Bukan Menggantang Asap : Laporan Tahunan & Kondisi HAM Jawa Tengah 2009

Page 1


KATA PENGANTAR Bukan Menggantang Asap. Kami sengaja memakai 3 kata itu untuk melukiskan isi buku ini. Bukan menggantang asap, berarti bukan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Tulisan ini adalah refleksi kami atas aktivitas bantuan hukum yang kami lakukan selama 2009. Selama 2009, perjuangan rakyat untuk mengembalikan hak-hak mereka direspon pemerintah dengan tindakan represif seperti kriminalisasi. Namun, aksi represif itu tak kemudian membungkam masyarakat. Mereka terus melakukan perlawanan., baik didalam maupun diluar pengadilan: Melalui pengadilan, masyarakat menggugat polisi, mempra-peradilankan polisi, menggugat perusahaan semen, menggugat perusahaan perkebunan, menggugat Badan Pertanahan Nasional, dan menggugat pemerintah daerah. Sementara itu, mengkritisi kebijakan dan perilaku pejabat pemerintah, LBH Semarang juga melakukan beberapa hal. Diantaranya menegur (mensomasi) Gubernur Jawa Tengah yang mengucapkan pernyataan tak bijaksana di media massa dan mengkritisi kekeliruan Surat Keputusan Walikota mengenai kenaikan tarif air minum. Perjuangan rakyat tersebut bukan pekerjaan sia-sia, meski yang dihadapi adalah pihak-pihak berkuasa. Dalam beberapa kasus di pengadilan, mereka juga meraih kemenangan. Misalnya: dimenangkannya gugatan rakyat di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dan diterimanya kasasi LBH Semarang atas kriminalisasi petani Kendal. Banyaknya kasus hukum melalui jalur litigasi ditahun 2009 sungguh “menguras� tenaga dan pikiran para pekerja bantuan hukum LBH Semarang. Tahun ini adalah tahun dimana kita menangani perkara terbanyak di pengadilan: 24 perkara. Rasanya mustahil jika melihat sumberdaya pengacara LBH Semarang yang amat terbatas: dua advokat, dan satu advokat magang. Tetapi dengan kerjasama yang baik dengan seluruh pekerja bantuan hukum LBH Semarang, paralegal, para pengacara dari lembaga lain yang menjadi kawan LBH Semarang, dan

para alumni LBH Semarang yang bersedia beracara secara prodeo, semuanya menjadi mungkin dilakukan. Untuk itu, terima kasih kami sampaikan sedalam-dalamnya kepada mereka yang bekerja tanpa pamrih demi penegakan hak-hak asasi manusia. Mereka melakukannya diitengah meruyaknya mafia peradilan, diskriminasi penegakan hukum, dan ketidakpedulian pemerintah akan pemenuhan hak-hak masyarakat marginal akan bantuan hukum. LBH Semarang selama ini bekerja bersama para petani, nelayan, buruh, masyarakat miskin perkotaan, dan masyarakat korban lingkungan. Di masing-masing komunitas telah tercipta paralegalparalegal yang merupakan hasil dari proses belajar bersama antara masyarakat bersama LBH Semarang, khususnya sejak sepuluh tahun silam. Paralegal adalah masyarakat yang bukan advokat, namun memiliki pengetahuan hukum. Keberadaan paralegal amat membantu keterbatasan Sumber Daya Manusia dan sumber dana LBH Semarang dalam mengadvokasi masyarakat marginal. Apalagi untuk saat ini, amat jarang para advokat diluar LBH Semarang mau mendampingi rakyat miskin secara prodeo. Kami menanti perubahan kebijakan yang mengakui dan memperbesar peran paralegal. Untuk itu, harapan besar kami ada pada pengesahan Rancangan Undang-undang Bantuan Hukum. Akhirnya, kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penerbitan buku ini, khususnya para penulis dan kontributor, masyarakat, media massa, dan Yayasan TIFA yang mendanai penerbitan buku ini. Selamat membaca. Semarang, 2 Januari 2009.

Siti Rakhma Mary Herwati Direktur


DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………………………………………….. Daftar Singkatan………………………………………………………………………………………………………………….. Daftar Isi……………………………………………………………………………………………………………………………… BAB I

Peneguhan visi misi …………………………………………………………………………………..

BAB II

Profil Konsultasi di Jawa Tengah 2009……………………………………………………….

BAB III

Bantuan Hukum Melalui Jalur Litigasi……………………………………………………….

BAB IV

Bantuan Hukum Melalui Jalur Non-Litigasi………………………………………………..

Bab V

Kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) Jawa Tengah 2009……………………………….

Bab VI

Mendorong Pemenuhan Access to Justice Bagi Masyarakat Marginal di Jawa Tengah ……………………………………………………………………………………………

Bab VII

Penutup………………………………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka........................................................................................................................ Lampiran


BAP

:

Berita Acara Pemeriksaan

PKL

:

Pedagang Kaki Lima

AD/ART

:

Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

PLN

:

Perusahaan Lisrik Negara

AMDAL

:

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

PNS

:

Pegawai Negeri Sipil

APBN

:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Polri

:

Kepolisian Republik Indonesia

Bappeda

:

Badan Perencana Pembangunan Daerah

PPNS

:

Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Bappenas

:

Badan Perencana Pembangunan Nasional

PSP - SPN

:

Pengurus Serikat Pekerja-Serikat Pekerja Nasional

BLH

:

Badan Lingkungan Hidup

PTPN

:

Perseroan Terbatas Perkebunan Negara

BPN

:

Badan Pertanahan Nasional

PTUN

:

Pengadilan Tata Usaha Negara

BSAP (PT)

:

Berkah Surya Abadi Perkasa (PT)

REDD

:

Reduced Emission for Deforestation and Degradation

CTI

:

Coral Triangle Initiative

Renstra

:

Rencana Strategis

DPRD

:

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

RPJM

:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

GBHN

:

Garis Besar Haluan Negara

RPJP

:

Rencana Pembangunan Jangka Panjang

GSI (PT)

:

Good Stewards Indonesia (PT)

Satpol PP

:

Satuan Polisi Pamong Praja

HAM

:

Hak Asasi Manusia

SBAN

:

Serikat Buruh Aquafarm Nusantara

HGU

:

Hak Guna Usaha

SD

:

Sekolah Dasar

Jamsosotek

:

Jaminan Sosial Tenaga Kerja

SHEEP

:

Society for Health, Education, Environment and Peace

JM-PPK

:

Jaringan Masyarakat – Peduli Pegunungan Kendeng

SIKPI

:

Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan

KAL (PT)

:

Karyadeka Alam Lestari (PT)

SIPI

:

Surat Izin Penangkapan Ikan

KKCN

:

Koperasi Karyawan Citra Niaga

SIUP

:

Surat Izin Usaha Perikanan

KLH

:

Kementrian Lingkungan Hidup

SIPD

:

Surat Ijin Penambangan Daerah

Kompolnas

:

Komisi Kepolisian Nasional

SMA

:

Sekolah Menengah Atas

KUHAP

:

Kitab Undang-undang Acara Pidana

SMP

:

Sekolah Menengah Pertama

SP Kahutindo

:

Serikat Pekerja – Perkayuan dan Kehutanan Indonesia

TKM (PT)

:

Trimulyo Kencana Mas

TNI

:

Tentara Nasional Indonesia

THR

:

Tunjangan Hari Raya

UGM

:

Universitas Gajah Mada

UKL

:

Usaha Pengelolaan Lingkungan Hidup

LBH

:

Lembaga Bantuan Hukum

LRC-KJHAM

:

Legal Resource Center-Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia

LSM

:

Lembaga Swadaya Masyarakat

NJOP

:

Nilai Jual Obyek Pajak

NGO

:

Non Governmental Organization

Peradi

:

Persatuan Advokat Indonesia


UPL

:

Usaha Pemantauan Lingkungan Hidup

UU

:

Undang-Undang

UUPLH

:

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

UUPPLH

:

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

WALHI

:

Wahana Lingkungan Hidup

YAPHI

:

Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia


Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

BAB I PENEGUHAN VISI MISI LBH SEMARANG

LBH Semarang berdiri pada 20 Mei 1978 dengan nama LBH Peradin yang kemudian berafiliasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 1985, selanjutnya bernama LBH Semarang. Pendirian lembaga ini didasarkan pada kesadaran bahwa hak untuk mendapatkan dan menikmati keadilan adalah hak setiap orang. Karena itu penegakannya harus terus diusahakan dalam suatu upaya berkesinambungan untuk membangun suatu system masyarakat hukum yang beradab dan berperikemanusiaan secara demokratis, dan disisi lain, tiap kendala yang menghalanginya harus dihapuskan. 1 Keadilan hukum yang berjalan sinergis dengan keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial, dan keadilan (toleransi) budaya akan menopang dan membentuk keadilan struktural yang utuh dan saling melengkapi. Upaya penegakan keadilan hukum penghapusan kendalakendalanya harus dilakukan secara sinergis, proporsional, dan kontekstual dengan penghapusan kendala-kendala dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pemberian bantuan hukum bukan sekedar sikap dan tindakan kedermawanan tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya pembebasan manusia dari setiap bentuk penindasan.2 Sepuluh tahun terakhir, LBH Semarang memfokuskan bantuan hukum dalam penanganan kasus-kasus struktural yang melibatkan

1

masyarakat marjinal dalam issue pertanahan, lingkungan hidup dan pesisir, perburuhan, dan perkotaan. Penanganan issue tersebut dalam kerangka pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil politik serta haak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penanganan kasus dilakukan melalui jalur litigasi (didalam pengadilan) dan non litigasi (diluar pengadilan). Untuk mencapai tujuan LBH Semarang dan merespon hambatan internal dan ekternal, tiap 3 tahun LBH Semarang melakukan perencanaan strategis (Renstra). LBH Semarang kembali menyelenggarakan perumusan Rencana Strategis lembaga pada 2-3 Juli 2009 dan Selasa, 7 Juli 2009. Pembahasan Renstra diawali dari sharing mengenai situasi eksternal, kondisi sosial politik global di Indonesia. Dari pembacaan situasi eksternal itu, LBH melakukan refleksi terhadap situasi internal kelembagaan dan evaluasi visi 2010. Dari hasil diskusi, kami memandang bahwa visi 2010 yang dihasilkan dari hasil perencanaan strategis LBH Semarang 3-5 Mei 2007 ternyata masih relevan dengan hasil pembacaan situasi ekternal dan internal. Visi 2007-2010 adalah: “Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan bantuan hukum struktural bagi rakyat guna mendorong pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Negara.� Sementara itu Tujuan Strategis 2007-2010 adalah: 1. 2007-2008 Tahun 1 : Meningkatkan posisi dan akses masyarakat marginal (miskin) terhadap sistem peradilan melalui Bantuan Hukum Struktural yang layak, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk mendorong pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM oleh negara 2. 2008-2009 Tahun 2 :

Siti Aminah (ed.), Menjaga Masa Depan, Kondisi Bantuan Hukum dan HAM Jawa Tengah 2007, LBH Semarang, hal 1-2. 2

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

Ibid.

1

2


Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

Memperkuat posisi masyarakat marjinal untuk mendapatkan keadilan melalui bantuan hukum, perluasan daya jangkau bantuan hukum, peningkatan kapasitas organisasi rakyat, pendokumentasian, publikasi dan kampanye pelanggaran HAM di Jawa Tengah 3. 2009-2010 Tahun 3 : Memperkuat kelembagaan masyarakat sipil melalui pendidikan dan bantuan hukum struktural bagi rakyat guna mendorong pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM oleh negara Ada beberapa evaluasi mengenai implementasi hasil renstra 2007, yaitu: - Tidak ada benang merah antar tahapan-tahapan renstra - Terjadi ketidakkonsistenan tahapan tujuan strategis tahun per tahun, sehingga perlu diperjelas dan dipertegas dalam implementasinya

Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

Direktur (Advokat) Kepala Operasional Kepala Program Staf

Karyawan

: Slamet Haryanto, S.H. : Sukarman, S.H. : Muhnur, S.H. (Advokat) Erwin Dwi Kristianto, S.H. Asep Mufti, S.H. (Advokat Magang) Andiyono, S.H. : Skolastika Tyrama Nureka Yunianto A, S.Sos Slamet Riyadi Nurmin

I.3. Struktur Organisasi LBH Semarang

Meski demikian, secara keseluruhan, LBH Semarang telah berhasil melaksanakan tujuan strategis tahun pertama, tahun ke-2, dan tahun ke-3 yang sedang berjalan. Ada beberapa hal yang perlu diperkuat implementasinya dalam tujuan strategis tahun ke-3, yaitu : memperkuat organisasi rakyat, intervensi negara, dan penguatan logistik lembaga dan organisasi rakyat. I.2. Perubahan Struktur Organisasi Untuk melaksanakan tujuan strategis tersebut, diperlukan perubahan struktur organisasi LBH Semarang sebagai berikut:

3

: Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., M.Si

4


Peneguhan Visi Misi LBH Semarang

DIREKTUR

OPERASIONAL

INTERNAL

Relawan

STAF

RELAWAN

PROGRAM

KARYAWAN • • • •

Program Keuangan Administrasi Pramubakti Sopir

5


BAB II KONDISI BANTUAN HUKUM DI JAWA TENGAH 2009 Selama 2009, LBH Semarang menangani konsultasi kasus-kasus struktural maupun non struktural di Jawa Tengah. Masyarakat yang datang ke kantor LBH Semarang berasal dari Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Untuk 2009, jumlah konsultasi yang masuk ke LBH Semarang sebanyak 125, menurun dari tahun 2008 yang berjumlah 141. Konsultasi hukum tersebut sebagian besar adalah konsultasi kasus-kasus non struktural yang tak berlanjut dalam advokasi litigasi maupun non litigasi. Selain melalui konsultasi, LBH Semarang juga menangani kasuskasus struktural melalui pengorganisasian masyarakat, seperti kasus lingkungan, kasus tanah, kasus pelanggaran hak-hak buruh, dan kasus masyarakat miskin perkotaan. Berikut adalah grafik perbandingan konsultasi hukum dari 2002-2009.

5

Masalah hukum yang paling banyak diadukan/dikonsultasikan masyarakat adalah perkawinan (37%) kemudian masalah pidana (22%), persoalan perdata (18%) dan persoalan perburuhan (18%). Tak ada pengaduan untuk persoalan lingkungan, pertanahan, dan konsumen, karena sebagian besar kasus-kasus lingkungan dan pertanahan adalah kasus-kasus struktural, sehingga LBH Semarang menangani kasus-kasus tersebut melalui pengorganisasian masyarakat. Rincian konsultasi di 2009 ini tak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2008, masalah pidana menempati peringkat pertama, dan masalah perkawinan menempati posisi kedua. Sedangkan pada 2007, pidana adalah yang paling banyak dikonsultasikan, lalu kasus perdata umum dan perkawinan.

6


Grafik di bawah ini adalah perbandingan jumlah konsultasi untuk kasus-kasus tertentu selama tahun 2007-2009.

Konsultasi masalah pidana yang sering dikonsultasikan adalah tidak ditanggapinya laporan masyarakat ditingkat kepolisian (laporan pidana ditolak kepolisian), berhentinya penanganan kasus di kepolisian, dan penyiksaan selama proses penyidikan. Sedangkan untuk persoalan perkawinan, yang sering dikonsultasikan adalah tata cara pengajuan cerai, dan kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik dan non fisik. Dalam hal tidak ditanggapinya laporan masyarakat oleh institusi kepolisian atau institusi pemerintah yang lain, LBH Semarang melakukan langkah administratif seperti mengirim surat ke instansi yang bersangkutan. Sedangkan untuk kasus-kasus perdata dan perkawinan,

7

LBH Semarang bertindak sebagai konsultan hukum yang memberikan saran, nasehat, dan upaya-upaya yang perlu dilakukan berkaitan dengan penyelesaian kasus. Kadangkala, LBH juga membantu membuat suratsurat yang diperlukan klien ketika klien menghadapi persoalan di pengadilan.

Dari grafik di atas, terlihat bahwa sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Semarang berasal dari kota Semarang (92 orang). Sedangkan sisanya berasal dari kota-kota sekitar Semarang, seperti Demak, Kudus, Pati, Jepara, Grobogan, Kendal, Batang, Pekalongan, Muntilan (30 orang). Beberapa klien datang dari luar Jawa seperti dari Jakarta, Tasikmalaya, dan Kalimantan. Biasanya mereka direkomendasikan oleh LBH Jakarta, atau mendapat informasi dari orang lain yang mengetahui LBH Semarang hubungannya dengan penanganan kasus-kasus struktural maupun non struktural. Dengan

8


demikian, penerima manfaat konsultasi hukum selain Semarang adalah kabupaten dan kota-kota tersebut di atas.

Dari grafik di atas, diketahui bahwa masyarakat yang berkonsultasi ke LBH Semarang sebagian besar adalah laki-laki, sebanyak 74 konsultasi (59,2%), dan perempuan sebanyak 51 (40,8%). Kasus-kasus yang dikonsultasikan tidak mendasarkan pada jenis kelamin tertentu, namun ini adalah gambaran bahwa laki-laki lebih banyak mengadukan persoalannya ke LBH Semarang dibandingkan perempuan.

9

10


Mencermati grafik di atas, maka jenis pekerjaan terbanyak dari masyarakat yang datang mengadukan kasusnya ke LBH Semarang adalah buruh atau swasta sebanyak 53 orang, wiraswasta 24 orang, PNS 7 orang, Polri/TNI 1 orang, petani 3 orang, ibu rumah tangga 15 orang, dan tidak bekerja 22 orang. Hal ini menunjukkan masyarakat yang datang ke LBH sebagian besar adalah masyarakat perkotaan yang bekerja sebagai buruh, swasta, dan wiraswasta. Sedang petani yang tinggal di perdesaan terlalu jauh jaraknya dengan Kota Semarang, sehingga mereka tak bisa mengakses bantuan hukum. Untuk itu, LBH Semarang telah melakukan kegiatan perluasan daya jangkau bantuan hokum. Untuk pertama kali dilakukan di Kota Pekalongan dengan membuka posko bantuan hukum dan konsultasi di tahun 2009. Sedang kasus-kasus tanah struktural yang terjadi di perdesaan Jawa Tengah (seperti kasus tanah berbasis perkebunan dan hutan) telah ditangani LBH Semarang melalui pengorganisasian masyarakat sejak sepuluh tahun silam.

11

Grafik di atas bisa diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang berkonsultasi ke LBH Semarang terbesar adalah SMA yaitu 48 orang, universitas (23 orang), akademi (20 orang), SD dan SMP (13 orang), tidak sekolah (4 orang), dan tidak diisi (4 orang). Dengan demikian, layanan bantuan hukum sebagian besar diakses oleh kalangan menengah yang telah memiliki kesadaran atas hak-haknya. Masyarakat miskin belum banyak mengakses layanan bantuan hukum karena ketidaktahuan adanya layanan bantuan hukum, dan letak geografis kantor LBH Semarang dengan tempat tinggal mereka. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan data konsultasi tahun 2007 dan 2008. Tahun 2007, masyarakat yang berkonsultasi terbesar adalah SMA (73 orang), Universitas (44 orang), diikuti SD (25 orang), Akademi (14 orang), SMP (18 orang), dan tidak sekolah (15 orang). Sedangkan tahun 2008, Yang terbesar berasal dari tingkat pendidikan SMA yaitu 59 orang dan Universitas (25 orang), diikuti SLTP (20 orang), SD (15 orang), Akademi (15 orang), Pesantren (1 orang) dan tidak sekolah (7 orang).

12


BAB III BANTUAN HUKUM MELALUI JALUR LITIGASI Selama 2009, LBH Semarang menangani 24 perkara di pengadilan. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, kasus yang masuk ke pengadilan memang lebih banyak, karena banyaknya kriminalisasi yang menimpa masyarakat yang menuntut hak-haknya dan perampasan hak-hak rakyat. Ke-24 perkara tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Perkara Pidana No. 263/Pid.B/2009/PN.Kdl an Terdakwa Sar, Is, dan St Perkara Pidana No. 02/Pid/B/2009/PN Kdl an Terdakwa Ng dan Har Perkara Pidana No. 19/Pid/B/2009/PN.Kdl an Terdakwa Rw, Sw, Tg, Jsw Perkara Pidana No. 20/Pid/B/2009/PN Kdl an Terdakwa Dj Perkara Pidana No 274/Pid/2009/PT.Smg Perihal Banding an Terdakwa Dj Perkara Pidana No. 01/Pid.Pra/2009/PN KDL Perihal Permohonan Praperadilan an Terdakwa Ng dan Har Perkara Pidana No. 02/Pid.Pra/2009/PN KDL Perihal Permohonan Praperadilan an Terdakwa Dj Perkara Pidana No. 235/Pid.B/2009/PT.Smg Perihal Banding an 6 Terdakwa Rw, Sw, Tg, Jsw Perkara Pidana No. 238/Pid.B/2009/PT.Smg Perihal Banding an Terdakwa Ng dan Har Perkara Pidana No. 1635 K/PID/2009 Perihal Kasasi an Terdakwa Dj Perkara Pidana No. 246/Pid.B/2009/PN.Btg an Terdakwa Mn, Sr Perkara Pidana No. 247/Pid.B/2009/PN.Btg an Terdakwa J, Rus Perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN.Pt an Terdakwa Sd, Gn, Tm Perkara Pidana No. 67/Pid.B/2009/PN.Pt an Terdakwa Ag, Mu, Sk, St, Sn, Zn Perkara Pidana No. 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt Perihal Permohonan

13

Praperadilan an 9 Terdakwa kasus Semen Gresik 16. Perkara Perdata No. 43/G/2008/PHI.Smg Perihal Gugatan Buruh PT. Trimulyo Kencana Mas 17. Perkara Perdata No. 59/G/2008/PHI.Smg Perihal Gugatan Buruh PT. Trimulyo Kencana Mas 18. Perkara Perdata No. 47/G/2009/ Perihal Gugatan Buruh PT. Good Stewards Indonesia 19. Perkara Perdata No. 18/Pdt.G/2009/PN.Kdl Perihal Gugatan terhadap PT Karyadeka Alam Lestari 20. Perkara Administrasi No. 75/G/2009/PTUN.Jkt Perihal Gugatan Pembatalan HGU PT Pagilaran Batang 21. Perkara Perdata No. 246/Pdt.G/2008/PN.Smg Perihal Gugatan Falun Gong 22. Perkara Perdata No. 50/Pdt.u/2009 Perihal Banding atas putusan perkara Falun Gong 23. Perkara Administrasi No. 18/Pdt.G/2009/PN.Kdl Perihal Gugatan Pembatalan HGU PT Karyadeka Alam Lestari 24. Perkara Administrasi No. 04/G/2009/PTUN.Smg Perihal Gugatan Pembatalan Ijin Eksplorasi PT Semen Gresik 25. Perkara Administrasi No. 138/B/2009/PT.TUN Sby Perihal Banding Tergugat atas Putusan PTUN Semarang Deskripsi kasus di bawah ini bukan berdasarkan masing-masing nomor perkara, namun kasus-kasus yang terjadi yang kemudian berkembang menjadi beberapa perkara pidana maupun perdata. Berikut posisi masing-masing kasus, dan bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang.

1. Kasus Kriminalisasi 9 orang petani Desa Trisobo Kendal Posisi Kasus : Konflik tanah antara PT. Karyadeka Alam Lestari (PT. KAL) dengan petani Desa Trisobo, Kabupaten Kendal berawal dari penguasaan tanah

14


para petani oleh PT KAL pada 1996. Sebelumnya, tanah tersebut dikuasai P&T Lands dengan hak erfpacht, lalu beralih ke PP Subang, PT Tatar Anyar, dan terakhir PT KAL. Pada 1999-2000 petani mulai menanami lahan-lahan terlantar di wilayah Perkebunan PT. KAL. Hak Guna Usaha PT. KAL pada tanggal 31 Desember 2002 telah berakhir masa berlakunya. Ada sekitar 381 (tiga ratus delapan puluh satu) petani penggarap yang sudah secara produktif menggarap lahan terlantar eks HGU PT. KAL tersebut. Luas garapan petani adalah sekitar 80 hektar. Petani menanami lahan tersebut dengan tanaman jagung, pohon sengon, pisang dan tanaman palawija lainnya. Para petani yang tak mempunyai lahan garapan berharap BPN tak memperpanjang HGU PT. KAL karena lahan tersebut, awalnya adalah tanah garapan masyarakat. Masyarakat Desa Trisobo mayoritas berprofesi sebagai buruh tani atau petani tak bertanah dan membutuhkan lahan garapan. Secara geografis Desa Trisobo diapit oleh 3 (tiga) perusahaan besar yaitu PT. Karyadeka Alam Lestari (PT. KAL), PTPN IX Nusantara, dan Perum Perhutani. Lahan disekitar desa Trisobo sudah habis dikuasai oleh perusahaanperusahaan besar tersebut. Pada September 2008, Sarimin, Istamar, Sutopo, para petani Desa Trisobo, ditahan Polres Kendal atas dugaan pencurian (pasal 363:5 KUHP). Dakwaannya adalah pencurian 6 pohon randu, mangga, dan rambutan milik PT KAL. Hasil penjualan pohon yang diklaim PT KAL tersebut dibelikan material untuk membangun jembatan penghubung Desa Trisobo dan perkebunan karet PT KAL yang rusak. Mereka disidang dan divonis enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kendal. Dua orang petani Trisobo yang menghadiri persidangan, ditangkap juga oleh Polres Kendal dengan tuduhan yang sama. Kemudian, empat petani dan mantan Kepala Desa Trisobo juga ditangkap Polres Kendal ketika tengah melaporkan kasus pemalsuan surat yang dilakukan Kepala Desa Trisobo ke Polwiltabes Semarang. Enam petani yang menjadi terdakwa dan menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kendal, telah divonis 10 (sepuluh) bulan penjara.

15

Upaya Hukum Pidana : Peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang adalah sebagai penasehat hukum 10 (sepuluh) petani yang dikriminalisasikan tersebut. LBH Semarang memohonkan banding untuk enam orang Terdakwa. Tetapi Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kendal.

2. Kasus Kriminalisasi Mantan Kepala Desa Trisobo Posisi Kasus: Dj (55) , mantan Kepala Desa Trisobo ditangkap aparat Polres Kendal di Polwiltabes Semarang karena laporan PT Karyadeka Alam Lestari atas dugaan penggelapan 40 batang pohon bendo yang diklaim milik PT KAL. Peristiwa ini terjadi pada 2004. Waktu itu, Dj sebagai Kepala Desa, menerima laporan dari warga tentang adanya puluhan kayu bendo hasil tebangan tanpa pemilik. Sebagai Kepala Desa, ia kemudian mengeluarkan surat yang isinya mengamankan kayu-kayu di balai Desa Trisobo sambil menunggu pemilik sebenarnya. Kayu-kayu itu kemudian hilang beberapa hari kemudian tanpa sepengetahuannya. Kasus ini dilaporka PT KAL pada 2008 ketika konflik tanah antara petani Desa Trisobo dengan PT KAL memanas. Dj kemudian ditahan dan disidang. Majelis hakim memutusnya 18 bulan penjara. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang menjadi Penasehat Hukum Dj selama proses penyidikan sampai persidangan. LBH juga melakukan banding dan kasasi atas putusan hakim tersebut. Putusan banding Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan Pengadilan Negeri Kendal. LBH melakukan kasasi. Inti memori kasasi, berdasar fakta-fakta yang terjadi di persidangan, yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah perbuatan pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Permohonan Kasasi tersebut telah diputus pada 30 September 2009 dengan nomor putusan : 1635K/PID/2009. Inti putusan tersebut adalah bahwa perbuatan yang

16


didakwakan kepada Terdakwa bukanlah merupakan perbuatan pidana (onslag van alle rechts vervolging) dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

3. Gugatan Perdata Petani Atas Perbuatan Melawan Hukum PT KAL Posisi Kasus: PT Karyadeka menguasai secara melawan hukum tanah-tanah petani di Desa Trisobo Kecamatan Boja Kendal dan Desa Kertosari Kecamatan Singorojo Kendal.

menunjukkan surat tugas sebagaimana diwajibkan di pasal 18 ayat 1 KUHAP dalam menangkap Ng dan Har. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH Semarang menjadi kuasa hukum Ng dan Har sebagai Pemohon Praperadilan dalam kasus ini. Persidangan berlangsung marathon setiap hari. Putusan hakim adalah menolak permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon kepada Termohon Kapolres Kendal, karena hakim menilai penangkapan dan penahanan sudah sesuai prosedur KUHAP.

5. Praperadilan Kasus Penangkapan Mantan Kepala Desa Trisobo Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH mendampingi paralegal petani menggugat perdata PT KAL ke Pengadilan Negeri Kendal. Pada 15 Juli 2009 Yohanes Nur Eko sebagai ketua Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK) organisasi tani tingkat Kabupaten Kendal mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum PT. Karyadeka Alam Lestari atas penguasaaan tanah Eks-HGU No.1 Desa Trisobo Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal seluas 131,1 Ha dan Hak Guna Usaha No.1 Desa Kertosari Kecamatan Singorojo seluas 18,2 Ha (obyek sengketa) melalui Pengadilan Negeri Kendal dan tercatat dengan nomor Gugatan : 18/PDT.G/2009/PN Kdl. Sampai sekarang proses persidangan masih berlangsung. Dalam perkara ini, LBH bukan sebagai kuasa hukum, namun mendampingi Nur Eko (paralegal petani), berdiskusi tentang proses persidangan, dan membantu mempersiapkan hal-hal yang diperlukan selama proses persidangan.

4. Praperadilan Kasus Penangkapan Ng dan Har (Petani Trisobo Kendal)

Posisi Kasus: Dj ditangkap Polres Kendal di Polwiltabes Semarang ketika sedang melaporkan kasus pidana pemalsuan surat keterangan yang diduga dilakukan oleh Kepala Desa Trisobo. Ia melaporkan kasus itu bersama 4 orang petani Trisobo (Rw, Tg, Sw, Jw). Saat itulah kemudian aparat Polres Kendal langsung menangkap dan membawa mereka ke Polres Kendal untuk diperiksa dan selanjutnya ditahan. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH Semarang menjadi kuasa hukum Pemohon Pra Peradilan 5 orang petani melawan Termohon Kapolres Kendal dalam kasus ini. Praperadilan kasus ini dilakukan karena aparat Polres Kendal tidak membawa surat penangkapan dan menunjukkan surat tugas ketika menangkap Dj sebagaimana diwajibkan pasal 18 ayat 1 KUHAP. Dalam putusannya, hakim menolak permohonan pra peradilan Pemohon karena hakim menilai proses penangkapan dan penahanan sudah berjalan sesuai KUHAP.

Posisi Kasus: Ng dan Har ditangkap aparat Polres Kendal ketika hendak melihat proses persidangan Terdakwa Sar, Is, St, di Pengadilan Negeri Kendal. Keduanya ditangkap di Pengadilan Negeri Kendal. Polres Kendal tidak

17

18


6. Gugatan Pembatalan HGU PT. Pagilaran Batang Posisi Kasus : Para petani 5 desa di Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah telah membuka hutan sebelum pemerintah kolonial Belanda datang ke desa mereka. Sekitar tahun 1890, pengusaha swasta Belanda menyewa lahan para petani dengan cara paksa untuk ditanami tanaman kina, dan kemudian teh. Tanah itu lalu dijadikan hak erfpacht selama 75 tahun. Kemudian, mereka menjualnya kepada P & T Lands, perusahaan swasta Inggris. Hak erfpacht itu seluas 663 hektar. Setelah Indonesia merdeka, kolonial Belanda kembali menguasai P & T Lands dan membakar buktibukti kepemilikan tanah yang dimiliki warga. Pada 1964, pemerintah Indonesia memberikan tanah bekas P & T Lands tersebut kepada Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dalam bentuk hibah. Karena tak berbentuk badan hukum, Fakultas Pertanian lalu membuat Yayasan untuk memperoleh sertifikat HGU. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian, mendirikan PT Pagilaran untuk mengelola perkebunan teh bekas P & T Lands. Pada saat dilimpahkan kepada UGM, luas tanahnya bertambah menjadi 836 hektar. Pada waktu itu, para petani masih menggarap lahan diluar yang diberikan pemerintah kepada UGM. Pada 1965, PT Pagilaran mengusir para petani penggarap dari lahan dengan surat pengusiran. Mereka dituduh terlibat G 30 S. Para petani kemudian keluar dari lahan. Mulai saat itu petani kehilangan lahan garapan seluas 450 hektar. Sebagian dari mereka beralih menjadi buruh perkebunan teh yang berupah rendah. Pada Januari 2009, BPN memperpanjang HGU PT Pagilaran yang berakhir 31 Desember 2008. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum petani untuk menggugat Kepala BPN RI di PTUN Jakarta. Pada 8 Mei 2009, 20 (dua puluh) petani (Duri dkk) melalui LBH Jakarta dan LBH Semarang sebagai kuasa hukum, mengajukan gugatan Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan tersebut diajukan untuk

19

membatalkan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasioanal Republik Indonesia Nomor : 17 HGU-BPN RI – 2009 yang dikeluarkan pada 27 Januari 2009 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna Usaha PT. Pagilaran. PTUN Jakarta mencatatnya dengan perkara Nomor : 75/G/2009/PTUN-JKT. Gugatan pembatalan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional ini diajukan oleh petani karena penerbitan surat keputusan ini dinilai janggal, melanggar syarat administratif serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik (good governance). Pelanggaran itu antara lain: 1. Melanggar keputusan Kepala BPN No. 12 tahun 1992, dimana seharusnya panitia B melakukan penelitian apakah ada tanaman masyarakat disekitar wilayah yang akan diajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU); 2. Pelanggaran pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha; 3. Pelanggaran pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 tahun 1986 tentag Peradilan Tata Usaha Negara; Pada tanggal 29 Oktober 2009 keluar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 75/G/2009/PTUN-JKT yang intinya: Dalam eksepsi Menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat dan Tergugat II Intervensi Dalam pokok perkara Menyatakan gugatan Para Pengugat tidak diterima; Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 458.000.00 (Empat); Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa oleh karena hubungan hukum antara pewaris dan Para Pengugat dengan tanah obyek sengketa tidak jelas. Majelis hakim berpendapat Para penggugat

20


tidak mempunyai kepentingan mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada 12 Nopember 2009 kuasa hukum Penggugat telah menyatakan permohonan banding atas putusan Nomor : 75/G/2009/PTUN-JKT tanggal 29 Oktober 2009. Para pengacara LBH Jakarta menjadi kuasa hukum penggugat dan bersidang di PTUN Jakarta selama berjalannya persidangan dari awal hingga akhir. Selain sebagai kuasa hukum, peran LBH Semarang adalah mendampingi petani (penggugat) dalam mempersiapkan seluruh keperluan teknis persidangan. LBH Semarang memprioritaskan peran paralegal petani untuk terlibat secara aktif didalam maupun diluar pengadilan.

7. Kasus Kriminalisasi 4 warga miskin di Kabupaten Batang M(39), S(25), J(16), R(14), adalah empat warga Dusun Secentong, Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang yang dikriminalisasikan karena mengambil sisa-sisa panen kapuk randu di areal HGU PT. Segayung. Senin pagi tanggal 2 Nopember 2009, M dan S sebetulnya sudah menyiapkan barang-barang untuk kembali ke Jakarta untuk bekerja. Namun, saat itu tiba-tiba muncul inisiatif untuk gresek (memungut) hasil sisa panen buah randu yang terletak di areal lahan PT. Segayung. Gresek merupakan kebiasan yang sudah bertahun-tahun bagi warga Dusun Secentong maupun dusun disekitarnya. PT. Segayung sendiri terletak di Desa Sembojo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang atau kurang lebih 3 km dari kediaman Manisih. Akhirnya sekitar pukul 06.00 WIB berangkatlah keempatnya menuju ke lokasi pengambilan buah randu. Mereka berjalan kaki ke lokasi perkebunan. Sampai di lokasi perkebunan, mereka memunguti sisa-sisa kapuk randu diatas

21

tanah. Sesekali mereka mengambil sisa kapuk randu yang masih tergantung di pohon menggunakan galah dari batang singkong yang mereka temukan di jalan ke perkebunan. Mandor perkebunan PT. Segayung Polisi menuduh mereka melakukan pencurian buah randu sebanyak 14 kg atau seharga Rp.12.000,-. Selama proses penyidikan, mereka tidak didampingi Penasehat Hukum. Saat ini mereka tengah menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Batang. Polisi mengenakan Pasal 363 ke-4 KUHP. Selama 3 minggu sejak 2 November 2009 mereka ditahan di LP Batang dengan status titipan Polres Batang. Dua anak, J dan R juga ikut ditahan bersama orang dewasa di LP yang sama, meskipun mendapat kamar terpisah. Kasus ini kemudian mencuat ke permukaan, ketika media memuatnya di media massa dan elektronik. Polres Batang kemudian mengeluarkan mereka dari tahanan dan langsung melimpahkan ke Kejaksaan Negeri Batang. Kejaksaan, tak menahan mereka. Saat ini, persidangan kasus tersebut tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Batang. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang sebagai penasehat hukum dari keempat terdakwa tersebut. LBH tidak dari awal atau pemeriksaan penyidikan karena terbatasnya informasi yang ada, setelah proses penyidikan selesai (P-21) LBH Semarang menjadi penasehat hukumnya.

8. Gugatan PTUN kasus PT. Semen Gresik Posisi Kasus: Latar belakang gugatan ini adalah keluarnya Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu No. 540/052/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor: 540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron,

22


Alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur bertindak untuk dan atas nama PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Adapun Ijin Pertambangan Daerah ini tanpa didahului Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Atas dasar inilah LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan WALHI dan Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) YAPHI Solo, mengajukan gugatan ke PTUN Semarang tertanggal 23 Januari 2009. Setelah melalui tiga kali proses dismissal (pemeriksaan persiapan), majelis hakim memeriksa dalam sidang terbuka untuk umum. Pada proses dismissal, PT Semen Gresik mengajukan intervensi. Penggugat keberatan atas gugatan intervensi tersebut. Namun, dalam putusan sela, majelis hakim mengabulkan permohonan intervensi tersebut, sehingga PT Semen Gresik menjadi Tergugat II Intervensi. Selama proses persidangan, kedua belah pihak mengajukan buktibukti tertulis. Penggugat mengajukan 31 bukti, berupa AD/ART WALHI dan bukti-bukti yang memperkuat legal standing, peraturan-peraturan, foto-foto, dan hasil kajian kawasan kars. Tergugat I mengajukan 38 bukti, sebagian besar berupa peraturan dan surat-surat pemerintah dan Tergugat II Intervensi mengajukan 27 bukti, sebagian besar juga peraturan dan surat-surat ijin PT Semen Gresik. Majelis hakim memenangkan gugatan penggugat. Namun demikian, Tergugat I dan Tergugat II Intervensi mengajukan banding, sehingga pembatalan SIPD untuk PT Semen Gresik ini belum berkekuatan hukum tetap. Tetapi dalam perkembangan terakhir, pada 6 Desember 2009 PT TUN ternyata telah memutus permohonan banding Tergugat, dan memenangkan banding Tergugat. Dengan demikian, WALHI kalah dalam proses banding ini. Bantuan hukum yang diberikan: LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum WALHI, Non Governmental Organization yang memiliki standing penegakan hukum untuk kasus-kasus lingkungan. LBH menjadi kuasa hukum untuk

23

menggugat di PTUN, banding di PT TUN Surabaya, dan kasasi di Mahkamah Agung.

9. Praperadilan pada kasus penyanderaan mobil PT Semen Gresik. Posisi Kasus: Pada 22 Januari 2009, tim dari PT PT Semen Gresik Tbk, Tbk mendatangi Desa Kedumulyo. Kehadiran tamu asing yang tidak permisi terlebih dahulu membuat warga yang selama ini aktif menolak pendirian pabrik semen, tanpa dikomando ratusan warga menahan mobil dan para penumpang. Aksi tersebut bertujuan agar Kepala Desa Kedumulyo [Suwarno] bersedia menemui warga. Tuntutan tersebut menjadi wajar karena tersiar berita bahwa tim dari PT PT Semen Gresik Tbk, Tbk tersebut bertujuan untuk membebaskan lahan bengkok desa milik sebagai calon tapak pabrik. Aktifitas tersebut adalah bentuk provokasi dari PT Semen Gresik Tbk Tbk, karena pada tanggal 10 Januari 2009 sedulur sikep dan JM-PPK diundang di Bakesbanglinmas dan dijanjikan tidak akan ada aktifitas sebelum penelitian bersama oleh Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo. 1

1

Keterangan Gunretno, pada tanggal 24 mei 2009 di PTUN Semarang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menguasakan kepada Tim Advokasi Peduli Lingkungan yang terdiri dari Siti Rakhma Mary Herwati, S.H, Yusuf Suramto, S.H, Ign Heri Hendro Harjuno, S.H, Iki Dulagin, S.H. sebaga kuasa hukum dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, saat ini telah mengajukan guagatan PTUN di Pengadilan TUN Semarang. Adapun yang menjadi obyek Sengketa Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut: Keputusan Tata Usaha Negara yang berwujud Surat Keputusan [SK] tentang Surat Ijin Penambangan

24


Dalam peristiwa tersebut sembilan orang yang ditangkap dan ditahan, yaitu Sudarto bin Sudiman: orang yang aktif melakukan lobby dan juga aktif memimpin warga. Tamsi bin Mangun Sarpin diduga melakukan provokasi. Gunarto bin Wargono menjadi orang yang pada saat kejadian membawa megaphone dan berorasi. Mu’Alim Bin Sriyono ditangkap karena membawa kamera. Agus Purwanto Bin Tolan ditangkap karena membawa handycam dan aktif merekam setiap proses lobby dan aksi. Selain itu juga Sukarman Bin Kusnen, Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan dimana kesemuanya juga dituduh melakukan pelemparan dan pengrusakan mobil. Muhammad Zaenul Waffa ditangkap karena tertangkap tangan sedang membawa botol bersumbu berisi minyak tanah dan oli, dengan dugaan akan melakukan pembakaran. Kesembilan orang tersebut bukan orang baru dalam penolakan pabrik semen. Mereka tergabung dalam JM-PPK dan aktif terlibat dalam setiap kegiatannya. Penangkapan kesembilan orang tersebut diwarnai oleh kekerasan dan penyiksaan 2. Kekerasan dan penyiksaan juga diderita oleh peserta massa aksi di Kedumulyo. Ibu–ibu yang ditendang dan dilempar oleh polisi 3 dan ada warga yang ditodong dengan pistol oleh aparat 4.

Daerah [SIPD] No. 540/052/2008 kepada PT Semen Gresik tertanggal 5 November 2008 yang dikeluarkan oleh TERGUGAT yang berisi pokoknya adalah mengenai ijin melakukan penambangan batu kapur seluas 700 hektar yang terletak di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung dan Desa Sumbersoko yang berada di Wilayah Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.

Kekerasan [violence] dan penyiksaan [torture] dialami Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono selama proses penangkapan. Pola yang dilakukan adalah: Sudarto bin Sudiman dipukuli lalu dibawa ke mobil truk polisi; Tamsi bin Mangun Sarpin dipukuli ketika ditangkap; Gunarto bin Wargono dilempari, diinjak-injak dan dipukuli; Sutikno bin Nasirin didorong kemudian dipuli sambil diseret ke truk Polisi; Agus Purwanto bin Tolan dipegang kemudian langsung dipukuli tanpa polisi bertanya terlebih atau berbicara dahulu; Mu’Alim Bin Sriyono dipukuli; Sunarto Bin Suwarjan dipukuli; Sukarman bin Kusnen dipukuli, diinjak-injak dan diseret-seret lalu ke truk polisi. Kekerasan [violence] dan penyiksaan [torture] berlanjut pada saat pemeriksaan di Polres Pati. Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono diperiksa tanpa diberikan haknya sebagai tersangka dan mengalami penekanan, ancaman, pemukulan dan tendangan dari penyidik Polres Pati selama proses pembuatan BAP. Pola yang dilakukan Penyidik Polres Pati adalah: Sudarto bin Sudiman dipukuli dan ditendang sampai berdarah; Tamsi bin Mangun Sarpin dipukuli dan ditekan; Gunarto bin Wargono dipukuli; Agus Purwanto bin Tolan dipukuli dan ketakutan karena melihat Sudarto ditendang sampai berdarah dan Mu’Alim Bin Sriyono yang ditodong pistol; Sukarman bin Kusnen dipukuli dan ditekan untuk mengaku perbuatan yang tidak dilakukan; Sunarto bin Suwarjan dipukuli dan dipaksa mengakui hal yang tidak dilakukan; Sutikno bin Nasirin dibentak-bentak dan dipaksa menandatangani BAP tanpa tau isinya; Mu’Alim Bin Sriyono diancam dengan menggunakan pistol dan dipukuli.

2

Berdasarkan keterangan kesembilan orang tersebut, didukung kesaksian Para Saksi dan barang bukti berupa kaos yang berlumur bercak darah. Hal ini terungkap dalam sidang Perkara Praperadilan. No 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt maupun dalam sidang Pidana kasus kesembilan orang tersebut 3

Salah satu saksi mata adalah Kuat, warga Desa Sukolilo

4

Kesaksian Raselan, warga Desa Kedumulyo

25

Bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang: Terkait penangkapan dan penahanan tersebut salah satu upaya yang dilakukan 9 orang yang ditangkap tersebut melalui pengajuan Praperadilan dengan No 01/Pid.Pra/2009/PN.Pt. Permohonan ditujukan terhadap Kepolisian Negara R.I. dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, Cq Kepolisian Negara

26


R.I. Daerah Jawa Tengah dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang, Cq. Kepolisian Negara R.I. Wilayah Pati dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Wilayah Pati yang berkedudukan di Pati, Cq Kepolisian Negara R.I. Resor Pati dalam hal ini diwakili Kepala Kepolisian Resor Pati, yang beralamat Jl. Jl. A.Yani No.1 Pati. Pra peradilan berlangsung selama 6 hari dan prosesnya maraton tiap hari. Termohon Kapolri menghadirkan para saksi yaitu aparat Polres Pati. Sedangkan permohonan Pemohon untuk menghadirkan Para Terdakwa tidak dikabulkan hakim tanpa alasan yang jelas. Dalam persidangan ini, Penasehat Hukum Para Pemohon menunjukkan bukti kaos yang berlumuran darah milik salah satu Terdakwa sebagai bukti tindak kekerasan dari aparat saat penangkapan. Pada permohonan praperadilan tersebut, Hakim Fx Hanung Dw, SH, MH. dalam eksepsi menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya sedangkan dalam pokok perkara menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Mengenai kekerasan, hakim mengakui adanya luka-luka pada tersangka dan indikasi pelanggaran HAM, tapi hal tersebut bukan menjadi kewenangan pra peradilan. LBH Semarang menjadi salah satu kuasa hukum Para Pemohon dalam sidang Pra Peradilan tersebut.

10. Kriminalisasi 9 warga dalam pada kasus penyanderaan mobil PT. Semen Gresik Posisi Kasus: PT Semen Gresik, tbk berencana mendirikan pabrik semen di Kawasan Kars Pegunungan Kendeng Utara. Rencana PT Semen Gresik, tbk “memaksa” Negara untuk turut ambil bagian. Konflik antara masyarakat yang menolak eksploitasi kawasan kars pegunungan kendeng dengan pemodal yang didukung oleh Negara dan segelintir masyarakat yang mempunyai kepentingan kemudian muncul. Keberlanjutan lingkungan dan penghidupan mengemuka sebagai alasan

27

penolakan masyarakat. Masyarakat yang menolak kemudian mengorganisir diri dan menyusun perlawanan dalam beragam cara, yaitu berbagai aksi di Pati, Semarang dan Jakarta, pendirian posko tolak semen, pencabutan patok beton sebagai tanda calon tapak lokasi pabrik, pemasangan plang bertuliskan ”tanah untuk anak cucu” hingga audiensi dengan stakeholders. Upaya ekstralegal pun dilakukan dengan melakukan aksi penghadangan mobil Semen Gresik, Tbk yang melakukan survey lokasi pada tanggal 22 Januari 2009 di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Aksi massa tersebut diwarnai represi aparat dan berujung pada kriminalisasi Sudarto Bin Sudiman, Gunarto Bin Wargono, Tamsi Bin Mangun Sarpin, Agus Purwanto Bin Tolan, Mu’Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin Kusnen, Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul Wafa. Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono kemudian diseret ke muka persidangan pada Perkara Pidana No. 67/Pid.B/2009/PN Pati dengan tuduhan melanggar: Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat [1] KUHP Atau Pasal 335 KUHP ayat [1] jo. Pasal 55 ayat [1] KUHP. Mereka adalah warganegara Republik Indonesia, tiga orang petani biasa yang tergugah hatinya untuk memperjuangkan hak atas lingkungan dengan menolak rencana eksploitasi oleh PT Semen Gresik Tbk di Kawasan Pegunungan Kendeng dengan bergabung dalam JM-PPK. Kehidupan mereka sebagai petani sangat bergantung pada keberlanjutan kawasan Pegunungan Kendeng. Dari sembilan orang yang dikriminalisasi pasca aksi 22 Januari 2009, tiga orang diantaranya didakwa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN Pati, dengan tuduhan melanggar Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat [1] KUHP atau Pasal 335 KUHP ayat [1] jo. Pasal 55 ayat [1] KUHP. Enam orang lainnya didakwa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN Pati. Mereka adalah Agus Purwanto Bin Tolan, Mu’Alim Bin Sriyono, Sukarman Bin Kusnen, Sutikno Bin Nasirin, Sunarto Bin Suwarjan, Muhammad Zainul Wafa, yang didakwaan dengan Pasal 170 ayat [1] KUHP Atau 335 KUHP ayat [1] jo. 55 ayat [1] KUHP. Sidang kasus Pidana No: 67/Pid.B/2009/PN

28


Pati ini dilakukan maraton, setelah sidang pada kasus Pidana No. 66/Pid.B/2009/PN Pati. Pasal yang dituduhkan pada mereka merupakan Pasal Haatzaai Artikelen yang tidak sesuai dengan semangat nasional dan jiwa proklamasi. Pasal ini mengandung semangat kolonial dan Law enforcement priviligiatum sehingga Sudarto alias Buntung Bin Sudiman, Tamsi bin Mangun Sarpin dan Gunarto bin Wargono sebagai warganegara Indonesia yang sedang menuntut hak atas lingkungan yang sehat harus dikriminalisasi sebagai seorang penghasut. Persidangan perkara ini dimulai pada bulan April–Juni 2009. Proses persidangan di Pengadilan Negeri Pati selalu ramai oleh keluarga, masyarakat, Polisi berseragam, maupun tidak berseragam, serta kawankawan pers. Kehadiran masyarakat sebagai pendukung tak hanya bentuk solidaritas semata, lebih dari itu adalah bentuk keingintahuan masyarakat mengenai sikap Pengadilan di Negara ini terhadap ekspresi massa dalam penolakan rencana eksploitasi sumber daya alam di Kawasan Kars Pegunungan Kendeng. Majelis Hakim dalam putusannya yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 19 Juni 2009, kemudian menjatuhkan hukuman pidana 5 bulan kepada kesembilan orang tersebut. Bantuan hukum yang diberikan: LBH Semarang menjadi Penasehat Hukum 9 warga dalam kasus pidana yang dipecah menjadi 2 perkara ini. LBH mendampingi mereka selama proses penyidikan di Polda Jateng, dan proses pengadilan di Pengadilan Negeri Pati.

11. Kasus Buruh PT. Trimulyo Kencana Mas (TKM) Posisi Kasus: PT. Trimulyo Kencana Mas (TKM) adalah sebuah perusahaan penyamakan kulit beralamat di Jl. Raya Kaligawe Km.7 Semarang. Kasus

29

bermula ketika perusahaan TKM merumahkan 26 orang buruh dengan status buruh tetap sejak 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Oktober 2008 dengan alasan penurunan order. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai dengan 10 tahun. Selama dirumahkan/menon-aktifkan, upah buruh masih tetap dibayar oleh perusahaan. Seusai habis masa penon-aktifan, perusahaan bukannya mempekerjakan 26 buruh namun justru melakukan PHK dengan mengeluarkan surat No : 01/Xl/Lap/2007 tertanggal 1 Nopember 2007 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Intinya perusahaan melakukan PHK terhadap 26 buruh tanpa memberikan pesangon dengan alasan perusahaan tidak mampu membayar. Buruh menolak keputusan PHK tersebut. Bantuan hukum yang diberikan : Pada pertengahan 2007, LBH bersama-sama dengan Pengurus Pengurus Serikat Pekerja (PSP) Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT. Trimulyo Kencana Mas sudah melakukan pendampingan dalam proses mediasi di Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Mediator menganjurkan agar TKM memberikan pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak serta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada 26 buruh. Atas anjuran tersebut, perusahaan tetap pada keputusannya yaitu melakukan PHK tanpa pesangon. Sedangkan pihak buruh tidak keberatan dengan anjuran dengan catatan perusahaan mau membayarkan 2 kali ketentuan pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak. Pada April 2008, LBH Semarang mewakili 26 buruh mengajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan dipecah menjadi 2, sehingga masing-masing gugatan terdiri dari 13 buruh. Pada intinya buruh menuntut agar dipekerjakan kembali, pembayaran uang masa tunggu dan THR. Selama proses persidangan, perusahaan atau wakilnya tidak pernah hadir sehingga pada Tanggal 22 Juli 2008 dan 19 Agustus 2008, Majelis Hakim PHI memberikan putusan tanpa kehadiran Tergugat

30


(perusahaan)/Verstek. Pada intinya Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan penggugat (buruh) yaitu menyatakan PHK tidak sah, menghukum tergugat untuk mempekerjakan buruh kembali, membayar uang masa tunggu dan THR. Pada 2009, LBH Semarang mengajukan permohonan eksekusi atas putusan PHI kepada pengadilan karena perusahaan tidak mau secara sukarela memenuhi putusan. Pada pertengahan 2009, LBH bersama perwakilan buruh dan solidaritas dari bebrapa serikat buruh mendatangi Ketua pengadilan untuk mendesak agar segera melakukan eksekusi. LBH Semarang telah mengajukan permohonan lelang terhadap aset perusahaan berupa mesin milling drum yang sebelumnya telah dilakukan eksekusi oleh jurusita. Sampai saat ini pengadilan belum menetapkan pelelangan atas aset tersebut.

12. Kasus Buruh PT. Good Stewards Indonesia (GSI) Posisi Kasus : PT. Good Stewards Indonesia (GSI) adalah perusahaan yang bergerak di produksi garmen (sarung tangan), beralamat di Jl. Raya Karangjati Km.27/900 Kelurahan Ngempon, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang. Pemilik perusahaan ini adalah orang asing berkewarganegaraan Korea. Kasus bermula ketika pada tanggal 17 Oktober 2008, empat buruh perempuan dirumahkan atau di nonaktifkan tanpa batas waktu yang jelas. Perusahaan beralasan karena sedang mengalami kesulitan. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai dengan 7 tahun dengan status kontrak. Selama dirumahkan upah buruh tidak dibayarkan oleh perusahaan. Buruh menuntut kejelasan status kerja dan pembayaran upah. Dalam proses bipartit dan mediasi buruh didampingi oleh Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Dari hasil mediasi,

31

mediator pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Semarang menganjurkan agar : a. 4 (empat) orang buruh ditetapkan sebagai buruh tetap b. Agar selama dirumahkan upah buruh dibayarkan sebesar 50% dari upah c. Agar kedua belah pihak menjaga keharmonisan dalam hubungan kerja Bantuan hukum yang diberikan: LBH Semarang menjadi kuasa hukum keempat buruh tersebut. Pada 2 Maret 2009, LBH menyurati pimpinan PT. GSI dengan tujuan meminta penjelasan atas status buruh. Karena surat yang telah dikirim tidak ditanggapi, pada pertengahan bulan Maret 2009 LBH mendatangi perusahaan dan bertemu dengan bagian manajemen perusahaan bernama Endah. Dalam pertemuan tersebut pihak perusahaan menyatakan belum bisa mempekerjakan buruh tanpa alasan yang jelas. Pada 16 April 2009, LBH mewakili buruh mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang. Adapun tuntutannya adalah meminta PHI menetapkan PHK dan menghukum PT. GSI membayar uang tunggu, pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak serta Tunjangan Hari Raya. Pada 3 September 2009, Majelis Hakim memberikan putusan yaitu mengabulkan sebagian gugatan. Diantara adalah menetapkan PHK dan menghukum PT.GSI membayar pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak serta uang tunggu. Pada 14 Oktober 2009, LBH mendatangi pengadilan untuk menanyakan perihal ada upaya hukum atau tidak dari pihak perusahaan atas putusan. Pihak kepaniteraan saat itu menyatakan tidak ada upaya hukum atau kasasi. Karena sampai pertengahan Oktober 2009, perusahaan belum memenuhi putusan PHI, pada tanggal 16 Oktober 2009 LBH bersama para buruh mendatangi perusahaan untuk menuntut pelaksanaan

32


putusan pengadilan secara sukarela. Saat itu pemilik perusahaan (warganegara Korea) yang menemui langsung. Pihak perusahaan dalam pertemuan tersebut pada intinya menyatakan tidak mau membayar apapun kepada buruh. Pada Nopember 2009, LBH mengirimkan surat kepada pengadilan perihal permohonan eksekusi putusan, dikarenakan PT.GSI tidak mau secara sukarela memenuhi putusan. Pada 10 Nopember 2009, salah satu buruh didatangi jurusita dari Pegadilan Negeri Kabupaten Semarang dan memberitahukan relas kasasi yang diajukan oleh PT.GSI. Akibat keganjilan tersebut, LBH pada 19 Nopember 2009 kembali mendatangi pengadilan untuk melakukan protes dan meninta kejelasan terkait kasasi yang diajukan oleh PT.GSI. kemudian diketahui bahwa PT.GSI mengajukan kasasi pada tanggal 16 Oktober 2009 bertepatan pada waktu LBH mendatangi PT.GSI untuk menuntut pelaksanaan putusan. 24 Nopember 2009, LBH mengirimi surat kepada Ketua PHI perihal protes dan keberatan atas diterimanya pengajuan kasasi dari PT.GSI, karena sudah melampaui batas waktu dan juga LBH sudah mengrimkan permohonan eksekusi. LBH menuntut agar pengadilan tidak menolak pengajuan kasasi dan tidak mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung RI serta menindaklanjuti permohonan eksekusi. Sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak pengadilan terkait surat protes LBH.

kecamatn Singorojo Kabupaten Kendal digugat oleh PTPN IX melalui Pengadilan Negeri Kendal dan tercatat dalam Nomor : 16/Pdt/G/2000/PN.Kdl. Pada intinya gugatan tersebut menyatakan bahwa petani telah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menggarap lahan yang oleh PTPN IX lahan tersebut diklaim sebagai lahan miliknya. Pada 14 Januari 2002, Pengadilan Negeri Kendal memenangkan Penggugat PTPN IX dan putusan tersebut dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jawa tengah Nomor : 37/Pdt/2003/PT.Smg pada 26 Mei 2003. LBH Semarang sebagai kuasa hukum Tergugat mengajukan Kasasi ke Mahmakam Agung Republik Indonesia. Sejak 7 April 2006 perkara tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan dalam situs resmi Mahkamah Agung Pemohon Kasasi yaitu Bakir dkk (para petani) dinyatakan KABUL. Tetapi sampai saat ini, salinan putusan tersebut tidak pernah disampaikan kepada para pemohon kasasi.

13. Putusan Kasasi Perkara PTPN IX Nusantara Kendal

14. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum: Kasus Falun Gong

Pada 22 Mei 2000 Badan Pertanahan Nasional cq Menteri Pekerjaan Umum RI cq Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum Cq KAKANWIL Departemen Pekerjaan Umum Prop Jateng cq Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Prop Dati I jateng, dan 520 (lima ratus dua puluh) petani yang berdomisili di Desa Banyuringin, Desa Kali Putih,

Posisi Kasus: Kasus Falun merupakan kasus yang berawal dari hak sipil dan politik. Pada 7 April 2007 berencana menyampaikan pendapat di Kota Semarang terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap para praktisi FALUN GONG yang terjadi RRC. Sesuai dengan mekanisme undang-undang no.9 tahun 1998 tentang

33

Bantuan Hukum Yang Diberikan: Dalam kasus ini LBH Semarang berperan sebagai kuasa hukum petani dari pengadilan tingkat pertama samapai ketingkat Kasasi. Pada tanggal 16 September 2009 LBH Semarang telah melayangkan surat resmi kepada Ketua Mahkamah Agung guna meminta salinan putusan MA No. Reg 1743K/PDT/2004 tapi oleh Ketua Mahkamah Agung surat tersebut dibalas yang pada pokoknya menyatakan bahwa surat tersebut dalam tahap revisi atau perbaikan.

34


Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, para Praktisi yang tergabung dalam Falun Gong menyampaikan pemberitahuan akan melakukan pawai yang merupakan bagian dari penyampaian pendapat dimuka umum pada tanggal 4 April 2007. Dan pada saat itu telah diberikan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) oleh Polres Semarang Timur bagian Staf Administrasi. Namun pada pelaksanaan pawai penyampaian pendapat dimuka umum yang pada waktu itu berlokasi di Simpang Lima Semarang, Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang bersama Polres Semarang Timur datang ke lokasi membubarkan pawai penyampaian pendapat dimuka dan menangkap para praktisi FALUN GONG. Bapak Hok Soebagio selaku koordinator pawai kemudian diperiksa secara intensif, yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam pasal 216 KUHP jo pasal 15 Undang-undang No.9 tahun 1998 dan pasal 510 KUHP. Namun sampai tahun 2008 perkara tersebut tak segera dilimpahkan ke Kejaksaan. Karena hak-hak Hok Soebagio atas status hukumnya yang tidak jelas dan telah terjadinya pelanggaran hak konstitusionalnya, ia melakukan upaya hukum perdata berupa Gugatan Perbuatan Melawan Hukum pasal 1365 KUH Perdata kepada Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang atas tidakkannya yang telah melanggar ketentuan 13 ayat 1, 2, 3 Undang-undang No.9 tahun 1998.

Tergugat, dan Gugatan Tidak Dapat Diterima karena error in persona, dimana Penggugat Tidak Mempunyai Kedudukan dan Kepentingan Hukum untuk melakukan Gugatan. Upaya Banding atas Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor Perkara 246/Pdt.G/2008/PN.Smg LBH Semarang mengajukan upaya hukum banding atas putusan perkara nomor 246/Pdt.G/2008/PN.Smg ke Pangadilan Tinggi Jawa Tengah pada bulan November 2009.

Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang menjadi kuasa hukum Hok Soebagio untuk melakukan upaya hukum perdata 1365 KUH Perdata kepada Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang. LBH Semarang menggugat Kapolwiltabes Semarang atas tindakannya yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atas Undang-undang No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaian Pendapat Dimuka Umum. Gugatan resmi disampaikan ke Pengadilan Negeri Semarang pada 20 Oktober 2008 dengan Nomor Perkara 246/Pdt.G/2008/PN.Smg. Pada 2009 Pengadilan Negeri Semarang memutus perkara nomor 246/Pdt.G/2008/PN.Smg tersebut dengan putusan menerima Eksepsi

35

36


BAB IV BANTUAN HUKUM MELALUI JALUR NON LITIGASI

1. Kasus Pencemaran Lingkungan di Tugu, Semarang Lima perusahaan di kawasan Industri Tugu, Kota Semarang yang mencemari lingkungan diduga beroperasi tanpa dilengkapi oleh AMDAL atau UKL dan UPL. AMDAL adalah “kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan� [pasal 1 angka [21] UU Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH)]. Sedangkan dalam rangka menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka bagi rencana usaha yang tidak ada dampak pentingnya atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak pentingnya diwajibkan membuat UKL dan UPL. Baik AMDAL maupun UKL dan UPL sendiri bukanlah ijin untuk melakukan usaha, akan tetapi merupakan kajian lingkungan yang merupakan syarat untuk mendapatkan ijin, seperti Ijin Mendirikan Bangunan, Ijin Usaha Industri, Ijin Penambangan dan lain sebagainya. Dalam Penegakan Hukum Lingkungan [Environmental Enforcement] dapat dilakukan melalui instrumen Penegakan Hukum Administratif, Penegakan Hukum Pidana, dan Penegakan Hukum Perdata. Dalam penegakan hukum lingkungan administratif, UUPLH memberi kewenangan antara lain izin dumping [Menteri Lingkungan Hidup], Pengawasan penataan [Menteri Lingkungan Hidup/Badan Lingkungan Hidup], Paksaan Pemerintahan [Gubernur/Bupati/Walikota], Pencabutan izin usaha [Instansi penerbit izin], Audit Lingkungan Wajib

37

[Menteri Lingkungan Hidup]. Dalam penegakan hukum pidana UUPLH memberi kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil [PPNS] Lingkungan Hidup [environmental Investigator] dalam jenis-jenis tindak Pidana Generic Crimes [delik material], Specific Crimes [delik formal], Corporate Criminal Liability. Sedangkan penegakan hukum lingkungan perdata dalam UUPLH terdiri dari di luar pengadilan yang bersifat Optional/sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa pihak ketiga dan lembaga penyedia jasa dan di Pengadilan [Class Actions, Strict Liability, NGO’s standing, hak standing Badan Lingkungan Hidup]. Melihat landasan yuridis tersebut Pemerintah Kota Semarang [setelah Badan Lingkungan Hidup menemukan adanya pencemaran dan pelanggaran admininstratif] seharusnya mendayagunakan hukum lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Bantuan Hukum Yang Dilakukan LBH Semarang: 1. Melakukan investigasi dan pengorganisasian, serta memberikan pendidikan hukum kritis di komunitas, materi pendidikan hukum kritis adalah terkait hukum lingkungan khususnya terkait dengan rezim perijinan dan AMDAL 2. Mengadakan pertemuan antara warga dan pemilik perusahaan. Dalam pertemuan yang digelar di SD Tapak, perwakilan perusahaan berjanji tidak menambah stok batubara dan akan pindah dari lokasi. Kemudian dibuat kesepakatan tertulis di atas materai 3. Mengadakan audiensi pada 11 September 2009 antara warga dengan BLH. BLH kemudian menyatakan: - BLH hanya memiliki 1 orang PPNS - BLH sudah mengirim surat peringatan pertama. - Satpol PP sudah mensegel lokasi - Dari pertemuan terdahulu antara perusahaan dan BLH serta

38


-

Satpol PP, diperoleh kesepakatan bahwa tidak akan ada pengiriman batubara lagi, namun jika mengeluarkan batubara diperbolehkan BLH berharap, laporan warga terkait aktivitas pembongkaran batubara yang terjadi semalam dilaporkan secara tertulis BLH akan mengirim surat peringatan kedua dan ditembuskan ke Polda Jateng

tersebut, dengan alasan kasus kecelakaan harus dilaporkan dahulu, baru melaporkan kasus penganiayaan. Untuk itu, mereka meminta S melaporkan kasus kecelakaan lalu lintas ke Polres Semarang Timur. Sebelum dilaporkan ke Polres Semarang Timur, kasus ini sudah selesai karena pengendara motor mau memberikan ganti rugi setelah mengetahui S akan melaporkan kasus penganiayaannya ke polisi. 3. Kasus Penipuan dan Kekerasan Terhadap perempuan

LBH Semarang kemudian meminta BLH Kota Semarang menggunakan kewenangannya dalam menegakkan hukum pidana lingkungan bagi perusahaan yang oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil [PPNS] Lingkungan Hidup [environmental Investigator] - Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang, telah terbukti melakukan pencemaran. Namun BLH beralasan tidak memiliki kewenangan untuk itu 2. Kasus Penganiayaan dan Penolakan Laporan Polisi S, berkonsultasi tentang kasus kecelakaan lalu lintas yang dialami anaknya. Anaknya yang mengendarai sepeda motor roda dua, bertabrakan dengan pengendara sepeda motor yang lain. Anaknya lalu dipukuli kepalanya dengan menggunakan helm, oleh orang yang bertabrakan dengannya. Anaknya tidak diberi ganti rugi biaya pengobatan, sebaliknya pengendara motor tersebut malah minta ganti rugi kerusakan motornya. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH Semarang memberikan konsultasi atas kasus kecelakaan lalu lintas tersebut, dan mendampingi S melaporkan kasus penganiayaan ke Polwiltabes Semarang. Namun polisi menolak laporan penganiayaan

39

N mengadukan pelanggaran kode etik dan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Kabupaten Grobogan. N menjalin hubungan dengan Sw, seorang polisi di Grobogan. Kepada N, Sw mengaku masih bujangan. Setelah berpacaran, N baru mengetahu bahwa Sw sudah beristri. N kemudian hamil. Setelah melahirkan, Sw meninggalkan N. Padahal sebelumnya Sw berjanji tidak akan menelantarkan anaknya dan sanggup memberikan nafkah. Sw kemudian kembali menjalin hubungan dengan perempuan lain. Bahwa karena kondisi tersebut, akhirnya Nining Kustyaningsih melaporkan perbuatan Suwarjo kepada KABID PROPAM POLDA Jateng, dengan tanda bukti lapor No.Pol:BPL/85/IX/2007/Yanduan. Tetapi laporan ini tidak ditindaklanjuti. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH Semarang mengirim surat kepada Kepala Kepolisan Republik Indonesia; Komisi Kepolisan Nasional dan Kepala Kepolisan Daerah Jawa Tengah. Akhirnya Kabid Propam Polda Jateng memberikan tanggapan dan menjatuhkan hukuman 3 minggu kepada Sw.

40


4. Kasus PT. Aquafarm Nusantara Posisi Kasus : PT. Aquafarm Nusantara adalah perusahaan pengemasan ikan dengan orientasi pasar eksport, beralamat di Jl. Tambak Aji Timur I No.2 Ngaliyan Semarang. Pemilik perusahaan adalahorang asing berkewarganegaraan Swiss. Kasus bermula ketika sekitar 240 buruh (tergabung dalam Serikat Buruh Aquafarm Nusantara/SBAN) dari sejumlah 350 buruh yang ada di perusahaan melakukan mogok kerja menuntut diantaranya upah lembur, peningkatan status kerja dari kontrak menjadi tetap, uang makan, tunjangan transpor dll. Mogok dilakukan mulai tanggal 27 Mei 2009 dengan melakukan aksi di depan perusahaan. Masa kerja buruh berkisar 1 tahun sampai dengan 13 tahun. Pihak perusahaan tetap tidak mau memenuhi tuntutan para buruh, namun justru mencoba melakukan intimidasi secara halus dengan cara bekerjasama dengan pihak kepolisian yang selalu mengancam akan melakukan tindakan represif ketika buruh melakukan aksi di depan perusahaan. Selain itu juga pihak perusahaan mendatangi buruh satu-persatu secara personal agar mau bekerja kembali dan menghentikan mogok kerja. Perusahaan akhirnya mem-PHK 98 buruh dengan alasan mogok kerja yang dilakukan buruh tidak sah. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH bersama Serikat Pekerja (SP) Kahutindo melakukan pendampingan buruh saat melakukan aksi mogok kerja di perusahaan. Disela-sela pendampingan tersebut, LBH juga memberikan pendidikan secara informal kepada beberapa pengurus SBAN.

41

LBH melakukan pendampingan pada proses bipartit yang dilakukan di Disnakertrans Kota Semarang tanggal 1 Juni 2009. Pada perundingan tersebut, pihak perusahaan dengan didampingi 2 orang kuasa hukum menyatakan menolak seluruh tuntutan-tuntutan buruh. Sedangkan buruh menyatakan akan tetap melakukan mogok kerja sampai tuntutan dipenuhi. 8 Juni 2009, dilakukan mediasi di Disnakertrans. Pihak perusahaan pada perundingan tersebut hanya diwakilkan oleh 2 orang kuasa hukumnya. Hasil dari perundingan tersebut, pihak perusahaan sanggup melaksanakan upah lembur sedangkan tuntutan lain masih akan dipertimbangkan. Namun pada 9 Juni 2009, perusahaan justru mengeluarkan Surat PHK terhadap 98 buruh. 15 Juni 2009, LBH mendampingi buruh melakukan aksi dan audiensi di Komisi D DPRD Kota Semarang. Hasil audiensi adalah Komisi D menyarankan agar pihak perusahaan melaksanakan kesepakatan 8 Juni 2009 dan tidak melakukan PHK. 17 Juni 2009 perusahaan mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Komisi D DPRD yang intinya perusahaan tetap pada keputusannya yaitu mem-PHK 98 buruh. LBH beberapa kali melakukan negosiasi dengan pihak kuasa hukum perusahaan, dengan tuntutan agar pihak perusahaan mempekerjakan dan mau memenuhi tuntutan buruh. Namun dari pihak perusahaan menyatakan akan mempekerjakan buruh kecuali 30 buruh yang dianggap sebagai provokator dan tidak akan memenuhi tuntutantuntutan buruh yang lain. Dari sekitar 240 buruh yang melakukan mogok kerja, minoritas kembali masuk kerja dengan status kontrak, sebagian lagi tidak melanjutkan perjuangan (khususnya buruh kontrak), sehingga tersisa 108 buruh yang masih melakukan penuntutan. Buruh yang tersisa mengajukan PHK dengan tuntutan pesangon 2 kali ketentuan per-undang-undangan, penghargaan masa kerja,

42


penggantian hak, uang tunggu dan THR dengan jumlah nominal sekitar Rp.2,7 milyar. Pada perkembangannya terdapat sebagian buruh yang menerima PHK dengan pesangon yang ditawarkan oleh perusahaan sebesar Rp. 5 juta sampai dengan Rp.15 juta. Saat ini masih sekitar 36 buruh yang menolak jumlah nominal pesangon dan menuntut pesangon sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu berkisar Rp 30 juta/buruh. 5. Kasus Buruh Koperasi Karyawan Citra Niaga (KKCN) Posisi Kasus : Koperasi Karyawan Citra Niaga (KKCN) adalah sebuah koperasi yang berdiri dalam Bank CIMB Niaga, salah satu bank Malaysia. Kantor cabang KKCN di Jawa Tengah beralamat di Jl. Pemuda 21B Semarang. KKCN selain berfugsi sebagai koperasi simpan pinjam, usaha sewamenyewa juga melakukan praktek outsourcing. 6 (enam) buruh KKCN bagian satpam pada Bank CIMB Niaga, menuntut kenaikan upah karena selama kerja ada kesenjangan upah antar buruh. Selain itu buruh juga menuntut kekurangan pembayaran iuran Jamsosotek (KKCN dalam membayarkan iuran Jamsostek menggunakan patokan upah yang tidak sebanarnya/pemalsuan keterangan besaran upah), serta menuntut pembayaran upah kerja lembur. Masa kerja buruh berkisar 4 tahun sampai dengan 15 tahun. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: Buruh telah melakukan proses bipartit dan mediasi ketika memberi kuasa kepada LBH pada 14 Agustus 2009. Sebelumnya buruh didampingi oleh SPSI. Mediator Disnakertras Kota Semarang mengajurkan agar perusahaan memberikan pesangon kepada buruh. Anjuran ini ditolak

43

oleh buruh karena buruh tidak pernah meminta PHK. Buruh justeru menuduh pihak SPSI yang mendampingi “bermain di belakang� dengan pihak KKCN, karena selama proses mediasi buruh tidak dilibatkan secara penuh. Pada 19 Agustus 2009, LBH mengrimkan somasi kepada pihak KKCN untuk memenuhi tuntutan yaitu pembayaran upah lembur, pembayaran kekurangan iuran Jamsostek, dan penyesuaian upah. Pada 25 Agustus 2009, LBH mendampingi buruh ke Polwiltabes untuk membuat laporan tentang dugaan tindak pidana pelanggaran UU No.3 tahun 1992 tentang Jamsostek serta penggelapan upah lembur. Pada 26 Agustus 2009, LBH bersama buruh mengadakan pertemuan dengan pihak KKCN di Disnakertrans Kota Semarang. Pertemuan ini merupakan undangan dari pihak KKCN. Dalam pertemuan tersebut pihak KKCN bersama kuasa hukumnya bermaksud menyampaikan keputusan PHK tanpa alasan yang jelas. Secara serentak buruh menolak keputusan PHK tersebut. Sejak 27 Agustus 2009, 6 (enam) buruh tidak diperbolehkan masuk kerja oleh pihak KKCN dengan alasan sudah di PHK. 7 Oktober 2009, 3 (tiga) dari 6 (enam) buruh mencabut kuasa dari LBH dengan alasan desakan dari keluarga untuk menerima PHK dan pesangon dari pihak KKCN. LBH masih menggali informasi terkait status badan hukum dari KKCN untuk meminta pertanggungjawaban Bank CIMB Niaga, jika kemudian hari KKCN bermasalah dengan status badan hukumnya. 6. Kasus Buruh PT. Berkah Surya Abadi Perkasa (BSAP) Posisi Kasus : Rohmad adalah pekerja di PLN melalui PT.Berkah Surya Abadi Perkasa (perusahaan outsourching), Rohmad telah dituduh oleh PT.BSAP telah

44


melakukan tindakan yang melanggar peraturan perusahaan yaitu membujuk teman sekerja untuk mencari pelanggan baru tanpa sepengetahuan perusahaan, sehingga Rohmad di PHK. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: Bantuan hukum LBH Semarang adalah mempersiapkan dan membuat berkas persidangan dan konsultasi. Perkembangan Terakhir : Buruh mengajukan kasasi karena gugatan ditolak oleh majelis hakim.

bentuk tanah lapang melainkan sudah ada bangunan-bangunan diatasnya yang tidak hanya berupa rumah warga melainkan juga fasilitas umum seperti jalan, dan tempat ibadah. Sehingga permintaan warga adalah dibeli sesuai dengan luas tanah yang dipakai untuk pendirian rumah, sementara untuk fasilitas-fasilitas umum dikurangi atau dibebaskan dari perjanjian jual-beli. Selain itu, permintaan warga juga tidak mau membeli tanah tersebut dengan harga sama karena alasannya jelas seharusnya berbeda harga jual tanah yang berada di depan atau muka dengan yang berada di dalam atau belakang serta harganya juga tidak bisa disamakan dengan harga NJOP karena warga sudah lama tinggal diatas tanah tersebut.

7. Kasus Sengketa Tanah Kampung Kepatihan Posisi Kasus: Warga Kampung Kepatihan Semarang terancam terusir dari kampungnya, karena ahli waris Tasripin yang memiliki tanah Hak Milik tersebut hendak menjual tanah yang ditempati warga kepada pihak lain. Status warga menempati tanah itu adalah sewa tanah. Warga bersedia membeli tanah tersebut. Februari 2007, muncul tawaran dari ahli waris (Marjoso) kepada warga untuk membeli saja tanah yang sekarang ditempati. Awalnya ada negosiasi antara warga dengan ahli waris Marjoso namun dalam perjalanannya tidak berhasil meski warga telah didampingi seorang penasehat hukum, karena dari pihak ahli waris tidak sepakat mengenai harga beli tanah. Permintaan dari ahli waris adalah pertama tanah itu dibeli dengan harga sesuai dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) serta warga membeli harus melakukan pembelian secara utuh/ keseluruhan sebesar yang tercantum dalam peta sertifikat tanah (luas + 2.049 M2). Tawaran tersebut tidak disepakati warga dengan alasan bahwa tanah secara keseluruhan sekarang tidak lagi dalam

45

Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH memfasilitasi penyelesaian kasus secara musyawarah atau negosiasi sejak 2007 dengan mempertemukan ahli waris dengan warga. Setelah melalui proses panjang negosiasi, akhirnya warga dan ahli waris melakukan transaksi jual beli dengan jangka waktu pelunasan adalah akhir Oktober 2009. 8. Advokasi Kasus Petugas Kebersihan Pasar Johar Posisi Kasus: Petugas kebersihan pasar Johar yang diwakili oleh N, mengadukan kasusnya kepada LBH Semarang terkait tidak dipenuhinya hak-hak petugas kebersihan sesuai dengan perjanjian kerja. Selain itu, ada kekhawatiran pedagang atas terbitnya surat perjanjian kontrak baru dari pihak pengelola kebersihan pasar yaitu koperasi, untuk melepas petugas kebersihan yang telah bekerja lama, jika dievaluasi dan dinyatakan tidak diperpanjang kontraknya.

46


Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang mengadukan permasalahan ini kepada Dinas Pasar Kota Semarang dan memediasikan sengketa antara Petugas Kebersihan dan Pihak Koperasi Pengelola Kebersihan Pasar Johar. 20 Maret 2009 Diadakan pertemuan antara perwakilan Petugas Kebersihan Pasar Johar, LBH Semarang dan Perwakilan Dinas Pasar di Kantor Dinas Pasar membahas permasalahan ini. Hasil pertemuan tersebut adalah : Ada evaluasi yang menyeluruh terkait pengelolaan kebersihan pasar Johar 24 Mei 2009, diadakan pertemuan antara Perwakilan Pengelola Kebersihan, Petugas Kebersihan, LBH Semarang dan Dinas Pasar. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan: Kekhawatiran petugas kebersihan bahwa akan ada pemutusan hubungan kerja karena kontrak baru habis tidak perlu terjadi. Pihak Pengelola berjanji kontrak baru hanya untuk mengatur petugas. Disepakati pertemuan lanjutan untuk membahas lebih teknis solusi penataan petugas. Hak-hak petugas kebersihan Pasar Johar, seperti THR, dsb kedepan akan berusaha dipenuhi oleh Pengelola. 9. Advokasi Kasus Rencana Penggusuran PKL Jl. Pemuda Posisi Kasus: Larangan berjualan terhadap PKL di Jalan-jalan Protokol termasuk Jalan Pemuda marak dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang. Jalan Pemuda sebagai salah satu jalan protokol akan diberlakukan kebijakankebijakan yang telah dirancang oleh pemerintah kota Semarang seperti Kanan Kiri Jalan Protokol atau yang sering disebut Kakikol. Akibat

47

kebijakan tersebut, mulai gencar sosialisasi dan pelarangan-pelarangan, bahkan ada peringatan-peringatan yang ditambah dengan ancaman penggusuran terutama dari Satpol PP kepada PKL. Melihat kondisi tersebut, PKL khususnya di Jalan Pemuda merasa terdesak dan terancam sehingga melaporkan rencana pemerintah kota Semarang tersebut ke LBH Semarang. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang dan PKL Jalan Pemuda melakukan pertemuan dengan para seluruh PKL Jalan Pemuda untuk mengetahui kondisi terkini dan menentukan langkah-langkah advokasi. Selain itu, menggunakan jalurjalur negosiasi dengan pemerintah kota Semarang dengan melakukan audiensi. 13 Mei 2009, LBH Semarang bersama para PKL dilakukan pertemuan dengan wakil Walikota. Hasil dari pertemuan tersebut, akhirnya PKL masih diperbolehkan untuk berjualan, namun harus tetap menjaga kemanan dan ketertiban. Wakil Walikota juga meminta data PKL agar mudah untuk berkoordinasi. 10. Advokasi Sengketa Parkir Posisi Kasus: Kasus ini awalnya bermula dari ketidakharmonisan antara salah seorang warga Jl. Beringin dengan Juru Parkir Rumah Makan Bringin karena dipicu aktivitas parkir Rumah Makan Bringin yang dianggap mengganggu. Konflik ini berlangsung terus menerus dan melibatkan tidak hanya pihak yang bersengketa namun juga aparat Polri (Babinsa) dan TNI. Terlebih lagi dua orang tukang parkir, pernah diinterogasi polisi dan dimintai keterangan di Polsek Semarang Tengah karena laporan salah satu warga bernama An, yang merasa keamanannya terganggu. Selain itu, muncul pula keterlibatan oknum TNI yang mengintimidasi

48


para tukang parkir dengan mengatakan bahwa akan ada penggantian juru parkir di Rumah Makan tersebut karena ada warga yang tidak menghendaki keberadaan mereka disana. Karena merasa tertekan dan terancam kemudian tukang parkir yang diwakili oleh B, melaporkan kejadian tersebut ke LBH dan meminta pendampingan. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH melaporkan oknum Polisi dan TNI yang telah berlaku tidak profesional ke Propam Polda, Denpom atau Polisi Militer. Di Propam Polda, surat pengaduan LBH Semarang hanya diterima namun tindak lanjut laporan tidak diketahui. Ketika LBH mengofirmasi, jawaban yang mereka berikan adalah laporan sedang diproses. Sementara, hasil yang cukup bagus dari Denpom atau Polisi Militer. Komandan Denpom memanggil dua oknum TNI yang ikut campur dalam kasus parkir itu. Lalu ia mempertemukan tukang parkir dan oknum TNI tersebut secara tertutup dan masing-masing dimintai keterangan. Komandan Denpom kemudian menegur dan meminta oknum TNI untuk tidak ikut campur lagi. Sementara itu oknum TNI yang ikut campur kemudian meminta maaf dan meminta untuk persoalan ini diselesaikan sampai di Denpom atau Polisi Militer saja. Setelah laporan tersebut, An, yang merasa terganggu dengan adanya parkir, mengadakan pertemuan untuk membahas penyelesaian masalah ini. Dalam pertemuan tersebut hadir pemilik Rumah Makan Bringin, dua orang tukang parkir tersebut, dan polisi Babinsa dicapai kesepakatan bahwa parkir tetap diperbolehkan, namun untuk pengaturannya dilakukan satu arah saja agar tidak semrawut. 11. Advokasi Kasus Pasar Kanjengan Posisi Kasus: Sejarah mengenai Pasar Kanjengan dimulai sejak tahun 1973. Awalnya

49

pihak pemerintah kota Semarang yang diwakili oleh Walikota melakukan Perjanjian dengan Sartono Sutandi selaku pimpinan PT. Pagar Gunung Kencana untuk menyerahkan tanah seluas 1500 m² dalam bentuk Hak Guna Bangunan. Dalam perjanjian No. Sek.2c/3/16/Um/74 tertanggal 11 Juni 1974 tersebut peruntukan Hak Guna Bangunan adalah untuk Rumah dan Toko. Adapun jangka waktu yang ditetapkan adalah 30 tahun, dimana setelah waktu tersebut habis pihak pemegang HGB wajib mengmbalikan tanah tersebut kepada Pemerintah Kota Semarang sebagai Pemegang Hak sebelumnya. Sejak perjanjian dilakukan sampai berakhirnya perjanjian, seharusnya PT. PGK melaksanakan pengembalian tersebut pada tahun 2006. Mengingat kondisi dan situasi yang tidak memungkinkan, kewajiban tersebut baru akan dilaksanakan pada tahun 2009. Rencana pembongkaran bangunan dengan segera akan dilaksanakan sejak munculnya surat Nomor 593/1603 tertanggal 4 Mei 2009 perihal Penyerahan Hak atas Tanah milik Pemerintah Kota Semarang dari Walikota yang mendasarkan pada Surat perjanjian No. Sek 2c/3/16/Um/74 tanggal 11 Juli 1974 jo Surat Perjanjian Tambahan No. Sek. 2c/17/Um/74 tanggal 11 Juli 1974 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Juli 1976 No. SK.231/HGB/DA/1976. Dengan surat tersebut PT. PGK memberitahukan hak sewa para pedagang telah selesai sejak tanggal 25 oktober 2006 dan tidak diperpanjang lagi. Sehubungan dengan hal tersebut pulalah PT. PGK meminta pedagang mengosongkan bangunan Kanjengan selambatlambatnya tanggal 5 Juni 2009 karena pada tanggal 15 juni 2009 akan dilakukan pembongkaran blok C, dan D. Permasalahan kemudian muncul karena beberapa hal ; Pertama, Status tanah tersebut ternyata tidak hanya HGB melainkan ada yang mempunyai dengan status Hak Milik. Kedua, Diatas tanah tersebut berdiri bangunan yang kemudian dijadikan tempat berjualan Pedagang Pasar Kanjengan.

50


Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang melakukan analisis, membuat memorandum hukum dan mensosialisasikan ke pedagang Pasar Kanjengan. Setelah semua pedagang Pasar Kanjengan mengetahui posisi kasusnya, LBH Semarang bersama pedagang melakukan negosiasi dan lobby ke Pemerintah Kota Semarang. Hasil negosiasi kasus ini tidak memuaskan. Hasil audiensi antara pedagang dan Pemerintah Kota Semarang adalah membuat kesepakatan bahwa pedagang mengakui tanah yang saat ini ditempati adalah milik Pemkot. Namun pedagang juga diberikan kesempatan kalau memang bangunan harus dibongkar dan dikembalikan kepada PT. Pagar Gunung Kencana, jaminan nasib pedagang harus ada. 12. Advokasi Pasien Rumah Sakit NU Demak Posisi Kasus: Permasalahan ini berawal dari pengaduan Sl, atas kebijakan RS NU Demak yang tidak memperbolehkan anaknya untuk pulang karena belum membayar lunas biaya Rumah Sakitnya. Pihak keluarga pasien sangat ingin agar pasien bisa pulang dan diobati di rumah karena ketidakmampuan mereka membayar biaya rumah sakit. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang melakukan negosiasi dengan pihak Rumah Sakit NU Demak. Kasus ini telah selesai, upaya yang dilakukan adalah bernegosiasi dengan RS NU agar pasien dapat pulang, sementara untuk pelunasan pembayaran biaya rumah sakit akan dilakukan bertahap sampai dengan bulan Oktober 2009. Kedua belah pihak kemudian menandatangani perjanjian kesepakatan.

51

13. Kasus Sengketa Pelayanan Publik Posisi Kasus: Permasalahan ini berawal dari pengaduan Rs, atas ditolaknya permohonan keterangan waris dari Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Lurah menolak permohonan ini karena ia khawatir ada ahli waris lain yang nanti akan mempermasalahkan surat keterangan tersebut. Bantuan Hukum Yang Diberikan: Atas laporan tersebut LBH Semarang mengirim surat atas pelayanan kelurahan. Kasus ini selesai, setelah pihak kelurahan bersedia mengeluarkan surat keterangan waris karena alasan-alasan yang diberikan LBH Semarang dalam surat tersebut. 14. Kasus Intimidasi dan Perbuatan Tidak Menyenangkan Kasatreskrim Polres Kendal kepada PBH Semarang Posisi Kasus: Pada Jumat, 5 Desember 2009, salah seorang advokat LBH Semarang mendapat intimidasi dan perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan Kasatreskrim Polres Kendal. Ketika itu, Muhnur sedang mendampingi para petani yang diperiksa Polres Kendal sehubungan laporan pidana PT Karyadeka Alam Lestari. Kasatreskrim meminta Muhnur untuk datang ke ruangannya. Karena Muhnur menolak, ia mendatangi Muhnur ketika sedang berada di ruangan penyidik lain. Penyidik lain yang berada diruangan itu kemudian keluar dan Kasatreskrim menutup pintu. Setelah ditutup pintunya maka perilaku kasar Kasatreskrim dimulai, perilaku kasar tersebut diantaranya sebagai berikut :

52


16. Kasus Pernyataan Bibit Waluyo 1. Kasat bicara dengan nada tinggi dengan tangan menunjuk-nunjuk muka PBH (Muhnur); 2. Kasat mengatakan bahwa PBH adalah “Pengacara Brengsek, Cari gara-gara, tolol” dll... 3. Kasat mengatakan bahwa PBH adalah Pengacara yang tidak bersahabat dengan Penyidik Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang: LBH Semarang melaporkan perbuatan Kasatreskrim ini ke Polri, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Ombudsman, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. LBH juga mendatangi Kapolres Kendal untuk memprotes perlakuan Kasatreskrim kepada Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang. Kapolres menyatakan secara pribadi minta maaf atas perbuatan Kasatreskrim. Sedangkan Kompolnas, KON, dan YLBHI mengirim surat kepada Kapolres Kendal atas laporan LBH Semarang. 15. Kasus Penangkapan Pengemis Anak oleh Satpol PP Yt, ditangkap Satpol PP karena sedang meminta-minta di jalan sekitar kantor Perusahaan Lisrik Negara (PLN). Ayah Yt meminta bantuan hukum LBH Semarang supaya Yt dilepaskan. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang menyelesaikan kasus ini dengan melobby dan melakukan negosiasi dengan Satpol PP. Sore hari, pada hari yang sama, Yt dilepaskan Satpol PP.

Dalam rencana eksploitasi kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Pati oleh PT Semen Gresik Tbk, aparat negara sama sekali tidak menunjukkan sikap kenegarawanan. Pernyataan mereka di media cenderung intimidatif. Bupati Pati berulangkali mengeluarkan pernyataan: “aksi-aksi penolakan ditumpangi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan bukan orang asli Pati”. Tidak hanya itu, Tasiman juga mengancam dengan istilah ”Jangan membangunkan macan tidur!” 1. Ketua DPRD Pati juga menyatakan: “semua fraksi di DPRD Pati mendukung rencana pembangunan pabrik semen dan meminta masyarakat supaya tidak melakukan penolakan”. Pun demikian dengan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo yang identik dengan slogan “Bali Ndeso Mbangun Deso”. Seperti yang dilansir di Harian Kedaulatan Rakyat pada 3 Juni 2009, Gubernur mengeluarkan statement: “Gerakan penolakan semen adalah provokasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)” 2 Bibit Waluyo semakin tidak rasional dengan mengeluarkan pernyataan di harian Jawa Pos dan Suara Merdeka pada 25 Juli 2009, menanggapi rencana hengkangnya PT Semen Gresik, Tbk dari Kabupaten Pati. Hengkangnya PT Semen Gresik, Tbk menurut Bibit Waluyo adalah akibat dari ulah LSM. “kalau begitu namanya LSM edan, LSM sontoloyo” 3 katanya. Masih terkait permasalahan tersebut, Bibit Waluyo dalam waktu dekat menyatakan tidak akan datang ke Pati sebagai bentuk kekecewaan pada masyarakat yang menolak. Bahkan ia enggan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di Pati. “Kalau disana kekurangan pupuk, mengeluh saja ke LSM, jangan ke saya, kalau 1

Harian Kompas, 1 Agustus 2008 Harian Kedaulatan Rakyat, 3 Juni 2009 3 Harian Radar Semarang, 25 Juni 2009 2

53

54


gabahnya kurang minta saja ke LSM” 4 Respon dan tindakan LBH Semarang: Pernyataan Bibit mendapat perlawanan dari Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat di Jawa Tengah termasuk LBH Semarang. Dalam UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat pengakuan peran serta masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan lingkungan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”. Mengenai istilah “orang”, sesuai dengan Pasal 1 angka 24 UUPLH, adalah orang perorangan dan/atau kelompok orang dan/atau badan hukum. Sedangkan Pasal 1 angka 22 UUPLH menyebut, ”organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup”. LSM yang memberikan dukungan terhadap gerakan Rakyat Pati menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik itu sudah menjadi concern lembaga-lembaga tersebut sejak didirikan. Keterlibatan LSM karena rencana eksploitasi sejak awal sudah bermasalah baik dari kajian ekologis, hukum maupun budaya. Model peran serta dalam pengambilan keputusan publik bermacam-macam. Bisa dalam bentuk kemitraan, pendelegasian kekuasaan, juga pengawasan. Salah satu bentuk pengawasan yang bersifat represif adalah pengajuan legal standing oleh organisasi lingkungan hidup. Jaringan LSM di Jawa Tengah mengirimkan somasi. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kemudian menanggapi dengan mengirimkan surat. Surat ke-1 adalah undangan untuk bertemu di rumah makan

4

Harian Radar Semarang, 25 Juni 2009

55

nusantara pada malam hari, undangan ke-2 adalah ralat undangan ke-1 , undangan ke-2 bertempat di ruang rapat lantai 2 Gedung Gubernuran. Pertemuan tersebut dijadwalkan pada 13 Agustus 2009, dan pada waktu itu beberapa anggota jaringan datang. Yaitu, SHEEP, PBHI, LRC KJHAM dan LBH Semarang. Dalam pertemuan tersebut jaringan ditemui oleh Sekda Pemerintah Provinsi. Sekda mengakui pernyataan tersebut adalah spontan dan tidak mungkin untuk gubernur meminta maaf di media. Untuk ke depan diperlukan komunikasi yang lebih baik. Dalam pertemuan itu, Pemerintah Provinsi menyatakan minta maaf atas pernyataan Gubernur tersebut. 17. Review Peraturan Walikota Semarang No. No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode tahun 2009 s/d tahun 2013 Posisi Kasus: Review atas Peraturan Walikota Semarang tersebut dilakukan karena pada awalnya ada penyampaian atau pengumuman atas kenaikan tarif air minum pelanggan PDAM Kota Semarang oleh Direktur Umum PDAM Kota Semarang. Pengumuman kenaikan tarif air minum tersebut 12% dan hal ini tidak sesuai dengan faktanya yang telah direkomendasikan oleh Tim Tarif Air Minum PDAM Kota Semarang yaitu masing-masing golongan pelangan PDAM mencapai antara 13% s/d 90% lebih. Ketika pengumuman kenaikan tarif tersebut menjadi polemik didalam masyarakat, LBH Semarang menyikapi kenaikan tarif PDAM Kota Semarang tersebut. Substansi Peraturan Walikota Semarang No. No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode tahun 2009 s/d tahun 2013 tersebut tidak konsisten, antara batang tubuh dengan lampiran-lampiran kenaikan tarif. Hal ini menyebabkan adanya

56


ketidakpastian hukum dalam pemberlakuan kenaikan tarif air minum PDAM Kota Semarang.

tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013.

Respon LBH Semarang: Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Walikota Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013 pada 31 Maret 2009, padahal Peraturan Walikota Semarang beserta lampirannya tersebut secara substansi dan yuridis formal mengandung cacat hukum sebab tidak ada kepastian hukum dalam pemberlakuannya. Cacat hukum tersebut dapat dilihat antara pasal 4 ayat 2 huruf a dengan lampiran I s/d IV tidak sesuai. Selebihnya yaitu pasal 4 ayat 2 huruf b s/d h beserta lampirannya tidak ada dasar hukumnya atau setidak-tidaknya tidak ada dasar penghitungannya. Berdasarkan pertimbangan atau alasan-alasan tersebut diatas, kemudian sebelum LBH Semarang melakukan upaya hukum berupa permohonan judicial review ke Mahkamah Agung, terlebih dahulu meminta kepada Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Walikota Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013 pada tanggal 31 Maret 2009 dengan menyampaikan Draft Revisi Peraturan Walikota Semarang tersebut. Dari penyampaian draft revisi tersebut, permintaan LBH Semarang dipenuhi dengan dilakukannya perubahan/revisi atas Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan revisi Peraturan Walikota Semarang No.6A/Tahun 2009 Tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang Periode Tahun 2009 S/D Tahun 2013 pada tanggal 31 Maret 2009. Perubahan tersebut dengan dikeluarkan Peraturan Walikota Semarang No. 17 Tahun 2009

18. Kasus Kecelakaan Kerja Saudara Muh. Sadeli di Perusahaan PT. BEST

57

Posisi Kasus: Muh. Sadeli adalah karyawan waktu tertentu di Perusahaan PT. BEST. Pada suatu hari, PT.BEST sedang mendatangkan batu bara sebagai bahan bakar mesin produksinya. Muh. Sadeli memindahkan batu bara tersebut kedalam lokasi. Namun pada saat itu Muh. Sadeli mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan mata kirinya mengalami kebutaan karena tertancap ganco. Pada saat kejadian kecelakaan kerja, karyawan tersebut dibawa ke rumah sakit oleh rekan kerjanya. Akhirnya mata kirinya diambil. Semua biaya operasi di rumah sakit tersebut ditanggung sendiri oleh Muh.Sadeli dengan mengunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin dan PT BEST sama sekali tidak menanggung biaya rumah sakit. Setelah masa operasi, Muh. Sadeli mengajukan hak-haknya sebagai karyawan atas kecelakaan kerja yang dialaminya, namun pihak PT.BEST tidak mau tahu dan tidak memberikan hak-haknya atas kecelakaan kerja atau setidak-tidaknya memberikan tali asih. Karena sudah dicoba beberapa kali tidak membuahkan hasil, kemudian Muh.Sadeli mengadukan persoalan tersebut ke LBH Semarang. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang dalam kasus kecelakaan kerja ini, melakukan upaya administrasi berupa menyurati pihak PT.BEST untuk menyelesaikan hakhak Muh.Sadeli atas kecelakaan kerja yang dialaminya. Kemudian ada tanggapan dari Pihak PT.BEST dengan melakukan negosiasi antara

58


Muh.Sadeli yang didampingi LBH Semarang dengan bapak Indarto selaku Personalia PT.BEST. Pada 22 Oktober 2009 negosiasi tersebut membuahkan hasil berupa kesepakatan berupa pemberian santunan kecelakaan kerja sejumlah Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dari PT.BEST kepada Muh.Sadeli. 19. Kasus Pemutusan Meteran Saluran Air PDAM Demak atas nama Edi Warsito Posisi Kasus: Kasus tersebut bermula ketika keluarga Edi Warsito yang bertempat tinggal di Jalan Pucang Argo Tengah, Pucang Gading, Demak tidak bisa atau menunggak pembayaran rekening PDAM Kab.Demak sampai 6 (enam) bulan. Ketika itu saudara Edi Warsito telah diperingatkan oleh PDAM Demak untuk segera melunasi tunggakan pembayaran rekening PDAM, namun ia belum mampu membayar. Akhirnya PDAM Demak melakukan penyegelan sementara aliran air PDAM ke rumahnya. Kemudian saudara Edi Warsito melunasi pembayaran rekening yang tertunggak, namun yang menjadi aneh ternyata meteran air tidak ada atau hilang. Menurut versi Edi Warsito meteran air tersebut hilang dikarenakan diambil oleh petugas PDAM Demak Cab. Pucang Gading. Setelah berkali-kali dikonfirmasi oleh Saudara Edi Warsito atas pengambilan meterannya, pihak PDAM Demak Cab.Pucang Gading mengatakan tidak tahu menahu atas hilangnya meteran tersebut. Ia kemudian ditawari untuk memasang baru dengan biaya Rp.100.000,(seratus ribu rupiah). Namun karena tidak memiliki uang, akhirnya saudara Edi Warsito menyambung secara illegal. Tetapi pihak PDAM mengetahui dan memutus sambungan itu. Hingga beberapa bulan kemudian tak ada aliran air PDAM ke rumahnya. Untuk kebutuhan air bersih, keluarganya harus mengambil air di tetangganya.

59

Akhirnya saudara Edi Warsito menyampaikan persoalan tersebut kepada LBH Semarang untuk bisa dibantu terkait dengan pengambilan meteran tersebut. Bantuan Hukum Yang Diberikan: LBH Semarang melakukan upaya administrasi dengan mengklarifikasi persoalan saudara Edi Warsito kepada PDAM Kab.Demak. Selang beberapa hari kemudian Kabag Umum PDAM Demak, Kepala Cab.Pucang Gading PDAM Demak menyampaikan klarifikasi persoalan tersebut dengan datang ke LBH Semarang. Pada intinya bahwa klarifikasi yang disampaikan PDAM Demak adalah sama seperti apa yang disampaikan Saudara Edi Warsito, namun untuk persolan hilangnya meteran PDAm mengklarifikasi tidak pernah mengambil meteran tersebut. LBH Semarang meminta agar persoalan tersebut dapat diselesaikan, tanpa harus melihat mana yang salah. Dan tawaran ini disetujui oleh pihak PDAM Demak, dengan memberikan uang sejumlah Rp.350.000 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) untuk membeli meteran. Hasilnya kemudian sekarang keluarga Edi Warsito dapat menikmati kembali air bersih dirumahnya.

60


BAB V KONDISI HAK ASASI MANUSIA DI JAWA TENGAH 2009 ISSUE PERTANAHAN Pendahuluan Indonesia saat ini tengah mengalami krisis, krisis ekonomi, krisis lingkungan, dan krisis pangan. Kebijakan ekonomi nasional yang masih memprioritaskan investasi dan modal asing turut mempengaruhi terjadinya krisis-krisis tersebut. David C. Korten mengatakan bahwa masalah krisis adalah wujud ketidakmampuan lembaga-lembaga ciptaan manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi segenap umat manusia.1 Kesalahan manusia itupun secara terus menerus dilakukan oleh manusia sampai sekarang, walaupun manusia sudah terorganisir secara politik dalam sebuah negara. Kesalahan tersebut bukannya tereliminasi malah semakin memperluas area krisis. Kesalahan lembaga-lembaga negara dalam menciptakan kehidupan manusia yang layak itu bisa kita lihat dari sisitem pengelolaan sumberdaya alam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa potensi sumberdaya alam indonesia termasuk terkaya didunia baik itu sumberdaya hayati maupun nonhayati baik didarat maupun dilautan. Dan sesuai dengan konstitusi kita bahwa kekayaan alam yang terkandung didalam negara kesatuan Indonesia dikuasai dan dipergunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. “Kesejahteraan masyarakat� merupakan kata-kata yang sangat mudah didengar dan dilihat, karena kata-kata tersebut kerap kali disinggung dalam tulisan, diskusi, dan pidato-pidato, baik yang terkait dalam kerangka pemikiran politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Akan tetapi, kata-kata tersebut lebih sering dilihat atau didengar atas dasar suatu permasalahan, permasalahan mengenai siapa 1

David C Korten, 1984, Pembangunan yang Memihak Rakyat, Kupasan tentang Teori dan Metode Pembangunan, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, hal 1.

yang menyejahterakan, siapa yang disejahterakan, dan kapan kesejahteraan bagi masyarakat akan terwujud. Sebagai negara yang berdaulat, merupakan suatu yang sangat wajar dan keharusan untuk memliki cita-cita terwujudnya kesejahteraan masyarakat, karena perjuangan yang telah dikorbankan oleh para pahlawan memiliki satu impian, yaitu tercapainya kesejahteraan rakyat dalam negara yang merdeka. Akan tetapi pada kenyataannya, masih sangat banyak rakyat yang terjamah oleh kehidupan yang serba sulit, sulit makan, sulit memiliki pekerjaan yang layak, sulit memiliki tempat tinggal yang nyaman dan kesulitan-kesulitan lainnya. Kedaulatan agraria merupakan salah satu jalan utama menuju masyarakat sejahtera, terlebih lagi negara kita adalah negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya memilliki pekerjaan yang berhubungan dengan sektor-sektor agraria. Rakyat agraris takkan dapat hidup layak jika mereka tak dapat merasakan kedaulatan agraria. Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian semakin menegaskan bahwa konversi lahan pertanian bebanding lurus dengan ploretarisasi petani. Pemerintah telah mencanangkan program Reforma Agraria sejak 2007. Secara teknis, program reforma agraria yang dicanangkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional menegaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas dan fungsi menjalankan reforma agraria. Program Reforma Agraria tersebut seharusnya dimaknai sebagai momentum merestrukturisasi ketimpangan akses agraria dimana di dalamnya terdapat pula perlindungan terhadap masyarakat dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran�. Agenda pemerintah ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Melaui program ini, pemerintah merencanakan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar, terdiri dari: 8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN. Untuk mematangkan rencana ini, sejak tahun 2007 BPN menjalankan ujicoba PPAN di 32 Provinsi, termasuk di


sejumlah Kabupaten di Jawa. Untuk melanjutkan rencana ini secara lebih intensif, pada tahun 2008 lalu BPN memulai perencanaan kebijakan reforma agraria terpadu di wilayah Jawa bagian selatan yang mencakup 34 (tiga puluh empat) kabupaten. Tetapi ternyata obyek reforma agraria tersebut tidak termasuk tanah-tanah yang sedang dipersoalkan petani. BPN lebih memilih jalan aman, obyek reforma agraria adalah tanah negara bebas, tanah timbul, dan tanah-tanah HGU yang sudah dilepaskan oleh pemegang haknya. Sehingga untuk tanahtanah konflik berbasis perkebunan dan kehutanan, tak menjadi obyek reforma agraria. Lahan Pertanian Makin Menipis Jawa Tengah adalah salah satu lumbung padi nasional. Dengan luas Âą 3,2 juta hektar, Jawa Tengah mampu mensuplai padi diseluruh pelosok nusantara. Akan tetapi pasokan bahan pangan tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan memberantas kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih tergolong tinggi, dari sekitar 32,189 juta jiwa ada sekitar 6,190 juta jiwa atau 19,23% hidup dibawah garis kemiskinan.2 Dan, sebesar 58,70% penduduk miskin berada di daerah pedesaan. Luas propinsi Jawa Tengah sama dengan 25,04% luas pulau Jawa. Dari jumlah itu, luas lahan sawah adalah 990.459 hektar (30,45%) dan lahan non sawah 2.263.586 hektar (69,55%). Sekitar 270 hektar lahan pertanian di Jawa Tengah hilang berubah fungsi menjadi pabrik, perumahan, waduk, jalan dan lain-lain. Jika jumlah lahan menurun maka bisa dipastikan bahwa jumlah produksi pertanianpun akan menurun 3. Bahkan ada 300 hektar lahan produktif di Kabupaten Ungaran yang hilang terkena mega proyek jalan tol Semarang-Solo. Kekayaan alam Jawa Tengah ternyata diikuti berbagai konflik berbasis sumberdaya alam. Misalnya: sengketa pembebasan lahan untuk kepentingan umum, sengketa hak antara perusahaan perkebunan dengan petani miskin (buruh tani), konflik lahan hutan dengan 2 3

Berita resmi Statistik (Badan Pusat Statistik) No. 6/07/33/tahun.II/1 Juli 2008 Wawasan 29 Juli 2009

perhutani maupun sengketa administratif yang jumlahnya terus meningkat. Pada 2005 tercatat 9 (sembilan) kasus tanah berbasis hutan, dengan total luas lahan yang bersengketa 1.039,59 hektar, dan 36 (tiga puluh enam) kasus tanah berbasis perkebunan. Di tahun 2006 kasus tanah hutan meningkat menjadi 16 (enam belas) kasus dengan total luas lahan yang disengketakan adalah lebih dari 1722, 59 ha. Kasus-kasus tanah berbasis perkebunan, ada peningkatan 1 (satu) kasus yang muncul ke permukaan, dari 36 (tiga puluh enam) kasus pada tahun 2005 menjadi 37 (tiga puluh tujuh) kasus pada tahun 2006. Sedangkan ditahun 2007, kasus sengketa tanah bertambah 14 kasus dengan tambahan luas lahan seluas 601,58 hektare yang berada di 9 (sembilan) wilayah kabupaten/ kota di Jawa Tengah. Sedangkan pada 2008 ada 41 (empat puluh satu) kasus yang terjadi, kasus tersebut terjadi di 18 (delapan belas) kabupaten/ kota dengan jumlah korban 7.414 KK. Tabel : 1 Jumlah Sengketa Tanah di Jawa Tengah 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Lokasi

Jumlah Kasus

Salatiga Kota Semarang Sragen Kabupaten Semarang Kabupaten Grobokan Kabupaten Brebes Kabupaten Cilacap Kota Slawi Kabupaten Rembang Kabupaten Tegal Kabupaten Jepara Total

1 12 3 4 1 1 1 1 1 1 1 27 (dua puluh tujuh)

Data diolah dari monitoring LBH Semarang melalui media massa

Dari total 27 (dua puluh tujuh) kasus di Jawa Tengah, 14 kasus menyangkut pembebasan lahan sebagaimana Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang


Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kriminalisasi Petani Harapan masyarakat khususnya petani pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan sumberdaya alam dengan lebih persuasif ternyata hanya bertepuk sebelah tangan saja. Dalam catatan LBH Semarang ditahun 2009 ini terdapat 15 (lima belas) petani dikiriminalisasi. Ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini juga perusahaan swasta lebih sering menggunakan pendekatan represif kepada masyarakat yang menuntut hak-haknya. Konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah, berawal dari adanya ketimpangan kepemilikan dan akses masyarakat atas sumber daya alam. Banyaknya perkebunan swasta maupun negara dengan luas kepemilikan yang sangat besar menjadi salah satu pemicu konflik. Ini disebabkan karena Kebijakan ekonomi yang dianut oleh pemerintah hanya berpijak pada satu gagasan pokok bahwa pertumbuhan hanya bisa tumbuh karena investasi modal (capital). Pemerintah yang seharusnya melindungi hak konstitusional rakyatnya bertindak sebaliknya. Melalui aparat kemanan, pemerintah bertindak represif dalam menyelesaikan konflik agraria. Akhirnya banyak petani yang terlibat konflik agraria dipidanakan (kriminalisasi) oleh aparat kepolisian. Dibawah ini adalah petani yang dikriminalisasikan pada 2009 karena berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan Perhutani. Tabel 2 Petani Korban Kriminalisasi Nama Manisih Sri Suratmi Juwono Rusnoto Minah Yamanto

Kota Asal Kab. Batang Kab. Batang Kab. Batang Kab. Batang Kab. Banyumas Kab. Pekalongan

Dakwaan Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP Pasal 364 ayat Ke-4 KUHP Pasal 362 KUHP UU Kehutanan

Priyanto Hermanto Alip Amat Yani Didik Huji

Kab. Pekalongan Kab. Pekalongan Kab. Pekalongan Kab. Pekalongan Kab. Pekalongan Kab. Temanggung

UU Kehutanan UU Kehutanan UU Kehutanan UU Kehutanan UU Kehutanan UU Kehutanan

Selain kriminalisasi, tak jarang aparat juga melakukan intimidasi kepada masyarakat, seperti menunjukkan Surat Keputusan Hak Guna Usaha kepada warga, berpatroli di lahan perkebunan dengan melepaskan tembakan, membentak, dan sebagainya. Selain perkebunan wilayah hutan juga menjadi sumber konflik dengan masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan pertama, pertama, konflik yang bersumber dari klaim sepihak Perhutani. Konflik ini biasa terjadi ketika masyarakat yang sudah menggarap sejak lama tiba-tiba wilayah garapannya diklaim Perhutani sebagai wilayah Perhutani (sesuai PP No.30 Tahun 2003). Yang kedua, konflik tata batas wilayah hutan, dalam pematokan atau tanda batas hutan sering mengenai tanah petani sekitar hutan. Konflik ini paling banyak terjadi di Jawa Tengah karena konflik ini menyangkut kepastian hukum batas-batas hak kepemilikan yang memisahkan antara wilayah hutan dan lahan masyarakat. Yang ketiga, ketimpangan lahan. Jumlah kemiskinan yang tinggi diwilayah hutan maupun diwilayah perkebunan merupakan potensi akan terjadinya konflik berbasis sumberdaya hutan. Terbitnya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah bentuk kongkret pemerintah melindungi korporasi besar dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat kecil. Pasal-pasal yang terkandung dalam peraturan tersebut mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Refleksi Kasus-kasus struktural pertanahan 1998-2009: LBH Semarang menangani kasus-kasus pertanahan berbasis perkebunan dan hutan di Jawa Tengah, khususnya sejak 1998. Dari penanganan langsung, penelitian, investigasi dan monitoring yang dilakukan selama sepuluh tahun terakhir, terdapat 42 kasus berbasis pertanahan dan


hutan di Jawa Tengah. Data-data konflik tersebut diolah dengan program database Humawin yang dikembangkan oleh Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum dan Masyarakat (HuMa) sejak 2005. Dari 42 kasus tersebut, yang terbesar adalah kasus tanah kehutanan (22 kasus), diikuti kasus tanah perkebunan (16 kasus), konflik akses hutan (3 kasus), kasus tanah negara dan pertambangan masing-masing 1 kasus. Total luas tanah keseluruhan adalah 10.587,18 hektar. Dari kasus-kasus berbasis perkebunan dan hutan yang ditangani dan diteliti LBH Semarang, pemerintah hanya menyelesaikan satu kasus dengan cara dibatalkan yaitu kasus HGU PT Sinar Kartasura di Kabupaten Semarang dan menyelesaikan dua kasus dengan cara redistribusi tanah yaitu kasus tanah PT. Ambarawa Maju di Kabupaten Batang dan kasus tanah HGU PT Rumpun Sari Antan di Kabupaten Cilacap. Hal ini membuktikan bahwa negara gagal menyelesaikan kasus-kasus struktural tanah tersebut.

Grafik Konflik Tiap Kabupaten

Jumlah kasus secara keseluruhan adalah 42 kasus, dengan rincian :

Akses Hutan, 3

Tanah Negara, 1

Pertambangan ,1 Perkebunan, 16

Kehutanan, 22

Total luasan konflik : 10.587,18 Ha

Dari grafik di atas, daerah yang memiliki konflik struktural tanah terbesar adalah Kabupaten Kendal (10 kasus), diikuti Temanggung (7 kasus), dan Batang (6 kasus). Sementara daerah-daerah konflik tanah lainnya adalah Cilacap, Pati, Banyumas, Peklaongan, Semarang, Blora, dan Wonosobo. Konflik-konflik tersebut juga diikuti kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya atas tanah. LBH Semarang mencatat: 262 orang dikriminalisasikan selama 1998-2009, 8 orang ditembak hingga luka, 6 orang meninggal karena ditembak, dan 3 orang dianiaya. Pelaku yang mengkriminalisasikan petani adalah perusahaan perkebunan dan Perhutani bekerjasama dengan aparat kepolisian.


Kesimpulan Di issue pertanahan, negara belum memenuhi hak-hak rakyat atas tanah (hak ekonomi, sosial, dan budaya) dan melakukan pelanggaran HAM dibidang hak sipil politik dengan kriminalisasi, penganiayaan, dan penembakan para petani dikawasan hutan dan perkebunan.

Dari data kasus tersebut, LBH Semarang mencatat: • Jumlah desa yang berkonflik dengan Perhutani : 36 desa • Jumlah desa yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan : 21 desa • Perusahaan Perkebunan yang dikelola Militer : 3 • Perusahaan Perkebunan yang dikelola Negara: 4 • Perusahaan Perkebunan yang dikelola Swasta : 9 Sementara itu, 19.043 Kepala Keluarga menjadi korban konflik tanah berbasis perkebunan, hutan, dan pertambangan tersebut. Dengan adanya konflik-konflik tanah tersebut, LBH Semarang merekomendasikan: • Adanya kejelasan mekanisme untuk menyelesaikan konflik-konflik tanah berbasis perkebunan dan hutan • Melakukan penyelesaian konflik agraria dengan berlandaskan keberpihakan pada masyarakat korban


ISSUE LINGKUNGAN HIDUP DAN PESISIR JALAN PANJANG MENUJU KEADILAN EKOLOGIS A. PUTUSAN PTUN KASUS SEMEN GRESIK, ANGIN SEGAR BAGI PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN Sepuluh tahun terakhir kondisi lingkungan hidup memburuk. Hal ini tak hanya ditandai oleh naiknya angka bencana ekologis di berbagai wilayah Indonesia, yang melahirkan krisis berkepanjangan, namun juga gagalnya penegakan hukum pada kasus-kasus lingkungan utama. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Sebenarnya harapan rakyat mengemuka ketika DPR mengesahkan Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Salah satu terobosan besar dalam UUPPLH adalah kewenangan besar yang dimiliki oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Tugas dan wewenangnya sesuai dengan mandat UU No. 32/2009, yaitu meliputi wewenang melakukan inventarisasi lingkungan hidup dalam penyusunan Rencana Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menetapkan kawasan ecoregion, perizinan, pengawasan hingga ke penegakan hukum. Berbicara persoalan lingkungan, hal perizinan, pengawasan hingga penegakan hukum selalu menjadi masalah. Kepentingan ekologis selalu dikalahkan oleh kepentingan kapitalis. Tetapi ditahun 2009 ini, ada peristiwa penting yang perlu dicatat dalam penegakan hukum lingkungan. Pada Kamis, 6 Agustus 2009, majelis hakim PTUN Semarang membuat terobosan penting dalam penegakan hukum lingkungan. Majelis hakim yang mengadili perkara No.04/G/2009/PTUN.SMG membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara yang berwujud Surat Keputusan (SK) tentang Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) No. 540/052/2008 yang dikeluarkan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Pati kepada PT Semen Gresik tertanggal 5

November 2008. Isi pokoknya adalah mengenai ijin melakukan penambangan batu kapur seluar 700 hektar, yang terletak di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Sukolilo, Desa Tompegunung dan Desa Sumbersoko, yang berada di Wilayah kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Sayang, putusan tersebut dianulir di tingkat banding. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya membatalkan putusan PTUN Semarang. Kasus ini sekarang dalam proses kasasi. Putusan PTUN ini merupakan babak baru penegakan hukum lingkungan di Indonesia, ditengah-tengah sikap skeptis masyarakat sipil akan penegakan hukum dan institusi yudikatif. Hal ini juga perwujudan kongkrit atas kehendak kuat untuk penerapan keadilan ekologis yang selama ini diabaikan demi kepentingan pembangunan modal. B. ANGKA BERBICARA B.1.

Pantura: Kawasan Strategis Yang Penuh Konflik lingkungan

LBH Semarang di tahun 2009 mencatat pelanggaran HAM sektor lingkungan dan pesisir meningkat. Hal ini nampak dari makin meningkatnya jumlah kasus dari 172 kasus di 2008 menjadi 217 kasus di 2009. Artinya terjadi peningkatan sebayak 45 kasus. Kasus di sektor lingkungan dan pesisir tersebar merata di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, namun kecenderungannya adalah pemusatan kasus di wilayah pesisir, khususnya Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah.

Jumlah

2008 172 kasus

2009 217 kasus

Jumlah 45 kasus

Dari 217 kasus tersebut, LBH semarang membagi menjadi 161 kasus pelanggaran HAM di sektor lingkungan dan kasus pelanggaran HAM di sektor pesisir.


Jumlah

Sektor lingkungan 158 kasus

Sektor Pesisir 59 kasus

Jumlah 217 kasus

Pentingnya kawasan pantura terlihat dalam sejarah Jawa, ketika wilayah ini adalah wilayah yang paling bersemangat mengusir imperialisme asing di Nusantara. Ekspedisi Pati Unus ke Melayu yang berniat untuk mengenyahkan Portugis dari Bumi Malaka adalah contohnya. Pada masa Sultan Agung, wilayah ini jugalah yang menjadi basis pasukan laut Kerajaan Mataram untuk menyerbu Batavia. Bahkan ketika Daendels mencoba merealisasikan impiannya, salah satu sasarannya adalah pantura Jawa. Ia membangun Jalan Deandles yang memanjang dari Anyer ke Panarukan. Industrialisasi yang merunyak, seperti cendawan di musim hujan menyebabkan wilayah pesisir dikuasai penuh oleh kaum modal, sementara negara dan aparaturnya cenderung melindungi kaum modal dalam menjalankan usahanya. Dengan didukung oleh struktur hukum yang lemah maka makin lancarlah proses perebutan sumber daya alam pesisir. Penguasaan sumber daya alam tersebut selain menciptakan konflik-konflik antara kaum modal yang dibantu oleh negara dengan rakyat maupun konflik-konflik antar rakyat, yang diakibatkan semakin sempitnya wilayah rakyat untuk mengembangkan dirinya. Hal ini secara konsisten telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Hal ini nampak dari 217 kasus yang terjadi di Jawa Tengah. Kasus-kasus lingkungan banyak terjadi di pesisir pantura kabupaten/kota. Sebagai ilustrasi adalah permasalahan lingkungan yang menimpa Kota Semarang. Tercatat 57 kasus terjadi di kota yang merupakan ibu kota Propinsi Jawa Tengah pada 2009. Di wilayah pantura lainnya tercatat, Kabupaten Pati sebanyak 15 kasus serta Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pekalongan, masing-masing 10 kasus.

Kabupaten / Kota kab. Tegal kota Tegal kab. Brebes kab. Pekalongan kota Pekalongan kab. Pemalang kab. Batang kab. Kendal kota Semarang kab. Semarang kab. Pati kab. Kudus kab. Demak kab. Rembang kab. Jepara kab. Blora kab. Grobogan kab. Salatiga kab. Boyolali kab. Surakarta kab. Sragen kab. Magelang kota Magelang kab. Wonogiri kab. Klaten kab. Suloharjo kab. Karanganyar kab. Purworejo kab. Kebumen kab. Cilacap kab. Banyumas kab. Purbalingga kab. Banjarnegara

Jumlah 5 5 10 10 9 5 8 6 57 3 15 8 5 5 5 1 0 6 2 1 1 4 1 0 4 4 3 1 5 10 6 3 4


kab. Wonosobo kab. Temanggung Jumlah

Tabel peraturan yang dilanggar

1 4 217

Jumlah kasus

Jenis ketentuan yang dilanggar -

217 -

Grafik Jumlah Pelanggaran HAM Lingkungan Hidup -

UUD 1945 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang

HAM yang dilanggar -

Hak atas informasi Hak atas Lingkungan yang baik dan sehat Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak Hak atas perumahan

Jumlah Pelanggaran HAM 57

5

5

10

10

15 9

5

8

6

3

8

5

5

5

1

6 0

2

1

1

4

1

0

4

4

3

1

5

10

6

3

4

1

4

ka b. ko T e t g ka kab a Te al b. . g ko Pe Bre al ta k a b e P lo s k a e k ng b . alo a n P e ng ka ma a n b . la ka B a ng ko b . ta n ta K g ka S e e n d b. m al Se ara m ng a k ran k a ab . g b . Pa k K ti ka ab . u du b . De s Re m ka m b ak b. an J g k a k ab e pa b . . ra G B lo k o rob ra ta og ka S a a n ko b . B lat ig ta o y a S o ka u ra la li ka b . k a r b. Sr ta ko M a a g e t a ge n ka M a l a n b . ge g W lan k o g ka ab n og k a b . . K iri b . S u lat K ko e n k a a ran ha b . g rjo ka P u a n y b . rw a r K or k e b e jo ka ab . um e b k a . B Ci l a n b c ka . P a n y a p b . u r um B ba a ka a nj ling s ka b . a rn ga b . W eg T e on ara m oso an b gg o un g

60 50 40 30 20 10 0

Dari data diatas, wilayah pesisir yang seharusnya adalah wilayah transisi sebagai daerah penyeimbang antara daratan dan lautan, mengalami gangguan keseimbangan. Arus industrialisasi dan kemajuan telah merusaknya sedemikian rupa sehingga wilayah pesisir khususnya di pantura Jawa Tengah hampir kehilangan fungsinya. Disini masyarakat yang paling dikorbankan adalah masyarakat lokal yang secara turun temurun mendiami wilayah ini hidup dan membangun budayanya. Sedangkan untuk wilayah pantai dan laut, yang menjadi korban adalah kaum nelayan dan petani tambak. Pemusnahan dan penguasaan secara sistematis wilayah ini menyebabkan mereka termarginalisasikan, serta kehilangan akses atas sumber daya pesisir dan laut. Marginalisasi ini menyebabkan ketrampilan dan keahlian serta budaya-budaya lokal yang khas wilayah itu menjadi musnah.

Perusakan dan penghancuran kondisi fisik dan kondisi kultural wilayah pesisir dan pantai harus dihentikan. Hal ini mutlak dilakukan, karena pengaruhnya tidak hanya sekedar berimbas pada wilayah sekitar, tetapi lebih luas lagi yaitu masalah eksistensi kemanusiaan dan lingkungan. B.2. Kondisi Lingkungan Jawa Tengah Tahun ini dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa dramatis. Di tingkat nasional selain berbagai peristiwa politik dan hiruk pikuk terorisme, tahun 2009 juga diwarnai dengan ingatan atas peristiwa gempa di Sumatera Barat. Jawa Tengah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, 2009 dibuka dengan berbagai macam konflik penataaan ruang, yang kemudian disusul dengan pencemaran yang terjadi di berbagai daerah. Peristiwa lain yang menandai tahun ini adalah marjinalisasi pertambangan rakyat dan kriminalisasi. Berbagai peristiwa tersebut makin menunjukkan ketidakbecusan penyelenggara negara untuk melakukan penata-kelolaan lingkungan secara baik dan sehat. Tabel dan grafik dibawah ini menunjukkan rincian kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi di Jawa Tengah: 88 kasus konflik penataan ruang, 41 kasus pencemaran, 22 bencana ekologis, 5 kasus pertambangan rakyat, dan 2 kasus kriminalisasi.


Pencema ran

Konflik Penataan ruang

Marjinalisasi pertambangan rakyat

Kriminali sasi

Bencana ekologis

41

88

5

2

22

Kasus Lingkungan Bencana ekologis; 22 Kriminalisasi; 5

Pencemaran; 41

Marjinalisasi pertambangan rakyat; 5 Konflik Penataan ruang; 88

22 bencana ekologis yang terjadi di Jawa Tengah yang melanda beberapa kabupaten/kota adalah banjir dan kekeringan. Dari tahun ke tahun hal ini disadari oleh semua pihak bahwa ini terjadi akibat degradasi lingkungan, dan tidak semata-mata karena faktor alam dan penjarahan hutan. Seakan belum cukup, ada lagi anggapan bahwa pemanasan global adalah penyebabnya. Issue pemanasan global kemudian menjadi alasan bagi negara mengusulkan Reduced Emission for Deforestation and Degradation (REDD), skema kompensasi sebagai upaya adaptasi dan mitigasi terhadap Perubahan Iklim. Pemerintah tak membahami bahwa upaya mereka mencari-cari kesalahan atau membuat undang-undang baru, tak akan menyelesaikan permasalahan tersebut secara tuntas. Rangkaian permasalahan ini mungkin dianggap tidak berkaitan satu dengan yang lain, namun ketika kita bicara banjir Kota Semarang –

sebagai ilustrasi- mungkin rangkaian kata ini menjadi berarti. Ketika tata guna lahan sudah berubah dan tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian semakin banyak ruang publik yang tergusur dan beralih fungsi, egoisme sektoral dan pelaku usaha, serta kebijakan yang lebih memfasilitasi modal dan tidak berpihak kepada rakyat, dapat dipastikan akan terjadi bencana. Bentuknya bisa berupa banjir, kekeringan, longsor, maupun bencana lainnya. 88 Kasus terkait penataan ruang adalah pengabaian besarbesaran terhadap alam, yang kemudian berimbas kepada perikehidupan rakyat. Ketika bicara masalah lingkungan, kita tak bias mengabaikan juga masalah perikehidupan rakyat. Ketika penyelenggara pemerintahan dengan seenaknya sendiri melakukan pengelolaan sumber daya alam, tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, maka itulah akibatnya. Namun demikian yang lebih sering terjadi alih-alih melakukan refleksi dan memperbaiki diri sendiri, penyelenggara pemerintahan lebih suka mengkambing hitamkan rakyat. Catatan LBH Semarang menunjukkan 5 kasus marjinalisasi pertambangan rakyat dan 2 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Deklarasi PBB 9 Desember 1998, yaitu Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognizes Human Rights and Fundamental Freedom, setiap orang atau kelompok dalam masyarakat mempunyai hak untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia yang diakui oleh dunia international. Sehingga boleh dikatakan bahwa apabila terjadi penghambatan terhadap pejuang HAM dan warga dalam memajukan penegakan HAM, adalah termasuk pelanggaran HAM. Sebenarnya yang lebih diperlukan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan adalah proses pengelolaan sumber daya alam yang lebih transparan, terkontrol dan berkelanjutan yang tentu saja menjadikan rakyat setempat sebagai subyek dari proses pengelolaan. Dalam hal ini, pengambilan keputusan, akses, serta alokasi pengelolaan sumber daya alam tersebut berada murni ditangan masyarakat. Untuk itulah harus segera dimulai usaha-usaha penataan kembali situasi dan kondisi


lingkungan di berbagai wilayah dan sektor secara bersama-sama. Jika terlambat maka pupuslah harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi anak cucu kita. B.3. Kondisi Pesisir Jawa Tengah Catatan LBH Semarang selama 2009: terdapat 41 kasus rob dan banjir. Banjir dan rob dikarenakan praktek pembangunan yang salah urus yang mendasari krisis iklim di nusantara. Pembangunan hingga kini tidak didasarkan pada daya dukung lingkungan, yakni berlanjutnya pembangunan di atas lahan reklamasi, pencemaran laut, menjamurnya pemberian perizinan bagi dunia usaha di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil, pembangunan yang tidak memberikan akses peran serta komunitas. Kini masyarakat pesisir dan nelayan tidak lagi mampu mengambil keputusan karena pembuangan limbah dari hulu ke hilir, kehilangan akses melaut, mereka juga harus menghadapi banjir dan rob akibat salah urus pembangunan. Pembangunan yang salah urus juga menyebabkan 16 kecelakaan laut. Kecelakaan bisa dialami oleh siapa saja. Begitu juga dengan masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Kecelakaan laut biasanya terjadi akibat infrastruktur yang tidak memadai dan cuaca buruk. Cuaca buruk bagi nelayan, bukan merupakan halangan untuk melaut karena jika tak melaut, takkan ada sepiring nasi yang tersaji di meja makan keluarga. Selama 2009, terjadi 2 kasus kriminalisasi terhadap nelayan dengan 16 kapal nelayan ditangkap karena tidak dilengkapi dokumen resmi saat melaut. Mereka rata-rata terjaring razia karena tidak mengantongi dokumen pas kecil. Pengurusan dokumen memang sarat dengan biaya mahal dan persoalan birokrasi, yakni Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI). Abrasi dan Rob

Kecelakaan laut

Kriminalisasi nelayan

41

16

2

Suara Merdeka, 18 Maret 2009 dan Radar Semarang, 22 Maret 2009, memberitakan 22 investor mengincar pulau-pulau di kawasan Karimunjawa. Dibukanya peluang investasi di Kepulauan Karimunjawa mengancam 5.000 nelayan tradisional yang membutuhkan pulau berlindung apabila terjebak gelombang besar ketika melaut. Terkait hal tersebut Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengusulkan posisi pulaupulau yang telah dikuasai masyarakat, supaya dikeluarkan dari status taman nasional. Niatan Bibit Waluyo ini tidak lepas dari pasal-pasal mengenai Hak Pengelolaan dan Pengusahaan Wilayah Pesisir (HP3) dalam UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang merupakan konsesi pemerintah akibat Coral Triangle Initiative (CTI) Summit. Dengan Pasal HP3 ini, pengusaha dapat megeksploitasi kawasan pesisir. Jika hal ini terlaksana maka jumlah kriminalisasi dipastikan akan meningkat tajam. C. KEBIJAKAN NEGARA: PELANGGARAN HAM Faktor paling mendasar dari pemerintahan Bibit Walyo dalam penegakan HAM sepanjang 2009 adalah mementingkan politik citra untuk menyatakan seolah-olah kebijakan yang dilakukan adalah melindungi hak asasi manusia dan pro-rakyat dengan “balik ndeso mbangun deso�-nya. Namun faktanya pemerintah provinsi tidak sepenuhnya mampu menjalankan obligasinya untuk memenuhi hak asasi manusia dengan menelorkan perda-perda yang bermasalah. Produk perda yang dikeluarkan pemerintah sepanjang 2009 banyak menuai kontroversi. Diantaranya Perda Pesisir dan Perda Lingkungan Hidup. D. PREDIKSI 2010 Penegakan HAM pada 2010 tak akan beranjak jauh dari 2009. LBH Semarang memproyeksikan beberapa situasi nasional maupun regional yang akan menghambat penegakan HAM 2010. Pertama, secara nasional terjadi terobosan karena substansi UUPPLH lebih maju


ketimbang UUPLH, namun dalam pelaksanaannya UUPPLH ini tak lepas dari sistem yang bekerja. Terpilihnya Gusti Muhammad Hatta di Pos Kementerian Negara Lingkungan Hidup, memang relatif bersih dari intervensi politik, namun kewenangan yang luar biasa diberikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Wewenang ini diberikan UUPPLH kepada Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Tak mudah menjalankan itu semua apabila Menteri Lingkungan Hidup yang akan dipilih nanti merupakan figur tidak “bersih, solid, serta berintegritas�. Hal ini karena tantangan KLH mendatang sangatlah besar khususnya dalam “berhadapan� dengan korporasi besar, trend global isu Perubahan Iklim serta bargaining position dengan Departemen/Sektor termasuk Gubernur/Bupati/Walikota. Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (20092014) memunculkan strategi besarnya: The Blue Revolution Policies sebagai solusi. Program 100 hari Menteri Kelautan dan Perikanan berpotensi memberangus hak nelayan tradisional. Pertama, visi sebagai produsen perikanan terbesar di dunia pada tahun 2020, yakni peningkatan produksi hingga 350 persen. Untuk mencapai visi tersebut, DKP mengatakan membutuhkan tambahan anggaran Rp 1,6 triliun dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2010. Kedua, tindak lanjut World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit. Pemerintah tidak patut menjalankan Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (CTI), sebab inisiatif ini semakin melenceng dari upaya menyelamatkan nelayan. Komersialisasi laut adalah ancaman terhadap kedaulatan nasional dan masa depan nelayan. Ketiga, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berpotensi meminggirkan nelayan tradisional dan komunitas pesisir. Sebagaimana tertera dalam Pasal 14 ayat 1 UU 27 Tahun 2007 bahwa usulan strategi, zonasi, pengelolaan dan rencana aksi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan bahwa mekanisme penyusunan keempat rencana di atas dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan hasil rancangan disebarluaskan oleh pemerintah daerah.

Ketiga proses pemilihan Gubernur Jawa Tengah dan Bupati/ Walikota di beberapa kabupaten/kota yang akan dilakukan 2010, disertai dengan beredarnya rumor person kandidat yang ternyata memunculkan nama-nama yang hampir tidak masuk dalam lingkaran diskusi yang terbangun selama ini. Sebagian pos justru diisi oleh pengurus/pimpinan partai politik maupun orang-orang dari kalangan tertentu dan terkesan tak mempertimbangkan kompetensi sesuai dengan pos yang akan ditempati. Mudah ditebak, hal ini menimbulkan keraguan akan efektifitas pemerintahan yang akan berjalan. Issue lingkungan diprediksi hanya akan menjadi jargon organisasi politik untuk menaikkan citra demi kepentingan kursi kekuasaan. Alhasil substansi penegakan HAM akan mengalami penyingkiran oleh perilaku politik aktor-aktor kekuasaan.


ISSUE PERBURUHAN Kondisi Umum Perburuhan 2009 dimulai dengan situasi terjadinya krisis keuangan global. Puncak terjadinya krisis tersebut dipicu oleh kredit macet perumahan yang terjadi di Amerika Serikat. Indonesia yang saat ini masih sangat bergantung kepada AS harus merasakan dampak krisis tersebut, khususnya dalam sektor perindustrian. Banyak sekali perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan maupun penurunan order, umumnya perusahan atau industri yang bergerak di bidang tekstil, produk tekstil, otomotif dan perkayuan. Persolan tersebut pada akhirnya merambat kepada persoalan-persoalan buruh. Berdasarkan data laporan yang tercatat oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI sampai dengan bulan Juli 2009, sebanyak 54.466 buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebanyak 25.580 buruh dirumahkan. Data tersebut berasal dari laporan Dinas Tenaga Kerja di 18 Provinsi sejak awal tahun 2009. Pada kenyataannya jumlah buruh yang ter-PHK maupun dirumahkan lebih besar daripada data depnaker tersebut, hal ini mengingat banyak juga persoalanpersoalan buruh yang penyelesaiannya tidak sampai ke Dinas Tenaga Kerja. Untuk mengantisipasi persoalan PHK tersebut, secara umum pemerintah mencanangkan program peningkatan padat karya atau program peningkatan kompetensi. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu mencegah adanya PHK karena program-program tersebut dicanangkan justru untuk mengantisipasi gejolak massa pasca terjadinya PHK. Terkait program-program yang dicanangkan seperti padat karya, buruh-buruh korban PHK diarahkan untuk bekerja pada pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan lain-lain. Sepintas memang buruh diberikan pekerjaan, namun itu hanya sementara sifatnya. Yang lebih jelas adalah pembangunan infrastruktur itu sendiri bertujuan

untuk memberikan fasilitas kepada para pemilik modal. Sedangkan untuk program peningkatan kompetensi, pemerintah seolah-olah melihat persoalan buruh yang ada karena kurangnya keterampilan buruh. Selain itu juga program ini sangat tidak tepat, karena buruh yang ter-PHK tentu saja berkeinginan mendapatkan pekerjaan baru bukan pelatihan-pelatihan. Menjelang akhir 2009, marak demonstrasi buruh aksi-aksi di banyak daerah menuntut ditetapkannya upah minimum yang adil. Seperti aksi beruntun yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh di Jawa Tengah atau buruh di Kabupaten Serang yang melakukan aksi penutupan jalan tol Jakarta-Merak.

Kondisi Perburuhan di Jawa Tengah Terjadinya krisis keuangan global juga berpengaruh di propinsi Jawa Tengah. Hal ini mengingat Jawa Tengah merupakan persebaranpersebaran industri, khususnya di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Pekalongan, Sukoharjo dan lain-lain. Sampai dengan bulan Februari 2009 saja di Jawa Tengah sudah terdapat 8.208 buruh ter-PHK sedangkan buruh dirumahkan mencapai 6.211 (Data Depnakertrans RI). Dengan demikian jika dihitung sampai dengan akhir tahun 2009 maka jumlah korban PHK akan lebih banyak lagi, mengingat sejak Februari 2009 sampai dengan akhir tahun gelombang –gelombang PHK massal masih terus terjadi. Akibat PHK jelas akan manambah tingkat angka pengangguran yang saat ini mencapai 1, 36 juta orang atau 7,7 persen dari total penduduk Jawa Tengah. Untuk mengantisipasi gejolak sosial tersebut, pemerintah menyiapkan dana sebesar 24,7 milyar untuk program peningkatan kompetensi para korban PHK. Dari pantauan yang dilakukan oleh LBH Semarang mulai Januari 2009 sampai Nopember 2009, terdapat 86 persoalan buruh yang mencuat di 60 perusahaan di 17 kota dan kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Adapun persoalan terbanyak yang mencuat adalah persolan


upah sebanyak 17 kasus, disusul persoalan tentang PHK sebanyak 14 kasus, tuntutan tunjangan kerja 14 kasus, status kerja 6 kasus, jaminan sosial 5 kasus dan kebebasan berserikat 5 kasus, serta 30 kasus lainnya (tuntutan pesangon, buruh dirumahkan, dan kecelakaan kerja). Tabel Persoalan Buruh di Jawa Tengah Tuntutan atau Persoalan Upah PHK Sepihak Tunjangan Kerja Status Kerja Jaminan sosial Kebebasan Berserikat Lain-lain Jumlah

Jumlah 17 Kasus 14 Kasus 9 Kasus 6 Kasus 5 Kasus 5 Kasus 30 Kasus 86 Kasus

2009, karena pihak perusahaan melakukan pemotongan upah secara sepihak. Kasus PHK sepihak terjadi seperti dialami oleh buruh perusahaan tekstil PT.Tyfountex dan PT. Dupantex di Kabupaten Sukoharjo yang masing-masing melakukan PHK terhadap sekitar 294 buruh dan 82 buruh. Kasus pembatasan berserikat terjadi seperti dialami oleh 6 buruh perusahaan elektronik PT. AST Semarang yang di PHK diduga karena berserikat.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dari kondisi perburuhan yang terjadi sepanjang 2009 di Jawa Tengah, LBH Semarang menilai ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pelanggaran hak atas pekerjaan, hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan hak atas kebebasan berserikat.

Grafik Persoalan Buruh Jawa Tengah Jumlah Tuntutan atau Persoalan Buruh Upah; 17 Dll; 30

PHK Sepihak; 14

a. Pelanggaran Hak atas Pekerjaan Maraknya PHK, baik itu merupakan dampak krisis keuangan global atau bukan, menyebabkan banyak buruh kehilangan pekerjaan. Dinas Tenaga Kerja tidak mampu melakukan apa-apa, kalaupun ada upaya yang dilakukan itu hanya sebatas pengawasan terkait pemberian pesangon terhadap buruh ter-PHK. Dengan demikian pemerintah telah mengabaikan hak-hak buruh untuk mempertahankan pekerjaan.

Kebebasan Berserikat; 5 Tunjangan Kerja; 9 Jaminan sosial; 5

Status Kerja; 6

Persolan upah terjadi seperti penolakan sekitar 1500 buruh PT. Rodeo atas pengangguhan pembayaran upah minimum yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Peristiwa ini terjadi pada awal 2009. Ratusan buruh PT. Tosan Mash di Kudus juga melakukan mogok kerja pada April

b. Pelanggaran Hak atas Kondisi Kerja Yang Adil dan Menguntungkan Buruh berhak atas upah yang layak maupun tunjangan-tunjangan kerja atas hasil kerjanya yang diberikan kepada pengusaha. Namun demikian berdasarkan pantauan LBH Semarang, upah atau tunjangan masih banyak menjadi tuntutan buruh selama 2009. Hal ini membuktikan bahwa mayoritas buruh masih belum merasakan


kondisi kerja yang adil. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya berperan menetapkan upah minimum serta mengawasi pelaksanaan upah minimum tersebut. Namun pada prakteknya Gubernur Jawa Tengah pada 17 Nopember 2009 justru menetapkan upah minimum yang jauh dari harapan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh. Dari 35 Kota/Kabupaten yang ada di Jawa Tengah, hanya Kabupaten Sukoharjo dan Kota Salatiga yang upah minimumnya sesuai dengan KHL. Terkait pengawasan pemerintah, Dinas Tenaga Kerja maupun pihak kepolisian selama ini tak pernah menindaklanjuti pengaduan-pengaduan buruh tentang hak-haknya yang dilanggar seperti upah, jamsostek, dan sebagainya. c. Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berserikat Dalam kasus ini, biasanya perusahaan melakukan tindakan-tindakan seperti PHK, mutasi, atau kriminalisasi terhadap pengurus serikat buruh. Selama ini buruh melaporkan hal itu kepada bagian pengawasan Dinas Tenaga Kerja atau kepolisian, namun tak pernah ada tindakan tegas maupun tindakan serius dari kedua lembaga tersebut. Kalaupun persoalan tersebut diserahkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menyelesaikan, yang terjadi justru melegitimasi PHK buruh dengan alasan hubungan kerja sudah tidak harmonis.

Isu Perkotaan Pendahuluan Lebih dari sebelas tahun krisis moneter yang mengguncang perekonomian masyarakat berlalu. Dampak krisis adalah munculnya pekerjaan sektor informal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), juru parkir, pedagang pasar tradisional, sopir angkot, dan sebagainya. Keterdesakan ekonomi lah yang menyebabkannya. Meski saat ini krisis ekonomi telah menjauh dan perekonomian mulai tumbuh dan berkembang, tetap saja pekerjaan sektor informal seperti PKL masih dipilih oleh sebagian masyarakat. Alasannya karena pekerjaan ini dianggap mampu menjawab persoalan, ditengah makin tertutupnya akses masyarakat marginal khususnya komunitas miskin perkotaan terhadap pekerjaan formal. Ditengah pilihan sulit tersebut, keberadaan komunitas miskin perkotaan seperti PKL, pedagang pasar tradisional, dan sopir angkot, makin terdesak dan terancam akibat berkembangnya pembangunan dan modernitas. Paska reformasi 1998, kebijakan pembangunan tetap dilakukan. Kalau sebelum reformasi, rencana pembangunan tertuang dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN), pasca reformasi, rencana pembangunan dituangkan kedalam instrumen RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) Nasional, dan RPJP Daerah, RPJM Daerah. Ini dijalankan pemerintah melalui Bappenas, Bappeda Provinsi maupun kabupaten dan kota. Berbagai kebijakan dalam RPJP Daerah dan RPJM Daerah masih kurang mengakomodir kepetingan komunitas miskin perkotaan. Selain itu, rencana pembangunan yang dituangkan dalam RPJP Daerah dan RPJM Daerah terkadang masih belum berspektif HAM. Bahkan implementasi kebijakan pembangunan tersebut masih banyak kelemahan dan tidak tepat sasaran. Terlebih dalam hal proses distribusi peningkatan kesejahteraan ekonomi.


Dalam merencanakan pembangunan, pemerintah seharusnya memasukkan instrumen Hak Asasi Manusia didalamnya sebagai tolak ukur keberhasilannya. Keberhasilan pembangunan tak semata-mata diukur dengan indikator pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM. Di Jawa Tengah, jumlah penduduk miskin terus berkurang dari sepuluh tahun lalu. Saat itu penduduk miskin mencapai 8,76 juta jiwa, sekarang menyusut menjadi 5,73 juta jiwa.4 Meski demikian, kenyataannya belum sepenuhnya masyarakat Jawa Tengah sejahtera. Hal ini karena ukuran yang disebut miskin hanya menggunakan pendekatan garis kemiskinan yang angka patokannya diturunkan. Seseorang dianggap mampu dan tak masuk kategori miskin ketika sudah mampu memenuhi kebutuhannya meski hanya kebutuhan minimum seperti makan dan non-makan. Padahal untuk mengukur miskin atau tidak miskin patokannya harus lebih dari itu. Selain itu, indikator atau parameter yang ditentukan sangat rendah. Misalnya, pada 2009 untuk menentukan masyarakat itu miskin atau tidak ditentukan dengan garis kemiskinan di kota dan desa di Jawa Tengah yang dihitung sebesar Rp. 182.515 pendapatan per kapita perbulan. Meski besaran ini naik dari 2008 yang hanya sebesar Rp. 168.168 namun jika dipikir logis lagi apakah dengan pendapatan perkapita sebesar itu, masyarakat miskin mampu memenuhi kebutuhan yang sangat minimum? Terlebih ada faktor krisis global, dan lain sebagainya yang memengaruhi. Sementara untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan juga belum dihitung, yang itu sebetulnya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Untuk menilai apakah dalam proses pembangunan sudah mengakomodir nilai-nilai hak asasi manusia dapat dilihat dari kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Berikut adalah beberapa kasus yang dapat dijadikan parameter apakah kebijakan pembangunan telah mengakomodir nilai-nilai, dan prinsip hak asasi manusia.

4

Kompas, memperhatikan mereka yang miskin, 21 Agustus 2009

Penggusuran dan Peminggiran Komunitas Miskin Perkotaan Penggusuran terhadap pedagang kaki lima maupun sektor informal lainnya, dalam rangka mengimplementasikan kebijakan pembangunan selalu menjadi alasan pembenar bagi Pemerintah maupun sebagian masyarakat. Hal itu terjadi karena pedagang kaki lima maupun sektor informal lainnya dianggap sebagai pekerjaan yang dapat menghambat pembangunan sebab dapat merusak pandangan atau keindahan kota, menyebabkan kemacetan serta membuat wilayah tidak bersih. Padahal sebenarnya tanpa peran pemerintah, pekerja sektor informal ini dapat menciptakan lapangan kerja sendiri dan bahkan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan pemenuhan hak-hak lainnya. Citra buruk yang melekat terhadap para pekerja disektor informal tak lain disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak berperspektif HAM. Mereka tak diberi kesempatan mencari nafkah. Mereka juga tak diberikan ruang-ruang publik dalam proses pembangunan berkelanjutan tersebut. Padahal bagi mereka, nilai pemanfaatan ruang-ruang publik tersebut merupakan satu-satunya pekerjaan yang digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sehingga apabila taraf kehidupan mereka meningkat, maka secara ekonomi mereka berharap mampu menyelesaikan persoalanpersoalannya sendiri. Jika pandangan lama dan tindakan tersebut tidak diubah, maka selamanya pekerja sektor informal akan menjadi kelompok masyarakat miskin yang selalu menjadi korban pembangunan. Kasus-kasus yang muncul di Jawa Tengah terkait dengan kebijakan pembangunan yang kemudian menimbulkan peristiwa-peristiwa seperti razia/penggarukan, kriminalisasi, penggusuran, konflik tata ruang dan konflik horisontal serta kebijakan tidak adil lainnya dapat kita lihat di dalam grafik berikut ini :


250

202

200 150 100 50 0

65 38

32

14

1 Razia/ Penggusuran Kriminalisasi Konflik Tata Penggarukan PKL Ruang PSK, Gepeng & Preman

Konflik horizontal

Kebijakan yang tidak adil

Angka tertinggi korban pelanggaran HAM di sektor miskin perkotaan terjadi pada PKL, dimana angkanya mencapai 1263 PKL. Selanjutnya disusul pedagang pasar tradisional sebanyak 660 pedagang, gelandangan dan pengemis 92 orang, PSK 22 orang, serta juru parkir 18 orang. Sementara pelaku pelanggaran HAM disektor miskin perkotaan didominasi oleh Satpol PP dan instansi pemerintah daerah lainnya dengan masing-masing jumlah pelanggaran sebanyak 53 dan 87. Disusul kemudian swasta dan TNI/ POLRI masing-masing 8 dan 4 pelanggaran.

Jenis Kasus

Grafik Pelaku dan Jumlah Pelanggaran Tabel di atas merupakan gambaran kondisi pelanggaran HAM di issue miskin perkotaan di Jawa Tengah. Ada 32 kasus razia/penggarukan PSK, gelandangan dan pengemis, serta preman. Sementara penggusuran PKL ada 65 kasus, konflik tata ruang 38 kasus, konflik horisontal 14 kasus dan kebijakan lain yang tidak adil 202 kasus. Khusus penggusuran PKL, meski terjadi penurunan secara kuantitas pada 2009, dari 79 kasus di 2008 menjadi 65 kasus di 2009, namun tetap saja tak bisa dipandang sebagai penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan pendekatan kebijakan pembangunan yang menimbulkan penggusuran PKL masih cukup tinggi. Seperti di Kota Semarang saja, penggusuran PKL justru meningkat drastis dari 14 kasus pada 2008 menjadi 26 kasus pada 2009. Selain jumlah kasus tersebut, muncul pula jumlah korban pelanggaran HAM. Jumlah tersebut sebagaimana tergambar dalam grafik di bawah ini : Juru Parkir; 18 PSK; 22

100

53 87 8

0 Satpol PP

Swasta

4 POLRI/ TNI

Instansi Pemda lainnya

Pelaku

Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Pemenuhan, Penghormatan, Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Komunitas Miskin Perkotaan.

Gelandangan & Pengemis; 92

Pedagang Pasar Tradisonal; 660

PKL; 1263

Dari sisi regulasi sebetulnya sudah diatur mengenai kewajiban pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia seperti Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, dengan telah diratifikasinya Kovenan Hak-hak


Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) dan Hak-hak Sipil dan Politik kedalam peraturan perundang-undangan nasional yaitu dalam UU no. 11 tahun 2005 dan UU no. 12 tahun 2005 menambah jaminan akan adanya pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM. Penjabaran tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota di Jawa Tengah terhadap komunitas miskin perkotaan adalah sebagai berikut : Kriminalisasi

Ada Penyelesaian Relokasi

Ganti Rugi

Tidak ada solusi Pembinaan

1

116 19

1

2

Tabel tersebut merupakan hasil pengolahan database dari penanganan kasus, maupun monitoring di lapangan dan media massa. Dari tahun ke tahun, meski telah diatur beberapa ketentuan mengenai tanggungjawab pemerintah terhadap pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM, namun yang tetap perlu menjadi perhatian adalah langkah-langkah pemerintah dalam proses pembangunan yang berspektif HAM. Dengan melihat data tersebut, kita bisa melihat sampai sejauh mana tanggung jawab negara dalam mengupayakan pemenuhan, penghormatan, penegakan serta perlindungan HAM bagi sektor komunitas miskin perkotaan dilaksanakan. Jika demikian halnya, langkah pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah melakukan 19 relokasi pedagang pasar tradisional dan PKL, 1 gantirugi atas penggusuran yang telah dilakukan, 2 pembinaan terhadap PSK dan pengemis yang terjaring razia serta kriminalisasi terhadap pengamen jalanan menunjukkan bahwa belum ada langkah- langkah yang lebih baik yang dilakukan negara untuk memenuhi, menghormati, penegakan serta perlindungan HAM. Karena jika kita lihat perbandingan antara adanya penyelesaian dengan tidak adanya penyelesaian sangat jauh berbeda. Ada penyelesaian hanya sebanyak 22 kasus, sementara ada 116 kasus yang tidak ada solusi penyelesainnya.

Kesimpulan Sepanjang 2009 di issue perkotaan ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya terhadap Pasal 9 (1) dan Pasal 38 (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM serta hak ekonomi, sosial dan budaya terutama pasal 9 ayat 1, pasal 38 ayat 1 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM serta Bagian III point 1 UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.


BAB VI

LBH Semarang melakukan serangkaian kegiatan Pendidikan Hukum Kritis terhadap masyarakat marginal.

MENDORONG PEMENUHAN ACCESS TO JUSTICE BAGI MASYARAKAT MARGINAL DI JAWA TENGAH

a. Pelatihan Paralegal Petani 23 – 25 Juli 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TIFA menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Petani. Peserta pelatihan adalah 30 orang petani di Kabupaten Kendal yang tergabung dalam Forum Persaudaraan Petani Kendal. Pelatihan paralegal dasar ini diberikan kepada kelompok – kelompok petani baru anggota Forum Persaudaraan Petani Kendal untuk meningkatkan dan mempercepat kapasitas, memberikan dasar-dasar pengetahuan bantuan hukum, dan advokasi pelanggaran hak asasi manusia bagi para petani. Lengkapnya, tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan pendidikan hukum kritis kepada para petani lapis ke-2, khususnya anggota FPPK Kabupaten Kendal; 2. Adanya forum bagi petani anggota FPPK untuk melakukan konsolidasi advokasi kasus-kasus tanah berbasis perkebunan dan hutan di Kabupaten Kendal; 3. Membangun kesepahaman bersama antara komunitas petani yang tergabung dalam FPPK Kabupaten Kendal; 4. Menciptakan paralegal-paralegal baru; 5. Membentuk pos-pos paralegal di Kabupaten Kendal.

1. Pendahuluan Mengimplementasikan visi misi LBH Semarang, pada 2008-2009 melaksanakan program “Mendorong Pemenuhan Access To Justice Bagi Masyarakat Marginal di Jawa Tengah. Untuk itu, LBH melakukan beberapa kegiatan, diantaranya memberi bantuan hukum terhadap masyarakat marginal baik didalam maupun diluar pengadilan. Seluruh aktivitas tersebut untuk meningkatkan akses masyarakat marginal terhadap keadilan. Penyebab minimnya akses masyarakat marginal tersebut adalah: (1) kelemahan akibat ketimpangan struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya; (2) ketidaktahuan masyarakat marginal akan sistem hukum dan prosedur hukum atau buta hukum; (3) Tingginya tingkat korupsi di lembaga peradilan yang menyebabkan masyarakat marjinal tidak mampu membayar “proses hukum”; (4) Tidak terlaksana secara efektif kebijakan jasa “bantuan hukum” melalui advokat “profit” ; (5) Peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak pada masyarakat miskin. Melaui bantuan hukum struktural tersebut, LBH Semarang telah mengorganisir masyarakat marginal di beberapa sektor. Hasilnya, telah terbentuk organisasi rakyat dibeberapa komunitas: komunitas buruh, komunitas miskin kota, komunitas korban lingkungan, dan komunitas nelayan. Dalam perkembangannya, beberapa pimpinan organisasi masyarakat telah mampu mengadvokasi persoalan-persoalan di komunitasnya. Namun demikian seringkali perbedaan kapasitas oleh masing-masing organisasi masyarakat marginal menjadi salah satu hambatan. Selain itu, tak semua anggota organisasi memahami secara baik hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Karena itu, YLBHI-

b. Pelatihan Paralegal Nelayan Munculnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil merupakan ancaman besar bagi kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir. Salah satu pasal yang mengatur Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) memberikan peluang kepada pemilik modal untuk melakukan eksploitasi sumber daya laut dan pesisir. Hal ini diyakini akan semakin menyingkirkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya laut dan pesisir. Disisi lain, kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan yang diterapkan oleh pemerintah, secara nyata telah mengakibatkan


kerusakan ekologi di kawasan pesisir. Tak konsistennya pemerintah dalam melakukan penataan ruang telah mengakibatkan bencana di kawasan pesisir, seperti banjir, rob atau naiknya permukaan air laut, hingga abrasi yang terjadi hampir di pesisir pantai utara Jawa Tengah. Selain itu, konflik area pesisir terus terjadi antara pemilik modal dengan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir lainnya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan kawasan pesisir dan kelautan belum mencerminkan keadilan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Sementara itu, ada kesulitan yang muncul dari dalam komunitas nelayan: kualitas dan pemahaman nelayan mengenai persoalan-persoalan disekitarnya masih rendah. Selain itu, rendahnya kesadaran kritis masyarakat pesisir, juga menghambat rakyat dalam mengontrol kebijakan negara. Melihat kondisi tersebut diatas, LBH Semarang bekerjasama dengan YayasanTIFA dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan Pelatihan Paralegal Nelayan. Acara diselenggarakan pada 28 Februari – 3 Maret 2009. Palatihan Nelayan tersebut diikuti 30 nelayan dari Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang dan Kabupaten Pekalongan. Pelatihan ini bermaksud: 1. Mengkomunikasikan kebijakan pengelolaan kawasan pesisir kepada komunitas nelayan di Kabupaten Kendal, kabupaten Batang dan Kabupaten Pekalongan; 2. Memberikan pendidikan dan membangun kesadaran kritis serta menciptakan aktor lokal untuk melakukan advokasi kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan; 3. Memberikan ruang komunikasi antar komunitas nelayan dan masyarakat pesisir di Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang dan Kabupaten Pekalongan; 4. Menciptakan kader-kader paralegal; 5. Membentuk pos-pos paralegal. Kegiatan pelatihan paralegal nelayan tersebut diakhir dengan menyusun rencana tindak lanjut bersama dan diakhiri dengan Konferensi Pers. Dari pelatihan ini, muncul kader-kader baru paralegal di

beberapa kabupaten tersebut. Mereka aktif mengkomunikasikan persoalan-persoalan nelayan didaerahnya dengan cara mengadakan pertemuan-pertemuan rutin untuk konsolidasi. Pelatihan ini juga menghasilkan satu pos paralegal nelayan di Kabupaten Batang. c. Temu Paralegal Jawa Tengah Bantuan hukum struktural dan pendidikan hukum kritis LBH Semarang telah menghasilkan paralegal-paralegal pada masingmasing komunitas, baik komunitas miskin kota, komunitas buruh, komunitas nelayan, dan komunitas petani. Secara umum, masingmasing paralegal tersebut telah melakukan advokasi di komunitasnya masing-masing. Namun demikian, belum terbangun strategi bersama untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat marginal pada masing-masing komunitas. Pada 4-6 Agustus 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TIFA menyelenggarakan “ Temu Paralegal Jawa Tengah�. Kegiatan ini bertujuan: 1. Melakukan evaluasi advokasi dan menyusun rencana tindak lanjut bersama paralegal guna mendorong pemenuhan hak asasi manusia di Jawa Tengah 2. Membangun strategi advokasi bersama paralegal guna mendorong pemenuhan hak asasi manusia di Jawa Tengah. Temu Paralegal Jawa Tengah diikuti oleh 25 paralegal, baik paralegal di komunitas miskin perkotaan, paralegal nelayan, paralegal buruh, dan paralegal petani. d. Pendidikan Hukum Kritis Nelayan di Kabupaten Kendal Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 10 tahun 2003 tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menyatakan bahwa sebagian dari pendapatan retribusi Tempat Pelelangan Ikan wajib dikembalikan kepada nelayan, baik dalam bentuk Tabungan Nelayan, Dana Paceklik ataupun bentuk lainnya. Namun seringkali nelayan kesulitan untuk mengakses sebagian dana retribusi tersebut yang sebenarnya adalah hak nelayan. Jangankan untuk mengakses, nelayan juga


banyak yang tak paham informasi tentang teknis dan mekanisme mendapatkan hak-hak tersebut. Selain itu, sering ditemukan pungutan-pungutan liar dalam mekanisme pelelangan ikan di TPI yang merugikan nelayan. Salah satu persoalan nelayan tersebut diatas menjadi salah satu pertimbangan LBH Semarang untuk terus menerus melakukan Pendidikan Kritis di Komunitas Nelayan. Pada 30 – 31 Desember 2009, bertempat di Dusun Gempolsewu, Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Layar Nusantara serta LBH Semarang menyelenggarakan Pendidikan Hukum Kritis untuk nelayan di Kabupaten Kendal. Kegiatan tersebut diikuti 20 nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Kendal, seperti nelayan Sendang Sikucing, Tanggul Malang, Sigenthong, Tawang laut dan nelayan sekitar Kecamatan Rowosari. Kegiatan ini bertujuan: 1. Memperkuat organisasi nelayan untuk melakukan advokasi terhadap permasalahan yang dihadapi nelayan di Kabupaten Kendal; 2. Membongkar “Mafia” dalam mekanisme pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan; 3. Sebagai ruang konsolidasi sesama nelayan di wilayah Kabupaten Kendal untuk memperjuangkan hak-hak nelayan. Dalam rencana tindak lanjutnya, poin penting yang dilakukan adalah penguatan kelembagaan organisasi-organisasi nelayan dan disepakati juga dalam sebualan sekali, khususnya setiap Jum’at Kliwon diadakan pertemuan rutin antara sesama organisasiorganisasi nelayan di Kabupaten Kendal.

24 kasus pertanahan / perumahan [17,02%], 17 kasus perburuhan [12,06%], 2 kasus pencemaran/perusakan lingkungan hidup [1,42%] dan kasus hak konsumen 1 kasus [0,71,%].1 Masyarakat yang berkonsultasi sebagian besar berdomisili di wilayah Semarang, Kabupaten Demak dan Kabupaten Kendal. Dengan demikian, bantuan hukum yang diberikan LBH Semarang belum dirasakan oleh masyarakat marginal di seluruh wilayah Jawa Tengah. Untuk memperluas daya jangkau bantuan hukumnya, pada 6 – 9 Maret 2009, LBH Semarang bekerjasama dengan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Pekalongan, menyelenggarakan Pusat Konsultasi atau Klinik Hukum secara cuma-cuma di kantor SPN Pekalongan. 3. Publikasi dan Kampanye Pelanggaran HAM di Jawa Tengah Sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik, LBH Semarang menyampaikan informasi sampai sejauh mana negara mengimplementasikan hak asasi manusia, baik Hak Sipil Politik maupun Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. LBH Semarang merangkum kondisi tersebut berdasar penanganan kasus, investigasi, laporan masyarakat, dan monitoring dari media massa. Kami berharap laporan kondisi hak asasi manusia tersebut menjadi kritik bagi negara untuk mengimplementasikan hak asasi manusia secara lebih baik. Pada 30 Desember 2009, LBH Semarang menyelenggarakan Konferensi Pers tentang kondisi hak asasi manusia, dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia di Jawa Tengah sepanjang 2009. Selain menginformasikan melalui media surat kabar dan elektronik, LBH Semarang juga menerbitkan laporan tersebut dalam bentuk buku.

2. Perluasan Daya Jangkau Bantuan Hukum Melalui Klinik Hukum

4. Training Advokasi NGO di Isu Pesisir dan Kelautan

Pada 2008, LBH Semarang telah menerima 141 konsultasi hukum dari masyarakat. Berdasarkan jenis masalah hukum yang dikonsultasikan, masalah pidana menempati peringkat tertinggi yaitu 35 kasus [24,82 %], diikuti 32 kasus perkawinan [22,70%], 30 kasus perdata umum [21,28%],

Pada 2009, pemerintah Indonesia menyelenggarakan beberapa kegiatan untuk membuat kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan. Salah satunya adalah Word Ocean Conference (WOC). WOC telah 1

Laporan tahunan LBH Semarang, 2008.


menghasilkan dua buah dokumen penting, yaitu Manado Ocean Declaration (MOD) dan Coral dan Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF). Kedua dokumen penting ini akan berdampak terhadap kebijakan nasional, khususnya dalam kebijakan pengelolaan pesisir dan kelautan. Masyarakat, khususnya aktivis di isu pesisir dan laut memprotes dua dokumen ini karena merugikan masyarakat pesisir khususnya nelayan. Belum tuntas persoalan WOC ini, pada penghujung September 2009, pemerintah telah mengesahkan Revisi Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Padahal Undang-undang ini bermasalah, karena mengabaikan jaminan perlindungan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir. Para aktivis Non Governmental Organization (NGO) perlu menyikapi kebijakan pemerintah terkait pesisir dan laut tersebut dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir. Karena itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara dan LBH Semarang menyelenggarakan training atau Penguatan Kapasitas NGO dalam Advokasi Kebijakan Pesisir dan Kelautan. Training diselenggarakan pada tanggal 16 – 19 Desember 2009 di Hotel Santika Semarang dan diikuti oleh 11 NGO di seluruh nusantara yang concern terhadap advokasi kebijakan pesisir dan kelautan. 5. Pelatihan Pendokumentasian Isu Pesisir dan Kelautan Melalui Media. Pendokumentasian adalah kegiatan untuk mengabadikan suatu peristiwa atau keadaan. Kegiatan ini penting dilakukan dalam memperkuat kerja-kerja advokasi. Seseorang yang melakukan advokasi tanpa pendokumentasian yang baik diibaratkan � Tentara Perang Tanpa Amunisi�. Begitu juga dalam hal pendokumentasian konflik pada isu pesisir dan kelautan, kerja-kerja advokasi terhadap eksploitasi sumber daya alam pada pesisir dan kelautan perlu didukung dengan dokumentasi yang komprehensif.

Karena itu, pada 25 Nopember 2009, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara dan LBH Semarang menyelenggarakan Training Pendokumentasian Melalui Media di Hotel Metro Semarang. Training diikuti oleh 15 nelayan dan petani Tambak di Kabupaten Demak, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal. Kegiatan ini bertujuan: (1) memberikan pemahaman terhadap nelayan dan masyarakat pesisir akan pentingnya pendokumentasian, dan (2) memberikan pemahaman kepada nelayan dan masyarakat pesisir tentang cara mendokumentasikan konflik di wilayah pesisir dan kelautan. 6. Evaluasi Pelatihan Paralegal Petani dan Paralegal Nelayan Training Paralegal Petani di Kabupaten Kendal dan Training Paralegal Nelayan di Kabupaten Kendal telah menghasilkan rencana tindak lanjut bersama, salah satunya adalah memperkuat organisasi, baik organisasi tani ataupun organisasi nelayan. Kedua training itu juga menghasilkan strategi advokasi bersama pada masing-masing komunitas. Terkait dua kegiatan tersebut, penting dilakukan evaluasi bersama sampai sejauh mana efektifitas peran paralegal dalam mengimplemtasikan hasil training tersebut pada komunitasnya masing-masing. LBH Semarang bekerjasama dengan Yayasan TiFA menyelenggarakan pertemuan atau diskusi guna mengevaluasi peranan paralegal dan mekanisme koordinasi dengan LBH Semarang. Diskusi Evaluasi Paralegal Petani diselenggarakan pada 26 Oktober 2009, sedangkan diskusi Evaluasi Paralegal Nelayan diselenggarakan pada 27 Oktober 2009. Keduanya bertempat di Kabupaten Kendal. 7. Pelatihan Pendamping Hukum Rakyat Hukum yang dibuat negara kadang banyak menimbulkan persoalan. Hal ini karena proses pembuatan hukum tersebut tak lepas dari kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan pasar. Reaksi-


reaksi penolakan terhadap hukum negara yang melahirkan dua kenyataan yang hingga kini tetap berlangsung, yakni : (1) munculnya ketegangan tak terdamaikan antara hukum rakyat dengan hukum negara; dan (2) semakin memperlebar jarak antara keteraturan sosial (social order) dengan keteraturan hukum (legal order). Untuk menghidupkan kembali telaah-telaah sosial terhadap hukum dan mengetahui politik hukum, LBH Semarang bekerjasama dengan Perkumpulan HuMa Jakarta, menyelenggarakan Pendidikan Hukum Kritis Untuk Pendamping Hukum Rakyat pada 17 – 19 Februari 2009. Kegiatan ini juga berguna untuk menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut konsep pluralisme hukum sebagai alternatif untuk menjelaskan dan menyelesaikan konflik sosial yang tengah banyak muncul dimasyarakat, serta gerakan-gerakan pembelaan terhadap masyarakat marginal yang dapat mencerminkan aliran berpikir tertentu mengenai hukum. 8. Pendokumentasian Dampak Perubahan iklim Terhadap Masyarakat Pesisir dan Nelayan di Pantai Utara Jawa Tengah. Perubahan iklim telah berdampak langsung terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir. Nilai-nilai kearifan lokal nelayan secara lambat namun pasti telah hilang akibat perubahan iklim yang sangat ekstrim. Nelayan sudah tidak bisa lagi memprediksi musim ketika berangkat untuk melaut. Mereka juga tak bisa memprediksi lagi tanda-tanda alam untuk mengetahui keberadaan musim ikan di laut. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya hasil tangkapan mereka. Karena itu penting untuk mengidentifikasi sejauh mana dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan masyarakat pesisir. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Layar Nusantara dan Semarang, melakukan serangkaian kegiatan untuk mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan masyarakat pesisir.

• Live In di 3 Kabupaten Live in adalah menetap dan tinggal di komunitas. Dengan menetap dan hidup di komunitas kita akan merasakan dan memahami kehidupan sosial nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan masyarakat pesisir, LBH Semarang dan Layar Nusantara melakukan live In di komunitas-komunitas nelayan dan masyarakat pesisir di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak dan Kota Semarang. • Focus Group Discussion (FGD) Identifikasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Nelayan LBH Semarang bersama Layar Nusantara menyelenggarakan diskusi pada tanggal 24 November 2009, di Wisma BKK, Jl Supriyadi No 37 Semarang. Diskusi diikuti oleh 15 nelayan dan petani tambak di 3 kabupaten, yaitu kabupaten Kendal, Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Kegiatan ini bertujuan: 1. Mengidentifikasi dampak perubahan iklim dan kerusakan ekologi terhadap masyarakat pesisir. 2. Berbagi pengalaman sesama nelayan dan masyarakat pesisir dalam menghadapi perubahan iklim dan kerusakan ekologi di kawasan pesisir. 3. Melakukan pemetaan sampai sejauh mana dampak perubahan iklim terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir. • Publikasi dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan masyarakat pesisir LBH Semarang akan mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap nelayan dan masyarakat pesisir dalam bentuk buku. 9. Launching Database Konflik Sumber Daya Alam Konflik sumber daya alam di Jawa Tengah menjadi persoalan yang belum terselesaikan sampai sekarang. Selama sepuluh terakhir, datadata konflik sumber daya alam tersebut terus mengalami


perkembangan seiring dengan perkembangan kasus yang terjadi. LBH Semarang telah mencatat hampir setiap perkembangan dan mendokumentasikannya. Sebagian besar data tersebut telah tercatat dalam program database Humawin yang didesain oleh HuMa. Selama kurang lebih 3 tahun terakhir, konflik-konflik sumber daya alam di wilayah kerja LBH Semarang telah didokumentasikan melalui Humawin ini. Pada 16 Desember 2009 di Hotel Santika Semarang, LBH Semarang bekerjasama dengan Perkumpulan HuMa melaunching data-data konflik sumber daya alam ini kepada publik. Tujuannya, agar publik mengetahui konflik sumber daya alam yang terjadi di Jawa Tengah. Selain itu juga mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, dan lebih lanjut ada jalan keluar mengurai konflik tersebut. 10. Pendidikan Hukum Kritis untuk Petani Grobogan Pendidikan hukum kritis ini dikhususkan untuk para petani pinggir hutan yang berkonflik dengan Perhutani di Kabupaten Grobogan. Konflik tersebut meliputi konflik akses pengelolaan hutan dan konflik hak atas tanah. Tujuan pendidikan ini adalah menyediakan ruang komunikasi, membangun kesadaran kritis, dan konsolidasi para petani hutan. Kegiatan dilaksanakan pada 7-9 Januari 2009. 11. Konsolidasi Petani Hutan Se-Jawa Bali Jawa-Bali memiliki kawasan hutan yang sesungguhnya merupakan potensi yang besar untuk kemakmuran rakyat. Sayangnya selama ini petani hutan mengalami banyak persoalan dalam memenuhi hakhaknya serta mewujudkan tata kuasa, tata produksi, tata guna dan tata konsumsi yang berkeadilan, demokratis dan berkelanjutan. Di hampir semua kawasan hutan, baik hutan rakyat, hutan negara yang dikelola Perhutani, hutan adat maupun hutan lindung mempunyai persoalan masing-masing yang membuat petani hutan tak kunjung mendapatkan kemakmuran didaerahnya sendiri.

LBH Semarang bekerjasama dengan Perkumpulan HuMa mengadakan konsolidasi petani hutan se-Jawa Bali pada 28-30 Januari 2009 di Kabupaten Banyumas. Kegiatan ini bertujuan mempertemukan petani hutan untuk membincangkan persoalan yang mereka hadapi dan bertukar inisiatif pengetahuan-pengalaman dalam pengelolaan sumber daya hutan untuk membangun agenda kehutanan masa depan.


BAB VII PENUTUP Perlakuan negara terhadap masyarakat yang menuntut hak-haknya tak pernah berubah. Pemaparan mengenai kondisi bantuan hukum dan hak asasi manusia membuktikan bahwa rakyat harus punya kekuatan – fisik dan non fisik untuk menuntut hak-hak mereka. Organisasi-organisasi rakyat yang telah ada, haruslah dipupuk dan dikuatkan secara internal, terutama kapasitasnya untuk menjadi wadah bagi perjuangan rakyat. Dari tulisan ini, publik bisa melihat bagaimana negara melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia disemua sektor: sumber daya alam (pertanahan), lingkungan hidup, perburuhan, dan masyarakat miskin perkotaan. Kriminalisasi, menjadi senjata yang ampuh untuk meredam perjuangan rakyat. Namun kenyataannya, rakyat tak terus “mati” dengan segala ancaman itu. Mereka terus melawan, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dari perlawanan itu, kadang mereka berhasil, kadang tidak. Di keempat issue tersebut, negara melalaikan kewajibannya dalam memenuhi hak asasi manusia, yaitu kewajiban menghormati [to respect], kewajiban melindungi [to protect] dan kewajiban memenuhi [to fulfill]. Indonesia sendiri telah meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Ekonomi Sosial Budaya [Ecosoc Right] dan Kovenan Hak-hak Sipil Politik melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil Politik. Ratifikasi ini berarti mewajibkan Negara untuk melakukan pemenuhan hak dasar bagi warga Negara. Ironisnya, secara bersamaan Negara juga menjadi aktor atas pelanggaran terhadap Hak-Hak Ekosob dan Hak Sipil Politik. Di bidang bantuan hukum, negara juga melalaikan kewajibannya menyediakan bantuan hukumnya untuk warga negara yang tidak mampu. Padahal konstitusi Indonesia dan peraturan-peraturan dibawahnya mewajibkan negara untuk menyediakan bantuan hukum

itu. Dalam kasus-kasus pidana, pelanggaran ini banyak terjadi. Ketika menghadapi kasus pidana, mereka yang tak mampu kehilangan haknya untuk didampingi penasehat hukum. Bantuan hukum dinegeri ini menjadi sesuatu yang mahal. Rakyat miskin memang harus “mempersiapkan diri sendiri” ketika hendak menuntut hak-hak mereka atau menghadapi persoalan hukum. Meningkatnya tindakan represif negara dalam merespon tuntutan para petani, meningkatnya kasus-kasus lingkungan, belum terpenuhinya hak-hak buruh, dan masih stagnannya kondisi masyarakat miskin perkotaan membuktikan bahwa selama 2009 ini, kondisi Hak Asasi Manusia di Jawa Tengah tak lebih baik dari tahun 2009.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.