang warga Ulee Kareng yang berprofesi sebagai penjual roti martabak, berpendapat seorang pemimpin itu bukanlah harus dari kalangan atas saja. Asalkan dia mengerti apa yang sedang dilakukannya dan memahami bagaimana menjadi seorang pemimpin. Karena untuk menjadi seorang pemimpin ataupun utusan, bukanlah suatu hal yang mudah dengan segala tanggung jawab nantinya.“Siapa saja boleh jadi caleg, asalkan kriteria itu seperti yang saya bilang tadi,” ujarnya. Hasil Pemilu Legislatif tahun ini diyakini oleh masyarakat Aceh khususnya, akan membawa perubahan besar terhadap masa depan Aceh. Salah satu di antara parlok yang menang telak yaitu Partai Aceh (PA), berhasil menguasai sebagian besar suara masyarakat Aceh. “Berdasarkan hasil pemilihan, Alhamdulillah saya terpilih menjadi anggota legislatif,” ujar Tgk H Rais, 40 tahun, pimpinan Dayah Miftahul Ulum. Ia merupakan salah seorang caleg terpilih dari PA. Berbicara tentang hadirnya caleg yang lumayan besar, menurutnya siapapun boleh menjadi caleg, asalkan memilki sifat dan sikap kepemimpinan dan memilki kemampuan sebagai pemimpin Pada tahapan hasil pemilu legislatif tahun ini, beberapa caleg dari partai lokal khususnya, lebih unggul dibandingkan dengan partai politik lainnya. PA saat ini yang menguasai sebagian besar kursi wakil rakyat, memiliki kedekatan langsung dengan masyarakat. Dengan ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat lebih antusias terhadap eksistensi caleg dari Parlok. “Bukan hanya sekedar menebar janji tapi membuktikan apa yang


kisah usai perang

sudah dikatakan dengan perbuatan ketika kampanye berlangsung sebelumnya,” tutur Andre, 24 tahun, seorang warga Banda Aceh yang berprofesi sebagai karyawan di salah satu perusahaan distributor. Masyarakat sangat berharap akan ada perubahan besar di masa depan. “Menurut saya seorang caleg itu biasanya heboh cuma waktu berkampanye, tapi jikalau sudah menang mendapat kursi wakil rakyat lupa akan janji-janjinya, tapi kita harap ke depan dengan adanya perubahan dan perdamaian dapat melahirkan wakil rakyat yang bijkasana,” ujar Muntasir, 21 tahun, warga Darussalam yang berprofesi sebagai tukang cukur rambut. Kehadiran

banyak

caleg

dinilai

banyak

kalangan

juga

membingungkan. Riyal misalnya, mahasiswa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menilai hadirnya caleg merupakan hal positif bagi masyarakat, tapi dengan jumlahnya yang lumayan banyak meningkat dari tahun sebelumnya dapat membuat masyarakat sedikit bingung. Dia hanya berharap perubahan masa depan Aceh yang membawa kebaikan bagi setiap elemen masyarakat. “Semoga masyarakat Aceh kian makmur dan perdamaian terus abadi.” Proses pemilu legislatif pun telah berlalu, April 2009 lalu, masyarakat telah menentukan pilihannya. Sekarang para caleg yang menang dalam ajang pesta demokrasi telah ditunggu oleh masyarakat untuk berbuat. Kita tunggu saja, semoga sesuai harapan yang dilantunkan Iwan Fals, penyanyi country itu. ***

93



Terasing di Aceh Timur Oleh : Syamsuddin

Dengan motor butut, kulalui perkebunan karet. Angin semilir sejuk menerpa wajah, menghibur laju yang sulit di jalan berbatu. Beberapa bukit terjal terlalui sampai sebuah perkampungan di depan mata, Desa Blang Nisam, Kecamatan Indra Makmu. Mei lalu, cuaca di desa pedalaman Aceh Timur itu cerah. Kalau hujan, jalan pasti lebih sulit lagi dilalui. Sesampai di Dusun M6, aku berhenti pada sebuah warung. Di sekeliling, kulihat warga asyik bercengkrama dengan hidangan kopi di atas meja. Aku memberi salam. Warga menjawab serentak. Tidak lupa menyalami semua mereka dalam warung itu. Aku menempati sebuah kursi kosong di sudut, lalu air dingin dan kopi hilangkan keringnya kerongkongan. “Dari mana dek,� salah seorang warga menyapa. Lalu kuperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan. Mereka merespon baik dan kami pun berbincang-bincang. Mereka terbuka saja bercerita tentang kondisi desa, mulai konflik sampai damai datang ke bumi Serambi.


Terasing di Aceh Timur

96

Dusun M6 mayoritas berpenghuni suku Jawa. Umumnya mereka adalah petani yang datang ke sana sejak lama. Masa program transmigrasi digalakkan pemerintah tahun 1980-an lalu. Letak wilayah itu lumayan terpencil. Jarak tempuh dari jalan provinsi Banda Aceh – Medan mencapai 16 kilometer. Hanya 5 kilometer yang baru teraspal, selebihnya jalan berbatu yang menebar debu. Seorang warga berkisah, masa konflik dulu, daerah ini sungguh sangat parah, hampir saban hari terdengar letusan senjata dan ledakan bom. Sehingga tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, warga terpaksa mengungsi termasuk suku Jawa. Warga yang mengungsi meninggalkan harta bendanya, untuk menghindari sasaran peluru nyasar dari kedua belah pihak yang bertikai; tentara/polisi pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pada akhir tahun 2002 warga kembali pulang dari pengungsian karena kontak senjata yang kerap terjadi sudah mereda, sebab meningkatnya operasi militer di Kecamatan Indra Makmu. Warga yang kembali paling awal adalah pribumi. Sedangkan warga transmigrasi tidak ada yang kembali, karena masih takut dan trauma. “Namun sekembalinya warga dari pengungsian, betapa kagetnya warga karena banyak rumah yang telah hangus terbakar, termasuk rumah suku Jawa yang berdomisili di pedalaman Desa Blang Nisam,” ujar keuchik Blang Nisam, Sabidin. Menurutnya, setelah damai hadir di Aceh pada 15 Agustus 2005 silam, warga banyak yang kembali ke sana. Mereka berharap rumah yang dibakar dibangun lagi pemerintah. Maklum, pemerintah Aceh telah membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang salah satu tugasnya menangani hal itu. “Tapi program BRA belum sepenuhnya terealisasi di Blang Nisam.” Menurut Sabidin, rumah yang dibakar di Blang Nisam sebanyak 540 unit dari tiga dusun, “termasuk rumah suku Jawa dan rumah warga setempat. Namun rumah yang dibangun BRA cuma 35 unit, bagaimana


kisah usai perang

warga transmigrasi mau pulang, yang sudah kembali saja sekarang tinggal di barak,” ujarnya. Warga trans umumnya petani kebun karet, tapi kebun karet tersebut pun sudah tidak layak lagi dimanfaatkan, karena batangnya sudah rusak juga pohonnya sudah tua. Seorang warga transmigran, Parmin (44 tahun) mengatakan bahwa mereka belum diperhatikan sepenuhnya oleh pemerintah. “Kami juga warga Aceh walaupun kami suku Jawa. Rumah kami dibakar masa konflik dulu oleh OTK (Orang Tak Dikenal), tapi kami tidak dapat bantuan rumah dari BRA,” katanya. Ketuha Peut Desa Blang Nisam, Usman (47 tahun) menjelaskan saat ini kondisi di perkampungan transmigrasi terssebut sudah berjalan baik. Warga yang kembali pascakonflik sudah memulai membenahi hidup. “Tidak ada lagi intimidasi terhadap suku Jawa seperti dulu masa konflik.” Menurutnya, pajak nanggroe dan penjarahan harta masyarakat juga tidak pernah terjadi lagi. Hanya ada beberapa gangguan kriminal seperti perampokan dan pencurian, tapi hanya sesekali. Kehidupan sudah berjalan normal, meski masih ada yang tinggal di barak. “Dalam bekerja tidak ada lagi aral melintang,” kata Usman. Hubungan suku jawa dan pribumi pun berjalan baik, tidak ada lagi saling curiga seperti dulu. “Semoga perdamaian di Bumi Serambi Mekah ini akan abadi sepanjang masa. Dengan begitu ekonomi rakyat Aceh akan terpacu, dan akan lebih maju untuk mengejar ketinggalan.” ***

97



Belajar Melepas Dendam Oleh: Taufiq Hidayatullah

Pesantren Markas Al-Islah Al-Azaziyah, Lueng Bata, Banda Aceh ramai sore itu. Akhir Mei 2009 lalu, ratusan anak tampak bermain di sana. Mereka umummya anak yatim korban konflik dan tsunami Aceh. Salah satunya adalah Hanifah, anak asal Desa Simpang Mamplam, Samalanga, Kabupaten Bireuen. Hanifah adalah anak korban konflik yang terjadi di Aceh sebelum damai hadir pada 15 Agustus 2005. Kejadian yang merengut nyawa ayahnya masih melekat di pikiran Hanifah. Dia berkisah, suatu hari saat status Darurat Militer masih berlaku di Aceh, seusai shalat magrib, anak itu berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi ke surau tempat ia mengaji. Letaknya sedikit berjauhan dengan rumahnya. “Saat itu saya dia masih bersekolah di kelas satu SD.” Setelah Hanifah berangkat, tentara atau biasa disebut ‘aparat’ mendatangi desanya dan bertemu dengan Ayahnya, mereka menanyakan di mana rumah GAM? Ayah Hanifah tidak menjawab pertanyaan itu. Saat itu pula ayahnya diambil dan dibawa serta.


Belajar Melepas Dendam

100

Setelah kembali dari pengajian, Hanifah tidak melihat ayahnya di rumah seperti biasa, lalu Hanifah bertanya pada Ibunya. “Mak, Ayah pat...? (Mak!, Ayah dimana...?)� tanpa basa-basi, Ibunya pun menjawab, “ayah ka ji cok le tentra meusigoe ngen kakek (Ayah sudah diambil oleh Tentara sekalian dengan kakek).� Keesokan harinya kabar tentang ayah Hanifah menyebar dengan cepat di desanya. Sehingga warga berduyun-duyun membantu mencari, dari satu tempat ke tempat lain, pencarian berakhir di sekitar daerah Batee Gelungkue, Kabupaten Bireun. Di sini ayah Hanifah ditemukan tanpa nyawa. Hanifah, anak perempuan yang kehilangan ayah karena sebuah konflik, mereka Tinggal di Samalanga, Desa Simpang Amplam, ayahnya merupakan masyarakat biasa. Kesehariannya menjadi petani. Masih melekat di benak Hanifah musibah tersebut, yang menjadi malam terakhir ia bertemu dengan ayahnya. Sejak itu Hanifah dirundung malang. Dia takut bertemu dengan setiap orang asing. Praktis keluarga itu hidup dalam serba sulit. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, yang harus menanggung keempat anaknya. Karena keadaan kurang mampu, Hanifah dan kakaknya dibawa oleh sanak saudara untuk sekolah di sebuah pesantren yang menampung korban konflik, Markas Al-Islah Al-Azaziyah. Di sekolah Hanifah, juga terdapat anak yang senasib dengannya, namanya Basri, siswa kelas 5 SD di Pesantren Markas Al-Islah AlAzaziyah, Lueng Bata. Saat ia masih kecil dan belum bersekolah, Basri kehilangan ayahnya, setelah terjadi kontak senjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka. Ayahnya meninggal dalam peristiwa itu. Basri lahir di Lamlo, salah satu desa yang ada di Kabupaten Bereunuen, Pidie. Semenjak kejadian tersebut, Basri dan 2 saudara lainnya tidak lagi tinggal di sana. Tapi pindah ke Desa Batoh, Kota Banda Aceh. Sebenarnya Basri berkeinginan untuk bersekolah ke tempat yang


kisah usai perang

lebih tinggi, namun keinginan itu kandas dengan hilangnya orang yang menafkahi keluarga mereka. Hanifah dan Basri adalah dua anak korban konflik yang tengah belajar di pesantren. Mereka saban hari belajar agama dan pendidikan lainnya. Mereka juga diajarkan untuk melupakan dendam yang pernah membara di hati. Menurut Zubaidi, salah satu pengurus di lembaga tersebut, di pesantren tersebut terdapat puluhan anak laki-laki dan perempuan yang bernasib hampir sama dengan Hanifah dan Basri. Kebanyakan mereka dibawa oleh paman atau saudara yang lainnya. Pesantren yang didirikan dengan status waqaf. “Ini adalah sebuah bentuk solusi, memberikan sebuah pendidikan gratis bagi anak korban konflik dan tsunami,� ujarnya. Tgk Bulqaini, Pimpinan Pesantren itu mengatakan perdamaian saja tidak cukup menyelesaikan dendam yang pernah terbentuk dalam hati masyarakat Aceh. Yang paling penting adalah memutuskan mata rantai konflik, dengan mendidik anak-anak untuk dapat berdamai dan melupakan dendam, baik yang korban dari pihak GAM maupun TNI. “Sehingga mereka bisa membangun kembali hidup yang baru tanpa rasa dendam,� ungkap Bulqaini. ***

101



Damai di Jambo Oleh : Yuhdi Fahrimal

Matahari baru naik. Sengatan sinarnya belum terlalu panas. Tidak ada angin sedikit pun bertiup. Tidak ada dedaun yang bergoyang. Hanya ada beberapa petani yang sedang menanam bibit padi di sawahnya ditemani kerbau-kerbau. Pemandangan ini menemaniku menyusuri sebuah desa terpencil di Kabupaten Aceh Besar. Cot Jambo, nama desa itu, berjarak 16 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Arah menuju Bandara Sultan Iskandar Muda. Desa itu dikelilingi oleh hamparan sawah dan rawa. Sungai yang sedikit jernih masih mengalir lancar ke setiap sawah desa. Suasana desa tak banyak berubah, hampir sama seperti saat konflik dulu. �Desa kami tidak pernah kacau,� ujar Ramli, 33 tahun, Keuchik Desa Cot Jambo, Aceh Besar. Ramli mengisahkan ketika Aceh dilanda konflik, desa mereka diberikan lampu hijau, petanda daerah aman. Tidak ada pos TNI/Polisi yang didirikan di sana. Namun, sekali-kali mereka juga berpatroli untuk berjaga-jaga.


Damai di Jambo

104

Setiap harinya tidak ada bedil yang menyalak minta korban. Letusan bom juga tidak terdengar. Bahkan nyaris warga di sana tak merasa kalau perang sedang melanda. ”Kalau daerah sekitar kita ini baru rawan,” tambah Ramli sambil menunjuk ke arah beberapa desa lain yang berbatasan dengan desa mereka. Apakah warga di desa ini ada yang terlibat GAM? “Sepengetahuan saya selama saya menjadi keuchik tidak ada satu orang pun warga desa ini yang terlibat GAM,” kata Ramli yang sudah 8 tahun menjadi Keuchik Cot Jambo. ”Kami tidak pernah memihak siapa pun”, tambah Ramli sambil membakar sebatang rokok yang dari tadi dipegangnya. ”Sama TNI kami kawan, sama GAM juga.” Menurut Ramli, dulu ketika lagi panas-panasnya konflik warga desa mereka memberikan bantuan kepada GAM. Pemberian itu dilakukan karena mereka (GAM) yang meminta bantuan seperti makanan. Biasanya, seorang anggota GAM keluar dari markas mereka, lalu datang ke Desa Cot Jambo dan menuju rumah Ramli untuk meminta bantuan makanan. Setelah bantuan terkumpul, Ramli yang akan pergi mengantarkan bantuan itu ke basis GAM di bawah Komando Mukhlis, seorang Panglima Sagoe GAM wilayah Blang Bintang. Basis yang dimaksud Ramli, berada di sebuah pesantren di daerah kaki gunung Seulawah. Di situlah semua kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh berkumpul dan bertahan. Sekali-kali mereka pindah jika TNI/Polri melakukan penyerangan dan penyisiran. Tanggung jawab Ramli sebagai seorang pemimpin di desanya sangat besar. Pernah suatu ketika Ramli harus bolak-balik ke Pos TNI, Komando Rayon Militer Blang Bintang, Polsek Blang Bintang, hanya untuk memberi jaminan warga yang ditangkap karena dicurigai terlibat GAM.


kisah usai perang

”Saya bolak-balik ke Pos TNI dan harus membuat beberapa surat jaminan atas nama saya, ini saya lakukan karena saya yakin warga yang saya beri jaminan bukanlah anggota GAM,” tutur Ramli. Saat aku di Cot jambo, sepanjang jalan belum ada pamflet, baliho, spanduk, dan poster untuk kampanye presiden. Hanya terlihat beberapa poster calon legislatif yang masih memenuhi pohon dan tiang listrik. Semangat warga desa Cot Jambo untuk mengikuti pemilu presiden nanti akan sama ketika pemilu legislatif yang lalu. Pada pemilu legislatif, kata Ramli, warga sangat antusias megikutinya. Dan pemilu berjalan dengan sukses. Tidak ada intimidasi sedikitpun. Tidak ada bentrokan baik besar maupun kecil. Meskipun di beberapa tempat diisukan terjadi intimidasi oleh beberapa tim sukses caleg dan partai. ”Secara lahir warga desa Cot Jambo akan memilih SBY nanti,” ujar Ramli Bagi warga Cot Jambo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah sosok pemimpin yang pantas dipilih kembali. Di mata warga Cot Jambo ditangan SBY-lah Aceh mendapat damai. Jika bukan karena kepemimpinan SBY, maka konflik Aceh pasti akan memanas dan tidak akan pernah berakhir. Damai di Aceh lahir pada 15 Agustus 2005. Belakangan terbukti, tak hanya di Desa Cot Jambo, SBY meraih suara terbanyak. Di provinsi Aceh, total suara yang diperolehnya 93 persen dari tiga juta pemilih di Aceh. Bahkan SBY juga berhasil duduk kembali sebagai presiden berpasangan dengan Boediono, untuk lima tahun ke depan. Secara nasional, pasangan itu mendapat suara lebih dari 60 persen. ”Berdo’a saja, semoga tidak ada lagi perang di Aceh, semoga damai tetap terjaga di Aceh,” harap Ramli mengakhiri pertemuan kami hari itu dengan senyuman. ***

105



Sama Saja di Blang Keudah Oleh: Manfaluthi

Dar... der... Dor.. dar... der... dor... rentetan senjata itu bersahutsahutan tanpa berhenti, memecahkan kesunyian malam Blang Keudah, sebuah pemukiman di Kecamatan Tiro, Pidie. Semua orang ketakutan, yang tidur di atas ranjang spontan melompat ke bawah, tanpa ada abaaba atau komando dari siapapun. Suara senjata itu menyalak keras mencari sasaran, ikut perintah tuannya. Tangan Pak Ismail bergerak-gerak mengikuti irama mulutnya, semangat bercerita kisah lama. Kadang dia berdiri dan duduk lagi. �Tidak akan selamat jika kita berada di luar rumah pada saat kontak senjata sedang berlangsung, kalau tidak dituduh sebagai pemberontak maka kita akan disebut cuak atau mata-mata pemerintah,� cerita Ismail kepada ku, 27 Juli 2009 lalu, di sebuah warung desa itu. �Pada saat konflik, kalau sudah pukul enam sore, kita sudah harus berada rumah, tidak ada yang berani keluar rumah di atas jam itu,� lanjut Ismail yang pernah study di IAIN Ar-Raniry. Sekarang, kata Ismail, semuanya telah bebas berjalan kemana saja


Sama Saja di Blang Keudah

108

dan kapan saja, tanpa harus khawatir dengan keadaan dan apa yang akan terjadi pada kita. ”Dulu, hampir semua orang di desa kami pernah dipanggil ke pos aparat di Tiro.” Tidak semua dari warga di sana senang menceritakan dan mengingat pengalaman pahit mereka. Maklum, desa ini merupakan daerah hitam yang dicap oleh aparat pada masa itu. Dan juga merupakan basis GAM terbesar di wilayah Pidie. Menurut Ismail, banyak yang menyimpan trauma kisah lama. Maklum, kadang ada yang pernah disekap sampai hitungan bulan di pos. ”Itu kisah lama, seburuk apapun pasti menjadi kenangan bagi kami.” *** Esok harinya, aku kembali memacu sepeda motorku menuju ke Blang Keudah. Letaknya jauh. Sekitar 13 kilometer dari kota Beurenuen. Blang Keudah merupakan tempat yang terpisah dari keramaian. Pemukiman terpencil yang mungkin lupa diperhatikan oleh pemerintah. Padahal pemukiman ini banyak meninggalkan sejarah yang tidak pernah terjadi di daerah lain. Jalanan yang penuh dengan kolam membuat perjalanan sedikit lambat. Rawan kecelakaan jika sepeda motor dipacu kencang. Mungkin satu-satunya hiburan adalah pemandangan di kiri kanan yang mencerahkan mata. Abdul Gani, Kepala Mukim Blang Keudah mengatakan di wilayahnya terdapat dua desa; Pantoen Peunuet dengan jumlah penduduk 57 Kepala Keluarga (KK) dan Blang Rikui, dengan jumlah penduduk 94 KK. Secara geografis, Blang Keudah sangat dekat dengan gunung sehingga banyak penduduknya yang bertani. ”Dan jangan lupa, Blang Keudah termasuk dalam wilayah Tiro,” sebut Abdul Gani. Aku telah sampai di jembatan yang menghubungkan antara Blang


kisah usai perang

Keudah dengan wilayah lainnya, sekaligus merupakan perbatasan pemukiman itu. Dari atas nampak orang-orang sedang bekerja dengan sangat serius. Boom... boom... boom... Sesekali terdengar suara hampir mirip dengan suara letusan granat. Jangan terkejut jika saudara datang kemari, itu merupakan suara benturan batu yang dilemparkan ke dalam mobil untuk dibawa ke kota. Aku mulai menanjaki bukit yang lumayan curam. Suasana hujan membuat aku lebih berhati-hati dalam mengendarai motor. Perkiraan ku, Blang Kuedah merupakan tempat yang strategis untuk pertahanan. Gunungnya mengelilingi seluruh wilayah, layaknya tembok besar Cina. Kita hanya dapat memasuki Blang Keudah dengan melewati lereng gunung yang baru saja ku lewati. Kemudian aku mulai melewati jembatan kecil yang belum siap, karena hanya dilapisi dengan kayu-kayu dari gunung. Tampak di sebelah kanan, gunung yang sangat besar dan gagah. Dihiasi dengan hamparan sawah dan perkebunan di bawahnya. Keadaan masih sangat alami. Aku melewati Desa Blang Rikui sebagai desa pertama yang aku jumpai di dalam pemukiman Blang Keudah. Sepanjang jalan itu, terdapat kebun dan sawah yang sudah dipanen. Rumah-rumah yang masih sangat khas, yaitu Rumoh Aceh, yang mungkin tidak layak untuk ditempati. *** Penandatanganan perdamaian 15 Agustus 2005 silam, merupakan awal baik bagi seluruh rakyat Aceh. Damai yang sudah berjalan empat tahun, membuat suasana aman dirasakan masyarakat Aceh. Lainnya, damai hampir tak membawa pengaruh bagi kehidupan di Blang Keudah. �Kami hanya merasakan kebebasan dalam melakukan aktivitas, selain dari itu tidak ada,� kata Abu Bakar, warga setempat.

109


Sama Saja di Blang Keudah

110

”Tidak ada yang berubah dengan Blang Keudah, kehidupan kami sebelum dan sesudah damai sama saja,” tambah Ismail Ahmad. Apa yang dikatakan Ismail tergambar jelas dari kehidupan warga Blang Keudah. Mulai dari rumah yang tidak layak untuk dihuni, sekolah yang hanya ada tingkat Sekolah Dasar (SD), dan juga pekerjaan warga yang tidak memberikan keuntungan yang besar untuk membangun perekonomian. Semua berbeda dibandingkan dengan daerah lain. ”Jangankan mewah, rumah yang permanen saja sangat jarang ada di Blang Keudah,” kata Ismail. Menurutnya kondisi itu sungguh tak patut bagi warga Blang Keudah. Mereka bahkan tidak merasakan kesejahteraan seperti yang didengungkan media massa ataupun para politisi. ”Kondisi kami sangat sulit, sangat berbeda dengan daerah lainnya di Aceh,” kata Abu Bakar. Dengan nada yang sangat pelan, dia melanjutkan, ”desa kami tidak pernah damai dek...” Kata Abu Bakar, mereka belum mendapat kedamaian dengan kehidupan perekonomian mereka. Selain bebas dari konflik, semuanya masih sama seperti dulu. ***


Potensi Lain Ujong Pancu Oleh : Syakirorrozi

Angin berhembus pelan, menerobos dedaunan yang ada sekitar bukit, membuat suasana terasa sejuk. Tak perlu heran, memang begitulah Ujong Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar, sebuah desa yang diapit oleh perbukitan dan laut. Letaknya sangat bagus dijadikan tempat rekreasi, atau sekadar melepas penat. Atau pun anda bisa menghabiskan hari Minggu dengan memancing di seputar bibir pantai yang berbatu. Tak perlu khawatir, bongkahan batu itu tak berbahaya. Justru akan semakin nikmat duduk memancing atas batu-batu yang setengahnya terbenam di air. Bagi sejarawan Aceh, Ujong Pancu tak mungkin hilang dari memori. Pasalnya, seorang ulama sufi Aceh, Hamzah Fansuri dimakamkan di sana. Masyarakat Ujong Pancu menyebutkan panjang makam ulama masa kerajaan itu mencapai 8 meter. Walaupun ada sebagian pendapat lain mengatakan, Hamzah Fanzuri wafat dan dimakamkan di Singkil. Untuk mencapai Ujong Pancu, hanya butuh waktu 20 – 30 menit menggunakan sepeda motor, dari pusat kota Banda Aceh. Jalan aspal


Potensi Lain Ujong Pancu

112

sepanjang 15 kilometer mulus terhampar. Bahkan, sampai ke gang-gang kecil. Desa ini termasuk daerah yang cukup parah dilibas tsunami. Hampir separuh warganya meninggal saat bencana 26 Desember 2004 lalu. Berat rasanya untuk kembali bangkit. Tapi, kini Ujong Pancu kembali ramai dikunjungi. Rumah-rumah mungil bantuan berbagai pihak pun terbangun rapi di sana. Desa Ujong Pancu menyimpan kekayaan alam yang begitu besar. Selain keindahan alam, masyarakat di sana memanfaatkan laut sebagai tempat mencari nafkah, umumnya masyarakat bekerja sebagai nelayan. Tak hanya itu, potensi bukit dengan tanah yang subur, digunakan sebagai tempat bercocok tanam. Cabai, kacang panjang dan palawijaya lainnya terdapat di sana. Bahkan, dulu daerah ini terkenal dengan penghasil cengkeh. Belum habis. Potensi lain yang bisa dimanfaatkan adalah suasana alam yang sunyi dan tenang. Ini bagus untuk usaha ternak ayam potong, seperti yang dilakukan oleh Mahyuddin, persis di kaki buket Alue Klieng. Mahyuddin sengaja memilih tempat yang relatif jauh dari rumah penduduk. Selain untuk menghindari ketidaknyamanan masyarakat, juga untuk memaksimal usaha budidaya ayam. “Sengaja tempat ini kami pilih, agar masyarakat sekitar tak terganggu dengan usaha budidaya broiler kami,� ujarnya kepada saya, awal Juli 2009. Mahyuddin usianya 27 tahun. Ia lahir di Sigli. Pengalaman di bidang budidaya ayam potong sudah ia lakoni sejak tahun 2000, saat itu lokasi usaha di Sigli. Peliharaannya pun hanya 500 ekor. Sedikit memang, tapi pengetahuan cara mengurus ternak yang profesional ia dapatkan dari situ. Dari 500 bibit atau biasa disebut DOC ia mendapat keuntungan 4 sampai 5 juta. Pada pertengahan tahun 2000, Aceh berada dalam amukan konflik horizontal dengan pemerintah Indonesia, usahanya gulung tikar.


kisah usai perang

Bukan karena hasil panen yang buruk. Tapi kerap hasil panen tak dapat menembus pasar. “Saat konflik sangat susah mempertahankan usaha ini. Biasa setelah panen, tak ada toke yang berani mengambil ke lokasi,” kisah Mahyuddin sambil mengecek keadaan ternak. “Apakah dulu ayam pernah diambil mereka oleh GAM atau Aparat?” tanyaku. “Ada juga,” jawabnya ragu-ragu. Akhirnya ia memilih tutup usaha budidaya ayam potong sampai keadaan lebih bersahabat. Dan kini di Ujong Pancu, dia merintis lagi. *** Tsunami Aceh telah menyita perhatian dunia. Saat itu seluruh dunia selalu menyebut-nyebut Aceh. Mulai dari pejabat tinggi, ibu rumah tangga, mahasiswa bahkan sampai anak-anak sekolah dasar melakukan penggalangan dana untuk disumbangkan ke Aceh. Siapa yang tak terenyuh, gelombang besar setinggi 15 meter secepat kilat menyapu beberapa daerah pesisir Aceh. Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhok Nga, Lampuuk, dan termasuk Ujong Pancu rata tanah. Juga beberapa daerah pesisir lainnya seperti Sawang, Aceh Utara dan pesisir Aceh Timur. Jumlah korban mencapai 250.000 orang, kerugian infrastruktur mencapai ribuan triliyun. Dalam sekejap bantuan berdatangan, Aceh saat itu banjir bantuan. Ada sebagian orang menyebut setelah tsunami Aceh banjir uang. Lembaga Swadaya Masyarakat berdatangan, baik lokal maupun internasional. Akibat bencana besar itu, Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto pernah mengatakan, sebanyak 600 NGO asing masuk ke Aceh. Mereka keroyokan membangun kembali infrastruktur dan suprastruktur Aceh agar menjadi lebih baik dari keadaan sebelum tsunami. Selain itu, tsunami secara tidak langsung telah membuka jalan bagi

113


Potensi Lain Ujong Pancu

114

pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Endingnya mereka sepakat untuk berdamai, tepat pada 15 Agustus 2005 di Helsinski, ibu kota Finlandia. Terbukti Aceh kini berbeda dengan Aceh lama. Sekarang masyarakat pedesaan sudah leluasa melakukan aktivitas. Yang dulunya petani kembali bergelut di sawah, yang dulunya nelayan kembali mengembang layar. Begitu juga dengan Mahyuddin, ia kembali menjadi pengusaha ayam potong. Awalnya ia mendapat informasi dari kerabatnya di Banda Aceh, kalau ada lembaga donor yang bersedia membantu dalam usaha budidaya broiler. Sistemnya kerja sama. PT Karya Semangat Mandiri (KSM) nama perusahaan yang saat ini membantunya. Bukan berarti Mahyuddin tak perlu mengeluarkan modal. Untuk mendapat bantuan itu, ia harus menyiapkan tempat dan kandang. Rp 100 juta ia habiskan untuk membuat kandang, penyediaan peralatan dan terakhir ia harus menyewa tanah sebagai tempat usaha. Sistem kerja sama yang mereka sepakati berupa, penyediaan tempat dan peralatan materil dibebankan kepada Mahyuddin. Sedangkan pengadaan DOC, pakan, obat-obatan dan pasar menjadi tanggung jawab KSM DOC adalah sebutan untuk bibit ayam yang baru dipasok. Biasanya mereka mengambil DOC dari Medan. Itupun Mahyudddin tak tahumenahu. “Itu kan wilayah kerja mereka (KSM). Tugas saya menerima, menghitung, memeriksa dan membawa ke kandang,� jelas pria hitam manis ini. Persiapan memakan waktu 3 bulan, mulai Desember 2008 sampai Maret 2009, persiapan berupa pembuatan kandang, pengadaan peralatan. Namun ia sedikit mengeluh karena materil harganya sangat mahal. “Di sini semua bahan harus kita beli, sampai bambu untuk lantai harus kita beli,� ujarnya mengeluh.


kisah usai perang

Kandang disiapkan. Luasnya 48 x 10 meter. Cukup untuk menampung 6.000 DOC. Kandang dilengakapi dengan lampu pijar 24 buah dan lampu philip 24 buah. Gunanya, saat udara dingin atau malam hari lampu pijar dinyalakan. Pada cuaca biasa, ia menyalakan lampu philip. Dinding hanya ditempel 5 lembar papan, sedangkan bagian ke atas dipasang dinding kawat, juga ada terpal. Apabila cuaca panas terpal itu dibuka, apabila cuaca dingin terpal ditutup. Tak tanggung-tanggung, kandang itu dilengkapi dengan kipas angin. Ada saat-saat cuaca benar-benar panas maka menetralisir udara dikandang harus memakai kipas angin. Ada lagi, dua sound system yang dipasang di sudut kiri dan kanan. Musik tak berhenti menggema dalam kandang itu. Saat pertama aku memasuki lokasi, sempat berpikir aneh. Kandang ayam kok ada musik segala. Ternyata musik berguna untuk membiasakan ayam mendengar suara-suara gaduh. Ayam potong biasanya tidak kuat menahan suara gaduh dan seketika. “Ayam potong ini tidak bisa kita kejutkan, apabila ada gerakan refleks ayam akan mati. Saat kita mau memberi makan saja, kita tidak bisa langsung masuk ke kandang. Tapi kita mulai dengan mengetok dinding secara perlahan-lahan. Setelah ayam terjaga, baru boleh kita masuk,� jelasnya seperti seorang pakar peternakan. Padahal ia hanya tamat sekolah lanjutan pertama. Pemasukan DOC pertama ia terima pada akhir Maret 2009, jumlahnya 3.000 ekor. Untuk menunggu panen, membutuhkan waktu selama 38 hari. Sistem peliharapun berbeda antara mingu pertama dan selanjutnya. “Pada usia DOC nol sampai sepuluh hari, pakan yang diberikan adalah jenis H-8. Memasuki usia 8-18 hari jenis pakan H-11. Pada masa usia ayam 18 sampai tiba masa panen, jenis pakan yang diberikan H-12. Dan satu lagi, tiap 18 hari ayam harus di vaksin, agar terhindar dari

115


Potensi Lain Ujong Pancu

116

penyakit,” sambungnya. Pada panen pertama, dari 3.000 DOC Mahyuddin mendapat keuntungan Rp 12,5 juta. Karena kinerjanya bagus, pada tahap kedua KSM menambah DOC menjadi 4.000. Ketika panen keuntungannya bertambah menjadi Rp 18 juta Sekarang memasuki tahap ketiga, jumlah DOC mencapai 6.000. Dalam bekerja Mahyuddin tidak sendiri, ia memperkerjakan seorang pemuda setempat. Ini dikarenakan jumlah peliharaan masih sedikit. Menurutnya satu pekerja mampu mengurus 6.000 DOC. “Harapan saya ke depan mampu mendirikan satu atau dua kandang lagi. Dengan begitu tenaga kerja yang tertampung bisa lebih banyak,” katanya penuh harap. “Jep kupi dilee (minum kupi dulu),” ia mempersilahkan aku minum kopi tubruk. Hari mulai gelap, matahari sudah tak terlihat lagi dihalangi oleh bukit. Hawa dingin semakin terasa. Di atas jambo yang didirikan di samping kandang kami terus bercakap, dengan ditemani kopi tubruk dan beberapa batang kretek putih. Dari arah kandang seorang pria dewasa berjalan ke jambo tempat kami duduk. Ia tersenyum dan naik ke atas. Dia adalah M. Jamal, pemuda setempat yang bekerja di peternakan ayam potong. Rasa lelah tergambar dari wajahnya, dipenuhi keringat. M. Jamal mengaku sangat menikmati bekerja disini, selain mencari uang ia juga mendapatkan ilmu. Harapannya setelah modal terkumpul, ia akan membuka usaha sendiri dengan ilmu yang sudah ada. “Keinginan sih ada. Tapi usaha ini membutuhkan modal besar. Apabila ada pihak yang ingin membantu atau bekerja sama, saya akan terima dengan senang hati,” ujar Jamal datar. Di sini ia diupah per ekor. Satu ekor tiap panen, dia mendapat Rp 500. Kalau DOC 6.000 berarti ia mendapat Rp 3 juta. Bukan hanya itu,


kisah usai perang

apabila hasilnya sempurna ia mendapat bonus. “Maaf bang, saya harus pulang sekarang,” Jamal minta izin. “Jamal pekerja yang ulet, ia tak pernah bolos dan bekerja sangat rapi,” puji Mahyuddin. Usaha budidaya ayam potong ini telah memberi dampak bagi masyarakat setempat. Baik positif maupun negatif. Menurut Kepala Desa Ujong Pancu, Drs Jamal, kehadiran usaha masyarakat seperti itu banyak membawa dampak positif. “Pertama sekali lapangan kerja, kemudian yang terpenting bisa menjadi motivasi bagi masyarakat lain,” ujar lelaki yang pernah menjadi dosen di Universitas Serambi Mekkah ini. Ia juga mengakui, kadang masyarakat ada mendapat bagian dari hasil panen. Walaupun tidak tiap kali panen. Kalau ada acara desa, usaha perternakan itu juga membantu seadanya. Pun begitu. Dampak negatif juga dirasakan masyarakat, pada tiap musim panen, lalat menyerbu rumah penduduk. “Tiap kali panen, ada saja lalat. Ini adalah keluhan sebagian warga,” ungkapnya. Hal ini sudah ia sampaikan kepada pihak bersangkutan, agar kebersihan lingkungan harus dijaga. Secara keseluruhan ia sangat mendukung usaha-usaha seperti ini. Untuk mencegah hal ini, Mahyuddin selalu menyemprot kandang setiap usai panen. “Semua cara kita lakukan, agar kehadiran kami tak menimbulkan konfik di desa ini,” ujarnya sambil menghisap rokok. “Janganlah ada konfik setelah damai,” katanya tertawa lepas. ***

117



Sisa Kisah di Montasik Oleh: Muhammad Azimi Empat tahun damai berlalu, masih ada kisah luka di Aceh Besar. Masih ada yang belum merasa ikhlas. Nada bicara yang terbata-bata tapi lembut. Nenek Zainab (56 tahun) begitu panggilan akrabnya sehari-hari, tak mampu menahan isak tangis saat menceritakan kisah hidupnya pasca konflik yang merenggut nyawa suami tercinta. “Nek ka tuha, tan na tenaga, koen lagee jameun muda dilee, peu lom lintoe lon ka meninggai (sekarang nenek sudah tua, tidak ada tenaga lagi seperti waktu muda dulu, apalagi suami saya sudah meninggal),� ujarnya kepada kami awal Juni 2009 lalu. Kampungnya berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Desa itu bernama Desa Atong, Kecamatan Montasik, Aceh Besar. Nek Zainab adalah saksi saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer oleh pemerintah, pada 19 Mei 2003 silam. Kampung tempat tinggalnya masuk ‘zona hitam’, istilah yang dipakai tentara TNI pemerintah untuk daerah yang dianggap rawan. Operasi kerap berlangsung di sana. Zainab masih ingat suatu malam yang mengubah jalan hidupnya, semasa konflik dulu. Ketika itu rumahnya didatangi sekelompok orang


Sisa Kisah di Montasik

120

berpakaian loreng dan bersenjata. Nek Zainab tidak mengenal siapa tamu tak diundang tersebut, karena malam yamg gelap pekat tanpa penerang. “Lalu orang-orang tersebut membawa paksa suami saya tercinta.” Dia tak tak bisa berbuat banyak, hanya meratapi kepergian sang suami. Keesokan harinya, suami Nek Zainab ditemukan sudah meninggal di Desa Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. “Suami saya dibawa oleh orang yang memakai baju loreng,” kisah Nek Zainab sambil mengusap air matanya. Kini masa-masa pahit telah berlalu seiring dengan ditandatanganinya kesepakatan damai antara pemerintaha Indonesia dengan GAM di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam. Nek Zainab dapat menikmati damai, kendati luka masih tersisa di lubuk hati yang dalam. Dari segi ekonomi, hidup Nek Zainab masih melarat. “Jangankan modal usaha, untuk beli beras pun sering tidak ada,” ujarnya. Pengakuannya, pemerintah memang membantunya. Tetapi dana yang relatif kecil tersebut tidak bisa dipergunakan sebagai modal usaha guna perbaikan ekonomi. Maklum, semenjak suaminya meninggal dunia, biaya hidup 4 orang anaknya yang masih bersekolah menjadi tanggung jawabnya. Nek Hamdi, 62 tahun, juga bernasib sama. Di usia senjanya, Nek Buleun -sapaan akrabnya- belum merasakan bahagia. Dia ditinggal dua orang putra tersayangnya, Mukhlis dan Rusdy, yang meninggal pada 2003 lalu, karena terimbas konflik. Nek Buleun tinggal di rumah panggung Aceh, peninggalan suaminya. Berkontruksi kayu, berdinding pelepah rumbia tua, beratapkan daun rumbia. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nek Buleun mengandalkan hasil kerja upahan dari penduduk desa yang masih membutuhkan tenaga tuanya. Dia juga mengaku dibantu pemerintah melalui Badan Reintergrasi Aceh (BRA), sebuah lembaga yang dibentuk pascakonflik Aceh. Namun


kisah usai perang

dana yang diberikan tersebut tidak bisa digunakan sebagaimana diharapkan. Dana hibah diberikan tidak sekaligus, tapi dalam beberapa tahap, sehingga kesulitan digunakan modal usaha. “Dana yang diberikan oleh BRA saya gunakan untuk membayar hutang almarhum (suaminya) semasa hidup yang belum sempat dibayar, dan belanja kenduri, sisanya saya beli beras untuk makan sehari-hari,” ujar Nek Buleun dengan logat Aceh yang kental. Lainnya halnya Nek Rohani, janda 42 tahun ini juga mengalami nasib pahit lagi. Konflik telah mengambil dua orang putranya, Abdul Razak meninggal pada Agustus 2004 lalu dan Khairunnazirin meninggal pada Maret 2004. Suaminya telah duluan meninggalkan mereka. “Anak-anak itulah tempat saya berharap, tapi kini mereka tidak ada lagi.” Nek Rohani tidak hanya kehilangan dua orang putranya, harta bendanya juga ikut raib akibat ganasnya perang. “Semenjak darurat militer di Aceh saya telah kehilangan 8 ekor lembu, karena tidak ada yang menjaga lagi. Setelah saya tanya sama orang di kantor BRA, tidak ada jawaban,” kata Nek Rohani. “Bantuan dana yang diberikan oleh BRA saya gunakan untuk kenduri dan doa bagi almarhum, karena sebelumnya saya tidak punya uang,” lanjutnya. Kini Nek Rohani lebih banyak menghabiskan waktu di sawah miliknya. Dia bertani sama dengan sebagian bersar warga di sana. Kepala Desa Atong, Said Abdullah mengatakan kalau bantuan dari BRA itu sudah disalurkan kepada masyarakat, namun tidak semua berhasil memperbaiki taraf perekonomiannya. Ada juga yang dapat memanfaatkan sebagai modal usaha, karena di samping pemberian bantuan secara bertahap ditambah pula tidak ada kemampuan dalam mengelola bantuan yang ada. “Bagi korban konflik yang belum mendapatkan bantuan, ke depan saya akan berusaha sekuat tenaga, agar tidak terjadi kecemburuan sosial

121


Sisa Kisah di Montasik

122

antar sesama masyarakat korban konflik, karena kebanyakan masyarakat kita, apabila tidak mendapatkan bantuan pasti yang disalahkan adalah pak keuchik-nya,� ungkapnya lebih lanjut. Sementara itu Camat Montasik, Adnan mengatakan pihaknya selalu data yang masuk selalu direkap dan disampaikan semuanya ke BRA. “Pihak kecamatan juga berharap kepada penduduk korban konflik yang belum terdaftar, mohon didaftarkan melalui pak keuchik setempat, sehingga semua korban konflik mendapatkan bantuan, dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya,� sambungnya. Empat tahun sudah masyarakat Desa Atong terbebas dari konflik bersenjata, yang sekian lama bergejolak. Masih banyak di Montasik yang belum merasakan sejahtera. ***


Harapan Inong Bale di Metareum Oleh: Ferdian Majni ’’Alhamdulillah, sekarang sekolah di kampung kami sudah gratis, anak-anak sudah mulai sekolah lagi. Perdamain sangat berpengaruh bagi kami,� Rumah berdinding rumbia dan beralas bambu itu hampir tak terlihat dari sisi jalan yang penuh kerikil. Hutan kecil menutupi pandangan mata. Di sinilah Nuraini Ibrahim (40 tahun), janda korban konflik Aceh tinggal bersama tujuh anaknya. Awal Juni lalu, perempuan paruh baya itu terlihat samar di sana. Dia telihat cekatan melepaskan tali yang mengikat karung-karung padi. Diseraknya padi-padi itu di atas terpal biru yang penuh tambalan. Dia panaskan padinya di bawah terik matahari, sebelum dibawa ke pabrik untuk diolah menjadi beras. Setelah membereskan semuanya, Nuraini menitipkan padi yang telah dijemur pada anaknya agar tak dimakan ayam. Dengan tergopohgopoh wanita itu menuju ke sawah. Sejak ditinggal sang suami, Jufri bin Mahmud, enam tahun silam, semua kebutuhan keluarga harus ditanggungnya sendiri. Jadilah Nuraini super sibuk. “Anak saya masih kecil-kecil. Untuk kebutuhan keluarga sehari-hari


Harapan Inong Bale di Metareum

124

saya mencari upah di sawah, itupun pada musim turun ke sawah saja,” sebut Nuraini. Dalam sehari Nuraini mampu mengumpulkan uang Rp 30.000 – 50.000, upah berkerja di sawah. Tak jarang hasil itu diterimanya pada saat musim panen tiba. “Kalau uang jarang saya terima. Di sini sistemnya setelah panen baru kita dibayar dengan padi,” ujarnya. Di ujung perempatan jalan, Nuraini telah ditunggu oleh rekan-rekan seprofesinya. Di sana juga ada janda alias inong bale lainnya. Mereka adalah Lawiyah Ismail, Zainabun, Nyakcek binti Harun dan Lawati Abubakar. Mareka pergi menanam bibit padi di sawah salah satu warga desa. Desa itu bernama Kumbang, Kecamatan Metareum, Kabupaten Pidie. Saat konflik masih melanda Aceh, wilayah ini kerap terdengar letup senjata. Hamzah Yacob, Keuchik Desa Kumbang mengatakan desa yang terletak di kaki gunung ini memiliki 674 jiwa penduduk. Lima orang di antaranya merupakan janda korban konflik. Menurutnya. Saat konflik berkecamuk di Aceh, delapan warga desa ini meninggal dan 11 lainya mendapatkan kekerasan fisik oleh aparat keamanan. Banyak juga yang trauma dan masih menyimpan kisah itu hingga kini. *** Menjelang magrib, Nuraini pulang dengan peluh menyelimuti tubuh. Setelah mandi, dia istirahat sambil bercanda dengan anak-anaknya dan berbagi cerita. Baginya, tak mudah melupakan kisah semasa konflik, yang telah membuat suaminya tiada dan memaksanya merawat anak seorang diri. Nuraini masih teringat ketika tengah malam dia dibangunkan oleh orang bersenjata yang menanyai keberadaan suaminya. ’’Di mana suami mu,”


kisah usai perang

kata Nuraini mengulang pertanyaan aparat keamaman. “Kami hanya diam membisu,” kisah Nuraini kepada saya. Setelah diancam tembak, nyalinya kecut juga. “Sudah naik ke gunug pak,” jawab Nuraini gemetaran. Anak-anaknya menangis ketakutan karena rumah yang dipenuhi tentara. Hampir satu jam mereka membentak-bentak Nuraini, sampai kemudian aparat keamanan itu pergi. Katanya, salah seorang dari mereka sempat menendangnya. Setelah peristiwa itu, Nuraini selalu dihantui rasa ketakutan. Berbagai macam teror sering dirasakan. Untuk meninggalkan kampungnya tak mungkin, dia tak tau harus kemana. ”Jangankan untuk biaya hidup dirantau, untuk ongkos pun saya tak punya,” kisah Nuraini mengingat peristiwa enam tahun silam. Kesedihan terus dirasakan Nuraini. Saat suaminya meninggal dalam perjalanan membawa pulang daging meugang untuk keluarga menjelang lebaran, tahun 2003. Dia pun menyandang status janda ketika sedang hamil empat bulan untuk putri bungsunya. “Abang ditembak di belakang rumah menjelang subuh,” ujar Nuraini berurai air mata. Nuraini harus berjuang menghidupi tujuh anaknya. Kesehariannya diisi dengan bertani dan beladang tanaman muda seperti halnya masyarakat Desa Kumbang yang lain. Tragisnya, tak satupun anakanaknya bisa bersekolah. Keterbatasan ekonomi dan kondisi keamanan menjadi kendala saat itu. Setelah damai terjadi di Aceh pada 15 Agustus 2005 lalu, Nuraini mulai merasakan banyak perubahan dalam kehidupannya. Walau harus hidup tanpa suami, Nuraini ingin menghapus lembaran pahit masa lalunya. ’’Alhamdulillah, sekarang sekolah di kampung kami sudah gratis, anak-anak sudah mulai sekolah lagi. Perdamaian sangat berpengaruh bagi kami,” ujarnya. Nuraini tak ingin anak-anak mengikuti jejaknya. Dia berharap anaknya kelak bisa menjadi orang yang beguna. Untuk biaya pakaian

125


Harapan Inong Bale di Metareum

126

dan perlengkapan sekolah, anak-anaknya mendapat bantuan beasiswa dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA). ”Anak-anak dapat beasiswa sebesar Rp 1.600.000 setiap orang, tapi anak saya yang bungsu tak dapat,’’ sebut Nuraini. Tercatat sebagai janda korban konflik, Nuraini juga mendapatkan dana pemberdayaan ekonomi masyarakat dari BRA Kabupaten Pidie sebesar Rp 9 juta. Dana itu diberikan sebagai modal usaha. ’”Seharusnya dana bantuan itu Rp 10 juta. Tapi uangnya dipotong Rp 1 juta oleh pengurus setempat. Katanya, untuk biaya administrasi. Begitu juga dengan bantuan diyat yang seharusnya Rp 3 juta, tapi saya hanya menerima Rp 2,5 juta,’’ ujar Nuraini. Menurut Wakil Ketua BRA Kabupaten Pidie, Husni Ismail, terdapat 1.500 janda korban konflik di Pidie. Dari jumlah itu, 1.314 telah mendapatkan bantuan dana diyat sebesar Rp 3 juta per jiwa. “BRA juga telah mengucurkan dana bantuan pemberdayaan ekonomi untuk para janda korban konflik, mareka bisa mengambil uangnya yang telah disalurkan melalui sebuah Bank berjumlah Rp 10 juta per keluarga,” ujarnya. Perhatian terhadap janda korban koflik juga dilakukan oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) Kecamatan Mila. Namun, bantuan dari KPA hanya dilakukan pada musim-musim tertentu. “Setiap meugang dan lebaran, KPA selalu membantu janda konflik dan anak-anaknya,’’ ujar Muhammad Jakfar, Ketua KPA Wilayah Mila. *** Dana kompensasi dari pemerintah tidak membuat Nuraini pulih. Dengan kondisi rumahnya saat ini yang berukuran 4 x 4 meter, berbalut dinding rumbia dan beralas bambu terlihat semakin rapuh dimakan rayap. “Kalau malam, anginnya menerebos masuk, membuat saya dan


kisah usai perang

anak-anak mengigil,” ungkapnya Sungguh tak layak disebut rumah, jika rumah seukuran itu dihuni oleh delapan orang anggota keluarga. ”Semoga ada yang berkenan memberi saya bantuan rumah,” pinta Nuraini. Nasib serupa juga dialami janda korban konflik lain di Desa Kumbang, Metareum. Lawiyah Ismail, 45 tahun, hingga saat ini masih merasakan trauma akibat rumahnya dulu sering didatangi pria bersenjata pada malam hari untuk menayakan perihal keberadaan suaminya, Muslim. Rasa takut yang terus menghantuinya, sempat membuatnya meninggalkan kampung halaman pada tahun 2002. Lawiyah yang saat itu dalam kondisi hamil muda berangkat bersama anak pertamanya meninggalkan kampung halaman. ‘‘Dua bulan saya di Medan, saya mendapat kabar kalau suami saya sudah meninggal,” kisah Lawiyah dengan mata berlinang. Dengan perasaan duka dan kesedihan mendalam, Lawiyah berniat kembali ke Aceh untuk melihat wajah suaminya yang terakhir kali. Tapi karena keadaan Aceh yang semakin parah, dengan terpaksa dia membatalkan niat itu. Lawiyah melahirkan anak keduanya di Medan. Dia kembali lagi ke kampung halamanya setelah Aceh damai. Kini, dia mulai menata hidupnya kembali. Semua harta peninggalan suaminya berupa sepetak sawah dan seekor sapi telah dijual. “Setelah kembali ke kampung, saya tak punya apa-apa lagi, untuk makan saja, saya harus minta pada ibu dan saudara saya,’’ sebutnya. Hingga kini, dia tak memiliki rumah sendiri, dia hanya menumpang di rumah ibunya yang terasa sempit. Alasan apa yang harus dia berikan nanti ketika anak-anaknya dewasa kelak. “Kalau sekarang ada uang bantuan dari BRA untuk pemberdayaan ekonomi. Tapi bagaimana jika anak-anak saya bersekolah lebih tinggi nanti,” katanya. Meski masa lalu suram, Nuraini dan Lawiyah tetap memiliki tekad

127


Harapan Inong Bale di Metareum

128

yang tinggi. Mereka tak hanya berharap bantuan belaka. Mareka terus berusaha dan bekerja, melakukan yang terbaik untuk masa depan anakanaknya. Harapan inong bale dari Metareum. ***


Akhir Resah Warga Tanjung Oleh : Fitria Anisak

Namanya Nur fadhilah. Orang sekampung memanggilnya Kak Nur, perempuan yang masih menyimpan kenangan duka konflik masa lalu. Saat itu anaknya meninggal ketika kontak senjata berlangsung. Kak Nur yang berumur 35 tahun punya tiga orang anak, Tasya 19 tahun, Nisa 18 tahun dan (Alm) Anis yang meninggal di usia 6 tahun. Suaminya adalah Muhammad Nur, seorang penjual sayuran. Kak Nur dan keluarganya tingga di Desa Tanjung, Panton Labu, Aceh Utara. Desa itu adalah wilayah yang parah dulunya, hampir saban hari suara senjata kerap menyalak. Saat konflik itulah, Kak Nur mengisahkan, anaknya Anis terkena peluru ketika dia mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Suatu hari itu, dia sudah mencoba melarang anaknya untuk pergi ke sekolah, kontak senjata sedang terjadi. Namun Anis tidak perduli dengan konflik, tetap bertekad untuk sekolah. Pukul 08.00 WIB, Anis berangkat. “Tak lama setelah itu, suara bom pun terdengar tak jauh dari tempat saya. Rasa takut dan bingung


Akhir Resah Warga Tanjung

130

menghampiri diri saya. Ketika hendak mencari anak, tak henti-hentinya suara tembakan terdengar,” kisahnya awal Juni lalu. Kak Nur tiarap. Tapi hatinya tak pernah tenang, anaknya Anis suaminya berada di luar sana. Saat kontak senjata reda, tiba-tiba terdengar suara seorang gadis yang mendekatinya, mengabarkan Anis telah tiada. “Saya menangis sejadi-jadinya.” Sejak saat itu, Kak Nur sering mencucurkan air mata. Wanita itu hanya bisa meratapi nasib anaknya yang meninggal di usia muda. Konflik lalu, juga menghadirkan gundah di hati Pak Halim, lelaki paruh baya yang berasal dari Desa Paya Naden. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjual kayu. Pagi itu, awal Juni lalu, dia hendak siap-siap untuk bekerja, menjual kayu dengan beberapa anak buahnya. Pak Halim berkomentar tentang konflik yang menimpa desanya itu. Menurutnya, intensitas konflik yang mulai tinggi pada tahun 2000 sampai 2003 banyak membuat toko-toko terbakar dan warga yang menjadi korban. Kerap warga Desa Tanjung menjadi sasaran peluru nyasar. “Beberapa kali saya pernah ditanyai oleh TNI ketika keluar dari rumah.” Misalnya saat pertengahan tahun 2003. Saat itu, suatu malam dia keluar rumah sekitar pukul 23.00 WIB. Rencananya dia akan menuju ke Seunebok Pidie. Tujuannya adalah ke tempat bidan desa, karena istri sedang hamil tua dan hampir melahirkan. Namun suara tembakan terus-menerus terjadi. Pak Halim pun pasrah dengan keadaan tersebut. Sesampai di tempat yang dituju, rupanya bidan pun tidak diizinkan oleh anaknya keluar rumah, karena kekhawatiran yang begitu besar. Tapi bidan itu tetap pergi bersama Pak Halim. Jarak rumah Pak Halim dari Seunebok Pidie yang lumayan jauh, tidak dirasakannya. “Saya tidak mungkin tinggal diam, sementara istri saya mau melahirkan.” Damai yang lahir pada 15 Agustus 2005 silam, menghadirkan suasana


kisah usai perang

baru di desa itu. Warga mulai bangkit berusaha untuk membangun desanya. Menurut Halim, segala proses kehidupan pascakonflik berjalan baik di sana. Pemilihan umum yang berlangsung di sanapun berjalan aman dan lancar. Harapan warga di sana sama seperti umumnya warga Aceh. “Kami lelah hidup dalam konflik. Kami berharap damai akan berjalan terus selamanya,� kata Halim. ***

131



Mantan Gerilyawan Masih Berharap Oleh : Ilhas Saputra Tentang Kehidupan perekonomian para kombatan pasca damai di Desa Atong, Kecamatan Montasik Aceh Besar. Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintahan Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berjalan empat tahun. Ditandatangani 15 Agustus 2005 silam, itulah titik sepakat untuk mengakhiri perang di Aceh. Tapi, damai belum membawa sejahtera bagi sebagian warga Aceh, tak terkecuali mantan kombatan. Kisah Bang Zul, 25 tahun, misalnya. Sejak meninggalkan senjata, mantan kombatan itu rajin mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anaknya. Dia kerap pergi pagi dan pulang sorenya, mengelola sawah sebagai petani. Bantuan reintegrasi dari pemerintah melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA), telah didapatkannya beberapa kali. Tapi Bang Zul menolak menyebut jumlah persisnya. Karena takut bermasalah dengan panglimanya dan mantan kombatan lain. Namun

sayangnya,

bantuan

hibah

tersebut

tidak

bisa

digunakan sepenuhnya untuk modal usaha, karena bantuan yang diberikan secara bertahab. Lagi pula tidak bisa dimanfaatkan


Mantan Gerilyawan Masih Berharap

134

dengan

baik,

sehingga

habis

begitu

saja

untuk

membiayai

keluarga. “Karena kerjaan saya tidak tetap. Semenjak damai, kadang kerja bangunan, tidak jarang pula saya ke sawah untuk bertanam padi,” ujar pria tamatan sekolah dasar tersebut. Untuk bantuan selanjutnya, dia telah membuat beberapa proposal untuk BRA. Sejak tahun 2007 sampai sekarang sebanyak 3 kali namun tidak ada kabar dari pihak BRA. “Ketika saya konsultasi kepada atasan saya, dengan enteng memberi jawaban sabar dulu belum waktunya,” ujarnya. Sekarang Bang Zul tidak lagi mengharapkan bantuan tersebut karena hanya akan menghabiskan waktu saja. Bang Zul sudah bertekad dengan mata pencahariannya untuk menafkahi keluarganya. Harapannya kepada pemerintah, kalau memang bantuan itu ada tolonglah disalurkan kepada mereka untuk memperbaiki hidup. Said Abdullah, Kepala Desa Atong mengatakan kalau bantuan dari BRA itu sudah disalurkan kepada masyarakat. Namun bantuan yang diberikan oleh BRA tidak dapat dijadikan modal untuk melakukan suatu kegiatan, yang dapat memperbaiki perekonomian masyarakat desa itu. Menurutnya, cara pemberian bantuan tersebut dilakukan bertahap. Ketika bantuan berupa uang yang dijanjikan sudah disalurkan, maka masyarakat bingung untuk mempergunakan uang itu kemana. Kalau dijadikan modal tidak cukup, disimpan pun percuma, sehingga uang tersebut kebanyakan habis begitu saja dan tanpa memberikan hasil apa-apa. Menurut Abdullah, sekarang ini yang paling disayangkan adalah masih ada mantan kombatan yang belum mendapat bantuan sepenuhnya. Hal ini sangat disayangkan, mengingat kehidupan mereka sehari–hari umumnya susah dalam dalam menafkahkan keluarganya. Para kombatan hanya mampu bertani, demi bertahan hidup.


kisah usai perang

Pihak desa, kata Abdullah, akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu para kombatan tersebut. “Mantan kombatan yang belum mendapatkan bantuan, saya akan mendata ulang nama-namanya untuk melakukan pengurusan ke BRA supaya mereka mendapat bantuan yang maksimal sebagaimana layaknya. Sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial antara para kombatan di desa saya ini,” ujarnya. Menurutnya, tidak semua mantan kombatan hidup susah. Ada beberapa di antara mereka yang sudah mapan atau perekonomiannya sudah membaik. Namun perubahan itu semua bukanlah semata-mata karena bantuan yang disalurkan pemerintah, melainkan usaha serta hasil keringat mereka sendiri. “Jika semata-mata hanya mengharapkan bantuan dari BRA, kita tidak akan bisa memperbaiki nasih,” ungkap salah seorang mantan kombatan yang kehidupannya sudah baik. Kisah sedih juga dialami Kak Wanti Aminah. Dia adalah mantan pasukan Inong Balee. Masa konflik, dia bersama suaminya ikut berperang, bergerilya merasakan suka-dukanya di hutan sana. Empat tahun damai hadir di Aceh, Wanti mengaku kehidupannya tak banyak berubah. Hal itu karena bantuan dana reintegrasi yang dijanjikan pemerintah tak pernah didapat Wanti. Kehidupannya masih biasa-biasa saja sejak pasca damai. “Hanya rasa aman saja yang saya dapat, ekonomi belum berubah.” Pengakuannya, hanya sekali saja bantuan didapat sebesar Rp 2 juta, ketika perdamaian baru saja hadir. Setelah itu, Wanti tidak mendapatkan apa-apa lagi sampai sekarang, kendati banyak pihak yang berjanji memberikannya. Wanti dan mantan kombatan lainnya berharap, pemerintah dapat lebih serius memperhatikan kondisi mereka. “Supaya kami dapat memperbaiki nasib setelah perang tidak ada lagi.” ***

135



Rasa Hidup Dua Masa Oleh : Irman

Desa Seuriweuk, Kecamatan Pidie, dalam suasana meriah, 1 Juni 2009 lalu. Siang yang terik tak menganggu aktivitas peringatan Maulid, hari kelahiran Nabi Muhammad. Biasanya warga selalu mengenang maulid dangan melakukan kenduri di rumah, masjid dan meunasah. Berpenduduk 250 Kepala Keluarga (KK), pada umumnya masyarakat Seuriweuk bekerja sebagai petani, sebagian petani sawah sebagian lagi di tambak. Ikan yang biasa dipelihara oleh masyarakat Seuriweuk adalah ikan bandeng dan udang. Berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Pidie, desa itu sedang larut dalam aktivitas peringatan maulid. Semua aktivitas bertani mereka liburkan. Lagipula tambak mereka hanya tinggal menghitung hari untuk panen. Luas tambak di desa Seuriweuk mencapai 5 hektar, biasanya panen pada tiap 3 bulan sekali. Kalau untuk ikan bandeng waktu yang diperlukan relatif lama, yaitu 5 bulan. Setiap panen, pemilik tambak bisa mendapat keuntungan besar, berkisar Rp 8 juta – Rp 12 juta. Sehingga tambak


Rasa Hidup Dua Masa

138

menjadi titik pusat bagi mata pencaharian masyarakat Seuriweuk. Kehidupan hari-hari berjalan aman di sana. Kesepakatan damai yang telah lahir sejak 15 Agustus 2005 silam, telah menghadirkan suasana yang serba bersahabat di desa itu. Warga pun lebih leluasa dalam beraktivitas di tambak. Bahkan pada malam hari. Tak ada lagi rasa was-was, karena konflik seperti masa lalu. Seperti Ridwan, usianya sudah mencapai setengah abad. Ia merupakan petani tambak yang luasnya mencapai setengah hektar. Dari hasil tambak itulah ia menghidupkan keluarganya. Untuk menambah penghasilan, ayah dari 6 anak ini bekerja sebagai buruh di tambak orang lain. Hasilnya pun lumayan. Tiap kali panen ia mendapat Rp 4 sampai 5 juta. Pada masa konflik pertengahan tahun 2000 sampai 2003, Ridwan tak berani bekerja di tambak. Selain alasan keamanan, di tambak juga pernah dibuang mayat oleh orang tak dikenal (OTK). Bukan hanya Ridwan, semua petani tambak saat itu terpaksa menelantarkan tambaknya. Dan mereka lebih memilih usaha lain. Ridwan memilih membuka usaha kecil-kecilan dengan cara menjual Mie Aceh, persis di depan rumahnya. Hanya bermodal rak kecil dan dua bangku panjang yang ia buat sendiri. “Dari pada aneuk putoh sikula garagara hana peng, get lagee nyoe. Nyang penteng haleue (dari pada anak putus sekolah karena tidak ada uang, lebih baik begini. Yang penting halal),� kenang lekali yang akrab disapa Bang Wan. Profesi sebagai penjual mie juga tak berlangsung lama. Ia hanya bisa pasrah saat rumah dan rak mienya dibakar oleh aparat. Kejadian itu tepatnya pada 26 Juli 2003. Siang hari itu saat menunggu pembeli, sekelompok aparat melintas. Jumlah mereka sekitar 20 orang, dilengkapi dengan senjata lengkap. Di Desa Seuriweuk dulunya, pemandangan ini lumrah terjadi, hampir saban hari ada tentara berpatroli. Maklum pos tentara didirikan di desa


kisah usai perang

Seukeum Brok, desa tetanggga. Tapi hari ini menjadi hari terpahit dalam hidunya. “Saya tak menyangka, tiba-tiba mereka berbelok memasuki lorong di samping rumah saya. Ternyata aparat sudah mencium kalau ada anggota GAM yang menginap di sana,” ceritanya. “Saya sendiri tidak tahu kalau di sana ada anggota GAM,” lanjutnya lagi. Kemudian, suara tembakan membahana dari belakang rumahnya. Ridwan tersentak, seketika berlari ke rumah untuk melindungi anaknya. Hatinya galau, anaknya dirangkul erat-erat. Ia berusaha menenangkan anaknya agar tak menangis. Sambil sesekali membuang pandang mencari arah suara tembakan. Untung tak diraih, malang pun didapat. “Keluar kalian..! tiarap..! jangan ada yang lari!,” sekejap seorang aparat berdiri di depan pintu rumahnya yang terbuka. Tak ada pilihan lain. Ridwan bersama anaknya terpaksa mengikuti perintah itu. Tanpa berkata apapun ia melangkah berat keluar rumah. Ternyata bukan hanya Ridwan. Sampai di luar, ia melihat beberapa tetangganya sudah tiarap di halaman rumah masing-masing. Sedangkan mereka dikelilingi oleh aparat. Sayup-sayup ia mendengar ada yang mengerang, ternyata ada dua anggota GAM yang ditangkap. Tapi, apa hubungannya dengan Ridwan. Ia masih rapat di tanah berdebu, memikirkan nasib yang akan berlaku baginya. Setelah perang reda, semua masyarakat dikumpulkan di halaman rumah Ridwan. Mereka berbaris dan diinterogasi satu persatu-satu, aparat menanyakan perihal GAM di desa Seuriweuk. “Saya tidak tahu pak,” kenang Ridwan terbata. Semua warga yang diminta informasi tak ada yang tahu-menahu. Sampai akhirnya aparat melampiaskan emosi terhadap harta benda mereka. “Mereka (aparat) sangat marah, karena tak ada seorangpun dari

139


Rasa Hidup Dua Masa

140

kami yang tahu masalah anggota GAM yang menginap di desa kami. Akhirnya aparat membakar rumah kami,” kisahnya lagi. Siang itu, 24 unit rumah masyarakat ludes dilalap sijago merah. Tak ada yang berani memadamkan. Masyarakat hanya bisa melihat sambil menahan isak. Begitu juga dengan Ridwan, saat rumahnya mulai dibakar ia hanya berusaha menyelamatkan anak-anaknya. “Dari pada hilang nyawa, lebih baik hilang harta. Karena harta masih bisa kita cari, tapi nyawa tak dijual,” ujarnya. Semua hartanya musnah, hanya baju yang melekat di badan yang tersisa. Juga anak-anaknya yang selamat. Pasca kejadian itu, Ridwan bersama korban lainnya harus mengungsi di Meunasah. Tak hanya masyarakat yang rumahnya dibakar, tapi hampir semua masyarakat memilih mengungsi. Karena takut sewaktu-waktu perang terjadi lagi. Untuk menutupi kebutuhan hidup, Ridwan mendapat bantuan dari famili. Namun ia tak ingin hidupnya bergantung pada orang lain. Setelah mengungsi selama 15 hari, ia memberanikan diri kembali bekerja di tambak, walau hanya sebagai buruh kasar. Sedangkan anak-anak dititipkan pada saudaranya. Satu bulan kemudian. Pemerintah memberikan bantuan kayu kepada korban untuk mendirikan kembali rumah yang telah dibakar. Ya, hanya kayu. “Walapun bantuan kayu, tetap kita terima. Dari pada tinggal di Meunasah, banyak anak-anak yang saket karena kena angin),” kata lelaki yang pernah menjabat sebagai tuha peuet ini. Rumah sederhana kembali terbangun, lokasinya pun tetap di tapak rumah yang dibakar. Ia kembali merajut hari-hari sebagai penjual mie, melanjutkan usahanya yang sempat mati. Sedangkan tambak dibiarkan terlantar sampai keadaan benar-benar aman. Damai kemudian hadir, Ridwan pun optimis, dengan keadaan sekarang ia akan mampu meraih harapannya yang sempat tertunda. Harapannya sangat sederhana. Ia ingin menyekolahkan anak-anaknya


kisah usai perang

sampai ke jenjang tertinggi. “Biarpun saya bekerja sebagai buruh dan jual mie, tapi anak-anak harus bisa mendapat pendidikan sebagaimana anak-anak yang lain,” harapnya semangat. Perbedaan kehidupan masyarakat Seuriweuk saat konflik dengan sekarang sangat jauh. Mereka tak takut lagi bertambak dan ke sawah. Perekonomian masyarakat sedikit demi sedikit mulai bangkit. Rumah yang dulu dibakar, kini dibangun kembali oleh pemerintahan Aceh. Per unit dibantu Rp 35 juta, jumlah masyarakat yang menerima sebanyak 24 KK. Hal ini diungkapkan oleh M. Yusuf, Kepala Desa Seuiweuk. “Saya yang mengumpulkan semua data korban,” ujarnya. Sama seperti Ridwan, Pak Yusuf juga berharap damai bernar-benar abadi hadir di Aceh. Agar tak ada lagi rumah yang dibakar dan warga aman dalam bekerja, mencari kehidupan yang lebih baik. ***

141



Terpuruk di Sudut Krueng Sabee Oleh: Irwan Syahputra

Keriput tak berdaging, kedua bola matanya menatap jam dinding tua. Perempuan iu berceloteh sendiri seakan penuh arti dan isyarat. Seuntai mata rantai yang panjang mengikat kedua kakinya yang kurus dan lemah itu. Itulah Siti Rahmah. Orang di kampung memanggilnya dengan sebutan Nyak Imah. Wanita tua yang sakit mental ini berasal dari Aceh Singkil, yang kemudian pindah dan menetap di Krueng Sabe, Aceh Jaya setelah berumah tangga. Suaminya Muhammad Odin, telah almarhum sejak tahun 1999 silam, karena penyakit tumor yang dideritanya. Dia punya dua orang anak yang juga telah tiada. (Alm) Muhammad Davi dan (Almh) Cut Azmi. Muhammad Davi adalan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), meninggal dalam baku tembak dengan aparat keamanan masa konflik dulu, tahun 2003 lalu. Sementara Cut Azmi meninggal dalam musibah tsunami, akhir 2004 silam. Nyak Imah tinggal sendiri, tanpa keluarga inti. Sehari-hari dia diurus


Terpuruk di Sudut Krueng Sabee

144

oleh Masyitah, saudara dari suaminya. Pada gubuk reot, mereka berdua tinggal. Suami Masyitah sendiri tidak pernah lagi kembali saat konflik berkecamuk di bumi Aceh. Kondisi tempat tinggal mereka memprihatinkan. Berdinding papan dan beralaskan tanah itu, hanya sehelai tikar tua mengalasi tempat pembaringan. Di gubuk yang berukuran 4 x 5 meter itu, Masyitah selalu setia mendampingi dan memenuhi segala apa yang diperlukan Nyak Imah, mulai dari menyediakan makanan hingga menggantikan pakaiannya Nyak Imah. Dalam gumpalan asap tebal kayu bakar, Masyitah berkisah tentang Nyak Imah. “Sejak anaknya Davi meninggal dunia, Nyak Imah mulai pendiam, dan setelah disusul oleh Cut Azmi, Nyak Imah mulai terganggu mentalnya. Dia kerap tertawa sendiri,” ujarnya pertengahan Juni 2009 lalu. Sebenarnya Masyitah dan warga kampung tidak tega merantai Nyak Imah, apalagi dia tidak pernah mengganggu dan berbuat jahat pada orang. “Kalau tidak begini, dia akan berjalan-jalan sesuka hatinya,” ungkap Masyitah sambil mengoleskan ramuan obat ke dahi Nyak Imah. Jelang malam, sambil menyuapkan nasi putih yang dicampur dengan lauk seadanya, Masyitah terus membelai rambut Nyak Imah yang kian memutih itu. Hampir genap lima tahun Nyak Imah dalam rantai besi, namun tidak pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Pekerjaan Masyitah sehari-hari adalah tukang masak pada sebuah warung. Jelas uangnya tak cukup untuk mengobati penyakit yang diderita Nyak Imah. “Dulu kami pernah dijanjikan pemerintah untuk membawa Nyak Imah ke Rumah Sakit Jiwa, tapi itu cuma janji dan sampai saat ini belum ada yang membantunya, cuma para dermawan yang ada di desa saja yang meringankan sedikit beban kami,” kata Masyitah. Hujan kemudian turun deras. Air sesekali menetes membasahi Nyak Imah. Atap rumbia bocor di sana-sini. Rumah itu memang tak layak lagi.


kisah usai perang

“Kami tidak mendapatkan bantuan rumah dan apapun bantuan lainnya dari pemerintah,” ujar Masyitah. Telah beberapa kali dirinya mengadu ke sana-sini. Tapi belum terealisasi. Sesaat kemudian Nyak Imah menangis, matanya bengkak sambil terus menatap lekat pada jam dinding yang terus berdenting. *** Lain lagi kisah Ibu Ratna, perempuan paruh baya asal Desa Sentosa, Krueng Sabee.

Sehari-harinya dia bekerja sebagai penjual sayur.

Tubuhnya yang renta tak membuatnya berdiam diri di rumah. Rutinitasnya, usai shalat shubuh, dia mulai bergegas berangkat ke pasar untuk menjejaki rempah-rempah yang dia miliki dari kebun sebelah rumahnya. Ditemani dengan keremangan pagi dan kokok ayam, Bu Ratna mulai mengayuhkan sepeda buntut yang dimilikinya. Usia dan tenaga sepertinya tidak menjadi halangan baginya mencari nafkah untuk keluarganya. Perempuan itu memiliki dua orang anak ini, dia mulai menyandang status janda sejak suaminya, Burhan meninggal dunia 2002 karena terkait konflik Aceh. Di rumah bantuan yang setengah jadi itu, dia dan anak-anaknya menjalani hidup hari demi hari. “Rumah ini telah lama dibangun oleh pihak BRA (Badan Reintegrasi Aceh), tapi belum siap sepenuhnya,” katanya sambil terduduk lesu di atas lantai rumahnya yang kasar itu. Kekecewaan yang terus-menerus datang, tidak membuat Buk Ratna putus asa. Dia dan kedua buah hatinya terus membina rumah tangga, meskipun dalam keadaan serba kekurangan. “Banyak bantuan yang pernah dijanjikan oleh BRA, misalnya akan memberikan uang kepada kami Rp 10 juta, namun sampai saat ini uang itu belum juga kami terima,” tambahnya. Beberapa kali Buk Ratna mendatangi pihak BRA untuk menanyakan

145


Terpuruk di Sudut Krueng Sabee

146

kejelasan rumah bantuan yang dimilikinya setengah jadi itu, namun sampai detik ini tidak ada jawaban yang bisa memuaskan hati Buk Ratna. *** Krueng Sabee terbilang kecamatan yang parah terimbas konflik Aceh. Menurut data yang disampaikan oleh Camat Krueng Sabee, Ichwan, jumlah rumah yang dibakar dan rusak di kecamatannya sebanyak 265 unit rumah, namun yang telah dibangun dan diterima oleh masyarakat sekitar 181 unit. Selain itu, juga ada dana bantuan yang diberikan sebanyak Rp 10 juta per kepala keluarga, dan diterima dua tahap. Namun masih banyak juga masyarakat yang terkena konflik belum mendapatkan haknya sebagai korban. “Tidak adanya data lengkap yang diterima oleh pihak kami, mungkin itulah salah satu yang menyebabkan banyak korban konflik yang tidak mendapat bantuan. Selain itu, para korban yang mengalami cacat fisik, juga tidak pernah mendapatkan bantuan berupa obat-obatan,� ujarnya. Di tempat terpisah, Koordinator BRA Kecamatan Krueng Sabee, Nonong mengatakan reaslisasi bantuan masih jauh dari target yang diharapkan pihaknya. “Mungkin ini dikarenakan data yang tidak akurat kami terima, namun kami akan terus meninjau korban-korban yang belum mendapatkan bantuan,� ungkapnya. Contohnya saja di Desa Bahagia. Desa ini merupakan salah satu desa yang sangat parah terkena imbas konflik. Data desa, semasa konflik ada 12 unit rumah yang dibakar dan 1 unit Puskesmas. Dari jumlah itu, hanya 7 unit yang baru dibangun kembali, sedangkan selebihnya masih dalam proses. Kepala Desa Bahagia, Zulkifli menambahkan dari tujuh desa yang terdapat di Kecamatan Krueng Sabee, hanya dua desa yang mengalami


kisah usai perang

kerusakan sangat parah, Desa Bahagia dan Desa Sentosa. “Beberapa kali masyarakat mendatangi kantor BRA, namun tidak ada tanggapan yang serius oleh pihak BRA itu sendiri, yang ada cuma janji-janji yang tidak pernah kesampaian.� Damai yang telah ada sejak empat tahun silam, belum sepenuhnya membawa kesejahteraan bagi warga. Di Krueng Sabe, mereka masih berharap, agar tak terpuruk lagi dalam ketidakadilan dan kemiskinan.***

147



Yang Mengikhlaskan Kisah Oleh : Kamarullah

Sepintas melongok anak korban konflik yang besar di Kabupaten Aceh Jaya, tak jauh berbeda dengan anak lainnya. Mereka penuh keceriaan, bahagia. Tawa juga tergambar di raut wajah mereka. Akmal adalah salah satunya. Dia ditinggal mati orang tuanya dan juga adiknya, saat Aceh masih konflik. Nama lengkapnya Akmal Fahlevi, kini 18 tahun. Dia adalah anak dari pasangan Abdullah dan Rahmawati, warga Gampong Bahagia, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Dia ditinggal ayahnya saat masih berumur 12 tahun. Dia masih mengenang saat itu. Ayahnya dipanggil oleh aparat pemerintah bersama delapan warga lainnya. Belakangan yang lain pulang dan ayahnya ditahan. “Saya juga tidak tahu persis kenapa ayah saya ditahan saat itu,” ujarnya kepada saya, pertengahan Juni 2009 lalu. “Memang saat itu, ayah ada cekcok dengan orang kampung, karena dituduh korupsi dana desa. Tapi saya tidak tahu pasti,” sambungnya. Saat ayahnya ditahan, ibunya selalu berusaha agar ayahnya


Yang Mengikhlaskan Kisah

150

dibebaskan. Mulai dari meminta tolong aparat keamanan sampai kepada kepala desa. Hampir tak ada respon. Ayahnya kemudian meninggal dan Akmal masih terlalu muda untuk mengetahuinya. Dia menjalani hidup kemudian bersama ibu dan adiknya. Bencana tsunami yang datang kemudian kembali membawa musibah bagi Akmal. Ibu dan adiknya juga meninggal dunia. Tinggallah dia sebatang kara. Beberapa kerabat dan tetangga kerap membantunya. Kini setelah tsunami dan damai Aceh disepakati 15 Agustus 2005 silam, Akmal tinggal sendiri di rumahnya, bantuan pemerintah yang dibangun untuk korban tsunami. Akmal tidak mengeluh dan sudah dapat menerima statusnya yang yatim piatu. “Tidak ada yang perlu ditangisi. Ini semua memang telah digariskan kepada kita, jalanin saja apa adanya dan tetap berdoa agar kedua orang tua saya diberikan tempat yang layak disisi-Nya dan membimbing saya menjalani hidup di dunia.” Akmal mengaku, dirinya juag mendapat bantuan dana. “Saya dikasih bantuan senilai Rp 3 juta yang diberikan keuchik, saya lupa apa nama lembaga yang membantu,” ujarnya. Bantuan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA), lembaga yang dibentuk untuk memperhatikan korban konflik, diakui Akmal, belum ada. Dia mengatakan pihak BRA pernah mendatanya untuk menerima bantuan. “Tapi tidak apa-apalah, walaupun saya belum menerima bantuan dari BRA, saya masih bisa hidup kan. Saya juga masih bisa melanjutkan pendidikan saya dengan gaji pensiun yang ditinggalkan ayah saya.” *** Kisah Akmal kurang lebih sama dengan yang dialami ibu Yanti. Dia adalah ibu rumah tangga dan juga guru dengan dua orang anak. Suaminya juga meninggal semasa konflik dulu, karena dituduh mendukung gerilyawan.


kisah usai perang

Selepas tsunami, dia menikah lagi dengan seorang duda. “Saya sudah ikhlas dan melupakan kisah-kisah pahit dulu.” Kendati sebagai warga yang ikut merasakan imbas konflik Aceh, Yanti sama seperti Akmal. Dia hanya menerima bantuan hidup sebesar Rp 3 juta yang diberikan oleh aparat desa. “Saya belum dapat apapun dari BRA,” ujarnya. Dia mengatakan selama ini juga belum didata oleh lembaga tersebut. Dia berharap kelak didata sebagai penerima bantuan. Walaupun bukan untuk dia, tapi anaknya yang yatim sangat memerlukan dana dalam menempuh pendidikan yang layak. Sementara itu Nonong, seorang staf BRA yang mengurusi bantuan korban konflik di Kecamtan Krueng Sabee mengatakan bahwa di kecamatan tersebut, pada tahun 2008, telah terdata 181 kepala keluarga yang berhak menerima bantuan. Menurutnya, mereka oleh pihak BRA tidak diberikan bantuan dalam bentuk rumah, hanya memberikan sejumlah dana. BRA juga terus mendata korban konflik di tahun 2009. “Tahun ini, dananya belum keluar,” ujarnya. Zulkifli, Kepala Desa Bahagia berharap agar pendataan para korban konflik benar-benar dilakukan dengan baik. Agar yang menerima bantuan adalah orang yang layak. ***

151



Korban Dua Bencana di Markas Al-Aziziyah Oleh: Masrizal

Pagi itu, pertengahan Juni 2009 lalu, suasana sepi Markas Al-Islah Al-Aziziyah, Lueng Bata, Banda Aceh. Hanya terlihat dua santri duduk di atas balai kayu tua yang sedang asyik bicara. Saya menyapa dan mereka membalas ramah. Mereka adalah santri yang belajar di sana. Mereka adalah anak-anak korban konflik dan tsunami yang telah yatim. Salah satu anak bernama Salahul Bain, berasal dari Lhoong, Aceh Besar. Apa pendapatnya tentang konflik? “Konflik ada di tempat kami, tetapi tidak begitu parah seperti desa lain,� ujarnya memulai kisahnya. Menurutnya, selama konflik masyarakat di desanya tidak bisa kemana-mana, karena merasa ketakutan. Semua orang, baik orang dewasa maupun anak-anak merasakan ketakutan untuk pergi ke gunung ataupun ke laut, mencari nafkah. “Dulu, rasa takut tetap ada tetapi tidak begitu berat karena sudah biasa,� kenangnya. Tetapi Bain masih bisa bersyukur. Keluarganya lepas dari kekerasan


Koran Dua Bencana di Markaz Al-Aziziyah

154

masa perang. “Tidak seperti banyak anak di sini yang kehilangan orang tuanya akibat konflik.” Salahul Bain singgah di pesantren itu setelah ayahnya meninggal akibat tsunami. Ayahnya adalah seorang nelayan yang pergi waktu subuh mencari ikan saat tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Dia pun yatim dan oleh keluarganya yang kekurangan, dia diantar ke tempat itu. Hal yang serupa juga dialami oleh Boihaqi, 13 tahun, berasal dari Aceh Timur. Dia juga mengalami hal yang serupa sewaktu tsunami. Gelombang yang menghantam Aceh telah membawa ibunya untuk selama-lamanya. “Ibu tidak ada lagi, dibawa tsunami,” tuturnya. Pengakuannya, mesti tinggal di wilayah yang terimbas konflik, dia keluarganya tidak menjadi sasaran dari pihak bertikai. Keluarganya terjauhi dari penindasan ancaman kekerasan dan pembunuhan pada saat konflik melanda Aceh. “Kami tidak terkena langsung konflik, orangorang kampung banyak. Ada tetangga yang tidak pulang lagi setelah diculik,” kisah Boihaqi. Tahun 2005, Salahul Bain dan Baihaqi menetap di pesantren pimpinan Tgk Bulqaini itu. Walaupun hidup di bawah naungan yayasan, kehidupan di sana biasa saja. segala fasilitas yang didapat gratis. “Kehidupan biasa, sekali-kali senang sekali-kali susah,” kata Bain, *** Setelah perdamaian 15 agustus 2005, banyak anak-anak korban konflik yang masih merasa trauma. Untuk memupuk kembali kejiwaan anakanak korban konflik perlu perhatian yang serius. “Untuk membangun psikologi anak-anak korban konflik kami melakukan pendekatan secara agama, pendekatan secara khusus dengan memberikan bimbingan,” kata


kisah usai perang

Muzanni, 24 tahun, salah seorang guru pengajar di Markas Al-Islah AlAziziyah. Dia telah menetap di sana sejak 2003. Dalam menghadapi anak korban konflik, belum ada kendala yang berarti. Tapi ada juga beberapa anak yang masih ada rasa dendamnya. Dan itu harus dilakukan dengan pendekatan secara khusus. Menurutnya, anak-anak yang masih dikelabui oleh rasa dendam karena adanya pembunuhan terhadap keluarganya, dari kedua belah pihak yang bertikai. “Awalnya waktu pertama kali berada di sini, ada perasaan yang sinis terhadap anak lainnya yang menjadi korban dari pihak berbeda. Kemudian karena mereka saling berbaur, pendidikan bersama-sama, makan bersama dalam satu dapur, sepermainan, sehingga mereka bisa akrab,” jelas pengajar itu. Anak-anak di sana dibimbing dengan baik. Mereka semua ditempa dengan berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pendidikan sekolah. Sehingga pesantren yang didirikan pada tahun 2001 oleh Tgk. H Bulqaini mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. “Tiap tahun donator-donatur yang memberikan bantuan ke sini tidak putus, mulai dari NGO, masyarakat dan pengusaha,” ungkapnya Pembangunan awalnya hanyalah balai-balai dan rumah-rumah kayu tradisional yang berupa sumbangan dari masyarakat sekitar. Setelah tsunami pembangunan di markas sangat menonjol. Walaupun bangunan-bangunan itu diprioritaskan untuk para korban tsunami, bukan korban konflik. Tapi bangunan itu dapat dirasakan secara bersama-sama antara anak- anak yang korban tsunami dengan anakanak yang korban konflik. Menurutnya, anak-anak di Aceh secara umum sudah bisa menempa ilmu pengetahuan di bangku-bangku sekolah. Mutu pendidikan di Aceh bisa terbilang meningkat setelah tsunami. Sehingga anak-anak Aceh tidak lagi terlantar dan putus sekolah. “Setelah perdamaian, minat belajar sudah mulai meningkat dari sebelumnya,” tutur Muzanni.

155


Koran Dua Bencana di Markaz Al-Aziziyah

156

Dengan perdamaian yang telah terwujud di Aceh, anak-anak Aceh baik korban tsunami maupun konflik bisa meniti kehidupannya yang lebih baik, sehingga dapat meraih masa depan yang lebik baik. ***


Sekolah di Zona Rawan Oleh : Muhammad Hamzah

“Waktu kejadian lagi Ebtanas hari ke-2. Banyak para murid yang tidak bersekolah, karena waktu itu semua daerah di sekitar tungkop ini ditutup,” kata Ibu Sri Rahayu Ningsih, mantan kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Tungkop. Akhir Juni 2009 lalu, Dia sedang berkisah tentang sekolahnya kala konflik dulu. Sekolah MTsN Tungkop pernah dibakar orang tak dikenal. Kejadiannya dini hari, 20 Juni 2003, saat status Aceh masih darurat militer. “Kejadian itu sekalian dengan pembakaran Madrasah Tsanawiyah Negeri di Kuta Baro, Aceh Besar,” lanjutnya sambil memperlihatkan dokumen yang masih disimpan rapi di rumahnya. Madrasah Tsanawiyah Negeri Tungkop, sekolah berbasis Islam yang berdiri megah tepat di antara perbatasan Kotamadya Banda Aceh, dan Kabupaten Aceh Besar ini, mempunyai kisah tragis sewaktu konflik mendera Aceh. Salah satu gedungnya dibakar. Satu gedungnya yang lain tidak cukup untuk menampung semua murid yang menimba ilmu di situ.


Sekolah di Zona Rawan

158

Proses belajar-mengajar di sekolah itu sempat terganggu, sebagian siswa terpaksa dialihkan untuk bersekolah siang hari. Dan gurunya pun harus mengajar dengan waktu padat. “Sangat terganggu dengan satu gedung dulunya, kami terpaksa mengajar pagi dan siang,” kisah ibu Sri, panggilan singkat dari ibu Sri Rahayu Ningsih. Menurutnya, hampir semua murid yang bersekolah di sana adalah anak yang berasal dari daerah rawan konflik. Umumnya mereka berasal dari Tungkop dan sekitarnya, dari Cot Keueng, Lambaro Angan, Miruk Taman. Hampir semua daerah itu berstatus hitam. Sebuah istilah untuk menandakan wilayah rawan yang banyak kombatan. “Kadang-kadang mereka telat sampai ke sekolah, dan kita bisa maklum. Ya dengan melihat kondisi keamanan saat itu.” “Malahan ada sebagian siswa kita yang membawa selongsong peluru untuk dipamerkan kepada kawan-kawan lain, itu adalah dampak konflik, sehingga mereka akan nampak gagah dan perkasa di antara kawankawannya,” sambung Sri. Secara umum, dulunya para guru yang mengajar tidak pernah mengeluhkan kondisi sekolah itu, yang letaknya di wilayah hitam. Guru melaksanakan tugasnya dengan baik, mereka tidak pernah mengeluh tentang imbas konflik yang kerap mereka terima. Misalnya soal pernah diminta pajak nanggroe oleh gerilyawan. Usai perang, damai hadir pada 15 Agustus 2005 silam. MTsN Tungkop ikut merasakan suasana yang ceria pula. “Semua anak didik harus belajar lebih baik ke depan untuk mengisi perdamaian ini, supaya nantinya tidak ada lagi sekolah yang dibakar,” harap Sri. Sekolah MTsN Tungkop sekarang menjadi kebanggaan masyarakat Kecamatan Darussalam. Gedung sekolah baru telah berdiri megah mengaburkan bekas pembakaran dulunya. Sekolah juga dikelilingi pagar panjang berwarna orange dan diapit oleh Taman Kanak-Kanak,


kisah usai perang

Madrasah Ibtidaiyah, Dan Madrasah Aliyah yang tentunya semuanya negeri, dan dengan semua bangunan yang 100 persen sama. “Komplek sekolah ini menjadi kebanggaan masyarakat, banyak yang berharap banyak dari siswa-siswa yang dididik di sini,” ujar Dahlan, Kepala Sekolah MTsN Tungkop. Sekolah pun punya fasilitas serba lengkap. Tersedia sarana olahraga yang sudah lumayan wah. Laboratorium pun juga lengkap, sehingga kualitas murid yang sekolah sekarang rata-rata di atas murid yang dulu pernah dididik di situ. Di dalam komplek sekolah Negeri Tungkop ini juga tersedia sebuah Mushalla, sehingga para murid bisa beribadah dan melakukan praktek pelajaran agama. Mereka tidak harus lagi keluar ke Masjid Jamik Tungkop untuk Shalat Zuhur, seperti yang biasa mereka lakukan di saat konflik. Para murid di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tungkop ini juga sebagiannya adalah korban konflik. Tapi mereka tidak pernah membawa masalah pribadi ke sekolah. Dan sekolah pun sedikit banyak juga membantu untuk meringankan beban mereka. “Ada beberapa orang yang anak korban konflik, ya kita bantu. Untuk mereka juga,” ujar Dahlan. Berada di masa damai, berpengaruh besar bagi kelancaran pendidikan siswa. “Tidak sedikit dari korban konflik yang bersekolah di sini berprestasi,” ujarnya. Suci, salah seorang siswa kelas tiga MTsN Tungkop mengatakan mereka menikmati bersekolah di tempat itu. Menurutnya, guru yang mengajar punya kualitas yang baik. Kemudian fasilitas yang diperlukan sebagian besar sudah tersedia di sekolah. Dia mengharapkan agar kelak adik-adik di bawahnya menggunakan fasilitas itu sebagaiana mestinya, menjaga dan tidak menghancurkannya. “Semoga siswa di sini semakin bermutu.” Setelah perang tak ada lagi, pihak sekolah mengakui pendidikan di

159


Sekolah di Zona Rawan

160

MTsN maju dan berjalan lancar. Tiada lagi kendala atau rasa was-was akan sekolah yang dibakar. “Kita akui, prospek pendidikan semakin hari semakin bagus, insya Allah ke depan semakin bertambah baik,� kata Pak Dahlan menutup pembicaraan. ***


Kisah Angkatan 86 Oleh: Rahmawaty

Jarum jam menunjukan angka sepuluh. Aku bergegas menyelusuri jalanan setapak. Jalan itu bebatuan. Tak ada petunjuk jalan membuat ku beberapa kali tersesat. Pagi itu Selasa, 23 Juni 2009 aku mau menemui Abdul Muthalib. Dia berasal dari Kampung Calong, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Umurnya telah memasuki 40 tahun. Dia mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setelah perjanjian perundingan damai antara GAM dengan Pemerintahan Indonesia pada 15 Agustus 2005 silam, struktur komando militer GAM juga dibubarkan dan dileburkan ke dalam Komite Peralihan Aceh atau KPA. “Mau minum,” tawarku. “Saya baru saja minum,” jawabnya. Abdul Muthalib menyimpan banyak kisah setelah mengikuti perjuangan GAM. Sebuah usaha yang dilakukan untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia. Gerakan itu sendiri dipelopori oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, yang mendeklarasikan berdirinya negara Aceh


Kisah Angkatan 86

162

Merdeka pada 4 Desember 1976. Untuk meredam aktifitas ini, konflik terjadi di Aceh dengan berbagai status operasi yang disandang. Salah satunya adalah Daerah Operasi Militer atau (DOM) pada 1989 silam. Selama dalam status DOM, banyak kaum lelaki yang mengasingkan diri ke Malaysia. Abdul Mutalib di antara orang yang menyelamatkan diri dari konflik bersenjata itu. “Orang Aceh banyak menyelamatkan diri ke Malaysia. Perginya dengan perahu lewat Kuala Simpang Ulim,� ceritanya. Abdul sendiri memutuskan bergabung dengan GAM pada tahun 1986. Dia ikut memanggul senjata menentang pemerintahan Indonesia. Semasa aktif dengan GAM, dia menyamarkan indentisnya dengan sebutan Taliban. Ini dia lakukan agar dia tidak mudah dilacak tentara pemerintah. Tahun 1987, dia mengasingkan diri ke Malaysia. Jalinan komunikasi dengan GAM tetap dia lakukan. Dia melakukan aktifitas pencari dana dari masyarakat Aceh yang simpatisan dengan GAM. Dana itu untuk keperluan membeli senjata. Sekembalinya ke Aceh. Dia kembali mengangkat senjata dan melatih anggota-anggota GAM yang baru bergabung di pegununganpegunungan Aceh. “Saya di hutan dari tahun 98, dan melatih personil GAM,� kata Abdul. Pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu, kesepakatan damai antara Pemerintahan Indonesia dengan GAM ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Dan dibentuklah tim Aceh Monitoring Mission (AMM). Salah satu tugasnya adalah memonitor implementasi dari komitmen yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM sehubungan dengan Memorandum of Understanding yang ditandatangani itu. Pemerintah juga membentuk Badan Reintegrasi Damai (BRA) pada Februari 2006. Tujuan BRA memberikan dukungan sosial kepada


kisah usai perang

masyarakat yang terimbas konflik, dengan cara memberikan dana pemberdayaan ekonomi kepada mantan TNA, mantan tapol/napol, masyarakat yang terimbas konflik (termasuk GAM non-TNA, GAM yang menyerah sebelum MoU, dan kelompok anti-separatis. Bantuan reintegrasi telah disalurkan untuk mantan kombatan GAM. Tapi, Abdul belum mendapat apa-apa. Dia membanting tulang menghidupi keluarganya dengan keringatnya sendiri. “Selama damai, saya tidak pernah mendapatkan dana bantuan,� ungkapnya. Kini dia hanya bisa berharap. Entah sampai kapan bantuan datang. ***

163



Belum Beruntung ke Gedung Dewan Oleh: Siti Aminah

Memasuki kantor itu, suasana tampak sederhana. Beberapa orang ramah menyambut. Itulah kantor Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), salah satu partai lokal di Aceh. Aku sedang menunggu seseorang, untuk menulis kisahnya semasa konflik dulu. Sejenak menunggu, lelaki itu keluar dari ruang rapatnya. Lalu menjabat tanganku dan memperkenalkan dirinya, “Dawan” sebuah nama yang singkat. Orang mengenalnya dengan Dawan Gayo, salah satu pengurus partai politik lokal itu. Dia adalah mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).”Saya sudah ditempa sejak kecil untuk menghadapi berbagai kesulitan,” ujarnya pertengahan Juni 2009 lalu. Dia mengisahkan suka-duka semasa konflik dulu. Awal keterlibatannya adalah pada tahun 1986 sampai 1989. Saat itu Dawan pernah berbincang-bincang dengan beberapa petinggi GAM di Jakarta. Dia kemudian kembali ke Aceh tahun 1998. Saat itu GAM sudah makin berkembang.


Belum Beruntung ke Gedung Dewan

166

Pada tahun 2001, beberapa anggota GAM sudah mulai berpisah. Masing-masing mempunyai tugas dan wilayah sendiri. Fauzan Azima menjabat sebagai Panglima GAM daerah Gayo dan Dawan sendiri sebagai Juru Bicara Militer di Wilayah Linge. Tugas yang diberikan kepada Dawan adalah menyampaikan informasi kepada kawan-kawan di lapangan serta mengorganisir masyarakat yang ada di wilayahnya. Saat di hutan Bener Meriah, dia pernah menjadi buron paling dicari. Menyelamatkan diri, dia sempat lari ke Kota Lhokseumawe dan juga bergabung dengan GAM di Nisam, Aceh Utara. “Selama di hutan, tidurpun tak pernah mengalaskan tikar, hanya berbantal rumput dan terpal. Itupun hanya beberapa jam saja dapat ku nikmati,� kenang Dawan. Beberapa bulan di hutan Nisam, Dawan kembali ke hutan Tanah Gayo. Saat itu keinginan bertemu dengan orang tua sudah tidak dapat ia tahan lagi. Iapun mengatakan semua keluhannya kepada atasannya agar ia mendapat izin untuk keluar dari hutan tersebut. Namun, atasannya sama sekali tidak mengabulkan permintaan Dawan. Dengan alasan ia tidak menjamin keselamatan Dawan jika menemui orang tuanya. Orang tua dawan juga akan menjadi ancaman besar untuk dijadikan bahan pembicaraan di dalam masyarakat, dan keluarga bisa terancam keselamatannya. Arhama Dawan Gayo pun mengurungkan niat untuk menemui keluarganya. Padahal jarak dengan tempat persembunyian hanya satu kilometer saja dari kampung tersebut. “Resiko berperang menahan semua keinginan dan harus bisa menyelamatkan diri dari kondisi apapun. Itulah konsep seorang GAM,� ujar Dawan mengenang perkataan Fauzan Azima saat memimpin bawahannya. Pada 15 Agustus 2005, Dawan ikut serta dalam proses penandatanganan MoU, kesepakatan penghentian perang antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang disaksikan oleh lembagalembaga masyarakat, dan tokoh- tokoh dari berbagai negara.


kisah usai perang

Setelah penandatanganan perdamaian itu selesai, Dawan tak pernah patah semangat untuk memperjuangkan nama baik keluarga dan namanya di tengah-tengah masyarakat Gayo, khusunya di daerah yang ia tinggal. ”Saya tidak mengharapkan apa- apa, tapi saya sudah mendapatkan segalanya,” ujarnya. ”Saya sudah menikmati perdamaian ini dan saya sangat bersyukur,” sambungnya. Menurutnya, suatu kegembiraan yang mungkin tak bisa dilupakan adalah saat dirinya menjumpai keluarga dan bisa menatap wajah ayahibunya kembali. “Berulang kali saya mengucapkan kata maaf, kepada ibu-bapak.” Jelang pemilihan legislatif April 2009, Dawan dipercaya masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Namun usahanya belum mencapai target yang diinginkan untuk untuk menduduki kursi dewan. Dawan dan partainya kalah dalam pemilihan. Tapi dia tak patah semangat. “Saya akan terus berusaha dan kerja keras ke depan. Saya akan tetap memperdulikan rakyat Aceh yang menjadi korban konflik dulunya.” ***

167



Moral Politik Mahasiswa Oleh: Suryani

Ruangan itu tetap sepi. Siang itu, akhir Juni 2009, aku dan seorang teman beberapa kali mondar-mandir di depannya. Hanya bangku kosong menyapa pandangan kami. Menemui Baharuddin adalah tujuan kami. Dia adalah Dosen Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. “Itu bapak Baharuddin,” tutur Nurkhalis, seraya menunjuk. Aku menatapnya dan bergegas berjalan ke arahnya. “Pak, kawan saya mau mewawancarai bapak,” ujar Nurkhalis memperkenalkan saya padanya. “Dia mau wawancara tentang keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis,” ujar Nurkhalis lagi . Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif 9 April 2009 telah berlalu. Banyak kalangan yang ingin merebut kursi anggota dewan. Mahasiswa juga mengincarnya. Mahasiswa adalah komunitas intelektual yang sering dilabelkan sebagai kelompok netral dan hanya berpihak masyarakat. Juga tidak ikut dalam agenda politik praktis. “Mahasiswa dilabelkan sebagai kelompok yang netral, mereka harus


Moral Politik Mahasiswa

170

membedakan antara peran sosial dengan kepentingan kelompok,” ujar Baharuddin. Menurutnya, sebenarnya tidak ada batasan tentang keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis. Hal ini termaktub dalam peraturan Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 pasal 50 ayat 1 tentang pencalonan anggota legislatif. Secara rinci disebutkan Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau lebih dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. “Seharusnya mahasiswa memerankan dirinya sebagai kaum intelektual yang akedemisi, dan tidak berkotak-kotak dalam politik praktis,” tambahnya. Kemungkinan keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Kata Baharuddin, seharusnya mahasiswa menjadi contoh bagi masyarakat. “Tapi kondisi saat ini persatuan mahasiswa mengalami perpecahan,” ujarnya. Siang itu. Saya mencoba menghubungi seseorang lewat telepon genggam. Dia calon legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 9 April 2009 lalu. Dia tidak lolos duduk di parlemen. Namanya Aulia Rusli. “Ini adalah panggilan jiwa,” katanya berfilosofi. Dia sudah mengenal dunia perpolitikan semenjak kecil. Ayahnya pernah menduduki kursi legislatif. “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” kata Aulia. Aulia berani mencalonkan diri atas kemauan sendiri dan dukungan dan permintaan teman-teman mahasiswa. “Saya mau membuat perbaikan dan perubahan untuk masyarakat,” tuturnya. Aulia kelahiran tahun 1986. Saat mendaftar sebagai calon anggota legislator, umurnya memasuki 23 tahun. Dia masih terdaftar sebagai mahasiswa aktif di Universitas Serambi Mekah. Dia aktif di Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat atau SMUR.


kisah usai perang

SMUR didirikan pada Mei 1998 silam. Organisasi mahasiswa yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat Aceh. Lahirnya SMUR berdasarkan sebuah momentum, pada waktu itu Aceh sedang terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. “Orang berpolitik adalah orang yang pertama masuk surga dan juga neraka,” ujar Aulia. Menurutnya, dia tidak melibatkan mahasiswa dan mengkotakkotakkan mahasiswa untuk memilihnya. “Ada juga kader partai yang membuat mahasiswa terkotak-kotak, sehingga timbul persaingan yang tidak sehat dalam tubuh mahasiswa.” Aulia mengatakan pada dasarnya mahasiswa mempunyai daya pikir serta daya intelektual yang lebih luas, dibandingkan masyarakat biasa yang menjadi caleg. Jufrizal, mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) punya lain. Saat ditemui di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Majalah Sumberpost dia mengatakan dari sisi undang-undang pemilu tidak masalah mahasiswa ikut dalam politik, bahkan mendaftar jadi calon legislator. “Tapi mahasiswa juga terikat dengan Tridarma Perguruan Tinggi. Umumnya masyarakat lebih percaya dengan mahasiswa dibandingkan para politisi yang penuh muslihat untuk mencapai kepentingan kelompoknya,” ujarnya. Artinya, masyarakat lebih percaya mahasiswa ketimbang politisi. ***

171



Janda Konflik di Bukit Tiongkok Oleh: Zoni Jamil

Ratusan rumah berderet rapi di atas bukit Desa Neuhen, Masjid Raya, Aceh Besar. Bentuknya seragam, teratur. Berdiri di bukit itu, pandangan luas ke laut lepas. Angin yang berhembus dari samudera sana, menambah sejuk bukit yang jauh dari bising. Begitulah sekilas suasana di Komplek Perumahan Persahabatan Tiongkok - Indonesia, yang dibangun khusus untuk meringankan beban korban tsunami Aceh. Komplek yang terletak sebelah utara kota Banda Aceh, berjarak sekitar 8 kilometer dari pusat Ibukota Provinsi. Menuju ke komplek ini bisa ditempuh dengan mengunakan kendaraan umum. Beragam latar keluarga mengisi komplek itu. Mereka umumnya adalah korban tsunami yang telah kehilangan rumah saat ombak gergasi menghempas Aceh, 26 Desember 2004 lalu. Di sana ada petani, nelayan, pegawai negeri dan swasta. Saat mengunjungi komplek itu, Juni 2009 lalu, pada sebuah sudut rumah, terlihat seorang perempuan paruh baya sibuk memberi pakan ayam yang sudah dicampurkan dengan nasi. Pakan itu ditumpukkan


Janda Konflik di Bukit Tiongkok

174

pada tempat yang telah disediakan sebelumnya. Wanita itu mengaku bernama Suryati (50 tahun). Dia berasal dari Desa Rayek, Kecamatan Ujong Kalak, Aceh Barat. Janda korban konflik itu punya dua anak, Wulan yang telah duduk dikelas II SD, dan Heri bersekolah di SMP. “Kami keluarga yang menderita akibat konflik.” Suryati berkisah, masa konflik awalnya dia dan keluarganya tinggal di Neuhen, Kecamatan Masjid Raya. Saat konflik lagi parah-parahnya, rumah mereka di Neuhen dibakar oleh orang tak dikenal. Mereka kemudian pindah ke Aceh Barat di kampung suaminya. Setelah sembilan bulan peristiwa itu terjadi, suaminya Usman (60 tahun) diculik usai Shalat Jumat di masjid Alue Itam, Meulaboh, Aceh Barat. Dia dibawa dengan mobil L – 300. “Beberapa hari kemudian, baru ketemu mayatnya, ditemui oleh keluarga sendiri di Ulim, Aceh Timur,” urainya sembari menyapu matanya yang mulai berkaca-kaca. Sepeninggal suaminya, Suryati harus membesarkan kedua anaknya seorang diri. 15 Agustus 2005, damai kemudian hadir di Aceh. Suriyati ikut merasakannya berkahnya. Setelah damai kehidupannya mulai membaik dan terasa aman, untuk bekerja pun mudah dan sangat lancar. Tiada rintangan apapun yang terjadi, tidak membuat hambatan atau ketakutan, tidur malam pun aman tiada yang mengetok pintu. “Kalau dulu tiap hari, setiap malam ada saja orang yang mengetok pintu.” Kini, sehari-harinya Suryati bekerja sebagai pembantu pada sebuah keluarga, warga asing yang bekerja di Aceh. Gajinya perbulan sekitar satu juta rupiah. Walaupun pas-pasan, namun Suriyati berusaha berhemat untuk menghidupi kedua anaknya yang masih sekolah. Suryati sangat berharap, agar Pemerintah Aceh betul-betul memperhatikan anak korban konflik, terutama dalam biaya sekolahnya. “Saya berharap pendidikan anak saya sampai Sekolah Menengah Atas


kisah usai perang

(SMA). Walau saya miskin tapi anak harus tetap sekolah,” sebutnya menyeka air mata. Korban konflik di sana tak hanya Suryati, tapi juga ada Cut Mehran (59 tahun) asal Kuta Baro, Kecamatan Trunom, Kabupaten Aceh Selatan. Cut kehilangannya anaknya, T Marzuki yang hilang semasa konflik. “Sampai sekarang tidak tau nasib anak saya, hidup atau meninggal,” kata Cut Mehran. Karena kehilangan anaknya, Cut Mehran tak berani lagi tinggal di kampung halaman. Dia kemudian menetap di Banda Aceh sampai kemudian menjadi korban tsunami. “Kini saya tinggal di komplek Perumahan Bukit Tiongkok ini.” Ketua Komplek Perumahan Persahabatan Indonesia Tiongkok, Muktar (55 tahun) mengatakan, janda konflik dan semua warga Bukit Tiongkok tergolong miskin. Tetapi mereka sejauh ini tidak mendapat bantuan beras untuk masyarakat miskin (raskin). “Kenapa desa-desa lain semua dapat beras raskin, kami tidak mendapatkannya.” Mukhtar berharap Pemerintah Aceh dapat memperhatikan keberadaan mereka di sana. “Bantuan agar mengalir ke Bukit Tiongkok, harus ada perhatian dari pemerintah.” Janda korban konflik memang belum semua dapat diperhatikan. Hal itu diakui sendiri oleh seorang staf Badan Rekonstruksi Aceh (BRA), Teuku Faisal. Menurutnya, bantuan untuk korban konflik saat ini belum merata pembagiannya, karena terkendala pendataan di lapangan. Saat ini, pihaknya belum mengantongi sebuah data yang benar-benar akurat dari lapangan. Diperkirakan, bantuan untuk korban konflik baru tersalurkan sekitar 70 persen. Dia menambahkan semoga ke depan ada sebuah database terpusat bagi semua program sosial yang dilaksanakan di Aceh. Sehingga semuanya bisa diperhatikan dengan baik. ***

175





Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.