Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua: Sebuah Makalah Inisiatif Strategi

Page 50

Munculnya beberapa Perda (qanun) di Aceh menimbulkan pro dan kontra karena dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, ataupun tumpang tindih dengan hukum nasional. Hingga saat ini, Undang–Undang Syariah (Qanun Jinayah) belum ditandatangani oleh pihak eksekutif, sehingga hukum nasional (KUHP) sesungguhnya masih menjadi acuan bagi sistem peradilan pidana. Meningkatnya kesadaran publik terhadap terhadap mekanisme UU Syariah terutama berhubungan dengan banyaknya pelanggaran atau penyalahgunaan kriminal yang dilakukan oleh Polisi Syariah. Selain itu, pemerintah daerah juga dinilai lamban dalam menyusun peraturan–peraturan lokal. Sepanjang kurun waktu tiga tahun, legislatur hanya mampu menghasilkan 20–30% dari target produk hukum yang harus dihasilkan dalam setahun.

Tantangan & Relevansi untuk Program

Kaum perempuan dan kelompok minoritas belum mendapatkan akses dan perlakuan yang setara. Sorotan terhadap isu–isu perempuan menjadi fokus utama selama proses rekonstruksi dan rehabilitasi karena kehadiran LSM internasional dan donor, namun memudar seiring dengan kepergian mereka dari Aceh. Dominasi nilai–nilai agama dan kultur patriarki yang kuat tidak memungkinkan perempuan untuk mendapatkan akses dan ruang yang lebih luas, terutama dalam politik dan partisipasi pembangunan. Isu–isu tentang perempuan cenderung dipandang sebagai produk impor dari Barat. Isu kelompok minoritas menyeruak seiring dengan tuntutan pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang didominasi Suku Gayo dan Alas serta para transmigran dari Jawa. Semasa konflik, dukungan terhadap GAM di daerah tersebut sangat minim. Bagi para pihak yang kontra dengan ALA dan ABAS, tuntutan pemekaran ini dinilai sebagai upaya merusak perdamaian di Aceh. Namun, bagi kelompok yang mendukung, pemekaran ALA dan ABAS merupakan tuntutan yang harus direalisasikan, karena selama ini janji–janji Provinsi Aceh untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat ALA dan ABAS tidak kunjung terwujud. Daerah ini kaya akan sumber daya alam, namun masyarakatnya masih saja tertinggal. Tuntutan pembentukan Provinsi ABAS dan ALA pada dasarnya didukung Undang Undang yang berlaku, termasuk Pasal 5 dan 8 UU Pemerintahan Aceh. Rencana pembentukan Provinsi ABAS sudah dimulai sejak April 2003 dan Provinsi ALA sejak 1999, sehingga tidak ada kaitannya dengan Nota Kesepahaman Helsinki yang lahir 15 Agustus 2005. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf terang–terangan menentang tuntutan pemekaran karena program konservasi hutan yang berada di dalam wilayah ALA/ABAS. Tingginya angka kemiskinan menjadi tantangan besar bagi pemenuhan hak–hak ekosob. Pemerintah berkewajiban berupaya membebaskan warganya dari belenggu kemiskinan. Angka kemiskinan di Aceh yang masih relatif tinggi, menunjukkan masih belum maksimalnya upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hak dasar warganya. Meskipun kemiskinan dan ketertinggalan merupakan salah satu alasan pemerintah memperjuangkan otonomi khusus.

37


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua: Sebuah Makalah Inisiatif Strategi by Tifa Foundation - Issuu